bab 2 kajian literatur dan teoritislib.ui.ac.id/file?file=digital/117224-t 24966-dinamika...
TRANSCRIPT
13
BAB 2
KAJIAN LITERATUR DAN TEORITIS
2.1 Sistem Moneter Internasional
2.1.1 Sistem Moneter Standar Emas
Standar emas merupakan turunan dari standard uang yang berbasis komoditas.
Standar ini muncul sebagai rancangan sistem moneter di dunia dari tahun 1880
sampai 1914. Dikatakan bahwa Inggris merupakan Negara pertama yang
mengadopsi standard emas pada tahun 1717, yang kemudian diikuti oleh negara-
negara lain selama dua abad kemudian. Pada tahun 1870an, hampir seluruh negara
meninggalkan system bimetal dan beralih kepada emas.
Ekonom klasik memandang tingkat harga dalam sebuah perekonomian tertutup
dibawah standard emas sebagai sesuatu hal yang ditentukan oleh marginal cost
dari usaha memproduksi emas. Nassau Senior (1840) mengatakan bahwa nilai
tukar dari emas yang disandarkan pada berbagai komoditas (harga sesungguhnya)
akan selalu sama dengan opportunity cost dari produksi emas itu sendiri. Mill
(1848) mengatakan bahwa hal tersebut akan bertahan dalam jangka panjang. Pada
jangka pendek, tingkat harga ditentukan oleh teori kuantitas dari uang, yaitu
interaksi dari seberapa banyak uang ditawarkan (uang saat itu adalah koin emas
dan notes dari Bank of England) dan seberapa besar uang tersebut dipinta, pada
berbagai besaran transaksi.
Ekonom neoklasik Marshall (1871) dan Fisher (1911) memandang tingkat harga
ditentukan oleh teori kuantitas uang baik pada jangka panjang atau pendek.
Mereka memandang standard emas sebagai sejenis rancangan institusi yang
menentukan jumlah penawaran dari uang. Bagi mereka penawaran uang dalam
sistem standar cadangan emas bergantung pada persediaan emas moneter, yang
nantinya ditentukan oleh hubungan antara harga riil dari emas dengan produksi
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
14
emas pada satu sisi, dan harga riil dari emas dengan permintaan non-moneter dari
emas pada sisi yang lain.
Pada teori modern dari standar emas (Niehans, Barro, dan McCallum), tingkat
harga ditentukan dari interaksi mutual pada pasar uang dan pasar komoditas.
Kondisi permintaan dan penawaran di pasar komoditas menentukan harga riil dari
emas dan, pada tingkat harga nominal yang tetap, tingkat harga ditentukan oleh
permintaan dan penawaran dari persediaan moneter.
Standar emas mempunyai mekanisme penyesuaian mandiri dimana shock
terhadap penawaran dari atau permintain dari emas moneter, yang nantinya akan
menghasilkan perubahan dalam tingkat harga, adalah kebalikan dari perubahan
produksi emas dan perpindahan antara kepemilikan emas secara moneter dan non-
moneter. Shock terhadap permintaan dari emas moneter seperti peningkatan
produksi pada sector non-emas di perekonomian, atau perningkatan dari banyakny
negara yang tergabung dalam standar emas, akan mempunyai efek deflationary.
Hal ini akan mengoffset sebagaimana penurunan pada tingkat harga akan
menaikan harga riil emas, sehingga memacu produksi emas dan perpindahan dari
kepemilikan emas non-moneter kepada emas moneter. Dengan kata lain, dalam
sistem standar emas, kita akan mendapati kestabilan harga dalam jangka panjang,
walaupun tingkat harga tersebut mungkin akan berubah naik atau turun setahap
demi setahap dalam beberapa tahun.
2.1.2 Bretton Woods Sistem
Sistem Bretton Woods merupakan eksperimen terkini dunia yang menggunakan
rejim tingkat nilai tukar yang tetap. Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1944,
setelah empat puluh empat delegasi dari berbagai negara berkumpul di tempat
yang dikenal sebagai Bretton Woods, sampai akhirnya sistem ini diakhiri oleh
Richard Nixon selaku presiden Amerika Serikat pada waktu itu di tahun 1971.
Pada masa tersebut terlihat sebagai masa keemasan dari kestabilan nilai tukar dan
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
15
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Nilai tukar dari berbagai industri utama di tiap
negara tetap bertahan pada tingkat yang sama selama periode yang cukup panjang.
Inflasi yang dialami termasuk kategaro sedang dengan standar yang ada.
Pendapatan nasional dari negara-negara G7 meningkat sangat pesat daripada
periode-periode sebelumnya.
Perancang dari sistem Bretton Wood menginginkan sebuah perangkat rancangan
moneter yang dapat menggabungkan keuntungan dari standar emas klasik (yaitu
kestabilan dari nilai tukar) dengan keuntungan dari nilai tukar mengambang (yaitu
kebebasan untuk mencapai kebijakan full employment secara nasional). Mereka
menghindari kelemahan yang ada pada floating rates dan kelamahan pada nilai
tukar yang tetap dari standar emas. Sebagai konsekuensinya, mereka merancang
suatu sistem peg yang dapat disesuaikan dari paritas namun hanya dapat dirubah
manakala terjadi ketidakseimbangan yang fundamental.
2.1.3 Sistem Moneter Pasca Bretton Woods
Sistem moneter fiat merupakan evolusi sejarah dari barter kepada uang komoditas
menuju uang fiat. Sekitar tahun 1960an, analis telah menyadari masalah struktural
pada sistem Bretton Woods. Salah satu dari masalah ini (yaitu usaha untuk
membuat suatu batasan terhadap harga relatif emas) mempunyai potensi
mematikan konvertibilitas dari emas kepada dollar pada tingkat harga resmi di
pasar swasta. Masalah potensial ini akan muncul manakala permintaan
masyarakat terhadap emas meningkat dengan cepat daripada persediaan emas
baru, ini merupakan masalah klasik dalam sistem standar emas.
Satu alternatif dari keruntuhan sistem Bretton Woods, yaitu model yang dikenal
sebagai imported credibility. Dalam sistem moneter fiat, sebuah bank sentral yang
diatur oleh gubernur konservatif (Rogoff, 1985) berusaha mencapai hasil yang
mirip dengan sistem pada standard komoditas, karena seorang banker yang
independen dan konservatif merupakan hal yang eksogenus, layaknya aturan
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
16
konvertibilitas dalam sistem standard komoditas. Posisi dan perilaku dari banker
sentral yang konsevatif ini tidak dapat dipengaruhi oleh preferensi baik dari
otoritas publik taupun fiskal. Model imported credibility ini berbasis pada
preposisi dimana dengan mematok nilai dari uang nasional kepada nilai tukar
yang diatur oleh bankir sentral, negara akan mengimpor kredibilitas bankir tadi
dan mengambil keuntungan dalam peraturan yang telah disepakati.
2.2 Teori Kuantitas Uang
Hubungan teoritis antara money supply dan variable makroekonomi lainnya
seperti output dan tingkat harga dapat ditunjukkan dengan menggunakan teori
kuantitas uang (quantity theory) yang dibangun oleh Fisher.
M V P Y× = ×
(2.1)
Dimana M merupakan nominal dari money supply, V (velocity) adalah kecepatan
peredaran uang, P adalah price level, dan Y adalah real income.
Menurut quantity theory, kecepatan peredaran uang adalah tetap atau dengan kata
lain stabil dan merupakan fungsi terprediksi dari tingkat bunga. Sehingga,
perubahan dalam money supply akan berujung pada perubahan dalam nominal
income (PY) pada jangka pendek. Dalam jangka panjang, karena real income
ditentukan oleh sisi supply dari ekonomi, pertambahan pada money supply akan
hanya akan berdampak pada price level yang lebih tinggi. Ibrahim (2006)
mengungkapkan bahwa persamaan ini merupakan sentral dari argument monetaris
yang berpendapat bahwa money supply merupakan faktor utama yang
diperhitungkan dalam fluktuasi ekonomi pada jangka pendek dan merupakan
penyebab dari inflasi dalam jangka panjang.
Berdasarkan pemikiran dan dengan premis bahwa agen ekonomi pada dasarnya
tidak menghiraukan kerja dari sistem perekonomian, monetaris menganjurkan
kebijakan moneter yang pasti dan merekomendasikan pertumbuhan money supply
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
17
yang tetap sebagai cara untuk memastikan stabilitas moneter. Secara implisit
dalam rekomendasi ini bahwa otoritas moneter dapat mengendalikan tingkat dari
money supply. Dengan menggunakan instrumen kebijakan yang bermacam-
macam untuk menentukan tingkat yang dikehendaki serta memastikan
pertumbuhan money supply yang tetap, stabilitas harga dan stabilitas ekonomi
dapat dicapai.1
2.3 Reserve Requirement dan Penciptaan Uang
Penciptaan uang sejarahnya diawali pada masa penggunaan uang emas. Pada
masa tersebut, masyarakat yang memiliki uang emas menyimpan uangnya pada
pandai besi (goldsmiths) agar aman. Pada saat menerima emas, pandai besi
menyerahkan bukti kepemilikan emas kepada penyimpan emas. Selanjutnya bukti
kepemilikan itu berharga dalam proses transaksi berdasarkan nilai emas yang
disimpannya. Untuk mengambil kembali emas yang disimpan, para pemilik bukti
dapat menunjukkan bukti tersebut untuk ditukarkan dengan emas yang disimpan
di pandai besi.
Pada masa diatas, semua bukti transaksi yang beredar bernilai sama dengan emas
yang disimpan pada pandai besi. Ketika pandai besi menerima simpanan emas
sebanyak 100 gram, maka jumlah bukti kepemilikan yang dikeluarkannya akan
sama jumlahnya dengan 100 gram emas. Dalam perjalanannya, pandai besi
memperhatikan bahwa selama beberapa periode penyimpanan emas, hanya 10%
dari total emas yang disimpan diambil kembali oleh pemiliknya. Dengan kata lain
secara empiris, hanya 10% dari simpanan emas yang dikonversi oleh pemiliknya.
Berdasarkan pengalaman itu, pandai besi mencoba mencari peluang dengan
menerbitkan bukti kepemilikan baru (yang sesungguhnya tidak bernilai emas).
Jumlah bukti kepemilikan baru yang akan diterbitkan tidak boleh menjadikan nilai
simpanan emas yang sudah ada lebih kecil dari 10%. Sehingga, jika ada deposan
1 Ibrahim, Mansor H., Monetary Dinamic and Gold Dinar: An Empirical Perspektive, J.KAU: Islamic Econ., Vol. 19, No. 2, pp: 3-20, 2006
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
18
emas yang mengkonversi (rata-rata 10%) emasnya, akan selalu dapat dipenuhi.
Dengan pemikiran pandai besi diatas, maka jumlah bukti kepemilikan yang
beredar akan bertambah. Pertambahan bukti yang beredar tersebut marupakan
cikal bakal dari proses penciptaan uang.
Pada praktek moderennya, bank sentral mensyaratkan setiap bank yang beroperasi
menyediakan dan menyimpan sebagian kecil dana yang disetorkan deposan
sebagai cadangan. Cadangan tersebut dikenal dengan istilah Fractional Reserve
Requirement (FRR). Cadangan sebagian yang dipersyaratkan ini diperlukan untuk
memenuhi kondisi normal permintaan dari para deposan yang menarik tabungan
atau depositonya. Proses penciptaan uang dalam perekonomian moderen
kemudian dicerminkan oleh neraca pada Bank Sentral.
Besarnya jumlah cadangan umumnya jauh dibawah 100 persen. itulah kenapa
disebut sebagian kecil (fractional). Jika bank sentral mensyaratkan besarnya FRR
10 persen, maka untuk besaran deposit Rp.100 juta, maka perlu menyediakan
paling tidak cadangan sebesar Rp.10 juta.2
Dengan aturan seperti itu, bank dapat leluasa meminjamkan 90 persen bagian
lainnya kepada nasabah atau para deposannya yang membutuhkan. Mekanisme
FRR ini menjadikan bank secara langsung sebagai agen yang turun
mempengaruhi suplai uang (money supply). Dengan demikian penciptaan uang
tidak hanya dilakukan oleh bank sentral saja (uang kartal) melaikan semua bank
berkontribusi dalam mencetak dan menggandakan uang kertas (fiat money).3
Berikut adalah penjelasan mengenai proses penciptaan uang yang dilakukan oleh
perbankan. Katakanlah sebuah bank menerima tabungan sebesar Rp1000.000,-
dari seorang nasabah. Pada saat bank sentral menetapkan kebijakan cadangan
minimum sebesar 10 persen, bank menyimpan Rp.100.000,- dari titipan nasabah
2 Riawan Amin, Satanic Finance,, 2007, hal. 3.Ibid.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
19
tersebut. Berarti masih tersisa Rp.900.000,- lagi yang dapat dialokasikan untuk
proses operasi kredit aktif bank tersebut. Berdasarkan teori penciptaan uang, maka
Rp.1.000.000 uang simpanan nasabah, dapat menciptakan (menggandakan)
maksimal uang baru senilai Rp.10.000.000,-. Jumlah uang dari proses penciptaan
uang tersebut didapat dari perhitungan jumlah simpanan deposan dibagi dengan
cadangan 10 persen,
( )1D RFRR
=
(2.2)
Dimana,
D = perubahan jumlah uang
FRR = required reserve ratio
R = simpanan nasabah
2.4 Sistem Moneter Dalam Pandangan Islam
Islam telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran
dengan mempergunakan apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang
dengan satuan uang tertentu itu telah ditunjukkan oleh Islam satu sistem moneter.
Dan Islam telah menetapkan bagi kaum muslimin kepada jenis tertentu yaitu emas
dan perak" (An Nidzam Al Iqtishadi fil Islam, hal 263). Kesimpulan ini
berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Islam mengharamkan menimbun (al kanz) emas dan perak Larangan pada ayat
di atas tertuju pada penimbunan emas dan perak, sebagai emas dan perak, dan
sebagai mata uang dan alat tukar.
2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku,
seperti diyat dalam pembunuhan sebesar 1000 dinar dan batasan bagi potong
tangan atas pencurian atas harta yang mencapai ¼ dinar.
3. Rasulullah SAW telah menetapkan emas dan perak sebagai mata uang, dan
menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Dimana
standar barang dan jasa akan dikembalikan kepada standar tersebut.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
20
4. Ketika Allah SWT mewajibkan zakat uang, maka Allah telah mewajibkan
zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah menentukan nishab
zakat tersebut dengan nishab emas dan perak.
5. Ketika Islam menetapkan hukum pertukaran uang (sharf), Islam menetapkan
uang dalam bentuk emas dan perak. Sharf adalah menukarkan atau membeli
uang dengan uang, baik dalam jenis yang sama seperti membeli emas dengan
emas atau perak dengan perak, maupun antar jenis yang berbeda seperti
membeli emas dengan perak.
Dengan dasar-dasar hukum tersebut, nyatalah bahwa sistem moneter bukanlah
wilayah ilmu pengetahuan dan teknologi (madaniyah) yang bersifat umum
(universal). Melainkan ia adalah bagian dari sebuah pandangan hidup (hadlarah)
dan ideologi (mabda). Dalam Islam biasa disebut sebagai masalah aqidah dan
syariat. Fakta menunjukkan bahwa sistem moneter adalah bukan ilmu
pengetahuan yang umum milik semua umat, melainkan bersumber dari aqidah dan
syariat tertentu. Sebagai contoh "bunga" merupakan problem moneter dalam
sistem Kapitalis, namun menurut sistem Islam "bunga" bukanlah problem
moneter, sebab membungakan uang adalah perbuatan riba yang haram hukumnya.
Maka sistem moneter kapitalis tidak boleh diterapkan dalam masyarakat Islam.
2.4.1 Sistem Moneter Fiat dan Riba
Sistem moneter yang ada sekarang ini adalah sistem moneter yang menngunakan
uang kertas. Uang kertas sendiri semata-mata adalah lambang, yang mewakili
uang hutang (promissory note) atau dapat pula diartikan sebagai IOU –I Owe You-
(Saya Hutang Kamu). Hutang yang menuntut bayaran lebihan atau tambahan.
Maka dengan demikian uang kertas dapat dikatakan mengandung unsur riba.
Uang kertas riba oleh para ahli ekonomi Islam di duga merupakan salah satu
ciptaan manusia yang membawa bencana, celaka, kezaliman dan malapetaka
kepada seisi bumi ini.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
21
Dari segi sejarah uang kertas telah melalui beberapa tahap perubahan dan sedang
melanjutkan evolusinya. Bersalin dari kertas ke suatu bentuk elektronik yang
merupakan unit ‘uang andaian’ (hypothetical money). Sebenarnya, sepanjang
catatan sejarah, emas dan perak merupakan uang sejagat yang digunakan untuk
berjual-beli di Eropa, di benua Afrika, di bumi Cina dan kepulauan Nusantara.
Namun, pada masa Zaman Kegelapan Eropa, uang kertas mulai digunakan
sebagai nota pertukaran (bill of exchange) di antara pedagang-pedagang di
bandar-bandar yang berlainan.
Riba dari segi bahasa berarti kelebihan atau tambahan. Pengharaman riba
menunjukkan bahwa Islam melarang perbuatan zhalim antara dua belah pihak,
tidak boleh menzhalimi dan tidak boleh dizhaimi.4 Akibatnya, semua uang yang
beredar mengandung kelebihan atau tambahan padanya, yang akhirnya
menyebabkan uang itu susut nilai. Kondisi ini dikenal sebagai inflasi ini
terkandung dalam sistem keuangan riba.
Inflasi tidak lain dan tidak bukan adalah invisible tax dan perampokan yang diatur
oleh undang-undang. Bank selalu menciptakan lebih banyak uang dari masyarakat
melalui kelebihan atau tambahan bayaran atas kelebihan hutang dari apa yang
dipinjamkan. Akibatnya terjadi pinjaman yang berkelanjutan untuk menerbitkan
lebih banyak lagi uang. Pertumbuhan kredit ini tidak hanya mencerminkan
pertumbuhan kekayaan yang sejati, namun juga membesarkan inflasi karena
barang dan jasa-jasa mengalami ‘monetization’. Dimana semuanya dinilai dengan
uang kertas yang tidak menentu. Dengan pertumbuhan semu ini, keseluruhan
sistem keuangan riba akan runtuh.
Setiap kali pinjaman dikeluarkan, lebih banyak uang perlu dicari, dan
dipinjamkan. Berdampak kepada harga barang dan jasa-jasa naik, dan ini
mendorong kenaikan gaji agar dapat mendapatkan lebih banyak uang untuk
4 Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, 1997.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
22
meningkatkan kemampuan membeli barang-barang yang telah melambung
harganya itu. sehingga, putaran inflasi terjadi akibat terlalu banyaknya uang
menghambat barang dan jasa-jasa yang sedikit. Hal ini disebabkan oleh
penggandaan uang terus menerus. Uangnya tetap sama, hanya nilainya saja yang
turun karena jumlahnya dalam peredaran berlipat-ganda.
Para pakar ekonomi Kapitalis zaman klasiklah yang telah memberi landasan pada
sistem ekonomi Kapitalis modern mengenai keberadaan suku bunga/riba. Adam
Smith dan Ricardo, misalnya menganggap bahwa bunga/riba itu seperti ganti rugi
yang diberikan oleh si peminjam kepada pemilik uang atas keuntungan yang
mungkin diperolehnya dari pemakaian uang tersebut. Dengan demikian, bunga
uang/riba itu adalah hadiah atau balas jasa yang diberikan kepada seseorang
karena dia telah bersedia menunda pemenuhan kebutuhannya.
Sedangkan menurut Marshall, bunga uang dilihat dari aspek penawaran
merupakan balas jasa terhadap pengorbanan bagi kesediaan seseorang untuk
menyimpan sebagian pendapatannya ataupun jerih-payahnya melakukan
penungguan (Principle of Economic, Marshall, hal 534). Lebih lanjut Marshall
menambahkan bahwa besarnya tingkat suku bunga/riba terletak pada titik potong
antara grafik permintaan dan persediaan jumlah tabungan. Apabila jumlah
tabungan amat banyak sementara permintaan merosot tentu saja akan menurunkan
tingkat suku bunga. Sebaliknya jika tingkat permintaan tinggi sedangkan jumlah
tabungan sedikit akan mengatrol tingkat suku bunga.
Teori ini secara langsung menjelaskan bahwa tingkat permintaan, yang biasanya
berbentuk aktivitas ekonomi riil dan relevan dengan tingkat penanaman modal
amat berkait erat satu dengan yang lain. Artinya tingkat suku bunga berhubungan
dengan jumlah tabungan dan aktivitas penanaman modal (usaha ekonomi riil).
Tingkat suku bunga yang tinggi diyakini oleh sebagian masyarakat akan mampu
memacu aktifitas ekonomi karena tersedianya dana yang melimpah.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
23
Pendapat-pendapat semacam ini, oleh sebagian pakar ekonomi Kapitalis sendiri
telah dibantah, dan pada intinya dijelaskan sebagai berikut:
1. Teori bunga di atas oleh Keynes dikritik habis. Ia mengungkapkan bahwa
bunga bukanlah hadiah atas kesediaan orang untuk menyimpan uangnya.
Sebab setiap orang bisa saja menabung tanpa meminjamkan uangnya untuk
memperoleh bunga uang, sementara yang dipahami selama ini bahwasanya
setiap orang hanya dapat memperoleh bunga dengan meminjamkan lagi uang
tabungannya itu. Malah Keynes menyimpulkan bahwa suku bunga itu
hanyalah pengaruh angan-angan manusia saja (highly conventional), dan
setiap suku bunga uang terpaksa diterima oleh masyarakat, yang dalam
pandangan orang kebanyakan terlihat menyenangkan.
2. Adapun hubungan tingkat suku bunga dengan struktur permodalan yang ada,
Keynes mengatakan bahwa suku bunga di dalam suatu masyarakat yang
berjalan normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga), dan ia amat yakin
bahwa manusia bisa memperoleh uang dengan jalan berusaha.
3. Dalam situasi resesi ekonomi atau pada saat terjadi economic boom fenomena
bertambahnya penanaman modal dalam jumlah yang sama dengan tabungan
masyarakat (karena tingkat suku bunga yang tinggi), adalah anggapan yang
salah dan keliru. Sebagaimana yang kita rasakan pada saat resesi, meski bunga
bank digenjot habis setinggi-tingginya dan berhasil mengumpulkan dana
masyarakat puluhan triliun rupiah, tetap saja usaha dan penanaman modal
dalam sektor ekonomi riil lumpuh.
4. Dilihat secara umum seseorang yang menambah jumlah tabungan atau
depositonya –menurut Keynes—pada dasarnya akan mengurangi jumlah
tabungan orang lain. Pengalaman selama Perang Dunia ke-II di AS saja
terbukti bahwa pertumbuhan tabungan masyarakat justru lebih tinggi dengan
bunga rendah (1%), dibandingkan dengan sebelumnya yang tingkat bunganya
lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tabungan tidak ditentukan
oleh besarnya tingkat suku bunga, akan tetapi ditentukan oleh tingkat
penanaman modal (aktifitas ekonomi riil). Begitu pula kita dapat melihat
fenomena antara negara-negara industri (yang tingkat suku bunganya rendah)
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
24
dan jumlah tabungan masyarakatnya besar dengan negara-negara miskin yang
memiliki tingkat suku bunga amat tinggi, akan tetapi jumlah tabungannya
tetap rendah.
2.5 Penelitian Terdahulu
2.5.1 Sistem Moneter Fiat dan Berbasis Emas dalam Penelitian Empirik
Barro (1999) melakukan riset mengenai bagaimana uang ditentukan dalam sistem
standard emas dan komoditas sejenisnya (bimetallism, symmetallism, commodity-
reserve currency). Karena "Bank Central " mendukung harga dengan komoditas
seperti emas dalam sistem moneternya, penentuan tingkat harga relatif dilakukan
oleh cadangan emas yang dimilikinya. Dengan pemikiran seperti ini, tingkat harga
absolut menjadi kuantitas penentu yang mempengaruhi analisis penawaran dan
permintaan, seperti praktik penggunaan emas untuk komoditas produksi dan
kegunaan emas selain untuk kebutuhan moneter.
Walaupun perubahan rasio dari uang dan komoditas pendukung nya atau
pergeseran dalam kecepatan peredaran uang (velocity) dapat mempengaruhi
tingkat harga, sistem tersebut memiliki nilai penahan harga untuk tetap stabil
dengan cadangan emas yang dimilikinya. Dalam pandangannya, dengan
menggunakan kerangka berfikir teori kuantitas uang, maka sistem uang fiat jika
dibandingan dengan sistem uang tetap (cadangan emas) akan memiliki tingkat
ketidakstabilan harga yang lebih besar.
Bordo, Dittmar &Gavin (2000) meneliti karakter stabilisasi harga pada berbagai
rejim moneter, sebagian dengan sistem commodity money dan sebagian lainnya
dengan mata uang kertas/fiat. Mereka menggunakan model dynamic stochastic
general equilibrium untuk menganalisa dinamika harga. Model ini menggunakan
dua sektor ekonomi dalam mengevaluasi kandungan dari data time series yang
berhubungan dengan berbagai alternative rejim moneter. Melalui model tersebut
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
25
mereka berpendapat bahwa pure inflation target lebih menghasilkan kestabilan
harga dalam jangka pendek daripada dengan menggunakan standard emas.
Mereka juga berpendapat bahwa bank sentral yang memperhatikan sebagian pada
tingkat harga dapat pula memperhatikan sektor riil tanpa mengorbankan
kestabilan harga. Mereka pada kesimpulannya mengatakan bahwa keuntungan
dari standar emas adalah sistem ini menggunakan mekanisme market-driven
untuk memastikan stabilitas pada jangka panjang.
Kerugiaan dari sistem emas ini adalah besarnya dana untuk bahan tersebut dan
membuat tingkat harga agregat bergantung pada real shocks. Namun, standar
emas sudah lama dipandang lebih baik dalam menjaga stabilitas harga daripada
rejim fiat. Mereka berpendapat bahwa rejim fiat yang berbasis pada credible
nominal anchor mempunyai keuntungan dalam kestabilan harga layaknya yg
terjadi pada standar emas, tentunya dengan ketiadaan biaya bahan dan variabilitas
jangka pendek yang dihasilkan oleh rejim standar emas.
Rolnick & Weber (1998) melakukan penelitian untuk mengungkapkan adanya
perbedaan pada hubungan antara uang dan inflasi dan hubungan antara uang dan
output dalam perekonomian yang menggunakan rejim dengan standar komoditas
dan perekonomian yang beroperasi pada rejim standar fiat. Mereka melakukan
penelitian dengan basis data historis uang, harga, dan output dari lima belas
negara yang menerapkan kedua standar moneter tersebut.
Mereka menemukan bahwa dalam rejim standar fiat, rata-rata pertumbuhan dari
berbagai aggregat moneter lebih berkorelasi dengan inflasi dan saling berkorelasi
diantara mereka daripada ketika berada pada rejim standar komoditas. Mereka
juga mendapati bahwa pertumbuhan uang dan inflasi pada rejim tersebut lebih
tinggi. Sebaliknya, mereka tidak menemukan bahwa pertumbuhan uang lebih
berkorelasi dengan pertumbuhan output pada setiap rejim standar. Mereka pun
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
26
tidak menemukan bahwa pertumbuhan output dalam rejim standar itu fiat lebih
besar.
Tulisan klasik dari Sims (1980) mengemukakan bahwa ketika data bulanan dari
produksi, harga, dan stok uang diinterpretasikan dengan vector autoregression,
sebagaimana yang dihasilkan oleh respon dinamika dalam “surpise” setiap
variable tadi, akan muncul kemiripan dinamika pada saat masa perang dan masa
pasca perang. Tetapi besaran dari “surprise” tersebut lebih besar pada saat periode
perang.
Lebih jauh, Sims berpendapat bahwa stok uang muncul sebagai penyebab
hubungan dalam kedua periode dan berperan dari adanya variasi pada produksi
yang terjadi periode sebelumnya. Ketika tingkat bunga diikutsertakan dalam
vector autoregression, kemiripan dinamika yang mengesankan antara dua periode
ini terjadi, namun peran utama dari stok uang yang mengkagetkan ini hilang pada
periode pasca perang.
Sims berpendapat bahwa walaupun ada penjelasan potensial dari monetaris
terhadap observasi tersebut, tidak satu pun dari penjelasan tersebut cocok dengan
dinamika yang diperkirakan. Penjelasan secara non monetaris dari dinamika ini,
yang berlandaskan pada peran dari perilaku harapan investasi, terlihat lebih cocok
dengan estimasi dinamika. Penjelasan ini, yang konsisten dengan peran pasif dari
uang, dapat menunjukkan pada berbagai observasi hubungan pasca perang dengan
stok uang dan pendapatan, akan munculnya keraguan terhadap interpretasi
monetaris bahkan pada data saat perang terjadi.
Bordo pada tahun (1993) melakukan penelitian terhadap performa dari rejim
moneter alternatif. Penelitiannya dapat menjadi landasan mengapa sebagian rejim
lebih sukses ketimbang rejim yang lain. Bordo berpendapat berdasarkan bukti-
bukti statistik, bahwa rejim Bretton Woods pada tahun 1959 sampai 1970, sejauh
ini, merupakan rejim terbaik berdasarkan hampir seluruh kriteria yang ia buat.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
27
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa performa dari rejim pada pasca perang dunia
kedua lebih superior dari performa rejim selama abad terakhir ini. Ia berpendapat
bahwa standard emas klasik walaupun mempunyai kelemahan dalam hal
menstabilkan variabel riil, namun performanya merupakan yang terbaik dalam
persistensi inflasi dan integrasi pasar keuangan, sebagai bukti dari kesuksesan
emas sebagai landasan nilai nomina.
2.5.2 Sistem Moneter Alternatif Dalam Pandangan Islam
Meera (2002) bersandar pada cara pandang monetaris yang berargumen bahwa
money supply merupakan akar dari penyebab ketidakstabilan. Namun,
pandangannya menyimpang dari monetaris dengan menyatakan bahwa dengan
tingkat bunga yang positif, money supply akan tumbuh sebagai mustinya. Selain
itu, money supply tidak terkendalikan dalam jangka panjang. Dibawah regim fiat,
fractional reserve banking dan sistem berlandaskan tingkat suku bunga, money
supply mempunyai kecenderungan untuk berkembang walaupun tidak ada
kebijakan ekspansi yang dilakukan.
Hal ini berarti, karena kecepatan perputaran dan real output adalah tetap, price
level akan bertambah terus menerus. Dalam sistem fiat, pemerintah mempunyai
kecenderungan untuk mengintervensi pasar dengan mengendalikan harga dari
barang-barang, terutama bahan makanan dasar, sebagai respon terhadap
pertambahan harga yang terjadi. Hasil dari pengendalian harga ini adalah
pertambahan pada money supply akan berdampak pada pasar lain terutama pasar
aset keuangan, membuat bubble pada harga aset tersebut.
Ibrahim (2006) atau Choudhury (2004),5 dengan berlandaskan teori kuantitas
uang yang sederhana, memiliki pandangan yang selaras dengan hasil dari Meera.
5 Choudhury, M.A. (2004) “Micro-Money and Real Economy Relationship in the 100 Per Cent Reserve Requirement Monetary System”, Review of Islamic Economics, 8: 35-54.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
28
Mereka bersandar pada bingkai pemikiran untuk membuat kesimpulan yang
berseberangan dengan sistem moneter secara fiat. Dalam penelitiannya, Ibrahim
menemukan gambaran yang jelas mengenai hubungan antara money supply dan
variable makro ekonomi lainnya dan pembuktian mengenai setiap ekspansi money
supply menimbulkan inflasi. Hasil lain yang berhasil diemukannya adalah
interaksi antara money supply – interest rate and money supply – stock price
adalah tidak stabil. Senada dengan Meera, Ibrahim menemukan bahwa setiap
ekspansi money supply berpotensi melahirkan asset price bubbles. Penelitiannya
juga menemukan, money supply akan bereaksi secara positif terhadap peningkatan
real output. Dengan kondisi money supply seperti temuan dalam penelitiannya,
Akhirnya, Meera, Ibrahim dan Choudhury beranggapan bahwa argument untuk
kembali menggunakan gold dinar perlu untuk dibenarkan. Walaupun Ibrahim
menambahkan dengan pertimbangan apakah mungkin saat dapat diterapkan
dengan kondisi politik dan standar moneter internasional yang pada saat ini
berlaku. Mereka mendukung pandangan para Dinaris yang secara garis besar
menggambarkan berbagai pola kausal yang melibatkan interaksi antara money
supply, price level, output dan harga aset lainnya. Hal ini dapat ditunjukan melalui
tiga hubungan kausal:
a. Apabila jumlah uang beredar (M) naik, maka tingkat harga (P) akan naik
b. Apabila jumlah uang beredar (M) naik, akan mempengaruhi output (Y)
c. Apabila jumlah uang beredar (M) naik, maka tingkat suku bunga (r) akan
turun
d. Apabila jumlah uang beredar (M) naik, maka harga aset (A) akan naik
Dinaris berpandangan, sebagai mana tersebut pada poin a, terdapat hubungan
kausal yang terjadi dari money supply kepada price level. Untuk mendapatkan
nilai real output, pola kausal dari money terhadap output tidak jelas. Mereka
mengacu pada quantity theory dari uang dengan full employment level of output
dalam argumennya, mereka mengemukakan bahwa resesi dapat terpicu oleh
kontrasi moneter. Kemudian, karena money supply dapat tumbuh secara mandiri,
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
29
seharusnya tidak ada hubungan kausal yang terjadi dari real output terhadap
money supply atau terlebih lagi pada price level terhadap money supply. Ketika
Meera (2002) menerima proposisi monetaris bahwa inflasi merupakan fenomena
moneter, hal ini bukan merupakan ketidakkonsitenan dari pandangannya
sebelumnya. Menurutnya, hubungan kausal seharusnya tidak muncul bila
pemerintah mengintervensi dengan cara mengendalikan harga.
Efek ketidakstabilan dari perubahan money supply dapat direpresentasikan dengan
b dan c. Seperti yang telah dinyatakan oleh Meera (2002), pertambahan yang terus
menerus dari money supply akan menghasilkan penurunan tingkat suku bunga
setelah full employment dari tingkat output tercapai. Kemudian selama tingkat
bunga tetap positif, money supply akan terus bertambah secara mandiri. Terlebih
lagi, pengurangan pada tingkat bunga lebih lanjut akan memicu aktivitas
peminjaman oleh bank-bank. Seiring peminjaman bank berkembang, begitu pula
money supply. Berdasarkan hal ini, walaupun mekanisme sebelumnya
menyarankan adanya pertambahan mandiri dalam money supply pada tingkat
bunga yang positif, dua hal ini menyarankan secara jelas umpan balik kausalitas
dari tingkat bunga terhadap money supply. Dan umpan balik kausalitas ini memicu
ketidakstabilan. Ketiga hubungan kausal ini disebutkan dalam Meera (2002).
Pertambahan pada money supply akan berujung pada pengurangan tingkat bunga.
Hal ini akan menggiring pada ekspansi dari money supply. Sebagai mana
disebutkan pada a, akan terdapat tekanan yang terus menerus pada price level.
Karena harga dari barang-barang esensi dikendalikan, pertambahan pada money
supply akan menimbulkan price bubble pada aset sebagaimana yang disebutkan
dalam c, menggarisbawahi sumber ketidakstabilan yang kedua. Aktivitas
spekulatif akan menimbulkan lebih banyak lagi penciptaan money supply melalui
kontrak peminjaman bank dalam rangka mengkapitalisasi ekspektasi pertambahan
pada harga aset. Namun kemudian, ketika bank meminjam kontrak, bubble dari
harga aset akan timbul dan tingkat bunga akan meningkat dan menimbulkan resesi
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
30
ekonomi. Penurunan ini disebabkan oleh kontraksi moneter melalui krisis dalam
pasar aset keuangan.
Atas landasan hubungan kausal diatas, memberikan fakta bahwa Dinaris
memandang fluktuasi dalam money supply sebagai penyebab utama dari fluktuasi
dari variabel lain. Dengan kata lain, fluktuasi dalam variabel sebagai real output
(terutama pada saat penurunan ekonomi), tingkat harga, tingkat bunga, dan harga
set diperhitungakan sebagian besar melalui variasi dalam money supply, membuat
money supply sebagai variabel penyebab utama. Kemudian, bila ada hubungan
umpan balik dari terutama tingkat bunga dan harga saham terhadap money supply,
polanya menyebabkan ketidakstabilan.
Namun, bila ada usaha untuk menuju kestabilan, dengan kebijakan moneter,
misalnya pengurangan dalam money supply untuk menahan penurunan tingkat
bunga atau peningkatan harga aset, argumen Dinaris ini menjadi lemah. Terlebih
lagi, Meera (2002) menyebutkan umpan balik kausal dari real output terhadap
money supply. Keberadaan dari hubungan kausal dari real output kepada money
supply dapat melemahkan sekali argument Dinaris bahwa segalanya terjadi akibat
sistem moneter fiat. Lebih spesifik, bila money supply bereaksi untuk
mengakomodir ekspansi dalam aktivitas riil, menyebabkan Gold Dinar menjadi
tidak nyata. Alasannya adalah, tidak seperti uang fiat, emas tidak dapat dengan
mudah bertambah sesuai keinginan. Ketidakfleksibelan dari emas dalam
menyesuaikan ekspansi output yang timbul dari sumber lain seperti dorongan
produktivitas, mungkin tidak memfasilitasi ekspansi output pada awalnya.
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
31
2.5.3 Penerapan Simulasi Impuls Response Function dan Variance
Decompositions dengan Pendekatan VAR
Model-model ekonometri terdiri dari model dengan satu persamaan dan multi
persamaan, biasanya berbentuk model struktural. Artinya, model yang dibangun,
hubungan antar variabelnya mengacu pada suatu teori. Demikian pula bentuk
fungsionalnya. Pengestimasian model struktural dapat digunakan untuk mengetes
suatu teori. Model dinamik juga mengacu pada suatu teori yang baku.
Konsekuensinya, dalam membangun model ekonometri, pemodel harus yakin
bahwa spesifikasi model yang ditawarkan dipandu oleh suatu teori.
Akan tetapi, kadang-kadang teori (ekonomi) tidak dapat secara tepat mengarahkan
kepada spesifikasi yang tepat. Seringkali, ada beberapa teori yang saling berbeda
dalam menjelaskan suatu fenomena. Sebagai akibatnya, banyak pemodel yang
mendasarkan pada data dalam menentukan struktur dinamik modelnya. VAR
merupakan teknik yang dapat menjawab tantangan ini. VAR juga merupakan
model yang dapat menduga sistem dinamis ‘tanpa menggunakan sudut pandang
teoritikal’ dan menduga sitem dinamis ‘ menggunakan variabel-variabel (eksogen)
dengan lag’.
Seperti halnya Ibrahim (2006), Selover (1996) dan Sims (1980) untuk menguji
dinamika moneter, mereka meneliti dengan menggunakan impuls response
function dan variance decompositions pendekatan Vector Autoregression (VAR).
Didahului dengan pengujian adanya unit root dan uji kointegrasi untuk
menyelidiki karakteristik dari seperangkat variabel yang akan diuji. Melalui
pendekatan tersebut, diharapkan akan ditemukan pola hubungan empiris dalam
data dan juga informasi mengenai hubungan kausal diantara variabel-variabel
yang diujikan. Spesifikasi model VAR sebagai berikut:
01
p
t k tk
k tX A A X −=
e= + +∑
(2.4)
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
32
Dimana, Xt adalah (n x 1) variable vektor, A0 adalah (n x 1) konstanta vektor, Ak
adalah (n x n) koefisien matrix, et adalah (n x 1) vector of error terms, dan p
adalah orde dari autoregressive.
Pada model diatas biasanya interpretasinya didasarkan oleh adanya moving
average dalam pola datanya. Jika persamaan disubstitusikan menjadi persamaan
moving average, maka modelnya menjadi:
0t k t k
kB B e
∞
=
= +∑X −
(2.5)
Jadi, Xt adalah ekspresi dari kombinasi linier penemuan masa lalu dan saat ini.
Berdasarkan persamaan diatas, variance decompositions dan impulse-response
functions merupakan simulasi yang dapat menilai dynamic causal antara money
supply dan variable makro ekonomi lainnya. Dengan menggunakan kedua
pendekatan diatas, diharapkan dapat diketahui besaran dan arah respon yang
dihasilkan akibat shock yang terjadi.
Hubungan antara co-integration dan error correction models, untuk pertama kali
di ajukan oleh Engle-Granger (1983), penelitian yang dilakukan oleh Egle-
Granger ini merupakan pengembangan untuk membangun prosedur estimasi,
pengujian dan contoh-contoh pengujian empiris. Dasar pemikiran dalam
penelitian mereka adalah: jika dalam tiap elemen dari vektor pada data time series
mencapai stasioner setelah proses differencing, tetapi memiliki kombinasi yang
linear α` x1, yang stasioner, maka time series x1 dapat dikatakan terkointegrasi
vektor α`. Akan terdapat beberapa jenis co-integrating vectors yang dapat
dibentuk menjadi matrix. Dengan menginterpretasikan α` x1= 0 dalam jangka
panjang, co-integration berimplikasi bahwa deviasi dari equilibrium adalah
stasioner, dengan varians yang terbatas (finite variance), meskipun seriesnya
secara individu tidak stasioner dan memiliki varians yang tidak terbatas (infinite
variance).
Universitas Indonesia
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008
33
Universitas Indonesia
Simulasi pada variance decompositions dan impulse-response functions yang
dilakukan oleh Selover (1996) dan Ibrahim (2006) menggunakan data dengan
natural logaritma masing-masing variabel untuk menunjukkan proporsi
pengaruhnya, kecuali pada variabel dalam satuan prosentase. Ketika dilakukan
pengujian unit sebagian variabel yang akan diujikan memiliki unit root (tidak
stasioner) pada tingkat levelnya. Dilanjutkan dengan uji kointegrasi, ditemukan
adanya kointegrasi dalam seperangkat variabel yang akan diujikan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan jangka panjang pada
variabel-variabel dalam model. Dengan merujuk pada Selover (1996, hal.580) dan
granger (1987) yang mengungkapkan bahwa apabila dalam perangkat variabel
tidak mengandung unit root dan atau ada kointegrasi pada dalam modelnya, maka
simulai impuls response function dan variance decomposition dapat dilakukan
pada data dalam orde levelnya. Walaupun argumen tersebut tidak didukung
sepenuhnya oleh Sims (1980) yang beranggapan bahwa menggunakan data yang
tdak stasioner dalam penelitian akan menghasilkan hasil penelitian yang tidak
valid.
Dilenkapi oleh Hidayat (2007) yang melakukan analisis efektifitas kebijakan
mekanisme transmisi kebijakan moneter sebagai implikasi adanya risk premium
pada pasar valuta asing dengan metode Vector Autoregression (VAR). Untuk
tujuan penelitiannya, Hidayat menggunakan impuls respon function dan variance
decompositions untuk menemukan perbedaan dalam kecepatan penyesuaian
variabel nilai tukar akibat shock (kejutan) kebijakan moneter. Selain itu, kedua
alat tersebut juga merupakan alat untuk menentukan size of shock kebijakan
moneter terhadap output dan inflasi, dengan membandingkan ada atau tidaknya
risk premium.
Dinamika moneter indonesia.., Ratna Sari Pakpahan, Program Pascasarjana, 2008