bab 2 hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan majemuk anak

34
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua Pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk perilaku anak- anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman. Pola asuh orang tua merupakan suatu kecenderungan cara-cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan fisik (seperti makan, minum, dan sebagainya) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan sebagainya), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Taganing. NM & Fortuna. F, 2008).

Upload: ozha-sativa

Post on 18-Feb-2016

39 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kebidanan

TRANSCRIPT

9

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pola Asuh Orang Tua

2.1.1 Definisi Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk

membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan

aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian

dan hukuman. Pola asuh orang tua merupakan suatu kecenderungan cara-

cara yang dipilih dan dilakukan oleh orang tua dalam mengasuh anak. Pola

asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua

bukan hanya pemenuhan fisik (seperti makan, minum, dan sebagainya) dan

kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan sebagainya),

tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak

dapat hidup selaras dengan lingkungan (Taganing. NM & Fortuna. F, 2008).

Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi

yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan

tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap kepribadian

anak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pola asuh merupakan proses

interaksi antara anak dan orang tua dalam pembelajaran dan pendidikan

yang nantinya sangat bermanfaat bagi aspek pertumbuhan dan

perkembangan anak (Mariani. L & Indriani. E, 2005).

10

2.1.2 Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua

Orang tua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan

membimbing anak. Cara dan pola tersebut tentu akan berbeda antara satu

keluarga dengan keluarga yang lainnya. Studi awal tentang tipologi

pengasuhan anak telah dibuktikan oleh Diana Baumrind, adalah orang

pertama yang mempelajari hubungan antara pola asuh dan kepribadian anak.

Pola asuh Baumrind diklasifikasikan menjadi tiga tipologi perilaku

berdasarkan dua faktor ortogonal yang diketahui sebagai respon dan

tuntutan (Afriani. A, et al, 2012)

Respon mengacu pada sejauh mana orang tua mendorong anak,

mendukung dan sepakat dengan permintaan anak-anak dengan kehangatan

dan komunikasi. Tuntutan mengacu pada klaim orang tua pada anak untuk

terintegrasi ke dalam masyarakat oleh perilaku regulasi, konfrontasi

langsung, serta batas waktu (kontrol perilaku) dan pengawasan atau

pemantauan kegiatan anak-anak (Afriani. A, et al, 2012). Berikut tiga pola

asuh yang biasa diterapkan orang tua pada anak :

a. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Merupakan pola asuh yang menetapkan standar mutlak yang

harus dituruti oleh anak dan sering disertai dengan ancaman. Pola asuh

yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orang

tua memaksakan kehendaknya, sehingga orang tua dengan pola asuh

otoriter memegang kendali penuh dalam mengontrol anaknya. Orang

tua yang otoriter menerapkan batasan yang tegas dan tidak memberi

11

peluang yang besar kepada anak untuk berbicara atau bermusyawarah

(Hoang. TN, 2008).

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri

kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik.

Orang tua memaksa anak untuk patuh pada nilai mereka serta mencoba

membentuk tingkah laku sesuai dengan keinginanya dan cenderung

mengekang keinginan anak. Orang tua juga tidak mendorong serta

memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi

pujian, hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti orang

dewasa (Wendy. KL, 2008).

b. Pola Asuh Demokratif (Authoritative)

Yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk

mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan

mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling

menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola asuh ini

memprioritaskan kepentingan anak tetapi tidak ragu untuk

mengendalikan mereka. Orang tua bersikap realistis terhadap

kemampuan anak dan tidak berharap berlebihan (Afriani. A, et al,

2012).

Pola asuh demokratif dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang

tua disertai dengan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak.

Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya

dengan mempertimbangkan faktor kepentingan dan kebutuhan

(Stansbury. K, et al, 2012).

12

c. Pola Asuh Permisif (Permissive)

Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek

terhadap anak. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orang tua semacam

ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan atau

urusan lain yang akhirnya menyebabkan orang tua lupa untuk mendidik

dan mengasuh anak dengan baik. Pola asuh permisif kerap memberikan

pengawasan yang sangat longgar. Cenderung tidak menegur atau

memperingatkan anak (Yunanda. FP, 2012).

Pola asuh permisif dicirikan dengan orang tua yang terlalu

membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun

kontrol, anak dibolehkan untuk melakukan apa saja yang diinginkan.

Orang tua selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan

kontrol sama sekali, memberikan kasih sayang berlebihan dan

cenderung memanjakan (Onder. A & Gulayb. H, 2009).

Pola asuh permisif ini dibedakan menjadi dua: neglectful

parenting dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila

orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli).

Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki

kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri

yang kurang. Pola asuh yang indulgent yaitu bila orang tua sangat

terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan

tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau terlalu

membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang

tidak adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan

13

kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab

serta memaksakan kehendaknya (Garcia. F & Gracia. E, 2009).

2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda dan

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Yang

termasuk faktor internal, misalnya latar belakang keluarga orang tua, usia

orang tua, jenis kelamin orang tua dan anak, pendidikan dan wawasan orang

tua, karakter anak dan konsep peranan orang tua dalam keluarga. Sedangkan

yang termasuk faktor eksternal, misalnya tradisi yang berlaku dalam

lingkungan, sosial ekonomi lingkungan dan semua hal yang berasal dari luar

keluarga tersebut yang bisa mempengaruhi orang tua dalam menerapkan

pola asuhnya (Aisyah, 2010).

Faktor tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberpa poin, antara

lain:

a. Usia Orang Tua

Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin

bertambah umur semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang

dimiliki mengenai perilaku yang sesuai untuk mendidik anak. Anak

dengan orang tua usia muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih

longgar karena dalam diri orang tua usia muda cenderung memiliki sifat

toleransi yang tinggi dan memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda

juga dapat mempengaruhi sumber daya yang tersedia untuk anak

(Wallman. KK, 2012).

b. Jenis Kelamin Orang Tua

14

Perbedaan gender diantara orang tua akan ikut berpengaruh dalam

cara mereka mengasuh anak, hal ini mungkin disebabkan karena

realisasi perbedaan dalam bagaimana mereka berpikir dan berperilaku.

Diantara ayah dan ibu, keduanya memiliki keinginan untuk melakukan

apa yang menurut mereka benar untuk memaksimalkan potensi anak-

anak mereka. Misalnya seorang ibu ingin putrinya menjadi lebih tegas

dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah ingin anaknya

menjadi, lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas dan berkepribadian kuat

(Pruett. K & Pruett. MK, 2009).

c. Pendidikan dan Wawasan Orang Tua

Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman

sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan

memberikan dampak bagi pola pikir dan pandangan orang tua dalam

mendidik anaknya. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan dan

wawasan yang tinggi akan memperhatikan dan merawat anak sesuai

dengan usia perkembangannya dan akan menunjukkan penyesuaian

pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan membuat anak memiliki

pandangan positif terhdap orang lain dan masyarakat (Anonim, 2008).

Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika ibu memiliki

pengetahuan yang lebih tinggi terhadap perkembangan anak, mereka

menunjukkan tingkat keterampilan pengasuhan yang lebih tinggi, anak-

anak mereka memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan

sedikit masalah perilaku (Sanders. M & Morawska. A, 2008).

d. Kondisi Sosial Ekonomi Orang Tua

15

Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang

dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan social

ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang sesuai dengan

perkembangan anak. Untuk anak yang hidup dalam kemiskinan, watak

yang terbentuk akan lebih keras karena faktor lain dalam lingkungan

sosial anak di samping orang tua telah di temukan memiliki dampak

pada perkembangan anak (Bornstein. L & Bornstein. MH, 2007).

Suatu penelitian tahun 2010 menunjukkan ada pola pengasuhan

yang berbeda antara orang tua berdasarkan status ekonominya. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa orang tua yang telah mendapatkan

penghasilan lebih dari 40.000 baht/bulanan memiliki skor yang lebih

tinggi untuk pola asuh permisif dari orang tua berpenghasilan rendah

(Orratai, et al, 2010).

e. Kondisi Psikologis Orang Tua

Psikologis orang tua juga mempengaruhi cara orang tua dalam

mengasuh anak, orang tua yang rentan terhadap emosi negatif, baik itu

depresi, lekas marah, cenderung berperilaku kurang peka dan lebih

keras dari orang tua lainnya. Karakteristik kepribadian orang tua juga

berperan dalam mempengaruhi emosi yang mereka alami, kognitif dan

atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian anak (Belsky.

J, 2008).

f. Pengasuh Pendamping

16

Orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan memiliki

lebih banyak waktu di luar rumah, seringkali mempercayakan

pengasuhan anak kepada nenek, tante atau keluarga dekat lain. Bila

tidak ada keluarga tersebut maka biasanya anak dipercayakan pada

pembantu (babysitter). Dalam tipe keluarga seperti ini, anak

memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga pembentukan

kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh orang tua

(Liegm. RMK, 2007).

g. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti beberapa cara yang dilakukan

oleh masyarakat dalam mengasuh anak, karena pola tersebut dianggap

berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua

mengaharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan

baik. Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam

mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan

pola asuh pada anaknya (Anonim, 2008).

2.1.4 Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh Orang Tua

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ini dapat mengakibatkan anak menjadi

penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif,

mudah curiga pada orang lain dan mudah stress. Selain itu, orang tua

seperti ini juga akan membuat anak tidak percaya diri, pendiam,

tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,

kepribadian lemah dan seringkali menarik diri dari lingkungan

17

sosialnya, bersikap menunggu dan tak dapat merencakan sesuatu

dengan baik (Nixon. E & Halpenny. AM, 2010; Onder & Gulayb,

2009).

b. Pola Asuh Demokratif

Literatur yang ada telah mendokumentasikan bahwa pola asuh

demokratif secara signifikan terkait dengan hasil perkembangan yang

positif antara anak. Baumrind dari hasil penelitiannya menemukan

bahwa teknik asuhan orang tua yang demokratif akan menumbuhkan

keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan mandiri

membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku

mandiri yang bertanggung jawab (Sopiah, 2014).

Pola asuh demokratif ini juga dapat membuat anak mudah

berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu

menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal yang baru,

kooperatif dengan orang dewasa, penurut, patuh, dan berorientasi pada

prestasi (Wendy. KL, 2008; Onder. A, & Gulayb. H, 2009).

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif ini dapat mengakibatkan anak agresif, tidak

patuh pada orang tua, merasa berkuasa dan kurang mampu mengontrol

diri. Karakter anak dengan pola asuh orang tua demikian menjadikan

anak impulsif, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang

percaya diri dan kurang matang secara sosial(Wendy. KL, 2008;

Onder. A, & Gulayb. H, 2009).

18

Dalam referensi lain disebutkan bahwa anak yang diasuh orang

tuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang

menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri,

nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri

buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain dan agresif

(Onder. A, & Gulayb. H, 2009).

2.2 Konsep Kecerdasan Majemuk

2.2.1 Pengertian Kecerdasan Majemuk

Kecerdasan majemuk didefinisikan sebagai kemampuan untuk

memecahkan masalah dan memiliki nilai lebih dalam sebuah kultur

masyarakat. Kecerdasan adalah potensi biopsikologikal untuk mengolah

informasi sehingga dapat memecahkan masalah, menciptakan hasil baru

yang menambah nilai-nilai budaya setempat (Suarca. K, Soetjiningsih. IGA,

& Endah. A, 2005).

Kecerdasan majemuk adalah suatu kemampuan, dengan proses

kelengkapannya yang sanggup menangani kandungan masalah yang spesifik

di dunia seperti bunyi musik, atau pola spasial (Armstrong. T, 2005).

Kecerdasan majemuk adalah kemampuan seseorang untuk

menemukan dan menyelesaikan masalah atau menciptakan produk-produk

yang berguna bagi masyarakat (Sutawi. TP, 2009).

2.2.2 Macam-Macam Kecerdasan Majemuk

Menurut Howard Gardner seorang pencetus teori Multiple

intelligences, terdapat delapan jenis kecerdasan manusia yaitu:

19

a. Kecerdasan Matematika dan Logika

Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam

berfikir secara induktif dan deduktif, berfikir menurut aturan logika,

memahami dan menganalisis pola angka, serta memecahkan masalah

dengan menggunakan kemampuan berfikir (Uno. HB & Kuadrat. M,

2009).

Kemampuan ini bisa diasah lewat permainan yang menggunakan

angka-angka, misalnya bermain. Untuk merangsang serta

mengoptimalkan kecerdasan logis-matematis, anda harus

mengondisikan otak anak agar siap menerima materi dengan situasi dan

cara pembelajaran yang menyenangkan (Uno. HB & Kuadrat. M,

2009).

b. Kecerdasan Bahasa

Kecerdasan bahasa memuat kemampuan seseorang untuk

menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan,

dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-

gagasannya. Kecerdasan bahasa biasanya tampak dalam beberapa

aspek, seperti retorika, yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk

meyakinkan orang lain; mnemonik, yaitu kemampuan untuk membantu

orang lain mengingat berbagai macam informasi; penjelasan, yaitu

kemampuan untuk menjelaskan; dan metalinguistik, yaitu kemampuan

menggunakan bahasa untuk membuat refleksi atas bahasa itu sendiri

(Surya. S, 2007).

20

Ada beberapa cara untuk meningkatkan kemampuan berbahasa

pada anak. Selain mengajak bicara, membaca cerita, dan menyanyi,

anda dapat juga memasukkannya kedalam aktivitas drama yang kerap

digelar oleh sanggar kesenian anak (Surya. S, 2007).

c. Kecerdasan Visual Spasial

Kecerdasan visual-spasial memuat kemampuan seseorang untuk

memahami secara lebih mendalam dalam hubungan antara objek dan

ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya untuk

menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk

menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang

dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitektur suatu bangunan.

Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian

memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini

adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual-spasial. Peserta

didik yang demikian akan unggul, misalnya dalam permainan mencari

jejak pada suatu kegiatan kepramukaan (Widayati. S, & Widjiati. U,

2008).

Kemampuan meningkatkan kecerdasan spasial bisa dilakukan

sedini mungkin dengan belajar mengamati benda-benda dalam berbagai

bentuk, menemukan cara untuk keluar dari suatu ruangan hanya dengan

membayangkannya, menggambarkan apa yang dibayangkan, menikmati

gambar-gambar abstrak, belajar dengan menggunakan diagram,

menyusun atau menggabungkan bentuk bangun tertentu dan

21

menghasilkan bentuk bangun yang baru (Widayati. S, & Widjiati. U,

2008).

d. Kecerdasan Musikal

Kecerdasan musikal memuat kemampuan seseorang peka terhadap

suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal

ini adalah nada dan irama. Peserta didik jenis ini cenderung senang

sekali mendengarkan nada dan irama yang indah, entah melalui

senandung yang dilagukan sendiri, mendengarkan tape recorder, radio,

pertunjukan orkestra, atau alat musik yang dimainkannya sendiri.

Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dengan mengekspresikan

beberapa gagasan apabila dikaitkan dengan musik (Widayati. S, &

Widjiati. U, 2008).

Kecerdasan musik pada anak pun dapat dirangsang sejak dini.

Anak-anak diajarkan melalui irama dan melodi. Semua bisa dipelajari

dengan mudah, bila hal itu dinyanyikan atau diberi aba-aba dengan

ketukan menurut irama. Anak diperkenalkan dengan lagu dan ritme.

Pengenalan lagu-lagu harus dilakukan secara bertahap dan sesuai usia

(Widayati. S, & Widjiati. U, 2008).

e. Kecerdasan Kinestetik

Kecerdasan kinestetik memuat kemampuan sesorang untuk secara

aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk

berkomunikasi dan memecahan berbagai masalah. Hal ini dapat

dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang

olahraga, seperti bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, dan

22

sebagainya, atau bisa pula tampil pada peserta didik yang pandai

menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap

(Surya. S, 2007).

Pengoptimalan kecerdasan kinestetik dapat dilakukan dengan

berbagai permaianan yang berorientasi pada kegiatan bergerak secara

fisik. Contoh permainan ini yaitu,n menari, bermain peran, melompat,

menari, main dorong-dorongan, dan permainan bola (Surya. S, 2007).

f. Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan intrapersonal menunjukkan kemampuan seseorang

untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk

memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah

bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan

semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, yang selain

kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga

mencangkup kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi,

menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta

didik yang lain, dan sebagainya (Uno. HB & Kuadrat. M, 2009).

Untuk mengoptimalkan kecerdasan ini anda dapat memberikan

permainan-permainan yang bisa memunculkan berbagai perasaan.

Misalnya menunjukkan perasaan sedih, gembira, kesal, kecewa,

bahagia dan sebagainya. Sebelumnya anda harus menunjukkan dulu

berbagai perasan emosi tersebut, jelaskanlah situasi yang

menimbulkannya, lalu anak akan memainkan peran sedang sedih, kesal,

dan lain-lain (Uno. HB & Kuadrat. M, 2009).

23

g. Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang

untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu

untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada

dirinya sendri. Peserta didik semacam ini senang melakukan intropeksi

diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian

mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung

menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan

dirinya sendiri (Surya. S, 2007).

Permainan yang dapat merangsang perkembangan kecerdasan

interpersonal yaitu, misalnya bermain peran, bermain telepon, dll.

dorong anak untuk melakukan aktifitas belajar kelompok (Surya. S,

2007).

h. Kecerdasan naturalis

Kecerdasan naturalis ialah kemampuan seseorang untuk peka

terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam

yang terbuka, seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta

didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi

lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis lapisan tanah,

aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya

(Uno. HB & Kuadrat. M, 2009).

Belajar dengan cara naturalis dapat dilakukan di perumahan yang

aman, nyaman, asri, dekat dengan danau, dan bebas polusi, karena tidak

dilewati kendaraan umum (Uno. HB & Kuadrat. M, 2009).

24

2.2.3 Faktor yang Dapat Mempengaruhi Kecerdasan Anak

Menurut Setiawati (2008), faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan

majemuk anak, yaitu: intervensi keluarga, interversi lingkungan (sekolah),

kesehatan (fisik maupun mental).

a. Lingkungan keluarga

Perhatian orang tua terhadap kemampuan anak sangat berpengaruh

positif pada kecerdasan majemuk anak, sedangkan ketidak percayaan

orang tua terhadap kemampuan anak akan berpengaruh negatif

terhadap kecerdasan majemuk anak. Faktor lingkungan keluarga

memiliki sumbangan terhadap perkembangan tingkah laku anak.

Dalam mengasuh anak orang tua cenderung menggunakan pola asuh

tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan

dalam mewarnai perkembangan terhadap kecerdasan majemuk pada

anak. Sehingga penggunaan pola asuh yang sesuai dapat

mengembangkan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh anak.

b. Lingkungan sekolah

Program yang dibuat oleh sekolah yaitu program yang mendorong anak

menyukai belajar dan melaksanakan tugas sekolah bukan sekedar

suka pergi ke sekolah sehingga anak dapat mengembangkan kecerdasan

anak.

c. Kesehatan

Kesehatan adalah suatu bahan yang perlu didapatkan supaya

pertumbuhan baik dan sempurna. Pemenuhan kesehatan yang cukup

25

baik untuk fisik maupun mental berpengaruh terhadap kecerdasan

majemuk anak.

1. Kesehatan fisik

Kesehatan fisik sangat berguna bagi pertumbuhan anak, seperti zat

makanan yang mengandung karbohidrat, lemak, protein, dan vitamin

untuk mengatur metabolisme tubuh.

2. Kesehatan mental

Kesehatan mental harus disesuaikan dengan usia dan kondisi anak.

2.2.4 Penghambat Perkembangan Kecerdasan Anak

Ada beberapa faktor yang dapat menghambat perkembangan

kecerdasan anak. Secara garis besar dapat kita bagi kedalam 3 golongan

penyebab, yaitu :

a. Penyebab organ biologis

Kekurangan pada organ biologis bisa menhambat perkembangan

kecerdasan anak, yang dimaksud dengan penyebab organ biologis

adalah setiap kerusakan yang terjadi pada sel otak, yang bisa disebabkan

oleh penyakit, tumor otak, kecelakaan, ataupun kekurangan gizi

(Anonim, 2012).

Di Indonesia penyebab organ biologis merupakan faktor penting,

karena faktor infeksi dan kekurangan gizi masih banyak terjadi pada

para ibu hamil, bayi, dan balita. Infeksi mudah menyerang tubuh yang

lemah, misalnya karena kekurangan gizi (Trisnawati. E, 2013).

Pengobatan yang tidak tepat dan cepat bisa mengakibatkan

menjalarnya kuman ke otak dan mengakibatkan peradangan otak atau

26

selaput otak. Sel otak menjadi rusak akibat peradangan, sehingga tak

dapat berfungsi lagi. Makin berat kerusakan sel tersebut, makin berat

pula gangguan fungsi otak yang terjadi (Anonim, 2012).

b. Penyebab lingkungan sosial

Selain sebagai pendorong kecerdasan anak, lingkungan sosial juga

bisa menjadi penghambat perkembangan kecerdasan anak. Yang

dimaksud dengan penyebab lingkungan sosial adalah hambatan yang

disebabkan oleh lingkungan dimana si anak tinggal, seperti misalnya

kekurangan rangsangan mental pada bayi dan anak. Biasanya, hal ini

disebabkan oleh ketidaktahuan orang tua dan juga oleh faktor

kemiskinan (Anonim, 2012).

Bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, semua sumberdaya dan

keuangan orang tua telah habis untuk mencukupi sandang dan pangan.

Sehingga, orang tua tidak mempunyai perhatian yang cukup untuk

mendidik anak-anaknya. Kebanyakan anak-anak itu dibiarkan tumbuh

sendiri dan meniru apa yang mereka lihat di lingkungannya (Anonim,

2012).

c. Penyebab yang misterius

Penghambat kecerdasan anak lainnya adalah penyebab yang misterius.

Dalam dunia kedokteran banyak sekali hal yang masih misterius dan

belum bisa dijelaskan secara ilmiah, termasuk dalam hal kecerdasan

anak. Misalnya anak-anak yang menderita keterbelakangan mental, yang

disebut golongan mongoloid. Disebut mongoloid oleh karena mereka

mempunyai penampilan yang sama, yaitu bentuk tubuhnya pendek

27

gemuk, jari tangannya pendek, matanya sipit dan ujungnya miring ke

atas, hidungnya pesek, mulutnya kecil dengan ujung ke bawah. Selain

itu mereka juga menderita keterbelakangan mental (Anonim, 2012).

Anak-anak golongan mongoloid itu menderita kelainan kromosom,

yang sampai sekarang dunia kedokteran belum bisa menjelaskan

mengapa kelainan itu sampai terjadi (Anonim, 2012).

Akhirnya, kecerdasan anak harus kita sikapi dan pahami dengan

bijak. Setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing yang berbeda

satu dengan yang lain. Bila anak kita tidak menonjol dalam satu hal,

boleh jadi ia memiliki bakat lain yang belum kita ketahui. Kita tidak

pernah tahu kelak ia akan menjadi ekonom, musisi, fisikawan atau atlet

dan lain-lain. Adalah tugas orang tua untuk mendidik dan

membimbingnya, sehingga anak tersebut “menemukan” kecerdasan dan

bakat terbaiknya (Anonim, 2012).

2.3 Hubungan Antara Pola Asuh dengan Kecerdasan Anak

Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Gardner dan rekan-rekannya

di Harvard University, menunjukkan bahwa setiap anak mempunyai banyak

cara yang berbeda untuk menjadi pandai. Bisa melalui kata-kata, angka,

gambar, musik, ekspresi fisik, pengalaman dengan alam, interaksi sosial, dan

pemahaman terhadap diri sendiri. Kecerdasan majemuk adalah sebuah

penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan

kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu

(Armstrong. T, 2005).

28

Menurut Tientje dan Iskandar, salah satu faktor yang mempengaruhi

kecerdasan majemuk adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit

sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak.

Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-

nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya

merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi

dan anggota masyarakat yang sehat (Setiawati. R, 2008).

Anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal jika orang tua

memahami bagaimana harus bersikap dan menentukan tipe pola asuh yang

sesuai dengan perkembangan anaknya. Pola asuh yang tepat akan

memberikan ruang gerak bagi perkembangan anak secara umum yang

meliputi perkembangan intelektualnya, perkembangan emosinya,

perkembangan kreatifitasnya, perkembangan religiusnya dan perkembangan

sosialnya. Pola asuh menggambarkan kemampuan orang tua menyediakan

waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan

berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial (Syahreni.

E, 2011).

Gunarsa (2005), menyatakan bahwa orang tua memiliki tanggung

jawab dalam memenuhi kebutuhan anak, baik dalam organis-psikologis,

antara lain pemberian makanan, kebutuhan akan perkembangan intelektual,

perawatan, dan asuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gerber dan

Ware (dalam Djamarah, 2008), menyebutkan bahwa semakin tinggi kualitas

lingkungan rumah, cenderung semakin tinggi juga kecerdasan anak.

29

Hurlock menyatakan bahwa ada 10 sumbangan yang dapat diberikan

oleh keluarga (orang tua) kepada anak, yaitu: 1) perasaan aman, 2)

pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis, 3) sumber kasih sayang dan

penerimaan, 4) model perilaku yang disetujui guna belajar menjadi sosial, 5)

bimbingan dalam pengembangan pola perilaku yang disetujui secara sosial, 6)

bantuan dalam pemecahan masalah anak, 7) bimbingan dan bantuan dalam

mempelajari kecakapan motorik, verbal, dan sosial yang diperlukan untuk

penyesuaian, 8) perangsang kemampuan untuk mencapai keberhasilan di

sekolah dan kehidupan sosial, 9) bantuan dalam menetapkan aspirasi yang

sesuai minat dan kemampuan, dan 10) sumber persahabatan sampai mereka

cukup besar untuk mendapatkan teman di luar rumah (Djamarah, 2008).

Menurut Armstrong salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan

majemuk ialah sejarah hidup pribadi, termasuk di dalamnya adalah

pengalaman-pengalaman (bersosialisasi dan hidup) dengan orang tua, guru,

teman sebaya, atau orang lain, baik yang membangkitkan kecerdasan maupun

yang menghambat perkembangan kecerdasan (Musfiroh. T, 2008).

Menurut Kohn pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi

dengan anak yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman, pemberian

perhatian, serta tanggapan orang tua terhadap setiap perilaku anak (Muallifah,

2009).

Penelitian yang dilakukan Yunanda, FP (2012) menyatakan bahwa

pola asuh orang tua mempengaruhi tingkat kemandirian personal hygiene

anak, orang tua menerapkan pola asuh demokratif memiliki anak yang

mandiri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati, E (2013)

30

menyatakan bahwa pola asuh dapat mempengaruhi perkembangan personal

sosial anak usia pra sekolah yaitu, pola asuh demokratif menghasilkan

perkembangan personal sosial anak yang baik. Sedangkan pada penelitian

yang dilakukan oleh Sopiah (2014) menjelaskan bahwa pola asuh pengganti

ibu berpengaruh pada perkembangan psikososial anak usia pra sekolah yang

menjelaskan bahwa pola asuh demokratif akan menghasilkan psikososial anak

yang baik. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Hoang, TN

(2008) yang menyatakan bahwa pola asuh berpengaruh terhadap motivasi

remaja.