bab 2 - bagelen masa diponegoro.pdf

14
25 BAB II KEADAAN BAGELEN PADA MASA PERANG DIPONEGORO A. Sekilas Keadaan Geografis Bagelen Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Purworejo merupakan nama baru sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan Bagelen terdiri atas Kabupaten Brengkelan (Purworejo), Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Karangduwur (Kemiri), dan Kabupaten Ngaran ( masuk wilayah Kebumen). Kabupaten Purworejo sekarang meliputi wilayah yang termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen dahulu, yaitu gabungan antara wilayah Brengkelan, Semawung, dan Karangduwur. Kedudukan Bagelen sebagai sebuah karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan dimasukkan ke dalam wilayah Karesidenan Kedu. Sementara nama Bagelen sekarang hanya dipergunakan sebagai nama sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo. 1 Karesidenan Bagelen terletak diantara 109º 21’-110º 11’ Bujur Timur dan di 7º-7º 57’ Lintang Selatan. Karesidenan Bagelen sebelah utara berbatasan dengan Karesidenan Pekalongan, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Banyumas dan Tegal, dan sebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Kedu dan Yogyakarta. Dengan luas wilayah 3831 km 2 dan jumlah penduduk 238.764 jiwa, Bagelen pada tahun 1830 termasuk kedalam wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya sedang. Bagelen memiliki dataran tinggi yang terbentuk dari deretan pegunungan Kendeng yang 1 M. Imansyah Hadad, Wisata Ziarah Kabupaten Purworejo. Purworejo: Pemerintah Kabupaten Purworejo, 2006, hlm. 20.

Upload: rahmiand

Post on 06-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • 25

    BAB II KEADAAN BAGELEN PADA MASA PERANG DIPONEGORO

    A. Sekilas Keadaan Geografis Bagelen

    Bagelen merupakan sebuah wilayah di pesisir selatan Jawa Tengah yang

    sekarang lebih dikenal sebagai Purworejo. Purworejo merupakan nama baru

    sebagai pengganti nama Brengkelan, ibukota Karesidenan Bagelen. Karesidenan

    Bagelen terdiri atas Kabupaten Brengkelan (Purworejo), Kabupaten Semawung

    (Kutoarjo), Kabupaten Karangduwur (Kemiri), dan Kabupaten Ngaran ( masuk

    wilayah Kebumen). Kabupaten Purworejo sekarang meliputi wilayah yang

    termasuk ke dalam Karesidenan Bagelen dahulu, yaitu gabungan antara wilayah

    Brengkelan, Semawung, dan Karangduwur. Kedudukan Bagelen sebagai sebuah

    karesidenan kemudian dihapus pada 1 Agustus 1901 dan dimasukkan ke dalam

    wilayah Karesidenan Kedu. Sementara nama Bagelen sekarang hanya

    dipergunakan sebagai nama sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo.1

    Karesidenan Bagelen terletak diantara 109 21-110 11 Bujur Timur dan

    di 7-7 57 Lintang Selatan. Karesidenan Bagelen sebelah utara berbatasan

    dengan Karesidenan Pekalongan, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera

    Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Banyumas dan Tegal, dan

    sebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Kedu dan Yogyakarta. Dengan luas

    wilayah 3831 km2 dan jumlah penduduk 238.764 jiwa, Bagelen pada tahun 1830

    termasuk kedalam wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya sedang. Bagelen

    memiliki dataran tinggi yang terbentuk dari deretan pegunungan Kendeng yang

    1 M. Imansyah Hadad, Wisata Ziarah Kabupaten Purworejo. Purworejo:

    Pemerintah Kabupaten Purworejo, 2006, hlm. 20.

  • 26

    memanjang dari timur ke barat pada perbatasan utara Karesidenan Bagelen.

    Sementara dataran rendah terdiri atas rawa-rawa dan deretan desa di sepanjang

    pantai. Deretan desa yang bermula dari Desa Kadilangu di tepi Sungai Bogowonto

    memanjang ke barat sampai tepi Sungai Cincingguling di Perbukitan

    Karangbolong dikenal dengan nama Urut Sewu.2

    Letak Bagelen yang merupakan pintu gerbang sebelum memasuki wilayah

    Kasultanan Yogyakarta dari arah barat menjadikan wilayah ini sangat strategis.

    Posisi ini begitu menguntungkan jika dilihat dari arus lalu lintas perdagangan dan

    ekonomi. Daerah pegunungan di sebelah utara serta dataran rendah di sebelah

    selatan menjadikan Bagelen sebagai daerah agraris. Produksi pertanian masih

    menjadi komoditas utama. Apalagi didukung dengan adanya 4 sungai besar yang

    mengalir di Bagelen, yaitu Sungai Bedono, Sungai Jali, Sungai Lebang dan yang

    paling terkenal Sungai Bogowonto. Pasca perang Diponegoro, Bagelen telah

    berubah menjadi sebuah kota yang terlahir kembali. Kotanya dibentuk lengkap

    dengan sistem sanitasi dan fasilitas transportasi sebagai sebuah unit pemukiman

    yang disesuaikan dengan sistem pertahanan maupun kepentingan ekonomi. Sistem

    tata kota yang demikian ini kemudian menjadi sebuah tatanan baru dalam

    pengembangan kota-kota di Indonesia pada masa kolonial. Semua itu dilakukan

    sebagai upaya antisipasi serta bentuk penjagaan terhadap kekuasaan Kasultanan

    Yogyakarta.

    2 P.M. Laksono, Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan

    Pedesaan: Alih-Ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985, hlm. 64.

  • 27

    B. Aspek Historis Bagelen

    1. Bagelen pra Perjanjian Giyanti.

    Daerah Bagelen sejak zaman kekuasaan Mataram Hindu telah dikenal

    sebagai daerah yang dinamis dan banyak terlibat dalam percaturan sejarah. Di

    daerah yang menjadi penghasil bahan makanan yang melimpah ini, telah ada

    kehidupan manusia yang teratur dan dilandasi nilai spiritual tinggi. Sebagai

    contoh, ditemukan peninggalan megalitik di Desa Mudalrejo, Kecamatan

    Loano, penemuan calon beliung, batuan tegak dan berbentuk phallus di Desa

    Donorati serta penemuan kapak perunggu di tepi Sungai Jebol Desa Tridadi

    Kecamatan Loano.3

    Penemuan peninggalan sejarah berupa prasasti dari masa Mataram

    Hindu juga menjadi sebuah bukti kebesaran Bagelen. Bagelen digambarkan

    oleh W.J. Van Der Meulen SJ sebagai nama lain dari Holing4. Holing

    merupakan perubahan nama dari Halin, singkatan dari Bhagahalin, sebuah

    kerajaan yang berlokasi di lembah Sungai Bogowonto. Sementara, sekitar

    tahun 600 Masehi, Ratu Sanjaya mendirikan sebuah kerajaan di Bagelen,

    dengan wilayah berbentuk segitiga yang berpusat di Ledok, pojok paling utara

    3 Radix Penadi, Menemukan Kembali Jati Diri Bagelen dalam Rangka

    Mencari Hari Jadi. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Budaya, 1993, hlm. 3.

    4 Holing atau Ho Ling, dalam kitab sejarah Dinasti Tang kuno (618-906)

    merupakan sebuah kerajaan di Jawa, sebuah pulau di Laut Selatan. Kotanya dikelilingi pagar kayu, rajanya berdiam di istana bertingkat, beratap daun palma. Penduduknya pandai menulis dan mengenal ilmu falak. Pada tahun 604 Masehi kerajaan Holing mengirimkan utusan ke negeri Cina, berlanjut pada tahun 666 Masehi. Lihat Radix Penadi, Kerajaan Bagelen Didirikan Oleh Sanjaya, Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 1993. hlm. 10.

  • 28

    dari Bagelen. Wilayahnya meliputi Pantai Selatan, dengan puncak Gunung

    Prahu ( Dieng) dan Bogowonto sebagai sungai utama.5

    Nama Bagelen sendiri pada masa Kerajaan Mataram Islam lebih

    terkenal lagi. Keruntuhan Demak dan berpindahnya pusat kekuasaan ke

    Pajang, tidak menjadikan kesetiaan Bagelen menipis. Peranan para jawara atau

    Kenthol Bagelen dalam peperangan sangat besar. Dimulai pada masa

    pemerintahan Panembahan Senopati, keikutsertaan para Kenthol Bagelen di

    setiap operasi militer Mataram semakin sering. Pada masa pemerintahan

    Sultan Agung, dalam memadamkan pemberontakan Dipati Ukur, pasukan

    Bagelen turut berpartisipasi. Disebutkan, pasukan dari daerah pesisir berbaris

    di sebelah utara, orang Banyumas di sebelah barat, dan orang Bagelen di

    sebelah selatan.6

    Pola pembagian kewilayahan Mataram Islam yang menempatkan raja

    secara berurutan dikelilingi oleh keraton, Negara, Negaraagung dan

    Mancanegara. Keraton bersama Negara adalah pusat kerajaan yang berfungsi

    sebagai ibukota seluruh negeri. Bagelen pada masa pemerintahan Sultan

    Agung termasuk ke dalam wilayah Negaraagung (Negara gedhe) yang masih

    ada di sekitar Kutagara. Negaraagung sendiri merupakan suatu wilayah di luar

    Negara yang berisi tanah mahosan dalem atau tanah yang diperuntukkan bagi

    pemasukan pajak ke kas keraton dan tanah jabatan para bangsawan keraton

    5 W.J. Van Der Meulen, Indonesia Diambang Sejarah. Yogyakarta:

    Kanisius, 1988, hlm. 67. 6 Radix Penadi, op.cit., hlm. 26.

  • 29

    serta pejabat kerajaan yang tinggal di dalam Negara. Wilayah Negaraagung

    sendiri dibagi menjadi delapan bagian7, yaitu sebagai berikut :

    a. Daerah Bumi ( Kedu sebelah barat Sungai Praga) meliputi 6.000 cacah.

    b. Bumi Jo (Kedu sebelah timur Sungai Progo) meliputi 6.000 cacah.

    c. Siti Ageng Kiwo (sisi sebelah kiri jalan besar Pajang Demak) meliputi

    10.000 cacah.

    d. Siti Ageng Tengen (sisi sebelah kanan jalan besar Pajang Demak) meliputi

    10.000 cacah.

    e. Sewu (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai Sungai Donan,

    Cilacap) meliputi 6.000 cacah.

    f. Numbak Anyar (daerah Bagelen antara Sungai Bogowonto sampai sungai

    Progo) meliputi 6.000 cacah.

    g. Panumping (daerah Sukowati) meliputi 10.000 cacah.

    h. Panekar ( daerah Pajang) meliputi 10.000 cacah.

    Tahun 1655, pada masa pemerintahan Sultan Amangkurat I, Sultan

    mengangkat empat orang wedana pesisir. Bersamaaan dengan itu, Sultan juga

    mengangkat empat wedana jaba atau wedana luar atas Negaraagung, yaitu

    Surakarta, Yogyakarta, Kedu, dan Bagelen. Selain itu, dalam perang antara

    Mataram dan Banten, dalam rombongan ekspedisi militer ke Karawang,

    terdapat armada kapal yang tiga diantaranya diisi prajurit Bagelen. Masing-

    7 Terdapat dalam naskah no.1 dalam arsip sebelum Perjanjian Giyanti

    tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi, dan nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 1.

  • 30

    masing dipimpin oleh Kenthol Abadsara (Ampatsara), Kenthol Pusparaga, dan

    Wangsamarta. 8

    Tanggal 28 Juni 1677, Keraton Plered jatuh ke tangan pemberontakan

    Trunojoyo dan memaksa Sultan Amangkurat I keluar dari keraton. Hari Senin,

    29 Juni 1677, rombongan kerajaan sampai di Jagabaya yang termasuk wilayah

    Bagelen dan bertemu dengan pasukan pemberontak. Beruntung, datang bala

    bantuan dari Kyai Baidowi bersama rakyat Bagelen. Sultan berhasil selamat

    dan mengeluarkan sebuah pantangan bagi anak keturunannya, agar tidak

    menyeberangi Sungai Bogowonto membawa pasukan. Atas bantuan dari Kyai

    Baidowi dan rakyat Bagelen, Sultan bersama permaisuri membangun sebuah

    masjid yang dikenal sebagai Masjid Santren yang di dalamnya terdapat angka

    tahun 1679, dua tahun setelah peristiwa penyerangan.9

    2. Bagelen pasca Perjanjian Giyanti

    Ketidakberhasilan VOC atau Vereenidge Oost Indische Compagni

    sebagai penengah dalam berbagai masalah di Mataram menimbulkan banyak

    pemberontakan. Selain itu, upaya VOC juga menimbulkan kerugian bagi

    Mataram. Setiap bantuan yang diberikan, pasti berujung pada penyerahan satu

    wilayah yang bernilai ekonomis bagi Mataram. Misalnya, daerah Kedu,

    Semarang, Pacitan, dan Grobogan yang menjadi milik VOC sebagai imbalan

    atas campur tangannya. Apalagi sejak peristiwa pembantaian orang Tionghoa

    8 Radix Penadi, op.cit., hlm. 27-28. 9 Pembangunan Masjid Santren diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shuufi

    dan menandai perkembangan agama Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen. Disebut sebagai masjid tertua di wilayah Bagelen, sebuah sumber menyatakan masjid ini dibangun pada tahun 1618. Lihat M. Imansyah Hadad, op.cit., hlm. 45.

  • 31

    di Jakarta tahun 1740, membuat arus perlawanan meluas ke berbagai daerah,

    termasuk Mataram. Pangeran Mangkubumi yang sebenarnya berhasil

    memadamkan perlawanan Mas Said, justru dikhianati sehingga berbalik

    bersekutu dengan Mas Said untuk melawan Sunan Pakubuwana II. Memasuki

    tahun 1746, kekuatan Pangeran Mangkubumi bersama Mas Said semakin

    besar. Di Bagelen sendiri, perlawanan Mas Said mendapat dukungan yang

    luas.10

    Akhirnya, pada 12 Februari 1755 dicapai sebuah kesepakatan tentang

    pembagian wilayah antara Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi

    dengan perantaraan VOC. Peresmian perjanjian diadakan di desa Giyanti dan

    keesokan harinya Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta

    dengan gelar Hamengkubuwono. Masing-masing pihak mendapat wilayah

    seluas 53.100 cacah dan daerah Mancanegara dibagi dua, untuk Sunan seluas

    33.350 cacah, dan Sultan seluas 33.950 cacah. Kerajaan Mataram akhirnya

    terbagi juga menjadi dua dan keputusan ini dianggap yang paling tepat karena

    masih memungkinkan terjadinya penyatuan kembali.11

    Untuk wilayah Bagelen sendiri dibagi antara kekuasaan Kasultanan

    Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan batas yang tidak begitu jelas.

    Pembagian yang tumpang tindih serta ketidakjelasan dalam batas wilayah

    sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal. Misalnya, terjadi

    10 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.

    Jakarta: Gramedia, 1988, hlm. 229-230. 11 Ibid., hlm. 233.

  • 32

    perebutan tanah lungguh12 oleh para Gunung atau pembesar tanah yang

    ditugasi oleh keraton. Tirtonegoro, pimpinan para Gunung dari Kasunanan

    Surakarta yang berkedudukan di Cangkrep diganti dengan Ngabehi

    Resodiwiryo yang diangkat sebagai Lurah Gunung oleh Pangeran

    Kusumayuda atas nama Sunan.

    Sebagai wilayah Negaraagung pada masa Kerajaan Mataram,

    pembagian wilayah Bagelen pasca Perjanjian Giyanti juga hampir sama, yaitu

    sebagai berikut:

    a. Tanah Mahosan Dalem yaitu tanah lungguh milik raja. Untuk Kesultanan

    Yogyakarta meliputi Bapangan (Jenar), Semawung (Kutoarjo), Ngrawa,

    Watulembu, Lengis (Kedungkamal), Selomanik (Wonosobo), dan Semayu.

    Sedangkan untuk Kasunanan Surakarta meliputi Tanggung (Cangkrep),

    Wala (Ambal), Panjer (Kebumen), dan Tlaga.

    b. Tanah lungguh yaitu tanah gaduhan raja untuk para pangeran dan pejabat

    kerajaan. Untuk Kasultanan Yogyakarta meliputi Loano, Blimbing

    (Karanganyar), dan Rama Jatinegoro (Karanganyar). Sedangkan untuk

    Kasunanan Surakarta meliputi Merden dan Kutowinangun.

    12 Tanah lungguh adalah tanah gaduhan raja yang diberikan kepada

    pangeran dan pejabat kerajaan yang diatur dengan jumlah cacah (petani penggarap). Diatur dengan sistem pancasan yaitu satuan lungguh para pejabat tidak terlalu luas dan letaknya tersebar. Bertujuan agar pejabat didaerah hanya memiliki kekuatan terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk memberontak. Tanah lungguh digunakan sebagai pengganti gaji karena sistem ekonomi uang belum dikenal luas dan dilakuakan dengan memberikan hak memungut pajak tanah dan hasil bumi atas tanah tersebut. Lihat P.M. Laksono, op.cit., hlm. 76.

  • 33

    c. Daerah kerja Gladak yaitu daerah yang penduduknya dikenakan wajib

    kerja di istana atau hutan. Untuk Kasultanan Yogyakarta terletak di

    Selomerto dan untuk Kasunanan Surakarta terdapat di Gesikan (Kutoarjo).

    d. Tanah bagi para pemuka atau lembaga keagamaan dan penjaga makam

    yang menjaga makam keramat. Penentuannya bergantung pada kebijakan

    masing-masing penguasa lokal.13

    C. Aspek Sosio Kultural

    Bagelen sebagai salah satu pemukiman yang telah berkembang sejak abad

    VIII, telah lama dikenal sebagai daerah agraris. Dengan keadaan alam yang begitu

    menguntungkan, Bagelen memiliki kondisi ekologis yang sesuai untuk pertanian

    persawahan maupun pertanian tanah kering bagi penduduknya. Pertanian yang

    utama adalah tanaman padi yang menjadi makanan pokok. Meskipun masih

    diusahakan secara tradisional, teknologi pengairan sederhana telah dikenal dengan

    cara membendung sungai kecil untuk pengairan. Bagelen pada masa Kerajaan

    Mataram Islam terkenal sebagai lumbung beras serta penyedia logistik bagi

    keperluan prajurit perang.

    Menurut hukum yang berlaku pada masa kerajaan tradisional yang dianut

    oleh Kasultanan dan Kasunanan, hak milik atas tanah adalah sepenuhnya milik

    penguasa. Penduduk sebagai kawula kerajaan memiliki hak pakai bersama atas

    tanah kerajaan. Pengakuan terhadap kedudukan raja sebagai wakil Tuhan menjadi

    dasar atas kepemilikan tanah oleh raja. Hubungan raja dengan masyarakat

    13 Untuk pembagian tanah lungguh di Bagelen lebih jelas, lihat lampiran.

  • 34

    pedesaan terbatas pada penyerahan upeti atau penyerahan sebagian hasil bumi dan

    tenaga untuk kepentingan rumah tangga istana yang diwujudkan dalam hak untuk

    memungut pajak.14

    Dalam struktur kekuasaan masyarakat Jawa kuno15, sistem ekonomi dan

    sosial masyarakat sangat dipengaruhi struktur kekuasaan feodal. Belum

    dikenalnya sistem uang membuat pegawai dan keluarga raja mendapat tunjangan

    dalam bentuk tanah. Raja memberikan hak memungut pajak atau hasil dari tanah

    yang dipercayakan selama sementara waktu. Penerima tanah lungguh yang

    disebut Patuh merupakan priyayi atau sentana kebanyakan bertempat tinggal di

    ibukota dan tidak mengelola sendiri tanah mereka. Tanah lungguh kemudian

    dikelola oleh Sikep atau petani setempat. Para Sikep ini dipimpin oleh Bekel

    sebagai pemimpin yang berhubungan langsung dengan pemilik tanah. Bekel ini

    yang bertanggungjawab mengumpulkan hasil dari tanah lungguh dan menarik

    pajak bagi raja. Bekel juga bertanggungjawab sebagai kepala desa yang

    membawahi masalah keamanan, masalah pidana dan perdata dalam lingkup

    pedesaan.16

    Bagelen pra kolonial atau sebelum tahun 1830 terdapat tiga priyayi

    gunung dari Kasunanan dan satu priyayi gunung Kasultanan. Priyayi gunung

    14 Djoko Suryo, R.M. Soedarsono, & Djoko Soekiman, Gaya Hidup

    Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hlm. 15.

    15 Untuk pembagian sistem tanah jabatan di Jawa yang berdasar struktur

    kekuasaan masyarakat Jawa kuno dapat dilihat di lampiran.

    16 A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000, hlm. 52.

  • 35

    adalah pejabat yang diserahi tugas masalah keamanan dan hukum di wilayah

    lungguh. Kedudukan priyayi gunung hampir sama dengan bupati, perbedaannya

    priyayi gunung tidak berwenang mengurusi keuangan serta pajak daerah. Bagelen

    pada masa itu tidak mungkin dipandang sebagai masyarakat yang terintegrasi

    dalam satu pemerintahan yang mencakup keseluruhan wilayah. Hal ini

    dikarenakan adanya dua kekuasaan kerajaan yang menjangkau Bagelen, yaitu dari

    Kasultanan dan Kasunanan. Selain itu, wilayah kedua kerajaan tersebut saling

    tumpang tindih dan pendelegasian kekuasaan ke dua kerajaan tersebut ke Bagelen

    kepada lebih dari satu orang dan terpisah-pisah.17

    Pendapatan dari penguasa administratif pribumi bergantung pada

    penekanan yang dilakukan terhadap petani. Sebagai penguasa dari tanah lungguh

    yang tidak terlalu luas, kecenderungan untuk bersaing dihadapan raja dan

    penguasa sangat tinggi. Misal, wilayah Tanggung atau Ketanggung di Bagelen,

    pada awalnya dikuasai oleh Kasultanan Yogyakarta di bawah Tumenggung Gagak

    Pranolo III. Tetapi suatu ketika terjadi sebuah intrik dimana Tumenggung

    terbunuh dan digantikan oleh penguasa baru yang berasal dari Kasunanan

    Surakarta. Ini menjadi awal timbulnya persaingan antara penguasa lokal yang

    diangkat Kasunanan dan Kasultanan.18

    Kondisi Bagelen pasca Perjanjian Giyanti yang mengakibatkan tanah

    lungguh milik Kasultanan dan Kasunanan saling tumpang tindih membawa

    17 P.M. Laksono, op.cit., hlm.78. 18 Radix Penadi, Riwayat Kota Purworejo dan Perang Baratayudha di

    Tanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi dan Pengembangan Sosial, 2000, hlm. 40.

  • 36

    dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Batas yang tidak jelas membuat

    keamanan sulit dikendalikan. Misal, penjahat yang melakukan kejahatan di

    wilayah Kasultanan, dapat melarikan diri dengan mudah ke desa di wilayah

    Kasunanan karena Tamping (polisi desa) Kasultanan tidak dapat memasuki

    wilyah Kasunanan, begitu pula sebaliknya. Sentimen lama berpadu dengan

    persaingan kawula antar kerajaan menimbulkan banyak konflik baru.

    Berkembangnya birokrasi kerajaan berbanding lurus dengan pertambahan jumlah

    pegawai dan tanah lungguh yang harus disediakan. Banyaknya pegawai dan tanah

    lungguh dimanfaatkan untuk memungut pajak yang lebih tinggi. Bekel (pemungut

    pajak) dihadapkan pada tekanan untuk mendapatkan pungutan pajak yang besar

    dan seringkali berujung pada pergantian Bekel yang menimbulkan konflik di

    desa-desa. 19

    Berubahnya jenis pajak yang semula bersifat penyerahan menjadi

    pungutan dengan sejumlah uang, hasil bumi dan tenaga kerja tidak lepas dari

    pengaruh terbaginya Mataram menjadi dua di tahun 1755. Berkurangnya daerah

    pesisir milik Mataram harus diimbangi dengan pemanfaatan daerah-daerah

    pedalaman yang masih tersisa. Sistem penarikan pajak dilakukan dengan prinsip

    umum, yaitu sistem maron (paro = dibagi dua) dan sistem mertelu (para telu =

    dibagi tiga). Sistem maron berupa penarikan pajak sebanyak setengah dari hasil

    19 A.M. Djuliati Suroyo. op.cit., hlm. 47-48.

  • 37

    padi untuk tanah sawah. Sistem mertelu berupa pungutan pajak untuk tegal atau

    tanah kering yang lain sebanyak sepertiga dari hasil palawija.20

    Tindakan penarik pajak di Bagelen terkadang cenderung sewenang-

    wenang. Para Bekel seringkali memungut pajak dua puluh kali lipat dari yang

    seharusnya dan menuntut kerja bakti dari para petani untuk kepentingan sendiri.

    Di Bagelen diberlakukan tiga belas jenis pajak21 dan tarikan yang harus

    dibebankan kepada rakyat. Pajak yang dikenakan di daerah Bagelen secara garis

    besar dibagi menjadi dua macam, yaitu pajak tetap dan pajak insidental. Sistem

    pajak ini dilakukan dengan cara mengontrakkan tanah tungguh dari para pejabat

    dengan kepala desa atau siapa saja yang berani membayar dengan harga tertinggi,

    tetapi tidak tercatat data kuantitatif tentang besarnya pajak. Beratnya pajak di

    Bagelen mengingat Bagelen termasuk wilayah Negaraagung yang merupakan

    daerah pemungutan pajak langsung yang diperuntukkan untuk membayar gaji

    pejabat raja.22

    Daerah pertanian seperti Bagelen mendapat penekanan untuk

    meningkatkan hasil pertanian dan pungutan lain. Pertanian yang homogen serta

    belum tercapainya diferensiasi pertanian menjadi kendala. Selain itu, tanah dan

    tenaga kerja menjadi modal yang tidak tergantikan pada masyarakat agraris.

    20 Ukuran sawah adalah jung, 1 jung seluas 4 bahu, yang berarti dikerjakan

    oleh 4 rumah tangga petani wajib pajak. Sebenarnya 1 jung adalah 5 bahu tetapi 1 bahu menjadi hak para bekel sehingga bebas pajak. Ibid., hlm. 333.

    21 Antara lain pajak tanah, Takker turun, Kirjaji (Kirgaji), Pacumplang,

    Uang bekti, Pasumbang, Pajindralan, Peniti, Bijigar, Uborompo, Pakuning, Pa-iring, dan Pundutan. Dalam P.M. Laksono, op.cit., hlm. 79-80.

    22 Berdasar laporan residen Kedu Valck (1827-1830) dalam meneliti pajak

    pra kolonial di Bagelen. A.M. Djuliati Suroyo, op.cit., hlm. 334.

  • 38

    Kurangnya pengawasan terhadap sistem perpajakan yang diatur oleh keraton

    menambah beban masyarakat. Struktur kekuasaan feodal memberikan pengaruh

    tersendiri pada masyarakat Jawa yang agraris. Kehidupan sosio kultural

    masyarakat Bagelen pra kolonial sangat dipengaruhi oleh pola penggambaran

    hierarki wewenang dan distribusi kekuasaan administratif kerajaan. Semuanya

    bersinergi membentuk pola unik dalam ciri khas sosio kultural kemasyarakatan

    abad XIX di pedesaan Jawa.

    Pecahnya Perang Diponegoro berpengaruh terhadap kondisi sosio kultural

    masyarakat. Meskipun dukungan kepada Diponegoro sangat kuat di kalangan

    masyarakat bawah, tetapi pengaruh Kasultanan dan Kasunanan dalam masyarakat

    tidak berubah. Susunan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pangeran Diponegoro

    dengan mengangkat seorang bupati bernama Madyokusumo yang membawahi

    wilayah Bagelen. Kewenangan dari pejabat pilihan keraton hanyalah sebatas

    pegawai yang menarik pajak, sehingga kurang bisa mempengaruhi rakyat untuk

    berpihak pada pemerintah Belanda. Akibatnya terjadi perpecahan dalam

    masyarakat, dimana terdapat dua pemimpin administratif yang berbeda

    pandangan, satu memihak pemerintah Belanda dan keraton, sementara yang satu

    merupakan bentukan Pangeran Diponegoro.