bab 1 pendahuluan j. latar belakang masalah
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
J. Latar Belakang Masalah
Kebhinekaan merupakan sebuah kekayaan bagi bangsa Indonesia. Hal
tersebut menyangkut keberagaman agama, ras, bahasa maupun budaya.
Kesemuanya itu tercantum dalam lambang negara dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”, sebagaimana dituangkan secara konstitusional pada pasal 36A
UUD 1945, sebagai lambang negara.1 Semboyan ini mencerminkan dengan jelas
sifat majemuk bangsa Indonesia. Dalam keberagaman ini terdapat berbagai adat-
istiadat yang dipatuhi masyarakat suku yang tersebar di Nusantara.
Patutlah diakui selain merupakan kebanggaan, keberagaman ini pun
terkadang menimbulkan persoalan maupun kesulitan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adanya perbedaan agama, kesukuan
dan kebudayaan cenderung menimbulkan pengkotak-kotakkan dalam masyarakat.
Sehingga hal yang seharusnya menjadi kekayaan dan keindahan bangsa Indonesia
justru menjadi kendala bagi bangsa ini untuk hidup rukun dan damai.
Keberagaman agama, suku dan budaya dapat ditemui juga dalam
masyarakat Melonguane. Sejak ditetapkan menjadi Ibu kota Kabupaten
Kepulauan Talaud, banyak orang berimigrasi ke tempat ini. Mereka berasal dari
berbagai agama, suku dan kebudayaan lain, membentuk keragaman dan menyatu
dalam sebuah masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Soejono Soekanto bahwa
1 Pada Perubahan UUD 1945, maka judul Bab XV yang semula Bendera dan bahasa, diubah
menjadi Bendera, Bahasan dan lambing Negara Serta Lagu Kebangsaan. (Wahid Khundori, Undang-undang Dasar ’45 Republik Indonesia beserta Amandemennya, (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009, 32)
masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya
hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan
kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari
pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar
kelompok sosial.2 Sebagai wadah interaksi sosial, masyarakat diikat oleh sebuah
peraturan adat.
Terdapat sebuah naskah hukum adat yang unik di Melonguane, yakni
berupa sebuah kesepakatan adat larangan bekerja pada hari Minggu.3 Larangan ini
meliputi: program kegiatan usaha pertanian, perikanan, perdagangan dan program
kegiatan pembangunan lainnya, kecuali ibadah, penanganan bencana alam dan
bencana sosial.4
Secara historis larangan ini dipengaruhi oleh agama Kristen khususnya
Firman yang ke empat dari sepuluh Firman tersebut antara lain berbunyi sebagai
berikut:
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan
bekerja dan melakukan segala pekerjaannmu, tetapi hari ke-tujuh adalah
hari Sabat Tuhan, Allahmu: maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan,
engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu
laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang
ditempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit
dan bumi, laut dan segala isisnya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh;
itulah sebabnya Tuhan memberkati hari sabat dan menguduskannya” (Kel.
20: 8-11).
2 Soejono Soekanto, Hukum Adat INDONESIA, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 91
3 Lihat naskah Kesepakatan Rapat Lembaga Adat Melonguane dengan Unsur Pemerintah
Daerah, Kakandep Agama, Dewan Adat dan GERMITA serta Tokoh Masyarakat/Tokoh Adat di Melonguane tertanggal 27 April 2007 terlampir.
4 Ibid.
Ketika terjadi pelanggaran norma hukum agama dalam situasi
kepercayaan Yahudi ini maka oleh sementara penduduk Melonguane diyakini
telah melanggar hukum Tuhan, atau berdosa terhadap Tuhan.
Orang Melonguane memaknai hari sabat sebagai hari Minggu meskipun
Sabat itu sendiri bukanlah hari Minggu.5 Umat Kristen sejak abad pertama
merayakan Sabat pada hari Minggu (hari pertama) sesuai kalender Masehi untuk
memperingati hari kebangkitan Kristus. Dalam perkembangannya hari Minggu
diberi pengertian sabat oleh orang melonguane karena didalamnya terdapat
ketentuan larangan untuk berhenti bekerja pada hari Minggu.
Dengan demikian hari Minggu sebagai hari sabat telah menjadi bagian
dari masyarakat Melonguane karena disakralkan oleh masyarakat tersebut. Jika
dikaitkan dengan kerangka pemikiran Durkheim, hari Minggu disebut sakral
karena hari tersebut dibedakan dari hari lainnya sehingga dipagari dengan
larangan-larangan. Larangan tersebut karena dilakukan terus menerus menjadi
sebuah kebiasaan dan dipertahankan secara turun temurun hingga kebiasaan ini
berkembang menjadi sebuah ketentuan adat.
Sebagaimana diketahui bahwa larangan bekerja pada hari Minggu berawal
dari ke-sepuluh Firman Allah yang disampaikan kepada Musa setelah orang Israel
keluar dari tanah Mesir, yang kemudian disublimasi lewat proses kononisasi
Alkitab ke dalam Kitab Perjanjian Lama (Keluaran 20:1-17).
5 Sabat (שבת shabbāṯ, "istirahat" atau "berhenti bekerja" dalam bahasa Ibrani, atau Shabbos dalam
ucapan Ashkenazi), adalah hari istirahat setiap Sabtu dalam Yudaisme merupakan hari untuk beristirahat atau
berhenti bekerja. (diakses dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sabat, Selasa, 6 Maret 2012, 07.43 WIB)
Umat Kristen menanggapi larangan ini dalam prespektif yang berbeda-
beda. Bagi sebagian orang kesepuluh firman itu dihayati secara kontekstualisasi ;
sedang sebagian lagi secara skripturalis. Orang Melonguane menafsirkannya
sebagaimana yang disebutkan terakhir. Maka yang menarik disini adalah bahwa
ketentuan menyangkut larangan tersebut diatas ternyata turut diperkuat oleh
Ketua Sinode Talaud (GERMITA), walau tata gereja tidak eksplisit mewajibkan
lal itu kepada segenap anggota gereja tersebut di seluruh kepulauan Talaud dalam
sebuah surat ketetapan adat. Hal itu sudah tentu terbuka untuk diteliti lebih lanjut
apa sebabnya. Demikian pun Sebagai masyarakat yang sudah kompleks dan
heterogen, adalah sebuah keunikan larangan yang berasal dari kekristenan tetap
dipertahankan hingga sekarang. Maka dari berbagai hal inilah membuat penulis
tertarik untuk melihatnya lebih jauh.
K. Pembatasan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana disebutkan maka
penulis membatasi rumusan masalah penelitian tersebut sebagai berikut:
bagaimana larangan bekerja pada hari Minggu bisa dilestarikan dalam lingkup
kehidupan sosial orang Melonguane? untuk membatasi masalah tersebut diatas,
maka berikut ini diajukan dua pertanyaan penelitian (research questions) sebagai
berikut:
1. Sejauh mana kesepakatan tanggal 27 April 2007 dapat dilestarikan
oleh segenap warga Melonguane?
2. Sejauh mana kesepakatan 2007 tersebut sesuai dengan konstitusi
Indonesia?
3. Bagaimana tanggapan masyarakat Melonguane terhadap Larangan
bekerja pada hari Minggu?
L. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian berdasarkan permasalahan
diatas adalah: Memaparkan realitas larangan bekerja pada hari minggu dalam
kehidupan masyarakat Melonguane.
M. Kajian Pustaka
Dari berbagai karya yang ditemukan, pembahasan mengenai peraturan
adat maupun hukum adat bukanlah sebuah karya yang baru. Telah banyak para
ahli ilmu hukum maupun para sarjana yang menulis mengenai hal tersebut.
Disini penulis mengambil tulisan terbaru sebagai patokan untuk melihat
signifikansi dari penulisan ini.
Misalnya dalam jurnal yang ditulis oleh Supriyady mengenai
“Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah”6, antara lain menguraikan
bahwa hukum Adat telah ada sebelum pra-Hindu, yang dikenal dengan adat
Melayu Polynesia. Hukum adat tersebut diwarnai oleh mistik-mistik yang
dikenal dengan hukum adat asli. Selanjutnya dalam perkembangan seiring
masuknya agama-agama, terjadi perubahan hukum adat lambat laun akibat kultur
dari berbagai agama. Seperti masuknya agama Hindu, Islam dan Kristen. Sejak
disahkan UUD 1945 Hukum adat ini pun ditempatkan sebagai hukum Nasional.
Selanjutnya dalam karya dari Soerjono Soekanto mengenai Hukum Adat
Indonesia antara lain diuraikan bahwa hukum adat atau hukum tidak tertulis
didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, berfungsi sebagai pola untuk
mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi tersebut.7 Sebagai a
system of stabilized interactional expectancies, hukum adat tetap berfungsi
secara efektif dalam mengatur kehidupan masyarakat walaupun hukum tertulis
dalam perkembangannya telah mengatur bagian terbesar dalam aspek kehidupan
masyarakat.8
Selanjutnya menurut Togar Nainggolan dalam jurnal yang berjudul “Adat
dan Iman Kristen ditanah Batak”, antara lain berbicara tentang perkembangan
dan interaksi antara adat dan agama Kristen di masyarakat Batak (Sumatra
6 Supriyadi, Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah, (Jurnal: edisi 2, 2008)
7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
8 Ibid.
Utara).9 Dalam artikel ini antara lain dijelaskan, bahwa adat sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan kekristenan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Demikian pula ditemukan karya yang hampir sama yakni “ADAT Dan
INJIL: Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di tanah Batak”, dijelaskan tentang
bagaimana adat diperhadapkan dengan injil. Dalam karya ini penulis
menjelaskan di mana terjadi perjumpaan antara adat dan injil di tanah Batak
sejak tahun 1970. Dimasukkannya adat ke dalam jemaat Kristen berarti
dimasukkannya suatu unsur penertiban yang asing menurut hakikatnya
(heteronom) ke dalamnya. Tetapi hal itu lama-kelamaan menjadi suatu unsur
konservatif, yang tidak bersifat injili.10
Dari karya sebelumnya penulis tidak menemukan adanya tulisan yang
berbicara tentang penetapan sebuah ketentuan adat yang bersumber dari agama
Kristen diberlakukan terus hingga pada masyarakat heterogen. Karena itulah
penulis merasa pentingnya penelitian ini dengan memilih KESEPAKATAN
ADAT DALAM LINGKUP SOSIALNYA sebagai judul. Serta “Studi Kasus
Larangan Bekerja Pada Hari Minggu Dalam Komunitas Melonguane Di
Pulau Talaud – Sulawesi Utara” sebagai sub judul. Larangan ini bersumber
dari agama Kristen diberlakukan terus sejak tahun 2007 sebagai sebuah
kesepakatan hingga kini dalam masyarakat heterogen.
9 Togar Nainggolang, Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak, (Jurnal Filsafat-Teologi 5,
2007) 10
Lothar Schreiner, ADAT Dan INJIL: Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di tanah Batak
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
N. Manfaat Penelitian
Melalui penulisan ini, secara teoritis diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi pengembangan studi Agama dan Masyarakat, secara kritis
khususnya tentang peraturan adat. Penulisan ini bermanfaat untuk memberikan
wawasan tentang sebuah fakta sosial, sebagaimana disepakati dalam lingkup
komunitas Melonguane (Sulawesi Utara). Besar harapan penulis, tulisan ini dapat
menjadi referensi dan rangsangan bagi peneliti-peneliti selanjutnya, dalam
rangka penulisan tentang peraturan adat, khususnya di Melonguane (Sulawesi
Utara), untuk kepentingan studi mengenai peraturan adat. Penulisan ini juga
dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang tertarik
mengeni peraturan adat. Selanjutnya secara praktis penulisan ini diperuntukan
kepada lembaga adat di Melonguane sebagai sumbangan pemikiran bagi
peraturan adat yang berpihak kepada seluruh masyarakat. Bagi masyarakat
Melonguane secara khusus, dengan adanya penulisan ini diharapkan menjadi
sebuah wawasan dalam memahami peraturan adat.
O. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah
penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain
merupakan alat pengumpul data utama.11
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan
situasi, gejala kelompok atau objek penelitian secara menyeluruh sehingga
dapat melakukan analisis mendalam guna memperoleh jawaban yang dapat
menjawab permasalahan.12
Berdasarkan fokus penelitian mengena tanggapan
warga masyarakat Melonguane terhadap “larangan melakukan pekerjaan pada
hari Minggu” maka, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis. Maksud dari pendekatan ini
adalah untuk memberikan gambaran tentang tanggapan warga masyarakat
Melonguane mengenai larangan bekerja pada hari minggu dalam prespektif
adat. Selanjutnya berdasarkan gambaran tersebut, dilakukan analisis terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi tanggapan masyarakat.
11
Moleong, Lexi, J., Metodologi Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdokarya, 2006), 8 12
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,(Jakarta: Gramedia, 1980) 30-37.
3. Lokasi Penelitian
Berdasarkan penelitian yang hendak dikaji dan diteliti maka
wilayah/lokasi penelitian dalam studi ini difokuskan pada kota Melonguane di
Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Alasan pemilihan lokasi
penelitian ini adalah dari sekian banyak desa di Kepulauan Talaud hanya
Melonguane saja yang tetap memperthankan sebuah kesepakatan adat berupa
“larangan bekerja pada hari Minggu” padahal penduduk Melonguane lebih
heterogen dibandingkan dengan berbagai lingkungan sosial di kampung
lainnya yang ada di Talaud.
4. Nara Sumber
Untuk mendapatkan data penelitian, selain observasi juga dibutuhkan
nara sumber. Dengan demikian yang menjadi nara sumber dalam penelitian
ini adalah Perangkat adat, tokoh agama, serta warga masyarakat Melonguane
baik kristen maupun non-kristen.
G. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya untuk mendapatkan data yang berhubungan dengan
masalah, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan
observasi. Observasi dilakukan untuk menyajikan gambaran realistik masyarakat
Melonguane dan untuk menjawab bagaimana pengaruh peraturan adat tersebut.
Wawancara dilakukan kepada informan yang berkompeten terkait dengan judul
penelitian.
Dalam wawancara penulis menggunakan teknik wawancara
berpedoman dan bebas bagi tiap informan kunci maupun informan lain yang
ditemui dalam pelaksanaan penelitian. Yang menjadi informan kunci adalah
masyarakat setempat. Dalam melaksanakan penelitian penulis menggunakan
observasi partisipasi (participant observation), observer turut ambil bagian atau
berada dalam keadaan obyek yang diobservasi.13
Observasi partisipasi dilakukan
penulis secara langsung melalui keseharian yang dilakukan oleh penulis mulai
dari pra penelitian, hingga data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
berhasil dikumpulkan.
H. Definisi Istilah-Istilah
1. Adat: Istilah adat ini berasal dari bahasa Arab „adah’ yang artinya kebiasaan,
yaitu sesuatu yang sering berulang. Tapi perbedaan adat dan kebiasan dapat
dilihat dari pemakaiannya, adat dipakai secara turun-temurun sedangkan
kebiasaan mudah berubah dan tidak turun-temurun.14
2. Sabat: dalam bahasa Inggris, Sabt dalam bahasa Arab (بت س ,(ال
dan Sabtu dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan etimologi, kata benda sabat
dari akar kata Ibrani syin-bet-tau berasal dari kata kerja dengan akar kata yang
sama yang mengandung arti berhenti dari sesuatu.15
Dari berbagai penjelasan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa sabat merupakan hari beristirahat atau
berhenti dari pekerjaan.
13
Cholid Narbuko & Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 72. 14
Hilman Hadikusumah, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1980), 16 15
Di akses dari: http://www.sarapanpagi.org/sabat-vt311.html., Selasa, 7 Februari 2012, 15.03 WIB
I. Garis-garis besar Penulisan
Secara garis besar, penelitian ini akan disusun ke dalam lima Bab. Pada
Bab I (PENDAHULUAN), peneliti akan memaparkan latar belakang, rumusan
pembatasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metode penelitian
dan garis-garis besar penulisan.
Sementara dalam Bab II berisikan uraian tentang PENDEKATAN
TEORITIS. Dalam bagian ini penulis akan menguraikan pendekatan teori tentang
agama, masyarakat dan hukum adat.
Dalam Bab III (PENDEKATAN LAPANGAN) yang menjadi fokus
pembahasan adalah pemaparan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan,
terkait dengan kesepakatan larangan bekerja pada hari Minggu dalam kehidupan
orang Melonguane.
Dalam Bab IV (ANALISIS) terhadap hasil penelitian sebagaimana
digambarkan dalam bab III dihubungkan dengan pendekatan teoritis
sebagaimana diuraikan pada Bab II
Bab V (PENUTUP), berisikan (a) kesimpulan, (b) Rekomendasi dan (c)
Saran.