bab 1 pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangunan merupakan salah satu data arkeologi yang tidak dapat
dipindahkan atau terpisah dari matriksnya. Istilah tersebut dalam arkeologi disebut
fitur. Fitur terbagi dalam cummulative features1 dan constructed features (Sharer
& Ashmore, 2003: 415, 426). Bangunan itu sendiri termasuk dalam constructed
features karena mengalami proses perancangan sebelum dibuat. Hal tersebut
terlihat dari pengertian bangunan.
Bangunan, menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997: 137), meliputi
segala struktur yang dibuat dengan tujuan menyediakan tempat bagi manusia,
sehingga mereka dapat menetap dan melakukan kegiatan di dalamnya. Ruangan
dan strukturnya harus direncanakan untuk menghasilkan lingkungan dan fasilitas
yang dibutuhkan untuk kegunaan masing-masing.
Bangunan dapat dikelompokkan berdasarkan kegunaan dan pemakaiannya
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1997: 137), antara lain:
1. Bangunan untuk umum, misalnya auditorium, gereja, mesjid, gedung
bioskop, dan teater.
2. Bangunan suatu lembaga, misalnya rumah sakit, sekolah dan penjara.
3. Bangunan kediaman, misalnya rumah tinggal, apartemen, dan hotel.
4. Bangunan untuk usaha perdagangan, misalnya pasar, pabrik, dan
perkantoran.
5. Bangunan penyimpanan, misalnya garasi mobil, gudang, bunker.
Bangunan-bangunan mulai ada di Indonesia ketika masa prasejarah pada
saat bercocok tanam berupa rumah panggung, sebelumnya manusia bertempat
tinggal dalam ceruk atau gua. Pada masa Hindu-Buddha bangunan yang didirikan
mulai beragam dari fungsinya. Fungsinya sebagai rumah tinggal, Keraton,
pemandian, candi dan sebagainya. Perbedaan fungsi yang terbagi menjadi dua,
yaitu sakral dan non sakral maka pada pembangunan bangunan sakral
1 Cummulative features merupakan fitur-fitur yang terjadi secara alami tanpa campur tangan
manusia, misalnya ceruk dan goa.
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
2
diperhatikan dalam pembuatannya dan keletakannya. Begitu pun yang terjadi pada
masa Islam.
Ketika bangsa Belanda datang ke Indonesia membuat bangunan dengan
bentuk dan fungsi yang makin beragam, tanpa memperhatikan bangunan tersebut
sakral atau tidak. Perhatian bangunannya disesuaikan dengan bangunan umum
atau pribadi.
Bangunan awal yang didirikan oleh bangsa Belanda, berupa gudang-
gudang untuk menyimpan barang dagangan yang berupa rempah-rempah. Bila
memiliki modal besar didirikan pula kantor dagang dan benteng sebagai sarana
pertahanan. Benteng selain untuk pertahanan juga untuk tempat tinggal orang-
orang Belanda sehingga dilengkapi dengan sarana dan prasarananya. Oleh karena
itu segala aktivitas perdagangan dan kehidupan sehari-hari berada dalam benteng.
Seiring waktu, keamanan di luar benteng menjadi aman dari perlawanan rakyat
sekitarnya maka para pembesar tinggal di luar benteng. Pada masa VOC dibangun
rumah peristirahatan dan taman luas serta mengikuti model Belanda dari abad 18
(Soekiman, 2000: 1-4).
Bangunan yang didirikan pada masa kolonial dapat dikatakan sebagai
bangunan kolonial (Soekiman, 1992:661). Tumbuhnya kota-kota kolonial di
Indonesia dimulai ketika perdagangan Belanda yang makin mantap sehingga perlu
untuk membangun berbagai sarana dan prasarana untuk keperluan hidup mereka
termasuk di dalamnya berdiri bangunan-bangunan kolonial seperti bangunan
bangunan umum, bangunan pemerintahan/lembaga dan bangunan tempat tinggal
(Abbas, 2006: 227).
Awal kota Bandung pada abad 19 terdapat perencanaan pembangunan dan
penataan kota yang bernama Plan der Negorij Bandong. Rancangan tersebut
masih sederhana dan tidak terlalu luas. Batas kota rancangan tersebut, yaitu
sebelah timur dengan Jalan Kaca-Kaca Wetan, sebelah barat dengan Jalan Kaca-
Kaca Kulon, sebelah utara dengan Jalan Aceh, dan sebelah selatan dengan Jalan
Kebon Kalapa. Bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu terdapat
delapan bangunan baru, antara lain: Kantor Kabupaten (Woning van den Regent),
Gudang Kopi (Assisten der kofiee Kultuur) yang kemudian menjadi gedung
Papak, Rumah Temenggung (Toemenggoeng), Rumah Kepatihan (Aria), Rumah
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
3
Tuan Herberg (Herberg), Barak Militer (Blokhuizen), Mesjid di Alun-Alun
(Masigit), dan Rumah Tuan Paijen (Woning van der Heer Puijen) (Kunto, 2008:
174).
Peta 1.1. Peta Bandung Awal Abad 20
Sumber: Kunto, 2008: 175
Pada tahun 1906, kota Bandung dijadikan sebagai gemeente2 sesuai
dengan ordonansi yang dikeluarkan pada tanggal 21 Februari 1906 dan Undang-
Undang tanggal 1 Maret 1906 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral J.B. van
Heutzs (Verslag 1919:1). Ketika bangsa Belanda berkuasa di kota Bandung dan
dibukanya jalan raya Pos Anyer-Panarukan dibangun beberapa bangunan atau
sarana kota tambahan, seperti loji, penjara dan kantor pos yang terletak di sebelah
2 Geemente merupakan pemerintahan otonom pemerintahan Hindia Belanda yang dipimpin oleh
seorang Asisten Residen (Hardjasaputra, 2000: 5-6).
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
4
utara alun-alun. Penggunaan loji di kota-kota di Pulau Jawa meniru kota yang ada
di Negara Belanda (Pemerintah Kotamadya DT II Bandung, 1999: 66).
Sejak pemerintah Kota Bandung menjadi gemeente, diwajibkan
mendirikan fasilitas-fasilitas umum, seperti sekolah, stasiun, kantor pemerintahan,
bank, pasar, bioskop dan tempat hiburan serta infrastruktur kota, seperti jalan
raya, jembatan, saluran air hujan, saluran limbah air sumur dan mata air, dan
jaringan pipa air ledeng.
Sehubungan dengan rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda dari
kota Batavia ke Bandung, selama kurang lebih tujuh tahun atau sejak tahun 1918-
1925 telah dibangun sebanyak 400-750 bangunan rumah modern yang
direncanakan sebagai tempat tinggal para pegawai pemerintah pusat yang
sekarang berada di daerah Taman Sari, Taman Pramuka, dan Jalan Dago (Kunto
1996:103, 2000:54). Pada tahun 1926 status Kota Bandung menjadi
stadsgemeente3 dan wilayahnya diperluas hingga mencapai 2.853 hektar dan
sebanyak 1.050 hektar (37 persen) diantaranya digunakan untuk bangunan. Kota
Bandung makin berkembang dengan dibangunnya pusat perbelanjaan di sekitar
jalan Braga sekarang.
Dalam menambah jumlah sarana dan prasarana umum dibutuhkan suatu
perancangan yang baik agar kota menjadi menarik. Rancangan suatu bangunan
dapat memberikan kesan-kesan tertentu pada pengamatannya. Kota Bandung
memiliki banyak bangunan menarik dengan rancangan yang khas. Ir. Thomas
Karsten menyatakan bahwa Bandung merupakan sebuah kota yang dirancang
sempurna, dengan tata ruang terinci (Kunto, 1986:193). Di Kota Bandung
terdapat dua jenis bangunan khas berdasarkan keletakannya, yaitu peletakan
mundur4 dan persimpangan jalan (Dana, 1990:xii). Berdasarkan kedua jenis
bangunan khas tersebut yang banyak dibangun di Kota Bandung adalah di
persimpangan jalan.
3 Stadsgemeente adalah kotapraja, ibukota atau pusat pemerintahan gemeente (Hardjasaputra,
2000: 5-6).
4 Peletakan mundur adalah bangunan khas yang letaknya lebih mundur dari garis sepadan.
Biasanya dilengkapi dengan taman di bagian depan bangunan tersebut. Contohnya: Gedung Sate,
Kantor Walikota Bandung dsb.
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
5
Persimpangan jalan merupakan daerah tempat manusia dan kendaraan
berjalan perlahan-lahan, memperlambat pergerakan atau berhenti sejenak untuk
mengamati keadaan atau situasi di sekelilingnya. Hal tersebut menjadikan bahwa
keberadaan bangunan-bangunan yang terletak di sudut pada persimpangan jalan
menjadi istimewa karena terletak di tempat strategis dan dapat dilihat dari setiap
sudut pandang. Bangunan didirikan pun tentunya memiliki rancangan yang lebih
menarik dibandingkan bangunan di sekitarnya (Dana, 1990:30). Oleh karena itu,
bangunan yang terletak di sudut persimpangan jalan disebut sebagai bangunan
sudut (Hoek Bouw).
Foto 1.1. Contoh Bangunan Sudut
Foto oleh: Maharani Qadarsih
Bangunan yang terletak di sudut persimpangan jalan merupakan ciri utama
dari bangunan sudut. Apabila tidak terletak di sudut persimpangan jalan
merupakan bukan bangunan sudut. Hal yang kemudian diperhatikan adalah
berbedanya bentuk bangunan sudut dengan bangunan yang ada di sekitarnya yang
bukan bangunan sudut. Bila dilihat pada masa sekarang bangunan yang terletak di
sudut umumnya memiliki luas lahan, tapi ada beberapa bangunan dari masa
kolonial tidak memiliki lahan yang luas dan bangunannya menggunakan semua
lahan tersebut. Namun, ada juga yang memiliki lahan yang luas sehingga
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
6
bangunannya tidak menggunakan semua lahan yang ada. Sebagian besar
bangunan tersebut pada masa sekarang adakalanya digunakan sebagai perkantoran
dan tempat perdagangan, karena letak bangunan yang sangat strategis.
Keberadaan bangunan sudut dimulai dari masa Renaisans yang memiliki
bentuk bangunan simetris. Bangunan sudut pada masa itu dijadikan sebagai
gerbang lingkungan karena terletak di sudut persimpangan dan memiliki bentuk
yang sama dengan di seberangnya (Dana, 1991). Berbedanya dengan yang ada di
Kota Bandung adalah bangunan sudut yang sebagian besar tidak memiliki bentuk
yang sama dengan di seberangnya.
Bangunan-bangunan sudut yang berada di kota-kota kolonial di Indonesia
terutama di Pulau Jawa cukup banyak jumlahnya, antara lain: Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya dan Jogjakarta. Bangunan sudut di Jakarta misalnya
bangunan Chartered Bank, di Semarang misalnya bangunan Lawang Sewu, di
Surabaya misalnya bangunan Siola, di Jogjakarta misalnya bangunan sudut BNI
Malioboro, dan di Bandung misalnya bangunan Bank DENIS.
Sebelumnya bangunan sudut di Bandung telah dilakukan oleh Djefry W.
Dana5 dalam tesisnya yang berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung:
Suatu Telaah Tipologi Bangunan di Kavling Sudut. Perbedaan antara penelitian
sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan berupa metode yang
dilakukan. Perbedaan metode yang digunakan menyebabkan kerja penelitian yang
berbeda. Penelitian yang akan dilakukan adalah analisis bentuk dan keletakan
bangunan-bangunan sudut yang kemudian ditafsirkan dengan bantuan data sejarah
Kota Bandung dan arsitektur bangunan kolonial. Sedangkan pada penelitian
sebelumnya berupa tipologi bangunan sudut secara arsitektur. Jumlah data
bangunan sudut yang digunakan sebagai data pun berbeda, penelitian yang akan
dilakukan berjumlah 50 bangunan sudut, sedangkan pada penelitian sebelumnya
berjumlah 71.
Hasil penelitian sebelumnya dalam tesis menyebutkan bahwa beberapa
cara penyelesaian rancangan bangunan sudut, antara lain: pemakaian bentuk
plastis kurva linier, bentuk menara (tunggal atau ganda), atap dengan bentuk
kubah atau pyramid, bentuk bangunan melengkung mengikuti sudut jalan, bentuk
5 Lihat dalam tesisnya yang berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung: Suatu Telaah
Tipologi Bangunan di Kavling Sudut
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
7
lebih tinggi dari bangunan lainnya, atap bangunan dengan bahan khusus,
pemakaian arkade, bangunan kembar, bentuk bangunan dengan peninggian berupa
penonjolan pada bagian muka, dan bentuk bengunan dengan ragam hias menarik.
Jumlah bangunan sudut dari tahun 1905-1940 sebanyak 71 bangunan sudut.
Tabel 1.1. Data Bangunan Sudut Tahun 1905-1940 (Sumber. Dana, 1991)
No Tipe Bangunan Sudut Jumlah
1 Menggunakan Kurva Linier 4
2 Menggunakan menara tunggal dan
ganda
18
3 Menggunakan peninggian tampak 13
4 Menggunakan atap kubah 4
5 Menggunakan bentuk melengkung 8
6 Menggunakan ketinggian berlebih 12
7 Menggunakan arkade 2
8 Bentuk Kembar 4
9 Menggunakan atap dengan bahan
khusus
3
10 Menggunakan ragam hias menarik 3
Total 71
Lingkup penelitian yang dilakukan adalah penelaahan dan pembahasan
mengenai konsep-konsep yang digunakan pada bangunan secara umum, terutama
pada peranan bangunan di kavling sudut dan penerapannya pada bangunan-
bangunan sudut. Tujuan dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah
menjelaskan pengertian antara bangunan sudut dan bangunan yang terdapat di
sudut lainnya.
Bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial di Bandung masih
dipertahankan hingga sekarang, tapi sebagian lagi bangunannya sudah berubah
menjadi bangunan baru. Pada tahun 1990 ada 495 bangunan lama, namun yang
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
8
tersisa hingga tahun 2000 hanya sekitar 206 bangunan arsitektur kolonia (Kunto,
2000: 20).
1.2. Rumusan Permasalahan
Bangunan sudut merupakan bangunan yang terletak di lahan sudut
persimpangan jalan dengan bentuk yang berbeda dari bangunan di sekitarnya.
Bangunan-bangunan ini memiliki bentuk dan keletakan yang beragam. Namun,
tidak ada ketentuan yang pasti tentang bentuk dan keletakan bangunan-bangunan
sudut. Bangunan-bangunan sudut di Bandung memiliki jumlah yang banyak
dengan bentuk beranekaragam, tapi terdapat pula kesamaan bentuk. Begitu pula
dengan keletakannya terletak di persimpangan jalan. Bangunan-bangunan sudut
ada yang keletakannya berada di satu persimpangan jalan dengan bangunan sudut
lainnya dan ada yang terletak di persimpangan jalan yang berbeda. Oleh karena
itu, dibutuhkan banyak data untuk menjelaskan bentuk-bentuk bangunan sudut
serta keletakan yang sering digunakan bangunan sudut tersebut. Fungsi bangunan
sudut pun sangat beragam, seperti tempat tinggal, perkantoran pemerintah
maupun swasta, sarana militer dan sekolah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji
adalah:
Bagaimana bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut di
Bandung serta kaitannya dengan fungsi dan perkembangan Kota Bandung?
1.3. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Dengan diketahui bentuk dan keletakan bangunan-bangunan sudut di Kota
Bandung maka tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
bangunan sudut dalam kerangka sejarah Kota Bandung dan arsitektur. Tujuan
khusus pada penelitian ini untuk mengetahui pola dan persebaran bangunan sudut.
Seperti dijelaskan sebelumnya batas ruang lingkup penelitian dibatasi pada
bangunan-bangunan sudut yang didirikan pada tahun 1900-1940 karena pada
tahun-tahun tersebut kota Bandung mengalami peningkatan sarana dan prasarana
mengingat status kota Bandung sebagai gemeente kemudian menjadi
stategemeente bahkan direncanakan menjadi ibukota Hindia Belanda. Jumlah
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
9
bangunan-bangunan sudut tersebut sebanyak 50 bangunan.
1.4. Metode Penelitian
Metode penelitian arkeologi merupakan cara untuk menjawab
permasalahan-permasalahan penelitian arkeologi. Dalam penelitian ini dilakukan
tiga tahap penelitian yakni, pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran
data.
Bagan 1.1. Metode Penelitian
Berikut tahapan-tahapan penelitian yang digunakan pada penelitian ini,
sebagai berikut:
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
10
Pengumpulan Data
Tahap penelitian pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data,
berupa mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian dan sesuai
dengan kebutuhan penelitian pula. Data terbagi dalam dua, yaitu data primer dan
data sekunder. Penjajakan data ini melalui buku-buku yang berkaitan dengan tata
perkembangan dan sejarah Kota Bandung.
Data primer yang dipakai pada penelitian adalah bangunan-bangunan
sudut yang terdapat di kota Bandung yang berasal dari tahun 1900-1940. Sumber
data utama atau data primer yang digunakan adalah foto, dan gambar bangunan
sudut pada tahun 1930 hingga keadaan sekarang. Berdasarkan data-data yang
dipelajari terdapat bangunan Kantor Pos Besar Bandung, Hotel Savoy Homann,
Museum Konferensi Asia Afrika, Toko Asia Afrika-Pecinan, Gedung Merdeka,
Kantor Ex. Escompto Bank Bandung, Hotel Swarha, Toko de Vries, Toko
Sudirman-Kasmin, Kantor Asia Afrika- Kaca Kaca Wetan, Toko Ligna, Apotek
de voor Zogh, Kantor Asuransi Independent, Toko Cetre Point, LKBN Antara, de
Javasche Bank, Denis Bank, Gereja Bethel, Gereja Santo Petrus, Bangunan
Juanda-Hasanuddin, Bangunan Juanda-Prabudimuntur, Rangga Gading-
Purnawarman, Sawunggaling-Rangga Gading, Villa Merah, Drie Klieur,
Merdeka-Aceh, Perpustakaan Universitar Parahyangan, Kyai Gede Utama-Dipati
Ukur, Kantor DPD Angkatan 45, GKP RI, Toko ABC-Banceuy, Toko Bintang
Mas, Toko Hasil Bumi Bintang, Gedung Bapemil, Cendana-Taman Pramuka,
Riau-Banda, Soka-Riau, Pudak-Anggrek, Anggrek-Taman Cendana, Markas
Komando Wilayah V, Balai Keselamatan, SMPN 5 Bandung, Sumatera-Aceh,
Villa Gruno, Malabar-Gatsu, Gatsu-Malabar, Pabrik Kina, dan Yayasan Panti
Asuhan Dana Mulya.
Sementara itu data sekunder sebagai data bantu, antara lain data
kepustakaan, dan lapangan. Data kepustakaan adalah Buku dan artikel yang
berkaitan dengan Sejarah Bandung, bangunan sudut, dan arsitektur kolonial di
Bandung. Selain itu pula dibutuhkan majalah-majalah lama dan foto-foto lama
untuk memperlihatkan keletakan bangunan sudut dengan jalan dan perubahannya
bentuk bangunan sudut., serta denah-denah bangunan-bangunan tersebut yang
diperoleh melalui instansi yang berkaitan, yaitu Departemen Kebudayaan
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
11
Bandung (Yayasan Bandung Heritage) dan pengelola atau pengguna bangunan-
bangunan sudut itu sendiri. Selanjutnya, data lapangan diperoleh melalui
pengamatan dan perekaman data. Pengamatan berupa pencatatan dan
memperhatikan seluruh bangunan yang menunjang penelitian dan perubahan-
perubahan bangunan termasuk pula renovasi. Hal tersebut dilakukan untuk
mengetahui keadaan bangunan sekarang dan perubahan-perubahan yang terjadi
sebelumnya. Hasilnya pencatatan kemudian dideskripsikan dalam bentuk verbal
yang terlihat dalam bab 2.
Deskripsi yang dilakukan pada pengumpulan data adalah menjelaskan
keletakan bangunan, bentuk bangunan yang meliputi denah bangunan sudut baik
yang bertingkat atau tidak, bermenara atau tidak, berhalaman depan atau tidak,
keadaan bangunan sekarang, tampak muka bangunan sudut, deskripsi bagian
bangunan yang terlihat dari luar dan keadaan bangunan sekarang. Selain itu,
dijelaskan pula biro arsitek, gaya bangunan, sejarah dari bangunan sudut tersebut,
ciri khas bangunan dan fungsi awal bangunan.
Guna mempermudah pendeskripsian maka dilakukan pembagian wilayah
menjadi sektor-sektor. Penamaan sektor disesuaikan dengan nama jalan-jalan dan
wilayah pada awal abad 20 ketika masih di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Sektor-sektor tersebut ditetapkan sebanyak sembilan yang sesuai dengan wilayah
pada masa awal abad 20. Sembilan sektor tersebut antara lain, sektor Grote
Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika dan Jalan Sudirman), sektor Bragaweg
(sekarang Jalan Braga), sektor Merdekaweg (sekarang Jalan Merdeka dan Jalan Ir.
H. Djuanda), sektor Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Veteran dan Jalan
Bungsu), sektor Pasar Baroeweg (sekarang Jalan Otto Iskandardinata), sektor
Roozemboomweg (sekarang Jalan R.L.L.E. Martadinata atau Jalan Riau), sektor
Soematrastraat (sekarang Jalan Sumatera), sektor Papandayanlaan (sekarang Jalan
Gatot Subroto), dan sektor Burgermeester Coopsweg (sekarang Jalan Pajajaran).
Kesembilan sektor tersebut (sektor Grote Postweg, sektor Bragaweg, sektor
Merdekaweg, sektor Oude Hospitalweg, sektor Pasar Baroeweg, sektor
Roozeboomweg, sektor Soematrastraat, sektor Papandyanlaan, dan sektor
Burgemeester Coopsweg) akan tetap digunakan selama penelitian ini.
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
12
Pengolahan Data
Tahap kedua dalam penelitian ini adalah proses pengolahan data. Pada
tahap ini dilakukan analisis data yang telah dikumpulkan. Metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bentuk dan keletakan. Analisis
bentuk dan keletakan merupakan proses untuk mengetahui bentuk-bentuk dan
lokasinya yang digunakan dalam bangunan-bangunan.
Hal-hal yang diperhatikan dalam analisis ini antara lain, ruang, keletakan
fungsi dan waktu. Atribut yang dipelajari dalam analisis bentuk dan lokasi adalah
ukuran, bentuk, dan bagian-bagiannya. Tujuan penelitian dengan analisis bentuk
dan lokasi adalah untuk menyimpulkan bentuk bangunan dan letaknya (Sharer and
Ashmore, 2003: 422). Pada penelitian ini dilakukan analisis bentuk secara umum
mengingat jumlah bangunan yang berjumlah 50 bangunan sudut.
Analisis yang dilakukan terhadap bentuk dan kelatakan adalah dengan cara
menganalisis dari semua bangunan sudut dengan membuat pengelompokan. Hal
tersebut dilakukan untuk mempermudah analisis data mengingat data yang
banyak. Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan keletakan dan bentuk serta
terbagi sebelumnya menjadi dua, yaitu analisis bangunan sudut per bangunan dan
per sektor. Analisis keletakan dilakukan dengan membagi dalam tiga kelompok
yang disesuaikan dengan persimpangan jalan, yaitu persimpangan tiga, empat dan
lima. Setelah itu menjelaskan lokasi bangunan sudut terhadap persimpangan jalan
dan bangunan sudut tersebut berada di satu persimpangan jalan atau tidak.
Analisis selanjutnya berupa analisis bentuk. Atribut-atribut yang
diperhatikan dalam analisis bentuk adalah bentuk denah (bujur sangkar dan
persegi panjang, segitiga, lingkaran, dan tidak beraturan), bermenara dan tidak
bermenara, tinggi bangunan (bertingkat dan tidak bertingkat), halaman depan, dan
tampak muka bangunan.
Penafsiran Data
Tahap ketiga dalam penelitian ini adalah penafsiran data. Dalam
penafsiran data metode yang digunakan adalah pendekatan data sejarah dan
perbandingan dengan kota-kota kolonial di pulau Jawa.
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
13
Pendekatan data sejarah guna menjawab pertanyaan mengenai
perkembangan kota kolonial Bandung. Diharapkan dengan menggunakan data
sejarah dapat memasukkan hasil-hasil bangunan sudut yang telah dilakukan
analisis kedalam kerangka sejarah Kota Bandung. Hasil analisis yang digunakan
berupa keletakan dengan didampingi tahun berdiri, dan fungsi yang telah
diperoleh.
Penafsiran data berikutnya adalah perbandingan. Perbandingan yang
dilakukan lebih menekankan pada bentuk-bentuk bangunan sudut di Bandung
dengan di kota-kota lainnya. Bentuk yang dibandingkan adalah melalui setiap
fungsi bangunan sudut. Fungsi-fungsi tersebut adalah bank, kantor, rumah tinggal,
toko, hotel dan gereja. Hasil analisis yang digunakan adalah bentuk bangunan
sudut dan dibantu dengan tahun berdiri bangunan sudut, fungsi dan arsitek.
1.3. Riwayat Penelitian
Beberapa tulisan mengenai sejarah Bandung tidak semuanya terdapat
pembahasan mengenai data bangunan-bangunan sudut. Sebagian tulisan tersebut
hanya membahas bangunan-bangunan sudut yang terkenal dan sering digunakan
oleh bangsa-bangsa Kolonial pada saat itu dan mengenai sejarah politik, ekonomi,
serta perkembangan kota Bandung. Dalam penelitian ini buku-buku sejarah
Bandung sangat dibutuhkan, khususnya yang menjelaskan perkembangan fisik
kota dan bangunannya.
Buku-buku yang digunakan karena terdapat tulisan mengenai bangunan
sudut dan perkembangan kota Bandung adalah:
1. Djefri W. Dana dalam tesis arsitektur Institut Teknologi Bandung yang
berjudul Studi Bangunan Sudut di Kota Bandung: Suatu Telaah Tipologi
Bangunan di Kavling Sudut. Tesis tersebut menjelaskan mengenai konsep-
konsep Bangunan-Bangunan sudut di Bandung dengan melakukan wawancara
ke masyarakat, tipologi dan perbandingan bentuk-bentuk bangunan sudut
dengan yang berada di Eropa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui peranan bangunan sudut dalam suatu kota. Data bangunan yang
digunakan berjumlah 71 dan menghasilkan tujuh tipologi penyelesaian akhir
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009
Universitas Indonesia
14
bangunan-bangunan sudut.
2. Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung
Raya. Buku tersebut menjelaskan mengenai sejarah Bandung secara jelas dan
luas dari berbagai aspek, tapi penjelasan mengenai banguan sudut tidak
dijelaskan secara eksplisit. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan yang
pernah dibuat oleh Haryoto Kunto.
3. Djefri W. Dana dalam bukunya yang berjudul Ciri Perancangan Kota
Bandung. Buku tersebut berisi mengenai bangunan-bangunan dan monumen
yang memiliki bentuk berbeda salah satunya adalah bangunan-bangunan
sudut. Pada buku ini tidak dijelaskan bangunannya satu per satu dan hanya
menyebutkan bangunan-bangunan sudut saja. Selain itu dijelaskan pula peta
keletakan bangunan sudut di keletakan persimpangan jalan.
1.4. Sistematika Penelitian
Penelitian mengenai Bangungan-Bangunan Sudut di Bandung
manggunakan sistematika penelitian sebagai berikut:
Bab 1 berupa pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang penelitian,
rumusan permasalahan, tujuan dan ruang lingkup penelitian, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab 2 berupa sejarah dan deskripsi yang berisi mengenai sejarah kota
Bandung, gambaran data yang terdiri dari riwayat penelitian dan deskripsi
bangunan-bangunan sudut satu per satu.
Bab 3 berupa analisis yang berisi mengenai analisis terhadap keletakan
dan bentuk bangunan-bangunan sudut.
Bab 4 berupa penafsiran yang berisi mengenai interpretasi bangunan-
bangunan sudut yang dikaitkan dalam perkembangan arsitektur dan kota kolonial
di Bandung.
Bab 5 berupa penutup yang berisi mengenai kesimpulan yang merupakan
jawaban dari permasalahan dan saran untuk pemerintah atau penelitian
selanjutnya.
Bangunan-bangunan sudut..., Maharani Qadarsih, FIB UI, 2009