bab 1 pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menjelaskan bahwa
jumlah penduduk di wilayah Kota Yogyakarta mencapai 387.086 jiwa dan
tentunya data tersebut akan terus berubah dan mengalami peningkatan di setiap
tahunnya. Peningkatan jumlah penduduk tentunya membawa implikasi sosiologis
bagi kehidupan masyarakat, salah satunya berkaitan dengan progresifitas perilaku
konsumsi yang kemudian berdampak pada meningkatnya volume sampah dan
pencemaran limbah bagi lingkungan. Permasalahan tidak berhenti di sana, saat ini
salah satu permasalahan krusial yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah
maupun masyarakat sendiri yakni berkaitan dengan semakin sulitnya mencari
lahan kosong sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah rumah tangga.
TPA piyungan yang selama ini menjadi tempat terakhir bagi pembuangan sampah
pada kenyataannya telah mencapai batasnya, diperkirakan beberapa tahun ke
depan tempat tersebut tidak lagi mampu menampung volume sampah yang
dihasilkan dari sampah rumah tangga warga masyarakat Yogyakarta.
Menanggapi dan menyikapi persoalan tersebut, Pemerintah Kota
Yogyakarta melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) mensosialisasikan
pengelolaan sampah mandiri oleh masyarakat dengan harapan untuk mengurangi
volume sampah yang terus meningkat. Slogan 3R yakni reduce (mengurangi),
reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang) menjadi jargon yang
terus disosialisasikan kepada masyarakat dan diiringi dengan adanya
pembentukan Bank Sampah-Bank Sampah di masyarakat. Bank Sampah sendiri
bisa diartikan sebagai salah satu bagian dari pengelolaan sampah mandiri, dari sisi
ekologis tentunya Bank Sampah memberi arti dan kontribusi bagi pengurangan
volume sampah, kemudian dilihat dari aspek ekonomi, Bank Sampah merupakan
salah satu unit usaha yang terbukti mampu memberi peluang atas peningkatan
kualitas kesejahteraan, dan yang tidak kalah pentingnya pengelolaan Bank
Sampah tidak bisa dilepaskan dari relasi dan nilai-nilai sosial yang ada
dimasyarakat.
Secara umum, problematika lingkungan yang disebabkan oleh limbah
sampah terjadi secara merata di hampir seluruh wilayah di Kota Yogyakarta, dan
tidak terkecuali di Kelurahan Brontokusuman. Secara historis, Kelurahan
Brontokusuman pada tahun 1980-an dikenal sebagai salah satu daerah kumuh
(slum area) yang dihuni oleh para tuna wisma seperti; pemulung, gelandangan,
dan pengemis. Adapun secara geografis, Kelurahan Brontokusuman merupakan
salah satu wilayah yang berada di bantaran Sungai Code. Disamping itu, dengan
posisinya yang berada pada ketinggian + 75 M hingga 102 M sangat
memungkinkan ketika hujan, sampah dari hulu akan mengalir dan berhenti di
Kelurahan Brontokusuman.
Atas dasar situasi tersebut mengapa kemudian keinginan untuk mengelola
sampah dan menjaga kebersihan lingkungan harus segera direalisasikan, agar
nantinya tidak menjadi permasalahan bagi kesehatan dan memberi efek negatif
secara sosial. Adanya niatan untuk melakukan pengelolaan sampah secara mandiri
oleh warga masyarakat Kelurahan Brontokusuman ternyata tidak hanya berhenti
pada sisi kesehatan dan kebersihan lingkungan semata, namun di sisi lain kegiatan
pengelolaan sampah dengan berbasis pada Bank Sampah juga memberi dampak
secara sosial dan ekonomi
Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2012 terkait pengelolaan
sampah mandiri dengan mengambil lokasi di 10 (sepuluh) kelurahan yang
memiliki Bank Sampah, ditemukan data yang menarik yakni di satu sisi hampir
sebagian besar masyarakat (+ 80%) menyatakan bahwa mereka mengetahui
bahwa pengelolaan sampah akan memberi dampak secara sosial dan ekonomi,
akan tetapi di sisi lain sebagian dari masyarakat (+ 70%) tidak secara rutin
melakukan upaya pengelolaan sampah yang dalam pandangan mereka berdampak
secara sosial dan ekonomi. Perilaku masyarakat yang seperti ini menurut sudut
pandang sosiologis tidak bisa dilepaskan dari intensitas interaksi sosial antara
pemerintah, pengelola atau kader sampah, dan masyarakat terkait perlunya Bank
Sampah dalam menanggulangi efek negatif dari sampah sekaligus sebagai
peluang bagi peningkatakan kesejahteraan sosial. Secara langsung, keberhasilan
pengelolaan Bank Sampah yang ada di masyarakat tidak bisa dilepaskan dari
modal sosial yakni: aspek kepercayaan, komitmen, dan jejaring sosial yang
selama ini melekat di dalam relasi sosial.
Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini ingin melihat aspek
sosiologis yang terjadi selama pengelolaan Bank Sampah berlangsung di
masyarakat. Peneliti melihat selama ini pengelolaan Bank Sampah tidak lepas dari
adanya prinsip-prinsip modal sosial yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat
didalamnya. Jika diurai secara sistematis dalam pengelolaan Bank Sampah
terdapat jejaring dan relasi antara aktor yang satu dengan yang lainnya, di mana
diantara mereka terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Pemetaan aktor
sosial atas Bank Sampah bisa diidentifikasikan setidaknya ada 3 (tiga) yakni;
pengelola Bank Sampah, masyarakat yang menjadi nasabah, dan pengepul
sampah.
Ketiga aktor tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing
dimana prinsip-prinsip dari modal sosial yakni; kepercayaan (trust), komitmen
bersama (common value), dan hubungan saling menguntungkan (reciprocity),
berlaku dan saling mendukung. Coleman dalam Field (2011, Hal: 32) mengatakan
bahwa modal sosial merupakan sumber daya yang bertumpu pada aspek harapan
dan resiprositas, selain itu dalam implementasinya melibatkan jaringan yang luas
dimana relasi yang terjadi diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai-
nilai bersama.
Hal senada juga disampaikan oleh Putnam bahwa modal sosial yang ia
maksud adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma, dan kepercayaan
yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai
tujuan bersama (Field, 2011, Hal: 51). Konsepsi tentang kepercayaan yang
mengilhami tujuan bersama inilah yang menarik untuk didalami dalam persoalan
ini, dimana permasalahan kesadaran dan kepercayaan masyarakat menjadi titik
krusial dalam mengelola Bank Sampah. Disadari atau tidak, penerapan dan
pengelolaan Bank Sampah yang berbasis pada modal sosial ini kemudian
memberi dampak secara ekonomi (capital) bagi kehidupan masyarakat.
Penerapan modal sosial tersebut pada dasarnya tidak hanya melibatkan
aktor-aktor semata, namun lebih dari sekedar itu ada ikatan sosial dan institusi
sosial yang turut serta mengambil peran dan bagian. Keberadaan Bank Sampah di
Kelurahan Brontokusuman yang dikelola dengan mengambil prinsip modal sosial
terbukti mampu berjalan hingga saat ini, hal ini dikarenakan adanya ikatan sosial
yang jelas dan dikembangkan melalui institusi-institusi sosial yang memiliki
relasi-relasi yang multi dimensional (Usman, 2012, Hal: 2). Secara umum relasi
sosial yang ditampakkan oleh masyarakat masih menginduk pada pemahaman
atas solidaritas mekanik sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim dalam Doyle Paul
Johnson (1994) yakni kesadaran kolektif yang kuat, individualistis yang rendah,
dan adanya konsesus bersama.
Keberadaan Bank Sampah sebagai salah satu wujud dari program
penanganan lingkungan (environmental programs) sudah tentu dalam
pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan dari modal sosial. Dalam konteks ini pula
Bank Sampah bisa dikatakan sebagai sarana sosial yang mampu mendorong dan
mendukung terwujudnya perubahan adaptif di masyarakat. Secara umum aktivitas
dan kegiatan pengelolaan Bank Sampah memberi dampak (impact) pada
peningkatan aksesibilitas yang ditandai adanya relasi multi-dimensional serta
perluasan jaringan dan akses (achieving acces and grwoth)
1.2 Rumusan Masalah
Dalam kajian ini, modal sosial ditempatkan sebagai prinsip dan nilai sosial
yang bekerja dalam ruang relasi sosial dan menjaga komitmen bersama diantara
aktor yang saling berinteraksi. Uuntuk itulah penelitian ini berupaya untuk
melihat dan mengetahui bagaimana peran modal sosial sebagai salah satu strategi
dalam mendukung dan menjaga konsistensi pengelolaan Bank Sampah, sehingga
terwujud pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Memberikan penjelasan (explanation) terkait penerapan modal sosial
dalam pengelolaan Bank Sampah
2. Memberikan gambaran relasi sosial dan jaringan yang terjadi antar aktor-
aktor sosial yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan sampah melalui
Bank Sampah
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi bagi
perkembangan pengetahuan ilmu sosial khususnya sosiologi mengenai penerapan
modal sosial di masyarakat sebagai salah satu sumber daya sosial yang mampu
memberikan kontribusi bagi pengelolaan sampah secara umum dan lebih khusus
pada pengelolaan Bank Sampah.
1.5 Tinjauan Kepustakaan
Terus meningkatnya jumlah volume sampah dari tahun ke tahun tentunya
menjadi perhatian khusus dari berbagai pihak, termasuk salah satunya Bank
Dunia. Dari kajian yang disampaikan oleh Bank Dunia dalam laporannya
mengenai “What Waste: A Global Review of Solid Waste Management”
menyatakan bahwa kedepan persoalan sampah akan menjadi krisis yang serius
dan mengancam eksistensi lingkungan hidup dan sektor keuangan (antarayogya:
2013)1. Meningkatnnya volume sampah dunia salah satunya disumbang oleh pola
kehidupan masyarakat perkotaan dimana kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh
pergeseran standar hidup dan bertambahnya jumlah penduduk. Adanya perubahan
standar hidup manusia secara langsung memberi implikasi pada pola dan daya
serap konsumsi yang terus naik setiap tahunnya. Untuk menangani dan
menanggulangi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang direkomendasikan
yakni mulai melakukan pengelolaan sampah yang terintegrasi meliputi semua
sektor.
Adapun peningkatan volume sampah di wilayah Kota Yogyakarta
berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Lingkungan Hidup pada tahun 2007
yakni sebesar 1.571 m3 perhari, data ini mengalami peningkatan sebesar 11,53%
pertahuannya jika dibandingkan dengan volume sampah pada tahun 2001 yang
tercatat 541 m3 per hari. Jika prosentase peningkatan tersebut berjalan secara
konsisten maka volume sampah di wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 2012
setidaknya mencapai 8.435 m3 per hari. Data lain yang dimiliki oleh Badan
1 Artikel dengan judul “Krisis Sampah Bayangi Masyarakat Dunia”, di akses dari http://www.antarayogya.com/print/301025/krisis-sampah-bayangi-masyarakat-dunia, pada 3 September 2013.
Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta terkait dengan data sampah yang terangkut
pada tahun 2009 sampai 2012 bisa dikatakan mengalami penurunan meski tidak
cukup signifikan.
Tabel 1.1 Volume Sampah Terangkut Pada Tahun Anggaran 2009 –
Tahun Anggaran 2012
Tahun
2009 (Kg) 2010 (Kg) 2011 (Kg) 2012 (Kg)
91.128.967 82.750.690 63.918.292 60.944.471
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, 2012
Data lain yang bisa dilihat yakni dari hasil temuan Christia Mediana dalam
salah satu artikel ilmiahnya yang berjudul “Scenarios For Sustainable Final
Waste Management Treatment in Developing Country”(Waste Management
Journal, Chapter 11, 2012), bahwa rata-rata pertumbuhan populasi manusia di
wilayah Yogyakarta naik sebesar 1.51%, sedangkan rata-rata pertumbuhan
volume sampah yang dihasilkan mengalami kenaikan sebesar 1.61%.
Peningkatan volume sampah yang semakin tidak terkendali pada akhirnya
memunculkan permasalahan tersendiri berkaitan dengan ketersediaan tempat
pembuangan akhir (TPA). Selama ini TPA Piyungan menjadi satu-satunya tempat
pembuangan akhir sampah di wilayah DIY dan pada tahun 2012, TPA Piyungan
dinyatakan tidak lagi mampu menampung besarnya volume sampah. Untuk
mengurangi ketergantungan tersebut, solusi yang bisa dilakukan yakni dengan
melakukan pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat. Konsep tersebut
yang kemudian menjadi salah satu pembahasan dalam kajian pengelolaan sampah
terintegrasi (integrated waste management).
Berbicara mengenai pengelolaan sampah secara makro, tentunya tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari kajian dan pembahasan mengenai pengelolaan sampah
yang berkesinambungan dan berkelanjutan (integrated waste management),
(Waste Management Journal, 2012). Secara umum, logika “waste management:
an integrated vision” (2012) menjelaskan bahwa wacana dan implementasi
pengelolaan sampah berarti berbicara mengenai 3 hal yakni: (1). Regulasi atau
kebijakan pada bidang sosial, politik, dan ekonomi (2). Strategi pengelolaan dan
managemen meliputi: human capital and social capital, dan (3). Partisipasi
masyarakat. Adapun salah satu pemahaman yang bisa dibangun dengan berangkat
dari discourse tersebut yakni pengengelolaan sampah dengan berbasis pada
pemanfaatan sumber daya manusia (human capital) dan sumber daya sosial
(social capital).
Perkembangan pembahasan maupun kajian mengenai pengelolaan sampah
dewasa ini tidak lagi bertumpu pada persoalan sampah sebagai suatu krisis dan
problematika lingkungan hidup dan sosial. Namun, lebih jauh, sampah
dikategorikan sebagai salah satu aset atau komoditi perdagangan yang mampu
memberikan dampak bagi perekonomian dan kesejahteraan manusia. Sampah
yang dikelola dengan baik dan profesional merupakan salah satu peluang usaha
(entrepeneurship) yang sangat menjanjikan sekaligus mendorong terciptanya
peningkatan kesejahteraan, disamping secara langsung memberi efek pengurangan
polusi dan pencemaran lingkungan. Dalam beberapa kajian dan penelitian yang
pernah dilakukan berkaitan dengan pengelolaan sampah muncul istilah Social
Preneur Vironmet2 yakni suatu bentuk usaha pengelolaan sampah yang bertolak
pada prinsip-prinsip sosial dalam pengembangannya. Secara umum, hal tersebut
dapat dipahami bahwa sampah sebagai limbah merupakan suatu peluang usaha
yang bisa dikelola dengan mengintegrasikan potensi dan sumberdaya yang ada,
baik dalam konteks sains, ekonomi, dan sosial: Human and Social Capital.
Pola pengelolaan sampah dengan berbasis pada perspektif sosial-ekonomis
sebagai bagian dari visi integratif atas waste management dalam penerapannya
bisa bertumpu pada kekuatan dan keberdayaan masyarakat untuk mengolahnya.
Pada perspektif inilah kemudian modal sosial dan sumberdaya manusia (human
capital) memegang peranan penting untuk menjalankan pengelolaan sampah.
Sebagaimana pemahaman dalam ruang lingkup relasi dan jejaring sosial, bahwa
secara bersamaan potensi sosial dan relasi yang terjadi antar aktor yang terlibat
didalam pengelolaan sampah akan membentuk sistem relasi yang saling
menguntungkan dan membuka peluang aksesibilitas atas aset yang muncul dalam
interaksi tersebut.
Berdasar pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumya, ruang lingkup
pengelolaan sampah meliputi beberapa aspek yakni: aspek operasional, aspek
organisasi dan managemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, dan
aspek partisipasi masyarakat3. Bank Sampah sebagai salah satu bagian dari
pengelolaan sampah mandiri dalam pelaksanaannya pun tidak lepas dari aspek-
aspek tersebut. Aspek partisipasi masyarakat menjadi salah satu aspek penting
2 Penelitian Tentang Bank Sampah “Gemah Ripah” Badegan: Social Preneur Vironment: (SPV) Based Economic Activities, Pada Tahun 2012 3 Bambang Riyanto, Penelitian tentang Prospek Pengelolaan Sampah Non-Konvensional di Kota Kecil: Studi Kasus di Gunung Kidul, 2008 dan Faizah, Penelitian Tentang Pengelolaan Sampah Mandiri Berbasis Masyarakat: Studi Kasus di Kota Yogyakarta, 2008
dalam pengelolaan Bank Sampah, bahkan bisa dikatakan partisipasi masyarakat
merupakan faktor terpenting diantara aspek-aspek lainnya karena bagaimanapun
juga logika pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat menuntut adanya
kesadaran, keinginan, dan kemauan dari masyarakat untuk mengelolanya.
Pada proses pengelolaan sampah ini, sadar atau tidak, masyarakat telah
menerapkan modal sosial yang secara langsung menjadi bagian dari aktivitas
relasi dan interaksi yang mereka lakukan. Pemahaman atas penerapan modal
sosial ini juga tidak lepas dari cara pandang sebelumnya bahwa pengelolaan
sampah, termasuk salah satunya Bank Sampah merupakan aktivitas ekonomi yang
mekanisme pengelolaannya melibatkan kepercayaan, komitmen, dan relasi yang
saling menguntungkan diantara aktor-aktor yang terlibat.
Penjelasan mengenai modal sosial banyak dijelaskan dalam literatur yang
membahas tentang perubahan sosial di masyarakat, adapun salah satu pengertian
dari modal sosial yakni „the sum of the actual and potential resources embedded
within, available through, and derived from the network of relationships
posessesed by an individual or social unit” (Usman, 2013, Hal: 4). Pemahaman
tersebut sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Colemen dalam Hans
Westlund dan Roger Bolton, yakni “social capital to be found in the links
(relation) between individual or actors” (Local Social Capital and
Entrepeneurship, 2003). Dengan kata lain modal sosial sebagai suatu sumberdaya
yang ada di dalam dinamika dan relasi sosial masyarakat. Kekuatan sumberdaya
tersebut tentunya tidak berada dalam ruang kosong atau menegasikan prinsip yang
melekat dalam modal sosial itu sendiri yakni prinsip akan harapan, komitmen atas
nilai-nilai bersama, dan relasi yang saling menguntungkan.
Modal sosial sebagai suatu perilaku yang mendorong terciptanya
produktivitas dan kreativitas baru tentunya tidak hanya dimaknai sebagai
sumberdaya dalam sudut pandang ekonomi semata (ansich), namun setidaknya
ada 3 pengertian yang bisa dipahami sebagaimana dijelaskan oleh Usman (2012)
yakni; pertama, modal sosial sebagai sumberdaya baik yang aktual dan potensial,
pengertian ini menunjukkan adanya dimensi konkret (fisik) dalam bentuk barang
yang bisa dipergunakan maupun disimpan. Kedua, modal sosial sebagai
sumberdaya yang melekat pada jaringan hubungan, pengertian menjelaskan
bahwa kaidah-kaidah yang melekat dalam modal sosial baru bisa di lihat ketika
terjadi relasi antar aktor yang terlibat dan ketiga, modal sosial sebagai sumberdaya
yang melekat dalam individu maupun kelompok (social unit)
Dalam konteks pengelolaan sampah melalui Bank Sampah, modal sosial
lebih dipahami dalam perspektif kedua, yakni sebagai sumberdaya yang melekat
dalam jaringan hubungan, di mana hubungan yang terjadi antar aktor-aktor yang
terlibat dalam kegiatan pengelolaan sampah tersebut menunjukkan adanya ikatan
sosial, relasi multi-dimensi, dan institusi sosial. Disamping itu, penelaahan modal
sosial dalam persoalan tersebut juga tidak bisa lepas dari penerapan dua eleman
yakni bonding social capital dan networking (bridging) social capital.
Kedua elemen tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam
mengoptimalkan modal sosial yang ada di masyarakat. Masyarakat secara budaya
(culture) sebenarnya memiliki ikatan-ikatan sosial-kekerabatan yang sangat dekat
(intim) yang dalam bahasa Durkheim disebut dengan solidaritas mekanik.
Kedekatan ikatan tersebut yang kemudian menjadi bagian dalam pola bonding
social capital dimana kekerabatan (kinship), agama, etnis, tempat tinggal, dan
keinginan untuk bertatap muka (face to face) merupakan prinsip dasar yang harus
dipegang teguh sampai kapanpun. Pola inilah yang sampai saat ini masih
dilakukan oleh masyarakat secara umum meski secara administratif kewilayahan
berada dalam ruang lingkup perkotaan yang dekat dengan nilai-nilai modernitas.
Saat ini, perkembangan penerapan modal sosial di masyarakat tentunya
tidak hanya berhenti pada ikatan-ikatan yang bersifat lokalitas semata, namun
lebih dari itu ikatan tersebut akhirnya melebar dan keluar dari batas-batas
kewilayahan (ikatan bonding), pemahaman atas realitas inilah yang dimaknai
dalam perspektif networking social capital. Masyarakat mulai melihat adanya
kebutuhan untuk memperluas relasi maupun ikatan diluar komunitasnya,
kesadaran masyarakat ini tentunya di dorong oleh semakin baiknya pemahaman
dan pengetahuan yang dimiliki. Secara kontekstual pola-pola tersebut sudah
dimengerti dan dilakukan oleh masyarakat atau tepatnya aktor-aktor yang terlibat
dalam aktivitas pengelolaan sampah melalui Bank Sampah. Sadar atau tidak,
mereka telah menggunakan modal sosial yang dimiliki untuk membangun
komitmen bersama (common value) dalam pengelolaan sampah yang kemudian
memberikan dampak atau hasil bagi peningkatan kualitas perekonomian dan
kesejahteraan.
Secara spesifik, penelitian yang membahas tentang pengelolaan sampah
baik yang bertumpu pada rumah tangga maupun Bank Sampah sudah cukup
banyak yang melakukan, beberapa diantaranya yakni;
1. Penelitian tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis
Masyarakat: Studi Kasus di Wilayah Kota Yogyakarta Pada Tahun 2008.
2. Penelitian tentang Prospek Pengelolaan Sampah Non-Konvensional di
Kota Kecil: Studi Kasus di Gunung Kidul Pada Tahun 2008
3. Penelitian tentang Pengelolaan Sampah Domestik Berbasis Komunitas:
Studi Kasus RT 05/RW 08 Kelurahan Cirakas, Kecamatan Cirakas,
Jakarta Timur Pada Tahun 2008
4. Penelitian tentang Kajian Pengelolaan Sampah Mandiri oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta Pada tahun 2012
5. Penelitian tentang Bank Sampah “Gemah Ripah” Badegan: Social Preneur
Vironment (SPV) Based Economic Activities, Pada Tahun 2012
Secara prinsip penelitian pertam dan keempat memiliki fokus kajian yang
tidak jauh berbeda. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Faizah (2008) fokus
pada aspek proses pengolahan sampah rumah tangga (domestik) baik organik
maupun anorganik dengan menggunakan prinsip reuse, reduce, dan recycle untuk
kemudian di daur ulang menjadi bahan tepat guna, kreatif, dan siap dikonsumsi
oleh masyarakat. Kemudian penelitian yang keempat yang dilakukan Bappeda
Kota Yogyakarta (2012) menekankan pada aspek identifikasi kebutuhan
pengelolaan Bank Sampah di masyarakat. Identifikasi disini dimaksudkan untuk
memperoleh masukan dari masyarakat atas kebutuhan-kebutuhan yang mereka
harapkan untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah mandiri.
Adapun kajian maupun penelitian yang terkait dengan penggunakan prinsip
modal sosial dalam pengelolaan Bank Sampah peneliti temukan pada penelitian
ketiga tentang “Pengelolaan Sampah Domestik Berbasis Komunitas”, dengan
cukup baik penelitian tersebut memberikan penjelasan bahwa Bank Sampah
sebagai salah satu bagian dari sektor usaha (wirausaha) yang bertumpu pada
pengelolaan sampah domestik dalam pelaksanaannya juga menggunakan 3 (tiga)
pilar utama modal sosial yakni: kepercayaan (trust), komitmen (commitment), dan
relasi saling menguntungkan (reciprocity). Secara umum yang masih kurang
dalam penelitian tersebut yakni tidak dijelaskannya secara rinci terkait dengan
relasi dan jejaring sosial yang terjadi antar aktor-aktor sosial yang terlibat selama
pelaksanaan pengelolaan Bank Sampah. Disamping itu, analisa mengenai
hubungan saling menguntungkan sebagai dampak (effect) dari adanya interaksi
sosial-ekonomi juga tidak dijelaskan.
Penelitian kelima tentang Bank Sampah: Social Preneur Vironment (SPV)
Based Economic Activities, secara khusus juga memberikan penjelasan bahwa
kegiatan pengelolaan sampah melalui Bank Sampah merupakan salah satu bentuk
usaha (enterpreneur) dengan memadukan prinsip sosial, lingkungan, dan
management usaha. Berdasarkan realitas dilapangan, pengelolaan Bank Sampah
sebagai salah satu bentuk usaha perekonomian tidak bisa dilepaskan dari prinsip-
prinsip sosial yang meliputi pembentukan relasi, pengoptimalan human capital,
dan community capital.
Dari indentifikasi rumusan penelitian (research question) kelima penelitian
tersebut diatas, maka penelitian ini mencoba mengambil sudut pandang analisis
dengan melihat penerapan modal sosial dalam aktivitas pengelolaan Bank Sampah
sebagai infrastruktur dan agen perubah bagi kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat. Secara sosiologis penelitian ini ingin mengkaji relasi yang terjadi
antar aktor-aktor sosial yang terlibat dalam aktivitas tersebut, dan kaitannya
dengan ikatan dan institusi sosial yang ada di masyarakat. Peneliti secara
mendalam ingin melihat bagaimana aspek kepercayaan, komitmen bersama, dan
hubungan yang saling menguntungkan dilakukan dalam relasi yang terjadi pada
aktivitas pengelolaan sampah melalui Bank Sampah.
1.6 Kerangka Konseptual
Pembahasan maupun kajian mengenai sampah sebenarnya dewasa ini telah
mengalami perubahan dalam cara pandang (perspektif). Kajian tentang sampah
pada perkembangannya tidak lagi berhenti pada persepsi kebersihan lingkungan
dan keseimbangan ekologi, namun lebih jauh melihat sampah sebagai potensi
yang bisa dikelola serta memiliki kemanfaatan dan nilai guna secara ekonomis.
Cara pandang seperti inilah yang kemudian banyak menghasilkan discourse,
kajian, dan strategi pengelolaan sampah secara sistematis, modern, dan
profesional, dengan kata lain waste management sangat diperlukan bagi
peningkatan daya guna sampah dalam konteks pembangunan lingkungan yang
berkelanjutan (eviromental sustainability). Pemahaman ini pada akhirnya
membentuk konstruksi bahwa pengelolaan sampah lebih khususnya pengelolaan
sampah melalui Bank Sampah merupakan sarana bagi terwujudnya lingkungan
sosial yang lebih baik dan membawa implikasi ekonomi.
Berkaitan dengan pengelolaan sampah, Faizah (2008) dalam penelitian
yang pernah dilakukannya mengidentifikasi setidaknya ada 5 (lima) aspek atau
komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu: (1). aspek teknis
operasional, (2). aspek organisasi dan managemen, (3). aspek hukum dan
peraturan, (4). aspek pembiayaan, dan (5), aspek partisipasi atau peran serta
masyarakat. Melalui aspek-aspek tersebut dapat dilihat bahwa aspek organisasi
beserta managemen dan partisipasi dari masyarakat merupakan bagian dari circle
(siklus) dari apa yang disebut dengan managemen sampah (waste management).
Menurut Widyatmoko dan Moerdjoko dalam Faizah (2008, hal: XXI)
menyatakan bahwa organisasi dan managemen memilki peran pokok dalam
menggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem pengelolaan sampah.
Melalui mekanisme tersebut sebenarnya sangat memungkinkan untuk
mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam suatu organisasi dimana modal
sosial menjadi salah satu bagian dari mekanisme tersebut. Kondisi tersebut juga
akan mendorong masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pengelolaan
sampah secara mandiri. Dengan demikian, managemen dan pengelolaan sampah
merupakan kajian yang sangat relevan untuk diangkat dan menjadi isu bersama
(common issue) dalam kaitannya dengan upaya pemerintah menjadikan program
pengelolaan sampah melalui Bank Sampah sebagai salah satu strategi dan
rekayasa sosial dalam mengelola lingkungan.
Adapun kerangka konseptual yang coba peneliti bangun pada penelitian
kali ini yakni berkaitan dengan aktualiasasi modal sosial yang secara eksplisit
melekat dan dibangun dalam aktivitas pengelolaan Bank Sampah yang memberi
dampak keberlangsungan pengelolaan sampah di masyarakat. Strategi penelitian
yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan pendekatan
studi kasus dan penjelasan atas teori modal sosial. Dipilihnya studi kasus sebagai
strategi penelitian karena dalam pandangan peneliti hal tersebut merupakan
strategi yang paling tepat untuk melihat serta menjelaskan persoalan yang
melatarbelakangi munculnya pengelolaan sampah dengan berbasis pada Bank
Sampah.
Dalam aktivitas pengelolaan sampah, pada konteks ini pengelolaan
sampah melalui Bank Sampah terdapat 3 elemen dasar bagi berlangsungnya
modal sosial. Pertama, aktor sosial yang terlibat. Aktor-aktor yang secara
langsung terlibat dan melakukan relasi timbal balik yakni: pengelola Bank
Sampah, masyarakat sebagai anggota (nasabah), dan pengepul sampah. Ketiga
aktor tersebut saling berhubungan dan memiliki pola interaksi yang menarik untuk
diamati. Dalam interaksinya, mereka secara langsung menerapkan (1). prinsip
kepercayaan (trust), baik antara pengelola Bank Sampah dengan nasabah
maupaun pengelola Bank Sampah dengan pengepul sampah (2). Adanya
komitmen (commitment) bersama atas tujuan yang ingin diraih, salah satu nilai
yang mereka sepakati bersama yakni keinginan untuk mengurangi dampak
lingkungan dari sampah, dan (3). Hubungan yang saling menguntungkan
(reciprocity), dalam penelitian ini, pembahasan mengenai relasi yang saling
menguntungkan dimaknai dalam perspektif sosial, dimana masyarakat sebagai
nasabah menggunakan nilai-nilai sosial sebagai salah satu aspek dalam
membangun relasi dengan pengelola Bank Sampah. Hubungan yang saling
menguntungkan inipun tidak hanya terjadi dalam ruang relasi masyarakat sebagai
nasabah dengan pengelola Bank Sampah, namun juga terjadi antara pengeloa
Bank Sampah dengan pengepul sampah yang dalam konteks ini tidak bisa
dinegasikan begitu saja.
Secara konseptual, membahas mengenai modal sosial memang sangat luas
dan tentunya sudah banyak literatur yang mengkaji dari berbagai perspektif,
namun demikian dalam kaca mata sosiologi, modal sosial tidak muncul secara
tiba-tiba, dengan kata lain, modal sosial merupakan sumberdaya (resources) yang
secara alami melekat dalam individu maupaun masyarakat sebagai suatu
komunitas. Semakin dipupuk dan diasah, modal sosial yang dimiliki oleh masing-
masing subyek akan memberi dampak bagi proses perubahan sosial dan
produktivitas. Secara umum dapat dikatakan bahwa modal sosial akan berada
pada pembahasan yang meningkatkan produktivitas, aksesibilitas aset, dan
kesejahteraan ekonomi. Selain itu, Collier juga menjelaskan perspektifnya tentang
modal sosial terkait dengan aktivitas ekonomis yang didasari dari pemikiran
Coleman dalam Westlund dan Bolton “ identifies three effect of social capital, all
constituting externalities; social capital; consist of knowledge that is disseminated
and exchange in the social network, thereby raising the level of human capital; it
increase mutual trust between actors, it increase capacity for common section.
(local social and enterpeneur, 2003, Hal: 89).
Menurut Laser, dalam Widianingsih (2006) menegaskan bahwa modal
sosial sangat penting dalam komunitas karena; (1) mempermudah akses
informasi bagi anggota komunitas, (2) menjadi media power sharing atau
pembagian kekuasaan dalam komunitas, (3) memungkinkan mobilisasi sumber
daya komunitas (4) memungkinkan pencapaian bersama, (5) mengembangkan
solidaritas serta (6) membentuk prilaku bersama dan berorganisasi dalam
komunitas. Adapun Carrier R. Leana dan Van Burren dalam Prayoga (2013: Hal
22) berpandangan bahwa lingkup modal sosial dalam tiga komponen utama,
yaitu associability, shared trust, dan shared responsibility .
Pemahaman dalam konteks associabilitiy penekanannya ada pada prinsip
sociability yakni kemampuan melakukan interaksi sosial dibarengi dengan
kemampuan memacu aksi kolektif yang memadai dalam usaha-usaha
bersama. Disamping itu dibutuhkan shared trust atau kepercayaan timbal
balik, dan juga shared responsibility atau tanggungjawab timbal balik dalam
usaha kolektif. Dalam perspektif serupa, Don Cohen Laurens dalam Harvard
Business Press, Mei 2001, mengungkapkan bahwa social capital (SC), dapat
terlihat dalam aspek trust, mutual understanding, shared knowledge (pengetahuan
bersama) dan cooperative action (aksi bersama). (Lihat, Krisdyatmiko dalam
Sunartiningsih, (ed), 2004:74).
Modal sosial sendiri oleh banyak ilmuwan sosial dikatakan mampu
berkembang layaknya modal fisik meski kemudian harus terjadi dalam level
hubungan sosial yang berbeda-beda, namun demikian setidaknya ada 2 (dua)
pandangan atas hal tersebut yakni: pertama, hubungan sosial yang berskala mikro
yaitu dalam bentuk relasi antar aktor-aktor sosial, dan kedua, hubungan sosial
dalam skala meso yaitu relasi yang terjadi antar organisasi-organisasi sosial. Jika
kemudian melihat aspek persoalan yang diangkat dalam penelitian ini maka lebih
relevan menggunakan sudut pandang pertama. Secara konseptual dapat dijelaskan
bahwa penelitian ini mencoba mengambil sisi mikro yang digambarkan dari pola
interaksi antar aktor yang terlibat
Pemahaman atas pandangan hubungan sosial skala mikro dijelaskan lebih
jauh oleh Usman (2012, Hal: 8) bahwa adanya asumsi bahwa aktor-aktor sosial
yang mampu membangun jejaring (networking) yang lebih luas biasanya memiliki
potensi modal sosial yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hanya
memiliki jejaring terbatas. Adapun jejaring tersebut dapat dibentuk dengan
berdasar pada ikatan, agama, ideologi, etnis, lokalitas, dan kesamaan cara
pandang. Dengan berdasar pada peletakan pandangan atas penelitian ini maka
penting kemudian untuk memberikan penjelasan dan gambaran atas pola relasi
yang sebenarnya terjadi dalam aktivitas pengelolaan sampah.
Dengan berdasar pada perspektif dan kerangka konseptual di atas, berikut
di bawah ini gambaran (bagan) kerangka konseptual yang peneliti coba
sistematiskan :
Gambar 1.1
Modal Sosial Pengelolaan Bank Sampah
Kelurahan Brontokusuman
Keterangan :
: Bank Sampah
: Relasi dalam Jaringan Komunitas Bank Sampah
: Fasilitator Kelurahan (Broker)
: Relasi Modal Sosial: Kepercayaan (trust), Komitmen
(Commitment), Resipositas (reciprocity)
Nasabah Pengepul
Sampah
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil setting (lokasi) di Kelurahan Brontokusuman.
Berdasarkan data dari profil Kota Yogyakarta dalam angka4, Kelurahan
Brontokusuman merupakan salah satu kelurahan yang secara geografis lebih
rendah dibandingkan wilayah-wilayah lain di Kota Yogyakarta. Pada tahun 1980-
an, Kelurahan Brontokusuman teridentifikasi sebagai salah satu wilayah kumuh
dan berada di bantaran sungai code. Dengan kondisi ini, seringkali jika hujan
turun maka air dan sampah yang berasal dari wilayah lain akan bermuara di
Kelurahan Brontokusuman. Situasi dan kondisi inilah yang kemudian mendorong
warga masyarakat di Kelurahan Brontokusuman untuk melakukan upaya
pencegahan dan pengelolaan sampah dengan membentuk pengelolaan Bank
Sampah sebagai salah satu bagian dari pengelolaan sampah mandiri berbasis
masyarakat.
Adapun alasan pemilihan Kelurahan Brontokusuman sebagai lokasi
penelitian yakni:
1. Lokasi tersebut sebagai salah satu pilot project pengembangan
program Kampung Hijau
2. Jumlah komunitas pengelolaan sampah ada sekitar 6 Bank Sampah dan
salah satunya ditunjuk sebagai Bank Sampah percontohan yakni yang
terletak di RW 16, Kampung Karanganyar
4 Profil Kota Yogyakarta dalam Angka, Tahun 2009
3. Management pengelolaan Bank Sampah yang dilakukan di lokasi
tersebut secara administratif sudah tertata dengan baik dan cukup
profesional
4. Terdapatnya jejaring yang dilakukan oleh Unilever sebagai mitra
dalam pengembangan pengelolaan sampah mandiri, termasuk salah
satunya melakukan pendampingan atas pelaksanaan Bank Sampah
5. Jumlah nasabah dari Bank Sampah di lokasi tersebut saat ini sudah
mencapai cukup banyak, lebih dari 200 nasabah.
6. Pengelola Bank Sampah mengedepankan penerapan prinsip-prinsip
modal sosial (intangibel asset) disamping penguatan aset fisik
(tangibel asset)
7. Tinginya rasa kesadaran dan kepemilikan warga masyarakat di lokasi
penelitian untuk turut serta menghidupkan dan mengembangkan Bank
Sampah
8. Besarnya keinginan masyarakat untuk menjadikan lingkungan tempat
tinggalnya bersih, rapi, dan nyaman, serta melakukan pengelolaan
sampah yang memiliki nilai ekonomis.
Pengelolaan Bank Sampah di wilayah Kelurahan Brontokusuman ada di 6
(enam) tempat yakni di Perumahan Green House, RW 7, RW 5, RW 19, RW 16,
dan RW 04. Pengelolaan Bank Sampah tersebut tergabung dalam komunitas Bank
Sampah yang ada di wilayah Kelurahan Brontokusuman, dimana dari hasil
observasi lapangan secara prinsip menerapkan modal sosial. Adapun untuk
menggali dan mengetahui lebih jauh penerapan modal sosial dalam pengelolaan
Bank Sampah maka peneliti fokus untuk menggali data melalui para pengelola
Bank Sampah yang berada di Karanganyar, Kelurahan Brontokusuman.
Dipilihnya pengelolaan Bank Sampah tersebut, dikarenakan berdasarkan
pengamatan (observasi) peneliti dan juga saran dari Kepala Kelurahan
Brontokusuman, para pengelola selama ini menerapkan unsur-unsur modal sosial
dan jaringan dalam menjalankan kegiatannya. Dengan demikian akan terlihat
dengan jelas bagaimana unsur kepercayaan, komitmen bersama, dan relasi
resiprositas diterapkan oleh Bank Sampah-Bank Sampah di wilayah Kelurahan
Brontokusuman yang tergabung dalam komunitas Bank Sampah Brontokusuman
ketika menjalankan kegiatan usahanya.
1.7.2 Kebutuhan dan Jenis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif
(qualitative approach) sebagai salah satu upaya peneliti untuk melihat realitas dan
relasi sosial kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Denzin dan Lincoln (1994:
4) menyatakan qualitative research is many thing to many people, hal ini
menandakan bahwa melalui penelitian kualitatif seorang peneliti dimungkinkan
untuk melihat relasi, interaksi, dan tindakan sosial antar individu maupun
kelompok dan kemudian mengambil arti dan makna yang sesungguhnya dari
realitas yang terjadi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitan
deskriptif. Melalui tipe penelitian deskriptif ini memungkinkan peneliti
melakukan deskriptif atas fenomena atau gejala sosial berkenaan dengan masalah
dan unit analisa yang ingin diteliti (Faisal: 1995:20). Adapun salah satu alasan
menggunakan metode penelitian kualitatif yakni untuk memperoleh tingkat
deskripsi dan analisa yang mendalam mengenai penerapan modal sosial dalam
pengelolaan Bank Sampah yang berada di Kelurahan Brontokusuman. Dengan
berpijak pada hal tersebut, maka penelitian ini ingin melihat sekaligus
memberikan gambaran yang akurat serta mendalam tentang upaya penerapan
modal sosial dalam pengelolaan Bank Sampah. Sebagai suatu strategi, diharapkan
modal sosial mampu menjaga keberlangsungan Bank Sampah dikemudian hari.
Kebutuhan data dalam penelitian ini meliputi: (1). Pengelolaan Sampah
Mandiri Berbasis Masyarakat, (2) Penerapan Modal Sosial dalam pengelolaan
Bank Sampah, dan (3) Pembentukan jaringan sosial dalam komunitas Bank
Sampah.
Adapun Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi;
transkrip wawancara mendalam (indepth Interview) dengan informan atau
narasumber, dokumentasi foto, dan dokumen-dokumen pendukung seperti; buku,
jurnal, dan makalah
1.7.3 Unit Analisis dan Informan Penelitian
Untuk memperjelas serta memetakan arah dan tujuan dari penelitian yang
dilakukan maka penentuan unit analisa merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Dalam penelitian ini unit analisanya adalah organisasi Bank Sampah itu
sendiri yang kemudian diturunkan dalam konteks relasi dan interaksi antar aktor-
aktor yang terlibat didalamnya yakni antara pengelola Bank Sampah dengan
masyarakat dan pengelola Bank Sampah dengan pihak luar, interaksi tersebut
tentunya beraitan dengan penerapan modal sosial yang meliputi aspek
membangun kepercayaan, aspek membanguan kesadaran dan komitmen bersama,
aspek relasi yang saling menguntungkan, dan aspek membangun jaringan dengan
pihak luar. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan maka peneliti perlu
menentukan informan-informan kunci, adapun para informan tersebut yakni
orang-orang yang secara langsung terlibat dalam ruang lingkup pengelolaan Bank
Sampah, termasuk didalamnya key person yang mengetahui regulasi maupun
kebijakan tentang Pengelolaan Sampah Mandiri (PSM) berbasis masyarakat yang
diinsiasi oleh Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, informan ditentukan secara purposive yakni dengan
menentukan dan mengambil orang-orang yang memahami betul atas persoalan
penelitian yang ingin peneliti angkat. Secara teknis, peneliti melakukan observasi
awal terlebih dahulu untuk menentukan orang-orang yang secara langsung terlibat
dalam penerapan modal sosial dalam mengelola Bank Sampah, selain itu juga
memilih orang kunci yang secara kebijakan turut memegang andil dalam
mendorong tumbuhnya Bank Sampah di masyarakat. Adapun penentuan informan
dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
A. Informan Kunci (key informant) yakni orang-orang yang memiliki
informasi dan pengetahuan pokok mengenai penerapan modal sosial
dalam pengelolaan Bank Sampah sehingga menjadi infrastruktur
sosial yang mampu mendorong perubahan sosial di masyarakat
B. Informan Utama yakni pengelola Bank Sampah dan warga
masyarakat yang menjadi nasabah, dimana secara langsung terlibat
dalam penerapan modal sosial dalam pengelolaan Bank Sampah
sehingga mampu menjadi infrastruktur bagi perubahan sosial
C. Informan Tambahan yakni orang-orang yang dianggap mengetahui
dan dapat memberikan informasi tentang penerapan modal sosial
dalam pengelolaan Bank Sampah meski tidak terlibat secara
langsung.
Selama penentuan informan, peneliti tidak mengalami kesulitan yang
berarti, ini dikarenakan sebelum wawancara mendalam dilakukan, peneliti sudah
mendapatkan informasi terkait dengan informan kunci dan informan utama dari
salah satu pengelola Bank Sampah ketika observasi lapangan dilakukan. Setelah
mendapat informasi terkait dengan informan, maka peneliti mendapatkan 9
informan utama dan 2 informan kunci. Penentuan jumlah informan tersebut tidak
lagi mengalami perubahan karena selama melakukan pencarian data, peneliti tidak
lagi menemukan variasi jawaban atas rumusan masalah yang diangkat. Dengan
demikian, peneliti menganggap data maupun informasi yang diperoleh dari para
informan cukup untuk dianalisis dan menjawab permasalahan penelitian.
Wawancara diawali oleh peneliti dengan mewawancarai informan pertama yakni
Lurah Brontokusuman, nuansa diskusi terbangun dengan sendirinya dalam
wawancara tersebut. Dari informan tersebut, peneliti mendapat informasi
mengenai situasi sosial kemasyarakatan dari Kelurahan Brontokusuman secara
umum, selain itu juga sedikit tambahan informasi mengenai pengelolaan sampah
di wilayah tersebut sehingga terlaksana program kampung hijau termasuk salah
satunya pendirian Bank Sampah. kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai
informan kedua yakni Pengelola Bank Sampah. Wawancara dilakukan pada hari
minggu kurang lebih jam 08.30 WIB hingga selesai dengan bertempat di balai
RW yang juga merupakan pusat dari kegiatan Bank Sampah “Mekar Asri”. Dari
wawancara tersebut peneliti banyak mendapatkan informasi terkait dengan latar
belakang pembentukan bank sampah hingga proses pengelolaannya yang
melibatkan masyarakat. Wawancara selanjutnya juga peneliti lakukan pada hari
yang sama dengan mewawancarai infroman ketiga yaitu salah satu warga yang
berprofesi sebagai pengepul dari wawancara ini peneliti memperoleh cukup
informasi mengenai pelaksanaan modal sosial dalam pengelolaan Bank Sampah di
Kampung Karanganyar, selain itu, peneliti juga memperoleh informasi berkaitan
dengan relasi resiprositas antara pengelola Bank Sampah dengan pengepul dan
juga prinsip kepercayaan “Tuna Sathak Bathi Sanak” yang dibangun.
Untuk memperoleh informasi yang lebih dalam dan berimbang, peneliti
kemudian melakukan wawancara dengan informan keempat yakni salah seorang
tokoh masyarakat (ketua RW) yang merupakan salah satu informan kunci.
Informasi yang diberikan oleh informan tersebut secara jelas menggambarkan
bagaimana modal sosial memegang peranan penting dalam mengelola Bank
Sampah, disamping itu sosok aktor sosial (human capital) juga menjadi kunci
bagi kesuksesan pembentukan relasi sosial ke masyarakat dan aksesibilitas
jejaring dengan pihak luar. Selanjutnya wawancara dilakukan kepada informan
kelima yakni salah seorang warga masyarakat yang menjadi nasabah dari Bank
Sampah. Dari wawancara ini peneliti mendapatkan informasi yang lebih
barvariasi terutama berkaitan dengan relasi yang saling menguntungkan melalui
keberadaan Bank Sampah tersebut. Secara spontan informan juga memberikan
informasi terkait dengan adanya perubahan secara sosial dan ekonomi selama
pengelolaan Bank Sampah tersebut dilakukan. Adapun setelah melakukan
wawancara dengan informan keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan peneliti
tidak menemukan lagi variasi data sehingga peneliti mencoba mencari kembali
informan yang selanjutnya.
Informan yang kesepuluh yakni nasabah dari Bank Sampah. Kemudian
informan yang selanjutnya yakni kesebelas merupakan salah satu staf dari Badan
Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Yogyakarta, selama melakukan wawancara,
peneliti banyak mengetahui tentang kebijakan atau regulasi yang menaungi
pelaksanaan program PSM termasuk didalamnya Bank Sampah di Kota
Yogyakarta. Disamping itu, peneliti juga mendapat informasi dan data tentang
progress report pelaksanaan Bank Sampah yang pada kenyataanya tidak semua
berjalan dengan baik, selain itu juga penerapan aspek-aspek non-fisik (sosial)
yang secara langsung juga berkontribusi bagi kontinuitas pengelolaan Bank
Sampah.
Berikut daftar tabel dan identitas informan Utama dan Informan Kunci:
Tabel 1.2
Daftar dan Identitas Informan Utama
NO NAMA POSISI PEKERJAAN
1 Pardiyat Fasilitator Kelurahan Lurah
Brontokusuman
2 Dalyono Pengelola Bank Sampah Pegawai Swasta
3 Karno - Pengepul Sampah
4 Yamino Nasabah Tidak Bekerja
5 Habib Nasabah Guru PAUD
6 Sofyan Pengelola Bank Sampah Satpam Hotel
7 Astuti Rahayu Tokoh Masyarakat Guru
8 Ibu Tris Nasabah Ibu Rumah Tangga
9 Wintolo Nasabah Pedagang
Sumber: Data Primer 2013
Tabel 1.3
Daftar dan Identitas Informan Kunci
NO NAMA POSISI
1 Sarmidi Tokoh Masyarakat dan Pengelola Bank Sampah
2 Faizah Staf Badan Lingkungan Hidup
Pemerintah Kota Yogyakarta
Sumber: Data Primer 2013
Selain informan utama dan informan kunci, penelti juga melakukan
wawancara dengan informan tambahan yang menurut pandangan peneliti cukup
mengetahui seluk beluk pengelolaan Bank Sampah di Kelurahan Brontokusuman .
Berdasarkan wawancara dengan informan keduabelas ini, peneliti menemukan
adanya informasi yang lebih berkembang terutama berkaitan dengan aksesibilitas
jaringan dengan pihak baik bervertikal maupun horisontal sehingga mendukung
pengelolaan Bank Sampah yang lebih baik. Dari informan keduabelas ini peneliti
juga mendapatkan informasi tentang bagaimana aspek-aspek sosial (social
capital) memegang peranan penting dalam pengelolaan Bank Sampah.
Tabel.1.4
Daftar dan Identitas Informan Pendukung
NAMA PEKERJAAN
Tri Suryati Pendamping dari Unilever
Sumber: Data Primer 2013
Selama pengambilan data, penerimaan dan keterbukaan dari pengelola
Bank Sampah serta warga masyarakat sekitar peneliti rasakan begitu baik. Secara
antusias, pengelola Bank Sampah menawarkan berbagai kemudahan dalam
mengkases data dan membantu dalam mencari informan yang peneliti butuhkan.
1.7.4 Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni:
1. Data Primer yaitu sumber data utama yang didapatkan dari kata-kata,
tindakan serta keterangan informasi yang dikumpulkan oleh peneliti
dengan melakukan wawancara mendalam kepada setiap informan. Sumber
data dari penelitian ini telah peneliti tentukan sebelumnya. Adapun
informasi yang digali dalam wawancara tersebut meliputi: (1).
Pengelolaan sampah sandiri berbasis masyarakat, (2). Penerapan modal
sosial dalam pengelolaan Bank Sampah, dan (3) Pembantukan jaringan
sosial dalam komunitas Bank Sampah.
2. Data Sekunder diperoleh dengan melakukan kajian dari memanfaatkan
literatur atau sumber tertulis seperti: buku, jurnal, hasil penelitian atau
karya ilmiah, website, koran, majalah, dan data statistik yang mendukung
peneliti untuk memahami konteks penelitian yang diangkat.
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, instrumen pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi permasalahan-permasalahan penelitian melalui
observasi lapangan secara langsung atas aktivitas pengelolaan Bank
Sampah yang biasanya dilakukan setiap hari minggu, mulai dari jam
08.00-11.00 WIB, bertempat di balai RW. Pada hari itu, warga
masyarakat Kelurahan Brontokusuman yang menjadi nasabah secara rutin
seminggu sekali menyetor sampah rumah tangga berupa sampah organik
seperti: plastik kresek, botol plastik, kertas, karton, besi bekas, dan lain-
lain. Observasi ini dilakukan oleh peneliti dalam rangka membangun
kepercayaan dan kedekatan secara personal dengan warga masyarakat dan
pengelola Bank Sampah sehingga diharapkan akan memudahkan peneliti
untuk mengambil data dan informasi.
b. Pengamatan juga peneliti lakukan atas aktivitas pengelolaan Bank Sampah
pada setiap minggunya, untuk melihat interaksi atau relasi yang terjadi,
baik antara pengelola Bank Sampah dengan nasabah, pengepul maupun
jaringan yang berjalan dalam komunitas Bank Sampah.
c. Selain melakukan pengamatan, pengumpulan data juga dilakukan dengan
melakukan wawancara mendalam (indepth interview), baik kepada Badan
Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, tokoh masyarakat, pengelola Bank
Sampah, dan warga masyarakat di wilayah penelitian yang selama ini
terlibat dalam aktivitas pengelolaan sampah. Pengumpulan data ini
dilakukan dengan memanfaatkan momen aktivitas pengelolaan Bank
Sampah atau pengumpulan sampah oleh warga masyarakat yang dilakukan
setiap hari minggu. Berawal dari momentum tersebut, peneliti mendapat
banyak kesempatan untuk berdialog dan berdiskusi terkait dengan
penerapan modal sosial serta munculnya perubahan secara sosial dan
ekonomi sebagai dampak dari keberadaan Bank Sampah dan pengelolaan
sampah mandiri secara umum.
d. Dalam melakukan pengumpulan data ini, peneliti mewawancarai beberapa
orang yang peneliti anggap sebagai informan kunci maupun informan
utama. Adapun untuk informan kunci, peneliti mewawancarai Ketua RW
16 dan salah satu staf dari Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota
Yogyakarta, sedangkan untuk informan utama peneliti mewawancarai
pengelola Bank Sampah, nasabah Bank Sampah, pendamping Bank
Sampah dari Unilever, dan pengelola PKK.
e. Selain melakukan pencarian data primer, untuk melengkapinya peneliti
juga melakukan studi literatur atas buku, jurnal, dan makalah yang
membahas tentang pengelolaan sampah (waste management) yang
terintegrasi, dimana dalam kajiannya melibatkan aspek modal sosial dan
non-sosial sebagai aspek penting dalam pengelolaan Bank Sampah
1.7.6 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian yakni teknik
deskriptif kualitatif. Melalui pendekatan analisa data ini, perolehan data primer
dan data sekunder dikumpulkan,, diklasifikasikan, dan kemudian diinterpretasikan
ke dalam bentuk kata-kata maupun kalimat sehingga diperoleh gambaran yang
jelas mengenai fokus permasalahan yang sedang diteliti. Adapun analisa data
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan reduksi data, pada tahapan ini dilakukan dengan pemilahan dan
pengambilan data baik dari data primer dan data sekunder yang nantinya
digunakan untuk melakukan analisa, sedangkan data yang tidak diperlukan
untuk menunjang analisa tidak diambil. Dalam tahapan ini peneliti
melakukan transkrip atas hasil wawancara mendalam dan observasi. Data
yang sudah tertranskrip kemudian dipilah dan dipilih dengan disesuaikan
pada ketepatan atau keterikatan dengan fokus penelitian. Pada konteks ini
berkaitan dengan penerapan modal sosial yang meliputi aspek
kepercayaan, komitmen bersama dan relasi resiprositas yang terjadi dalam
pengelolaan Bank Sampah di Kelurahan Brontokusuman.
2. Tahapan penyajian data, tahapan ini merupakan proses lebih lanjut untuk
menyajikan data agar lebih mudah untuk dimengerti dan dipahami.
Penyajian data akan dilakukan dalam bentuk uraian naratif, tabel data,
gambar atau skema, yang memungkinkan untuk lebih mudah dipahami dan
menjamin keakuratan serta kevalidan data untuk dianalisa.
3. Tahapan penarikan kesimpulan, proses ini merupakan tahapan terakhir
dari garis besar analisa data yakni dengan melakukan penarikan
kesimpulan dari hasil reduksi dan penyajian data. Pada tahap ini peneliti
selalu melakukan pengecekan dan uji keabsahan (validitas) atas kebenaran
hasil interpretasi, caranya dengan melewati mekanisme peninjauan
kembali reduksi data dan penyajian data serta melakukan triangulasi dan
observasi (Miles dan Huberman, 1992, 16-19). Pada kesimpulan juga akan
dimunculkan keterkaitan anatara teori dengan data hasil penelitian, hal ini
untuk melihat apakah hasil penelitian yang ditemukan mendukung teori
ataukah justru menjadi kritik atas teori tersebut.
Akhirnya untuk memperoleh data yang akurat dan kevalidan penelitian,
maka peneliti menggunakan analisa data yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman tersebut diatas. Setelah data berupa hasil wawancara dan dokumentasi
didapatkan, kemudian peneliti melakukan pemilahan dan klasifikasi atas data
primer dan sekunder dengan disesuaikan pada kebutuhan data. Setelah klasifikasi
data dilakukan, data disajikan dalam bentuk uraian narasi deskriptif, kemudian di
tahap akhirnya dilakukan pengujian kebenaran data dengan teknik triangulasi dan
observasi terhadap temuan data sekunder untuk kemudian dilakukan penarikan
kesimpulan
Proses analisa data ini dilakukan secara beriringan karena dianggap
sebagai suatu siklus teknik analisa dan bukan sebagai proses baku yang bisa
dilakukan hanya dengan sekali penarikan kesimpulan. Berpijak pada pemahaman
inilah maka selama melakukan reduksi data, peneliti juga melakukan proses
penyajian data dan verifikasi data. Hasil dari verifikasi data tersebut kemudian
diolah melalui mekanisme triangulasi, setelah itu peneliti melakukan proses
reduksi dan penyajian data kembali hingga diperoleh kesimpulan yang valid.
Gambar 1.2
Teknik Analisa Data
1. Reduksi Data dari hasil pengambilan data primer
dan sekunder
2. Menyajikan data dengan
menampilkan catatan
lapangan
3. Verifikasi data dengan proses
triangulasi melalui diskusi, observasi
dan rekaman lapangan sehingga
penarikan kesimpulan