bab 1 - hk itu prilaku kita sendiri
TRANSCRIPT
1
Hukum Itu
Perilaku Kita Sendiri
anganlah cepat-cepat menilai karut-marut kehidupan
hokum Indonesia dewasa ini hanya dari sisi hokum,
seperti perundang-undangan. Pengamatan sampai sekarang
menunjukkan, dalam wacana tentang Negara hukum dan
supremasi hokum, perhatian masih lebih diarahkan pada
aspek perundakng-undangan. Contoh terakhir adalah
kesibukan bangsa ini untuk mengamandemen UUD.
J
Perlu ditambahkan, pembenahan sisi perundang-undangan bukannya tidak perlu,
tetapi bukan satu-satunya. Dengan sekalian kesibukan membenahi sisi perundang-
undangan, gerakan supremasi hukum ternyata amat kurang memberi hasil. Dunia dan
kehidupan ukum kita masih jalan di tempat dangan segala karut-marutnya.
Lalu, di mana salahnya? Apanya yang salah?
Tulisan ini coba menyoroti aspek lain dari kehidupan hukum secara lebih lengkap,
dengan menambahkan optik perilaku. Mudah-mudahan dengan demikian bisa dimulai
suatu babak baru dalam usaha kita untuk menjadi suatu negara hukum yang sebenarnya.
Peraturan dan perilaku
Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak sekali “intervensi”
oleh perilaku terhadap normativitas (perintah) dari hukum. Orang membaca peraturan
dan berpendapat bahwa orang harus bertindak begini atau begitu. Tetapi, yang terjadi
ternyata berbeda atau tidak persis seperti dimengerti orang. Inilah yang disebut intervensi
perilaku ini. Berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan
hanya urusan (a bussiness of rules), tetapi juga perilaku (Matter of behavior).
Dalam suatu peraturan, misalnya, jelas tercantum secara limitatif, yang boleh
mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara pidana yang sudah diputus adalah
terpidana atau ahli warisnya. Tetapi, pernah jaksa mengajukan PK dan diterima
pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku jaksa.
Hakim agung O.W.Holmes menyatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal
logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience).
Sebagai hakim agung yang berpengalaman luas, ia tahu benar betapa sering intervensi itu
dilakukan.
Van Doorn, sosiolog hukum Belanda mengutarakan secara lain. Hukum, katanya,
adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri
cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor
pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk
perilakunya.
Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, kita perlu menaruh
perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa. Kehidupan hukum tidak
hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut
soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang lebih luas.
“Aturan main” UUD 1945
Sebenarnya ada contoh yang dekat dengan diri kita, yaitu UUD sekarang ini.
Selama ini kita hampir selalu mengabaikan perilaku orang-orang yang menjalankannya.
Kita melewatkan perhatian terhadap kultur konstitusi. “sekalipun dibuat UUD yang
bersifat perseorangan, maka UUD tidak ada gunanya”, demikian kata-kata yang tertera
dalam penjelasan UUD. Ini satu isyarat untuk memberi perhatian terhadap aspek perilaku
dan kultur konstitusi.
Apa yang tercantum dalam penjelasan itu sebenarnya merupakan aturan main
yang penting bagi sukses menjalankan UUD. Dengan mencantumkan kata-kata seperti
itu, sesungguhnya para penyusun UUD sudah melakukan suatu tindakan yang boleh
dibilang cukup jenius, karena sudah merambah ke wilayah “kultur hukum”.
Disebut jenius, karena aspek kultur hukum masih belum banyak dibicarakan
dunia saat itu (tahun 1940-an). Bahkan, di dunia akademis atau ilmu hukum, ia baru
diperhitungkan sebagai unsur sistem tahun 1960-an. Maka, bila nanti perubahan UUD
sudah beres, sebetulnya masalahnya masih cukup jauh dari selesai. Kita masih akan
berurusan dengan aspek perilaku dari orang-orang yang akan menjalankannya.
Masih terngiang dalam telinga kita kata-kata anak muda yang cerdas dalam suatu
dialog TVRI yang berbunyi, “selama UUD kita dijalankan orang-orang yang berjiwa
kerdil, maka impian dan cita-cita UUD tidak akan terwujud”. (Indonesia Jangan Menjadi
Negara Hukum Kacangan, Kompas, 19/8/2002).
Dalam versi yang lain, seorang pernah mengatakan, “Berikan padaku hakim dan
jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan”.
Jadi, sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia dalam kehidupan
hukum.
“Human capital” Indonesia
Dengan membicarakan ihwal perilaku, sampailah jadinya kita pada pembicaraan
mengenai aspek human capital (HC). Pertanyaannya, apakah kita memiliki HC untuk
bangun dari keterpurukan sekarang ini? Jawabannya, kita punya. Kendati demikian,
jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam dalam potret buruk hukum kita. Lebih
daripada itu, mereka biasanya tersingkir dari medan hukum, karena dirasakan
“mengganjal praktik yang lazim”.
Mereka itu ada di kejaksaan, pengadilan, dan tempat lain. Disini tidak akan
disebut nama, cukup mengatakan apa yang telah mereka lakukan. Seorang mantan jaksa
mengatakan kepada rekan-rekannya yang sibuk mengumpulkan sejumlah bukti-bukti,
“Dengan beberapa lembar bukti ini saja saya sudah bisa membawa orang besar itu ke
pengadilan”. Lalu, seorang hakim mempunyai kebiasaan untuk bertanya kepada hati
nuraninya lebih dulu sebelum memutuskan, sedang peraturan itu nomor dua untuk
menunjang putusan hati nuraninya. Hati nurani tidak dapat diajak kompromi dengan
apapun. Karena peraturan dinomor-duakan itulah, mka putusan-putusan hakim
bersangkutan sering disebut kontroversial.
Memerlukan “Social capital”
Kita sering menyatakan kebanggaan diri kita sebagai bangsa yang berbudi luhur,
bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan semacamnya. Tetapi, itu tidak tembus
sampai ke luhur hukum kita. Kultur itu malah lebih cenderung ke individualisme.
Sekalian moralitas itu belum menjadi social capital (SC) kita.
Dalam kaitan dengan tulisan ini ingin ditunjukkan, di dasarnya, hukum
membutuhkan SC-nya sendiri. Saat terjun ke kehidupan bernegara hukum, setiap bangsa
membawa bekal SC masing-masing. Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan
baru sampai omongan, kendati sudah didorong proyek penataran Pancasila dan segala
macam yang bernilai miliaran rupiah. Misalnya, orang berbicara mengenai hubungan
Perburuhan-Pancasila sampai “berbusa-busa”, tetapi yang muncul adalah “Marsinah”,
“buruh dijemus”, dan lain-lain. Akhirnya kehidupan hukum kita seakan tidak memiliki
tulang belakang. Sungguh, SC bagai tulang belakang yang amat dibutuhkan dalam
menjalankan kehidupan berbegara hukum.
Jepang dan AS memiliki SC masing-masing sebagai pendukung negara
hukumnya. Jepang menekankan moral kolektivisme (seperti kita, sic!), AS pada
individualisme dan liberalisme. Hubungan industrial Pancasila yang didengung-
dengungkan di Indonesia malah muncul di Jepang yang sama sekali tidak mengetahui pa-
bekong-nya Pancasila.
Orang AS amat rasional dalam menjalankan hukum, sedang Jepang menggunakan
nuraninya. Diceritakan ada dua orang (AS dan Jepang) akan menyeberang jalan tetapi
tertahan lampu merah. Ketika sudah tidak ada kendaraan lewat, orang AS mengajak
menyeberang saja. Tetapi si Jepang mengatakan, “Kalau saya menyeberang, sedangkan
lampu masih merah,muka saya mau ditaruh di mana?”. Itulah perbedaan dalam SC yang
membawa kepada perilaku dan kultur yang berbeda.
Wahai bangsa tercinta, marilah membangun perilaku kita secara otentik dan baik
lebih dahulu, sebelum memasuki kehidupan bernegara hukum. Dalam perilaki (sosial)
yang otentik itu sudah termasuk kecintaan dan kepedulian terhadap bangsa sendiri.
Perilaku itu merupakan modal amat penting, sebelum kita berbicara tebtabg hukum.
Tanpa perubahan cara bernegara hukum seperti itu, hukum hanya akan menjadi
permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan,
kebahagiaan, dan kemuliaan.
2
Hukum Hendaknya
Membuat Bahagia
eformasi serta kritik-kritik negatif terhadap
sistem dan penegakan hukum Indonesia
memberi kesempatan kepada kita untuk
memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan
untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi,
bagaimanapun suasana keterpurukan masih
menyisakan berkah, yaitu memberi kesempatan
kepada kita untuk memikirkan perubahan secara
tidak tanggung-tanggung, bahkan sampai pada
akar filsafatnya sekali.
R
Dalam suasana keterpurukan seperti sekarang ini kita terdorong untuk
mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, seperti : “Kita bernegara hukum untuk apa?”.
Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan
yang lebih besar?”.
Tulisan ini ingin mengajak pembaca berpikir bahwa akhirnya pengaturan oleh
hukum tidak menjadi sah semata-mata karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar
suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Di sini diajukan pendapat filsafat, hukum hendaknya
bisa memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya.
Karakteristik hukum modern
Kita ingin mulai dengan melihat karakteristik hukum modern yang dipakai di
negeri ini dan pada umumnya di dunia. Salah satu yang menonjol adalah sifat rasional
(dan formal) hukum modern. Rasionalitas itu bahkan bisa berkembang sedemikian rupa
sehingga sampai pada tingkat “rasionalitas di atas segala-galanya” (rationality above
else).
Dalam suasana seperti itu tidak mengherankan bila para pelaku penyelenggara
hukum, baik legislator, penegak hukum, dan lainnya, akan mengambil “sikap rasional”
seperti itu pula. Misalnya, bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup”
menjalankan dan menerapkannya secara rasional. Artinya, diyakini, hukum sudah
dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas itu.
Di sini tidak ingin dikesampingkan aspek liberal yang mengawali kelahiran sistem
hukum modern bekerja dengan cara mempertahankan netralitas. Itu dilakukan dengan
menggunakan format format-rasional. Artinya ia berusaha untuk sama sekali tidak
mencampuri proses-proses dalam masyarakat, tetapi berusaha untuk ada di atasnya.
Dalam hubungan ini kita ingat semboyan “laissez fair laissez passez” (biarkanlah
semuanya berjalan sendiri secara bebas) di abad sembilan belas. Maka tugas hukum
adalah hanya menjaga agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas
tanpa ada gangguan; intervensi oleh siapa pun, termasuk negara, tidak boleh dilakukan.
Itulah hakikat dari kerja tipe hukum liberal.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat rupa-rupanya tidak tahan dengan
bekerjanya hukum (liberal) seperti itu, yang hanya memperhatikan kemerdekaan dan
kebebasan individu. Masyarakat ingin agar hukum juga aktif memberi perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Maka lahirlah era baru, yaitu pascaliberal,
dimana negara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat. Ini yang dikenal sebagai “Negara Kesejahteraan” (welvaartstaat). Hukum
pun ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan,
seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan publik lainnya.
Dilihat dari filsafat liberal, cara kerja hukum (pascaliberal) seperti itu sudah
merupakan penyimpangan dan “pengkhianatan” terhadap ide liberal yang murni.
Dari kutipan singkat sejarah itu kita seperti dibangunkan oleh kesadaran bahwa
kelahiran hukum modern (yang liberal) bukan akhir dari segalanya, tetapi alat untuk
meraih tujuan lebih jauh. Tujuan lebih jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat”. Masyarakat merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan
memberi keleluasaan kepada individu dan tidak memperhatikan kebahagiaan masyarakat.
Kebahagiaan
Dengan mengatakan “Timur menginginkan kebahagiaan” tidak berarti
masyarakat-masyarakat di Barat tidak menghendaki kebahagiaan. Kata-kata itu hanya
ingin menyiratkan betapa besar nilai kebahagiaan bagi pengorganisasian masyarakat-
masyarakat di Timur, termasuk antara lain institusi hukumnya.
Kita teringat kepada ucapan Lin Yu Tang, seorang intelektual China yang lama
bermukim di Amerika yang membedakan penempatan rasionalitas hukum modern, dan
mengingatkan ada tujuan yang lebih besar dan karena itu kita perlu lebih berhati-hati
dalam melaksanakan sistem yang rasional itu. Apabila tujuan lebih besar itu tidak
disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga masyarakat bisa menjadi “sakit” dan
tidak bahagia.
Contoh-contoh ketidakbahagiaan itu akan dikemukakan di bawah sehingga
hukum dan penyelenggaraannya berubah dari waktu ke waktu.
Keperluan untuk berhati-hati itu lebih menonjol lagi saat dihadapkan kepada
pertanyaan mendasar yang menjadi acuan tulisan ini, yaitu “hukum untuk apa?”
Semangat tulisan ini menolak pendapat dan sikap rasionalitas di atas segalanya. Hukum
tidak boleh menganggap, bahwa pekerjaannya sudah selesai dengan cara seperti itu,
apalagi dengan kredo “rasionalitas di atas segalanya”.
Seperti dikemukakan di atas, tujuan lebih besar itu ingin dirumuskan dalam kata-
kata: keadilan dan kebahagiaan. Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang
hendaknya ditempatkan di atas segalanya.
Para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah
apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai
penyelenggaraa hukum progresif.
Gagasan mencari alternatif seperti ini sebetulnya lumrah saja, seperti nanti
ditunjukkan di bawah dalam uraian di bawah nanti akan terlihat petapa sejarah hukum
modern itu erat dengan kegelisahan untuk mengaitkan tujuan hukum itu kepada suatu
yang lebih besar daripada “hukum untuk hukum” semata, dan itu menjadi kekuatan
pendorong perubahan dari waktu ke waktu.
Hukum liberal dan pascaliberal
Memang apabila kita mencari acuan untuk menggambarkan perkembangan
hukum modern, maka kita tak dapat berbuat lain kecuali merujuk kepada perkembangan
masyarakat dan hukumnya yang terjadi di belahan barat dunia itu. Memang tumbuh dan
berkembang di Barat, tidak dari masyarakat kita sendiri.
Oleh karena itu, kita berbicara tentang hukum liberal dan pascaliberal kendati
perkembangan masyarakat menjadi liberal kemudian dke pascaliberal itu bukanlah milik
masyarakat kita sendiri.
Perjalanan hukum (modern) yang kita pakai kini sudah melampaui tahap liberal
dan sampai kepada pascaliberal sesuai perkembangan masyarakat di Barat. Hukum
prioritas nilai-nilai di Timur dan Barat. Di Barat, rasionalitas (rationality) menempati
nilai tertinggi, sedang Timur memberikan pngutamaan kepada kebahagiaan (happiness).
Dorongan ke arah kebahagiaan tersebut juga dapat kita amati dalam berbagai
Timur umumnya menerima dan menjalankan hukumnya, yang notabene adalah hukum
modern. Hal itu kita saksikan mulai dari China, Korea, Jepang, dan yang juga terhayati di
Indonesia. Kendati seperti Jepang juga menggunakan hukum modern, tetapi itu terutama
dilakukannya karena tidak ingin disebut ketinggalan dari masyarakat-masyarakat lain di
dunia yang memakai hukum tersebut.
Namun, sebetulnya penerimaan itu dilakukan Jepang dengan penuh kegelisahan,
semata-mata karena tidak “merasa bahagia” dengan model hukum itu. Ini terlihat saat
struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote (bagian muka) dan ura (bagian
belakang) atau latemae (luar) dan honne (dalam) ditarik juga ke bidang hukum.
Di luar mereka menerima hukum modern yang ditata secara formal-rasional,
tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak. Maka, meski di luar mereka menerima
penggunaan hukum kontrak modern, misalnya, tetapi bila sudah sampai kepada
pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara-cara Jepang (sebuah
penelitian di Jepang pada tahun 1970-an).
Dikatakan, bila orang Jepang pergi ke kantor pengacara, maka mereka
melakukannya dengan perasaan sedih karena kepergiannya ke kantor itu menunjukkan
gagalnya car-cara Jepang. Karena itu, praktik hukum di Jepang banyak diintervensi oleh
apa yang disebut the Japanese twist (langgam Jepang).
Denagn begitu di tengah penggunaan hukum modern, mereka masih bisa
menemukan sedikit sudut untuk merasa bahagia. Masih banyak contoh lain, seperti
pelaksanaan the modern criminal justice system di Korea yang mengisyaratkan
ketidakbahagiaan mereka dengan menggunakan model itu. Tetapi, akan menjadi terlalu
panjang untuk dikemukakan di sini. Satu dua contoh di atas cukuplah kiranya untuk
menunjukkan kegelisahan dan ketidak bahagiaan Timur dalam turut menerima dan
menggunakan hukum modern.
Bagaimana dengan Indonesia
Apakah Indonesia tidak berbagi “ketidakbahagiaan” Timur itu? Jawabannya
adalah “ya”, Indonesia juga berbagi ketidakbahagiaan itu. Cukup banyak contoh di sana
sini.
Betapa Indonesia juga merasa kegelisahan itu, seperti misalnya dengan
mengajukan alternatif “Sistem Hukum Pancasila”, “Hubungan Industrial Pancasila”, dan
lain-lain. Tetapi, lagi-lagi sindrom wacana yang diidap bangsa kita mementahkan
semuanya.
Kita pentar menggagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya sampai sebatas omongan.
Itulah yang disebut sindrom wacana. Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan
kekeluargaan dalam manajemen industri, yang muncul adalah “Marsinah” dan “buruh
dijemur”.
Barangkali kalau mau melihat keberhasilan Sistem Industrial Pancasila, kita harus
menengok ke Jepang, sekalipun negeri itu sama sekali tidak tahu Pancasila.
Sampai tingkat tertentu, hukum adat kita juga bisa dilihat sebagai simbol dari
kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam penggunaan hukum modern itu. Misalnya,
dengan mempertahankan organisasi dan hukum subak sampai sekarang, Bali ingin tetap
menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern di negerinya.
Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita
membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa
hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Memang, untuk bisa bergaul
dalam komunitas internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum
dipakai di dunia. Tetapi, apa pun pilihan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, tidak ada
yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan, itu yang jauh lebih penting.
Sekarang kita mengalami bagaimana terpuruknya sistem hukum kita dan lebih
daripada itu kita menjadi tidak bahagia. Korupsi dengan gesit menyelinap menghindari
jaring-jaring hukum. Itu membuat rasa keadilan kita tertusuk dan menjadi tidak bahagia.
Sebab-sebab ketidakbahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita
sendiri, juga dalam menjalankan hukum. Kita menjadi tidak bahagia karena ada Kasus
Akbar Tandjung, Kasus Jaksa Agung A. Rahman, dan lain-lain.
Dengan menegaskan filsafat tersebut sebagai landasan bernegara hukum
diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat atau sinyal-sinyal yang bisa ditangkap oleh
seluruh bangsa kita, khususnya para legislator, hakim, jaksa, advokat, birokrasi,
pendidikan hukum, dan lain-lain institusi. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum, adalah
untuk menjadikan rakyat dan bangsa ini bahagia!
3
Menjalankan Hukum
Dengan Kecerdasan Spiritual
ULISAN ini agak istimewa karena
menggabungkan hukum dan psikologi.
Harapannya, psikologi dapat membantu memberi
pencerahan usaha kita menjalankan hukum di negeri ini
menuju ke kehudipan yang lebih sejahtera.
T
Dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan tentang cara berpikir manusia sudah
sedemikian rupa, menampilkan macam berpikir yang beragam. Sekitar seratus tahun lalu
kita hanya mengenal satu macam berpikir, berpikir rasional. Hanya ada satu ukuran yang
dipakai untuk mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu dengan menggunakan IQ
(intellectual quotient).
Namun, kini ditemukan tiga macam berpikir atau kecerdasan, sehingga selain
yang (1) rasional, masih ada berpikir dengan (2) perasaan, dan (3) spiritual. Berpikir
secara rasional disebut logis, linier, serial, dan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate).
Berbeda dengan cara berpikir demikian, berpikir dengan perasaan
mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata-mata menggunakan
logika. Berpikir menjadi tidak lagi sederhana seperti berpikir logis, tetapi menjadi lebih
kompleks karena mempertimbangkan faktor konteks.
Lalu, sejak sekitar akhir abad ke-20, muncul model berpikir yang memasuki
dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang
sedang ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual atau kecerdasan spiritual. (Untuk lebih
lengkap baca Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritual intelligence-the ultimate
intelligence, 2000).
Kecerdasan spiritual amat menarik untuk dikaitkan kepada cara-cara berpikir
dalam hukum, yang ada gilirannya mempengaruhi tindakan kita dalam menjalankan
hukum.
Pencarian makna
Di sini ingin diajukan pendapat, menjalankan hukum tidak sama dengan
menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna
sebenarnya dari suatu peraturan. Menarik apa yang dikatakan Paul Scholten, seorang
guru besar Belanda, hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus
ditemukan. Kini pendapat itu memperoleh dukungan dan pembenaran kuat berdasar
psikologi, dengan “ditemukannya” suatu macam kecerdasan manusia yang tertinggi,
yaitu kecerdasan spiritual.
Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang
terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membaca secara “datar” begitu saja. Hukum
bukan buku telepon yang memuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang sarat
dengan makna dan nilai. Membaca peraturan secara datar adalah memecahkan masalah
dengan menggunakan kecerdasan rasional semata.
Beberapa kali sudah diingatkan, hukum modern (memang) dirancang secara
formal-rasional dan itu memiliki risikonya sendiri. Risiko itu adalah, hukum akan
dijalankan berdasarkan tolok ukur formal-rasional. Dengan cara begini makna sebenarnya
yang terkandung dalam peraturan, menjadi tidak perlu dicari lebih jauh. Ibaratnya, cukup
pencet tombol, putusan sudah dibuat dengan benar. Kita tidak perlu pusing berusaha
menemukan makna, nilai, dan kandungan moral di belakangnya.
Kedaan sekarang sudah berubah, juga dalam ragam berpikir manusia, seperti
terjadi dalam psikologi (dan psikiatri). Cara berpikir untuk memecahkan persoalan yang
diterima sebagai kecerdasan “sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan
mempertanyakan makna itu. Seperti dikatakan Zohar dan Marshall dalam buku tersebut
di atas, “...Kecerdasan spiritual menggugah rasa moral kita, dengan memberikan suatu
kemampuan untuk mengendalikan ketentuan yang kaku lewat pengertian (understanding)
dan rasa keterlibatan”.
Mencoba bangun dari keterpurukan
Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir, karena
orang lebih banyak membaca huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau
makna dan nilai yang lebih dalam.
Ini adalah rumusan kualitas dari pengalaman empirik selama ini, seperti usaha
menjalankan supremasi hukum, menangani KKN, dan lain-lain. Alih-alih memberi
kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah menjadikan
industri hukum kita semakin terpuruk.
Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangunan dari keterpurukan
hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk berani mencari jalan baru (rule-
breaking) dan tidak membiarkan diri terkengkang cara menjalankan hukum yang “lama
dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan.
Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam
menjalankan hukum dan bernegar hukum. Kita semua dalam kapasitas masing-masing
(sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidikan, dan lain-lain) didorong untuk selalu
bertanya kepada nurani tentan gmakna hukum lebih dalam.
Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Apakah artinya
kita sibuk melaksanakan HAM? Apakah harus kita baca dan pahami secara datar saja?
Apakah itu akan membuat bangsa ini bahagia?
Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi
dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita
yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun dari
ketrpurukan dan sekali ini kita mencoba dengan menggugat cara berpikir selama ini yang
lebih banyak mendatangkan rasa susah. Sudah semestinya hukum merupakan institusi
yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia.
4
Mengangkat
Orang-orang Baik
ulisan ini ingin berbicara tentang usaha kita
mendorong bangkit atau tampilnya orang-
orang baik negeri ini dalam sektor kehidupan publik.
Selama ini kita terlalu banyak menyoroti keburukan
institusi kita, seperti keuangan, pengadilan,
birokrasi, dan parlemen.
T
Meski sorotan itu tak dapat dihindari karena “statistik” menunjukkan tampilan
yang buruk, tetapi haruskah itu mendominasi potret bangsa secara absolut? Tidak adakah
ruang untuk berbicara hal-hal yang baik tentang bangsa ini? Adalah tidak adil bila kita
tidak berbicara tentang orang-orang baik di negeri ini.
Sebelum masuk topik bahasan lebih lanjut, ingin dikemukakan mengapa penulis
terdorong menghadirkan kehadiran orang-orang baik di negeri ini. Alasan utamanya
adalah kerisauan atas fenomena kekasaran dan kekerasan masa yang kian maningkat
akhir-akhir ini. Keadaan itu memunculkan istilah seperti “para preman” dan
“premanisme”.
Kebangkitan mereka akhir-akhir ini memperburuk potret kualitas bangsa kita.
Bila hal itu dibiarkan, dikhawatirkan negeri ini akan mengalami kepulihan atau
kebangunan kembali (recovery), tetapi malah kian terperosot lebih dalam. Karena itu, kita
ingin mencoba kekuatan penangkal guna menghentikan perebaknya apa yang disebut
premanisme. Salah satu usaha itu adalah mendorong bangkitnya orang-orang baik di
negeri ini di sektor publik.
Bangkitnya massa
Menghadapi fenomena itu, ingatan kita melayang ke belakang lebih dari 70 tahun
lalu. Yang dimaksud adalah diterbitkannya buku karya Jose Ortega Y Gasset, La
Rebelion de las masas (1930). Tulisan itu rupanya menarik perhatian dunia sehingga
istilahnya menjadi milik dunia, sebagaimana diucapkan dan diterjemahkan dalam
berbagai bahasa seperti “the revolt of the masse” (Inggris) dan “de opstand der horden”
(Belanda).
Ortega menulis dengan latar belakang Eropa di masa itu. Penulis dan pemikir
Spanyol itu mengamati munculnya suatu golongan di masyarakat dalam posisi publik
yang menampilkan karakteristik, sifat-sifat, mental, dan kualitas yang berbeda dari
golongan yang selama itu tampil dalam jabatan-jabatan publik. Lapisan elite ini dipercaya
mengemban jabatan publik karena memiliki atau memenuhi standar kualitas mental yang
diunggulkan.
Akan tetapi, karena faktor sosial tertentu di Eropa lalu muncul suatu golongan
yang juga beraspirasi untuk menduduki jabatan publik, namun tidak memiliki sikap dan
perilaku standar yang diunggulkan selama ini. Justru golongan yang muncul itu
menunjukkan kualitas yang berseberangan, seperti kekasaran, mengandalkan fisik, dan
memaksa kehendak. Kaum Nazi dimasukkan ke dalam golongan yang baru bangkit itu.
Masas ini tidak masuk dalam pembagian sosial tradisional, seperti “kelas atas”
atau “kelas bawah”, tetapi dalam “kelas manusia”. Mereka telah menyusup ke golongan
yang mensyaratkan klualifikasi tertentu, seperti golongan intelektual. Kendati memaksa
ke dalam golongan intelektual, tetapi oleh Ortega disebut “intelektual semu” karena
unqualified, unqualifiable, dan dilihat dari mentalnya disqualified. Terjadilah apa yang
disebut Ortega suatu hyperdemocracy di mana masas bertindak langsung, mengabaikan
aturan serta memaksakan keinginan dengan menggunakan tekanan meteriil.
Masas muncul sebagai segolongan manusia barbar (biadab) serta dalam bentuk
modern barbarism. Tidak ada standar mutu. Mereka ingin menjadi pemimpin, ingin
mengatur masyarakat tanpa memiliki kemampuan untuk itu. Maka menurut Ortega
lahirlah Magna Charta of Barbarism (piagam kebiadaban).
Di Indonesia disebut preman
Sambil membaca kembali tulisan Ortega tujuh puluh tahun silam, pelan-pelan
muncul dalam benak kita gambar tentang terjadinya fenomena yang hampir sama di
negeri itu. Reformasi yang ingin memulihkan kehidupan demokratis telah menjadi
kebablasan yang dalam istilah Ortega disebut hyperdemocracy. Demokrasi belum
memunculkan golongan rakyat yang memunculkan standar kualifikasi mental, tetapi
lebih berupa “masa tanpa standar kualifikasi”.
Rupanya reformasi sudah menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai ke
akar rumput, tetapi diibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran dalam akuarium ikut
terobok-obok dan muncul ke permukaan. Akuarium menjadi keruh. Lembaga-lembaga
yang seharusnya terhormat telah diduduki oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi.
Kebangkitan masas, the mass atau horde di Eropa di awl abad ke-20 telah ditandingi oleh
munculnya apa yang disebut para preman dan premanisme di Indonesia di abad ke-21.
Menurut catatan, sebetulnya kecenderungan ke arah itu sudah diamati
Koentjaraningrat yang beberapa puluh tahun lalu menulis hambatan-hambatan mentalitas
dalam pembangunan di Indonesia. Ditulis di situ antara lain mentalitas untuk selalu ingin
menerabas dan sikap tidak menghargai mutu. Pengamatan profesor antropologi Indonesia
di tahun 1970-an itu bisa disejajarkan dengan pengamatan Ortega terhadap masyarakat
Eropa di awal abad ke-20.
Apa yang ditulis Koentjaraningrat 30 tahun lalu itu kini sudah menjadi lebih parah
lagi. Hal itu sama berbahaya dan merusaknya seperti korupsi yang ingin diberantas.
Malah keadaannya mungkin lebih berbahaya karena kurang mencolok seperti kerugian
materiil yang ditimbulkan korupsi. Dengan demikian, masyarakat kurang menyadari
bahaya yang ditimbulkannya: apalagi mewaspadainya.
Masih ada orang-orang baik
Meski mungkin jumlah orang-orang baik di negeri ini tidak sedikit, namun
umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul.
Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga tersisihkan menjadi
kelompok pinggiran.
Istilah “baik-baik” di sini dipakai untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang
terpuji. Mereka itu antara lain Baharuddin Lopa, Romo YB Mangunwijaya (alm), dan
lain lagi yang masih hidup.
Tetapi, kita salh bila haya menyebut nama-nama besar yang menonjol karena
orang-orang baik juga bisa ditemukan pada lapisan bawah negeri ini. Mereka tidak
memiliki nama besar dan tidak menduduki jabatan tinggi publik, karena hanya orang
biasa atau pegawai “kecil”.
Penelitian para mahasiswa mendukung temuan masih hadirnya “orang-orang
biasa yang baik” di negeri ini. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa
disebut kesampar-kesandur, ada di mana-mana. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
“terlindas dan terinjak” oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya
mempunyai mentalitas yang mulia dan terpuji.
Bila keadaan dibiarkan, maka bisa diperkirakan, Indonesia akan menjadi jarahan
masas itu. Manusia-manusia Indonesia yang baik-baik kurang memperoleh kesempatan
untuk tampil sebagai pemimpin dan pengatur masyarakat. Guna memulihkan
keterpurukan negeri dan bangsa kita kini, marilah kita bersatu mengangkat dan
memunculkan orang-orang baik dan menolak kehadiran massa yang preman.
Satu-dua masalah telah dilakukan, seperti mensyaratkan bahwa presiden harus
seorang sarjana. Tetapi, sebagian menolaknya karena kesarjanaan bukan jaminan, bahwa
ia akan menjadi pemimpin yang baik. Hal itu ada benarnya karena kita mempunyai
pengalaman tentang adanya pemimpin-pemimpin yang tidak mempunyai gelar
kesarjanaan, seperti Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Soedjatmoko.
Meski tidak bergelar formal mereka telah menunjukkan diri sebagai orang yang
berkualitas. Agus Salim dengan penguasaan bahasa-bahasa asing yang prima, Sjahrir
dengan karya-karya intelektual seperti Indonesische Overpeinzingen (Renungan
Indonesia), begitu pula dengan Soedjatmoko yang sampai mendapat kepercayaan
internasional untuk menjadi Rektor Universitas PBB.
Kita amat senang dengan pergumulan untuk memunculkan elita, pemimpin, dan
golongan yang benar-benar berkualitas, bagaimanapun caranya untuk mencapai hal itu.
Kita berharap tetapi juga percaya, bahwa bila bangsa ini benar-benar bersatu padu serta
peduli untuk menolak kehadiran masas, dan kemudian memunculkan orang-orang yang
baik, akhirnya negeri ini pelan-pelan akan bangkit kembali.
5
Bernegara dengan Makna
ERNEGARA secara teritorial atau spasial, kita
sudah lakukan. Pada tanggal 17 agustus 1945
diproklamirkan berdirinya sebuah negar baru kepada
dunia, bernama Republik Indonesia, dengan wilayah
yang sama dengan Hindia-Belanda.
B
Dokrit serta konvensi memang mensyaratkan adanya teritori, di samping
penduduk dan pemerintahan yang efektif. Sejak saat itu RI berdiri dengan memenuhi
sekalian persyaratan formal (dalam tulisan ini kata-kata spasial, teritori< fisik, formal,
dipakai bergantian).
Bernegara secara formal-fisik
Sampai sekarang, lebih setengah abad sejak RI berdiri, terus saja negara tersebut
mengalami gejolak dan pergolakan, kendati (dalam kapasitas formal) negara itu tetap
berdiri dan diterima oleh komunitas negara-negara (system of states) di dunia. Suasana
sosial yang demikian itu, kendati tidak merupakan kerisauan bagi negara-negara lain di
luar Indonesia, tetapi bagi bangsa Indonesia sendiri ia dirasakan sebagai kegalauan yang
besar.
Membaca keadaan yang demikian itu disimpulkan bahwa ternyata bernegara
secara spasial-formal tidak cukup, diinginkan juga negara yang bisa membikin rakyat
bahagia. RI sebagai satu negara di tengah-tengah komunitas negara di dunia boleh baik-
baik saja, tetapi “tidak baik-baik saja”, menurut sang pemilik, yaitu bangsa Indonesia.
Eksisten RI secara spasial-teritorial, dan berpuas diri sampai di situ, menjadi
penghalang bagi bangsa ini untuk mendapatkan kebahagiaan. Seharusnya negeri ini tidak
hanya mengejar persyaratan wilayah, penduduk, dan pemerintahan efektif saja, tetapi di
atas itu juga menambahkan persyaratan (terhadap diri sendiri): rakyat yang bahagia.
Implikasi ukuran spasial-teritorial mendorong lahirnya peri kehidupan yang
bersifat formal, fisik, dan deterministik. Prestasi, ukur-mengukur, penghargaan, dikaitkan
pada tampilan fisik. Yang dilihat dan dihargai adalah kedudukan, kekuasaan, kekayaan,
dan capaian materi.
Maka, praksis kenegaraan, bernegara, dan pemerintahan juga lebih mengacu pada
standar spasial yang diterjemahkan menjadi kehadiran struktur dan lembaga secara
formal. Ada gedung dan personel permanen, pengadilan, polisi, presiden, kejaksaan,
sekolah-sekolah, dan seterusnya. Itu dipandang cukup sebagai tanda bahwa negara RI
memang ada dan berjalan. Bukan tampilan bermutu! Bangsa ini dibiarkan menghirup
iklim udara yang bersifat fisik minus kualitas.
Korupsi yang maikn meruyak, pilkada yang penuh dengan kehebohan, politik
duit, dan lain-lain adalah kelanjutan belaka dari suatu praksis bernegara yang tidak
mengutamakan dan menjaga mutu. Wilayah-wilayah yang semestinya sakral, seperti
pendidikan, pengadilan, parlemen, dan pelayanan publik. Dijarah oleh nafsu menumpuk
materi, bersemangat kapitalis. Hampir semuanya menjadi komoditas yang dihargai
sebagai barang ekonomi dan diburu serta diperjualbelikan.
Negara dengan citra diri
Dalam suasana baru saja memepringati hari kemerdekaan ke-60 kita menemukan
saat yang baik untuk merenungkan apakah cara kita bernegara selama ini lebih dari
setengah abad itu sudah benar? Apakah dengan bernegara secara spasial, fisik, formal,
pekerjaan menjadi selesai? Apakah dengan memiliki pemerintahan modern, pengadilan
modern, perekonomian dan pendidikan modern, segalanya menjadi beres?
Kiranya tidak seperti itu. Sejak didirikan, negara yang bernama RI ini sarat
dengan ideologi, sarat dengan kehendak untuk melakukan pencitraan diri (self defining)
secara kultural, seperti membuat Undang-Undang Dasar (UUD) yang bersifat
kekluargaan dan kemuadian menyusul membangun Hubungan Industrial Pancasila (HIP).
Itu berarti bahwa kita tidak ingin sekedar bernegara secara spasial dan memenuhi standar
formal saja. Apabila perjalanan perenungan kita sampai di situ, lalu kelanjutan-kelanjutan
apa yang akan terjadi? Apa yang bisa dan seharusnya terjadi pada cara-cara kita
bernegara?
Kelanjutan untuk melakukan pencitraan diri tersebut membawa cara-cara kita
bernegara dan berperintah bergerak keluar dan membebaskan diri dari cengkeraman
prinsip “bernegara secara formal-spasial”. Dengan menggunakan ukuran seperti itu, maka
menjadi salahlah praksis “pemerintah untuk memerintah”, “mengadili untuk menerapkan
undang-undang dan prosedur”, “mengajar untuk menerapkan kurikulum”, dan seterusnya.
Dalam konteks pencitraan diri, segalanya lalu ingin ditempatkan di bawah sorotan
“memerintah untuk apa?”, “pengadilan untuk apa?”, “mengajar untuk apa?”, dan
seterusnya.
Negara, pemerintahan, bangsa, yang berusaha untuk membangun citra diri hanya
bisa didukung dan diwakili oleh pelaku-pelaku yang penuh didikasi, empatu, kreasi, dan
lain-lain modalitas. Pelaku-pelaku seperti itu berusaha untuk tidak hanya menjadi sekrup
dari satu mesin, melainkan individu-individu yang kreatif yang senantiasa ingin memberi
arti penuh kepada jabatan dan profesinya.
Untuk mencapai standar tersebut memang sangat berat, oleh karena sudah masuk
ke dalam dimensi bernegara secara spiritual (Satjipto, Menjalankan Hukum dengan
Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30/12/2002). Bekerja tidak untuk mencari imbalan ke
duniaan, tetapi semata-mata pengabdian, hanya ikhlas karena Allah. Bekerja menjadi
aktivitas total. Ini benar-benar extra-ordinary. Bagaimana berat pun, apabila kita ingin
cepat keluar dari keterpurukan, maka itulah harga yang harus dibayar.
Seorang pejabat publik tidak melaksanakan “perintah-perintah tertulis hitam-
putih”, melainkan selalu bertanya “apakah yang saya lakukan ini sudah baik untuk rakyat,
sudah optimal untuk rakyat?”. Seorang hakim, jaksa, advokat, bukan mesin otomat
undang-undang dan prosedur, tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan
keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) sehingga pengadilan menjadi
pengadilan yang memiliki nurani (court with conscience).
Menteri, gubernur, tidak menceritakan diri sebagai birokrat biasa yang
berkedudukan dan berkekuasaan, melainkan pejuang yang ingin membahagiakan rakyat.
DPR tidak memikirkan apa yang bisa didapat dengan menjadi anggota DPR, melainkan
apa yang bisa diperbuat agar konstituen bahagia. Dengan begitu, maka parlemen juga
menjadi “parlemen berhati nurani” (parliament with conscience, conscience of the
parliement).
Dengan demikian, praksis kenegaraan akan menjadi otentik, seperti hanya
memikirkan bagaimana mengatasi kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan,
kebodohan, kesehatan, dan ketidakadilan. Yang lain-lain diharusnya minggir!
Indonesia adalah negara dengan makna.
Bagian Kedua
Hukum Progresif,
Menggugat dan Idealisme Hukum
1
Kediktatoran Pengadilan
ALAM beberapa tulisan di harian Kompas,
telah didorong agar Mahkamah Agung (MA)
aktif melibatkan diri dalam proses membangun
masyarakat Indonesia baru, seiring dengan tuntutan
reformasi. Untuk itu di inginkan agar MA berani
membuat putusan-putusan yang berbobot politik,
yaitu politik kenegarawanan (judicial statesmanship),
semata-mata dalam rangka pengadilan turut
membangun masyarakat tersebut. (Kompas 10/1/1992,
4/1/1993, 26/3/1994, 14/10/1994, 22/4/1997, dan
30/5/1997)
D
Dalam tulisan berikut ini ingin diulas lebih jauh tentang tempat dan peran
pengadilan dalam dinamika perubahan masyarakat. Dari abad ke abad kita melihat betapa
peran pengadilan berubah. Untuk berhenti pada peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20,
maka di situ kita menyaksikan pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan
sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan
sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang semangat liberal
dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di abad ke-19 itu memang memberikan
landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat
dimana pengadilan berada.
Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan
(judicial dictatorship), oleh karena ia memutus semata-mata dengan melihat apa yang
menurut tafsirannya di kehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau
mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis
pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi
benda asing dalam tubuh masyarakat itu.
Sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti
perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat,
seperti buruh, yang mengubah peta sosia dan politik secara mendalam. Kalau hukum
liberal abad ke-19 banyak dikaitkan pada golongan borjius, maka menjelang dan
memasuki abad ke-20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan pastisipasi rakyat
ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan.
Semestinya pengadilan juga mengubang perannya dari semata-mata menjadi corong
undang-undang kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan suatu rakyat.
Bahkan ada ujaran, bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau
golongan-golongan yang unrepresented dan under-represented.
Pembangkangan
Dalam suasana terjepit diantara orde hukum liberal dan dinamika masyarakat, di
sana sini terjadi pembangkangan-pembangkanan oleh pengadilan. Pembangkangan ini
justru terjadi pada pengadilan yang lebih mendengarkan gejolak ke masyarakat daripada
mengikuti bunyi undang-undang. Filsafat atau aliran yang legalistik-positivistik
dipinggirkan dan digantikan oleh relisme hukum. Yang terkenal adalah realisme
Skandinavia dan realisme Amerika, dengan tokohnya seperti Benjamin Cardozo dan
Oliver Wendell Holmes.
Mereka ini banyak menyumbang ke arah pembangunan Amerika modern yang
dilakukan dengan pembangkangan terhadap orde hukum yang berlaku. Mereka tidak mau
semata-mata diikat oleh undang-undang, tetapi kesempatan untuk memutus dipergunakan
bagi mendukung modernisasi Amerika. Pembangkangan dilakukan, misalnya, dengan
kalau perlu meminggirkan doktrin trias politika yang waktu itu dianggap sebagai doktrin
besi yang tak boleh dilangkahi.
Pembangkangan terhadap doktrin besi orde yang berlaku tersebut misalnya
dilakukan dengan membuat putusan-putusan yang sebetulnya melampaui peran
pengadilan yang hanya mengonkretkan undang-undang atau menjadi corong undang-
undang. Maka muncullah sebutan goverment by the judiciary. Pemerintah yang
seharusnya merupakan monopoli pemerintah sudah diambil-ambil dan dijalankan juga
oleh pengadilan. Dalam beberapa tulisan telah didorong agar MA dan pengadilan
umumnya berani keluar dengan filsafat relisme seperti itu, semata-mata berdasarkan
alasan, bahwa pembangunan Indonesia baru membutuhkan hal itu.
Membaca dan merenungkan hal-hal yang diuraikan di atas, kita akan
berkesimpulan, bahwa pengadilan itu bukan suatu institusi hukum yang steril, yang hanya
berurusan dengan pengonkretan undang-undang, melainkan memiliki jangkauan lebih
luas daripada itu. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika
yang bergerak di sekitarnya. Ia adalah pengadilan yang sarat dengan pikiran keadilan,
pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga mempunyai hati nurani
(conscience of the court). Ini sangat-sangat relevan dengan keadaan masyarakat ini.
Pengadilan yang berhati nurani ini akan banyak membantu mengatasi penderitaan
bangsa.
“Judicial review”
Judicial review (JR) adalah kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah
suatu produk perundang-undangan itu sah atau tidak. Sudah sejak lama di Indonesia
orang merasakan perlunya suatu JR untuk mengendalikan kekuasaan legislatif agar tidak
mengeluarkan peraturan berdasarkan pertimbangan atau kepentingannya sendiri. Untuk
itu harus ada lembaga yang mengontrol, yang dalam hal ini adalah JR tersebut.
Lazimnya JR memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir, berarti tidak ada
kesempatan atau prosedur hukum yang tersedia untuk “mengoreksi” putusan JR tersebut.
Inilah pula yang mengundang orang untuk menyebut JR itu sebagai kediktatoran
pengadilan. Dalam suasana semangat demokrasi, maka JR yang membuat putusan final
dianggap bertentangan dengan demokrasi (William J Kirk & R Randall Briswell, Judicial
Dictatorship, 1997).
JR tidak lagi merupakan representasi rakyat, melainkan bertentangan dengan itu.
Ditempatkan pada latar belakang atmosfer demokrasi, maka JR dilihat sebagai suatu
sikap otoritarianisme dan kediktatoran. Pengadilan memegang monopoli menafsirkan
undang-undang dan ini merupakan amanah yang berat. Maka independensi pengadilan
yang di Indonesia masih menjadi cita-cita sebaiknya dilaksanakan dengan hati-hati, oleh
karena ia dapat juga tidak produktif karena berlawanan dengan dinamika perubahan
masyarakat.
Bagaimana apabila JR yang dilakukan oleh MA Republik Indonesia baru-baru ini,
yang menyatakan dasar hukum pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) tidak sah, ditempatkan pada latar belakang sekalian uraian di
atas? JR tersebut sama sekali tak dapat dipisahkan dari semangat untuk memberantas
korupsi yang sudah begitu parah di negeri ini. Ditempatkan pada latar belakang tersebut,
putusan JR MA baru-baru ini terasa agak aneh. Keanehan tersebut dapat diverifikasi
lewat reaksi atau respons yang begitu spontan menyusul putusan JR yang datang dari
LSM yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti ICW, JWI, LEIP, dan PSHK.
Membaca berbagai reaksi dari masyarakat tersebut dapat dikatakan, bahwa MA
belum memiliki apa yang disebut conscience of the court, dalam hal ini sense of
combatting corruption. Pada tataran yang lain kita dapat bertanya, pakah putusan MA
tersebut bukan merupakan suatu bentuk kediktatoran pengadilan?
Bagaimanapun juga MA adalah milik kita. Kita semua berkepentingan untuk
memiliki MA yang benar-benar menunjukkan kebesaran dan kewibawaannya, khususnya
dengan memahami dan turut merasakan penderitaan bangsa. Untuk itu, kita smua
bertanggung jawab untuk selalu memberi masukan bagi kemajuan MA kita. Dalam
semangat itulah tulisan ini dibuat, sebagai sumbangan pikiran dan memorandum agar MA
melakukan introspeksi dan meningkatkan kualitas putusan di waktu yang akan datang.
2
Mulai Bertindak Otentik
eberapa tahun sudah kita lalui untuk
mempraktikkan apa yang kita sebut sebagai
reformasi, yaitu merombak suasana lama menjadi baru.
Dari praktik otoriter, serba sentralisasi, rezimentasi, dan
sebagainya menjadi leberalisasi, demokratisasi,
kebebasan berbicara, membentuk partai politik,
desentralisasi, pembangunan suatu civil siciety. Lebih
nyata lagi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi dan
lain-lain.
B
Beriringan dengan tujuan yang kita kehendaki itu terjadi pula kerusuhan besar-
kecil yang merata di mana-mana, pertentangan antar suku, pengeroyokan, perusakan, dan
pembakaran institusi kenegaraan/pemerintah, perlawanan terbuka terhadap otoritas dan
kekuasaan sah. Itulah deskripsi mengenai apa yang terjadi dalam masa reformasi selama
beberapa tahun ini.
Masih ada hal lain yang menarik untuk diamati sebagai suatu aspek dari
kebebasan untuk berpendapat dan berbicara, yaitu munculnya retorika di kalangan para
elite dan melebar ke rakyat luas. Bangsa kita menjadi alih dalam beretorika. Berbagai
masalah, dari krisis ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain dihadapi dan diselesaikan
melalui omongan-omongan, statement, dan sebagainya. Masalah-masalah menjadi lebih
banyak diomongkan daripada dipecahkan secara otentik. Menegakkan hukum, supremasi
hukum, memberantas korupsi lebih banyak diselesaikan melalui retorika. Memberantas
KKN, misalnya, kita lebih banyak melihat lahirnya statement-statement dan sebangsanya
daripada adanya korupsi yang diadili dan koruptor yang dihukum. Kita lebih banyak
omong besar mengenai korupsi daripada berkeringat dan memeras tenaga untuk
mengadili korupsi dan menghukum koruptor. Korupsi tidak ditangani secara otentik.
Perilaku retorik itu bisa merusak bekerjanya suatu institusi sesuai tujuannya yang
baku. Misalnya, kredo supremasi hukum dijalankan melenceng jauh dari tujuannya yang
otentik. Itu terjadi karena kredo supremasi hukum menjadi barang omongan belaka.
Hukum, proses hukum, penegakan hukum, hanya dipakai sebagai kosmetik untuk
mengesankan bahwa kita serius dengan penegakan hukum.
Kita mesti terus waspada dan menyadari bahwa hukum tidak otomatis
menghasilkan keadilan, tetapi juga sebaliknya. Para koruptor pintar sekali menyewa
advokasi untuk meloloskan diri dari ancaman pengadilan korupsi. Yang lebih
menyakitkan, manuver itu dijalankan atas nama hukum, supremasi hukum, dan
seterusnya. Padahal, disini hukum telah digunakan menyimpang dari otentisitasnya.
Karena itu, kita dapat berkata, hukum ditentukan oleh itikat yang otentik untuk
menjalankannya. Teori sosiolog hukum banyak menmastikan hal itu. Karena itu, disiplin
ilmu itu mngatakan, hukum bukan hanya peraturan, tetapi juga perilaku (dan struktur
sosial).
Kita dapat memamerkan rancangan-rancangan yang bagus mengenai reformasi,
melalui putusan-putusan MPR dan perundang-undangan, tetapi lebih banyak berakhir
sebagai retorika belaka. Pejuang-pejuang seperti Baharudin Lopa dan Adi Andojo
Soetjipto meski minggir dari gelanggang. Masalahnya, kita berhadapan dengan pelaku-
pelaku, dengan manusiannya. Sampai disini kita teringat Leonardo da Vinci yang jauh
hari sudah membuat rancangan kapal terbang dan lain-lain. Tetapi, itu tinggal ide belaka
karena sarana yang mampu untuk mewujudkannya belum muncul. Orang masih lama
menunggu sampai mesin uap diciptakan. Ini juga mengingatkan kita kepada ucapan anak-
anak muda dalam suatu dialog di TV yang dengan gaya nakalnya mengatakan, “Kita
boleh mempunyai UUD yang bagus, tetapi kalau yang melaksanakan orang-orang kerdil,
percuma saja. Gagasan besar dan indah tak dapat diwujudkan oleh orang dan pelaku
kerdil.”
Barangkali anak-anak muda ini sudah jengkel mengamati perilaku elite kita yang
merujuk kepada UUD, supermasi hukum, dan sebagainya, tetapi yang dipikirkan hanya
diri dan golongannya saja. Seperti halnya dengan ide-ide Leonardo da Vinci yang hanya
bagus dia atas kertas sampai munculnya mesin uap, demikian pula dengan supermasi
hukum, konstitusi,dan lain-lain, yang menunggu munculnya “manusia-manusia yang
tidak kerdil” agar menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa. Sungguh, hukum
bukan suatu institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan terus-menerus. Negara,
hukum, institusi hukum adalah proyek yang ada dalam proses penyelesaian. Dengan
demikian, manusia, atau lebih tepat kualitas manusia memegang peran penting.
Apakah kita masih saja belum belajar dan mengerti? Semakin hari semakin
menjadi jelas, bangsa kita masih saja lebih “bertindak dengan retorika” belaka. Hukum,
proses hukum, yang sebetulnya siap untuk digunakan sebagai sarana keluar dari krisis,
masih belum dipakai secara otentik, tetapi lebih banyak untuk kepentingan dan
keuntungan sendiri. Bangsa kita dewasa ini masih jauh dari tindakan otentik dan jujur.
Hari sudah tinggi untuk bekerja secara jujur dengan taruhan luar biasa mahal, yaitu
kesejahteraan bangsa, terutama mereka yang papa dan nestapa.
58 Tahun Negara Hukum Indonesia Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia lahir sebagai suatu negara baru
ditengah-tengah masyarakat negara –negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang
bentuk negara, yaitu republik, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara beradasar
hukum (negara hukum).
Lebih dari setengah abad kemudian, Negara republik Indonesia masih harus
bergulat dengan berbagai masalah mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi
Republik Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih harus terus dibina dan
dipertahankan. Selain itu, pembangunan negara hukum ternyata belum juga selesai
dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi terkenal di dunia
sebagai negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud dengan
pembangunan yang belum kunjung selesai disini adalah bagaimana menjadikan negara
hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang
menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia.
Menjadi Pahlawan
Kita boleh risau.tetapi tidak perlu terlalu cemas mengenai keadaan itu, terutama
bila kita memproyeksikan Indonesia pada latar belakang sejarah negara-negara di dunia.
Banyak negara yang kini disebut maju, Kampiun demokrasi, pendekar Hak Asasi
Manusia (HAM), dulu lebih dikenal sebagai penjajah, perampok, dan penindasa HAM.
Belanda yang menjajah Indonesia pernah tercabik-cabik kelelahan karena mengalami
perang berkepanjangan di dalam negerinya.
Begitu terkurasnya Belanda sehingga harus memeras negeri jajahannya dengan
mengintroduksi sistem tanam-paksa (kultur stelsel) di Indonesia, supaya bisa tetap hidup
(survive). Bagaimana tidak? Hanya karena pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk
menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian itu, Belanda bisa berjaya
kembali. Pelabuhan Rotterdam tidak jadi ambruk, pajak-pajak diturunkan dan pendidikan
berhasil diperluas. Benar sekali ujaran di Belanda waktu itu, “Indonesia adalah gabus
yang diatasnya Belanda mengapung,” sehingga “kehilangan Indonesia berarti
keambrukan bagi negeri Belanda” (Indie verloren rampspoed geboren).
Perancis harus memenggal kepala seorang rajanya dan menjebol penjara Bastille,
sebelum menjadi negara konstitusional. Amerika Serikat juga harus mengalami perang
dengan sesama saudaranya sebelum berjaya sebagai suatu negara yang besar dan kuat.
Sejarah adalah proses unik, dimana negara-negara yang dahulu adalah perampok,
penindas, dan melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human right)
sekarang menepuk dada sebagai pahlawan dan kampiun HAM.
Potret negara hukum Indonesia sekarang memang buruk, negara terancam
perpecahan. Tetapi, itu bukan berarti akhir dari segalanya, sebab kita melakukan
perlawanan dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih kuat. Masa
sekarang ini adalah bagian dari sejarah yang sedang kita tulis.
Proyek
Kalau pada 17 agustus 1945 kita memproklamasikan kelahiran Negara Hukum
Republik Indonesia, maka yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah, sejak hari
pertama itu kita sudah menjadi negara hukum secara “tuntas sempurna”. Ini bagus,
namun terlalu bagus sehingga sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu,
tetapi substansial perjalanan masih jauh. Membangun negara hukum adalah proyek yang
amat besar.
Memang sejak dijajah Belanda, kita sebetulnya sudah hidup dalam suatu negara
hukum, hanya waktu itu kita belum memiliki pengalaman sendiri. Menjadi penduduk
suatu negara hukum, waktu itu, kita masih harus dipaksa, disuruh, dan diperintah. Waktu
itu kita lebih adalah sebagai bangsa yang bernegara hukum. Maka sejak 1945 kita
“mendadak” memiliki pengalaman yang baru, yaitu menjadi bangsa dari suatu negara
hukum secara mandiri.
Hal ini penting untuk direnungkan sebagai modal membangun bangsa dari suatu
negara hukum. Negara hukum tidak instant, tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah
konsep modern yang tidak tumbuh dalam dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi
“barang impor”. Proses menjadi negara hukum bukan merupakan bagian dari sejarah
sosial-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi di Eropa. Negara hukum adalah
bangunan yang “dipaksakan dari luar” (imposed from outside). Dengan demikian,
membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun
suatu peradaban baru. Ia adalah proyek raksasa.
Keambrukan
Mengamati sejarah kelahiran negara hukum di dunia adalah membaca cerita
tentang keambrukan suatu sistem sosial satu ke yang lain. Eropa, sebagai ajang
persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum
kelahiran rule of law dan negara konstitusional.
Berdasarkan pengamatan sejarah, janganlah kita beranggapan, membangun
negara hukum ibarat menancapkan sebuah papan nama dan sim-salabin negara hukum
pun selesai dibangun. Juga tidak sama dengan bercocok undang-undang bertanam
pengadilan, dan seterusnya.
Eropa harus mengalami keambrukan sistem sosial yang satu disusul keambrukan
berikutnya, dari feodalisme, staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi
negara konstitusional. Masing-masing keambrukan itu memberi jalan kepada lahirnya
negara hukum modern. Kita juga dapat membacanya sebagai keambrukan suatu perilaku
untuk digantikan perilaku baru. Tetapi, “sejarah keambrukan” bukan menjadi milik
Indonesia karena untuk menjadi negara hukum Indonesia tidak memerlukan proses
keambrukan. Indonesia “dipaksa” untuk menjadi negara hukum instant melalui
transformasi dan transplantasi. Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi
negara hukum modern. Maka, barang tentu banyak persoalan besar muncul dari situ.
Soekarno benar waktu mengatakan, kita mengalami many revolutions in one generation.
Perubahan perilaku
Menjadi negara hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena
menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur. Hukum dan negara hukum
modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil
dengan baik, yang di Eropa membutuhkan waktu sekitar seribu tahun.
Salah satu persyaratan menonjol adalah ambruknya tatanan kolektif dan personal,
untuk digantikan tatanan rasional dan impersonal. Jadi, secara berseloroh kita bisa
mengatakan, semakin terasing (alienated) manusia satu sama lain, semakin hukum
(modern) itu bisa berperan dengan baik. Berbagai penelitian memang meyakinkan hal
tersebut, yaitu semakin urban dan individual suatu masyarakat, semakin hukum
dibutuhkan. Sebaliknya masyarakat dengan kehidupan kolektif dan solidaritas sosial
tinggi, justru kurang memerlukan hukum. Karena itu, di Eropa feodalisme dan lain-lain
harus ambruk lebih dahulu untuk memberi jalan terciptanya kehidupan urban, individual,
sebelum hukum modern bisa muncul (Belanda membutuhkan seratus tahun untuk
menyelesaikan revolusi agrarianya). Pelajaran yang amat berharga disini adalah, hukum
modern ternyata memiliki kosmologinya sendiri.
Di Indonesia (dan banyak negara di Asia Timur) perkembangan yang terjadi
cukup “kacau”, dalam arti tidak berlangsung setapak demi setapak, seperti di Eropa.
Untuk memberi penekanan terhadap proses yang kompleks itu, kata-kata
Soekarno diatas benar sekali. Untuk mengurangi kekacauan dan tekanan terhadap sistem
sosialnya yang asli, Jepang yang pada dasarnya bersifat kolektif. Kosmologi jepang tidak
bisa mencerna begitu saja hukum modern yang memiliki kosmologi berbeda itu.
Hidup primitif
Kolom surat kabar tidak mampu memberi tempat untuk menulis secara lengkap
tentang masalah yang sehararusnya dibicarakan disini. Karena itu, pembicaraan ingin
dipotong dan dipusatkan pada satu aspek dari kehidupan bernegara hukum itu, yaitu
perundang-undangan atau bagaimana kita hidup dengan undang-undang.
Hidup dengan undang-undang addalah pengalaman baru, oleh karena kita biasa
hidup dengan norma sosial yang berbeda daripada sifat dan watak undang-undang
modern. Bali adalah contoh yang bagus sekali tentang bagaimana suatu komunitas
berusaha mempertahankan tatanan sosial yang asli dengan “menawar” keberlakuan
hukum dan undang-undang modern.
Bila kita sudah membuat undang-undang secara modern dan kemudian
melaksanakannya, selesaikah tugas kita mendirikan republik dan negara hukum ini?
Apakah kalau kita sudah bisa menunjuk ke pasal ini dan pasal itu dari hukum
berarti kita sudah selesai dengan pekerjaan kita? Apakah kalau kita sudah pintar
melafalkan asas dan doktrin hukum, kita sudah menjadi bangsa modern yang tahu
hukum? Bila jawabannya adalah ya, maka itulah yang di sini disebut menjalankan hukum
secara primitif.
Terus terang ingin dikatakan disini, selama ini kita hidup dengan undang-undang
secara telalu primitif. Ini tampak dalam banyak proses hukum selama ini yang hanya
berpegang pada kulit undang-undang, prosedur, asas, doktrin, dan lain kelengkapan
hukum. Korupsi menjadi sulit diberantas dengan hukum, kemungkinan besar disebabkan
oleh praktik menjalankan hukum seperti itu. Secara umum kita belum bisa menjalankan
hukum secara cerdas. Hukum tidak dijalankan secara (lebih) bermakna. Hukum masih
lebih sering dijalankan secara primitif.