bab 1 - hk itu prilaku kita sendiri

56
1 Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri anganlah cepat-cepat menilai karut- marut kehidupan hokum Indonesia dewasa ini hanya dari sisi hokum, seperti perundang-undangan. Pengamatan sampai sekarang menunjukkan, dalam wacana tentang Negara hukum dan supremasi hokum, perhatian masih lebih diarahkan pada aspek perundakng- undangan. Contoh terakhir adalah kesibukan bangsa ini untuk mengamandemen UUD. J Perlu ditambahkan, pembenahan sisi perundang-undangan bukannya tidak perlu, tetapi bukan satu-satunya. Dengan sekalian kesibukan membenahi sisi perundang-undangan, gerakan supremasi hukum ternyata amat kurang memberi hasil.

Upload: sofyan-hasan

Post on 27-Jun-2015

55 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

1

Hukum Itu

Perilaku Kita Sendiri

anganlah cepat-cepat menilai karut-marut kehidupan

hokum Indonesia dewasa ini hanya dari sisi hokum,

seperti perundang-undangan. Pengamatan sampai sekarang

menunjukkan, dalam wacana tentang Negara hukum dan

supremasi hokum, perhatian masih lebih diarahkan pada

aspek perundakng-undangan. Contoh terakhir adalah

kesibukan bangsa ini untuk mengamandemen UUD.

J

Perlu ditambahkan, pembenahan sisi perundang-undangan bukannya tidak perlu,

tetapi bukan satu-satunya. Dengan sekalian kesibukan membenahi sisi perundang-

undangan, gerakan supremasi hukum ternyata amat kurang memberi hasil. Dunia dan

kehidupan ukum kita masih jalan di tempat dangan segala karut-marutnya.

Lalu, di mana salahnya? Apanya yang salah?

Tulisan ini coba menyoroti aspek lain dari kehidupan hukum secara lebih lengkap,

dengan menambahkan optik perilaku. Mudah-mudahan dengan demikian bisa dimulai

suatu babak baru dalam usaha kita untuk menjadi suatu negara hukum yang sebenarnya.

Peraturan dan perilaku

Dari pengamatan terhadap praktik hukum selama ini tampak sekali “intervensi”

oleh perilaku terhadap normativitas (perintah) dari hukum. Orang membaca peraturan

dan berpendapat bahwa orang harus bertindak begini atau begitu. Tetapi, yang terjadi

ternyata berbeda atau tidak persis seperti dimengerti orang. Inilah yang disebut intervensi

Page 2: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

perilaku ini. Berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan

hanya urusan (a bussiness of rules), tetapi juga perilaku (Matter of behavior).

Dalam suatu peraturan, misalnya, jelas tercantum secara limitatif, yang boleh

mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara pidana yang sudah diputus adalah

terpidana atau ahli warisnya. Tetapi, pernah jaksa mengajukan PK dan diterima

pengadilan. Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku jaksa.

Hakim agung O.W.Holmes menyatakan, menjalankan hukum bukan hanya soal

logika, tetapi juga pengalaman (the life of the law has not been logic but experience).

Sebagai hakim agung yang berpengalaman luas, ia tahu benar betapa sering intervensi itu

dilakukan.

Van Doorn, sosiolog hukum Belanda mengutarakan secara lain. Hukum, katanya,

adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri

cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor

pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk

perilakunya.

Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, kita perlu menaruh

perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa. Kehidupan hukum tidak

hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut

soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang lebih luas.

“Aturan main” UUD 1945

Sebenarnya ada contoh yang dekat dengan diri kita, yaitu UUD sekarang ini.

Selama ini kita hampir selalu mengabaikan perilaku orang-orang yang menjalankannya.

Kita melewatkan perhatian terhadap kultur konstitusi. “sekalipun dibuat UUD yang

bersifat perseorangan, maka UUD tidak ada gunanya”, demikian kata-kata yang tertera

dalam penjelasan UUD. Ini satu isyarat untuk memberi perhatian terhadap aspek perilaku

dan kultur konstitusi.

Apa yang tercantum dalam penjelasan itu sebenarnya merupakan aturan main

yang penting bagi sukses menjalankan UUD. Dengan mencantumkan kata-kata seperti

itu, sesungguhnya para penyusun UUD sudah melakukan suatu tindakan yang boleh

dibilang cukup jenius, karena sudah merambah ke wilayah “kultur hukum”.

Page 3: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Disebut jenius, karena aspek kultur hukum masih belum banyak dibicarakan

dunia saat itu (tahun 1940-an). Bahkan, di dunia akademis atau ilmu hukum, ia baru

diperhitungkan sebagai unsur sistem tahun 1960-an. Maka, bila nanti perubahan UUD

sudah beres, sebetulnya masalahnya masih cukup jauh dari selesai. Kita masih akan

berurusan dengan aspek perilaku dari orang-orang yang akan menjalankannya.

Masih terngiang dalam telinga kita kata-kata anak muda yang cerdas dalam suatu

dialog TVRI yang berbunyi, “selama UUD kita dijalankan orang-orang yang berjiwa

kerdil, maka impian dan cita-cita UUD tidak akan terwujud”. (Indonesia Jangan Menjadi

Negara Hukum Kacangan, Kompas, 19/8/2002).

Dalam versi yang lain, seorang pernah mengatakan, “Berikan padaku hakim dan

jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan”.

Jadi, sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia dalam kehidupan

hukum.

“Human capital” Indonesia

Dengan membicarakan ihwal perilaku, sampailah jadinya kita pada pembicaraan

mengenai aspek human capital (HC). Pertanyaannya, apakah kita memiliki HC untuk

bangun dari keterpurukan sekarang ini? Jawabannya, kita punya. Kendati demikian,

jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam dalam potret buruk hukum kita. Lebih

daripada itu, mereka biasanya tersingkir dari medan hukum, karena dirasakan

“mengganjal praktik yang lazim”.

Mereka itu ada di kejaksaan, pengadilan, dan tempat lain. Disini tidak akan

disebut nama, cukup mengatakan apa yang telah mereka lakukan. Seorang mantan jaksa

mengatakan kepada rekan-rekannya yang sibuk mengumpulkan sejumlah bukti-bukti,

“Dengan beberapa lembar bukti ini saja saya sudah bisa membawa orang besar itu ke

pengadilan”. Lalu, seorang hakim mempunyai kebiasaan untuk bertanya kepada hati

nuraninya lebih dulu sebelum memutuskan, sedang peraturan itu nomor dua untuk

menunjang putusan hati nuraninya. Hati nurani tidak dapat diajak kompromi dengan

apapun. Karena peraturan dinomor-duakan itulah, mka putusan-putusan hakim

bersangkutan sering disebut kontroversial.

Page 4: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Memerlukan “Social capital”

Kita sering menyatakan kebanggaan diri kita sebagai bangsa yang berbudi luhur,

bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan semacamnya. Tetapi, itu tidak tembus

sampai ke luhur hukum kita. Kultur itu malah lebih cenderung ke individualisme.

Sekalian moralitas itu belum menjadi social capital (SC) kita.

Dalam kaitan dengan tulisan ini ingin ditunjukkan, di dasarnya, hukum

membutuhkan SC-nya sendiri. Saat terjun ke kehidupan bernegara hukum, setiap bangsa

membawa bekal SC masing-masing. Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan

baru sampai omongan, kendati sudah didorong proyek penataran Pancasila dan segala

macam yang bernilai miliaran rupiah. Misalnya, orang berbicara mengenai hubungan

Perburuhan-Pancasila sampai “berbusa-busa”, tetapi yang muncul adalah “Marsinah”,

“buruh dijemus”, dan lain-lain. Akhirnya kehidupan hukum kita seakan tidak memiliki

tulang belakang. Sungguh, SC bagai tulang belakang yang amat dibutuhkan dalam

menjalankan kehidupan berbegara hukum.

Jepang dan AS memiliki SC masing-masing sebagai pendukung negara

hukumnya. Jepang menekankan moral kolektivisme (seperti kita, sic!), AS pada

individualisme dan liberalisme. Hubungan industrial Pancasila yang didengung-

dengungkan di Indonesia malah muncul di Jepang yang sama sekali tidak mengetahui pa-

bekong-nya Pancasila.

Orang AS amat rasional dalam menjalankan hukum, sedang Jepang menggunakan

nuraninya. Diceritakan ada dua orang (AS dan Jepang) akan menyeberang jalan tetapi

tertahan lampu merah. Ketika sudah tidak ada kendaraan lewat, orang AS mengajak

menyeberang saja. Tetapi si Jepang mengatakan, “Kalau saya menyeberang, sedangkan

lampu masih merah,muka saya mau ditaruh di mana?”. Itulah perbedaan dalam SC yang

membawa kepada perilaku dan kultur yang berbeda.

Wahai bangsa tercinta, marilah membangun perilaku kita secara otentik dan baik

lebih dahulu, sebelum memasuki kehidupan bernegara hukum. Dalam perilaki (sosial)

yang otentik itu sudah termasuk kecintaan dan kepedulian terhadap bangsa sendiri.

Perilaku itu merupakan modal amat penting, sebelum kita berbicara tebtabg hukum.

Tanpa perubahan cara bernegara hukum seperti itu, hukum hanya akan menjadi

Page 5: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan,

kebahagiaan, dan kemuliaan.

Page 6: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

2

Hukum Hendaknya

Membuat Bahagia

eformasi serta kritik-kritik negatif terhadap

sistem dan penegakan hukum Indonesia

memberi kesempatan kepada kita untuk

memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan

untuk keluar dari situasi buruk. Tetapi,

bagaimanapun suasana keterpurukan masih

menyisakan berkah, yaitu memberi kesempatan

kepada kita untuk memikirkan perubahan secara

tidak tanggung-tanggung, bahkan sampai pada

akar filsafatnya sekali.

R

Dalam suasana keterpurukan seperti sekarang ini kita terdorong untuk

mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, seperti : “Kita bernegara hukum untuk apa?”.

Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur atau untuk suatu tujuan

yang lebih besar?”.

Tulisan ini ingin mengajak pembaca berpikir bahwa akhirnya pengaturan oleh

hukum tidak menjadi sah semata-mata karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar

suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Di sini diajukan pendapat filsafat, hukum hendaknya

bisa memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya.

Page 7: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Karakteristik hukum modern

Kita ingin mulai dengan melihat karakteristik hukum modern yang dipakai di

negeri ini dan pada umumnya di dunia. Salah satu yang menonjol adalah sifat rasional

(dan formal) hukum modern. Rasionalitas itu bahkan bisa berkembang sedemikian rupa

sehingga sampai pada tingkat “rasionalitas di atas segala-galanya” (rationality above

else).

Dalam suasana seperti itu tidak mengherankan bila para pelaku penyelenggara

hukum, baik legislator, penegak hukum, dan lainnya, akan mengambil “sikap rasional”

seperti itu pula. Misalnya, bukan keadilan yang ingin diciptakan, tetapi “cukup”

menjalankan dan menerapkannya secara rasional. Artinya, diyakini, hukum sudah

dijalankan bila semua orang sudah berpegangan pada rasionalitas itu.

Di sini tidak ingin dikesampingkan aspek liberal yang mengawali kelahiran sistem

hukum modern bekerja dengan cara mempertahankan netralitas. Itu dilakukan dengan

menggunakan format format-rasional. Artinya ia berusaha untuk sama sekali tidak

mencampuri proses-proses dalam masyarakat, tetapi berusaha untuk ada di atasnya.

Dalam hubungan ini kita ingat semboyan “laissez fair laissez passez” (biarkanlah

semuanya berjalan sendiri secara bebas) di abad sembilan belas. Maka tugas hukum

adalah hanya menjaga agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas

tanpa ada gangguan; intervensi oleh siapa pun, termasuk negara, tidak boleh dilakukan.

Itulah hakikat dari kerja tipe hukum liberal.

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat rupa-rupanya tidak tahan dengan

bekerjanya hukum (liberal) seperti itu, yang hanya memperhatikan kemerdekaan dan

kebebasan individu. Masyarakat ingin agar hukum juga aktif memberi perhatian terhadap

kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Maka lahirlah era baru, yaitu pascaliberal,

dimana negara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan

masyarakat. Ini yang dikenal sebagai “Negara Kesejahteraan” (welvaartstaat). Hukum

pun ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan,

seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan publik lainnya.

Dilihat dari filsafat liberal, cara kerja hukum (pascaliberal) seperti itu sudah

merupakan penyimpangan dan “pengkhianatan” terhadap ide liberal yang murni.

Page 8: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Dari kutipan singkat sejarah itu kita seperti dibangunkan oleh kesadaran bahwa

kelahiran hukum modern (yang liberal) bukan akhir dari segalanya, tetapi alat untuk

meraih tujuan lebih jauh. Tujuan lebih jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan

masyarakat”. Masyarakat merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan

memberi keleluasaan kepada individu dan tidak memperhatikan kebahagiaan masyarakat.

Kebahagiaan

Dengan mengatakan “Timur menginginkan kebahagiaan” tidak berarti

masyarakat-masyarakat di Barat tidak menghendaki kebahagiaan. Kata-kata itu hanya

ingin menyiratkan betapa besar nilai kebahagiaan bagi pengorganisasian masyarakat-

masyarakat di Timur, termasuk antara lain institusi hukumnya.

Kita teringat kepada ucapan Lin Yu Tang, seorang intelektual China yang lama

bermukim di Amerika yang membedakan penempatan rasionalitas hukum modern, dan

mengingatkan ada tujuan yang lebih besar dan karena itu kita perlu lebih berhati-hati

dalam melaksanakan sistem yang rasional itu. Apabila tujuan lebih besar itu tidak

disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga masyarakat bisa menjadi “sakit” dan

tidak bahagia.

Contoh-contoh ketidakbahagiaan itu akan dikemukakan di bawah sehingga

hukum dan penyelenggaraannya berubah dari waktu ke waktu.

Keperluan untuk berhati-hati itu lebih menonjol lagi saat dihadapkan kepada

pertanyaan mendasar yang menjadi acuan tulisan ini, yaitu “hukum untuk apa?”

Semangat tulisan ini menolak pendapat dan sikap rasionalitas di atas segalanya. Hukum

tidak boleh menganggap, bahwa pekerjaannya sudah selesai dengan cara seperti itu,

apalagi dengan kredo “rasionalitas di atas segalanya”.

Seperti dikemukakan di atas, tujuan lebih besar itu ingin dirumuskan dalam kata-

kata: keadilan dan kebahagiaan. Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang

hendaknya ditempatkan di atas segalanya.

Para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah

apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai

penyelenggaraa hukum progresif.

Page 9: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Gagasan mencari alternatif seperti ini sebetulnya lumrah saja, seperti nanti

ditunjukkan di bawah dalam uraian di bawah nanti akan terlihat petapa sejarah hukum

modern itu erat dengan kegelisahan untuk mengaitkan tujuan hukum itu kepada suatu

yang lebih besar daripada “hukum untuk hukum” semata, dan itu menjadi kekuatan

pendorong perubahan dari waktu ke waktu.

Hukum liberal dan pascaliberal

Memang apabila kita mencari acuan untuk menggambarkan perkembangan

hukum modern, maka kita tak dapat berbuat lain kecuali merujuk kepada perkembangan

masyarakat dan hukumnya yang terjadi di belahan barat dunia itu. Memang tumbuh dan

berkembang di Barat, tidak dari masyarakat kita sendiri.

Oleh karena itu, kita berbicara tentang hukum liberal dan pascaliberal kendati

perkembangan masyarakat menjadi liberal kemudian dke pascaliberal itu bukanlah milik

masyarakat kita sendiri.

Perjalanan hukum (modern) yang kita pakai kini sudah melampaui tahap liberal

dan sampai kepada pascaliberal sesuai perkembangan masyarakat di Barat. Hukum

prioritas nilai-nilai di Timur dan Barat. Di Barat, rasionalitas (rationality) menempati

nilai tertinggi, sedang Timur memberikan pngutamaan kepada kebahagiaan (happiness).

Dorongan ke arah kebahagiaan tersebut juga dapat kita amati dalam berbagai

Timur umumnya menerima dan menjalankan hukumnya, yang notabene adalah hukum

modern. Hal itu kita saksikan mulai dari China, Korea, Jepang, dan yang juga terhayati di

Indonesia. Kendati seperti Jepang juga menggunakan hukum modern, tetapi itu terutama

dilakukannya karena tidak ingin disebut ketinggalan dari masyarakat-masyarakat lain di

dunia yang memakai hukum tersebut.

Namun, sebetulnya penerimaan itu dilakukan Jepang dengan penuh kegelisahan,

semata-mata karena tidak “merasa bahagia” dengan model hukum itu. Ini terlihat saat

struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote (bagian muka) dan ura (bagian

belakang) atau latemae (luar) dan honne (dalam) ditarik juga ke bidang hukum.

Di luar mereka menerima hukum modern yang ditata secara formal-rasional,

tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak. Maka, meski di luar mereka menerima

penggunaan hukum kontrak modern, misalnya, tetapi bila sudah sampai kepada

Page 10: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

pelaksanaannya, mereka mendahulukan penyelesaian dengan cara-cara Jepang (sebuah

penelitian di Jepang pada tahun 1970-an).

Dikatakan, bila orang Jepang pergi ke kantor pengacara, maka mereka

melakukannya dengan perasaan sedih karena kepergiannya ke kantor itu menunjukkan

gagalnya car-cara Jepang. Karena itu, praktik hukum di Jepang banyak diintervensi oleh

apa yang disebut the Japanese twist (langgam Jepang).

Denagn begitu di tengah penggunaan hukum modern, mereka masih bisa

menemukan sedikit sudut untuk merasa bahagia. Masih banyak contoh lain, seperti

pelaksanaan the modern criminal justice system di Korea yang mengisyaratkan

ketidakbahagiaan mereka dengan menggunakan model itu. Tetapi, akan menjadi terlalu

panjang untuk dikemukakan di sini. Satu dua contoh di atas cukuplah kiranya untuk

menunjukkan kegelisahan dan ketidak bahagiaan Timur dalam turut menerima dan

menggunakan hukum modern.

Bagaimana dengan Indonesia

Apakah Indonesia tidak berbagi “ketidakbahagiaan” Timur itu? Jawabannya

adalah “ya”, Indonesia juga berbagi ketidakbahagiaan itu. Cukup banyak contoh di sana

sini.

Betapa Indonesia juga merasa kegelisahan itu, seperti misalnya dengan

mengajukan alternatif “Sistem Hukum Pancasila”, “Hubungan Industrial Pancasila”, dan

lain-lain. Tetapi, lagi-lagi sindrom wacana yang diidap bangsa kita mementahkan

semuanya.

Kita pentar menggagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya sampai sebatas omongan.

Itulah yang disebut sindrom wacana. Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan

kekeluargaan dalam manajemen industri, yang muncul adalah “Marsinah” dan “buruh

dijemur”.

Barangkali kalau mau melihat keberhasilan Sistem Industrial Pancasila, kita harus

menengok ke Jepang, sekalipun negeri itu sama sekali tidak tahu Pancasila.

Sampai tingkat tertentu, hukum adat kita juga bisa dilihat sebagai simbol dari

kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam penggunaan hukum modern itu. Misalnya,

Page 11: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

dengan mempertahankan organisasi dan hukum subak sampai sekarang, Bali ingin tetap

menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern di negerinya.

Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita

membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa

hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Memang, untuk bisa bergaul

dalam komunitas internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum

dipakai di dunia. Tetapi, apa pun pilihan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, tidak ada

yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan, itu yang jauh lebih penting.

Sekarang kita mengalami bagaimana terpuruknya sistem hukum kita dan lebih

daripada itu kita menjadi tidak bahagia. Korupsi dengan gesit menyelinap menghindari

jaring-jaring hukum. Itu membuat rasa keadilan kita tertusuk dan menjadi tidak bahagia.

Sebab-sebab ketidakbahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita

sendiri, juga dalam menjalankan hukum. Kita menjadi tidak bahagia karena ada Kasus

Akbar Tandjung, Kasus Jaksa Agung A. Rahman, dan lain-lain.

Dengan menegaskan filsafat tersebut sebagai landasan bernegara hukum

diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat atau sinyal-sinyal yang bisa ditangkap oleh

seluruh bangsa kita, khususnya para legislator, hakim, jaksa, advokat, birokrasi,

pendidikan hukum, dan lain-lain institusi. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum, adalah

untuk menjadikan rakyat dan bangsa ini bahagia!

Page 12: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

3

Menjalankan Hukum

Dengan Kecerdasan Spiritual

ULISAN ini agak istimewa karena

menggabungkan hukum dan psikologi.

Harapannya, psikologi dapat membantu memberi

pencerahan usaha kita menjalankan hukum di negeri ini

menuju ke kehudipan yang lebih sejahtera.

T

Dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan tentang cara berpikir manusia sudah

sedemikian rupa, menampilkan macam berpikir yang beragam. Sekitar seratus tahun lalu

kita hanya mengenal satu macam berpikir, berpikir rasional. Hanya ada satu ukuran yang

dipakai untuk mengukur kemampuan berpikir seseorang, yaitu dengan menggunakan IQ

(intellectual quotient).

Namun, kini ditemukan tiga macam berpikir atau kecerdasan, sehingga selain

yang (1) rasional, masih ada berpikir dengan (2) perasaan, dan (3) spiritual. Berpikir

secara rasional disebut logis, linier, serial, dan tidak ada rasa keterlibatan (dispassionate).

Berbeda dengan cara berpikir demikian, berpikir dengan perasaan

mempertimbangkan lingkungan atau habitat, sehingga tidak semata-mata menggunakan

logika. Berpikir menjadi tidak lagi sederhana seperti berpikir logis, tetapi menjadi lebih

kompleks karena mempertimbangkan faktor konteks.

Lalu, sejak sekitar akhir abad ke-20, muncul model berpikir yang memasuki

dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang

sedang ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual atau kecerdasan spiritual. (Untuk lebih

lengkap baca Danah Zohar dan Ian Marshall, spiritual intelligence-the ultimate

intelligence, 2000).

Page 13: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Kecerdasan spiritual amat menarik untuk dikaitkan kepada cara-cara berpikir

dalam hukum, yang ada gilirannya mempengaruhi tindakan kita dalam menjalankan

hukum.

Pencarian makna

Di sini ingin diajukan pendapat, menjalankan hukum tidak sama dengan

menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi mencari dan menemukan makna

sebenarnya dari suatu peraturan. Menarik apa yang dikatakan Paul Scholten, seorang

guru besar Belanda, hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus

ditemukan. Kini pendapat itu memperoleh dukungan dan pembenaran kuat berdasar

psikologi, dengan “ditemukannya” suatu macam kecerdasan manusia yang tertinggi,

yaitu kecerdasan spiritual.

Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang

terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membaca secara “datar” begitu saja. Hukum

bukan buku telepon yang memuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang sarat

dengan makna dan nilai. Membaca peraturan secara datar adalah memecahkan masalah

dengan menggunakan kecerdasan rasional semata.

Beberapa kali sudah diingatkan, hukum modern (memang) dirancang secara

formal-rasional dan itu memiliki risikonya sendiri. Risiko itu adalah, hukum akan

dijalankan berdasarkan tolok ukur formal-rasional. Dengan cara begini makna sebenarnya

yang terkandung dalam peraturan, menjadi tidak perlu dicari lebih jauh. Ibaratnya, cukup

pencet tombol, putusan sudah dibuat dengan benar. Kita tidak perlu pusing berusaha

menemukan makna, nilai, dan kandungan moral di belakangnya.

Kedaan sekarang sudah berubah, juga dalam ragam berpikir manusia, seperti

terjadi dalam psikologi (dan psikiatri). Cara berpikir untuk memecahkan persoalan yang

diterima sebagai kecerdasan “sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan

mempertanyakan makna itu. Seperti dikatakan Zohar dan Marshall dalam buku tersebut

di atas, “...Kecerdasan spiritual menggugah rasa moral kita, dengan memberikan suatu

kemampuan untuk mengendalikan ketentuan yang kaku lewat pengertian (understanding)

dan rasa keterlibatan”.

Page 14: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Mencoba bangun dari keterpurukan

Menjalankan hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir, karena

orang lebih banyak membaca huruf undang-undang daripada berusaha menjangkau

makna dan nilai yang lebih dalam.

Ini adalah rumusan kualitas dari pengalaman empirik selama ini, seperti usaha

menjalankan supremasi hukum, menangani KKN, dan lain-lain. Alih-alih memberi

kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat, supremasi hukum malah menjadikan

industri hukum kita semakin terpuruk.

Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangunan dari keterpurukan

hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk berani mencari jalan baru (rule-

breaking) dan tidak membiarkan diri terkengkang cara menjalankan hukum yang “lama

dan tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan.

Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam

menjalankan hukum dan bernegar hukum. Kita semua dalam kapasitas masing-masing

(sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidikan, dan lain-lain) didorong untuk selalu

bertanya kepada nurani tentan gmakna hukum lebih dalam.

Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Apakah artinya

kita sibuk melaksanakan HAM? Apakah harus kita baca dan pahami secara datar saja?

Apakah itu akan membuat bangsa ini bahagia?

Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi

dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita

yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun dari

ketrpurukan dan sekali ini kita mencoba dengan menggugat cara berpikir selama ini yang

lebih banyak mendatangkan rasa susah. Sudah semestinya hukum merupakan institusi

yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia.

Page 15: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

4

Mengangkat

Orang-orang Baik

ulisan ini ingin berbicara tentang usaha kita

mendorong bangkit atau tampilnya orang-

orang baik negeri ini dalam sektor kehidupan publik.

Selama ini kita terlalu banyak menyoroti keburukan

institusi kita, seperti keuangan, pengadilan,

birokrasi, dan parlemen.

T

Meski sorotan itu tak dapat dihindari karena “statistik” menunjukkan tampilan

yang buruk, tetapi haruskah itu mendominasi potret bangsa secara absolut? Tidak adakah

ruang untuk berbicara hal-hal yang baik tentang bangsa ini? Adalah tidak adil bila kita

tidak berbicara tentang orang-orang baik di negeri ini.

Sebelum masuk topik bahasan lebih lanjut, ingin dikemukakan mengapa penulis

terdorong menghadirkan kehadiran orang-orang baik di negeri ini. Alasan utamanya

adalah kerisauan atas fenomena kekasaran dan kekerasan masa yang kian maningkat

akhir-akhir ini. Keadaan itu memunculkan istilah seperti “para preman” dan

“premanisme”.

Kebangkitan mereka akhir-akhir ini memperburuk potret kualitas bangsa kita.

Bila hal itu dibiarkan, dikhawatirkan negeri ini akan mengalami kepulihan atau

kebangunan kembali (recovery), tetapi malah kian terperosot lebih dalam. Karena itu, kita

ingin mencoba kekuatan penangkal guna menghentikan perebaknya apa yang disebut

premanisme. Salah satu usaha itu adalah mendorong bangkitnya orang-orang baik di

negeri ini di sektor publik.

Page 16: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Bangkitnya massa

Menghadapi fenomena itu, ingatan kita melayang ke belakang lebih dari 70 tahun

lalu. Yang dimaksud adalah diterbitkannya buku karya Jose Ortega Y Gasset, La

Rebelion de las masas (1930). Tulisan itu rupanya menarik perhatian dunia sehingga

istilahnya menjadi milik dunia, sebagaimana diucapkan dan diterjemahkan dalam

berbagai bahasa seperti “the revolt of the masse” (Inggris) dan “de opstand der horden”

(Belanda).

Ortega menulis dengan latar belakang Eropa di masa itu. Penulis dan pemikir

Spanyol itu mengamati munculnya suatu golongan di masyarakat dalam posisi publik

yang menampilkan karakteristik, sifat-sifat, mental, dan kualitas yang berbeda dari

golongan yang selama itu tampil dalam jabatan-jabatan publik. Lapisan elite ini dipercaya

mengemban jabatan publik karena memiliki atau memenuhi standar kualitas mental yang

diunggulkan.

Akan tetapi, karena faktor sosial tertentu di Eropa lalu muncul suatu golongan

yang juga beraspirasi untuk menduduki jabatan publik, namun tidak memiliki sikap dan

perilaku standar yang diunggulkan selama ini. Justru golongan yang muncul itu

menunjukkan kualitas yang berseberangan, seperti kekasaran, mengandalkan fisik, dan

memaksa kehendak. Kaum Nazi dimasukkan ke dalam golongan yang baru bangkit itu.

Masas ini tidak masuk dalam pembagian sosial tradisional, seperti “kelas atas”

atau “kelas bawah”, tetapi dalam “kelas manusia”. Mereka telah menyusup ke golongan

yang mensyaratkan klualifikasi tertentu, seperti golongan intelektual. Kendati memaksa

ke dalam golongan intelektual, tetapi oleh Ortega disebut “intelektual semu” karena

unqualified, unqualifiable, dan dilihat dari mentalnya disqualified. Terjadilah apa yang

disebut Ortega suatu hyperdemocracy di mana masas bertindak langsung, mengabaikan

aturan serta memaksakan keinginan dengan menggunakan tekanan meteriil.

Masas muncul sebagai segolongan manusia barbar (biadab) serta dalam bentuk

modern barbarism. Tidak ada standar mutu. Mereka ingin menjadi pemimpin, ingin

mengatur masyarakat tanpa memiliki kemampuan untuk itu. Maka menurut Ortega

lahirlah Magna Charta of Barbarism (piagam kebiadaban).

Page 17: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Di Indonesia disebut preman

Sambil membaca kembali tulisan Ortega tujuh puluh tahun silam, pelan-pelan

muncul dalam benak kita gambar tentang terjadinya fenomena yang hampir sama di

negeri itu. Reformasi yang ingin memulihkan kehidupan demokratis telah menjadi

kebablasan yang dalam istilah Ortega disebut hyperdemocracy. Demokrasi belum

memunculkan golongan rakyat yang memunculkan standar kualifikasi mental, tetapi

lebih berupa “masa tanpa standar kualifikasi”.

Rupanya reformasi sudah menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai ke

akar rumput, tetapi diibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran dalam akuarium ikut

terobok-obok dan muncul ke permukaan. Akuarium menjadi keruh. Lembaga-lembaga

yang seharusnya terhormat telah diduduki oleh mereka yang tidak memiliki kualifikasi.

Kebangkitan masas, the mass atau horde di Eropa di awl abad ke-20 telah ditandingi oleh

munculnya apa yang disebut para preman dan premanisme di Indonesia di abad ke-21.

Menurut catatan, sebetulnya kecenderungan ke arah itu sudah diamati

Koentjaraningrat yang beberapa puluh tahun lalu menulis hambatan-hambatan mentalitas

dalam pembangunan di Indonesia. Ditulis di situ antara lain mentalitas untuk selalu ingin

menerabas dan sikap tidak menghargai mutu. Pengamatan profesor antropologi Indonesia

di tahun 1970-an itu bisa disejajarkan dengan pengamatan Ortega terhadap masyarakat

Eropa di awal abad ke-20.

Apa yang ditulis Koentjaraningrat 30 tahun lalu itu kini sudah menjadi lebih parah

lagi. Hal itu sama berbahaya dan merusaknya seperti korupsi yang ingin diberantas.

Malah keadaannya mungkin lebih berbahaya karena kurang mencolok seperti kerugian

materiil yang ditimbulkan korupsi. Dengan demikian, masyarakat kurang menyadari

bahaya yang ditimbulkannya: apalagi mewaspadainya.

Masih ada orang-orang baik

Meski mungkin jumlah orang-orang baik di negeri ini tidak sedikit, namun

umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul.

Mereka tidak bisa bermain menurut “kultur preman” sehingga tersisihkan menjadi

kelompok pinggiran.

Page 18: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Istilah “baik-baik” di sini dipakai untuk menyebut mentalitas dan kualitas yang

terpuji. Mereka itu antara lain Baharuddin Lopa, Romo YB Mangunwijaya (alm), dan

lain lagi yang masih hidup.

Tetapi, kita salh bila haya menyebut nama-nama besar yang menonjol karena

orang-orang baik juga bisa ditemukan pada lapisan bawah negeri ini. Mereka tidak

memiliki nama besar dan tidak menduduki jabatan tinggi publik, karena hanya orang

biasa atau pegawai “kecil”.

Penelitian para mahasiswa mendukung temuan masih hadirnya “orang-orang

biasa yang baik” di negeri ini. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa Jawa

disebut kesampar-kesandur, ada di mana-mana. Dalam kehidupan sehari-hari mereka

“terlindas dan terinjak” oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya

mempunyai mentalitas yang mulia dan terpuji.

Bila keadaan dibiarkan, maka bisa diperkirakan, Indonesia akan menjadi jarahan

masas itu. Manusia-manusia Indonesia yang baik-baik kurang memperoleh kesempatan

untuk tampil sebagai pemimpin dan pengatur masyarakat. Guna memulihkan

keterpurukan negeri dan bangsa kita kini, marilah kita bersatu mengangkat dan

memunculkan orang-orang baik dan menolak kehadiran massa yang preman.

Satu-dua masalah telah dilakukan, seperti mensyaratkan bahwa presiden harus

seorang sarjana. Tetapi, sebagian menolaknya karena kesarjanaan bukan jaminan, bahwa

ia akan menjadi pemimpin yang baik. Hal itu ada benarnya karena kita mempunyai

pengalaman tentang adanya pemimpin-pemimpin yang tidak mempunyai gelar

kesarjanaan, seperti Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Soedjatmoko.

Meski tidak bergelar formal mereka telah menunjukkan diri sebagai orang yang

berkualitas. Agus Salim dengan penguasaan bahasa-bahasa asing yang prima, Sjahrir

dengan karya-karya intelektual seperti Indonesische Overpeinzingen (Renungan

Indonesia), begitu pula dengan Soedjatmoko yang sampai mendapat kepercayaan

internasional untuk menjadi Rektor Universitas PBB.

Kita amat senang dengan pergumulan untuk memunculkan elita, pemimpin, dan

golongan yang benar-benar berkualitas, bagaimanapun caranya untuk mencapai hal itu.

Kita berharap tetapi juga percaya, bahwa bila bangsa ini benar-benar bersatu padu serta

Page 19: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

peduli untuk menolak kehadiran masas, dan kemudian memunculkan orang-orang yang

baik, akhirnya negeri ini pelan-pelan akan bangkit kembali.

Page 20: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

5

Bernegara dengan Makna

ERNEGARA secara teritorial atau spasial, kita

sudah lakukan. Pada tanggal 17 agustus 1945

diproklamirkan berdirinya sebuah negar baru kepada

dunia, bernama Republik Indonesia, dengan wilayah

yang sama dengan Hindia-Belanda.

B

Dokrit serta konvensi memang mensyaratkan adanya teritori, di samping

penduduk dan pemerintahan yang efektif. Sejak saat itu RI berdiri dengan memenuhi

sekalian persyaratan formal (dalam tulisan ini kata-kata spasial, teritori< fisik, formal,

dipakai bergantian).

Bernegara secara formal-fisik

Sampai sekarang, lebih setengah abad sejak RI berdiri, terus saja negara tersebut

mengalami gejolak dan pergolakan, kendati (dalam kapasitas formal) negara itu tetap

berdiri dan diterima oleh komunitas negara-negara (system of states) di dunia. Suasana

sosial yang demikian itu, kendati tidak merupakan kerisauan bagi negara-negara lain di

luar Indonesia, tetapi bagi bangsa Indonesia sendiri ia dirasakan sebagai kegalauan yang

besar.

Membaca keadaan yang demikian itu disimpulkan bahwa ternyata bernegara

secara spasial-formal tidak cukup, diinginkan juga negara yang bisa membikin rakyat

bahagia. RI sebagai satu negara di tengah-tengah komunitas negara di dunia boleh baik-

baik saja, tetapi “tidak baik-baik saja”, menurut sang pemilik, yaitu bangsa Indonesia.

Page 21: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Eksisten RI secara spasial-teritorial, dan berpuas diri sampai di situ, menjadi

penghalang bagi bangsa ini untuk mendapatkan kebahagiaan. Seharusnya negeri ini tidak

hanya mengejar persyaratan wilayah, penduduk, dan pemerintahan efektif saja, tetapi di

atas itu juga menambahkan persyaratan (terhadap diri sendiri): rakyat yang bahagia.

Implikasi ukuran spasial-teritorial mendorong lahirnya peri kehidupan yang

bersifat formal, fisik, dan deterministik. Prestasi, ukur-mengukur, penghargaan, dikaitkan

pada tampilan fisik. Yang dilihat dan dihargai adalah kedudukan, kekuasaan, kekayaan,

dan capaian materi.

Maka, praksis kenegaraan, bernegara, dan pemerintahan juga lebih mengacu pada

standar spasial yang diterjemahkan menjadi kehadiran struktur dan lembaga secara

formal. Ada gedung dan personel permanen, pengadilan, polisi, presiden, kejaksaan,

sekolah-sekolah, dan seterusnya. Itu dipandang cukup sebagai tanda bahwa negara RI

memang ada dan berjalan. Bukan tampilan bermutu! Bangsa ini dibiarkan menghirup

iklim udara yang bersifat fisik minus kualitas.

Korupsi yang maikn meruyak, pilkada yang penuh dengan kehebohan, politik

duit, dan lain-lain adalah kelanjutan belaka dari suatu praksis bernegara yang tidak

mengutamakan dan menjaga mutu. Wilayah-wilayah yang semestinya sakral, seperti

pendidikan, pengadilan, parlemen, dan pelayanan publik. Dijarah oleh nafsu menumpuk

materi, bersemangat kapitalis. Hampir semuanya menjadi komoditas yang dihargai

sebagai barang ekonomi dan diburu serta diperjualbelikan.

Negara dengan citra diri

Dalam suasana baru saja memepringati hari kemerdekaan ke-60 kita menemukan

saat yang baik untuk merenungkan apakah cara kita bernegara selama ini lebih dari

setengah abad itu sudah benar? Apakah dengan bernegara secara spasial, fisik, formal,

pekerjaan menjadi selesai? Apakah dengan memiliki pemerintahan modern, pengadilan

modern, perekonomian dan pendidikan modern, segalanya menjadi beres?

Page 22: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Kiranya tidak seperti itu. Sejak didirikan, negara yang bernama RI ini sarat

dengan ideologi, sarat dengan kehendak untuk melakukan pencitraan diri (self defining)

secara kultural, seperti membuat Undang-Undang Dasar (UUD) yang bersifat

kekluargaan dan kemuadian menyusul membangun Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Itu berarti bahwa kita tidak ingin sekedar bernegara secara spasial dan memenuhi standar

formal saja. Apabila perjalanan perenungan kita sampai di situ, lalu kelanjutan-kelanjutan

apa yang akan terjadi? Apa yang bisa dan seharusnya terjadi pada cara-cara kita

bernegara?

Kelanjutan untuk melakukan pencitraan diri tersebut membawa cara-cara kita

bernegara dan berperintah bergerak keluar dan membebaskan diri dari cengkeraman

prinsip “bernegara secara formal-spasial”. Dengan menggunakan ukuran seperti itu, maka

menjadi salahlah praksis “pemerintah untuk memerintah”, “mengadili untuk menerapkan

undang-undang dan prosedur”, “mengajar untuk menerapkan kurikulum”, dan seterusnya.

Dalam konteks pencitraan diri, segalanya lalu ingin ditempatkan di bawah sorotan

“memerintah untuk apa?”, “pengadilan untuk apa?”, “mengajar untuk apa?”, dan

seterusnya.

Negara, pemerintahan, bangsa, yang berusaha untuk membangun citra diri hanya

bisa didukung dan diwakili oleh pelaku-pelaku yang penuh didikasi, empatu, kreasi, dan

lain-lain modalitas. Pelaku-pelaku seperti itu berusaha untuk tidak hanya menjadi sekrup

dari satu mesin, melainkan individu-individu yang kreatif yang senantiasa ingin memberi

arti penuh kepada jabatan dan profesinya.

Untuk mencapai standar tersebut memang sangat berat, oleh karena sudah masuk

ke dalam dimensi bernegara secara spiritual (Satjipto, Menjalankan Hukum dengan

Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30/12/2002). Bekerja tidak untuk mencari imbalan ke

duniaan, tetapi semata-mata pengabdian, hanya ikhlas karena Allah. Bekerja menjadi

aktivitas total. Ini benar-benar extra-ordinary. Bagaimana berat pun, apabila kita ingin

cepat keluar dari keterpurukan, maka itulah harga yang harus dibayar.

Page 23: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Seorang pejabat publik tidak melaksanakan “perintah-perintah tertulis hitam-

putih”, melainkan selalu bertanya “apakah yang saya lakukan ini sudah baik untuk rakyat,

sudah optimal untuk rakyat?”. Seorang hakim, jaksa, advokat, bukan mesin otomat

undang-undang dan prosedur, tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan

keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) sehingga pengadilan menjadi

pengadilan yang memiliki nurani (court with conscience).

Menteri, gubernur, tidak menceritakan diri sebagai birokrat biasa yang

berkedudukan dan berkekuasaan, melainkan pejuang yang ingin membahagiakan rakyat.

DPR tidak memikirkan apa yang bisa didapat dengan menjadi anggota DPR, melainkan

apa yang bisa diperbuat agar konstituen bahagia. Dengan begitu, maka parlemen juga

menjadi “parlemen berhati nurani” (parliament with conscience, conscience of the

parliement).

Dengan demikian, praksis kenegaraan akan menjadi otentik, seperti hanya

memikirkan bagaimana mengatasi kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan,

kebodohan, kesehatan, dan ketidakadilan. Yang lain-lain diharusnya minggir!

Indonesia adalah negara dengan makna.

Page 24: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Bagian Kedua

Hukum Progresif,

Menggugat dan Idealisme Hukum

Page 25: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

1

Kediktatoran Pengadilan

ALAM beberapa tulisan di harian Kompas,

telah didorong agar Mahkamah Agung (MA)

aktif melibatkan diri dalam proses membangun

masyarakat Indonesia baru, seiring dengan tuntutan

reformasi. Untuk itu di inginkan agar MA berani

membuat putusan-putusan yang berbobot politik,

yaitu politik kenegarawanan (judicial statesmanship),

semata-mata dalam rangka pengadilan turut

membangun masyarakat tersebut. (Kompas 10/1/1992,

4/1/1993, 26/3/1994, 14/10/1994, 22/4/1997, dan

30/5/1997)

D

Dalam tulisan berikut ini ingin diulas lebih jauh tentang tempat dan peran

pengadilan dalam dinamika perubahan masyarakat. Dari abad ke abad kita melihat betapa

peran pengadilan berubah. Untuk berhenti pada peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20,

maka di situ kita menyaksikan pelan-pelan terjadinya perubahan dari peran pengadilan

sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.

Pengadilan yang terisolasi ini juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan

sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan tidak kurang. Memang semangat liberal

Page 26: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di abad ke-19 itu memang memberikan

landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat

dimana pengadilan berada.

Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan

(judicial dictatorship), oleh karena ia memutus semata-mata dengan melihat apa yang

menurut tafsirannya di kehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau

mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis

pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi

benda asing dalam tubuh masyarakat itu.

Sementara itu dinamika masyarakat menampilkan pengorganisasian baru, seperti

perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat,

seperti buruh, yang mengubah peta sosia dan politik secara mendalam. Kalau hukum

liberal abad ke-19 banyak dikaitkan pada golongan borjius, maka menjelang dan

memasuki abad ke-20 kata kuncinya adalah rakyat. Naiknya peran dan pastisipasi rakyat

ini tidak dengan mudah diakomodasikan oleh institusi hukum, termasuk pengadilan.

Semestinya pengadilan juga mengubang perannya dari semata-mata menjadi corong

undang-undang kepada pengadilan yang mewakili dan mendengarkan suatu rakyat.

Bahkan ada ujaran, bahwa pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau

golongan-golongan yang unrepresented dan under-represented.

Pembangkangan

Dalam suasana terjepit diantara orde hukum liberal dan dinamika masyarakat, di

sana sini terjadi pembangkangan-pembangkanan oleh pengadilan. Pembangkangan ini

justru terjadi pada pengadilan yang lebih mendengarkan gejolak ke masyarakat daripada

mengikuti bunyi undang-undang. Filsafat atau aliran yang legalistik-positivistik

dipinggirkan dan digantikan oleh relisme hukum. Yang terkenal adalah realisme

Skandinavia dan realisme Amerika, dengan tokohnya seperti Benjamin Cardozo dan

Oliver Wendell Holmes.

Page 27: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Mereka ini banyak menyumbang ke arah pembangunan Amerika modern yang

dilakukan dengan pembangkangan terhadap orde hukum yang berlaku. Mereka tidak mau

semata-mata diikat oleh undang-undang, tetapi kesempatan untuk memutus dipergunakan

bagi mendukung modernisasi Amerika. Pembangkangan dilakukan, misalnya, dengan

kalau perlu meminggirkan doktrin trias politika yang waktu itu dianggap sebagai doktrin

besi yang tak boleh dilangkahi.

Pembangkangan terhadap doktrin besi orde yang berlaku tersebut misalnya

dilakukan dengan membuat putusan-putusan yang sebetulnya melampaui peran

pengadilan yang hanya mengonkretkan undang-undang atau menjadi corong undang-

undang. Maka muncullah sebutan goverment by the judiciary. Pemerintah yang

seharusnya merupakan monopoli pemerintah sudah diambil-ambil dan dijalankan juga

oleh pengadilan. Dalam beberapa tulisan telah didorong agar MA dan pengadilan

umumnya berani keluar dengan filsafat relisme seperti itu, semata-mata berdasarkan

alasan, bahwa pembangunan Indonesia baru membutuhkan hal itu.

Membaca dan merenungkan hal-hal yang diuraikan di atas, kita akan

berkesimpulan, bahwa pengadilan itu bukan suatu institusi hukum yang steril, yang hanya

berurusan dengan pengonkretan undang-undang, melainkan memiliki jangkauan lebih

luas daripada itu. Pengadilan sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika

yang bergerak di sekitarnya. Ia adalah pengadilan yang sarat dengan pikiran keadilan,

pembelaan rakyat dan nasib bangsanya. Ternyata pengadilan juga mempunyai hati nurani

(conscience of the court). Ini sangat-sangat relevan dengan keadaan masyarakat ini.

Pengadilan yang berhati nurani ini akan banyak membantu mengatasi penderitaan

bangsa.

“Judicial review”

Judicial review (JR) adalah kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah

suatu produk perundang-undangan itu sah atau tidak. Sudah sejak lama di Indonesia

orang merasakan perlunya suatu JR untuk mengendalikan kekuasaan legislatif agar tidak

Page 28: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

mengeluarkan peraturan berdasarkan pertimbangan atau kepentingannya sendiri. Untuk

itu harus ada lembaga yang mengontrol, yang dalam hal ini adalah JR tersebut.

Lazimnya JR memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir, berarti tidak ada

kesempatan atau prosedur hukum yang tersedia untuk “mengoreksi” putusan JR tersebut.

Inilah pula yang mengundang orang untuk menyebut JR itu sebagai kediktatoran

pengadilan. Dalam suasana semangat demokrasi, maka JR yang membuat putusan final

dianggap bertentangan dengan demokrasi (William J Kirk & R Randall Briswell, Judicial

Dictatorship, 1997).

JR tidak lagi merupakan representasi rakyat, melainkan bertentangan dengan itu.

Ditempatkan pada latar belakang atmosfer demokrasi, maka JR dilihat sebagai suatu

sikap otoritarianisme dan kediktatoran. Pengadilan memegang monopoli menafsirkan

undang-undang dan ini merupakan amanah yang berat. Maka independensi pengadilan

yang di Indonesia masih menjadi cita-cita sebaiknya dilaksanakan dengan hati-hati, oleh

karena ia dapat juga tidak produktif karena berlawanan dengan dinamika perubahan

masyarakat.

Bagaimana apabila JR yang dilakukan oleh MA Republik Indonesia baru-baru ini,

yang menyatakan dasar hukum pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (TGPTPK) tidak sah, ditempatkan pada latar belakang sekalian uraian di

atas? JR tersebut sama sekali tak dapat dipisahkan dari semangat untuk memberantas

korupsi yang sudah begitu parah di negeri ini. Ditempatkan pada latar belakang tersebut,

putusan JR MA baru-baru ini terasa agak aneh. Keanehan tersebut dapat diverifikasi

lewat reaksi atau respons yang begitu spontan menyusul putusan JR yang datang dari

LSM yang peduli dengan pemberantasan korupsi, seperti ICW, JWI, LEIP, dan PSHK.

Membaca berbagai reaksi dari masyarakat tersebut dapat dikatakan, bahwa MA

belum memiliki apa yang disebut conscience of the court, dalam hal ini sense of

combatting corruption. Pada tataran yang lain kita dapat bertanya, pakah putusan MA

tersebut bukan merupakan suatu bentuk kediktatoran pengadilan?

Bagaimanapun juga MA adalah milik kita. Kita semua berkepentingan untuk

memiliki MA yang benar-benar menunjukkan kebesaran dan kewibawaannya, khususnya

dengan memahami dan turut merasakan penderitaan bangsa. Untuk itu, kita smua

Page 29: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

bertanggung jawab untuk selalu memberi masukan bagi kemajuan MA kita. Dalam

semangat itulah tulisan ini dibuat, sebagai sumbangan pikiran dan memorandum agar MA

melakukan introspeksi dan meningkatkan kualitas putusan di waktu yang akan datang.

Page 30: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

2

Mulai Bertindak Otentik

eberapa tahun sudah kita lalui untuk

mempraktikkan apa yang kita sebut sebagai

reformasi, yaitu merombak suasana lama menjadi baru.

Dari praktik otoriter, serba sentralisasi, rezimentasi, dan

sebagainya menjadi leberalisasi, demokratisasi,

kebebasan berbicara, membentuk partai politik,

desentralisasi, pembangunan suatu civil siciety. Lebih

nyata lagi, supremasi hukum, pemberantasan korupsi dan

lain-lain.

B

Beriringan dengan tujuan yang kita kehendaki itu terjadi pula kerusuhan besar-

kecil yang merata di mana-mana, pertentangan antar suku, pengeroyokan, perusakan, dan

pembakaran institusi kenegaraan/pemerintah, perlawanan terbuka terhadap otoritas dan

kekuasaan sah. Itulah deskripsi mengenai apa yang terjadi dalam masa reformasi selama

beberapa tahun ini.

Masih ada hal lain yang menarik untuk diamati sebagai suatu aspek dari

kebebasan untuk berpendapat dan berbicara, yaitu munculnya retorika di kalangan para

elite dan melebar ke rakyat luas. Bangsa kita menjadi alih dalam beretorika. Berbagai

masalah, dari krisis ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain dihadapi dan diselesaikan

melalui omongan-omongan, statement, dan sebagainya. Masalah-masalah menjadi lebih

banyak diomongkan daripada dipecahkan secara otentik. Menegakkan hukum, supremasi

hukum, memberantas korupsi lebih banyak diselesaikan melalui retorika. Memberantas

KKN, misalnya, kita lebih banyak melihat lahirnya statement-statement dan sebangsanya

Page 31: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

daripada adanya korupsi yang diadili dan koruptor yang dihukum. Kita lebih banyak

omong besar mengenai korupsi daripada berkeringat dan memeras tenaga untuk

mengadili korupsi dan menghukum koruptor. Korupsi tidak ditangani secara otentik.

Perilaku retorik itu bisa merusak bekerjanya suatu institusi sesuai tujuannya yang

baku. Misalnya, kredo supremasi hukum dijalankan melenceng jauh dari tujuannya yang

otentik. Itu terjadi karena kredo supremasi hukum menjadi barang omongan belaka.

Hukum, proses hukum, penegakan hukum, hanya dipakai sebagai kosmetik untuk

mengesankan bahwa kita serius dengan penegakan hukum.

Kita mesti terus waspada dan menyadari bahwa hukum tidak otomatis

menghasilkan keadilan, tetapi juga sebaliknya. Para koruptor pintar sekali menyewa

advokasi untuk meloloskan diri dari ancaman pengadilan korupsi. Yang lebih

menyakitkan, manuver itu dijalankan atas nama hukum, supremasi hukum, dan

seterusnya. Padahal, disini hukum telah digunakan menyimpang dari otentisitasnya.

Karena itu, kita dapat berkata, hukum ditentukan oleh itikat yang otentik untuk

menjalankannya. Teori sosiolog hukum banyak menmastikan hal itu. Karena itu, disiplin

ilmu itu mngatakan, hukum bukan hanya peraturan, tetapi juga perilaku (dan struktur

sosial).

Kita dapat memamerkan rancangan-rancangan yang bagus mengenai reformasi,

melalui putusan-putusan MPR dan perundang-undangan, tetapi lebih banyak berakhir

sebagai retorika belaka. Pejuang-pejuang seperti Baharudin Lopa dan Adi Andojo

Soetjipto meski minggir dari gelanggang. Masalahnya, kita berhadapan dengan pelaku-

pelaku, dengan manusiannya. Sampai disini kita teringat Leonardo da Vinci yang jauh

hari sudah membuat rancangan kapal terbang dan lain-lain. Tetapi, itu tinggal ide belaka

karena sarana yang mampu untuk mewujudkannya belum muncul. Orang masih lama

menunggu sampai mesin uap diciptakan. Ini juga mengingatkan kita kepada ucapan anak-

anak muda dalam suatu dialog di TV yang dengan gaya nakalnya mengatakan, “Kita

boleh mempunyai UUD yang bagus, tetapi kalau yang melaksanakan orang-orang kerdil,

percuma saja. Gagasan besar dan indah tak dapat diwujudkan oleh orang dan pelaku

kerdil.”

Barangkali anak-anak muda ini sudah jengkel mengamati perilaku elite kita yang

merujuk kepada UUD, supermasi hukum, dan sebagainya, tetapi yang dipikirkan hanya

Page 32: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

diri dan golongannya saja. Seperti halnya dengan ide-ide Leonardo da Vinci yang hanya

bagus dia atas kertas sampai munculnya mesin uap, demikian pula dengan supermasi

hukum, konstitusi,dan lain-lain, yang menunggu munculnya “manusia-manusia yang

tidak kerdil” agar menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh bangsa. Sungguh, hukum

bukan suatu institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan terus-menerus. Negara,

hukum, institusi hukum adalah proyek yang ada dalam proses penyelesaian. Dengan

demikian, manusia, atau lebih tepat kualitas manusia memegang peran penting.

Apakah kita masih saja belum belajar dan mengerti? Semakin hari semakin

menjadi jelas, bangsa kita masih saja lebih “bertindak dengan retorika” belaka. Hukum,

proses hukum, yang sebetulnya siap untuk digunakan sebagai sarana keluar dari krisis,

masih belum dipakai secara otentik, tetapi lebih banyak untuk kepentingan dan

keuntungan sendiri. Bangsa kita dewasa ini masih jauh dari tindakan otentik dan jujur.

Hari sudah tinggi untuk bekerja secara jujur dengan taruhan luar biasa mahal, yaitu

kesejahteraan bangsa, terutama mereka yang papa dan nestapa.

58 Tahun Negara Hukum Indonesia Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia lahir sebagai suatu negara baru

ditengah-tengah masyarakat negara –negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang

bentuk negara, yaitu republik, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara beradasar

hukum (negara hukum).

Lebih dari setengah abad kemudian, Negara republik Indonesia masih harus

bergulat dengan berbagai masalah mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi

Republik Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih harus terus dibina dan

dipertahankan. Selain itu, pembangunan negara hukum ternyata belum juga selesai

dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi terkenal di dunia

sebagai negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud dengan

pembangunan yang belum kunjung selesai disini adalah bagaimana menjadikan negara

Page 33: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang

menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia.

Menjadi Pahlawan

Kita boleh risau.tetapi tidak perlu terlalu cemas mengenai keadaan itu, terutama

bila kita memproyeksikan Indonesia pada latar belakang sejarah negara-negara di dunia.

Banyak negara yang kini disebut maju, Kampiun demokrasi, pendekar Hak Asasi

Manusia (HAM), dulu lebih dikenal sebagai penjajah, perampok, dan penindasa HAM.

Belanda yang menjajah Indonesia pernah tercabik-cabik kelelahan karena mengalami

perang berkepanjangan di dalam negerinya.

Begitu terkurasnya Belanda sehingga harus memeras negeri jajahannya dengan

mengintroduksi sistem tanam-paksa (kultur stelsel) di Indonesia, supaya bisa tetap hidup

(survive). Bagaimana tidak? Hanya karena pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk

menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian itu, Belanda bisa berjaya

kembali. Pelabuhan Rotterdam tidak jadi ambruk, pajak-pajak diturunkan dan pendidikan

berhasil diperluas. Benar sekali ujaran di Belanda waktu itu, “Indonesia adalah gabus

yang diatasnya Belanda mengapung,” sehingga “kehilangan Indonesia berarti

keambrukan bagi negeri Belanda” (Indie verloren rampspoed geboren).

Perancis harus memenggal kepala seorang rajanya dan menjebol penjara Bastille,

sebelum menjadi negara konstitusional. Amerika Serikat juga harus mengalami perang

dengan sesama saudaranya sebelum berjaya sebagai suatu negara yang besar dan kuat.

Sejarah adalah proses unik, dimana negara-negara yang dahulu adalah perampok,

penindas, dan melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human right)

sekarang menepuk dada sebagai pahlawan dan kampiun HAM.

Potret negara hukum Indonesia sekarang memang buruk, negara terancam

perpecahan. Tetapi, itu bukan berarti akhir dari segalanya, sebab kita melakukan

perlawanan dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih kuat. Masa

sekarang ini adalah bagian dari sejarah yang sedang kita tulis.

Proyek

Page 34: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Kalau pada 17 agustus 1945 kita memproklamasikan kelahiran Negara Hukum

Republik Indonesia, maka yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah, sejak hari

pertama itu kita sudah menjadi negara hukum secara “tuntas sempurna”. Ini bagus,

namun terlalu bagus sehingga sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu,

tetapi substansial perjalanan masih jauh. Membangun negara hukum adalah proyek yang

amat besar.

Memang sejak dijajah Belanda, kita sebetulnya sudah hidup dalam suatu negara

hukum, hanya waktu itu kita belum memiliki pengalaman sendiri. Menjadi penduduk

suatu negara hukum, waktu itu, kita masih harus dipaksa, disuruh, dan diperintah. Waktu

itu kita lebih adalah sebagai bangsa yang bernegara hukum. Maka sejak 1945 kita

“mendadak” memiliki pengalaman yang baru, yaitu menjadi bangsa dari suatu negara

hukum secara mandiri.

Hal ini penting untuk direnungkan sebagai modal membangun bangsa dari suatu

negara hukum. Negara hukum tidak instant, tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah

konsep modern yang tidak tumbuh dalam dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi

“barang impor”. Proses menjadi negara hukum bukan merupakan bagian dari sejarah

sosial-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi di Eropa. Negara hukum adalah

bangunan yang “dipaksakan dari luar” (imposed from outside). Dengan demikian,

membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun

suatu peradaban baru. Ia adalah proyek raksasa.

Keambrukan

Mengamati sejarah kelahiran negara hukum di dunia adalah membaca cerita

tentang keambrukan suatu sistem sosial satu ke yang lain. Eropa, sebagai ajang

persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum

kelahiran rule of law dan negara konstitusional.

Berdasarkan pengamatan sejarah, janganlah kita beranggapan, membangun

negara hukum ibarat menancapkan sebuah papan nama dan sim-salabin negara hukum

pun selesai dibangun. Juga tidak sama dengan bercocok undang-undang bertanam

pengadilan, dan seterusnya.

Page 35: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

Eropa harus mengalami keambrukan sistem sosial yang satu disusul keambrukan

berikutnya, dari feodalisme, staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi

negara konstitusional. Masing-masing keambrukan itu memberi jalan kepada lahirnya

negara hukum modern. Kita juga dapat membacanya sebagai keambrukan suatu perilaku

untuk digantikan perilaku baru. Tetapi, “sejarah keambrukan” bukan menjadi milik

Indonesia karena untuk menjadi negara hukum Indonesia tidak memerlukan proses

keambrukan. Indonesia “dipaksa” untuk menjadi negara hukum instant melalui

transformasi dan transplantasi. Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi

negara hukum modern. Maka, barang tentu banyak persoalan besar muncul dari situ.

Soekarno benar waktu mengatakan, kita mengalami many revolutions in one generation.

Perubahan perilaku

Menjadi negara hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena

menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur. Hukum dan negara hukum

modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil

dengan baik, yang di Eropa membutuhkan waktu sekitar seribu tahun.

Salah satu persyaratan menonjol adalah ambruknya tatanan kolektif dan personal,

untuk digantikan tatanan rasional dan impersonal. Jadi, secara berseloroh kita bisa

mengatakan, semakin terasing (alienated) manusia satu sama lain, semakin hukum

(modern) itu bisa berperan dengan baik. Berbagai penelitian memang meyakinkan hal

tersebut, yaitu semakin urban dan individual suatu masyarakat, semakin hukum

dibutuhkan. Sebaliknya masyarakat dengan kehidupan kolektif dan solidaritas sosial

tinggi, justru kurang memerlukan hukum. Karena itu, di Eropa feodalisme dan lain-lain

harus ambruk lebih dahulu untuk memberi jalan terciptanya kehidupan urban, individual,

sebelum hukum modern bisa muncul (Belanda membutuhkan seratus tahun untuk

menyelesaikan revolusi agrarianya). Pelajaran yang amat berharga disini adalah, hukum

modern ternyata memiliki kosmologinya sendiri.

Di Indonesia (dan banyak negara di Asia Timur) perkembangan yang terjadi

cukup “kacau”, dalam arti tidak berlangsung setapak demi setapak, seperti di Eropa.

Untuk memberi penekanan terhadap proses yang kompleks itu, kata-kata

Soekarno diatas benar sekali. Untuk mengurangi kekacauan dan tekanan terhadap sistem

Page 36: Bab 1 - Hk Itu Prilaku Kita Sendiri

sosialnya yang asli, Jepang yang pada dasarnya bersifat kolektif. Kosmologi jepang tidak

bisa mencerna begitu saja hukum modern yang memiliki kosmologi berbeda itu.

Hidup primitif

Kolom surat kabar tidak mampu memberi tempat untuk menulis secara lengkap

tentang masalah yang sehararusnya dibicarakan disini. Karena itu, pembicaraan ingin

dipotong dan dipusatkan pada satu aspek dari kehidupan bernegara hukum itu, yaitu

perundang-undangan atau bagaimana kita hidup dengan undang-undang.

Hidup dengan undang-undang addalah pengalaman baru, oleh karena kita biasa

hidup dengan norma sosial yang berbeda daripada sifat dan watak undang-undang

modern. Bali adalah contoh yang bagus sekali tentang bagaimana suatu komunitas

berusaha mempertahankan tatanan sosial yang asli dengan “menawar” keberlakuan

hukum dan undang-undang modern.

Bila kita sudah membuat undang-undang secara modern dan kemudian

melaksanakannya, selesaikah tugas kita mendirikan republik dan negara hukum ini?

Apakah kalau kita sudah bisa menunjuk ke pasal ini dan pasal itu dari hukum

berarti kita sudah selesai dengan pekerjaan kita? Apakah kalau kita sudah pintar

melafalkan asas dan doktrin hukum, kita sudah menjadi bangsa modern yang tahu

hukum? Bila jawabannya adalah ya, maka itulah yang di sini disebut menjalankan hukum

secara primitif.

Terus terang ingin dikatakan disini, selama ini kita hidup dengan undang-undang

secara telalu primitif. Ini tampak dalam banyak proses hukum selama ini yang hanya

berpegang pada kulit undang-undang, prosedur, asas, doktrin, dan lain kelengkapan

hukum. Korupsi menjadi sulit diberantas dengan hukum, kemungkinan besar disebabkan

oleh praktik menjalankan hukum seperti itu. Secara umum kita belum bisa menjalankan

hukum secara cerdas. Hukum tidak dijalankan secara (lebih) bermakna. Hukum masih

lebih sering dijalankan secara primitif.