bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi
DESCRIPTION
hukumTRANSCRIPT
Rencana Penelitian
PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI MEMBERATKAN
OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT UMUM
KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG TERHADAP PUTUSAN
BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)
Rencana penelitian untuk penulisan hukum (Skripsi) S1
Oleh :
Dhimas Inggar Galih Pamungkas
E0011092
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
RENCANA PENELITIAN
Judul : PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI
MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT
UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG TERHADAP
PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (Studi
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)
Ruang Lingkup : Hukum Acara
Pelaksana Penelitian
Nama : Dhimas Inggar Galih pamungkas
NIM : E0011092
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Lokasi Penelitian : -
Lama Penelitian : 6 (Enam)Bulan
Surakarta, 10 Desember 2014
Pembimbing I Pelaksana Penelitian
Sri Wahyuni Yulianti, S.H ., M.H Dhimas Inggar Galih Pamungkas
NIP. 19610721 198803 2 001 NIM. E0011092
A. JUDUL PENELITIAN
PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI
MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI
PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG
TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI
GRATIFIKASI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor :
1210K/Pid.Sus/2011)
B. BIDANG ILMU
Ilmu Hukum (Hukum Acara Pidana)
C. LATAR BELAKANG MASALAH
Neagara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini sesuai dengan
bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
Negara republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum
(Rechtstaat) dan Bukan merupakan Negara yang berdasarkan atas
kekuasaan (machtstaat). Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia
sebagaimana digariskan adalah negara hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin kedudukan yang
sama dan sederajat bagi setiap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep negara hukum ini
tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Indonesia sebagai negara hukum seharusnya dapat berperan di
segala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara
Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, dan ketertiban, keadilan
dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta menghendaki agar hukum ditegakkan artinya hukum harus
dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh
warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala
tindakannya harus dilandasi oleh hukum.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam
kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan
kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif, terutama
menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan
masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dikatakan cukup fenomenal
adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat (Evi Hartanti, 2012: 1)
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang
menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga
penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar dipriorotaskan.
Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern
dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik
kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana
korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi
termasuk jenis perkara yang sulit penanggulangan maupun
pemberantasannya.
Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para
pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan
lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi.
Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut white collar crime atau
kejahatan kerah putih (Evi Hartanti, 2012: 2)
Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime), dan menjelma menjadi kejahatan besar yang menjadi salah satu
penyebab munculnya berbagai penyimpangan sosial dan melemahkan
dalam hampir semua aspek kehidupan, baik kesehatan, pendidikan,
ekonomi, dan penegakan hukum. Sehingga, dalam upaya
pemberantasannya dan penanganannya tidak dapat dilakukan secara biasa
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Korupsi dikategorikan sebagai
extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampak yang
ditimbulkannya memang luar biasa. Korupsi yang selama ini terjadi karena
secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,
mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai-
nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, sehingga dapat
membahayakan kelangsungan, pembangunan bahkan telah melanggar hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Korupsi yang telah
mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi
terhambatnya pembangunan di suatu negara.
Pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait
kapasitasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pemyelenggara
negara bukanlah sesuatu yang baru. Pemberian hadiah sering kali dianggap
sebagai suatu ucapan terima kasihatau ucapan selamat kepada seorang
pejabat. Tapi apabila pemberian itu berasal dari seorang yang memiliki
kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut, maka
pemberian hadiah tersebut perlu diwaspadai karena dapat mempengaruhi
integritas, independensi, dan objekvitas dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Sehingga, dapat menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain.
Gratifikasi terjadi karena adanya keinginan dan dorongan untuk
mencari keuntungan dengan melibatkan orang lain. Terjadinya gratifikasi
ini karena baik pemberi maupun penerima, dengan alasan tertentu bisa
menjalin hubungan. Sebenarnya hubungan sesama anggota masyarakat
akan dianggap wajar dan biasa, namun akan berbeda apabila hubungan
tersebut lebih mengistimewakan satu orang daripada yang lain dalam
kaitannya dengan kepentingan umum atau pemerintahan, di mana setiap
orang seharusnya memiliki hak yang sama. (Topo Santoso, 2013: 403).
Kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi
dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak
dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai
permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh
melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan
melibatkan semua potensi (Evi Hartanti, 2012: 2)
Penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1971 dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hingga
dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diberlakukannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang No. 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk menanggulangi dan
memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi
penanggulangan korupsi yang melekat pada Undang-undang tersebut.
Sistem penegakkan hukum yang berlaku dapat menempatkan koruptor
tingkat tinggi diatas hukum. Sistem penegakkan hukum yang tidak
kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga
pengampunan bagi konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera,
bukan dengan pertimbangan hukum (Evi Hartanti, 2012: 4).
Hukum acara pidana yang berlaku guna melakukan penyidikan,
penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan adalah hukum acara
pidana yang berlaku saat itu (hukum positif/ius constitutum) kecuali jika
Undang-Undang menentukan lain.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selaku
hukum positif (ius constitutum/ius operatum) merupakan hukum acara
yang dipergunakan secara teoritis dan praktek pada semua tingkat
peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi. Untuk itu dapat
dikatakan bahwa ada ketentuan hukum yang bersifat ganda bagi
penyidikan, penuntutan dan peradilan pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia. Di suatu sisi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius
singluare, ius speciale/bijzonder strafrecht) maka tindak pidana korupsi
mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum
acara pidana pada umumnya. Untuk aspek ini, maka hukum acara pidana
yang diterapkan bersifat lex specialis. Sedangkan di pihak lain, sebagai
ketentuan umum atau lex generalist dalam artian bagaimana melakukan
penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan sidang di pengadilan dalam
perkara korupsi sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka prosesnya identik dengan
perkara pidana pada umumnya yang mengacu pada KUHAP (lilik
Mulyadi, 2000: 28-29)
Penjatuhan putusan pengadilan dalam perkara korupsi harus secara
mutlak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya dan bagi para pencari keadilan pada khususnya. Putusan vonis
hakim memiliki implikasi kerugian ekonomi dan keuangan negara luar
biasa dan menciptakan multikrisis, permasalahan yang kompleks bahkan
dapat menjadikan ambruknya suatu bangsa dan negara. Peranan hakim
dalam menjatuhkan putusan pengadilan khususnya dalam sistem peradilan
pidana sangat penting terutama dalam memberikan efek jera bagi pelaku
korupsi serta menghindari munculnya putusan-putusan yang kontroversial.
Dalam kenyataannya masih banyak hakim menjatuhkan putusan dalam
perkara korupsi tidak adil menimbulkan putusan yang kontroversial
bahkan menjatuhkan putusan bebas maupun lepas.
Hakim Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan putusan tindak
pidana korupsi harus berdasarkan pada penilaian dari surat dakwaan yang
dihubungkan pada pemeriksaan di sidan Pengadilan. Dalam memutus
perkara sering kali hakim juga melakukan kesalahan karena hakin juga
tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Agar kesalahan hakim tidak
melekat pada pada suatu putusan pada tingkat pertama, maka Undang-
Undang memberikan upaya hukum yang bertujuan untuk mrngoreksi
kesalahan dan kelalaian tersebut.
Terhadap putusan pengadilan mengenai untuk tidak menerima
putusan, maka terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan upaya
hukum. Menurut Pasal 1 ayat (12) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana(KUHAP) yang berbunyi:
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dilakukan
terhadap putusan hakim yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu
upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi. Sedangkan upata hukum
luar bisa terdiri dari upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dan
upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana diatur di dalam Bab XVII
dan Bab XVIII UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Salah satu tujuan kasasi , memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana
mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan
menurut ketentuan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2012: 539).
Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan
perkarapidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapatmengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas. Namun pada prakteknya, sudah menjadi
yurisprudensi tetap bahwa upaya hukum kasasi tidak lagi hanya untuk
putusan pemidanaan tapi juga untuk putusan bebas (vrijspraak) dan
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging). Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor : M.14- PW.07.03 Tahun1983 tanggal 10 Desember
1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam lampiran
tersebut dinyatakan bahwa atas situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan
dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi.
Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang beberapa waktu lalu
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa
Sudirman Bungi, Sip., M.Si Bin Bungi. Pada saat persidangan di
Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang, Jaksa Penuntut Umum menuntut
terdakwa dengan dakwaan: Pertama, Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah dilakukan proses pemeriksaan persidangan, Pengadilan
Negeri Sidenreng Rappang menjatuhkan putusan Nomor :
99/Pid.B/2010/PN.SIDRAP yang menyatakan bahwa terdakwa Sudirman
Bungi, Sip., M.Si Bin Bungi, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan baik pada dakwaan
kesatu dan dakwaan kedua. Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan
Penuntut Umum.
Penuntut Umum berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Sidenreng
Rappang yang telah menjatuhkan putusan tersebut dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut telah melakukan kekeliruan karena amar
putusan yang membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut
Umum, bukanlah merupakan putusan bebas murni (vrijspraak) melainkan
seharusnya merupakan pembebasan yang tidak murni (verkape
vrijspraak). Penuntut Umum beranggapan bahwa Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang tidak mempertimbangkan semua
fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan atau dengan kata
lain Majelis Hakim kurang pertimbangannya dalam memutus perkara
Terdakwa, sehingga Judex Facti telah melakukan kekeliruan.
Penuntut Umum mengajukan kasasi guna menolak putusan
Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang Nomor :
99/Pid.B/2010/PN.SIDRAP ke Mahkamah Agung. Akhirnya setelah
dilakukan pemeriksaan di Mahkamah Agung, dikeluarkan putusan
Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011 yang menyatakan bahwa
permohonan kasasi Oleh Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Sidenreng Rappang tidak dapat diterima.
Berdasarkan hal-hal yang telah penulis paparkan di atas, maka
penulis tertarik membuat sebuah penulisan skripsi yang berjudul
“PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI
MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI
PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG
RAPPANG TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA
KORUPSI GRATIFIKASI (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)”
D. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka
penulis merumuskan masalah untuk dikaji secara lebih rinci dalam
pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
hukum ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi memberatkan oleh
Hakim sebagai alasan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi
gratifikasi sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP?
b. Apakah alasan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan memutus kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng
Rappang terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi
memenuhi ketentuan KUHAP?
E. TUJUAN PENELITIAN
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan
arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui kesesuaian pengabaian fakta alat bukti
saksi-saksi memberatkan oleh Hakim sebagai alasan kasasi
Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang
terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi
dengan ketentuan KUHAP.
b. Untuk mengetahui apakah alasan hukum Hakim Mahkamah
Agung dalam memeriksa dan memutus kasasi Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas
dalam perkara korupsi gratifikasi memenuhi ketentuan
KUHAP.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan,
memperdalam serta mengembangkan pemahaman penulis di
bidang ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana.
b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah
diperoleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
c. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
F. MANFAAT PENELITIAN
Sebuah penelitian dibuat untuk memberikan manfaat bagi
pengembangan Ilmu pengetahuan dan pihak-pihak yang terkait dengan
penulisan hukum ini. Adapu manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis adalah manfaat yang berhubunagn dengan
pengembangan Ilmu pengetahuan. Manfaat teoritis dari rencana
penelitian hukum ini sebagai berikut:
a. Sebagai salah satu sarana untuk memberikan kontribusi
pemikiran bagi perkembangan ilmu penegetahuan pada
umumnya dan ilmu hukum.
b. Sebagai salah satu sarana untuk menambah referensi dan
literature yang dapat digunakan sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian hukum sejenis pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis adalah manfaat yang berhubungan dengan
pemecahan masalah atau penerapan teori dalam prakteknya.
Adapun manfaat praktis dari penulisan hukum ini adalah sebgai
berikut:
a. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya penalaran,
pembentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan tambahan pengetahuan dan masukan bagi pihak-
pihak yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini dan
berguna bagi pihak-pihak yang berminat pada masalah yang
sama.
G. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat Bukti
1) Pengertian Pembuktian
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “bukti”
diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu
peristiwa. Dalam terminologi Hukum Pidana, bukti, bewijs
(Bahasa Belanda), atau evidence (Bahasa Inggris) diartikan
sebagai hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan
oleh Penuntut Umum, atau Terdakwa, untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 2009: 27).
Dengan merujuk pada arti kata bukti, maka arti penting
pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu peristiwa.
Dalam konteks hukum, arti penting pembuktian adalah
mencari kebenaran suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum
adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum (Eddy O.S.
Hiariej, 2012: 7).
Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan
sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan
melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh
suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang
didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan
pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007: 185).
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan
yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-
Undang yang boleh dipergunakan Hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan. Peraidangan pengadilan tidak
boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan
terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 273).
2) Sistem atau Teori Pembuktian
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori
pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam
melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang
pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam
perkembangannya dikenal ada empat macam teori pembuktia.
Masing-masing teori ini memiliki karakteristik yang berbeda-
beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori tersebut
(Rusli Muhammad, 2007: 186). Teori-teori tersebut yaitu :
a) Conviction-in Time
Conviction-in Time dapat diartikan sebagai
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Teori
pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada
hakim untuk menjatuhkan suatu putusan (Rusli
Muhammad, 2007: 186). Sistem pembuktian
Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang
Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
“keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari
mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,
tidak menjadi masalah dalam sintem ini. Keyakinan
boleh diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat
bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa
juga hasil pemeriksaan alat bukti tersebut diabaikan
Hakim dan langsung menarik keyakinan dari
keterangan atau pengakuan Terdakwa.
Sistem pembuktian Conviction-in Time, sudah
barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-
mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung
oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama
hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Keyakinan
hakim yang dominan atau yang paling menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat
bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim
semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan
wujud kebenaran sejati sistem pembuktian ini (M.
Yahya Harahap, 2012: 277).
b) Conviction-Raisinee
Sistem pembuktian Conviction-Raisinee adalah
sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakina
hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-
alasan (reasoning) yang rasional Sistem ini tidak
menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat
digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa
selain dari keyakinan hakim semata-mata (Rusli
Muhammad, 2007: 187-188).
Dalam sistem pembuktian inipun dapat
dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor
keyakinan hakim “dibatasi”.
Keyakinan hakim dalam sistem Conviction-
Raisinee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan,
dan Conviction-Raisinee itu harus “reasionable”, yakni
berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan
hakim harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan
benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata
dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal (M. Yahya Harahap, 2012: 277-278).
c) Positief Wettelijk Bewijstheorie (Pembuktian menurut
Undang-Undang Secara Positif)
Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan
alat bukti menurut Undang-undang secara positif.
Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah
ditentukan dalam Undang-undang. Untuk menentukan
ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus
mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut di
dalam Undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut
telah terpenuhi, hakim sudah cukup berasalan untuk
menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan
terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti (Rusli
Muhammad, 2007: 188).
Pembuktian menurut Undang-undang secara
positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang
dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-
in time. Pembuktian menurut Undang-undang secara
positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim
dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah
atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan Undang-undang.
Untuk membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat
bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan
ketentuan pembuktian menurut Undang-undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin
atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi
masalah. Pokonya, apabila sudah terpenuhi cara-cara
pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan
keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah”robot
pelaksana” Undang-undang yang tak memiliki hati
nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun
demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai
kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya
terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan
alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-undang.
Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus
melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor
keyakinan, tetapi semata mata berdiri tegak pada nilai
pembuktian objektif tanpa mencampur aduk hasil
pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan
unsur subjektifkeyakinannya. Sekali majelis hakim
menentukan hasil pembuktian yang objektif sesuai
dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji
hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati
nuraninya.apabila dibandingkan dengan sistem
pembuktian keyakinan atau conviction-in time, maka
sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif lebih sesuai dibandingkan sengan
sistempembuktian menurut keyakinan.
Sistem pembuktian menurut Undang-undang
secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman
berdasar hukum. Artinyapenjatuhan hukuman terhadap
seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah
kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan Undang-
undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru
dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan
kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-
alat bukti yang sah menurut Undang-undang (M. Yahya
Harahap, 2012: 278).
d) Negatief Wettelijk Stelsel (Pembuktian Menurut
Undang-Undang Secara Negatif)
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian
harus didasarkan kepada Undang-undang (KUHAP),
yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah,
2012: 254).
Sistem pembuktian menurut Undang-undang
secara negatif merupakan teori antara sistem
pembuktian menurut Undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem pembuktian menurut
Undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak
belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut,
sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
negatif menggabungkan kedalam dirinya secara terpadu
sisitem pembuktian menurut keyakinana hakim dengan
sistem pembuktian menurut Undang-undang secara
positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari
yang bertolak belakang itu, terwujudlah sistem
pembuktian menurut undang_undang secara negatif.
Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang
terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut Undang-undang.
Berdasarkan rumusan diatas, untuk menyatakan
salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup
berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya
semata-mata berdasarkan atas keterbuktian menurut
ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan Undang-undang. Seorang terdakwa
baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-
undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu
dibarengi dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari
uraian diatas, untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut sistem pembuktian Undang-
undang secara negatif, terdapat dua komponen (M.
Yahya Harahap, 2012: 277-278) :
i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-
undang.
ii. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-undang.
Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan
Undang-undang secara negatif adalah bahwa hakim
menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada
tidaknya kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-
alat bukti yang tercantum di dalam Undang-undang dan
terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai
keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi, tetapi
hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya,
hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya
pemidanaan. Sebaliknya, sekalipun hakim memiliki
keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan
mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi alat-
alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan
putusan pidana, tetapi putusan bebas (Rusli
Muhammad, 2007: 190)
Andi Hamzah dengan mengutip Wirjono
Prodjodikoro mengemukakan bahwa sistem
pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif
(negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan
berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah
selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman
pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang
sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat
hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada
patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim
dalam melakukan peradilan (Andi Hamzah, 2012: 257).
3) Asas-Asas Pembuktian
Asas-asas dalam hukum pembuktian meliputi:
a) Menjadi saksi adalah kewajiban
Asas ini terdapat dalam Pasal 159 ayat (2)
KUHAP yang berbunyi:
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
b) Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan
(notoire feiten)
Asas ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2)
KUHAP dimana peristiwa itu memang sudah
semestinya demikian dan bukan merupakan alat bukti
yang berdiri sendiri. Notoire feiten adalah suatu
kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum
bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa
menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu
demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan
dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-
undang dan hakim tidak boleh yakin akan kesalahan
terdakwa.
c) Unus testis nullus testis
Unus testis nullus testis dapat disebut juga
dengan satu saksi bukan saksi. Asas ini tercantum
dalam Pasal 185 ayat (2) yang mengatakan bahwa
“keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya
Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3)
KUHAP yang menyatakan bahwa “Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri”. Keterangan terdakwa tidak boleh dipakai
untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainnya.
e) Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian
Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban
pembuktian ini mempunyai maksud bahwa Penuntut
Umum dalam persidangan tetap berkewajiban
membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti
yang lain. Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (4)
KUHAP yang berbunyi :
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
4) Jenis Alat Bukti Menurut KUHAP
Alat bukti ysng sah menurut Undang-undang sesuai
dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1), adalah :
a) Keterangan Saksi
b) Keterangan Ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keteramgan terdakwa
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telaf menentukan secara
limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Diluar
alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut
umum, terdakwa atau penasihat, terikut dan terbatas hanya
diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja.
Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang
dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184
ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2012: 285).
(1) Keterangan Saksi
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana.
Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu
berdasarkan pemeriksaan saksi. Menurut Pasal 1 butir 27
KUHAP yang dimaksud keterangan saksi adalah salah
satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebutkan
alasan dari pengetahunannya itu.
Mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, dalam
Pasal 1 butir 26 KUHAP disebutkan, yaitu orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri
(Rusli Muhammad, 2007: 192-193).
Agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah
menurut hukum sebagai alat bukti yang memiliki nilai
kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi syarat
sebagai berikut :
(a) Harus mengucapkan sumpah atau janji.
Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3),
sebelum memberikan keterangan: “wajib
mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah
atau janji dilakukan menurut cara agamanya
masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi
bahwa saksi akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang
sebenarnya.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), pada
prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi
memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat
(4) memberikan kemungkinan untuk mengucapkan
sumpah atau janji setelah saksi memberi
keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan
sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan
“sebelum” saksi memberikan keterangan tapi
dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,
sumpah atau janji dapat diucapkan”sesudah” saksi
memberikan keterangan.
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan
sumpah atau janji, sudah diterangkan yakni
terhadap saksi yang meolak untuk mengucapkan
sumpah atau janji tanpa alasan yang sah dapat
dikenakan sandera, penyanderaan dilakukan
berdasarkan “penetapan hakim ketua sidang,
penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama
empat belas hari (Pasal 161) (M. Yahya Harahap,
2012: 286-287).
(b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.
Tidak semua keterangan saksi yang
mempunyai nilai sebagai ala bukti. Keterangan
saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang
sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka
27 KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi
dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dari penegasan bunyi Pasal 1 angka 27
dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185
ayat (1) dapat ditarik kesimpulan (M. Yahya
Harahap, 2012: 287) :
i. Setiap keterangan saksi di luar apa yang
didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana
yang terjadi atau di luar yang dilihat atau
dialaminya dalam peristiwa pidana yang
terjadi, keterangan yang diberikan di luar
pendengaran, penglihatan, atau pengalaman
sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang
terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai
sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu
tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.
ii. Testimonium de auditu atau keterangan saksi
yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran
dari orang lain, “tidak mempunyai nilai
sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di
sidang pengadilan berupa keterangan ulangan
dari apa yang didengarnya dari orang lain,
tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.
iii. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari
hasil pemikiran, bukan merupakan
keterangan saksi. Penegasan ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh
karena itu, setiap keterangan saksi yang
bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi,
harus dikesampingkan dari pembuktian
dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Keterangan yang bersifat dan berwarna
pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak
dapat dinilai sebagai alat bukti.
(c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang
pengadilan.
Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai
sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang
“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai
dengan penegasan Pasal 185 ayat (1). Kalau begitu,
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa
yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau
dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa
pidana, baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila
keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan yang dinyatakan diluar sidang
pengadilan (outside the court) bukan alat bukti,
tidak dapat digunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa. Sekalipun misalnya hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum
ada mendengar keterangan seorang yang
berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang
diperiksa, dan keterangan itu mereka dengar di
halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh
seorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya.
Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai
sebagai alat bukti karena itu tidak dinyatakan di
sidnag pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012: 287-
288).
(d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak
cukup.
Keterangan saksi dapat dianggap cukup
membuktikan keslahan seoorang terdakwa harus
dipenuhi paling sedikit atay sekurang-kurangnya
dengan dua alat bukti. Kalau begitu keterangan
seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat
bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan
alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja
belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
atau unus testis nullus testis.
Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan
penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi
saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang
lain atau alat bukti yang lain, “kesaksian tunggal”
yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Walaupun sedandainya
keterangansaksi tunggal itu sedemikian rupa
jelasnya, tetapi terdakwa tetap “mungkir” serta
kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat
bukti lain, kesaksian ini harus dinyatakan tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan
“unus testis nullus testis”.
Lain halnya jika terdakwa memberikan
keterangan yang mengakui kesalahan yang
didakwakan kepadanya. Dalam hal seperti ini
seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan
terdakwa, karena disamping keterangan saksi
tunggal itu, telah tercukupi dengan alat bukti
keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian
tealah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian
dan “the degree of evidence”, yakni keterangan
saksi ditambah dengan alat bukti keterangan
terdakwa. Memperhatikan uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang
dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) adalah :
((1)) Untuk dapat membuktikan kesalahan
terdakwa paling sedikit harus didukung
oleh “dua orang saksi”.
((2)) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari
seorang saja maka kesaksian tunggal itu
harus :dicukupi” atau “ditambah” dengan
salah satu alat bukti yang lain (M. Yahya
Harahap, 2012: 288).
(e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
Sering terdapat kekeliruan pendapat
sementara orang yang beranggapan, dengan
adanaya beberapa saksi dianggap keterangan saksi
yang banyak itu telah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian
keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan
didengar keterangannya di sidang pengadilan
secara “kuantitatif” tealah melampaui batas
minimum pembuktian, belum tentu keterangan
mereka seara “kuantitatif” memadai sebagai alat
bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.
Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang
banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka
saling “berdiri sendiri” tanpa adanya saling
hubungan antara yang satu dengan yang lain yang
dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya
kejadian atau keadaan tertentu. Berapa pun
banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar
keterangannya di sidang pengadilan, hanya
pemborosan waktu jika masing-masing keterangan
mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan antara
yang satu dengan yang lain. Hal yang seperti inilah
yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang
menegaskan keteranan beberapa saksi yang berdiri
sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan
syarat apabila keterangan saksi itu “ada
hubungannya” satu dengan yang lain sedemikian
rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu (M. Yahya Harahap,
2012: 289-290).
2) Keterangan Ahli
Definisi mengenai keterangan ahli terdapat pada
Pasal 1 butir 28 KUHAP, yaitu:
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat
dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran
dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli,
yaitu keterangan diberikan kepada ahli, memiliki
keahlian khusus dalam bidang tertentu, menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya dan diberikan di
bawah sumpah.
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara
meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan oleh
aparat penyidik sebagaimana dalam Pasal 133 KUHAP.
Menurut pasal ini, keterangan ahli diberikan secara
tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli
menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk
laporan. Cara kedua, seperti yang ditentukan Pasal 179
dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan
secara lisan dan langsung di pengadilan.
Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat
dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan
pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan
yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu
mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijn
bewijskracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat
kepadanya. Namun, penilaian hakim ini harus benar-
benar beranggung jawab atas landasan moril demi
terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum
serta kepastian hukum (Rusli Muhammad, 2007: 194-
195).
3) Alat Bukti Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai
sebagai alat bukti yang sah adalah yang dibuat atas
sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Alat
bukti surat seperti itu, antara lain:
(a) Berita acara atau surat resmi yang dibuat pejabat
umum yang berwenang tentang kejadian atau
keadaan yang dialamim didengar, atau dilihat
pejabat itu sendiri, misalnya, akta notaris.
(b) Surat yang berbentuk menurut Undang-Undang
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk tata laksana yang menjadi tanggung
jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
suatu hal atau keadaan.
(c) Surat keterangan dari seorang ahli.
(d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang
lain, misalnya selebaran.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah
bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk
mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya pada
keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai
bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari
kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim
ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli
Muhammad, 2007: 196).
4) Alat Bukti Petunjuk
Pada prinsipnya, alat bukti petunjuk hanya
merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga
untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan
pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian,
atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang
satu dan yang lain atau dengan tindak pidana itu sendiri
yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan
seorang pelakunya.
Petunjuk sebagai alat bukti yang sah pada urutan
keempat dari jenis alat bukti dengan nilai kekuatan
pembuktian yang bebas. Alat bukti petunjuk baru
diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain
dianggap hakim belum cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti petunjuk baru
dianggap mendesak untuk dipergunakan apabila upaya
pembuktian dengan alat bukti lain belum mencapai batas
minimum pembuktian (Pasal 183 KUHAP). Oleh karena
itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi
pembuktian dengan alat bukti yang lain sebelum ia
berpaling pada alat bukti petunjuk (Rusli Muhammad,
2007: 197).
Pasal 188 ayat (2) KUHAP membatasi kewenangan
hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim
tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala
sumber. Sumber yang dapat dipergunakan menkonstruksi
alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang
secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2)
KUHAP. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk
hanya dapat diperoleh dari:
(a) Keterangan Saksi
(b) Surat
(c) Keterangan Terdakwa.
Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat
diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan,
kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan
5) Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan
terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada
urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan
untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan
terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan
keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2012: 318).
Pada Pasal 189 ayat (1) inilah kita jumpai rumusan
pengertian keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yang
berbunyi keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (M.
Yahya Harahap, 2012: 319).
Sudah barang tentu tidak semua keterangan
terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk
menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat
dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-
Undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan
berpijak.
Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat
bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang
pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan yang
diutarakan sendiri oleh terdakwa maupun pernyataan yang
berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pernyataan
yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim
anggota, penuntut umum atau penasihat hukum. Adapun
yang harus dinilai, bukan hanya keterangan yang berisi
pernyataan pengakuan belaka, tapi termasuk penjelasan
pengingkatan yang dikemukakannya.
Tentang perbuatan yang ia lakukan yang ia ketahui
sendiri. Sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa
dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan
pernyataan atau penjelasan. Tentang perbuatan yang
dilakukan terdakwa, tentang apa yang diketahui sendiri
oleh terdakwa, apa yang dialami sendiri oleh terdakwa dan
keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap
dirinya sendiri (M. Yahya Harahap, 2012: 320-321).
Rusli Muhammad dengan mengutip P.A.F
Lamintang mengemukakan bahwa pasal 189 KUHAP
tidak menunjukkan apa sesungguhnya keterangan
terdakwa tersebut, apakah berupa pengakuan atau
penyangkalan terhadap tuduhan yang disampaikan
kepadanya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui
wujud perkataan keterangan terdakwa dapat menggunakan
pengertian dari istilah verklaring van verdecht, yakni
setiap keterangan yang diberikan oleh terdakwa, baik
keterangan tersebut berisi pengakuan sepenuhnya dari
kesalahan yang telah dilakukan dilakukan terdakwa
maupun hanya berisi penyangkalan atau pengakuan
tentang beberapa perbuatan atau beberapa keadaan yang
tertentu saja (Rusli Muhammad, 2007: 198).
B. Tinjauan umum tentang Penuntutan
1) Pengertian Penuntutan
Pengertian penuntutan ada pada Pasal 1 ayat (7)
KUHAP yaitu:
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan
Tindakan penuntutan meliputi unsur-unsur seabgai
berikut :
a) Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang menurut
cara yang diatur dalam KUHAP
b) Supaya perkara pidana diperiksa oleh hakim sidang
pengadilan
c) Supaya perkara di putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Tugas penuntutan dimulai sejak penuntut umum
menerima pelimpahan perkara sampai perkara tersebut
memperoleh putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Pasal 137 KUHAP menentukan bahwa penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang mengadili (Andi Hamzah, 2009:162). Pasal 138
ayat (1) KUHAP menyebutkan penuntut umum setelah
menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari
dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
tersebut sudah lengkap atau belum. Selanjutnya pada ayat (2),
dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara itu kepada penuntut umum.
Tentang prapenuntutan, yang dimaksudkan menurut
KUHAP, dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum
untuk mempersiapkan penuntutan terhadap hasil penyidikan
telah sesuai memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan
dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. Bermula
dari pengertian tersebut Andi Hamzah berpendapat bahwa
Prapenuntutan ialah tindakan penutut umum untuk memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh
penyidik (Andi Hamzah, 2009:158).
2) Jaksa
a) Pengertian Jaksa
Pasal 1 butir 6a KUHAP menjelaskan pengertian
Jaksa yaitu : “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia tepatnya pada Pasal
1 butir 1 ditentukan bahwa :
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
b) Tugas dan Wewenang Jaksa
Tugas dan wewenang Jaksa diatur dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, tugas dan wewenang jaksa antara
lain:
(1) Melakukan penuntutan
(2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
(3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana beryarat, putusan pidana pengawasan, dan
putusan lepas bersyarat.
(4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan Undang-Undang
(5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.
3) Penuntut Umum
a) Pengertian Penuntut Umum
Pasal 1 butir 6b Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut
umum sebagai berikut: “Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesiamenentukan bahwa
“Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim”.
Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa
yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai
penuntut umum.
b) Wewenang Penuntut Umum
Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penuntut
umum mempunyai wewenang sebagai berikut:
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik
dari penyidik atau penyidik pembantu.
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidik dengan memperhatikan ketentuan pasal
110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberikan
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik.
3) Memberikan perpanjagnan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau
mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik.
4) Membuat surat dakwaan.
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan.
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan
yang di sertai surat peanggilan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang sidang yang telah
di tentukan.
7) Melakukan penuntutan.
8) Menutup perkara demi kepentingan hokum.
9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut
undang-undang.
10) Melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan Pasal 137 KUHAP, ditegaskan bahwa
“Penuntut umum berwenang menuntut perkara yang terjadi
di daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara pidana
ke Pengadilan Negeri yang berwenang”.
Tugas Penuntut Umum dalam melakukan
Penuntutan dimulai sejak campur tangannya pada tingkat
penyidikan, mempersiapkan pelimpahan perkara ke
pengadilan, dan di sidang pengadilan membacakan,
membuktikan, dan mempertahankan dakwaannya,
mengajukan dan mempertahankan tuntutan hukuman,
menggunakan upaya hukum, sampai putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah itu barulah
menjalankan tugasnya sebagai jaksa yaitu melaksanakan
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Adapun dalam tahap Pra Penuntutan, dapat
diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa
Penuntut Umum sebagai berikut antara lain:
1) Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa
menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik
PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai
penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).
2) Berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik
dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara pada
penuntut umum. Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut
umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara
tersebut yaitu:
a) Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang
disangkakan kepada tersangka telah memenuhi
unsur-unsur dan telah memenuhi syarat
pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi
perkaranya.
b) Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal
telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat
berkas perkara, yang antara lain perihal identitas
tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta
kelengkapan administrasi semua tindakan yang
dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.
3) Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b
KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110
ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan
(2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat
bahwa hasil penyidikan kurang lengkap, penuntut
umum segera mengembalikan berkas perkara itu
kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan
penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut
umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3)
KUHAP.
4) Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana
petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139
KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap
apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi
persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke
pengadilan.
5) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan
tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal
14 huruf i KUHAP. Menurut penjelasan pasal tersebut
yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara
lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan
melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi
antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
6) Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut
umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan
dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum
secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk
diadili.
7) Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP,
penuntut umum menerima penyerahan tanggung
jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang
bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab
tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di
dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka baik identitas maupun tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat
melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap
tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan
dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta
dapat mencabutnya kembali.
4) Dakwaan
Ketika penuntutut umum telah menentukan bahwa dari
hasi pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia
dalam waktu secepatnya akan membuat surat dakwaan (Rusli
Muhammad, 2007: 83). Dakwaan merupakan dasar penting
hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat
dalam surat itu , hakim akan memeriksa perkara itu.
Pemeriksaan didasarkan pada surat dakwaan dan menurut
Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui
namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa
peristiwa yang terletak dalam bahasan itu (Andi Hamzah,
2009: 167).
Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek
penegakan hukum adalah :
1) Surat akta.
2) Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa.
3) Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil
pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik
pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada
terdakwa, dan
4) Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi
hakim dalam sidang pengadilan.
Atau dapat dirumuskan sebagai berikut, surat dakwaan
adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana
yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan
ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan
dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka
sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000 : 386-387)
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat
dakwaan sebagai berikut:
Penuntut Umum membuat surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:
1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan tersangka.
2. Uraian secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan temapat tindak pidana itu dilakukan.
Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) tersebut, maka isi surat
dakwaan harus memenuhi dua sarat, yaitu syarat formil dan
materiil.
Yang dimaksud dengan syarat formil adalah hal-hal
yang berkaitan dengan identitas terdakwa, meliputi nama
lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan. Tidak
terpenuhinya syarat ini berakibat surat dakwaan itu cacat
hukum (abscur libelle). Adapun yang dimaksud dengan syarat
materiil adalah hal-hal yang berkaitan dengan uraian-uraian
yang kengkap dan cermat tentang perbuatan pidana serta
uraian mengenai tempat dan waktu dilakukannya perbuatan
pidana (Rusli Muhammad, 2007 : 83)
Surat dakwaan dapat disusun dalam berbagai bentuk
tergantung pada perkara yang terjadi. Oleh karena itu, bentuk
dakwaan dapat dibagi menjadi empat macam yaitu (Rusli
Muhammad, 2007 : 84-85) :
a) Dakwaan yang disusun secara tunggal
Dakwaan ini dibuat untuk menuntut satu orang atau
lebih yang dituduh melakukan satu perbuatan pidana saja,
misalnya terdakwa hanya melakukan perbuatan pidana
pencurian (biasa) Pasal 362 KUHP.
b) Dakwaan secara kumiltif
Dakwaan ini dibuat untuk menuntut seorang terdakwa atau
lebih yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana,
misalnya, disamping melakukan perbuatan pencurian, dia
juga membawa senjata api tanpa izin dari yang berwajib,
artinya terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa melakukan
dua macam perbuatan pidana sekaligus, yaitu pencurian
dan membawa senjata api tanpa izin yang berwajib.
Biasanya dakwaan ini ditandai dengan nomor urut dari
dakwaan, misalnya, dakwaan ke-1, ke-2, dan seterusnya.
c) Dakwaan secara alternatif
Rusli muhammad dengan mengutip Bambang
Poernomo, dakwaan ini dibuat untuk menuntut perkara
pidana yang terdapat keragu-raguan mengenai jenis
perbuatan pidana mana yang paling tepat sehingga
penuntutan diserahkan kepada pengadilan untuk memilih
secara tepat berdasarkan hasil pembuktian sidang agar
mendapat putusan satu jenis perbuatan pidana saja dari
berberapa jenis yang dituduhkan.
d) Dakwaan secara Subsider
Dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara
pidana lebih dari satu dakwaan yang disusun dengan
mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat
ditempatkan pada deretan pertama, yang disebut dengan
dakwaan primer, kemudian disusul dengan dakwaan
dengan bobot pidana yang lebih ringan sebagai dakwaan
subsider.
Menurut Leden Marpaun bahwa surat dakwaan
mempunyai suatu peranan yang sangat penting bagi proses
beracara dalam hukum acara pidana, dan pernanan dari surat
dakwaan tersebut adalah sebagai berikut (Leden Marpaung,
2011: 21-22):
a. Dasar pemeriksaan sidang pengadilan negeri,
b. Dasar tuntutan pidana (reqquisitoir),
c. Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelanya,
d. Dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan,dan
e. Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding,kasasi,
peninjauan kembali, bahkan kasasi demi kepentingan
hukum).
C. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum
1) Pengertian upaya hukum
Pengertian upaya hukum menurut Pasal 1 butir (12)
KUHAP, sebagai berikut:
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penutut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk menagjukan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Proses di muka pengadilan memiliki tujuan untuk
memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum
tetap. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum
tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena
putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan
tidak mustahil bersifat memihak. Putusan hakim dapat
diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat
kekhilafan atau kekeliruan. Agar kekeliruan dan kekhilafan
itu itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan
keadilan, terhadap putusan hakim itu dimungkinkan untuk
diperiksa ulang. Maka hukum menyediakan sarana atau
upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah
atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan dan
sarana atau upaya tersebut dinamakan sebagai upaya hukum.
Untuk dapat mewujudkan kebenaran yuridis dan keadilan itu
adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Upaya hukum
merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, untuk dapat
mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan
melaksanakan upaya hukum.
2) Jenis upaya hukum
Menurut ketentuan dalam KUHAP uapaya hukum
dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa yang diatur
dalam Bab XVII KUHAP dan upaya hukum luarbiasa yang
diatur dalam Bab XVIII KUHAP. Upaya-upaya hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Upaya Hukum Biasa (gewone rechstmiddelen)
(a) Upaya hukum perlawanan (verzet)
Upaya hukum perlawanan juga sering
disebut dengan istilah verzet. Perlawanan
merupakan upaya hukum berdasarkan
undan-undang dalam hal-hal yang telah
ditentukan yang umunya bersifat insidental
yang tidak dimaksudkan terhadap putusan
akhir dari pengadilan negeri. Perlawanan
dapat diajukan ke pengadilan tinggi dan
tidak diwajibkan dengan akta seperti akta
banding (Leden Marpaung, 2011:155).
(b) Upaya Hukum Banding
Rusli Muhammad dengan mengutip
Andi Hamzah menyebutkan bahwa banding
adalah hak terdakwa atau penuntut umum
untuk menolak putusan pengadilan, dengan
tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang
oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk
memnguji penerapan hukum dari putusan
pengadilan tingkat pertama (Rusli
Muhammad, 2007: 248).
Dapat pula dikatakan bahwa banding
adalah sarana bagi terpidana (terdakwa) atau
jaksa penuntut umum untuk minta pada
pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan
pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan
negeri karena dianggap putusan tersebut
jauh dari keadilan atau karena adanya
kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan
putusan. Adapun tujuan dilakukannya upaya
hukum banding adalah untuk menguji
kembali pemeriksaan yang telah dilakukan
oleh pengadilan negeri sehingga putusan
yang nyata-nyata telah keliru dilakukan
dapat diperbaiki dan terhadap putusan yang
telah mencerminkan keadilan dan kebenaran
tetap dipertahankan (Rusli Muhammad,
2007: 248).
(c) Upaya Hukum Kasasi
i) Pengertian Kasasi
Kasasi adalah berasal dari bahasa
Perancis, yaitu cassation yang berarti
memecah atau membatalkan. Kasasi
menjadi salah satu upaya hukum yang
diberikan kepada terdakwa dan jaksa
penuntut umum bila berkeberatan
terhadap putusan pengadilan yng
dijatuhkan kepadanya. Dapat dikatakan
bahwa kasasi adalah hak yang diberikan
kepada terdakwa dan penuntut umum
untuk meminta Mahkamah Agung agar
dilakukan pemeriksaan ulang terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan
pada pengadilan tingkat dibawanya.
Kasasi merupakan hak, oleh
karena itu tergantung kepada mereka
untuk mempergunakan hak tersebut.
Sekiranya terdakwa atau penuntut umum
menerima putusan yang dijatuhkan,
mereka dapat mengesampingkan hak itu,
akan tetapi, apabila mereka merasa
keberatan akan putusan yang dijatuhkan
pengadilan tinggi, mereka dapat
mempergunakan hak untuk mengajukan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung. Sebagai imbangan dari hak ini
maka timbul timbul kewajiban bagi
pejabat bagi pejabat pengadilan untuk
menerima permintaan kasasi yang
dimohonkan itu (Rusli Muhammad, 2007:
266-267).
Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, maka arti “kasasi” adalah
pembatalan putusan atau penetapan
pengadilan tingkat banding atau tingkat
terakhir karena tidak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku dapat terjadi berupa:
a. Melampaui batas kewenangannya
yang ditentukan perundang-
undangan.
b. Penerapan yang tidak tepat atau
keliru.
c. Melanggar hukum yang berlaku.
d. Tidak memenuhi syarat yang
ditentukan perundang-undangan.
Upaya hukum kasasi adalah hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan pada
tingkat akhir, dengan cara mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Agung
guna membatalkan putusan pengadilan
tersebut, dengan alasan (secara
alternatif/kumulatif) bahwa dalam putusan
yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan
hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya, cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, pengadilam
telah melampaui batas wewenangnya
(Harun M. Husein, 1992: 47-48).
Ketentuan Pasal 244 KUHAP
menyatakan bahwa :
Terhadap putusan perkara pidana yang dapat diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
ii) Alasan pengajuan Kasasi
Yang dimaksud alasan kasasi
adalah dasar atau landasan daripada
keberatan-keberatan pemohon kasasi
terhadap putusan pengadilan yang
dimintakan kasasinya ke Mahkamah
Agung. Alasan-alasan kasasi tersebut oleh
pemohon kasasi diuraikan dalam memori
kasasi (Harun M. Husein, 1992: 74).
Berdasarkan Pasal 253 ayat (1)
KUHAP, maka alasan kasasi yang
diperkenankan adalah (Rusli Muhammad,
2007: 267) :
a. Apakah benar suatu peraturan
hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana
mestinya.
b. Apakah benar cara mengadili tidak
dilakukan menurut ketentuan
Undang-undang.
c. Apakah benar pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya.
Ketiga alasan tersebut dibenarkan
oleh Undang-undang. Diluar ketiga hal
tadi, Undang-undang tidak membenarkan
dan oleh karena itu, pihak pemohon kasasi
ketika menyusun memori kasasinya
hendaknya sedapat mungkin
memperlihatkan ketiga alasan tersebut.
Penentuan alasan-alasan kasasi yang
limitatif ini dengan sendirinya sekaligus
pula membatasi Mahkamah Agung
memasuki pemeriksaan perkara dalam
tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi
kekeliruan pengadilan atas ketiga hal
tersebut. Dengan demikian, kewenangan
Mahkamah Agung memeriksa perkara
dalam tingkat kasasi tidak boleh keluar
atau melebihi kekeliruan pengadilan atas
ketiga hal tersebut (Rusli Muhammad,
2007: 268).
Adapun syarat yang harus dipenuhi
dalam permintaan pemeriksaan kasasi
adalah sebagai berikut (Rusli Muhammad,
2007: 268) :
a. Permintaan kasasi sudah harus
disampaikan dalam tenggang
waktu 14 hari terhitung sejak
putusan disampaikan kepadanya
(Pasal 247 ayat (1)).
b. Permohonan kasasi hanya dapat
dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat
(4)).
c. Permohonan kasasi harus
menyerahkan memori kasasi yang
memuat alasan-alasan
sebagaimana tersebut dalam Pasal
253 ayat (1).
d. Perkara yang diajukan kasasi
bukan perkara yang dikecualikan,
yakni :
1. Putusan tentang praperadilan
2. Perkara pidana yang diancam
dengan penjara paling lama
satu tahun dan/atau diancam
pidana denda
3. Perkara tata usaha negara
yang objek gugatannya
berupa keputusan pejabat
daerah yang jangkauan
keputusannya berlaku di
wilayah daerah yang
bersangkutan.
iii) Tata cara pengajuan Kasasi
Tata cara pengajuan kasasi
sebagaimana ditentukan dalam KUHAP,
yaitu :
a. Permohonan kasasi disampaikan
oleh pemohon kepada Panitera
Pengadilan Negeri yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat
pertama, dalam waktu 14 (empat
belas) hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi
itu diberitahukan kepada terdakwa
(Pasal 245 ayat (1) KUHAP).
b. Permintaan tersebut oleh Panitera
ditulis dalam sebuah surat
keterangan yang ditandatangani
oleh Panitera serta pemohon, dan
dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara
(Pasal 245 ayat (2) KUHAP).
c. Dalam hal Pengadilan Negeri
menerima permohonan kasasi,
baik yang diajukan oleh Penuntut
Umum maupun oleh terdakwa atau
oleh Penuntut Umum dan
terdakwa sekaligus, maka Panitera
wajib memberitahukan permintaan
dari pihak yang satu kepada pihak
yang lain (Pasal 245 ayat (3)
KUHAP).
d. Apabila tenggang waktu 14 hari
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 245 ayat (1) telah lewat
tanpa diajukan permohonan kasasi
oleh yang bersangkutan, maka
yang bersangkutan dianggap
menerima putusan (Pasal 246 ayat
(1) KUHAP).
e. Dalam hal tenggang waktu
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 246 ayat (1), pemohon
terlambat mengajukan
permohonan kasasi maka hak
untuk permohonan kasasi itu gugur
(Pasal 246 ayat (2) KUHAP).
f. Selama perkara permohonan
kasasi belum diputus oleh
Mahkamah Agung, permohonan
kasasi itu dapat dicabut sewaktu-
waktu dan apabila sudah dicabut,
permohonan kasasi dalam perkara
itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal
247 ayat (1) KUHAP).
g. Jika pencabutan dilakukan
sebelum berkas perkara dikirim ke
Mahkamah Agung, berkas tersebut
tidak jadi dikirimkan (Pasal 247
ayat (2) KUHAP).
h. Apabila perkara telah mulai
diperiksa, akan tetapi belum
diputus, sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permohonan
kasasinya, maka pemohon
dibebani membayar biaya perkara
yang telah dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung hingga saat
pencabutannya (Pasal 247 ayat (3)
KUHAP).
i. Permohonan kasasi hanya dapat
dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat
(4) KUHAP).
(2) Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa dicantumkan dalam
Bab XVIII KUHAP. Upaya hukum luar biasa
merupakan pengecualian dan penyimpangan dari
upaya hukum biasa, upaya banding, dan kasasi.
Putusan pengadilan yang dimohon banding atau
kasasi belum merupakan putusan yang berkekuatan
hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua
putusan baik oleh pihak terdakwa maupun oleh
penuntut umum (M. Yahya Harahap, 2012: 607).
Upaya-upaya hukum tersebut adalah sebagai
berikut :
(a) Kasasi Demi Kepentinagan Umum
Kasasi demi kepentingan hukum
adalah salah satu upaya hukum luar biasa
yang diajukan terhadap semua putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari
putusan pengadilan selain putusan
Mahkamah agung. Berdasarkan pengertian
ini, berarti semua putusan pengadilan negeri
dan pengadilan tinggi yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat dijadikan kasasi
demi kepentingan hukum. Sedangkan
terhadap putusan Mahkamah Agung yang
telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat
dimintakan upaya hukum kasasi demi
kepentingan hukum (Rusli Muhammad,
2007: 283-284).
Upaya hukum yang dimaksudkan
untuk memperbaiki atau membetulkan
semua keputusan pengadilan yang telah
memeproleh kekuatan hukum tetap. Diatur
dalam pasal 259-262 KUHAP
(b) Peninjauan Kembali
Rusli Muhammad dengan mengutip
Soediryo mengemukanan, peninjauan
kembali adalah suatu upaya hukum yang
dipakai untuk memperoleh penarikan
kembali atau perubahan terhadap putusan
hakim yang pada umumnya tidak dapat
diganggu gugat lagi (Rusli Muhammad,
2007: 285).
Upaya hukum ini datur dalam pasal
263-269 KUHAP, dapat diajukan terhadap
putusan penagdilan yang mepunyai
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segalan tuntutan
hukum, Permintaan peninjauan kembali
dapat diajukan kepada Mahkamah Agung.
D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
1) Pengertian Putusan
Pengertian Putusan terdapat dalam pasal 1 butir 11
KUHAP yang menyebutkan :
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segalan tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Rusli Muhammad berpendapat bahwa putusan
pengadilan merupakan output dari sutu proses peradilan di
sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-
saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang
bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh
hakim, tibalah saatnya hakim mengambil keputusan(Rusli
Muhammad, 2007: 199).
Pengambilan keputusan harus didasarkan pada
pemufakatan yang bulat atau diambil dengan suara
terbanyak apabila tidak tercapai mufakat atau dengan
keputusan yang menguntungkan terdakwa, ini telah sesuai
dengan Pasal 182 ayat (6) KUHAP.
2) Jenis-jenis Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh
hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu
menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian
pada suatu perkara yang terjadi antara Negara dengan warga
negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai
putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).
Menurut ketentuan pasal 191 KUHAP ada beberapa
jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam
suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Putusan bebas dari segala tuduhan
hukum(vrijspraak).
Putusan bebas dari segala tuduhan hukum
adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada
terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan (Rusli Muhammad 2007: 201). Putusan
bebas ini dijelaskan Pula dalam Pasal 191 ayat (1)
KUHAP, yaitu:
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Rusli Muhammad dengan mengutip
Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan, bahwa
dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang
diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi,
yaitu karena (Rusli Muhammad 2007: 201) :
1) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, yang disebut oleh Pasal 184
KUHAP. Jadi, misalnya, hanya ada satu saksi,
tanpa diteguhkan dengan bukti lain.
2) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah,
hakim tidak mempunyai keyakinan atas
kesalahan terdakwa. Misalnya, terdapat dua
keterangan saksi, tetapi hakim tidak yakin
akan kesalahan terdakwa.
3) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan sebagai
berikut:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah is memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183
tersebut, menjelaskan kepada kita dan terutama
kepada hakim bahwa adanya dua alat bukti yang sah
itu adalah belum cukup bagi hakim untuk
menjatuhkan pidana bagi seseorang. Akan tetapi,
Bari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Sebaliknya, keyakinan Bari hakim saja tidak cukup
apabila keyakinan tersebut sudah tidak ditimbulkan
oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Dalam putusan yang mengandung
pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada
dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan saat itu juga, kecuali karena ada alasan
yang sah, terdakwa tetap berada dalam tahanan,
misalnya, terdakwa masih tersangkut dalam lain
perkara, baik untuk dirinya sendiri maupun bersama-
sama dengan kawan terdakwa (Pasal 193 ayat (3)
KUHAP) (Rusli Muhammad 2007: 202).
b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van recht vervolging)
Putusan pengadilan berupa putusan lepas dari
segala tuntutan hukum adalah putusan yang
dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui
pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan,
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana (Rusli Muhammad, 2007: 202). Jenis
putusan ini dasar hukumnya dapat ditemukan dalam
Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan
bahwa:
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tcrbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas Bari segala tuntutan.
Pelepasan dari segala tuntutan hukum
dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang
merighapuskan pidana, balk yang menyangkut
perbuatannya sendiri maupun diri pelaku perbuatan
itu, misalnya, terdapat pada (Rusli Muhammad,
2007: 203):
(1) Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa
atau cacat jiwanya,
(2) Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa
atau overmacht,
(3) Pasal 49 KUHP tentang membela diri atau
noodweer,
(4) Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan
untuk menjalankan peraturan undang-undang,
(5) Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang
diberikan oleh atasan yang sah.
Hal-hal yang menghapuskan pidana yang
terdapat pada pasal-pasal tersebut, Rusli Muhammad
dengan mengutip Soedirjo, dikatakan sebagai hal
yang bersifat umum. Di samping itu, dikatakan pula
terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara
khusus, yang diatur secara khusus dalam pasal
tertentu dalam undang-undang, misalnya, Pasal 166
dan Pasal 310 ayat (3) KUHP (Rusli Muhammad,
2007: 203).
Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi
kriteria masing-masing pasal, balk yang mengatur hal-
hal yang menghapus pidana secara khusus maupun
yang bersifat umum seperti tersebut di atas, maka is
tidak dapat dipertanggung jawabkan meskipun
perbuatan yang didakwakan itu terbukti.
Terhadap putusan yang mengandung
pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat, menurut Pasal
67 KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan
tingkat banding. Meskipun Pasal 67 KUHAP itu
mengatakan demikian, tidak berarti setiap putusan
pengadilan tingkat pertama, yang mengandung
pelepasan dari segala tuduhan hukum terdakwa atau
penuntut umum tidak berhak meminta banding ke
pengadilan tinggi (Rusli Muhammad, 2007: 203-204).
c) Putusan yang mengadung pemidanaan
Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan
yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa
karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah
dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan itu. Dasar putusan ini
adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan
minimal adanya dua alat bukti dan hakim yakin akan
kesalahan terdakwa itu berdasarkan alat bukti yang
ada. Dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan
hakim ini, berarti pula syarat untuk menjatuhkan
pidana telah terpenuhi.
Pengadilan dalam hal menjatuhkan putusan
yang memuat pemidanaan dapat menentukan salah
satu macam-macam pidana yang tercantum dalam
Pasal 10 KUHP, yaitu salah satu dari hukuman pokok.
Adapun macam-macam pidana yang dapat dipilih
hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
adalah pidana mati, penjara kurungan, dan denda.
Setelah hakim membacakan putusan yang
mengandung pemidanaan maka wajib bagi hakim
memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya.
Dengan adanya hak-hak terdakwa tersebut rnaka
terhadap setiap putusan yang mengandung
penghukuman di mana terdakwa merasa tidak puas,
dapat mengajukan pemeriksaan tingkat banding. Oleh
karena itu baik terdakwa maupun penuntut umum
dapat menggunakan upaya hukum apabila keputusan
hakim yang menjatuhkan pidana kurang memuaskan
(Rusli Muhammad, 2007: 204-205). Adapun terhadap
lamanya pidana, pembentuk Undang-undang
memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menentukan antara pidana minimum sampai
maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam
persidangan (Lilik Mulyadi, 2007: 148).
3) Proses Penjatuhan Putusan
Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak
dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh
Hakim tersebut. Proses penjatuhan putusan hakim merupakan
suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan
pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses
penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini
apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah
tidak (Ahmad Rifai, 2010: 94-95).
Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh
Hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno uang
dikutip oleh Ahmad Rifai, dilakukan dalam beberapa
tahapan, yaitu sebagai berikut (Ahmad Rifai, 2010: 96-
100):
a) Tahapan Menganalisis Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa
melanggar larangan tersebut. Pada saat hakim
menganalisis, apakah terdakwa melakukan
perbuatan perbuatan pidana atau tidak, yang
dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu
perbuatan segi tersebut daam rumusan suatu aturan
pidana.
2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti
melakukan perbuatan pidana melanggar suatu Pasal
tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana
yang dilakukannya. Menurut Moelyatno, unsur-
unsur pertanggungjawaban pidana untuk
membuktikan pidana untuk membuktikan adanya
kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa
harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan
hukum);
b. Diatas umur tertentu dan mampu
bertanggung jawab;
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang
berupa kesengajaan atau kealpaan;
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
3. Tahap Penentuan Pemidanaan
Dalam hal ini jikalau hakim berkeyakinan
bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang
melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah
atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu
dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku.
Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim
akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut,
dengan melihat Pasal-pasal Undang-undang yang
dilanggar oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang
dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP,
dimana KUHP telah pemindaan maksimal yang
dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana
tertentu.
E. Tinjauan Umum tantang Tindak Pidana Korupsi
1) Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Andi Hamzah dengan mengutip Fockema Andreae
mengemukakan kata korupsi berasal dari bahasa latin
corruption atau corruptus (Webster Atudent Dictionary:
1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu
berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata dalam
bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,
corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu
corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi
berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia,
yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2007 : 4).
Suyatno dengan mengutip Benveniste mengemukakan
definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,
bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, korupsi
didefinisikan 4 (empat) jenis (Suyatno, 2005: 17-18) :
a) Discretionary corruption, ialah korupsi yang
dilakukan karena adanya kebebasan dalam
menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi.
b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang
bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-
maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
c) Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana
korupsi yang dimaksud untuk memperoleh
keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan.
d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal
maupun discretionary yang dimaksudkan untuk
mengejar tujuan kelompok.
Undang-undang Nomor 31 tahun 1991 tentang
Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pmberantasan Tindak pidana Korupsi (Undang-
undang Nomor 31 tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001) mememuat beberapa definisi tentang tindak
pidana korupsi, salah satunya terdapat pada Pasal 2 yaitu,
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”. Atau dengan kata lain yang dimaksud
dengan tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan curang
yang merugikan keuangan negara, atau penyelewengan atau
penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan
orang lain (Azis Syamsudin, 2011: 14)
2) Gratifikasi
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-undang
Nomor 31 tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi
dari pasal 12 B tersebut yaitu :
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabayannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut.
Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi
didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang di luar
Alat Bukti Pasal 184 KUHAP
Pembuktian Dakwaan diPersidangan
Perkara Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi
Alat Bukti Saksi
Pengabaian oleh Judex Factie
PertimbanganHakim
PutusanPengadilan
Alasan Kasasi
Pertimbangan Hakim MA
Putusan MA
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronika maupun tanpa sarana elektronik.
2. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan
jawaban atas permasalahan hukum. Penulis mengangkat permasalahan hukum
yaitu pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi memberatkan oleh Hakim sebagai
alasan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap
putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)
Alur diatas dapatdijelaskan oleh penulis bahwa dalam proses pembuktian
dakwaan di persidangan, hakim telah mengabaikan alat bukti saksi memberatkan
yang diajukan oleh penuntut umum. Putusan bebas terhadap tedakwa perkara
korupsi gratifikasi yang di jatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Sidenreng
Rappang tidak dapat diterima oleh Penuntut Umum kejaksaan negeri Sidenreng
Rappang dikarenakan adanya pengabaian alat bukti saksi memberatkan oleh Judex
Factie. Pengabaian alat bukti tersebut menjadi alasan diajukannya upaya hukum
Kasasi oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang. Alasan
Kasasi dijadikan pertimbangan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan kasasi. Isi dari putusan kasasi tersebut yaitu tidak dapat diterima
permohonan kasasi oleh Penuntut Umum kejaksaan negeri Sidenreng Rappang
tersebut.
H. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum (legal research) merupakan suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan
untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 35).
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah penulis harus terlebih
dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johny Ibrahim, 2011 : 26). Di dalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak
terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johny Ibrahim, 2011: 28).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan
metode penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis guanakan adalah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based)
yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum
primer dan sekunder. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika
keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 3).
Jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis telah sesuai
dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat untuk menghasilkan
argumentasi.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu
hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang
preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, norma-norma hukum,
kaidah-kaidah hukum, validitas aturan hukum dan nilai-nilai keadilan.
Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,
ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.
Sifat preskriptif keilmuab hukum ini merupakan sesuatu yang substansial
di dalam ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 22). Penelitian
bersifat prespektif karena dimaksudkan untuk menjawab isu hukum yang
diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi
dalam menyelesaikan masalah (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 35).
3. Pendekatan Penelitian
Pada Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi
dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum
diantaranya adalah sebagai berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 93) :
a. Pendekatan kasus (case approach)
b. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)
c. Pendekatan historis (historical approach)
d. Pendekatan perbandingan (comparative approach)
e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pada penelitian hukum ini guna memperoleh jawaban dari kasus
yang ingin dikaji maka peneliti menggunakan pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan
mempelajari penerapan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan oleh
praktik hukum. Misalnya mengenai kasus-kasus yang telah diputus dan
putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana yang
bisa dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi
fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun
dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu
aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya
untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum (Johny Ibrahim,
2011: 30).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya.
Yang termasuk bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatanatau risalah dalam pembuatan Undang-Undang, dan
putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jumal hukum dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 141). Jenis data
penelitian dan sumber data yang akan digunakan penulis adalah sebagai
berikut:
a) Jenis Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
data sekunder, yaitu data atau informasi hasil pengkajian dokumen
penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan
kepustakan seperti buku-buku, literature, majalah, jurnal, atau arsip-
arsip yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
b) Sumber Data Penelitian
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini
adalah subyek dari mana data yang diperoleh. Menurut Peter Mahmud
Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoriatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum
sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan yang
dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan
adalah sebagai berikut:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(3) Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).
(4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(5) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
(6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
(7) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011.
b. Bahan Hukum Sekunder
Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang
digunakan meliputi :
(1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum;
(2) Kamus-kamus hukum;
(3) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana
(4) Literatur dan hasil penelitian lainnya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan
hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan
hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen
adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui
bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analysis. Studi
dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji
dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen
laporan, arsipan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 21).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan teknik deduksi silogisme. Silogisme
adalah metode argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis
yang menyatakan permasalahan yang berlainan. Peter Mahmud Marzuki
dengan mengutip Philips M. Hudjon mengemukakan bahwa penalaran
hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum dan premis
minor merupakan fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 47).
7. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum disajikan guna memberikan
gambaran secara keseluruhan mengenai pembahasan yang akan
dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan hukum.
Adapun sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri atas 4 (empat) bab,
dimana tiap bab terbagi beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.
Keseluruhan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada Bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal
mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, jangka waktu penelitian, sistematika
penulisan hukum untuk lebih meberikan gambaran terhadap isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis memberikan landasan teori atau memberikan
penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis
gunakan dan doktrin ilmu yang dianut secara universal mengenai
persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.
Pada Bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori dan
pemikiran dari penulis. Dalam sub Bab ini penulis akan menguraikan
kerangka teori tentang Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat
Bukti, Tinjauan Umum Tentang Penuntutan, Timjauan Umum Tentang
Upaya Hukum, Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan, Tinjauan
Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sub bab kedua akan
menerangkan mengenai kerangka pemikiran penulis.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis menguraikan hasil penelitian dari proses
menjawab rumusan masalah yang menjadi dasar penulis melakukan
penulisan hukum yaitu, Pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi
memberatkan oleh Hakim sebagai alasan kasasi Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas dalam
perkara korupsi gratifikasi.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini, penulis menguraikan kesimpulan dari penulis hukum
ini yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan saran-saran dari
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi sumber su-ber bacaan yang digunakan penulis sebagai
referensi dalam kutipan-kutipan.
LAMPIRAN
Berisi instrumen-instrumen yang digunakan sebagai bahan
penelitian
J. JANGKA WAKTU PENELITIAN
Jangka waktu menjadi pedoman bagi peneliti dalam pelaksanaan
penelitian, diharap penulisan hukum dapat diselesaikan sesuai rencana.
No Kegiatan Bulan Ke-
1 2 3 4 5 6
1 Pengajuan Judul
2 Penyusunan Rencana
Penelitian
3 Seminar Rencana Penelitian
4 Pengolahan Data
5 Analisis Data
6 Penyusunan Laporan Akhir
Gambar 2. Jangka Waktu Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum
Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.
Andi Hamzah. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.
Azis Syamsudin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.
Eddy O.S Hiariej. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Johny Ibrahim. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing.
Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses
Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
. 2007. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Suyatno. 2005. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Jurnal:
Topo Santoso. 2013. ”Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia”.
Jurnal Dinamika Hukum,Volume 13 Nomor 3.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana(KUHAP).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011.