bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

122
Rencana Penelitian PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011) Rencana penelitian untuk penulisan hukum (Skripsi) S1 Oleh : Dhimas Inggar Galih Pamungkas E0011092 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: rian-pertiwi-wongsoijoyo

Post on 11-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Rencana Penelitian

PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI MEMBERATKAN

OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT UMUM

KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG TERHADAP PUTUSAN

BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (Studi Putusan

Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)

Rencana penelitian untuk penulisan hukum (Skripsi) S1

Oleh :

Dhimas Inggar Galih Pamungkas

E0011092

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

Page 2: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

RENCANA PENELITIAN

Judul : PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI

MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI PENUNTUT

UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG TERHADAP

PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI GRATIFIKASI (Studi

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)

Ruang Lingkup : Hukum Acara

Pelaksana Penelitian

Nama : Dhimas Inggar Galih pamungkas

NIM : E0011092

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Lokasi Penelitian : -

Lama Penelitian : 6 (Enam)Bulan

Surakarta, 10 Desember 2014

Pembimbing I Pelaksana Penelitian

Sri Wahyuni Yulianti, S.H ., M.H Dhimas Inggar Galih Pamungkas

NIP. 19610721 198803 2 001 NIM. E0011092

Page 3: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

A. JUDUL PENELITIAN

PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI

MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI

PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG RAPPANG

TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA KORUPSI

GRATIFIKASI (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor :

1210K/Pid.Sus/2011)

B. BIDANG ILMU

Ilmu Hukum (Hukum Acara Pidana)

C. LATAR BELAKANG MASALAH

Neagara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini sesuai dengan

bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa

Negara republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum

(Rechtstaat) dan Bukan merupakan Negara yang berdasarkan atas

kekuasaan (machtstaat). Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia

sebagaimana digariskan adalah negara hukum yang demokratis

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan

menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin kedudukan yang

sama dan sederajat bagi setiap warga negara dalam hukum dan

pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep negara hukum ini

tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

“Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”.

Indonesia sebagai negara hukum seharusnya dapat berperan di

segala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan negara

Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal ini

bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, dan ketertiban, keadilan

Page 4: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara serta menghendaki agar hukum ditegakkan artinya hukum harus

dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh

warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala

tindakannya harus dilandasi oleh hukum.

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam

kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan

kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif, terutama

menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan

masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dikatakan cukup fenomenal

adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan

keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

sosial dan ekonomi masyarakat (Evi Hartanti, 2012: 1)

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang

menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga

penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar dipriorotaskan.

Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern

dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik

kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana

korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi

termasuk jenis perkara yang sulit penanggulangan maupun

pemberantasannya.

Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para

pelakunya menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan

lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi.

Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut white collar crime atau

kejahatan kerah putih (Evi Hartanti, 2012: 2)

Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary

crime), dan menjelma menjadi kejahatan besar yang menjadi salah satu

penyebab munculnya berbagai penyimpangan sosial dan melemahkan

dalam hampir semua aspek kehidupan, baik kesehatan, pendidikan,

Page 5: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

ekonomi, dan penegakan hukum. Sehingga, dalam upaya

pemberantasannya dan penanganannya tidak dapat dilakukan secara biasa

tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Korupsi dikategorikan sebagai

extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena dampak yang

ditimbulkannya memang luar biasa. Korupsi yang selama ini terjadi karena

secara sistemik dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,

mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, serta melemahkan nilai-

nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastian hukum, sehingga dapat

membahayakan kelangsungan, pembangunan bahkan telah melanggar hak-

hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Korupsi yang telah

mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi

terhambatnya pembangunan di suatu negara.

Pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait

kapasitasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pemyelenggara

negara bukanlah sesuatu yang baru. Pemberian hadiah sering kali dianggap

sebagai suatu ucapan terima kasihatau ucapan selamat kepada seorang

pejabat. Tapi apabila pemberian itu berasal dari seorang yang memiliki

kepentingan terhadap keputusan atau kebijakan pejabat tersebut, maka

pemberian hadiah tersebut perlu diwaspadai karena dapat mempengaruhi

integritas, independensi, dan objekvitas dalam pengambilan keputusan

atau kebijakan. Sehingga, dapat menguntungkan diri sendiri atau pihak

lain.

Gratifikasi terjadi karena adanya keinginan dan dorongan untuk

mencari keuntungan dengan melibatkan orang lain. Terjadinya gratifikasi

ini karena baik pemberi maupun penerima, dengan alasan tertentu bisa

menjalin hubungan. Sebenarnya hubungan sesama anggota masyarakat

akan dianggap wajar dan biasa, namun akan berbeda apabila hubungan

tersebut lebih mengistimewakan satu orang daripada yang lain dalam

kaitannya dengan kepentingan umum atau pemerintahan, di mana setiap

orang seharusnya memiliki hak yang sama. (Topo Santoso, 2013: 403).

Page 6: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi

dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak

dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai

permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh

melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan

melibatkan semua potensi (Evi Hartanti, 2012: 2)

Penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1971 dengan Undang-Undang Nomor

3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hingga

dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Diberlakukannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 dimaksudkan untuk menanggulangi dan

memberantas korupsi. Politik kriminal merupakan strategi

penanggulangan korupsi yang melekat pada Undang-undang tersebut.

Sistem penegakkan hukum yang berlaku dapat menempatkan koruptor

tingkat tinggi diatas hukum. Sistem penegakkan hukum yang tidak

kondusif bagi iklim demokrasi ini diperparah dengan adanya lembaga

pengampunan bagi konglomerat korup hanya dengan pertimbangan selera,

bukan dengan pertimbangan hukum (Evi Hartanti, 2012: 4).

Hukum acara pidana yang berlaku guna melakukan penyidikan,

penuntutan, serta pemeriksaan di sidang pengadilan adalah hukum acara

pidana yang berlaku saat itu (hukum positif/ius constitutum) kecuali jika

Undang-Undang menentukan lain.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selaku

hukum positif (ius constitutum/ius operatum) merupakan hukum acara

yang dipergunakan secara teoritis dan praktek pada semua tingkat

peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi. Untuk itu dapat

Page 7: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

dikatakan bahwa ada ketentuan hukum yang bersifat ganda bagi

penyidikan, penuntutan dan peradilan pelaku tindak pidana korupsi di

Indonesia. Di suatu sisi sebagai bagian dari hukum pidana khusus (ius

singluare, ius speciale/bijzonder strafrecht) maka tindak pidana korupsi

mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum

acara pidana pada umumnya. Untuk aspek ini, maka hukum acara pidana

yang diterapkan bersifat lex specialis. Sedangkan di pihak lain, sebagai

ketentuan umum atau lex generalist dalam artian bagaimana melakukan

penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan sidang di pengadilan dalam

perkara korupsi sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka prosesnya identik dengan

perkara pidana pada umumnya yang mengacu pada KUHAP (lilik

Mulyadi, 2000: 28-29)

Penjatuhan putusan pengadilan dalam perkara korupsi harus secara

mutlak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia pada

umumnya dan bagi para pencari keadilan pada khususnya. Putusan vonis

hakim memiliki implikasi kerugian ekonomi dan keuangan negara luar

biasa dan menciptakan multikrisis, permasalahan yang kompleks bahkan

dapat menjadikan ambruknya suatu bangsa dan negara. Peranan hakim

dalam menjatuhkan putusan pengadilan khususnya dalam sistem peradilan

pidana sangat penting terutama dalam memberikan efek jera bagi pelaku

korupsi serta menghindari munculnya putusan-putusan yang kontroversial.

Dalam kenyataannya masih banyak hakim menjatuhkan putusan dalam

perkara korupsi tidak adil menimbulkan putusan yang kontroversial

bahkan menjatuhkan putusan bebas maupun lepas.

Hakim Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan putusan tindak

pidana korupsi harus berdasarkan pada penilaian dari surat dakwaan yang

dihubungkan pada pemeriksaan di sidan Pengadilan. Dalam memutus

perkara sering kali hakim juga melakukan kesalahan karena hakin juga

tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Agar kesalahan hakim tidak

melekat pada pada suatu putusan pada tingkat pertama, maka Undang-

Page 8: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Undang memberikan upaya hukum yang bertujuan untuk mrngoreksi

kesalahan dan kelalaian tersebut.

Terhadap putusan pengadilan mengenai untuk tidak menerima

putusan, maka terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan upaya

hukum. Menurut Pasal 1 ayat (12) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana(KUHAP) yang berbunyi:

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Upaya hukum terdiri dari upaya hukum biasa dan upaya hukum

luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dilakukan

terhadap putusan hakim yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu

upaya hukum banding dan upaya hukum kasasi. Sedangkan upata hukum

luar bisa terdiri dari upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dan

upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana diatur di dalam Bab XVII

dan Bab XVIII UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Salah satu tujuan kasasi , memperbaiki dan meluruskan kesalahan

penerapan hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana

mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan

menurut ketentuan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2012: 539).

Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan

perkarapidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain

selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum

dapatmengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali

terhadap putusan bebas. Namun pada prakteknya, sudah menjadi

yurisprudensi tetap bahwa upaya hukum kasasi tidak lagi hanya untuk

putusan pemidanaan tapi juga untuk putusan bebas (vrijspraak) dan

putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle

rechtsvervolging). Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri

Page 9: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Kehakiman RI Nomor : M.14- PW.07.03 Tahun1983 tanggal 10 Desember

1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Dalam lampiran

tersebut dinyatakan bahwa atas situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan

dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini

akan didasarkan pada yurisprudensi.

Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang beberapa waktu lalu

memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa

Sudirman Bungi, Sip., M.Si Bin Bungi. Pada saat persidangan di

Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang, Jaksa Penuntut Umum menuntut

terdakwa dengan dakwaan: Pertama, Pasal 12 huruf b jo Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah dilakukan proses pemeriksaan persidangan, Pengadilan

Negeri Sidenreng Rappang menjatuhkan putusan Nomor :

99/Pid.B/2010/PN.SIDRAP yang menyatakan bahwa terdakwa Sudirman

Bungi, Sip., M.Si Bin Bungi, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan baik pada dakwaan

kesatu dan dakwaan kedua. Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan

Penuntut Umum.

Penuntut Umum berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Sidenreng

Rappang yang telah menjatuhkan putusan tersebut dalam memeriksa dan

mengadili perkara tersebut telah melakukan kekeliruan karena amar

putusan yang membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut

Umum, bukanlah merupakan putusan bebas murni (vrijspraak) melainkan

Page 10: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

seharusnya merupakan pembebasan yang tidak murni (verkape

vrijspraak). Penuntut Umum beranggapan bahwa Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang tidak mempertimbangkan semua

fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan atau dengan kata

lain Majelis Hakim kurang pertimbangannya dalam memutus perkara

Terdakwa, sehingga Judex Facti telah melakukan kekeliruan.

Penuntut Umum mengajukan kasasi guna menolak putusan

Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang Nomor :

99/Pid.B/2010/PN.SIDRAP ke Mahkamah Agung. Akhirnya setelah

dilakukan pemeriksaan di Mahkamah Agung, dikeluarkan putusan

Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011 yang menyatakan bahwa

permohonan kasasi Oleh Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Sidenreng Rappang tidak dapat diterima.

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis paparkan di atas, maka

penulis tertarik membuat sebuah penulisan skripsi yang berjudul

“PENGABAIAN FAKTA ALAT BUKTI SAKSI-SAKSI

MEMBERATKAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN KASASI

PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SIDENRENG

RAPPANG TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA

KORUPSI GRATIFIKASI (Studi Putusan Mahkamah Agung

Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)”

D. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka

penulis merumuskan masalah untuk dikaji secara lebih rinci dalam

pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian

hukum ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi memberatkan oleh

Hakim sebagai alasan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri

Page 11: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi

gratifikasi sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP?

b. Apakah alasan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa

dan memutus kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng

Rappang terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi

memenuhi ketentuan KUHAP?

E. TUJUAN PENELITIAN

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan yang

hendak dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan

arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui kesesuaian pengabaian fakta alat bukti

saksi-saksi memberatkan oleh Hakim sebagai alasan kasasi

Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang

terhadap putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi

dengan ketentuan KUHAP.

b. Untuk mengetahui apakah alasan hukum Hakim Mahkamah

Agung dalam memeriksa dan memutus kasasi Penuntut Umum

Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas

dalam perkara korupsi gratifikasi memenuhi ketentuan

KUHAP.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan,

memperdalam serta mengembangkan pemahaman penulis di

bidang ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana.

b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah

diperoleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri

khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

Page 12: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

c. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar

Sarjana Hukum dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

F. MANFAAT PENELITIAN

Sebuah penelitian dibuat untuk memberikan manfaat bagi

pengembangan Ilmu pengetahuan dan pihak-pihak yang terkait dengan

penulisan hukum ini. Adapu manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis adalah manfaat yang berhubunagn dengan

pengembangan Ilmu pengetahuan. Manfaat teoritis dari rencana

penelitian hukum ini sebagai berikut:

a. Sebagai salah satu sarana untuk memberikan kontribusi

pemikiran bagi perkembangan ilmu penegetahuan pada

umumnya dan ilmu hukum.

b. Sebagai salah satu sarana untuk menambah referensi dan

literature yang dapat digunakan sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian hukum sejenis pada tahap selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis adalah manfaat yang berhubungan dengan

pemecahan masalah atau penerapan teori dalam prakteknya.

Adapun manfaat praktis dari penulisan hukum ini adalah sebgai

berikut:

a. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya penalaran,

pembentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Memberikan tambahan pengetahuan dan masukan bagi pihak-

pihak yang terkait dengan masalah dalam penelitian ini dan

berguna bagi pihak-pihak yang berminat pada masalah yang

sama.

Page 13: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat Bukti

1) Pengertian Pembuktian

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “bukti”

diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu

peristiwa. Dalam terminologi Hukum Pidana, bukti, bewijs

(Bahasa Belanda), atau evidence (Bahasa Inggris) diartikan

sebagai hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan

oleh Penuntut Umum, atau Terdakwa, untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan (Andi Hamzah, 2009: 27).

Dengan merujuk pada arti kata bukti, maka arti penting

pembuktian adalah mencari kebenaran atas suatu peristiwa.

Dalam konteks hukum, arti penting pembuktian adalah

mencari kebenaran suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum

adalah peristiwa yang mempunyai akibat hukum (Eddy O.S.

Hiariej, 2012: 7).

Pembuktian dalam hukum acara pidana dapat diartikan

sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-keterangan

melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh

suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang

didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan

pada diri terdakwa (Rusli Muhammad, 2007: 185).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada Terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan

yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-

Undang yang boleh dipergunakan Hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan. Peraidangan pengadilan tidak

Page 14: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan

terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 273).

2) Sistem atau Teori Pembuktian

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori

pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim di dalam

melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa di sidang

pengadilan. Berdasarkan praktik peradilan pidana, dalam

perkembangannya dikenal ada empat macam teori pembuktia.

Masing-masing teori ini memiliki karakteristik yang berbeda-

beda dan menjadi ciri dari masing-masing teori tersebut

(Rusli Muhammad, 2007: 186). Teori-teori tersebut yaitu :

a) Conviction-in Time

Conviction-in Time dapat diartikan sebagai

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Teori

pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada

hakim untuk menjatuhkan suatu putusan (Rusli

Muhammad, 2007: 186). Sistem pembuktian

Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang

Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

“keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang

menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari

mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,

tidak menjadi masalah dalam sintem ini. Keyakinan

boleh diambil dan disimpulkan Hakim dari alat-alat

bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa

juga hasil pemeriksaan alat bukti tersebut diabaikan

Hakim dan langsung menarik keyakinan dari

keterangan atau pengakuan Terdakwa.

Sistem pembuktian Conviction-in Time, sudah

barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja

menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-

Page 15: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung

oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa

membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang

dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup

terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama

hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Keyakinan

hakim yang dominan atau yang paling menentukan

salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat

bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan

terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan

sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim

semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan

wujud kebenaran sejati sistem pembuktian ini (M.

Yahya Harahap, 2012: 277).

b) Conviction-Raisinee

Sistem pembuktian Conviction-Raisinee adalah

sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakina

hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan-

alasan (reasoning) yang rasional Sistem ini tidak

menyebutkan adanya alat-alat bukti yang dapat

digunakan dalam menentukan kesalahan terdakwa

selain dari keyakinan hakim semata-mata (Rusli

Muhammad, 2007: 187-188).

Dalam sistem pembuktian inipun dapat

dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan

penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.

Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor

keyakinan hakim “dibatasi”.

Keyakinan hakim dalam sistem Conviction-

Raisinee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan,

dan Conviction-Raisinee itu harus “reasionable”, yakni

Page 16: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan

hakim harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan

benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata

dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang

masuk akal (M. Yahya Harahap, 2012: 277-278).

c) Positief Wettelijk Bewijstheorie (Pembuktian menurut

Undang-Undang Secara Positif)

Teori ini adalah teori pembuktian berdasarkan

alat bukti menurut Undang-undang secara positif.

Pembuktian menurut teori ini dilakukan dengan

menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah

ditentukan dalam Undang-undang. Untuk menentukan

ada tidaknya kesalahan seseorang, hakim harus

mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut di

dalam Undang-undang. Jika alat-alat bukti tersebut

telah terpenuhi, hakim sudah cukup berasalan untuk

menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan

terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti (Rusli

Muhammad, 2007: 188).

Pembuktian menurut Undang-undang secara

positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang

dengan sistem pembuktian keyakinan atau conviction-

in time. Pembuktian menurut Undang-undang secara

positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam

membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim

dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah

atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada

prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang

ditentukan Undang-undang.

Untuk membuktikan salah atau tidaknya

terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat

Page 17: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan

ketentuan pembuktian menurut Undang-undang, sudah

cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa

mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin

atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi

masalah. Pokonya, apabila sudah terpenuhi cara-cara

pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut

Undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan

keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.

Dalam sistem ini, hakim seolah-olah”robot

pelaksana” Undang-undang yang tak memiliki hati

nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam

menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun

demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai

kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib

mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya

terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan

alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-undang.

Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus

melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor

keyakinan, tetapi semata mata berdiri tegak pada nilai

pembuktian objektif tanpa mencampur aduk hasil

pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan

unsur subjektifkeyakinannya. Sekali majelis hakim

menentukan hasil pembuktian yang objektif sesuai

dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut

Undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji

hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati

nuraninya.apabila dibandingkan dengan sistem

pembuktian keyakinan atau conviction-in time, maka

sistem pembuktian menurut Undang-undang secara

Page 18: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

positif lebih sesuai dibandingkan sengan

sistempembuktian menurut keyakinan.

Sistem pembuktian menurut Undang-undang

secara positif, lebih dekat kepada prinsip penghukuman

berdasar hukum. Artinyapenjatuhan hukuman terhadap

seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah

kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan Undang-

undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru

dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan

kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-

alat bukti yang sah menurut Undang-undang (M. Yahya

Harahap, 2012: 278).

d) Negatief Wettelijk Stelsel (Pembuktian Menurut

Undang-Undang Secara Negatif)

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi

sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian

harus didasarkan kepada Undang-undang (KUHAP),

yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184

KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang

diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah,

2012: 254).

Sistem pembuktian menurut Undang-undang

secara negatif merupakan teori antara sistem

pembuktian menurut Undang-undang secara positif

dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

Page 19: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

conviction-in time. Sistem pembuktian menurut

Undang-undang secara negatif merupakan

keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak

belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut,

sistem pembuktian menurut Undang-undang secara

negatif menggabungkan kedalam dirinya secara terpadu

sisitem pembuktian menurut keyakinana hakim dengan

sistem pembuktian menurut Undang-undang secara

positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari

yang bertolak belakang itu, terwujudlah sistem

pembuktian menurut undang_undang secara negatif.

Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang

terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang

didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang

sah menurut Undang-undang.

Berdasarkan rumusan diatas, untuk menyatakan

salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup

berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya

semata-mata berdasarkan atas keterbuktian menurut

ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan Undang-undang. Seorang terdakwa

baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang

didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara

dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-

undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu

dibarengi dengan keyakinan hakim. Bertitik tolak dari

uraian diatas, untuk menentukan salah atau tidaknya

seorang terdakwa menurut sistem pembuktian Undang-

undang secara negatif, terdapat dua komponen (M.

Yahya Harahap, 2012: 277-278) :

Page 20: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-

undang.

ii. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas

cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut

Undang-undang.

Inti ajaran teori pembuktian berdasarkan

Undang-undang secara negatif adalah bahwa hakim

menentukan terbukti tidaknya perbuatan atau ada

tidaknya kesalahan terdakwa harus berdasarkan alat-

alat bukti yang tercantum di dalam Undang-undang dan

terhadap alat-alat bukti tersebut hakim mempunyai

keyakinan terhadapnya. Jika alat bukti terpenuhi, tetapi

hakim tidak memperoleh keyakinan terhadapnya,

hakim tidak dapat menjatuhkan putusan yang sifatnya

pemidanaan. Sebaliknya, sekalipun hakim memiliki

keyakinan bahwa terdakwa adalah pelaku dan

mempunyai kesalahan, tetapi jika tidak dilengkapi alat-

alat bukti yang sah, ia pun tidak dapat menjatuhkan

putusan pidana, tetapi putusan bebas (Rusli

Muhammad, 2007: 190)

Andi Hamzah dengan mengutip Wirjono

Prodjodikoro mengemukakan bahwa sistem

pembuktian berdasarkan Undang-undang secara negatif

(negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan

berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah

selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang

kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman

pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang

sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.

Kedua ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat

Page 21: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada

patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim

dalam melakukan peradilan (Andi Hamzah, 2012: 257).

3) Asas-Asas Pembuktian

Asas-asas dalam hukum pembuktian meliputi:

a) Menjadi saksi adalah kewajiban

Asas ini terdapat dalam Pasal 159 ayat (2)

KUHAP yang berbunyi:

Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

b) Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan

(notoire feiten)

Asas ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2)

KUHAP dimana peristiwa itu memang sudah

semestinya demikian dan bukan merupakan alat bukti

yang berdiri sendiri. Notoire feiten adalah suatu

kesimpulan umum yang didasarkan pengalaman umum

bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa

menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu

demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan

dengan alat bukti lain yang sah menurut undang-

undang dan hakim tidak boleh yakin akan kesalahan

terdakwa.

c) Unus testis nullus testis

Unus testis nullus testis dapat disebut juga

dengan satu saksi bukan saksi. Asas ini tercantum

dalam Pasal 185 ayat (2) yang mengatakan bahwa

“keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

Page 22: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap

perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya

Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3)

KUHAP yang menyatakan bahwa “Keterangan

terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri”. Keterangan terdakwa tidak boleh dipakai

untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainnya.

e) Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian

Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban

pembuktian ini mempunyai maksud bahwa Penuntut

Umum dalam persidangan tetap berkewajiban

membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti

yang lain. Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (4)

KUHAP yang berbunyi :

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

4) Jenis Alat Bukti Menurut KUHAP

Alat bukti ysng sah menurut Undang-undang sesuai

dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1), adalah :

a) Keterangan Saksi

b) Keterangan Ahli

c) Surat

d) Petunjuk

e) Keteramgan terdakwa

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telaf menentukan secara

limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Diluar

alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut

Page 23: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

umum, terdakwa atau penasihat, terikut dan terbatas hanya

diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja.

Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang

dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184

ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2012: 285).

(1) Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana.

Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu

berdasarkan pemeriksaan saksi. Menurut Pasal 1 butir 27

KUHAP yang dimaksud keterangan saksi adalah salah

satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan

dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar, lihat, dan alami sendiri dengan menyebutkan

alasan dari pengetahunannya itu.

Mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, dalam

Pasal 1 butir 26 KUHAP disebutkan, yaitu orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri

(Rusli Muhammad, 2007: 192-193).

Agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah

menurut hukum sebagai alat bukti yang memiliki nilai

kekuatan pembuktian, maka harus dipenuhi syarat

sebagai berikut :

(a) Harus mengucapkan sumpah atau janji.

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3),

sebelum memberikan keterangan: “wajib

mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah

atau janji dilakukan menurut cara agamanya

masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi

Page 24: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

bahwa saksi akan memberikan keterangan yang

sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang

sebenarnya.

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), pada

prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi

memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat

(4) memberikan kemungkinan untuk mengucapkan

sumpah atau janji setelah saksi memberi

keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan

sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan

“sebelum” saksi memberikan keterangan tapi

dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan,

sumpah atau janji dapat diucapkan”sesudah” saksi

memberikan keterangan.

Mengenai saksi yang menolak mengucapkan

sumpah atau janji, sudah diterangkan yakni

terhadap saksi yang meolak untuk mengucapkan

sumpah atau janji tanpa alasan yang sah dapat

dikenakan sandera, penyanderaan dilakukan

berdasarkan “penetapan hakim ketua sidang,

penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama

empat belas hari (Pasal 161) (M. Yahya Harahap,

2012: 286-287).

(b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti.

Tidak semua keterangan saksi yang

mempunyai nilai sebagai ala bukti. Keterangan

saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang

sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka

27 KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi

dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta

menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Page 25: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Dari penegasan bunyi Pasal 1 angka 27

dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185

ayat (1) dapat ditarik kesimpulan (M. Yahya

Harahap, 2012: 287) :

i. Setiap keterangan saksi di luar apa yang

didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana

yang terjadi atau di luar yang dilihat atau

dialaminya dalam peristiwa pidana yang

terjadi, keterangan yang diberikan di luar

pendengaran, penglihatan, atau pengalaman

sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang

terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai

sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu

tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian.

ii. Testimonium de auditu atau keterangan saksi

yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran

dari orang lain, “tidak mempunyai nilai

sebagai alat bukti”. Keterangan saksi di

sidang pengadilan berupa keterangan ulangan

dari apa yang didengarnya dari orang lain,

tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.

iii. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari

hasil pemikiran, bukan merupakan

keterangan saksi. Penegasan ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh

karena itu, setiap keterangan saksi yang

bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi,

harus dikesampingkan dari pembuktian

dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Keterangan yang bersifat dan berwarna

Page 26: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak

dapat dinilai sebagai alat bukti.

(c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang

pengadilan.

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai

sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang

“dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai

dengan penegasan Pasal 185 ayat (1). Kalau begitu,

keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa

yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau

dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa

pidana, baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila

keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan yang dinyatakan diluar sidang

pengadilan (outside the court) bukan alat bukti,

tidak dapat digunakan untuk membuktikan

kesalahan terdakwa. Sekalipun misalnya hakim,

penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum

ada mendengar keterangan seorang yang

berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang

diperiksa, dan keterangan itu mereka dengar di

halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh

seorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya.

Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai

sebagai alat bukti karena itu tidak dinyatakan di

sidnag pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012: 287-

288).

(d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak

cukup.

Keterangan saksi dapat dianggap cukup

membuktikan keslahan seoorang terdakwa harus

Page 27: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

dipenuhi paling sedikit atay sekurang-kurangnya

dengan dua alat bukti. Kalau begitu keterangan

seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat

bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan

alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan

Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja

belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang

cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa,

atau unus testis nullus testis.

Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan

penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi

saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang

lain atau alat bukti yang lain, “kesaksian tunggal”

yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat

bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya. Walaupun sedandainya

keterangansaksi tunggal itu sedemikian rupa

jelasnya, tetapi terdakwa tetap “mungkir” serta

kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat

bukti lain, kesaksian ini harus dinyatakan tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan

“unus testis nullus testis”.

Lain halnya jika terdakwa memberikan

keterangan yang mengakui kesalahan yang

didakwakan kepadanya. Dalam hal seperti ini

seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan

terdakwa, karena disamping keterangan saksi

tunggal itu, telah tercukupi dengan alat bukti

keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian

tealah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian

Page 28: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

dan “the degree of evidence”, yakni keterangan

saksi ditambah dengan alat bukti keterangan

terdakwa. Memperhatikan uraian di atas dapat

ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang

dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) adalah :

((1)) Untuk dapat membuktikan kesalahan

terdakwa paling sedikit harus didukung

oleh “dua orang saksi”.

((2)) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari

seorang saja maka kesaksian tunggal itu

harus :dicukupi” atau “ditambah” dengan

salah satu alat bukti yang lain (M. Yahya

Harahap, 2012: 288).

(e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.

Sering terdapat kekeliruan pendapat

sementara orang yang beranggapan, dengan

adanaya beberapa saksi dianggap keterangan saksi

yang banyak itu telah cukup membuktikan

kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian

keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan

didengar keterangannya di sidang pengadilan

secara “kuantitatif” tealah melampaui batas

minimum pembuktian, belum tentu keterangan

mereka seara “kuantitatif” memadai sebagai alat

bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.

Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang

banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka

saling “berdiri sendiri” tanpa adanya saling

hubungan antara yang satu dengan yang lain yang

dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya

kejadian atau keadaan tertentu. Berapa pun

Page 29: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar

keterangannya di sidang pengadilan, hanya

pemborosan waktu jika masing-masing keterangan

mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan antara

yang satu dengan yang lain. Hal yang seperti inilah

yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang

menegaskan keteranan beberapa saksi yang berdiri

sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat

digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan

syarat apabila keterangan saksi itu “ada

hubungannya” satu dengan yang lain sedemikian

rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu

kejadian atau keadaan tertentu (M. Yahya Harahap,

2012: 289-290).

2) Keterangan Ahli

Definisi mengenai keterangan ahli terdapat pada

Pasal 1 butir 28 KUHAP, yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus hal yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Berpijak pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP dapat

dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran

dan ahli-ahli lainnya. Syarat sahnya keterangan ahli,

yaitu keterangan diberikan kepada ahli, memiliki

keahlian khusus dalam bidang tertentu, menurut

pengetahuan dalam bidang keahliannya dan diberikan di

bawah sumpah.

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat

dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan cara

meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan oleh

Page 30: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

aparat penyidik sebagaimana dalam Pasal 133 KUHAP.

Menurut pasal ini, keterangan ahli diberikan secara

tertulis melalui surat. Atas permintaan ini ahli

menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk

laporan. Cara kedua, seperti yang ditentukan Pasal 179

dan Pasal 186 KUHAP, yaitu keterangan ahli diberikan

secara lisan dan langsung di pengadilan.

Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat

dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan

pembuktian keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan

yang melekat pada alat bukti keterangan saksi, yaitu

mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrijn

bewijskracht. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat

kepadanya. Namun, penilaian hakim ini harus benar-

benar beranggung jawab atas landasan moril demi

terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum

serta kepastian hukum (Rusli Muhammad, 2007: 194-

195).

3) Alat Bukti Surat

Menurut Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai

sebagai alat bukti yang sah adalah yang dibuat atas

sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Alat

bukti surat seperti itu, antara lain:

(a) Berita acara atau surat resmi yang dibuat pejabat

umum yang berwenang tentang kejadian atau

keadaan yang dialamim didengar, atau dilihat

pejabat itu sendiri, misalnya, akta notaris.

(b) Surat yang berbentuk menurut Undang-Undang

atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal

yang termasuk tata laksana yang menjadi tanggung

Page 31: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian

suatu hal atau keadaan.

(c) Surat keterangan dari seorang ahli.

(d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada

hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang

lain, misalnya selebaran.

Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat adalah

bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk

mengikat atau menentukan penilaian sepenuhnya pada

keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai

bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari

kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim

ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli

Muhammad, 2007: 196).

4) Alat Bukti Petunjuk

Pada prinsipnya, alat bukti petunjuk hanya

merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga

untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya.

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk diatur pada

Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana. Pasal tersebut memberikan

pengertian alat bukti petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian,

atau keadaan yang mempunyai persesuaian antara yang

satu dan yang lain atau dengan tindak pidana itu sendiri

yang menunjukkan adanya suatu tindak pidana dan

seorang pelakunya.

Petunjuk sebagai alat bukti yang sah pada urutan

keempat dari jenis alat bukti dengan nilai kekuatan

pembuktian yang bebas. Alat bukti petunjuk baru

diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain

dianggap hakim belum cukup membuktikan kesalahan

Page 32: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti petunjuk baru

dianggap mendesak untuk dipergunakan apabila upaya

pembuktian dengan alat bukti lain belum mencapai batas

minimum pembuktian (Pasal 183 KUHAP). Oleh karena

itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi

pembuktian dengan alat bukti yang lain sebelum ia

berpaling pada alat bukti petunjuk (Rusli Muhammad,

2007: 197).

Pasal 188 ayat (2) KUHAP membatasi kewenangan

hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim

tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala

sumber. Sumber yang dapat dipergunakan menkonstruksi

alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang

secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2)

KUHAP. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk

hanya dapat diperoleh dari:

(a) Keterangan Saksi

(b) Surat

(c) Keterangan Terdakwa.

Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat

diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan,

kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan

5) Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan

terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada

urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan

untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan

terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan

keterangan saksi (M. Yahya Harahap, 2012: 318).

Pada Pasal 189 ayat (1) inilah kita jumpai rumusan

pengertian keterangan terdakwa sebagai alat bukti, yang

Page 33: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

berbunyi keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa

nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (M.

Yahya Harahap, 2012: 319).

Sudah barang tentu tidak semua keterangan

terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk

menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat

dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-

Undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan

berpijak.

Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.

Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat

bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang

pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan yang

diutarakan sendiri oleh terdakwa maupun pernyataan yang

berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pernyataan

yang diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim

anggota, penuntut umum atau penasihat hukum. Adapun

yang harus dinilai, bukan hanya keterangan yang berisi

pernyataan pengakuan belaka, tapi termasuk penjelasan

pengingkatan yang dikemukakannya.

Tentang perbuatan yang ia lakukan yang ia ketahui

sendiri. Sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa

dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan

pernyataan atau penjelasan. Tentang perbuatan yang

dilakukan terdakwa, tentang apa yang diketahui sendiri

oleh terdakwa, apa yang dialami sendiri oleh terdakwa dan

keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap

dirinya sendiri (M. Yahya Harahap, 2012: 320-321).

Rusli Muhammad dengan mengutip P.A.F

Lamintang mengemukakan bahwa pasal 189 KUHAP

Page 34: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

tidak menunjukkan apa sesungguhnya keterangan

terdakwa tersebut, apakah berupa pengakuan atau

penyangkalan terhadap tuduhan yang disampaikan

kepadanya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui

wujud perkataan keterangan terdakwa dapat menggunakan

pengertian dari istilah verklaring van verdecht, yakni

setiap keterangan yang diberikan oleh terdakwa, baik

keterangan tersebut berisi pengakuan sepenuhnya dari

kesalahan yang telah dilakukan dilakukan terdakwa

maupun hanya berisi penyangkalan atau pengakuan

tentang beberapa perbuatan atau beberapa keadaan yang

tertentu saja (Rusli Muhammad, 2007: 198).

B. Tinjauan umum tentang Penuntutan

1) Pengertian Penuntutan

Pengertian penuntutan ada pada Pasal 1 ayat (7)

KUHAP yaitu:

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan

Tindakan penuntutan meliputi unsur-unsur seabgai

berikut :

a) Tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang menurut

cara yang diatur dalam KUHAP

b) Supaya perkara pidana diperiksa oleh hakim sidang

pengadilan

c) Supaya perkara di putus oleh hakim di sidang pengadilan.

Page 35: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Tugas penuntutan dimulai sejak penuntut umum

menerima pelimpahan perkara sampai perkara tersebut

memperoleh putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Pasal 137 KUHAP menentukan bahwa penuntut

umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun

yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah

hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang

berwenang mengadili (Andi Hamzah, 2009:162). Pasal 138

ayat (1) KUHAP menyebutkan penuntut umum setelah

menerima hasil penyidikan dan penyidik segera mempelajari

dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib

memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan

tersebut sudah lengkap atau belum. Selanjutnya pada ayat (2),

dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut

umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai

petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi

dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan

berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas

perkara itu kepada penuntut umum.

Tentang prapenuntutan, yang dimaksudkan menurut

KUHAP, dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum

untuk mempersiapkan penuntutan terhadap hasil penyidikan

telah sesuai memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan

dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik. Bermula

dari pengertian tersebut Andi Hamzah berpendapat bahwa

Prapenuntutan ialah tindakan penutut umum untuk memberi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh

penyidik (Andi Hamzah, 2009:158).

2) Jaksa

a) Pengertian Jaksa

Page 36: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Pasal 1 butir 6a KUHAP menjelaskan pengertian

Jaksa yaitu : “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang

oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut

umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia tepatnya pada Pasal

1 butir 1 ditentukan bahwa :

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

b) Tugas dan Wewenang Jaksa

Tugas dan wewenang Jaksa diatur dalam Pasal 30

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 30 Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia, tugas dan wewenang jaksa antara

lain:

(1) Melakukan penuntutan

(2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap

(3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana beryarat, putusan pidana pengawasan, dan

putusan lepas bersyarat.

(4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu berdasarkan Undang-Undang

(5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu

dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum

Page 37: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.

3) Penuntut Umum

a) Pengertian Penuntut Umum

Pasal 1 butir 6b Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) pengertian jaksa dan penuntut

umum sebagai berikut: “Penuntut umum adalah jaksa yang

diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesiamenentukan bahwa

“Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim”.

Penuntutan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa

yang mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai

penuntut umum.

b) Wewenang Penuntut Umum

Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Penuntut

umum mempunyai wewenang sebagai berikut:

1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik

dari penyidik atau penyidik pembantu.

2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan

pada penyidik dengan memperhatikan ketentuan pasal

110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberikan

Page 38: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan

dari penyidik.

3) Memberikan perpanjagnan penahanan, melakukan

penahanan atau penahanan lanjutan dan atau

mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik.

4) Membuat surat dakwaan.

5) Melimpahkan perkara ke pengadilan.

6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa

tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan

yang di sertai surat peanggilan baik kepada terdakwa

maupun kepada saksi, untuk datang sidang yang telah

di tentukan.

7) Melakukan penuntutan.

8) Menutup perkara demi kepentingan hokum.

9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut

undang-undang.

10) Melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan Pasal 137 KUHAP, ditegaskan bahwa

“Penuntut umum berwenang menuntut perkara yang terjadi

di daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara pidana

ke Pengadilan Negeri yang berwenang”.

Tugas Penuntut Umum dalam melakukan

Penuntutan dimulai sejak campur tangannya pada tingkat

penyidikan, mempersiapkan pelimpahan perkara ke

pengadilan, dan di sidang pengadilan membacakan,

membuktikan, dan mempertahankan dakwaannya,

mengajukan dan mempertahankan tuntutan hukuman,

menggunakan upaya hukum, sampai putusan hakim

mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah itu barulah

Page 39: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

menjalankan tugasnya sebagai jaksa yaitu melaksanakan

putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Adapun dalam tahap Pra Penuntutan, dapat

diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa

Penuntut Umum sebagai berikut antara lain:

1) Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa

menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik

PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai

penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak

pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).

2) Berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik

dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik

wajib segera menyerahkan berkas perkara pada

penuntut umum. Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut

umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara

tersebut yaitu:

a) Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang

disangkakan kepada tersangka telah memenuhi

unsur-unsur dan telah memenuhi syarat

pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi

perkaranya.

b) Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal

telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat

berkas perkara, yang antara lain perihal identitas

tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta

kelengkapan administrasi semua tindakan yang

dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.

3) Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b

KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110

ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan

Page 40: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

(2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat

bahwa hasil penyidikan kurang lengkap, penuntut

umum segera mengembalikan berkas perkara itu

kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan

penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut

umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3)

KUHAP.

4) Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana

petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139

KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap

apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi

persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke

pengadilan.

5) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal

14 huruf i KUHAP. Menurut penjelasan pasal tersebut

yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara

lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan

melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi

antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.

6) Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut

umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan

dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum

secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera

melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk

diadili.

7) Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP,

penuntut umum menerima penyerahan tanggung

jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang

bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab

Page 41: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di

dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan

terhadap tersangka baik identitas maupun tindak

pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat

melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap

tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan

dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta

dapat mencabutnya kembali.

4) Dakwaan

Ketika penuntutut umum telah menentukan bahwa dari

hasi pemeriksaan penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia

dalam waktu secepatnya akan membuat surat dakwaan (Rusli

Muhammad, 2007: 83). Dakwaan merupakan dasar penting

hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat

dalam surat itu , hakim akan memeriksa perkara itu.

Pemeriksaan didasarkan pada surat dakwaan dan menurut

Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui

namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa

peristiwa yang terletak dalam bahasan itu (Andi Hamzah,

2009: 167).

Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek

penegakan hukum adalah :

1) Surat akta.

2) Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa.

3) Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil

pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik

pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada

terdakwa, dan

Page 42: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

4) Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi

hakim dalam sidang pengadilan.

Atau dapat dirumuskan sebagai berikut, surat dakwaan

adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana

yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan

ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan

dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka

sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000 : 386-387)

Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan syarat surat

dakwaan sebagai berikut:

Penuntut Umum membuat surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:

1. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan tersangka.

2. Uraian secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan temapat tindak pidana itu dilakukan.

Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) tersebut, maka isi surat

dakwaan harus memenuhi dua sarat, yaitu syarat formil dan

materiil.

Yang dimaksud dengan syarat formil adalah hal-hal

yang berkaitan dengan identitas terdakwa, meliputi nama

lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan. Tidak

terpenuhinya syarat ini berakibat surat dakwaan itu cacat

hukum (abscur libelle). Adapun yang dimaksud dengan syarat

materiil adalah hal-hal yang berkaitan dengan uraian-uraian

yang kengkap dan cermat tentang perbuatan pidana serta

uraian mengenai tempat dan waktu dilakukannya perbuatan

pidana (Rusli Muhammad, 2007 : 83)

Page 43: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Surat dakwaan dapat disusun dalam berbagai bentuk

tergantung pada perkara yang terjadi. Oleh karena itu, bentuk

dakwaan dapat dibagi menjadi empat macam yaitu (Rusli

Muhammad, 2007 : 84-85) :

a) Dakwaan yang disusun secara tunggal

Dakwaan ini dibuat untuk menuntut satu orang atau

lebih yang dituduh melakukan satu perbuatan pidana saja,

misalnya terdakwa hanya melakukan perbuatan pidana

pencurian (biasa) Pasal 362 KUHP.

b) Dakwaan secara kumiltif

Dakwaan ini dibuat untuk menuntut seorang terdakwa atau

lebih yang melakukan lebih dari satu perbuatan pidana,

misalnya, disamping melakukan perbuatan pencurian, dia

juga membawa senjata api tanpa izin dari yang berwajib,

artinya terdakwa (terdakwa-terdakwa) didakwa melakukan

dua macam perbuatan pidana sekaligus, yaitu pencurian

dan membawa senjata api tanpa izin yang berwajib.

Biasanya dakwaan ini ditandai dengan nomor urut dari

dakwaan, misalnya, dakwaan ke-1, ke-2, dan seterusnya.

c) Dakwaan secara alternatif

Rusli muhammad dengan mengutip Bambang

Poernomo, dakwaan ini dibuat untuk menuntut perkara

pidana yang terdapat keragu-raguan mengenai jenis

perbuatan pidana mana yang paling tepat sehingga

penuntutan diserahkan kepada pengadilan untuk memilih

secara tepat berdasarkan hasil pembuktian sidang agar

mendapat putusan satu jenis perbuatan pidana saja dari

berberapa jenis yang dituduhkan.

d) Dakwaan secara Subsider

Dakwaan ini disusun untuk menuntut perkara

pidana lebih dari satu dakwaan yang disusun dengan

Page 44: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang berat

ditempatkan pada deretan pertama, yang disebut dengan

dakwaan primer, kemudian disusul dengan dakwaan

dengan bobot pidana yang lebih ringan sebagai dakwaan

subsider.

Menurut Leden Marpaun bahwa surat dakwaan

mempunyai suatu peranan yang sangat penting bagi proses

beracara dalam hukum acara pidana, dan pernanan dari surat

dakwaan tersebut adalah sebagai berikut (Leden Marpaung,

2011: 21-22):

a. Dasar pemeriksaan sidang pengadilan negeri,

b. Dasar tuntutan pidana (reqquisitoir),

c. Dasar pembelaan terdakwa dan atau pembelanya,

d. Dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan,dan

e. Dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya (banding,kasasi,

peninjauan kembali, bahkan kasasi demi kepentingan

hukum).

C. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum

1) Pengertian upaya hukum

Pengertian upaya hukum menurut Pasal 1 butir (12)

KUHAP, sebagai berikut:

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penutut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk menagjukan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Proses di muka pengadilan memiliki tujuan untuk

memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum

tetap. Setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum

tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena

Page 45: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekhilafan, bahkan

tidak mustahil bersifat memihak. Putusan hakim dapat

diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat

kekhilafan atau kekeliruan. Agar kekeliruan dan kekhilafan

itu itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan

keadilan, terhadap putusan hakim itu dimungkinkan untuk

diperiksa ulang. Maka hukum menyediakan sarana atau

upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah

atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan dan

sarana atau upaya tersebut dinamakan sebagai upaya hukum.

Untuk dapat mewujudkan kebenaran yuridis dan keadilan itu

adalah dengan melaksanakan upaya hukum. Upaya hukum

merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, untuk dapat

mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan

melaksanakan upaya hukum.

2) Jenis upaya hukum

Menurut ketentuan dalam KUHAP uapaya hukum

dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa yang diatur

dalam Bab XVII KUHAP dan upaya hukum luarbiasa yang

diatur dalam Bab XVIII KUHAP. Upaya-upaya hukum

tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Upaya Hukum Biasa (gewone rechstmiddelen)

(a) Upaya hukum perlawanan (verzet)

Upaya hukum perlawanan juga sering

disebut dengan istilah verzet. Perlawanan

merupakan upaya hukum berdasarkan

undan-undang dalam hal-hal yang telah

ditentukan yang umunya bersifat insidental

yang tidak dimaksudkan terhadap putusan

akhir dari pengadilan negeri. Perlawanan

dapat diajukan ke pengadilan tinggi dan

Page 46: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

tidak diwajibkan dengan akta seperti akta

banding (Leden Marpaung, 2011:155).

(b) Upaya Hukum Banding

Rusli Muhammad dengan mengutip

Andi Hamzah menyebutkan bahwa banding

adalah hak terdakwa atau penuntut umum

untuk menolak putusan pengadilan, dengan

tujuan untuk meminta pemeriksaan ulang

oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk

memnguji penerapan hukum dari putusan

pengadilan tingkat pertama (Rusli

Muhammad, 2007: 248).

Dapat pula dikatakan bahwa banding

adalah sarana bagi terpidana (terdakwa) atau

jaksa penuntut umum untuk minta pada

pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan

pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan

negeri karena dianggap putusan tersebut

jauh dari keadilan atau karena adanya

kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan

putusan. Adapun tujuan dilakukannya upaya

hukum banding adalah untuk menguji

kembali pemeriksaan yang telah dilakukan

oleh pengadilan negeri sehingga putusan

yang nyata-nyata telah keliru dilakukan

dapat diperbaiki dan terhadap putusan yang

telah mencerminkan keadilan dan kebenaran

tetap dipertahankan (Rusli Muhammad,

2007: 248).

(c) Upaya Hukum Kasasi

i) Pengertian Kasasi

Page 47: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Kasasi adalah berasal dari bahasa

Perancis, yaitu cassation yang berarti

memecah atau membatalkan. Kasasi

menjadi salah satu upaya hukum yang

diberikan kepada terdakwa dan jaksa

penuntut umum bila berkeberatan

terhadap putusan pengadilan yng

dijatuhkan kepadanya. Dapat dikatakan

bahwa kasasi adalah hak yang diberikan

kepada terdakwa dan penuntut umum

untuk meminta Mahkamah Agung agar

dilakukan pemeriksaan ulang terhadap

putusan perkara pidana yang diberikan

pada pengadilan tingkat dibawanya.

Kasasi merupakan hak, oleh

karena itu tergantung kepada mereka

untuk mempergunakan hak tersebut.

Sekiranya terdakwa atau penuntut umum

menerima putusan yang dijatuhkan,

mereka dapat mengesampingkan hak itu,

akan tetapi, apabila mereka merasa

keberatan akan putusan yang dijatuhkan

pengadilan tinggi, mereka dapat

mempergunakan hak untuk mengajukan

pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah

Agung. Sebagai imbangan dari hak ini

maka timbul timbul kewajiban bagi

pejabat bagi pejabat pengadilan untuk

menerima permintaan kasasi yang

dimohonkan itu (Rusli Muhammad, 2007:

266-267).

Page 48: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Berdasarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009

tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung, maka arti “kasasi” adalah

pembatalan putusan atau penetapan

pengadilan tingkat banding atau tingkat

terakhir karena tidak sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Tidak sesuai dengan peraturan

yang berlaku dapat terjadi berupa:

a. Melampaui batas kewenangannya

yang ditentukan perundang-

undangan.

b. Penerapan yang tidak tepat atau

keliru.

c. Melanggar hukum yang berlaku.

d. Tidak memenuhi syarat yang

ditentukan perundang-undangan.

Upaya hukum kasasi adalah hak

terdakwa atau penuntut umum untuk tidak

menerima putusan pengadilan pada

tingkat akhir, dengan cara mengajukan

permohonan kepada Mahkamah Agung

guna membatalkan putusan pengadilan

tersebut, dengan alasan (secara

alternatif/kumulatif) bahwa dalam putusan

yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan

hukum tidak diterapkan atau diterapkan

tidak sebagaimana mestinya, cara

mengadili tidak dilaksanakan menurut

Page 49: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

ketentuan undang-undang, pengadilam

telah melampaui batas wewenangnya

(Harun M. Husein, 1992: 47-48).

Ketentuan Pasal 244 KUHAP

menyatakan bahwa :

Terhadap putusan perkara pidana yang dapat diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

ii) Alasan pengajuan Kasasi

Yang dimaksud alasan kasasi

adalah dasar atau landasan daripada

keberatan-keberatan pemohon kasasi

terhadap putusan pengadilan yang

dimintakan kasasinya ke Mahkamah

Agung. Alasan-alasan kasasi tersebut oleh

pemohon kasasi diuraikan dalam memori

kasasi (Harun M. Husein, 1992: 74).

Berdasarkan Pasal 253 ayat (1)

KUHAP, maka alasan kasasi yang

diperkenankan adalah (Rusli Muhammad,

2007: 267) :

a. Apakah benar suatu peraturan

hukum tidak diterapkan atau

diterapkan tidak sebagaimana

mestinya.

Page 50: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

b. Apakah benar cara mengadili tidak

dilakukan menurut ketentuan

Undang-undang.

c. Apakah benar pengadilan telah

melampaui batas wewenangnya.

Ketiga alasan tersebut dibenarkan

oleh Undang-undang. Diluar ketiga hal

tadi, Undang-undang tidak membenarkan

dan oleh karena itu, pihak pemohon kasasi

ketika menyusun memori kasasinya

hendaknya sedapat mungkin

memperlihatkan ketiga alasan tersebut.

Penentuan alasan-alasan kasasi yang

limitatif ini dengan sendirinya sekaligus

pula membatasi Mahkamah Agung

memasuki pemeriksaan perkara dalam

tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi

kekeliruan pengadilan atas ketiga hal

tersebut. Dengan demikian, kewenangan

Mahkamah Agung memeriksa perkara

dalam tingkat kasasi tidak boleh keluar

atau melebihi kekeliruan pengadilan atas

ketiga hal tersebut (Rusli Muhammad,

2007: 268).

Adapun syarat yang harus dipenuhi

dalam permintaan pemeriksaan kasasi

adalah sebagai berikut (Rusli Muhammad,

2007: 268) :

a. Permintaan kasasi sudah harus

disampaikan dalam tenggang

waktu 14 hari terhitung sejak

Page 51: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

putusan disampaikan kepadanya

(Pasal 247 ayat (1)).

b. Permohonan kasasi hanya dapat

dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat

(4)).

c. Permohonan kasasi harus

menyerahkan memori kasasi yang

memuat alasan-alasan

sebagaimana tersebut dalam Pasal

253 ayat (1).

d. Perkara yang diajukan kasasi

bukan perkara yang dikecualikan,

yakni :

1. Putusan tentang praperadilan

2. Perkara pidana yang diancam

dengan penjara paling lama

satu tahun dan/atau diancam

pidana denda

3. Perkara tata usaha negara

yang objek gugatannya

berupa keputusan pejabat

daerah yang jangkauan

keputusannya berlaku di

wilayah daerah yang

bersangkutan.

iii) Tata cara pengajuan Kasasi

Tata cara pengajuan kasasi

sebagaimana ditentukan dalam KUHAP,

yaitu :

a. Permohonan kasasi disampaikan

oleh pemohon kepada Panitera

Page 52: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Pengadilan Negeri yang telah

memutus perkaranya dalam tingkat

pertama, dalam waktu 14 (empat

belas) hari sesudah putusan

pengadilan yang dimintakan kasasi

itu diberitahukan kepada terdakwa

(Pasal 245 ayat (1) KUHAP).

b. Permintaan tersebut oleh Panitera

ditulis dalam sebuah surat

keterangan yang ditandatangani

oleh Panitera serta pemohon, dan

dicatat dalam daftar yang

dilampirkan pada berkas perkara

(Pasal 245 ayat (2) KUHAP).

c. Dalam hal Pengadilan Negeri

menerima permohonan kasasi,

baik yang diajukan oleh Penuntut

Umum maupun oleh terdakwa atau

oleh Penuntut Umum dan

terdakwa sekaligus, maka Panitera

wajib memberitahukan permintaan

dari pihak yang satu kepada pihak

yang lain (Pasal 245 ayat (3)

KUHAP).

d. Apabila tenggang waktu 14 hari

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 245 ayat (1) telah lewat

tanpa diajukan permohonan kasasi

oleh yang bersangkutan, maka

yang bersangkutan dianggap

Page 53: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

menerima putusan (Pasal 246 ayat

(1) KUHAP).

e. Dalam hal tenggang waktu

sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 246 ayat (1), pemohon

terlambat mengajukan

permohonan kasasi maka hak

untuk permohonan kasasi itu gugur

(Pasal 246 ayat (2) KUHAP).

f. Selama perkara permohonan

kasasi belum diputus oleh

Mahkamah Agung, permohonan

kasasi itu dapat dicabut sewaktu-

waktu dan apabila sudah dicabut,

permohonan kasasi dalam perkara

itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal

247 ayat (1) KUHAP).

g. Jika pencabutan dilakukan

sebelum berkas perkara dikirim ke

Mahkamah Agung, berkas tersebut

tidak jadi dikirimkan (Pasal 247

ayat (2) KUHAP).

h. Apabila perkara telah mulai

diperiksa, akan tetapi belum

diputus, sedangkan sementara itu

pemohon mencabut permohonan

kasasinya, maka pemohon

dibebani membayar biaya perkara

yang telah dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung hingga saat

Page 54: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

pencabutannya (Pasal 247 ayat (3)

KUHAP).

i. Permohonan kasasi hanya dapat

dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat

(4) KUHAP).

(2) Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa dicantumkan dalam

Bab XVIII KUHAP. Upaya hukum luar biasa

merupakan pengecualian dan penyimpangan dari

upaya hukum biasa, upaya banding, dan kasasi.

Putusan pengadilan yang dimohon banding atau

kasasi belum merupakan putusan yang berkekuatan

hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua

putusan baik oleh pihak terdakwa maupun oleh

penuntut umum (M. Yahya Harahap, 2012: 607).

Upaya-upaya hukum tersebut adalah sebagai

berikut :

(a) Kasasi Demi Kepentinagan Umum

Kasasi demi kepentingan hukum

adalah salah satu upaya hukum luar biasa

yang diajukan terhadap semua putusan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari

putusan pengadilan selain putusan

Mahkamah agung. Berdasarkan pengertian

ini, berarti semua putusan pengadilan negeri

dan pengadilan tinggi yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dapat dijadikan kasasi

demi kepentingan hukum. Sedangkan

Page 55: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

terhadap putusan Mahkamah Agung yang

telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat

dimintakan upaya hukum kasasi demi

kepentingan hukum (Rusli Muhammad,

2007: 283-284).

Upaya hukum yang dimaksudkan

untuk memperbaiki atau membetulkan

semua keputusan pengadilan yang telah

memeproleh kekuatan hukum tetap. Diatur

dalam pasal 259-262 KUHAP

(b) Peninjauan Kembali

Rusli Muhammad dengan mengutip

Soediryo mengemukanan, peninjauan

kembali adalah suatu upaya hukum yang

dipakai untuk memperoleh penarikan

kembali atau perubahan terhadap putusan

hakim yang pada umumnya tidak dapat

diganggu gugat lagi (Rusli Muhammad,

2007: 285).

Upaya hukum ini datur dalam pasal

263-269 KUHAP, dapat diajukan terhadap

putusan penagdilan yang mepunyai

kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

bebas atau lepas dari segalan tuntutan

hukum, Permintaan peninjauan kembali

dapat diajukan kepada Mahkamah Agung.

D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

1) Pengertian Putusan

Pengertian Putusan terdapat dalam pasal 1 butir 11

KUHAP yang menyebutkan :

Page 56: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segalan tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Rusli Muhammad berpendapat bahwa putusan

pengadilan merupakan output dari sutu proses peradilan di

sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-

saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang

bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh

hakim, tibalah saatnya hakim mengambil keputusan(Rusli

Muhammad, 2007: 199).

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada

pemufakatan yang bulat atau diambil dengan suara

terbanyak apabila tidak tercapai mufakat atau dengan

keputusan yang menguntungkan terdakwa, ini telah sesuai

dengan Pasal 182 ayat (6) KUHAP.

2) Jenis-jenis Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh

hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu

menjatuhkan putusan, yang akan memberikan penyelesaian

pada suatu perkara yang terjadi antara Negara dengan warga

negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai

putusan akhir (Ahmad Rifai, 2010: 112).

Menurut ketentuan pasal 191 KUHAP ada beberapa

jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam

suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a) Putusan bebas dari segala tuduhan

hukum(vrijspraak).

Page 57: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Putusan bebas dari segala tuduhan hukum

adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada

terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang

kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan (Rusli Muhammad 2007: 201). Putusan

bebas ini dijelaskan Pula dalam Pasal 191 ayat (1)

KUHAP, yaitu:

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Rusli Muhammad dengan mengutip

Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan, bahwa

dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang

diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi,

yaitu karena (Rusli Muhammad 2007: 201) :

1) Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, yang disebut oleh Pasal 184

KUHAP. Jadi, misalnya, hanya ada satu saksi,

tanpa diteguhkan dengan bukti lain.

2) Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah,

hakim tidak mempunyai keyakinan atas

kesalahan terdakwa. Misalnya, terdapat dua

keterangan saksi, tetapi hakim tidak yakin

akan kesalahan terdakwa.

3) Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti.

Pasal 183 KUHAP menyebutkan sebagai

berikut:

Page 58: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah is memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183

tersebut, menjelaskan kepada kita dan terutama

kepada hakim bahwa adanya dua alat bukti yang sah

itu adalah belum cukup bagi hakim untuk

menjatuhkan pidana bagi seseorang. Akan tetapi,

Bari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah

bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

Sebaliknya, keyakinan Bari hakim saja tidak cukup

apabila keyakinan tersebut sudah tidak ditimbulkan

oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

Dalam putusan yang mengandung

pembebasan terdakwa, maka terdakwa yang berada

dalam status tahanan diperintahkan untuk

dibebaskan saat itu juga, kecuali karena ada alasan

yang sah, terdakwa tetap berada dalam tahanan,

misalnya, terdakwa masih tersangkut dalam lain

perkara, baik untuk dirinya sendiri maupun bersama-

sama dengan kawan terdakwa (Pasal 193 ayat (3)

KUHAP) (Rusli Muhammad 2007: 202).

b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag

van recht vervolging)

Putusan pengadilan berupa putusan lepas dari

segala tuntutan hukum adalah putusan yang

dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui

Page 59: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan,

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

tindak pidana (Rusli Muhammad, 2007: 202). Jenis

putusan ini dasar hukumnya dapat ditemukan dalam

Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan

bahwa:

Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tcrbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas Bari segala tuntutan.

Pelepasan dari segala tuntutan hukum

dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang

merighapuskan pidana, balk yang menyangkut

perbuatannya sendiri maupun diri pelaku perbuatan

itu, misalnya, terdapat pada (Rusli Muhammad,

2007: 203):

(1) Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa

atau cacat jiwanya,

(2) Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa

atau overmacht,

(3) Pasal 49 KUHP tentang membela diri atau

noodweer,

(4) Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan

untuk menjalankan peraturan undang-undang,

(5) Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang

diberikan oleh atasan yang sah.

Hal-hal yang menghapuskan pidana yang

terdapat pada pasal-pasal tersebut, Rusli Muhammad

dengan mengutip Soedirjo, dikatakan sebagai hal

Page 60: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

yang bersifat umum. Di samping itu, dikatakan pula

terdapat hal-hal yang menghapus pidana secara

khusus, yang diatur secara khusus dalam pasal

tertentu dalam undang-undang, misalnya, Pasal 166

dan Pasal 310 ayat (3) KUHP (Rusli Muhammad,

2007: 203).

Dengan demikian, terdakwa yang memenuhi

kriteria masing-masing pasal, balk yang mengatur hal-

hal yang menghapus pidana secara khusus maupun

yang bersifat umum seperti tersebut di atas, maka is

tidak dapat dipertanggung jawabkan meskipun

perbuatan yang didakwakan itu terbukti.

Terhadap putusan yang mengandung

pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum yang

menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan

putusan pengadilan dalam acara cepat, menurut Pasal

67 KUHAP tidak dapat dimintakan pemeriksaan

tingkat banding. Meskipun Pasal 67 KUHAP itu

mengatakan demikian, tidak berarti setiap putusan

pengadilan tingkat pertama, yang mengandung

pelepasan dari segala tuduhan hukum terdakwa atau

penuntut umum tidak berhak meminta banding ke

pengadilan tinggi (Rusli Muhammad, 2007: 203-204).

c) Putusan yang mengadung pemidanaan

Jenis putusan pengadilan ini adalah putusan

yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa

karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah

dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan

perbuatan yang didakwakan itu. Dasar putusan ini

adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

Page 61: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan

minimal adanya dua alat bukti dan hakim yakin akan

kesalahan terdakwa itu berdasarkan alat bukti yang

ada. Dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan

hakim ini, berarti pula syarat untuk menjatuhkan

pidana telah terpenuhi.

Pengadilan dalam hal menjatuhkan putusan

yang memuat pemidanaan dapat menentukan salah

satu macam-macam pidana yang tercantum dalam

Pasal 10 KUHP, yaitu salah satu dari hukuman pokok.

Adapun macam-macam pidana yang dapat dipilih

hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan

adalah pidana mati, penjara kurungan, dan denda.

Setelah hakim membacakan putusan yang

mengandung pemidanaan maka wajib bagi hakim

memberitahukan kepada terdakwa akan hak-haknya.

Dengan adanya hak-hak terdakwa tersebut rnaka

terhadap setiap putusan yang mengandung

penghukuman di mana terdakwa merasa tidak puas,

dapat mengajukan pemeriksaan tingkat banding. Oleh

karena itu baik terdakwa maupun penuntut umum

dapat menggunakan upaya hukum apabila keputusan

hakim yang menjatuhkan pidana kurang memuaskan

(Rusli Muhammad, 2007: 204-205). Adapun terhadap

lamanya pidana, pembentuk Undang-undang

memberikan kebebasan kepada hakim untuk

menentukan antara pidana minimum sampai

Page 62: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam

persidangan (Lilik Mulyadi, 2007: 148).

3) Proses Penjatuhan Putusan

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak

dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh

Hakim tersebut. Proses penjatuhan putusan hakim merupakan

suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan

pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses

penjatuhan putusan tersebut, seorang Hakim harus meyakini

apakah seseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah

tidak (Ahmad Rifai, 2010: 94-95).

Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh

Hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno uang

dikutip oleh Ahmad Rifai, dilakukan dalam beberapa

tahapan, yaitu sebagai berikut (Ahmad Rifai, 2010: 96-

100):

a) Tahapan Menganalisis Perbuatan Pidana

Perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan

yang dilarang dan diancam pidana, barang siapa

melanggar larangan tersebut. Pada saat hakim

menganalisis, apakah terdakwa melakukan

perbuatan perbuatan pidana atau tidak, yang

dipandang primer adalah segi masyarakat yaitu

perbuatan segi tersebut daam rumusan suatu aturan

pidana.

2. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti

melakukan perbuatan pidana melanggar suatu Pasal

tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat

dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana

Page 63: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

yang dilakukannya. Menurut Moelyatno, unsur-

unsur pertanggungjawaban pidana untuk

membuktikan pidana untuk membuktikan adanya

kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa

harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan

hukum);

b. Diatas umur tertentu dan mampu

bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang

berupa kesengajaan atau kealpaan;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

3. Tahap Penentuan Pemidanaan

Dalam hal ini jikalau hakim berkeyakinan

bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang

melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah

atas perbuatannya, dan kemudian perbuatannya itu

dapat dipertanggungjawabkan oleh si pelaku.

Besarnya pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim

akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut,

dengan melihat Pasal-pasal Undang-undang yang

dilanggar oleh si pelaku. Besarnya pemidanaan yang

dijatuhkan oleh hakim telah diatur dalam KUHP,

dimana KUHP telah pemindaan maksimal yang

dapat dijatuhkan hakim dalam perbuatan pidana

tertentu.

E. Tinjauan Umum tantang Tindak Pidana Korupsi

1) Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Page 64: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Andi Hamzah dengan mengutip Fockema Andreae

mengemukakan kata korupsi berasal dari bahasa latin

corruption atau corruptus (Webster Atudent Dictionary:

1960), yang selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu

berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata dalam

bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke

banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,

corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu

corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi

berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia,

yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2007 : 4).

Suyatno dengan mengutip Benveniste mengemukakan

definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek,

bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, korupsi

didefinisikan 4 (empat) jenis (Suyatno, 2005: 17-18) :

a) Discretionary corruption, ialah korupsi yang

dilakukan karena adanya kebebasan dalam

menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya

bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat

diterima oleh para anggota organisasi.

b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang

bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-

maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

c) Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana

korupsi yang dimaksud untuk memperoleh

keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan.

d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal

maupun discretionary yang dimaksudkan untuk

mengejar tujuan kelompok.

Page 65: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Undang-undang Nomor 31 tahun 1991 tentang

Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan

ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pmberantasan Tindak pidana Korupsi (Undang-

undang Nomor 31 tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001) mememuat beberapa definisi tentang tindak

pidana korupsi, salah satunya terdapat pada Pasal 2 yaitu,

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara”. Atau dengan kata lain yang dimaksud

dengan tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan curang

yang merugikan keuangan negara, atau penyelewengan atau

penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi dan

orang lain (Azis Syamsudin, 2011: 14)

2) Gratifikasi

Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-undang

Nomor 31 tahun 1991 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bunyi

dari pasal 12 B tersebut yaitu :

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabayannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut.

Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi

didefinisikan sebagai suatu pemberian dalam arti luas, yakni

meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),, komisi,

pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,

perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas

lainnya, yang diterima di dalam negeri maupun yang di luar

Page 66: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Alat Bukti Pasal 184 KUHAP

Pembuktian Dakwaan diPersidangan

Perkara Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi

Alat Bukti Saksi

Pengabaian oleh Judex Factie

PertimbanganHakim

PutusanPengadilan

Alasan Kasasi

Pertimbangan Hakim MA

Putusan MA

negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana

elektronika maupun tanpa sarana elektronik.

2. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Page 67: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Keterangan:

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam

mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan

jawaban atas permasalahan hukum. Penulis mengangkat permasalahan hukum

yaitu pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi memberatkan oleh Hakim sebagai

alasan kasasi Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap

putusan bebas dalam perkara korupsi gratifikasi (Studi Putusan Mahkamah Agung

Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011)

Alur diatas dapatdijelaskan oleh penulis bahwa dalam proses pembuktian

dakwaan di persidangan, hakim telah mengabaikan alat bukti saksi memberatkan

yang diajukan oleh penuntut umum. Putusan bebas terhadap tedakwa perkara

korupsi gratifikasi yang di jatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Sidenreng

Rappang tidak dapat diterima oleh Penuntut Umum kejaksaan negeri Sidenreng

Rappang dikarenakan adanya pengabaian alat bukti saksi memberatkan oleh Judex

Factie. Pengabaian alat bukti tersebut menjadi alasan diajukannya upaya hukum

Kasasi oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang. Alasan

Kasasi dijadikan pertimbangan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam

menjatuhkan kasasi. Isi dari putusan kasasi tersebut yaitu tidak dapat diterima

permohonan kasasi oleh Penuntut Umum kejaksaan negeri Sidenreng Rappang

tersebut.

H. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum (legal research) merupakan suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan

untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 35).

Page 68: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian

dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah penulis harus terlebih

dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin

ilmunya (Johny Ibrahim, 2011 : 26). Di dalam penelitian hukum, konsep ilmu

hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan

peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak

terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johny Ibrahim, 2011: 28).

Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan

metode penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis guanakan adalah penelitian hukum

normatif, yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based)

yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum

primer dan sekunder. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur

penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika

keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 3).

Jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis telah sesuai

dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat untuk menghasilkan

argumentasi.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu

hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang

preskriptif. Artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, norma-norma hukum,

kaidah-kaidah hukum, validitas aturan hukum dan nilai-nilai keadilan.

Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menetapkan standar prosedur,

ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.

Sifat preskriptif keilmuab hukum ini merupakan sesuatu yang substansial

di dalam ilmu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 22). Penelitian

Page 69: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

bersifat prespektif karena dimaksudkan untuk menjawab isu hukum yang

diangkat dengan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi

dalam menyelesaikan masalah (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 35).

3. Pendekatan Penelitian

Pada Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

menggunakan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi

dari berbagai aspek mengenai isu yang coba dicari jawabannya.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum

diantaranya adalah sebagai berikut (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 93) :

a. Pendekatan kasus (case approach)

b. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)

c. Pendekatan historis (historical approach)

d. Pendekatan perbandingan (comparative approach)

e. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Pada penelitian hukum ini guna memperoleh jawaban dari kasus

yang ingin dikaji maka peneliti menggunakan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan

mempelajari penerapan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan oleh

praktik hukum. Misalnya mengenai kasus-kasus yang telah diputus dan

putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana yang

bisa dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi

fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun

dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk

memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu

aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya

untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum (Johny Ibrahim,

2011: 30).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Page 70: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan

bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan

hukum yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya.

Yang termasuk bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatanatau risalah dalam pembuatan Undang-Undang, dan

putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-

dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jumal hukum dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2011: 141). Jenis data

penelitian dan sumber data yang akan digunakan penulis adalah sebagai

berikut:

a) Jenis Data Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

data sekunder, yaitu data atau informasi hasil pengkajian dokumen

penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan

kepustakan seperti buku-buku, literature, majalah, jurnal, atau arsip-

arsip yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b) Sumber Data Penelitian

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini

adalah subyek dari mana data yang diperoleh. Menurut Peter Mahmud

Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoriatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum

sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan yang

dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Page 71: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan

adalah sebagai berikut:

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(3) Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).

(4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(5) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.

(6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun

1985 tentang Mahkamah Agung.

(7) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang

digunakan meliputi :

(1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum;

(2) Kamus-kamus hukum;

(3) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana

(4) Literatur dan hasil penelitian lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan

hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan

hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Studi dokumen

Page 72: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui

bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analysis. Studi

dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji

dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen

laporan, arsipan hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 21).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan teknik deduksi silogisme. Silogisme

adalah metode argumentasi yang konklusinya diambil dari premis-premis

yang menyatakan permasalahan yang berlainan. Peter Mahmud Marzuki

dengan mengutip Philips M. Hudjon mengemukakan bahwa penalaran

hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum dan premis

minor merupakan fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011 : 47).

7. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum disajikan guna memberikan

gambaran secara keseluruhan mengenai pembahasan yang akan

dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan hukum.

Adapun sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri atas 4 (empat) bab,

dimana tiap bab terbagi beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk

memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Keseluruhan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada Bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal

mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, jangka waktu penelitian, sistematika

penulisan hukum untuk lebih meberikan gambaran terhadap isi penelitian.

Page 73: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penulis memberikan landasan teori atau memberikan

penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis

gunakan dan doktrin ilmu yang dianut secara universal mengenai

persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.

Pada Bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori dan

pemikiran dari penulis. Dalam sub Bab ini penulis akan menguraikan

kerangka teori tentang Tinjauan Umum Tentang Pembuktian dan Alat

Bukti, Tinjauan Umum Tentang Penuntutan, Timjauan Umum Tentang

Upaya Hukum, Tinjauan Umum Tentang Putusan Pengadilan, Tinjauan

Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan sub bab kedua akan

menerangkan mengenai kerangka pemikiran penulis.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis menguraikan hasil penelitian dari proses

menjawab rumusan masalah yang menjadi dasar penulis melakukan

penulisan hukum yaitu, Pengabaian fakta alat bukti saksi-saksi

memberatkan oleh Hakim sebagai alasan kasasi Penuntut Umum

Kejaksaan Negeri Sidenreng Rappang terhadap putusan bebas dalam

perkara korupsi gratifikasi.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini, penulis menguraikan kesimpulan dari penulis hukum

ini yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan saran-saran dari

penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi sumber su-ber bacaan yang digunakan penulis sebagai

referensi dalam kutipan-kutipan.

LAMPIRAN

Page 74: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

Berisi instrumen-instrumen yang digunakan sebagai bahan

penelitian

J. JANGKA WAKTU PENELITIAN

Jangka waktu menjadi pedoman bagi peneliti dalam pelaksanaan

penelitian, diharap penulisan hukum dapat diselesaikan sesuai rencana.

No Kegiatan Bulan Ke-

1 2 3 4 5 6

1 Pengajuan Judul

2 Penyusunan Rencana

Penelitian

3 Seminar Rencana Penelitian

4 Pengolahan Data

5 Analisis Data

6 Penyusunan Laporan Akhir

Gambar 2. Jangka Waktu Penelitian

Page 75: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum

Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.

Andi Hamzah. 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional

dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

. 2012. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar

Grafika.

Azis Syamsudin. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika.

Eddy O.S Hiariej. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.

Evi Hartanti. 2012. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Johny Ibrahim. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing.

Leden Marpaung. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar

Grafika.

Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses

Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Bandung: PT Citra Aditya

Bakti.

. 2007. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Page 76: Bab 1-2 skripsi analisis putusan bebas perkara gratifikasi

. 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Rusli Muhammad. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti.

Suyatno. 2005. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Jurnal:

Topo Santoso. 2013. ”Menguak Relevansi Ketentuan Gratifikasi di Indonesia”.

Jurnal Dinamika Hukum,Volume 13 Nomor 3.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana(KUHAP).

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1210K/Pid.Sus/2011.