web viewadapun metode yang akan ... kecenderungan para sahabat untuk memelihara al-qur’an...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh
dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus
keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap
hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-
qur’an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren
bagi eksistensi al-Qur'an. Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi,
tabi’in, dan tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan
dan menyebarkan kepada generasi selanjutnya. Mengingat pentingnya hadis
dalam dunia Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga
upaya terhadap penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa
sahabat yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri
Oleh karena itu dalam pembahasan ini penulis akan menyajikan
pembahasan singkat tentang perkembangan hadis sebelum era kodifikasi dan
sesudahnya, dilanjutkan dengan pembahasan tentang pusat-pusat studi hadis dan
para tokoh-tokohnya secara rinci. Adapun metode yang akan dipakai dalam kajian
ini adalalah termasuk kategori penelitian literer atau study pustaka dengan objek
berupa naskah-naskah utama (primer), meski tidak menutup kemungkinan adanya
referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai sumber kedua (skunder) yang erat
kaitannya dengan persoalan yang akan dibahas. Tujuan tulisan ini adalah untuk
memahami cara rasul, sahabat, tabi’in, dan tabi’in tabi’in dalam memelihara hadis
dengan sangat berhati-hati dan bijaksana sehingga dapat diturunkan kepada
generasi selanjutnya sebagai pusaka dari rasul untuk umatnya dalam mengarungi
kehidupan.
BAB II
1
PEMBAHASAN
I. PERKEMBANGAN HADIS SEBELUM ERA KODIFIKASI.
1. Masa Rasulullah.
Membicarakan sejarah pertumbuhan hadis pada masa ini secara tidak
langsung akan mengungkapkan cara-cara rasullullah SAW. Dalam membina
umatnya selama 23 tahun, dimana pada masa ini merupakan kurun waktu
turunnya al-qur’an sekaligus fungsi utama hadis untuk menjelaskannya
melalui perkataan, perbuatan dan ketetapan dari nabi untuk dijadikan
pedoman bagi kegiatan amaliyah dan ubudiyah mereka sehari-hari. Ketika
rasullah SAW. masih hidup umat Islam dapat memperoleh hadis langsung
dari beliau sebagai sumber hadis melalui beberapa cara yang digunakan
dalam penyampaiaannya, sebagaimana disampaikan Ibnu Mas’ud yang
diriwayatakan oleh Bukhari:
Pertama: melalui majlis ta’lim dimana para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadis sehingga ada motifasi untuk selalu
mengikuti kegiatan ini.
Kedua: dalam banyak kesempatan nabi menyampaikan hadisnya
melalui beberapa sahabat tertentu untuk disampaikan kepada sahabat yang
lain. Untuk hal-hal mengenai urusan rumah tangga nabi lebih banyak
menyampaikan kepada istri-istrinya sehingga jika para sahabat segan
bertanya kepada nabi mereka bisa bertanya kepada istri-istri beliau.
Ketiga: melalui ceramah umum oleh nabi yang dilakukan ditempat-
tempat terbuka. Namun pada masa ini keberadaan hadis belum mendapat
perhatian sepenuhnya sebagaimana al-qur’an dikarenakan para sahabat lebih
banyak mencurahkan perhatiaannya terhadap alquran dengan menghafal dan
menuliskannya sebagaimana perintah rasul. Kecenderungan para sahabat
untuk memelihara al-qur’an dengan cara menghafal ataupun mencatatnya
menyebabkan banyak menyita waktu mereka sehingga menyebabkan
minimnya pencatatan hadis pada masa rasulullah. Akan tetapi kita tidak dapat
mengikuti pendapat mereka yang mengatakan bahwa sedikitnya pencatatan
2
pada masa rasul dikarenakan langkanya sarana penulisan. Memang boleh jadi
hal itu merupakan salah satu faktor, tetapi bukan satu-satunya penyebab
dibiarkannya hadis luput dari pencatatan. Nyatanya, dengan kondisi yang
sama, para sahabat sanggup menghimpun dan menulis seluruh isi al-qur’an
pada daun-daun, pelepah korma, papan, pelana-pelana, potongan-potongan
kulit, dan sebagainya. Andaikata faktor psikologis yang mendorong mereka
membukukan hadis sama kuatnya dengan dorongan untuk menuslis al-qur’an
tentu mereka akan mengupayakan dengan segala daya berbagai sarana yang
diperlukan. Hanya saja, atas kehendak mereka sendiri dan petunjuk nabinya,
cara mereka menghimpun hadis berbeda jauh dengan cara mereka
menghimpun al-qur’an.1 Namun disamping itu minimnya pencatatan hadis
nabi juga dikarenakan larangan dari nabi, karena dikhawatirkan timbul
kerancuan antara sabda, penjelasan, dan perilaku beliau dengan al-qur’an,
apalagi jika semua ini ditulis pada lembaran-lembaran yang sama. Nabi
bersabda: تكتب عني شيأ اال القرأن, ومن كتب عني شيأ غ��يرال
الق��رأن فليمح��ه وح��دثوا ع��ني وال ح��رج, ومن ك��ذب على متعمدا فليتبوء مقعده من النار.
“Janganlah kalian tulis apa yang datang dariku. Barang siapa menulis dariku selain al-qur’an hendaklah ia menghapusnya. Ceritakan apa yang kalaian dengar dariku, itu tidak mengapa. Tetapi barang siapa membuat kedustaan atasku secara sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim).
Larangan penulisan hadits tersebut seperti yang sudah kami singgung
diatas dalam rangka menghindari adanya kemungkinan sebagian sahabat
penulis wahyu memasukkan hadis ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-
quran, karena mereka menganggap apa yang semua perkataan, penjelasan,
dan perilaku rasul merupakan bagian daripada wahyu, sehingga tidak
1 Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm.34.
3
menutup kemungkinan akan terjadi pencampur adukan antara qur’an dan
hadis.
Sekalipun ada larangan nabi untuk menulis hadis namun ada beberapa
sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis seperti:
a. Abdullah bin ‘amr bin Ash, ia memiliki catatan hadis yang menurut
pengakuannya dibenarkan oleh rasul. Menurut suatu riwayat diceritakan
bahwa orang-orang Quraish mengkeritiki sikap Abdullah bin Amr yang
selalu menulis apa yang datang dari rasul, mereka berkata “Engkau
menuliskan apa yang datang dari rasul padahal rasul itu manusia yang
bisa saja bicara dalam keadaan marah” kritikan ini kemudian
disampaikan kepada rasul, maka beliau bersabda:
“ Tulislah demi dzat yang diriku berada ditangannya, tidak ada yang
keluar darinya kecuali yang benar.” (HR. Bukhari).
Menurut pengakuannya dia mempunyai kurang lebih seribu catatan
hadis yang diterima langsung dari rasul ketika ia berada disisinya tanpa ada
orang lain yang menemani. Dan catatan-catatan ini kemudian dikenala
dengan nama As-sahifah As-sadiqah.
b. Jabir bin Abdillah bin Amr Al-anshari (w 78 H)ia memiliki catatan
hadits dari rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits haditsnya
kemudian diriwayatkan oleh Muslim.catatan ini dikenal dengan sahifah
jabir.
c. Abu Hurairah Ad Dausi (w 58 H) Ia memiliki catatan hadis yang dikenal
dengan Al sahifah al sahihah dan hasil karyanya ini kemudian
diwariskan kepada puteranya yang bernama Hammam.
d. Abu Syah (Umar Bin Sa’ad Al Anmari) Seorang penduduk Yaman. Ia
meminta kepada rasulullah agar dicatatkan hadits yang disampaikan
beliau ketika berpidato pada peristiwa fathu makkah sehubungan dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Khuza’ah terhadap
salah seorang penduduk Bani Laits. Kemudian Rasulullah bersabda :
“kalian tuliskan untuk Abu syah”.
4
Di samping nama nama diatas, masih banyak lagi nama shahabat
lainnya yang memiliki catatan hadis dan dibenarkan oleh rasulullah
seperti :Rafi’I Bin Khodij, ‘Amr Bin Hazm, Ali bin Abi Tholib, dan Ibnu
Mas’ud.2
2. Masa Sahabat dan Tabi’in.
Menjelang masa akhir hayatnya, Rasulullah berpesan kepada para
sahabat agar tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits sekaligus
mengajarkannya kepada seluruh generasi generasi selanjutnya, sebagaimana
beliau bersabda:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka(alquran dan hadis), jika
kalian berpegang teguh pada keduanya niscaya tidak akan tersesat.” (HR.
Hakim).
Setelah Nabi wafat, Islam mampu mengadakan ekspansi penaklukan
besar-besaran, sehingga dalam waktu yang relatif singkat beberapa wilayah
telah berada di bawah kekuasaan Islam. Arah Syam meliputi Palestina,
Yordania, Siria, dan Libanon. Irak dikuasai pada tahun 17 H, dan Mesir pada
tahun 20 H. Orang Islam menyeberang sungai Efrat sesudah tadinya
menaklukkan Persia pada tahun 21 H, dan sampai di samarkand pada tahun
56 H. Ke arah Barat, melalui jalur Afrika, orang Islam memasuki Adalusia
(Spanyol) pada tahun 93 H. Perbatasan Cina dijangkau orang Islam melalui
jalur darat pada tahun 96 H.3
Dengan perkembangan kekuasaan Islam yang begitu luas, maka tidak
dapat dielakkan bahwa para ulama, tak terkecuali ulama Hadis harus segera
disebar kedaerah-daerah yang baru ditaklukkan sebagai penyambung lidah
Rasulullah dalam rangka penyebaran agama Islam. Adapun sistem
periwayatan hadis pada masa ini dilakukan melalui dua cara, yakni:
Pertama, dengan lafadz yang masih asli dari Rasulullah. Periwayatan
dengan cara ini hanya bisa dilakukan apabila mereka benar benar ingat dan
2 H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 91-93.
3 Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 42-43.
5
hafal hadis baik secara lafdzi atau ma’nawi sesuai dengan yang sudah
diterima dari Nabi.
Kedua, dengan maknanya saja namun redaksinya berbeda-beda sesuai
dengan perawinya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak mampu
mengingat secara persis lafadz aslinya. Periwayatan dengan cara yang kedua
ini bisa diterima karena Rasulullah tidak melarang periwayatan hadis secara
maknawi asalkan kandungan Hadits tersebut sesuai dengan apa yang telah
dikehendaki oleh beliau. Namun, pada masa ini (sahabat dan tabi’in) keadaan
masih belum juga berubah. Yakni, masih seperti kondisi yang ada di zaman
Nabi dan mengakibatkan perkembangan Hadis berjalan sangat lamban.
Walaupun demikian bukan berarti mereka (sahabat dan tabi’in) lalai dan
mengenyampingkan usaha pememelihara Hadis, ini terbukti dengan
munculnya pusat-pusat studi pembinaan hadis di berbagai tempat seperti :
Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam (Siria), Mesir, Yaman, Khurasan
dan negara-negara lain lain. Berikut ini keterangan lebih lanjut:
a. Madinah:
Madinah dikenal juga dengan Dar al-Hijrah, sebuah tempat dimana
Nabi Hijrah untuk selanjutnya menetap di sana. Sebagai ibu kota kekuasaan
Islam di masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, maka kota ini menjadi pusat
penyebaran agama Islam termasuk studi Hadis.
Yang menjadi pusat pembelajaran hadits di kota Madinah adalah ,
Abu Hurairah, ‘Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah Bin Umar, Abu Sa’id
al-Khudri, Zaid Bin Tsabit –terkenal pemahamannya terhadap al-Qur’an
kerena merupakan sekertaris Nabi untuk menuliskan al-Qur’an-, dan lain-lain.
Sedangkan para tabi’in yang menjadi murid di kota ini diantaranya
adalah: Sa’id Ibn al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab al-Zuhri,
‘Ubaidillah Ibnu ‘Utbah bin Mas’ud, Salim Ibnu Abdullah bin Umar,
Muhammad al-Munkadir, dan lain-lain.4
4 Ibid., hlm. 43.
6
b. Makkah:
Setelah menaklukan kota Makkah, Rasulullah saw. menempatkan
Mu’az bin Jabal. Sampai-sampai beliau disebut-sebut sebagai orang yang
paling mengerti tentang halal dan haram. Kota ini adalah tempat yang
memiliki peran penting dalam pertukaran kebudayaan dan penyebaran hadis
yang terjadi pada musim haji, dimana umat islam dari segala penjuru
melaksanakan ibadah haji sekaligus menimba ilmu dari para sahabat dan
tabi’in untuk kemudian apa yang diperoleh dari kota ini disebarkan di
daerahnya masing masing.5
Adapun para sahabat yang membina hadis (guru) di kota ini adalah :
Mu’adz bin Jabal, Atab Bin Asid, Haris bin Hisyam, Utsman bin Talhah, dan
Uqbah bin Haris.
Sedangkan murid-murid madrasah ini diantaranya adalah para tabi’in
tercatat nama : Ikrimah, Mujahid Bin Jabir, Atha’ Bin Abi Robah, dan
Thowus Bin Kaisan.6
c. Kufah:
Banyak sahabat Nabi yang datang ke kota ini, utamanya di masa
pemerintahan Umar bin al-Khattab, ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan
Bahsrah selanjutnya menjadi pintu gerbang perluasan Islam ke Khurasan,
Persia, dan India.
Adapun para sahabat yang membina hadis di daerah tersebut adalah :
Ali bin Abi Thalib, Sa’ad Bin Abi Waqosh, Sa’id Ibnu Zaid bin ‘Amr bin
Nufail, Abdullah bin Mas’ud. Sahabat yang disebut namanya terakhir ini
telah mengharumkan nama Kufah sebagai kota Islam karena keberhasilannya
menyelenggarakan pengajaran Hadis dan Fiqh.
Sedangkan murid-murid madrasah Kufah diantaranya adalah: Amir
bin Syarahil, Sa’id bin Jabir al-Asasi, Ibrahim an-Nakha’i, Abu Ishaq al-
Sabi’i, Abdul malik Ibnu Umar, dan lain-lain.7
5 ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 166.6 H Mudasir, Ilmu..., hlm. 102.7 Muh. Zuhri, Hadis..., hlm. 44.
7
d. Bashrah:
Sahabat Nabi yang melawat dan tinggal di Bashrah antara lain Anas
bin Malik, seorang imam hadis di sana, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin
‘Abbas, ‘Utbah Ibnu Gazwan, Imron bin Hushain, Abu Barzah al-Aslami,
Ma’qal Ibnu Yasar, Abdurrahman Ibnu Samurah, dan lain-lain.
Sedangkan tabi’in hasil didikan para sahabat di sana antara lain:
Hasan al-Bishri, ia sempat berjumpa dengan limaratusan sahabat Nabi,
kemudian Muhammad Ibnu Sirin, Ayyub al-Sakhtiyani, Yunus Ibnu ‘Ubaid,
Abdullah Ibnu ‘Aun, ‘Asyim Ibnu Sulaiamn al-Ahwal, dan lain-lain.8
e. Syam:
Sebagaimana telah diketahui bahwa Syam adalah wilayah kekuasaan
Mu’awiyah ketika ia menjabat sebagai Gubernur di sana. Sehingga, ibu kota
pemerintahannya pun juga ditetapkan di sana. Maka tidak mengherankan
kalau di sana terdapat banyak sahabat Nabi. Konon, Yazid bin Abi Sufyan
pernah menulis surat kepada khalifah Umar bin Khattab agar mengirim ulama
untuk mengajari agama penduduk Syam. Maka diutuslah Mu’adz bin Jabal
sebagai salau satu guru madrasah Syam, selain itu adalah ‘Ubadah bin
Shamit, dan Abu Darda’. Sahabat Nabi yang akhirnya menjadi penduduk
Syam antara lain adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarah, Bilal bin Rabah, Syuraihil
bin Hasan, Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ghanam, Fadhl bin Abbas bin Abdul
Mutallib, dan lain-lain.
Sedangkan tabi’in yang meriwayatkan Hadis dari para sahabat diatas
antara lain adalah: Salim bin Abdillah al-Maharibi, Abu Idris al-Khaulani,
Abu Sulaiamn ad-Darani, dan lain-lain.9
f. Mesir:
Orang Islam masuk Mesir pada masa pemerintahan Umar bin Khattab
dengan pimpinan ‘Amr bin ‘Ash. Ia diiringi oleh sahabat dalam jumlah besar.
8 Ibid., hlm. 44.9 Ibid., hlm. 44.
8
Sahabat Nabi yang menjadi pembina di kota ini diantaranya adalah:
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhanni, Kharijah bin
Hadzafah, ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, Abdullah bin Harist, Abu
Bashrah al-Ghifari, dan lain-lain.
Sedangkan murid-murid madrasah ini antara lain adalah: Yazid bin
Abi Habib, Umar bin al-Harits, Khair bin Nu’aim, Abdullah bin Sulaiman at-
Tawil, Adullah bin Syuraih al-Ghafiqi, dan lain-lain. Sedangkan Yazid bin
Abi Habib adalah orang yang punya pengaruh besar dalam penyiaran Hadis di
sana. Banyak murid berguru kepadanya, seperti al-Laits Ibnu Sa’ad, Abdullah
bin Luhai’ah, dan lain-lain.10
g. Yaman:
Sebagaimana telah diketahui bahwa pada masa Rasulullah Mu’adz bin
Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari telah diutus oleh beliau untuk menjadi ulama
di sana guna menyebarkan syiar Islam. Selain kedua sahabat tersebut masih
banyak lagi yang lainnya.
Sedangkan murid-murid mereka diantaranya adalah, Hamam, Wahab
bin Munabbah, Thawus sekaligus anaknya, kemudian Ma’mar bin Rasyid,
Abdurrazzaq bin Hamam beserta sahabat-sahabtnya.11
h. Khurasan:
Para sahabat yang terjun langsung kenegara ini sekaligus menjadi
guru penduduk daerah ini diantaranya adalah: Buraidah bin Hushaib al-
Aslami, Abu Barzah al-Aslami, Hakam bin ‘Amr al-Ghaffari, Abdullah bin
Khazim al-Aslami, Qasim bin Abbas dan lain sebagainya.
Madrasah Khurasan ini telah berhasil mencetak murid-murid yang
terkenal dalam bidang Hadis Nabi yang tersebar diberbagai wilayah
diantaranya adalah:
10 Ibid., hlm. 45.11 Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah..., hlm. 173.
9
1) Wilayah Bukhari muncul berbagai murid yang handal dalam bidang
Hadis seperti, Isa bin Musa, Ahmad bin Hafs, Muhammad bin Salam,
Abdullah bin Muhammad al-Sandi, Imam Bukhari.
2) Wilayah Samarqandi muncul beberapa nama, yaitu Imam Darimi, Imam
Marwazi.
3) Sedangkan di wilayah Qiryab muncul banyak sekali ulama seperti,
Muhammad bin Yusuf al-Qiryabi, Qadli Ja’far al-Qiryabi, dan lain-
lainnya.12
i. Syiria
Periwayatan di Syiria ini dilakukan oleh Umar Bin Abdul Aziz yang
telah membangu hubungan antara Madinah dan Damaskus. Perawi lain yang
bisa diidentifikasi meriwayatkan hadits di Syiria adalah Mu’adz Bin Jabal,
Ubadah Bin As Samit. Kedua orang ini terkenal dengan periwayatan hadits
yang berhubungan dengan bidang Fiqh- dan Abu Darda’.13
Demikianlah sejarah perkembangan hadis pada masa rasul, sahabat,
dan tabii’n yang mempunyai karakteristik berbeda pada setiap generasi dalam
menyebarkannya dikarenakan perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya
mengalami berbagai hambatan dan persoalan yang tidak sama. Yakni
penyebaran hadis pada masa rasul dan sahabat belum mampu berkembang
secara pesat dikarenakan pelayanan dan perhatian mereka sebagian besar
tertuju kepada pemeliharaan dan penyebaran al-qur’an. sehingga perhatian
serius terhadap hadis nabi dimulai pada masa sahabat kecil dan tabi’in dimana
permasalahan sosial kemasyarakatan yang mereka hadapi semakin kompleks,
sehingga dalam penyelesaiannya membutuhkan petunjuk praktis yang pernah
dikerjakan oleh nabi atau status hukum yang telah diciptakannya. Maka tidak
sedikit para sahabat kecil dan tabi’in menghabiskan waktu, materi, dan tenaga
untuk mencari dan mengumpulkan hadis-hadis rasul dari para sahabat besar
12 Ibid., hlm. 173-174.
13 G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, (London: Canbridge University, 1983), hlm. 44.
10
yang jumlahnya kian hari kian berkurang, dan tempat tinggalnya sudah mulai
bertebaran diberbagai pelosok.
3. Metode Mengajarkan Hadis.
Dalam bab ini akan digambarkan suatu bentuk kegiatan tranformasi
Hadis dari seorang guru kepada muridnya. Akan tetapi perlu diketahui
terlebih dahulu bahwa apa yang diterangkan dalam bab ini hanyalah
gambaran yang bersifat global, karena pada priode ini sistim pengajaran yang
teratur belum ditemukan. Sistim belajar mengajar pada waktu itu masih
bersifat bebas, yaitu murid bebas dalam memilih guru tanpa ada peraturan
yang mengikat, begitupula sang guru bebas menerima ataupun menolak
murid sesuai dengan keinginannya yang mempunyai dasar tertentu. Dan
jenis-jenis pendidikan dan metode mengajar, namun bukan berarti tidak ada
metode-metode lain di luar itu. Sebab metode-metode yang akan kami
sebutkan disini merupakan sisitim belajar-mengajar yang populer pada
masanya. Setelah berakhirnya priode ini (sebelum kodifikasi) motode-metode
belajar mengajar masih tetap digunakan, hanya saja sistemnya lebih
disempurnakan dari priode sebelumnya.
Dalam mengajarkan Hadis, secara umum ada beberapa metode yang
populer digunakan pada saat itu.14
a. Mengajarkan Hadis secara lisan
Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad kedua hijri
dan berlangsung lama sekali, akan tetapi dalam lingkup yang sangan
sempit. Para murid disaat itu tinggal bersama guru-gurunya dalam waktu
yang lama, dan dengan cara inilah mereka memperoleh Hadis dari para
gurunya. Sebagai contoh:
1) Tsabit bin Aslam al-Bunani, ia menjadi kawan Anas selama empat
puluh tahun.
2) Harmalah bin Yahya, menurut al-Dzahabi ia adalah periwayat Ibnu
Wahb, sekaligus sahabat imam Syafi’i
3) Hamid bin Mas’adah, ia menjadi kawan Husyaim
14 Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 454.
11
4) Abdullah bin Musa, ia menjadi rawi dari Sa’id bin Abu ‘Arubah
5) Dan lain-lain.
b. Membacakan Hadis dari suatu Kitab.
Metode dengan cara membacakan hadis dari suatu kitab ini terdapat
tiga macam:
1) Guru membacakan kitabnya sendiri, sedang murid mendengarkannya.
2) Guru membacakan kitab orang lain, sedang murid mendengarkannya.
3) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru mendengarkannya.
c. Metode tanya-jawab.
Sistim atraf (menuliskan pangkal Hadis saja) juga dipakai dalam
pengajaran Hadis dengan metode tanya-jawab, di mana murid
membacakan pangkal dari suatu Hadis, kemudian gurunya meneruskan
Hadis itu selengkapnya. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sirin. Ia
berkata “Saya bertemu Abidah dengan membawa kitab atraf Hadis, lalu
kutanyakan hal itu kepadanya”
d. Metode imla’
Pada mulanya, metode ini kurang relevan dalam mempelajari Hadis.
Sebab murid dapat saja memperoleh Hadis yang banyak dalam waktu
yang singkat. Dan barangkali al-Zuhri adalah orang yang paling banyak
mengunakan metode imla’ ini. Namun sejumlah ahli Hadis ada yang
tidak suka apabila ada murud yang menulis pada waktu pelajaran Hadis
disampaikan. Misalnya Sulaiman bin Tarkham, dan Fitr bin Khalifah.
Keduanya tidak pernah membiarkan seorangpun menulis didepannya.
II. PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA KODIFIKASI.
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah
pembukuan hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas
perintah seorang pemimpin kepala negara dengan melibatkan orang-orang
yang mempunyai keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi
pada masa rasulullah SAW. yang dilakukan secara individu atau untuk
kepentingan pribadi. Usaha ini mulai direalisasikan pada masa pemerintahan
12
kalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui
instruksinya kepada walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr
bin Hazm yang berbunyi “ Tulislah untukku hadis rasullullah SAW. yang ada
padamu melalui hadis ‘Amrah (binti Abdurrahman) sebab aku takut akan
hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat Al-Darimy).
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik
yang ada pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah.
Disamping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para
pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi
suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan
mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama
Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang
menghimpun hadis dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan
itu kesetiap penjuru wilayahnya.15 Menurut para ulama, hadis-hadis yang
dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadis-
hadis yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri dipandang lebih lengkap.
Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga
tidak sampai kepada generasi sekarang16
Para sarjana Hadis, seperti, ‘Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i,
muhammad jamaluddin al-Qasimi, Nu’man abd al-Mu’tal, Muhammad al-
Zafaf, dan lain-lain, menemukan dokumen yang bersumber dari imam Malik
bin Anas bahwa kodifikasi Hadis ini adalah atas prakarsa Khalifah Umar bin
Abd Aziz dengan menugaskan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dan Ibnu Hazm
untuk merealisasikannya. Begitu juga Umar bin Abd Aziz menugaskan
kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru untuk ikut serta membantu
pelaksanaan kodifikasi Hadis Nabi tsb.17
15 Subhi as-Salih, Membahas..., hlm. 57.
16 H Mudasir, Ilmu..., hlm. 106.17 Muh. Zuhri, Hadis…, hlm. 54.
13
1. Latar Belakang Munculnya Usaha Kodifikasi.
Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadis pada
periode ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya adalah,
kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis nabi disebabkan meninggalnya para
sahabat dan tabi’in yang benar-benar ahli dibidangnya sehingga jumlah
mereka semakin hari semakin sedikit. Hal ini kemudian memicu para ulama
untuk segera membukukan hadis sesuai dengan petunjuk sahabat yang
mendengar langsung dari nabi. Disamping itu pergolakan politik pada masa
sahabat setelah terjadinya perang siffin yang mengakibatkan perpecahan umat
Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan
pengaruh negatif kepada otentitas hadis-hadis nabi dengan munculnya hadis-
hadis palsu yang sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing kelompok sekaligus untuk mempertahankan idiologi
golongannya demi mempertahankan madzhab mereka. Demikianlah
persoalan yang menentukan bangkitnya semangat para muslim khususnya
Umar bin Abdul Aziz selaku khalifah untuk segera mengambil tindakan
positif guna menyelamatkan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan dengan
cara membukukannya.
2. Sistematika Kodifikasi Hadis Pada Abad Kedua.
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadis priode awal
kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui
sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif
masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadis nabi
dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka
belum mengklasifikasi hadis menurut kelompok-kelompoknya. Dengan
demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk antara hadis
dengan fatwa sahabat dan tabi’in. walhasil, bahwa kitab-kitab hadis karya
ulama-ulama pada masa ini belum di pilah-pilah antara hadis marfu’ mauquf,
14
dan maqthu’, dan diantara hadis sahih, hasan dan dha’if.18 Namun tidak
berarti semua ulama hadis pada masa ini tidak ada yang membukukan hadis
dengan lebih sistematis, karena ternyata ada diantara mereka telah
mempunyai inisiatif untuk menulis hadis secara tematik, seperti Imam Syafi’i
yang mempunyai ide cemerlang mengumpulkan hadis-hadis berhubungan
dengan masalah talak kedalam sebuah kitab. Begitu juga karya Imam Ibnu
Hazm yang hanya menghimpun hadis-hadis dari nabi kedalam sebuah kitab
atas instruksi dari Umar bin Abd Aziz “Jangan kau terima selain hadis nabi
SAW saja.”
Kemudian pembukuan hadis berkembang pesat di mana-mana, seperti
dikota Makkah hadis telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di
Madinah oleh Sa’id bin Abi ‘Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di
Basrah oleh Hamad bin Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh
Abu Amr al-Auza’I dan begitu seterusnya. 19
3. Masa Pengembangan Sistem kodifikasi Hadis.
Pada permulaan abad ketiga para ahli hadis berusaha mengembangkan
sistematika pembukuan hadis agar lebih baik dibandingkan masa sebelumnya,
usaha ini kemudian memunculkan ide-ide untuk memilah-milah hadis dan
memisahkannya dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka
membukukan semata-mata dari hadis rasulullah. Masa penyaringan hadis ini
terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani Abbas, khu-susnya
sejak masa Al-Makmum sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300
H). Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni
periode tadwin (kodifikasi) para ulama belum berhasil memisahkan beberapa
hadis mauquf dan maqtu’ dari hadis marfu’. Begitupula halnya dengan
memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan, masih ada
hadis maudu’ yang tercampur pada hadis shahih. Pada masa ini, para ulama
bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadis yang diterimanya.
18 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 55.
19 Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo: Darussalam, 1998), hlm. 104-105.
15
Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan
hadis-hadis yang dhaif dari yang sahih dan hadis-hadis yang mauquf dan yang
maqtu’ dari yang ma’ruf, meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih
ditemukan terselipnya hadis yang dhaif pada kitab-kitab sahih karya mereka.20
Dengan ketekunan dan kesabaran para ulama pada masa ini akhirnya
bermunculan berbagai kitab-kitab hadis yang lebih sistematis, seperti
munculnya kutub as-sittah yang hanya memuat hadis-hadis nabi yang sahih
yaitu:
a. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Bukhari (194-252 H)
b. Al- Jami as-sahih sebuah karya imam Muslim (204-261 H)
c. As-sunan kitab karya Abu Daud (202-275 H)
d. As-sunan kitab karya Tirmidzi (200-279 H)
e. As-sunan kitab karya Nasa’i (215-302 H)
f. As-sunan kitab karya Ibnu Majah (207-273 H)
4. Masa Penyempurnaan Sistem kodifikasi Hadis (abad ke-5 dan
seterusnya).
Pada masa-masa sebelumnya tampak dengan jelas bahwa pembukuan
hadis dari tahun ketahun semakin menunjukkan perkembangan yang
signifikan, hal ini dikarenakan usaha keras dari para pendahulu yang
mencurahkan segenap daya dan upaya mereka demi melestarikan hadis nabi.
Mereka berlomba-lomba untuk menemukan sistem yang baik dalam
membukukan hadis mulai dari proses pembukuan yang masih acak hingga
berkembang menjadi sebuah kitab yang merupakan kumpulan hadis yang
lebih sistematis. Pada masa ini (abad ke-5) ulama hadis cenderung lebih
menyempurnakan susunan pembukuan hadis dengan cara
mengklasifikasikannya dan menghimpun hadis-hadis dengan sesuai dengan
kandungan dan sifatnya kedalam sebuah buku. Disamping itu mereka
memberikan pen-syarahan (uraian) dan meringkas kitab-kitab hadis yang
telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Yakni usaha ulama hadis pada
masa ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem pembukuan hadis
20 H Mudasir, Ilmu..., hlm. 109.
16
dengan beberapa fariasi kodifikasi terhadap kita-kitab yang sudah ada,
sehingga muncul berbagai kitab hadis diantaranya:
Pertama, kitab-kitab hadis tentang hukum. Meliputi:
a. Sunan al-Kubra, sebuah karya Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali al-
Baihaqi (384-458 H.)
b. Muntaqal Akhbar, sebuah karya Majdudin al-Harrany (652 H).
c. Nailul Authar, sebagai syarah (penjelasan) dari kitab Muntaqal Akhbar,
karya Muhammad bin Ali as-Syaukani (1172-1250 H).
Kedua, kitab-kitab hadis tentang targhib wattarhib, meliputi:
a. Al-Targhib wa al-Tarhib, karya Imam Zakiyuddin Abd Adzim al-
Mundziry (656 H).
b. Dalil al-Fatihin, sebagai Syarah dari kitab Riyadussalihin, karya
Muhammad Ibnu Allan al-Siddiqy (1057 H).
Ketiga, kamus-kamus hadis untuk memudahkan men-takhrij, meliputi:
a. Al-Jami’ussaghir fii Ahaditsil basyirnnadhir, karya Imam Jalaluddin
Suyuthi (849-911 H).
b. Dakhairu al-Mawarits fii al-Dalalati ala Mawadi’i al-Ahadis, karya
sayyid Abdul Ghani.
c. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadhil hadis an-nabawy, karya Dr. A.J.
Winsinc dan Dr. J.F. Mensing
d. Miftahu Kunuz al-Sunnah, karya Dr. Winsinc21
Selain kitab-kitab diatas masih banyak lagi yang belum disebutkan.
Dengan demikian hadis nabi telah melewati perjalanan panjang dalam sejarah
pembukuannya sebagai upaya dari tanggung jawab generasi penerus untuk
selalu menjaga dan melestarikan pusaka yang telah diberikan oleh nabi
Muhammad kepada umatnya.
21 Fatchur Rahman, Ikhtisar..., hlm. 60.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah hadis nabi telah melewati perjalanan panjang, dimana
setiap periode mempunyai jasa begitu besar terhadap penyebaran dan
perkembangan hadis sebelum sampai dalam keadaan baik ketangan kita
sekarang ini. Percetakan modern juga ikut berjasa dalam membantu
penyebaran warisan yang agung ini. Oleh karena itu dari pembahasa-
pembahasan di atas dapat kita simpulkan beberapa hal diantaranya:
1. Adanya larangan dan perintah menulis hadis oleh nabi pada priode awal
yang terkesan sangat rancu dan bertolak belakang, bukanlah merupakan
nash-nash yang saling bertentangan. Sebenarnya larangan menulis hadis
pada priode nabi bersifat umum, karena sabdanya memang ditujukan
kepada para sahabat pada umumnya. Namun diantara mereka ada yang
terpercaya, ada yang baik hafalannya, dan ada yang bagus tulisannya
sehingga dalam waktu yang bersamaan, rasulullah memberi izin khusus
kepada sebagian sahabat-sahabatnya, karena pertimbangan akan situasi,
kondisi dan sifat pribadi sahabat.22
2. Kegigihan para sahabat, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in dalam menjaga,
melestarikan, dan menyebarkan dua wasiat yang diwariskan oleh nabi
yang berupa al-qur’an dan hadis sehingga sampai kepada generasi
sesudahnya.
3. Dalam setiap perubahan dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mencapai titik
yang lebih sempurna.
4. Tugas kita sebagai generasi penerus adalah menjaga dan melestarikan
kedua pusaka itu dan mengajarkannya kepada generasi-sesuadah kita.
22 Subhi as-Salih, Membahas..., hlm. 37.
18
B. Saran
Di penghujung tulisan ini kami berharap semoga kita semua mampu
menjaga dan mengamalkan perintah-perintah agama yang terkandung di
dalamnya sehingga kita bisa menjadi orang-orang yang beruntung dan
mendapat petunjuk-Nya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Azami. Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974.
Hilwah. Mahmud Abdul Kholik, Manahijun Nubala’ fi al-Riwayah wa al-Tahdis, Kairo:
Dar al-Kutub, 2002.
Juynboll, G.H.A., Muslim Tradition, London: Canbridge University, 1983.
Khatib. Muhammad ‘Ujjaj Al-, As sunnah Qabla Tadwin, Kairo: Percetakan Wahbah,
1963.
Mudasir. H., ilmu Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Darussalam,
1998.
Salih. Subhi as-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2007.
Zuhri. MUH., Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003.
http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/05/studi-sejarah-hadis/
20
[1] Subhi as-Salih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm.34.
[2] H Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 91-93.
[3] Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 42-43.
[4] Ibid., hlm. 43.
[5] ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Dar al-Fikr, 1981),
hlm. 166.
[6] H Mudasir, Ilmu..., hlm. 102.
[7] Muh. Zuhri, Hadis..., hlm. 44.
[8] Ibid., hlm. 44.
[9] Ibid., hlm. 44.
[10] Ibid., hlm. 45.
[11] Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, As- Sunnah..., hlm. 173.
[12] Ibid., hlm. 173-174.
[13] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, (London: Canbridge University,
1983), hlm. 44.
[14] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), hlm. 454.
[15] Subhi as-Salih, Membahas..., hlm. 57.
[16] H Mudasir, Ilmu..., hlm. 106.
[17] Muh. Zuhri, Hadis…, hlm. 54.
[18] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1974), hlm. 55.
[19] Mustafa as-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fii al-Tasyri’ al-Islami,
(Kairo: Darussalam, 1998), hlm. 104-105.
[20] H Mudasir, Ilmu..., hlm. 109.
[21] Fatchur Rahman, Ikhtisar..., hlm. 60.
[22] Subhi as-Salih, Membahas..., hlm. 37.
21
22