b a b iii
DESCRIPTION
hgfhfgfgTRANSCRIPT
B A B III
LANDASAN TEORI
3.1 Kegiatan Persiapan
Kegiatan persiapan ini dimaksudkan agar kegiatan peledakan dapatberjalan dengan
baik dimana jumlah batugampingyang terbongkar sesuai dengan yang direncanakan sehingga
target produksi dapat tercapai.
Dari evaluasi yang dilakukan, bahwa untuk mendapatkan produksi peledakan yang
sesuai dengan target produksi dengan memperhitungkan Keselamatan Kerja dan kesehatan
sangat erat hubungannya dengan perencanaan peledakan yang dilakukan. Pelaksanaan
peledakan yang tidak terencana akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :
1. Jumlah batuan yang terbongkar sebagai hasil peledakan sangat sedikit.
2. Kemungkinan adanya lubang yang gagal ledak (Miss fire) lebih besar
3. Terjadi peledakan premature yang membahayakan keselamatan kerja.
4. Fragmentasi peledakan tidak sesuai dengan kemampuan alat muat dan alat angkut serta
tidak sesuai dengan kebutuhan dalam pengolahan selanjutnya
5. Terjadi flyrock, dan airblash serta timbul gas-gas beracun yang membahayakan
6. Kecelakaan kerja dan kerusakan alat
7. Waktu untuk pelaksanaan peledakan menjadi lama sehingga dapat menurunkan produksi.
Kegiatan peledakan yang tidak terencana menyebabkan biaya yang besar untuk setiap
ton batuan yang dihasilkan. Hal ini akan merugikan perusahaan, sehingga dibutuhkan
persiapan yang terencana. Kegiatan persiapan ini meliputi :
3.1.1 Persiapan Areal Peledakan
Daerah yang akan diledakan sebelum dilakukan pengeboran harus diratakan dengan
menggunakan Bulldozer, untuk menghindari batuan yang melayang akibat adanya ceceran
batuan yang menempel pada batuan yang akan diledakan. Selain itu juga agar tidak terjadi
kendala dalam melakukan pemboran untuk pergerakan alat bor.
3.1.2 Persiapan Lubang Ledak
Sebelum melakukan pemboran, terlebih dahulu harus ditentukan titik-titik lubang
ledak dengan burden dan spacing tertentu. Kemudian dilakukan pemboran dengan tujuan
3-1
B
Free face
B
Free face
agar lubang ledak di lapangan lebih teratur letaknya sehingga pada akhirnya akan
mempengaruhi terhadap arah lemparan batuan hasil peledakan.
3.2 Pemboran (Drilling)
3.2.1 Tujuan Pemboran
Di bidang pertambangan terutama yang berkaitan dengan kegiatan peledakan, kegiatn
pemboran bertujuan untuk menyiapkan lubang ledak.
3.2.2 Pola pemboran
Pola pemboran merupakan pengaturan jarak antara lubag-lubang bor yang sejajar
bidang bebas (spacing) atau jarak antara lubang-lubang bor dengan bidang bebas (Burden).
Pola pemboran yang diterapkan adalah pola sejajar, dan kadang-kadang digunakan pola zig-
zag.
a. Pola Pemboran Bujur Sangkar (Square Drill Pattern)
Pada pola pemboran ini jarak burden dan spacing adalah sama. Perlu diperhatikan pola
pemboran dan pola peledakan dengan delay detonator untuk mendapatkan fragmentasi
dan arah lemparan yang diinginkan, (lihat gambar 3.1).
Gambar 3.1 Pola Pemboran Bujursangkar Sejajar (Square Drill Pattern)
b. Pola Pemboran Zig-zag (Stregret Pattern)
Pola pemboran yang menghubungkan antara square pattern dan rectangular
pattern yang dibuat zig-zag.
3-2
S
S
Gambar 3.2 Pola Pemboran Zig-zag (Straggred Pattern)
3.2.3 Peralatan pemboran
Alat-alat mekanis yang tersedia dalam kegiatan penambangan batugamping ditinjau
dari produksi pemboran dan produksi peledakan terdiri dari :
- Dua unit mesin bor jenis FURUKAWA HCR1500-ED dengan umur alat satu tahun.
- Satu unit mesin bor jenis FURUKAWA HCR1500-GWW dengan umur alat kurangdari
satu tahun.
3.2.4 Pedoman Pelaksanaan Pemboran
Apabila teori dasar yang telah dipahami serta perencanaan yang sudah, maka
pedoman pelaksanaan harus dipahami, diuji dan dilaksanakan. Setiap pengalaman baru yang
didapat dari hari ke hari menjadi pedoman pelaksanaan dan dianggap sebagai suatu
pengalaman baru untuk dipahami. Pedoman pelaksanaan berdasarkan pengalaman dan
disesuaikan dengan jenis alat yang digunakan, kondisi material serta keadaan lokasi tempat
kerja harus memperhatikan hal-hal yang meliputi .
- Sasaran produksi harus tercapai
- Dimensi bench dan pola pemboran harus diikuti sesuai dengan perencanaan.
- Apabila daerah yang akan dibor relatif kurang rata, dalam menjalankan alat eor harus
hati-hati.
- Apabila membor pada musim hujan agar tercapai sasaran produksi,maka lubang bor
tersebut harus diledakan hari itu juga agar tidak terisi air atau cutting pemboran, hal ini
dimaksudkan agar hasil ledaknya lebih baik.
- Penempatan posisi lubang bor harus tepat, agar dalam peledakan distribusi energi masing-
masing lubang tembak relatif merata cuna mencapai fragmentasi yang dikehendaki.
3.2.5 Hambatan dalam Pemboran
Hambatan dalam kegiatan pemboran umumnya terjadi karena kondisi batuan,dan
tempat kerja operasi di lapangan pemboran antara lain sebagai berikut :
a. Kondisi batuan
Dapat mempengaruhi aktivitas pemboran seperti adanya rongga atau rekahan. Hambatan
ini terjadi pada saat mengangkat batang bor.
b. Lapangan pemboran
3-3
Hambatan yang muncul dari lapangan pada saat pemboran dipengaruhi oleh cuaca
terutama jika terjadi hujan yang menyebabkan medan basah dan adanya genangan air
yang megakibatkatkan produksi pemboran menurun. Dimana material biasa sulit untuk
dikompresor pada saat mencabut batang bor menyita waktu yang agak lama.
c. Kerusakan alat (property error) ataupun kesalahan manusia (human error).
d. Alat bor
Hambatan yang sering muncul dari alat bor adalah dari bit yang sudah aus tekanan angin
turun / kurang Hal ini disebabkan kecepatan masuknya bit tidak seimbang dengan
flushing cutting, sehingga debuhasil pemboran tertumpuk di atas bit sekeliling rod yang
semakin lama semakin padat yang akan mengakibatkan alat bor tidak dapat bergerak atau
macet.
3.2.6 Produktivitas Pemboran
a. Efisiensi Kerja Pemboran
Yang dimaksud dengan efisiensi kerja alat bor adalah perbandingan antara waktu
yang digunakan oleh alat untuk produksi dengan waktu yang tersedia dikali seratus
persen,sehingga dinyatakan dalam persen,untuk lebih jelasnya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Eff =
T 1T 2 x 100% ……………………………. (3.1)
Dimana : Eff = Efisiensi kerja (%)
T1 = Waktu kerja efektif (Jam)
T2 = Total waktu yang tersedia (Jam)
b. Kecepatan pemboran
Kecepatan pemboran adalah kesanggupan alat bor untuk mencapai kedalaman
tertentu dalam waktu siklus tertentu (Cycle time),dapat dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut :
Vt = HT
…………………………………….. . (3.2)
Dimana : Vt = Produksi (Lubang/perjam)
3-4
T = waktu yang dibutuhkan (Menit)
H = Kedalaman Lubang bor
c. Waktu Edar Alat Bor
Cycle time pemboran merupakan waktu yang dihitung untuk setiap satu siklus kerja
dari alat bor. Pada kegiatan pemboran dengan kedalaman dua steel dan tiga steel
(batang bor), cycle time dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Untuk dua batang bor:
CT = Wp + Wb1 + Ws1,2 + Wb2 + Wa1,2…………………………… (3.3)
Untuk tiga batang bor
CT = Wp + Wb1 + Ws1,2 + Wb2 + Ws2,3 + Wb3 + Wa1,2,3……..…… (3.4)
Dimana : Ct = Cycle time
Wp = Waktu pindah alat bor
Wb1 = Waktu Bor batang bor pertama
Ws1,2 = Waktu menyambung batang bor 1 dan 2
Wb2 = Waktu bor batang bor kedua
Ws2,3 = Waktumenyambung batag bor 2 dan 3
Wb3 = Waktu bor batang bor ketiga
Wa1,2,3 = Waktu angkat batang bor
d. Efisiensi Penggunaan Alat Bor
Untuk mengetahui efisiensi dari alat bor, beberapa pengertian yang dapat menunjukan
keadaan alat ekanis dan efektifitas operatornya, antara lain sebagai berikut :
1. Efisinsi Operasional (Physical Avability)
Adalah tingkat kemampuan alat untuk berproduksi yang dipengaruhi oleh
operator.
PA = W +S
TX 100 % ……………………………........... (3.5)
2. Efisiensi Mekanis (Mechanical Avability)
Adalah tingkat kemempuan alat untuk berproduksi yang dipengaruhi oleh factor
mekanis seperti factor pengisian bahan bakar, dan perbaikan suku cadang.
3-5
MA = W
W +RX 100 % ………………………………… (3.6)
3. Efesiensi Waktu (Use Avability)
Adalah tingkat penggunaan alat atau pemakaian alat dalam kondisi siap pakai atau
untyuk mengetahui alat mekanis yang beroperasi pada saat alat mekanis itu dapat
digunakan, yang mana jumlah jam kerja produktif dan jumlah siap pakai
dipandang sebagai jam kerja keseluruhan.
UA = W
W +SX 100 % ………………………………….… (3.7)
4. Efisisesi Kerja (Efective Utilization)
Adalah tingkat produktivitas alat (jam kerja produktif) atau waktu yang digunakan
alat-alat mekanis untuk beroperasi dari waktu kerja yang disediakan.
EU = WT
X 100 % …………………………………………… (3.8)
Dimana : W = Waktu kerja
S = waktu stanbay meliputi pemanasan mesin, dan persiapan operator.
R = Waktu perbaikan alat meliuti pengisian bahan bakar, pengecekan minyak
pelumas dan penggantian suku cadang.
T = watu total yang tersedia
e. Produksi Alat Bor
Produksi alat bor adalah jumlah lubang yang dihasilkan selama alat bor bekerja,
dinyatakan dlam jam. Dapat dirumuskansebagai berikut :
P = Eff x 60 menit / jam
CT x Waktu kerja (T) …………. (3.9)
Dimana : CT = Cycle Time (menit)
P = Produksi alat bor per hari/lubang
Eff = Efisieensi kerja alat bor
3.3 Peledakan (Blasting)
Peledakan adalah merupakan salah satu aktivitas pemisahan, yaitu pekerjaan yang
dilakukan untuk membebaskan batuan dari batuan induknya yang massive. Tujuan dari
kegiatan peledakan adalah memecah atau membongkar batuan padat menjadi material yang
3-6
berukuran tertentu yang cocok untuk proses produksi selanjutnya. Selain itu dapat pula
bertujuan untuk membuat rekahan yang umum diperuntukkan dalam kegiatan penambangan
lain seperti penambangan marmer.
3.3.1 Metode peledakan
Metode peledakan yaitu cara yang digunakan untuk meledakkan suatu batuan, adapun
metode peledakan yang digunakan pada PT Semen Tonasa adalah dengan menggunakan
Detonator listrik (Electrik detonator),dynamit dan ANFO
Jenis detonator ini penyalaannya dengan arus listrik yang dihantarkan melalui kabel
khusus. Pada kedua ujung kabel di dalam tabung detonator listrik dilengkapi dengan jenis
kawat halus yang telanjang yang apabila dilewati arus listrik akan berpijar.
Setiap detonator listrik dilengkapi dengan kabel listrik yang berhubungan langsung ke
dalam tabung detonator. Panjang kabel ini bermacam-macam, sehinggga dapat disesuaikan
dengan kedalaman lubang.
Metode peledakan yang diterapkan adalah cara detonator listrik jenis Milli Second Delay
dengan nomor delay 0 sampai delay 10.Peledakan untuk satu areal dapat dilakukan serentak
(sekaligus) namun yang paling sering dilakukan adalah dengan cara delay (berurutan) hal ini
dilakukan untuk meredam suara,getaran hasil ledakan dapat terjaga atau terkontrol.
3.3.2 Pola Peledakan
Pola peledakan diperlukan dengan tujuan unutk mendapatkan ukuran fragmentasi dan
arah lemparan batuan yang diinginkan, pola peledakan terdiri atas:
a. Square Pattern
Pada umumnya square pattern digunakan dengan kombinasi V delay pattern (Gambar
3.4) artinya bahwa ketika peledakan berlangsung maka batuan hasil peledakan akan
berkumpul ketengah berbentuk huruf V sesuai dengan nomor delay yang terkecil. Adanya
detonator delay maka seorang blaster dapat membagi ledakan manjadi beberapa bagian
yang lebih kecil ledakannya. Dengan detonator delay dapat memberikan penundaan di
antara lubang tembak yang terdekat. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari
pengaturan nomor delay yakni:
a. Mengurangi getaran
b. Mengurangi batu terbang (fly rock)
c. Mengurangi over break (melewati batas porimeter)
d. Mengurangi suara ledakan
3-7
46 Recommended
34
6
10
6
7
2
3
4
35 5
3 2 2 34 41
4
45
7 5 5 6
Solid Solid
Free face
Gambar 3.3 V delay Pattern
b. Rectangular Pattern
Rectangular pattern biasanya dibuat dengan sistim staggered pattern untuk mendapatkan
distribusi bahan peledak dengan baik. Dengan pola ini baris demi baris daripada delay
pattern lebih cocok seperti pada (Gambar 3.5) cara ini sering dipakai untuk memotong
over burden dimana lemparan optimum diperlukan. Bila getaran menjadi batasan,
pemboran diperbanyak dan tiap barisnya juga dipasang delay detonator yang lebih banyak
seperti pada (Gambar 3.6).
3-8
Gambar 3.4 Pola Peledakan Baris demi baris
1 321 1 2 2
3 543 3 4 4
5 765 5 6 6
7 987 7 8 8
9 10109 9
Free Face
Free Face
10
Solid
1 522 1 3 4
2 633 2 4 5
3 744 3 5 6
4 855 4 6 7
5 966 5 7
68
Gambar 3.6 Streggered Pattern dengan peledakan kearah pojok
6 1077 6 8
69
Gambar 3.6 Streggered Pattern dengan peledakan kearah pojok
45 3
56 4
57 5
78 6
89 7
910 8
DIRECTIONOF
MOVEMENT
Gambar 3.6 Arah Lemparan dengan System Narrower V Type delay Patteren
3.3.3 Desain Peledakan
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang peledakan antara lain :
a. Burden
3-9
Gambar 3.5 Steggered Pattern Dengan Peledakan ke Arah Pojok (Corner)
6 147 5 3 2
3 53
8 369 7 5 4
7 9
710
7
6 5
10 5810 9 7 6
58 4 3 2
4
67
8
Free Face
Free Face
Solid
Burden adalah jarak tegak lurus dari lubang peledakan ke bidang bebas yang terdekat.
Penentuan burden tergantung pada densitas batuan, densitas bahan peledak (bahan
peledak yang digunakan), diameter bahan peledak atau diameter lubang peledakan dan
fragmentasi yang dibutuhkan. Formula R. L. Ash (The Mekanik Of Breakage, 1963).
Faktor penentu :
Batuan yang diledakkan (Af1)
Bobot isi standar (Dstd) = 160 lb/ft
Bahan peledak yang dipakai (Af2)
SGstd = 1,20 ; Vestd = VODstd = 12000 fps
Diameter lubang ledak atau bahan peledak (De)
B =
KbxDe ¿12 ¿
¿¿feet atau B =
KbxDe ¿39 , 3 ¿
¿¿
meter ..................... (3.10)
Dimana :
B = Burden
De = Diameter lubang tembak = diameter dodol handak
Kb = Burden ratio
Kb = Kbstandart × Af1 × Af2
Kbstandart = 30
Af1 = ( Dstd
D )1
3
………….........…………........ ....... (3.11)
Af2 = ( SGxVe2
SG std xVestd
2 )1
3
…………………..….......... (3.12)
Dimana :Af1 = Batuan yang akan diledakkan
Af2 = Bahan peledak yang digunakan
Dstd = density batuan standar
D = Density batuan yang diledakkan
SG = Berat jenis bahan peledak yang digunakan
Ve = Kecepatan rambat bahan peledak yang dipakai
SGstd = Density bahan peledak standar
Vestd = Kecepatan rambat bahan peledak standar
3-10
Burden merupakan variabel yang sangat penting dalam mendesain peledakan. Dengan
jenis bahan peledak yang dipakai dan batuan yang dihadapi, burden harus disesuaikan
supaya proses peledakan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik (Gambar 3.8)
memberikan ilustrasi efek variasi jarak dengan jumlah bahan peledak formasi yang sama.
b. Spacing
Spacing adalah jarak di antara lubang tembak dalam baris (row) yang sama, tegak lurus
terhadap burden, baik untuk nomor delay yang sama maupun beda waktu delaynya
KS =
SB S = B x KS …………………………… .(3.13)
Dimana :KS = Koreksi spacing
S = Spacing (ft)
B = Burden
Besarnya KS menurut waktu delay yang dipergunakan adalah :
- Long interval delay KS = 1
- Short period delay KS = 1 – 2
- Normal Period delay KS = 1,2 -1,8
c. Stemming
Stemming adalah penempatan material isian (cutting pemboran) di atas bahan peledak
pada lubang peledakan untuk menahan energi, mencegah terjadinya gelombang tekanan
udara (air blast) dan batuan melayang (fly rock) yang disebabkan tekanan gas-gas hasil
ledakan. Ukuran stemming secara umum dapat ditentukan dengan cara dimensi burden
dikalikan dengan 0,7, stemming juga biasa disebut collar
KT =
TB T = B x KT ..................................... .(3.14)
Dimana : KT = Koreksi Stemming (0,5 - 1) rata-rata 0,7
T = Stemming, bila kecil bisa timbul air blast
B = Burden
d. Sub Drilling
Subdrilling merupakan jarak pemboran lubang peledakan yang berada di bawah dasar
teras (jenjang). Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan (toe) pada lantai,
Karena di bagian ini merupakan tempat yang paling sukar diledakkan. Peledakan dengan
subdrilling memberikan tegangan tarik yang cukup besar pada dasar jenjang, selain itu
juga mengurangi keterikatan dengan bagian lainnya yang menyebabkan bagian dasar
mudah hancur dan tidak terjadi tonjolan (toe).
3-11
4
28
24
12
20
16
8
5125 6438 76 89 102 115 127 140 152 165
Secara umum panjang subdrilling dapat ditentukan paling tidak 0.3 ~ 0,5 kali burden.
KJ =
JB J = B x KJ .................................... .(3.15)
Dimana : KJ = Koreksi subdrilling = 0,3 untuk batuan massive
J = Subdrilling
B = Burden
e. Kedalaman Lubang Bor
Kedalaman lubang ledak tidak kurang dari ukuran burden, hal ini untuk menghindari
terjadinya overbreak ataupun cratering. Kedalaman lubang ditentukan dengan
mempertimbangkan stiffness ratio, yaitu perbandingan antara tinggi jenjang dengan jarak
burden (L/B) untuk menghindari efek samping yang mungkin terjadi (lihat tabel 3.1).
Tidak boleh lebih kecil dari pada burden untuk mencegah overbreaks atau creatin.
Kh =
HB H = B x Kh ................................ (3.16)
Dimana : Kh = Hole dept ratio (1,5 - 4) rata-rata 2,6
H = Kedalaman lubang bor (feet)
B = Burden
f. Diameter Lubang Ledak
Untuk mencapai tingkat penyebaran energi yang baik digunakan diameter lubang
peledakan (mm) yang sebanding dengan ketinggian teras (m) atau didasarkan pada
ketersediaan alat bor yang dipakai. Secara umum diameter lubang akan sedikit lebih besar
daripada diameter mata bor yang mengakibatkan kapadatan pengisian lebih tinggi.
Surface Drilling and Blasting
Gambar 3.7 Hubungan Diameter Lubang Bor Dengan Ketinggian Jenjang
3-12
Not Recommended
Not Recommended
Tabel 3.1
Hubungan Stiffness Ratio (L/B) dengan Efek Ledakan
Stiffness
RatioFragmentation Airblast Flyrock
Ground
VibrationKomentar
1 Buruk Besar Besar
Besar Banyak muncul backbreak
dibagian toe. Jangan
diledakkan. Diharapkan
didesain ulang.
2 Sedang Sedang Sedang SedangDidesain ulang jika
memungkinkan
3 Baik Kurang Kurang KurangKontrol dan fragmentasi yang
baik
4Memuaskan
Sangat
kurang
Sangat
kuarang
Sangat
kurang
Tidak menambah keuntungan
dengan stiffness ratio diatas 4.
g. Tinggi jenjang
Ketinggian jenjang biasanya ditentukan oleh parameter di lapangan misalnya jangkauan
oleh peralatan bor dan alat gali-muat yang tersedia. Tinggi jenjang disesuaikan dengan
kemampuan alat bor dan diameter lubang, dimana jenjang yang rendah dipakai diameter
lubang kecil sedangkan diameter lubang bor besar untuk jenjang yang tinggi. Penerapan
jenjang tinggi di lapangan bervariasi, tergantung dari posisi endapan bahan galian.
h. Arah Lubang Bor
Dalam suatu peledakan yang efektif dan efisien arah lubang bor adalah salah satu faktor
yang menentukan hasil dari peledakan dimana pada masing-masing lubang bor memilki
kelebihan dan kekurangan masing-masing:
1. Lubang Bor Vertikal (Vertikal Blastholes)
Suatu jenjang apabila diledakkan dengan menggunakan lubang bor tegak, maka
bagian lantai jenjang akan menerima gelombang tekan besar, gelombang tekan
3-13
Sumber : Blast Design
tersebut bila sampai pada bidang bebas, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi
diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.
Kelebihan lubang tegak antara lain :
a. Waktu pemboran dibutuhkan tidak lama
b. Lebih mudah dalam pembuatannya.
Kekurangan lubang tembak tegak antara lain :
a. Fragmentasi dan tumpukan hasil peledakan kurang baik
b. Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai jenjang (Toe)
2. Lubang Bor Miring (Inclined Blastholes)
Pada lubang tembak miring gelombang tekan pada bagian bawah lubang besar,
sedangkan gelombang tekan yang diteruskan pada bagian bawah jenjang lebih kecil.
Kelebihan Lubang Miring antara lain :
a. Distribusi energi lebih besar
b. Mengurangi over break
c. Kontrol lantai lebih bagus
d. Tingkat kestabilan dinding lebih bagus
Kekurangan dari Lubang tembak miring :
a. Penyetelan alat sangat perlu diperhatikan
b. Umumnya umur mata bor pendek karena cepat aus
c. Biaya pemboran permeternya lebih besar
d. Membutuhkan tenaga ahli dalam pengeboran
e. Membutuhkan jenjang yang lebih luas
Gambar di bawah ini menunjukkan perbedaaan antara arah pemboran dengan lubang
bor tegak dan lubang bor miring.
3-14
½ S½ S
Lebar = ∑ row x B
B
Gambar 9
Lubang Bor Vertikal Lubang Bor Miring
(Gambar 3.8)
Keterangan Gambar :
A. Daerah terjadinya “Back Break”
B. Daerah terjadinya bongkahan besar
C. Gelombang tekanan yang diteruskan
D. Gelombang tekanan yang dipantulkan
E. Stemming
F. Bahan peledak
G. Primer
i. Jumlah Bahan Peledak
E = PC x de x N ………………………………………..………… (3.17)
Dimana : E = Jumlah bahan peledak
PC = Tinggi isian bahan peledak (H - T)
De = loading density
N = Jumlah lubang bor
Jika pola peledakan selang seling (staggered pattern), maka :
N = ∑ row x n + variable (berdasarkan jumlah baris)
Variable adalah jumlah penambahan lubang pada baris tertentu
Panjang (P) = (n - 1) S n =
PS + 1
Contoh :
Jika n = 3, jumlah baris 3 hitunglah N ?
Jawab :
3-15
N = ∑ row x n + 1 1 adalah variable
= 3 x 3 + 1
= 10
j. Volume Setara (Equvalen Volume)
Suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet pemboran setara dan sejumlah
volume atau berat tertentu material/batuan yang diledakkan, dinyatakan dalam m3/m,
ft3/ft, ton/ft.
Eq =
WNxH ……………………………………………..………… (3.18)
Dimana : Eq = Volume setara
H = Kedalaman lubang bor
N = Jumlah lubang bor
Eq berguna untuk menaksirkan kemampuan alat bor yang dipergunakan untuk lubang
tembak dan sangat tergantung pola peledakan.
k. Volume Hasil Ledakan
Volume hasil ledakan merupakan dimensi burden (B) dikalikan dengan jarak lubang
dalam satu row yang sama (S) serta dikalikan dengan ketinggian teras (L). Satuan volume
hasil ledakan dinyatakan dalam Bank Cubic Metric (BCM) untuk mendapatkan volume
dalam satuan Ton, dikalikan dengan densitas batuan.
V = B x S x L x N x D ...................................................... (3.19)
Dimana : V = Volume Batuan yang Terbongkar (Ton)
B = Burden (m)
S = Spacing (m)
L = Tinggi jenjang (m)
N = Banyaknya Lubang
D = Density Batuan (ton/m³)
l. Kepadatan Pengisian
3-16
Kepadatan pengisian merupakan jumlah bahan peledak setiap satuan panjang, sama
dengan 0.000785 dikalikan dengan densitas bahan peledak dikalikan dengan kuadrat
diameter bahan peledak. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Q = 0,000785 x SG x De2 .............................................................. (3.20)
Dimana : Q = Kepadatan pengisian
SG = Berat jenis bahan peledak
De = Diameter bahan peledak
m. Blasting Ratio
Blasting ratio adalah jumlah berat bahan peledak setiap volume hasil ledakan. Penerapan
blasting ratio dilapangan jarang tepat karena pengaruh pengisian bahan peledak.
BR= EW ……………………………………………………..……….... (3.21)
Dimana : BR = Blasting Ratio
E = Jumlah Pemakaian Bahan Peledak
W = Volume material Hasil Peledakan
n. Powder Faktor (PF)
Suatu bilangan yang menyatakan jumlah material/batuan yang diledakkan atau dibongkar
oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dinyatakan dalam ton/lbs atau lbs/ton.
Pf =
WE Ton/lbs …………………………………………………… (3.22)
Dimana: Pf = Powder Factor
W = Volume material hasil peledakan
E = Jumlah bahan peledak
o. Konfigurasi Pola Lubang Peledakan
Hal ini tergantung pada diameter lubang ledak, sifat-sifat batuan, sifat-sifat bahan
peledak, tinggi jenjang dan hasil yang diinginkan. Pada umumnya ada tiga jenis pola
peledakan yang sering diterapkan, yaitu pola persegi panjang (rectangler), pola bujur
sangkar (square), dan pola selang seling (staggered).
p. Letak Primer
Penempatan primer pada bagian bawah isian bahan peledak akan memberikan efek
detonasi yang lebih bagus terhadap isian bahan peledak dibanding penempatan primer
pada bagian atas isian bahan peledak. Pada dasar isian, gelombang detonasi merambat
3-17
sepanjang isian bahan peledak dengan baik karena berada pada daerah pengurungan yang
bagus. Jika stemming dipadatkan dengan bagus energi peledakn akan lebih bagus dan
efek pelepasan batuan merata di sekitar lubang tembak.
Selain gelombang detonasi merambat ke atas dalam kolom isian bahan peledak dengan
tekanan tinggi, juga merambat kedalam batuan.
3-18
Gambar 3.9 Efek Top Dan Bottom Priming
3.3.4 Hal-hal Yang Mempengaruhi Rancangan Peledakan
a. Kepekaan Lokasi
Kondisi lokasi disekitar lokasi peledakan dalam hal perkiraan getaran dan tingkat getaran
yang diperbolehkan pada struktur terdekat.
b. Perpindahan Tumpukan Material Hasil Ledakan (Muckpile)
Arah perpindahan tergantung pada jalur daya tahan paling kecil yang dapat ditelusuri
energi bahan peledak, dimana urutan delay dapat mengendalikan arah dan tingkat
perpindahan material hasil ledakan pada rancangan peledakan yang tepat (stemming yang
baik, distribusi energi yang tepat, toe yang kecil, dll).
c. Pengendalian Dinding
Interval delay yang terlalu singkat antara lubang dalam satu baris dan antar baris dapat
menyebabkan overbreak yang berlebihan.
d. Geologi
Batuan berlapis dengan kohesi terbatas dapat bergeser sehingga menyebabkan patahnya
bahan peledak. Sedangkan batuan besar yang banyak retakannya dapat mengalirkan gas
bahan peledak ke semua arah sehingga meningkatkan potensi terjadinya cut off.
3-19
e. Kondisi Air
Batuan jenuh (lubang peledakan yang terisi air) dapat meneruskan tekanan air dari
peledakan ke daerah-daerah di sekitarnya (water hammer). Tekanan ini dapat
menyebabkan decoupling isi bahan peledak atau meningkatkan densitasnya sampai ke
titik yang tidak memungkinkan terjadinya ledakan.
f. Bahan Peledak yang digunakan
Produk bahan peledak dengan densitas yang lebih besar (> 1,25 g/cc) yang menggunakan
udara tersirkulasi untuk mengatur kepekaan, mudah dead pressing dari lubang yang
berdekatan.
g. Sederhana
Rancangan yang rumit akan memerlukan waktu tambahan untuk menghubungkan dan
mengevaluasi rangkaian (dengan memeriksa penyambungan pada konfigurasi delay).
h. Biaya
Dengan meningkatnya kerumitan rancangan, biaya biasanya akan meningkat. Biaya ini
harus dipertimbangkan berdasarkan biaya modifikasi rancangan lain agar diperoleh
efisiensi biaya.
3.3.5 Jenis Bahan Peledak
Bahan peledak adalah bahan senyawa kimia tunggal atau campuran berbentuk padat,
cair, gas atau campuran yang apabila dikenai suatu aksi panas, benturan, gesekan atau
ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat, hasil reaksinya
sebagian atau seluruhnya berbentuk gas dan disertai panas dan bertekanan sangat tinggi yang
secara kimia lebih stabil.
Bahan peledak yang diperdagangkan umumnya adalah campuran dari persenyawaan
yang mengandung 4 (empat) elemen dasar yaitu : C (Carbon), H (Hidrogen), O (Oksigen).
Kadang-kadang ada persenyawaan lain dengan tambahan elemen seperti Sodium,
Aluminium, Calcium dan sebagainya yang gunanya untuk menghasilkan pengaruh-pengaruh
tertentu dari bahan peledak yang dibentuknya.
Berdasarkan komposisinya, bahan peledak dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan,
yaitu:
a. Senyawa tunggal, yaitu bahan peledak yang terdiri dari satu macam senyawa saja.
Contoh : PETN (Penta Erythritol Tetra Nitrat), TNT (Tri Nitro Toluena)
b. Campuran, yaitu bahan peledak yang terdiri dari berbagai senyawa tunggal.
Contoh : Dinamit, black powder, ANFO (Ammonium Fuel Oil).
3-20
Berdasarkan kecepatan perambatan reaksinya, bahan peledak dapat dibagi menjadi :
a. Low Explosive : adalah bahan peledak yang kecepatan perambatan reaksinya rendah,
ummnya lebih kecil dari 1.000 m/sec. Contoh : Black Powder, Propellant, Puroteknik.
Peristiwa perambatan reaksinya disebut pembakaran sangat lambat dan deflagrasi (agak
cepat).
b. High Explosive : adalah bahan peledak yang kecepatan perambatan reaksinya tinggi
umumnya lebih besar dari 1.500 m/sec. Contoh : Dinamit, TNT, PETN. Peristiwa
perambatan reaksinya disebut peledakan.
3.3.6 Proses Pecahnya Batuan
a. Bahan peledak terdetonasi menghasilkan stress dalam lubang batuan dan tekanan gas
yang tinggi (ANFO ≈ 2850 Mpa) dalam lubang tembak
b. Batuan di sekitar lubang tembak (2 sampai 3 kali diameter) pecah karena adanya tekanan
akibat terbakarnya ANFO dalam lubang ledak (blasthole pressure) yang sangat tinggi.
c. Rekahan-rekahan yang ditimbulkan oleh tekanan dalam Massa batuan, sejauh 20 sampai
30 kali diameter.
d. Tekanan gas yang sangat tinggi bertindak sebagai kampak yang memperbesar rekahan
(baik rekahan yang ada sebelum peledakan maupun yang terbentuk setelah peledakan)
e. Batuan terdorong kearah bagian yang mempunyai tekanan yang lebih kecil
f. Gas bahan peledak lolos ke udara dengan tekanan yang diakibatkan oleh ledakan yang
terjadi.
3.4 Fragmentasi Peledakan
Adalah istilah yang menggambarkan ukuran dari pecahan batuan setelah peledakan.
Fragmentasi yang dibutuhkan tergantung pada kegunaan dari pecahan batuan hasil peledakan
tersebut. Untuk mendapatkan fragmentasi batuan yang diinginkan maka perlu mendesain
suatu system dan pola peledakan yang lebih sempurna.
Rumus : X = A (Vo
Q )0 , . 8
Q0 ,167
……………………………..….…..... (3.23)
Dimana :
X = Ukuran Fragmnetasi (cm)
A = Rock Faktor Konstanta (7)
Vo = Rock Volume Yang Terbongkar (Kg/BCM)
Q = Jumlah max penggunaan bahan peledak (Kg)
3-21
b. Geometri Peledakan menurut teori Konya.
Menurut Konya, rancangan geometri peledakan adalah sebagai berikut :
Burden dihitung berdasarkan diameter lubang ledak, jenis batuan dan jenisbahan peledak
yang diekspresikan dengan dnsitasnya. Rumusnya ialah :
B = 3,15 x de x 3√ ρeρr
Dimana B = Burden(ft); de =diameter lubang ledak (Inchi); ρe = density bahan peledak
dan ρr = density batuan.
Spacing ditentukan bedasarkan system waktu tunda yang direncanakandan kemungkinannya
adalah sebagai berikut :
Serantak tiap baris lubang ledak (Instantaneous single-row blast hole)
H < 4B S = H+2 B
3 ; H > 4B S = B
Berurutan dalam tiap baris lubang ledak (secuenced single-row blast hole)
H < 4B S = H+7 B
8 ; H > 4B S = 1,4 B
Stemming (T) : - Batuan massive T = B
Batuan berlapis T = 0,7 B
Subdrilling (J) = 0,3 B
Penentuan diameter lubang dan tingi jenjang mempertimbangkan dua aspek, yaitu (1) efek
ukuran lubang ledak terhadap fragmentasi, air blast, flyrock, dan getaran tanah; dan aspek
biaya pngeboran. Tinggi enjang(L) dan Burden (B) sangat erat hubungannya untuk
keberhasilan peledakan dan ratio L/B (yang disebut Stefness ratio) yang bervariasi
memberikan respon berbeda terhadap fragmentasi, airblast, flyrock dan getaran tanah.
3-22