ayah

1
Ayah Ayah, rasanya aku ingin sekali menuliskan tentang dirimu. Tapi entah mengapa aku selalu gemetar ketika katamu mulai kutulis. Dulu, ayah sering mengajakku bersepada, mengenalkanku pada tetangga-tetangga ayah dengan jiwa yang dingin dan senyuman yang rapih. Ketika berkeliling itu, ayah menyimpan harapan yang begitu besar kepadaku. Mencium keningku dan berdoa agar kelak dapat bermanfaat bagi agama dan negara, tentunya menjaga nama baik keluarga. Akhir-akhir ini, aku merasa ada jarak diantara kita. Aku malu untuk mengatakan kabarku saat ini, dan ayah pun tidak pernah banyak bicara terhadapku. Ibu sering sekali menghubungiku dibandingkan ayah. Apakah ayah tersenyum saat mendengar kabarku baik-baik saja? Aku sangat malu untuk mengatakan rindu padamu. Sudah empat tahun aku menjadi seorang pengembara, tapi tak pernah ada obrolan panjang denganmu. Setiap aku pulang, kegiatan ayah sangat padat. Pagi hari mencari nafkah dan sore sampai malam mengurus ini dan itu. Aku hanya sibuk dengan buku dan gadget. Tidak sempat untuk aku menceritakan kepadamu tentang semua keadaanku di tempatku mengembara. Ketika aku akan meninggalkan rumah, aku mencium tanganmu yang keras dan kasar. Tangan yang dari pagi hingga malam tak pernah berhenti bergerak. Saat itu pula, kau mencium kedua pipiku. Semua cinta ayah selalu disalurkan melalui tindakan tanpa banyak bicara. Wajahnya yang mulai berkeriput dan matanya yang sayup. Ayah selalu terlihat bahagia, ayah tidak mau memperlihatkan kelelahannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi lebih bahagia. Sejak aku akan selesasi dengan kewajibanku sebagai pelajar, ayah lebih sering menceritakan saat masa muda. Menceritakan bagaimana ayah bersekolah, mendapatkan uang jajan yang bukan dari orang tua dan tentunya bagaimana ayah mencukupi kebutuhan-kebutuhan pribadi. Menurutku masa muda ayah sangat sedih, tapi ayah menceritakannya penuh dengan tawa. Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu ayah, tapi engkau selalu menceritakan masa mudamu yang jika aku nilai penuh dengan kekonyolan. Tak henti-hentinya aku dan ibu tertawa. Apakah ayah tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan? Tapi apakah ini pertanda bahwa ayah sudah tahu apa yang kutanyakan? Apakah semua cerita masa muda itu hanya cara untuk mengalihkan agar aku tidak menanyakan hal itu? Tapi aku yakin, dibalik dinginnya dirimu, kau tahu apa yang sedang aku rasakan. Mungkin beginilah ketika cinta dari seorang ayah itu bekerja. “Terimakasih telah mengajari dan menjagaku dari kehidupan yang fana ini, Ayahku tercinta” Bandung, 07 September 2015. Fauzi Yusupandi

Upload: fauzi-yusupandi

Post on 09-Apr-2016

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dgsgs

TRANSCRIPT

Ayah

Ayah, rasanya aku ingin sekali menuliskan tentang dirimu. Tapi entah mengapa aku

selalu gemetar ketika katamu mulai kutulis. Dulu, ayah sering mengajakku bersepada,

mengenalkanku pada tetangga-tetangga ayah dengan jiwa yang dingin dan senyuman yang

rapih. Ketika berkeliling itu, ayah menyimpan harapan yang begitu besar kepadaku. Mencium

keningku dan berdoa agar kelak dapat bermanfaat bagi agama dan negara, tentunya menjaga

nama baik keluarga. Akhir-akhir ini, aku merasa ada jarak diantara kita. Aku malu untuk

mengatakan kabarku saat ini, dan ayah pun tidak pernah banyak bicara terhadapku. Ibu sering

sekali menghubungiku dibandingkan ayah. Apakah ayah tersenyum saat mendengar kabarku

baik-baik saja? Aku sangat malu untuk mengatakan rindu padamu. Sudah empat tahun aku

menjadi seorang pengembara, tapi tak pernah ada obrolan panjang denganmu. Setiap aku

pulang, kegiatan ayah sangat padat. Pagi hari mencari nafkah dan sore sampai malam

mengurus ini dan itu. Aku hanya sibuk dengan buku dan gadget. Tidak sempat untuk aku

menceritakan kepadamu tentang semua keadaanku di tempatku mengembara. Ketika aku

akan meninggalkan rumah, aku mencium tanganmu yang keras dan kasar. Tangan yang dari

pagi hingga malam tak pernah berhenti bergerak. Saat itu pula, kau mencium kedua pipiku.

Semua cinta ayah selalu disalurkan melalui tindakan tanpa banyak bicara. Wajahnya yang

mulai berkeriput dan matanya yang sayup. Ayah selalu terlihat bahagia, ayah tidak mau

memperlihatkan kelelahannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi lebih bahagia.

Sejak aku akan selesasi dengan kewajibanku sebagai pelajar, ayah lebih sering menceritakan

saat masa muda. Menceritakan bagaimana ayah bersekolah, mendapatkan uang jajan yang

bukan dari orang tua dan tentunya bagaimana ayah mencukupi kebutuhan-kebutuhan pribadi.

Menurutku masa muda ayah sangat sedih, tapi ayah menceritakannya penuh dengan tawa.

Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan padamu ayah, tapi engkau selalu menceritakan masa

mudamu yang jika aku nilai penuh dengan kekonyolan. Tak henti-hentinya aku dan ibu

tertawa. Apakah ayah tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan? Tapi apakah ini pertanda

bahwa ayah sudah tahu apa yang kutanyakan? Apakah semua cerita masa muda itu hanya

cara untuk mengalihkan agar aku tidak menanyakan hal itu? Tapi aku yakin, dibalik

dinginnya dirimu, kau tahu apa yang sedang aku rasakan. Mungkin beginilah ketika cinta dari

seorang ayah itu bekerja.

“Terimakasih telah mengajari dan menjagaku dari kehidupan yang fana ini, Ayahku tercinta”

Bandung, 07 September 2015.

Fauzi Yusupandi