asy syariah 92

78
Majalah Asy Syari’ah Edisi 92

Upload: abdurahman-baharudin-wahid

Post on 11-Oct-2015

177 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

majalah islam, asy syariah

TRANSCRIPT

Majalah Asy Syariah Edisi 92

Permata Salaf Manfaat Rasa Lapar (1138 Views) September 2, 2013 8:26 am | Published by Redaksi | 2 Comments

MANFAAT RASA LAPAR

Ibnu Abi ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi rahimahullah bahwa dia berkata, Siapa yang sedikit makannya dia akan bisa memahami, membuat orang lain paham, bersih, dan lembut. Sungguh, banyak makan akan memberati seseorang dari hal-hal yang dia inginkan.

Diriwayatkan dari Utsman bin Zaidah rahimahullah, dia berkata bahwa Sufyan ats- Tsauri rahimahullah mengirim surat kepadanya (di antara isinya), Apabila engkau ingin tubuhmu sehat dan tidurmu sedikit, kurangilah makan.

Diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham rahimahullah, Siapa yang menjaga perutnya, dia bisa menjaga agamanya. Siapa yang bisa menguasai rasa laparnya, dia akan menguasai akhlak yang terpuji. Sungguh, kemaksiatan akan jauh dari orang yang lapar, dekat dengan orang yang kenyang. Rasa kenyang akan mematikan hati. Akan muncul pula darinya rasa senang, sombong, dan tawa.

Diriwayatkan dari Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah, Jika jiwa merasakan lapar dan dahaga, kalbu akan bersih dan lembut. Jika jiwa merasakan kenyang dan puas minum, kalbu menjadi buta.

Diriwayatkan pula dari asy-Syafii rahimahullah, Rasa kenyang akan memberati badan, menghilangkan kewaspadaan, mendatangkan rasa kantuk, dan melemahkan

pemiliknya dari beribadah. (Jami al-Ulum wal Hikam, hlm. 576577)

Pengantar Redaksi Islam Sama dengan Syi'ah, Benarkah?(804 Views) September 2, 2013 8:22 am | Published by Redaksi | 3 Comments

Hingga kini, Syiah masih dipahami oleh masyarakat awam sebagai mazhab kelima dalam Islam. Artinya, Syiah dianggap sekadar beda fikih dengan keumuman masyarakat muslim lainnya. Apalagi, Syiah acap menampilkan diri sebagai pembela ahlul bait, sebuah wajah yang terlihat mulia. Muncullah anggapan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni (Ahlus Sunnah) adalah sekadar pembela dan bukan pembela Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masih saja muncul pembelaan yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap Syiah. Di kalangan elite Islam, malah gencar ajakan untuk menyatukan Sunni (baca: Islam) dengan Syiah. Jika orang-orang yang masih punya semangat terhadap Islam mau lebih dalam menyelami agama bentukan Yahudi ini, niscaya dia akan menentang keras Syiah. Membincangkan Syiah bukanlah semata soal kekhalifahan Ali. Bukan pula sesederhana bahwa Syiah melakukan kultus individu kepada Ali. Terlalu dangkal jika kita beranggapan seperti itu.

Syiah demikian sarat dengan ajaran menyimpang. Agama ini mengafirkan hampir seluruh sahabat, menganggap istri-istri Rasulullah Subhanahu wataala sebagai pelacur, menganggap imam-imam punya kedudukan tertinggi yang tidak dicapai nabi/rasul dan malaikat yang terdekat, menganggap imam-imam mereka sebagai pemilik dunia dan isinya, menganggap kenabian Muhammad salah alamat karena Jibril berkhianat dan tidak memberikannya kepada Ali radhiyallahu anhu, serta sederet kesesatan lainnya. Itu semua baru dari satu sisi. Jika mau berkaca dari sisi sejarah, Syiahlah yang menjadi biang keladi pertumpahan darah di dalam Islam. Pembunuh Umar ibnul Khaththab radhiyallahu anhu adalah pemeluk agama Majusi yang merupakan akar agama Syiah.

Pembantaian Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, adalah hasil provokasi tokoh Yahudi pendiri Syiah, Abdullah bin Saba. Jatuhnya Daulah Abbasiah adalah hasil pengkhianatan perdana menterinya yang Syiah, dan sebagainya. Demikian juga sekarang ini, pembantaian muslimin di Yaman, Syria, bergolaknya suhu politik di Timur Tengah, pembantaian minoritas Ahwaz di Iran yang Sunni, juga tak lepas dari tangan Syiah yang berlumur darah.

Tidak cukupkah sejarah menyuguhkan episode demi episode berdarah Syiah, untuk kemudian kita melek terhadap Syiah? Orang-orang bisa tertipu dengan heroisme Syiah (baca: Iran) dalam melawan hegemoni AS di panggung politik dunia, tapi kami, Ahlus Sunnah tidak. Orang-orang bisa kagum dengan pasukan Hizbullah (baca: Syiah) yang melawan tentara pendudukan Israel, tapi kami tidak. Semua berita politik itu tak lebih hasil goreng-menggoreng penguasa opini dunia, Yahudi. Bagaimana pun, Syiah satu rahim dengan Yahudi. Yahudi akan sangat senang ada tangan (yang dianggap) Islam yang selalu menjadi duri dalam daging dalam tubuh Islam.

Walau Syiah terpecah menjadi beberapa sekte, namun mayoritasnya adalah sekte Imamiyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok ini terusmenerus menebarkan berbagai macam kesesatannyatermasuk nikah mutah yang dijadikan daya tarik. Lebih-lebih kini didukung Iran, Irak, dan Syria yang kendali politiknya berada di tangan merekaSyiah Rafidhah. Oleh karena itu, jangan teriak-teriak toleransi jika tidak tahu Syiah sama sekali, jangan teriak-teriak kebebasan beragama dan berkeyakinan jika kita tidak paham agama made in Yahudi ini, jangan sok teriak persatuan dan ukhuwah jika itu hanya demi simpati berbuah kursi. Toleransi ada tempatnya. Namun, faktanya, tidak ada tempat untuk toleransi dengan Syiah.

Surat Pembaca Edisi 92(319 Views) September 2, 2013 8:08 am | Published by Redaksi | No commentKoreksi

Bismillah.

Pada edisi 91 hlm. 11 tertulis tahun kelahiran asy-Syaikh Utsaimin 1247 H? Mohon dicek lagi, setahu saya beliau lahir tahun 1347 H. 08538xxxxxxx

Anda benar, ada salah cetak. Redaksi juga menerima beberapa SMS senada. Jazakumullah khairan atas koreksi Anda. Ini sekaligus sebagai ralat.

Kovernya Bagus

Asy Syariah edisi 91 kovernya tampak menawan sekali, menambah minat baca. Jazakumullahu khairan kepada para ustadz semua yang berkenan berbagi ilmu kepada kami yang bodoh ini dan bersemangat untuk memperbaiki umat. Asy Syariah semoga tetap istiqamah. Amin. Semoga Allah tetap menjaga kita semua di atas istiqamah.

Pertanyaan Tidak Dijawab

Syarat/kriteria yang bagaimanakah pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh Asy Syariah? Saya beberapa kali bertanya via SMS atau email tentang masalah yang memang kami belum paham ragu, berdasarkan rubrik yang disediakan Asy Syariah, tetapi tidak pernah ada jawaban. Jazakumullah khairan.

Pada dasarnya, tidak ada kriteria khusus tentang pertanyaan yang masuk. Terkait dengan SMS dan email pertanyaan ke rubrik Tanya Jawab Ringkas atau Problema Anda yang telah mencapai ribuan, kami memohon kesabaran para Pembaca. Kami tidak bisa menjanjikan bahwa SMS tersebut akan dibalas pada hari itu juga, dalam sekian hari, atau dalam sekian minggu. Kami harap para Pembaca lebih mencermati pertanyaan dan jawaban yang dimuat di edisi cetak, agar pertanyaan sejenis tidak sering terulang.

Demikian juga dengan pertanyaan yang jawabannya sebenarnya telah termuat di artikel edisi-edisi lama. Bagaimana pun kami terus berupaya maksimal untuk tidak mengecewakan seluruh Pembaca. Namun, dengan banyaknya pertanyaan yang masuk dan keterbatasan kami, kami memprioritaskan pertanyaan ringan yang langsung bisa dijawab; bersifat mendesak; atau muatannya sering ditanyakan karena hal itu sering dijumpai di masyarakat, walau pertanyaan semacam ini juga ratusan kami terima.

Kami juga mohon pengertian dari Pembaca, menjawab pertanyaan yang bersifat keagamaan jelas butuh kehatihatian, butuh waktu untuk membuka referensi, sehingga tidak bisa dilakukan secepat kilat dan serampangan. Oleh karena itu, sekali lagi, kami mohon pengertian dari para Pembaca, dan kami memohon maaf kepada para Pembaca yang hingga saat ini pertanyaannya belum kami jawab.

Bundel Terbit Lagi

Kapan Asy Syariah menerbitkan lanjutan bundelnya? Saya punya saran, bagaimana bila bundel majalah Asy Syariah diterbitkan setahun sekali? Jazakumullahu khairan. Herry Setiawan Bogor

Insya Allah bundel Asy Syariah ketiga (edisi 0712) akan segera terbit. Semoga Allah memudahkan kami memenuhi harapan Anda.

Kajian Utama Syirik Kaum Syiah(662 Views) September 2, 2013 7:47 am | Published by Redaksi | 1 CommentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Mentauhidkan Allah Subhanahu wataala dalam beribadah adalah inti ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Setiap nabi yang diutus Allah Subhanahu wataala mendapat perintah dari Allah Subhanahu wataala agar menyerukan dakwah tauhid kepada umatnya. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu. (an- Nahl: 36)

Firman-Nya,

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Rabb (yang berhak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (al-Anbiya: 25)

Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana firman-Nya,

Katakanlah, Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, Bahwa sesungguhnya Rabbmu itu adalah Rabb Yang Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya. (al-Kahfi: 110)

Tauhid adalah fondasi keselamatan hidup. Tidak akan selamat seorang yang menyekutukan Allah k dalam beribadah kepada-Nya. Seorang hamba yang mati dalam keadaan tidak bertobat dari perbuatan syirik yang dilakukannya, ia tidak akan mendapat ampunan. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisa: 48)

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (an-Nisa: 116)

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. (al-Maidah: 72)

Namun, berbeda halnya dengan agama Syiah. Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wataala dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada-Nya, mereka palingkan maknanya dan membawanya kepada makna ke-imamah-an. Menurut mereka, meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagai penerus kepemimpinan setelah Rasulullah n adalah prinsip utama yang harus diyakini. Sebagai contoh, firman Alah Subhanahu wataala,

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (az-Zumar: 65)

Disebutkan dalam kitab paling sahih menurut kalangan Syiah, al-Kafi, dan kitab mereka lainnya, menjelaskan tafsir dari ayat ini sebagai berikut. Jika engkau menyekutukan selainnya (selain Ali, -pen.) dalam kepemimpinan, pada lafadz yang lain, Jika engkau memerintahkan kepemimpinan seseorang bersama kepemimpinan Ali setelahmu, niscaya terhapus amalanmu. (Ushul al-Kafi, 427/1, Tafsir al-Qummi, 251/2)

Penulis kitab al-Burhan fi Tafsir al-Quran juga menyebutkan empat riwayat yang menafsirkan ayat tersebut dengan yang semakna dengan tafsir ini. (al-Burhan, 4/83; Ushul Madzhab Syiah, 427)

Contoh lain, firman Allah Subhanahu wataala,

Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. (an-Naml: 61)

Ayat ini sangat jelas menunjukkan pengingkaran Allah Subhanahu wataala terhadap kaum musyrikin yang berbuat syirik dalam beribadah kepada-Nya. Namun, disebutkan dalam tafsir ayat ini, dari Abu Abdillah berkata, Yang dimaksud adalah Imam hidayah dan imam sesat pada satu masa. (Biharul Anwar, 23/391; Ushul Madzhab Syiah, 431)

Masih banyak lagi model penafsiran kaum Syiah yang seperti ini. Jadi, adalah hal yang wajar jika agama Syiah tidak bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara amalan yang saleh dan amalan yang batil karena metode penafsiran kaum Syiah yang sangat menyimpang dari kebenaran.

Para Imam sebagai Perantara Seorang Hamba dengan Rabbnya

Dalam agama Islam, ibadah dilakukan langsung kepada Allah Subhanahu wataala tanpa melalui perantara. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (al-Baqarah: 186)

Dan Rabbmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah- Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (Ghafir: 60)

Barang siapa menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dia dan Allah k, dia memohon dan meminta kepada mereka, sungguh dia telah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal itu seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana yang disebut dalam firman-Nya,

Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekatdekatnya. (az-Zumar: 3)

Berbeda halnya dengan agama Syiah, berdoa kepada Allah Subhanahu wataala melalui perantara para imam adalah sebuah kewajiban. Mereka berkata tentang imam-imam mereka, Barang siapa berdoa kepada Allah melalui kami maka dia beruntung, dan siapa yang berdoa tanpa melalui kami maka dia binasa. (Biharul Anwar, 23/103, Wasail asy-Syiah, 4/1142)

Bahkan , mereka berkata , Sesungguhnya doa para nabi itu terkabulkan dengan cara bertawassul dan meminta syafaat mereka (para imam,m -pen.). (Ini adalah judul salah satu bab dalam kitab Biharul Anwar, 26/319)

Mereka juga menyebutkan bahwa tatkala Allah k menempatkan Nabi Adam Alaihissalam di dalam surga, ditampakkan di hadapannya permisalan Nabi Shallallahu alaihi wasallam, Ali, Hasan, dan Husain, maka Adam melihat mereka dengan pandangan hasad. Lalu diperlihatkan kepadanya wilayah (kepemimpinan para imam Syiah, -pen.) dan Adam Alaihissalam mengingkarinya sehingga ia pun dilempar dari surga dengan dedaunannya. Tatkala ia telah bertobat kepada Allah Subhanahu wataala dari penyakit hasadnya dan mengakui wilayah para imam, serta berdoa dengan bertawassul dengan kedudukan lima hamba: Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, maka Allah Subhanahu wataala pun mengampuninya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya,

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (al-Baqarah: 37)

Beristighatsah Kepada Para Imam

Agama Syiah menjelaskan tentang keutamaan dan tugas setiap imam mereka, Adapun Ali bin al-Husain, itu untuk keselamatan dari para penguasa dan bisikan setan. Adapun Muhammad bin Ali dan Jafar bin Muhammad, itu untuk akhirat dan apa yang dicari berupa ketaatan kepada Allah k. Adapun Musa bin Jafar, mintalah darinya kesehatan dari Allah Subhanahu wataala. Adapun Ali bin Musa mintalah darinya keselamatan, baik di darat maupun di lautan. Adapun Muhammad bin Ali, mintalah rezeki dari Allah Subhanahu wataala melalui dia. Adapun Ali bin Muhammad, untuk amalan-amalan sunnah, berbuat baik kepada sesama saudara dan apa yang dituntut berupa ketaatan kepada Allah Subhanahu wataala. Adapun Hasan bin Ali, itu untuk akhirat. Adapun pemilik zaman (Imam Mahdi, -pen.), jika pedang telah sampai ke sembelihannya maka mintalah tolong kepadanya, ia akan segera menolongmu. (Biharul Anwar, 33/94)

Padahal Islam mengajarkan kita untuk meminta pertolongan untuk meraih sebuah manfaat atau menolak kemudaratan hanyalah kepada Allah Subhanahu wataala. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Yang menguasai hari pembalasan. (al-Fatihah: 4)

Demikian pula Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wataala, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah hanya kepada Allah Subhanahu wataala. (HR. at-Tirmidzi no. 2516, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma)

Ziarah Kubur Para Imam dan Keutamaannya Menurut Syiah Benar apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, Orang-orang yang tepercaya telah memberitakan kepadaku, di antara kaum Syiah ada yang berpandangan bahwa berhaji ke kuburan yang dimuliakan itu lebih utama daripada berhaji ke Baitul Atiq (Kabah). Mereka memandang bahwa menyekutukan Allah k lebih mulia daripada beribadah hanya kepada Allah k semata. Ini adalah perkara terbesar dalam beriman kepada thagut. (Minhajus Sunnah, 2/124)

Benar apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, Hal ini dibuktikan oleh riwayat-riwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah yang berlebihlebihan dalam hal memuliakan kuburan. Disebutkan dalam kitab al-Kafi bahwa berziarah ke kuburan Husain menyamai haji dua puluh kali dan lebih utama dari dua puluh kali haji dan umrah. (Furu al-Kafi, 1/324)

Tatkala salah seorang Syiah berkata kepada imamnya, Sesungguhnya aku telah berhaji sembilan belas kali dan umrah sembilan belas kali. Imamnya menjawab seakan-akan mengejek, Berhajilah sekali lagi dan umrahlah sekali lagi, dan itu semua akan dicatat bagimu sama dengan berziarah ke kuburan al- Husain. (Wasail asy-Syiah, 10/348, Biharul Anwar, 38/101, Ushul Madzhab asy-Syiah, 454)

Bahkan, mereka juga meriwayatkan, Barang siapa mendatangi kuburan Husain dalam keadaan dia mengetahui haknya, maka keutamaannya seperti orang yang berhaji bersama Rasulullah n seratus kali. (Tsawabul Amal, 52, Wasail asy-Syiah, 10/350. Ushul Madzhabi Syiah, 455)

Lebih dari itu, mereka menganggap bahwa berziarah ke kuburan Husain pada hari Arafah lebih utama daripada amalan haji berlipat-lipat kali. Mereka meriwayatkan, Barang siapa mendatanginya (kuburan Husain, -pen.) pada hari Arafah dalam keadaan dia mengetahui haknya, maka Allah Subhanahu wataala mencatat baginya seribu kali haji, seribu kali umrah mabrur yang diterima, dan seribu kali berperang bersama nabi yang diutus atau imam yang adil. (Furu al-Kafi, al-Kulaini, 1/324, Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih al- Qummi, 1/182)

Mereka juga meriwayatkan dari Jafar ash-Shadiq bahwa ia berkata, Seandainya aku beritakan kepada kalian keutamaan ziarah ke kuburannya dan keutamaan kuburannya, niscaya kalian meninggalkan amalan haji. Tidak seorang pun dari kalian yang akan menunaikan haji. Celaka engkau, tidakkah engkau tahu bahwa Allah k telah menjadikan tanah Karbala sebagai tanah haram yang aman dan penuh berkah sebelum Makkah dijadikan sebagai tanah haram?! (Biharul Anwar, 33/101)

Shalat di Kuburan

Bahkan, tingkat kesyirikan yang mereka lakukan hingga menyebutkan keutamaan shalat di sisi kuburan imam mereka. Di antara riwayat yang mereka sebutkan, Shalat di tanah haram kuburan Husain bagimu, pada setiap rakaat yang kamu lakukan mendapatkan pahala di sisi-Nya seperti pahala seribu kali haji, seribu kali umrah, membebaskan seribu budak, dan seakan-akan dia berwakaf di jalan Allah Subhanahu wataala sejuta kali bersama nabi yang diutus. (al-Wafi, 8/234; Ushul Madzhab Syiah, hlm. 469)

Bagaimana mungkin Islam membenarkan hal ini padahal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melarang umatnya shalat di pekuburan dan shalat menghadapnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya. (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu anhu)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga bersabda,

Permukaan bumi seluruhnya adalah tempat shalat kecuali pekuburan dan kamar mandi. (HR. at-Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, dan yang lainnya, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu) Wallahul muwaffiq.

Kajian Utama Syiah dan Al Quran Al Karim (1142 Views) September 2, 2013 5:51 am | Published by Redaksi | 1 CommentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Telah disepakati oleh kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wataala senantiasa menjaga al-Quran al-Karim dari berbagai upaya yang hendak mengubah dan menyusupkan ke dalam al-Quran sesuatu yang tidak termasuk dari al- Quran al-Karim tersebut. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al-Hijr: 9)

Bahkan, Allah Subhanahu wataala menantang seluruh manusia untuk mendatangkan satu surat seperti yang difirmankan Allah Subhanahu wataala di dalam al-Quran,

()

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), datangkanlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak dapat mendatangkan(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat mendatangkan(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (al-Baqarah: 2324)

Atau (patutkah) mereka mengatakan, Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah, (Kalau benar yang kamu katakan itu), cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapasiapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Yunus: 38)

Maka dari itu, siapa yang berusaha meragu-ragukan keotentikan al-Quran al-Karim, sungguh ia telah keluar jauh dari Islam meskipun masih mengaku sebagai seorang muslim. Sebab, tidak mungkin ada seorang yang masih menjadi muslim sementara dia ragu terhadap kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah Subhanahu wataala yang terpelihara dan terjaga. Namun, pemeluk agama Syiah berusaha memadamkan cahaya Islam dengan lisan dan tulisan mereka yang meragu-ragukan keotentikan al-Quran al-Karim. Mereka melemparkan tuduhan dusta dan penuh fitnah terhadap pedoman utama Islam, al-Quran al-Karim. Mereka anggap telah terjadi perubahan dan pengurangan di dalamnya. Mereka mengatakan pula bahwa al-Quran yang sempurna berada di tangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, lalu diwariskan kepada para imam setelahnya, yang menurut mereka sekarang ini ada di tangan Imam Mahdi yang selalu mereka tunggu. Hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pembesar-pembesar Syiah Rafidhah dalam kitab-kitab mereka. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Dalam kitab al-Kafi karya Muhammad Yaqub al-Kulainiyang bagi kaum Syiah kedudukannya seperti kitab Shahih al-Bukhari bagi kaum muslimin, al-Kulaini meriwayatkan dari jalur Hisyam bin Salim, dari Abu Abdillah Jafar as-Shadiq, ia berkata,

Sesungguhnya al-Quran yang dibawa oleh Jibril Alaihisslam kepada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam berjumlah 17.000 ayat. (Ushul al-Kafi, karya al-Kulaini, Kitab Fadhlul Quran, bab an-Nawadir, 2/134)

Para ulama Syiah menyatakan riwayat mereka ini sahih. Al-Majlisi berkata, Berita ini sahih. (Miratul Uqul Syarah al-Ushul wal Furu, 2/536) Pengarang kitab asy-Syafi Syarah Ushul al-Kafi berkata, Berita ini dibenarkan seperti sahih. (7/227) Sementara itu, kita mengetahui bahwa jumlah ayat al-Quran hanya enam ribu lebih. Artinya, hampir dua pertiga bagian yang hilang dari al-Quran, menurut ajaran kaum Syiah. Keyakinan adanya perubahan al- Quran tersebut dikuatkan lagi oleh riwayat yang disebutkan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi (1/457), dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah (Jafar ash-Shadiq, -red.) ia berkata, Sesungguhnya kami memiliki mushaf Fatimah. Tahukah mereka, apa itu mushaf Fatimah? Aku bertanya, Apa itu mushaf Fatimah? Ia menjawab, Mushaf Fatimah dibandingkan Quran kalian ini lebih banyak tiga kali lipat. Demi Allah, tidak ada satu huruf pun seperti yang terdapat dalam Quran kalian. Aku menjawab, Demi Allah, ini adalah ilmu.

Muhammad Shalih al-Mazindarani berkata, Sesungguhnya ayat-ayat al- Quran yang berjumlah enam ribu lima ratus, dan selebihnya telah hilang karena terjadinya tahrif (perubahan). (Syarah Jami alal Kafi, 11/76)

Al-Majlisi berkata setelah menyebutkan riwayat diatas , Sesungguhnya berita ini, dan masih banyak lagi berita yang sahih, dengan jelas menyebutkan terjadi kekurangan dan perubahan pada al-Quran. Menurut saya, berita-berita dalam bab ini mutawatir secara makna. (Miratul Uqul, 12/525)

Syaikh al-Mufid berkata, Sesungguhnya terdapat berita-berita yang masyhur, diriwayatkan dari para imamul huda dari keluarga Muhammad n, tentang adanya perubahan al-Quran dan apa yang dilakukan oleh beberapa orang zalim yang menghapus dan mengurangi al-Quran. (Awail al-Maqalat, hlm. 91)

Abul Hasan al-Amili berkata, Ketahuilah, kebenaran yang tidak dimungkiri berdasarkan berita mutawatir yang akan disebutkan dan berita lainnya, bahwa telah terjadi perubahan pada al- Quran yang ada di tangan-tangan kita sepeninggal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Orang-orang yang mengumpulkannya setelah wafat beliau, menghilangkan banyak kata dan ayatnya. (Muqaddimah kedua dalam tafsir Miratul Anwar wa Misykatul Asrar hlm. 36)

Nimatullah al-Jazairi berkata, Sesungguhnya menerima pernyataan mutawatir-nya wahyu ilahi dan menetapkan bahwa seluruhnya telah turun dibawa oleh Ruh al-Amin (Jibril, -pen.) akan menyebabkan ditolaknya berbagai riwayat yang masyhur, bahkan mutawatir, yang menunjukkan dengan jelas tentang terjadinya perubahan dalam al-Quran, baik ucapan, kata-kata, maupun irabnya. Sementara itu, para sahabat kami telah sepakat akan keabsahan dan kebenaran riwayat-riwayat tersebut. (al-Anwar an-Numaniyah, 2/357)

Mulla Muhsin al-Kasyi Muhammad bin Murtadha mengatakan dalam mukadimah tafsirnya, ash-Shafi (1/32), setelah menyebutkan beberapa riwayat yang menerangkan adanya perubahan dan kekurangan al-Quran, Kesimpulan dari seluruh berita ini dan yang lainnya dari berbagai riwayat yang berasal dari jalur keluarga Nabi alaihimus salam, al- Quran tidak lagi sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya justru ada yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wataala, ada pula yang telah diubah, dan banyak yang dihapus. Di antara yang dihapus ialah penyebutan nama Ali dalam banyak tempat, lafadz keluarga Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tidak hanya sekali, dan nama-nama orang munafik di beberapa tempat, dan lainnya. Selain itu, susunannya tidak sesuai dengan susunan yang diridhai oleh Allah Subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Ini pula pendapat Ali bin Ibrahim al-Qummi.

Menurut kaum Syiah, tidak ada yang dapat mengumpulkan seluruh al- Quran selain Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Disebutkan dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini (1/441), dari Jabir berkata, Aku mendengar Abu Jafar berkata, Tidak ada seorang pun yang mengaku bahwa dia telah mengumpulkan seluruh al-Quran sebagaimana turunnya kecuali pendusta besar. Tidak ada yang bisa mengumpulkan dan menjaganya sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wataala, selain Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya.

Bahkan, pada masa ini, salah seorang tokoh Rafidhah yang bernama Husain ath-Thabarsi menulis sebuah risalah yang ia beri judul Fashlul Khithab fi Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Seluruhnya membahas tentang bukti-buktimenurut versi kaum Syiahyang menunjukkan perubahan al-Quran. Berikut ini beberapa contoh yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah yang menuduh adanya perubahan dalam al-Quranyang justru itu adalah ayat-ayat palsu Syiah.

Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya, al-Kafi (2/372), dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ketika menyebut firman Allah Subhanahu wataala (al-Ahzab: 71),

Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hal kekuasaan Ali dan kekuasaan para imam setelahnya, sungguh dia telah menang dengan kemenangan yang besar.

Ia berkata, Demikianlah ayat ini diturunkan.

Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/379), dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah q ketika menyebut firman Allah Subhanahu wataala (Thaha: 115),

Sungguh Kami telah menetapkan janji kepada Adam dari sebelumnya beberapa kalimat untuk Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain, dan para imam dari keturunannya, lalu dia lupa. Abu Abdillah berkata, Demi Allah, demikianlah ayat ini turun kepada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/383), dari Muhammad bin Sinan, dari ar-Ridha dalam menyebut firman Allah Subhanahu wataala (asy-Syura: 13),

Alangkah beratnya bagi kaum musyrikin terhadap kepemimpinan Ali, apa yang engkau ajak mereka, wahai Muhammad, yaitu kepemimpinan Ali.

Ia berkata, Demikianlah yang terpelihara dalam al-Kitab. Sungguh, masih banyak lagi tuduhan yang disebutkan dalam kitab-kitab kaum Syiah bahwa al-Quran yang ada di tangan kaum muslimin sekarang ini telah berubah. Memang benar, di antara ulama Syiah ada yang mengingkari terjadinya perubahan dan pengurangan di dalam al-Quran al-Karim. Di antara yang mengingkari adanya perubahan al- Quran adalah salah satu tokoh Syiah yang hidup di abad ke-4, seorang ahli hadits Syiah yang digelari ash-Shaduq. Ia bernama Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih al-Qummi. Kaum Syiah menyebutnya sebagai pemimpin para ahli hadits (wafat 381 H). Ia berkata, Keyakinan kami terhadap al-Quran bahwa apa yang ada di antara dua sisinya, itulah yang ada di tangan manusia dan tidak lebih dari itu. Barang siapa menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan al-Quran lebih dari yang ada, dia telah berdusta. (al- Itiqadat li ash-Shaduq, dari Kitab Muhsin al-Amin, hlm. 161. Lihat Masalatu at-Taqrib Baina Ahlis Sunnah wa asy- Syiah, hlm. 183)

Ucapan ash-Shaduq ini telah menggugurkan tuduhan sekian banyak tokoh Syiah yang menetapkan adanya perubahan di dalam al-Quran, seperti al-Kulaini, Ibrahim al-Qummi, al- Ayyasyi, dan lainnya. Ucapan ini memang mengandung salah satu dari tiga kemungkinan:

1 . Riwayat riwayat yang menyebutkan adanya perubahan al- Quran adalah riwayat-riwayat palsu yang disusupkan ke dalam kitab-kitab Syiah tersebut oleh kaum zindiq (munafik) untuk merusak keyakinan mereka. Jika demikian, ini berarti bahwa kitab-kitab kaum Syiah tidak bisa dijadikan sebagai rujukan karena telah disusupi banyak riwayat palsu sehingga tidak lagi terpelihara. Anehnya, mereka justru menganggap kitab-kitab tersebut sebagai kitab-kitab yang sahih. Kedudukannya seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari kitabkitab hadits kaum muslimin. Anehnya lagi, mayoritas kitab Syiah yang menjadi rujukan mereka menyebutkan berita tentang adanya perubahan pada al- Quran.

2. Ucapan ash-Shaduq ini hanyalah taqiyah untuk menyembunyikan keyakinannya di hadapan kaum muslimin. Inilah yang dijelaskan oleh Syaikh Rafidhah, Nimatullah al-Jazairi. Ia berkata, Ya, pendapat ini diselisihi oleh al-Murtadha, ash-Shaduq, dan Syaikh Thabarsi. Mereka menghukumi bahwa apa yang ada di antara dua sisi mushaf, itulah al-Quran yang diturunkan, tidak ada yang lainnya, dan tidak terjadi perubahan dan pengurangan. Yang tampak, ini mereka ucapkan dengan tujuan mendapat kemaslahatan yang banyak. Di antaranya, menutup pintu celaan terhadapnya, bahwa jika hal ini bisa terjadi pada al-Quran, lantas bagaimana mungkin kaidah dan hukum al-Quran diamalkan padahal telah terjadi perubahan di dalamnya. Sebab, jika tidak (dibawa kepada pemahaman seperti ini), para tokoh ini telah meriwayatkan sedemikian banyak riwayat dalam karya mereka tentang terjadinya perubahan di dalam al-Quran dan bahwa ayat ini diturunkan demikian lalu diubah. (al-Anwar an-Numaniyah, 2/357358)

3. Ash-Shaduq telah nyeleneh karena berpendapat menyelisihi ijma kaum Syiah yang menetapkan adanya perubahan dalam al-Quran. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang tokoh mereka, Nimatullah al-Jazairi. Ia berkata, Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran terjaga dan terpelihara akan menyebabkan dibuangnya berita-berita yang masyhur, bahkan mutawatir, yang dengan jelas menunjukkan terjadinya perubahan pada al-Quran. Padahal para sahabat kamisemoga Allah k meridhai merekatelah sepakat tentang keabsahan dan kebenarannya. (al-Anwar an-Numaniyah, Nimatullah al-Jazairi, 2/357358)

Kajian Utama Syiah dan Imamah (593 Views) September 2, 2013 5:36 am | Published by Redaksi | No commentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Keimaman dalam agama Syiah adalah prinsip yang paling utama. Seluruh keyakinan dan seluruh riwayat mereka kembali kepada masalah keimamahan ini. Masalah imamah (kepemimpinan) inilah yang menjadi inti ajaran dan asal muasal lahirnya pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abdullah bin Saba. Kitab-kitab Syiah mengakui bahwa Abdullah bin Saba adalah orang yang pertama memopulerkan keyakinan wajibnya meyakini kepemimpinan (keimamahan) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, menampakkan sikap berlepas diri dari musuh-musuhnya, dan menyingkap para penentangnya, serta mengafirkan mereka. (Rijal al-Kisysyi, hlm.108109, al- Maqalat wal Firaq, hlm. 20 karya an Nubakhti, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 654)

Itu pula yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal bahwa Abdullah bin Saba adalah orang pertama yang memunculkan pendapat tentang keimamahan Ali radhiyallahu anhu. (al-Milal wa an-Nihal,1/174)

Menurut kaum Syiah, pengangkatan imam adalah janji yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wataala kepada mereka satu per satu. Dalam kitab al-Kafi disebutkan sebuah bab dengan judul Imamah Adalah Janji dari Allah Subhanahu wataala yang Telah Ditetapkan dari Seseorang kepada yang Lain. Ada juga bab Nash yang Disebutkan Allah Subhanahu wataala dan Rasul-Nya Terhadap Para Imam Satu Persatu. (al-Kafi, 1/227 dan 1/286)

Salah seorang tokoh rujukan Syiah, Muhammad Husain Alu Kasyifil Ghitha, berkata, Imamah adalah kedudukan ilahiah seperti halnya kenabian. Sebagaimana halnya Allah Subhanahu wataala memilih siapa yang Dia kehendaki dari parahamba-Nya menjadi nabi dan rasul, lalu menguatkannya dengan mukjizat sebagai pembuktian nash dari Allah Subhanahu wataala, demikian pula Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya menjadi imam dan memerintah Nabi-Nya untuk menyebutkannya secara tegas, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi umat manusia setelahnya. (Ashlus Syiah wa Ushuluha, hlm. 58, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 655)

Kedudukan Imamah dalam Agama Syiah

Di dalam agama Syiah, kedudukan imamah jauh lebih mulia dari kedudukan seorang nabi utusan Allah Subhanahu wataala. Inilah yang dijelaskan oleh para tokoh Syiah. Nimatullah al-Jazairi berkata, Keimamahan yang bersifat umum yang merupakan kedudukan di atas tingkatan kenabian dan kerasulan. (Zahrur Rabi, hlm. 12)

Hadi at-Taharani berkata, Keimaman lebih agung daripada kenabian. Sebab, keimamahan adalah kedudukan ketiga yang Allah Subhanahu wataala memuliakan Ibrahim dengannya setelah kedudukan nabi dan khalil. (Wadayi an-Nubuwah, hlm. 114)

Ia juga mengatakan, Sesungguhnya yang paling agung dalam agama yang Allah Subhanahu wataala mengutus Nabi-Nya ini adalah masalah imamah. (Wadayi an-Nubuwah, hlm. 115)

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Jafar, ia berkata, Islam dibangun di atas lima hal: shalat, zakat, puasa, haji, dan keimaman (kepemimpinan). Tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk didakwahkan selain kepemimpinan. Namun, manusia mengambil yang empat dan meninggalkan yang satu ini. (Ushul al-Kafi, 2/18)

Perhatikanlah riwayat yang mereka sebutkan di atas Mereka menjadikan masalah imamah sebagai pengganti dua kalimat syahadat!! Di samping itu, menjadikannya sebagai rukun Islam yang terpenting. Adakah kesesatan yang melebihi kesesatan mereka ini?

Berapa Jumlah Imam?

Kaum Syiah berselisih pendapat dalam menyebutkan jumlah imam mereka. Disebutkan dalam Mukhtashar at-Tuhfah, Ketahuilah bahwa Imamiyah berpendapat bahwa jumlah imam itu terbatas, namun mereka berselisih tentang jumlahnya. Sebagian mengatakan lima, sebagian lagi mengatakan tujuh, sebagian lagi mengatakan delapan, sebagian lagi mengatakan dua belas, dan sebagian mengatakan tiga belas. (Mukhtashar Tuhfah, hlm.193, Ushul Madzhab asy- Syiah, hlm. 666)

Kemudian terjadi kesepakatan bahwa jumlah imam terbatas menjadi dua belas, setelah meninggalnya al-Hasan al-Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, Tidak ada seorang pun dari keturunan keluarga Nabi dari bani Hasyim,baik di masa Rasulullah n, Abu Bakr, Umar, Utsman, maupun Ali g, yang berpendapat bahwa imam itu berjumlah dua belas. (Minhajus Sunnah, 2/111) Beliau juga berkata, Sebelum wafatnya al-Hasan (yakni al-Hasan bin Ali al-Askari yang dianggap sebagai imam kesebelas kaum Syiah), tidak seorang pun yang berpendapat imam muntazhar sebagai imam mereka yang kedua belas. Tidak ada seorang pun di zaman Ali dan zaman bani Umayyah yang menetapkan jumlah imam dua belas. (Minhajus Sunnah, 4/209) Dua belas imam yang ditetapkan oleh kaum Syiah Imamiyah adalah:

1. Ali bin Abi Thalib, Abul Hasan al-Murtadha

2. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad az-Zaki

3. Al-Husain bin Ali, Abu Abdillah asy-Syahid

4. Ali bin al-Husain Abu Muhammad, Zainul Abidin

5. Muhammad bin Ali Abu Jafar al-Baqir

6. Jafar bin Muhammad, Abu Abdillah ash-Shadiq

7. Musa bin Jafar Abu Ibrahim al-Kazhim

8. Ali bin Musa Abul Hasan ar-Ridha

9. Muhammad bin Ali, Abu Jafar al-Jawad

10. Ali bin Muhammad Abul Hasan al-Hadi

11. Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad al-Askari

12. Muhammad bin al-Hasan Abul Qasim al-Mahdi

Namun, disebutkan dalam kitab yang paling pertama yang tampak dari kalangan Syiah, yaitu kitab Salim bin Qais, dia justru menetapkan bahwa jumlah imam itu ada tiga belas. Bahkan, dalam sebagian riwayat kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu tidak masuk dalam daftar sebagai imam yang berjumlah dua belas. Dalam kitab yang paling sahih menurut versi Syiah, terdapat riwayat yang menerangkan bahwa imam mereka berjumlah tiga belas. Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Jafar, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya aku dan dua belas imam dari keturunanku. Adapun engkau, wahai Ali, adalah kancingnya bumi, yaitu sebagai pancang dan bukitnya. Dengan kami, Allah Subhanahu wataala mengokohkan bumi agar tidak lenyap bersama penghuninya. Jika dua belas dari keturunanku telah pergi, bumi ini akan lenyap beserta penghuninya dan mereka tidak memerhatikannya. (Ushul al-Kafi, 1/534)

Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Jafar, dari Jabir, ia berkata, Aku masuk bertemu Fatimah. Di hadapannya ada lempengan yang di dalamnya bertuliskan nama-nama (imam) yang diberi wasiat dari keturunannya. Fatimah menghitungnya berjumlah dua belas. Yang terakhir adalah al-Qaim. Tiga di antara mereka bernama Muhammad, dan tiga di antara mereka bernama Ali. (Ushul al-Kafi, 1/532)

Lihatlah, riwayat ini menyebutkan bahwa imam dua belas itu berasal dari keturunan Fatimah. Jadi, Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dari kalangan imam mereka karena beliau adalah suami Fatimah, bukan anaknya. Adanya perselisihan penentuan jumlah imam, menunjukkan bahwa pembatasan dua belas imam tersebut sama sekali tidak dibangun di atas landasan yang jelas dari kitabullah atau sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Lantas bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai bagian rukun Islam, bahkan menggantikan posisi dua kalimat syahadat?

Kajian Utama Syiah dan Kemaksuman Para Imam(511 Views) September 2, 2013 5:27 am | Published by Redaksi | 1 CommentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Kaum Syiah Rafidhah meyakini bahwa 12 imam mereka memiliki sifat ishmah (maksum). Menurut mereka, maksum adalah tidak pernah berbuat dosa besar ataupun kecil, bahkan tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, baik ucapan maupun perbuatan. Disebutkan oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar, Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syiah Imamiyah (Rafidhah, -pen.) bersepakat atas kemaksuman para imamalaihimus salamdari dosa-dosa, yang kecil dan yang besar. Mereka sama sekali tidak memiliki dosa, baik secara sengaja, lupa, keliru dalam penakwilan, maupun Allah Subhanahu wataala yang menjadikannya lalai. (Biharul Anwar, 25/211, Ushul Madzhab asy-Syiah, 775)

Demikian pula yang ditegaskan oleh seorang tokoh Syiah yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia berkata, Agama Syiah Imamiyah menyatakan, Keyakinan kami tentang para imam, mereka adalah maksum, disucikan dari setiap kotoran, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak pernah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wataala dalam hal yang Allah l perintahkan, serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan. Siapa yang mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh ia telah menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh ia telah kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum, memiliki sifat yang sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan mereka hingga akhirnya. Setiap keadaan mereka tidak memiliki sifat kekurangan, maksiat, dan tidak pula kejahilan. (al-Itiqadat, hlm. 108109, Ushul Madzhab Syiah, 780)

Mereka juga berkata, Sesungguhnya para sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat bahwa para imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara sengaja, keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu wataala. (Biharul Anwar, 25/350351)

Kesimpulan dari apa yang disebutkan di atas, bahwa:

1. Yang dimaksud maksum menurut versi Syiah adalah tidak pernah berbuat dosa apa pun, kecil atau besar, bahkan tidak pernah keliru, lalai, dan lupa.

2. Kemaksuman para imam adalah hal yang telah disepakati/ijma ulama.

3. Siapa yang mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam.

Anehnya, tatkala menafikan adanya sifat sahwu (lupa) dari para imam, mereka menetapkan bahwa Nabi n mengalami kelupaan. Mereka anggap pendapat yang mengingkari adanya sifat lupa dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam sebagai mazhab yang ghuluw dan melampaui batas. Al-Majlisi berkata dalam kitabnya, Man La Yahdhuruhul Faqih, Sesungguhnya para ghulat (kelompok yang berlebihlebihan) dan ahli tafwidhsemoga Allah Subhanahu wataala melaknat merekamengingkari sifat lupa Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

Mereka berkata, Seandainya bisa terjadi kelupaan di dalam shalat, bisa pula terjadi kelupaan dalam menyampaikan agama. Sebab, shalat adalah kewajiban sebagaimana halnya meyampaikan agama juga kewajiban Lupanya Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak sama dengan lupanya kita karena lupa beliau Shallallahu alaihi wasallam mberasal dari Allah Subhanahu wataala. Allah Subhanahu wataala yang menjadikannya lupa dalam rangka mengabarkan bahwa beliau adalah manusia biasa dan seorang makhluk, sehingga tidak dijadikan sebagai Rabb yang disembah selain-Nya.

Selain itu untuk menerangkan kepada manusia hukum sujud sahwi saat terjadi kelupaan. Adalah Syaikh kami, Muhammad bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Walid berkata, Tingkatan ghuluw yang pertama adalah mengingkari bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah lupa. Aku mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wataala untuk menulis sebuah kitab khusus yang menetapkan sifat lupa bagi Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan bantahan terhadap para pengingkarnya. (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/234)

Bahkan, ar-Ridha menetapkan bahwa sifat lupa dapat dialami oleh siapa saja, bahkan para imam mereka sekalipun. Ia berkata, Sesungguhnya yang tidak pernah lupa hanyalah Allah Subhanahu wataala. Kitabkitab Syiah banyak meriwayatkan berita tentang lupanya Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam shalat. (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/233)

Oleh karena itu, dalam kitab-kitab Syiah sendiri banyak sekali dinukil bahwa para imam mereka mengalami kesalahan dan kelupaan.Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah yang disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghahsalah satu kitab kebanggaan kaum Syiahtentang doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu,

Ya Allah, ampunilah aku sesuatu yang Engkau lebih mengetahui dariku, dan jika aku mengulanginya, kembalilah kepadaku dengan ampunan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang aku janjikan pada diriku lalu Engkau mendapatiku tidak menepatinya. Ya Allah, ampunilah aku terhadap sesuatu yang aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan lisanku, tetapi hatiku menyelisihinya. Ya Allah, ampunilah aku dari cibiran mata (merendahkan atau mengolok-olok, -pen.), dan ketergelinciran lafadz ucapan, syahwat hati, dan kekeliruan lisan. (Nahjul Balaghah, hlm. 104)

Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dianggap sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wataala dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana yang disebutkan oleh riwayat ini? Demikian pula, mereka meriwayatkan dari Abu Abdillah Jafar ash-Shadiq bahwa beliau berkata,

Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada Allah Subhanahu wataala dengan sebenar-benarnya. (Biharul Anwar, 25/207)

Kaum Syiah juga meriwayatkan dari salah seorang imam mereka, Abul Hasan Musa al-Kazhim, ia berkata, Wahai Rabbku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan lisanku. Seandainya Engkau berkehendak, tentu Engkau telah menjadikanku bisu. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan pandanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buta. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan pendengaranku,jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku tuli. Aku bermaksiat kepadamu dengan tanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku buntung. Aku telah bermaksiat kepada- Mu dengan kemaluanku, jika Engkau ingin, Engkau telah menjadikanku mandul. Aku bermaksiat kepada-Mu dengan kakiku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku lumpuh. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan seluruh anggota tubuhku yang telah Engkau berikan kepadaku sebagai kenikmatan, dalam keadaan aku tidak mampu membalas-Mu. (Biharul Anwar, 25/203)

Masih banyak riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab kaum Syiah sendiri yang menetapkan bahwa para imam pun tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Majlisi bingung menyikapi masalah kemaksuman para imam ini karena banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para imam mereka pun mengalami kelupaan dan kesalahan. Sementara itu, di sisi lain dia harus berhadapan dengan pernyataan para tokoh Syiah lainnya yang menganggap hal ini sebagai ijma dan mengafirkan orang yang mengingkari kemaksuman para imam. Ia berkata, Masalah ini memang sangat rumit. Sebab, banyak riwayat dan ayat yang menunjukkan adanya kelupaan yang mereka (para imam, -pen.) alami, padahal para sahabat kami bersepakatkecuali yang ganjil pendapatnyatidak bolehnya hal tersebut terjadi pada mereka. (Biharul Anwar, 25/351, Ushul Madzhab Syiah, 782)

Maksum Versi Ahlus Sunnah

Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Nabi Shallallahu alaihi wasallamterpelihara dan terjaga dalam menyampaikan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wataala kepada umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, Kaum muslimin sepakat bahwa mereka (para Nabi) adalah maksum (terpelihara) dalam hal yang mereka sampaikan dari Allah l. Tidak mungkin Allah Subhanahu wataala membiarkan mereka salah menyampaikan risalah dari-Nya. Dengan ini, tercapailah tujuan diutusnya (par rasul). Adapun sebelum diutus sebagai nabi tidak pernah bersalah atau berbuat dosa, tidak ada keharusan seperti itu dalam sifat kenabian. (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 2/395)

Kajian Utama Syiah dan Sahabat Nabi(545 Views) September 2, 2013 5:18 am | Published by Redaksi | No commentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Kaum muslimin meyakini dengan sebenar-benar keyakinan bahwa sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah manusia pilihan dari kalangan umat ini. Mereka adalah generasi terbaik yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wataala untuk mendampingi Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam. Keutamaan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam banyak dijelaskan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wataala,

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)

Adapun hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam, di antaranya adalah sabda beliau Shallallahu alaihi wasallam,

Sebaik-baik manusia adalah zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka. (Muttafaqun alaihi, dari hadits Ibnu Masud radhiyallahu anhu. Diriwayatkan pula dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu dengan lafadz Sebaik-baik umatku, Muttafaqun alaihi)

Allah Subhanahu wataala melarang hamba-hamba- Nya untuk menyakiti kaum mukminin secara umum, baik dengan cara mencela, mengghibah, mengolok-olok, dan yang semisalnya. Lebih buruk lagi jika yang dicela adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pembawa warisan beliau Shallallahu alaihi wasallam. Allah Subhanahu wataala berfirman,

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (al- Ahzab: 58)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan ayat ini, Betapa banyak manusia yang masuk ke dalam ancaman ini: orang-orang yang kafir kepada Allah Subhanahu wataala dan Rasul-Nya, kaum Rafidhah yang selalu mendiskreditkan para sahabat, mencela mereka dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wataala telah membebaskan mereka darinya, dan melabeli mereka dengan sifat yang bertolak belakang dengan penjelasan Allah Subhanahu wataala tentang mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 11/241)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wataala,

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Fath: 29)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat tersebut, Dari ayat ini, al-Imam Malik tdalam sebuah riwayatmengambil kesimpulan hukum tentang kafirnya kaum Syiah Rafidhah yang membenci para sahabat. Beliau berkata, Sebab, para sahabat membuat mereka (Syiah) jengkel, dan siapa yang mengghibah para sahabat, dia kafir berdasarkan ayat ini. Sebagian ulama menyepakati beliau dalam hal ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 12/135) Larangan mencela sahabat Nabi lebih ditegaskan lagi oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya,

Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian berinfak emas sebesar Bukit Uhud, tidak akan menyamai infak satu mud yang mereka keluarkan, bahkan tidak pula setengahnya. (HR. al-Bukhari no. 3470, Muslim no. 2541, dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu. Dalam riwayat Muslim disebut dengan lafadz, Jangan kalian mencela seorang pun dari sahabatku. Diriwayatkan pula oleh Muslim no. 2540, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Namun, seluruh dalil yang menjelaskan keutamaan sahabat ini dibuang sejauh-jauhnya oleh kaum Syiah Rafidhah. Mereka sama sekali tidak memandang seluruh perjuangan yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi n untuk membela Islam. Menurut mereka, seluruh para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam adalah orang-orang yang murtad dari Islam, kecuali segelintir dari mereka. Riwayat yang menyebutkan murtadnya para sahabat dalam kitabkitab Syiah sangat banyak. Di antara yang menjelaskan hal tersebut:

Kaum Syiah meriwayatkan dari Abu Jafar bahwa ia berkata, Manusia telah murtad setelah wafatnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam kecuali tiga orang. Ia ditanya, Siapakah ketiga orang itu? Ia menjawab, Miqdad bin Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al- Farisi, semoga Allah Subhanahu wataala merahmati dan memberkahi mereka. (al-Kafi, karya al-Kulaini, kitab ar-Raudhah, 12/321322, bersama Syarah Jami, karya al-Mazindarani)

Disebutkan pula dalam Rijal al- Kisysyi dari Abu Jafar, ia berkata, Manusia telah murtad kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar, dan Miqdad. Ia ditanya, Bagaimana dengan Ammar? Ia menjawab, Sebelumnya ia berbuat adil, namun dia kembali lagi. (Rijal al- Kisysyi, hlm. 1112)

Bahkan, tiga orang yang mereka bebaskan dari tuduhan murtad pun tidak selamat dari pembicaraan dan celaan mereka. Disebutkan dalam kitab Rijal al-Kisysyi (hlm. 15) bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, Wahai Abu Dzar, jika Salman memberitakan sesuatu yang dia ketahui, niscaya aku akan berkata, Semoga Allah merahmati pembunuh Salman. Disebutkan pula dari Jafar, dari ayahnya , ia berkata, Suatu hari mdisebut taqiyah di sisi Ali . Ali lantas berkata, Seandainya Abu Dzar mengetahui isi hati Salman, niscaya ia akan membunuhnya. (Rijal al-Kisysi, hlm. 17)

Disebutkan pula dari Abu Bashir bahwa ia berkata, Aku mendengar Abu Abdillah Alaihissalam berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, Wahai Salman, kalau ilmumu diberikan kepada Miqdad, niscaya ia menjadi kafir. Wahai Miqdad, kalau ilmumu diberikan kepada Salman, niscaya ia menjadi kafir. (Rijal al-Kisysyi, 11)

Disebutkan pula dalam riwayat lain adanya tambahan nama Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat yang tidak dihukumi murtad oleh kaum Rafidhah. Disebutkan dari Fudhail bin Yasar dari Abu Jafar Alaihissalam berkata, Sesungguhnya tatkala Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam wafat, manusia seluruhnya menjadi kaum jahiliah kecuali Ali, Miqdad, Salman, dan Abu Dzar. Aku bertanya, Bagaimana dengan Salman? Ia menjawab, Jika engkau memaksudkan orang yang tidak memiliki cela apa pun, mereka bertiga inilah orangnya. (Tafsir al-Iyyasyi, 1/199, ash-Shafi,1/305)

Bahkan, sebagian riwayat-riwayat kaum Syiah menyebutkan secara tayin (definitif/penyebutan nama secara eksplisit) beberapa sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya dalam kitab al-Kafi karya al-Kulaini, Tiga macam manusia yang Allah Subhanahu wataala tidak akan melihat mereka, tidak menyucikan mereka, dan mereka mendapat siksaan yang pedih:

(1) orang yang mengakui kepemimpinan dari Allah Subhanahu wataala yang bukan miliknya,

(2) orang yang mengingkari imamah yang berasal dari Allah Subhanahu wataala, dan

(3) orang yang menyangka bahwa keduanyaAbu Bakr dan Umar cmemiliki kedudukan di dalam Islam. (al-Kafi, Kitabul Hujjah, 1/373, Tafsir al-Iyyasyi, 1/178)

Disebutkan pula dalam Raudhatul Kafi, Kedua Syaikh tersebutyakni Abu Bakr dan Umar radhiyallahu anhumeninggal dunia tanpa bertobat. Keduanya tidak mengingat apa yang telah mereka perbuat terhadap Amirul Mukminin. Mereka mendapat laknat Allah Subhanahu wataalal, para malaikat, dan seluruh manusia. (Raudhatul Kafi, 12/323, bersama Syarah Jami oleh al-Mazindarani)

Syaikh kaum Rafidhah yang bernama Nimatullah al-Jazairi berkata, Telah datang beberapa riwayat khusus yang menerangkan bahwa setan dibelenggu dengan 70 belenggu dari besi neraka Jahannam, lalu digiring ke Padang Mahsyar. Di sana setan melihat seorang lelaki di hadapannya yang sedang digiring oleh malaikat penyiksa dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari neraka Jahannam. Setan pun mendekat kepadanya dan bertanya, Apa yang dilakukan oleh orang sengsara ini sehingga siksaannya lebih berat dariku, padahal akulah yang menyimpangkan seluruh makhluk dan menjerumuskan mereka ke dalam kebinasaan? Umar berkata kepada setan, Aku tidak melakukan sesuatu pun selain merampas khilafah Ali bin Abi Thalib. (al-Anwar an- Numaniyah, 1/8182)

Subhanallah. Perhatikanlah kedengkian dan kebencian pemeluk agama Syiah terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Hal ini menyebabkan mereka lancang membuat riwayat-riwayat palsu dan dusta lantas berusaha menyandarkannya kepada Islam. Hal ini mereka lakukan tidak lain untuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Sebab, para sahabat adalah para pembawa dan penyambung lidah warisan Nabi Shallallahu alaihi wasallam untuk disampaikan kepada umat ini. Jika para sahabat yang dicerca, berarti al-Quran dan sunnah pun akan ditolak dan diragukan karena seluruhnya berasal dari jalur para sahabat .

Sebagian ulama salaf berkata, Tidaklah hati seseorang dengki terhadap salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, kecuali menunjukkan bahwa kedengkiannya terhadap kaum muslimin lebih kuat lagi. (al-Ibanah hlm. 41, karya Ibnu Baththah)

Abu Zurah ar-Razi radhiyallahu anhu juga berkata,

Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, ketahuilah bahwa dia adalah zindiq (munafik). Sebab, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menurut kami adalah benar, al-Quran juga kebenaran, serta yang menyampaikan al-Quran dan Sunnah kepada kita adalah sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka ingin mencerca saksi-saksi agama kita agar mereka dapat membatalkan al- Kitab dan as-Sunnah. Celaan justru lebih pantas untuk mereka, dan mereka adalah orang-orang zindiq. (al-Kifayah, Khathib al-Baghdadi, hlm. 49)

Kajian Utama Syiah dan Taqiyah(268 Views) September 2, 2013 4:58 am | Published by Redaksi | 1 CommentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Taqiyah adalah sikap kehati-hatian dengan tidak menampakkan keyakinan yang terdapat di dalam hati di hadapan orang lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/314)

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Taqiyah dengan lisan, sedangkan hati tetap tenang dengan keimanannya. Ini pula yang dikuatkan oleh Abu Aliyah, Abu Syatsa, adh-Dhahhak, Rabi bin Anas, dan yang lainnya. (Fathul Bari, 12/314, Tafsir Ibnu Katsir, 1/358) Allah Subhanahu wataala berfirman,

Barang siapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (an-Nahl: 106)

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Ali Imran: 28)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, Taqiyah yang disebut oleh Allah k dalam ayat ini adalah taqiyah terhadap orang-orang kafir, bukan kepada selain mereka. (Tafsir at-Thabari, 6/316, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 806)

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan kekafiran dan takut dirinya akan dibunuh (jika tidak melakukannya), sementara hatinya tetap tenang dengan keimanan, ia tidak dihukumi kafir. Namun, jika ia memilih dibunuh dan bersabar di atas siksaan tanpa melakukan taqiyah, hal tersebut lebih utama. Ibnu Baththal rahimahullah berkata, Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan kekafiran dan lebih memilih dibunuh, ia mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah Subhanahu wataala. (Fathul Bari, 12/314)

Adapun versi agama Syiah, Syaikh Mufid menyebutkan definisi taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menyembunyikannya di hadapan orang-orang yang menyelisihinya dan tidak menampakkan sesuatu di hadapan mereka yang dapat menyebabkan bahaya bagi agama atau dunianya. (Syarah Aqaidis Shaduq, al-Mufid, hlm. 261)

Sebagian lagi mengatakan bahwa taqiyah adalah seseorang mengatakan atau mengucapkan selain apa yang diyakini agar diri dan hartanya tidak ditimpa kemudaratan, atau agar kehormatannya tetap terjaga. (Muhammad Jawad, asy- Syiah fil Mizan, hlm. 48. Lihat pula Masalatut Taqrib, hlm. 330)

Menurut agama Syiah, melakukan taqiyah adalah salah satu rukun agama yang harus diamalkan. Ibnu Babawaih berkata, Keyakinan kami tentang taqiyah, ia adalah kewajiban. Siapa yang meninggalkannya, kedudukannya seperti orang yang meninggalkan shalat. (al-Itiqadat, 114) Ash-Shadiq berkata, Seandainya aku katakan bahwa meninggalkan taqiyah seperti meninggalkan shalat, aku benar.

(as-Sarair, Ibnu Idris, 479; Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih, 2/80; Ushul Madzhabis Syiah, hlm. 807) (al-Kafi, 2/219)

Bahkan, mereka menganggap orang yang tidak melakukan taqiyah adalah orang yang tidak beragama. Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Jafar bin Muhammad berkata, Sesungguhnya sembilan persepuluh agama ini dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi yang tidak melakukan taqiyah. (Ushul al- Kafi, 2/217)

Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Abu Jafar bahwa ia berkata, Taqiyyah itu termasuk agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak bertaqiyyah. Ibnu Babawaih juga mengatakan, Taqiyyah itu wajib dan tidak boleh dihapus (hukumnya) sampai al-Qaim (Imam Mahdi, -pen.) keluar. Barang siapa meninggalkannya sebelum keluarnya al- Qaim, sungguh ia telah keluar dari agama Allah l dan agama Imamiyah (Syiah Rafidhah, -pen.). Dan ia menyelisihi Allah Subhanahu wataala, Rasul-Nya, dan para imam. (al-Itiqadat, hlm. 114115)

Mereka juga meriwayatkan dari Ali bin Musa ar-Ridha bahwa ia berkata, Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling banyak melakukan taqiyah. Ada yang bertanya kepadanya, Wahai anak Rasulullah, sampai kapan? Ia menjawab, Sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu keluarnya al- Qaim. Barang siapa meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya al-Qaim, dia bukan dari kami. (Ikmalu ad-Din, Ibnu Babawaih, hlm. 355; Alam al-Wara, ath-Thabarsi, hlm. 408; Kifayatul Atsar, Abul Qasim ar-Razi, hlm. 323. Lihat Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 808)

Jadi, wajar jika mayoritas kaum Syiah Rafidhah adalah para pendusta yang sangat mudah bersaksi palsu, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, lebih-lebih lagi atas nama selain beliau. Benar apa yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafii rahimahullah,

Aku tidak melihat seseorang yang lebih berani bersaksi palsu daripada kaum Syiah Rafidhah. (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/208; Hilyatul Auliya, Abu Nuaim, 9/114; al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi, hlm. 126)

UCAPAN ULAMA TENTANG KEDUSTAAN SYIAH RAFIDHAH

Diriwayatkan dari Yunus bin Abdil Ala bahwa al-Imam Syafii rahimahullah berkata, Aku membolehkan seluruh persaksian ahli bidah, kecuali kaum Rafidhah. (al- Kubra, al-Baihaqi, 10/208)

Al-Imam Malik rahimahullah ditanya tentang kaum Rafidhah. Beliau menjawab, Jangan engkau berbicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena sesungguhnya mereka suka berdusta. Yazid bin Harun t juga berkata, Hadits setiap pelaku bidah (bisa) dicatat selama ia tidak mengajak kepada bidahnya, kecuali Rafidhah, karena mereka suka berdusta. Diriwayatkan dari Muhammad bin Said al-Asbahani bahwa Syarik berkata, Aku mengambil ilmu (hadits, -pen.)

dari setiap yang aku temui kecuali Rafidhah, karena mereka memalsukan hadits dan menjadikan perbuatan itu sebagai bagian dari agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Ulama riwayat dan pembawa sanad telah bersepakat bahwa kaum Rafidhah adalah kelompok yang paling pendusta. Dusta pada mereka adalah hal yang klasik. Oleh karena itu, para imam Islam mengetahui ciri khas kelompok ini adalah banyak berdusta. (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 1/6061)

Jelaslah bagi kita, bahwa ajaran taqiyah (baca: dusta) kaum Syiah Rafidhah adalah ajaran yang turun-temurun, diwariskan oleh para pendusta mereka melalui kitab-kitab hadits karya tokoh Rafidhah.

Kajian Utama Benarkah Syiah Mencintai Keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam?(293 Views) September 1, 2013 10:53 pm | Published by Redaksi | 1 CommentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Agama Syiah menganggap dirinya sebagai pecinta keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Mereka menampakkan diri seolah-olah hanya merekalah yang cinta kepada ahlul bait. Setelah itu, mereka menuduh Ahlus Sunnah (Islam) sebagai kelompok nawashib, yang bermakna membenci Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dan membenci keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Sebenarnya, kalau menilai secara adil, kita akan mengetahui bahwa Ahlus Sunnah sangat mencintai keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan tidak membenci seorang pun dari mereka yang mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dalil-dalil tentang keutamaan ahlul bait sangat banyak disebutkan dalam riwayat-riwayat Ahlus Sunnah, baik al- Quran maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wataala,

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. (al-Ahzab: 33)

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ayat ini, Yang tampak, ayat ini bersifat umum, mencakup seluruh keluarga Nabi n, dari kalangan istri-istrinya dan yang lainnya. (Tafsir al-Qurtubi, 14/183)

Ahlus Sunnah juga meriwayatkan dari jalur Adi bin Tsabit, dari Zir, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, beliau berkata, Demi Allah yang membelah biji-bijian dan yang menciptakan makhluk. Sesungguhnya janji Nabi yang ummi n kepadaku, bahwa tidak ada yang mencintaiku selain seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku selain seorang munafik. (HR. Muslim no. 78)

Seandainya Ahlus Sunnah membenci Ali radhiyallahu anhu, sudah tentu mereka tidak akan meriwayatkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan beliau radhiyallahu anhu. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir setiap kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan Ahlus Sunnah menyebutkan keutamaan keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam secara umum, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu secara khusus. Lantas bagaimana halnya dengan kaum Syiah? Jika kita memerhatikan riwayatriwayat dalam versi agama Syiah, kita akan mendapati sekian banyak riwayat yang justru melecehkan dan mendiskreditkan keluarga Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah celaan mereka terhadap istri-istri Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Telah disebutkan dalam Tafsir al-Qummi tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wataala,

Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orangorang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya. (at-Tahrim: 10)

Ali bin Ibrahim menjelaskan ayat ini, makna Allah memberi perumpamaan yaitu perumpamaan terhadap keduanya Aisyah dan Hafshah, dua istri Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Ia berkata, Demi Allah, tidaklah yang dimaksud dengan ucapan Keduanya telah berkhianat kecuali perbuatan keji (zina). Pasti akan ditegakkan hukum had terhadap si Fulanah ketika ia datang melalui jalan Bashrah, dan si Fulan menyukainya. tanpa ia menjelaskan siapa yang dimaksud Fulan dan Fulanah. Namun, perbuatan taqiyah ini disingkap oleh salah seorang Syaikh Syiah yang bernama al-Majlisi. Ia berkata, Ucapannya akan ditegakkan hukum had, yang menegakkannya adalah al- Qaim saat rajah. Dengan jelas Al-Majlisi menyebutkan dalam pasal tentang ghibah bahwa yang dimaksud adalah Aisyah Ummul Mukminin. (Biharul Anwar, 22/241)

Yang dimaksud Rajah adalah keyakinan kaum Syiah tentang kembalinya Ali ke dunia setelah kematian. Syaikh al-Mufid berkata tentang keyakinan ini, Siapa yang tinggi tingkat keimanannya dan yang paling besar membuat kerusakan, mereka semua akan kembali (ke dunia) setelah matinya. (Awail al-Maqalat, hlm. 95)

Ibnul Atsir rahimahullah menyebutkan bahwa keyakinan ini berasal dari sebagian kaum Arab jahiliah. (an-Nihayah, 3/202) Bahkan, mereka mengafirkan sebagian kerabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, di antaranya adalah Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu anhu, paman Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Mereka berkata tentang firman Allah Subhanahu wataala,

Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). (al-Isra: 72)

Kata mereka, ayat ini turun tentang Abbas radhiyallahu anhu. (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53) Demikian pula anak beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. Kitab al- Kafi mengisyaratkan tuduhan kekafiran terhadapnya dan menudingnya sebagai orang yang bodoh dan kurang akal. (Ushul al-Kafi, 1/247)

Disebutkan dalam kitab Rijal al- Kisysyi sebuah doa, Ya Allah, laknatlah dua anak fulan, dan butakanlah penglihatan keduanya, sebagaimana Engkau telah membutakan hati keduanya. Butakanlah matanya sebagai tanda akan kebutaan hatinya. Syaikh mereka yang bernama Husain al-Mushthafawi menerangkan doa ini, Keduanya adalah Abdullah dan Ubaidullah bin Abbas. (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53)

Bahkan, dengan tegas disebutkan oleh pengarang kitab al-Kafi beberapa riwayat yang menerangkan bahwa barang siapa tidak beriman kepada imam dua belas, dia kafir, meskipun dia berasal dari keturunan Ali dan Fatimah. (al- Kafi, 1/372374)

Kajian Utama Perkataan Ulama Ahlussunnah Tentang Agama Syiah (401 Views) September 1, 2013 10:36 pm | Published by Redaksi | No commentAl-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal

Al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marrudzi, dari Abu Abdillah bahwa al-Imam Malik rahimahullah berkata, Orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam tidak memiliki bagian di dalam Islam. (as-Sunnah, al-Khallal, 2/557)

Ibnu Katsir rahimahullah juga menyebutkan pendapat al-Imam Malik rahimahullah tatkala menerangkan tafsir surat al-Fath ayat 29, Dari ayat ini, al-Imam Malik rahimahullahdalam sebuah riwayatmengambil hukum tentang kafirnya Rafidhah yang membenci para sahabat.

Sebab, para sahabat membuat mereka marah. Siapa yang marah terhadap para sahabat, dia kafir berdasarkan ayat ini. Ada sebagian ulama yang menyetujui pendapat beliau tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/362)

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, Ucapan al-Imam Malik baik dan penakwilannya benar. Barang siapa mendiskreditkan salah seorang dari mereka (para sahabat) atau mencela riwayatnya, sungguh dia telah membantah Allah Subhanahu wataala dan membatalkan syariat kaum muslimin. (Tafsir al- Qurtubi, 297/16)

Al-Khallal meriwayatkan dari Abu Bakr al-Marrudzi yang mengatakan bahwa dirinya bertanya kepada Abu Abdillah (al-Imam Ahmad rahimahullah) tentang seseorang yang mencela Abu Bakr, Umar, dan Aisyah ? Al-Imam Ahmad rahimahullah menjawab, Aku tidak memandangnya berada di atas Islam. Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, Barang siapa mencela sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, kami tidak merasa aman bahwa dia telah keluar dari agama. (as-Sunnah, al-Khallal, 3/493)

Ali bin Abdush Shamad berkata, Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yakni al-Imam Ahmad) tentang seorang Syiah Rafidhah tetangga kami yang mengucapkan salam kepada kami, apakah boleh aku membalasnya? Beliau menjawab, Tidak boleh. (as-Sunnah, al-Khallal, 3/493-494) Musa bin Harun bin Ziyad rahimahullah berkata, Aku mendengar al-Firyabi ditanya seseorang tentang orang yang mencela Abu Bakr, dan beliau menjawab, Kafir. (as-Sunnah, al- Khallal, 35/499)

Ahmad bin Yunus rahimahullah berkata, Seandainya seorang Yahudi menyembelih seekor kambing dan seorang Rafidhi juga menyembelih, aku pasti memakan sembelihan Yahudi dan tidak memakan sembelihan Rafidhi karena dia telah murtad dari Islam. (ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyah, 3/1062)

Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahullah berkata, Adapun para pengikut hawa nafsu seperti al-Jawardiyah, al-Hisyamiyah, al-Jahmiyah, dan al-Imamiyah yang telah mengafirkan manusia pilihan dari kalangan para sahabat, sesungguhnya kami mengafirkan mereka. Menurut kami, jenazahnya tidak boleh dishalati dan tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya. (al-Farqu Baina al-Firaq, 357)

Abu Said Abdul Karim as- Samani rahimahullah berkata, Kelompok Imamiyah (Rafidhah, -pen.) bersepakat menganggap sesat para sahabat karena mereka menyerahkan keimamahan kepada selain Ali radhiyallahu anhu. Umat ini pun bersepakat mengafirkan kelompok Imamiyah karena meyakini sesatnya para sahabat, mengingkari ijma mereka, dan menisbatkan hal-hal yang tidak sepantasnya kepada mereka. (al-Ansab, as-Samani, 3/188)

Kajian Utama Jejak Langkah Syiah Di Indonesia 1 (2076 Views) September 1, 2013 10:19 pm | Published by Redaksi | No commentAbu Mujahid

Kapan Syiah masuk ke Indonesia pertama kali, hanya Allah yang tahu. Sampai hari ini, pembicaraan tentang mula kali orang Syiah ada di Indonesia melulu berkubang pada dugaan-dugaan belaka. Ada yang menduga Syiah datang pada abad ke- 12 Masehi, ada yang percaya bahwa orang-orang Syiah sudah datang ke Kepulauan Nusantara jauh sebelum abad ke-12 itu. Ada yang meyakini ajaran Syiah dibawa oleh orang-orang Persia, namun ada juga yang meyakini Syiah diperkenalkan oleh orang-orang Arab langsung.

Para pemeluk Syiah di Indonesia sekarang banyak yang percaya, para pembawa Islam ke Indonesia ini adalah orang-orang Syiah. Bukan para sufi. Bukan pula para pedagang yang bermazhab Syafii. Namun, karena melakukan taqiyah, orang-orang Syiah pertama yang dimaksud berpura-pura menjalankan praktik-praktik Islam berdasarkan mazhab Syafii sampai akhirnya mazhab Syafiilah yang dikenal dan dicatat sejarah sebagai mazhab tertua yang berkembang di Indonesia. Lebih jauh lagi, sebagian pemeluk Syiah di negeri kita ini membuat klaim, penguasa muslim pertama di Nusantara yang bernama Sultan Malik ash-Shalih adalah penguasa Samudera Pasai pertama yang memeluk Syiah. Seperti yang dicatat sejarah, Kesultanan Samudera Pasai dikenal sebagai kesultanan tertua di Nusantara yang bermazhab Syafii. Keyakinan itu, ternyata didasarkan pada catatan perjananan Ibnu Batutah, seorang pelancong dari Maroko yang pernah singgah di Aceh pada tahun 13451346 M. Ia menulis, Sultan Jawa bernama Sultan Malik azh-Zhahir. Ia adalah sosok yang disegani dan dihormati. Lebih dari itu, ia termasuk penganut mazhab Syafii. Ia juga sangat mencintai para fuqaha yang datang ke majelisnya untuk bertukar pendapat. Masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang senang berjihad dan berperang, namun juga rendah hati. Ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat dengan berjalan kaki.

Para penduduk Jawa mayoritas bermazhab Syafii. Mereka senang berjihad bersama sultan, hingga mereka memenangkan peperangan melawan orang-orang kafir. Bahkan, orang-orang kafir membayar jizyah kepada sultan sebagai bentuk perdamaian. Apakah Ibnu Batutah dapat dipercaya? Sepertinya, kita semua sudah tahu jawabannya. Amat disayangkan, klaim orangorang Syiah itu diperkuat oleh pendapat kalangan pemerhati sejarah Islam di Indonesia. S.Q. Fatimi, A. Hasjmy, Wan Husein Azmi, Abu Bakar Aceh, dan Agus Sunyoto, adalah orang-orang yang pernah menulis bahwa Syiah telah ada pada masa-masa pertama perkembangan Islam di Kepulauan Nusantara. Keluar dari berbagai dugaan dan klaim, gelombang penyebaran Syiah di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga. Masing-masing menempati waktu, memiliki ciri khas penyebaran, dan mengonversi orang-orang dengan tipikal tertentu.

Gelombang Pertama

Gelombang pertama terjadi sebelum Revolusi Iran tahun 1979. Pada gelombang pertama ini, orang-orang Syiahdai atau bukan daiterbilang sulit untuk diketahui. Terlebih lagi, mereka menjalankan taqiyah yang itu menjadi bagian penting agama mereka. Karena itu, para pemeluk Syiah pada masa itu bersifat sangat tertutup dan betul-betul menyembunyikan keyakinan Syiah mereka dari orang-orang sekitar. Alih-alih berdakwah secara terangterangan, orang-orang Syiah tersebut lebih memilih mendakwahkan Syiah kepada orang-orang terdekat mereka, seperti kepada anggota keluarga sendiri. Lagi pula, yang terpenting bagi waktu itu adalah bagaimana mereka tetap eksis sebagai seorang Syiah, meski dalam hati atau meski di tengah keluarga. Jelas saja, karena laku taqiyah khas Syiah itu, memperkirakan sedikit atau banyak orang yang memeluk Syiah pada gelombang pertama ini menjadi sebuah kemustahilan.

Kendati demikian, salah seorang ulama Syiah asal Lebanon, Muhammad Jawad Mughniyyah, pernah menyebutkan dalam bukunya yang terbit pada 1973, al-Shia fi al-Mizan, bahwa para pemeluk Syiah di Indonesia pada waktu itu berjumlah satu juta orang. Yang juga patut dicatat, sebelum Revolusi Iran meletus pada 1979, sejumlah pemuda Indonesia sudah ada yang berangkat dan belajar di Qum, Iran. Selain Najaf dan Karbala di Irak serta Masyhad di Iran, Qum menjadi salah satu dari empat kota suci milik Syiah yang banyak dikunjungi untuk keperluan ziarah dan belajar. Di Qum, para pemuda yang dimaksud memperdalam ajaran Syiah di hawzahhawzah ilmiyah, semacam lembaga pendidikan tradisional di kalangan Syiah yang dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai pondok pesantren atau juga madrasah. Mereka belajar di situ atas tanggungan ulama-ulama Syiah setempat yang mendapat biaya untuk itu lewat uang zakat dan khumus.

Di Indonesia sendiri, pada tanggal 21 Juni 1976, berdiri Yayasan Pesantren Islam Bangil atau sering disebut YAPI Bangil. Lembaga ini didirikan oleh Husein al-Habsyi (19211994) yang pernah belajar kepada Abdul Qadir Balfaqih, Muhammad Rabah Hassuna, Alwi bin Thahir al-Haddad, dan Muhammad Muntasir al-Kattani di Malaysia. Pesantren YAPI Bangil pun kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan Syiah tertua di Indonesia. Sudah sejak Husein al-Habsyi masih hidup, para santri di pesantren itu diajarkan secara khusus akidah Syiah. Untuk mengimbangi pelajaran fikih berdasarkan mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali, mereka diberikan juga pelajaran tentang fikih Syiah. Bisa dikatakan, santri-santri Pesantren YAPI Bangil yang kemudian banyak berdakwah di berbagai tempat di Indonesia.

Gelombang Kedua

Gelombang kedua penyebaran Syiah di Indonesia dimulai setelah Revolusi Iran meletus. Pada gelombang kali ini, banyak orang yang menjadi Syiah karena didorong intelektualitas mereka. Konversi menjadi Syiah pun banyak terjadi di tengah kalangan mahasiswa dan dosen. Salah seorang staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) waktu itu, Nabhan Husain, pernah mengatakan bahwa dakwah kampus yang sedang marak-maraknya pada 1970-an dan 1980-an mendorong banyak mahasiswa tertarik mempelajari pemikiranpemikiran Syiah.

Mereka tertarik karena keberhasilan Revolusi Iran, kepemimpinan revolusioner Khomeini, dan ideologi yang mendorong terjadinya revolusi itu. Selain itu, dan inilah yang jadi poin penting, dibanding dengan ajaran Islam yang tidak dapat dilepas dari wahyu, Syiah menawarkan cara berpikir yang rasional dan kritis. Bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut, Syiah adalah sebuah alternatif terhadap isme-isme yang berkembang dewasa itu. Seperti diketahui bersama, dunia di 1970-an dan 1980-an menyaksikan persaingan sengit antara liberalisme dan komunisme, antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Segera setelah Revolusi Iran diketahui keberhasilannya, tulisan-tulisan tentang Iran, pemikiran-pemikiran intelektual Iran, dan ulama-ulama Syiah Iran membanjiri toko-toko buku di Indonesia. Demikian pula dengan ulasan-ulasan tentang Revolusi Iran, Khomeini, dan filsafat Syiah yang ditulis oleh orang-orang Indonesia.

Di Bandung, Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin yang baru lulus dari ITB mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. Pada kali pertama, penerbit ini menerbitkan 2.0003.000 eksemplar buku Dialog Sunni-Syiah: Surat-Menyurat antara asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-Amili Seorang Ulama Besar Syiah yang mengundang banyak perhatian waktu itu. Buku tersebut sejatinya adalah terjemahan al-Murajaat yang disusun oleh Syarafuddin al-Musawi al-Amili. Penerjemahnya adalah Muhammad al- Bagir al-Habsyi, ayah Haidar Bagir yang dikenal sebagai tokoh pembela Syiah. Muhammad Bagir kemudian banyak menerjemahkan buku-buku untuk Mizan. Mizan akhirnya banyak berperan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah pada 1980-an dan 1990-an.

Karena itu, masyarakat di Indonesia pun sempat menyebut Mizan sebagai penerbit Syiah terkemuka di Indonesia, sebelum kemudian menganggapnya sama seperti penerbit-penerbit buku umum lainnya sekarang ini. Pada saat bersamaan, di Bandung, Jalaluddin Rakhmat tiba-tiba tertarik kepada Syiah, setelah berdialog dan berdiskusi dengan ulama-ulama Syiah dan Husein al-Habsyi. Dari yang semula aktif berbicara tentang pemikiran Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Said Hawwa, Jalaluddin Rakhmat kini mulai membicarakan akidah dan akhlak Syiah. Sudah bisa ditebak, ia pun diidentifikasi sebagai dai Syiah di Bandung dan kemudian dilarang berdakwah oleh MUI Kota Bandung pada 1985, menyusul keluarnya rekomendasi dari MUI Pusat untuk mewaspadai Syiah di tengah masyarakat. Tidak jera dengan larangan itu, Jalaluddin Rakhmat bersama Haidar

Bagir, Agus Effendy, Ahmad Tafsir, dan Ahmad Muhajir mendirikan Yayasan Muthahhari pada tanggal 3 Oktober 1988. Di bawah naungan yayasan itu, pada 1992, berdiri SMA Muthahhari yang oleh masyarakat waktu itu disebut sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di kota kembang. Tidak lama dari berdirinya Yayasan Muthahhari, pada 1989, berdiri Pesantren al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Mereka terdorong oleh rasa prihatin mereka atas pandangan yang berkembang di masyarakat terhadap Syiah. Agar dapat meneruskan pendidikan ke jenjang lebih lanjut di Qum, Iran, sistem pendidikan Pesantren al-Hadi disesuaikan dengan sistem pendidikan yang ada di hawzahhawzah ilmiyah.

Gelombang Ketiga

Awal gelombang ketiga penyebaran Syiah tidak dapat dipastikan waktu tepatnya. Meski demikian, gelombang ketiga itu muncul ketika kebutuhan akan fikih Syiah makin mendesak. Hal ini wajar, sebab merebaknya pemikiranpemikiran Syiah di kalangan mahasiswa dan di kota-kota besar di Indonesia tidak diimbangi oleh menyebarnya tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang fikih Syiah. Ketika muncul seranganserangan mendiskreditkan Syiah karena memiliki praktik-praktik ibadah yang berbeda dengan Islam, mereka tidak siap menerimanya. Pada saat bersamaan, alumni-alumni Qumdar I Indonesia mulai kembali k e tanah air dan mendakwahkan Syiah.

Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa yang tertarik dengan Syiah, alumni-alumni Qum ini adalah tipikal orang-orang yang mempelajari sesuatu (dalam hal ini adalah ajaran Syiah) sampai ke dasar-dasarnya. Mereka lebih paham akan fikih-fikih Syiah dan yang paling penting: mereka lebih radikal dan frontal dalam menghadapi serangan-serangan kepada mereka. Gelombang ketiga terasa dengan banyak dibukanya pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat. Selain pengajian-pengajian, mereka juga mulai menerbitkan buku-buku Syiah yang berbau fikih. Bukan hanya buku-buku yang berisi pemikiran dan filsafat tokohtokoh Syiah.

Orang-orang yang tertarik dengan Syiah pun tidak lagi datang dari kalangan terbatas seperti mahasiwa dan lingkungan perguruan tinggi. Kali ini mereka jauh lebih beragam yang, dalam kata-kata Jalaluddin Rakhmat, tidak begitu terpelajar. Kemunculan alumni-alumni Qum juga diimbangi oleh berdirinya yayasanyayasan Syiah di berbagai kota di Indonesia. Pada 1995, diketahui ada 40 yayasan Syiah yang telah berdiri di Indonesia dan 25 di antaranya berada di Jakarta. Kemudian juga, sebuah jurnal di Jakarta pernah mendata orang-orang yang memeluk Syiah di Indonesia pada 1995 itu. Hasilnya, yang tentu saja masih bisa diperdebatkan, ada 2 0 .000 orang yang menjalani ajaran Syiah secara total. Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden RI pada MeI 1998 membawa dampak yang tidak sedikit di tengah masyarakat. Jika pada masa pemerintahan Soeharto komunitas Syiah masih diawasi dan dikontrol dengan baik, maka sepeninggalnya, komunitas Syiah berkembang pesat dan menanam pengaruh yang tidak bisa diabaikan.

Bahkan, pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur berdiri untuk pertama kalinya secara resmi organisasi massa (ormas) milik komunitas Syiah di Indonesia, Ikatan Ahlulbait Indonesia (IJABI). IJABI didirikan di Bandung pada tanggal 1 Juli 2000. Sebagai ormas, IJABI terdaftar resmi lewat Surat Keterangan No. 127 Tahun 2000/ D1 Departemen Dalam Negeri Repbulik Indonesia, Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Untuk menjabat Ketua Dewan Syura IJABI, dipilih Jalaluddin Rakhmat. Setelah itu, Dr. Dimitri Mahayana dipilih sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah. Sebagai sebuah ormas Syiah, IJABI ternyata berkembang pesat di tengah masyarakat Indonesia. Sampai 2008 yang lalu, IJABI mengaku telah memiliki anggota sekitar 2,5 juta orang di 84 cabang dan 145 sub-cabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Meski terkadang muncul penolakan dari sebagian masyarakat terhadap keberadaan mereka, IJABI mampu menangani semua itu dengan baik.

Sebaliknya, bersama Dewan Masjid Indonesia (DMI), IJABI memprakarsai pendirian Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) pada tanggal 20 Mei dan tanggal 17 Juli 2011 di Bandung. MUHSIN dimaksudkan sebagai forum dialog antara mereka dan orang-orang Islam, juga sebagai wadah bersama untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial bersama antara komunitas Sunni dan Syiah. Ke dalam MUHSIN itu, juga bergabung organisasi-organisasi non-Syiah, seperti PMII Cabang Kabupaten Bandung, Forum Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Forum Studi UIN Bandung, Forum Kajian Damar Institut, Muslimat NU Jawa Barat, dan Forum Gus Dur Bandung. Bahkan, yang ditunjuk sebagai Pimpinan Pengurus MUHSIN Pusat yang pertama adalah Ketua Departemen Pemuda dan Remaja DMI Pusat, H. Daud Poliradja.

Perpecahan Komunitas Syiah di Indonesia

Meski telah memiliki ormas seperti itu, komunitas Syiah di Indonesia bukan tidak sepi dari perselisihan dan perpecahan. Hal ini, di antaranya, terkait isu kepemimpinan Syiah di Indonesia dan ini telah mencuat jauh-jauh hari sebelum adanya IJABI, tepatnya pada pertengahan 1990-an. Jalaluddin Rakhmat waktu itu mengakui adanya hal tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari gap antara generasi Syiah gelombang kedua dan generasi Syiah gelombang ketiga. Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Ulumul Quran, ia pernah mengatakan, Belakangan Syiah gelombang ketiga ini menganggap Syiah gelombang kedua itu sebagai bukan orang Syiah yang sebenarnya. Jadi kalau saya dimasukkan ke dalam gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syiah. Dan di dalam wacana Syiah sendiri, internal Syiah sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syiah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syiah baru di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syiah, dengan definisi yang berbeda itu.

Setelah IJABI berdiri, sikap seperti itu terus berkembang di Indonesia, terutama di kalangan pemeluk Syiah yang mengaku keturunan ahlul bait Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sebagian mereka dan para pendukung mereka merasa bahwa kepemimpinan Syiah di Indonesia harus dipegang oleh ahlul bait. Karena itu, mereka dengan tegas menolak kepemimpinan Jalaluddin Rakhmat yang jelas-jelas bukan ahlul bait. Di antara mereka pun ada yang tidak mengakui kesyiahandan bahkan mengafirkanJalaluddin Rakhmat dan orang-orang IJABI. Wallahu taala alam.

Tanya Jawab Ringkas(1347 Views) September 1, 2013 10:16 pm | Published by Redaksi | No commentPada rubrik Tanya Jawab Ringkas edisi ini, kami muat beberapa jawaban dari al- Ustadz Muhammad as-Sarbini.

Tata Cara Mengganti Kekurangan Rakaat Shalat

Bagaimana cara mengganti kekurangan rakaat shalat? Apakah rakaat yang didapat sebagai rakaat pertama atau sesuai rakaatnya? Apa yang dibaca pada tiap rakaat? 081392XXXXXX

Rakaat yang Anda dapatkan bersama imam adalah rakaat pertama Anda, kemudian rakaat berikutnya adalah rakaat kedua Anda. Demikian seterusnya hingga imam salam lalu Anda menyempurnakan rakaat yang tersisa.

Meminta Cerai Lantaran Suami Tidak Bekerja

Jika suami tidak bekerja atau berusaha untuk memenuhi kebutuhan, bolehkah meminta cerai? 0813XXXXXXXX

Jika suami tidak menjalankan kewajiban mencari nafkah untuk mencukupi istrinya, padahal dia mampu bekerja, boleh bagi istri meminta fasakh (pembatalan akad) dengan cara khulu.

Menikah Setelah Ditalak Tiga

Apakah wanita yang sudah 3 kali ditalak (bain kubra) boleh langsung meminta dicarikan suami baru, lewat perantara, dan tidak menunggu masa iddah? Jazakumullahu khairan. 08586XXXXXXX

Harus menunggu sampai masa iddah berakhir.

Keringanan Mandi Wajib

Bagaimana mandi wajibnya seseorang yang tidak memungkinkan untuk mandi (misal karena sakit yang tidak boleh terkena air)? 08562XXXXXX