astina edisi 2

24
JURNALASTINA Segala sesuatu pada dasarnya memiliki dua wajah. Salah satunya adalah yang terasingkan : Edisi II/Oktober/2011

Upload: barjow-anonim

Post on 21-May-2015

160 views

Category:

Spiritual


0 download

DESCRIPTION

The 2nd edition of Astina Journal, sadly it was also the last because the hiatus that comes to nothingness. enjoy while u can.

TRANSCRIPT

Page 1: Astina edisi 2

JURNALASTINA

Segala sesuatu pada dasarnya memiliki dua wajah. Salah satunya adalah yang terasingkan :

Edisi II/Oktober/2011

Page 2: Astina edisi 2

2 JURNALASTINA

K ita hidup dalam dunia yang penuh peperangan. Setiap hari media selalu memberitakan soal perang ideologi dan

perang wacana. Kekhawatiran tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah senantiasa hadir dalam benak kita. Pemenang menjelma menjadi penguasa. Mereka seolah berhak mengkonstruksikan kebenarannya sebagai suatu hal yang absolut dalam masyarakat. Maka pihak yang kalah akan mengikuti wacana kebenaran pemenang. Mereka yang tidak mengikuti instruksi tersebut, dilabeli sebagai pembangkang dan dianggap sebagai wujud kegilaan dalam masyarakat. Kegilaan didefinisikan sebagai suatu kondisi abnormal dalam situasi 'comfort zone' masyarakat. Pada masyarakat tradisional, oknum-oknum pembangkang tersebut biasanya diasingkan atau bahkan dibuang dari kelompok masyarakatnya. Hal yang sama juga terjadi bahkan dalam masyarakat yang menyebut diri mereka 'modern'. Para pelaku kegilaan menerima sanksi-sanksi tersendiri dari otoritas yang berkuasa. Sejarah mencatat banyak pemikir-pemikir kritis, yang buah pikirannya dianggap bid'ah pada jamannya, dan mengalami hukuman sadis dari rezim yang berkuasa. Padahal banyak buah pemikiran mereka yang akhirnya membuktikan bahwa tidak selamanya kebenaran tunggal penguasa bagaikan wahyu sorgawi Tuhan. Astina memotret dua wajah kebenaran tersebut dalam ilustrasi sampul edisi “kegilaan” kali ini.

Astina mengangkat wacana kegilaan sebagai bentuk resistensi terhadap wacana kebenaran tunggal yang saat ini membelenggu kognisi kita. Tulisan-tulisan dalam jurnal ini berusaha memotret kegilaan dalam berbagai perspektif. Frendy mengangkat potret moralitas manusia sebagai sebuah kegilaan pada jamannya. Feby menelaah pemikiran Foucault mengenai kegilaan dan mengaitkan beberapa adegan di film Tsotsi dalam perspektif arsitektur. Elbram melihat kegilaan dalam pengorbanan Kristus dan kaitannya dengan Paskah. Willy memandang revolusi sebagai pengejawantahan kegilaan dalam upaya melawan belenggu kapitalisme. Bima melihat kegilaan pada diri manusia dalam memahami semesta sosialnya. Zikri mengangkat isu kontemplasi kognisi dalam kehidupan urban.

Berbagai tulisan yang disajikan dalam jurnal Astina kali ini, membuktikan bahwa kegilaan dapat ditelisik dari berbagi sudut pandang. Mulai dari perihal justifikasi kebenaran, religius, hingga hal kemanusian, semua berujung pada upaya menggugat absolutisme kebenaran tunggal. Sebagai penutup, tim redaksi Astina ingin mengajak rekan-rekan pembaca untuk memaknai ulang kebenaran melalui kegilaan.

Salam,

Redaksi.

Daftar Isi

...Hanya Kegilaan & Kebenaran

(Frendy Kurniawan)

Halaman 3

Tsotsi: Antara Urban & Kuasa

(Feby HK)

Halaman 10

Jalan Revolusi

(Willy Avriely D)

Halaman 14

Ah! Paskah!

(Elbram Aprlianto)

Halaman 18

Sesuatu

(M.Zikri)

Halaman 21

astina diskusi virtual (grup fb)

kelompok diskusi astina (fb)

@astinaacademia

astina-academia.blogspot.com

[email protected]

Contact Person:

Feby (0858885232088)

Willy (08988004890)

PANTAU TERUS

KEGIATAN KAMI!

Page 3: Astina edisi 2

JURNALASTINA 3

dan kebenaran

P etikan puisi dari Nietzsche di atas akan

mengawali pembicaraan kita berkenaan

tentang kebenaran dan kegilaan manusia.

Puisi tersebut di ambil dari kumpulan puisi

Nietzche era 1882 - 1888 (dalam judul

Dithyrambos Dionysos). Beberapa larik dari puisi

tersebut, sudah menyiratkan kepada kita perihal

sebuah masalah dari manusia. Mungkin saja pokok

tersebut menjadi sebuah permasalahan manusia

yang tiada pernah terselesaikan secara tuntas.

Bersama puisi tersebut marilah kita refleksikan

segala yang berkaitan dengan manusia.

* * *

Saya kira permasalahan mendasar dari

manusia adalah sebuah kegelisahan abadi. Sebuah

beban yang tertanggungkan secara mendasar di

dalam kemanusiaan itu sendiri. Rasa gelisah

manusia menunjuk pada sebuah karakteristik

purba berkenaan dengan passion (hasrat). Passion

yang menjadikan manusia dalam keliaran, dalam

potentia, dalam keterpurukan serta keterlemparan

dari mitos-mitos, juga menjadikan manusia

terjebak dalam aneka ragam bayang-bayang

egonya: kebebasan, kebenaran, keabadian.

Menurun dari passion, manusia semakin

menegaskan kegelisahan, semakin gundah-gulana

tiada pernah terhentikan. Layaknya samudera

yang terus menderu dalam gelora, dalam badai.

... hanya kegilaan

. . .

Pada rekah fajar,

saat bulan sabit yang pucat di tengah gemilang jingga

dengan iri berindap dengki, - gentar akan terangnya hari,

bersingjingkat menyabiti hamparan mawar

hingga pucat terkulai ke gulita malam: demikianlah dahulu kuterlukai

dari gila-kebenaranku, dari rindu-rindu siangku,

muak akan siang, sakit oleh cahaya - tenggelam, ke malam, ke gelap,

oleh Satu kebenaran terbakar dan dahaga.

- ingatlah kau, wahai kalbu membara, betapa dulu kau dahaga

akan keterusiranku dari tiap kebenaran!

Cuma pandir! Cuma penyair! . . .

Nietzsche: Nur Narr! Nur Dichter! (Cuma Pandir! Cuma Penyair!)

oleh Frendy Kurniawan1

Page 4: Astina edisi 2

4 JURNALASTINA

Menghantam seluruh tepi-tepi karang, sejarah

kehidupan manusia yang membeku.

Manusia menyadari kegelisahan tersebut

dalam perjalanan panjang sejarah, serta dengan

pencapaian akan

kesadaran.

Kesadaran, telah

terbukti menjadi

selubung gelap

pengetahuan

manusia dari zaman

klasik hingga

modern, dari sari

kebijakan Timur

semacam Zen

hingga seluruh

pencapaian sejarah

filsafat Barat. Kesemuanya berupaya menguak

tabir misteri semesta, membongkar mitos-mitos

penuh kegelapan seraya menghadirkan secercah

kebenaran, bagi manusia. Tapi tetap saja tak

pernah bertemu dengan ujung penyelesaian.

Kesadaran manusia itu sendiri berkenaan

dengan seluruh pertanyaan-pertanyaan mengenai

kehidupan juga tentang kematian. Manusia sebagai

makhluk yang memiliki kehidupan, lantas

mempertanyakan segala hal berkaitan dengan

hidup itu sendiri. Apa itu kehidupan? Apa itu

dunia? Apa itu kenyataan? Apa itu hidup? Mengapa

hidup ini bisa terjadi? Untuk apakah hidupku ini?

Dari manakah aku berasal? Dan akan kemana?

Itulah segelintir saja pertanyaan manusia dari

seluruh pertanyaan tiada habis berkenaan dengan

hidupnya.

Tidak hanya hidupnya yang manusia

pertanyakan tiada henti. Perihal kematian pun

manusia gelisahkan tiada habis-habisnya. Apa itu

kematian? Kenapa manusia mati? Apa yang akan

terjadi setelah manusia mati? Kenapa kematian

harus terjadi? Tidak adakah jalan selain kematian

itu? Semua itu benar-benar menggelisahkan sang

manusia. Tidak ada detik kehidupan manusia yang

terlewatkan tanpa

ketakutan. Tanpa rasa

gemetar untuk

menghadapi kesunyian

yang penuh dengan

selubung misteri.

Sebuah kematian yang

membawa pada

keabadian.

Tanggapan

manusia berkenaan

dengan seluruh

pertanyaan-

pertanyaan tersebut cukup beragam. Salah satu di

antaranya terangkum dalam sebuah skema kisah-

kisah agama dan tuhan. Agama menjadi salah satu

spirit manusia, baik secara personal maupun juga

komunal. Akan tetapi agama secara jelas lebih

menguatkan pengaruh secara komunal. Ritus yang

kemudian diwartakan oleh agama-agama perlu

dijalankan dalam skema komunal. Eksistensi

kebersamaan secara alami ditegaskan dengan kuat

oleh agama. Termasuk juga dengan kematian.

Kematian yang pada prinsip dasarnya adalah

sebuah proses alamiah dari eksistensi mahkluk

hidup, oleh agama diubah menjadi sebuah titik

tolak misteri yang penuh dengan kategori sakral.

Kematian dianggap sebagai sebuah pintu gerbang

penuh penantian yang akan membawa manusia

berjumpa secara abadi dengan tuhan. Karenanya,

ada upacara secara kolektif yang kemudian

tercipta sebagai sebuah tanda perwujudan dari

ritus kematian.

Begitupun dengan kesadaran akan

“Apa itu kematian? Kenapa manusia

mati? Apa yang akan terjadi setelah

manusia mati? Kenapa kematian harus

terjadi? Tidak adakah jalan selain

kematian itu? Semua itu benar-benar

menggelisahkan sang manusia. Tidak

ada detik kehidupan manusia yang

terlewatkan tanpa ketakutan. Tanpa

rasa gemetar untuk menghadapi

kesunyian yang penuh dengan

selubung misteri.”

Page 5: Astina edisi 2

JURNALASTINA 5

kehidupan. Skema agama dan tuhan telah

memberikan jubah sakral bagi kematian. Juga

memberikan pemahaman besar mengenai

rancangan besar nan agung mengenai alam

semesta. Alam semesta yang kemudian disadari

dan juga nantinya dialami oleh manusia ini

dikisahkan sebagai sebuah kerja kreatif dalam

skema besar kreasionisme. Prinsip kreasionisme

telah memberikan

pemahaman bahwa

alam semesta

merupakan sebuah

rancangan kreatif dari

tuhan. Dengan demikian

kehendak tuhanlah

segala-galanya ini

berpusat. Pokok

terpenting dari

kreasionisme ini adalah

adanya kekuatan

adikodrati yang

menjadikan segala-

galanya, entah melalui

ketiadaan (ex-nihilo)

ataupun dari suatu

realitas chaos

(demiurgos) yang

kemudian menjadi teratur.

Jawaban tersebut pada suatu waktu diterima

bahkan diyakini. Hingga kini pun sebagian

penduduk dunia masih menjadi penganut paham

besar kreasionisme ini. Melalui otoritas agama

serta pewarisan secara kultural maupun juga

ekspansional (perang), paham kebenaran agama

dan tuhan sebagai sebuah pusat dari eksistensi

semesta dilestarikan di dunia. Manusia seolah-olah

menemukan kebenaran melalui skema itu.

Kesadaran manusia memberikan pembenaran bagi

prinsip ini. Reason atau akal manusia menjadi jalan

bagi usaha pencarian sekaligus legitimasi dari

kebenaran mengenai tuhan dan semestanya. Akan

tetapi melalui sebuah kesadaran manusia juga,

pengalaman keduniawian manusia lantas

memperlihatkan berbagai ketaksesuaian dengan

prinsip kreasi tuhan. Pengalaman manusia

memberikan kenyataan lain mengenai dunia yang

tidak sempurna. Dunia yang

penuh dengan aroma tak

mengenakan dan berwajah

gelap. Ini merupakan

sebuah kontradiksi dari

prinsip kesadaran yang

diterima begitu saja pada

awalnya.

Mengapa dunia yang

dicipta secara sempurna ini

masih saja menampakan

tanda-tanda

ketidaksempurnaan?

Mengapa manusia harus

mengalami kematian?

Mengapa ada yang miskin

dan ada yang kaya?

Mengapa ada orang-orang

sakit dan cacat? Mengapa

ada ketidakadilan? Bukankah tuhan yang

mempunyai kekuasaan penuh mencipta segala-

gala ini dapat saja menghilangkannya? Mengapa

tidak tuhan lakukan?

Reason manusia lantas menemukan

jawabannya, mengarah kepada sosok bernama evil.

Evil menjadikan sosok kegelapan dan

ketidaksempurnaan memperoleh wujud

konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai

semesta lantas dimitoskan diganggu oleh sosok

evil itu. Pembenaran mengenai evil ini menjadikan

Karya Ibnu Rizal Courtesy of: 28w ArtLab

Page 6: Astina edisi 2

6 JURNALASTINA

dengan nafsu. Buruk adalah segala kegelapan

malam, dengan lolongan anjing dan serigala

kelaparan yang mengawasi kota, siap untuk

memangsa. Yang buruk adalah segala yang kuasa,

yang menguasai tanpa menjadi anak-anak dari yang

terlihat, tanpa mengakui dari yang cahaya. Buruk

adalah oposisi. Sekalipun alam semesta memiliki

dasar kegelapan yang hebat!

* * *

Manusia memang

sebuah bayang-

bayang gelap, tak

pernah terselesaikan.

Bahkan ketika dunia

sudah penuh

kedamaian dalam

naungan rancangan

agung sang tuhan,

lama kelamaan

Tuhan pun dia

gugurkan sendiri.

Sebagai pencipta

nilai-nilai, manusia

memang mempunyai

segala kuasa atas

segala yang tercipta. Manusia mencipta segala yang

khayali. Segala macam rekaan yang seringkali diberi

selubung kebenaran. Dapatkah manusia

memberikan pembenaran akan Tuhan yang

mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam

sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat

kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak ketika

manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak berdaya

tanpa sebuah pertolongan apapun. Bahkan dari

sebuah keajaiban. Tuhan bagi manusia, dalam

pandangan Nietzche adalah sebuah ilusi. Diciptakan

sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi segala

kelemahan manusia yang tidak ingin diakuinya.

Diciptakan untuk memberikan sebuah kode impian

bernama pengaharapan akan jaminan kehidupan

setelah kematian dalam keabadian.

Penantian, penantian dan terus penantian,

itulah jati diri lemah manusia yang ketika

tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah

keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,

merasa kalah. Atas semua kekalahan dan

ketakberdayaan tersebut manusia pun masih

mengingkarinya,

masih merasa bukan

sebagai

kemanusiaan.

Manusia mencipta

tuhan dalam pikiran-

pikiran, dalam

khayalan-khayalan,

dalam spirit

kehidupan, dalam

kerumunan dan

gerombolan.

Manusia berani

menyatakan Tuhan

atas nama

kebersamaan dengan

banyak manusia-

manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,

menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya

berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi

naif atas seluruh kemanusiaannya.

Manusia-manusia di masa kini sungguh suatu

manusia dalam kerumunan kegilaan. Berduyung-

duyung mengejar segala passion, meluapkannya

dalam puncak keberlimangan dunia seraya mengejar

segala yang akhirat. Manusia-manusia gila sedang

menghuni tempat-tempat terbaik dari kita,

bersemayam dalam puncak kuasa raja juga dalam

secibir buaian jalanan. Gila menjadi sebuah cara

manusia mengamini segala yang kemudian tak lagi

Tafsir Puisi “Pertemuan” Goenawan Mohamad Karya

Bachtiar Agung N

Page 7: Astina edisi 2

JURNALASTINA 7

sakit dan cacat? Mengapa ada ketidakadilan?

Bukankah tuhan yang mempunyai kekuasaan

penuh mencipta segala-gala ini dapat saja

menghilangkannya? Mengapa tidak tuhan lakukan?

Reason manusia lantas menemukan

jawabannya, mengarah kepada sosok bernama

evil. Evil menjadikan sosok kegelapan dan

ketidaksempurnaan memperoleh wujud

konkretnya. Seluruh kreasi tuhan mengenai

semesta lantas dimitoskan

diganggu oleh sosok evil

itu. Pembenaran mengenai

evil ini menjadikan

seluruh pengalaman

manusia yang tak

sempuran tadi

mendapatkan

penjelasannya.

Pemahaman ini dapat

ditelusur melalui

pandangan Theodicy.

(lihat Theodicy: Essays on the Goodness of God, the

Freedom of Man and the Origin of Evil, Leibniz:

1978)

Moral tentang yang baik dan buruk

Sepertinya reason manusia berkenaan

dengan tuhan dan evil, hanya akan membawa

manusia pada pertimbangan mengenai yang baik

dan buruk. Suatu prinsip mendasar yang

menyelimuti seluruh kehidupan manusia hingga

kini. Baik manusia secara personal maupun

manusia pada hitungan kawanan (komunal).

Pertimbangan mengenai yang baik dan yang buruk

tersebut lantas menjadi prinsip moral manusia.

Manusia meyakini menjadi satu-satunya mahkluk

di dunia yang merengkuh hukum universal

tersebut.

Moral mengendalikan manusia. Moral

mengendalikan kehidupan manusia. Moral adalah

hukum. Hukum dalam keteraturan, manifestasi

dari prinsip mendasar alam semesta: teratur.

Kesadaran yang merupakan pencapaian eksistensi

tertinggi manusia pun pada akhirnya mau tidak

mau harus menunduk malu pada moral itu. Moral

memberikan semacam pentunjuk bagi manusia

dalam menentukan

pilihan jalan kehidupan

manusia. Mana yang baik,

mana yang buruk.

Dalam risalah

fiktifnya, Nietzche

menyatakan asal muasal

moral manusia pada

sesosok nabi bernama

Zaratrustha. Sesosok nabi

dalam agama kuno Persia

menunjukan kepada umat

manusia perihal cahaya dan kegelapan.

Menunjukan kepada manusia perihal kebaikan dan

keburukan. Itulah hukum semesta. Semesta yang

secara reason dipahami sebagai sebuah wujud

keteraturan dalam skema cahaya (tata surya).

Seluruh kehidupan dalam alam semesta memang

sangat bergantung dengan cahaya, dengan

matahari. Maka tidak mengherankan pula pada

tradisi agama-agama semit memberikan

keagungan kepada matahari: nur, bintang timur,

cahaya, terang semesta. Yang baik adalah yang

terlihat, yang buruk adalah yang tersembunyikan.

Yang terlihat adalah segala-gala yang dapat

dicerna oleh mata (terbaca), terindrawi dan yang

estetis sebagai sebuah perwujudan dunia yang

indah. Yang buruk adalah kekelaman, yang berada

di dalam perasaan terdalam, yang emosionil penuh

“akhir dari moral .... kegilaan

. . .

Tuhan sendiri - pernahkah ia mengawali?

Tuhan sendiri - pernahkah ia memulai?”

Nietzche: Alle ewigen Quell-Bronnen

(Semua Mata Air Abadi ...)

Page 8: Astina edisi 2

8 JURNALASTINA

terindrawi dan yang estetis sebagai sebuah

perwujudan dunia yang indah. Yang buruk adalah

kekelaman, yang berada di dalam perasaan

terdalam, yang emosionil penuh dengan nafsu.

Buruk adalah segala kegelapan malam, dengan

lolongan anjing dan serigala kelaparan yang

mengawasi kota, siap untuk memangsa. Yang

buruk adalah segala yang kuasa, yang menguasai

tanpa menjadi anak-anak dari yang terlihat, tanpa

mengakui dari yang cahaya. Buruk adalah oposisi.

Sekalipun alam semesta memiliki dasar kegelapan

yang hebat!

* * * Manusia memang sebuah bayang-bayang gelap, tak

pernah terselesaikan. Bahkan ketika dunia sudah

penuh kedamaian dalam naungan rancangan

agung sang tuhan, lama kelamaan Tuhan pun dia

gugurkan sendiri. Sebagai pencipta nilai-nilai,

manusia memang mempunyai segala kuasa atas

segala yang tercipta. Manusia mencipta segala

yang khayali. Segala macam rekaan yang seringkali

diberi selubung kebenaran. Dapatkah manusia

memberikan pembenaran akan Tuhan yang

mengawali segala sesuatu? Ya dan tidak. Ya dalam

sebuah skema kelogisan atas seluruh hasrat

kerinduan manusia akan kebenaran, dan tidak

ketika manusia merasa jatuh tersungkur dan tidak

berdaya tanpa sebuah pertolongan apapun.

Bahkan dari sebuah keajaiban. Tuhan bagi

manusia, dalam pandangan Nietzche adalah

sebuah ilusi. Diciptakan sebagai sebuah rekayasa

untuk menutupi segala kelemahan manusia yang

tidak ingin diakuinya. Diciptakan untuk

memberikan sebuah kode impian bernama

pengaharapan akan jaminan kehidupan setelah

kematian dalam keabadian.

Penantian, penantian dan terus penantian,

itulah jati diri lemah manusia yang ketika

tersungkur dalam permainan kehidupan, sebuah

keberulangan Abadi, manusia merasa tak berdaya,

merasa kalah. Atas semua kekalahan dan

ketakberdayaan tersebut manusia pun masih

mengingkarinya, masih merasa bukan sebagai

kemanusiaan. Manusia mencipta tuhan dalam

pikiran-pikiran, dalam khayalan-khayalan, dalam

spirit kehidupan, dalam kerumunan dan

gerombolan. Manusia berani menyatakan Tuhan

atas nama kebersamaan dengan banyak manusia-

manusia lain. Manusia berkerumun bersama-sama,

menunjuk Tuhan, menghadirkan Tuhan seraya

berlindung dibaliknya. Bersembunyi dan menjadi

naif atas seluruh kemanusiaannya.

Manusia-manusia di masa kini sungguh

suatu manusia dalam kerumunan kegilaan.

Berduyung-duyung mengejar segala passion,

meluapkannya dalam puncak keberlimangan dunia

seraya mengejar segala yang akhirat. Manusia-

manusia gila sedang menghuni tempat-tempat

terbaik dari kita, bersemayam dalam puncak kuasa

raja juga dalam secibir buaian jalanan. Gila

menjadi sebuah cara manusia mengamini segala

yang kemudian tak lagi dapat diperjelas dalam

kebenaran. Manusia menjadi gila dalam

kesendiriannya, dalam kekosongan untuk sekedar

bergerak melampaui diri mereka sendiri. Manusia

sungguh sedang menderita, sungguh tak berdaya.

Bencana, keputusasaan, hidup yang tak lagi

bermakna, kemunafikan, kematian secara massal

bahkan segala hal yang hidup pun kini tak lagi

menunjukan rasa bagi manusia. Segala hanya

kegilaan, saat sang moral telah dihentikan atas

nama ego, atas nama kebebasan.

Moral pada zaman ini berakhir lewat

legalitas rasional. Hukum yang secara instrumental

telah menatah segala yang obyektif pada ragam

Page 9: Astina edisi 2

JURNALASTINA 9

bentuk benar-salah. Reason menjadi salah satu

fondasinya. Manusia bukan lagi dikendalikan oleh

nurani hati nurani (mores) sebagai perwujudan

moral, melainkan relasi kontraktual antar

sesamanya (atau juga menggunakan prinsip lawan-

kawan; Schmitt). Dengan demikian, manusia bukan

saja mengubah segala kondisi yang selama ini

menyelingkupinya, melainkan juga menciptanya

kembali dengan sebuah tatanan yang baru. Alam

yang penuh dengan segala yang reason, adalah alam

yang sudah mengubah wajah tuhan. Tuhan telah

mati, begitu kata Nietzche. Dalam artian bukan lagi

menjadi penjaga absolut dari moral manusia. Bukan

lagi menakut-nakuti manusia melalui suara-suara

gelap (atas nama moral). Tuhan masa kini telah

dijadikan sebagai sebuah obyek baru, yaitu suatu

perwujudan rasional atas pilihan benar-salah,

selamat atau tidak selamat. Manusia-manusia hari

ini sudah menafsir Tuhan dalam kerangka

instrumental. Manusia mencari jawaban perihal the

chosen one (yang terpilih) seperti dalam

penggambaran Max Weber.

Moralitas manusia hari ini adalah sebuah

kegilaan. Kegilaan akan penantian tiada henti akan

keselamatan dunia yang akan datang. Keselamatan

dalam skema keabadian. Sejarah manusia lantas

memang sebuah sejarah perjuangan. Perjuangan

antar kelas yang terpilih dan kelas yang tidak

terpilih. Moralitas diukur sejauh itu. Tetapi memang

apa daya, manusia tak dapat memastikan dengan

benar-benar apa yang akan mereka hadapi ketika

kematian itu datang. Percaya, keteguhan, keyakinan

bahkan pembelaan yang kuat dan mati-matian akan

sebuah ajaran dan tradisi atas seluruh ramalan

mengenai zaman yang akan datang menjadi sebuah

keniscayaan manusia-manusia masa kini –yang saya

sebut sebagai kegilaan―agar mereka mampu mati

dalam ketenangan.

* * *

Akankah semua cerita tentang zaman yang

akan datang itu memang benar adanya?

Tidak ada yang tahu pasti, kecuali kita menjemput

kematian. Tetapi apa daya, hingga hari ini

masyarakat kita atas nama apapun sangat membenci

bunuh diri. Juga ketika kita pun mengamini seluruh

sabda dari Nietzche: berkatalah “Ya” atas seluruh

hidup yang kita tanggung.

Jangan pernah menolak kehidupan, sama

seperti jiwa Dynosius yang terus bergelora

memberikan keliaran kehidupan (juga pengetahuan)

kepada sang Apollo yang bernyanyi

memanggilnya.***

1Penulis adalah seorang mahasiswa sosiologi yang

sedang menempuh tugas akhir dan juga merupakan

seorang penyair, pemikir existensialisme dan

penggiat diskusi sastra dan kebudayaan di UI.

Page 10: Astina edisi 2

10 JURNALASTINA

T sotsi adalah sebuah film bersetting di

Johannesburg, Afrika Selatan yang

memotret realita dua sisi kota tersebut,

satu sisi memperlihatkan kuasa dengan

eksklusivitas dan satu sisi yang lain mendapatkan

kuasa dengan kriminalitas. Beranjak dari situ

penulis juga terdorong untuk menjelaskan

“penggunaan” kekerasan dan rasa takut tersebut

yang diterangkan Foucault. Dalam bukunya yang

berjudul History of Madness, Foucault menulis:

“For madness: to take oneself for a king

when one is poor; to believe oneself dressed

in gold when one is naked; to imagine that

one has a body of glass, or that one is a

water pitcher. Madness is when all is other,

it deforms and transports, it evokes a

different scene.”

Konsepsi kegilaan dan rasa takut yang keluar

dirasa dapat menjelaskan bagaimana kuasa dapat

berperan di dalamnya. Dalam hal ini tentunya akan

dikaitkan dengan eksklusivitas dan kriminalitas

yang tersirat pada Tsotsi. Tulisan ini terdiri dari

sinopsis film, pola segregasi dalam tata kota

Johannesburg hingga pandangan Foucault tentang

kegilaan, dan analisa Foucault terkait film tersebut.

Dengan demikian, semoga dari penjelasan

beberapa hal tersebut, pertanyaan yang timbul

mengenai segregasi ketika menonton Tsotsi akan

terjawab.

Sinopsis Tsotsi

Tsotsi disutradarai oleh Gavin Hood dan

merupakan adaptasi dari novel karya Athol Fugard

dengan judul yang sama. Film yang dirilis pada

tahun 2005 ini mengambil latar belakang di Afrika

Selatan, pada kawasan kumuh Suweto,

Johannesburg. Bercerita tentang seorang pemuda

bernama Tsotsi3 yang terkenal dengan tindak

kriminalitasnya. Segala macam pencurian

dilakukannya dan tak kenal takut untuk

membunuh. Kejahatan yang ia lakukan bukan

tanpa sebab. Sedari kecil Tsotsi sudah mengenal

kerasnya hidup.

Ibunya terkena penyakit yang tak bisa

disembuhkan dan Ayahnya melarang dirinya

untuk bersentuhan dengan Ibunya. Dikarenakan

Ayahnya yang tak memberinya kasih sayang yang

sepantasnya, Tsotsi kecil pergi dari rumah. Dari

situlah ia mulai menjalani hidup sendirian tanpa

hangat dari pelukan orangtua.

Ketika beranjak dewasa, Tsotsi melakukan

penjambretan di dalam kereta bersama Butcher,

Boston, dan Aap. Penjambretan itu berakhir

dengan pembunuhan yang dilakukan Butcher.

Boston yang tidak setuju dengan tindakan

pembunuhan tersebut akhirnya berkelahi dengan

Tsotsi yang merupakan pemimpin dalam aksi

penjambretan tersebut. Setelah perkelahian itu,

Tsotsi pergi ke kawasan perumahan dimana ia

menembak seorang wanita bernama Pumla dan

Feby Hendola Kaluara2

“violence and fear are entangled with processes of social change in contemporary cities,

generating new forms of spatial segregation and social discrimination.”

Tsotsi; Antara Urban dan Kuasa1

Page 11: Astina edisi 2

JURNALASTINA 11

mengambil mobilnya yang hendak memasuki

gerbang rumahnya. Tsotsi yang tidak bisa

menyetir dengan baik mengendarai mobil tersebut

tanpa tersadar ada bayi di dalamnya. Saat berhenti,

Tsotsi tersadar ada bayi di dalamnya. Awalnya ia

ingin meninggalkan si bayi begitu saja, tetapi hati

kecilnya tak tega. Tsotsi seperti melihat dirinya

sewaktu kecil di bayi itu. Akhirnya bayi itu dibawa

ke rumahnya. Sementara Pumla dan suaminya

mengerahkan segenap tenaga dan bantuan dari

polisi untuk menemukan bayi mereka.

Tsotsi yang disibukkan dengan kehadiran si

bayi, menyadari betapa ia tidak becus merawat

bayi, Tsotsi menodong Miriam—seorang wanita

yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, untuk

merawat si bayi. Dari sinilah ia kemudian mulai

menyadari kasih sayang yang sempat terenggut

dari kehidupannya. Seiring berjalannya waktu,

Tsotsi menjadi begitu sayang dengan si bayi dan

ingin sekali merawat si bayi.

Pola Segregasi dalam Tata Kota

Johannesburg

Tata Kota Johannesburg memang tidak secara

eksplisit diperlihatkan, namun segregasi antara si

miskin dan si kaya sangat mudah untuk

diidentifikasi, oleh sebab itu, penulis mencoba

menjelaskan pola tata kota tersebut.

Laiknya negara berkembang lain, Afrika

Selatan juga mengalami fenomena urbanisasi.

Urbanisasi kerap terjadi karena adanya

industrialisasi dan modernisasi di bagian

perkotaan, sehingga mendorong orang-orang

untuk mengadu nasib di kota. Seringkali urbanisasi

membentuk pola baru yang biasa disebut center-

periphery. Pola ini biasanya memiliki 4

karakteristik, yaitu (1) bangunannya lebih

menyebar ketimbang terkonsentrasi, (2) terdapat

perbedaan kelas yang mencolok dan biasanya

kaum menengah ke atas tinggal di bagian

pusatnya, sementara kaum menengah ke bawah di

sekeliling pinggiran kota, (3) kepemilikan rumah

menjadi pandangan umum bagi yang kaya maupun

yang miskin, dan (4) transportasi sangat

tergantung pada jalanan, dengan bus yang biasa

digunakan oleh kaum pekerja (working class),

sementara angkutan pribadi umumnya digunakan

oleh kaum menengah ke atas.

Pola tersebut juga terlihat di Johannesburg.

Pada bagian pinggir kota ini didominasi oleh

kawasan kumuh sementara di bagian pusatnya

berdiri bangunan tinggi nan gemerlap. Hal ini

diilustrasikan oleh Martin J Murray dengan istilah

“dua ekstrim yang terkotakkan”; satu sisi adalah

ruang kemakmuran yang sehat, fungsional, dan

sebagian besar dihuni oleh warga berkulit putih

kelas menengah ke atas; sisi lainnya adalah ruang

kurungan yang menyesakkan dimana mayoritas

penduduk yang tinggal adalah pekerja kulit hitam.

Perbedaan ini makin terlihat dengan

munculnya perumahan residensial yang dengan

jelas memperlihatkan batasan antara penghuni

dengan daerah sekitarnya. Dinding, gerbang, dan

pos pemeriksaan menjadikan residensial tersebut

terprivatisasi. Konsep siege architecture4 ini sudah

ada sejak sesudah masa apartheid. Obsesi akan

privatisasi tersebut kemudian menyerupai sebuah

tempat yang homogen di tengah-tengah

keragaman dan kemiskinan.

Eksklusivitas ini terjadi karena adanya rasa

takut akan kriminalitas. Hal ini tidak

mengherankan karena mereka yang mampu

mendapatkan fasilitas tersebut memiliki kekayaan

yang ingin mereka jaga. Adanya ketakutan dengan

kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat

Page 12: Astina edisi 2

12 JURNALASTINA

kriminalitas yang terjadi di sekitarnya membuat

mereka begitu terbedakan dengan kaum

menengah ke bawah. Seolah-olah dengan adanya

eksklusivitas tersebut hidup mereka terlihat lebih

berkualitas.

Tsotsi dan Segregasi

Segregasi di Tsotsi terlihat dari perbedaan

kehidupan antara kaum menengah ke atas dengan

kaum menengah ke bawah yang diperlihatkan

sekilas namun sangat sangat terasa. Eksklusivitas

pada Tsotsi sekilas terlihat saat Tsotsi hendak

mencuri mobil Pulma. Di situ terlihat keadaan

rumah Pulma yang mewah dan memiliki fasilitas

interkom. Sementara itu di adegan lain terdapat

pula gambaran rumah Tsotsi yang seadanya

dengan fasilitas air yang kurang memadai.

“Kegilaan” Menurut Foucault

Foucault adalah sosok yang dikenal dengan

telaah sejarahnya. Umumnya tulisan Foucault

adalah analisa sejarah dan tidak spesifik di bidang

tertentu saja. Begitupun ketika membahas

kegilaan. Foucault membahas kegilaan dalam

bukunya History of Madness dalam tiga pembagian

era: renaissance, classical age, dan modern. Pada

era renaissance, kegilaan lebih dilihat sebagai

knowledge dan pandangan mengenai “orang gila”

tersangkut-paut dengan masalah agama. Di era

classical age, pembicaraan mengenai kegilaan lebih

merujuk ke ranah etika. Mereka yang melakukan

penyimpangan etika dari yang “normal”, akan

dipisahkan ke “institusi khusus”. Di era modern,

kegilaan dilihat sebagai penyakit atau object of

science, sehingga muncul obat penenang dan

rumah sakit jiwa. Contoh yang lebih spesifik

misalnya saat Foucault menerangkan kegilaan

pada zaman reinassance dengan menganalisa

beberapa karya seni dari zaman itu. Salah satu

karya seni itu adalah Ship of Fools, sebuah alegori

tentang kapal yang berisi orang-orang yang gila

dan tak tahu arah. Kiasan yang sering

menginspirasi dunia sastra dan seni di Eropa pada

abad ke-15 sampai ke-16 ini, merupakan hal yang

lumrah dilakukan. Pada tahun 1399 tukang perahu

di Frankfurt diberi tugas untuk membersihkan

kota dari orang gila, sehingga kedatangan Ship of

Fools sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Kapal yang berisi orang gila ini kemudian

dibiarkan berlayar tanpa tujuan.

Mengenai kegilaan pada zaman Renaissance

itu, Foucault berargumen

“Most probably, as it (madness) is forbidden

knowledge, it predicts both the reign of

Satan and the end of the world, ultimate

happiness and supreme punishment,

omnipotence on earth and the descent into

hell”.

Dengan kata lain kegilaan tersebut dilihat dalam

perspektif religi, seperti Ship of Fools yang

dianggap sebagai bentuk dari kemenangan

antikristus: kapal yang melewati kebahagiaan

dimana orang-orang di dalamnya terasingkan dari

kebutuhan dan keinginannya.

Dari hal tersebut bisa terlihat, bahwa

kegilaan dilihat sebagai bentuk pengalaman

religius. Kegilaan tersebut mengindikasikan ke

mereka yang dianggap gila (sang seniman) untuk

mendapatkan pengalaman tragis karena dianggap

memiliki tenaga yang mengancam dunia dan

kemanusiaan.

Foucault juga menulis:

“..there is no certainty that madness was

content to sit locked up in its immutable

Page 13: Astina edisi 2

JURNALASTINA 13

identity, waiting for psychiatry to

perfect its art, before it emerged

blinking from the shadows into the

blinding light of truth. Nor is it clear

that confinement was above all, or even

implicitly, a series of measures put in

place to deal with madness. It is not

even certain that in this repetition of the

ancient gesture of segregation at the

threshold of the classical age, the

modern world was aiming to wipe out

all those who, either as a species apart

or a spontaneous mutation, appeared as

‘asocial’.”

Penjelasan singkat di atas memperlihatkan, bahwa

ada perubahan konsepsi kegilaan di setiap era.

Dengan kata lain tidak ada kepastian mengenai

makna “kegilaan” itu sendiri. Justru yang sering

terulang adalah tingkah laku kita yang

memisahkan antara yang “gila” dan yang tidak.

Kesimpulan

Kriminalitas merupakan salah satu wujud

kegilaan, yang dalam hal ini diinginkan untuk

terpisah dengan cara memberikan fasilitas

keamanan. Di saat yang sama fasilitas tersebut

hanya bisa didapatkan oleh kaum menengah ke

atas, sehingga muncul konsepsi eksklusivitas.

Eksklusivitas di Johannesburg yang terilustrasikan

pada Tsotsi sebenarnya hanyalah efek dari mitos

akan ketakutan mengenai kriminalitas. Dengan

kata lain, eksklusivitas yang ada tidak benar-benar

dapat melindungi mereka dari kriminalitas.

Eksklusivitas ini hanya memberikan perbedaan

yang signifikan antara mereka yang kaum

menengah ke atas dengan kaum menengah ke

bawah, sementara kriminalitas itu sendiri akan

terus menyerang siapapun.

Murray berpendapat, bahwa

“the design of urban space is not simply a

matter of context and aesthetics, but is also

a complex sociospatial process that encodes

power relations into the ordinary practices

of everyday life.”

Sociospatial memang memegang peran penting

dalam interaksi yang terjadi di keseharian warga.

Begitupun eksklusivitas yang terjadi di

Johannesburg. Kesenjangan yang terjadi justru

membuat hubungan antara kedua kaum tersebut

hilang, sehingga tidak ada keakraban di antaranya.

Hal ini menimbulkan ketidakpedulian satu pihak

dengan pihak yang lain. Sifat individualistis ini, jika

tidak diubah, akan tetap mengental di kota

Johannesburg yang kemudian mempengaruhi

pembangunan di kota tersebut. Dengan tidak

meratanya perhatian yang diberikan untuk

kesejahteraan semua penduduknya, maka

kriminalitas itu tetap ada.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis

menyarankan adanya penelusuran lebih lanjut

karena masih banyak lagi yang masih bisa dibahas

dalam film Tsotsi, dengan menggunakan konsepsi

kekuasaan yang lain—di luar pemikiran Foucault.

Tentunya pembahasan tersebut tidak terlepas dari

masalah urban di Afrika Selatan.

1Tulisan ini aslinya merupakan tugas kuliah dalam bentuk

kajian film menggunakan tinjauan arsitektur 2Penulis merupakan Mahasiswi Arsitektur UI, salah satu

punggawa Komunitas Diskusi Astina dan juga merupakan

vokalis dari Band “Sempak Terbang”. 3Tsotsi berarti “membunuh” (dalam bahasa seleng-an di

Johannesburg). 4Siege architecture berarti “arsitektur mengepung”. Sebuah

nama yang diberikan Murray melihat eksklusivitas yang

terjadi di Johannesburg

Page 14: Astina edisi 2

14 JURNALASTINA

Revolusi: Melawan Mitos Kapitalisme

K aum Liberalist Economist senantiasa

menjadi repetitor doktrin-doktrin kapi-

talisme. Bekerja untuk meningkatkan

kesejahteraan hidup. Kerja bukan lagi sebagai ak-

tivitas pemenuh kebutuhan dasar. Kerja menjadi

tujuan hidup. Manusia kehilangan pemaknaan

akan kerja itu sendiri. Proletar menyerahkan jiwa

dan raganya untuk bekerja. Untuk memenuhi kan-

tong-kantong uang borjuis. Bagi Lafargue hal ini

sangat menggelikan. Jauh lebih baik kita hidup di

jaman purba, tatkala manusia saat itu hanya

bekerja jika merasa kebutuhan pokoknya habis.

Jaman borjuasi mengubah segalanya. Lafargue

mengatakan kita harus melawan, melawan sistem

racun seperti ini. Setiap proletar memiliki hak un-

tuk malas di hadapan kapitalisme. Lafargue men-

yarankan pemboikotan secara serentak dalam

upaya menentang penghisapan yang dilakukan

Kapitalisme. Sekaligus sebagai bentuk aktualisasi

diri, melakukan hal lain selain bekerja untuk bor-

juis. Ini merupakan jalan untuk melawan mitos

yang dibangun oleh para Liberalist Economist demi

menguatkan posisi kapitalisme dalam hegemoni

sistem dunia.

Jalan Revolusi yang dimaksud Lafargue me-

rupakan usaha yang riskan bila tidak ada kesada-

ran kelas dalam diri individu. Tiada kesadaran un-

Jalan Revolusi1 oleh Willy Avriely Daeli2

Paul Lafargue, seorang jurnalis Marxis pernah berkata:

Dan para ekonom terus saja mengulang-ulang pernyataannya kepada buruh, "Bekerjalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial."

Dan dengan sarkas ia menambahkan:

“Bekerjalah, bekerjalah kaum proletar, untuk meningkatkan kemakmuran sosial dan kemiskinan individualmu. Bekerjalah, bekerjalah agar, karena menjadi lebih miskin, kalian bisa punya lebih

banyak alasan untuk bekerja dan menjadi sengsara. Begitulah hukum produksi kapitalis yang tak bisa ditawar-tawar.”

Page 15: Astina edisi 2

JURNALASTINA 15

tuk bergerak bersama, secara kolektif, melakukan

sesuatu untuk mencapai tujuan. Maka sangat bijak-

sana apabila sebelum melakukan jalan revolusi

semacam itu, kita mempersiapkan suatu rancan-

gan pokok. Lebowitz mengatakan dalam bukunya

‘Sosialisme Sekarang Juga’, bahwa Venezuela meru-

pakan contoh paling baik dalam menempuh jalan

revolusi. Kesadaran kelas dicapai melalui pendidi-

kan. Jika pikiran manusia dibekali oleh kerangka

sosialisme, maka dengan sendirinya manusia akan

bertindak dan berperilaku seperti itu. Jalan pem-

boikotan tidak harus ditempuh kecuali dalam

situasi krisis dimana terjadi resistensi dari kelom-

pok minoritas borjuis. Namun di balik semua itu,

pendidikan dan pemboikotan merupakan bentuk

upaya melawan mitos kerja kapitalisme. Mitos

yang meracuni pikiran dan mempengaruhi mental

proletar hampir seabad ini.

Secara umum menurut Douglas Dowd, seti-

daknya terdapat tiga kebutuhan utama kapital-

isme. Pertama adalah kebutuhan ekspansi, kedua

adalah kebuhan ekploitasi, sedangkan ketiga

adalah kebutuhan oligarkis. Power sangat ber-

peran dalam upaya pemenuhan tiga kebutuhan

kapitalisme tersebut. Penggunaan Power dalam

pemenuhan tiga kebutuhan kapitalisme tercermin

dalam perilaku eksploitasi pekerja. Eksploitasi

pekerja dilakukan untuk memenuhi standar pen-

dapatan yang kemudian diputar kembali menjadi

bentuk modal awal. Douglas Dowd menjelaskan

labor theory of value sebagai elemen penting dalam

kerangka mekanisme kapitalisme. Labor theory of

value yang disusun Adam Smith merupakan fon-

dasi dari sistem kapitalisme. Sekiranya ada 3 point

dalam labor theory of value. Point pertama adalah

pekerja membuat sendiri nilainya. Nilai ini berarti

kualitas dari dirinya yang bisa “dijual”. Point kedua

adalah upah merupakan bentuk hadiah dari kuali-

tas produksi yang bisa dikerjakannya. Point ketiga

adalah setiap bentuk profit tidak menjadi bagian

pekerja, namun menjadi bagian pemilik modal.

Perihal lain terkait pengupahan tenaga kerja

adalah upah pekerja harus seturut dengan standar

yang telah ditentukan. Sistem ekonomi klasik terli-

hat sangat profit oriented. Demi pemenuhan keun-

tungan dan menarik minat pasar, kesejahteraan

pekerja di kesampingkan (bukan menjadi per-

hatian utama).

Dalam penjelasan-penjelasan ini kita dapat

melihat bahwa sesungguhnya teori ekonomi

(klasik) tidak pernah netral. Teori ekonomi dibuat

dengan tendensi kepentingan kelas tertentu. Men-

gandung muatan ideologi tertentu. Teori ekonomi

klasik sangat menekankan hak kepemilikan indi-

vidu. Hal ini kemudian mendorong perilaku-

perilaku individualistik, yang tidak mendasarkan

diri pada status kolektif. Karya-karya individu le-

bih dihargai ketimbang karya kolektif. Eksistensi

individu diakui melalui hasil produksi mereka.

Terjadi proses dehumanisasi dalam mekanisme

kerja kapitalisme. Individu kesulitan mengaktu-

lisasikan diri dalam sistem kapitalisme.

Sosialisme dan Venezuela

Sosialisme hadir sebagai jalan untuk

mengembalikan manusia pada realisasi dirinya

masing-masing. Mengembalikan manusia pada

hubungan-hubungan sosial yang didasari keingi-

nan untuk berinteraksi satu sama lain. Sosialisme

menyediakan hal-hal yang tidak bisa diperoleh

manusia dalam sistem kapitalisme. Manusia di-

paksa untuk bekerja demi memenuhi pundi-pundi

keuntungan kapitalisme. Individu teralienasi dari

lingkungannya atau bahkan dari hasil produksinya

sendiri. Hasil yang seharusnya bisa dinikmati juga

Page 16: Astina edisi 2

16 JURNALASTINA

oleh sang individu, namun terhalangi oleh sistem

kapitalisme.

Sosialisme tidak jatuh dari langit. Sosial-

isme sangat fluid (cair). Sifat fluid sosialisme me-

rupakan bentuk terbaik dari upaya menggugat ek-

sistensi Kapitalisme sebagai bentuk hegemoni sis-

tem dunia. Bagi Marx, individu merupakan subjek-

subjek yang konkret. Hal ini dapat dimaknai seba-

gai sebuah kenyataan bahwa masing-masing indi-

vidu memiliki sejarah dan tradisi masing-masing.

Hal ini sangat disadari Marx. Semangat sosialis ha-

rus tumbuh dari bawah. Semangat sosialis tidak

bisa diberikan dari atas. Pesan perjuangan Marx

sangat jelas, bahwa proses perjuangan adalah

proses membentuk orang-orang dengan cara yang

berbeda. Perjuangan tersebut dilakukan untuk me-

menuhi kebutuhan-kebutuhan subjek-subjek

tersebut, yang kemudian berkembang menjadi ke-

butuhan masyarakat. Ini disebut Marx sebagai

praktek revolusi. Praktek yang menuntut kese-

suaian antara kondisi dengan tindakan yang dila-

kukan. Ciri-ciri unik yang partikular pada masing-

masing masyarakat menjadi faktor penting dalam

menentukan jalan revolusi mereka.

Lebowitz mengatakan adalah sangat

menarik untuk melihat Venezuela sebagai subjek

partikular yang berhasil dalam menempuh jalan

revolusinya sendiri. Tidak diduga dari negara

seperti Venezuela lahir semangat revolusi yang

menggebu-gebu. Dulu terdapat jurang pemisah

yang luar biasa lebar dalam kehidupan masyara-

kat. Jurang antara kemakmuran dan kemiskinan.

Negara saat itu hanya berfungsi sebagai institusi

penegas kelas. Pendapatan dari perdagangan min-

yak di dunia masuk pundi-pundi borjuis yang

duduk tenang di pucuk pemerintahan. Kapitalis

menjadi parasit bagi masyarakat dalam suatu sis-

tem neo-liberalisme.

Venezuela sadar bahwa jalan perubahan

hanya dapat ditempuh berawal dari perubahan

internal. Jalan revolusi Venezuela adalah mencipta

bukan meniru. Chavez sangat menyadari hal itu

ketika naik menjadi Presiden Venezuela. Ia men-

canangkan program Vuelvan Caras. Program ini

menitikberatkan perhatian pada pembangunan

pertanian. Lebih dari 50% beasiswa dikucurkan

dalam pendidikan pertanian, 30 % pendidikan in-

dustri, sementara lainnya adalah pendidikan pari-

wisata, infrastruktur, dan jasa sosial. Selepas dari

masa pendidikan, mereka dapat mendirikan

koperasi-koperasi. Negara memberikan keistime-

waan dalam hal ini, seperti hal suntikan dana.

Chavez mengatakan bahwa ini merupakan perwu-

judan ekonomi sosial. Suatu sistem ekonomi yang

didasari keinginan untuk lepas dari logika kapital-

isme. Ekonomi sosial tidak mendasarkan diri pada

perolehan keuntungan, tetapi pada penciptaan

nilai guna. Selanjutnya relasi sosial masyarakat

dibentuk oleh keterhubungan nilai guna, bukan

pada nilai lebih secara ekonomi.

Venezuela dalam hal ini melakukan pe-

rubahan mendasar dari dalam diri manusia.

Mereka melakukannya melalui jalan pendidikan.

Kesadaran masyarakat ditumbuhkan melalui pen-

didikan. Kesadaran yang berbasis semangat sosial-

isme. Sistem ekonomi yang diciptakan Venezuela

mampu membangkitkan sistem produksi dan kon-

sumsi komunal. Ini merupakan perwujudan eko-

nomi berbasis kerakyatan. Koperasi serta or-

ganisasi-organisasi komunitas merupakan monu-

men perjuangan ekonomi rakyat Venezuela.

Rakyat Venezuela merealisasi diri ketika mereka

berjuang demi pembangunan manusia, pemenu-

han kebutuhan dasar, moral, dan keadilan bagi

mereka. Rakyat Venezuela bertranformasi menjadi

padanan masyarakat baru yang dilandasi seman-

Page 17: Astina edisi 2

JURNALASTINA 17

gat sosialisme. Inilah jalan revolusi Venezuela.

Chavez, Dowd, Lebowitz, dan Lafargue me-

rupakan anak-anak jaman yang lahir di era puncak

kapitalisme. Sebuah era “New Dark Age”. Masa ke-

gelapan dan penindasan dengan selubung-

selubung manis kebebasan. Usaha Chavez, Dowd,

Lebowitz, dan Lafargue dalam menegakkan prinsip

-prinsip Sosialisme sebagai bentuk resisten terha-

dap sistem kapitalisme, merupakan secercah ca-

haya yang sangat berarti bagi sejarah peradaban

manusia. Dowd mengingatkan kita pada mekan-

isme kapitalisme yang menipu. Lebowitz mengin-

gatkan kita pada semangat Marxist Klasik untuk

melakukan revolusi terus menerus. Revolusi tanpa

batas. Lafargue menyarankan sebuah jalan

revolusi yang tegas dan lugas. Ide-ide perlawanan

terhadap hegemoni kekuatan kapitalisme dunia

dapat dimaknai sebagai wujud kegilaan dalam

upaya memahami kebenaran di luar kebenaran

tunggal yang ditawarkan kekuasaan ideologi tung-

gal. Ide-ide ini harus terus direproduksi, terus di-

bakar, agar dapat menjadi penerang dalam masa

kelam seperti ini.

1Tulisan ini merupakan bahan diskusi S.S, dengan judul

yang berbeda. 2Mahasiswa Jurusan Antropologi, Universitas Indonsia;

Penggiat Diskusi Astina

Page 18: Astina edisi 2

18 JURNALASTINA

A dapun sajak tersebut pasti mendapat

pengaruh dari kesalahan penafsiran pe-

nulisnya akan prakarsa Pencipta turun

ke dunia. Pasalnya ia menggunakan kata ‘gila.’ Apa

definisi gila sebenarnya? Gila adalah kondisi tanpa

akal sehat. Semua yang dilakukan seorang gila ter-

jadi atas ketidaksadarannya. Seorang mantan gila

di Kota Perdagangan, Kecamatan Bandar, Kabu-

paten Simalungun, Sumatera Utara pernah bertu-

tur mengenai masa gilanya. Pada waktu itu ia sem-

pat memecahkan banyak kaca rumah penduduk,

dan kejadian dahsyat itu tak sedikit pun terekam

oleh ingatannya, karena ia justru baru mengeta-

huinya atas pemberian informasi dari orang lain

setelah ia masuk ke masa waras.

Dari penjabaran sederhana di atas terungka-

plah bahwa si gila penulis sajak itu jelas-jelas sa-

lah. Pencipta datang ke dunia atas kesadaran pe-

nuh, itulah yang membuat Ia tidak pantas disebut

gila. Penulis sajak harus mencari kata lain untuk

menunjukkan kekagumannya akan ''ke-kokmauya?

-an'' Pencipta datang ke dunia yang kelewat hina

dina ini. Sebagai anlogi coba lihat ini: kalau kamu

hendak berangkat ke kampus, tiba-tiba seorang

rekan menelepon “Hei, kalau kamu ke kampus hari

ini, sudah ada sekelompok orang menantimu. Nan-

ti kamu dilecehkan, diludahi, ditendang, ditelan-

jangkan, disakiti sepenuh hati, dan untuk meno-

longmu: tak seorang pun akan berani!” Adakah kita

terus melangkah ke kampus? Kalau itu adalah ja-

waban yang serius jujur maka: tidak sama sekali.

Hebatnya, Pencipta yang mahatahu itu tetap da-

tang kendati sebagai Tuhan Yang Terhormat Ia

akan dizolimi luar biasa.

Adapun kedatangan Tuhan ke muka bumi ini

satu set pula dengan penderitaan-Nya di atas kayu

salib. Salib, pada masa itu adalah lambang kehi-

naan yang paling hina. Ia adalah hukuman untuk

penjahat yang nggak ketulungan najisnya. Silakan

cari kesalahan Yesus Kristus dan kamu tak akan

menemukan satu pun bahkan setengah atau seper-

empat atau seperdelapan atau berapa pun tidak.

Namun Ia sungguh rela, demi kita. Sekali lagi, Ia

melakukannya dengan kesadaran penuh. Itulah

yang membuktikan ketidakgilaan-Nya.

Yang menarik, justru kegilaan hinggap pada

“pengikut-pengikut” Yang Mulia hingga hari ini:

banyak yang mengaku ‘Kristen’ tapi tidak tahu apa

yang diperbuatnya, mari ambil contoh sederhana

yang berkaitan dengan Paskah.

Ah, Paskah!1

oleh El Bram Apriyanto2

Pada acara perayaan Natal di Balairung UI tahun lalu, ada seorang gadis FIB naik ke hadapan khalayak dan

membacakan sebuah sajak karya seorang gila. Pada bait ke-4-nya, sajak tersebut berkoar demikian:

“Bagiku, Natal adalah sebuah momen keras. Yang begitu mengingatkan, bahwa kita punya Allah yang GILA

Why not? DIA sudah punya singgasana mahamulia di surga sana segala kenyamanan dan kedamaian dan kekudusan sudah ada pada-Nya Loh kok DIA malah nekat turun juga ke dunia yang penuh kenajisan ini?

Tidak tanggung-tanggung, dipilih-Nya kandang domba pula sebagai istana mula dan tempat makanan hewan ternak sebagai takhta pertama”

Page 19: Astina edisi 2

JURNALASTINA 19

Pada dasarnya, saya ini seorang guru seko-

lah Minggu. Sudah agak lama, sejak 2005. Dan ta-

hukah Saudara bahwa dua tahun lalu kami guru

sekolah Minggu di gereja melakukan rapat untuk

menentukan apa yang akan terjadi pada Paskah.

Beberapa nyeletuk “Ayo bikin lomba cari telur!”

banyak yang mengangguk. Ada pula ide soal lomba

menghias telur. Saya yang kala itu sudah menjadi

mahasiswa, bertanya dengan agak kritis: “Mengapa

harus telur?” dan ketahuilah Saudara, tak seorang

pun menjawab. Krik… krik… krik… . saya sarankan

pada rekan-rekan kala itu, “Ayo, sebelum kita tahu

apa kaitannya telur dengan Paskah, kita buat acara

yang lain saja dulu.” Dan saya disambut dengan

krik… krik… krik… .

Sebagai seorang Kristen saya lantas berdoa

pada Sang Pencipta, “Hei Gusti, gimana ya ini?

Mohon pencerahan dong. Apa sih perihal telur-

teluran ini? Kok tak kutemukan perintah untuk

bertelur ria di Kitab Keren?” Dan Gusti menjawab,

krik… krik… krik… . Hei Saudara, saya beri tahu,

kalau kamu bertanya pada Gusti dan tidak

mendengar jawaban, itu bukan karena Dia tidak

ada. Melainkan kita yang tidak ada punya ke-

pekaan. Tapi saya yakin Gusti mendengar. Walau-

pun nggak yakin akan terima jawaban.

Minggu depannya saya beribadah di GBI

Kamboja Depok pagi menjelang siang. Adalah seo-

rang pendeta tampan bernama Andy Panggabean

sedang berkhotbah. Di akhir khotbahnya ia meni-

tipkan pesan pula: “Kalau saudara-saudara mau

tahu mengapa ada telur dan kelinci pada

perayaaan Paskah di dunia, nanti datang ibadah

jam 5.” Saya tertegun dan terkaget dan seperti ter-

henyak, seakan hampir terlempar dari kursi. Saya

sampaikan pada Gusti, “Thank you Bro, nanti saya

mau datang.”

Datanglah saya jam 5 sore itu. Dan menden-

gar penjabaran panjang lebar kurang lebih

demikian kalau boleh dirangkumkan:

1. Ucapan “Happy Easter” pada perayaan Paskah

itu salah besar. Apa sebab? Easter tidak punya kai-

tan dengan wafatnya Yesus Kristus dan kebangki-

tannya. Easter adalah nama lain dari Astarte alias

Semiramis. Ia adalah nama dewi dalam mitologi

Babilonia alias Babel. Nah perayaan yang berke-

naan dengan si Easter ini pas sekali terjadi pada

masa yang sama dengan Paskah.

2. Lebih baik gunakan “Happy Pesach” atau

“Happy Passover” atau kalau lebih nasionalis

“Selamat Paskah” saja cukup. Mengapa Passover?

Karena ia adalah padanan kata yang tepat dalam

Bahasa Inggris untuk kata Ibrani Pesach. Pesach

dalam Bahasa Ibrani berarti “Sudah lewat.” Ini

mengacu pada sebuah peristiwa di masa lalu

bangsa Israel, ketika mereka masih ditawan di

tanah Mesir. Kala itu bangsa Mesir terutama

Firaunnya amatlah bebal, mereka tak pernah

dengan sukarela mengizinkan bangsa Israel keluar.

Berbagai tulah dikirimkan, tapi hati Firaun tak

kunjung melunak. Sampailah pada tulah terakhir

yang mengancam nyawa semua anak sulung di

negeri itu. Tuhan membuat pengecualian bagi

bangsa Israel dengan menyuruh mereka (via

Musa) menyembelih seekor domba jantan yang tak

bercacat cela, memakannya, dan membubuhkan

darahnya pada tiang dan ambang pintu rumah.

Pada tengah malam, Tuhan turun atas Mesir dan

segenap penduduk ketakutan, termasuk orang

Israel. Mereka sangat tidak mau anak sulung

mereka binasa, maka ketika Tuhan melewati setiap

rumah, mereka semua menjadi gemetar, dan ketika

Tuhan pergi dan anak sulung mereka terbukti

masih hidup, mereka berteriak: “Pesach!” artinya:

“Sudah lewat!” Kejadian ini seakan menjadi simbol

nubuatan untuk kematian Yesus di kayu salib. Pada

Page 20: Astina edisi 2

20 JURNALASTINA

dasarnya umat manusia juga pasti akan binasa

karena semua kita sudah berbuat dosa dan upah

dosa ialah maut. Namun Allah mengirimkan “anak

domba”-Nya dan menorehkan darahnya pada kayu

salib (ingatlah bahwa salib dan palang serta

ambang pintu sama-sama mempunyai garis

horizontal dan vertikal). Dan karena darah itu

tercurah, manusia akan diselamatkan (lirik

Yohanes 3:16).

3. Easter alias Astarte alias Semiramis dikisahkan

turun dari langit ke bumi dalam sebuah telur

besar, yang kemudian pecah dan dari dalamnya

keluar seorang wanita cantik. Inilah sebabnya

ramai telur digunakan sebagai ornamen.

4. Easter alias Astarte alias Semiramis adalah

dewi kesuburan, maka kelinci pun diambil sebagai

simbol, karena kelinci dikenal beranak banyak.

5. Babel dalam upacara keagamaannya yang lain

juga menggunakan pohon yang dihiasi sebagai

hiasan.

Tradisi Babel juga mengandung mitologi soal kakek tua berjanggut panjang yang dengan keretanya terbang di langit pada malam perayaan hari besar tertentu.

Lihatlah betapa banyak warna Babel dalam

perayaan Paskah dan Natal. Padahal hal-hal

tersebut amat tidak bersangkut paut dengan

kekristenan. Andy Panggabean kemudian

menjelaskan bahwa yang bertanggung jawab atas

sinkretisme ini adalah Konstantin, seorang kaisar

Romawi yang beribukan Kristen dan berbapakan

Babel (atau sebaliknya?). Yang jelas dalam masa

kekuasaannya ia membuat seluruh Romawi

beragama Kristen, tapi mencampur adukkannya

dengan tradisi Babel. Pengecualian harus dibuat

untuk pemilihan tanggal perayaan Natal yaitu 25

Desember. Awalnya ia adalah tanggal perayaan

hari lahir Dewa Matahari, namun Konstantin

melakukan sejenis revolusi untuk “menguduskan”

tanggal tersebut. Andy Panggabean sendiri

menghitung-hitung dengan berbagai argumen

Alkitabiah bahwa Yesus harusnya lahir pada

tengah tahun, entah Juni atau Juli.

Segala yang dijelaskan oleh Andy

Panggabean bisa salah bisa benar, perlu ada

pembuktian lebih lanjut. Demikian juga

kemampuan saya mengingat penjelasan beliau bisa

juga salah pada beberapa titik. Tidaklah baik untuk

segera percaya dan mengiyakan begitu saja. Poin

penting di sini adalah, kegilaan terjadi kala orang

melakukan bahkan merayakan sesuatu hanya

sekadar rutinitas dan tradisi tanpa

mempertanyakan esensi. Berapa banyak orang

yang mengaku Kristen tapi getol berteriak “Happy

Easter” setiap Paskah? Berapa banyak yang masih

gemar menghias-hias telur? Berapa banyak yang

masih menggunakan gambar kelinci dalam

undangan perayaan Paskah? Semua hal itu tidak

salah total secara substansi. Yang fatal adalah

ketidakpedulian untuk merunut histori. Itulah

kegilaan, melakukan sesuatu tidak dengan

kesadaran penuh. Adakah ini yang Yesus Kristus

inginkan setiap perayaan Paskah?

Kehendak-Nya bukanlah membuat pesta

besar gila-gilaan untuk memperingati kematian

dan kebangkitan-Nya. Kehendak-Nya adalah aku

dan kau diselamatkan, karena tidak dengan gila ia

rela dilecehkan, sungguh-sungguh supaya kita

diselamatkan.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)

1Tulisan ini dibuat dalam rangka perenungan kembali

makna Paskah(Kebangkitan Kristus) 2Penulis adalah seorang Sarjana Humaniora yang juga

aktif dalam kegiatan Persekutuan Oikumene FIB & UI

Page 21: Astina edisi 2

JURNALASTINA 21

S esuatu yang paling dianggap indah bagi

sebagian kalangan. Katanya, sih, begitu!

Karena suka sama suka. Bahkan ketika

saya memperhatikan keanggunan seorang pen-

yanyi yang penuh talenta (sekali lagi, katanya, sih,

begitu!) dan membayangkan dirinya dan saya

berada di titik sesuatu itu. Kau tahu apa yang ke-

mudian saya imajinasikan? Saya mencoba menarik

diri yang berbeda ini keluar dari Manshur Zikri itu,

lalu memperhatikan mereka (Si Manshur Zikri dan

penyanyi kondang itu), dan apa yang kemudian

terpikirkan di dalam benak saya? Pikiran yang pe-

nuh dengan protes dan perasaan yang memuak-

kan, melihat diri saya yang lain terjebak ke dalam

sesuatu itu, yang paling saya benci (sejatinya). An-

daikan saya bukan manusia, dan adalah Tuhan,

sesuatu itu pasti tidak akan pernah ada di dunia ini.

Bahkan ketika saya membayangkan ketika

seorang nabi berada di situasi dan kondisi yang

sama dengan si Manshur Zikri itu, pasti saya akan

mengarahkan pantat saya ini kepadanya dan ter-

tawa sekeras-kerasnya, sambil berseru, "Makan

tuh sabda!" Untung saja nabi tidak akan pernah

seperti itu, Gan! Dan saya tidak perlu dikejar-kejar

oleh FPI dan diancam akan dibunuh karena telah

melecehkan nabi. Nabi itu bukan milik satu agama

saja! Benar, kan, saya?

Sesuatu ini, yang semakin hari semakin

membuat saya muak adalah sesuatu yang sakral,

Gan! Akan tetapi juga bisa menjadi malapetaka.

Dan yang lebih parah, hingga malam ini, sesuatu itu

menjadi mutlak yang ingin saya persalahkan setiap

waktu. Dia lah penyebab utama kegelisahan saya,

atau orang-orang yang seperti saya ini. Semoga

saja kau tidak seperti saya, jadi tidak perlu repot-

repot mengangguk membenarkan apa yang saya

utarakan, menyumpahi sesuatu yang memuakkan

itu.

Sesuatu ini yang membuat semua yang ma-

pan menjadi tumbang dengan mudah, yang mem-

buat aturan dan kesepakatan di dalam masyarakat

bergejolak dengan dahsyat, bahkan beberapa ele-

men dari mereka mulai melancarkan aksi protes

dengan ganas. Karena sesuatu ini terjadi konflik

berkepanjangan. Karena sesuatu ini, bahkan seo-

rang Pemimpin sekaliber Soekarno pun, kehilan-

gan sebuah kepercayaan dan kekaguman dari

mereka-mereka yang membaca sejarah

(setidaknya, inilah kenyataan yang saya temui

dalam beberapa seminar tentang sebuah pergera-

kan). Bah, pantas saja orang-orang yang memiliki

kesombongan tingkat tinggi karena obsesi kesem-

purnaan di dalam dirinya bisa dikenal sampai

sekarang. Mereka terlihat begitu agung, karena

tidak bersentuhan dengan sesuatu ini, yang mem-

buat mereka tidak kelihatan cacat, meskipun se-

Hah, saya merinding dan mendecakkan lidah ketika membayangkan sesuatu ini! Kau tahu apa? Sesuatu

yang dianggap spektakuler oleh mereka yang mengerti tentang art. Katanya, sih, begitu, Gan! Akan tetapi

ketika temanku berseru tentang "tegangan" di antara para lelaki, "tegangan" yang menjadi kunci penting

untuk menjelaskan apa itu sesungguhnya seni, orang-orang, yang berbeda dengan saya ini, malah

memikirkan hal yang berbeda. Dan yang menjadi tegang juga hal yang berbeda. Cih!

Sesuatu Manshur Zikri1

Page 22: Astina edisi 2

22 JURNALASTINA

cara jelas dan nyata mereka menyatakan tidak

mengakui agama. Aaargh, semakin saya

memikirkannya, semakin muak rasanya! Kalau saja

komputer ini bukan barang yang punya harga,

mungkin sudah saya banting sedari tadi. Saya akan

membuat sebuah kehebohan di tempat tinggal

saya ini. Seperti orang gila. Memang tidak bisa,

Gan! Dilihat dari sudut padang mana pun, sesuatu

itu menjadi hal yang paling tidak menyenangkan.

Kalau saja kau sudah memiliki pemikiran yang

sama persis dangan saya, kau pasti akan memiliki

rasa kekecewaan yang mendalam ketika kau men-

yaksikannya sendiri. Pribadi yang penuh konflik,

keyakinan yang penuh konflik, masyarakat yang

penuh konflik, sistem yang penuh konflik, bahkan

kehidupan yang penuh konflik, disebabkan hanya

karena sesuatu ini. Memang sial, sesuatu itu!

Sesuatu itu juga menimpa saya beberapa

waktu yang lalu, Gan! Juga tidak tahu bagaimana

dengan waktu-waktu yang nanti. Oleh karena itu

saya semakin muak saja dengan sesuatu itu. Kau

tahu, karena ulah sesuatu itu, orang-orang yang

sempat saya kagumi dengan berbagai kelebihan

dan intelektualitasnya, terpaksa saya coret dalam

daftar role model ketika saya ketahui bahwa tern-

yata dia menyenangi sesuatu itu (ya tentu be-

berapa dari mereka, tidak semua orang yang saya

kagumi terkena sesuatu itu). Ah, parah! Dasar se-

suatu sialan! Yang menjadi masalah adalah, yang

menyebabkan saya tidak bisa mengingkari akan

kehadiran sesuatu ini, adalah dia merupakan

bagian kodrat dari manusia yang paling penting.

Sedangkan saya mengagungkan kodrat manusia

yang memiliki cacat itu. Tidak bisa, walau bagai-

mana pun, kita tetaplah manusia. Manusia tetap

manusia. Namun, mengapa harus ada sesuatu ini,

yang terus bersarang di dalam lubuk hati manusia

yang paling dalam?

Sayangnya saya tidak bisa menjadi malai-

kat. Kalau kita ingin berubah bentuk dari manusia,

sesungguhnya kita bisa. Sangat gampang sekali.

Akan tetapi kita hanya punya satu pilihan, yaitu

menjadi setan. Dan tahukah kau bahwa setan

adalah pangkal dari sesuatu itu. Karena setan juga

penuh dengan konflik, yang juga merupakan sifat

dari sesuatu itu. Tak usah lah kau berkilah-kilah

dan mengatakan berbagai argumen kepada saya.

Sehebat apa pun kau melakukan pembenaran, baik

secara ilmiah, falsafi, dan logika, sesuatu itu telah

mutlak menjadi hal yang paling saya benci (paling

tidak malam ini).

Sesuatu itu, di satu saat bisa membuat kita

melayang jauh tinggi ke awan. Akan tetapi juga

bisa membuat kita jatuh seketika. Apakah saya

membencinya karena sesuatu itu menimpa saya,

dan karenanya saya mendapatkan kerugian? Bu-

kan, sama sekali bukan karena itu. Saya secara sa-

dar (ah, lagi-lagi kesadaran. Terlalu menyesatkan

kesadaran yang berlebih-lebih itu. Namun saya

memang memiliki kesadaran yang juga memuak-

kan ini), ya, secara sadar saya telah memberikan

sebuah nilai bahwa sesuatu itu adalah hal yang pal-

ing memuakkan. Hei, hei, hei! Kau jangan merusak

tulisan saya ini, Gan! Saya bukan sedang memba-

has tentang cinta. Sesuatu itu, yang saya perma-

salahkan sedari tadi itu, bukan cinta. Cinta

itu, mah, soal lain. Mungkin akan lebih menarik

ketika kau perbincangkan hal ini dengan orang-

orang yang sedang galau di kampus UI. Sekali lagi

saya tegaskan, sesuatu itu bukan cinta. (kemudian

saya tertawa) Ini sesuatu, Men! Sesuatu! Perlukan

saya menuliskan namanya dengan huruf yang be-

sar-besar: SESUATU. Dia penuh dengan misteri.

Kata orang, banyak makna yang bisa dibedah dari

sesuatu itu. Dia imajinatif, bayangan, khayal,

mimpi, tetapi juga nyata. Bisa kau rasakan. Ketika

Page 23: Astina edisi 2

JURNALASTINA 23

tersentuh, kau merasakan kenikmatan yang begitu

hebat. Akan tetapi dia tetap lah sesuatu, yang

ketika kau melihatnya secara gamblang --- dengan

syarat kau memiliki pemikiran yang sama dengan

saya --- dia menjadi hal yang paling tidak ingin kau

lihat. Karena apa? Karena ketika kau membayang-

kan dirimulah yang berada di titik sesuatu itu ---

yang disentuh sesuatu itu --- melihat mimik wa-

jahmu, kau akan merasakan mual di perut dan se-

ketika akan segera muntah, muntah darah, mung-

kin.

Sesuatu itu selalu membuat saya mengge-

lengkan kepala ketika usai melihat hal-hal di balik

layar kaca, layar udara, layar kehidupan, karena

menyadari bahwa semuanya akan rusak karena

sesuatu itu. "Percuma saja, pasti akan menjadi bu-

ruk ketika sesuatu itu ikut serta menghiasi ini!"

saya berujar dalam hati. Sesuatu... sesuatu... Bah!

Saya kehabisan kata-kata karena sesuatu ini kem-

bali menyerang saya! Sialaaaaaaaaaaan! "Ah, se-

suatu, kau memang bangsat! Dari mana saja kau?

Apa yang kau lakukan sedari tadi? Oh, tidak-tidak,

tulisan ini bukan apa-apa, hanya iseng sambil

menanti kedatanganmu. Eh, tak perlu kau baca,

nanti kau tersinggung pula dan mendampar saya

karena tulisan ini! Eit, eit, eit, jangan dilihat. Saya

merasa malu karena, ng... saya sedikit membahas

tentang dirimu! Hayolah, lebih baik kita ber-

cengkrama seperti biasa, seperti yang kau

inginkan. Bukan kah itu lebih seru dan lebih

menarik?"

("Anjing, kau , sesuatu! Lihat saja, suatu

saat nanti, kau akan saya musnahkan dari muka

bumi ini!" saya berkata dalam hati. Ini rahasia

antara kita saja, jangan sekali-sekali kau adukan

kepada sesuatu. Biarkan sesuatu tidak mengeta-

huinya. Kalau dia tahu, umat manusia akan ter-

timpa bencana! Kalau Agan tetap berinisiatif ingin

memberitahukan sesuatu, maka kau yang akan

saya musnahkan terlebih dahulu, sebelum sesuatu

itu.)

1Mahasiswa Kriminologi UI, dan penggiat Akumassa di Forum Lenteng.

Page 24: Astina edisi 2

24 JURNALASTINA

Motor X-Tra 26

Serves you with the best

*Wash

*Services

*Spare parts

10x cuci = 1x

cuci gratis

5x servis = 1x

servis 1/2 harga