artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

11
WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH Oleh : Asep Ridwan H, SHI, M.Ag Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah sendiri secara hukum diakui manakala dicatat oleh dan dilaksanakan di hadapan Petugas Pencatat Nikah. Dikarenakan dalam undang-undang terdapat istilah “anak yang sah” dan berlandaskan teori mafhum mukhalafah tentu sebagai kebalikannya maka ada “anak yang tidak sah”, oleh karenanya dalam tulisan ini penulis mengambil istilah “anak tidak sah”. Berkaitan dengan anak yang tidak sah terdapat dua macam kasus posisi anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah dalam hukum keperdataan di Indonesia. Pertama, Anak yang dihasilkan dari suatu perzinahan. Anak ini dilahirkan akibat dari hubungan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah atau lebih lazim disebut zina. Baik secara fikih klasik maupun fikih kontemporer yang tertuang dalam qanun di Indonesia, anak ini dinyatakan bukan sebagai anak yang sah dari ayah dan ibu bioligisnya. Dalam perempuan yang hamil karena perzinahan, maka dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya berdasarkan pasal 53 ayat (1) KHI, akan tetapi apakah dengan hal tersebut anak yang dilahirkan dapat dikatakan sebagai anak yang sah ? Terdapat dua penafsiran atas Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam. Pendapat pertama menafsirkan bahwa setiap anak yang dihasilkan akibat hubungan suami isteri atau perkawinan yang tidak sah, maka anaknya pun tidak sah. Baik anak tersebut lahir pada saat laki-laki dan perempuan yang berzina tersebut telah menikah ataupun lahir tanpa ayah sekalipun. Pendapat kedua menafsirkan, bahwa anak yang sah adalah pada saat ia lahir orang tuanya berada dalam perkawinan yang sah, meskipun janin anak tersebut terbentuk dari hubungan suami isteri yang haram pada saat ayah dan ibu dari anak tersebut belum menikah akan tetapi telah melakukan hubungan suami isteri. Meskipun demikian pendapat ini dibatasi, yaitu apabila perempuan yang mengandung anak tersebut menikah dengan laki-laki yang menghamilinya pada saat usia kandungan belum mencapai 4 bulan. Kedua, anak yang dihasilkan atas perkawinan yang tidak dicatat di KUA, atau lebih dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan. Secara fikih perkawinan

Upload: moliiceman

Post on 25-Jul-2015

992 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN YANG SAH

Oleh : Asep Ridwan H, SHI, M.Ag

Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam

disebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah”. Perkawinan yang sah sendiri secara hukum diakui

manakala dicatat oleh dan dilaksanakan di hadapan Petugas Pencatat Nikah.

Dikarenakan dalam undang-undang terdapat istilah “anak yang sah” dan berlandaskan

teori mafhum mukhalafah tentu sebagai kebalikannya maka ada “anak yang tidak

sah”, oleh karenanya dalam tulisan ini penulis mengambil istilah “anak tidak sah”.

Berkaitan dengan anak yang tidak sah terdapat dua macam kasus posisi anak yang

dilahirkan diluar perkawinan yang sah dalam hukum keperdataan di Indonesia.

Pertama, Anak yang dihasilkan dari suatu perzinahan. Anak ini dilahirkan

akibat dari hubungan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa

adanya ikatan perkawinan yang sah atau lebih lazim disebut zina. Baik secara fikih

klasik maupun fikih kontemporer yang tertuang dalam qanun di Indonesia, anak ini

dinyatakan bukan sebagai anak yang sah dari ayah dan ibu bioligisnya. Dalam

perempuan yang hamil karena perzinahan, maka dapat dinikahkan dengan laki-laki

yang menghamilinya berdasarkan pasal 53 ayat (1) KHI, akan tetapi apakah dengan

hal tersebut anak yang dilahirkan dapat dikatakan sebagai anak yang sah ?

Terdapat dua penafsiran atas Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99

Kompilasi Hukum Islam. Pendapat pertama menafsirkan bahwa setiap anak yang

dihasilkan akibat hubungan suami isteri atau perkawinan yang tidak sah, maka

anaknya pun tidak sah. Baik anak tersebut lahir pada saat laki-laki dan perempuan

yang berzina tersebut telah menikah ataupun lahir tanpa ayah sekalipun. Pendapat

kedua menafsirkan, bahwa anak yang sah adalah pada saat ia lahir orang tuanya

berada dalam perkawinan yang sah, meskipun janin anak tersebut terbentuk dari

hubungan suami isteri yang haram pada saat ayah dan ibu dari anak tersebut belum

menikah akan tetapi telah melakukan hubungan suami isteri. Meskipun demikian

pendapat ini dibatasi, yaitu apabila perempuan yang mengandung anak tersebut

menikah dengan laki-laki yang menghamilinya pada saat usia kandungan belum

mencapai 4 bulan.

Kedua, anak yang dihasilkan atas perkawinan yang tidak dicatat di KUA, atau

lebih dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan. Secara fikih perkawinan

Page 2: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

tersebut sah, akan tetapi tidak diakui oleh Undang-undang. Dalam hal perkawinan

dibawah tangan, untuk mendapatkan legalitas maka dapat dilakukan melalui isbat

nikah ke Pengadilan Agama. Apabila permohonan isbat nikah di kabulkan, maka anak

yang terlahir atas perkawinan tersebut dengan serta merta menjadi sah dan diakui

keperdataannya oleh Undang-undang. Akan tetapi selama perkawinannya tidak

diisbatkan tentu keberadaan anak juga tidak diakui, karena perkawinannyapun tidak

ada.

Peraturan perundang-undangan memberikan opsi hukum bagi perkawinan

yang tidak tercatat di KUA untuk mendapatkan pengakuan hukum melalui jalur

pengesahan perkawinan melalui putusan Pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 7 yaitu :

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh

Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat

diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-

hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

(d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang

No.1 Tahun 1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-

anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Akan tetapi bagi seseorang yang mengajukan isbat nikah atas perkawinannya

dengan istri kedua (poligami), tetap berlaku ketentuan poligami sebagaimana diatur

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 4 dan 5, serta dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 55 s/d 59.

Akan tetapi manakala permohonan isbat nikah itu ditolak baik karena alasan

bahwa ternyata dalam proses pemeriksaan persidangan pernikahan tersebut adalah

pernikahan atas seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana laki-laki tersebut

Page 3: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

masih dalam suatu ikatan pernikahan dengan wanita lain (poligami) sedangkan alasan

dan prosedur poligami tidak dapat dipenuhi sehingga karenanya hakim menolak

permohonan tersebut, maka tentu saja secara formil perkawinan itu dianggap tidak

ada.

Bilamana tidak terjadi perkawinan, maka tentu saja keberadaan anakpun

menjadi tidak diakui. Sehingga anak yang terlahir dari perkawinan siri yang ditolak

oleh pengadilan dikategorikan sebagai anak diluar perkawinan.1

Dari kasus diatas, apabila pada muaranya anak tidak mendapatkan legalitas

sebagai anak yang sah, maka undang-undang menyatakan anak tersebut hanya

memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya saja2. Dengan

demikian maka hak-hak keperdataan anak terhadap ayah dan keluarga ayah menjadi

tidak ada. Hak-hak yang hilang tersebut adalah :

1. Hak saling mewarisi baik sebagai dzawil furud3 maupun sebagai ashobah.

2. Biaya penyusuan4.

3. Hak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan pada saat belum dewasa5.

4. Mendapatkan perwakilan dalam melakukan perbuatan hukum pada saat belum

dewasa6.

5. Hak-hak untuk mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin, dan hak-hak

keperdataan lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut penulis hendak menyikapinya bahwa hilangnya

hak-hak keperdataan anak merupakan sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan

dan kebenaran yang hakiki. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya anak tidak

pernah meminta untuk dilahirkan kedunia. Pemikiran itu didasarkan atas beberapa

pendekatan sebagai berikut :

1 Lihat pasal diatas tentang kedudukan anak diluar nikah.

2 Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 berbunyi : “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Jo. Pasal 186 yang berbunyi : "Anak yang lahir

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari

pihak ibunya". 3 Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 ayat (1).

4 Kompilasi Hukum Islam Pasal 104 ayat (1) berbunyi “Semua biaya penyusuan anak dipertanggung

jawabkan kepada ayajnya.. Apabila ayah telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan

kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya”. 5 Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 point (c) yang berbunyi “Biaya pemeliharaan di tanggung oleh

ayahnya”. 6 Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (2) berbunyi : “Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai

segala perbuatan hukum di dalam maupun diluar Pengadilan”.

Page 4: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

a. Pendekatan melalui teori victim (korban).

Pada suatu ketika diajukan isbat poligami ke Pengadilan Agama, dan karena

dalam persidangan telah terbukti poligami siri yang dilakukan oleh seorang laki-laki

dengan isteri kedua dan seterusnya tanpa izin isteri pertama, maka Pengadilan Agama

menolak isbat poligami tersebut, dan berdampak kepada tidak diakuinya anak yang

terlahir dari poligami tersebut. Maka sesunggunya perbuatan poligami tersebut dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran pidana. Pelanggaran delik tanpa izin pertama

melanggar Pasal 279 ayat 1 dan 2 KUHP yang menyatakan diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun.

(1) Barang siapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahan

atau pernikahan-pernikahannya yang telah ada menjadi penghalang yang

saha untuk itu;

(2) Barang siapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa

pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi penghalang

yang sah untuk itu;

Kemudian, bahwa perbuatan poligami sirri tanpa izin pertama dalam ranah

perdata merupakan perbuatan yang melanggar hukum perikatan, karena pada

hakikatnya pernikahan termasuk pada “perikatan” dan dengan melakukan pernikahan

kedua tanpa izin istri pertama dapat diartikan mencederai perikatan tersebut sehingga

dikategorikan “wan prestasi”. Hal tersebut dapat pula dikategorikan perbuatan

pelawanan hukum (onrechtsmatige-daad) karena melanggar Undang-undang No. 1

Tahun 1974 Pasal 4 dan 5 jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 s.d 59.

Dari dua hal diatas, maka sesungguhnya yang bersalah adalah pasangan yang

melakukan poligami siri tersebut, dan oleh karenanya ketika Putusan Hakim menolak

permohonan isbatnya, dan berujung kepada tidak diakuinya perkawinan, hal tersebut

demi keadilan merupakan hukuman bagi orang yang berbuat salah. Akan tetapi

bagaimana dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak diakui tersebut ?

dalam teori victim, sesungguhnya anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak

sah adalah korban, karena pada dasarnya anak tidak meminta untuk dilahirkan

kedunia, ia terlahir akibat dari perbuatan melawan hukum kedua orang tuanya.

Bilamana perbuatan salah yang dilakukan oleh orang tua, berakibat kepada

anak yang harus menjadi korban dengan menanggung hukuman tidak memiliki hak

Page 5: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

keperdataan atas ayahnya, maka sesungguhnya hal ini sangat mencederai hakikat

keadilan.

Begitupun dengan perbuatan zina yang dalam ranah hukum Islam

dikategorikan sebagai perbuatan dosa besar. Maka apabila hukuman atas perbuatan

zina yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dibebankan kepada anak

yang dilahirkan, hal tersebut tidaklah tepat, karena anak tidak melakukan perbuatan

dosa, dan anak hanya menjadi akibat dan korban atas perbuatan orang tuanya.

b. Pendekatan Hukum dan Perundang-undangan

Tercabutnya hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena

perbuatannya, sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan

beberapa prinsip yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai

berikut :

1. Bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before

the law), karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah terhadap

ayah menjadikan kedudukan anak tidak sama dihadapan hukum.

2. Bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang

berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidakada kecualinya”.

3. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Pasal 4 yang berbunyi : “Setiap anak berhak untuk hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.

4. Dengan hilangnya hak-hak keperdataan anak dari ayahnya diatas, maka

hilanglah pula hak-hak anak uuntuk mendapat pendidikan, nafkah,

perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut. Hal ini tidak sesuai

dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi : “Hak anak

adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan

dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara”, dan

beberapa melanggar lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dan undang-undang yang lainnya.

Page 6: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

5. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Azazi Manusia yang juga mengatur tentang perlindungan anak yang

menyatakan “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, dan Negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk

kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak

dalam kandungan. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan

status kewarganegaraan”7.

6. Bertentangan dengan Deklarasi “Social Welfare” dan “Human Rights” untuk

anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu : “Anak-anak berhak menikmati

seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa

pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan

suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dibidang

politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya atau

miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri maupun dari

segi keluarganya”8.

c. Pendekatan Akidah Keislaman

Islam memandang bahwa anak merupakan amanat dari Allah SWT, dimana

orang tua berkewajiban memenuhi kebutuhan materil meliputi sandang - pangan –

papan juga kebutuhan moril berupa pendidikan, kasih sayang, bimbingan sebagainya.

Barang siapa yang menyia-nyiakan amanat dengan melalaikan kewajiban sebagai

orang tua maka dinyatakan sebagai perbuatan dosa. Hal tersebut disinyalkan dalam

beberapa ayat dalam al-qur’an diantaranya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia

7 Hadi Setia, Undang-undang Tentang Hak Asasi Manusia, LN. 165 Tahun 1999 TLN No. 3886,

(Jakarta ; Harvarindo, 2000), hal 17. 8 Ibid.

Page 7: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi

Maha melihat”.(Q.S. al Nisa : 58)

6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang

kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. at Tahrim : 6)

Selain dari pada Islam memandang anak sebagai amanat dari Allah SWT,

Islam juga memandang bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci,

ia tidak memiliki dosa, dan tidak pula dibebankan dosa atas orang tuanya. Bahkan

Islam memandang, bahwa setiap orang bertanggung jawab atas amalnya sendiri, tidak

ada dosa seseorang yang dapat dipikulkan kepada orang lain.

:

) (

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,

“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah)

tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau

majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna.

Apakah kau melihatnya buntung?”

Page 8: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

164. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia

adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan

kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak

akan memikul dosa orang lain[526]. kemudian kepada Tuhanmulah kamu

kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."(Q.S.

al an’am : 164)

[526] Maksudnya: masing-masing orang memikul dosanya sendiri-sendiri.

Dari tiga pendekatan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keadaan apapun,

sesungguhnya setiap anak harus dapat dilindungi hak-haknya, termasuk hak

keperdataan. Dan mengurangi hak keperdataan anak yang tidak sebabkan karena

kesalahan anak adalah sesuatu yang mencerdari hakikat keadilan.

Baik secara syariat agama Islam, maupun berdasarkan Undang-undang anak-

anak wajib dilindungi segala hak-haknya, dan oleh karena itu kewajiban Negara untuk

melindungi hal tersebut.

Kaitannya dengan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah Negara

harus tetap melindungi hak-hak tanpa dikurangi sedikitpun. Anak yang lahir diluar

perkawinan tidak boleh sampai kehilangan dari ayahnya berupa hak mendapatkan

harta Peninggalan, hak biaya penyusuan, hak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan

pada saat belum dewasa9., hak mendapatkan perwakilan dalam melakukan perbuatan

hukum pada saat belum dewasa dan hak -hak untuk mendapatkan nafkah baik lahir

maupun batin, dan hak-hak keperdataan lainnya.

Akan tetapi bila anak harus tetap memiliki hak tersebut dari ayahnya

sedangkan anak masih tetap dalam kedudukannya sebagai anak yang tidak sah, maka

hal tersebut tidak dapat terjadi, karena berbentur dengan Fikih maupun qanun. Oleh

9 Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 point (c) yang berbunyi “Biaya pemeliharaan di tanggung oleh

ayahnya”.

Page 9: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

karenanya mesti dicarikan alternative agar anak mendapatkan hak tersebut, dan salah

satunya adalah dengan menggantikan kedudukan anak.

Mengganti kedudukan anak yang saya maksud disini adalah menggantikan

kedudukan anak dari statusnya anak hasil diluar nikah menjadi anak angkat bagi ayah

biologisnya secara hukum melalui adopsi.

Secara sederhana memang agak rancu, ayah kandung harus mengadopsi anak

kandungnya sendiri. Akan tetapi kita harus tetap konsisten bahwa meskipun secara

biologis ada hubungan ayah-anak kandung, tetapi dimata hukum tidak ada hubungan

apapun antara keduanya. Dan apabila kita merujuk kepada beberapa peraturan

perundang-undangan yang ada, sebut saja dalam Buku II Pedoman Teknis

Administrasi dan Peradilan serta Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun

1979, Nomor 6 tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005 tidak ada satu pun yang

melarang adopsi dari ayah kandung kepada anak kandung.

Ada beberapa pertanyaan berkaitan dengan masalah yang timbul. Sebut saja

ketika seorang anak telah diangkat oleh ayah bilogisnya sedangkan ayah biologisnya

telah menikah dengan ibu kandungnya sendiri, apakah hal ini tidak rancu ? satu sisi

sang ayah adalah ayah angkat, tapi ibunya ibu kandung ? menurut saya tidak. Hal ini

dapat dianalogikan seperti anak tiri, dimana anak tiri memiliki hubungan nasab

dengan orang tua kandungnya dan tidak memiliki hubungan hukum dengan orang tua

tirinya.

Proses permohonan pengangkatan anak ini bisa dilakukan dalam tiga proses;

a. Proses Legislasi

Proses peradilan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya payung hukum, oleh

karenanya mesti ada perangkat hukum sebagai landasan dari pengangkatan anak baik

kaitannya sebagai hukum formil maupun hukum materil. Peraturan tersebut bisa

dalam bentuk SEMA, dll.

b. Para pihak yang mengajukan

Secara materil persyaratan mengenai pengangkatan anak memang sudah dapat

diakomodir oleh beberapa peraturan yang ada, akan tetapi apabila tujuan dari adanya

pengangkatan ini adalah dalam rangka melindungi hak-hak keperdataan anak, maka

perlu diatur lebih lanjut mengenai hukum formilnya.

Sebut saja bahwa pihak yang dapat mengajukan pengangkatan anak ini tidak

harus berkutat pada wiilayah orang tua (dalam hal ini ayah), akan tetapi pihak lain

yang berkepentingan dapat juga harus mengajukan permohonan pengangkatan anak

Page 10: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

atas bagi ayah biologisnya. Kenapa demikian ? karena bisa jadi ayahnya tidak mau

mengangkat anak tersebut, dan apabila hal tersebut terjadi tentu anak tidak akan

terlindungi. Disinilah letak pentingnya hukum mengatur hal tersebut. Sebut saja

dalam suatu kasus, ketika ada seorang laki-laki berzinah dengan seorang perempuan,

dan terjadilah kehamilan dan memiliki anak, kemudian laki-laki tersebut tidak mau

bertanggung jawab, maka pihak perempuan dapat mengajukan permohonan

pengangkatan anak bagi sebagai anak angkat dari laki-laki tersebut;

Pengajuan perkara pengangkatan anak, tidak hanya bisa bersifat voluntair,

akan tetapi juga bisa bersifat kontentius.

Ketika yang mengajukan perkara pengangkatan anak adalah ayah biologis,

maka perkara menjadi voluntair, akan tetapi ketika yang mengajukan bukan ayah

biologisnya, maka perkara menjadi kontentius, dimana ayah biologis menjadi pihak

Tergugat. Kemudian di dalam persidangan, akan dibuktikan perihal kebenaran pihak

Tergugat sebagai ayah biologis.

Wasiat Wajibah Bagi Anak Tidak Sah

Sebagaimana disebutkan terdahulu, anak yang dilahirkan di luar perkawinan

yang tidak sah tentu tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya. Hal

ini mencakup seluruh hal termasuk hak-hak saling mewarisi. Anak yang tidak sah

secara hukum tidak dapat saling mewarisi dengan ayah bilogisnya. Akan tetapi

berdasarkan pembahasan diatas tentu hal ini akan merugikan anak. Oleh karenanya

mesti ada upaya perlindungan hak-hak anak tersebut.

Adopsi atau pengangkatan anak dapat menjadi salah satu wasilah yang dapat

memberikan alternative sehingga anak bisa mendapatkan harta peninggalan meskipun

tidak dari bagian waris, maksud saya disini adalah wasiat wajibah. Sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 209 ayat (2)

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya

Dengan adanya penetapan anak angkat maka terjagalah lembaga wasiat wajibah atas

anak tersebut, dan dengan adanya wasiat wajibah maka sang anak akan mendapat

perolehan harta peninggalan dari ayah kandungnya.

Meskipun demikian pemikiran tentang wasiat wajibah ini perlu pula

mengadopsi terhadap pemikiran Hakim Agung ; Habiburrahman (dalam makalah

Page 11: Artikel wasiat wajibah bagi anak diluar perkawinan yang sah

Hukum Kewarisan KHI yang disajikan dalam rakernas 2011) yang menyebutkan

bahwa wasiat wajibah bagi anak angkat terjadi manakala harta yang ditinggalkan

banyak dan besarannya tidak boleh melebihi bagian yang terkecil dari ahli waris.

Dari uraian singkat diatas, dapat ditarik suatu simpul, bahwa setiap anak yang

terlahir memiliki hak keperdataan yang sama dimata hukum, tak terkecuali anak yang

terlahir dari perkawinan yang tidak sah, atau tidak diakui oleh undang-undang. Hak

tersebut harus dilindungi sesuai dengan amanat undang-undang. Oleh karenanya

salah satu solusi yang dapat menjaga hak-hak anak tanpa harus bertentangan dengan

hukum. Salah satunya melalui lembaga tabanni / adopsi dengan menjadikan anak

tersebut menjadi anak angkat atas ayah biologisnya melalui suatu penetapan

pengadilan. Dengan menjadi anak angkat, maka sang anak akan mendapatkan hak-hak

keperdataannya dari sang ayah termasuk dari harta peninggalan sang ayah melalui

lembaga wasiat wajibah.

Tentu atas pemikiran yang penulis paparkan diatas, ada yang setuju atau tidak

menyetujuinya, sebagai suatu wacana pemikiran hukum hal ini penulis sampaikan.

Mudah-mudahan bisa memancing tanggapan-tanggapan dan sumbangsih pemikiran,

melalui komentar atau tulisan-tulisan dari siapa saja yang membaca tulisan ini.

Wallahu a’lam bishowab