artikel krinok

8
Rabu, 28 November 2012 KRINOK : Dari Seni Vokal ke Seni Pertunjukan Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di Kecamatan Rantau Pandan Kabupaten Muara Bungo. Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada sejak masa pra sejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini. Ja’far Rassuh menduga cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digunakan untuk pembacaan mantra atau do’a tertentu, inilah yang kemudian berkembang menjadi kesenian krinok. Heri Suroso yang mengutip R. Van Heine Geldern mencoba menelusuri sejarah krinok lebih jauh. Dalam makalahnya 1 [1] disebutkan bahwa krinok berawal dari lagu pantun bersahutan yang dibawa oleh suku-suku di Annam (wilayah Cina Selatan) saat mereka bermigrasi menuju Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Philipina. Di Indonesia sebagian dari mereka berlabuh di Pulau Sumatera bagian tengah. Mereka kemudian memperkenalkan 1[1] Heri Suroso. “Musik Krinok”. Makalah dalam : Musik Tradisional. Dinas Kebudayaan dan Periwisata Provinsi Jambi.

Upload: molen11

Post on 06-Feb-2016

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

k

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Krinok

Rabu, 28 November 2012

KRINOK : Dari Seni Vokal ke Seni Pertunjukan 

          Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di

Kecamatan Rantau Pandan Kabupaten Muara Bungo. Seniman krinok mengatakan krinok adalah

kesenian tertua yang telah ada sejak masa pra sejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini.

Ja’far Rassuh menduga cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum

masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digunakan untuk

pembacaan mantra atau do’a tertentu, inilah yang kemudian berkembang menjadi kesenian

krinok.

Heri Suroso yang mengutip R. Van Heine Geldern mencoba menelusuri sejarah krinok

lebih jauh. Dalam makalahnya1[1] disebutkan bahwa krinok berawal dari lagu pantun bersahutan

yang dibawa oleh suku-suku di Annam (wilayah Cina Selatan) saat mereka bermigrasi menuju

Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Philipina. Di Indonesia sebagian dari mereka

berlabuh di Pulau Sumatera bagian tengah. Mereka kemudian memperkenalkan budidaya bambu

dan kesenian lagu pantun yang bersahutan. Kesenian ini kemudian terus eksis dalam masyarakat

Jambi dengan berbagai nama seperti : senandung jolo (di daerah Tanjung Muara Bungo),

Mantau (di daerah Pelepat Muaro Bungo, Sarolangun dan Tebo), Doak (di daerah Tebo), dan

Krinok (di daerah Rantau Pandan Muara Bungo). Keempat kesenian tersebut sangat mirip dan

hanya dibedakan oleh materi lagu serta pilihan nada.

Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni vokal yang sangat

sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa dengan nada-

nada tinggi dan tanpa alat musik. Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti

1[1] Heri Suroso. “Musik Krinok”. Makalah dalam : Musik Tradisional. Dinas Kebudayaan dan Periwisata Provinsi Jambi.

Page 2: Artikel Krinok

sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi. M

Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantunkan oleh kaum laki-laki saat

mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga

berbalasan dengan pelantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini

sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan ajaran

Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun kesenian ini tetap bertahan

karena dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga

fungsi yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik hati

perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik

krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun

duka.

Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan

memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah.

Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang

harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan

menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan.

Setelah kering, kayu di belah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan.

Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari

ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki 6 potongan kayu sehingga hanya

memiliki 6 nada. Pada masa dahulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi

balok kelintang kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan

nada-nada yang indah kelintang kayu dimainkan oleh dua orang pemain.

Page 3: Artikel Krinok

Pada awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja.

Namun dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pandan memadukan

vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang

lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal

solo maupun duet. Bahkan krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib

bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong royong) di sawah

maupun ladang.

Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan

alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan dengan krinok seperti

gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem

bagi musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok

semakin memikat para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting

dalam perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring krinok

menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima point perkembangan yang

terjadi pada fase ini selain pertambahan alat musik, yaitu : Pertama, ruang pementasan

krinok semakin luas. Krinok tidak hanya dimainkan saat kegiatan beselang tetapi juga

menjadi hiburan pada pesta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk

sebuah kelompok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok

sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, Krinok mulai mengenal lirik baku yang

dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Keempat, seniman krinok mulai

menggunakan kostum dan tatarias. Kostum pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju

teluk belango beserta celana dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum

untuk pemain krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadukan

Page 4: Artikel Krinok

dengan kain sarung. warna kostum disesuaikan dengan selera pemain musik. Kelima

hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang bersifat ekspresif dan personal.

Krinok yang telah dipadukan dengan iringan berbagai alat musik menjadi kesenian

yang semakin digemari terutama oleh muda-mudi. Krinok selalu dimainkan saat

berselang, pada malam pesta pernikahan dan pada kegiatan lainnya. Iringan musik krinok

yang menarik memikat para muda-mudi untuk menari secara bebas, saling berbalas

pantun untuk mengungkapkan perasaan yang sedang kasmaran. Sejak saat itu krinok

dipadukan pula dengan tari tauh yang merupakan tari pergaulan muda-mudi. Dan untuk

semakin melengkapinya ditambahkan pula berbagai pantun muda-mudi sebagai lirik

krinok. Pada fase ini kesenian krinok semakin lengkap dan menarik sebagai suatu seni

pertunjukan, sehingga ruang penampilan kesenian krinok semakin luas. Salah satu contoh

lirik krinok sebagai berikut :

Kalau adik menjahit tudungSayo menjahit lengan bajuKalau adik menjadi burungSayo menjadi dahan kayu

Endak kemano mau kemanoDari jepun ke bandar cinoJangan marah abang betanyoYang baju hijau siapo namonyo

Mek ayu pande menyulamPatah jarum kelingking lukoKalau rindu tak ado bulanDalam bulan kito bejumpo

Kesenian krinok yang dikenal khalayak ramai hingga hari ini adalah suatu bentuk

kesenian yang memiliki lantunan vokal yang khas, iringan musik serta gerak tari yang menarik.

Kesenian ini tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat rantau pandan tetapi juga telah dipelajari

oleh seniman musik dari daerah lain seperti Sarolangun dan Kota Jambi. Sayangnya dengan

Page 5: Artikel Krinok

sebaran yang cukup luas ternyata tidak menjadikan krinok kebal dari ancaman kepunahan. Di

Rantau Pandan sendiri penampilan krinok semakin jarang yang disebabkan berbagai faktor

seperti : 1) Kegiatan beselang sebagai ruang utama pementasan krinok sudah sangat jarang,

karena masyarakat Rantau Pandan semakin tergantung pada sistem upah dalam mengolah lahan

pertanian. 2) Kurangnya seniman krinok karena buntunya upaya regenerasi. 3) Krinok tidak

dapat diandalkan sebagai sumber mata pencaharian para seniman, sehingga banyak seniman

yang memilih pekerjaan lain, yang pada akhirnya semakin jauh dari kesenian krinok. 4)

Terdapatnya norma adat yang membatasi ruang pementasan krinok. Krinok hanya boleh

dimainkan di dalam kampung untuk suatu acara adat seperti pesta perkawinan.

Saat ini upaya pelestarian krinok telah dan sedang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti

Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjungpinang, Dinas Kebudayaan dan Priwisata Kab. Muara

Bungo ataupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi. Kesenian krinok ditampilkan

dalam berbagai even kesenian maupun sebagai hiburan dalam kegiatan lain. Zulbahri

mengatakan saat ini pihak pemerintah telah memberikan kesempatan kepada kesenian daerah

termasuk krinok untuk ditampilkan dalam berbagai acara. Namun demikian, jika hanya

mengharapkan kesempatan dari pemerintah, kesenian tradisi seperti krinok akan sulit bertahan

ditengah gempuran berbagai kesenian modern. Oleh karena itu, upaya pelestarian krinok perlu

dilakukan dengan meningkatkan animo masyarakat akan kesenian tersebut. Sehingga masyarakat

mampu memberikan ruang ekspresi yang luas bagi eksistensi krinok.