artikel kkl 2014

7
1 KEANEKAAN SPORA ENDOMIKORIZA DISEKITAR TUMBUHAN Elephantopus scaber DAN Crysopogon aciculatus DI KAWASAN PADANG PENGGEMBALAAN SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Ismi Dwi Astuti dan Titin Supriatun Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran ABSTRAK Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dengan hamper semua akar tumbuhan, termasuk tumbuhan Elephantopus scaber dan Crysopogon aciculatus. Salah satu kelompok mikoriza adalah endomikoriza, yang hidupnya di dalam akar, mempunyai struktur spora yang hidup disekitar perakaran tumbuhan inangnya. Jenis-jenis spora endomikoriza beragam dan jumlahnya dipengaruhi oleh lingkungan. Adanya spora-spora, diharapkan dapat membantu dalam penyediaan hara. Penelitian mengenai keanekaan spora endomikoriza di sekitar tumbuhan Elephantopus scaber dan Crysopogon aciculatus telah dilakukan di Kawasan Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo pada tanggal 2 Mei sampai 11 Mei 2014. Maksud dan tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya keanekaan spora. Harapan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang keberadaan spora di sekitar tumbuhan tersebut, agar dapat membantu dalam mempertahankan vegetasi yang tumbuh di Taman Nasional Alas Purwo sebagai kawasan konservasi. Penelitian menggunakan metode transek dengan pengambilan sampel pada plot secara acak dan untuk memeriksa keberadaan spora menggunakan metode penyaringan basah dari Gedermann dan Nicholson (1963) dan diidentifikasi menurut Schenck dan Perez (1990) dan INVAM (2009). Hasil penelitian menunjukan ditemukannya 3 jenis spora yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Frekuensi kehadiran Glomus sebesar 100%, Gigaspora 50%, dan Acaulospora 16.67%. Kata Kunci: Spora, Endomikoriza, Glomus, Gigaspora, Acaulospora. PENDAHULUAN Mikoriza (akar-cendawan) merupakan gabungan simbiotik (akrab) dan mutualistik (saling menuntungkan) antaran cendawan bukan patogen atau pathogen lemah dan sel akar hidup, terutama sel korteks dan sel epidermis. Cendawan itu menerima hara organik dari tumbuhan, tapi ia memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury and Ross, 1995). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Salah sat bentuk mikoriza adalah endomikoriza. Endomikoriza merupakan mikoriza yang menginfeksi bagian dalam akar tumbuhan di bagian dalam dan di antara sel-sel apeks akar Endomikoriza dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik.

Upload: ismi

Post on 02-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mikoriza, persentase spora, taman nasional alas purwo

TRANSCRIPT

  • 1

    KEANEKAAN SPORA ENDOMIKORIZA DISEKITAR TUMBUHAN Elephantopus scaber DAN Crysopogon aciculatus DI KAWASAN PADANG PENGGEMBALAAN

    SADENGAN TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

    Ismi Dwi Astuti dan Titin Supriatun

    Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran

    ABSTRAK

    Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dengan hamper semua akar tumbuhan, termasuk tumbuhan Elephantopus scaber dan Crysopogon aciculatus. Salah satu kelompok mikoriza adalah endomikoriza, yang hidupnya di dalam akar, mempunyai struktur spora yang hidup disekitar perakaran tumbuhan inangnya. Jenis-jenis spora endomikoriza beragam dan jumlahnya dipengaruhi oleh lingkungan. Adanya spora-spora, diharapkan dapat membantu dalam penyediaan hara. Penelitian mengenai keanekaan spora endomikoriza di sekitar tumbuhan Elephantopus scaber dan Crysopogon aciculatus telah dilakukan di Kawasan Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo pada tanggal 2 Mei sampai 11 Mei 2014. Maksud dan tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya keanekaan spora. Harapan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang keberadaan spora di sekitar tumbuhan tersebut, agar dapat membantu dalam mempertahankan vegetasi yang tumbuh di Taman Nasional Alas Purwo sebagai kawasan konservasi. Penelitian menggunakan metode transek dengan pengambilan sampel pada plot secara acak dan untuk memeriksa keberadaan spora menggunakan metode penyaringan basah dari Gedermann dan Nicholson (1963) dan diidentifikasi menurut Schenck dan Perez (1990) dan INVAM (2009). Hasil penelitian menunjukan ditemukannya 3 jenis spora yaitu Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora. Frekuensi kehadiran Glomus sebesar 100%, Gigaspora 50%, dan Acaulospora 16.67%. Kata Kunci: Spora, Endomikoriza, Glomus, Gigaspora, Acaulospora. PENDAHULUAN

    Mikoriza (akar-cendawan) merupakan gabungan simbiotik (akrab) dan mutualistik (saling menuntungkan) antaran cendawan bukan patogen atau pathogen lemah dan sel akar hidup, terutama sel korteks dan sel epidermis. Cendawan itu menerima hara organik dari tumbuhan, tapi ia memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap air dan mineral (Salisbury and Ross, 1995). Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. Salah sat bentuk mikoriza adalah endomikoriza. Endomikoriza merupakan mikoriza yang menginfeksi bagian dalam akar tumbuhan di bagian dalam dan di antara sel-sel apeks akar Endomikoriza dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik.

  • 2

    Walaupun demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan posfor dan nitrogen (Tamim dkk., 2012). Tipe endomikoriza yang ditemukan dalam sejumlah besar tanaman adalah tipe Vesikula- Arbuskula, dimana hifa jamur (aseptat) menyebar lewat korteks utama dari akar dan memasuki sel kortikal. Haustorium yang terbagi-bagi (arbuskula) terbentuk, dan baik hifa intraseluler maupun ekstraseluler biasanya mengembangkan perut terminal atau interkalar yang bulat dan kaya lemak (vesikel). Spora dari jamur mikoriza VA merupakan anggota genus Acaulospora, Gigaspora, Glomus dan Sclerocystis (Smith et al., 2006)

    Berdasarkan literatur diatas, setiap tumbuhan di berbagai ekosistem memungkinkan terinfeksi spora endomikoriza, namun jumlah dan keberadaan jenisnya yang berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan yang tersedia. Dengan demikian, infeksi spora endomikoriza juga diperkirakan dapat ditemukan di Padang Penggembalaan Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo.

    Padang Penggembalaan Sadengan TNAP merupakan kawasan dengan formasi savanna. Kawasan ini dibuka sebagai feeding ground seluas 80 Ha tahun 1978. Daerah ini merupakan daerah dengan kelembaban tinggi, suhu tinggi, cuaca panas dan lembab, serta kondisi tanah yang cenderung kering. Untuk itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengetahui keragaman spora endomikoriza, jumlah spora endomikoriza serta frekuensi tiap jenis spora endomikoriza. Selain itu, untuk memberikan informasi tentang keanekaan spora endomikoriza dikawasan konservasi Taman Nasional Alas Purwo. sehingga dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan pemupukan dengan inokulasi mikoriza terutama di daerah yang mengalami kekeringan.

    ALAT, BAHAN DAN METODE Alat yang digunakan dalam pengamatan ini antara lain altimeter, soil tester, botol aqua

    bekas (330 ml), botol penyemprot, cawan petri, jarum, kaca objek, kaca penutup, label, meteran, mikroskop monokuler, mikroskop stereo, pipet tetes, plastik sampel, kertas saring, sekop kecil, dan tali rafia.

    Bahan yang digunakan adalah aquades, PVLG/ Larutan Pewarna Spora, dan sampel tanah dari habitat tumbuhan.

    A. Tahap Lapangan

    Tahap lapangan dilakukan dengan metode jelajah yaitu mencari tumbuhan Elephantopus scaber dan Chrysopogon aciculatus di sepanjang kawasan Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Kemudian, untuk menentukan pengambilan sampel dilakukan melalui metode transek dengan membuat 3 transek untuk setiap jenis tumbuhan, tiap transek berukuran 10 meter, terdiri dari 3 plot yang berukuran 3 m2. Pada tiap plot, diambil sebanyak 3-4 kali pengambilan sampel tanah. Hal ini bertujuan sebagai bentuk penggulangan pengambilan data. Pengambilan sampel tanah dilakukan di sekitar daerah perakaran (rhizosfer) tumbuhan Elephantopus scaber dan Chrysopogon aciculatus. Tanah diambil dari masing-masing rhizosfir kedua tumbuhan tersebut sebanyak 125 gram dengan kedalaman 10-15 cm dari

  • 3

    permukaan tanah dengan menggunakan skop. Masukkan ke dalam kantung plastik dan diberi label.

    B. Tahap Laboratorium

    Tahap laboratorium meliputi isolasi dan identifikasi spora. Metoda pengamatan spora dilapangan menggunakan metoda Sieverding (1991) yang dimodifikasi (Titin, 2007), yaitu 125 gram tanah dari kedalaman 10-15 cm dari permukaan tanah, dimasukan ke dalam botol yang berisi air 1 L. Tanah dikocok sampai homogen, diamkan sampai terbentuk suspensi. Suspensi dilewatkan melalui penyaringan spora dengan berukuran 125. 65, 250, 180, dan 45 m. Diletakan secara berurutan dari ukuran besar sampai kecil. Partikel yang tertahan pada saringan terbawah, dipindahkan dengan cara disemprotkan air dan ditampung cawan petri. Larutan yang tertampung disaring dengan menggunakan kertas saring. Partikel yang tertahan pada kertas saring dipindahkan kembali ke petri dish dan diamati dibawah mikroskop stereo dan dilakukan penghitungan.

    Untuk mengidentifikasi jenis spora, spora dipindahkan ke dalam tetesan air pada kaca objek yang telah ditetesi air atau PVLG/Melzer, setelah itu ditutup dengan kaca penutup, amati di bawah mikroskop monokuler, diidentifikasi menurut dari Schenck dan Perez (1990) dan INVAM (2009).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Kondisi Fisik Lingkungan

    Keberadaan spora mikoriza dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti kondisi fisik dan kimia tanah. Sifat fisik yang diukur antara lain pH tanah, kelembaban tanah, temperature udara dan ketinggian. Berikut hasil pengukuran data fisik lingkungan, didapatkan suhu tanah sekitar 30.2oC, kelembaban tanah 87%, pH tanah 6.9, cuaca cerah dengan ketinggian lokasi 23 mdpl.

    Berdasarkan literatur yang dituis oleh Fahmi dan Syamsudin (2009) dalam Nurhalimah, dkk. (2014), derajat keasaman (pH) optimum untuk perkecambahan spora tidak hanya tergantung pada spesies fungi tetapi kandungan nutrient di dalam tanah. Derajat keasaman ini berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan spora. pH lebih rendah dari 5.6 maka pertumbuhan tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor dan nitrogen. Hasil perhitungan pH yang didapat adalah 6.9, maka diperkirakan adanya spora endomikoriza disekitar tumbuhan yang diamati karena pada pH 6.9 ketersediaan dan penyerapan unsur hara tidak terhambat.

    Menurut Sastrahidayat dan Rochdjatun (2011) dalam Nurhalimah, dkk. (2014), suhu terbaik untuk perkembangan mikoriza adalah sekitar 28-35oC. Semakin tinggi suhu maka jumlah mikoriza juga semakin banyak, hal ini berarti suhu dan jumlah mikoriza berkorelasi positif. Suhu berpengaruh dalam pertumbuhan dan pembentukan koloni spora mikoriza. Hal ini karena pada suhu yang tinggi, aktivitas mikoriza akan semakin meningkat sehingga jumlah mikoriza akan

  • 4

    lebih banyak. Maka, diperkirakan akan ditemukan jumlah mikoriza yang cukup banyak pada tumbuhan yang diamati karena suhu tanah yang didapatkan yaitu 30.2oC berada pada suhu terbaik tumbuhnya mikoriza.

    Menurut Handayanto dan Hairiah (2007) dalam Nurhalimah, dkk. (2014), kelembapan dan kadar air tanah yang sangat tinggi atau sangat rendah juga kurang baik bagi perkembangan mikoriza. Mikoriza berkembang pada kelembapan dan kadar air yang stabil, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Apabila kadar air dan kelembapan sangat tinggi atau berlebihan dapat menyebabkan kondisi anaerob sehingga menghambat perkembangan mikoriza karena semua jamur pembentuk mikoriza adalah obligat aerob. Hasil perhitungan yang didapat adalah kelembaban sebesar 87%, termasuk dalam kelembaban yang stabil. Daerah savanna memiliki kandungan air tanah yang rendah yang menyebabkan kondisi lahan kering. Lahan yang kering sangat mendukung bagi perkembangan mikoriza, dimana ketersediaan unsur hara yang rendah pada kondisi lahan kering tersebut akan mengoptimalkan perkembangan hifa mikoriza. Diperkirakan mikoriza mampu tumbuh karena adanya ketersediaan nutrient yang cukup.

    B. Hasil Pengamatan dan Perhitungan Jumlah Spora

    Hasil pengamatan melalui metode penyaringan basah dari sampel tanah yang terdapat disekitar perakaran rumput jarum (Crysopogon aciculatus) dan tapak liman (Elephantopus scaber) adalah pada C. aciculatus yaitu didapatkan 67 spora berbentuk bulat kuning (KB), 50 spora coklat bulat (CB), 3 spora hitam lonjong (HL), dan 14 spora kuning lonjong (KL). Pada E.scaber didapatkan spora sebanyak 88 spora kuning bulat (KB), 89 spora coklat bulat (CB), 320 spora hitam bulat, dan 23 spora coklat lonjong (CL).

    C. Identifikasi Spora

    Terdapat beberapa jenis spora yang dapat teridentifikasi, seperi yang tertera pada table berikut.

    Tabel 1. Identifikasi Spora NO JENIS SPORA CIRI-CIRI FOTO PREPARAT

    1. Glomus sp. Bentuk: Bulat Warna: Coklat pekat Agak Oranye

    Bentuk Makroskopis Spora: Kuning Bulat, Coklat Bulat. P: 400x/ R: PVLG

  • 5

    2. Gigaspora sp. Bentuk: Bulat agak lonjong Warna: Coklat kekuningan

    Bentuk Makroskopis: Kuning lonjong, coklat lonjong P: 400x / R: PVLG

    3. Acaulospora sp. Bentuk: Bulat Warna: Coklat pekat

    Bantuk Makroskopis: Hitam Lonjong P: 400x/ R: PVLG

    4. Spora Bentuk: Bulat Warna: Hitam Pekat

    Bentuk Makroskopis: Bulat Hitam P: 400x/ R: PVLG

    Hasil pengamatan yang didapat adalah ditemukannya spora jenis Glomus sp., Gigaspora sp., Acaulospora sp. dan beberapa yang belum dapat teridentifikasi. Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi kehadiran spora, jenis Glomus merupakan spora yang paling banyak kehadirannya di setiap titik pengamatan, didapat frekuensi spora jenis Glomus sebesar 100%. Untuk jenis Gigaspora, didapat frekuensi sebesar 50%. Jenis Acaulospora merupakan spora yang paling jarang kehadirannya, frekuensi kehadiran Acaulospora adalah 16.67%. Hal ini sesuai dengan literature yang dikatakan oleh Tamim dkk. (2012), yaitu spora Glomus sp. mempunyai kecepatan perkecambahan yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Genus-genus spora yang diperbanyak memiliki kecepatan perkecambahan dan kolonisasi serta sporulasi yang berbeda. Jenis spora Glomus sp. menunjukkan kecepatan perkecambahan dan kolonisasi serta sporulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis spora Gigaspora sp. dan Acauluspora sp.. Alasan kedua lebih banyak ditemukannya spora Glomus sp. adalah disebabkan oleh pori-pori tanah yang

  • 6

    terlalu rapat. Menurut Widiastuti dan Kramadibrata (1998) dalam Nurhalimah dkk. (2014), Gigaspora ditemukan dalam jumlah tinggi pada tanah berfraksi pasir, hal ini dikarenakan pori-pori tanah yang terbentuk lebih besar dibandingkan tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar dari pada spora Glomus. Sedangkan, untuk Acaulospora sp. merupakan jenis spora yang jarang ditemukan dan biasanya jumlahnya sedikit.

    Genus Glomus sp. proses perkembangan sporanya adalah dari ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora, kadang hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora dan membentuk sporocarp[3]. Spora yang ditemukan dalam pengamatan memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong, dinding spora berwarna kuning kecoklatan, coklat kekuningan, coklat tua, kuning bening, dan putih bening.

    Gigaspora terbentuk dari ujung hifa yang membulat (bulbous suspensor), selanjutnya muncul bulatan kecil yang semakin membesar mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora[4]. Gigaspora yang ditemukan dalam pengamatan dengan cirri-ciri mikroskopis yaitu lapisan dinding sporanya tipis beraturan dan ada yang tidak beraturan, dan spora berwarna kuning kecoklatan, coklat kehitaman, coklat kekuningan dan kuning kehijauan.

    Proses perkembangan spora Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam perkembangannya, hifa terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil yang disebut Cicatric[4]. Spora Acaulospora yang ditemukan memiliki karakteristik yaitu bentuk bulat sampai lonjong dan memiliki dinding spora relative tebal dengan warna coklat pekat. Sedangkan warna spora kuning kecoklatan.

    Untuk spora yang belum dapat teridentifikasi, kemungkinan jenis spora tersebut terlalu kecil dan tidak jernih. Seperti yang dipaparkan oleh Karmadibrata (2011), bahwa spora yang langsung diambil dari lapangan akan kurang jelas dan diperlukan isolasi melalui kultur pot.

    Berdasarkan hasil yang didapat, maka adanya spora mikoriza pada tumbuhan Elephantopus scaber dan Chrysopogon aciculatus menandakan bahwa pada areal tanah kering di padang savanna, memungkinkan adanya simbiosis tumbuhan dengan mikoriza yang dapat melindungi tumbuhan dari kekeringan.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Pada perakaran tumbuhan Chrysopogon aciculatus dan Elephantopus scaber didapatkan spora endomikoriza dengan jenis Glomus sp., Gigaspora sp., dan Acaulospora sp. Rata-rata total jumlah spora disekitar perakaran rumput Chrysopogon aciculatus adalah 172 spora dalam 125 gram tanah, yang terdiri dari 90 spora jenis Glomus sp., 14 spora jenis Gigaspora sp., 3 spora jenis Acaulospora sp. dan 65 spora hitam bulat yang belum dapat identifikasi. Sedangkan, disekitar perakaran Elephantopus scaber didapat rata-rata total spora sebesar 500 spora dalam 125 gram tanah, yang terdiri dari 157 spora jenis Glomus sp., 35 spora jenis Gigaspora sp., dan

  • 7

    308 spora hitam bulat yang belum dapat diidentifikasi. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah Glomus dengan frekuensi kehadiran sebesar 100%, selanjutnya diikuti oleh Gigaspora dengan frekuensi kehadiran 50% dan Acaulospora dengan frekuensi kehadiran 16.67%.

    Dengan adanya penelitian ini, diharapkan pihak TNAP dapat mengetahui sejauh mana sebaran spora endomikoriza di daerah Padang Penggembalaan Sadengan, sehingga dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan pemupukan dengan inokulasi mikoriza terutama di daerah yang mengalami kekeringan Untuk penelitian berikutnya tentang spora endomikoriza, baik adanya apabila membahas tentang penyebaran spora di daerah lainnya dan perbandingannya dengan daerah Padang Sadengan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatnya, akhirnnya penulis dapat menyelesaikan artikel dalam rangka laporan kuliah kerja lapangan. Ucapan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan artikel ini, terutama pada orang tua penulis, Ibu Titun Supriatun selaku pembimbing dan pihak Taman Nasional Alas Purwo yang telah mempersilahkan kami untuk melakukan penelitian disana.

    PUSTAKA ACUAN Anonim. Taman Nasional Alas Purwo. http://www.tnalaspurwo.org/ (diakses tanggal 2 Februari

    2014 pukul 19:10 WIB). Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working with

    Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. 374 Kramadibrata. 2011. Fungi Mikoriza Bervesikula-Arbuskula di Beberapa Tanah Masam dari

    Jawa Barat, Menara Perkebunan 60(1): 9-19 Nurhalimah, S., Nurhatika, S., dan Muhibuddin, A. 2014. Eksplorasi Mikoriza Vesikular

    Arbuskular (MVA) Indigenous pada Tanah Regosol di Pamekasan, Madura. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 3(1)

    Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 1 Terjemahan Diah R. Lukman dan Sumaryo. Bandung: ITB.

    Smith, S.E., Holloway, R.E., Zhu, Y., Smith, F.A. 2006. Arbuscular Mycorrhizal Fungi Contribute to Phosphorus Uptake by Wheat Grown In a Phosphorus- Fixing Soil even in The Absence of Positive Growth Response. New Phytol. 172 (3) : 536-543

    Tamin, R. P., Nursanti, dan Albayudi. 2012. Identifikasi Jenis dan Perbanyakan Endomikoriza Lokal di Hutan Kampus Universitas Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 14(2).