artikel filsafat

16
Jantung Budaya Sekolah “In toxic schools, the elements of culture reinforce negativity. Values and belie negative. The cultural network works in opposition to anything positive. Rituals traditions are phony, oyless, or counterproductive“ ( !eal and "eterson, #$$$, p KUTIPAN tersebut ingin menggambarkan betapa berbahasanya budaya sekolah ya buruk dan negatif. Sebagai laan dari budaya sekolah yang sehat dan p sekolah yang negatif se"ara perlahan! tetapi pasti akan membuat semua bangunan st mental komunitas sekolah akan han"ur! karena di dalamnya ter#adi banyak kebohonga dan kepura$puraan. Adakah sekolah #enis ini di dalam sistem pendidikan kita% &alam banyak kesempatan! ketika melakukan interaksi dengan para guru dan kepala sekolah! baik dalam pelatihan maupun pendampingan program pengembangan kapasitas guru dan kepala sekolah! saya sering sekali mendapat pertanyaan tentang bagaimana dan memulai sebuah budaya sekolah yang efektif dan efisien. 'eskipun banyak sekol mengaku memiliki bu daya sekolah yang baik! ketika saya la"ak melalui anggaran belan#a sekolah ( AP S)! tidak sedikit di antara kepala sekolah dan guru mengakui betapa buruknya budaya sekolah mereka. 'engapa AP S% &alam banyak literatur tentang mana#emen sekolah efektif! memang tak banyak dibah tentang sisi buruk bagaimana sekolah meran"ang dan menggunakan anggaran belan#a sekolah se"ara sehat dan bertanggung #aab. Kebanyakan yang dibahas dalam buku$bu mana#emen sekolah efektif ialah karakter dan gaya kepemimpinan kepala sekolah ata school leadership. 'eskipun diakui! baha kepemimpinankepalasekolah sangat memengaruhi bagaimana sebuah sekolah akan dikelola serta budaya sekolah akan diterapkan! tetapi karakter kepemimpinan hanya menyumbang *+, dari total kesukses sebuah sekolah.Selebihnya ialah persoalan mana#erial! sistem! dan aturan sekolah! termasuk di antaranya ialah bagaimana sekolah membelan#akan anggaran belan#anya se"ara transparan dan akurat. Untuk melihat sebuah sekolah memiliki semangat dan budaya sekolah yang lihatlah bagaimana "ara kepala sekolah! guru! komite sekolah! dan stakeholders la membuat peren"anaan keuangan sekolah. -ika AP S diran"ang dan digunakan sesuai dengan kesepakatan dan sistem yang transparan dan akuntabel! dapat dipastikan sek tersebut memiliki budaya sekolah yang sehat dan positif. Namun sebalikny keuangan sekolah diran"ang dan digunakan hanya segelintir orang! seperti kepala s dan bendahara sekolah! tanpa ada keterlibatan pihak lain! dapat dipastik tersebut memiliki budaya sekolah yang buruk dan negatif. atusan ribu sekolah di Indonesia! menurut hemat saya! memiliki budaya sekolah ya buruk dan negatif! karena tata kelola keuangan sekolah yang berasal da &AU! dan &AK tidak dibuat berdasarkan kebutuhan proses bela#ar menga#ar. anyak uang S yang dikelola se"ara tidak transparan alias penuh ke"urangan! karena ba kepala sekolah maupun dinas pendidikan se"ara menyenga#a membiarkan praktik tak sehat pengelolaan dana S itu terus berlangsung dari hari ke hari. &i tingkat s dasar misalnya! pembelian buku dan /KS men#adi a#ang yang kasatmata penuh dengan budaya koruptif. elum lagi! dana$dana program pengembangan kapasitas gu dikelola seadanya! tanpa ada ru#ukan yang #elas.

Upload: dinianggunpuspita

Post on 04-Nov-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tentang pendidikan

TRANSCRIPT

Jantung Budaya Sekolah

In toxic schools, the elements of culture reinforce negativity. Values and beliefs are negative. The cultural network works in opposition to anything positive. Rituals and traditions are phony, joyless, or counterproductive (Deal and Peterson, 1999, p. 119).

KUTIPAN tersebut ingin menggambarkan betapa berbahasanya budaya sekolah yang buruk dan negatif. Sebagai lawan dari budaya sekolah yang sehat dan positif, budaya sekolah yang negatif secara perlahan, tetapi pasti akan membuat semua bangunan struktur mental komunitas sekolah akan hancur, karena di dalamnya terjadi banyak kebohongan dan kepura-puraan. Adakah sekolah jenis ini di dalam sistem pendidikan kita?

Dalam banyak kesempatan, ketika melakukan interaksi dengan para guru dan kepala sekolah, baik dalam pelatihan maupun pendampingan program pengembangan kapasitas guru dan kepala sekolah, saya sering sekali mendapat pertanyaan tentang bagaimana cara dan memulai sebuah budaya sekolah yang efektif dan efisien. Meskipun banyak sekolah mengaku memiliki bu daya sekolah yang baik, ketika saya lacak melalui rancangan anggaran belanja sekolah (RAPBS), tidak sedikit di antara kepala sekolah dan guru yang mengakui betapa buruknya budaya sekolah mereka. Mengapa RAPBS?

Dalam banyak literatur tentang manajemen sekolah efektif, memang tak banyak dibahas tentang sisi buruk bagaimana sekolah merancang dan menggunakan anggaran belanja sekolah secara sehat dan bertanggung jawab. Kebanyakan yang dibahas dalam buku-buku manajemen sekolah efektif ialah karakter dan gaya kepemimpinan kepala sekolah atau school leadership. Meskipun diakui, bahwa kepemimpinan kepala sekolah sangat memengaruhi bagaimana sebuah sekolah akan dikelola serta budaya sekolah akan diterapkan, tetapi karakter kepemimpinan hanya menyumbang 30% dari total kesuksesan sebuah sekolah.Selebihnya ialah persoalan manajerial, sistem, dan aturan tata kelola sekolah, termasuk di antaranya ialah bagaimana sekolah membelanjakan anggaran belanjanya secara transparan dan akurat.

Untuk melihat sebuah sekolah memiliki semangat dan budaya sekolah yang sehat, lihatlah bagaimana cara kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan stakeholders lainnya membuat perencanaan keuangan sekolah. Jika RAPBS dirancang dan digunakan sesuai dengan kesepakatan dan sistem yang transparan dan akuntabel, dapat dipastikan sekolah tersebut memiliki budaya sekolah yang sehat dan positif. Namun sebaliknya, ketika keuangan sekolah dirancang dan digunakan hanya segelintir orang, seperti kepala sekolah dan bendahara sekolah, tanpa ada keterlibatan pihak lain, dapat dipastikan sekolah tersebut memiliki budaya sekolah yang buruk dan negatif.Ratusan ribu sekolah di Indonesia, menurut hemat saya, memiliki budaya sekolah yang buruk dan negatif, karena tata kelola keuangan sekolah yang berasal dari dana BOS, DAU, dan DAK tidak dibuat berdasarkan kebutuhan proses belajar mengajar. Banyak uang BOS yang dikelola secara tidak transparan alias penuh kecurangan, karena baik kepala sekolah maupun dinas pendidikan secara menyengaja membiarkan praktik tak sehat pengelolaan dana BOS itu terus berlangsung dari hari ke hari. Di tingkat sekolah dasar misalnya, pembelian buku dan LKS menjadi ajang yang kasatmata penuh dengan budaya koruptif. Belum lagi, dana-dana program pengembangan kapasitas guru yang dikelola seadanya, tanpa ada rujukan yang jelas.

Perlu skema Kebiasaan inilah yang mela hirkan racun atau toxic yang tiada henti dalam budaya sekolah kita, tanpa ada keinginan sedikit pun dari Kemendikbud mengubah pola penyaluran dana BOS melalui pendekatan yang berbeda, misalnya dengan menggunakan basis jumlah sekolah sebagai unit analisisnya. Dana BOS disalurkan dengan asumsi kepala siswa, yakni jumlah siswa pun sampai sekarang sangat mudah dimanipulatif. Jika kita ingin mengubah mentalitas para kepala sekolah dan guru serta aparat dinas pendidikan menjadi lebih baik, tak ada cara lain kecuali membuat skema penyaluran dana operasional sekolah melalui pendekatan berbasis kebutuhan sekolah yang dirancang dengan orientasi proses belajar mengajar yang menyenangkan.

Terrence E Deal dan Kent D Peterson dalam Shaping School Culture: Pitfalls, Paradoxes, and Promises (2009) mengingatkan kita akan bahaya budaya sekolah yang bu ruk dan pasti akan meracuni semua yang ada di dalamnya. Bukan hanya siswa yang paling akan menjadi korban, melainkan juga para guru, staf administrasi sekolah, serta orangtua. Kesadaran untuk mengubah budaya sekolah sesungguhnya sangat sederhana, yaitu dimulai dengan keterbukaan dalam merancang RAPBS secara bersama dan berorientasi pada program peningkatan kapasitas guru yang memicu kreativitas mereka dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan.

Meskipun budaya sekolah bisa jadi merupakan persoalan subjektif, tetapi perlu diberikan bingkai yang relevan dengan tuntutan proses belajar mengajar saat ini, karena budaya sekolah ialah satu elemen sekolah yang teramat penting dan nyata, meskipun sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi dan kebijakan pendidikan di mana pun. Karena apa pun jenis perubahan yang diinginkan dalam suatu sistem pendidikan, pasti akan mengalami resistensi.

Karena itu, perlu dilakukan pendefinisian yang bijak tentang budaya sekolah serta sejauh mana para pengambil kebijakan dan pelaksana sekolah memahami makna budaya sekolah dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.Salah satu ciri sekolah yang memiliki budaya sekolah yang sehat, dapat dilihat dari bagaimana sekolah mengembangkan budaya sekolah dalam praktik merancang anggaran belanja sekolah serta praktik keseharian interaksi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Keduanya memberi arti banyak dalam menentukan perspektif dan ragam tindakan pengajaran, yakni guru dalam konteks budaya, dapat mempengaruhi setiap aspek dari proses belajar mengajar (Peterson, 1998). Karena itu, penting untuk dirumuskan kembali mekanisme sekolah dalam merancang, merencanakan, dan melaksanakan APBS sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, efek budaya sekolah terhadap keseluruhan performansi guru dan siswa, serta implikasinya terhadap kebijakan bidang pendidikan dalam konteks budaya sekolah, pasti akan terus terpuruk.

Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

MEDIA INDONESIA, 20 April 2015Sumber : http://widiyanto.com/jantung-budaya-sekolah/#more-619

Ujian Nasional Model Baru, Ayo Jujur

Mulai 13-15 April siswa kelas XII SMA/MA/SMK akan menjalani ujian nasional (UN). Ada yang baru dalam pelaksanaan ujian nasional 2015. Ujian nasional tahun ini tidak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Ujian nasional hanya akan dijadikan pemetaan mutu pendidikan. Yang dipetakan meliputi layanan mutu sekolah, kepemimpinan sekolah, kompetensi guru, capaian siswa, dan daya dukung stakeholders. Sementara itu untuk kelulusan siswa diserahkan sepenuhnya pada guru di sekolah.

Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu langkah maju untuk mengatasi problem yang menyertai pelaksanaan ujian nasional. Problem paling serius adalah ketakjujuran yang seakan menjadi anak kandung ujian nasional. Selama pelaksanaan ujian nasional, publik pun disuguhi pemberitaan mengenai kasus-kasus ketakjujuran yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan siswa. Dengan tidak lagi menjadi alat menentukan kelulusan, seharusnya siswa menjalani ujian nasional dengan tenang dan penuh kejujuran.

Perbedaan yang lain, ujian nasional 2015 akan dilaksanakan dalam dua model yakni paper based test (PBT) dan computer based test (CBT). Ujian nasional model PBT teknisnya sama dengan yang sudah terlaksana selama ini. Siswa mengerjakan soal ujian nasional secara manual melalui kertas jawaban yang tersedia. Sedangkan dalam ujian nasional CBT, siswa mengerjakan soal secara online di komputer.

Model ujian nasional CBT disebut juga ujian nasional online . Kemendikbud menargetkan ujian nasional CBT terlaksana untuk semua sekolah pada 2018. Jadwal ujian nasional PBT ditetapkan pada 13-15 April (SMA/MA/SMK) dan 4-6 Mei (SMP/MTs). Sementara ujian nasional CBT untuk SMA (13- 21April) dan SMK (13-16 April). Ujian nasional CBT untuk SMP waktunya bersamaan dengan ujian nasional PBT. Tahun ini ujian nasional online baru diterapkan secara terbatas di sekolah yang dinilai layak sebagai pilot project . Menurut data Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kemendikbud, tahun ini total ada 585 sekolah (138 SMA, 405 SMK, dan 42 SMP) yang melaksanakan ujian nasional CBT.Sekolah rintisan (piloting ) ujian nasional CBT tersebar di 140 kabupaten/kota di 26 provinsi. Untuk mematangkan persiapan ujian nasional CBT, Puspendik bersama dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/ kota telah menyelesaikan tahap verifikasi sekolah rintisan.

Verifikasi ini penting untuk memastikan kesiapan sarana prasarana sekolah. Juga untuk memetakan sekolah yang mengikuti ujian nasional PBT dan ujian nasional CBT. Itu karena tidak semua sekolah yang awalnya ditunjuk dinas pendidikan bersedia menjadi pilot project ujian nasional CBT.Persoalan yang dihadapi sekolah umumnya karena tidak memiliki perangkat komputer sesuai standar. Apalagi komputer di sekolah harus terkoneksi jaringan internet. Ketentuan Puspendik mengharuskan sekolah menyiapkan komputer (PC) dengan rasio satu komputer untuk tiga siswa (1:3).

Standar komputer ditentukan karena ujian nasional CBT akan dilaksanakan sehari dalam tiga shif ; pagi, siang, dan sore. Sekolah juga harus menyiapkan genset untuk mengantisipasi listrik mati saat ujian nasional CBT. Dengan persyaratan tersebut, ujian nasional CBT hanya dapat dilaksanakan sekolah yang memiliki sarana prasarana memadai. Puspendik menyarankan agar sekolah yang memiliki keterbatasan komputer menyewa sesuai kebutuhan. Tentu akan lebih baik jika sekolah membeli komputer baru. Tetapi, harus diakui bahwa sejak mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dieliminasi dari Kurikulum 2013, perhatian sekolah pada pengadaan komputer berkurang. Bahkan banyak laboratorium komputer dialihfungsikan menjadi kelas. Untuk menyukseskan ujian nasional CBT pasti dibutuhkan program yang berkelanjutan. Termasuk program pengadaan sarana prasarana TIK. Bukan hanya itu, budaya melek tekbologi informatika bagi guru dan siswa juga harus menjadi prioritas.

Beberapa agenda ini penting agar pada saatnya ujian nasional CBT dapat dilaksanakan untuk semua sekolah. Realitas kesenjangan mutu antarsekolah juga harus menjadi perhatian. Belum lagi soal lokasi sekolah yang tersebar seantero Nusantara. Menurut data Puspendik Kemendikbud, jumlah sekolah negeri-swasta secara nasional yang mengikuti ujian nasional tahun ini mencapai 18.552 (SMA/MA), 10.362 (SMK), dan 50.515 (SMP). Sekolah peserta ujian nasional tersebar dalam rentang geografis dari SMP Negeri 1 Sabang di Desa Cot Bau, Sabang, hingga ke SMP Negeri 2 Merauke di Desa Kelapa Lima, Merauke.

Sebaran lokasi sekolah itu jelas menghadirkan kesulitan tatkala ujian nasional dilakukan secara manual. Karena itu, terobosan Kemendikbud untuk melaksanakan ujian nasional CBT layak diapresiasi. Pasti banyak keuntungan yang diperoleh jika pada saatnya nanti semua sekolah melaksanakan ujian nasional CBT. Ujian nasional CBT pasti dapat menghemat anggaran.

Menurut data Puspendik, peserta ujian nasional 2015 mencapai 7,3 juta siswa. Dapat dihitung, berapa banyak anggaran yang dihemat jika ujian nasional CBT diterapkan untuk semua sekolah. Itu belum termasuk penghematan anggaran yang biasa dialokasikan untuk percetakan soal, pengamanan soal oleh pihak kepolisian, pengiriman soal hingga ke sekolah, dan pengawasan ujian yang melibatkan pihak-pihak terkait. Karena pelaksanaan ujian nasional 2015 tinggal menghitung hari, Kemendikbud harus mematangkan persiapan teknisnya. Kemendikbud harus ingat kasus karut-marut ujian nasional 2013 akibat mismanajemen dalam bidang teknis percetakan dan pengiriman soal.

Kemendikbud harus menyadari betul bahwa pelaksanaan ujian nasional merupakan bagian dari kehormatan (marwah) bangsa. Yang juga penting disiapkan adalah pelaksanaan ujian nasional CBT. Model ujian nasional online ini harus disiapkan dengan matang sehingga pada tahap rintisan ini ada success story .Jika pada tahap rintisan ini banyak diwarnai kekurangan dalam pelaksanaannya, pasti akan menimbulkan pobia (rasa takut) terhadap TIK di kalangan siswa, guru, dan orang tua. Padahal jika dicermati, ujian nasional CBT pasti dapat menurunkan tingkat kecurangan dan menghemat biaya.

Ujian nasional CBT pada saatnya juga dapat menjadikan generasi masa depan bangsa berbudaya ICT. Untuk itu, Kemendikbud harus memastikan sekolah piloting tidak mengalami kendala yang bersifat teknis. Sementara sekolah dan orang tua harus menyiapkan mental siswa.Seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan siswa sebab ujian nasional tahun ini tidak lagi menentukan kelulusan siswa. Jadi, jangan pernah ragu untuk berbuat jujur?

Biyanto; Dosen UIN Sunan Ampel; Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim

KORAN SINDO, 09 April 2015Sumber: http://widiyanto.com/ujian-nasional-model-baru-ayo-jujur/#more-612

Pendidikan Bukan Pencitraan

Apakah pendidikan kita selama ini telah berhasil? Suatu pertanyaan yang terkesan sinis seolah tak menghargai kerja keras pemerintah dan masyarakat yang telah bersusah payah membangun dan mengembangkan pendidikan sesuai amanat konstitusi.Pertanyaan ini seharusnya tak muncul seandainya negara berhasil menyelenggarakan pendidikan berdasarkan amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya negara mengalami kesulitan dalam memaknai kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga arah pendidikan di semua jenjang dan jalur menjadi tak jelas dan belum dapat mencerdaskan kehidupan bangsa.Tolok ukur keberhasilan pendidikan tidak serta-merta mencerdaskan kehidupan bangsa, padahal penganggaran pendidikan sangat ditentukan tolok ukur ini. Pendidikan dasar dan menengah menggunakan tolok ukur antara lain angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) serta ujian nasional (UN) dan akreditasi sekolah. Pendidikan tinggi menggunakan tolok ukur antara lain APK, peringkat akreditasi, publikasi ilmiah, peringkat internasional, dan jumlah anggaran.Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi telah menerbitkan sejumlah standar pendidikan dan sejumlah peraturan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan kita, baik di tingkat dasar menengah maupun tinggi, selalu digaungkan dengan gencar supaya masyarakat memahaminya. Perkataan mutu jadi sedemikian penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan sehingga seluruh daya upaya diarahkan ke mutu pendidikan.Persoalan yang mendasar adalah belum adanya pemahaman yang hakiki mengenai mutu pendidikan. Mutu pendidikan secara pragmatis diwujudkan dalam bentuk akreditasi sekolah dan akreditasi perguruan tinggi, padahal definisi mutu hakiki adalah jauh lebih dalam dan mendasar dibandingkan akreditasi. Definisi mutu pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mampu memberdayakan individu maupun kelompok individu serta masyarakat pada umumnya. Mutu pendidikan sering kali dikaitkan dengan hasil UN sekolah maupun peringkat universitas tingkat nasional dan internasional.Dengan pemahaman mutu pendidikan seperti itu, sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba meraih peringkat lebih tinggi dalam akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Upaya mencapai itu semua tak mudah dan perlu dukungan finansial yang besar, bahkan seluruh daya upaya dikerahkan untuk mencapai akreditasi dan peringkat yang tinggi. Pertanyaannya, apakah akreditasi dan peringkat yang tinggi akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa Indonesia?Pengalaman menunjukkan bahwa akreditasi dan peringkat lembaga pendidikan lebih memberikan manfaat bagi lembaga itu sendiri ketimbang bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama pendidikan. Dengan akreditasi dan peringkat yang tinggi, lembaga pendidikan tersebut dengan mudah merekrut calon peserta didik terbaik, merekrut guru dan dosen terbaik, memperoleh insentif pendanaan lebih tinggi, memperoleh pengakuan dari masyarakat, dan lain-lain. Dengan demikian, lembaga pendidikan itu punya peluang mempertahankan status, bahkan mungkin dapat meningkatkannya. Apakah dengan tingginya peringkat dan akreditasi, tujuan pendidikan sesuai amanat konstitusi berhasil dicapai?Pencitraan pendidikanKeberhasilan pendidikan atau manfaat pendidikan terwujud jika masyarakat terdidik berdaya mampu menyejahterakan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan masyarakat seyogianya jadi tolok ukur keberhasilan pendidikan di mana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat mandiri madani sejahtera. Karena itu, perlu pendefinisian kembali tolok ukur pendidikan dengan mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolok ukurnya lebih bersifat pencitraan di mana lembaga pendidikan mencari akreditasi dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status sosial dengan ijazah.Tata kelola pendidikan terjebak ke dalam mekanisme administratif yang justru menghilangkan hakikat pendidikan. Berbagai peraturan perundangan yang ada mengenai pendidikan di semua jalur dan jenjang telah menjadikan pendidikan kegiatan administratif yang birokratis, penuh pengaturan dalam setiap aspek, tak ada otonomi dan akuntabilitas, tak ada inovasi dan kreativitas, tak ada kepercayaan terhadap guru dan dosen.Jika pola ini masih dipertahankan, pendidikan di Indonesia hanya akan memberikan pencitraan dan belum memenuhi amanat konstitusi, pendidikan telah dikerdilkan maknanya ke arah formalitas di mana capaian yang diapresiasi adalah capaian formalitas. Budaya pencitraan dan formalitas sudah demikian melekat di pemerintah dan di masyarakat sehingga indikator yang menunjukkan kemajuan pendidikan adalah semu.

Satryo Soemantri Brodjonegoro ; Guru Besar ITB;

Dirjen Dikti (1999-2007); Wakil Ketua AIPIKOMPAS, 09 Maret 2015Sumber : http://widiyanto.com/pendidikan-bukan-pencitraan/#more-577

Pendidikan yang Menyenangkan

DALAM banyak kesempatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, sering mengungkapkan bahwa pendidikan seharusnya tidak membelenggu atau membebani siswa, tetapi mencerahkan dan menyenangkan. Anies berjanji akan mengupayakan pembelajaran yang lebih berkualitas dan menyenangkan.Sayangnya, ketika ditanya, konsepnya seperti apa dan kapan akan dilaksanakan, Pak Menteri tidak memberi jawaban pasti. Kita tentu sepakat, pendidikan memang harus membebaskan, mencerahkan, dan menyenangkan sehingga anak-anak kita gairah, bahkan passion, kasmaran belajar.Pendidikan yang membebani dan membosankan, hemat penulis, ikut menjadi penyebab mengapa pendidikan kita belum mencapai hasil menggembirakan, bahkan gagal. Dikatakan gagal karena pendidikan kita tak kunjung mendekat pada tujuan pendidikan nasional seperti diamanatkan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, juga gagal karena sepi prestasi.Kemampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan sains yang menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan tergolong rendah, jauh dari yang diharapkan. Bahkan merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN.Seperti umum diketahui, hasil terbaru TIMSS (Trend in Mathematics and Science Studies) 2011, Indonesia berada di peringkat 38 dari 42 negara peserta. Singapura berada di peringkat ke-2 dan Malaysia ke-26. Hasil PISA (The Programme for International Student Assesment) 2012 menempatkan Indonesia hampir di posisi juru kunci, peringkat 64 dari 65 negara peserta.Konsep dan kreativitas guru Pengembangan pendidikan yang menyenangkan itu, hemat penulis, terkait dengan 2 hal pokok: 1) konsep dan 2) implementasi yang menuntut kompetensi dan kreativitas guru.Soal pertama, konsep, perlu dirumuskan secara jelas agar tidak terjadi mispersepsi. Konon ada guru atau wali murid yang memahami `pendidikan yang menyenangkan itu secara terpisah, yakni pendidikan dan lalu bersenang-senang. Ada pula yang menekankan senang-senangnya ketimbang pendidikannya.Ini tentu keliru! Menurut Scott D Richman, kesenangan (dalam fun teaching) itu bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan agar murid bisa menikmati pendidikan sehingga mendongkrak prestasi belajar mereka (Successful Teaching, 2013: 83). Di kalangan pakar pendidikan, model atau strategi pembelajaran yang menekankan partisipasi dan keaktifan siswa sudah banyak dikenal, mulai dari konsep active learning dari Melvin Silberman, guru besar Tempel University yang kesohor dengan bukunya, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject (1996) dan 101 Ways to Make Training Active (2011), hingga Quantum Teaching dari Bobby DePorter (2010).Model pembelajaran Quantum Teaching (QT) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Georgi Lazanop (Bulgaria) dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Bobbi de Porter (Amerika), penulis buku best seller, Quantum Teaching. Konsep ini diujicobakan di Super Camp, lembaga kursus yang didirikan dan dikembangkan oleh Bobbi. Hasilnya memang menggembirakan.Strategi ini berhasil menaikkan motivasi 68%, prestasi belajar 73%, percaya diri 81%, harga diri 84% dan keterampilan 98 %. (Bobby DePorter, 2010).Di Indonesia, konsep active learning ataupun quantum teaching juga sudah cukup dikenal, dengan terjemahan yang beragam, mulai dari konsep cara belajar siswa aktif (CBSA), pendidikan aktif kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), hingga yang terbaru konsep pendidikan aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan (PAIKEM).Namun, sejauh mana guru guru kita memahami konsepkonsep pembelajaran yang menekankan keaktifan dan kreativitas dari siswa ini, dan sejauh mana mereka mengim plementasikan dalam proses pembelajaran, sulit menjawabnya. Tanpa kemampuan dan kreativitas yang memadai, strategi pengajaran baru yang diwajibkan tidak akan pernah berjalan. Karena sebagaimana biasanya, para guru akan tetap melanjutkan yang lama meski dengan merek baru.Soal kedua, ialah soal implementasi. Seperti telah disinggung di atas, soal kedua ini terkait erat dengan kemampuan dan kreativitas guru. Agar kreatif dan sukses dalam melaksanakan tugas pembelajaran, para guru mesti memahami dengan baik 4 prinsip sukses pembelajaran, successful teaching, seperti diusulkan Scott D Richman di bawah ini.Pertama, remember they are just kids, sadari mereka (peserta didik) itu hanya lah anak-anak. Ba nyak guru lupa bahwa yang dihadapi itu hanyalah anak anak, bukan orang dewasa. Guru perlu mengenali watak dan kecenderungan kejiwaan mereka. Materi dan cara yang digunakan harus sesuai dengan mental mereka. Meski mereka nyata-nyata melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. You have to keep loving them just as much, demikian nasihat Bill Cosby.Kedua, listen what your students have to say, dengarkan apa yang ingin mereka katakan. Banyak guru hanya bicara dan bicara lagi, dan tidak ada waktu bagi murid untuk bicara, mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dalam penelitian, diketahui guru bicara lebih dari 80%. Mestinya guru lebih banyak mendengar ketimbang bicara, seperti nasihat Mark Twain, If we were meant to talk more than listen, we would have two mouths and only one ear.Ketiga, give the students 100% of yourself, curahkan perhatian sepenuh hati. Perhatian guru berkorelasi secara positif dengan capaian siswa. Di sini, kompetensi personal dan dedikasi guru menjadi taruhan keberhasilan pembelajaran.Keempat, focusing on the positive, fokus pada hal-hal yang baik dari siswa. Filosofi pengajaran berlawanan dengan filosofi pemberitaan, jurnalistik. Media biasanya selalu mengejar yang buruk-buruk, karena menganut paham, Bad news is good news. Pengajaran justru melihat sisi-sisi positif dan menumbuhkannya, sehingga pembelajaran menarik minat siswa dan membuatnya memiliki passion kasmaran belajar.Mulai dari guru Dengan konsep dan kompetensi serta kreativitas guru yang baik, pembelajaran yang diharapkan Pak Menteri itu bisa dilakukan. Penulis, sepaham dengan banyak pakar yang menyatakan, tidak ada mata pelajaran yang jenuh, bikin bete, dan lain-lain; yang ada adalah guru dan cara mengajar yang membosankan.Jadi, perbaikan kualitas pendidikan kita bisa dimulai dari guru. Idealnya, sesuai UU Guru dan Dosen, seorang guru mesti memiliki 4 kompetensi, yaitu profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Sayangnya, di negeri kita, orang-orang terbaik dengan kompetensi tinggi malah tidak banyak yang bersedia menjadi guru. Malahan yang terjadi banyak orang menjadi guru karena tidak bisa menjadi yang lain. Ini yang membuat pendidikan kita tidak bisa mencerahkan dan menyenangkan. Wallahu a`lam.

A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA Jakarta

MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2015-06-06Sumber: http://widiyanto.com/pendidikan-yang-menyenangkan/#more-588

Pendidikan dan Rasa Keadilan

MARI kita tengok secara jernih, apa komentar para hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang terlibat dalam urusan hukum ketika suatu perkara telah diselesaikan di persidangan? Semuanya selalu berdalih, semua proses hukum telah berjalan dengan benar dan mewakili rasa keadilan pihak-pihak yang terlibat.Namun, mari kita uji ingatan tentang betapa pedihnya Nenek Minah di Purwokerto yang dituntut pengadilan karena mencuri tiga buah kakao milik suatu perkebunan di 2009.Pada 2011, seorang siswa SMK yang mencuri sandal jepit dua orang polisi, dituntut 5 tahun penjara.

Yang masih hangat ialah peristiwa Nenek Asyani yang terancam hukuman 5 tahun karena memindahkan beberapa kayu jati milik Perhutani, sementara ada aparat bernama Labora Sitorus yang juga ahli dalam memindahkan kayu dari hutan ke tengah kota, hingga memiliki rekening triliunan malah memperoleh surat pembebasan sementara. Betapa lucunya hukum di negeri ini. Rasa keadilan yang selalu digem bar-gemborkan para penegak hukum, justru mati rasa ketika berhadapan dengan ketidakberdayaan korban. Karena itu, pertanyaan lanjutannya ialah apakah benar para penegak hukum mempelajari betul arti dan makna `rasa keadilan ketika di bangku kuliah? Apakah ada mata kuliah `rasa keadilan dalam kurikulum pendidikan hukum kita?

Rasanya sulit untuk menemukan fakta bahwa para penegak hukum benar-benar telah mempelajari `rasa keadilan ketika mereka kuliah. Dalam struktur bangunan pendidikan hukum di Indonesia, tak ada mata kuliah yang berkaitan dengan `rasa keadilan di exercise secara kontekstual dalam perkuliahan mereka. Ini berarti diperlukan review kurikulum hukum di perguruan tinggi secara mendasar, termasuk menyusun silabus yang terintegrasi dengan sekolah tingkat menengah dan atas. Saya kira tak ada cara lain untuk mengajarkan sensitivitas anak agar di masa tuanya memiliki `rasa keadilan ialah dengan memberikan mereka pengajaran yang berorientasi kepada lingkungan sekitar mereka yang penuh ketidakadilan.Mengajarkan rasa keadilan Rasa keadilan tak muncul dari langit dengan tiba-tiba. Perlu proses panjang bagi seseorang untuk mencerna dan mempelajarinya. Jika kita menengok sejarah Nabi Muhammad SAW yang sering disebut sebagai nabi yang adil, mungkin tak banyak diceritakan dalam buku sejarah agama Islam tentang kegemaran Nabi mengunjungi Pasar Al-uqas sebagai tonggak dasar Nabi mempelajari keadilan dam kejujuran. Di dalam pasar, si kecil Muhammad sering melihat praktik-praktik ketidakadilan dan ketidakjujuran para pedagang yang mengorbankan kepercayaan orang lain.Patut diduga mengapa ketika dewasa, Muhammad dijuluki sebagai al-amin atau orang yang dapat dipercaya. Itu karena Nabi Muhammad SAW ditempa dengan kegemarannya mengobservasi pasar sebagai tempat untuk melihat ragam manusia berinteraksi.Karena itu, jika kita ingin mengajarkan rasa keadilan yang erat dengan kejujuran, tak usah ragu untuk menjadikan pasar sebagai laboratorium sosial bagi sekolah dan perguruan tinggi, karena di dalamnya banyak sekali terjadi peristiwa sosial, ekonomi, budaya, agama, hingga budaya yang tak ada dalam buku-buku teks sekolah dan perguruan tinggi. Sudah terbukti dalam sejarah, bahwa akibat kegemarannya mengobservasi pasar, Nabi Muhammad SAW tak pernah ragu untuk menunjukkan sikap tegas dan kejujurannya terhadap keadilan.

Keteladanan Nabi dalam menunjukkan rasa keadilan terekam secara jelas. Keadilannya dalam memimpin telah dicatat sebagai untaian butiran mutiara sejarah. Nabi Muhammad SAW tidak pandang bulu dalam menerapkan hukum dan menegakkan keadilan. Ketika seorang wanita kaya dan keturunan bangsawan mencuri dengan tegas diputuskan, wanita itu dihukum potong tangan.Bahkan, ketika famili kerabat wanita itu meminta tolong kepada Usamah bin Zaid, seorang di antara sahabat yang paling dicintai Rasulullah SAW untuk mohon keringanan hukuman, beliau pun marah.

Dari peristiwa tersebut, kemudian Nabi berpidato, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak lain yang membinasakan orang-orang terdahulu sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang di antara mereka mencuri mereka membiarkannya, dan jika orang yang lemah di antara mereka mencuri mereka menetapkan hukuman atasnya.Demi zat yang Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya.Keadilan Nabi Muhammad SAW juga disertai sikap belas kasihan pada satu kondisi dan menerapkan ketegasan di waktu lain. Dalam Perang Badar, Rasulullah SAW pernah mengampuni seorang kafir Quraisy bernama Abu Azza Jamahi yang tertawan dan berjanji tidak akan bergabung kembali dengan pasukan kaum musyrikin menentang Islam. Namun, dalam Perang Uhud, ia ikut barisan kaum musyrikin dan kembali tertawan. Akhirnya, beliau pun menjatuhkan hukuman mati untuk Jamahi.

Rasulullah SAW sangat berhati-hati dan memperhatikan kaumnya dalam memimpin. Ketika meluruskan barisan menghadapi peperangan, seorang sahabat bernama Sawad bin Ghaziyah tertonjok perutnya oleh tongkat Nabi. Sawad pun meminta `keadilan Rasulullah SAW. Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku dengan tongkatmu. Aku minta pembalasan dari engkau. Nabi Muhammad SAW pun tak segan-segan membuka jubahnya dan menyuruh Sawad membalas memukulnya. Namun, apa yang terjadi? Sawad memeluk dan mencium pundak Rasulullah sambil menangis tersedu-sedu. Contoh dan keteladan seperti ini penting untuk diingatkan kembali kepada para penegak hukum kita agar kembali meneladani Nabi Muhammad SAW, karena hidup tak melulu berurusan dengan aspek materi dan duniawi. Akan ada pertanggung jawaban hakiki yang akan dimintakan Tuhan terhadap kita semua, yaitu agar kita mampu berbuat dan kebaikan secara bersamaan. Innallaha yamurukum bil `adl wal ihsan, seperti kerap kita dengar dari para khatib ketika mengakhiri khotbah Jumat. Semoga para penegak hukum kita dapat mendengar kembali suara hati mereka secara jernih dan jujur, agar rasa keadilan selalu menjadi bagian paling besar dari para penegak hukum kita dalam mengambil dan memutuskan sebuah perkara.

Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta

MEDIA INDONESIA, 06 April 2015Sumber : http://widiyanto.com/pendidikan-dan-rasa-keadilan/#more-582

Harapan Baru Setelah Rezim UN

Rezim ujian standar pendidikan secara nasional, secara singkat kita sebut UN, sudah berkuasa dalam beberapa dekade di Indonesia. Menteri datang dan pergi silih berganti, kurikulum berubah dari bandul satu ke bandul yang lain, tetapi semua takluk pada rezim ini.

Rezim UN sangat berpengaruh dalam mengatur mobilitas sosial dan ekonomi para siswa dari berbagai jenjang. Tak mengherankan, kesakrakalannya harus dijaga sebagai Rahasia Negara, diinapkan di kantor polisi sebelum diberikan kepada siswa, bahkan Densus Anti Teror pun ikut terlibat mengawalnya. Namun, sebuah rezim yang begitu berkuasa tiba-tiba runtuh terkulai di tangan pemerintahan baru yang menyatakan UN bukan satu-satunya alat menentukan kelulusan siswa, melainkan sarana pemetaan untuk membantu menyusun kebijakan. Reaksi beragam pun mulai muncul.

Seorang kepala sekolah mengeluhkan anak didiknya yang tidak lagi bersemangat belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi UN (Kompas, 26 Januari 2015). Para kepala daerah kehilangan mainan untuk membuktikan kepada publik keberhasilan program pendidikan mereka. Para guru kebingungan bagaimana membuat siswa mereka disiplin sampai ada oknum yang bertindak ekstrem dengan menghukum siswanya hingga meninggal hanya karena tak mengerjakan pekerjaan rumah. Saat tawuran pelajar kembali merebak dan melibatkan siswa-siswa senior, ketiadaan UN pun dijadikan sebagai kambing hitam.Jati diri sekolahInilah situasi masyarakat yang disebut sosiolog terkemuka, Emile Dukheim (1897), sebagai situasi anomie, di mana tatanan baru belum terbentuk dengan sempurna dan banyak pihak yang menginginkan kembali pada tatanan lama dengan iming-imingEnak jamanku tho, le? (Lebih enak di zaman saya kan, Nak?) Dalam situasi yang masih galau inilah, perlu keteguhan hati dari segenap jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengantar segenap pemangku kepentingan dunia pendidikan dalam visi yang sama.

Filsuf Driyarkara (1950) dengan lugas menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan memiliki peran yang sama dengan institusi sosial lain seperti keluarga, kelompok agama, dan kelompok masyarakat, dalam membentuk para manusia muda ini sehingga menjadi manusia yang utuh.

Untuk jadi manusia yang utuh, para siswa ini terlibat dalam proses pembelajaran bersama dengan para guru mereka, baik sebagai mentor ataupun fasilitator. Namun, rezim UN sudah mereduksi sekolah jadi tempat persiapan ujian, yang secara substansif tidak berbeda dengan sejumlah lembaga bimbingan belajar yang selalu tumbuh bak jamur di musim hujan menjelang UN atau ujian standar lain.Rezim UN sudah membuat para manusia muda ini hanya dihargai sebatas nilai-nilai kuantatif semata. Sungguh sebuah degradasi eksistensi yang begitu rendah atas diri manusia-manusia muda ini. Padahal, dalam dunia nyata, seorang Rudi Hartono yang juara badminton; Rudy Hadisuwarno yang penata rambut atau Rudi Salam yang aktor tidak lebih rendah kemanusiwiannya bahkan kecerdasannya dibandingkan dengan Rudi Habibie yang bisa merancang pesawat.

Membandingkan para Rudi muda ini dalam sebuah penggaris yang sama jelas bukan merupakan tujuan membangun sekolah. Apalagi, rezim UN sudah mengabaikan keanekaragaman situasi sosial ekonomi di Indonesia dengan memakai Jawa perkotaan sebagai standar yang harus diikuti semua wilayah di Indonesia. Karena itu, penghilangan kekuasaan UN sebagai penentu kelulusan siswa jelas mengembalikan sekolah pada jati diri sesungguhnya.Seiring pudarnya kekuasaan rezim UN, peran guru jadi sangat penting dalam memanusiakan para manusia muda ini. Pada APBN tahun ini saja, pemerintah dan DPR sudah menggelontorkan dana lebih dari Rp 60 triliun hanya untuk menambah tebal dompet para guru lewat dana sertifikasi guru sehingga bisa fokus untuk membimbing anak didik mereka. Kebijakan ini harus dibalas oleh para guru dengan menunjukkan kinerja yang semakin profesional.Guru dan multi-kecerdasanRuntuhnya rezim UN harus disambut gembira para guru bidang studi yang selama ini disepelekan siswa karena tidak masuk dalam materi UN, seperti Pendidikan Seni dan Pendidikan Jasmani. Pada masa rezim UN masih berkuasa, pemerintah begitu giat membuktikan keberhasilan pendidikan kita dengan mengirimkan para siswa pilihan untuk mengikuti berbagai olimpiade Matematika dan Sains tingkat internasional.

Akan tetapi, usaha ini tidak lengkap dan cenderung mengistimewakan guru dan mata pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Padahal, pandangan sempit ini sudah ditentang oleh pemikiran Howard Gardner (1983) tentang multiple intelligencesyang menguraikan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ yang mendasarkan dari logika matematika dan bahasa, tetapi juga meliputi segenap aspek kemanusiaan yang lain, seperti kecerdasan kinestetik tubuh, musik, ruang-visual, alam, interpersonal, dan intrapersonal.Dengan pemahamanmultiple intelligenceini, para siswa, guru, dan orangtua akan menyambut datangnya hari konser atau invitasi olahraga sekolah seperti mereka mempersiapkan UN. Untuk itu, para siswa akan bergairah mengasah kecerdasan musik mereka dalam paduan suara, band maupun orkes simfoni. Demikian juga dalam bidang olahraga, para siswa melatih diri mengembangkan kecerdasan kinektetik tubuh saat mengocek bola atau mengayunkan raket badminton.Saat hari konser atau pertandingan tiba, mereka semua memang merasakan kekhawatiran, apakah para siswa itu akan tampil dengan prima seperti yang selama ini dilatihkan, tetapi ada kegembiraan saat melihat para tunas-tunas muda ini tampil memainkan alat musik dengan percaya diri atau bersalaman dengan satria saat timnya belum meraih kemenangan. Inilah perwujudan revolusi mental yang tidak harus disampaikan dengan kata-kata sampai berbusa-busa.

Runtuhnya rezim UN juga memberi kesempatan pada para guru-guru bahasa dan ilmu sosial dalam mempertinggi daya intelektualitas anak dalam hierarki pemikiran yang tinggi, seperti melakukan analisis, sintesis, dan berpikir kritis. Rezim UN jelas tak akan mampu mengolah hal ini mengingat hanya ada satu jawaban benar dari soal pilihan ganda, padahal dalam hidup tiada jawaban tunggal atas persoalan kemanusiaan.

Hilangnya pengaruh UN juga bukan musibah untuk para guru matematika dan ilmu alam, tapi justru memperkaya pengajaran mereka selama ini. Dalam pengamatan penulis terhadap para siswa Indonesia jenjang pendidikan menengah dan dasar yang mendapat kesempatan pendidikan di Amerika, mereka tampak sangat hafal dengan rumus dan bisa menyelesaikan soal hitungan dengan lebih cepat dibanding rekan sejawatnya. Akan tetapi saat mereka harus mengaplikasikan rumus tersebut dalam soal seperti dalam kehidupan sehari-hari, mereka gagap.

Dengan kesadaran akanmultiple intelligenceini, para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia hendaknya mulai melihat bahwa patahnya sayap UN bukanlah malapetaka. Justru runtuhnya kemahakuasaan UN ini akan membawa perspektif baru yang semakin luas bagi siswa, guru, orangtua dan segenap masyarakat bahwa kemajuan bangsa di masa depan akan kian cerah.

Y Nugroho Widiyanto ; Kandidat Doktor Ohio State University; Dosen FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

KOMPAS, 02 April 2015http://widiyanto.com/harapan-baru-setelah-rezim-un/

KLIPING ARTIKEL PENDIDIKAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat PendidikanDosen pengampu : Drs. Akhmad Junaedi, M.Pd

Disusun oleh :Dini Anggun Puspita (1401412375)Rombel 6A

JURUSAN PGSDFAKULTAS ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS NEGERI SEMARANG2015