artikel

53
Kebakaran Hutan Ancam Populasi Satwa Liar Rabu, 21 Oktober 2015 14:44 Editor: Arief Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/2015/10/21/kebakaran- hutan-ancam-populasi-satwa-liar TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, BOGOR - Kebakaran hutan yang saat ini terjadi di banyak wilayah Nusantara, sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwa liar. Pakar Satwa Liar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ani Mardiastuti mengatakan, ujung dari bencana ini adalah punahnya satwa liar. "Kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian langsung satwa liar. Mereka terbakar api dan kekurangan oksigen akibat menghirup asap pembakaran," kata dia, Rabu (21/10/2015). "Kita bisa menjumpai bangkai serangga, kucing hutan, ayam hutan, landak, trenggiling dan sebagainya di sekitar area kebakaran," kata Ani lagi. "Bahkan pernah dijumpai bangkai orang utan terbakar di pohon," sambungnya.

Upload: margareth-clairine

Post on 15-Apr-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

artikel konservasi wonorejo

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel

Kebakaran Hutan Ancam Populasi Satwa Liar

Rabu, 21 Oktober 2015 14:44

Editor: Arief

Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/2015/10/21/kebakaran-hutan-ancam-populasi-satwa-

liar

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, BOGOR - Kebakaran hutan yang saat ini terjadi di banyak

wilayah Nusantara, sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup satwa liar. 

Pakar Satwa Liar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ani Mardiastuti mengatakan, ujung

dari bencana ini adalah punahnya satwa liar.

"Kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian langsung satwa liar. Mereka terbakar api dan

kekurangan oksigen akibat menghirup asap pembakaran," kata dia, Rabu (21/10/2015).

"Kita bisa menjumpai bangkai serangga, kucing hutan, ayam hutan, landak, trenggiling dan

sebagainya di sekitar area kebakaran," kata Ani lagi. 

"Bahkan pernah dijumpai bangkai orang utan terbakar di pohon," sambungnya.

Ani mencontohkan, populasi Harimau Sumatera yang dulu ribuan, kini dalam beberapa tahun

terakhir menurun menjadi 400 sampai 500 ekor saja.

“Sekarang, ditambah dengan adanya kebakaran hutan di Jambi, Riau dan Sumatera Selatan,

jumlah populasinya pasti kian menurun," kata Ani.

Menurut dia, satwa liar mempunyai manfaat yang tidak bisa dipandang remeh. Satwa liar

berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem alam. Jika populasinya menurun, keseimbangan alam

pasti terganggu. 

Beberapa hewan seperti serangga dan kelelawar berfungsi sebagai polenator atau membantu

proses penyerbukan tanaman. Dengan kepunahan hewan tersebut, dikhawatirkan produksi

pangan turun. 

Page 2: Artikel

“Khusus di area kebakaran, bila sekiranya dijumpai satwa liar yang berkeliaran hendaknya

dihalau saja. Jangan diganggu, kalau mereka tidak mengganggu," kata dia.

Page 3: Artikel

WWF: Kebakaran Hutan Ancam Kepunahan Satwa

Dilindungi

Tanggal: 13 October 2014 19:04

Penulis: Fazar Muhardi

Sumber: www.antarariau.com/berita/43986/wwf:-kebakaran-hutan-ancam-kepunahan-satwa-

dilindungi

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi secara terus

menerus di Provinsi Riau dapat mengancam percepatan punahnya satwa-satwa dilindungi seperti

gajah dan harimau, demikian Organisasi World Wide Fund (WWF).

"Salah satu dampak akibat kebakaran yang terus marak, adalah menyempitnya habitat sehingga

potensi konflik antara manusia dengan satwa dilindungi itu semakin tinggi," kata Humas WWF

Riau, Syamsidar kepada Antara di Pekanbaru, Senin.

Menurut dia, jika penyempitan habitat terjadi secara terus menerus, maka hewan yang memiliki

daya jelajah jauh seperti gajah dan harimau akan memaksa keluar.

Syamsidar mengatakan, kebanyakan habitat gajah dan harimau yang sebelumnya merupakan

hutan alam, beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan hutan tanam industri, hal itu yang

pada akhirnya menyebabkan konflik dengan manusia.

"Karena mereka masih menganggap kawasan HTI dan perkebunan yang telah digarap manusia

itu masih merupakan kawasan jelajah mereka," katanya.

Setiap tahun sejak 17 tahun silam, kebakaran hutan dan lahan terjadi secara terus menerus,

menyebabkan jutaan hektare hutan kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan

HTI.

Tahun ini, demikian Syamsidar, tingkat kematian gajah bahkan meningkat tajam seiring dengan

maraknya peristiwa kebakaran hutan dan lahan.

Page 4: Artikel

WWF menyatakan sepanjang 2012 hingga 2014 telah ada sebanyak 43 kasus pembunuhan gajah

Sumatera liar di Provinsi Riau namun belum juga terungkap, sehingga dikhawatirkan akan makin

mempercepat laju berkurangnya populasi satwa dilindungi itu menuju kepunahan.

Menurut data WWF Riau, kasus pembunuhan gajah Sumatera liar pada 2012 yang belum

terungkap mencapai 15 kasus. Pada 2013, jumlahnya juga tinggi yakni mencapai 14 kasus

dimana 13 kematian gajah terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

Sedangkan, pada 2014 jumlahnya makin meningkat karena pada kurun Januari-Maret sudah

ditemukan 14 kasus pembunuhan gajah.          

Bahkan, satu kasus kematian terjadi dalam proses relokasi gajah liar dari habitatnya di hutan

Kabupaten Rokan Hulu ke Pusat Konservasi Gajah di Minas, Kabupaten Siak pada 1 Januari

lalu.

Sementara itu, satu kasus pembunuhan gajah ditemukan di konsesi perusahaan industri

kehutanan di daerah Duri, Kabupaten Bengkalis. Kemudian, 11 kasus kematian gajah juga

ditemukan di konsesi perusahaan di Kabupaten Pelalawan dimana belasan gajah mati baru

ditemukan ketika sudah dalam wujud kerangka.

Selain itu, satu gajah yang dipasang kalung GPS juga mati di Taman Nasional Tesso Nilo pada

Maret.

Syamsidar mengatakan, populasi gajah berdasarkan estimasi tahun 2009 di Riau mencapai 150-

200 ekor.

Namun, kata dia, jumlah itu kemungkinan besar berkurang jauh karena tingginya kasus

pembunuhan gajah pada tiga tahun terakhir.

Sementara itu berkaitan Harimau Sumatera, dia mengatakan WWF mengalami kesulitan dalam

menghitung populasi hewan dilindungi itu.

WWF Indonesia mulai menghitung populasi harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) sejak

tahun 2004 dan berdasarkan data kasar yang mereka peroleh dari tahun 1994, terdapat sekitar

400 ekor.

Page 5: Artikel

Sementara itu, berdasarkan Tiger Summit tahun 2010 di St. Petersburg, Rusia, negara-negara di

dunia yang memiliki harimau memperkirakan populasi harimau dunia berjumlah kurang dari

3.200 ekor. Harimau secara alami relatif berumur pendek dengan tingkat produktivitas tinggi

sehingga ketika survei, WWF harus memastikan tidak ada kelahiran, kematian dan migrasi.

Page 6: Artikel

Populasi harimau Sumatera masuki tahap kritis

Jerome Wirawan BBC Indonesia

5 Februari 2015

Sumber:

http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/02/150205_harimau_sumatera_lingkungan

Penurunan populasi satwa langka di Asia sudah memasuki tahap kritis. Di Indonesia, jumlah

harimau Sumatera hanya tersisa kurang dari 400 ekor, meski langkah pemerintah untuk

menaikkan populasi harimau sudah dimulai sejak 2010 lalu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara berkala, lembaga konservasi lingkungan hidup

World Wildlife Fund, WWF, memprediksi jumlah harimau Sumatera terus menurun. Tanda-

tanda penurunan populasi harimau tampak di beberapa daerah di Sumatera, terutama di wilayah

Riau.

Koordinator Konservasi Gajah dan Harimau WWF Indonesia, Sunarto, mengatakan populasi

harimau di wilayah Riau utara dulu cukup padat. Namun, saat ini boleh dibilang tidak ada,

kecuali di satu blok hutan yang relatif kecil di Senepis.

Kemudian di bagian selatan yang mengalami deforestasi sangat hebat, termasuk di daerah Tesso

Nilo, populasi harimau yang ditemukan akhir-akhir ini sangat sedikit.

“Ini indikasi kuat bahwa harimau mengalami penurunan atau justru menghilang di tempat-tempat

yang habitatnya rusak atau terfragmentasi,” kata Sunarto.

Perambahan hutan

Penyebab penurunan populasi harimau di Sumatera, menurut Sunarto, cukup beragam. Namun,

yang utama ialah perambahan hutan dan konversi lahan ke perkebunan sawit.

Page 7: Artikel

Hal ini diamini Rusmadya Maharuddin, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia. Khusus di

Riau, menurutnya, perambahan hutan dan konversi lahan terjadi di Senepis, Rimbang Baling,

dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Laju deforestasi tersebut praktis menghancurkan habitat

alami harimau dan satwa lainnya.

Soal deforestasi hutan pernah ditelaah mantan peneliti di Kementerian Kehutanan dan kini

bekerja di Universitas Maryland, Amerika Serikat, Belinda Margono. Dia menyebutkan

Indonesia mengalahkan angka deforestasi Brasil seluas 460.000 hektare, setahun setelah

moratorium penebangan hutan diberlakukan. Namun, Kementerian Kehutanan mengatakan laju

deforestasi jauh lebih kecil dibandingkan hasil penelitian tersebut.

“Kalau kita lihat di Sumatera, hutannya hanya tersisa 25% hingga maksimum 27%. Kemudian

populasi harimau di bawah 400 ekor. Ini dua angka yang saling terhubung,” kata Nyoman

Iswarayoga, direktur WWF Indonesia.

Image caption Aksi perambahan hutan dan ulah pemburu menjadi faktor penyebab penurunan

populasi harimau.

Ulah pemburu

Selain perambahan hutan, perburuan juga memiliki dampak negatif bagi populasi harimau.

Koordinator Konservasi Gajah dan Harimau WWF Indonesia, Sunarto, mengaku kerap

menemukan jerat yang khusus digunakan memerangkap harimau. Lalu ada pula jerat untuk

satwa mangsa harimau.

“Harimau itu unik dalam artian bobot hewan buruannya di atas 20 kilogram, seperti rusa, kijang,

dan babi hutan. Kalau satwa-satwa itu semakin langka, harimau sulit untuk mendapat mangsa

dan populasinya pun terancam,” kata Sunarto.

Penurunan populasi harimau di Sumatera, terutama di Riau, terjadi meski pemerintah telah

mencanangkan upaya menaikkan jumlah hewan tersebut sejak 2010. Sebagai gambaran peliknya

upaya tersebut, luas hutan di Riau mencapai ratusan ribu hektare yang harus dijaga segelintir

petugas.

Page 8: Artikel

“Kita punya 426.000 hektare. Hutan di Rimbang Baling saja 90-an ribu hektare. Sedangkan

jumlah polisi hutan tidak sebanding dengan luas kawasan,” kata Kamal Amas, kepala Balai

Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau.

Page 9: Artikel

KEBAKARAN HUTAN ANCAM POPULASI

ORANG UTAN

06 Oct 2015 // 07:30 // DAERAH, HEADLINE, PERISTIWA

Sumber: http://suarakawan.com/kebakaran-hutan-ancam-populasi-orang-utan/

JAKARTA (suarakawan.com) – Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatera, Riau dan

Kalimantan bisa menyebabkan punahnya spesies orang utan di daerah tersebut.

“Diperkirakan spesies seperti orang utan itu akan punah, karena mereka kan bergantung pada

pohon dan biji-bijian serta binatang-binatang kecil untuk makan. Jadi kalau terjadi kebakaran

yang memusnahkan sumber pangan mereka, kemungkinan mereka juga akan terdampak,” kata

Rosihan Ubaidillah, Kepala Laboratorium Entomologi LIPI, seperti ditulis Selasa (6/10).

Rosihan menambahkan, bukan hanya orang utan yang terancam punah, namun beberapa spesies

binatang lain yang belum terinventarisir dengan baik bisa jadi punah tanpa diketahui.

“Baseline studi kita masih sangat lemah jadi mungkin bahkan binatang yang kita tidak tahu pun

bisa jadi sudah punah. Beberapa jenis serangga kecil-kecil itu bisa jadi sudah hilang,” katanya.

Rosihan mencontohkan, untuk invertebrata saja, Indonesia baru mampu menginventarisir kurang

dari 10 persen jumlah spesies yang ada. Padahal jumlah invertebrata di Indonesia sangat banyak

jumlahnya.

“Makanya kita kejar-kejaran untuk invetarisasir kekayaan biodiversity kita kalau ada musibah

kebakaran begini,” katanya.

“Semua binatang immobile atau yang pergerakannya lamban pasti punah. Kalau burung sudah

pasti bisa terbang. Tapi binatang tanah, mikroba yang berpotensi untuk dijadikan obat akan

musnah,” kata dia.

Akibatnya, kata Rosihan, saat spesies tersebut diperlukan untuk kesejahteraan umat manusia

seperti obat-obatan, maka kita sudah tidak akan mempunyai sumber daya lagi.

Page 10: Artikel

“Kenapa kita lambat dalam inventarisir? Itu karena kita terbentur teknologi untuk inventarisir,

makanya kita menjalin kerjasama dengan negara lain. Jujur kalau masalah teknologi kita masih

kalah sama mereka tapi soal kekayaan alam kita luar biasa banyaknya,” pungkasnya. (ant/rur)

Page 11: Artikel

Harimau Sumatera Hampir Punah, Balitbang

Bengkalis Teken Perjanjian Kerjasama dengan

BBKSDA Riau

Rabu, 29 Juli 2015 12:55 WIB

Sumber: http://www.goriau.com/berita/lingkungan/harimau-sumatera-hampir-punah-balitbang-

bengkalis-teken-perjanjian-kerjasama-dengan-bbksda-riau.html

BENGKALIS, GORIAU.COM - Pemerintah kabupaten Bengkalis melalui Badan Penelitian

dan Pengembangan (Balitbang), Selasa (28/7/2015) kemarin meneken perjanjian kerjasama

tentang penelitian dan pengembangan dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam

(BBKSDA) Riau dibawah pengawasan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik

Indonesia di Jakarta.

Perjanjian ini dalam rangka penguatan fungsi Suaka Margasatwa (SM) Bukit Batu yang masuk

dalam kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil- Bukit Batu (CB GSK-BB) di kabupaten

Bengkalis. Kepala Balitbang kabupaten Bengkalis DR Sopyan Hadi SPi MT langsung

menandatangani perjanjian tersebut dengan Kepala BBKSDA Riau Ir Kemal Amas MSc di

gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

"Balitbang dalam hal ini memiliki tujuan dan fungsi organisasi, untuk menggali ilmu

pengetahuan dalam penguatan fungsi di cagar biosfer akan melakukan rencana keterpaduan aksi

riset implementasi penangkaran semi alami harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) Tiger

Sanctuary Zone Cagar Biosphere SM Bukit Batu," ungkap Sopyan Hadi kepada GoRiau.com,

Rabu (29/7/2015) siang.

Lanjut Kepala Balitbang kabupaten Bengkalis juga dikenal sebagai pemerhati lingkungan dan

perintis penangkaran penyu di pulau Jemur, bahwa kerjasama riset ini didasari atas keberadaan

Cagar Biosfer dan keunikan harimau sumatera yang ada di Riau. Dimana dalam kondisi belum

dioptimalkan sebagai sumber ilmu pengetahuan alam tropis terbesar di dunia dan kondisinya

semakin memprihatinkan.

Page 12: Artikel

"Kritisnya populasi harimau Sumatera di dunia sudah masuk katagori 1 dan dikhawatirkan akan

segera punah. Oleh sebab itu perlu keterpaduan seluruh stake holder dan pencinta ilmu

pengetahuan serta lingkungan untuk sama-sama mendukung dan memperkuat kerjasama Tiger

Sanctuary Zone Cagar Visioner GSK-BB ini," ujarnya.

Menurut penerima penghargaan lingkungan KEHATI dan Setia Lestari Bumi tingkat nasional

ini, jangan sampai rencana ini terlambat dan hanya sebagai kenangan yang tidak dapat

diwariskan dan dilihat kelak hingaa anak cucu.

"Munculnya konflik habitat antara satwa khususnya harimau dengan manusia di beberapa

wilayah yang ada di kabupaten Bengkalis, perlu dilakukan upaya penyiapan tempat rehabilitasi

yang layak secara alamiah, seperti semi captive breeding dalam perlindungan harimau 

kedepannya," katanya lagi.

Tujuan yang mendesak dari konservasi harimau, bagi Sopyan Hadi adalah untuk  mengatasi

penurunan populasi harimau melalui strategi konservasi dengan metode penangkaran untuk

keperluan re-stocking populasi di alam melalui riset beberapa model dan ilmu pengetahuan

penangkaran harimau Sumatera di Indonesia.

"Model tempat penangkaran ini juga diharapkan dapat menjadi center of excelence  studi

harimau Sumatera di Asia, yang keberadaannya satu-satunya berada di Riau yang sudah

mendunia," tutup Sopyan Hadi menjelaskan kepada GoRiau.com.(ric)

Page 13: Artikel

Populasi Harimau Sumatera Susut, 6 Kota

Kampanyekan Penyelamatan

By Reza Perdana

on 09 Agu 2015 at 19:31 WIB

Sumber: http://news.liputan6.com/read/2289745/populasi-harimau-sumatera-susut-6-kota-

kampanyekan-penyelamatan

Liputan6.com, Medan - Prihatin dengan kian menurunnya jumlah harimau sumatera, sejumlah

elemen masyarakat menggelar kampanye memperingati Global Tiger Day atau Hari Harimau

Sedunia di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara hari ini. Selain di Medan, kegiatan ini

serentak dihelat di 6 kota di Indonesia.

Menurut Ketua Forum HarimauKita, Yoan Dinata, menurunnya jumlah harimau sumatera

(Panthera tigris sumatrae) yang dalam data International Union for Conservation of Nature

(IUCN) tinggal 400-600 ekor, dikategorikan kritis dalam kepunahan daftar merah. Hal ini karena

semakin berkurangnya luasan hutan sebagai habitatnya.

Berdasarkan penelitian yang dipimpin Margono pada 2014, dalam rentang 2000-2012, ada

sekitar 2,8 juta hektare habitat harimau yang hilang. Itu sama dengan 590 hektare per hari atau

setara 900 kali lapangan sepak bola.

Ini adalah kali ketiga anak harimau Sumatera lahir di Kebun Binatang Chester, Inggris.

Berkurangnya luas hutan karena beruubah menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman

industri untuk bahan baku kertas, mebel, juga perambahan liar.

"Harimau sumatera merupakan jenis harimau terakhir yang masih tersisa di Indonesia setelah

punahnya harimau jawa dan harimau bali pada 1940-an dan 1980-an yang mana oleh pemerintah

dilindungi melalui UU RI No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya," ucap Margono di Medan, Minggu (9/8/2015).

Page 14: Artikel

"Kami mengajak masyarakat untuk ambil bagian melindungi harimau sumatera dengan menjaga

dan melestarikan habitatnya," sambung Margono.

Page 15: Artikel

A. Orangutan Sumatera

Nama latin: Pongo abelii

Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam di antara dua spesies

orangutan yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan 'saudaranya' di Borneo, orangutan

Sumatera mempunyai perbedaan dalam hal fisik maupun perilaku. Spesies yang saat ini hanya

bisa ditemukan di propinsi-propinsi bagian utara dan tengah Sumatera ini kehilangan habitat

alaminya dengan cepat karena pembukaan hutan untuk perkebunan dan pemukiman serta

pembalakan liar.

Terdapat 13 kantong populasi orangutan di pulau Sumatera. Dari jumlah tersebut

kemungkinan hanya tiga kantong populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong

populasi terdiri dari 250 lebih individu. Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan

kehilangan 10-15% habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan

berkurang dengan cepat.

Menurut IUCN, selama 75 tahun terakhir populasi orangutan Sumatera telah mengalami

penurunan sebanyak 80%. Dalam kurun waktu 1998 da 1999, laju kehilangan tersebut dilaporkan

mencapai sektar 1000 orangutan per tahun dan terdapat di Ekosistem Leuser, salah satu luasan

hutan terbesar di bagian utara Pulau Sumatera. Saat ini populasi orangutan Sumatera

diperkirakan hanya tersisa sekitar 6.500-an ekor (Rencana Aksi dan Strategi Konservasi

Orangutan, Dephut 2007) dan dalam IUCN Red List edisi tahun 2002, orangutan Sumatera

dikategorikan Critically Endangered atau sudah sangat terancam kepunahan.

Ciri-ciri Fisik

Kebalikan dari orangutan Borneo, orangutan Sumatera mempunyai kantung pipi yang

panjang pada orangutan jantan. Panjang tubuhnya sekitar 1,25 meter sampai 1,5 meter. Berat

orangutan dewasa betina sekitar 30-50 kilogram, sedangkan yang jantan sekitar 50-90 kilogram.

Bulu-bulunya berwarna coklat kemerahan.

Page 16: Artikel

Jantan dewasa umumnya penyendiri sementara para betina sering dijumpai bersama

anaknya di hutan. Rata-rata setiap kelompok terdiri dari 1-2 orangutan dan kedua jenis kelamin

mempunyai daya jelajah sekitar 2-10 kilometer yang banyak bertumpang tindih tergantung pada

ketersediaan buah di hutan. Setelah disapih pada umur 3,5 tahun, anak orangutan akan

berangsur-angsur independen dari induknya setelah kelahiran anak yang lebih kecil. Orangutan

Sumatera betina mulai berproduksi pada usia 10-11 tahun, dengan rata-rata usia reproduksi

sekitar 15 tahun.

Pola Makan

Sekitar 60% makanan orangutan adalah buah-buahan seperti durian, nangka, leci,

mangga dan buah ara, sementara sisanya adalah pucuk daun muda, serangga, tanah, kulit pohon

dan kadang-kadang telur serta vertebrata kecil. Mereka juga tidak hanya mendapatkan air dari

buah-buahan tetapi juga dari lubang-lubang pohon. Orangutan Sumatera diketahui menggunakan

potongan ranting untuk mengambil biji buah. Hal ini menunjukkan tingkat intelegensi yang

tinggi pada orangutan Sumatera.

Ancaman

Ancaman terhadap populasi orangutan Sumatera mencakup hilangnya habitat hutan yang

menjadi perkebunan sawit, pertambangan, pembukaan jalan, legal dan illegal logging, kebakaran

hutan dan perburuan.

Penurunan dan Hilangnya Habitat

Habitat orangutan di Sumatera menghilang dengan sangat cepat. Di Sumatera Utara,

diperkirakan tutupan hutan telah berkurang dari sekitar 3,1 juta hektar di tahun 1985

menjadi 1,6 juta hektar pada 2007. Sebaran orangutan di masa yang lalu diperkirakan

hingga ke Sumatera Barat (Yeager, 1999), tetapi saat ini sebaran orangutan di habitat

aslinya hanya terdapat di Aceh dan Sumatera Utara serta areal reintroduksi orangutan di

perbatasan Jambi dan Riau.

Sebuah rencana untuk membangun jalan besar melalui Ekosistem Leuser di bagian utara

Sumatera saat ini mengancam habitat orangutan. Jalan raya ini setidaknya akan

Page 17: Artikel

memotong Ekosistem Leuser di sembilan tempat dan unit-unit habitat tambahan

orangutan di bagian utara yang lebih jauh. Diperkirakanjika jalan raya tersebut dibuat

melintasi kawasan hutan, penebangan liar pun akan semakin meluas sehingga

meningkatkan ancaman terhadap habitat orangutan Sumatera. 

Perburuan

Meskipun telah dilindungi oleh hukum di Indonesia sejak 1931, perdagangan liar

orangutan untuk dijadikan hewan peliharaan merupakan salah satu ancaman terbesar bagi

satwa langka ini. Saat ini di beberapa lokasi di sumatera utara dilaporkan telah terjadi

konflik antara orangutan dan manusia akibat adanya pembukaan hutan alam untuk

pengembangan perkebunan kelapa sawit di habitat atau wilayah jelajah orangutan. Akibat

fatal biasanya menimpa orangutan.

Upaya yang dilakukan WWF

WWF-Indonesia membantu Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen

Pekerjaan Umum dan Departemen Kehutanan dalam mengembangkan Rencana Tata Ruang

Berbasiskan Ekosistem Pulau Sumatera, sebagai upaya penyelamatan sebagai restorasi hutan

tersisa di Sumatera. WWF juga bekerjasama dengan berbagai pihak untuk melindungi lansekap

hutan yang tersisa di Bukit Tiga Puluh dan Jambi di mana lansekap tersebut juga merupakan

areal introduksi orangutan Sumatera di alam.

WWF Indonesia juga bekerja bersama sejumlah LSM yang bergerak di bidang

pelestarian orangutan dalam mempublikasikan panduan teknis Penanganan Konflik Manusia dan

Orangutan di Dalam dan Sekitar Perkebunan Kelapa Sawit. Dokumen tersebut dimaksudkan

untuk membantu sektor industri dalam mengidentifikasi dan menentukan langkah-langkah yang

tepat untuk mengadopsi praktik-praktik pengelolaan yang lebih baik (Beter Management

Practices/BMP) yang bermanfaat bagi konservasi dan industri. WWF juga terlibat secara aktif

dalam pengembangan Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Orangutan yang dirilis oleh

Presiden RI tahun 2007.

Page 18: Artikel

Pongo abelii 

Taxonomy [top] Kingdom Phylum Class Order Family

Animalia Chordata Mammalia Primates Hominidae

Scientific Name:

Pongo abelii

Species Authority:

Lesson, 1827

Common Name(s):

English – Sumatran Orangutan

French – Orang-outan De Sumatra

Taxonomic Notes:

Historically, the Sumatran and Bornean Orangutans were considered subspecies of Pongo pygmaeus (e.g., Courtenay et al. 1988, Rijksen and Meijaard 1997). Recent taxonomic reviews (Groves 2001, Brandon-Jones et al. 2004) support the acceptance of the Sumatran Orangutan (Pongo abelii) as distinct from its Bornean relative (Pongo pygmaeus). This classification has since been widely adopted (e.g., Singleton et al. 2004).

Assessment Information [top] Red List Category & Criteria: Critically Endangered A2cd ver 3.1

Year Published: 2008

Date Assessed: 2008-06-30

Assessor(s): Singleton, I., Wich, S.A. & Griffiths, M.

Page 19: Artikel

Reviewer(s):Mittermeier, R.A. & Williamson, E.A. (Primate Red List Authority)

Justification:There has been an estimated decline of over 80% over the last 75 years (assuming a generation length of at least 25 years; Wich et al. in press). This decline continues, as forests within its range are under major threat. Most orangutans are outside of protected areas, including within potential logging areas and conversion forests. After a period of relative stability, pressure on these forests is increasing once again as a result of the recent peace accord, and a dramatic increase in demand for timber and other natural resources after the December 2004 tsunami.

Previously published Red List assessments:

2007 – Critically Endangered (CR)

2000 – Critically Endangered (CR)

Geographic Range [top]

Range Description:

Pongo abelii is endemic to the island of Sumatra, Indonesia. It is generally restricted to the north of the island, north of the Batang Toru river on the west coast of North Sumatra province (Wich et al. 2003). It was once far more widespread and populations occurred as far south as Jambi and Padang up until at least the mid 1800s (see Rijksen 1978). There were reports of its existence in some parts of West Sumatra province as recently as the 1960s. However, surveys by Wich et al. (2003) found no evidence of their continuing survival south of the Batang Toru river.

The majority of wild Sumatran orangutans survive in the province of Aceh (more formally known as Nanggroe Aceh Darussalam, or NAD), at the northernmost tip of the island. There are populations within North Sumatra province, but the largest of these also straddles the border with Aceh. Only two potentially viable populations lie entirely within North Sumatra province: West Batang Toru and East Sarulla, both near, but south-west of lake Toba (for precise locations see Singleton et al. 2004).

Within Aceh, almost all remaining forest patches of any size still harbour orangutans at the lower altitudes, but there are few, if any reproducing populations in the large tracts of forest above 1,000 m asl.

Countries occurrence:

Native:

Indonesia (Sumatera)

Range Map: Click here to open the map viewer and explore range.

Population [top] Population: The most recent estimate for Pongo abelii is around 7,300 (Singleton et al. 2004),

Page 20: Artikel

occupying forests that cover 20,552 km², but of which only those regions below 1,000 m asl (circa 8,992 km²) harbour permanent orangutan populations. Each population listed in Table 1 (Supplementary Material) is considered to comprise a single contiguous population, but increasing fragmentation may result in further subdivisions in the near future. All except Seulawah have been adopted by the UNEP/UNESCO GRASP (Great Ape Survival Programme: see Caldecott and Miles 2005) initiative as priority populations for conservation. A few small fragments of forest outside of those listed may still contain small numbers of orangutans but none are considered viable in the long term (see Supplementary Material).

See the Supplementary Material for Table 1: Pongo abelii populations.In addition to the above, original wild populations, a new population is being established in the Bukit Tigapuluh National Park (Jambi and Riau Provinces) via the re-introduction of confiscated illegal pets. This population currently numbers around 70 individuals and is reproducing.

For further information about this species, see 39780_Pongo_abelii.pdf.

A PDF viewer such as Adobe Reader is required.

Current Population Trend:

Decreasing

Additional data:

♦Population severely fragmented: No

Habitat and Ecology [top] Habitat and Ecology:

The Sumatran orangutan is almost exclusively arboreal. Females virtually never travel on the ground and adult males do so only rarely. This is in contrast to Bornean orangutans (especially adult males) which more often descend to the ground. While both species depend on high-quality primary forests, Bornean orangutans appear better able to tolerate habitat disturbance. In Sumatra densities plummet by up to 60% with even selective logging (see Rao and van Schaik 1997).

Sumatran orangutans are primarily frugivores, but also eat leaves, insects (termites and ants) and on occasion, the meat of slow loris (Fox et al. 2004, Wich et al. 2006). Female

Page 21: Artikel

home ranges are 800 to 1,500 ha. The true extent of male home range size is not fully known, although ranges in excess of 3,000 ha are inferred (Singleton and van Schaik 2001).

Females first give birth at about 15 years of age (Wich et al. 2004). Interbirth intervals are 8.2 to 9.3 years (compared with 6.1 to 7.7 years for P. pygmaeus; Wich et al. 2004, van Noordwijk and van Schaik 2005) and gestation lasts approximately 254 days (Kingsley 1981). Males exhibit bimaturism, whereby fully flanged adult males and the smaller unflanged males are both capable of reproducing, but employ differing mating strategies to do so (see Utami Atmoko et al. 2002). Longevity in the wild has been estimated at 58 years for males and 53 years for females (Wich et al. 2004).

Systems: Terrestrial

Threats [top]

Major Threat(s):

This species is seriously threatened by logging (both legal and illegal), wholesale conversion of forest to agricultural land and oil palm plantations, and fragmentation by roads. Animals are also illegally hunted and captured for the international pet trade but this appears to be more a symptom of habitat conversion, as orangutans are killed as pests when they raid fruit crops at the forest edge.

A new threat is the Ladia Galaska road network in Aceh province, which if legitimized by the government will rapidly fragment most of the populations listed above. Another major concern is the re-issuing of logging permits for large tracts of forest in Aceh.

An assessment of forest loss in the 1990s concluded that forests supporting at least 1,000 orangutans were lost each year within the Leuser Ecosystem alone (van Schaik et al. 2001). These loss rates subsequently dropped dramatically during major civil conflict in the province, and the imposition of a moratorium on logging in Aceh. A peace deal negotiated in 2005 led to political stability and many new applications to open up logging concessions and palm oil estates in orangutan habitat.

In parts of North Sumatra orangutans are also still hunted on occasions for food.

Conservation Actions [top] Conservation Actions:

Pongo abelii is listed on Appendix I of CITES and is strictly protected under Indonesian domestic legislation (UU No 5/1990). Protection of large areas of primary forest below 1,000 m asl is needed to secure their long term future.

A major stronghold is the Leuser Ecosystem conservation area: 2.6 million ha supporting circa 75% of remaining Sumatran orangutans. The Leuser Ecosystem was inaugurated by Presidential Decree in 1998 and its conservation is called for in the Act of Parliament No 11/2006 concerning Governance in Aceh. Management of the Ecosystem does not

Page 22: Artikel

exclude non-forest uses, but stresses the importance of sustainable management with conservation of natural resources as the primary goal. Within the Leuser Ecosystem is the designated 900,000 ha Gunung Leuser National Park, but this mountainous area supports only 25% of the orangutans. The Gunung Leuser National Park is also a Man and Biosphere reserve and part of the Tropical Rainforest Heritage of Sumatra World Heritage Cluster Site. Outside of the Leuser Ecosystem there are no other notable large conservation areas harbouring this species.

In the wake of the December 2004 tsunami, efforts are also underway to establish a second "Ulu Masen" ecosystem along similar lines to Leuser, incorporating the North East and North West Aceh populations. However, this process is in its early stages and there are already threats to open at least four large logging concessions in this area.

Citation:

Singleton, I., Wich, S.A. & Griffiths, M. 2008. Pongo abelii. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T39780A10266609. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T39780A10266609.en . Downloaded on 29 October 2015.

Disclaimer: To make use of this information, please check the <Terms of Use>.

Feedback:If you see any errors or have any questions or suggestions on what is shown on this page, please provide us with feedback so that we can correct or extend the information provided

Page 23: Artikel

B. Harimau Sumatera

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam sub-spesies

harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis

yang terancam punah (critically endangered)

Berdasarkan data tahun 2004, jumlah populasi harimau Sumatera di alam bebas hanya

sekitar 400 ekor saja. Sebagai predator utama dalam rantai makanan, harimau mempertahankan

populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya, sehingga keseimbangan antara

mangsa dan vegetasi yang mereka makan dapat terjaga.

Harimau Sumatera menghadapi dua jenis ancaman untuk bertahan hidup: mereka

kehilangan habitat karena tingginya laju deforestasi dan terancam oleh perdagangan illegal

dimana bagian-bagian tubuhnya diperjualbelikan dengan harga tinggi di pasar gelap untuk obat-

obatan tradisional, perhiasan, jimat dan dekorasi. Harimau Sumatera hanya dapat ditemukan di

pulau Sumatera, Indonesia.

Ciri-ciri Fisik

Harimau Sumatera memiliki tubuh yang relatif paling kecil dibandingkan semua sub-

spesies harimau yang hidup saat ini.

Jantan dewasa bisa memiliki tinggi hingga 60 cm dan panjang dari kepala hingga kaki

mencapai 250 cm dan berat hingga 140 kg. Harimau betina memiliki panjang rata-rata

198 cm dan berat hingga 91 kg.

Warna kulit harimau Sumatera merupakan yang paling gelap dari seluruh harimau, mulai

dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua.

Ancaman

Page 24: Artikel

Harimau Sumatera berada di ujung kepunahan karena hilangnya habitat secara tak

terkendali, berkurangnya jumlah spesies mangsa, dan perburuan. Laporan tahun 2008 yang

dikeluarkan oleh TRAFFIC – program kerja sama WWF dan lembaga Konservasi Dunia, IUCN,

untuk monitoring perdagangan satwa liar – menemukan adanya pasar ilegal yang berkembang

subur dan menjadi pasar domestik terbuka di Sumatera yang memperdagangkan bagian-bagian

tubuh harimau. Dalam studi tersebut TRAFFIC mengungkapkan bahwa paling sedikit 50

harimau Sumatera telah diburu setiap tahunnya dalam kurun waktu 1998- 2002. Penindakan

tegas untuk menghentikan perburuan dan perdagangan harimau harus segera dilakukan di

Sumatera.

Populasi Harimau Sumatera yang hanya sekitar 400 ekor saat ini tersisa di dalam blok-blok

hutan dataran rendah, lahan gambut, dan hutan hujan pegunungan. Sebagian besar kawasan ini

terancam pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan komersial, juga perambahan

oleh aktivitas pembalakan dan pembangunan jalan. Bersamaan dengan hilangnya hutan habitat

mereka, harimau terpaksa memasuki wilayah yang lebih dekat dengan manusia dan seringkali

dibunuh atau ditangkap karena tersesat memasuki daerah pedesaan atau akibat perjumpaan tanpa

sengaja dengan manusia.

Propinsi Riau adalah rumah bagi sepertiga dari seluruh populasi harimau Sumatera.

Sayangnya, sekalipun sudah dilindungi secara hukum, populasi harimau terus mengalami

penurunan hingga 70% dalam seperempat abad terakhir. Pada tahun 2007, diperkirakan hanya

tersisa 192 ekor harimau Sumatera di alam liar Propinsi Riau.

Upaya yang Dilakukan WWF

WWF Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, industri yang mengancam

habitat harimau, organisasi konservasi lainnya serta masyarakat lokal untuk menyelamatkan

Harimau Sumatera dari kepunahan. Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia mendeklarasikan

kawasan penting, Tesso Nilo, sebagai Taman Nasional untuk memastikan masa depan yang

aman bagi keberadaan Harimau Sumatera. Tahun 2010, pada KTT Harimau di St. Petersburg,

Indonesia dan 12 negara lainnya yang melindungi harimau berkomitmen dalam sebuah tujuan

konservasi spesies ambisius dan visioner yang pernah dibuat: TX2 – untuk menambah kelipatan

jumlah harimau sampai pada akhir tahun 2022, tahun Harimau selanjutnya.

Page 25: Artikel

Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia sekarang merupakan bagian dari tujuan

global dan meliputi enam lansekap prioritas Harimau Sumatera ini: Ulumasen, Kampar-

Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan

Selatan.

WWF saat ini tengah melakukan terobosan penelitian tentang Harimau Sumatera di

Sumatera Tengah, menggunakan perangkap kamera untuk memperkirakan jumlah populasi,

habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan

perlindungan. WWF juga menurunkan tim patroli anti-perburuan dan unit yang bekerja untuk

mengurangi konflik manusia-harimau di masyarakat lokal. WWF Indonesia bangga menjadi

bagian penting dari TX2.

Page 26: Artikel

Panthera tigris ssp. sumatrae 

Taxonomy [top] Kingdom Phylum Class Order Family

Animalia ChordataMammaliaCarnivoraFelidae

Scientific Name:

Panthera tigris ssp. sumatrae

Species Authority:

Pocock, 1929

Parent Species:

See Panthera tigris

Common Name(s):

English – Sumatran Tiger

Synonym(s): Panthera sumatrae Cracraft et al., 1998

Taxonomic Notes:

The Sumatran Tiger is distinguishable from tigers elsewhere by both genetic (Cracraft et al. 1998, Luo et al. 2004) and morphological (Mazak and Groves 2006) analysis. It has been classically considered a subspecies since first named by Pocock (1929). The genetic analysis of Luo et al. (2004) supports this, but Cracraft et al. (1998) and Mazak and Groves

Page 27: Artikel

(2006) have proposed that the differences are sufficient for the Sumatran Tiger be considered a distinct species.

Assessment Information [top] Red List Category & Criteria: Critically Endangered C2a(i) ver 3.1

Year Published: 2008

Date Assessed: 2008-06-30

Assessor(s): Linkie, M., Wibisono, H.T., Martyr, D.J. & Sunarto, S.

Reviewer(s):Nowell, K., Breitenmoser-Wursten, C., Breitenmoser, U. (Cat Red List Authority) & Schipper, J. (Global Mammal Assessment Team)

Justification:The Sumatran Tiger occurs in about 58,321 km² of forested habitat in 12 potentially isolated Tiger Conservation Landscapes totalling 88,351 km² (Sanderson et al. 2006), with about 37,000 km² protected in ten national parks (Govt of Indonesia 2007). The tiger population was estimated at 400-500 in the first and second national tiger action plans (Govt of Indonesia 1994, 2007a), and at 342-509 in six major protected areas (estimates from Shepherd and Magnus 2004). However, incorporating more recent research, covering most of tiger estimated habitat (Sanderson et al. 2006) suggests the population could be higher (see Table 1 in Supplementary Material).

There is no recent information from Berbak or Gunung Leuser, and both of these estimates are considered speculative. Completion of a research in the three Tiger Conservation Landscapes in Riau province by Sunarto et al. (2007) will improve efforts to assess the Sumatran Tiger population.

IUCN Guidelines (IUCN 2006) define population as the number of mature individuals, defined as “individuals known, estimated or inferred to be capable of reproduction.” While in general this refers to all reproductive-age adults in the population, the Guidelines also “stress that the intention of the definition of mature individuals is to allow the estimate of the number of mature individuals to take account of all the factors that may make a taxon more vulnerable than otherwise might be expected.” Two factors which increase the tiger's vulnerability to extinction are their low densities (relative to other mammals, including their prey species) and relatively low recruitment rates (where few animals raise offspring which survive to join the breeding population) (Smith and McDougal 1991, Kerley et al. 2003). Low densities means that relatively large areas are required for conservation of viable populations; it has long been recognized that many protected areas are too small to conserve viable tiger populations (Nowell and Jackson 1996, Dinerstein et al. 1997, Sanderson et al. 2006). Low recruitment rates also require larger populations and larger areas to conserve viable populations, as well as mortality reduction in non-protected areas to maintain population size through connectivity (Carroll and Miquelle 2006). High mortality rates can be offset by an abundant prey base (Karanth et al. 2006), but prey base depletion was considered a leading threat to tigers across much of their range (Sanderson et al. 2006).

Page 28: Artikel

The IUCN Guidelines advise that “mature individuals that will never produce new recruits should not be counted.” Low recruitment rates indicate that fewer adults than would be expected produce new recruits. Defining population size as the total estimated number of reproductive age adults in the taxon would also not take into account that many occur in subpopulations which are too small or too threatened for long-term viability. Instead, the number of mature individuals is defined as equivalent to the estimated effective population size.

Effective population size (Ne) is an estimator of the genetic size of the population, and is generally considered representative of the proportion of the total adult population (N) which reproduces itself through offspring which themselves survive and reproduce. Ne is usually smaller than N, as has been documented for the tiger. The effective population size of tigers in Nepal’s Chitwan National Park was equivalent to just 40% of the actual adult population (Smith and McDougal 1991). Therefore, the number of viable mature Sumatran tigers is projected to be 40% of the total estimated population, in the range of 176–271 (based on the detailed figures given above), with no subpopulation having an effective population size larger than 50, following the precautionary principle in selecting the lower bound subpopulation sizes for Kerinci Seblat, Gunung Leuser and Bukit Tigapuluh.

The Sumatran Tiger is declining due to high rates of habitat loss (3.2–5.9%/yr; Achard et al. 2002, FWI/GFW 2001, Uryu et al. 2007) and fragmentation, which also occur, to a lesser extent, inside protected areas (Gaveau et al. 2007, Kinnaird et al. 2003, Linkie et al. 2003, 2004, 2006). There are high levels of human-tiger conflict (Nyhus and Tilson 2004, Browne and Martyr 2007), as well as illegal trade in tiger parts (Nowell 2000, Nowell 2007). From 1998-2002 at least 51 tigers per year were killed, with 76% for purposes of trade and 15% out of human-tiger conflict (Shepherd and Magnus 2004). Ng and Nemora (2007) found the parts of at least 23 tigers for sale in market surveys around the island.

For further information about this species, see 15966_Panthera_tigris_sumatrae.pdf.

A PDF viewer such as Adobe Reader is required.

Previously published Red List assessments:

1996 – Critically Endangered (CR)

1996 – Critically Endangered (CR)

Geographic Range [top]

Countries occurrence:Native:

Indonesia (Sumatera)

Range Map: Click here to open the map viewer and explore range.

Page 29: Artikel

Population [top] Current Population Trend: Decreasing

Additional data:

♦Population severely fragmented: Yes

Habitat and Ecology [top]

Threats [top] Major Threat(s):

Habitat loss due to expansion of oil palm plantations and planting of Acacia plantations. Illegal trade, primarily for domestic market. Prey-base depletion.

Citation:

Linkie, M., Wibisono, H.T., Martyr, D.J. & Sunarto, S. 2008. Panthera tigris ssp. sumatrae. The IUCN Red List of Threatened Species 2008: e.T15966A5334836. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T15966A5334836.en . Downloaded on 29 October 2015.

Disclaimer: To make use of this information, please check the <Terms of Use>.

Feedback:If you see any errors or have any questions or suggestions on what is shown on this page, please provide us with feedback so that we can correct or extend the information provided

Page 30: Artikel

C. Gajah SumateraNama latin: Elephas maximus sumatrensis

Gajah Sumatera (Elephas maximus) saat ini, terutama seluruh gajah Asia dan sub-

spesiesnya, termasuk satwa terancam punah (critically endangered) dalam daftar merah spesies

terancam punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia –IUCN, termasuk Gajah

Sumatera. Di Indonesia, Gajah Sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-

Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan

diatur dalam peraturan pemerintah yiatu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan

Satwa.  Masuknya Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) dalam daftar tersebut

disebabkan oleh aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta

pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja,

sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi.

Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman

hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini

akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya,

sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya. Dalam satu hari, gajah

mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20

kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke

Page 31: Artikel

seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam. 

 

Ancaman

Namun kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus

menyusut dan pembunuhan yang terus terjadi. Kajian WWF-Indonesia menunjukkan bahwa

populasi gajah Sumatera kian hari makin memprihatinkan, dalam 25 tahun, gajah Sumatera telah

kehilangan sekitar 70% habitatnya, serta populasinya menyusut hingga lebih dari separuh.

Estimasi populasi tahun 2007 adalah antara 2400-2800 individu, namun kini diperkirakan telah

menurun jauh dari angka tersebut karena habitatnya terus menyusut dan pembunuhan yang terus

terjadi.

Khusus untuk di wilayah Riau dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi gajah

Sumatera, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84% hingga tersisa

sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Lebih dari 100 individu Gajah yang sudah mati sejak tahun

2004. Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas

penebangan hutan yang tidak berkelanjutan perburuan dan perdagangan liar juga konversi hutan

alam untuk perkebunan (sawit dan kertas) skala besar.

Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di

dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau

hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk

sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan

manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.

Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu

pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang

semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan

kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya

dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau

sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’

ini. 

Page 32: Artikel

Kerugian

Selama tahun 2013 saja, kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik Gajah di Riau

menyebabkan sekitar 1,99 miliar. Belum lagi jika ditambahkan dengan angka keseluruhan

konflik Gajah di Sumatera.

Upaya yang dilakukan WWF-Indonesia

WWF bekerja di tiga wilayah di Sumatera yang dinilai sangat penting bagi upaya

konservasi gajah. Terobosan-terobosan besar telah berhasil dicapai dengan dideklarasikannya

Taman Nasional Tesso Nilo di Riau (tahap I seluas 38,576 ha) oleh Departemen Kehutanan pada

tahun 2004. Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan menetapkan Provinsi Riau sebagai Pusat

Konservasi Gajah Sumatera melalui Permenhut No. 5/2006. Hal ini merupakan langkah besar

bagi penyelamatan habitat gajah di Sumatera.

Pada tahun 2004, WWF memperkenalkan Tim Patroli Gajah Flying Squad pertama di

Desa Lubuk Kembang Bunga yang berada di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo yang baru

ditetapkan. Tim ini, yang terdiri dari sembilan pawang dan empat gajah latih, mengarahkan

gajah-gajah liar untuk kembali ke hutan apabila mereka memasuki ladang maupun kebun milik

masyarakat desa tersebut. Sejak mulai beroperasi, Tim Flying Squad Tesso Nilo berhasil

mengurangi kerugian ekonomi yang dialami masyarakat setempat yang timbul akibat serangan

gajah dan mencegah pembunuhan gajah akibat konflik.

Untuk memitigasi konflik manusia dan gajah, sejak Juli 2009, WWF-Indonesia

bekerjasama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way

Kambas (TNWK), Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, serta Forum Komunikasi

Mahout Sumatera (FOKMAS) melakukan pemasangan GPS Satellite Collar. Alat ini dipasang

pada Gajah liar untuk mengetahui keberadaan sebagai upaya monitoring keberadaan dan

pergerakannya, dan sebagai peringatan dini untuk mitigasi konflik Gajah sehingga dapat

mencegah masuknya Gajah liar ke area pemukiman atau perkebunan sehingga dapat

meminimalkan konflik antara Gajah dan manusia.

Tahun 2012, WWF-Indonesia bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Biologi

Molekular Eijkman. Tujuannya adalah mengetahui sebaran, populasi dan hubungan kekerabatan

Page 33: Artikel

Gajah khususnya di Tesso Nilo melalui DNA gajah. Lembaga penelitian ini juga memberikan

pelatihan untuk pengambilan sampel kotoran gajah dan memastikan penggunaan alat dan bahan

yang tepat. Sampel kotoran ini kemudian akan di ekstraksi, amplifikasi dan analisa DNA. Selain

mengetahui sebaran dan populasi gajah di Tesso Nilo, studi ini diharapkan dapat

mengungkapkan keanekaragaman genetika gajah Sumatera di Tesso Nilo serta hubungan

kekerabatan antar individu maupun antar kelompok Gajah. 

Elephas maximus ssp. sumatranus 

Taxonomy [top] Kingdom Phylum Class Order Family

Animalia Chordata Mammalia Proboscidea Elephantidae

Scientific Name: Elephas maximus ssp. sumatranus

Species Authority:

Temminck, 1847

Parent Species: See Elephas maximus

Common Name(s):

English – Sumatran Elephant

Page 34: Artikel

Taxonomic Notes:

While subspecies taxonomy of Elephas maximus has varied among authors, the most recent treatment (Shoshani and Eisenberg 1982) recognizes three subspecies: E. m. indicus on the Asian mainland, E. m. maximus on Sri Lanka, and E. m. sumatranus on the Indonesian island of Sumatra. Borneo's Elephants have traditionally been included in E. m. indicus (Shoshani and Eisenberg 1982) or E. m. sumatranus (Medway 1977, but see Fernando et al. 2003 and Cranbrook et al. 2008 for discussion of whether the elephants of Borneo are indigenous to the island). These subspecies designations were based primarily on body size and minor differences in coloration, plus the fact that E. m. sumatranus has relatively larger ears and an extra pair of ribs (Shoshani and Eisenberg 1982). The Sri Lankan subspecies designation is only weakly supported by analysis of allozyme loci (Nozawa and Shotake 1990), but not by analysis of mitochondrial DNA (mtDNA) sequences (Hartl et al. 1996, Fernando et al. 2000, Fleischer et al. 2001). However, current patterns of mtDNA variation suggest that the Sumatran subspecies is monophyletic (Fleischer et al. 2001), and consequently this taxon could be defined as an evolutionarily significant unit (ESU). This suggests that Sumatran Elephants should be managed separately from other Asian elephants in captivity, and is also an argument for according particularly high priority to the conservation of Sumatran Elephants in the wild.

Assessment Information [top] Red List Category & Criteria:

Critically Endangered A2c ver 3.1

Year Published: 2011

Date Assessed: 2011-08-01

Assessor(s):Gopala, A., Hadian, O., Sunarto, ., Sitompul, A., Williams, A., Leimgruber, P., Chambliss, S.E. & Gunaryadi, D.

Reviewer(s): Hedges, S., Desai, A. & Tyson, M.

Justification:The Sumatran Elephant (E. m. sumatranus) meets criterion A2c for Critically Endangered (CR). Taking ca. 25 years as a single generation (sensu IUCN 2001) for Asian Elephants, then over 69% of potential Sumatran Elephant habitat has been lost within just one generation (the last 25 years) and the driving forces that are causing the habitat loss are still continuing essentially unchecked. There is clear direct

Page 35: Artikel

evidence from two provinces (Riau and Lampung) to show that entire elephant populations have disappeared as a result of the habitat losses of the past 25 years: nine populations have been lost since the mid-1980s in Lampung (Hedges et al. 2005) and a 2009 survey of nine forest blocks in Riau that had elephant herds in 2007 revealed that six herds had gone extinct (Desai and Samsuardi 2009). That this pattern will continue seems certain.

Note that we use the term “potential elephant habitat” when discussing the rate of elephant habitat loss since 1985. This is because some of the forested areas that have been lost since 1985 elephants did not contain elephants in 1985; however, it is entirely reasonable to infer that elephants occurred much more widely across Sumatra in the 1930s than they did in 1985 since the 1985 elephant distribution map was the first time we had an island-wide understanding of elephant distribution on the island, and it was not a complete picture even then. Thus we infer that all the forest lost since 1985 was elephant habitat in the 1930s, or – in other words – the forest lost since 1985 alone represents a loss of 69% of Sumatran Elephant habitat since the 1930s (three elephant generations). Since elephants almost certainly occurred in areas outside their 1985 distribution in the 1930s and because much of the forest and other land cover types lost have been the better quality (preferred) lowland elephant habitat, we conclude that the inferred or suspected population size reduction for Sumatran Elephants over the last three generations must have been at least 80%. This conclusion is greatly strengthened by the fact that much of the remaining forest cover is in blocks smaller than 250 km², which are too small to contain viable elephant populations: this has the effect of increasing the real impact – on elephant numbers – of habitat loss beyond the figures suggested by forest loss alone. Therefore E. m. sumatranus meets criterion A2c for Critically Endangered (CR).

Geographic Range [top]

Range Description:

Home to the Sumatran Elephant subspecies (E. m. sumatranus), Sumatra is thought to hold some of the most significant Asian Elephant populations outside of India. Yet, within the Asian Elephant’s range, Sumatra has experienced one of the most rapid deforestation rates (Uryu et al. 2010).

Countries occurrence:

Native:

Indonesia (Sumatera)

Range Map: Click here to open the map viewer and explore range.

Population [top] Population: In mid 1980s, when about 50% of natural forest remained on the island, elephant

populations persisted in 44 discrete populations on all of the island’s eight provinces (Hedges et al. 2005).

1985: An island-wide rapid survey suggested that between 2,800 and 4,800 elephants lived in the wild in 44 ranges in all eight mainland provinces of Sumatra (Blouch and Haryanto 1984). Riau Province was believed to have the largest

Page 36: Artikel

elephant population in Sumatra.

2002: Sumatra was still thought to contain some of the largest populations of Asian elephants outside of India and Sri Lanka. Rigorous dung density based surveys in Lampung Province’s two national parks, Bukit Barisan Selatan and Way Kambas, produced population estimates of 498 (95% CI=[373, 666]) and 180 (95% CI=[144, 225]) elephants, respectively. But province-wide surveys at the same time also showed that by 2002 elephants had gone locally extinct in nine of 12 elephant ranges recorded in Lampung in the early 1980s (Hedges et. al. 2005).

2007: Guesstimates suggested that between 2,400 and 2,800 elephants live in the wild (Soehartono et al. 2007). Given the very high number of elephants brought into captivity since 1985 (Mikota et al. 2003), the high mortality experienced during these government capture-and-translocation operations, and the high numbers of elephants lost to retaliatory killing after human–elephant conflict (WWF 2008) and poaching (based on local newspaper reports), it is highly likely that Sumatra’s total elephant population size in 1985 might actually have been greater than even that year’s high estimate of 4,800 elephants suggests. In any case, in only one generation (between 1985 and 2007) Sumatra may have lost up to 50% of its elephants.

2008: By 2008, elephants had become locally extinct in 23 of the 43 ranges identified in Sumatra in 1985, indicating a very significant decline of the Sumatran elephant population up to that time. By 2008, the elephant was locally extinct in one of Sumatra’s eight mainland provinces (West Sumatra) and at risk of being lost from North Sumatra Province too. Only ca. 350 elephants survived across nine separate ranges in Riau Province, which in 1985 was considered to have the largest elephant population in Sumatra with over 1,600 individuals.

Post-2008: Simple extrapolations from past population history suggests that Riau’s last surviving elephants may soon disappear if the current trend of forest loss continues (Uryu et al. 2008). Indeed, a 2009 survey of nine forest blocks in Riau that had elephant herds in 2007 revealed that six herds had gone extinct (Desai and Samsuardi 2009).

Systematic study on the population of Sumatran Elephants is lacking from most of the elephant’s distributional range. Province-wide assessments have been conducted in Riau (Desai and Samsuardi 2009) and Lampung (Hedges et al. 2005). However, rigorous population estimates are only available from two protected areas in Lampung, namely Way Kambas National Park and Bukit Barisan Selatan National Park (Hedges et al. 2005, Soehartono et al. 2007).

Riau. Harboring extensive flat lowland forest that is a prime habitat for elephant, Riau province was one of the strongholds for elephant conservation. However, elephant numbers in this province dropped by 84% in less than 25 years (Uryu et al. 2007). The population declined from ca. 1,342 in 1984 to ca. 210 in 2007. Due

Page 37: Artikel

to habitat fragmentation, the number of fragmented elephant populations (“pockets”) increased from nine in 1984 to 16 in 1999. By 2007, mainly due to removal and killings related to conflicts, elephants were completely extirpated in several “pockets” including Rokan Hilir, Kerumutan, Koto Panjang, Bukit Rimbang Baling, Tanjung Pauh and Bukit Suligi. Thorough population estimates are not yet available the latest assessment indicates that all but two of these fragmented elephant populations are unlikely to survive over the long term.

West Sumatra. Elephants have been completely extirpated from this province.

Lampung. Twelve of the 44 Sumatran elephant populations identified in the mid-1989s occurred in Lampung Province. But, according to surveys conducted in 2001 and 2002 only three were still extant in 2002, and one of those was not considered viable (Hedges et al. 2005). Surveys in the early 2000s using dung density based methods in Lampung Province’s two national parks, Bukit Barisan Selatan and Way Kambas, produced population estimates of 498 (95% CI=[373, 666]) and 180 (95% CI=[144, 225]) elephants, respectively (Hedges et al. 2005). New field surveys using fecal DNA based capture–recapture methods are currently underway in the two national parks (S. Hedges pers comm).

Current Population Trend:

Decreasing

Additional data:

♦Population severely fragmented: Yes

Habitat and Ecology [top] Habitat and Ecology:

Elephants largely use lowland forests and gentle hills below an altitude of 300 m. While the elephants in Sumatra may have habitat use patterns that differ, it is generally known from long-term studies of elephants across Asia that lowland forests are a preferred habitat (Alfred el. al. 2005, Williams 2010). Forest loss in the lowlands is higher than forest loss at all altitudes and including habitats such as peat forests, where elephants are not present.

See the Supplementary Material for further information about national loss of natural forest in Sumatra.

Page 38: Artikel

For further information about this species, see 199856_Elephas_maximus_sumatranus.pdf.

A PDF viewer such as Adobe Reader is required.

Systems: Terrestrial

Use and Trade [top] Use and Trade:

The Asian elephant is hunted for ivory, food, leather and other products. Live animals are also removed from the wild and used in forestry operations and for ceremonial purposes.

Threats [top]

Major Threat(s):

Due to conversions of forests into human settlement and agricultural areas, many of the Sumatran Elephant populations have come into serious conflicts with human. As the results, many wild elephants have been removed from the wild, or directly killed. In addition to killing related to conflicts, elephants are also targets of illegal killing for their ivory. Now, Sumatran Elephant lives only in seven provinces, many of which are under increased pressure of habitat loss and imminent conflicts with human.

Conservation Actions [top]

Conservation Actions:

Although as a species Sumatran Elephants are protected under Indonesia law, 85% of their habitats which are located outside of protected areas, are outside of the protection system and likely to be converted to agricultural and other purposes.

Citation:

Gopala, A., Hadian, O., Sunarto, ., Sitompul, A., Williams, A., Leimgruber, P., Chambliss, S.E. & Gunaryadi, D. 2011. Elephas maximus ssp. sumatranus. The IUCN Red List of Threatened Species 2011: e.T199856A9129626. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2011-2.RLTS.T199856A9129626.en . Downloaded on 29 October 2015.

Disclaimer: To make use of this information, please check the <Terms of Use>.

Feedback:If you see any errors or have any questions or suggestions on what is shown on this page, please provide us with feedback so that we can correct or extend the information provided