artikel 1 vol 2 no 2.pdf

20
141 Keadilan Restoraf sebagai Krik Inheren ... (S. Atalim) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI KRITIK INHEREN TERHADAP PENGADILAN LEGAL-KONVENSIONAL (Restorave Jusce as an Inherent Cric to Legal-Convenonal Adjudicaon) S. Atalim Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara – Jakarta Jl. Letjen S Parman No.1 Grogol Jakarta11440 Email: [email protected] Naskah diterima: 12 Juli 2013; revisi: 17 Juli 2013; disetujui: 22 Juli 2013 Abstrak Perkembangan masyarakat yang semakin ‘menghakimi’, penerapan proses pengadilan formal-konvensional atas perkara kejahatan yang dak melibatkan korban kecuali pelaku, dan putusan pengadilan formal yang dak sesuai dengan keinginan korban dan pelaku, melahirkan wacana dan prakk penerapan keadilan restoraf dalam menyelesaikan perkara pidana kejahatan. Keadilan restoraf ingin menegakkan nilai-nilai yang hilang dalam proses pengadilan formal yakni pengakuan atas martabat hak-hak korban dan pelaku, menekankan dialog, komunikasi,kejujuran, tanggung jawab, kesadaran akan kesalahan, dan kesempatan untuk memperbaiki diri di masa depan. Penerapan prinsip-prinsip keadilan restoraf ini dak semesnya dilakukan di luar proses pengadilan formal-konvensional yang sudah ada karena semakin menyuburkan kedakpasan hukum. Muncul dan semakin berkembangnya praktek penerapan prinsip-prinsip keadilan restoraf merupakan krik inheren terhadap proses pengadilan legal-konvensional yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama kepenngan korban, pelaku, dan masyarakat. Krik ini merupakan kesempatan bagi aparat penegak hukum untuk semakin mewujudkan keadilan dan kepasan hukum yang tercermin dak saja pada proses (prosedural) melainkan juga pada putusan yang adil (hasil). Kata Kunci: komunikasi-dialogis, tanggung jawab, keadilan restoraf, keadilan prosedural, kepasan hukum. Abstract The development of society 'judging' to the applicaon of formal court proceedings for criminal cases that only involving the perpetrator, resulng in verdict that are not accomodang the wishes of the vicm and the perpetrator. This raises the discourse and the applicaon of restorave jusce pracces in solving criminal cases. Restorave jusce wants to uphold the values that are lost in the formal court process, namely the recognion of the dignity of the rights of vicms and perpetrators, emphasizing dialogue, communicaon, honesty, responsibility, awareness of errors, and the opportunity to improve themselves in the future. The applicaon of the restorave jusce principles should not be done outside the formal court process because it creates legal uncertainty. The emergence and the growing pracces of restorave jusce principles applicaon is an inherent crique of the convenonal court processes that do not meet society's sense of jusce, especially the interests of the vicm, perpetrator, and community. This cricism is an opportunity for law enforcement agencies to bring about jusce and legal certainty that is reflected not only in the process (procedural) but also on a fair decision (outcome). Keywords: dialogic communicaon, responsibility, restorave jusce, procedural fairness, legal certainty Jurnal RechtsVinding BPHN

Upload: vuongphuc

Post on 13-Jan-2017

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

141Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI KRITIK INHEREN TERHADAP PENGADILAN LEGAL-KONVENSIONAL

(Restorative Justice as an Inherent Critic to Legal-Conventional Adjudication)

S. AtalimFakultas Hukum Universitas Tarumanagara – Jakarta

Jl. Letjen S Parman No.1 Grogol Jakarta11440Email: [email protected]

Naskah diterima: 12 Juli 2013; revisi: 17 Juli 2013; disetujui: 22 Juli 2013

AbstrakPerkembangan masyarakat yang semakin ‘menghakimi’, penerapan proses pengadilan formal-konvensional atas perkara kejahatan yang tidak melibatkan korban kecuali pelaku, dan putusan pengadilan formal yang tidak sesuai dengan keinginan korban dan pelaku, melahirkan wacana dan praktik penerapan keadilan restoratif dalam menyelesaikan perkara pidana kejahatan. Keadilan restoratif ingin menegakkan nilai-nilai yang hilang dalam proses pengadilan formal yakni pengakuan atas martabat hak-hak korban dan pelaku, menekankan dialog, komunikasi,kejujuran, tanggung jawab, kesadaran akan kesalahan, dan kesempatan untuk memperbaiki diri di masa depan. Penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif ini tidak semestinya dilakukan di luar proses pengadilan formal-konvensional yang sudah ada karena semakin menyuburkan ketidakpastian hukum. Muncul dan semakin berkembangnya praktek penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif merupakan kritik inheren terhadap proses pengadilan legal-konvensional yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat. Kritik ini merupakan kesempatan bagi aparat penegak hukum untuk semakin mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang tercermin tidak saja pada proses (prosedural) melainkan juga pada putusan yang adil (hasil). Kata Kunci: komunikasi-dialogis, tanggung jawab, keadilan restoratif, keadilan prosedural, kepastian hukum.

AbstractThe development of society 'judging' to the application of formal court proceedings for criminal cases that only involving the perpetrator, resulting in verdict that are not accomodating the wishes of the victim and the perpetrator. This raises the discourse and the application of restorative justice practices in solving criminal cases. Restorative justice wants to uphold the values that are lost in the formal court process, namely the recognition of the dignity of the rights of victims and perpetrators, emphasizing dialogue, communication, honesty, responsibility, awareness of errors, and the opportunity to improve themselves in the future. The application of the restorative justice principles should not be done outside the formal court process because it creates legal uncertainty. The emergence and the growing practices of restorative justice principles application is an inherent critique of the conventional court processes that do not meet society's sense of justice, especially the interests of the victim, perpetrator, and community. This criticism is an opportunity for law enforcement agencies to bring about justice and legal certainty that is reflected not only in the process (procedural) but also on a fair decision (outcome).Keywords: dialogic communication, responsibility, restorative justice, procedural fairness, legal certainty

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 2: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

142 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

A. Pendahuluan

Persepsi masyarakat Indonesia tentang prosedur penanganan dan hukuman bagi para pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum dalam beberapa tahun terakhir ini terlanjur legal, formal, dan prosedural. Spirit penegakan hukum bukan dengan tujuan agar anggota masyarakat menyesuaikan diri dengan hukum yang ada melainkan agar para pelanggar hukum ditindak dengan tegas. Hukuman seberat-beratnya mulai dari hukuman penjara seumur hidup sampai hukuman mati dianggap sebagai cara paling jitu dalam menegakkan hukum dan menyelaraskan perilaku anggota masyarakat dengan hukum. Masyarakat kita lalu menjadi masyarakat pen-dendam, masyarakat penghakim, ”punitive” society.

Situasi penegakan hukum bagi para pelang-gar hukum dan pelaku kejahatan di tanah air yang mencerminkan masyarakat pendendam dan penghakim, sama dengan apa yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir di AS. Tom R. Tyler dalam artikelnya di Journal of Social Issues dengan judul ‘Restorative Justice and Procedural Justice: Dealing with Rule Breaking’, mensinyalir perkembangan masyarakat hukum Amerika menjadi masyarakat pendendam atau masyarakat yang ingin menghakimi. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan di AS di tahun 1960-an menunjukan bahwa mayoritas orang dewasa di AS menghendaki agar hukuman semakin dikurangi, hukuman mati dihapus dan sisi rehabilitasi dan reintegrasi perlu menjadi prioritas. Tetapi poling pendapat yang dilakukan tahun 1980-an hingga 1990-an justru menunjukan hasil yang mencemaskan. Sebanyak

80% masyarakat AS justru lebih menghendaki hukuman mati bagi para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan.1 Diskusi-diskusi publik pun semakin menghendaki hukuman yang lebih tegas terhadap para pelanggar hukum dan pelaku kejahatan. Pada hal banyak negara-negara Eropa justru mengupayakan pengurangan hukuman dan bahkan hukuman mati pun dihapus.2

Asumsi dasar masyarakat punitif bahwa individu akan meregulasi diri dan menaati hukum jika ia dimotivasi untuk menghindari sanksi, dalam kenyataannya tidak sesuai dengan tujuan moral hukum. Hukum tidak dimaksudkan untuk menghukum yang bersalah melainkan guna mengatur perilaku anggota masyarakat agar sesuai dengan kepentingan bersama. Maka penyelesaian perkara pelanggaran hukum dan tindakan kejahatan, seharusnya memiliki perspektif jangka panjang yakni memotivasi para pelanggar hukum untuk lebih meregulasi diri dan tindakannya di masa depan. Tujuan ini dirusak oleh model penyelesaian kasus kriminal yang berfokus pada sanksi hukuman. Model legal, formal, dan prosedural dalam penyelesaian kasus kejahatan yang berfokus pada sanksi (sanction-based model) memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif bagi pelanggar atau pelaku kejahatan dan masyarakat. Maka fokus yang lebih besar harus diletakkan pada pendekatan sosio-psikologis yang mengedepankan kepedulian, kesatuan, kebersamaan, dialog, partisipasi, dan komunikasi dari semua pemangku kepentingan hukum dalam masyarakat. Penyelesaian kasus-kasus hukum dan kejahatan dengan menge-depankan sikap-sikap seperti ini merupakan ciri dari model penyelesaian kasus hukum

1 Tom R. Tyler, ”Restorative Justice and Procedural Justice: Dealing with Rule Breaking”, Journal of Social Issues, Vol. 62, No. 2, (2006): 307.

2 Ibid., hlm. 308.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 3: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

143Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

dan kejahatan menurut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Persoalannya adalah makna, pemahaman, serta penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif sangat beragam. Di tanah air sejumlah pihak justru menginginkan agar prinsip-prinisp keadilan restoratif diterapkan atau dipraktekkan di luar proses pengadilan formal-konvensional, dan kondisi ini sangat berbahaya. Dalam tulisan ini akan menjawab permasalahan mengapa prinsip-prinsip keadilan restoratif harus dilakukan dalam proses pengadilan formal konvensional.

B. Permasalahan

Dalam penelitian ini secara berturut-turut akan membahas permasalahan seba gai berikut: 1. Bagaimana makna dan tujuan keadilan

restoratif?2. Bagaimana prinsip-prinsip dasar keadilan

restoratif?3. Bagaimana hubungan antara keadilan

restroratif dan keadilan prosedural? 4. Bagaimana dasar moral keadilan restoratif?5. Bagaimana keadilan restoratif sebagai kritik

inheren terhadap praktik pengadilan formal-konvensional tindakan kejahatan?

C. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan latar bela-kang di atas, penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan yuridis normatif3 karena menggunakan data sekunder sebagai sumber utama, berupa berbagai peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan restorative justice. Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteliti secara sistematis dengan menganalisis data yang diperoleh.

D. Pembahasan

1. Keadilan Restoratif: Makna dan Tujuannya

Meskipun wacana tentang keadilan resto-ratif dalam iklim akademik, intelektual, dan praktik pengadilan semakin dominan guna mencari terobosan-terobosan baru dalam menegakkan keadilan yang makin dirasakan oleh masyarakat, makna dan proses penerapan konsepsi keadilan restoratif dalam praktik sangat beragam. Johnstone menyatakan bahwa ”restorative justice is not a single coherent theory or perspective on crime and justice, but a loose unifying term which encompasses a range of distict ideas, practices, and proposals”.4 Sementara Weitekamp menyatakan bahwa makna keadilan restoratif berbeda-beda dari satu negara dan komunitas ke negara dan komunitas lain. Di samping itu, ada beberapa istilah lain yang dipakai dengan makna yang

3 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5)sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet.v, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm, 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hlm.15.

4 Lihat G. Johnstone, A Restorative Justice Reader: texts, sources, context, (Portland, Oregon: Willan Publishing, 2003), hlm. ix.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 4: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

144 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

mirip dengan keadilan-keadilan restoratif. Sebut misalnya, keadilan prosedural, keadilan partisipatif, keadilan real, keadilan relasional, keadilan positif, dan keadilan transformatif. Di antara istilah-istilah ini, istilah yang sering dipakai untuk mengganti istilah keadilan restoratif karena memiliki makna yang sama adalah keadilan transformatif atau ”transfomative justice”. M. Kay Harris mengatakan, ‘Restorative justice and transformative justice are two names for the same thing and, properly understood, the terms should be considered interchangeable’.5 Beberapa praktisi bahkan berpendapat bahwa istilah yang paling cocok bagi konsepsi dan praktik ini, bukanlah keadilan restoratif melainkan ”pendekatan restoratif” (restorative approaches).6 Di Indonesia istilah keadilan restoratif menunjuk pada pendekatan restoratif ini. Tetapi pertanyaan pokoknya adalah apa yang dimaksud dengan keadilan restoratif tersebut?

Keadilan restoratif atau restorative justice merupakan istilah yang umumnya dipakai untuk pendekatan terhadap penyelesaian kasus-kasus kriminal (criminal justice) yang menekankan restorasi atau pemulihan korban dan komunitas dari pada menghukum pelaku. Braithwaite dan Strang sebagaimana dikutip M. Kay Harris dalam artikelnya Transformative Justice: The transformation of restorative justice, mengartikan keadilan restoratif sebagai suatu proses penyelesaian suatu perkara atau kejahatan hukum yang melibatkan semua stakeholder yang

berurusan dengan kejahatan yang sudah terjadi dengan mendiskusikan bagaimana kejahatan tersebut bisa terjadi guna mencapai kesepakatan tentang apa yang sebaiknya dilakukan untuk memulihkan penderitaan yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut.7 Nilai keadilan restoratif yang membedakannya dari keadilan hukuman tradisional negara adalah bahwa keadilan restoratif lebih menaruh tekanan pada healing (penyembuhan) atau restoration (pemulihan) dari pada melukai (hurting). Gerry Johnstone mengartikannya sebagai seperangkat prinsip yang mengarahkan praktek umum institusi atau kelompok mana pun dalam menangani perkara kejahatan. Zehr menyebutnya sebagai suatu paradigma baru berkaitan dengan keadilan, atau Sullivan dan Tifft yang menempatkannya sebagai suatu teori sosial normatif atau suatu gaya hidup baru.

Konsorsium Keadilan Restoratif di Inggris, sebuah lembaga ‘amal’ yang dibentuk pemerintah untuk mempromosikan keadilan restoratif, dalam pamflet yang mereka edarkan, merumuskan keadilan restoratif demikian:

”Restorative justice works to resolve conflict and repair harm. It encourages those who have caused harm to acknowledge the impact of what they have done and gives them an opportunity to make reparation. It offers those who have suffered harm the opportunity to have their harm or loss acknowledged and amends made”.8

Sementara Kathleen Daly melalui atikelnya: The Limits of Restorative Justice dalam buku

5 Lihat Lihat M. Kay Harris, Transformative Justice: The transformation of restorative justice, dalam Dennis Sullivan and Larry Tifft, Handbook of Restorative Justice, (London & New York: Routledge, 2006), hlm. 556.

6 Lihat Marian Liebmann, Restorative Justice: How It Works, (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25

7 Lihat M. Kay Harris, Op.Cit., hlm. 555.8 Sebagaimana dikutip oleh Marian Liebmann dalam Restorative Justice: How It Works, (London and Philadelphia:

Jessica Kingsley Publishers, 2007), hlm. 25.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 5: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

145Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, merumuskan restorative justice sebagai ”a set of ideals about justice that assumes a generous, empathetic, supportive, and rational human spririt”.9 Keadilan restoratif mengasumsikan bahwa korban bermurah hati pada mereka yang sudah melakukan kejahatan terhadap mereka, bahwa pelaku atau pelanggar menyadari kesalahan dan menyesali kejahatannya, bahwa komunitas yang peduli terhadap mereka bisa mendukung dan membantu, dan bahwa seorang fasilitator atau mediator dapat memandu diskusi yang rasional dan mendorong penyelesaian perkara atau pengambilan keputusan secara konsensual antara berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda.

Harus diakui bahwa terdapat beranekaragam pemahaman dan definisi tentang keadilan restoratif. Keragaman ini tentu tidak hanya memperkaya khazanah teoretis tentang keadilan restoratif melainkan sekaligus merefleksikan keragaman kepentingan dan ideologi yang terlibat dalam proses penegakan keadilan restoratif ketika ide-ide tentang keadilan didiskusikan. Tetapi keragaman pemahaman konseptual dan praktik keadilan restoratif itu bukanlah sesuatu yang fatal sehingga sebaiknya diterima karena hakikat keadilan itu sendiri bukanlah sesuatu yang tidak berubah. Gerry Johnstone menyatakan bahwa keadilan restoratif harus dilihat sebagai perangkat ide yang ingin melampaui penegakan keadilan

konvensional yang sudah mapan. Ia menantang kita untuk memikirkan ‘kejahatan’, ‘korban’, dan ‘reaksi terhadap pelaku’ secara baru.

Liebmann merumuskan tujuan utama keadilan restoratif yakni: ”Restorative justice aims to restore the well-being of victims, offenders and communities damaged by crime, and to prevent further offending”.10 Pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah mengupayakan proses mediasi antara korban dan pelaku, pertemuan dan dialog antara korban dan pelaku yang melibatkan keluarga dan masyarakat luas, dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab pelaku dan korban. Semangat utama keadilan restoratif adalah tidak terutama untuk mengadili dan menghukum pelaku melainkan guna mereparasi dan merestorasi korban dan pelaku. Maka nilai keadilan restoratif terletak pada dialog (dialogue), kesepahaman (mutuality), penyembuhan (healing), perbaikan (repair), penyesalan dan tobat (repentance), tanggung jawab (responsibility), kejujuran (honesty), dan ketulusan (sincerity).11

Nilai-nilai pendekatan keadilan restoratif ini yang membedakan keadilan restoratif dari sistem pengadilan atau keadilan kriminal konvensional. Howard Zehr dalam bukunya Changing Lenses: a new focus for crime and justice, membuat peta perbedaan antara keadilan restoratif dengan keadilan retributif yang bisa dirangkum dalam tabel berikut.12

9 Lihat Kathleen Daly, The Limits of Restorative Justice, dalam Denis Sullivan and Larry Tifft (ed), Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, (London and New York: Routledge, 2006), hlm. 134.

10 Marian Liebmann, Op.Cit., hlm. 25.11 Marian Liebmann, Op.Cit., hlm. 31.12 Howard Zehr, Changing Lenses: a new focus for crime and justice, (Scottdale, PA: Herald Press, 1995), hlm. 211-

215. Dikutip juga oleh Marian Liebmann, Op.Cit., hlm. 32.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 6: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

146 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Tabel 1Perbedaan antara Keadilan retributif dan Keadilan restoratif

Perbedaan antara Keadilan retributif dan Keadilan restoratif

Paradigma lama: Keadilan retributif Paradigma baru: Keadilan restoratif

1. Crime defined as violation of the state 1. Crime defined as violation of one person by another

2. Focus on establishing blame, on guilt, on past (did he/she do it?)

2. Focus on problem-solving, on liabilities and obligations, on future (what should be done?)

3. Adversarial relationships and process normative 3. Dialogue and negotiations normative

4. Imposition of pain to punish and deter/prevent 4. Restitutions as a means of restoring both parties; reconciliations/restorations as goal

5. Justice defined by intent and by process: right rules 5. Justice defined as right relationships: judge by the outcome

6. Interpersonal, conflictual nature of crime obscured, repressed: conflict seen as individual vs. state

6. Crime recognised as interpersonal conflict: value of conflict recognised

7. One social injury replaced by another 7. Focus on repair of social injury

8. Community on side line, represented abstractly by state

8. Community as facilitator in restorative process

9. Encouragement of competitive, individualistic values 9. Encouragement of mutuality

10. Action directed from state to offender:• Victim ignored• Offender passive

10. Victim’s and offender’s role recognised in both problem and solution:• Victim rights/needs recognised• Offender encouraged to take responsibility

11. Offender accountability defined as taking punishment

11. Offender accountability defined as understanding impact of action and helping decide how to make things right

12. Offence defined in purely legal terms, devoid of moral, social, economic, political dimensions

12. Offence understood in whole context-moral, social, economic, political

13. ‘Debt’ owed to state and society in the abstract 13. Debt/liability to victim recognised

14. Response focused on offender’s past behaviour 14. Response focused on harmful consequences of offender’s behaviour

15. Stigma of crime unremovable 15. Stigma of crime removable through restorative action

16. No encouragement for repentance and forgiveness 16. Possibilities for repentance and forgiveness

17. Dependence upon proxy professional 17. Direct involvement by participants

Sumber: Howard Zehr, Changing Lenses: a new focus for crime and justice, (Scottdale, PA: Herald Press, 1995)

Tabel perbedaan antara pendekatan pengadilan kejahatan konvensional atau keadilan retributif dengan keadilan restoratif di atas menunjukan sisi prosedur dan hasil yang berbeda. Dari sisi proses, keadilan retributif menekankan unsur eksklusi (tertutup),

kepentingan tunggal (menghukum pelaku), penggunaan kekerasan (kepolisian, penjara), dan pembalasan (menanggung akibat). Unsur-unsur ini berbeda dengan keadilan restoratif yang menekankan inklusi (terbuka terhadap semua pihak), keseimbangan kepentingan (korban, Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 7: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

147Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

pelaku, komunitas), menuntut kesediaan dan sukarela (voluntary), dan berorientasi pata pemecahan masalah (problem-solving).

Dari sisi hasil dan tujuan yang ingin dicapai, kedua pendekatan ini menunjukan tendensi yang berbeda. Hasil yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif adalah kesatuan dalam pertemuan, perkembangan, reintegrasi, dan kebenaran secara menyeluruh. Ini berbeda dari tendensi yang ingin dicapai dalam keadilan retributif yakni separasi (pemisahan), kesalahan dan kejahatan (harm), pengasingan (ostracism), dan kebenaran legal (legal truth). Greif lebih lanjut mengatakan bahwa keadilan restoratif bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara berbagai kutub yang berbeda yakni antara model terapeutik dan retributif, antara hak-hak korban dan hak-hak pelaku, antara perlunya merehabilitasi pelaku dan kewajiban untuk melindungi publik. Tetapi hasil ini hanya bisa dicapai bila fasilitator atau mediator berperan secara tidak memihak, cakap dan terampil, kedua belah pihak menerima tanggung jawab, putusan yang dicapai merupakan pilihan yang realistik dan rasional, tidak ada tekanan dan pemaksaan, pengakuan bahwa semua pihak yang terlibat sama pentingnya, semua pihak terlibat secara aktif, proses komunikasi dan dialog yang konstruktif, saling percaya, dan solusi yang diambil merupakan kesepakatan bersama dan bukan atas dasar pemaksaan pihak-pihak tertentu.

2. Prinsisp-Prinsip Dasar Keadilan Restoratif

Marian Liebmann menguraikan prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagai berikut:13

Pertama, dukungan dan pemulihan korban menjadi prioritas. Prioritas ini yang membedakan keadilan restoratif dengan sistem pengadilan kriminal konvensional. Meskipun tujuan sistem pengadilan kriminal konvensional (criminal justice) bertujuan untuk mendukung dan memulihkan korban, fokus sistem pengadilan kriminal konvensional justru hanya terletak pada pelaku kejahatan (offender), pelanggar, atau orang yang bersalah. Pelaku kejahatan atau orang yang dianggap bersalah diincar, ditangkap, diborgol, dilumpuhkan, didakwa, dihukum, dipenjara, bahkan juga dihukum mati. Agen atau institusi yang terlibat dalam proses ini hanyalah polisi, jaksa, hakim, staf penjara, atau para eksekutor. Meskipun kepentingan korban dengan demikian dibela, alokasi perhatian dan penetapan orientasi dan tujuan hukum ke depan belumlah seimbang. Hukum bukanlah terutama untuk meghakimi melainkan untuk menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Kepentingan korban dan masyarakat secara keseluruhan tidak dengan sendirinya ditegakkan dengan menghukum pelaku. Korban juga menghendaki agar harta bendanya kembali, mereka juga menghendaki agar pertanyaan-pertanyaannya dijawab, mereka menginginkan agar semua informasi tentang kejadian sesungguhnya diperoleh dengan cukup.

Kedua, pelaku bertanggungjawab atas apa yang telah ia lakukan. Pelaku kejahatan memang perlu ‘dihukum’. Tetapi ini tidak sama dengan memikul tanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan. Memikul tanggung jawab mengandung pengakuan dan kesadaran bahwa ia telah melakukan kejahatan, menjelaskan apa

13 Marian Liebmann, Op.Cit., hlm. 26-27.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 8: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

148 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

yang sebetulnya terjadi dan menanggung akibat dari perbuatannya, termasuk mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh tindakannya. Unsur ini merupakan titik tolak keadilan restoratif.

Ketiga, dialog untuk mencapai kese pa-haman. Ada banyak pertanyaan dari para korban yang tidak terjawab dalam proses pengadilan kejahatan dengan menggunakan sistem pengadilan konvensional. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa saya? Mengapa mobil atau rumah saya? Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah kejadian ini bisa terjadi lagi? Hanya ada satu orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini yakni pelaku. Tetapi banyak pelaku pun tidak memahami bagaimana mereka bisa melakukan kejahatan. Apa yang terjadi pada korban dan pelaku sehingga kejahatan itu bisa terjadi? Di sini dialog diperlukan. Dialog ini umumnya tidak terjadi - untuk tidak mengatakan tidak mungkin – dalam pengadilan formal tetapi sebaliknya merupakan proses inti dalam keadilan restoratif.

Keempat, adanya upaya untuk menempat-kan kejahatan yang sudah dilakukan pada posisi yang sebenarnya. Di sini apologi bisa terjadi. Tetapi yang dibutuhkan justru lebih dari itu: kejujuran. Situasi korban dan komunitas perlu dikembalikan dan diperbaiki. Langkah logis berikut sebagai bukti tanggung jawab pelaku dan masyarakat terhadap korban adalah mengupayakan agar semua hak, kondisi, dan situasi korban bisa kembali seperti sedia kala. Tetapi banyak pelaku justru tidak memiliki kemampuan, keterampilan, miskin dan tidak mampu untuk memulihkannya secara material. Di sini peran masyarakat luas dan negara dibutuhkan. Dalam kasus pencurian misalnya, seringkali kejahatan itu dilakukan pelaku untuk menyambung hidup. Kemiskinan yang

dialami pelaku secara implisit menampakkan ketidakmampuan negara menyediakan la-pangan kerja, merumuskan kebijakan upah yang berpihak pada buruh, atau tidak adanya jaminan sosial dari negara bagi warga negara miskin. Sementara, korban pun tidak jarang justru menghendaki agar pelaku ‘membayar’ kejahatan yang ia lakukan dengan membantu orang lain yang lebih tidak beruntung.

Kelima, pelaku berusaha untuk menghindari kejahatan serupa di masa depan. Sekali seorang pelaku mengakui kejahatan yang ia lakukan, umumnya ia tidak ingin mengulanginya lagi. Dan kadang-kadang ini diperlukan untuk menghentikan kejahatan. Tetapi kadang-kadang banyak problem yang mengitari pelaku sehingga ia ‘terpaksa’ melakukan kejahatan. Kemiskinan, gelandangan (tidak memiliki rumah), broken home, minuman keras, dan sebagainya bisa menjadi faktor pemicu kejahatan. Ini berarti bahwa bantuan nyata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini bisa mempromosikan gaya dan kualitas hidup yang berbeda dan menghindari kejahatan serupa di masa depan. Keadilan restoratif menekankan usaha bahu membahu dari berbagai sumber daya yang ada untuk mewujudkan tujuan ini dan tidak menimpakan sepenuhnya kesalahan ini pada pelaku. Salah satu poin penting dari pendekatan restoratif adalah memotivasi pelaku untuk mengubah hidupnya sendiri. Tidak jarang banyak korban pun mendukung restorasi pelaku guna menghindari kejahatan di masa depan.

Keenam, komunitas membantu meng-inte grasikan baik korban maupun pelaku dalam masyarakat. Jelas bahwa pelaku perlu diintegrasikan ke dalam masyarakat, terutama setelah hukuman penjara. Yang dibutuhkan oleh pelaku adalah akomodasi, pekerjaan, dan relasi yang positif sebagai anggota Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 9: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

149Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

komunitas dan masyarakat. Di sisi lain, korban pun perlu diintegrasikan ke dalam komunitas dan masyarakat. Ia tidak perlu dialianasi atau disingkirkan karena kejahatan yang dialaminya. Ini merupakan salah satu tujuan pokok dari dukungan terhadap korban. Di tanah air, yang dibutuhkan mungkin tidak hanya lembaga perlindungan saksi melainkan juga perlindungan pelaku dan perlindungan korban. Organisasi-organisasi karitatif yang menyediakan pelayanan konsultasi, dialogis, dan psikologis tidak hanya terbatas pada korban melainkan juga bisa diperluas sampai pada pelaku.

3. Keadilan Prosedural Dan Keadilan Restoratif

Dalam sejumlah literatur, keadilan restoratif, meskipun berbeda dengan keadilan prosedural-formal, mengandung nilai-nilai yang dapat dicapai melalui penerapan keadilan prosedural. Tyler misalnya menyatakan bahwa riset keadilan prosedural menunjukkan bahwa selalu ada jalan lain untuk meregulasi tindakan dan kondisi sosial secara efektif selain punitive punishment. Dan jalan itu adalah kepedulian (respect) dan keadilan prosedural.14 Jika individu melihat dan mengalami bahwa mereka diperlakukan secara sama, mereka akan melihat otoritas hukum sebagai sesuatu yang legitim dan perlu ditaati. Hasilnya, masyarakat menjadi lebih sadar diri (self-regulating), mengemban tanggung jawab personal dalam mengikuti aturan-aturan sosial. Pendekatan ini yang disebut dengan process-based model of regulation.15 Proses regulasi yang melibatkan masyarakat dan institusi-

insitusi sosial ini memiliki tujuan pokok yakni memotivasi individu untuk meregulasi diri untuk menyelaraskan keinginannya sesuai dengan kepentingan bersama yang tercermin pada hukum dan bukan karena sanksi atau insentif apa pun.

”The goal of this review is to point to common elements shares by this procedural j u s t i c e approach, the restorative justice movement, and a focus on morality and moral development. These approaches are united by their common goal: to encourage the development or activation of people’s internal values so that they will become more motivated to engage in self-regulatory behavior”.16

Tetapi ada syarat yang harus dipenuhi agar masyarakat menaati hukum dan keadilan prosedural dapat terwujud. Syarat tersebut adalah adanya keadilan dalam kualitas prosedur pengambilan keputusan dan keadilan dalam kualitas perlakuan terhadap semua orang. Tyler menegaskan:

”Two types of procedural justice are key: justice in the quality of decision-making procedures and justice in the quality of treatment that people receive from others. When people experiences these forms of justice, they are found to accept social rules, and voluntarily engage in self-regulatory behavior’.17

Namun spirit dasar dari prosedural justice adalah menumbuhkan motivasi individu un-tuk menaati hukum dan meregulasi diri agar terhindar dari sanksi dan perlakuan yang sama di depan hukum. Meskipun sanksi-sanksi dalam praktik efektif dalam membentuk perilaku masyarakat agar sesuai dengan hukum, implementasi dari pendekatan ini bisa sangat

14 Tom R. Tyler, Op.Cit., hlm. 308.15 Ibid., hlm. 308.16 Ibid., hlm. 309.17 Ibid., hlm. 309.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 10: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

150 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

berbahaya karena aparat penegak hukum dapat saja menggunakan kekerasan fisik dan sanksi finansial untuk memaksakan ketaatan masyarakat pada hukum. Hasilnya, yang kemudian terjadi bukanlah menegakkan otoritas hukum melainkan otoritas para pemegang otoritas pemaksaan. Yang terjadi bukanlah hukum yang legitim melainkan otoritas, institusi, dan penguasa hukum yang legitim. Situasi ini melemahkan penegakan hukum karena para penegak hukum sendiri bertindak tidak fair. Tyler menulis, ”One way to encourage people to view law as legitimate is for legal authorities to act in procedurally just ways”.18 Sebagai contoh, peran polisi akan semakin dihormati dan ditaati justru ketika ia menjalankan hukum secara fair. ”Beyond particular experiences, people are generally more likely to regard the police as legitimate if they believe that the police exercise their authority throug fair procedures”.19

Nilai-nilai dan motivasi internal individu justru memiliki peran jauh lebih penting dalam membentuk perilaku individu agar sesuai dengan hukum dari pada sanksi dan insentif apa pun dari luar. Tyler menyebut nilai dan motivasi internal ini sebagai moralitas personal, yakni motivasi untuk bertindak sesuai dengan pertimbangan dan pemahaman seseorang tentang apa yang tepat dan baik yang harus dilakukan berdasarkan martabat seseorang sebagai manusia dalam situasi konkrit yang dihadapi. Moralitas merupakan suatu nilai internal dan mengarahkan serta membentuk perilaku manusia dari dalam.

”The influence of moral values is based on the internalization of feelings of resposibility

to follow principles of personal morality. A Core element of moral values is that people feel a personal responsibility to follow those values, and feel guilty when they fail to do so. Hence, moral values, once they exist are self-regulatory in character, and those who have such values are personally motivated to bring their conduct into line with their moral standards”.20

Dengan mendasarkan ketaatan hukum pada moralitas internal, kontrol dari pihak mana pun di luar individu digantikan oleh kontrol dari dalam diri sendiri (melalui proses internalisasi). Legitimasi harusnya mengupayakan perkem-bangan moral dan bukan sebaliknya. Pendekatan keadilan prosedural justru ingin mengaktifkan sisi moralitas ini dengan menjalankan otoritas secara fair. ”When people view the authorities as engaging in practices that the public views as being morally appropriate, that heightens their sense that legal authorities are behaving morally”.21

Berbeda dengan keadilan prosedural, keadilan restoratif justru ingin menekankan kepedulian terhadap individu-indvidu yang terkait dengan kejahatan atau pelanggaran hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk merestorasi atau memulihkan korban, pelaku, dan komunitas. Bagi pelaku, tujuan keadilan restoratif adalah mengupayakan kesadaran individu atas kesalahannya dan menerima apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ini akan memulihkan martabat pelaku.

Tetapi yang menarik adalah bahwa keadilan restoratif bukanlah sebuah penyelesaian kejahatan dan pelanggaran hukun di luar prosedur hukum. Ia harus menjadi bagian

18 Ibid., hlm. 312.19 Ibid., hlm. 312.20 Ibid., hlm. 313.21 Ibid., hlm. 313.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 11: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

151Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

dari prosedur penyelesaian hukum, seperti ditegaskan Tyler:

”Like the procedural justice model, the restorative justice model also deals with legal procedures that are initiated when someone breaks a legal rule. And the goal of restorative procedures is also to further peoples loyalty to and adherence with legal rules in the future. In the case of restorative justice, the restorative justice conference seeks to motivate such immediate and future behavior by separating the ‘good’ person from their ‘bad’ conduct”.22

Spirit dasar kedua model keadilan ini tetap sama yakni tidak untuk menghakimi pelaku atau orang yang melanggar hukum melainkan menyadarkan orang untuk memikul tanggung jawab atas tindakan dan bertindak menurut nilai-nilai moral berdasarkan kesadaran moral masing-masing individu. Tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap korban, dan terhadap komunitas, seperti ditegaskan Dennis Sullivan dan Larry Tifft, ”The hope is that those responsible for a harm will be able to acknowledge to the community and perhaps to the person(s) they harmed what they did and in some way make amends, to ‘make things right’”.23 Maka fokusnya bukan pada hukuman yang diberikan kepada pelaku melainkan kepentingan masyarakat dan komunitas yang lebih luas. Karena korbannya bukanlah negara melainkan individu, pribadi, person sehingga penyelesaian dan restorasinya bukanlah hukum yang mati melainkan individu-individu yang hidup.

Tetapi ironinya adalah bahwa praktik dan pekembangan pendekatan keadilan restoratif tidak bisa dipisahkan dari peran negara. Hal ini

dapat dipahami karena negara memiliki aspek pendanaan, assessment, keberlanjutan. Tetapi efeknya ia hanyalah sebuah program coba-coba dengan skala dan ruang lingkup yang sangat sempit dan tidak pernah dijalankan secara luas apalagi total.

4. Dasar Moral Keadilan Restoratif

Setiap kelompok masyarakat dalam sejarah kehidupan manusia entah masyarakat pra-modern, tradisional, modern, dan pasca modern, selalu mencari cara-cara yang efektif, rasional, dalam menyelesaikan perpedaan kepentingan, pendapat, atau konflik, termasuk persoalan hukum dalam kehidupan bersama. Keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penyelesaian persoalan hukum diantara anggota masyarakat. Konfigurasi sosial, ekonomi, dan politik, sering membawa serta persoalan-persoalan hukum yang tidak hanya semakin rumit dan pelik untuk diselesaikan melainkan juga membutuhkan metode-metode penyelesaian yang efektif, rasional, dan dapat diterima oleh semua pihak yang terkait dengan persoalan hukum.

Sebagai pendekatan dalam penyelesaian hukum yang menekankan unsur dialog, komunikasi, kebersamaan, simpatik, empatik, dan restorasi atau pemulihan korban tindakan kejahatan hukum, keadilan restoratif merupakan upaya menemukan kembali semangat keber-samaan nilai, komunitas, dan kepedulian ter-hadap orang lain yang mengakar kuat pada masyarakat tradisional namun hilang dalam masyarakat modern.

22 Ibid., hlm. 318. 23 Lihat Dennis Sullivan and Larry Tifft, Handbook of Restorative Justice, (London & New York: Routledge, 2006),

hlm. 1.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 12: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

152 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Dennis Sullivan dan Larry Tifft, menyatakan bahwa keadilan restoratif berakar dalam nilai-nilai moral, semangat spiritual, dan keyakinan-keyakinan kultural masyarakat tradisional. Praktek pertemuan yang melibatkan para keluarga untuk menyelesaikan konflik di New Zealand pada zaman dulu yang disebut dengan whanau, atau praktek Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan selama tahun 1970-an dan 1980-an yang bekerja atas dasar energi spiritual dan kultural ubuntu, merupakan cara penyelesaikan konflik yang mengandung semangat keadilan restoratif. Dennis Sullivan dan Larry Tifft menyatakan demikian:

”Ubuntu is a social ethic that not only describes human being as ‘being with others’, but prescribes how we should be with them. Ubuntu is the principle of caring for each other’s well-being, a spirit of mutuality that posits the idea that each individual’s humanity is expressed through his or her relationships with others, that we have a resposibility for promoting individual and societal well-being, for the restoration of community. The spirit of Ubuntu is the healing of breaches, the redressing of imbalaces, the restoration of broken realtionships. ... the person one is always changing, united with and being through one’s diverse relationships with others.”24

Di Indonesia, jika tidak dipolitisasi ber-dasarkan kepentingan politik terutama di era Orde Baru, musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan nama lain untuk praktik yang sama: menegakkan keadilan restoratif. Karena nilai-nilai keadilan restoratif terkandung dalam semangat musyawarah untuk mufakat. Nilai-nilai tersebut adalah pada proses dialog yang didasarkan pada perasaan (afeksi) dan

semangat kesatuan, pandangan bahwa ada banyak cara dan perspektif untuk memahami suatu situasi, keyakinan bahwa pengalaman dan pemahaman masyarakat umum atas suatu situasi lebih penting dari apa yang senyatanya terjadi. Mendengar sudut pandang dan ide-ide dari yang lain (the other’s), penderitaan dan usulan mereka tentang bagaimana suatu situasi dapat diselesaikan membutuhkan empati, pemahaman, dan peduli terhadap perasaan, persepsi, dan suara mereka.25

5. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap Praktik Konvensional Pengadilan Kejahatan

Jika dirunut lebih jauh ke belakang, mun-culnya gairah wacana teoretis dan praktik penerapan keadilan restoratif – bahkan dalam beberapa negara dilakukan oleh badan atau mediator di luar proses pengadilan formal – tidak lepas dari praktik dan kualitas putusan pengadilan yang tidak memuaskan berbagai pihak. Nyanyian tentang cacat inheren praktik pengadilan di tanah air tidak pernah berhenti. Proses pengadilan bukanlah sebuah proses hukum yang ingin menegakkan keadilan guna memastikan kepastian hukum melainkan lebih sebagai proses politik yang dengan mudah da-pat direkayasa demi kepentingan-kepentingan ter tentu. Proses dan putusan hukum seperti adegan dalam film. Ia berada di antara yang nyata dan yang tidak nyata, antara realitas dan ilusi, antara konkret dan imaginasi. Sebuah situasi yang tidak pernah pasti. Di mana yang pasti adalah ketidakpastian.

24 Dennis Sullivan and Larry Tifft, Op.Cit., hlm. 148. Cetak tebal berasal dari penulis untuk membedakannya dengan teks yang lain.

25 Ibid., hlm. 147.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 13: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

153Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Korban, pengacara, pengamat, dan kritikus hukum sering menilai proses penahanan, penangkapan, pemeriksaan, dan penyidikan bertentangan dengan asas hukum ‘praduga tak bersalah’. Seorang saksi bahkan juga korban dapat dengan mudah dijadikan tersangka dan terdakwa. Korban salah tangkap bukanlah sesuatu yang asing dalam proses penegakan hukum di tanah air. Dakwaan jaksa sering dinilai tidak cermat, tuntutan jaksa terlalu ringan dan pasal-pasal yang disangkakan dinilai tidak tepat. Proses pengadilan yang diisyaratkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti cepat, sederhana dan biaya ringan, dalam kenyataan jauh dari harapan. Proses pengadilan menjadi sangat lama dan menelan biaya yang tidak sedikit. Putusan-putusan pengadilan pun sering bernasib ‘setali tiga uang’. Putusan pengadilan hanya berat bagi rakyat miskin dan tak berdaya tetapi sangat ringan bagi pejabat dan mereka yang kaya-raya karena mampu ‘membayar’ dan mengerahkan masa tandingan. Seorang koruptor yang merugikan kepentingan seluruh rakyat karena mengemplang uang rakyat miliaran bahkan triliunan rupiah justru dihukum lebih ringan dari seorang pencuri sendal jepit, pencuri jemuran atau seekor kambing oleh masyarakat miskin.

Hukum di tangan para penegak hukum lebih merupakan komoditas politik dan sarana untuk memperkaya diri sendiri dari pada memperjuangkan keadilan, menjunjung tinggi kepentingan bersama, memotivasi ma-syarakat untuk menaati hukum demi keadilan bersama, menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat, mengembangkan tanggung jawab pelaku atas pelanggaran hukum yang terjadi, mengedepankan dialog dan komunikasi, merestorasi korban, pelaku, dan komunitas, serta mencegah kejahatan yang sama terjadi

kembali di masa depan. Nilai-nilai yang merupakan spririt dasar pendekatan keadilan restoratif ini sangat jauh dari proses dan putusan nyata pengadilan. Maka tidak mengherankan bila banyak pihak menilai bahwa persepsi, visi, pendekatan, dan praktek keadilan restoratif yang semakin diupayakan di luar proses pengadilan formal merupakan tamparan telak terhadap proses pengadilan formal-konvensional yang dinilai tidak hanya tidak adil melainkan semakin membuat kepastian hukum tidak pasti. Keadilan dan kepastian hukum di Indonesia bernasib seperti pepatah ‘jauh panggang dari api’.

Kondisi-kondisi inilah yang melahirkan wacana perlunya dikembangkan pendekatan keadilan restoratif. Karena pendekatan ini lebih mengedepankan visi humanis dan moralis hukum yakni melindungi, menjaga, dan menjunjung tinggi tanggung jawab dan martabat luhur manusia dari pada menghakimi, menghukum, atau memenjarakan. Terhadap kasus-kasus pelanggaran sederhana seperti perselisihan yang terjadi di antara anak-anak di bawah umur, pencurian harta benda yang nilainya tidak seberapa untuk menyambung hidup, bisa diselesaikan di antara kelompok masyarakat sendiri, apalagi jika korban bersedia memaafkannya atau pelaku bersedia mengganti kerugian yang diakibatkannya. Termasuk di sini persoalan rumah tangga yang memiliki peluang untuk diselesaikan oleh keluarga atau mediasi. Tetapi perkara kejahatan besar seperti korupsi misalnya, tidak bisa dilakukan mediasi dengan pendekatan keadilan restoratif karena korbannya adalah masyarakat luas yang hak ekonominya dirampas oleh koruptor.

Harus diakui bahwa visi dan wacana tentang perlunya mengamandemen Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)menunjukan kesadaran baru bahwa KUHAP Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 14: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

154 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

tidak lagi memadai sebagai acuan tunggal dalam penegakan hukum formal-konvensional. KUHAP lebih banyak melindungi hak-hak pelaku, tersangka, atau terdakwa kejahatan dari pada hak-hak korban, sehingga melokalisasi secara sepihak proses penegakan hukum hanya antara institusi penegak hukum sebagai pemegang otoritas (yang sering manipulatif) dan terdakwa sebagai ”pesakitan” tanpa melibatkan secara memadai korban, komunitas, dan masyarakat. Kondisi ini sering kali melahirkan protes dan tuntutan ”keadilan” dari korban dan masyarakat karena perspektif mereka diabaikan secara sistematis-legal dan tidak akomodasi oleh KUHAP.

Pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP hanya mengatur soal jenis pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tetapi tidak memiliki perspektif untuk merehabilitasi atau merestorasi. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Pasal 10 KUHP yang memilah dua jenis hukuman, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, seperti juga Pasal 69 KUHAP tentang Bantuan Hukum, Pasal 95 – Pasal 97 tentang ganti kerugian dan rehabilitasi, merupakan pasal-pasal yang terbuka untuk direvisi.

Sejumlah pihak menyadari bahwa persoalan yang dihadapi dalam penegakan hukum kita adalah belum tersedianya wadah hukum penyelesaian perkara pidana melalui mediasi. Doktrin hukum yang masih berlaku adalah perkara pidana tidak bisa dimediasi, atau kebenaran, keadilan dan kepastian hukum hanya bisa dilahirkan dari proses hukum formal-konvensional di pengadilan. Karena dalam proses formal pengadilan inilah semua fakta hukum terungkap, semua argumen hukum diuji, dan sebuah keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan dapat dicapai.

Tetapi mengupayakan proses mediasi da-lam penyelesaian perkara kejahatan di luar pengadilan formal-konvensional sebagai salah satu spirit keadilan restoratif, justru semakin membuat cita-cita kepastian hukum tidak pasti. Mediasi seharusnya dilakukan di dalam proses pengadilan formal itu sendiri. Mediasi hanyalah salah satu metode dalam penyelesaian perkara kejahatan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat agar kepentingan semua pihak diperhatikan. Tetapi tujuan keadilan restoratif bukan terletak pada metode itu sendiri melainkan justru berada di luar metode mediasi. Tujuan utama pendekatan keadilan restoratif adalah memulihkan hak-hak korban, pelaku, dan masyarakat, serta memotivasi pelaku dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukan dalam masyarakat dan menghindari tindakan serupa di masa depan. Tujuan ini dapat dicapai dalam proses pengadilan formal-konvensional asal setiap aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, kehakiman, maupun pengacara menerapkan prinsip-prinsip dasar pendekatan keadilan restoratif yang sudah diuraikan di atas dalam proses pengadilan formal-konvensional. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam proses pengadilan formal-konvensional tidak hanya menunjukkan tanggung jawab dan kewibawaan negara atas warga negara melainkan terutama menjamin tegaknya keadilan dan kepastian hukum itu sendiri sebagai cita-cita tertinggi negara hukum (rule of law). Kita sama sekali tidak bisa membayangkan kalau kemudian lembaga mediasi di luar atau melalui pengadilan merongrong martabat pengadilan itu sendiri dari dalam dan dari luar.

Salah satu contoh penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam proses pengadilan formal adalah apa yang dinyatakan oleh seorang Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 15: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

155Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

hakim agung, Komariah Emong Sapardjaja, dalam beberapa tahun silam. Ia mengatakan bahwa pendekatan keadilan restoratif sudah dilakukan dalam penyelesaikan perkara kejahatan dalam pengadilan formal. Ketika mengadili seorang suami (perkara No 307 K/Pid.Sus/2010) yang didakwa dengan Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman paling lama tiga tahun atau denda Rp 15 juta karena menelantarkan istri dan anak-anaknya, memilih menjatuhkan hukuman percobaan dengan syarat khusus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak. Salah satu pertimbangannya adalah yang dibutuhkan oleh korban adalah nafkah bulanan, sedangkan pelaku berharap tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS. Melalui putusan ini kepentingan korban dan pelaku terakomodasi.

Penerapan pendekatan keadilan restoratif perlu dilakukan dalam proses pengadilan formal-konvensional dalam setiap tingkatan penyelesaian perkara mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pengambilan keputusan karena didasarkan pada alasan-alasan berikut, antara lain:

Pertama, karena penerapan pendekatan keadilan restoratif (di luar pengadilan formal) mengandaikan bahwa korban dan pelaku kejahatan menyetujuinya, bahwa kekerasan harus dihentikan, bahwa pelaku kejahatan mengambil tanggung jawab, bahwa hanya pelaku kejahatan yang patut dipersalahkan dan bukan korban, dan bahwa proses mediasi hanya berlangsung dengan persetujuan korban. Dalam kenyataan, terutama untuk kasus-kasus

26 Daly, Op.Cit., hlm. 135.

besar, persetujuan oleh korban sering tidak bisa tercapai. Di sisi lain, tanggung jawab pelaku atas kejahatan yang ditimbulkannya dan upaya untuk memulihkan korban secara finansial tidak dengan mudah dapat dicapai terutama jika pelaku berasal dari kalangan kurang mampu.

Kedua, meskipun teori, visi, dan praktik pe-nerapan keadilan restoratif merupakan sesuatu yang positif dan maju dalam penegakan hukum, tetapi tidak terealisasi secara memuaskan. Daly mengidentifikasi elemen-elemen kunci keadilan restoratif sebagaimana diteorikan banyak pihak seperti: putusan atau hukuman (penalty) (atau post-penalty) tanpa fase penemuan-fakta (fact-finding) dari proses formal penyelesaian kejahatan; biasanya melibatkan pertemuan face-to-face antara pelaku dan korban serta pendukung-pendukung mereka; menginginkan peran dan partisipasi aktif korban dan pelaku dalam putusan yang adil; menekankan proses informal berdasarkan pengetahuan dan partisipasi aktif orang-orang biasa (umumnya mereka yang paling menjadi korban) meskipun ada aturan-aturan tertentu yang mensituasikan perilaku orang-orang yang terlibat dalam pertemuan dan membatasi apa yang bisa me reka putuskan; bertujuan agar pelaku bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya, tetapi di sisi yang lain juga tidak menstigmatisasi mereka sehingga bisa diharapkan agar mereka dimasa depan mengurangi tindakan serupa; serta bertujuan untuk memulihkan korban karena akibat dari tindakan pelaku.26

Tetapi menurut Daly semuanya ini tidak pernah bisa direalisasikan secara memuaskan. Untuk sementara orang program pemulihan korban ini dapat dilakukan tetapi bagi korban

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 16: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

156 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

yang lain tidak. Soal hukuman yang diberikan kepada pelaku tanpa perlu mempersoalkan temuan fakta di lapangan, menurut Daly, hanya mungkin berlangsung dalam masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi nilai kekerabatan.Tetapi pada masyarakat modern dengan institusi sosial dengan kewenangan yang lebih spesifik dan tegas, cita-cita semacam ini agak sulit untuk diwujudkan. Itulah sebabnya mengapa Daly menulis, ”Without a fact-finding or investigating mechanism, however, RJ cannot replace established CJ. To do so, it must have a method of adjudication, and currently it does not.”27

Ketiga, harus diakui bahwa keadilan restoratif memang mengintrodusir suatu metode dalam penetapan hukuman dimana semua pihak di luar profesi hukum tetapi berkepentingan, terlibat dalam penentuan hukuman. Tetapi semuanya ini toh mengandaikan bahwa jaminan individual baik korban maupun pelaku terpenuhi. Tanggung jawab baik pelaku maupun korban tidak bisa dilepaskan dari mereka yang terlibat dalam kasus tersebut. Itulah sebabnya mengapa banyak pihak tetap menginginkan penyelesaikan kasus menurut prosedur hukum formal, meskipun perlu dan harus mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. ‘There may well be better methods of adjudicating crime, and a trobleing feature of established CJ is how long it takes for cases to be adjudicated and disposed; but surely, no one woukd wish to dispense with the right of citizens to defend themselves against the state’s power to prosecute and punish alleged crime’.28

Keempat, harus diakui bahwa pendekatan komunikasi-dialogis antara korban dan pelaku

merupakan sesuatu yang positif dalam penegakan hukum. Putusan-putusan yang dibuat tidak melulu berdasarkan pertimbangan hakim atau tuntutan jaksa melainkan kesepakatan antara pelaku dan korban, sebagaimana dikatakan Daly: ‘In established CJ processes, research show that in the courtroom, a defendant is tipically mute and a victim is not present. State actors do all the work of handling and processing crime. The actual parties to a crime (the persons charged and victim-complainants) are bystanders or absent’.29 Daly mengusulkan secara tidak langsung agar keadilan restoratif sebaiknya ditempuh dalam proses pengadilan formal. Ia bisa ditempatkan semacam suatu tahap dalam persidangan dimana korban dan pelaku berkomunikasi secara dialogis dalam menentukan metode yang dipakai dalam penyelesaian perkara.

Maka jelas bahwa keadilan restoratif sebaiknya tidak dilakukan diluar proses formal pengadilan, melainkan justru harus berlangsung dalam proses pengadilan formal-konvensional itu sendiri. Pemikiran, visi, wacana, dan praktik penerapan pendekatan keadilan restoratif di luar pengadilan formal-konvensional seharusnya diterima sebagai kritik inheren terhadap penegakan hukum dalam proses pengadilan formal-konvensional. Para aparat penegak hukum seharusnya menerima kritik ini sebagai kesempatan untuk membuktikan kemampuan mereka untuk menyelesaikan proses hukum formal-konvensional secara adil sesuai dengan harapan semua kelompok masyarakat terutama korban dan pelaku seperti diisyaratkan oleh pendekatan keadilan restoratif.

27 Ibid., hlm. 136.28 Ibid.29 Ibid., hlm. 137.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 17: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

157Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Anggapan umum bahwa keadilan restoratif harus berlangsung di luar proses pengadilan formal dengan demikian tidak hanya tidak bisa diterima melainkan juga tidak akurat. Daly menyatakan bahwa sejumlah pandangan kritis memang menyarankan agar keadilan restoratif berlangsung ‘di luar’ atau ‘bukan bagian’ dari keadilan kriminal yang sudah ada. Ia menilai pandangan ini tidak tepat. Seharusnya keadilan restoratif diintegrasikan ke dalam proses hukum formal penyelesaian perkara kejahatan yang sudah ada. ‘Although a common perception, it is inaccurate. In all jurisdictions where RJ has been legislated in response to crime, it is very much ‘inside’ the established CJ process, as the police or courts make a decision about how to handle a case’, tegas Daly.30

Persoalan lain adalah adanya gap yang terlalu lebar antara cita-cita dan aspirasi keadilan restoratif dengan praktik atau kenyataan di lapangan. Keinginan agar pelaku, korban, dan keluarga mereka masing-masing duduk bersama mencari penyelesaian kasus hukum yang terjadi tidak sepenuhnya berjalan. Ia mungkin hanya efektif pada masyarakat tradisional yang struktur sosialnya tidak sespesifik dan sekuat sekarang. Bottoms bahkan menyebutnya hanya bisa terwujud dalam masyarakat tradisional dengan relasi sosial dan ikatan-ikatan nilai moral dan nilai-nilai kebersamaan komunitas yang masih sangat kuat. Di samping itu, partisipasi aktif dalam dialog membutuhkan kedewasaan moral yang sangat kuat. Sementara kemampuan ini kurang dimiliki oleh masyarakat modern termasuk kebanyakan masyarakat Indonesia. ‘Moreover, effective partisipation requires

a degree of moral maturity and empathetic concern that many people, and especially young people, may not possess.31

Maka akhirnya, yang diharapkan adalah, penerapan keadilan restoratif dalam kerangka proses pengadilan formal. Tetapi, meskipun demikian, ini bukan berarti bahwa keadilan restoratif bisa ditegakkan pula dalam proses pengadilan formal. Karena kualitas lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, para hakim dan bahkan juga para pengacara diperlukan. Daly menulis: ‘Finally, we know from the history of establisehd CJ that organizational routines, adminstrative efficiency, and professional interests often trump justice ideals. RJ is no exception. It takes time and great effort to create the appropriate contexts for RJ processes to work effectively, including a facilitator’s contacting and preparing participants, identifying who should be present, coordinating the right time for everyone, runnning the meeting, and following up after it is over’.32

Salah satu kritik utama yang dialamatkan kepada keadilan restoratif adalah bahwa keadilan restoratif lebih menekankan proses dari pada hasil. Seolah-olah asal para partisipan yang terlibat bekerja sesuai dengan metode yang dirujuk, keadilan yang memuaskan semua pihak dapat terwujud. Pada hal proses yang adil tidak dengan sendirinya menghasilkan putusan yang adil juga. Paling tinggi, yang dicapai adalah keadilan prosedural dan bukan keadilan restoratif sebagai tujuan substansialnya. Karena keadilan restoratif justru hanya bisa terukur setelah kesepakatan diambil dan bukan pada

30 Ibid.31 Ibid.32 Ibid.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 18: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

158 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

saat tercapainya kesepakatan. Itulah sebabnya sejumlah pemikir lebih memahami keadilan restoratif sebagai upaya mencapai kewajaran (fairness) (perilaku korban, pelaku, fasilitator atau mediator, atau para penegak hukum dalam proses pengadilan formal) dalam proses dialog dan kesepakatan dari pada restorasi korban, pelaku dan komunitas setelah kesepakatan tersebut. Belum lagi keinginan dasar setiap korban, seperti dinyatakan oleh Cretney dan Davis, bahwa korban selalu menginginkan hukuman bagi pelaku, dan tidak sekedar restitusi atau reparasi, karena hukuman itu lebih menjamin pengakuan dan dukungan publik terhadap korban.

Di samping alasan-alasan di atas, penerapan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif mesti dilakukan secara integratif dalam proses pengadilan formal-konvensional dan bukan di luar proses pengadilan formal karena ide dasar keadilan restoratif tentang dialog, komunikasi, dan tanggung jawab, dalam praktek membawa serta tingkat kesulitan tersendiri. Kenyataan menunjukan bahwa tidak ada diskusi yang sempurna dan komplet tentang apa itu keadilan restoratif dan bagaimana mewujudkannya. Tidak ada konsensus antar bebagai pihak tentang prosedur standard, kalau tidak formal dan mengikat, tentang praktik-praktik mana yang harus ditempuh dalam mewujudkan keadilan restoratif. Bahkan, karut-marut ini diperparah dengan kekacauan di seputar pemahaman tentang keadilan restoratif: apakah keadilan restoratif menunjuk pada proses (process) atau hasil (outcome)? Banyak diskusi tentang keadilan restoratif di tanah air lebih menempatkan keadilan restoratif pada tataran proses dari

pada hasil atau tujuan. Artinya, keadilan restoratif lebih dipahami sebagai suatu metode, pendekatan, atau paradigma - meminjam istilah Thomas Khun - untuk mencari konsensus atau kesepakatan oleh berbagai pihak yang terlibat yang tidak jarang lebih ‘menghakimi’ dan mengintimidasi yang lemah dari pada proses dialogis yang setara untuk mencapai konsensus yang adil sebagai tujuan dan cita-cita real hukum itu sendiri.

Di sisi yang lain, seperti sudah dinyatakan di atas, penyelesaian perkara kejahatan di luar pengadilan formal-konvensional yang sudah ada tidak hanya membuat cita-cita kepastian dan keadilan hukum dalam hukum semakin jauh ditinggalkan melainkan juga mendelegitimasi hukum dan insititusi-institusi penegak hukum itu sendiri. Tambahan lagi, proses penyelesaian perkara kejahatan yang melibatkan berbagai pihak tidak dengan sendirinya menjamin kepastian dan keadilan dalam konsensus yang dalam kenyataannya sangat sulit untuk dicapai.

Haruslah disadari bahwa tujuan dasar hukum untuk menegakkan kepastian dan keadilan hukum secara taat asas, paling tidak dari perspektif legal-formal, merupakan upaya yang sulit dan tidak pernah sempurna. Ia selalu merupakan usaha yang tidak komplet (incomplete). Meskipun penting dan harus diraih, keadilan, menurut Derrida, tidak pernah dapat dicapai, apalagi secara memuaskan. Keadilan bahkan dilukiskan sebagai an ‘experience of the impossible’, ‘an ideal, an aspiration, which is supremely important and worth striving for constantly and tiressly’.33 Dan keadilan hukum seharusnya diupayakan di dalam proses formal hukum itu sendiri dan tidak mencarinya di luar proses hukum.

33 Pavlich 1996, hlm. 37 dan Hudson 2003, hlm. 192 sebagaimana dikutip Kathleen Daly, Ibid., hlm. 134.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 19: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

159Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren ... (S. Atalim)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

E. Penutup

1. Kesimpulan

Prinsip-prinsip keadilan restoratif yang me ne kankan: dukungan dan pemulihan korban sebagai prioritas penyelesaian perkara pidana kejahatan, tanggung jawab pelaku dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan baik bagi korban maupun masyarakat secara keseluruhan, proses penyelesaian perkara secara dialogis dan komunikatif untuk mencapai kesepahaman dalam iklim kebersamaan dan kesatuan, kesediaan dan kesempatan bagi pelaku dan masyarakat untuk menghidari kejahatan serupa di masa depan, serta dukungan komunitas untuk membantu mengintegrasikan korban maupun pelaku dalam masyarakat, semuanya menunjukan visi-visi humanis dan moralis tentang tujuan hukum. Hukum dan segala macam aturan yang dirumuskan dalam masyarakat tidak terutama dimaksudkan untuk menghukum dan menghakimi para pelanggar melainkan agar setiap orang menyelaraskan tindakan-tindakannya dalam kehidupan sosial demi kepentingan bersama yang jauh lebih besar dari pada keuntungan dan kepentingan pribadi yang terbatas. Ironisnya, tujuan mulia ini belum sepenuhnya terwujud dalam praktik pengadilan formal-konvensional atas perkara pidana kejahatan. Maka yang perlu dibenahi adalah proses pengadilan formal-konvensional itu sendiri dengan memerhatikan nilai-nilai yang dihembuskan oleh visi dan pendekatan keadilan restoratif. Argumen dan keinginan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif di luar proses pengadilan formal-konvensional tidak bisa diterima justru karena menciptakan ketidakpastian hukum baru. Praktek di luar proses pengadilan formal-konvensional itu pun dapat mendelegitimasi hukum dan insititusi-institusi penegak hukum itu sendiri.

Kenyataan bahwa wacana penerapan pen-dekatan keadilan restoratif yang mengedapan dialog, komunikasi, tanggung jawab, pemulihan, dan kesadaran dalam mengakui kesalahan dan kesediaan untuk mengubah tindakan di masa depan, merupakan praktik yang menghidupkan kembali spirit lama dari penyelesaian perkara kejahatan dalam masyarakat tradisional melalui praktik-praktik hukum adat di tanah air. Itulah sebabnya, mengapa wacana penerapakan prinsip keadilan restoratif dalam proses pengadilan formal-konvensional tidak sekedar merupakan kritik terhadap praktek pengadilan formal-konvensional melainkan merupakan momentum untuk kembali menggali praktik-praktik hukum adat yang menyimpan berbagai kekayaan metodis penyelesaian perkara kejahatan yang keadilannya lebih dirasakan dan diterima oleh masyarakat. Tuntutan ini menjadi semakin relevan justru karena kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat suku atau adat di pedalaman, anak-anak, perempuan, ekonomi lemah, petani, pedesaan, semakin terpinggirkan dalam dalam upaya pencarian keadilan formal-konvensional.

2. Rekomendasi

Untuk menjamin kewibawaan, kepastian, dan keadilan hukum, penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif perlu dilakukan dalam kerangka proses pengadilan formal-konvensional dalam semua tingkatan mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap pemulihan pasca menjalani hukuman pengadilan. Dengan demikian, KUHAP yang direncanakan untuk diamandemen perlu memerhatikan visi-visi ini sehingga ia tetap relevan dalam masyarakat dan tidak ketinggalan zaman. Kritik terhadap KUHAP bahwa ia lebih banyak berurusan dengan pelaku dari pada merehabilitasi, merestorasi, Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 20: ARTIKEL 1 Vol 2 No 2.pdf

160 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 141-160

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

atau memulihkan korban harus dijawab dengan pasal-pasal nyata yang mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin hak-hak korban dan masyarakat secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

BukuBottoms, A. E., Some sociological reflection on

restorative justice, dalam A. Von Hirch, J. Roberts, A. E. Bottoms, K. Roach, and M. Sciff (eds.), Restorative Justice and Criminal Justice: competing or reconcilable pradigms?, (Oxford: Hart Publishing, 2004).

Cretney, A., and Davis, G., Punishing Violence, (London: Routledge, 1995).

Gill, David G., Toward a ‘radical’ paradigm of restorative justice dalam Sullivan, Denis and Tifft, Larry (ed), Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, (London and New York: Routledge, 2006).

Harris, M. Kay, Transformative Justice dalam Sullivan, Denis and Tifft, Larry (ed), Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, (London and New York: Routledge, 2006).

Johnstone, Gerry, Restorative Justice: Ideas, Values, Debates, (Collumpton-Devon, UK.: Willan Publishing, 2002).

Johnstone, Gerry, A Restorative Justice Reader: texts, sources, context, (Portland, Oregon: Willan Publishing, 2003).

Liebmann, Marian, Restorative Justice: How itsWorks, (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007).

Marshall, Tony F., Restorative Justice: An Overview (London: Home Office, 1999).

Pavlich, G., Justice Fragmented: mediating community disputes under postmodern conditions (New York: Routledge, 1996).

Sullivan, Denis and Tifft, Larry (ed), Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective (London and New York: Routledge, 2006).

Van Ness, Daniel W. and Strong, Karen Heetderks, Restoring Justice: An Introduction to Restorative Justice, fourth editon, (New Jersey: LexisNexis & Anderson Publishing, 2010).

Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisaksi, 2009).

Weitekamp, Elmar G.W. and Kerner, Hans-Jürgen, (ed), Restorative Justice in Context: International Practice and Directions, (Collumpton-Devon, UK.: Willan Publishing, 2003).

Zehr, H., Changing Lenses: a new focus for crime and justice,(Scottdale, PA: Herald Press, 1995).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil PenelitianAlkostar, Artidjo, Penyelesaian Non-Prosekutorial

dan Rekonsiliatif dalam Pelangaran HAM, (makalah dalam Seminar Pertanggungjawaban Negara dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Komnas HAM RI dan Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Februari 2009).

Tyler, Tom R., Restorative Justice and Procedural Justice: Dealing with Rule Breaking, Journal of Social Issues, Vol. 62, No. 2,(2006).

PeraturanKitab Undang-Undang Hukum PidanaKitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN