arca salaka domas
TRANSCRIPT
ARCA SALAKA DOMASPendahuluanKenyataan menunjukkan cukup banyak
masalah yang dihadapi oleh para arkeolog dalam menafsirkan data
arkeologi. Rentang waktu yang sangat panjang sejak objek tersebut
berfungsi hingga sekarang ini menyebabkan pemahaman mengenai objek
dan manusia pendukung kebudayaannya sangat sedikit. Untuk
menjembatani atau mencari kedekatan fungsi dan makna data arkeologi
tersebut, langkah yang ditempuh oleh arkeolog antara lain
menggunakan analogi dengan tradisi yang masih berlanjut pada
masyarakat sekarang. Studi analogi semacam itu biasanya disebut
dengan etnoarkeologi (lihat: Ascher, 1971; Kramer, 1979;
Mundardjito, 1981). Namun, dalam tulisan ini tidak membicarakan
mengenai konsep-konsep atau teori-teori tentang etnoarkeologi,
tetapi lebih pada sebuah referensi yang mungkin dapat digunakan
oleh arkeolog untuk menafsirkan fungsi dan makna, dalam hal ini
tentang penataan ruang pada masyarakat megalitik.
Saat ini masih ada masyarakat kita yang menyimpan pusaka budaya
leluhur yang kiranya cukup relevan digunakan sebagai referensi
dalam kajian arkeologi. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat
Baduy, masyarakat yang tergolong masih bersahaja dan memiliki
tradisi megalitik, serta masih bertalian erat dengan objek
arkeologi yang dikenal dengan nama Arca Domas atau Sasaka Domas.
Bahkan hingga kini, objek megalitik tersebut masih difungsikan
sebagai objek pemujaan.
Tulisan ini membahas hubungan antara Arca Domas dan masyarakat
Baduy, serta implikasinya terhadap penataan ruang. Melalui kajian
ini diharapkan dapat mengenali fungsi dan makna Arca Domas bagi
masyarakat Baduy sekarang sebagai pencarian analogi atau kedekatan
fungsi dan makna Arca Domas pada masa lalu.Sedikit tentang
Masyarakat BaduyMasyarakat Baduy mendiami daerah Banten selatan,
pada daerah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng (900
meter dari permukaan laut). Daerah ini tepatnya berada di desa
Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5.101,85 hektar. Luas
wilayah ini lebih kecil dari masa-masa sebelumnya. Menurut
perkiraan A.J. Spaan dan B. van Tricht, pada akhir abad ke-18
wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar
sekarang sampai ke Pantai Selatan. Batas wilayah sekarang ini
dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan
perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya. Menurut
perkiraan Judhistira Garna, luas wilayah ini meliputi beberapa
kecamatan, seperti Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik, dan
Leuwidamar. Hal ini didasarkan atas kesamaan kepercayaan Sunda Lama
yang dikenal dengan sebutan kabuyutan (buyut=nenek moyang), dan
pertalian kekerabatan masyarakat yang menempati daerah-daerah
tersebut. Wilayah ini makin dipersempit oleh kesultanan Banten
dalam rangka penyebarluasan agama Islam (Danasasmita, 1986; Garna,
1988).
Keadaan kependudukan masyarakat Baduy pertama kali dilaporkan pada
tahun 1888 berjumlah 291 orang yang menempati 10 kampung. Namun,
pada tahun berikutnya pada laporan lain diketahui bahwa penduduk
Baduy berjumlah 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs,
1891). Pada tahun 1908 penduduk Baduy dilaporkan berjumlah 1.547
orang, dan dua puluh tahun kemudian, tercatat 1.521 orang (Tricht,
1929). Keadaan penduduk Baduy lebih lanjut lihat tabel
berikut.Tabel. Penduduk Baduy 18881994
NoTahunJumlah
11888291
218891.407
319081.547
419281.521
519663.935
619694.063
719804.057
819834.574
919844.587
1019864.850
1119946.483
(Diambil dari berbagai sumber: Iskandar, 1992; Garna, 1993;
Ekadjati , 1995; Permana, 1996;)Masyarakat Baduy secara umum
terbagi atas tiga golongan, yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes, sedangkan
dangka terdapat di luar desa Kanekes. Tangtu menurut pengertian
masyarakat Baduy dapat diartikan sebagai masyarakat pendahulu atau
cikal bakal, terdiri atas tiga kampung: (1) Cikeusik atau disebut
juga tangtu Para Ageung, (2) Cibeo atau disebut juga tangtu
Parahiyang, dan (3) Cikartawana atau disebut juga tangtu Kujang.
Ketiga tangtu tersebut dikenal pula dengan nama Telu Tangtu, Baduy
Jero, Urang Kajeroan, atau Baduy Dalam.
Panamping (berasal dari kata tamping berarti buang) merupakan
tempat bagi orang tangtu yang dibuang atau dikeluarkan karena
melanggar adat. Pendapat lain mengatakan bahwa panamping berarti
pinggir atau daerah pinggiran. Masyarakat yang tinggal di daerah
panamping masih terikat kepada tangtu-nya masing-masing. Mereka
berkewajiban untuk nyanghareup atau menghadap atau
melakukan/mengikuti aktivitas sosial budaya dan religi kepada
tangtu-nya.
Dangka juga merupakan tempat pembuangan warga Baduy yang melanggar
adat. Wilayah dangka ini adalah daerah yang berada di luar wilayah
Kanekes namun masih merupakan wilayah budaya dan keturunan Baduy.
Kehidupan masyarakat dangka lebih bebas dan boleh dikatakan tidak
berbeda dengan masyarakat lainnya. Keterlibatan mereka dengan orang
Baduy lainnya hanyalah dalam kegiatan adat. Mereka pada dasarnya
tidak kehilangan statusnya sebagai warga masyarakat Baduy. Para
pemimpin masyarakatnya selalu diikutkan dalam pengambilan keputusan
dalam pemerintahan masyarakat Baduy.
Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu
sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem
nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Seperti
halnya dengan daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas
sejumlah kampung. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang
disebut Jaro Pamerentah (dahulu disebut Jaro Warega, lalu pada
jaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau
lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk
urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional
(adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya
dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru
kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan
sebagai kepala desa.
Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak
kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan
tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga Cikartawana.
Puun-puun ini merupakan tritunggal, karena selain berkuasa di
wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang
kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun
merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga
mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik
menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang
menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, dan
seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke
kawasan Baduy, termasuk pada urusan administratur tertib wilayah,
pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan
wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga,
kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di
lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan
kawasan Baduy.
Sementara itu, kepercayaan orang Baduy pada dasarnya adalah
penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu
kuasa yang dinamakan Nu Kawasa atau Nu Ngersakeun atau Batara
Tunggal. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan atau
agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan
keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar supaya orang
hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan
dunia ramai. Menurut keyakinan mereka, orang Baduy berasal dari
hirarki tua, sedangkan dunia ramai (di luar Baduy) merupakan
keturunan yang lebih muda. Orang Baduy bertugas menyejahterakan
dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Konsep
keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy
adalah tanpa perubahan apa pun, seperti tertuang dalam buyut
(larangan) titipan karuhunan (nenek moyang) sebagai berikut:Buyut
nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bangsawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeunartinya:
Buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga
sungai enampuluhlima
pusat duapuluhlima negara
gunung tak boleh dihancurkan
lembah tak boleh dirusak
larangan tak boleh dilanggar
buyut tak boleh diubah
panjang tak boleh dipotong
pendek tak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang jangan harus dinafikan
yang benar harus dibenarkan (Garna , 1993)Tapa bagi orang Baduy
bukan melakukan samadi atau tirakat berdiam diri di tempat sunyi,
melainkan justru sedikit bicara banyak kerja. Bekerja itulah
tapanya orang Baduy, khususnya bekerja di ladang. Bagi mereka,
berladang bukan sekadar menanam padi belaka, tetapi lebih dari itu.
Berladang menanam padi merupakan pelaksanaan ajaran agama berupa
menjodohkan atau mengawinkan Dewi Padi yang disebut Nyi Pohaci
Sanghyang Asri dengan bumi. Pemujaan pada Nyi Pohaci ini merupakan
fokus utama kegiatan keagamaan masyarakat Baduy. Upacara ini
merupakan upacara terbesar dan terpenting yang diselenggarakan
masyarakat Baduy, di samping upacara lain seperti muja.Arca
DomasObjek terpenting dalam kaitannya dengan sistem religi Orang
Baduy adalah Arca Domas. Tidak semua orang dapat dan leluasa pergi
mengunjungi Arca Domas, sehingga gambaran secara lengkap dan
menyeluruh mengenai objek ini sangatlah sukar dilakukan. Objek itu
sangatlah bersifat rahasia dan sakral, karena merupakan objek
pemujaan paling suci bagi Orang Baduy. Bahkan Orang Baduy sendiri
hanya setahun sekali yaitu pada bulan Kalima (upacara muja) dan
orang terpilih oleh puun saja yang boleh ke sana.
Beberapa informan yang pernah ke sana menjelaskan bahwa tempat
pemujaan itu merupakan sebuah bukit yang membentuk punden berundak
sebanyak tujuh tingkatan, makin ke selatan undak-undakan tersebut
makin tinggi dan suci. Dinding tiap-tiap undakan terdapat hambaro
(benteng) yang terdiri atas susunan batu tegak (menhir) dari batu
kali. Pada bagian puncak punden terdapat menhir dan arca batu. Arca
batu inilah yang dikenal dengan sebutan Arca Domas (kata domas
berarti keramat/suci).
Arca Domas digambarkan menyerupai bentuk manusia yang sedang
bertapa. Arca ini terbuat dari batu andesit dengan pengerjaan dan
bentuk yang sangat sederhana (seperti arca tipe polinesia atau arca
megalitikpenulis). Arca Domas ini terletak di tengah hutan yang
sangat lebat tidak jauh dari mata air hulu sungai Ciujung. Kompleks
Arca Domas ini meliputi areal sekitar 0,5 hektar dengan suhu yang
sangat lembab, sehingga batu-batu yang ada di sana semuanya
berwarna hijau ditumbuhi lumut. Kompleks Arca Domas ini juga
dikenal dengan sebutan petak 13, karena undakan-undakan punden
tersebut terdiri atas petak-petak yang berjumlah 13. Tiap petak
dibatasi oleh batu kali dengan ukuran sisi-sisinya berkisar 35
meter. Dari ke-13 petak tersebut, hanya tiga petak yang ada isinya;
petak pertama berisi 8 buah menhir (seperti makam) berorientasi
utara-selatan; petak kedua berisi 5 buah menhir yang juga
berorientasi utara-selatan; dan petak ketiga terdapat sebuah batu
lumpang (Hoevell, 1845; Koorders; Pleyte, 1909).
Upacara muja di Arca Domas oleh Orang Baduy setiap tahun
diselenggarakan pada tanggal 16, 17, dan 18 bulan Kalima (pada
tahun 1995 yang lalu bertepatan tanggal 14, 15, dan 16 Juli). Awal
prosesi ini dimulai pada pagi hari tanggal 17 Kalima diundakan
pertama. Puun Cikeusik memimpin upacara ini dengan membacakan
mantra-mantra dan doa-doa tertentu sampai tengah hari. Setelah itu,
dilanjutkan dengan membersihkan dan membenahi pelataran dan susunan
batu yang berserakan hingga membenahi pelataran dan susunan batu
yang berserakan hingga ke puncak, sesampainya di puncak, mereka
menyucikan muka, tangan, dan kaki pada sebuah batu lumpang yang
disebut Sanghyang Pangumbaran.
Menurut Orang Baduy, batu lumpang tersebut merupakan pertanda baik
dan buruk. Bila saat itu batu lumpang ditemukan dalam keadaan air
yang penuh dan jernih, pertanda akan banyak turun hujan, cuaca baik
dan panen berhasil. Sebaliknya, bila airnya dangkal dan keruh,
pertanda kekeringan dan kegagalan panen. Pertanda lain terlihat
pada keadaan batu-batu menhir yang berada di puncak punden
tersebut. Bila batu-batu tersebut dipenuhi lumut pertanda akan
memperoleh kesentosaan dan kesejahteraan dalam tahun yang
bersangkutan. Tetapi bila keadaannya justru sebaliknya maka akan
dapat mendatangkan kesengsaraan dan kesulitan.
Menurut kosmologi Orang Baduy, Arca Domas atau Sasaka Domas
merupakan tempat suatu titik awal yang mengeras. Dikisahkan bahwa
bumi ini pada mulanya disebut ngenclong yakni berwujud kental dan
bening serta hanya sebesar biji pare (padi). Pada suatu saat, pada
suatu titik mulai mengeras dan membesar. Karena Sasaka Domas atau
Arca Domas merupakan awal kejadian bumi dan terletak di wilayah
Baduy, maka diyakini oleh Orang Baduy bahwa wilayahnya sebagai
pancer bumi (inti jagat) atau Sasaka Pusaka Buana (pusat
dunia).
Arca Domas selain dianggap sebagai pancer bumi, juga dianggap
sebagai tempat diturunkannya cikal bakal Orang Baduy dan manusia
penghuni bumi lainnya. Dikisahkan bahwa bertempat di Sasaka Domas
itu Yang Maha Kuasa disebut Nu Kawasa atau dikenal juga dengan
Batara Tunggal menciptakan tujuh keturunannya. Salah satu versi
mengatakan keturunan tertua yang bernama Batara Cikal identik
dengan Nabi Adam yang nantinya menurunkan keturunan Orang Baduy.
Sedangkan yang bungsu bernama Batara Tujuh identik dengan nabi
Muhammad yang nantinya menurunkan orang-orang di luar Baduy.
Sasaka Domas atau Arca Domas dalam kepercayaan Orang Baduy dianggap
juga sebagai tempat berkumpulnya para karuhun (leluhur atau nenek
moyang). Para leluhur tersebut selalu memantau dan menjaga anak
keturunannya. Mereka sering datang ke kampung-kampung melalui
leuweung kolot (hutan tua/primer). Dan leuweung lembur (hutan
kampung). Dengan adanya keyakinan ini pula maka konservasi hutan
terjaga.Tata Ruang Wilayah BaduyArca Domas sebagai obyek utama
pemujaan dan sebagai tempat yang paling sakral, secara keruangan
terletak di sebelah selatan wilayah Baduy, pada lingkungan hutan
lindung di gunung Pamuntuan di lereng pegunungan Kendeng. Tidak ada
pusat atau tempat kegiatan dan pemukiman lain di sebelah selatan
Arca Domas. Bahkan daerah ini terlarang untuk dilewati, sekalipun
Orang Baduy sendiri pada sembarang waktu.
Keletakkan Arca Domas yang paling sakral di sebelah selatan itu,
menyebabkan arah tempat terdapatnya arca tersebut dianggap
orientasi yang paling baik atau paling suci dibanding arah-arah
lain. Sehingga saya cenderung untuk menyebut selatan sebagai kiblat
Orang Baduy. Konsep selatan yang suci ini jelas tergambar pada
penataan kawasan Baduy secara keseluruhan dan lingkungan suatu
pemukiman. Bahkan dalam berbagai kegiatan upacara adat ataupun
konsep selatan tetap menjadi acuan penting.
Pada penataan kawasan Baduy secara keseluruhan makin ke selatan
makin sakral. Pada bagian selatan wilayah Baduy ini terdapat tiga
pemukiman inti Baduy yang disebut tangtu (sakral), sedang pada arah
yang berlawanan tersebar pemukiman panamping (profan). Selain
daripada itu, tiga pemukiman tangtu tersebut pun makin ke selatan
makin tua dan sakral. Hal ini didasarkan atas urutan keturunan di
mana pemukiman atau kampung Cikeusik (paling selatan) sebagai
keturunan tertua, kemudian kampung Cikartawana (di tengah) sebagai
keturunan kedua, dan kampung Cibeo (paling utara) sebagai keturunan
ketiga. Dari segi kesakralannya, khususnya dalam penjagaan adat dan
tradisi, makin ke selatan makin tinggi dan kuat. Cikeusik bertugas
menjaga kemurnian agama dan pikukuh. Cikartawana bertugas menjaga
keamanan dan kesejahteraan kawasan, dan Cibeo bertugas penerima
tamu, hubungan masyarakat, dan kepemerintahan. Dilihat dari
konturnya pun makin ke selatan makin tinggi; Cikeusik berada pada
ketinggian sekitar 450 m, serta Cibeo dan Cikartawana pada
ketinggian sekitar 400 m dari permukaan laut.
Tamu yang berkunjung ke kawasan Baduy ini secara adat tidak
diperkenankan lewat sebelah selatan, melainkan harus lewat pintu
depan di sebelah utara, yakni lewat kampung panamping paling utara
di Keduketug (tempat tinggal/kantor Jaro Pamarentah). Demikian pula
bila hendak memasuki kawasan tangtu, hendaknya melewati tangtu
penerima tamu di sebelah utara, yakni Cibeo, kemudian baru menuju
ke arah selatan ke Cikartawana dan Cikeusik.
Pada penataan suatu kampung, khususnya tangtu, pada dasarnya
merupakan semacam miniatur dari penataan yang lebih besar (penataan
kawasan). Arah selatan tetap merupakan kiblat dari suatu pemukiman.
Semua rumah dalam suatu pemukiman berorientasi selatanutara,
kecuali bale (balai kampung) dan saung lisung (bangunan tempat
menumbuk padi) yang berorientasi timurbarat. Daerah yang paling
tinggi berada di sebelah selatan, dan hanya terdapat sebuah rumah
yaitu imah puun (rumah puun) yang menghadap ke utara. Di sebelah
utara rumah puun ini terdapat rumah-rumah penduduk, alun-alun,
bale, dan saung lisung.
Seperti halnya memasuki kawasan Baduy, jalan masuk ke kampung
tangtu ini juga tidak boleh melewati sisi di sebelah selatan. Orang
yang akan masuk ke kampung tangtu secara adat harus melewati sisi
sebelah utara. Setelah melewati hutan kampung (leuweung lembur) dan
lumbung (leuit), akan masuk ke perkampungan dari arah belakang bale
dan saung lisung. Para tamu yang akan datang akan diterima di
bangunan bale.
Dalam berbagai kegiatan upacara adat, arah selatan juga menjadi
acuan penting. Pertama, pada upacara minta berkah kepada puun/jaro
Cikeusik yang baru turun muja di Arca Domas. Puun/Jaro sebagai
tokoh suci pemberi berkah dudu di sisi sebelah selatan, sedangkan
warga pemohon berkah berada di sisi utara (saling berhadapan).
Kedua, pada upacara ngaseuk (menanam padi) pertama di huma serang
(ladang adat) secara simbolik dilakukan mulai dari sisi selatan.
Ketiga, pada upacara geser (potong gigi bagi anak wanita), dan
ngeslamkeun (sunatan bagi anak pria), pemimpin upacara (tangkesan
atau bengkong atau dukun) berada di sisi selatan dan anak yang
digeser atau disunat berada dihadapannya. Keempat, pada upacara
perkawinan di bale, puun sebagai pemimpin adat tertinggi dan
pemimpin upacara berada pada sisi selatan, dan dihadapannya duduk
sepasang pengantin yang akan dinikahkan. Kelima, pada upacara
penguburan, jenazah dibujurkan berat-timur (kepala di barat),
kemudian muka dan badannya dimiringkan sehingga menghadap ke arah
selatan.KesimpulanBaduy sebagai masyarakat yang bersahaja dan masih
teguh mempertahankan adatnya, merupakan gambaran masyarakat yang
menjalankan tradisi asli mereka. Arca Domas atau Sasaka Domas
sebagai objek utama pemujaan Orang Baduy, pada dasarnya merupakan
salah satu peninggalan tradisi megalitik di Jawa Barat. Berdasarkan
hal tersebut, kiranya masyarakat Baduy ini dapat dijadikan analogi
dalam usaha menghidupkan objek arkeologi berupa Arca Domas sehingga
dapat memberikan gambaran tentang masyarakat megalitik masa
lalu.
Melalui telaahan terhadap Arca Domas dan masyarakat Baduy ini
diharapkan dapat memberikan wawasan lain dalam dunia arkeologi
khususnya pada penataan ruang, selain makna dan fungsi objek yang
bersangkutan. Selain itu, melalui kajian ini diharapkan pula
menjadi ancangan untuk memberikan penafsiran dan penyusunan
strategi penelitian kepada objek-objek megalitik lain yang berada
di wilayah Jawa Barat (mungkin juga di tempat lain).
Dari penelitian terhadap Arca Domas tersebut, agaknya dapat dibuat
sebuah dugaan bahwa arah hadap objek megalitik seperti arca, menhir
dan punden berundak dapat menentukan letak situs penting lainnya
(khususnya pemukiman). Atau dengan kata lain, objek-objek pemujaan
yang menjadi arah penentu utama, memberikan tanda atau dugaan bahwa
arah yang menghadap padanya terdapat situs-situs seperti pemukiman,
penguburan, dan aktivitas lainnya.
Mengingat, di daerah Banten Selatan sendiri yang relatif dekat
dengan Baduy ini banyak terdapat peninggalan megalitik yang
penting, misalnya Lebak Sibedug, Kosala (Lebak), Pangguyangan, Tugu
Gede, Salak Datar (Sukabumi), dan Gunung Padang (Cianjur Selatan),
maka untuk mencari situs seperti pemukiman, penguburan, dan
aktivitas lainnya dapat mengacu dari arah hadap bangunan megalitik
tersebut. Dapat dicurigai bahwa situs pemukiman, penguburan, dan
lainnya berada pada daerah dihadapan bangunan megalitik tersebut.
Hanya saja masalahnya pada jarak berapa situs itu berada? Ini
diperlukan survei atau penelitian lebih lanjut.