applications of bio urine mixed with biological control agent for

50
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan suatu sektor integral yang penting dalam suatu kehidupan di masyarakat. Semakin tinggi jumlah penduduk, tentunya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan akan semakin meningkat. Salah satu cara untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah dengan menerapkan sistem pertanian konvensional yang lebih menekankan pada hasil panen yang tinggi, sehingga mengabaikan keseimbangan ekosistem. Daniel (2011) mengemukakan bahwa dampak negatif sistem pertanian konvensional dalam ekosistem pertanian antara lain: (a) meningkatnya degradasi lahan (fisik, kimia dan biologis); (b) meningkatnya residu pestisida dan gangguan serta resistensi hama penyakit dan gulma; (c) berkurangnya keanekaragaman hayati; serta (d) gangguan kesehatan petani dan masyarakat lainnya sebagai akibat dari pengunaan pestisida dan bahan- bahan pencemaran lingkungan. Berbagai masalah yang timbul akibat adanya ekploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya pertanian memunculkan suatu gagasan pertanian berwawasan lingkungan tanpa mengabaikan fungsi sosial maupun ekonomi masyarakat (Sitohang, 2009). Salah satu cara untuk konservasi sumber daya alam adalah dengan menerapkan zero waste management. Pada dasarnya zero waste mengacu pada konsep sistem ekologi sehingga dapat memungkinkan tingkat efisiensi yang lebih tinggi karena limbah yang dihasilkan dalam setiap mata rantai 1

Upload: phambao

Post on 31-Dec-2016

240 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: applications of bio urine mixed with biological control agent for

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan suatu sektor integral yang penting dalam suatu

kehidupan di masyarakat. Semakin tinggi jumlah penduduk, tentunya kebutuhan

akan pangan, sandang dan papan akan semakin meningkat. Salah satu cara untuk

memenuhi tuntutan tersebut adalah dengan menerapkan sistem pertanian

konvensional yang lebih menekankan pada hasil panen yang tinggi, sehingga

mengabaikan keseimbangan ekosistem. Daniel (2011) mengemukakan bahwa

dampak negatif sistem pertanian konvensional dalam ekosistem pertanian antara

lain: (a) meningkatnya degradasi lahan (fisik, kimia dan biologis); (b)

meningkatnya residu pestisida dan gangguan serta resistensi hama penyakit dan

gulma; (c) berkurangnya keanekaragaman hayati; serta (d) gangguan kesehatan

petani dan masyarakat lainnya sebagai akibat dari pengunaan pestisida dan bahan-

bahan pencemaran lingkungan.

Berbagai masalah yang timbul akibat adanya ekploitasi yang berlebihan

terhadap sumber daya pertanian memunculkan suatu gagasan pertanian

berwawasan lingkungan tanpa mengabaikan fungsi sosial maupun ekonomi

masyarakat (Sitohang, 2009). Salah satu cara untuk konservasi sumber daya alam

adalah dengan menerapkan zero waste management. Pada dasarnya zero waste

mengacu pada konsep sistem ekologi sehingga dapat memungkinkan tingkat

efisiensi yang lebih tinggi karena limbah yang dihasilkan dalam setiap mata rantai

1

Page 2: applications of bio urine mixed with biological control agent for

2

kegiatan produksi dapat dikurangi, sehingga nilai produktifitas dari setiap

kegiatan itu akan lebih tinggi (Nurlambang dan Kristiastomo, 2001).

Penggunaan urin ternak merupakan salah satu penerapan zero waste

management. Urin ternak yang biasanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Urin ternak

sapi merupakan limbah peternakan yang sangat potensial digunakan sebagai

biourin di Bali (Sudana, dkk., 2012). Antara (2011) menyebutkan bahwa dalam

lima tahun terakhir populasi sapi Bali meningkat rata-rata 3,41% pertahun,

sehingga ketersediaan limbah urin sapi berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai

pupuk organik.

Kandungan unsur hara yang ada dalam urin ternak dapat ditingkatkan

melalui proses fermentasi. Phrimantoro (2003) menyatakan bahwa kandungan

unsur hara pada urin sapi mengalami peningkatan setelah mengalami proses

fermentasi. Urin sapi Bali yang difermentasi dengan Azotobacter terjadi

peningkatan unsur hara diantaranya kandungan unsur N meningkat dari 0,23%

menjadi 0,71% dan kandungan kaliumnya meningkat dari 202 ppm menjadi 598

ppm (Sinartani, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sudana, dkk.

(2012), biourin yang telah ditambahkan dengan Azotobacter chroococcum juga

menghasilkan zat pengatur tumbuh yang tinggi, yaitu auksin 6,70 ppm, sitokinin

12,70 ppm dan giberelin 8,40 ppm.

Pemanfaatan biourin belum dilakukan secara optimal oleh petani terutama

kaitannya dalam melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu

tanaman (OPT). Biourin disamping mengandung unsur hara yang tinggi, juga

mengandung zat pengatur tumbuh dan mengandung senyawa penolak untuk

Page 3: applications of bio urine mixed with biological control agent for

3

beberapa jenis serangga hama (Phrimantoro, 1995). Pemakaian agen pengendali

hayati sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru karena telah lama

digunakan di Bali. Pada lontar-lontar Subak milik leluhur, dijelaskan cara

pengendalian hama dan penyakit tanaman dalam upacara Nangluk Merana.

Upacara ini menggunakan sarana berupa hancuran tanaman sebagai pestisida

nabati. Namun, hal ini dilupakan oleh para petani anggota subak di Bali (Oka,

1998 ). Cara ini perlu diperkenalkan kembali agar petani menjadi mandiri dan

mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida anorganik, serta

mengurangi kerusakan lingkungan. Pestisida mengandung agen pengendali hayati

merupakan produk alami dan umumnya bersifat spesifik serta mudah diterima

kembali oleh alam dan mudah terurai, sehingga produk terbebas dari residu kimia

sehingga aman dikonsumsi manusia (BPTP Kalimantan Tengah, 2011).

Penggunaan pestisida hayati dan pestisida nabati seringkali mengalami

kendala pada aplikasinya karena sifat dari bahan aktifnya yang sangat spesifik dan

memerlukan beberapa kali aplikasi untuk dapat mengendalikan hama. Hal ini

tentunya akan membuat biaya produksi, terutama dalam hal tenaga kerja menjadi

tinggi. Phrimantoro (1995) menyatakan bahwa biourin selain memiliki kandungan

unsur hara dan zat pegatur tumbuh yang tinggi, biourin juga mengandung zat

penolak untuk beberapa jenis serangga hama. Campuran biourin dengan agen

pengendali hayati memungkinkan aplikasi biourin sebagai pupuk organik dan

biopestisida sebagai salah satu solusi untuk efisiensi biaya.

Sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) merupakan tanaman

sayuran yang banyak digemari untuk diusahakan oleh petani karena tanaman ini

Page 4: applications of bio urine mixed with biological control agent for

4

dapat dipanen hanya dalam waktu kurang dari 30 hari. Berdasarkan hasil

observasi pendahuluan yang dilakukan di lapangan pada tahun 2010 di wilayah

Denpasar dan Pancasari ditemukan bahwa tanaman sawi hijau sangat peka

terhadap ganguan hama dan penyakit. Umur panen yang relatif pendek pada

tanaman sawi hijau menyebabkan tanaman sangat peka terhadap respon

pemberian pupuk serta ganguan hama dan penyakit tumbuhan. Oleh karena itu,

petani menggunakan pupuk dan pestisida yang sangat intensif. Petani sering kali

menggunakan pestisida kimia dengan interval yang relatif pendek, misalnya setiap

2 hari sekali. Bahkan, dalam satu kali aplikasi petani mencampur 2 jenis pestisida

atau lebih untuk menanggulangi hama yang menyerang. Tentunya residu yang

ditinggalkan pada tanaman sangat berbahaya bagi konsumen dan lingkungan

sekitarnya.

Penggunaan biourin sebagai biopestisida dan pupuk organik dalam usaha

budidaya tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) sangat perlu

untuk dilakukan mengingat belum banyaknya literatur yang menunjukkan

efektivitas biourin untuk mengendalikan hama dan penyakit serta meningkatkan

produktivitas tanaman khususnya sawi hijau. Berdasarkan hal tersebut diatas,

penulis tertarik untuk mengungkapkan fenomena yang penulis tuangkan dalam

judul tesis ”Aplikasi Campuran Biourin yang dengan Agen Pengendali Hayati

untuk Meningkatkan Produktivitas pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var.

parachinensis L.)”.

Page 5: applications of bio urine mixed with biological control agent for

5

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen

pengendali hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit pada

tanaman sawi hijau?

2. Bagaimanakah efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen

pengendali hayati dalam meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen

pengendali hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit pada

tanaman sawi hijau.

2. Untuk mengetahui efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen

pengendali hayati dalam meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau.

Page 6: applications of bio urine mixed with biological control agent for

6

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah

1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah khasanah dalam bidang ilmu

bioteknologi pertanian dalam hal pengendalian hama dan penyakit serta

peningkatan produktivitas tanaman.

2. Secara praktis penelitian ini dapat menambah pengetahuan ilmiah tentang

efektivitas biourin sebagai pupuk organik cair yang ditambahkan dengan

campuran agen pengendali hayati yang diaplikasikan dengan cara

disemprot untuk meningkatkan produktivitas serta mengendalikan hama

dan penyakit pada tanaman sawi hijau.

Page 7: applications of bio urine mixed with biological control agent for

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sawi Hijau

Sawi hijau merupakan sayuran yang banyak ditanam maupun dikonsumsi

oleh masyarakat Indonesia, khususnnya daerah perkotaan. Hal tersebut

disebabkan karena umur panen sawi hijau yang relatif pendek, sekitar 35 hari dan

rasanya yang enak. Sawi hijau memiliki kandungan vitamin K, A, C dan E yang

tinggi (Rukmana, 1994).

Tanaman sawi hijau memiliki morfologi dengan jenis perakaran tunggang

dengan kedalaman akar 30-50 cm. tanaman sawi memiliki batang yang pendek

dan beruas-ruas dan daun yang berbentuk lonjong bersayap serta tangkai yang

panjang. Bunganya majemuk berwarna kuning dengan empat kelopak, empat

benang sari dengan dua putik. Buah berbentuk polong yang berisikan 2-8 butir biji

yang berbentuk bulat hitam. Sawi hijau merupakan tanaman yang dapat ditanam

sepanjang musim di daerah subtropika dan tropika dengan kisaran suhu optimum

25oC – 36

oC pada jenis tanah lempung berpasir atau lempung berliat dengan

derajat keasaman tanah pada pH 5,5 – 6,5 (Opena dan Tay, 1994).

Klasifikasi sawi hijau menurut Plantamor (2012) adalah:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

7

Page 8: applications of bio urine mixed with biological control agent for

8

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales

Famili : Brassicaceae

Genus : Brassica

Spesies : Brassica rapa var. parachinensis L.

Tanaman sawi hijau memiliki umur panen yang relatif singkat karena

dipanen sebelum fase generatif karena bagian yang memiliki nilai ekonomis tinggi

adalah bagian daunnya. Selain itu, tanaman sawi hijau juga sangat reaktif terhadap

pupuk dan pestisida. Oleh karena itu, tanaman sawi hijau rentan mengalami

kegagalan panen akibat dari faktor lingkungan, hama, penyakit maupun budidaya

yang dilakukan. Hama yang sering menyerang tanaman sawi hijau diantaranya

adalah ulat tritip (Plutella xylostella), ulat tanah (Agrotis sp.), ulat grayak

(Spodoptera litura dan Spodoptera exigua), ulat krop (Crocidolomia binotalis

Zell), siput (Agriolimas sp.), belalang (Locusta, sp.) dan penggorok daun

(Liriomyza sp.) (Sakinah, 2013; Saputra, 2001). Sedangkan, salah satu penyakit

yang sering menyerang tanaman sawi hijau di dataran tinggi yaitu penyakit akar

gada. Penyakit akar gada disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae yang

bersifat persisten dalam tanah (Djatnika, 1984). Patogen ini biasanya menyerang

dan merusak perakaran sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Secara visual,

akar tanaman yang terserang penyakit akar gada akan membengkak. Pada pagi

hari tanaman akan terlihat segar, namun pada siang hari tanaman akan menjadi

layu jika dibandingkan dengan tanaman normal (Hadiwiyono dkk., 2011). Hal

Page 9: applications of bio urine mixed with biological control agent for

9

tersebut disebabkan karena pada pagi hari tanaman memperoleh air dari embun,

sehingga tanaman akan terlihat segar. Namun, setelah siang hari terjadi penguapan

di sekitar daun dan daun akan menjadi layu karena akar tidak mampu mensuplai

keperluan air akibat terjadi gangguan pada sistem perakaran.

2.2 Biourin Sapi

Biourin merupakan pupuk organik cair yang berasal dari urin ternak yang

telah difermentasi. Teknologi fermentasi dimanfaatkan dalam pengolahan urine

sapi menjadi biourin. Proses ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan

menjadi molekul yang lebih sederhana hingga mudah diserap tanaman.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutari (2010) terjadi peningkatan

kandungan hara makro, hara mikro dan pH pada urin sapi yang telah difermentasi

menjadi biourin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Phrimantoro (1995),

menyatakan bahwa urin sapi mengandung zat pengatur tumbuh diantaranya adalah

Indole Acetic Acid (IAA). IAA merupakan senyawa yang berasal dari golongan

auksin. IAA yang terkandung dalam urin sapi memberikan pengaruh positif

terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Aroma urin ternak yang cukup

khas juga dikatakan dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman sehingga

urin sapi juga dapat berfungsi sebagai pengendali hama.

Azotobacter Chroococcum merupakan bakteri yang bermanfaat dalam

pengolahan pupuk organik. Azotobacter chroococcum memiliki kelebihan karena

mampu mengubah nitrogen atmosfer (N2) menjadi amonia dan memiliki

kemampuan metabolisme yang tinggi (Damir, dkk., 2011). Menurut Penelitian

Page 10: applications of bio urine mixed with biological control agent for

10

yang dilakukan Sudana, dkk. (2012) terjadi peningkatan kandungan hara dan zat

pengatur tumbuh (ZPT) pada biourin yang difermentasi dengan Azotobacter

Chroococcum. Kandungan ZPT dari golongan sitokinin meningkat 47,67% dan

giberelin 61,54% dibandingkan dengan urin tanpa fermentasi. Peningkatan

persentase kecambah 15,62% dan vigor index benih sebesar 59,87% pada benih

sawi hijau yang direndam biourin dengan stater Azotobacter Chroococcum

dibandingkan dengan benih yang hanya direndam dengan air.

2.3 Agen Pengendali Hayati

Agen pengendali hayati merupakan suatu produk yang berasal dari bahan

alami seperti serangga, tumbuhan dan bakteri. Agen pengendali hayati yang

digunakan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pestisida yang efektif bila

digunakan sebagai komponen dari program pemberantasan hama serta penyakit

pada tanaman (United States Environment Protection Agency, 2012). Agen

pengendali hayati jarang membasmi organisme sasaran, tetapi mengurangi gejala

yang timbul sampai level yang dapat diterima sehingga keseimbangan antara

patogen dan organisme sasaran seimbang. Musuh alami untuk menekan populasi

organisme sasaran. Agen pengendali hayati pada umumnya diharapkan tidak

mengganggu organisme yang bukan sasaran atau memicu perkembangan

resistensi (Tampubolon, 2004).

Syakir (2011) menjelaskan bahwa pestisida nabati merupakan pestisida

yang dihasilkan dari bagian tumbuhan. Kandungan senyawa yang terdapat dalam

pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:

Page 11: applications of bio urine mixed with biological control agent for

11

a. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga contohnya dengan bau yang

menyengat

b. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot.

c. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa

d. Menghambat reproduksi serangga betina

e. Racun syaraf

f. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga

g. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap

serangga

h. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri.

Pestisida hayati merupakan pestisida yang bahan aktifnya berupa mikroba

bakteri, jamur atau virus yang dapat membunuh serangga hama atau patogen

penyebab penyakit tanaman. Mikroba yang umumnya digunakan merupakan

musuh alami ataupun bersifat antagonis dari patogen penyebab hama ataupun

penyakit. Menurut United States Environment Protection Agency (2012) bahan

aktif yang umum dipakai dan telah di komersialkan antara lain adalah Bacillus

thuringiensis, Trichoderma sp. dan Beauviria sp.

2.3.1 Base Genep

Base genep merupakan salah satu jenis bumbu Bali yang digunakan untuk

membuat masakan tradisional khas Bali. Base genep merupakan suatu formula

yang terdiri dari berbagai macam jenis rempah-rempah yang secara umum ada di

Bali dan telah ada secara turun-temurun. Base genep terdiri dari bawang merah

(Allium ascalonicum), bawang putih (Allium sativum), cabai (Capsicum

Page 12: applications of bio urine mixed with biological control agent for

12

frutescens), lengkuas (Alpinia galanga), kencur (Kaempferia galanga), jahe

(Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica ), sereh (Aleurites moluccana),

lada (Piper nigrum), cengkeh (Syzygium aromaticum), jeringau (Acorus calamus)

dan kayumanis (Cinnamomum burwanii). Keseluruhan bahan bumbu bali tersebut

memiliki kemampuan sebagai bahan pestisida nabati yang kompleks. Kandungan

dan manfaat ekstrak tanaman yang terdapat dalam bumbu bali, yaitu :

a. Bawang merah (Allium ascalonicum) memiliki kandungan bahan aktif

minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, lavonglikosida, saponin,

peptida, fitohormon dan kuersetin. Bahan aktif tersebut dapat bersifat

sebagai insektisida dan penolak (repellent) (Astuti, dkk. 2013).

b. Bawang putih (Allium sativum) memiliki kandungan tanin < 1%, minyak

atsiri, dialilsulfida, aliin, alisin, enzim alinase, vitamin A, B, C. Bawang

putih dapat berfungsi sebagai baktersida, insektisida dan fungisida.

pemberian ekstrak bawang putih dapat mengendalikan serangan ulat

grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai (Bedjo 2011).

c. Cabai (Capsicum frutescens) mengandung capsaicin yang bermanfaat

sebagai pestisida, antibiotik Helicobacter pylori, antifungal Phytophthora

capsici Leo (Mursyanti dan Purwijantiningsih, 2013).

d. Lengkuas (Alpinia galanga) meiliki kandungan minyak atsiri, senyawa

flvonoid, fenol, dan terpenoi. Kandungan tersebut memiliki manfaat

sebagai antibakteri, antiradang dan antitumor (Parwata dan Dewi, 2008).

e. Kencur (Kaempferia galanga) mengandung saponin, flavonoid, polifenol

dan minyak atsiri yang berfungsi sebagai antifungi (Gholib, 2009).

Page 13: applications of bio urine mixed with biological control agent for

13

f. Jahe (Zingiber officinale) memiliki senyawa bioaktif, seperti senyawa

phenolic (shogaol dan gingerol) dan minyak atsiri, seperti bisapolen,

zingiberen, zingiberol, curcurmen, 6-dehydrogingerdion, galanolakton,

asam gingesulfonat, zingeron, geraniol, neral,

monoakyldigalaktosylglykerol, gingerglycolipid (Supryanto dan Cahyoni,

2012). Senyawa zingeron membuat tubuh serangga menjadi panas dan

berakhir dengan kematian (Kesumaningati, 2009).

g. Kunyit (Curcuma domestica) mengandung 6 % minyak atsiri yang terdiri

dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen, curcuminoid

sebanyak 5%. Selain itu, kunyit memiliki kemampuan menghambat

pertumbuhan jamur, virus dan bakteri baik gram positif maupun gram

negatif (Wasilah, dkk. 2007).

h. Sereh (Aleurites moluccana) mengandung minyak atsiri, yaitu berupa

senyawa sitronela yang dapat membunuh serangga kemudian saponin,

tanin, kuinon, steroid yang berpotensi sebagai repellen (Nadlirah, 2013).

i. Lada (Piper nigrum) memiliki kandungan minyak atsiri, saponin dan

flavonoida, yang berfungsi pengusir dan pembunuh hama (Asmaliyah, dkk.,

2010).

j. Cengkeh (Syzygium aromaticum) mengandung saponin, flavonoid, tanin,

minyak atsiri, eugenol yang berfungsi sebagai pengusir hama (Asmaliyah,

dkk. 2010).

Page 14: applications of bio urine mixed with biological control agent for

14

k. Jeringau (Acorus calamus) memiliki kandungan saponin,

flavonoida,minyak atsiri yang dapat menghambat penetasan telur dan

mempercepat kematian imago (Asmaliyah, dkk., 2010).

l. Kayumanis (Cinnamomum burwanii) mangandung minyak atsiri dan tanin

yang berfungsi membunuh hama (Asmaliyah, dkk., 2010).

2.3.2 Mimba (Azadirachta indica A. Juss)

Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan tanaman berbentuk pohon

batang tegak berkayu yang tingginya antara 10–25 m. Mimba memiliki daun

majemuk dengan letak berhadapan, dengan panjang 5–7 cm dan lebar 3–4 cm

(Subiyakto, 2009). Ekstrak daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss)

mengandung azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin, dan paraisin.

Efek samping yang dihasilkan pada serangga, yaitu terganggunya proses

pergantian kulit, ataupun proses metamorfase. Kegagalan dalam proses

metamorfase seringkali mengakibatkan kematian pada serangga (Kardiman,

2006).

2.3.3 Sirsak (Annona muricata L.)

Sirsak (Annona muricata L.) merupakan tanaman buah-buahan yang

buahnya sering dikonsumsi, sedangkan daunnya memiliki kandungan senyawa

acetogenin. Kandungan senyawa acetogenin yang dimiliki sirsak antara lain

acimicin, bulatacin dan squamocin. Senyawa acetogenin pada konsentrasi tinggi

memiliki keistimewan sebagai anti feedant, sedangkan pada konsentrasi rendah,

bersifat racun perut pada serangga (Tenrirawe, 2011).

Page 15: applications of bio urine mixed with biological control agent for

15

2.3.4 Tembakau (Nicotiana tabacum)

Tembakau (Nicotiana tabacum) dikenal sebagai tanaman yang memiliki

nilai ekonomis tinggi. Selain digunakan dalam industri rokok, daun tembakau juga

dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif yang dimiliki

tembakau adalah nikotin dan turunannya, antara lain alkaloid nikotin, nikotin

sulfat dan senyawa nikotin lainnya. Senyawa ini bekerja sebagai racun kontak,

racun perut dan fumigant pada serangga (BBP2TP Ambon, 2011).

2.3.5 Bacillus thuringiensis

Bacillus thuringiensis merupakan bakteri gram positif yang berbentuk

batang. B. thuringiensis dapat digunakan sebagai pestisida karena menghasilkan

kristal protein (δ-endotoksin) yang bersifat membunuh serangga. Bt-protoksin

yang larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih

pendek (27-149 kd) dan bersifat toksin. Toksin yang dihasilkan akan berinteraksi

dengan sel-sel epithelium pada midgut serangga. Sehingga, menyebabkan

terbentuknya pori-pori pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu

keseimbangan osmotik sel. Terganggunya keseimbangan osmotik akan

menyebabkan sel membengkak dan pecah yang akhirnya menyebabkan kematian

serangga (Bahagiawati, 2002).

2.3.6 Trichoderma viride

Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur antagonis yang saat ini

banyak dikembangkan untuk pengendali hayati karena mempunyai sifat mudah

ditemukan di berbagai lokasi, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat

Page 16: applications of bio urine mixed with biological control agent for

16

dan tidak bersifat patogenik terhadap tanaman (Chemistry, 2010). Trichoderma

spp. merupakan jamur yang habitatnya dalam tanah. Trichoderma sp. termasuk

dalam genus Hypocrea (Nugroho, 2013). Menurut Ismail dan Terinwawe (2011),

pada mulanya miselia Trichoderma viride berwarna putih dan kemudian

berangsur-angsur akan berubah warna menjadi hijau. Warna hijau tersebut

disebabkan oleh adanya konidia. semakin banyak konidia yang dimiliki maka

warna miselia akan semakin hijau. Mekanisme kerja Trichoderma viride

diantaranya adalah dengan cara :

a. mikroparasit, dengan cara menembus dinding sel miselium jamur lain dan

masuk kedalam untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga

jamur akan mati.

b. menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang

dapat menghancurkan sel jamur melalui pengrusakan terhadap

permeabilitas membran sel dan enzim chitinase serta laminarinase yang

dapat menyebabkan lisis dinding sel.

c. mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan

sumber makanan.

d. mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa.

Menurut Ismail dan Tenrirawe (2010), beberapa jamur fitopatogen penting

yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma spp. antara lain Rhizoctonia solani,

Fusarium spp, Lentinus lepidus, Phytium spp, Botrytis cinerea, Gloeosporium

gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii.

Page 17: applications of bio urine mixed with biological control agent for

17

2.3.7 Beauveria sp.

Beauveria sp. merupakan salah satu agen pengendali populasi hama

biologis karena dapat menjadi parasit pada tubuh serangga hama. Serangga ordo

Lepidoptera, Coleoptera, dan Homiptera merupakan inang dari jamur Beauveria

sp. (Ahmad dkk., 2008). Beauveria sp. dapat menginfeksi inangnya melalui

kulit kutikula mulut ataupun ruas-ruas yang terdapat dalam tubuh serangga. Spora

yang telah masuk kemudian berkecambah dan berkembang ke seluruh bagian

serangga dengan cara mengambil nutrisi inangnya. Setelah inang mati, maka

miselia akan mulai keluar dari tubuhnya dan inang akan terbungkus oleh miselia

(Khairani, 2007).

Page 18: applications of bio urine mixed with biological control agent for

18

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Secara umum salah satu masalah yang dihadapi para petani di negara yang

beriklim tropis dan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah

permasalahan hama dan penyakit tanaman serta ketersediaan pupuk bagi tanaman.

Permasalahan tersebut timbul akibat adanya sistem pertanian konvensional yang

menggunakan input pestisida kimia serta pupuk anorganik secara berlebihan

(Daniel, 2011). Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan

menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan seperti zero waste

management (Nurlambang dan Kriastomo, 2001). Prinsip dari penerapan zero

wate management adalah pendekatan seluruh sistem untuk mengelola sumber

daya yang terfokus dengan cara mengurangi, menggunakan kembali, dan

mengolah kembali (Illinois University, 2013).

Urin sapi merupakan limbah ternak yang jarang dimanfaatkan. Urin ternak

dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair dan pestisida organik melalui

proses fermentasi yang hasilnya disebut biourin. Berdasarkan penelitian

Phrimantoro (2003) didapatkan bahwa kandungan unsur hara pada urin sapi

mengalami peningkatan sebesar 0,5%-2% setelah mengalami proses fermentasi.

Biourin disamping mengandung unsur hara yang tinggi, juga mengandung zat

pengatur tumbuh dan mengandung senyawa penolak untuk beberapa jenis

serangga hama (Phrimantoro, 1995).

18

Page 19: applications of bio urine mixed with biological control agent for

19

Pestisida merupakan semua racun yang digunakan untuk membunuh

organisme hidup yang mengganggu. Agen pengendali hayati yang digunakan

sebagai pestisida organik dapat berasal dari hasil hancuran bagian tanaman

ataupun mikroorganisme antagonis yang berfungsi sebagain pengendali

Organisme Pengganggu Tanaman. Hancuran tanaman yang digunakan memiliki

senyawa metabolit sekunder yang bersifat racun. Hancuran tanaman yang umum

digunakan oleh petani diantaranya adalah hancuran base genep, hancuran daun

mimba (Azadirachta indica A. Juss), hancuran daun sirsak (Annona muricata L)

dan daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum). Formulasi miroorganisme

antagonis mengandung mikroba tertentu seperti jamur, bakteri, protozoa ataupun

nematoda yang bersifat antagonis atau antibiosis terhadap patogen penyebab

penyakit ataupun bersifat racun terhadap hama (Nadiah dan Nugroho, 2012).

Mikroorganisme antagonis yang telah banyak dikomersilkan umum sebagai

pestisida hayati diantaranya adalah Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan

Beauveria sp. (Bio Pesticides, 2000). Penggunaan pestisida hayati dan pestisida

nabati seringkali mengalami kendala pada aplikasinya karena sifat dari bahan

aktifnya yang sangat spesifik dan memerlukan beberapa kali aplikasi untuk dapat

mengendalikan hama. Phrimantoro (1995) menyatakan bahwa boiurin juga

mengandung zat penolak untuk beberapa jenis serangga hama. Mencampur

biourin dengan agen pengendali hayati memungkinkan penggunaan aplikasi

biourin sebagai pupuk organik dan biopestisida untuk mengefisienkan biaya

produksi baik dalam hal aplikasi maupun biaya.

Page 20: applications of bio urine mixed with biological control agent for

20

Efisiensi biaya produksi juga sangat diharapkan oleh petani sayuran

khususnya sawi hijau. Sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.)

merupakan tanaman sayuran yang banyak digemari untuk diusahakan oleh petani

karena tanaman ini dapat dipanen hanya dalam waktu kurang dari 30 hari. Umur

panen yang relatif pendek pada tanaman sawi hijau menyebabkan tanaman sangat

peka terhadap respon pemberian pupuk serta ganguan hama dan penyakit

tumbuhan. Oleh karena itu, petani cenderung penggunakan pupuk dan pestisida

secara berlebihan.

Untuk mengurangi residu pestisida pada tanaman sawi hijau, tentu

diperlukan adanya suatu teknologi tepat guna dalam penanganan masalah hama,

penyakit serta ketersediaan pupuk. Salah satu caranya adalah dengan

menggunakan campuran biourin dengan agen pengendali hayati. Pengujian

aplikasi campuran biourin dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi

hijau perlu untuk dilakukan mengingat belum banyaknya literatur yang

menunjukkan efektivitas biourin dalam meningkatkan produktivitas tanaman serta

mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Page 21: applications of bio urine mixed with biological control agent for

21

3.2 Konsep Penelitian

Secara skematis kerangka konsep penelitian disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar. 3.1 kerangka konsep

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Aplikasi biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati efektif

dapat mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sawi hijau .

2. Aplikasi biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati efektif

dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau.

Page 22: applications of bio urine mixed with biological control agent for

22

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman sayur mayur di Desa

Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng dengan ketinggian tempat

1142 m di atas permukaan laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai dari

bulan Juli sampai dengan bulan November 2013. Sampel yang diperoleh

kemudian dianalisis. Pengujian kandungan klorofil dan pengukuran variabel

setelah panen dilakukan di Laboratorium Biopestisida Program Studi

Bioteknologi Pertanian, Pascasarjana Universitas Udayana.

4.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Penelitian lapangan

dilakukan untuk menguji efektivitas biourin untuk biopestisida dan

kemampuannya dalam meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman sawi

terhadap serangan hama serta penyakit. Penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) dengan memakai 3 ulangan dengan 10 perlakuan.

Perlakuan yang diuji cobakan antara lain biourin yang ditambahkan hancuran base

genep, hancuran daun mimba, hancuran daun sirsak, daun tembakau rajangan,

Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride, Beauveria sp., biourin tanpa campuran

agen pengendali hayati, pestisida kimia dan dilengkapi dengan kontrol (hanya

disiram dengan air).

22

Page 23: applications of bio urine mixed with biological control agent for

23

4.3 Alat Penelitian

Jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain untuk

penelitian di lapangan menggunakan alat pertanian secara umum, lumpang, alu,

jerigen plastik ukuran 20 liter, sprayer, gelas plastik, gelas ukur, mistar, kamera,

gelas plastik, kain kasa timbangan, oven dan klorofilmeter.

4.4 Bahan Penelitian

Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bibit sawi hijau

b. Urin sapi

c. Azotobacter chroococcum,

d. Air kelapa,

e. Hancuran base genep yang terdiri dari bawang merah, bawang putih,

cabai, lengkuas, kencur, jahe, kunyit, sereh, lada, dringgo, cengkeh,

jeringau dan kayumanis.

f. Hancuran daun mimba (Azadirachta indica A. Juss)

g. Hancuran daun sirsak (Annona muricata L.)

h. Daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum)

i. Bacillus thuringiensis

j. Trichoderma viride

k. Beauveria sp.

l. Deltametrin 25g/l dan Dimehipo 400 g/l (pestisida kimia yang biasa

digunakan oleh petani setempat)

Page 24: applications of bio urine mixed with biological control agent for

24

4.5 Pelaksanaan Penelitian

4.5.1 Pembuatan Biourin

1. Pembuatan biourin

Sebanyak 80 liter urin sapi ditampung dan diaerasi selama 8 jam,

kemudian diinokulasi dengan 4 liter A. chroococcum dan difermentasi selama 2

minggu. Selama fermentasi, setiap hari larutan biourin diaduk secara manual.

2. Pembuatan Pestisida Nabati dengan Media Biourin

Sebanyak 40 liter biourin hasil fermentasi dengan A. chroococcum,

dimasukan dalam 4 jerigen ukuran 20 liter, kemudian kedalam jerigen tersebut

juga dimasukan 1 liter pestisida nabati perlakuan yang diperoleh dari 2 kg bahan

perlakuan, yaitu hancuran base genep, hancuran daun mimba, hancuran daun

sirsak dan daun tembakau rajangan , kemudian difermentasi selama 1 minggu.

Setelah fermentasi, larutan pestisida nabati diaplikasikan dan digunakan dengan

dosis aplikasi sebanyak 10% larutan.

3. Pembuatan pestisida hayati dengan media biourin

Sebanyak 30 liter biourin hasil fermentasi dengan A. chroococcum,

dibagi menjadi 3 bagian. Masing-masing larutan dimasukan dalam jerigen ukuran

20 liter, kemudian kedalam jerigen dimasukan 1 liter mikroba musuh alam yaitu

Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan Beauveria sp. dengan konsentrasi

105

CFU. Kemudian, dimasukan 5 liter air kelapa dan difermentasi selama 1

minggu. Setelah difermentasi, larutan biopestisida diaplikasikan langsung

ketanaman dengan dosis 10% larutan.

Page 25: applications of bio urine mixed with biological control agent for

25

4.5.2 Persiapan lahan

Bibit sawi hijau disemaikan pada media yang telah dicampur dengan

pupuk kandang. Persemaian dilakukan pada tempat teduh dan dijaga

kelembabannya selama 14 hari atau bibit telah memiliki 3-4 helai daun. Sebelum

dilakukan penanaman, tanah diolah terlebih dahulu dan dibuat petak-petak

perlakuan berukuran 1m x 2 m dengan jarak antar petak 50 cm. Setelah itu

diberikan pupuk dasar berupa pupuk organik (kompos) dan kemudian dilakukan

penutupan dengan mulsa hitam perak. Denah petak percobaan disajikan pada

Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Denah petak percobaan di lapangan

Page 26: applications of bio urine mixed with biological control agent for

26

4.5.3 Penanaman

Bibit yang telah berumur 14 hari kemudian dipindahkan ke petak

percobaan dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Bibit yang ditanaman adalah bibit

yang seragam, tegak, segar dan kuat.

4.5.4 Pemupukan

Pemupukan pertama dilakukan 7 hari setelah penanaman dan dilakukan 2

kali seminggu hingga menjelang panen. Pemberian perlakuan campuran biourin

ditambah agen hayati dilakukan dengan pengenceran 10% larutan, sedangkan

petak yang diberi perlakuan control dan pestisida tidak di lakukan pemupukan.

Penyemprotan biourin dilakukan dengan menyemprot seluruh bagian tanaman,

termasuk bagian belakang daun.

4.5.5 Pemeliharaan tanaman

Penyiraman dilakukan apabila diperlukan, terutama jika tanaman terlihat

layu. Penyemprotan pestisida dilakukan setiap minggu hanya pada petak I (petak

yang diberi perlakuan pestisida). Serangan hama dan penyakit pada sawi hijau

dilakukan secara alami.

4.5.6 Uji Perlakuan

Uji perlakuan biourin ditambah dengan agen pengendali hayati pada

tanaman sawi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan

Page 27: applications of bio urine mixed with biological control agent for

27

menggunakan 10 perlakuan dan 3 (tiga) kali ulangan, sehingga diperoleh 30 unit

petak percobaan. Adapun masing-masing perlakuan adalah:

A = Biourin yang ditambah hancuran base genep

B = Biourin yang ditambah hancuran daun mimba (Azadirachta indica A. Juss)

C = Biourin yang ditambah hancuran daun sirsak (Annona muricata L.)

D = Biourin yang ditambah daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum)

E = Biourin yang ditambah Bacillus thuringiensis

F = Biourin yang ditambah Trichoderma viride

G = Biourin yang ditambah Beauveria sp.

H = Biourin

I = Pestisida kimia

J = Kontrol

4.5.7 Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan setiap minggu meliputi;

1. Jumlah daun.

Jumlah daun yang dihitung meliputi daun yang sudah terbentuk sempurna

dan masih berwarna hijau.

2. Tinggi tanaman.

Tinggi tanaman dihitung dari permukaan tanah hingga daun tertinggi.

3. Observasi hama dan penyakit tanaman yang menyerang.

Observasi dilakukan dengan mencatat gejala-gejala yang tibul serta

perubahan yang terjadi pada tanaman.

Page 28: applications of bio urine mixed with biological control agent for

28

Pengamatan saat panen dilakukan meliputi:

1. Berat segar akar.

Berat segar akar diperoleh setelah panen ditimbang dengan menggunakan

timbangan. Akar dicuci bersih sebelum ditimbang.

2. Berat segar diatas tanah.

Berat segar diatas tanah diperoleh setelah panen ditimbang dengan

menggunakan timbangan. Bagian diatas tanah dicuci bersih sebelum

ditimbang.

3. Berat kering akar.

Berat kering akar diperoleh dengan memasukkan akar ke dalam oven

dengan suhu 80o C sampai berat konstan.

4. Berat kering diatas tanah

Berat kering diatas tanah diperoleh dengan memasukkan akar ke dalam

oven dengan suhu 80o C sampai berat konstan.

5. Jumlah klorofil.

Kandungan klorofil diukur dengan menggunakan klorofilmeter.

Pengukuran dilakukan pada daun ketiga dari pucuk sebanyak 3 kali,

kemudian diambil rata-ratanya.

6. Luas daun.

Luas daun diperoleh dengan mengamati panjang daun terpanjang dan lebar

daun terlebar, kemudian dikalikan dengan konstanta.

Page 29: applications of bio urine mixed with biological control agent for

29

7. Mengamati dan menghitung kelimpahan Liriomyza sp.

Kelimpahan imago Liriomyza sp. diamati dengan cara memotong daun dan

meletakkannya dalam gelas plastik yang bagian atasnya telah di tutup

dengan kain kasa. Imago yang keluar dari daun kemudian diamati dan

dihitung.

8. Mengamati dan menghitung persentase penyakit tanaman dan kerusakan

daun pertanaman yang menyerang tanaman dengan rumus (Sudarma,

2011) :

Keterangan :

P = persentase penyakit atau kerusakan daun pertanaman

n = jumlah tanaman yang terserang penyakit atau jumlah daun yang

rusak

N = jumlah tanaman yang diamati atau jumlah daun yang diamati

pertanaman

9. Mengamati dan menghitung intensitas kerusakan daun tanaman terhadap

hama dengan rumus (Natawigena, 1989):

keterangan :

P = Intensitas kerusakan;

n = Jumlah daun dari tiap kategori serangan;

v = Nilai skala dari tiap kategori serangan;

Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi

Page 30: applications of bio urine mixed with biological control agent for

30

N = Jumlah daun yang diamati

Tabel 4.1 Kriteria Penilaian Intensitas Kerusakan

Skala Persentase kerusakan Katagori

0 0 Normal

1 1 < x ≤ 25 Ringan

2 25 < x ≤ 50 Sedang

3 50 < x ≤ 75 Berat

4 x > 75 Sangat berat

4.5.8 Panen

Panen dilakuka pada umur 30 hari setelah tanam. Panen dilakukan dengan

cara mencabut seluruh bagian tanaman hingga ke akar.

4.5.9 Penyajian dan Analisis Data

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam)

sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata

dilanjutkan dengan uji Duncan taraf 5%. Data persentase akar gada

ditransformasi dengan rumus (Hanafiah, 2010) kemudian dianalisis.

x’ = √x+0,5

keterangan :

x’ = nilai transformasi

x = nilai awal

Page 31: applications of bio urine mixed with biological control agent for

31

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Signifikansi Pengaruh Aplikasi Campuran Biourin dengan Agen

Pengendali Hayati pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var.

parachinensis L.)

Berdasarkan analisis statistik diperoleh signifikansi pengaruh aplikasi

campuran biourin dengan agen pengendali hayati terhadap produktivitas, hama

serta penyakit akar gada pada tanaman sawi hijau (Brassica rapa var.

parachinensis L.) yang disajikan pada Tabel 5.1. Grafik tinggi tanaman dan

jumlah daun pertanaman disajikan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Sedangkan, hasil

pengamatan dan notasi disajikan dalam Tabel 5.2, Tabel 5.3 dan Tabel 5.4. Tabel

5.1 dapat diketahui bahwa campuran biourin dengan agen pengendali hayati pada

tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) berpengaruh nyata (P

˂ 0,05) terhadap variabel tinggi tanaman, luas daun, jumlah klorofil, berat segar

diatas tanah, berat segar akar, berat kering diatas tanah, berat kering akar,

persentase akar gada, jumlah daun rusak, intensitas kerusakan daun dan

kelimpahan Liriomyza sp.. Namun demikian, pada variabel jumlah daun

menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P ≥ 0,05).

31

Page 32: applications of bio urine mixed with biological control agent for

32

Tabel 5.1

Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Persentase

Penyakit Akar Gada pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var.

parachinensis L.)

No. Variable pengamatan Signifikansi

1 Jumlah daun ns

2 Tinggi tanaman *

3 Luas daun **

4 Jumlah klorofil **

5 Berat segar diatas tanah *

6 Berat segar akar *

7 Berat kering diatas tanah **

8 Berat kering akar **

9 Persentase penyakit akar gada **

11 Jumlah daun rusak akibat serangan belalang **

12 Intensitas kerusakan daun akibat hama belalang **

13 Kelimpahan imago Liriomyza sp. *

Keterangan : ns : berpengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05)

* : berpengaruh nyata (P ˂ 0,05)

**: berpengaruh sangat nyata (P ˂ 0,01)

5.2 Pengaruh Aplikasi Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati

pada Tanaman Sawi Hijau

Pada Gambar 5.1dan 5.2 dapat diketahui terjadi peningkatan pertumbuhan

pada tanaman sawi hijau. Hasil analisi statistik pada hari ke-21 atau pada minggu

ke-3 (Tabel 5.2) menunjukkan perlakuan biourin berpengaruh nyata (P ˂ 0,05)

terhadap tinggi tanaman, namun pada jumlah daun menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata (P ≥ 0,05). Hal tersebut disebabkan karena sifat genetik tanaman dan

kondisi lingkungan pada saat itu sesuai untuk pertumbuhan tanaman, sehingga

tanaman seragam (Kuswanto, 2012).

Page 33: applications of bio urine mixed with biological control agent for

33

Gambar 5.1 Grafik tinggi tanaman perminggu pada sawi hijau yang diberi

perlakuan biourin ditambah agen pengendali hayati

Gambar 5.2 Grafik jumlah daun tanaman perminggu pada tanaman sawi hijau

yang diberi perlakuan biourin ditambah agen pengendali hayati

Tabel 5.2 menunjukkan pengaruh campuran biourin dengan agen

pengendali hayati terhadap variabel jumlah daun, tinggi tanaman, luas daun dan

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

0 7 14 21

Tin

ggi t

anam

an (

cm)

Waktu (hari setelah perlakuan)

A (Biourin + hancuran basegenep)B (Biourin + hancuran daunmimba)C (Biourin + hancuran daunsirsak)D (Biourin+ hancuran dauntembakau)E (Biourin + Bacillusthuringiensis)F (Biourin + Trichoderma viride)

G (Biourin + Beauveria sp.)

H (Biourin)

I (Pestisida kimia)

J (Kontrol)

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

0 7 14 21

Jum

lah

dau

n (

he

lai)

Waktu (hari setelah perlakuan)

A (Biourin + hancuran base genep)

B (Biourin + hancuran daun mimba)

C (Biourin + hancuran daun sirsak)

D (Biourin+ hancuran daun tembakau)

E (Biourin + Bacillus thuringiensis)

F (Biourin + Trichoderma viride)

G (Biourin + Beauveria sp.)

H (Biourin)

I (Pestisida kimia)

J (Kontrol)

Page 34: applications of bio urine mixed with biological control agent for

34

klorofil pada tanaman sawi hijau pada hari ke-21 setelah perlakuan. Sedangkan,

tabel 5.3 menunjukkan pengaruh campuran biourin dengan agen pengendali hayati

terhadap variabel berat segar dan berat kering tanaman sawi hijau pada hari ke-21

setelah perlakuan. Berdasarkan Tabel 5.2 dan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa

campuran biourin yang ditambah dengan agen pengendali hayati pada tanaman

sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) di hari ke-21 berpengaruh nyata

(P ˂ 0,05) terhadap variabel tinggi, luas daun, jumlah klorofil, berat segar diatas

tanah, berat segar akar, berat kering diatas tanah dan berat kering akar. Perlakuan

biourin berbeda nyata dengan kontrol disebabkan karena biourin yang

difermentasi dengan menggunakan A. chroococcum selain memiliki kandungan

hara yang lengkap, juga mengandung zat pengatur tumbuh tanaman yang tinggi,

yaitu auksin, sitokinin dan giberelin (Sudana, dkk., 2012).

Kandungan auksin, sitokinin dan giberelin memberikan pengaruh yang

baik terhadap pertumbuhan tanaman. Keseimbangan dari ketiga hormon ini dan

interaksinya dapat mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.

Kandungan komponen senyawa pendukung pertumbuhan yang lengkap

menyebabkan tanaman memiliki kualitas yang baik. meningkatkan proses

fisiologis tumbuhan seperti fotosintesis yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan

(Wahid, dkk., 2013). Hal ini terlihat juga pada jumlah klorofil tertinggi pada hari

ke-21 setelah perlakuan biourin, yaitu 43,30 SPAD unit.

Campuran biourin yang ditambah dengan daun tembakau rajangan

memiliki pertumbuhan, jumlah klorofil, berat segar dan berat kering tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena tanaman

Page 35: applications of bio urine mixed with biological control agent for

35

tembakau memiliki kandungan kalium yang tinggi. Kalium tersebut berperan

dalam membentuk dan mengangkut karbohidrat, sebagai katalisator dalam

pembentukan protein, mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, menetralkan

reaksi dalam sel terutama dari asam organik, menaikan pertumbuhan jaringan

meristem, mengatur pergerakan stomata, memperkuat tegaknya batang sehingga

tanaman tidak mudah roboh, mengaktifkan enzim baik langsung maupun tidak

langsung, meningkatkan kualitas tanaman, membuat tanaman menjadi lebih tahan

terhadap hama dan penyakit, serta membantu perkembangan akar tanaman

(Yusuf, 2012; Syakir dan Gusmaini, 2012).

Tabel 5.2

Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Jumlah

Daun, Tinggi Tanaman, Luas Daun dan Jumlah Klorofil pada Tanaman Sawi

Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan

Perlakuan

Variabel pengamatan

Jumlah

daun

(helai)

Tinggi

tanaman

(cm)

Luas daun

cm2

Jumlah

klorofil

(SPAD unit)

A (Biourin ditambah hancuran base genep) 9,47 a 37,67 ab 230,36 aaa 36,23 bcc

B (Biourin ditambah hancuran daun

mimba) 9,33 a 39,18 aaa 213,67 abc 36,97 bc

C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) 9,53 a 38,07 abb 224,61 aaa 35,77 bcc

D (Biourin ditambah daun tembakau

rajangan) 9,27 a 40,10 aaa 243,09 aaa 40,93 abb

E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) 9,53 a 36,03 abb 240,96 aaa 41,16 abb

F (Biourin ditambah Trichoderma viride) 9,73 a 34,5 abb 199,75 abc 39,67 abc

G (Biourin ditambah Beauveria sp.) 9,4 a 32,47 bbb 232,69 aaa 40,92 abb

H (Biourin) 9,07 a 32,37 bbb 227,91 abb 43,30 aaa

I (Pestisida) 8,73 a 32,39 bbb 180,22 bcc 40,99 abb

J (Kontrol) 9,47 a 36,07 abb 174,64 ccc 33,98 ccc

Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf

Uji DMRT 5%

Page 36: applications of bio urine mixed with biological control agent for

36

Tabel 5.3

Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Berat

Segar dan Berat Kering Tanaman Sawi Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan

Perlakuan

Variabel pengamatan

Berat segar

diatas tanah

(g)

Berat segar

akar (g)

Berat kering

diatas tanah

(g)

Berat

kering

akar (g)

A (Biourin ditambah hancuran base genep) 215,44 abcc 11,89 abcc 23,42 aaa 4,18 abb

B (Biourin ditambah hancuran daun mimba) 198,90 abcd 9,26 bccc 14,81 cccc 1,87 ccc

C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) 210,30 abcc 9,25 bccc 16,36 bcc 2,10 ccc

D (Biourin ditambah daun tembakau

rajangan) 257,39 aaaa 12,06 abcc 20,85 abb 3,41 abc

E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) 166,34 bcdd 10,66 bccc 21,185 ab 2,55 bcc

F (Biourin ditambah Trichoderma viride) 253,81 abbb 13,19 abbb 22,79 a 4,06 abb

G (Biourin ditambah Beauveria sp.) 156,50 cddd 10,50 bccc 19,27 abc 3,41 abc

H (Biourin) 185,80 abcd 15,80 aaaa 20,02 abb 4,75 aaa

I (Pestisida) 190,68 abcd 9,34 bccc 20,03 abb 2,59 bcc

J (Kontrol) 122,99 dddd 8,21 c 10,77 ddd 2,72 bcc

Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf

Uji DMRT 5%

5.3 Pengaruh Campuran Biorin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap

Hama yang Menyerang Tanaman Sawi Hijau

Hasil penelitian menunjukkan kehilangan hasil terhadap produktivitas

tanaman sawi hijau diakibatkan oleh serangan hama dengan tipe mulut menggigit-

mengunyah yang dimiliki oleh belalang (Jumar, 2000). Gambar 5.3 menunjukkan

nilai kerusakan yang terjadi terdapat pada kerusakan daun dan intensitas

kerusakan daun. Pada saat penanaman dilakukan bulan Juli hingga Agustus 2013

curah hujan yang terjadi mengalami peningkatan setelah beberapa bulan

sebelumnya mengalami musim kemarau. Sudarsono dkk. (2011) juga menyatakan

Page 37: applications of bio urine mixed with biological control agent for

37

bahwa serangan hama belalang mengalami peningkatan luas serangan pada musim

penghujan setelah beberapa bulan mengalami curah hujan yang rendah.

Gambar 5.3 Kerusakan yang diakibatkan oleh hama belalang

Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa campuran biourin dengan

agen pengendali hayati pada tanaman sawi hijau di hari ke-21 berpengaruh nyata

(P ˂ 0,05) terhadap variabel kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun.

Jumlah daun rusak dan intensitas kerusakan daun terendah akibat hama belalang

pada tanaman sawi hijau ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan

Bacillus thuringiensis dengan nilai 1 helai daun rusak dan nilai intensitas

kerusakan daun 27,23%. B. thuringiensis dapat mengendalikan hama yang

merusak tanaman dengan cara merusak sistem pencernaan. Kristal protein (δ-

endotoksin) jika larut dalam usus serangga yang mengalami aktifitas proteolisis.

Bt-protoksin akan menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat racun.

Racun akan menyebabkan terbentuknya pori-pori pada sel membran pencernaan

serangga sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel, sehingga sel akan

membengkak dan pecah, akhirnya menimbulkan kematian (Bahagiawati, 2002).

Page 38: applications of bio urine mixed with biological control agent for

38

Nilai kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun terendah ke-2 akibat

serangan belalang ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan hancuran

base genep. Hancuran base genep juga mengandung berbagai macam kandungan

senyawa yang bersifat pestisida sehingga dapat menolak hama untuk memakan

dan apabila daun termakan maka akan mengakibatkan efek terbakar pada

serangga karena base genep mengandung senyawa yang bersifat api seperti yang

terdapat capsaicin pada cabai, saponin, flavonoid, tanin, minyak atsiri, eugenol

pada cengkeh maupun zingeron pada jahe. Kandungan minyak bunga cengkeh

(Eugenia aromatica) efektif mengendalikan hama trips (Thrips palmi) dan ulat

bulu Gempinis dengan tingkat kematian (mortalitas) tertinggi sebesar 100%.

Selain itu, kandungan zingeron pada jahe dan minyak atsiri pada pala juga dapat

meningkatkan mortalitas pada ulat bulu (Atmaja dan Ismanto, 2010; Astuthi, dkk.,

2012) .

Nilai kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun terendah ke-3 akibat

serangan belalang ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan daun

tembakau rajangan. Hal itu disebabkan karena tembakau merupakan tanaman

yang paling toksik dibanding kandungan jenis tanaman lainnya dan memiliki nilai

LD-50 (lethal dose 50%) antara 50 dan 60 ppm. Selain itu, racun dari senyawa

nikotin yang dimiliki oleh tembakau dapat membunuh serangga dengan cara

bekerja cepat dan bekerja secara kontak dan meracuni syaraf serangga

(Wiryadiputra, 2006).

Page 39: applications of bio urine mixed with biological control agent for

39

Tabel 5.4

Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Jumlah

Daun Rusak, Intensitas Kerusakan Daun Akibat Serangan Hama Belalang serta

Kelimpahan Liriomyza sp. Pada Sawi Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan

Perlakuan

Variabel pengamatan

Jumlah

daun rusak

(helai)

Intensitas

kerusakan

daun (%)

Kelimpahan

Liriomyza

sp. (imago)

A (Biourin ditambah hancuran base genep) 2,56 bb 27,96 cc 23,33 ab

B (Biourin ditambah hancuran daun mimba) 2,89 ab 36,65 aa 50,00 aa

C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) 3,33 ab 35,97 ab 27,00 ab

D (Biourin ditambah daun tembakau

rajangan) 2,56 bb 28,97 bc 50,67 aa

E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) 1,00 cc 27,23 cc 50,00 aa

F (Biourin ditambah Trichoderma viride) 2,00 bc 34,99 ab 38,33 ab

G (Biourin ditambah Beauveria sp.) 2,33 bc 37,29 aa 30,00 ab

H (Biourin) 2,33 bc 37,00 aa 31,00 ab

I (Pestisida) 2,56 bb 29,44 bc 13,33 bb

J (Kontrol) 4,44 aa 42,97 aa 52,67 aa

Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada

taraf Uji DMRT 5%

Selain serangan belalang, adapula kerusakan yang ditimbulkan akibat

serangan Liriomyza sp.. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.4, kelimpahan

Liriomyza sp. pada hari ke-21 menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P ˂ 0,05).

Kelimpahan liriomyza sp. terendah ditunjukkan oleh perlakuan insektisida

sebanyak 13,33 imago. Menurut Soenarko (2009) Jenis pestisida yang paling

ampuh untuk mengendalikan serangan hama Liriomyza sp. adalah pestisida yang

bersifat sistemik karena serangan yang paling merugikan adalah pada fase larva

yang tinggal di bawah lapisan epidermis daun kemudian memakannya (Gambar

5.4). Setelah masa larva selesai, barulah larva akan keluar daun untuk menjadi

Page 40: applications of bio urine mixed with biological control agent for

40

pupa. Pestisida yang digunakan pada perlakuan merupakan pestisida yang bersifat

racun kontak dan sistemik dengan kandungan bahan aktif Deltametrin dan

Dimehipo sehingga kematian dapat terjadi pada fase imago maupun fase larva.

Gambar 5.4 Liriomyza sp. yang menyerang tanaman sawi hijau

Faktor perkembangan serta pertumbuhan tanaman yang baik juga dapat

menurunkan resiko kerusakan tanaman. Hal ini didukung oleh data yang

disajikan dalam Tabel 5.2 dan Tabel 5.3. Daun yang memiliki serat yang lebih

tinggi akan memiliki berat kering yang relatif lebih tinggi. Kandungan serat

tanaman yang tinggi diakibatkan oleh optimalnya proses fotosintesis yang terjadi

pada tanaman, sehingga tanaman akan mengalami kehilangan bobot berat segar

yang lebih kecil akibat akumulasi fotosintat yang tinggi pada sel tanaman.

Kualitas tanaman yang baik menyebabkan imago Liriomyza sp. relatif lebih sulit

untuk menembus lapisan daun untuk meletakkan telur. Imago Liriomyza sp.

mencucuk tidak hanya untuk meletakkan telurnya, namun adapula untuk makan

(Soenarko, 2009).Serangan Liriomyza sp. umumnya terjadi pada empat (4) helai

daun terbawah tanaman percobaan. Empat helai daun terbawah merupakan daun

tua (daun awal) pada hari ke-0 setelah perlakuan (Gambar 5.2).

Page 41: applications of bio urine mixed with biological control agent for

41

5.4 Pengaruh Campuran Biorin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap

Penyakit Akar Gada yang Menyerang Tanaman Sawi Hijau

Berdasarkan hasil analisis statistik yang disajikan dalam Tabel 5.5

menunjukkan bahwa aplikasi biourin terbukti menekan terjadinya pembentukan

penyakit akar gada dibandingkan dengan kontrol (0%). Penyakit akar gada

memiliki ciri khusus yaitu akar yang membengkak akibat dari rusaknya susunan

jaringan akar (Gambar 5.5), sehingga pengangkutan metabolisme dari akar

menuju ke bagian organ tanaman lain seperti batang dan daun menjadi terganggu,

begitupun sebaliknya. Pada serangan berat, tanaman akan menjadi kerdil, layu

bahkan mati. Persentase serangan penyakit akar gada yang tinggi pada kontrol

menyebabkan tanaman yang terserang memiliki berat kering, berat basah, jumlah

klorofil dan luas daun yang lebih rendah dibanding dengan tanaman yang diberi

perlakuan biourin. Aplikasi biourin pada daun, dapat langsung membuat unsur

hara serta ZPT yang terkandung segera dimanfaatkan karena langsung mengenai

bagian daun (stomata) tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Sehingga,

tanaman tidak terganggu oleh adanya penyakit akar gada yang menyerang pada

saat itu. Selain itu, tanaman sawi hijau berumur pendek yang mengakibatkan

serangan patogen Plasmodiophora brassicae Wor. belum menginfeksi seluruh

bagian akar. Sebagian besar bagian akar masih ada yang berfungsi dengan baik.

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam biourin yang berfungsi untuk

menekan pertumbuhan patogen Plasmodiophora brassicae Wor. ada

kemungkinan tidak mengalami gangguan setelah ditambahkan dengan hancuran

daun tembakau, Bacillus thuringiensis, Beauveria sp., dan Trichoderma viride

karena memiliki nilai yang sama dengan perlakuan biourin tanpa tambahan agen

Page 42: applications of bio urine mixed with biological control agent for

42

pengendali hayati dalam mengendalikan persentase penyakit akar gada pada

tanaman sawi hijau. Pemberian pupuk yang seimbang dapat meningkatkan

ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit dengan cara meningkatkatkan

kualitas tanaman. Penelitian yang dilakukan Morgan dkk. (2005) menjelaskan

pemberian bahan organik akan memperbaiki rhizosfer yang dapat membantu

meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan membantu toleransi

tanaman terhadap senyawa toksik.

Gambar 5.5 Penyakit akar gada yang menyerang tanaman sawi hijau

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik juga terdapat pada

perlakuan biourin yang ditambah dengan Trichoderma viride. Penggunaan

Trichoderma spp. sangat baik diberikan dalam fase tanaman masih muda atau

pada fase perkembangan awal pertumbuhan tananaman sebagai pencegahan

terserang patogen. Selain itu, Trichoderma spp. mampu menyerang jamur lain

namun sekaligus berkembang baik pada daerah perakaran menjadikan keberadaan

Page 43: applications of bio urine mixed with biological control agent for

43

jamur ini dapat berperan sebagai biokontrol dan biodekomposer sehingga dapat

memperbaiki pertumbuhan tanaman. Aplikasi campuran biourin selain dapat

langsung diserap tanaman, sebagian lagi berpotensi mengalami leaching

(pencucian) karena adanya hujan. Campuran biourin jatuh mengenai tanah dan

akar. Agen pengendali hayati yang terdapat dalam biourin mampu melindungi

akar. Pernyataan ini diperkuat oleh yang menyatakan cendawan yang tumbuh

cepat mampu menggunguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya dapat

menekan pertumbuhan cendawan lawannya. Selain itu diduga karena selulase

yang dimiliki oleh Trichoderma sp. akan merusak dinding sel selulosa cendawan

patogen (Ismail dan Terinwawe, 2012)

Tabel 5.5

Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Persentase

Penyakit Akar Gada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.)

Perlakuan

Variabel pengamatan

Persentase penyakit akar

gada (%)

A (Biourin ditambah hancuran base genep) 0.008 bb

B (Biourin ditambah hancuran daun mimba) 0.008 bb

C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) 0.017 ab

D (Biourin ditambah hancuran daun tembakau) 0.000 cc

E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) 0.000 cc

F (Biourin ditambah Trichoderma viride) 0.000 cc

G (Biourin ditambah Beauveria sp.) 0.008 bb

H (Biourin) 0.000 cc

I (Pestisida) 0.008 bb

J (Kontrol) 0.042 aa

Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada

taraf Uji DMRT 5% data telah ditransformasi dengan rumus

x' = √ x + 0,5

Page 44: applications of bio urine mixed with biological control agent for

44

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka

diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Aplikasi campuran biourin yang ditambahkan dengan Bacillus

thuringiensis, hancuran base genep dan daun tembakau rajangan mampu

mengendalikan hama dengan belalang dan Liriomyza sp. pada tanaman

sawi hijau.

2. Aplikasi biourin, ataupun biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau

rajangan dan Trichoderma viride mampu mengendalikan penyakit akar

gada pada tanaman sawi hijau.

3. Aplikasi campuran biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau

rajangan mampu meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau (Brassica

rapa var. parachinensis L.) dibandingkan dengan kontrol.

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat

dikemukakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai perubahan proses kimia

yang terjadi antara biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau

rajangan, hancuran base genep, hancuran daun mimba, hancuran daun

44

Page 45: applications of bio urine mixed with biological control agent for

45

sirsak, Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan Beauveria sp.

terutama mengenai kandungan zat pengatur tumbuh (ZPT) ataupun

kandungan bahan aktif lain yang ada di dalamnya.

2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai mikroorganisme yang ada

pada biourin sebelum penambahan agen pengendali hayati dan setelah

penambahan selama proses fermentasi untuk mengetahui adanya sifat

incompatible pada biourin yang ditimbulkan.

3. Perlu dilakukan kajian mengenai kemungkinan campuran biourin dengan

agen pengendali hayati sebagai PGPR (Plant Growth Promoting

Rhizobakteri) pada tahap pembibitan.

Page 46: applications of bio urine mixed with biological control agent for

46

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, R. Z., D. Haryuningtyas, A. Wardhana. 2008. Lethal Time 50 Cendawan

Beauveria bassiana dan Metarhizium Anisopliae terhadap Sarcoptes

Scabiei. Balai Besar Penelitian Veteriner : Bogor

Antara. 2011. BPS-Kementerian Pertanian Sensus Sapi Bali. Diakses 26 Februari

2013 (http:perperbali.antaranews.comperberitaper10730perbps-kementerian

-pertanian-sensus-sapi-bali).

Astuti, U.P., T. Wahyuni, B. Honorita. 2013. Petunjuk Teknis Pembuatan

Pestisida Nabati. Bengkulu : Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian

Astuthi, M. M. M., K. Sumiartha, I W. Susila, G. N. A.S. Wirya, I P. Sudiarta.

2012. Efikasi Minyak Atsiri Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.)

Merr. & Perry), Pala (Myristica fragrans Houtt), dan Jahe (Zingiber

officinale Rosc.) Terhadap Mortalitas Ulat Bulu Gempinis dari Famili

Lymantriidae. Journal Agriculture Science and Biotechnology 1(1) : 12-23

Asmaliyah, E. E, Wati H., S. Utami, K. Mulyadi, Yudhistira, F. W. Sari. 2010.

Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya

Secara Tradisional. Palembang : Kementerian Kehutanan.

Atmaja, W. R., A. Ismanto. 2010. Pengujian Enam Jenis Insektisida Nabati

Terhadap Trips (Thrips palmi) Pada Tanaman Kentang. Seminar Nasional

VIII Pendidikan Biologi. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik,

Bogor.

Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida.

Buletin AgroBio 5(1):21-28

Bio Pesticides. 2000. Bacillus Thuringiensis var Kurstaki. Diakses 26 Februari

2013 (http:perperwww.indiamart.comperjunnalifesciencesperbio-pesticides.

html)

BPTP Kalimantan Tengah. 2011. Pestisida Nabati Pembuatan dan Manfaat.

Kalimantan Tengah : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

BBP2TP Ambon. 2011. Limbah Tembakau Sebagai Pestisida Nabati Pengendali

Hama Helopeltis sp. Pada Tanaman Kakao. Ambon : Balai Besar

Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan

Bedjo. 2011. Keefektifan Bahan Nabati untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada

Tanama Kedelai. Makalah Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI. PFI

46

Page 47: applications of bio urine mixed with biological control agent for

47

Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan. Makassar 7 Juni.

Chemistry Zone. 2010. Trichoderma viride: A natural biopesticide, biofungicide

and water treatment agent. Diakses 21 Februari 2013

(http://chemistryzone.blogspot.com/2010/03/trichoderma-viride-natural-

biopesticide.html)

Daniel, M. 2011. “Pertanian Konvensional dan Dampaknya”. Haluan. 28 Maret.

Diakses 21 Februari 2013 (http:perperwww.harianhaluan.

comperindex.php?option=com_content &view=article&id=2983:pertanian-

konvensional-dan-dampaknya&catid=11:opini& Itemid=83)

Damir, O. P. Mladen, S. Božidar, N. Srñan. 2011. Cultivation Of The Bacterium

Azotobacter chroococcum For Preparation Of Biofertilizers. African Journal

of Biotechnology 10(16) : 3104-3111.

Djatnika, 1. 1984. Upaya Penanggulangan Plasmodiophora brassicae Wor. Pada

Tanaman Kubis-kubisan. Seminar Hama dan Penyakit Sayuran Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Gholib, D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.)

Terhadap Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans

Jamur Penyebab Penyakit Kurap pada Kulit dan Penyakit Paru. Buletin

Littro 20(1) : 59-67

Hanafiah, K. A. 2010. Rancangan Percobaan : Teori dan Aplikasi. Rajawali Pers,

Jakarta

Hadiwiyono, Sholahuddin, E. Sulastri. 2011. Efektifitas Caisin Sebagai Tanaman

Perangkap Patogen untuk Pengendalian Penyakit Akar Gada pada Kubis.

Jurnal HPT Tropika (11)1:22-27.

Jumar. 2000. Entomologi Serangga. Cetakan Pertama. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Illinois University. 2013. Zero Waste. Diakses 26 agustus 2013

(http:perperwww.fs.illinois.eduperservicesperwaste-management-

recyclingperzero-waste)

Ismail, N., A. Tenrirawe. 2010. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp. sebagai

Agens Pengendali Hayati. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian,

mendukung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara.

Khairani, N. 2007. Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) dan Lantana

camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea

operculella Zel.) di Gudang. (skripsi) Medan : Universitas Sumatra Utara.

Page 48: applications of bio urine mixed with biological control agent for

48

Kardiman, A. 2006. Mimba (Azadirachta indica) Bisa Merubah Perilaku Hama.

Bogor : Balai Penelitian Rempah dan Obat.

Kusumaningati R.W. 2009 . Analisa Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber

officinale rosc.) Secara in Vitro. Jakarta : Universitas Indonesia.

Mursyanti, E. K. E., L. M. E. Purwijantiningsih. 2013. Induksi Kalus dan

Penghasilan Capsaicin pada Variasi Kadar Nutrien MS dan Kombinasi Zat

Pengatur Tumbuh. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.

Morgan, J.A.W., G.D. Bending, P.J. White. 2005. Biological costs and benefits to

plant-microbe interactions in the rhizosphere. J. Exp. Bot. 56:1729-1739.

Nadiah, A., B. A. Nugroho. 2012. Biopestisida Sebagai Alternatif Pengendalian

OPT dan Prospeknya. POPT Pertama. Surabaya : BBP2TP.

Nadlirah, U. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Sereh Wangi Sebagai Pestisida

Nabati Terhadap Hewan Non Sasaran (Ikan Mujair). (skripsi) Semarang :

IKIP PGRI Semarang

Natawigena. 1954, Pestisida dan Kegunaanya. Bandung : Penerbit Cv Armico.

Nugroho, T. T. 2013. Bioteknologi Fungi Biokontrol dan Pengembagannya untuk

Aplikasi dalam Bidang Pertanian. Industri Ramah Lingkungan dan

Kesehatan. Riau : Universitas Riau.

Nurlambang, T dan T. Kristiastomo. 2001. Pendekatan Zero Waste Management

Sebagai Solusi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Bahan Seminar

Kemitraan Pemda Kodya Depok dengan Kalangan Industri dan Masyarakat

dalam Mengelola Limbah Lingkungan untuk Meningkatkan Pendapatan

Asli Daerah, Kerjasama Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI dan

Pemda Depok.

Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.

Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Opena, R. T., D. C. S Tay. 1994. Brassica rapa L. Group Caisim. J. S.

Simonsma dan K. Pileuk. Plant Recource of Sout-East Asia. Vegetable.

PROSEA Foundation.

Parwata, I M. O. A., P. F. S. Dewi. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri

Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia 2

(2) : 100-104

Phrimantoro.1995. Pemanfaatan Urine Sapi Yang Difermentasi Sebagai Nutrisi

Tanaman. Diakses 23 Februari 2013 (http:perperagribisnis.deptan.go.idper

PustakaperPengantarper pdf)

Page 49: applications of bio urine mixed with biological control agent for

49

Phrimantoro. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasi Sebagai Nutrisi

Tanaman. Diakses 23 Februari 2013 (http:perper

agribisnis.deptan.go.idperPustakaperPengantar perpdf.)

Plantamor. 2012. Informasi Spesies Sawi Hijau Brassica rapa var. parachinensis

L. Diakses 21 Februari 2013 (http://www.plantamor.com/index.php

?plant=225).

Rukmana, R. 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Yogyakarta : Kanisius.

Saputra, K., 2001. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta :Bumi Aksara

Sitohang, B. 2009. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Pertanian

Organik. Jawa Barat : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Propinsi Jawa

Barat.

Sakinah, F. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Cuaca Untuk Prediksi Serangan

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada Tanaman Bawang Merah.

(skripsi) Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Soenarko, H. 2009. Ekologi Thrips, Liriomyza dan Kutu Kebul (B. tabaci).

Diakses pada 26 Februari 2014

(http:perperherrysoenarko.blogspot.comper2009per03perekologi-thrips-

liriomyza-dan-kutu-kebul.html)

Sudana, M., G.N.A.S. Wirya, P. Sudiarta. 2012. Pemanfaatan Biourin Sebagai

Biopestisida Dan Pupuk Organik Pada Usaha Budidaya Tanaman Sawi

Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L) Organik. Laporan Penelitian

Tahun I. Denpasar : Universitas Udayana.

Sudarma, I M. 2011. Epidemologi Penyakit Tumbuhan : Monitoring, Peramalan

dan Strategi Pengendalian. Denpasar : Universitas Udayana.

Supriyanto, B. Cahyono. 2012. Perbandingan Kandungan Minyak Atsiri antara

Jahe Segar dan Jahe Kering. Chemistry in Progress 5(2) : 81-85

Sudarsono, H., R. Hasibuan, I G. Swibawa. 2011. Hubungan antara Curah Hujan

dan Serangan Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) di

Provinsi Lampung. Jurnal Hama Penyakit Tanaman Tropika 11(1):95-101

Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Perkebunan. Seminar Nasional Pestisida Nabati

IV. Jakarta.

Syakir, M., Gusmaini. 2012. Pengaruh Penggunaan Sumber Pupuk Kalium

Terhadap Produksi dan Mutu Minyak Tanaman Nilam. Jurnal Littri 18(2) :

60-65

Page 50: applications of bio urine mixed with biological control agent for

50

Subiyakto. 2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala,

dan Strategi Pengembangannya. Perspektif 8 (2) :108 – 116.

Sutari, S. 2010. Uji Kualitas Biourine Hasil Fermentasi dengan Mikroba yang

Berasal dari Bahan Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Sawi Hijau (Brassica juncea L.), (tesis) Denpasar : Universitas Udayana.

Tampubolon, M. P. 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Parasitik Dengan Agen

Hayati. WARTAZOA Vol. 14(4) : 173-177

Tenrirawe, A. 2011. Pengaruh Hancuran Daun Sirsak Annona muricata L.

Terhadap Mortalitas Larva Helicoverpa armigera H. pada Jagung. Seminar

Nasional Serealia (521-529)

Utami, A. S. J., S. Aryawati, A.A. Kamandalu. 2012. Analisis Usaha

Penggemukan Sapi Bali Dengan Introduksi Probiotik Di Desa Selanbawak.

Kec.Marga .Kab.Tabanan. Bali. Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan

Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian.

United States Environment Protection Agency. 2012. Biopesticides Fact Sheet..

Diakses 26 Februari 2013 (http://www.epa.gov/pestwise/htmlpublications

/biopesticides_fact_sheet.html)

Wahid, T. S., A. I. Latunraa, Baharuddinb, A. Masniawatia. 2013. Optimalisasi

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi Hijau Brassica juncea L. Secara

Hidroponik dengan Pemberian Berbagai Bahan Organik Cair. Makasar :

Universitas Hasanudin

Wasilah, F., A. Syulasmi, Y. Hamdiyati. 2007. Pengaruh Ekstrak Rimpang Kunyit

(Curcuma domestica Val) Terhadap Pertumbuhan Jamur Fusarium

oxysporum Schlect Secara In Vitro. Bandung : Universitas Pendidikan

Indonesia.

Wiryadiputra, S. 2006. Keefektifan Pestisida Nabati Daun Ramayana (Cassia

spectabilis) dan Tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Hama Utama

Tanaman Kopi dan Pengaruhnya Terhadap Arthropoda Lainnya. Pelita

Perkebunan 22(1):25-39

Yusuf, T. 2012. Pengaruh Kalium dan Clhor Terhadap Hasil Tembakau. Diakses

15 Mei 2014 (http:perpertohariyusuf.blogspot.comper2012per08perpengaruh-

kalium-dan-clhor-terhadap.htm)