aplikasi sel surya pada uav dan inventarisasi padang lamun

44
Vol. 13 No. 1 Juni 2018 Majalah Ilmiah Populer ISSN 1907-6169 ISSN 1907-6169 Uji Terbang Komunikasi Berbasis IP pada LAPAN Surveillance UAV Inventarisasi Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali Sekilas Tentang Borneo Vortex Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun di Pantai Sanur

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

Vol. 13 No. 1 Juni 2018 Majalah Ilmiah Populer

ISSN 1907-6169ISSN 1907-6169

Uji Terbang Komunikasi Berbasis IP pada LAPAN Surveillance UAV

Inventarisasi Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali

Sekilas Tentang Borneo Vortex

Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun di Pantai Sanur

Page 2: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

FAKTUALITA

Uji Terbang Komunikasi IP BASED pada LAPAN Surveillance UAV

Mengukur Jarak Lapangan Dengan Menggunakan Phantom 4 Di Wilayah PUSTEKROKET

Aplikasi Sel Surya Pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV)

Inventarisasi Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali

Sekilas Tentang Borneo Vortex

Eksperimen Ear-Rass Di Kototabang Dan Peluncuran Radiosonde Bulan Maret 2018

SOSIALITA

Ground Check Mangrove Untuj Mendukung Pembuatan Satu Peta Mangrove Bali Dan Nusa Tenggara

Potensi Pengembangan Nano Satelit Sebagai Teknologi Satelit Masa Depan

Pembacaan Sensor Accelerometer LIS3DSH Pada Modul STM32F4–Discovery

Era Disrupsi

DAFTAR ISI Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Pedoman Bagi Penulis Media Dirgantara Media Dirgantara adalah majalah ilmiah populer yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk memasyarakatkan perkembangan iptek dirgantara secara nasional. Sifat populer berarti istilah teknis dijelaskan secara populer dengan bahasa sederhana, tidak menggunakan rumus-rumus dan tidak perlu daftar rujukan, kecuali menyebutkan sumber yang bersifat umum seperti lazimnya koran/majalah populer. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi tulisan sangat diharapkan.Media Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah berupa hasil penelitian, kajian, pengembangan, pemikiran, ulasan atau berita kedirgantaraan yang belum dipublikasikan atau dikirim ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah dan kejelasan pemaparan. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya.Naskah dikirimkan dalam format MS. Word, ke Sekretariat Redaksi Media Dirgantara, Jl. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta 13220 atau melalui e-mail ke [email protected]; m.dirgantara @hotmail.com.

SUSUNAN REDAKSI MEDIA DIRGANTARAKeputusan Kepala LAPAN Nomor 53 Tahun 2017 Tanggal 13 Maret 2017

Penanggung Jawab:

Ir. Christianus R. Dewanto, M.Eng

Redaktur:

Ir. Jasyanto, MM.

Penyunting Penyelia:

Moedji Soedjarwo, ST.

Penyunting Pelaksana:

Dr. Arif Nur Hakim; Nanin Anggraini, S.Si, M.Si; Drs. Gunawan Admiranto; Indah Susanti, ST; Suhata, S.Si, MM; Dana Herdiana, S.T.; Dwi Risdianto, ST

Redaksi Pelaksana:

Andriani Agustina, S.Sos; Dra Sri Rahayu; Aprian Rizky Fauzi,S.Ik

Disain Gra�s: M. Luth�.

Sampul DepanSolar UAV Helios milik NASA.Sumber : nasa.gov

2

591317

20

26

29

3540

Page 3: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

FAKTUALITA

Uji Terbang Komunikasi IP BASED pada LAPAN Surveillance UAV

Mengukur Jarak Lapangan Dengan Menggunakan Phantom 4 Di Wilayah PUSTEKROKET

Aplikasi Sel Surya Pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV)

Inventarisasi Padang Lamun Di Pantai Sanur Bali

Sekilas Tentang Borneo Vortex

Eksperimen Ear-Rass Di Kototabang Dan Peluncuran Radiosonde Bulan Maret 2018

SOSIALITA

Ground Check Mangrove Untuj Mendukung Pembuatan Satu Peta Mangrove Bali Dan Nusa Tenggara

Potensi Pengembangan Nano Satelit Sebagai Teknologi Satelit Masa Depan

Pembacaan Sensor Accelerometer LIS3DSH Pada Modul STM32F4–Discovery

Era Disrupsi

DAFTAR ISI Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Pedoman Bagi Penulis Media Dirgantara Media Dirgantara adalah majalah ilmiah populer yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk memasyarakatkan perkembangan iptek dirgantara secara nasional. Sifat populer berarti istilah teknis dijelaskan secara populer dengan bahasa sederhana, tidak menggunakan rumus-rumus dan tidak perlu daftar rujukan, kecuali menyebutkan sumber yang bersifat umum seperti lazimnya koran/majalah populer. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi tulisan sangat diharapkan.Media Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah berupa hasil penelitian, kajian, pengembangan, pemikiran, ulasan atau berita kedirgantaraan yang belum dipublikasikan atau dikirim ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah dan kejelasan pemaparan. Naskah yang tidak dimuat akan dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya.Naskah dikirimkan dalam format MS. Word, ke Sekretariat Redaksi Media Dirgantara, Jl. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta 13220 atau melalui e-mail ke [email protected]; m.dirgantara @hotmail.com.

SUSUNAN REDAKSI MEDIA DIRGANTARAKeputusan Kepala LAPAN Nomor 53 Tahun 2017 Tanggal 13 Maret 2017

Penanggung Jawab:

Ir. Christianus R. Dewanto, M.Eng

Redaktur:

Ir. Jasyanto, MM.

Penyunting Penyelia:

Moedji Soedjarwo, ST.

Penyunting Pelaksana:

Dr. Arif Nur Hakim; Nanin Anggraini, S.Si, M.Si; Drs. Gunawan Admiranto; Indah Susanti, ST; Suhata, S.Si, MM; Dana Herdiana, S.T.; Dwi Risdianto, ST

Redaksi Pelaksana:

Andriani Agustina, S.Sos; Dra Sri Rahayu; Aprian Rizky Fauzi,S.Ik

Disain Gra�s: M. Luth�.

Sampul DepanSolar UAV Helios milik NASA.Sumber : nasa.gov

2

591317

20

26

29

3540

Alamat Penerbit : BIRO KERJASAMA, HUMAS DAN UMUM Jl. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun Jakarta Timur 13220Telepon: (021) 4892802 (Hunting) Fax: (021) 47882726e-mail: [email protected], [email protected]:http//www.lapan.go.idhttp//jurnal.lapan.go.id

SALAM REDAKSI

Bidang kedirgantaraan merupakan salah satu bidang yang menarik untuk terus digali. Bidang ini memiliki spektrum kajian yang cukup luas, mencakup aerodinamika, struktur dan rancangan wahana, teknik material, teknik kendali terbang, dan lain-lain. Di dalamnya juga termasuk pemanfaatan teknologi dirgantara untuk kajian dan monitoring lingkungan. Peranan dan fungsi bidang dirgantara ini semakin kuat berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terjadi. Pemanfaatan teknologi satelit untuk penginderaan jauh merupakan salah satu bukti adanya peranan perkembangan kedirgantaraan.

Edisi Media Dirgantara kali ini memuat artikel-artikel yang terkait dengan teknik penerbangan, yang dilengkapi dengan artikel yang terkait dengan penginderaan jauh serta sains atmosfer sebagai salah satu elemen penting dalam sains kedirgantaraan. Artikel yang membahas teknik penerbangan antara lain: Uji Terbang Komunikasi IP Based pada LAPAN Surveillance UAV, Mengukur Jarak Dengan Menggunakan Phantom 4 Di Wilayah PUSTEKROKET, Menerbangkan Mavic Pro Dengan Menggunakan Berbagai Mode Di Wilayah PUSTEKROKET, Potensi Pengembangan Nano Satelit Sebagai Teknologi Satelit Masa Depan, Aplikasi Sel Surya Pada Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan Pembacaan Sensor Accelerometer LIS3DSH Pada Modul Stm32f4–Discovery. Artikel yang terkait dengan penginderaan jauh adalah Ground Check Mangrove untuk Mendukung Pembuatan Satu Peta Mangrove Bali Nusa Tenggara, yang membahas kegiatan Ground Check Mangrove untuk veri�kasi dan peningkatan akurasi data penginderaan jauh di kawasan pesisir. Artikel yang terkait sains atmosfer adalah Sekilas mengenai Borneo Vortex dan artikel yang membahas sekelumit kegiatan pengukuran parameter atmosfer dengan menggunakan EAR-RASS yang merupakan kerjasama antara LAPAN dan Jepang. Edisi Media Dirgantara kali ini, dilengkapi dengan kajian yang bersifat sosial yang berjudul Era Disrupsi. Artikel tersebut mengupas fenomena disrupsi yang tengah terjadi di dunia saat ini, sebuah situasi dimana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linier, adanya perubahan yang sangat cepat, mendasar dengan pengacak-acak pola tatanan lama yang sudah ada untuk menciptakan tatanan baru.

Informasi dalam artikel-artikel yang disajikan dalam media ini bukanlah merupakan informasi yang lengkap mengenai kedirgantaraan, namun semoga dapat memberikan wawasan baru dan memberikan inspirasi untuk lebih memahaminya lebih dalam. Dengan pengetahuan yang lebih baik, semoga tercipta tatatan baru yang lebih baik dari sebelumnya.Selamat membaca. Salam Redaksi Juni 2018

Page 4: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

1970 untuk menghubungkan antar unit militer. Pada awalnya IP digunakan pada sistem operasi UNIX. Perkembangan IP selanjutnya yang cukup mencolok adalah munculnya protocol http dan www.

Radio Berbasis IP pada umumnya adalah radio wifi. Adapun pada radio Berbasis IP bisa membawa beberapa data secara bersama-sama karena dalam komunikasi Berbasis IP dikenal port atau secara mudahnya jalur. Sehingga dengan jalur berbasis IP kita bisa menggunakan beberapa port secara bersamaan untuk mengirimkan data yang berbeda. Radio wifi memiliki bandwith yang lebar akan tetapi biasanya powernya kecil, radio wifi yang kita coba gunakan ini adalah mikrotik 2SHPN. Radio ini memiliki power yang besar yaitu 1.6 watt.

LAPAN Surveillance UAV (LSU) adalah pesawat tanpa awak yang dikembangkan oleh LAPAN. Varian LSU ada beberapa macam yaitu mulai dari LSU 01, 02, 03 sampai 05. Hal yang membedakan pada tiap varian adalah bentang sayapnya.

Komunikasi antara Ground Control System (GCS) dengan UAV dilakukan menggunakan radio. Ketika UAV terbang membawa misi tertentu maka hal ini akan menjadi sebuah problem karena berarti akan membawa beberapa radio sesuai dengan banyaknya misi yang dijalankan. Hal ini terjadi ketika kita menggunakan type radio serial. Untuk mengatasi hal tersebut maka dicobalah opsi penggunaan komunikasi berbasis Internet protocols (IP) dalam UAV. Internet protocols (IP) pertama kali dibangun oleh Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) pada tahun

2

faktualita

Gambar 1. LSU dengan komunikasi berbasis IP (Sumber: Dokumentasi LAPAN)

UJI TERBANG KOMUNIKASI IP BASED PADA LAPAN SURVEILLANCE UAV1Iwan Nofi Yono Putro,S.Pd.T, Perekayasa di Pustekbang2Yanuar Prabowo, Peneliti (Pusat Teknologi Penerbangan)e-mail: [email protected]

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 5: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

3

faktualita

Gambar 2. Diagram blok basic konfigurasi komunikasi TCP IP

Gambar 3. Desain komunikasi uji terbang LSU komunikasi berbasis IP

Konfigurasi komunikasi yang kita gunakan pada uji terbang ini adalah sebagai berikut.

FAKTUALITA

3

Konfigurasi komunikasi yang kita gunakan pada uji terbang ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2. Diagram blok basic konfigurasi komunikasi TCP IP

Dengan desain ini diharapkan akan dapat melihat performa komunikasi berbasis IP. Pengoperasian kamera dan telemetri autopilot dilakukan secara bersama-sama dan dimonitor pada GCS, idealnya dilakukan pada 2 monitor GCS akan tetapi pada uji terbang ini dilakukan pada 1 monitor GCS saja karena untuk mempermudah koordinasi pengujian.

Karena ini adalah uji terbang pertama dengan komunikasi berbasis IP maka peralatan komunikasi radio yang dijadikan sebagai radio utama adalah radio serial yang biasa digunakan sedangkan peralatan radio berbasis IP dijadikan sebagai secunder radio komunikasi, atau lebih detailnya seperti diagram pada Gambar 2.

Gambar 3. Desain komunikasi uji terbang LSU komunikasi berbasis IP

Dengan desain seperti Gambar 3, jika

komunikasi berbasis IP tidak berjalan normal maka pesawat LSU akan tetap bisa berjalan normal. Dengan menggunakan 2 buah GCS ini maka ada pembagian fungsi dari GCS ini seperti Gambar 4. GCS Berbasis IP

GCS berbasis IP tujuannya untuk memantau kinerja komunikasi berbasis IP serta memantau payload yang berupa video atau image sending. Selain itu juga bisa memantau gerak pesawat ketika uji terbang.

GCS primary GCS utama ini berfungsi untuk memantau gerak pesawat dalam uji terbang. Karena radio yang

digunakan hanya radio serial maka yang dapat dipantau hanya gerak pesawat saja tidak bisa memantau payload dari LSU. Pengembangan dari komunikasi berbasis IP ini dapat berupa: Komunikasi repeater UAV Komunikasi repeater ini dimaksud untuk menambah jarak jangkau dari UAV dimana akan ditempatkan repeater sebagai penambah jarak dari UAV. Secara konsep ini hampir sama dengan yang dilakukan pada uji terbang, perbedaannya adalah pada pesawat repeater atau lebih jelasnya seperti pada Gambar 5.

Autopilot

Payload

Raspberry

Wifi

Radio

Pesawat

GCS Pesawat

GCS Payload

Wifi

Radio

GCS FAKTUALITA

3

Konfigurasi komunikasi yang kita gunakan pada uji terbang ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2. Diagram blok basic konfigurasi komunikasi TCP IP

Dengan desain ini diharapkan akan dapat melihat performa komunikasi berbasis IP. Pengoperasian kamera dan telemetri autopilot dilakukan secara bersama-sama dan dimonitor pada GCS, idealnya dilakukan pada 2 monitor GCS akan tetapi pada uji terbang ini dilakukan pada 1 monitor GCS saja karena untuk mempermudah koordinasi pengujian.

Karena ini adalah uji terbang pertama dengan komunikasi berbasis IP maka peralatan komunikasi radio yang dijadikan sebagai radio utama adalah radio serial yang biasa digunakan sedangkan peralatan radio berbasis IP dijadikan sebagai secunder radio komunikasi, atau lebih detailnya seperti diagram pada Gambar 2.

Gambar 3. Desain komunikasi uji terbang LSU komunikasi berbasis IP

Dengan desain seperti Gambar 3, jika

komunikasi berbasis IP tidak berjalan normal maka pesawat LSU akan tetap bisa berjalan normal. Dengan menggunakan 2 buah GCS ini maka ada pembagian fungsi dari GCS ini seperti Gambar 4. GCS Berbasis IP

GCS berbasis IP tujuannya untuk memantau kinerja komunikasi berbasis IP serta memantau payload yang berupa video atau image sending. Selain itu juga bisa memantau gerak pesawat ketika uji terbang.

GCS primary GCS utama ini berfungsi untuk memantau gerak pesawat dalam uji terbang. Karena radio yang

digunakan hanya radio serial maka yang dapat dipantau hanya gerak pesawat saja tidak bisa memantau payload dari LSU. Pengembangan dari komunikasi berbasis IP ini dapat berupa: Komunikasi repeater UAV Komunikasi repeater ini dimaksud untuk menambah jarak jangkau dari UAV dimana akan ditempatkan repeater sebagai penambah jarak dari UAV. Secara konsep ini hampir sama dengan yang dilakukan pada uji terbang, perbedaannya adalah pada pesawat repeater atau lebih jelasnya seperti pada Gambar 5.

Autopilot

Payload

Raspberry

Wifi

Radio

Pesawat

GCS Pesawat

GCS Payload

Wifi

Radio

GCS

Dengan desain ini diharapkan akan dapat melihat performa komunikasi berbasis IP. Pengoperasian kamera dan telemetri autopilot dilakukan secara bersama-sama dan dimonitor pada GCS, idealnya dilakukan pada 2 monitor GCS akan tetapi pada uji terbang ini dilakukan pada 1 monitor GCS saja karena untuk mempermudah koordinasi pengujian.

Karena ini adalah uji terbang pertama dengan komunikasi berbasis IP maka peralatan komunikasi radio yang dijadikan sebagai radio utama adalah radio serial yang biasa digunakan sedangkan peralatan radio berbasis IP dijadikan sebagai secunder radio komunikasi, atau lebih detailnya seperti diagram pada Gambar 2.

Dengan desain seperti Gambar 3, jika komunikasi berbasis IP tidak berjalan normal

maka pesawat LSU akan tetap bisa berjalan normal. Dengan menggunakan 2 buah GCS ini maka ada pembagian fungsi dari GCS ini seperti Gambar 4.• GCS Berbasis IP

GCS berbasis IP tujuannya untuk memantau kinerja komunikasi berbasis IP serta memantau payload yang berupa video atau image sending. Selain itu juga bisa memantau gerak pesawat ketika uji terbang.

• GCS primaryGCS utama ini berfungsi untuk memantau gerak pesawat dalam uji terbang. Karena radio yang digunakan hanya radio serial maka yang dapat dipantau hanya gerak pesawat saja tidak bisa memantau payload dari LSU.

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 6: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

4

faktualitaFAKTUALITA

Gambar 4. Tampilan GCS LSU

Gambar 5. Desain komunikasi repeater UAV (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Komunikasi UAV dengan satelit Komunikasi UAV dengan satelit ini dapat menjadi pengembangan komunikasi berbasis IP. Dimana koneksi UAV dengan GCS dihubungkan dengan

internet melalui modem satelit, sehingga jarak bisa dikatakan tidak ada batasan lagi selagi masih ada sinyal satelit.

Gambar 6. Desain komunikasi UAV dengan satelit (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

FAKTUALITA

Gambar 4. Tampilan GCS LSU

Gambar 5. Desain komunikasi repeater UAV (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Komunikasi UAV dengan satelit Komunikasi UAV dengan satelit ini dapat menjadi pengembangan komunikasi berbasis IP. Dimana koneksi UAV dengan GCS dihubungkan dengan

internet melalui modem satelit, sehingga jarak bisa dikatakan tidak ada batasan lagi selagi masih ada sinyal satelit.

Gambar 6. Desain komunikasi UAV dengan satelit (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

FAKTUALITA

Gambar 4. Tampilan GCS LSU

Gambar 5. Desain komunikasi repeater UAV (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Komunikasi UAV dengan satelit Komunikasi UAV dengan satelit ini dapat menjadi pengembangan komunikasi berbasis IP. Dimana koneksi UAV dengan GCS dihubungkan dengan

internet melalui modem satelit, sehingga jarak bisa dikatakan tidak ada batasan lagi selagi masih ada sinyal satelit.

Gambar 6. Desain komunikasi UAV dengan satelit (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Pengembangan dari komunikasi berbasis IP ini dapat berupa:Komunikasi repeater UAV Komunikasi repeater ini dimaksud untuk menambah

jarak jangkau dari UAV dimana akan ditempatkan repeater sebagai penambah jarak dari UAV. Secara konsep ini hampir sama dengan yang dilakukan pada uji terbang, perbedaannya adalah pada pesawat repeater atau lebih jelasnya seperti pada Gambar 5.

Komunikasi UAV dengan satelit Komunikasi UAV dengan satelit ini dapat menjadi

pengembangan komunikasi berbasis IP. Dimana koneksi UAV dengan GCS dihubungkan dengan internet melalui modem satelit, sehingga jarak bisa dikatakan tidak ada batasan lagi selagi masih ada sinyal satelit.

Gambar 4. Tampilan GCS LSU

Gambar 5. Desain komunikasi repeater UAV (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Gambar 6. Desain komunikasi UAV dengan satelit (Sumber: Dokumen Teknis LAPAN)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 7: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

5

faktualita

MENGUKUR JARAK LAPANGAN DENGAN MENGGUNAKAN

PHANTOM 4 DI WILAYAH PUSTEKROKET

KurdiantoPusat Teknologi Roket

e-mail : [email protected]

Kegiatan pengukuran jarak lapangan ini dilakukan pada hari kamis, 25 Januari 2018 di PUSTEKROKET–LAPAN menggunakan salah

satu produk dari perusahaan De Jiang Innovation (DJI) yaitu pesawat tanpa awak. Dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang pada zaman sekarang yaitu drone merupakan pesawat tanpa awak dan dikendalikan melalui remote controller untuk mengukur jarak suatu lapangan yang terdapat di PUSTEKROKET. Di bawah ini gambar lokasi yang ingin dijadikan target untuk dapat di ukur jaraknya.

DJI merupakan salah satu produsen drone yang telah mempunyai kepopuleran tingkat dunia. Perusahaan DJI didirikan oleh Frank Wang Tao pada tahun 2006 di Shenzen, Guandong, China

(https://en.wikipedia. org/wiki/DJI_(company)). DJI memproduksi wahana pesawat tanpa awak.

Pesawat tanpa awak memiliki bentuk yang terkesan gemuk dan besar bila dibandingkan dengan pesawat tanpa awak 2 dan pesawat tanpa awak 3. Bentuk pesawat tanpa awak 4 seperti bentuk huruf X yang dilengkapi dengan propeller sebanyak 4 buah agar dapat terbang. GPS pada drone mendukung fitur return to home dan disempurnakan dengan adanya sensor yang dapat bertahan terhadap angin sehingga wahana Phantom 4 tetap terbang dengan stabil. Gambar 2 menunjukan bentuk fisik Phantom 4 yang digunakan pada kegiatan pengukuran jarak lapangan di PUSTEKROKET.

Gambar 1. Lapangan PUSTEKROKET

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 8: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

6

faktualita

BAGIAN – BAGIAN YANG TERDAPAT PADA PESAWAT TANPA AWAK 4

Pesawat tanpa awak 4 dilengkapi dengan baterai, remote controller, kamera, memori eksternal (micro SD Card), charger dan kabel USB.

A. Baterai Kapasitas baterai yang digunakan sebesar

5350 mAh dan di support tegangan sebesar 15 volt. Jenis baterai yang digunakan Lithium Ion Polimer 4S. Di bawah ini adalah bentuk baterai pesawat tanpa awak 4.

Bila daya baterai menurun akan ada indikator pada lampu Light Emitting Diode (LED) dan pemberitahuan di monitor remote controller.

Charger yang terdapat pada Phantom 4 memiliki fitur smart charger yaitu baterai akan berhenti secara otomatis apabila baterai sudah terisi penuh sehingga tidak overcharge. Kondisi daya baterai yang terisi penuh dapat menerbangkan pesawat tanpa awak 4 sekitar 25 menit.

B. Remote Controller (RC)

Pada bagian depan remote controller terdapat tombol power, layar utama, dua buah joystick untuk mengendalikan gerakan secara vertikal dan horizontal. Di sisi atas terdapat sepasang antena, lubang udara untuk membuang panas. Tombol shutter kamera, tombol record video, wheel untuk mengatur sudut vertikal kamera. Gambar 4 adalah gambar remote controller pesawat tanpa awak 4.

FAKTUALITA

Gambar 2. Wahana pesawat tanpa awak 4

Gambar 3. Baterai pesawat tanpa awak 4

C. Kamera

Resolusi kamera pada pesawat tanpa awak 4 sebesar 12 MP dan terpasang pada gimbal yang bisa digerakkan 3 axis sehingga dapat merekam video dengan stabil dan jernih. Dengan resolusi kamera sebesar 12 MP dapat mengambil ukuran foto 4.000 x 3.000 piksel. Gimbal merupakan suatu perangkat yang terpasang pada kamera agar gerakkan kamera stabil disaat pesawat tanpa awak 4 terbang.

Gambar 2. Wahana pesawat tanpa awak 4 Gambar 3. Baterai pesawat tanpa awak 4

Gambar 4. RC pesawat tanpa awak 4

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 9: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

7

faktualita

Hasil dari foto dan rekaman video dapat disimpan melalui micro SD card yang sudah terpasang di RC dan wahana Phantom 4. Gambar 5 adalah gambar kamera yang terpasang pada pesawat tanpa awak 4 :

CARA MENGGUNAKAN MODE WAY POINT PADA PESAWAT TANPA AWAK 4

Wahana terkoneksi dengan remote controller yang dilengkapi dengan layar monitornya. Kemudian lakukan take off pada pesawat tanpa awak 4. Setelah kondisi pesawat tanpa awak 4 terbang, maka dapat dipilih mode yang diinginkan. Mode yang dipilih untuk mengukur jarak lapangan PUSTEKROKET adalah mode way point.

Langkah – langkah meggunakan mode way point adalah sebagai berikut :

- Gerakkan wahana pesawat tanpa awak 4 sesuai titik yang diinginkan.

- Klik Record (C1) bila titik nya sudah ditentukan.

- Lalu gerakkan kembali wahana pesawat tanpa awak 4 ke titik berikut sesuai yang diinginkan.

- Klik Record (C1) bila titik nya sudah ditentukan.

- Klik Done untuk menyatakan wahana bergerak sesuai titik yang sudah Record sebelumnya.

- Wahana pesawat tanpa awak 4 akan bergerak sesuai titik yang sudah disimpan.

MENGUKUR JARAK LAPANGAN PUSTEKROKET LAPAN DENGAN MENGGUNAKAN MODE WAY POINT PADA PESAWAT TANPA AWAK 4

Target dari percobaan penerbangan pesawat tanpa awak 4 adalah lapangan di PUSTEKROKET. Gambar 6 menunjukkan lapangan yang menjadi target percobaan.

Percobaan ini melakukan pengambilan lima titik pada target, yaitu berawal dari ujung titik lapangan (titik A) hingga ujung titik berikutnya (titik B,C,D,E) kemudian kembali lagi ke titik awal. Gambar 7 menunjukkan hasil lima titik yang dijadikan titik acuan jarak antar titik.

Dari Gambar 7 terlihat posisi gambar titik awal ujung lapangan (titik A). Pada gambar di layar monitor terlihat jumlah titik yang diinginkan dan jumlah total jarak antara titik awal hingga titik akhir (titik E) dengan total jarak 947 meter. Gambar 8 adalah simulasi gerakkan yang terekam pada pesawat tanpa awak 4.

Gambar 5 : Kamera Phantom 4 Gambar 6: Lapangan PUSTEKROKET yang akan diukur Phantom 4

Gambar 7 : Mode Waypoint sebanyak 5 titik

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 10: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

8

faktualita

Vol. 12 No. 2 Desember 2017

Gambar 8 menjelaskan pergerakkan pesawat tanpa awak 4 sesuai titik yang sudah ditentukan dan kembali ke titik semula.

Jarak dari titik awal (titik A) hingga titik B adalah 322 meter, kemudian jarak antara titik B menuju titik C adalah 222 meter, lalu jarak antara titik C menuju titik D adalah 337 meter dan titik D menuju titik E adalah 66 meter. Sehingga total jarak yang telah ditempuh oleh pesawat tanpa awak 4 adalah 947 meter.

Kegiatan ini sangat bermanfaat dalam rangka mengimplementasikan fungsi wahana terhadap kegiatan riset seperti membandingkan hasil jarak yang diukur oleh pesawat tanpa awak 4 dengan inertial measurement unit (IMU) yang telah dibuat secara mandiri oleh peneliti guna mengukur suatu jarak. Sehingga dapat terinspirasi riset yang berkelanjutan dalam penguasaan teknologi roket.

Gambar 8 : Tampilan pergerakkan pesawat tanpa awak 4 dari titik awal hingga titik akhir

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 11: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

9

faktualita

Dalam kehidupan sehari-hari manusia pasti membutuhkan energi. Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan usaha. Energi sendiri tidak bisa diciptakan

atau dimusnahkan tetapi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain (konversi energi) sesuai bunyi Hukum Kekekalan Energi atau Hukum I Termodinamika. Sumber energi bermacam-macam dan dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu energi terbarukan (renewable energy) dan energi tak terbarukan (non-renewable energy). Energi tak terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya alam yang waktu pembentukannya sangat lama sampai jutaan tahun sehingga tidak dapat digunakan secara terus-menerus. Di sisi lain energi terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya alam yang diperbaharui secara

APLIKASI SEL SURYA PADA UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV)Aries Asrianto R. e-mail:[email protected]

alami dalam proses yang berkelanjutan sehingga dapat digunakan secara terus-menerus. Energi fosil termasuk sumber energi tak terbarukan yang meliputi minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Sumber energi terbarukan sangat banyak meliputi energi surya, energi angin, energi air, energi biomassa, energi panas bumi, dan lain-lain. Persentase penggunaan energi dunia saat ini 81% berasal dari energi fosil, 2,7% berasal dari energi nuklir, dan sisanya berasal dari energi terbarukan. Energi surya memiliki potensi yang besar karena ketersediannya yang sangat melimpah. Energi surya yang dihasilkan oleh Matahari mencapai 1,5 x 1018 kWh/tahun dan yang sampai permukaan Bumi mencapai 5,5 x 1017 kWh/tahun. Energi yang sangat besar jika dibandingkan dengan kebutuhan energi dunia yang hanya mencapai 4 x 1014 kWh/tahun.

Gambar 1. Ketersediaan energi surya dan energi angin serta kebutuhan energi dunia (Sumber: ocw.mit.edu)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

FAKTUALITA

11

APLIKASI SEL SURYA PADA UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV)

Aries Asrianto R. e-mail:[email protected]

Dalam kehidupan sehari-hari manusia pasti membutuhkan energi. Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan usaha. Energi sendiri tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan tetapi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain (konversi energi) sesuai bunyi Hukum Kekekalan Energi atau Hukum I Termodinamika. Sumber energi bermacam-macam dan dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu energi terbarukan (renewable energy) dan energi tak terbarukan (non-renewable energy). Energi tak terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya alam yang waktu pembentukannya sangat lama sampai jutaan tahun sehingga tidak dapat digunakan secara terus-menerus. Di sisi lain energi terbarukan adalah energi yang dihasilkan dari sumber daya alam yang diperbaharui secara alami dalam proses yang berkelanjutan sehingga dapat

digunakan secara terus-menerus. Energi fosil termasuk sumber energi tak terbarukan yang meliputi minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Sumber energi terbarukan sangat banyak meliputi energi surya, energi angin, energi air, energi biomassa, energi panas bumi, dan lain-lain. Persentase penggunaan energi dunia saat ini 81% berasal dari energi fosil, 2,7% berasal dari energi nuklir, dan sisanya berasal dari energi terbarukan. Energi surya memiliki potensi yang besar karena ketersediannya yang sangat melimpah. Energi surya yang dihasilkan oleh Matahari mencapai 1,5 x 1018 kWh/tahun dan yang sampai permukaan Bumi mencapai 5,5 x 1017 kWh/tahun. Energi yang sangat besar jika dibandingkan dengan kebutuhan energi dunia yang hanya mencapai 4 x 1014 kWh/tahun.

Gambar 1. Ketersediaan energi surya dan energi angin serta kebutuhan energi dunia (Sumber: ocw.mit.edu)

Sel Surya Salah satu teknologi yang dapat menangkap energi surya dan mengubahnya menjadi energi listrik adalah fotovoltaik (photovoltaics). Istilah fotovoltaik berasal dari kata “foto (photo)” yang berarti “cahaya” dan dari kata “voltaik (voltaics)” yang berarti “listrik”. Fotovoltaik lebih umum dikenal dengan nama sel surya (solar cell). Bahan dasar sel

surya bermacam-macam seperti silikon (Si), germanium (Ge), dan galium arsenida (GaAs). Bentuk sel surya juga bermacam-macam seperti monokristalin, multi/polikristalin, dan amorphous yang bervariasi satu sama lain dalam kemampuan penyerapan cahaya, efisiensi konversi energi, dan metode produksi. Kinerja sel surya dinilai berdasarkan arus short circuit (Isc), tegangan open circuit (Voc), daya maksimum (Pmpp),

Page 12: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

10

Sel SuryaSalah satu teknologi yang dapat menangkap energi

surya dan mengubahnya menjadi energi listrik adalah fotovoltaik (photovoltaics). Istilah fotovoltaik berasal dari kata “foto (photo)” yang berarti “cahaya” dan dari kata “voltaik (voltaics)” yang berarti “listrik”. Fotovoltaik lebih umum dikenal dengan nama sel surya (solar cell). Bahan dasar sel surya bermacam-macam seperti silikon (Si), germanium (Ge), dan galium arsenida (GaAs). Bentuk sel surya juga bermacam-macam seperti monokristalin, multi/polikristalin, dan amorphous yang bervariasi satu sama lain dalam kemampuan penyerapan cahaya, efisiensi konversi energi, dan metode produksi. Kinerja sel surya dinilai berdasarkan arus short circuit (Isc), tegangan open circuit (Voc), daya maksimum (Pmpp), dan efisiensi (η) yang biasanya digambarkan dalam bentuk kurva karakteristik arus – tegangan – daya (I-V-P). Pada dasarnya prinsip kerja sel surya mengikuti efek fotolistrik (photoelectric effect) yang ditemukan pertama kali oleh Fisikawan Perancis bernama Edmond Becquerel pada tahun 1839. Albert Einstein kemudian mempelajari efek fotolistrik lebih jauh dan mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1921 atas teorinya yang menjelaskan cahaya dapat berperilaku sebagai paket energi atau foton sehingga efek fotolistrik dapat terjadi. Saat ini sel surya berbahan dasar galium arsenida sudah dapat mencapai efisiensi sebesar 28,8% dan sel surya dengan gabungan beberapa bahan dasar yang terdiri dari galium arsenida, indium galium fosfor, dan germanium sudah dapat mencapai efisiensi sebesar 38,8% (Sumber: coursera.org).

Solar Unmanned Aerial Vehicle (UAV)Pada awalnya pengembangan sel surya

penggunaannya ditujukan untuk satelit-satelit yang mengorbit bumi. Penggunaan sel surya pada satelit menghabiskan 10-30% dari total biaya produksi satelit dan mempunyai berat 10-20% dari total berat satelit. Dewasa ini pemanfaatan sel surya lebih ke arah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan sistem komunikasi bergerak yang tidak terhubung dengan jaringan listrik (mobile communication). Pemanfaatan sel surya juga sudah merambah ke pesawat tanpa awak atau yang biasa disebut unmanned aerial vehicle (UAV).

Salah satu contoh yang terkenal adalah Helios yang pernah dikembangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) milik Amerika Serikat. Helios adalah UAV yang menggunakan sel surya dan didesain agar mampu terbang pada ketinggian yang tinggi (high altitude) dan jangka waktu yang lama (long endurance). Sel surya berbahan dasar silikon yang digunakan mencapai lebih dari 62.000 yang dipasang pada seluruh permukaan atas sayap. Helios memiliki sayap (wing span) selebar 83 meter, lebih lebar dibandingkan dengan sayap pesawat C-5 dan Boeing 747 Commercial Jetliner. Helios dilengkapi dengan baterai berjenis fuel cell agar dapat terbang non-stop siang dan malam. Saat ini banyak perusahaan besar seperti Airbus, Boeing, Google, Facebook, dan Lockheed Martin yang juga mengembangkan solar UAV baik untuk kepentingan komersil seperti komunikasi internet jarak jauh maupun untuk kepentingan militer.

FAKTUALITA

dan efisiensi (η) yang biasanya digambarkan dalam bentuk kurva karakteristik arus – tegangan – daya (I-V-P). Pada dasarnya prinsip kerja sel surya mengikuti efek fotolistrik (photoelectric effect) yang ditemukan pertama kali oleh Fisikawan Perancis bernama Edmond Becquerel pada tahun 1839. Albert Einstein kemudian mempelajari efek fotolistrik lebih jauh dan mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1921 atas teorinya yang menjelaskan cahaya dapat berperilaku sebagai paket energi atau foton sehingga efek fotolistrik dapat terjadi. Saat ini sel surya berbahan dasar galium arsenida sudah dapat mencapai efisiensi sebesar 28,8% dan sel surya dengan gabungan beberapa bahan dasar yang terdiri dari galium arsenida, indium galium fosfor, dan germanium sudah dapat mencapai efisiensi sebesar 38,8% (Sumber: coursera.org). Solar Unmanned Aerial Vehicle (UAV)

Pada awalnya pengembangan sel surya penggunaannya ditujukan untuk satelit-satelit yang mengorbit bumi. Penggunaan sel surya pada satelit menghabiskan 10-30% dari total biaya produksi satelit dan mempunyai berat 10-20% dari total berat satelit. Dewasa ini pemanfaatan sel surya lebih ke arah pembangkit listrik tenaga

surya (PLTS) dan sistem komunikasi bergerak yang tidak terhubung dengan jaringan listrik (mobile communication). Pemanfaatan sel surya juga sudah merambah ke pesawat tanpa awak atau yang biasa disebut unmanned aerial vehicle (UAV).

Salah satu contoh yang terkenal adalah Helios yang pernah dikembangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) milik Amerika Serikat. Helios adalah UAV yang menggunakan sel surya dan didesain agar mampu terbang pada ketinggian yang tinggi (high altitude) dan jangka waktu yang lama (long endurance). Sel surya berbahan dasar silikon yang digunakan mencapai lebih dari 62.000 yang dipasang pada seluruh permukaan atas sayap. Helios memiliki sayap (wing span) selebar 83 meter, lebih lebar dibandingkan dengan sayap pesawat C-5 dan Boeing 747 Commercial Jetliner. Helios dilengkapi dengan baterai berjenis fuel cell agar dapat terbang non-stop siang dan malam. Saat ini banyak perusahaan besar seperti Airbus, Boeing, Google, Facebook, dan Lockheed Martin yang juga mengembangkan solar UAV baik untuk kepentingan komersil seperti komunikasi internet jarak jauh maupun untuk kepentingan militer.

Gambar 2. Solar UAV Helios milik NASA. Sumber: nasa.gov

Gambar 2. Solar UAV Helios milik NASA. Sumber: nasa.gov

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 13: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

11

FAKTUALITA

13

Gambar 3. Solar UAV Aquila milik Facebook (kiri) dan Zephyr milik Airbus (kanan). Sumber: techcrunch.com dan airbus.com

Solar LSU Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah lama mengembangkan UAV atau yang biasa disebut LAPAN Surveillance UAV (LSU). Pengembangan LSU dimulai dari LSU-01 hingga LSU-05. Pada tahun 2018 dibuat sebuah kelompok penelitian di Pustekbang yang mempunyai tujuan untuk mendesain LSU dengan memanfaatkan sel surya sebagai sumber energi sekunder (secondary power source). Sel surya digunakan untuk mengisi baterai sehingga peralatan-peralatan yang terdapat pada LSU dapat beroperasi lebih lama. Pada tahap awal digunakan UAV tipe Condor sebagai test bench untuk pengembangan UAV bertenaga surya. Secara keseluruhan Solar LSU tipe Condor menggunakan sel surya sebanyak ± 28 buah yang terpasang pada sayap bagian kanan dan kiri serta pada horizontal stabilizer. Sel surya yang digunakan adalah C60 silicon monocrystalline yang memiliki tegangan open circuit dan arus short circuit masing-masing sebesar 0,682 V dan 6,24 A dengan daya maksimum sebesar 3,34 W. Pemilihan sel surya C60 silicon monocrystalline adalah karena bentuknya yang fleksibel sehingga dapat mengikuti bentuk potongan melintang dari sayap (airfoil). Tidak seperti sel surya pada umumnya di mana katoda terletak pada permukaan atas sel surya, pada sel surya C60 silicon monocrystalline anoda dan katoda terletak pada permukaan bawah sehingga permukaan atas sel surya dapat menerima cahaya matahari lebih banyak yang membuat efisiensinya tinggi sebesar 21,8%.

Gambar 4. Sel surya C60 silicon monocrystalline. Sumber: google.com

Pada Solar LSU tipe Condor, semua sel surya dipasang secara seri untuk menghasilkan tegangan yang sesuai dengan tegangan baterai lithium polymer (LiPo). Solar LSU tipe Condor menggunakan maximum power point tracker (MPPT) sebagai solar charge controller yang berfungsi untuk mengatur daya dari sel surya yang masuk ke baterai dan ke peralatan. Apabila sel surya menghasilkan daya berlebih maka MPPT akan menyimpan kelebihan daya ke baterai dan apabila sel surya kurang menghasilkan daya maka MPPT akan mengambil kekurangan daya dari baterai. Penelitian karakteristik MPPT pada Solar LSU tipe Condor telah

FAKTUALITA

13

Gambar 3. Solar UAV Aquila milik Facebook (kiri) dan Zephyr milik Airbus (kanan). Sumber: techcrunch.com dan airbus.com

Solar LSU Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah lama mengembangkan UAV atau yang biasa disebut LAPAN Surveillance UAV (LSU). Pengembangan LSU dimulai dari LSU-01 hingga LSU-05. Pada tahun 2018 dibuat sebuah kelompok penelitian di Pustekbang yang mempunyai tujuan untuk mendesain LSU dengan memanfaatkan sel surya sebagai sumber energi sekunder (secondary power source). Sel surya digunakan untuk mengisi baterai sehingga peralatan-peralatan yang terdapat pada LSU dapat beroperasi lebih lama. Pada tahap awal digunakan UAV tipe Condor sebagai test bench untuk pengembangan UAV bertenaga surya. Secara keseluruhan Solar LSU tipe Condor menggunakan sel surya sebanyak ± 28 buah yang terpasang pada sayap bagian kanan dan kiri serta pada horizontal stabilizer. Sel surya yang digunakan adalah C60 silicon monocrystalline yang memiliki tegangan open circuit dan arus short circuit masing-masing sebesar 0,682 V dan 6,24 A dengan daya maksimum sebesar 3,34 W. Pemilihan sel surya C60 silicon monocrystalline adalah karena bentuknya yang fleksibel sehingga dapat mengikuti bentuk potongan melintang dari sayap (airfoil). Tidak seperti sel surya pada umumnya di mana katoda terletak pada permukaan atas sel surya, pada sel surya C60 silicon monocrystalline anoda dan katoda terletak pada permukaan bawah sehingga permukaan atas sel surya dapat menerima cahaya matahari lebih banyak yang membuat efisiensinya tinggi sebesar 21,8%.

Gambar 4. Sel surya C60 silicon monocrystalline. Sumber: google.com

Pada Solar LSU tipe Condor, semua sel surya dipasang secara seri untuk menghasilkan tegangan yang sesuai dengan tegangan baterai lithium polymer (LiPo). Solar LSU tipe Condor menggunakan maximum power point tracker (MPPT) sebagai solar charge controller yang berfungsi untuk mengatur daya dari sel surya yang masuk ke baterai dan ke peralatan. Apabila sel surya menghasilkan daya berlebih maka MPPT akan menyimpan kelebihan daya ke baterai dan apabila sel surya kurang menghasilkan daya maka MPPT akan mengambil kekurangan daya dari baterai. Penelitian karakteristik MPPT pada Solar LSU tipe Condor telah

Solar LSUPusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah lama mengembangkan UAV atau yang biasa disebut LAPAN Surveillance UAV (LSU). Pengembangan LSU dimulai dari LSU-01 hingga LSU-05. Pada tahun 2018 dibuat sebuah kelompok penelitian di Pustekbang yang mempunyai tujuan untuk mendesain LSU dengan memanfaatkan sel surya sebagai sumber energi sekunder (secondary power source). Sel surya digunakan untuk mengisi baterai sehingga peralatan-peralatan yang terdapat pada LSU dapat beroperasi lebih lama. Pada tahap awal digunakan UAV tipe Condor sebagai test bench untuk pengembangan UAV bertenaga surya. Secara keseluruhan Solar LSU tipe Condor menggunakan sel surya sebanyak ± 28 buah yang terpasang pada sayap bagian kanan dan kiri serta pada horizontal stabilizer. Sel surya yang digunakan adalah C60 silicon monocrystalline yang memiliki tegangan open circuit dan arus short circuit masing-masing sebesar 0,682 V dan 6,24 A dengan daya maksimum sebesar 3,34 W. Pemilihan sel surya C60 silicon monocrystalline adalah karena bentuknya yang fleksibel sehingga dapat mengikuti bentuk potongan melintang dari sayap (airfoil). Tidak seperti sel surya pada umumnya di mana katoda terletak pada permukaan atas sel surya, pada sel surya C60 silicon monocrystalline anoda dan katoda terletak pada permukaan bawah sehingga permukaan atas sel surya dapat menerima cahaya matahari lebih banyak yang membuat efisiensinya tinggi sebesar 21,8%.

Pada Solar LSU tipe Condor, semua sel surya dipasang secara seri untuk menghasilkan tegangan yang sesuai dengan tegangan baterai lithium polymer (LiPo). Solar LSU tipe Condor menggunakan maximum power point tracker (MPPT) sebagai solar charge controller

Gambar 3. Solar UAV Aquila milik Facebook (kiri) dan Zephyr milik Airbus (kanan). Sumber: techcrunch.com dan airbus.com

Gambar 4. Sel surya C60 silicon monocrystalline. Sumber: google.com

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 14: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

12

FAKTUALITA

dilakukan dengan menggunakan perangkat keras Arduino Uno. Graphical user interface (GUI) menggunakan perangkat lunak LabView National Instruments untuk mengakuisisi data dari arduino uno. Pengujian dilakukan di Laboratorium Avionik milik Pustekbang untuk melihat karakteristik MPPT pada kondisi baterai mengisi (battery charging) dan baterai penuh (battery full charged) pada Solar LSU tipe Condor. Pada kondisi baterai mengisi, tegangan yang dihasilkan oleh sel surya lebih rendah dibandingkan dengan tegangan open circuit dan arus mengalir dari MPPT ke baterai. Pada kondisi baterai penuh, tegangan yang dihasilkan oleh sel surya sama dengan tegangan open circuit dan arus tidak mengalir dari MPPT ke baterai. Berdasarkan hasil pengukuran, sel surya pada Solar LSU tipe Condor menghasilkan tegangan open circuit sebesar 19,70 V, arus short circuit sebesar 2,50 A, dan daya maksimum sebesar 12,06 W. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja sel surya di antaranya adalah intensitas cahaya matahari atau solar irradiance, temperatur sel surya, dan kecepatan angin. Peningkatan temperatur sel surya dapat menurunkan tegangan dan daya yang dihasilkan sementara kenaikan kecepatan angin dapat menurunkan temperatur sel surya. Posisi garis lintang (latitude) dan garis bujur (longitude) juga dapat mempengaruhi daya yang dihasilkan oleh sel surya.

Ke depannya akan dilakukan penelitian untuk mendesain sel surya agar dapat memenuhi kebutuhan energi listrik semua peralatan pada LSU. LAPAN sebagai lembaga penelitian dan pengembangan memang sudah waktunya memfokuskan pada penelitian sel surya sebagai sumber energi baik primer maupun sekunder bagi UAV sehingga menjadi salah satu penguasaan di bidang teknologi penerbangan.

Gambar 5. Solar LSU tipe Condor. Sumber: Dokumentasi Pustekbang

yang berfungsi untuk mengatur daya dari sel surya yang masuk ke baterai dan ke peralatan. Apabila sel surya menghasilkan daya berlebih maka MPPT akan menyimpan kelebihan daya ke baterai dan apabila sel surya kurang menghasilkan daya maka MPPT akan mengambil kekurangan daya dari baterai. Penelitian karakteristik MPPT pada Solar LSU tipe Condor telah dilakukan dengan menggunakan perangkat keras Arduino Uno. Graphical user interface (GUI) menggunakan perangkat lunak LabView National Instruments untuk mengakuisisi data dari arduino uno. Pengujian dilakukan di Laboratorium Avionik milik Pustekbang untuk melihat karakteristik MPPT pada kondisi baterai mengisi (battery charging) dan baterai penuh (battery full charged) pada Solar LSU tipe Condor. Pada kondisi baterai mengisi, tegangan yang dihasilkan oleh sel surya lebih rendah dibandingkan dengan tegangan open circuit dan arus mengalir dari MPPT ke baterai. Pada kondisi baterai penuh, tegangan yang dihasilkan oleh sel surya sama dengan tegangan open circuit dan arus tidak mengalir

dari MPPT ke baterai. Berdasarkan hasil pengukuran, sel surya pada Solar LSU tipe Condor menghasilkan tegangan open circuit sebesar 19,70 V, arus short circuit sebesar 2,50 A, dan daya maksimum sebesar 12,06 W. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja sel surya di antaranya adalah intensitas cahaya matahari atau solar irradiance, temperatur sel surya, dan kecepatan angin. Peningkatan temperatur sel surya dapat menurunkan tegangan dan daya yang dihasilkan sementara kenaikan kecepatan angin dapat menurunkan temperatur sel surya. Posisi garis lintang (latitude) dan garis bujur (longitude) juga dapat mempengaruhi daya yang dihasilkan oleh sel surya.

Ke depannya akan dilakukan penelitian untuk mendesain sel surya agar dapat memenuhi kebutuhan energi listrik semua peralatan pada LSU. LAPAN sebagai lembaga penelitian dan pengembangan memang sudah waktunya memfokuskan pada penelitian sel surya sebagai sumber energi baik primer maupun sekunder bagi UAV sehingga menjadi salah satu penguasaan di bidang teknologi penerbangan.

Gambar 5. Solar LSU tipe Condor. Sumber: Dokumentasi Pustekbang

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 15: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

13

Padang lamun adalah ekosistem khas laut dangkal di perairan hangat dengan dasar pasir dan didominasi tumbuhan lamun.Ekosistem padang lamun sendiri memiliki

peranan yang penting dalam ekologi kawasan pesisir, karena menjadi habitat dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai biota laut seperti penyu, dugong, echinodermata dan gastropoda (Bortone, 2000). Selain peranannya menjadi habitat dan tempat mencari makan, ekosistem padang lamun juga berperan menjadi barrier atau penghalang bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sendimentasi yang berasal dari daratan.

Peranan mengenai ekosistem padang lamun begitu besar namun informasi mengenai ekosistem padang lamun di perairan laut Indonesia masih sedikit sehingga kurang diperhatikan keberadaannya. Dimana luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan berkisar 30.000 km2, tetapi kini diperkirakan telah menyusut sebesar 30 – 40 % yang sebagian besar diakibatkan oleh aktifitas manusia (Nontji, 2009). Berbagai aktivitas manusia memberi dampak terhadap ekosistem padang lamun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kegiatan seperti pembersihan atau pemanenan padang lamun, masuknya sedimen atau limbah dari daratan, maupun pencemaran minyak yang dapat merusak padang lamun itu sendiri. Selain itu terdapat juga kerusakan yang ditimbulkan oleh baling-baling perahu ataupun peletakan jangkar kapal secara sembarangan (Poedjirahajoe, 2013).

Padang lamun hanya dapat terbentuk pada perairan laut dangkal kurang dari tiga meter namun dasarnya selalu tergenang.Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki ekosistem padang lamun adalah di kawasan Pantai Sanur Provinsi Bali. Pantai ini terletak di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali, dimana di Pantai tersebut terdapat aktifitas manusia yang padat, terlebih di daerah tersebut merupakan daerah pariwisata dan

INVENTARISASI PADANG LAMUNDI PANTAI SANUR BALI

pelabuhan speed boat, sehingga akan berpengaruh langsung terhadap ekosistem padang lamun yang terdapat di daerah tersebut.

Satelit Landsat 8 merupakan salah satu satelit penginderaan jauh terkini yang baru saja diluncurkan oleh NASA. Misi satelit Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi satelit Landsat 7 (ETM+) yang sudah tidak beroperasi secara maksimal. Citra satelit yang digunakan pada penelitian ini adalah citra LANDSAT 8, spesifikasi Satelit Landsat 8 disajikan pada Tabel 1.

Pengolahan data penginderaan jauh untuk ekstraksi objek lamun dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pengolahan awal (koreksi atmosferik dan radiometrik), identifikasi objek lamun, dan proses klasifikasi. Proses Identifikasi lamun yang dilakukan pada tulisan ini menggunakan algoritma Lyzenga 1981.

Kuncoro Teguh Setiawan1), I Dewa Made Krisna Putra Astaman 2), Anang Dwi Purwanto 1)

Nanin Anggraini 1), dan Wikanti Asriningrum1)

1)Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh-LAPAN2)Program Studi Ilmu Kelautan FKP Universitas Udayanae-mail: [email protected]

FAKTUALITA

Tabel 1. Spesifikasi Band Landsat 8 (Sumber : NASA, 2008) LDCM OLI/TIRS Band

Band Spesifikasi Band 1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30

m Band 2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m Band 3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m Band 4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m Band 5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30

m Band 6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m Band 7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m Band 8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m Band 9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m

Band 10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m Band 11 LWIR 2, (11.5 – 12.5 µm), 100 m

Citra Landsat 8 yang digunakan pada penelitian ini

adalah citra path row 116/66 wilayah Pantai Sanur Propinsi Bali yang di akuisisi tanggal 22 Mei 2017 (Gambar 1). Selanjutnya dilakukan proses cropping daerah kajian dengan

tujuan agar data yang diolah tidak terlalu besar sehingga proses pengolahan akan lebih fokus dan cepat. Cropping dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa band dari citra Landsat 8 (Gambar 2).

Gambar 1. Citra Komposit RGB 432 Landsat 8 Path/Row 116/66 Propinsi Bali akuisisi 22 Mei 2017

Tabel 1. Spesifikasi Band Landsat 8 (Sumber : NASA, 2008)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 16: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

14

FAKTUALITA

Tabel 1. Spesifikasi Band Landsat 8 (Sumber : NASA, 2008) LDCM OLI/TIRS Band

Band Spesifikasi Band 1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30

m Band 2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m Band 3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m Band 4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m Band 5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30

m Band 6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m Band 7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m Band 8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m Band 9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m

Band 10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m Band 11 LWIR 2, (11.5 – 12.5 µm), 100 m

Citra Landsat 8 yang digunakan pada penelitian ini

adalah citra path row 116/66 wilayah Pantai Sanur Propinsi Bali yang di akuisisi tanggal 22 Mei 2017 (Gambar 1). Selanjutnya dilakukan proses cropping daerah kajian dengan

tujuan agar data yang diolah tidak terlalu besar sehingga proses pengolahan akan lebih fokus dan cepat. Cropping dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa band dari citra Landsat 8 (Gambar 2).

Gambar 1. Citra Komposit RGB 432 Landsat 8 Path/Row 116/66 Propinsi Bali akuisisi 22 Mei 2017

Tujuan inventarisasi adalah menghasilkan informasi terkait sebaran objek lamun yang ada di wilayah perairan Pantai Sanur. Kegiatan inventarisasi diawali dengan pemilihan data citra satelit Landsat 8 yang akan digunakan dan kemudian dilanjutkan dengan pengolahan awal data berupa koreksi atmosferik. Koreksi atmosferik dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi efek atmosfer terhadap data yang dihasilkan oleh sensor Satelit Landsat 8 sehingga data tersebut merupakan hasil pantulan dari masing-masing objek. Proses koreksi atmosferik yang telah dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memberikan kestabilan nilai pantulan dari masing-masing objek. Proses radiometrik dilakukan dengan cara mengkonversi nilai digital number dari setiap kanal menjadi nilai reflektan. Nilai reflektan setiap kanal merupakan hasil perhitungan perbandingan antara nilai radian dengan iradian.

Citra Landsat 8 yang digunakan pada penelitian ini adalah citra path row 116/66 wilayah Pantai Sanur Propinsi Bali yang di akuisisi tanggal 22 Mei 2017 (Gambar 1).Selanjutnya dilakukan proses cropping daerah kajian dengan tujuan agar data yang diolah tidak terlalu besar sehingga proses pengolahan akan lebih fokus dan cepat. Cropping dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa band dari citra Landsat 8 (Gambar 2).

Pengolahan untuk mengekstraksi informasi lamun dipilih4band dari 11 band yang dimiliki Landsat 8, yaitu band-band pada panjang gelombang visibledan NIR (kanal 2, 3, 4 dan 5). Pemilihan ke-4band tersebut didasarkan pada kemampuan masing-masing band visible dan NIR tersebut untuk ekstraksi objek yang berada di perairan dangkal serta melakukan pemisahan wilayah darat dan air. Beberapa metode identifikasi suatu objek yang bisa dilakukan, diantaranya adalah metode digital dan visual. Metode identifikasi objek lamun yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode visual dengan membuat algoritma Lyzenga 1981 dari citra Landsat 8. Pembuatan algoritma Lyzenga 1981 dari citra Landsat 8 merupakan algoritma koreksi kolom air sehingga nilai spektral citra setelah koreksi tersebut merupakan nilai pantulan objek didasar perairan sehingga dapat mengidentifikasi objek lamun dengan objek lainnya.

Penampakan obyek perairan laut dangkal dapat dilakukan dengan melihat dari hasil komposit RGB 432 dari citra Landsat 8. Hasil dari penajaman citra Landsat 8 RGB 432 memperlihatkan bahwa

FAKTUALITA

17

Gambar 2. Lokasi Penelitian Pantai Sanur Bali (Objek Lamun dan Non Lamun)

Pengolahan untuk mengekstraksi informasi lamun

dipilih 4 band dari 11 band yang dimiliki Landsat 8, yaitu band-band pada panjang gelombang visible dan NIR (kanal 2, 3, 4 dan 5). Pemilihan ke-4 band tersebut didasarkan pada kemampuan masing-masing band visible dan NIR tersebut untuk ekstraksi objek yang berada di perairan dangkal serta melakukan pemisahan wilayah darat dan air. Beberapa metode identifikasi suatu objek yang bisa dilakukan, diantaranya adalah metode digital dan visual. Metode identifikasi objek lamun yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode visual dengan membuat algoritma Lyzenga 1981 dari citra Landsat 8. Pembuatan algoritma Lyzenga 1981 dari citra Landsat 8 merupakan algoritma koreksi kolom air sehingga nilai spektral citra setelah koreksi tersebut merupakan nilai pantulan objek didasar perairan sehingga dapat mengidentifikasi objek lamun dengan objek lainnya.

Penampakan obyek perairan laut dangkal dapat dilakukan dengan melihat dari hasil komposit RGB 432 dari citra Landsat 8. Hasil dari penajaman citra Landsat 8 RGB 432 memperlihatkan bahwa objek lamun teridentifikasi dengan jenis tutupan lahan warna hijau kehitaman dan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran pantai yang ditunjukkan pada tanda lingkaran pada Gambar 2. Identifikasi objek lain non lamun diperlihatkan dengan dominasi warna cyan, biru dan warna putih di sekitar batasan laut dalam yang ditunjukkan pada tanda kotak. Pada daerah objek lamun menunjukkan bahwa lahan tersebut digenangi air dan daerah berpasir. Untuk daerah non lamun diidentifikasi dengan daerah pasir, terumbu karang, serta pecahan karang yang sangat bervariasi.

Gambar 1. Citra Komposit RGB 432 Landsat 8 Path/Row 116/66 Propinsi Bali akuisisi 22 Mei 2017

Gambar 2. Lokasi Penelitian Pantai Sanur Bali (Objek Lamun dan Non Lamun)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 17: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

15

FAKTUALITA

Metode identifikasi lamun dengan algoritma Lyzenga dilakukan karena objek lamun adalah objek yang berada di bawah permukaan perairan sehingga membutuhkan proses koreksi kolom air. Sehingga hal tersebut yang mendasari kajian ini menggunakan algoritma Lyzenga untuk mengidentifikasi objek lamun. Pada Gambar 3, algortima Lyzenga dari citra Landsat 8 berhasil membedakan antara obyek lamun dengan non lamun dengan jelas. Hasil algoritma Lyzenga dari citra Landsat 8 memperlihatkan bahwa objek lamun teridentifikasi dengan jenis tutupan lahan warna cyan dan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran pantai sedangkan identifikasi objek lain non lamun diperlihatkan dengan dominasi warna kuning, biru dan merah. Tahapan selanjutnya untuk mengidentifikasi lamun adalah proses klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses membedakan data citra dalam beberapa kelas yang dikelompokkan berdasarkan nilai digital spektral dari tiap-tiap objek. Oleh karena itu, klasifikasi dengan cara digital dapat menghasilkan klasifikasi dan mampu menentukan lebih

banyak kelas-kelas untuk mengekstrak objek yang diinginkan. Proses klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised dengan proses awal pengkelasan dibuat dalam 20 kelas. Klasifikasi unsupervised adalah klasifikasi tak terbimbing, klasifikasi ini dilakukan karena keterbatasan data lapangan yang dimiliki. Hasil klasifikasi tersebut selanjutnya dilakukan proses editing dalam rangka reklasifikasi yang hasil akhirnya dikelaskan menjadi 3 kelas tutupan lahan yaitu lamun, non lamun, perairan dan daratan (Gambar 4). Hasil dari proses klasifikasi memberikan gambaran distribusi objek lamun di daerah penelitian menjadi lebih jelas. Informasi objek yang dihasilkan juga lebih detail dan rinci, dimana nilai spektral dari citra mampu membedakan objek lamun dan non lamun. Berdasarkan dari hasil klasifikasi akhir inventarisasi sebaran lamun menghasilkan luasan padang lamun di Kawasan Pantai Sanur dari citra satelit Landsat 8 yang diakuisisi tanggal 22 Mei 2017 adalah sebesar 217.35 Ha (Gambar 5).

Gambar 3. Hasil Algoritma Lyzenga

Gambar 4. Proses Klasifikasi

FAKTUALITA

Metode identifikasi lamun dengan algoritma Lyzenga dilakukan karena objek lamun adalah objek yang berada di bawah permukaan perairan sehingga membutuhkan proses koreksi kolom air. Sehingga hal tersebut yang mendasari kajian ini menggunakan algoritma Lyzenga untuk mengidentifikasi objek lamun. Pada Gambar 3, algortima Lyzenga dari citra Landsat 8 berhasil membedakan antara obyek lamun dengan non lamun dengan jelas. Hasil algoritma Lyzenga dari citra Landsat 8 memperlihatkan bahwa objek lamun teridentifikasi dengan jenis tutupan lahan warna cyan dan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran pantai sedangkan identifikasi objek lain non lamun diperlihatkan dengan dominasi warna kuning, biru dan merah. Tahapan selanjutnya untuk mengidentifikasi lamun adalah proses klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses membedakan data citra dalam beberapa kelas yang dikelompokkan berdasarkan nilai digital spektral dari tiap-tiap objek. Oleh karena itu, klasifikasi dengan cara digital dapat menghasilkan klasifikasi dan mampu menentukan lebih

banyak kelas-kelas untuk mengekstrak objek yang diinginkan. Proses klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi unsupervised dengan proses awal pengkelasan dibuat dalam 20 kelas. Klasifikasi unsupervised adalah klasifikasi tak terbimbing, klasifikasi ini dilakukan karena keterbatasan data lapangan yang dimiliki. Hasil klasifikasi tersebut selanjutnya dilakukan proses editing dalam rangka reklasifikasi yang hasil akhirnya dikelaskan menjadi 3 kelas tutupan lahan yaitu lamun, non lamun, perairan dan daratan (Gambar 4). Hasil dari proses klasifikasi memberikan gambaran distribusi objek lamun di daerah penelitian menjadi lebih jelas. Informasi objek yang dihasilkan juga lebih detail dan rinci, dimana nilai spektral dari citra mampu membedakan objek lamun dan non lamun. Berdasarkan dari hasil klasifikasi akhir inventarisasi sebaran lamun menghasilkan luasan padang lamun di Kawasan Pantai Sanur dari citra satelit Landsat 8 yang diakuisisi tanggal 22 Mei 2017 adalah sebesar 217.35 Ha (Gambar 5).

Gambar 3. Hasil Algoritma Lyzenga

Gambar 4. Proses Klasifikasi

objek lamun teridentifikasi dengan jenis tutupan lahan warna hijau kehitamandan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran pantai yang ditunjukkan pada tanda lingkaran pada Gambar 2. Identifikasi objek lain non lamun diperlihatkan dengan dominasi warna cyan, biru dan warna putih disekitar batasan laut dalam yang ditunjukkan pada tanda kotak. Pada daerah objek lamun menunjukkan bahwa lahan tersebut digenangi air dan daerah berpasir. Untuk daerah non lamun diidentifikasi dengan daerah pasir, terumbu karang, serta pecahan karang yang sangat bervariasi.

Metode identifikasi lamun dengan algoritma Lyzenga dilakukan karena objek lamun adalah objek yang berada di bawah permukaan perairan sehingga membutuhkan proses koreksi kolom air. Sehingga hal tersebut yang mendasari kajian ini menggunakan algoritma Lyzenga untuk mengidentifikasi objek

lamun. Pada Gambar 3, algortima Lyzenga dari citra Landsat 8 berhasil membedakan antara obyek lamun dengan non lamun dengan jelas. Hasil algoritma Lyzenga dari citra Landsat 8 memperlihatkan bahwa objek lamun teridentifikasi dengan jenis tutupan lahan warna cyan dan berada menyebar di daerah berpasir dan pinggiran pantai sedangkan identifikasi objek lain non lamun diperlihatkan dengan dominasi warna kuning, biru dan merah.

Tahapan selanjutnya untuk mengidentifikasi lamun adalah proses klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses membedakan data citra dalam beberapa kelas yang dikelompokkan berdasarkan nilai digital spektral dari tiap-tiap objek. Oleh karena itu, klasifikasi dengan cara digital dapat menghasilkan klasifikasi dan mampu menentukan lebih banyak kelas-kelas untuk mengekstrak objek yang diinginkan. Proses klasifikasi dilakukan dengan

Gambar 3. Hasil Algoritma Lyzenga

Gambar 4. Proses Klasifikasi

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 18: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

16

FAKTUALITA

19

Gambar 5. Inventarisasi Sebaran Lamun di Pantai Sanur Propinsi Bali

Landsat 8 mampu digunakan untuk inventarisasi objek lamun dengan menggunakan algoritma Lyzenga. Hasil inventarisasi objek lamun menggunakan metode Lyzenga yaitu dengan melakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi diawali dalam 20 kelas yang selanjutnya dilakukan pengelompokan ulang (reclass) menjadi 3 kelas yaitu darat, lamun, dan non lamun. Penelitian ini perlu diperkuat dengan informasi data lapangan yang lebih lengkap dan akurat untuk

melakukan proses reclass dalam rangka akurasi hasil klasifikasi. Penelitian ini berhasil menginventarisasi luasan padang lamun di kawasan Pantai Sanur dari data citra Landsat 8 yang diakuisisi pada tanggal 22 Mei 2017 sebesar 217.35 Ha. Dari hasil inventarisasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan terkait pelestarian suberdaya alam khusunya lamun di wilayah perairan Pantai Sanur Bali.

menggunakan metode klasifikasi unsupervised dengan proses awal pengkelasan dibuat dalam 20 kelas. Klasifikasi unsupervised adalah klasifikasi tak terbimbing, klasifikasi ini dilakukan karena keterbatasan data lapangan yang dimiliki. Hasil klasifikasi tersebut selanjutnya dilakukan proses editing dalam rangka reklasifikasi yang hasil akhirnya dikelaskan menjadi 3 kelas tutupan lahan yaitu lamun, non lamun, perairan dan daratan (Gambar 4). Hasil dari proses klasifikasi memberikan gambaran distribusi objek lamun di daerah penelitian menjadi lebih jelas. Informasi objek yang dihasilkan juga lebih detail dan rinci, dimana nilai spektral dari citra mampu membedakan objek lamun dan non lamun. Berdasarkan dari hasil klasifikasi akhir inventarisasi sebaran lamun menghasilkan luasan padang lamun di Kawasan Pantai Sanur dari citra satelit Landsat 8 yang diakuisisi tanggal 22 Mei 2017 adalah sebesar 217.35 Ha (Gambar 5).

Landsat 8 mampu digunakan untuk inventarisasi objek lamun dengan menggunakan algoritma Lyzenga. Hasil inventarisasi objek lamun menggunakan metode Lyzenga yaitu dengan melakukan proses klasifikasi. Proses klasifikasi diawali dalam 20 kelas yang selanjutnya dilakukan pengelompokan ulang(reclass) menjadi 3 kelas yaitu darat, lamun, dan non lamun. Penelitian ini perlu diperkuat dengan informasi data lapangan yang lebih lengkap dan akurat untuk melakukan proses reclass dalam rangka akurasi hasil klasifikasi.Penelitian iniberhasil menginventarisasi luasan padang lamun di kawasan Pantai Sanur dari data citra Landsat 8 yang diakuisisi pada tanggal 22 Mei 2017 sebesar 217.35 Ha. Dari hasil inventarisasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan terkait pelestarian suberdaya alam khusunya lamun diwilayah perairan Pantai Sanur Bali.

Gambar 5. Inventarisasi Sebaran Lamun di Pantai Sanur Propinsi Bali

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 19: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

17

SEKILAS TENTANG

BORNEO VORTEXFAKTUALITA

SEKILAS TENTANG BORNEO VORTEX Dita Fatria Andarini Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA ) LAPAN e-mail: [email protected].

Indonesia, negara kaya nan elok dengan bentang alamnya, gugusan pulaunya, dan segala potensi sumber daya alamnya. Sebuah negara tropis yang terletak diantara dua benua dan dua samudera adalah sisi unik lainnya dari bumi pertiwi. Dengan kondisi tersebut pula membuat Indonesia memiliki dinamika atmosfer yang kompleks, banyak fenomena cuaca yang menarik untuk dikaji. Salah satu yang sudah banyak diketahui bahkan sudah menjadi hafalan adalah monsun, sebuah pola sirkulasi angin yang kejadiannya tetap sepanjang tahun mengikuti gerak semu matahari. Fenomena ini yang menjelaskan musim di Indonesia. Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia dan monsun Australia, ketika monsun Asia aktif terjadi musim penghujan dan ketika monsun Australia aktif terjadi musim kemarau. Pada nyatanya, pengaruh monsun di Indonesia tidaklah sederhana, banyak faktor lain yang berperan cukup signifikan terhadap variasi cuaca di Indonesia. Merujuk pada hasil penelitian Anip dan Lupo pada tahun 2011, bahwa salah satu faktor tersebut adalah Borneo Vortex, sebuah fenomena sinoptik yang kejadiannya relatif tetap.

Apa itu Borneo Vortex?

Istilah Borneo Vortex belum begitu populer bahkan terdengar asing bagi kita, walaupun di kalangan peneliti Borneo Vortex bisa menjadi sesuatu yang unik dan tak sedikit yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang Borneo Vortex. Anip dan Lupo (2011) menyatakan bahwa Borneo Vortex merupakan sebuah gangguan monsun, yaitu berupa sirkulasi siklonik level bawah dan quasi-stasionary yang terbentuk di pesisir pulau Borneo. Pusaran ini terus terjadi walaupun di bagian timur Kalimantan tidak tertutup sempurna. Borneo Vortex terbentuk selama monsun dingin di belahan bumi utara yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari. Sehingga merujuk pada hasil penelitian Chang pada tahun 2004 disebutkan bahwa Borneo vortex menjadi salah satu

sistem sinoptik yang merupakan karakteristik monsun musim dingin Asia di wilayah laut Cina Selatan.

Saat pertama kali vortex ini ditemukan di wilayah tropis terdapat kontroversi terutama di kalangan peneliti. Sehingga sejak itulah mulai banyak dikembangkan penelitian-penelitian untuk meninjau keberadaan vortex ini. Mulai dari Palmer (1952), Yanai dkk (1968) dan Riehl dkk (1984), menyatakan bahwa vortex tersebut berkembang dari gangguan gelombang timuran equatorial, kemudian Sadler (1967) menyatakan bahwa vortex ini terbentuk karena adanya geser angin antara dua aliran yang berlawanan. Begitupun di tahun-tahun selanjutnya, para peneliti terus mengembangkan berbagai penelitian tentang Borneo Vortex. Lalu, bagaimana Borneo Vortex bisa terbentuk?

Gambar 1. Sistem Monsun (Sumber : ttps://sites.google. com/ a/ isd 112. org/modern-global-studies/07-monsoon-asia)

Indonesia, negara kaya nan elok dengan bentang alamnya, gugusan pulaunya, dan segala potensi sumber daya alamnya. Sebuah negara tropis yang terletak diantara dua

benua dan dua samudera adalah sisi unik lainnya dari bumi pertiwi. Dengan kondisi tersebut pula membuat Indonesia memiliki dinamika atmosfer yang kompleks, banyak fenomena cuaca yang menarik untuk dikaji. Salah satu yang sudah banyak diketahui bahkan sudah menjadi hafalan adalah monsun, sebuah pola sirkulasi angin yang kejadiannya tetap sepanjang tahun mengikuti gerak semu matahari. Fenomena ini yang menjelaskan musim di Indonesia. Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia dan monsun

Australia, ketika monsun Asia aktif terjadi musim penghujan dan ketika monsun Australia aktif terjadi musim kemarau. Pada nyatanya, pengaruh monsun di Indonesia tidaklah sederhana, banyak faktor lain yang berperan cukup signifikan terhadap variasi cuaca di Indonesia. Merujuk pada hasil penelitian Anip dan Lupo pada tahun 2011, bahwa salah satu faktor tersebut adalah Borneo Vortex, sebuah fenomena sinoptik yang kejadiannya relatif tetap.

Apa itu Borneo Vortex?

Istilah Borneo Vortex belum begitu populer bahkan terdengar asing bagi kita, walaupun di kalangan peneliti Borneo Vortex bisa menjadi

Gambar 1. Sistem Monsun (Sumber : ttps://sites.google. com/ a/ isd 112. org/modern-global-studies/07-monsoon-asia)

Dita Fatria AndariniPusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA ) LAPAN

e-mail: [email protected].

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 20: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

18

sesuatu yang unik dan tak sedikit yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang Borneo Vortex. Anip dan Lupo (2011) menyatakan bahwa Borneo Vortex merupakan sebuah gangguan monsun, yaitu berupa sirkulasi siklonik level bawah dan quasi-stasionary yang terbentuk di pesisir pulau Borneo. Pusaran ini terus terjadi walaupun di bagian timur Kalimantan tidak tertutup sempurna. Borneo Vortex terbentuk selama monsun dingin di belahan bumi utara yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari. Sehingga merujuk pada hasil penelitian Chang pada tahun 2004 disebutkan bahwa Borneo vortex menjadi salah satu sistem sinoptik yang merupakan karakteristik monsun musim dingin Asia di wilayah laut Cina Selatan.

Saat pertama kali vortex ini ditemukan di wilayah tropis terdapat kontroversi terutama di kalangan peneliti. Sehingga sejak itulah mulai banyak dikembangkan penelitian-penelitian untuk meninjau keberadaan vortex ini. Mulai dari Palmer (1952), Yanai dkk (1968) dan Riehl dkk (1984), menyatakan bahwa vortex tersebut berkembang dari gangguan gelombang timuran equatorial, kemudian Sadler (1967) menyatakan bahwa vortex ini terbentuk karena adanya geser angin antara dua aliran yang berlawanan. Begitupun di tahun-tahun selanjutnya, para peneliti terus mengembangkan berbagai penelitian tentang Borneo Vortex.

Lalu, bagaimana Borneo Vortex bisa terbentuk?

Kejadian Borneo Vortex cukup unik karena vortex ini terbentuk di sekitar equator. Merujuk pada hasil penelitian Anip tahun 2012, bahwa pada periode Monsun Musim Dingin Asia, angin level rendah didominasi oleh angin timur laut yang merupakan monsun dari sepanjang Asia Timur bergerak ke selatan menuju equator. Angin maksimum timur laut di sepanjang Laut Cina Selatan dan angin baratan equator yang dihubungkan dengan Monsun Musim Dingin Asia menyebabkan background dari vortisitas di wilayah ini bersifat siklonik. Seperti hasil penelitian Chang dkk (2003), bahwa kejadian Borneo Vortex itu terbentuk oleh adanya vortisitas yang disebabkan oleh windshear dan konvergensi yang dihasilkan dari interaksi antara angin monsun timur laut dan topografi pulau Borneo yang berbukit-bukit. Keberadaan vortex tidak secara tetap berada di wilayah ini, tapi juga dapat ditemukan di wilayah lain di sabuk ekuatorial.

Bagaimana cara mengidentifikasi Borneo Vortex?

Selanjutnya tentu kita ingin mengetahui bagaimana Borneo Vortex itu dapat diidentifikasi. Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi kejadian Borneo Vortex yaitu metode yang dikembangkan oleh Chang dkk (2004). Chang menjelaskan bahwa Borneo

FAKTUALITA

21

Kejadian Borneo Vortex cukup unik karena vortex ini terbentuk di sekitar equator. Merujuk pada hasil penelitian Anip tahun 2012, bahwa pada periode Monsun Musim Dingin Asia, angin level rendah didominasi oleh angin timur laut yang merupakan monsun dari sepanjang Asia Timur bergerak ke selatan menuju equator. Angin maksimum timur laut di sepanjang Laut Cina Selatan dan angin baratan equator yang dihubungkan dengan Monsun Musim Dingin Asia

menyebabkan background dari vortisitas di wilayah ini bersifat siklonik. Seperti hasil penelitian Chang dkk (2003), bahwa kejadian Borneo Vortex itu terbentuk oleh adanya vortisitas yang disebabkan oleh windshear dan konvergensi yang dihasilkan dari interaksi antara angin monsun timur laut dan topografi pulau Borneo yang berbukit-bukit. Keberadaan vortex tidak secara tetap berada di wilayah ini, tapi juga dapat ditemukan di wilayah lain di sabuk ekuatorial.

Gambar 2. Mekanisme pembentukan Borneo Vortex (C) Pola angin 3 hari sebelum Borneo Vortex terbentuk; (D) Pembentukan Borneo

Vortex (Sumber: Chang dkk., 2003) Bagaimana cara mengidentifikasi Borneo Vortex?

Selanjutnya tentu kita ingin mengetahui bagaimana Borneo Vortex itu dapat diidentifikasi. Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi kejadian Borneo Vortex yaitu metode yang dikembangkan oleh Chang dkk (2004). Chang menjelaskan bahwa Borneo Vortex diidentifikasi

sebagai sirkulasi tertutup yang berlawanan dengan arah jarum jam pada lapisan 925 hPa di area sekitar 2,5˚

S – 7,5˚ N, 107,5˚ - 117,5˚ E dengan setidaknya ada satu angin dengan kecepatan melebihi 2 ms-1 di wilayah dengan grid 2,5˚x2,5˚ persegi dengan pusat Borneo Vortex berada di tengah kotak tersebut seperti pada gambar 3.

Gambar 3 Wilayah identifikasi Borneo Vortex (kotak kecil). (Sumber: Chang dkk., 2004)

Gambar 2. Mekanisme pembentukan Borneo Vortex (C) Pola angin 3 hari sebelum Borneo Vortex terbentuk; (D) Pembentukan Borneo Vortex (Sumber: Chang dkk., 2003)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 21: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

19

FAKTUALITA

21

Kejadian Borneo Vortex cukup unik karena vortex ini terbentuk di sekitar equator. Merujuk pada hasil penelitian Anip tahun 2012, bahwa pada periode Monsun Musim Dingin Asia, angin level rendah didominasi oleh angin timur laut yang merupakan monsun dari sepanjang Asia Timur bergerak ke selatan menuju equator. Angin maksimum timur laut di sepanjang Laut Cina Selatan dan angin baratan equator yang dihubungkan dengan Monsun Musim Dingin Asia

menyebabkan background dari vortisitas di wilayah ini bersifat siklonik. Seperti hasil penelitian Chang dkk (2003), bahwa kejadian Borneo Vortex itu terbentuk oleh adanya vortisitas yang disebabkan oleh windshear dan konvergensi yang dihasilkan dari interaksi antara angin monsun timur laut dan topografi pulau Borneo yang berbukit-bukit. Keberadaan vortex tidak secara tetap berada di wilayah ini, tapi juga dapat ditemukan di wilayah lain di sabuk ekuatorial.

Gambar 2. Mekanisme pembentukan Borneo Vortex (C) Pola angin 3 hari sebelum Borneo Vortex terbentuk; (D) Pembentukan Borneo

Vortex (Sumber: Chang dkk., 2003) Bagaimana cara mengidentifikasi Borneo Vortex?

Selanjutnya tentu kita ingin mengetahui bagaimana Borneo Vortex itu dapat diidentifikasi. Salah satu metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi kejadian Borneo Vortex yaitu metode yang dikembangkan oleh Chang dkk (2004). Chang menjelaskan bahwa Borneo Vortex diidentifikasi

sebagai sirkulasi tertutup yang berlawanan dengan arah jarum jam pada lapisan 925 hPa di area sekitar 2,5˚

S – 7,5˚ N, 107,5˚ - 117,5˚ E dengan setidaknya ada satu angin dengan kecepatan melebihi 2 ms-1 di wilayah dengan grid 2,5˚x2,5˚ persegi dengan pusat Borneo Vortex berada di tengah kotak tersebut seperti pada gambar 3.

Gambar 3 Wilayah identifikasi Borneo Vortex (kotak kecil). (Sumber: Chang dkk., 2004)

Vortex diidentifikasi sebagai sirkulasi tertutup yang berlawanan dengan arah jarum jam pada lapisan 925 hPa di area sekitar 2,5˚ S – 7,5˚ N, 107,5˚

- 117,5˚ E dengan setidaknya ada satu angin dengan kecepatan melebihi 2 ms-1 di wilayah dengan grid 2,5˚x2,5˚ persegi dengan pusat Borneo Vortex berada di tengah kotak tersebut seperti pada gambar 3.

Bagaimana pengaruh Borneo Vortex di Indonesia?

Kajian menarik mengenai Borneo Vortex tidak hanya terbatas pada bagaimana vortex tersebut bisa terjadi di sekitar equator, tapi varibilitas dan siklus hidup Borneo Vortex juga mempunyai dampak penting terhadap cuaca di Indonesia. Kejadian Borneo Vortex sering dikaitkan dengan adanya deep convection dan pelepasan panas laten yang merupakan sumber energi di benua maritim. Berdasarkan beberapa hasil kajian menunjukan bahwa kejadian Borneo Vortex berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia yang mengakibatkan beberapa wilayah terjadi peningkatan curah hujan dan sebaliknya di wilayah lain justru mengalami penurunan curah hujan.

Selama terjadi Borneo Vortex, transfer kelembaban di level rendah oleh aliran monsun timur laut mengakibatkan konveksi kuat dan hujan

lebat di Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Jawa. Menurut Prakosa (2012) secara umum kejadian Borneo Vortex dapat meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah, kecuali Kalimantan bagian selatan, Jawa dan Nusa Tenggara. Peningkatan curah hujan ini dipengaruhi juga oleh posisi pusat Borneo Vortex.

Borneo Vortex bukanlah sirkulasi yang terjadi secara periodik, tapi siklus hidup dan variabilitasnya memiliki dampak penting terhadap aktivitas konveksi di sekitar laut cina selatan yang selanjutnya berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut dan Indonesia secara umum. Biasanya, kajian mengenai Borneo Vortex juga tidak berdiri sendiri, tetapi sering diiringi fenomena sinoptik lainnya yaitu Cold Surge. Kejadian Borneo Vortex sering dikaitkan dengan fenomena Cold Surge, banyak penelitian menyatakan bahwa fenomena Cold Surge dapat meningkatkan intensitas Borneo Vortex yang berdampak pada curah hujan di Indonesia. Tapi bagaimana Cold Surge ini dapat meningkatkan Borneo Vortex dan bagaimana dampaknya terhadap curah hujan di Indonesia? Tentunya akan menjadi kajian menarik lainnya untuk mengupas tuntas kedua fenomena ini.

Gambar 3 Wilayah identifikasi Borneo Vortex (kotak kecil). (Sumber: Chang dkk., 2004)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 22: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

20

EKSPERIMEN EAR-RASS DI KOTOTABANG DAN PELUNCURAN RADIOSONDE

BULAN MARET 2018Ginaldi Ari, Ina Juaeni, Heri Suherman, Staf EAR AgamPusat Sain dan Teknologi Atmosfer e-mail:[email protected]

FAKTUALITA

23

EKSPERIMEN EAR-RASS DI KOTOTABANG DAN PELUNCURAN RADIOSONDE

BULAN MARET 2018

Ginaldi Ari, Ina Juaeni, Heri Suherman, Staf EAR Agam Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer e-mail:[email protected]

Dalam rangka Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Collaborative Research telah dilakukan eksperimen Equatorial Atmosphere Radar–Radio Acoustic Sounding System (EAR-RASS) pada tanggal 5 sampai dengan 9 Maret 2018 disertai dengan peluncuran Radiosonde oleh PSTA-LAPAN. Pelaksanaan kegiatan ini sesuai jadwal yang ditentukan oleh Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH-Kyoto University). Lokasi eksperimen ditentukan atas dasar pertimbangan dimana EAR-RASS berada yaitu di stasiun pengamatan atmosfer dan antariksa-LAPAN Kabupaten Agam, Sumatera Barat dengan posisi 100,32 BT; 0,20 LS, dan berada pada 865 m di atas permukaan laut.

Pada tanggal 5 Maret, eksperimen EAR-RASS belum dilakukan karena EAR sedang dalam perbaikan akibat terkena sambaran petir. Perbaikan dilakukan oleh perusahaan kontraktor. Sebelumnya juga telah dilakukan maintenance terhadap RASS yang rutin dilakukan oleh RISH. Pada saat yang sama dilakukan penggantian beberapa buah speaker yang rusak/lapuk akibat lembap/terlalu sering terkena air hujan (Gambar 1).

Jadwal eksperimen EAR-RASS dan peluncuran Radiosonde secara lengkap adalah sebagai berikut :

Tanggal 5 Maret 2018: Peluncuran Radiosonde sebanyak 2 kali (pagi dan siang).

Tanggal 6, dan 7 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS selama ± 9-10 jam dan dua kali peluncuran Radiosonde (pagi dan siang).

Tanggal 8 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS hanya dilakukan selama ±4 jam dan satu kali peluncuran Radiosonde, karena listrik mati.

Tanggal 9 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS selama ± 9-10 jam dan dua kali peluncuran Radiosonde (pagi dan siang). EKSPERIMEN EAR-RASS

Eskperimen EAR-RASS merupakan pengoperasian EAR dengan RASS secara bersama-sama dengan beberapa skenario. Skenario yang digunakan dalam eksperimen ini ada dua yaitu mengubah atau penggunaan signal akustik dengan frekuensi yang berbeda (eksperimen 1 dan 2) dan menggunakan posisi serta jumlah speaker yang berbeda (eksperimen 3 dan 4). Posisi dan jumlah speaker tersedia diperlihatkan pada Gambar 2. Peluncuran Radiosonde dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang hari yang dilakukan secara simultan dengan eksperimen EAR-RASS. Adapun spesifikasi peralatan dan parameter yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1 Gambar speaker yang rusak

Dalam rangka Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Collaborative Research telah dilakukan eksperimen Equatorial Atmosphere Radar–Radio Acoustic Sounding System (EAR-RASS)

pada tanggal 5 sampai dengan 9 Maret 2018 disertai dengan peluncuran Radiosonde oleh PSTA-LAPAN. Pelaksanaan kegiatan ini sesuai jadwal yang ditentukan oleh Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH-Kyoto University). Lokasi eksperimen ditentukan atas dasar pertimbangan dimana EAR-RASS berada yaitu di stasiun pengamatan atmosfer dan antariksa-LAPAN Kabupaten Agam, Sumatera Barat dengan posisi 100,32 BT; 0,20 LS, dan berada pada 865 m di atas permukaan laut.

Pada tanggal 5 Maret, eksperimen EAR-RASS belum dilakukan karena EAR sedang dalam perbaikan akibat terkena sambaran petir. Perbaikan dilakukan oleh perusahaan kontraktor. Sebelumnya juga telah dilakukan maintenance terhadap RASS yang rutin dilakukan oleh RISH. Pada saat yang sama dilakukan penggantian beberapa buah speaker yang rusak/lapuk akibat lembap/terlalu sering terkena air hujan (Gambar 1).

Jadwal eksperimen EAR-RASS dan peluncuran Radiosonde secara lengkap adalah sebagai berikut : • Tanggal 5 Maret 2018: Peluncuran Radiosonde

sebanyak 2 kali (pagi dan siang).

• Tanggal 6, dan 7 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS selama ± 9-10 jam dan dua kali peluncuran Radiosonde (pagi dan siang).

• Tanggal 8 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS hanya dilakukan selama ±4 jam dan satu kali peluncuran Radiosonde, karena listrik mati.

• Tanggal 9 Maret 2018: Eksperimen EAR- RASS selama ± 9-10 jam dan dua kali peluncuran Radiosonde (pagi dan siang).

EKSPERIMEN EAR-RASS Eskperimen EAR-RASS merupakan pengoperasian

EAR dengan RASS secara bersama-sama dengan beberapa skenario. Skenario yang digunakan dalam eksperimen ini ada dua yaitu mengubah atau penggunaan signal akustik dengan frekuensi yang berbeda (eksperimen 1 dan 2) dan menggunakan posisi serta jumlah speaker yang berbeda (eksperimen 3 dan 4). Posisi dan jumlah speaker tersedia diperlihatkan pada Gambar 2. Peluncuran Radiosonde dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang hari yang dilakukan secara simultan dengan eksperimen EAR-RASS. Adapun spesifikasi peralatan dan parameter yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Gambar speaker yang rusak

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 23: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

21

FAKTUALITA

Tabel 1 Spesifikasi alat dan parameter yang digunakan

Spesifikasi EAR Parameter EAR Frekuensi 47 MHz Resolusi ketinggian 150 m Power keluar 100 kW (maksimum) Ketinggian minimum 1050 m Sistem antena

quasi-circular active phased array (dengan 110 m dan 560 buah antena three-element Yagis)

Arah beam (sudut Azimuth, Zenith)

(0°, 0°), (0°, 10°), (90°, 10°), (180°, 10°), (270°, 10°)

Lebar beam 3,4o deg. (setengah daya, satu arah)

IPP (interval beam steering)

200 µs

Arah beam Arah beam : berada dalam cakupan sudut zenit 30o

Jangkauan pengamatan

1,5 km-20 km (untuk pengamatan turbulensi atmosfer, dan > 90 km (untuk irregularitas ionosfer)

Parameter RASS Spesifikasi Radiosonde

Resolusi ketinggian 150 m Radiosonde Vaisala RS41-SG, S/N: M2710588

Ketinggian minimum

1050 m Radisosonde + unwinder

129 gr

Arah beam (sudut Azimuth, Zenith)

5 , tergantung hasil 3D raytracing

Balon 200 gr

IPP (interval beam steering)

200 µs Parasut + Ring/rigging 130 gr

Gas Hidrogen 59 gr

Gambar 2 Posisi dan jumlah speaker RASS terhadap antena EAR

Tabel 1. Spesifikasi alat dan parameter yang digunakan

Gambar 2. Posisi dan jumlah speaker RASS terhadap antena EAR

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 24: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

22

Eksperimen 1 dilakukan dengan mengubah signal akustik berdasarkan lajunya sedangkan eksperimen 2 mengubah signal akustik berdasarkan jangkauannya. Masing-masing dilakukan selama 2x15 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.

Eksperimen 3 dilakukan dengan mengubah speaker yang digunakan, bergantian antara speaker tengah yaitu speaker yang berada ditengah-tengah antena EAR dengan speaker yang ada di sekeliling (speaker yang berada di

sebelah utara, selatan, barat dan timur) antena EAR, yang selanjutnya akan di tulis sebagai speaker luar, dan seluruh speaker. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi 90-110Hz selama 2 detik.

Eksperimen 4 dilakukan dengan mengubah jumlah speaker tengah yang digunakan, dengan 4 speaker, 3 speaker, 2 speaker dan 1 speaker. Masing-masing dilakukan selama 2x5 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi tetap yaitu 102-110Hz selama 2 detik.

FAKTUALITA

25

Eksperimen 1 dilakukan dengan mengubah signal akustik berdasarkan lajunya sedangkan eksperimen 2 mengubah signal akustik berdasarkan jangkauannya. Masing-masing dilakukan selama 2x15 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.

Eksperimen 3 dilakukan dengan mengubah speaker yang digunakan, bergantian antara speaker tengah yaitu speaker yang berada ditengah-tengah antena EAR dengan speaker yang ada di sekeliling (speaker yang berada di

sebelah utara, selatan, barat dan timur) antena EAR, yang selanjutnya akan di tulis sebagai speaker luar, dan seluruh speaker. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi 90-110Hz selama 2 detik.

Eksperimen 4 dilakukan dengan mengubah jumlah speaker tengah yang digunakan, dengan 4 speaker, 3 speaker, 2 speaker dan 1 speaker. Masing-masing dilakukan selama 2x5 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi tetap yaitu 102-110Hz selama 2 detik.

Tabel 2 Skenario eksperimen EAR-RASS

Eksperimen 1 (mengubah signal akustik berdasarkan lajunya) Tujuan : Menentukan pengaruh jangkauan signal akustik Signal akustik: A: 90-110Hz, selama 2 detik B: 90-100Hz, selama 2 detik Signal Durasi

A B A B A B

2018/03/06

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/08 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit ------------

2018/03/09

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

Eksperimen 2 (mengubah signal akustik berdasarkan jangkauannya) Tujuan : Menentukan pengaruh laju signal akustik Signal akustik: A: 84-110Hz, selama 2 detik B: 84-98, 96-110Hz, selama 2 detik C: 84-92, 90-98, 96-104, 102-110Hz, selama 2 detik

Signal Durasi

A B C A B C

2018/03/06

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07

------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 ----------------------------------------Listrik mati-----------------------------------

2018/03/09 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

FAKTUALITA

25

Eksperimen 1 dilakukan dengan mengubah signal akustik berdasarkan lajunya sedangkan eksperimen 2 mengubah signal akustik berdasarkan jangkauannya. Masing-masing dilakukan selama 2x15 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.

Eksperimen 3 dilakukan dengan mengubah speaker yang digunakan, bergantian antara speaker tengah yaitu speaker yang berada ditengah-tengah antena EAR dengan speaker yang ada di sekeliling (speaker yang berada di

sebelah utara, selatan, barat dan timur) antena EAR, yang selanjutnya akan di tulis sebagai speaker luar, dan seluruh speaker. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi 90-110Hz selama 2 detik.

Eksperimen 4 dilakukan dengan mengubah jumlah speaker tengah yang digunakan, dengan 4 speaker, 3 speaker, 2 speaker dan 1 speaker. Masing-masing dilakukan selama 2x5 menit. Pada eksperimen ini digunakan signal akustik dengan frekuensi tetap yaitu 102-110Hz selama 2 detik.

Tabel 2 Skenario eksperimen EAR-RASS

Eksperimen 1 (mengubah signal akustik berdasarkan lajunya) Tujuan : Menentukan pengaruh jangkauan signal akustik Signal akustik: A: 90-110Hz, selama 2 detik B: 90-100Hz, selama 2 detik Signal Durasi

A B A B A B

2018/03/06

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/08 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit ------------

2018/03/09

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

Eksperimen 2 (mengubah signal akustik berdasarkan jangkauannya) Tujuan : Menentukan pengaruh laju signal akustik Signal akustik: A: 84-110Hz, selama 2 detik B: 84-98, 96-110Hz, selama 2 detik C: 84-92, 90-98, 96-104, 102-110Hz, selama 2 detik

Signal Durasi

A B C A B C

2018/03/06

15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07

------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 ----------------------------------------Listrik mati-----------------------------------

2018/03/09 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Tabel 2. Skenario eksperimen EAR-RASS

Page 25: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

23

PELUNCURAN RADIOSONDE

Peluncuran Radiosonde dilakukan 2 kali sehari (Gambar 3), kecuali tanggal 8 Maret hanya dilakukan sekali peluncuran. Waktu peluncuran dan capaian ketinggian maksimum diperlihatkan pada Tabel 3.

FAKTUALITA

Eksperimen 3 (mengubah speaker yang digunakan) Tujuan : Menentukan posisi speaker yang memberikan data optimal Signal akustik: 90-110Hz selama 2detik Speaker Durasi

Semua speaker

Hanya speaker tengah

Hanya speaker luar

Semua speaker

Hanya speaker tengah

Hanya speaker luar

2018/03/06 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07 ------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/09 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

Eksperimen 4 (mengubah jumlah speaker tengah yang digunakan) Tujuan : Menentukan jumlah speaker yang memberikan data optimal Signal akustik: 102-110Hz selama 2detik Speaker Durasi

4 3 2 1 4 3 2 1

2018/03/06 5 menit 5 menit 5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

2018/03/07 ------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 -------------------------------------Listrik mati--------------------------------------

2018/03/09 5 menit 5 menit 5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

PELUNCURAN RADIOSONDE Peluncuran Radiosonde dilakukan 2 kali sehari (Gambar 3), kecuali tanggal 8 Maret hanya dilakukan sekali peluncuran.

Waktu peluncuran dan capaian ketinggian maksimum diperlihatkan pada Tabel 3.

Gambar 3 Peluncuran Radiosonde Hari kedua (tanggal 6 Maret 2018)

Effect of sweep rate of FM-chirped signal A: 2sec, 84-110Hz B: 2sec, 84-98, 96-110Hz C: 2sec, 84-92, 90-98, 96-104, 102-110Hz

FAKTUALITA

Eksperimen 3 (mengubah speaker yang digunakan) Tujuan : Menentukan posisi speaker yang memberikan data optimal Signal akustik: 90-110Hz selama 2detik Speaker Durasi

Semua speaker

Hanya speaker tengah

Hanya speaker luar

Semua speaker

Hanya speaker tengah

Hanya speaker luar

2018/03/06 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/07 ------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

2018/03/09 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit 15 menit

Eksperimen 4 (mengubah jumlah speaker tengah yang digunakan) Tujuan : Menentukan jumlah speaker yang memberikan data optimal Signal akustik: 102-110Hz selama 2detik Speaker Durasi

4 3 2 1 4 3 2 1

2018/03/06 5 menit 5 menit 5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

2018/03/07 ------------------------------------Tidak ada eksperimen-------------------------

2018/03/08 -------------------------------------Listrik mati--------------------------------------

2018/03/09 5 menit 5 menit 5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

5 menit

PELUNCURAN RADIOSONDE Peluncuran Radiosonde dilakukan 2 kali sehari (Gambar 3), kecuali tanggal 8 Maret hanya dilakukan sekali peluncuran.

Waktu peluncuran dan capaian ketinggian maksimum diperlihatkan pada Tabel 3.

Gambar 3 Peluncuran Radiosonde Hari kedua (tanggal 6 Maret 2018)

Effect of sweep rate of FM-chirped signal A: 2sec, 84-110Hz B: 2sec, 84-98, 96-110Hz C: 2sec, 84-92, 90-98, 96-104, 102-110Hz

Gambar 3. Peluncuran Radiosonde Hari kedua (tanggal 6 Maret 2018)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 26: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

24

FAKTUALITA

27

Tabel 3 Waktu peluncuran Radiosonde dan capaian ketinggian

Waktu (WIB) Ketinggian maksimum (km)

2018/03/05

09:59 :27

25,5 24,5

2018/03/06

08:25 11:41

23,4 26,7

2018/03/07 08:25 12:39

23,1 21,7

2018/03/08 08:45 Tidak ada peluncuran

25,0 Tidak ada peluncuran

2018/03/09 08:27 11:49

24,6 25,5

LIPUTAN AWAN

Selama eksperimen dilakukan, langit sering tertutup awan bahkan pada pagi hari kerap terjadi kabut. Liputan awan yang menutupi Kototabang nampak pada citra satelit Himawari-8 pada tanggal 5 Maret (Gambar 4), 7 Maret dan 9

Maret 2018. Langit cerah terjadi pada peluncuran Radiosonde hari kedua, tanggal 6 Maret 2018 (Gambar 5). Pada tanggal 8 Maret langit cukup cerah, tetapi tidak ada pengamatan karena listrik mati.

Gambar 4. Image satelit Himawari-8 Infrared-1 tanggal 5 Maret 2018 pukul 07 WIB (kiri) dan pukul 11 WIB (kanan) (Sumber: http://weather.is.kochi-

u.ac.jp/sat/gms.sea)

FAKTUALITA

27

Tabel 3 Waktu peluncuran Radiosonde dan capaian ketinggian

Waktu (WIB) Ketinggian maksimum (km)

2018/03/05

09:59 :27

25,5 24,5

2018/03/06

08:25 11:41

23,4 26,7

2018/03/07 08:25 12:39

23,1 21,7

2018/03/08 08:45 Tidak ada peluncuran

25,0 Tidak ada peluncuran

2018/03/09 08:27 11:49

24,6 25,5

LIPUTAN AWAN

Selama eksperimen dilakukan, langit sering tertutup awan bahkan pada pagi hari kerap terjadi kabut. Liputan awan yang menutupi Kototabang nampak pada citra satelit Himawari-8 pada tanggal 5 Maret (Gambar 4), 7 Maret dan 9

Maret 2018. Langit cerah terjadi pada peluncuran Radiosonde hari kedua, tanggal 6 Maret 2018 (Gambar 5). Pada tanggal 8 Maret langit cukup cerah, tetapi tidak ada pengamatan karena listrik mati.

Gambar 4. Image satelit Himawari-8 Infrared-1 tanggal 5 Maret 2018 pukul 07 WIB (kiri) dan pukul 11 WIB (kanan) (Sumber: http://weather.is.kochi-

u.ac.jp/sat/gms.sea)

Gambar 4. Image satelit Himawari-8 Infrared-1 tanggal 5 Maret 2018 pukul 07 WIB (kiri) dan pukul 11 WIB (kanan) (Sumber: http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/gms.sea)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Tabel 3. Waktu peluncuran Radiosonde dan capaian ketinggian

Page 27: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

25

FAKTUALITA

Gambar 5. Image satelit Himawari-8 Infrared-1 tanggal 6 Maret 2018 pukul 07 WIB (kiri) dan pukul 11 WIB

(kanan)(Sumber: http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/gms.sea)

APLIKASI HASIL EKSPERIMEN Eksperimen EAR-RASS ini cukup berhasil dengan

capaian ketinggian di atas 10 km, sedangkan capaian ketinggian maksimum untuk Radiosonde 26,7 km. Liputan awan selama dilakukan eksperimen, rata-rata lebih dari 5/8 bahkan beberapa diantaranya disertai hujan. Dari eksperimen EAR-RASS dihasilkan data angin tiga dimensi, data kecepatan akustik yang kemudian dikonversi menjadi data temperatur virtual. Dengan data temperatur virtual dapat ditentukan anomali temperatur virtual yang tidak lain merupakan signal adanya gangguan berupa aktivitas dinamika dan fisika di atmosfer. Kombinasi anomali temperatur virtual dengan data lain seperti angin, hujan dan

lain-lain dapat menganalisis hubungan sebab akibat anomali tersebut. Data Radiosonde dapat digunakan untuk analisis kondisi stabilitas atmosfer,. Selain itu dapat digunakan sebagai pembanding data EAR-RASS. Data-data ini dapat dimanfaatkan untuk kajian struktur atmosfer ekuator yang berkaitan dengan pertumbuhan dan peluruhan konveksi Cumulus, hubungan antara gelombang atmosfer dengan sirkulasi atmosfer global (untuk data jangka panjang), kopling dinamika antara atmosfer dan ionosfer ekuator. Penelitian-penelitian tersebut jika dilakukan secara kontinu dapat mendefinisikan variasi atmosfer dan perubahan iklim ekuator.

LIPUTAN AWAN

Selama eksperimen dilakukan, langit sering tertutup awan bahkan pada pagi hari kerap terjadi kabut. Liputan awan yang menutupi Kototabang nampak pada citra satelit Himawari-8 pada tanggal 5 Maret (Gambar 4), 7 Maret dan 9 Maret 2018. Langit cerah terjadi pada peluncuran Radiosonde hari kedua, tanggal 6 Maret 2018 (Gambar 5). Pada tanggal 8 Maret langit cukup cerah, tetapi tidak ada pengamatan karena listrik mati.

APLIKASI HASIL EKSPERIMEN

Eksperimen EAR-RASS ini cukup berhasil dengan capaian ketinggian di atas 10 km, sedangkan capaian ketinggian maksimum untuk Radiosonde 26,7 km. Liputan awan selama dilakukan eksperimen, rata-rata lebih dari 5/8 bahkan beberapa diantaranya disertai hujan. Dari eksperimen EAR-RASS dihasilkan data angin tiga dimensi, data kecepatan akustik yang kemudian dikonversi menjadi data temperatur

virtual. Dengan data temperatur virtual dapat ditentukan anomali temperatur virtual yang tidak lain merupakan signal adanya gangguan berupa aktivitas dinamika dan fisika di atmosfer. Kombinasi anomali temperatur virtual dengan data lain seperti angin, hujan dan lain-lain dapat menganalisis hubungan sebab akibat anomali tersebut. Data Radiosonde dapat digunakan untuk analisis kondisi stabilitas atmosfer,. Selain itu dapat digunakan sebagai pembanding data EAR-RASS. Data-data ini dapat dimanfaatkan untuk kajian struktur atmosfer ekuator yang berkaitan dengan pertumbuhan dan peluruhan konveksi Cumulus, hubungan antara gelombang atmosfer dengan sirkulasi atmosfer global (untuk data jangka panjang), kopling dinamika antara atmosfer dan ionosfer ekuator. Penelitian-penelitian tersebut jika dilakukan secara kontinu dapat mendefinisikan variasi atmosfer dan perubahan iklim ekuator.

Gambar 5. Image satelit Himawari-8 Infrared-1 tanggal 6 Maret 2018 pukul 07 WIB (kiri) dan pukul 11 WIB (kanan)(Sumber: http://weather.is.kochi-u.ac.jp/sat/gms.sea)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

faktualita

Page 28: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

26

sosialita

GROUND CHECK MANGROVE UNTUK MENDUKUNG PEMBUATAN SATU PETA MANGROVE BALI DAN NUSA TENGGARA

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya pesisir dan laut yang bernilai tinggi, baik nilai ekonomi maupun nilai ekologis, salah satunya adalah mangrove. SNI 7717:2011 tentang

Survei dan Pemetaan Mangrove mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub-tropis yang terlindung, dipengaruhi pasang surut air laut, dan mampu beradaptasi di perairan payau.

Mangrove memiliki peranan penting secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Peran penting untuk lingkungan adalah sebagai pencegah erosi/abrasi pantai, intrusi air laut, pereduksi polutan dari sungai, tempat hidup dan berkembang biak bagi biota laut, penghasil oksigen, dan memiliki cadangan karbon yang tinggi. Pada tahun 2011, Donato menyatakan bahwa potensi cadangan karbon mangrove mencapai 1023 Mg C per hektar. Fungsi mangrove secara sosial adalah untuk pendidikan, penelitian, dan konservasi. Fungsi secara ekonomi, ekosistem mangrove memiliki biota laut dengan nilai jual tinggi, bahan baku arang, serta sebagai lokasi pariwisata.

Begitu pentingnya fungsi mangrove, tetapi pada kenyataannya kondisi mangrove sangat memprihatinkan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis informasi bahwa luas hutan mangrove pada tahun 2010 adalah 3,7 juta ha dan pada tahun 2015 berkurang menjadi 3,4 juta ha. Berkurangnya luas mangrove disebabkan oleh adanya konversi mangrove menjadi pemukiman, kawasan industri, pertanian, tambak, dan lahan lainnya.

Keberadaan ekosistem hutan mangrove menjadi tanggung jawab dari berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Dalam hal ini, pemetaan mangrove menjadi penting untuk menunjang rencana konservasi dan sistem pemantauannya. Hingga saat ini, telah banyak

peta mangrove yang diproduksi oleh K/L tetapi hanya digunakan sebagai acuan untuk kalangan sendiri. Oleh karena itu melalui Kelompok Kerja Mangrove Nasional dan sesuai dengan adanya Kebijakan One Map Policy yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, maka disusunlah One Map Mangrove. One Map Mangrove akan menjadi pedoman untuk pengelolaan ekosistem mangrove. Penyusunan One Map Mangrove telah dimulai sejak tahun 2013 dengan lokasi di Pulau Jawa, Sumatera di tahun 2014, Sulawesi di tahun 2015, dan untuk tahun 2016 di Bali dan Nusa Tenggara.

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 54 Tahun 2015 tentang Walidata Informasi Geospasial Tematik, Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Ditjen PDASHL, KLHK menjadi koordinator penyusunan One Map Mangrove. K/L yang terlibat penyusunan One Map Mangrove adalah Badan Informasi Geospasial (BIG), Kemendagri, LAPAN, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan organisasi nirlaba Wetland. Satuan Kerja dari LAPAN yang terlibat pada kegiatan One Map Mangrove adalah Kelompok Penelitian Ekosistem Pesisir dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. LAPAN berkontribusi pada penyediaan data citra resolusi tinggi seperti SPOT 6, SPOT 7, dan beberapa data citra resolusi sangat tinggi seperti World View, dan Pleiades. Metode yang digunakan untuk penyusunan One Map Mangrove meliputi enam tahapan, yaitu:

a. kompilasi data antar stakeholder

b. penentuan standar integrasi

c. sinkronisasi data

d. verifikasi data

e. Integrasi data

f. kesepakatan One Map IGT.

Nanin Anggraini1 dan Dian Rachmawati2

1Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN2Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Ditjen PDASHL - KLHKe-mail : [email protected]

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 29: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

27

sosialita

SOSIALITA

Pada tahun 2016, penyusunan One Map

Mangrove dilakukan untuk Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Tujuan dari kegiatan One Map Mangrove adalah tersedianya satu peta mangrove nasional wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang menjadi acuan bagi para pihak dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah mangrove khususnya wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Untuk mendukung akurasi dari penyusunan peta tersebut, maka dilakukan kegiatan Ground Check (GC). Manfaat dari GC adalah diperolehnya satu peta mangrove nasional wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang akurat. Diharapkan peta tersebut bisa digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan instansi yang berkepentingan.

GC Bali dilaksanakan pada tanggal pada 3 - 6 Agustus 2016, GC Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaksanakan pada 10 - 13 Agustus dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaksanakan pada 31 Agustus - 3 September 2016. GC tersebut diikuti oleh perwakilan dari KLHK, BIG, Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL), LAPAN dan KKP. GC NTB (Pulau Sumbawa) dilaksanakan melalui perjalanan darat dengan rencana lokasi pengamatan sebanyak 29 titik. Lokasi mangrove yang sulit dijangkau dan waktu GC

yang relatif singkat maka hanya 17 lokasi yang dapat dijangkau (Gambar 1).

Pulau Sumbawa yang termasuk dalam wilayah NTB, adalah pulau yang memiliki beberapa lokasi pesisir yang terlindung dari gelombang, sehingga banyak mangrove yang tumbuh pada pesisir tersebut. Oleh karena itu, keberadaan mangrove pada lokasi tersebut perlu dilestarikan. Kegiatan yang dilakukan pada saat GC adalah pengecekan koordinat lokasi, identifikasi spesies, pengamatan lahan (tutupan, penggunaan, dan status), kerapatan (pohon dan kanopi), kondisi pasang surut, asosiasi, kondisi mangrove saat pengamatan, serta dokumentasi. Berdasarkan hasil GC, mangrove yang tumbuh di NTB didominasi oleh marga/genus Rhizophora serta beberapa mangrove lainnya seperti Lumnitzera, Soneratia, dan Avicenia. Sebagian besar mangrove tumbuh pada tanah berlumpur dan beberapa pada tanah berpasir. Kerapatan pohon dan kanopi bervariasi, dari jarang hingga lebat. Pada beberapa lokasi, vegetasi mangrove telah rusak akibat adanya konversi menjadi lahan tambak (udang dan bandeng) dan di beberapa lokasi juga dijumpai adanya mangrove yang masih kecil hasil dari penanaman mangrove oleh penduduk sekitar. Beberapa contoh kegiatan GC ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 1. Lokasi GC Nusa Tenggara Barat (Sumber: pengolahan pribadi)

Pada tahun 2016, penyusunan One Map Mangrove dilakukan untuk Pulau Bali dan Nusa Tenggara. Tujuan dari kegiatan One Map Mangrove adalah tersedianya satu peta mangrove nasional wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang menjadi acuan bagi para pihak dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah mangrove khususnya wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Untuk mendukung akurasi dari penyusunan peta tersebut, maka dilakukan kegiatan Ground Check (GC). Manfaat dari GC adalah diperolehnya satu peta mangrove nasional wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang akurat. Diharapkan peta tersebut bisa digunakan sebagai acuan pengambilan kebijakan instansi yang berkepentingan.

GC Bali dilaksanakan pada tanggal pada 3 - 6 Agustus 2016, GC Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaksanakan pada 10 - 13 Agustus dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaksanakan pada 31 Agustus - 3 September 2016. GC tersebut diikuti

oleh perwakilan dari KLHK, BIG, Direktorat Konservasi Tanah dan Air, Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL), LAPAN dan KKP. GC NTB (Pulau Sumbawa) dilaksanakan melalui perjalanan darat dengan rencana lokasi pengamatan sebanyak 29 titik. Lokasi mangrove yang sulit dijangkau dan waktu GC yang relatif singkat maka hanya 17 lokasi yang dapat dijangkau (Gambar 1).

Pulau Sumbawa yang termasuk dalam wilayah NTB, adalah pulau yang memiliki beberapa lokasi pesisir yang terlindung dari gelombang, sehingga banyak mangrove yang tumbuh pada pesisir tersebut. Oleh karena itu, keberadaan mangrove pada lokasi tersebut perlu dilestarikan. Kegiatan yang dilakukan pada saat GC adalah pengecekan koordinat lokasi, identifikasi spesies, pengamatan lahan (tutupan, penggunaan, dan status), kerapatan (pohon dan kanopi), kondisi pasang surut, asosiasi, kondisi mangrove

Gambar 1. Lokasi GC Nusa Tenggara Barat (Sumber: pengolahan pribadi)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 30: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

28

sosialita

SOSIALITA

31

Gambar 2. Kegiatan selama GC NTB (Sumber: dokumentasi pribadi)

Hasil dari GC digunakan untuk verifikasi dari peta yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Peta yang dihasilkan telah diserahkan kepada K/L yang berkepentingan. Setelah penyusunan

One Map Mangrove Bali dan Nusa Tenggara selesai, maka untuk tahun 2017 One Map Mangrove dilakukan untuk Kepulauan Maluku.

SOSIALITA

31

Gambar 2. Kegiatan selama GC NTB (Sumber: dokumentasi pribadi)

Hasil dari GC digunakan untuk verifikasi dari peta yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Peta yang dihasilkan telah diserahkan kepada K/L yang berkepentingan. Setelah penyusunan

One Map Mangrove Bali dan Nusa Tenggara selesai, maka untuk tahun 2017 One Map Mangrove dilakukan untuk Kepulauan Maluku.

SOSIALITA

31

Gambar 2. Kegiatan selama GC NTB (Sumber: dokumentasi pribadi)

Hasil dari GC digunakan untuk verifikasi dari peta yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Peta yang dihasilkan telah diserahkan kepada K/L yang berkepentingan. Setelah penyusunan

One Map Mangrove Bali dan Nusa Tenggara selesai, maka untuk tahun 2017 One Map Mangrove dilakukan untuk Kepulauan Maluku.

SOSIALITA

31

Gambar 2. Kegiatan selama GC NTB (Sumber: dokumentasi pribadi)

Hasil dari GC digunakan untuk verifikasi dari peta yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Peta yang dihasilkan telah diserahkan kepada K/L yang berkepentingan. Setelah penyusunan

One Map Mangrove Bali dan Nusa Tenggara selesai, maka untuk tahun 2017 One Map Mangrove dilakukan untuk Kepulauan Maluku.

saat pengamatan, serta dokumentasi. Berdasarkan hasil GC, mangrove yang tumbuh di NTB didominasi oleh marga/genus Rhizophora serta beberapa mangrove lainnya seperti Lumnitzera, Soneratia, dan Avicenia. Sebagian besar mangrove tumbuh pada tanah berlumpur dan beberapa pada tanah berpasir. Kerapatan pohon dan kanopi bervariasi, dari jarang hingga lebat. Pada beberapa lokasi, vegetasi mangrove telah rusak akibat adanya konversi menjadi lahan tambak (udang dan bandeng) dan di beberapa lokasi juga dijumpai adanya mangrove yang masih kecil hasil

dari penanaman mangrove oleh penduduk sekitar. Beberapa contoh kegiatan GC ditampilkan pada Gambar 2.

Hasil dari GC digunakan untuk verifikasi dari peta yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Peta yang dihasilkan telah diserahkan kepada K/L yang berkepentingan. Setelah penyusunan One Map Mangrove Bali dan Nusa Tenggara selesai, maka untuk tahun 2017 One Map Mangrove dilakukan untuk Kepulauan Maluku.

Gambar 2. Kegiatan selama GC NTB (Sumber: dokumentasi pribadi)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 31: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

29

sosialita

Teknologi ruang angkasa, terutama satelit merupakan salah satu instrumen penting dalam pengembangan teknologi dan kemajuan manusia di bidang ekonomi, sosial,

pendidikan, dan komunikasi. Saat ini satelit telah digunakan di berbagai bidang antara lain sebagai pengamatan bumi, komunikasi, studi atmosfer, navigasi, observasi astronomi, dan aplikasi militer. Satelit memberikan layanan tanpa gangguan dengan biaya lebih rendah bila dibandingkan dengan metode konvensional untuk aplikasi serupa. Perkembangan teknologi satelit ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang mulai kearah nano teknologi. Teknologi nano saat ini memberikan banyak

POTENSI PENGEMBANGAN NANO SATELIT SEBAGAI TEKNOLOGI SATELIT MASA DEPANSuisbiyanto PrasetyaBalai Kendali Satelit, Pengamatan Antariksa dan Atmosfer, dan Penginderaan Jauh Biake-mail: [email protected]

SOSIALITA

POTENSI PENGEMBANGAN SATELIT NANO SEBAGAI TEKNOLOGI SATELIT MASA DEPAN

Suisbiyanto Prasetya Balai Kendali Satelit, Pengamatan Antariksa dan Atmosfer, dan Penginderaan Jauh Biak Email: [email protected]

Teknologi ruang angkasa, terutama satelit merupakan salah satu instrumen penting dalam pengembangan teknologi dan kemajuan manusia di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan komunikasi. Saat ini satelit telah digunakan di berbagai bidang antara lain sebagai pengamatan bumi, komunikasi, studi atmosfer, navigasi, observasi astronomi, dan aplikasi militer. Satelit memberikan layanan tanpa gangguan dengan biaya lebih rendah bila dibandingkan dengan metode konvensional untuk aplikasi serupa. Perkembangan teknologi satelit ini berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang mulai kearah nano teknologi. Teknologi nano saat ini memberikan banyak keuntungan untuk satelit. Salah satu

keuntungan yang didapat yaitu biaya peluncuran satelit yang lebih murah dikarenakan komponen satelit yang dibuat lebih kecil. Sebagai gambaran, biaya yang harus dikeluarkan untuk meluncurkan satelit menggunakan jasa roket peluncur sekitar USD26.000-40.000/Kg untuk orbit Low Earth Orbit (LEO) dan USD46.000-92.000/Kg untuk orbit Geostationary Transfer Orbit (GTO). Dengan bobot satelit yang semakin ringan maka biaya peluncuran relatif lebih murah. Teknologi nano ini menginspirasi para pengembang satelit untuk membuat satelit mereka lebih kecil dengan berat lebih ringan tanpa mengurangi kemampuan dari satelit tersebut.

Tabel 1. Biaya peluncuran satelit tahun 2017

Spesifikasi Kelas Satelit

Tipe Payload 50Kg 100Kg 150Kg 200Kg 300Kg 450Kg 750Kg 1000Kg

Panjang (cm) 80 100 100 100 125 200 300 350

Tinggi (cm) 40 50 60 80 100 150 200 200

Lebar (cm) 40 50 60 80 100

Berat (Kg) 50 100 150 200 300 450 750 1000

Harga LEO $1.750 $3.950 $4.950 $5.950 $7.950 $17.500 $22.000 $28.000

Harga GTO $4.600 $8.400 $9.800 $11.200 $14.000 - - -

Biaya dalam ribuan (USD) (sumber: http://spaceflight.com/schedule-pricing/)

keuntungan untuk satelit. Salah satu keuntungan yang didapat yaitu biaya peluncuran satelit yang lebih murah dikarenakan komponen satelit yang dibuat lebih kecil. Sebagai gambaran, biaya yang harus dikeluarkan untuk meluncurkan satelit menggunakan jasa roket peluncur sekitar USD26.000-40.000/Kg untuk orbit Low Earth Orbit (LEO) dan USD46.000-92.000/Kg untuk orbit Geostationary Transfer Orbit (GTO). Dengan bobot satelit yang semakin ringan maka biaya peluncuran relatif lebih murah. Teknologi nano ini menginspirasi para pengembang satelit untuk membuat satelit mereka lebih kecil dengan berat lebih ringan tanpa mengurangi kemampuan dari satelit tersebut.

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Tabel 1. Biaya peluncuran satelit tahun 2017

Page 32: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

30

sosialitaSOSIALITA

33

Gambar 1: Peluncuran satelit dari tahun 2010-2017 (sumber: http://claudelafleur.qc.ca/Spacecrafts-index.html)

Satelit Nano

Satelit berdasarkan ukuran dan berat terbagi dalam beberapa kelas antara lain:

Group name Mass (kg) Large satellite >1000 Medium satellite 500 to 1000 Mini satellite 100 to 500 Micro satellite 10 to 100 Nano satellite 1 to 10 Pico satellite 0.1 to 1 Femto satellite <0.1

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Small_satellite

Satelit Nano merupakan satelit dengan berat <

10 Kg. Satelit ini biasanya diluncurkan menumpang satelit Besar (piggyback) atau melalui stasiun luar angkasa (ISS). Satelit Nano dirancang dalam bentuk kubus dengan dimensi 10x10x10 cm, 1kg (1U) menjadi desain satelit nano yang paling banyak digunakan. Dengan tipe klasifikasi struktur ukuran standar terkecil adalah 0.5U, sedangkan 3U adalah yang terbesar terdiri dari tiga unit yang ditumpuk memanjang.

Gambar 2. Standar Struktur NanoSatellite (sumber: http://www.cubesatkit.com/docs/cubesatkitsystemchart.pdf)

SOSIALITA

33

Gambar 1: Peluncuran satelit dari tahun 2010-2017 (sumber: http://claudelafleur.qc.ca/Spacecrafts-index.html)

Satelit Nano

Satelit berdasarkan ukuran dan berat terbagi dalam beberapa kelas antara lain:

Group name Mass (kg) Large satellite >1000 Medium satellite 500 to 1000 Mini satellite 100 to 500 Micro satellite 10 to 100 Nano satellite 1 to 10 Pico satellite 0.1 to 1 Femto satellite <0.1

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Small_satellite

Satelit Nano merupakan satelit dengan berat <

10 Kg. Satelit ini biasanya diluncurkan menumpang satelit Besar (piggyback) atau melalui stasiun luar angkasa (ISS). Satelit Nano dirancang dalam bentuk kubus dengan dimensi 10x10x10 cm, 1kg (1U) menjadi desain satelit nano yang paling banyak digunakan. Dengan tipe klasifikasi struktur ukuran standar terkecil adalah 0.5U, sedangkan 3U adalah yang terbesar terdiri dari tiga unit yang ditumpuk memanjang.

Gambar 2. Standar Struktur NanoSatellite (sumber: http://www.cubesatkit.com/docs/cubesatkitsystemchart.pdf)

SOSIALITA

33

Gambar 1: Peluncuran satelit dari tahun 2010-2017 (sumber: http://claudelafleur.qc.ca/Spacecrafts-index.html)

Satelit Nano

Satelit berdasarkan ukuran dan berat terbagi dalam beberapa kelas antara lain:

Group name Mass (kg) Large satellite >1000 Medium satellite 500 to 1000 Mini satellite 100 to 500 Micro satellite 10 to 100 Nano satellite 1 to 10 Pico satellite 0.1 to 1 Femto satellite <0.1

Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Small_satellite

Satelit Nano merupakan satelit dengan berat <

10 Kg. Satelit ini biasanya diluncurkan menumpang satelit Besar (piggyback) atau melalui stasiun luar angkasa (ISS). Satelit Nano dirancang dalam bentuk kubus dengan dimensi 10x10x10 cm, 1kg (1U) menjadi desain satelit nano yang paling banyak digunakan. Dengan tipe klasifikasi struktur ukuran standar terkecil adalah 0.5U, sedangkan 3U adalah yang terbesar terdiri dari tiga unit yang ditumpuk memanjang.

Gambar 2. Standar Struktur NanoSatellite (sumber: http://www.cubesatkit.com/docs/cubesatkitsystemchart.pdf)

Satelit Nano

Satelit berdasarkan ukuran dan berat terbagi dalam beberapa kelas antara lain:

Satelit Nano merupakan satelit dengan berat < 10 Kg. Satelit ini biasanya diluncurkan menumpang satelit Besar (piggyback) atau melalui stasiun luar angkasa (ISS). Satelit Nano dirancang dalam bentuk kubus dengan dimensi 10x10x10 cm, 1kg (1U) menjadi desain satelit nano yang paling banyak digunakan. Dengan tipe klasifikasi struktur ukuran standar terkecil adalah 0.5U, sedangkan 3U adalah yang terbesar terdiri dari tiga unit yang ditumpuk memanjang.

Gambar 1: Peluncuran satelit dari tahun 2010-2017 (sumber: http://claudelafleur.qc.ca/Spacecrafts-index.html)

Gambar 2. Standar Struktur NanoSatellite (sumber: http://www.cubesatkit.com/docs/cubesatkitsystemchart.pdf)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 33: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

31

sosialita

SOSIALITA

Gambar 3. Posisi penempatan Satelit Nano di roket (sumber:

https://directory.eoportal.org/web/eoportal/satellite-missions/k/kysat-2)

Sistem pada Satelit Nano sama seperti satelit

pada umumnya yaitu terdiri dari Electronic Systems,

Communication System, Payload System, dan Attitude Determination and Control. Satelit Nano membutuhkan perangkat deploy yang berbeda dengan satelit lainnya. Perangkat deploy inilah yang berfungsi sebagai rumah saat satelit di dalam roket dan juga pelontar untuk melepaskan Satelit Nano ke orbit.

Potensi Satelit Nano

Dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi pengamatan bumi untuk aplikasi masyarakat, banyak negara mengintegrasikan kemampuan ruang angkasa ke dalam program pembangunan nasional. Para pelaku yang mengembangkan teknologi satelit mulai bergeser bukan hanya menjadi penelitian pemerintah atau militer, namun satelit saat ini mulai diminati oleh kalangan akademisi dan perusahaan (company) dengan mengembangkan satelit dengan ukuran lebih kecil. Data peluncuran satelit pada tahun 2017 memperlihatkan sebagian besar satelit yang diluncurkan berukuran kecil dengan berat < 10 Kg. Banyak perusahaan dan universitas yang mulai ikut mengembangkan satelit. Satelit yang menarik minat perusahaan dan universitas ini masuk ke dalam kelas Satelit Nano dengan berat < 10 Kg. Pada umumnya Satelit Nano ini berbentuk kubus sehingga sering disebut juga dengan Cube-Sat. Berikut ini data yang memperlihatkan jumlah penelitian dan pengembangan Satelit Nano yang dilakukan perusahaan dan Universitas.

Gambar 4. Penelitian dan pengembangan Satelit Nano (sumber: http://www.nanosats.eu)

SOSIALITA

Gambar 3. Posisi penempatan Satelit Nano di roket (sumber:

https://directory.eoportal.org/web/eoportal/satellite-missions/k/kysat-2)

Sistem pada Satelit Nano sama seperti satelit

pada umumnya yaitu terdiri dari Electronic Systems,

Communication System, Payload System, dan Attitude Determination and Control. Satelit Nano membutuhkan perangkat deploy yang berbeda dengan satelit lainnya. Perangkat deploy inilah yang berfungsi sebagai rumah saat satelit di dalam roket dan juga pelontar untuk melepaskan Satelit Nano ke orbit.

Potensi Satelit Nano

Dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi pengamatan bumi untuk aplikasi masyarakat, banyak negara mengintegrasikan kemampuan ruang angkasa ke dalam program pembangunan nasional. Para pelaku yang mengembangkan teknologi satelit mulai bergeser bukan hanya menjadi penelitian pemerintah atau militer, namun satelit saat ini mulai diminati oleh kalangan akademisi dan perusahaan (company) dengan mengembangkan satelit dengan ukuran lebih kecil. Data peluncuran satelit pada tahun 2017 memperlihatkan sebagian besar satelit yang diluncurkan berukuran kecil dengan berat < 10 Kg. Banyak perusahaan dan universitas yang mulai ikut mengembangkan satelit. Satelit yang menarik minat perusahaan dan universitas ini masuk ke dalam kelas Satelit Nano dengan berat < 10 Kg. Pada umumnya Satelit Nano ini berbentuk kubus sehingga sering disebut juga dengan Cube-Sat. Berikut ini data yang memperlihatkan jumlah penelitian dan pengembangan Satelit Nano yang dilakukan perusahaan dan Universitas.

Gambar 4. Penelitian dan pengembangan Satelit Nano (sumber: http://www.nanosats.eu)

Sistem pada Satelit Nano sama seperti satelit pada umumnya yaitu terdiri dari Electronic Systems, Communication System, Payload System, dan

Attitude Determination and Control. Satelit Nano membutuhkan perangkat deploy yang berbeda dengan satelit lainnya. Perangkat deploy inilah yang berfungsi sebagai rumah saat satelit di dalam roket dan juga pelontar untuk melepaskan Satelit Nano ke orbit.

Potensi Satelit Nano

Dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi pengamatan bumi untuk aplikasi masyarakat, banyak negara mengintegrasikan kemampuan ruang angkasa ke dalam program pembangunan nasional. Para pelaku yang mengembangkan teknologi satelit mulai bergeser bukan hanya menjadi penelitian pemerintah atau militer, namun satelit saat ini mulai diminati oleh kalangan akademisi dan perusahaan (company) dengan mengembangkan satelit dengan ukuran lebih kecil. Data peluncuran satelit pada tahun 2017 memperlihatkan sebagian besar satelit yang diluncurkan berukuran kecil dengan berat < 10 Kg. Banyak perusahaan dan universitas yang mulai ikut mengembangkan satelit. Satelit yang menarik minat perusahaan dan universitas ini masuk ke dalam kelas Satelit Nano dengan berat < 10 Kg. Pada umumnya Satelit Nano ini berbentuk kubus sehingga sering disebut juga dengan Cube-Sat. Berikut ini data yang memperlihatkan jumlah penelitian dan pengembangan Satelit Nano yang dilakukan perusahaan dan Universitas.

Gambar 3. Posisi penempatan Satelit Nano di roket (sumber: https://directory.e o p o r t a l . o r g / w e b / e o p o r t a l /satellite-missions/k/kysat-2)

Gambar 4. Penelitian dan pengembangan Satelit Nano (sumber: http://www.nanosats.eu)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 34: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

32

sosialita

SOSIALITA

35

Satelit-satelit ukuran kecil mulai diminati oleh kalangan perusahaan dan universitas dikarenakan beberapa keuntungan dari membuat satelit nano. Keuntungan yang diperoleh dari satelit nano antara lain: Dengan ukuran kecil maka biaya pembuatan satelit

lebih murah dari sisi komponen yang digunakan dibandingkan satelit besar;

Untuk peluncuran satelit nano dapat diluncurkan menumpang dengan satelit yang lebih besar atau bersamaan dengan satelit nano lainya tanpa perlu menyewa satu buah roket peluncur, sehingga biaya peluncuran yang dikeluarkan akan lebih murah;

Satelit nano membuka kesempatan negara atau universitas dengan data penelitian terbatas untuk program penelitian antariksa;

Untuk negara yang baru mulai penelitian teknologi ruang angkasa (satelit), satelit nano menjadi alternatif yang sesuai untuk mulai mempelajari sistem satelit satu demi satu;

Satelit nano tidak memerlukan fasilitas pembuatan dan pengujian satelit yang besar dengan biaya mahal. Dengan begitu pembuatan satelit dapat dilakukan di laboralotium universitas;

Dengan perkembangan teknologi sensor dan payload, satelit nano dapat melakukan tugas seperti pengamatan bumi dan juga komunikasi yang dilakukan satelit besar;

Dari sisi perusahaan dapat membuat satelit dalam jumlah banyak (Constellation) untuk memperoleh data pengamatan (citra) yang lebih sering (cepat) dengan biaya pembuatan satelit lebih murah dibandingkan harus membuat satu satelit besar dengan waktu memperoleh data sedikit (lama).

Beberapa perusahaan seperti Planet, Spire, Aistech, dan Sky and Space Global. Perusahaan tersebut menggunakan satelit nano untuk memperoleh data pengamatan bumi, maritim, cuaca, dan penelitian di bidang komunikasi. Berikut daftar perusahaan pengembang satelit nano.

Tabel 2. Daftar perusahaan pengembang satelit nano

Organization First launch Field Technical and comments Planet 2013 Earth observation 29 MP sensor taking images

with 3.7 m ground resolution and swath of 24.6 km × 16.4 km from 475 km altitude.

Spire 2013 Weather / AIS / ADS-B

Measure change in GPS signal after passing atmosphere to calculate precise profiles for temperature, pressure, humidity.

Planetary Resources 2014 Earth observation Visible-NIR 40 channel hyperspectral imager with 10 m resolution. Midwave infrared imager (MWIR) in 3-5 μm with 15 m resolution. Has been deprioritized for asteroid missions.

Astro Digital (Aquila) 2014 Earth observation 6U has 22 m resolution in RGB and NIR. 16U has 2.5 m resolution in RGB, red edge, and NIR using one 70 MP sensor.

Sky and Space Global 2017 IoT / M2M / Voice

Plans to use inter-satellite links. Satellites outsourced from GomSpace. SOSIALITA

GeoOptics 2017 Weather Satellites outsourced from Tyvak.

Kepler Communications

2018 IoT / M2M Monthly fee based on the data amount. Hope to achieve rates of 1-40 Mbps. Clyde Space will provide at least the first 2 sats.

PlanetiQ 2018 Weather Based on GPS radio occultation. Will have microwave spectrometer & radiometer. Blue Canyon Tech builds satellites.

Hiber (Magnitude Space)

2018 IoT / M2M Send small packets of data (140 characters, accompanied by time‐stamp, identifier and location).

Hera Systems 2018 Earth observation Capable of 1-meter resolution with 22-kilogram form factor.

Capella Space 2018 SAR Resolutions from 1 m (1600 km2) to 30 m (27,000 km2). Every 3-6 hours globally and 45 min in equatorial regions, improving to every hour in 3-5 years.

Astrocast (ELSE) 2018 IoT / M2M Demonstration mission in 2018. Targeting L-band. Inter-satellite links. NanoSpace propulsion.

Fleet Space 2018 IoT / M2M Selected Saber Astronautics as the operations provider. Launches planned to be started in 2017.

AISTech 2018 IoT / M2M / ADS-B / AIS / IR imaging

2-way comms, thermal imaging to detect forest fires, aviation tracking (ADS-B). Satellites will be built by GomSpace.

Aerial & Maritime (partially GomSpace)

2018 AIS / ADS-B Monitoring aircraft (ADS-B) and vessels (AIS) from 37°N to 37°S. GomSpace will develop satellites.Cooperation with Flightradar24.

Satelit-satelit ukuran kecil mulai diminati oleh kalangan perusahaan dan universitas dikarenakan beberapa keuntungan dari membuat satelit nano. Keuntungan yang diperoleh dari satelit nano antara lain:

Dengan ukuran kecil maka biaya pembuatan satelit lebih murah dari sisi komponen yang digunakan dibandingkan satelit besar;

Untuk peluncuran satelit nano dapat diluncurkan menumpang dengan satelit yang lebih besar atau bersamaan dengan satelit nano lainnya tanpa perlu menyewa satu buah roket peluncur, sehingga biaya peluncuran yang dikeluarkan akan lebih murah;

Satelit nano membuka kesempatan negara atau universitas dengan data penelitian terbatas untuk program penelitian antariksa;

Untuk negara yang baru mulai penelitian teknologi ruang angkasa (satelit), satelit nano menjadi alternatif yang sesuai untuk mulai mempelajari sistem satelit satu demi satu;

Satelit nano tidak memerlukan fasilitas pembuatan dan pengujian satelit yang besar dengan biaya mahal. Dengan begitu pembuatan satelit dapat dilakukan di laboralotium universitas;

Dengan perkembangan teknologi sensor dan payload, satelit nano dapat melakukan tugas seperti pengamatan bumi dan juga komunikasi yang dilakukan satelit besar;

Dari sisi perusahaan dapat membuat satelit dalam jumlah banyak (Constellation) untuk memperoleh data pengamatan (citra) yang lebih sering (cepat) dengan biaya pembuatan satelit lebih murah dibandingkan harus membuat satu satelit besar dengan waktu memperoleh data sedikit (lama).

Beberapa perusahaan seperti Planet, Spire, Aistech, dan Sky and Space Global. Perusahaan tersebut menggunakan satelit nano untuk memperoleh data pengamatan bumi, maritim, cuaca, dan penelitian di bidang komunikasi. Berikut daftar perusahaan pengembang satelit nano.

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Tabel 2. Daftar perusahaan pengembang satelit nano

Page 35: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

33

sosialita

SOSIALITA

37

Helios Wire 2018 IoT / M2M Uses 30 MHz of S-band spectrum to receive tiny data packages from billions sensors. First satellites assembled by Astro Digital.

Karten Space 2018 Earth observation / AIS

Optical resolution is 3-5 m.

UnSeenLabs 2018 RF spectrum monitoring

Satellites outsourced from GomSpace.

Analytical Space 2018 Optical relay / IoT / M2M

In-orbit relays receiving radio and downlink to ground with laser communication enabling more data downlink from satellites.

NSLComm (SkyFi) 2018 Internet Up to 1 Gbps anywhere in the world with a novel antenna.

Orbital Micro Systems 2018 Weather Utilizes microwave technology to capture temperature and moisture measurements, refreshed and delivered every 15 minutes.

SRT Marine 2019 AIS Scanning technology will enable the detection of vessels without an identification transceiver. Clyde Space will build the spacecraft.

Reaktor Space 2019 Earth observation / Hyperspectral

Hyperspectral constellation for smart agriculture with 100's of spectral bands and 20 m resolution.

Rupercorp 2019 Earth observation 2U CubeSat to be launched in 2018 will be a precursor for the commercial constellation based on NanoAvionics M6P with “green” chemical propulsion system.

Harris 2019 Weather Immediate access to 3D wind data sets from Harris-owned HyperCubes. Utah State University provides the spacecraft.

SOSIALITA

Bluefield 2019 Methane emissions

20x20 m pixel resolution and 100ppm-m methane level (detecting natural gas storage and pipeline leaks, fracking, industries, mining, permafrost, wastewater, rice paddies, livestock, etc.)

Blink Astro ? IoT / M2M

Transcelestial ? Optical relay / comms

Space data network for terrestrial and satellite applications. Using lasers to transfer data at up to 1000x faster than currently available.

OQ Technology ? IoT / M2M World's first universal plug & play IoT device that can provide connectivity leveraging Low-Earth-Orbit satellite infrastructure

Tekever ? Earth observation / SAR / AIS / ADS-B / IoT

Constellation will carry the same observation and telecom payloads as Infante, but with different payloads on different satellites.

Koolock ? IR imaging The Most Advanced Feature Set For Weather and Environmental Monitoring.

Earthcube Cancelled? IR imaging Might use Exotrail thrusters.

Terran Orbital (Tyvak) Cancelled? IoT / M2M Building a constellation of best-in-class nanosatellites that will form an unprecedented data infrastructure in space.

ISIS / Innovative Data Services

Cancelled? AIS AIS payload tested on Triton-1 and network planned for a while, but no recent news. ADS-B, M2M and asset tracking also considered.

Promethean Labs Cancelled? Gas emissions Special imager for measuring greenhouse gas (GHG) emissions, monitoring of water and air quality, forestry and land.

(sumber: http://www.nanosats.eu)

SOSIALITA

39

Gambar 5. Website layanan data citra satelit Planet.com

Gambar 6. Salah satu satelit nano “Dove” dari Planet Labs

Satelit nano selain diminati perusahaan penyedia

data satelit, satelit jenis ini juga dikembangkan di universitas bekerjasama dengan badan antariksa di negara tersebut. Beberapa universitas yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano antara lain seperti Technische Universität Berlin, Santa Clara University, Tokyo Institute of Technology, Stanford University, University of Tokyo, Hokkaido Institute of Technology, Nitte Meenakshi Institute of Technology, University of Applied Sciences of Southern Switzerland

(SUPSI), Zhejiang University, Nanyang Technological University, Kyung Hee University, dan masih banyak lagi universitas yang mengembangkan satelit nano . Banyak dari negara-negara mulai berlomba mengembangakan satelit nano tersebut. Para pemain di teknologi ini masih di dominasi oleh Amerika dan negara Eropa. Untuk kawasan Asia sendiri penelitian satelit nano didominasi negara India, Jepang dan Cina. Diagram di bawah ini memperlihatkan negara-negara pengembang satelit nano.

Gambar 5. Website layanan data citra satelit Planet.com

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 36: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

34

sosialita

SOSIALITA

39

Gambar 5. Website layanan data citra satelit Planet.com

Gambar 6. Salah satu satelit nano “Dove” dari Planet Labs

Satelit nano selain diminati perusahaan penyedia

data satelit, satelit jenis ini juga dikembangkan di universitas bekerjasama dengan badan antariksa di negara tersebut. Beberapa universitas yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano antara lain seperti Technische Universität Berlin, Santa Clara University, Tokyo Institute of Technology, Stanford University, University of Tokyo, Hokkaido Institute of Technology, Nitte Meenakshi Institute of Technology, University of Applied Sciences of Southern Switzerland

(SUPSI), Zhejiang University, Nanyang Technological University, Kyung Hee University, dan masih banyak lagi universitas yang mengembangkan satelit nano . Banyak dari negara-negara mulai berlomba mengembangakan satelit nano tersebut. Para pemain di teknologi ini masih di dominasi oleh Amerika dan negara Eropa. Untuk kawasan Asia sendiri penelitian satelit nano didominasi negara India, Jepang dan Cina. Diagram di bawah ini memperlihatkan negara-negara pengembang satelit nano.

Satelit nano selain diminati perusahaan penyedia data satelit, satelit jenis ini juga dikembangkan di universitas bekerjasama dengan badan antariksa di negara tersebut. Beberapa universitas yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano antara lain seperti Technische Universität Berlin, Santa Clara University, Tokyo Institute of Technology, Stanford University, University of Tokyo, Hokkaido Institute of Technology, Nitte Meenakshi Institute of Technology, University of Applied Sciences of Southern Switzerland (SUPSI), Zhejiang University, Nanyang Technological University, Kyung Hee University, dan masih banyak lagi universitas yang mengembangkan satelit nano. Banyak dari negara-negara mulai berlomba mengembangakan satelit nano tersebut. Para pemain di teknologi ini masih di dominasi oleh Amerika dan negara Eropa. Untuk kawasan Asia sendiri penelitian satelit nano didominasi negara India, Jepang dan Cina. Diagram di bawah ini memperlihatkan negara-negara pengembang satelit nano.

Untuk Indonesia sendiri pengembangan satelit nano mulai dilakukan antara LAPAN dalam hal ini yaitu Pusat Teknologi Satelit bekerja sama dengan Surya University mengembangkan Surya Satellite-1 (SS-1) pada tahun 2016. Kemampuan engineer LAPAN dalam mengembangkan satelit telah teruji dengan berhasilnya satelit LAPAN-A1/LAPAN-TUBSAT, Satelit LAPAN A2/ LAPAN-Orari, dan Satelit LAPAN A3/LAPAN-IPB. Maka LAPAN dalam hal ini Pusteksat melakukan bimbingan kepada Surya University dalam proses penelitian dan pengembangan satelit nano pertama Indonesia yang memiliki misi Automatic Packet Reporting System (APRS).

SOSIALITA

Untuk Indonesia sendiri pengembangan satelit

nano mulai dilakukan antara LAPAN dalam hal ini yaitu Pusat Teknologi Satelit bekerja sama dengan Surya University mengembangkan Surya Satellite-1 (SS-1) pada tahun 2016. Kemampuan engineer LAPAN dalam mengembangkan satelit telah teruji dengan berhasilnya satelit LAPAN-A1/LAPAN-TUBSAT, Satelit LAPAN A2/ LAPAN-Orari, dan Satelit LAPAN A3/LAPAN-IPB. Maka LAPAN dalam hal ini Pusteksat melakukan bimbingan kepada Surya University dalam proses penelitian dan pengembangan satelit nano pertama Indonesia yang memiliki misi Automatic Packet Reporting System

(APRS). Bimbingan yang dilakukan antara lain berupa bimbingan sistem kerja satelit, sistem stasiun bumi, dan juga pengujian satelit. Diharapkan dengan semakin banyaknya universitas Indonesia yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano akan menjadikan kemajuan teknologi ruang angkasa terutama satelit di Indonesia. Penelitian satelit nano di universitas telah dilakukan beberapa negara di Asia seperti India, Singapura, China, dan Jepang. Negara-negara maju juga mulai melirik kemampuan satelit nano dalam melaksanakan misinya sebagai teknologi satelit masa depan.

Gambar 7. Negara-negara pengembang satelit nano (sumber: http://www.nanosats.eu/#technologies)

Gambar 8. Desain Surya Satelit 1 (SS-1) (Sumber: http://fkmtfindonesia.or.id/blog/mengintip-club-riset-nanosatellite-mahasiswa-tf-

universitas-surya/)

SOSIALITA

Untuk Indonesia sendiri pengembangan satelit

nano mulai dilakukan antara LAPAN dalam hal ini yaitu Pusat Teknologi Satelit bekerja sama dengan Surya University mengembangkan Surya Satellite-1 (SS-1) pada tahun 2016. Kemampuan engineer LAPAN dalam mengembangkan satelit telah teruji dengan berhasilnya satelit LAPAN-A1/LAPAN-TUBSAT, Satelit LAPAN A2/ LAPAN-Orari, dan Satelit LAPAN A3/LAPAN-IPB. Maka LAPAN dalam hal ini Pusteksat melakukan bimbingan kepada Surya University dalam proses penelitian dan pengembangan satelit nano pertama Indonesia yang memiliki misi Automatic Packet Reporting System

(APRS). Bimbingan yang dilakukan antara lain berupa bimbingan sistem kerja satelit, sistem stasiun bumi, dan juga pengujian satelit. Diharapkan dengan semakin banyaknya universitas Indonesia yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano akan menjadikan kemajuan teknologi ruang angkasa terutama satelit di Indonesia. Penelitian satelit nano di universitas telah dilakukan beberapa negara di Asia seperti India, Singapura, China, dan Jepang. Negara-negara maju juga mulai melirik kemampuan satelit nano dalam melaksanakan misinya sebagai teknologi satelit masa depan.

Gambar 7. Negara-negara pengembang satelit nano (sumber: http://www.nanosats.eu/#technologies)

Gambar 8. Desain Surya Satelit 1 (SS-1) (Sumber: http://fkmtfindonesia.or.id/blog/mengintip-club-riset-nanosatellite-mahasiswa-tf-

universitas-surya/)

Bimbingan yang dilakukan antara lain berupa bimbingan sistem kerja satelit, sistem stasiun bumi, dan juga pengujian satelit. Diharapkan dengan semakin banyaknya universitas Indonesia yang melakukan penelitian dan pengembangan satelit nano akan menjadikan kemajuan teknologi ruang angkasa terutama satelit di Indonesia. Penelitian satelit nano di universitas telah dilakukan beberapa negara di Asia seperti India, Singapura, China, dan Jepang. Negara-negara maju juga mulai melirik kemampuan satelit nano dalam melaksanakan misinya sebagai teknologi satelit masa depan.

Gambar 6. Salah satu satelit nano “Dove” dari Planet Labs

Gambar 7. Negara-negara pengembang satelit nano (sumber: http://www.nanosats.eu/#technologies)

Gambar 8. Desain Surya Satelit 1 (SS-1) (Sumber: http://fkmtfindonesia.or.id/blog/mengintip-club-riset-nanosatellite-mahasiswa-tf-universitas-surya/)

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 37: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

35

sosialita

PEMBACAAN SENSOR ACCELEROMETER LIS3DSH PADA

MODUL STM32F4–DISCOVERYSalman, Endro ArtonoPusat Teknologi Rokete-mail : [email protected]

Modul STM32F4 DiscoverySTM32F4-Discovery adalah modul

mikrokontroller STM32 yang diproduksi oleh ST Microelectronics. Mikrokontroler ini termasuk dalam 32 bit Acorn RISC Machine (ARM) mikroprosesor dan sudah dilengkapi dengan flash memory dan RAM. Mikrokontroler adalah sebuah chip yang berfungsi sebagai pengontrol rangkaian elektronik dan umumnya dapat menyimpan program didalamnya. Di dalam STM32F4-Discovery tersedia fasilitas umum dari sebuah mikrokontroler seperti Serial Peripheral Interface (SPI), Universal Synchronous/Asynchronous Receiver Transmitter (USART)/ Universal Asynchronous Receiver Transmitter (UART), Inter Integrated Circuit (I2C), timers, Analog to Digital (A/D) atau Digital to Analog (D/A) converter dan Input/Output (I/O) pin. Selain menggunakan mikrokontroler yang menurut penulis cukup “kencang”, modul ini juga berisi sensor dan fitur lain yang sangat berguna untuk modul pembelajaran atau penelitian. Beberapa fitur yang tersedia pada development board ini adalah :• STM32F407VGT6 mikrokontroller dengan

kecepatan hingga 168MHz dengan 1MB flash memory dan 196KB SRAM.

• 8 buah LED.• 2 buah switch push button.• CS43L22 audio DAC dengan class D Amplifier.• MP45DT02 omni-directional digital microphone.• LIS3DSH 3-axis digital motion sensor.• Micro-USB with On-The-Go Functionality.• Dual 50-Pin Expansion Headers.• On-Board ST-LINK/V2.Gambar 1 menunjukan letak sensor dan komponen penting dari STM32F4-Discovery.

SOSIALITA

41

PEMBACAAN SENSOR ACCELEROMETER LIS3DSH PADA MODUL STM32F4–DISCOVERY Salman, Endro Artono Pusat Teknologi Roket e-mail : [email protected]

Modul STM32F4 Discovery STM32F4-Discovery adalah modul mikrokontroller

STM32 yang diproduksi oleh ST Microelectronics. Mikrokontroler ini termasuk dalam 32 bit Acorn RISC Machine (ARM) mikroprosesor dan sudah dilengkapi dengan flash memory dan RAM. Mikrokontroler adalah sebuah chip yang berfungsi sebagai pengontrol rangkaian elektronik dan umumnya dapat menyimpan program didalamnya. Di dalam STM32F4-Discovery tersedia fasilitas umum dari sebuah mikrokontroler seperti Serial Peripheral Interface (SPI), Universal Synchronous/Asynchronous Receiver Transmitter (USART)/ Universal Asynchronous Receiver Transmitter (UART), Inter Integrated Circuit (I2C), timers, Analog to Digital (A/D) atau Digital to Analog (D/A) converter dan Input/Output (I/O) pin. Selain menggunakan mikrokontroler yang menurut penulis cukup “kencang”, modul ini juga berisi sensor dan fitur lain yang sangat berguna untuk modul pembelajaran

atau penelitian. Beberapa fitur yang tersedia pada development board ini adalah : STM32F407VGT6 mikrokontroller dengan kecepatan

hingga 168MHz dengan 1MB flash memory dan 196KB SRAM.

8 buah LED. 2 buah switch push button. CS43L22 audio DAC dengan class D Amplifier. MP45DT02 omni-directional digital microphone. LIS3DSH 3-axis digital motion sensor. Micro-USB with On-The-Go Functionality. Dual 50-Pin Expansion Headers. On-Board ST-LINK/V2.

Gambar 1 menunjukan letak sensor dan komponen penting dari STM32F4-Discovery.

Gambar 1. Development Board STM32F4-Discovery

Salah satu daya tarik yang membuat penulis ingin mencoba kehandalan mikrokontroler ini adalah tulisan salah satu blog (http://thebcfactor.net) yang menyatakan bahwa dengan perlakuan khusus modul ini bisa di-“compile” dengan menggunakan arduino IDE. Diharapkan dengan banyak contoh program dan library dalam arduino akan memberikan kemudahan dalam penggunaannya. Dalam blog (http://thebcfactor.net) sudah menjelaskan secara rinci tentang instalasi dan contoh program penyalaan LED dan menggunakan komunikasi serial dengan komputer melalui software

Gambar 1. Development Board STM32F4-Discovery

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 38: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

36 Vol. 12 No. 1 Juni 2017

sosialita

serial terminal. Kali ini penulis ingin membaca sensor accelerometer yang ada di modul STM32F4-Discovery dan menampilkannya melalui serial terminal. Diharapkan mikrokontroller ini dapat digunakan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang lebih baik dari mikrokontroler 8 bit atau 16 bit. Berikut adalah langkah-langkah untuk instalasi pada komputer:• Unduh driver untuk windows pada link (http://

www.st.com/en/development-tools/stsw-link009.html) dan install pada komputer.

• Pada aplikasi arduino biasanya belum terdapat konfigurasi board STM32F4-Discovery. Konfigurasi board pada arduino harus di-install “Arduino SAM Boards (32 bit ARM Cortex M-3) by Arduino”. Selain itu kita harus unduh file STM32Duino (https://github.com/rogerclarkmelbourne/Arduino_STM32/archive/master.zip) dari Roger Clarks github. File Arduino_STM32-master.zip di-unpack dan folder tersebut di-copy-kan ke folder “My Document>Arduino>hardware”. Terkadang kita harus membuat folder “hardware” karena saat pertama kali instalasi arduino IDE tidak ada folder tersebut.

• Sambungkan kabel USB mini ke komputer untuk melakukan pemrograman dan USB mikro untuk komunikasi serial port dengan software terminal pada windows.

Buka aplikasi arduino dan set konfigurasi untuk memakai board STM32F4-Discovery pada Tools>Board:”STM32F4-DISCOVERY F407”.

Untuk langkah install secara lengkap dan contoh programming awal seperti penyalaan LED bisa dilihat di http://thebcfactor.net.

LIS3DSH 3 Axis Digital Motion Sensor Accelerometer.

Sensor accelerometer adalah sebuah tranduser yang berfungsi untuk mengukur percepatan, mendeteksi dan mengukur getaran , ataupun untuk mengukur percepatan akibat gravitasi bumi. LIS3DSH adalah sensor accelerometer digital 3 axis dari ST Electronics dengan daya yang rendah dan berukuran 3x3x1 mm LGA-16 pin. Sensor accelerometer ini bisa diakses melalui SPI atau I2C. Kita bisa memilih skala penuh antara ±2g/±4g/±6g/±8g dengan kecepatan data keluaran dari 3,125 Hz sampai 1,6 KHz. Dalam pengujian ini menggunakan komunikasi SPI pada pilihan skala ±2g saja.

SOSIALITA

Salah satu daya tarik yang membuat penulis ingin mencoba kehandalan mikrokontroler ini adalah tulisan salah satu blog (http://thebcfactor.net) yang menyatakan bahwa dengan perlakuan khusus modul ini bisa di-“compile” dengan menggunakan arduino IDE. Diharapkan dengan banyak contoh program dan library dalam arduino akan memberikan kemudahan dalam penggunaannya. Dalam blog (http://thebcfactor.net) sudah menjelaskan secara rinci tentang instalasi dan contoh program penyalaan LED dan menggunakan komunikasi serial dengan komputer melalui software serial terminal. Kali ini penulis ingin membaca sensor accelerometer yang ada di modul STM32F4-Discovery dan menampilkannya melalui serial terminal. Diharapkan mikrokontroller ini dapat digunakan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang lebih baik dari mikrokontroler 8 bit atau 16 bit. Berikut adalah langkah-langkah untuk instalasi pada komputer: Unduh driver untuk windows pada link

(http://www.st.com/en/development-tools/stsw-link009.html) dan install pada komputer.

Pada aplikasi arduino biasanya belum terdapat konfigurasi board STM32F4-Discovery. Konfigurasi board pada arduino harus di-install “Arduino SAM Boards (32 bit ARM Cortex M-3) by Arduino”. Selain itu kita harus unduh file STM32Duino (https://github.com/rogerclarkmelbourne/Arduino_STM32/archive/master.zip) dari Roger Clarks github. File

Arduino_STM32-master.zip di-unpack dan folder tersebut di-copy-kan ke folder “My Document>Arduino>hardware”. Terkadang kita harus membuat folder “hardware” karena saat pertama kali instalasi arduino IDE tidak ada folder tersebut.

Sambungkan kabel USB mini ke komputer untuk melakukan pemrograman dan USB mikro untuk komunikasi serial port dengan software terminal pada windows.

Buka aplikasi arduino dan set konfigurasi untuk memakai board STM32F4-Discovery pada Tools>Board:”STM32F4-DISCOVERY F407”.

Untuk langkah install secara lengkap dan contoh programming awal seperti penyalaan LED bisa dilihat di http://thebcfactor.net. LIS3DSH 3 Axis Digital Motion Sensor Accelerometer.

Sensor accelerometer adalah sebuah tranduser yang berfungsi untuk mengukur percepatan, mendeteksi dan mengukur getaran , ataupun untuk mengukur percepatan akibat gravitasi bumi. LIS3DSH adalah sensor accelerometer digital 3 axis dari ST Electronics dengan daya yang rendah dan berukuran 3x3x1 mm LGA-16 pin. Sensor accelerometer ini bisa diakses melalui SPI atau I2C. Kita bisa memilih skala penuh antara ±2g/±4g/±6g/±8g dengan kecepatan data keluaran dari 3,125 Hz sampai 1,6 KHz. Dalam pengujian ini menggunakan komunikasi SPI pada pilihan skala ±2g saja.

Gambar 2. Koneksi STM32F4-Discovery dengan laptop

Gambar 2. Koneksi STM32F4-Discovery dengan laptop

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Page 39: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

37

sosialitaSOSIALITA

43

Gambar 3. IC LIS3DSH pada STM32F4-Discovery Board

Dari datasheet LIS3DSH dan schematic STM32F4-

Discovery seperti terlihat pada gambar 2, dapat terlihat hubungan pengkabelan melalui SPI atau I2C. Koneksi antar keduanya dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

Register yang digunakan dalam koneksi SPI dalam pengujian ini hanya sedikit, untuk lebih lengkap diharapkan membaca datasheet dari sensor LIS3DSH. Beberapa register yang dipakai dalam pengujian ini dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Koneksi antara Mikrokontroller dengan sensor LIS3DSH

MCU Pin Nama Sinyal Jenis I/O State Fungsi PA5 SCL/SPC IN RISING EDGE I2C/SPI CLOCK PA6 SDO OUT - SPI DATA OUT PA7 SDA/SDI I/O - I2C DATA/ SPI DATA IN PE3 CS IN LOW CHIP SELECT PE0 INT1 OUT HIGH INTERUPT 1 PE1 INT2 OUT HIGH INTERUPT 2

Tabel 2. Register pada sensor LIS3DSH Nama register Alamat Default

Value Keterangan

WHO_AM_I 0Fh 3Fh Who Am I register CNTRL_REG4 20h 07h Output data rate, Block data update, axis enable CNTRL_REG5 24h 00h Anti aliasing filter, Full scale selection, Self test enable, Serial interface mode

selection. OUT_X_L 28h - X axis output register low values OUT_X_H 29h - X axis output register high values OUT_Y_L 2Ah - Y axis output register low values OUT_Y_H 2Bh - Y axis output register high values OUT_Z_L 2Ch - Z axis output register low values OUT_Z_H 2Dh - Z axis output register high values

SOSIALITA

43

Gambar 3. IC LIS3DSH pada STM32F4-Discovery Board

Dari datasheet LIS3DSH dan schematic STM32F4-

Discovery seperti terlihat pada gambar 2, dapat terlihat hubungan pengkabelan melalui SPI atau I2C. Koneksi antar keduanya dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

Register yang digunakan dalam koneksi SPI dalam pengujian ini hanya sedikit, untuk lebih lengkap diharapkan membaca datasheet dari sensor LIS3DSH. Beberapa register yang dipakai dalam pengujian ini dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Koneksi antara Mikrokontroller dengan sensor LIS3DSH

MCU Pin Nama Sinyal Jenis I/O State Fungsi PA5 SCL/SPC IN RISING EDGE I2C/SPI CLOCK PA6 SDO OUT - SPI DATA OUT PA7 SDA/SDI I/O - I2C DATA/ SPI DATA IN PE3 CS IN LOW CHIP SELECT PE0 INT1 OUT HIGH INTERUPT 1 PE1 INT2 OUT HIGH INTERUPT 2

Tabel 2. Register pada sensor LIS3DSH Nama register Alamat Default

Value Keterangan

WHO_AM_I 0Fh 3Fh Who Am I register CNTRL_REG4 20h 07h Output data rate, Block data update, axis enable CNTRL_REG5 24h 00h Anti aliasing filter, Full scale selection, Self test enable, Serial interface mode

selection. OUT_X_L 28h - X axis output register low values OUT_X_H 29h - X axis output register high values OUT_Y_L 2Ah - Y axis output register low values OUT_Y_H 2Bh - Y axis output register high values OUT_Z_L 2Ch - Z axis output register low values OUT_Z_H 2Dh - Z axis output register high values

SOSIALITA

43

Gambar 3. IC LIS3DSH pada STM32F4-Discovery Board

Dari datasheet LIS3DSH dan schematic STM32F4-

Discovery seperti terlihat pada gambar 2, dapat terlihat hubungan pengkabelan melalui SPI atau I2C. Koneksi antar keduanya dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

Register yang digunakan dalam koneksi SPI dalam pengujian ini hanya sedikit, untuk lebih lengkap diharapkan membaca datasheet dari sensor LIS3DSH. Beberapa register yang dipakai dalam pengujian ini dapat terlihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Koneksi antara Mikrokontroller dengan sensor LIS3DSH

MCU Pin Nama Sinyal Jenis I/O State Fungsi PA5 SCL/SPC IN RISING EDGE I2C/SPI CLOCK PA6 SDO OUT - SPI DATA OUT PA7 SDA/SDI I/O - I2C DATA/ SPI DATA IN PE3 CS IN LOW CHIP SELECT PE0 INT1 OUT HIGH INTERUPT 1 PE1 INT2 OUT HIGH INTERUPT 2

Tabel 2. Register pada sensor LIS3DSH Nama register Alamat Default

Value Keterangan

WHO_AM_I 0Fh 3Fh Who Am I register CNTRL_REG4 20h 07h Output data rate, Block data update, axis enable CNTRL_REG5 24h 00h Anti aliasing filter, Full scale selection, Self test enable, Serial interface mode

selection. OUT_X_L 28h - X axis output register low values OUT_X_H 29h - X axis output register high values OUT_Y_L 2Ah - Y axis output register low values OUT_Y_H 2Bh - Y axis output register high values OUT_Z_L 2Ch - Z axis output register low values OUT_Z_H 2Dh - Z axis output register high values

Dari datasheet LIS3DSH dan schematic STM32F4-Discovery seperti terlihat pada gambar 2, dapat terlihat hubungan pengkabelan melalui SPI atau I2C. Koneksi antar keduanya dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

Register yang digunakan dalam koneksi SPI dalam pengujian ini hanya sedikit, untuk lebih lengkap diharapkan membaca datasheet dari sensor LIS3DSH. Beberapa register yang dipakai dalam pengujian ini dapat terlihat pada Tabel 2.

SOSIALITA

Tabel 3 memperlihatkan sensitivitas sensor untuk masing-masing skala.

Tabel 3. Sensitivitas sensor LIS3DSH

Fuse bits setting Sensitivitas (mg/bit) Skala penuh (g) 000 0,06 ±2 001 0,12 ±4 010 0,18 ±6 011 0,24 ±8 100 0,73 ±16

Listing permrograman dengan arduino IDE ditunjukan seperti Gambar 4, 5 dan 6 berikut:

Gambar 4. Listing program “include header dan variable”

Gambar 5. Listing program “setup”

Tabel 3 memperlihatkan sensitivitas sensor untuk masing-masing skala.

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Gambar 3. IC LIS3DSH pada STM32F4-Discovery Board

Tabel 1. Koneksi antara Mikrokontroller dengan sensor LIS3DSH

Tabel 2. Register pada sensor LIS3DSH

Tabel 3. Sensitivitas sensor LIS3DSH

Page 40: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

38

sosialitaListing permrograman dengan arduino IDE ditunjukan seperti Gambar 4, 5 dan 6 berikut:

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Gambar 4. Listing program “include header dan variable”

Gambar 5. Listing program “setup”

Gambar 6. Listing Program “loop”

Page 41: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

39

sosialita

SOSIALITA

45

Gambar 6. Listing Program “loop”

Selanjutnya dilakukan pengujian dengan cara menggerakan modul STM32F4-Discovery masing masing pada sumbu X,Y dan Z sensor LIS3DSH untuk mengetahui perbedaan nilai akselerasi berdasarkan gaya grafitasi. Gaya grafitasi bumi digunakan untuk mengkalibrasi nilai keluaran dari accelerometer. Untuk itu, dalam melakukan pengujiannya, modul STM32F4-Discovery diarahkan terhadap gravitasi bumi, hingga masing-masing sumbu dari

accelerometer akan searah atau berlawanan terhadap arah gravitasi bumi. Hasil pembacaan dari pengujian ini disimpan dalam format file .txt dapat dibuat grafik yang menunjukan besar nilai akselerasi terhadap waktu, seperti ditunjukan pada Gambar 8.

Hasil pembacaan dengan menggunakan terminal pada Arduino, dapat diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Gambar serial monitor

SOSIALITA

Gambar 8. Hasil plot data dengan MATLAB

Dari hasil pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pembacaan sensor LIS3DSH pada modul STM32F4-Discovery dengan menggunakan arduino IDE relative lebih mudah dibandingkan mikrokontroler 8 bit atau 16 bit karena library

dan function pada arduino memang sudah lengkap. Mikrokontroller STM32F4 juga dirasa cukup mumpuni untuk mengolah data accelerometer.

Selanjutnya dilakukan pengujian dengan cara menggerakan modul STM32F4-Discovery masing masing pada sumbu X,Y dan Z sensor LIS3DSH untuk mengetahui perbedaan nilai akselerasi berdasarkan gaya grafitasi. Gaya grafitasi bumi digunakan untuk mengkalibrasi nilai keluaran dari accelerometer. Untuk itu, dalam melakukan pengujiannya, modul STM32F4-Discovery diarahkan terhadap gravitasi bumi, hingga masing-masing sumbu dari accelerometer akan searah atau berlawanan terhadap arah gravitasi bumi. Hasil pembacaan dari pengujian ini disimpan dalam format file .txt dapat dibuat grafik yang menunjukan besar nilai akselerasi terhadap waktu, seperti ditunjukan pada Gambar 8.

Hasil pembacaan dengan menggunakan terminal pada Arduino, dapat diperlihatkan pada Gambar 7.

Dari hasil pengujian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pembacaan sensor LIS3DSH pada modul STM32F4-Discovery dengan menggunakan arduino IDE relative lebih mudah dibandingkan mikrokontroler 8 bit atau 16 bit karena library dan function pada arduino memang sudah lengkap. Mikrokontroller STM32F4 juga dirasa cukup mumpuni untuk mengolah data accelerometer.

Vol. 13 No. 1 Juni 2018

Gambar 7. Gambar serial monitor

Gambar 8. Hasil plot data dengan MATLAB

Page 42: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

40 Vol. 13 No. 1 Juni 2018

sosialita

Brian Pratistha – Biro Perencanaan dan Keuangane-mail: [email protected]

SOSIALITA

47

ERA DISRUPSI AKIBAT ADANYA TEKNOLOGI BARU Brian Pratistha – Biro Perencanaan dan Keuangan e-mail: [email protected]

Dunia kini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan di bidang inovasi teknologi. Kemapanan satu teknologi kini diyakini sudah tidak akan lagi lama dirasakan oleh sang produsen teknologi karena proses inovasi yang tiada henti dilakukan oleh pesaing sehingga menyebabkan satu teknologi menjadi lekas usang. Sebut saja apa yang disampaikan oleh Eric Von Hippel melalui bukunya yang berjudul Democratizing Innovation, dalam redaksi pengantarnya dijelaskan bahwa inovasi dilakukan melalui cara – cara yang sangat demokratis oleh konsumen. Keluh kesah atas aplikasi yang ditawarkan serta masukan pengembangan teknologi pada “kotak saran” yang dilakukan konsumen menjadikan produsen teknologi harus kian cepat tanggap. Saya kemudian tak ragu menjelaskan apa yang ada dalam buku tersebut bahwa kini konsumen berkembang memainkan peran untuk menjadi “produsen antara”. Produsen antara ini dimaksudkan bahwa konsumen sebagai pengguna akhir selalu menuntut perbaikan aplikasi dari teknologi yang dihasilkan produsen. Mekanisme kritik, pemberian saran, dan tuntutan penyelenggaraan green economy pada setiap proses bisnis suatu entitas (dalam hal ini, perusahaan teknologi) kemudian menjadikan input strategis bagi produsen untuk berbenah melalui rancang bangun purwarupa teknologi baru yang lebih inovatif dan customized merujuk pada tuntutan konsumen. Produsen yang cepat merespons tuntutan tersebut akan menjadi pemimpin gelombang disrupsi bagi produsen teknologi lain yang telah mapan terlebih dahulu, namun gagap terhadap perubahan.

Di era yang kini disebut era disrupsi menyebabkan cara–cara bisnis lama menjadi model yang usang. Pada satu artikelnya, Prof. Rhenald Kasali bahkan menyebut disrupsi itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Tak jarang memang, kemapanan teknologi dan posisi entitas sebagai leading entity menjadi alasan sulitnya menghadapi peradaban yang lebih baru. Keterjebakan pada kesuksesan di masa lalu menjadi lubang yang menjebak entitas untuk membaca fenomena di sekitarnya. Kesuksesan masa lalu di satu produk luaran teknologi juga bisa menjadi zona nyaman yang sulit ditinggalkan oleh entitas yang sudah mapan. Dalam bukunya yang berjudul “Elon Musk: Pria dibalik Paypal, Tesla, Space X, dan masa depan yang fantastis”, Ashlee Vance bahkan secara gamblang menjelaskan bahwa era disrupsi mampu menggilas produsen veteran yang tertangkap basah tidak tanggap.

Gambar 1. (Sumber : https:// z.qcom/ 1209330/ spacexs-falcon-heavy-

rocket-is-the-envy-of-china-and-europe-why-isnt-nasa-on-board/)

Lantas apa dampaknya bagi produsen teknologi di era

disrupsi ini? Saatnya produsen kini mengucapkan sayonara kepada kemapanan, skala ekonomis, dan profitabilitas jangka panjang. Kemapanan sudah tidak mungkin dicapai oleh produsen yang tidak inovatif karena berbagai alasan yang saya sampaikan pada tiga kalimat pembuka artikel ini. Selanjutnya, skala ekonomis pun menjadi sulit diraih oleh produsen teknologi saat ini. Rumusan efisiensi dan ekonomis yang bisa dirancang melalui kegiatan pabrikasi masal mendadak menjadi hal yang tabu dalam hal rancang bangun teknologi baru untuk memuaskan tuntutan konsumen yang selalu ada. Kegiatan pabrikasi sulit dilakukan secara terus menerus mengingat tuntutan perkembangan aplikasi teknologi dari konsumen, sehingga pada penerapannya satu lini produksi dari kegiatan pabrikasi menjadi temporer. Dapat diartikan pula bahwa satu lini produksi teknologi hanya adaptif sementara pada saat itu saja, tidak untuk hari esok bahkan lusa. Pola baru kemudian muncul, produsen teknologi mendadak menjadi mesin diesel yang dituntut cepat berlari dari satu lini produksi ke lini produksi lainnya untuk terus berproduksi dan menjaga eksistensinya di pasaran. Saya jadi teringat kutipan bermakna dalam film Iron Man yang sempat berada pada box office film Amerika, dalam satu kutipannya pemeran utamanya menyebutkan bahwa terkadang kita harus berlari walau belum lama mampu berdiri.

Risikopun bermunculan dimana produsen teknologi juga kini luput memperhatikan kesempurnaan yang selama ini menjadi khas budaya Jepang. Korea, menjadi negeri yang adaptif dengan Samsungnya tidak memperhatikan “kesempurnaan” itu, mereka menunjukkannya dengan rajin merilis produk baru bertemakan Samsung Galaxy maupun Galaxy Note hingga seri terkini dan terkesan canggih itu.

Dunia kini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan di bidang inovasi teknologi. Kemapanan satu teknologi kini

diyakini sudah tidak akan lagi lama dirasakan oleh sang produsen teknologi karena proses inovasi yang tiada henti dilakukan oleh pesaing sehingga menyebabkan satu teknologi menjadi lekas usang. Sebut saja apa yang disampaikan oleh Eric Von Hippel melalui bukunya yang berjudul Democratizing Innovation, dalam redaksi pengantarnya dijelaskan bahwa inovasi dilakukan melalui cara – cara yang sangat demokratis oleh konsumen. Keluh kesah atas aplikasi yang ditawarkan serta masukan pengembangan teknologi pada “kotak saran” yang dilakukan konsumen menjadikan produsen teknologi harus kian cepat tanggap. Saya kemudian tak ragu menjelaskan apa yang ada dalam buku tersebut bahwa kini konsumen berkembang memainkan peran untuk menjadi “produsen antara”. Produsen antara ini dimaksudkan bahwa konsumen sebagai pengguna akhir selalu menuntut perbaikan aplikasi dari teknologi yang dihasilkan produsen. Mekanisme kritik, pemberian saran, dan tuntutan penyelenggaraan green economy pada setiap proses bisnis suatu entitas (dalam hal ini, perusahaan teknologi) kemudian menjadikan input strategis bagi produsen untuk berbenah melalui rancang bangun purwarupa teknologi baru yang lebih inovatif dan customized merujuk pada tuntutan konsumen. Produsen yang cepat merespons tuntutan tersebut akan menjadi pemimpin gelombang disrupsi bagi produsen teknologi lain yang telah mapan terlebih dahulu, namun gagap terhadap perubahan.

Di era yang kini disebut era disrupsi menyebabkan cara–cara bisnis lama menjadi model yang usang. Pada satu artikelnya, Prof. Rhenald Kasali bahkan menyebut disrupsi itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena “hari esok”

(the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Tak jarang memang, kemapanan teknologi dan posisi entitas sebagai leading entity menjadi alasan sulitnya menghadapi peradaban yang lebih baru. Keterjebakan pada kesuksesan di masa lalu menjadi lubang yang menjebak entitas untuk membaca fenomena di sekitarnya. Kesuksesan masa lalu di satu produk luaran teknologi juga bisa menjadi zona nyaman yang sulit ditinggalkan oleh entitas yang sudah mapan. Dalam bukunya yang berjudul “Elon Musk: Pria dibalik Paypal, Tesla, Space X, dan masa depan yang fantastis”, Ashlee Vance bahkan secara gamblang menjelaskan bahwa era disrupsi mampu menggilas produsen veteran yang tertangkap basah tidak tanggap.

Lantas apa dampaknya bagi produsen teknologi di era disrupsi ini? Saatnya produsen kini mengucapkan sayonara kepada kemapanan, skala ekonomis, dan profitabilitas jangka panjang. Kemapanan sudah tidak mungkin dicapai oleh produsen yang tidak inovatif karena berbagai alasan yang saya sampaikan pada tiga kalimat pembuka artikel ini. Selanjutnya, skala ekonomis pun menjadi sulit diraih oleh produsen teknologi saat ini. Rumusan efisiensi dan ekonomis yang bisa dirancang melalui kegiatan pabrikasi masal mendadak menjadi hal yang tabu dalam hal rancang bangun teknologi baru untuk memuaskan tuntutan konsumen yang selalu ada. Kegiatan pabrikasi sulit dilakukan secara terus menerus mengingat tuntutan perkembangan aplikasi teknologi dari konsumen, sehingga pada penerapannya satu lini produksi dari kegiatan pabrikasi menjadi temporer. Dapat diartikan pula bahwa satu lini produksi teknologi hanya adaptif sementara pada saat itu saja, tidak untuk hari esok

Era Disrupsi

Gambar 1. (Sumber : https:// z.qcom/ 1209330/ spacexs-falcon-heavy-rocket-is-the-envy-of-china-and-europe-why-isnt-nasa-on-board/)

Page 43: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

Vol. 13 No. 1 Juni 2018 41

sosialita

bahkan lusa. Pola baru kemudian muncul, produsen teknologi mendadak menjadi mesin diesel yang dituntut cepat berlari dari satu lini produksi ke lini produksi lainnya untuk terus berproduksi dan menjaga eksistensinya di pasaran. Saya jadi teringat kutipan bermakna dalam film Iron Man yang sempat berada pada box office film Amerika, dalam satu kutipannya pemeran utamanya menyebutkan bahwa terkadang kita harus berlari walau belum lama mampu berdiri.

Risikopun bermunculan dimana produsen teknologi juga kini luput memperhatikan kesempurnaan yang selama ini menjadi khas budaya Jepang. Korea, menjadi negeri yang adaptif dengan Samsungnya tidak memperhatikan “kesempurnaan” itu, mereka menunjukkannya dengan rajin merilis produk baru bertemakan Samsung Galaxy maupun Galaxy Note hingga seri terkini dan terkesan canggih itu.

Artinya, mereka lebih cepat menjawab “kotak saran” pelanggan. Samsung melakukannya tanpa menunggu proses rancang bangun produk yang sempurna, mereka terus memacu produksi berbagai pengembangan aplikasi dan memahami apa keinginan konsumen melalui transformasi ponsel pintar yang inovatif. Tak jarang, Samsung bahkan mampu menunjukkan ceruk pasar baru melalui teknologi layar sentuh yang sebenarnya sudah terlebih dahulu ada di meja para pimpinan tertinggi Nokia. Samsung yang cekatan membaca keinginan pasar menyulap dirinya menjadi raja ponsel pintar di era kekinian. Kekalahan telak produsen teknologi yang tidak inovatif selalu menjadi headline di berbagai surat kabar dan bahkan beredar menjadi studi kasus di berbagai bahan ajar kelas manajemen bisnis di seluruh kampus terkemuka di dunia.

Tuntutan yang semakin berkembang dari konsumen kini juga berasal dari keinginan mereka untuk hidup dalam lingkungan yang bersih. Isu green economy kini juga menjadi isu yang sangat sensitif, dalam hal ini konsumen metransformasi dirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem dunia yang “green”. Hal ini kemudian juga merujuk pada apa yang disampaikan oleh John Elkington (1994) yang mengenalkan tema triple bottom line yang terdiri atas tiga bagian utama yakni people, planet, dan profit. Isu green economy merupakan unsur utama dalam unsur planet, dimana proses bisnis harus mengedepankan lingkungan yang berkelanjutan. Hal tersebut

harus dilakukan sebagai syarat upaya entitas mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Di akhir tulisan ini, entitas yang sudah lama mapan berdiri diharapkan bisa keluar dari jebakan era disrupsi. Pelaksanaan inovasi tanpa henti terhadap aplikasi teknologi harus terus dilakukan. Kunci dari pelaksanaan inovasi tersebut adalah penguasaan teknologi. Sehingga, investasi dalam skala besar dan masif seyogyanya bukan lagi menjadi sekedar tumpukan dokumen kebijakan perencanaan, namun sudah masuk ke dalam tindakan pelaksanaan kegiatan. Perusahaan teknologi juga harus berani berinvestasi dan menggandeng lembaga litbang pemerintah. Mereka harus merutinkan pelaksanaan business forum dengan lembaga litbang untuk “mengakuisisi” teknologi yang sudah dikembangkan dan mengkonversikannya dalam bentuk aplikasi yang memiliki nilai ekonomi.

Pada akhir tulisan, kemudian terdapat dua rekomendasi. Pertama, kita harus meyakini bahwa entitas baru datang dalam gelombang besar adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, sehingga langkah kita adalah mengikuti aliran gelombang tersebut. Kuncinya adalah kolaborasi sebagai bentuk perdamaian dengan keadaan agar tetap eksis, bahkan kompetitif. Kedua adalah membangun kemampuan internal berupa peningkatan kualitas SDM dengan menekankan semangat pemahaman lintas disiplin ilmu. Saat ini telah berkembang paham technopreneur dimana salah satu indikator kesuksesannya adalah sinergitas pemahaman lintas disiplin keilmuan yakni eksakta dan sosial humaniora. Jalan keluarnya adalah membangun perusahaan teknologi yang mampu memaksimalkan SDM nya menjadi SDM yang multi disiplin (kombinasi ilmu eksakta dan sosial humaniora). Mereka yang membangun pemahaman lintas disiplin ilmu akan menikmati arus berkinerja yang lebih adaptif dengan keadaan dan lebih imun terhadap era disrupsi. Sebut saja, Elon Musk, pria ini mampu menamatkan pendidikan eksaktanya pada sarjana sains fisika dari Universitas Pennsylvania dan mengombinasikannya dengan raihan gelar dari sarjana ilmu ekonomi dari Wharton School of Business. Elon Musk menjadi bukti kolaborasi sempurna dari seseorang yang memiliki kualifikasi lintas disiplin ilmu dan kini menjadi seorang technopreneur. Tak menutup kemungkinan bahwa entitas yang menjalankan dua rekomendasi tersebut bisa menjadi entitas yang akan mengeluarkan gelombang disrupsi terhadap entitas di sektor lain.

SOSIALITA

Artinya, mereka lebih cepat menjawab “kotak saran” pelanggan. Samsung melakukannya tanpa menunggu proses rancang bangun produk yang sempurna, mereka terus memacu produksi berbagai pengembangan aplikasi dan memahami apa keinginan konsumen melalui transformasi ponsel pintar yang inovatif. Tak jarang, Samsung bahkan mampu menunjukkan ceruk pasar baru melalui teknologi layar sentuh yang sebenarnya sudah terlebih dahulu ada di meja para pimpinan tertinggi Nokia. Samsung yang cekatan membaca keinginan pasar menyulap dirinya menjadi raja ponsel pintar di era kekinian. Kekalahan telak produsen teknologi yang tidak inovatif selalu menjadi headline di berbagai surat kabar dan bahkan beredar menjadi studi kasus di berbagai bahan ajar kelas manajemen bisnis di seluruh kampus terkemuka di dunia.

Tuntutan yang semakin berkembang dari konsumen kini juga berasal dari keinginan mereka untuk hidup dalam lingkungan yang bersih. Isu green economy kini juga menjadi isu yang sangat sensitif, dalam hal ini konsumen metransformasi dirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem dunia yang “green”. Hal ini kemudian juga merujuk pada apa yang disampaikan oleh John Elkington (1994) yang mengenalkan tema triple bottom line yang terdiri atas tiga bagian utama yakni people, planet, dan profit. Isu green economy merupakan unsur utama dalam unsur planet, dimana proses bisnis harus mengedepankan lingkungan yang berkelanjutan. Hal tersebut harus dilakukan sebagai syarat upaya entitas mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Di akhir tulisan ini, entitas yang sudah lama mapan berdiri diharapkan bisa keluar dari jebakan era disrupsi. Pelaksanaan inovasi tanpa henti terhadap aplikasi teknologi harus terus dilakukan. Kunci dari pelaksanaan inovasi tersebut adalah penguasaan teknologi. Sehingga, investasi dalam skala besar dan masif seyogyanya bukan lagi menjadi sekedar tumpukan dokumen kebijakan perencanaan, namun sudah masuk ke dalam tindakan pelaksanaan kegiatan. Perusahaan teknologi juga harus berani berinvestasi dan menggandeng lembaga litbang pemerintah. Mereka harus merutinkan pelaksanaan business forum dengan lembaga litbang untuk “mengakuisisi” teknologi yang sudah dikembangkan dan mengkonversikannya dalam bentuk aplikasi yang memiliki nilai ekonomi.

Pada akhir tulisan, kemudian terdapat dua rekomendasi. Pertama, kita harus meyakini bahwa entitas baru datang dalam gelombang besar adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari, sehingga langkah kita adalah mengikuti aliran gelombang tersebut. Kuncinya adalah kolaborasi sebagai bentuk perdamaian dengan keadaan agar tetap eksis, bahkan kompetitif. Kedua adalah membangun kemampuan internal berupa peningkatan kualitas SDM dengan menekankan semangat pemahaman lintas disiplin ilmu. Saat ini telah berkembang paham technopreneur dimana salah satu indikator kesuksesannya adalah sinergitas pemahaman lintas disiplin keilmuan yakni eksakta dan sosial humaniora. Jalan keluarnya adalah membangun perusahaan teknologi yang mampu memaksimalkan SDM nya menjadi SDM yang multi disiplin (kombinasi ilmu eksakta dan sosial humaniora). Mereka yang membangun pemahaman lintas disiplin ilmu akan menikmati arus berkinerja yang lebih adaptif dengan keadaan dan lebih imun terhadap era disrupsi. Sebut saja, Elon Musk, pria ini mampu menamatkan pendidikan eksaktanya pada sarjana sains fisika dari Universitas Pennsylvania dan mengombinasikannya dengan raihan gelar dari sarjana ilmu ekonomi dari Wharton School of Business. Elon Musk menjadi bukti kolaborasi sempurna dari seseorang yang memiliki kualifikasi lintas disiplin ilmu dan kini menjadi seorang technopreneur. Tak menutup kemungkinan bahwa entitas yang menjalankan dua rekomendasi tersebut bisa menjadi entitas yang akan mengeluarkan gelombang disrupsi terhadap entitas di sektor lain.

Gambar 2. (Sumber https:// www. theodysseyonline.com/elonmusk)

Gambar 2. (Sumber https:// www. theodysseyonline.com/elonmusk)

Page 44: Aplikasi Sel Surya pada UAV dan Inventarisasi Padang Lamun

42 Vol. 12 No. 1 Juni 2017

sosialita