aplikasi kaidah fikih idz ḎÂqa al amr ittasa‘a...

87
APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Hikmiyyah NIM: 1111043200020 K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) JAKARTA 1437 H/2015 M

Upload: vuxuyen

Post on 06-Feb-2018

239 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM

SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Hikmiyyah

NIM: 1111043200020

K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

JAKARTA

1437 H/2015 M

Page 2: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI
Page 3: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI
Page 4: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI
Page 5: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

v

ABSTRAK

Hikmiyyah. NIM 1111043200020. APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ

ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL

KELUARGA ISLAM INDONESIA. Program Studi Perbandingan Mazhab,

Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. xvii + 70 halaman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa esensi dari kaidah fikih “ إذا ضاق

adalah menghilangkan kesulitan pada diri mukallaf ketika dalam ”األمر اتسع

keadaan masyaqqah (kesempitan hukum). KHI sebagai satu-satunya sumber

hukum materiil keluarga Indonesia yang murni berasal dari hukum Islam telah

mengaplikasikan konsep kaidah fikih ini dalam pasal-pasalnya. Pasal-pasal

tersebut pada hakikatnya menghendaki kemaslahatan umat Muslim Indonesia.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis

data kualitatif. Pendekatan yang digunakan pendekatan yuridis hukum Islam.

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis. Sumber data yang digunakan adalah

sumber bahan primer, sekunder dan tersier dengan menggunakan metode

pengumpulan data penelitian kepustakaan.

Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI.

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA

Daftar Pustaka : Tahun 1968 s.d. Tahun 2013

Page 6: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

vi

بسم ميحرلا نمحرلا هللا

KATA PENGANTAR

Pujian yang setinggi-tingginya dan rasa syukur yang tidak terhitung

penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang menjadi tempat mengadu suka

cita dan keluh-kesah bagi setiap hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya.

Tiada balasan lain yang dapat penulis berikan kehadirat Allah SWT selain rasa

syukur tiada henti, yang telah memberikan kesempatan dan membuka jalan bagi

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan seluruh

umat Muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW, pembawa berita kebenaran agama

Islam dan penyebar rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta. Bagaimanapun

penulis merasa berat untuk menyelesaikan skrispsi ini, hal tersebut tentu tidak

setara dengan pengorbanan Beliau dalam menyebarkan agama Islam dan

kesabaran Beliau dalam menghadapi musuh-musuh yang selalu memandang

dengan sebelah mata dan rasa benci.

Selama dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan banyak

bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun

materiil. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

vii

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakutas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si beserta Ibu Hj. Siti Hanna, Lc,

M.Ag selaku Ketua dan Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab Fakutas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan dengan

penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis

selama masa perkuliahan.

6. Seluruh staf dan civitas akademika Fakutas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan

administrasi dengan baik.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah melayani dan memberikan fasilitas

dengan baik.

8. Kedua orang tua yang sangat penulis sayangi dan hormati, Buya H.

Mochammad Kamil Muslich dan Umik Hj. Siti Maidah Nafi’, terimakasih

atas dukungan moriil, materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan dan doa-doa

kalian yang tidak pernah putus untuk adinda. Tiada hal yang lebih berarti di

kehidupan adinda selain kebahagiaan kalian. Semoga Allah SWT

Page 8: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

viii

memberikan kesempatan kepada adinda agar bisa membalas semua hal yang

telah kalian berikan tanpa pamrih.

9. Adik-adik tercinta, Maziyah Kamil dan Muhammad Faruq Kamil yang telah

memberikan dukungan semangat sekaligus menjadi motivator agar penulis bisa

menjadi contoh yang baik bagi mereka.

10. Seluruh anggota keluarga yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih

karena selalu berdoa untuk kebaikan penulis.

11. Al-Syaikh al-Mukarram, Prof. Dr. H. Ali Mustofa Yaqub, MA beserta Ibu Nyai Hj.

Ulfah Uswatun Hasanah sebagai orang tua kedua penulis di Darus Sunnah. Semoga

Allah SWT senantiasa memberikan umur panjang dan menjaga kesehatan mereka

agar penulis dapat menimba ilmu lebih banyak lagi dari mereka.

12. Seluruh dosen Darus Sunnah International Insitute of Hadith Sciences, terutama Ust.

Dr. H. Sofin Sugito, Lc, MA yang telah memberikan judul bagi skripsi ini, serta Ust.

Andi Rahman, Lc, MA yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini terlebih dahulu daripada tugas akhir Darus Sunnah.

13. Teman-teman terdekatku “The Four Success Women”, Lia Herawati, Ratu Solihat

dan Titi Nur Indah Sari. Terimakasih atas kasih sayang, kepedulian, semangat dan

segalanya yang telah mereka berikan kepada penulis di masa-masa persahabatan

yang telah lalu. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir meskipun

terpaut jarak dan waktu di antara kita.

14. Teman-teman seperjuangan di kelas PH 2011 yang telah banyak membagi ilmu dan

pengalaman selama masa perkuliahan.

15. Sahabat-sahabat AL-AQSHA dan teman-teman seperjuangan di Darus Sunnah

International Insitute of Hadith Sciences yang telah memberikan dukungan semangat

dan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Page 9: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

ix

Penulis berharap semoga skrispi ini bisa memberikan manfaat bagi penulis

pribadi dan khalayak umum. Penulis juga mengharapkan berbagai masukan, baik

berupa kritik atau saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan

skripsi ini. Penulis juga mohon maaf apabila skripsi ini penuh dengan kekurangan

dan jauh dari kata sempurna karena kemampuan yang dimilki oleh penulis

sangatlah terbatas.

Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang

telah membantu penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT membalas segala bantuan yang telah mereka berikan dengan balasan

yang lebih dan berlipat ganda. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah SWT dan

kesalahan datang dari penulis pribadi. Wa Allâh Ta’âlâ A‘lam fî Kull Ḫâl.

Page 10: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

x

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Permasalahan ......................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8

D. Kajian (Review) Terdahulu .................................................... 9

E. Metodologi Penelitian ........................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15

BAB II TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “إذا ضاق األمر اتسع”

A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum ................................ 16

B. Definisi Kaidah Fikih “16 ............................... ”إذا ضاق األمر اتسع

C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah “ األمر اتسعإذا ضاق ” ........... 18

D. Sebab-Sebab yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah

“ ا ضاق األمر اتسعذإ ” .................................................................. 19

E. Aplikasi Kaidah “إذا ضاق األمر اتسع” dalam Kehidupan

Sehari-Hari ............................................................................ 25

F. Korelasi antara Kaidah Fikih “إذا ضاق األمر اتسع”

dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah ...............................................29

Page 11: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xi

BAB III POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM

INDONESIA

A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia ......36

B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum

Keluarga Indonesia ..............................................................37

1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan ..................37

2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan .....................41

C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga

Islam Indonesia .......................................................................43

1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI ..................44

2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI ..........................49

3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia ......................50

BAB IV ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “إذا ضاق األمر اتسع”

DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA

ISLAM DI INDONESIA

A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan ....................53

B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian ......................59

C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian .....................62

D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat ..64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................66

B. Saran .......................................................................................67

Page 12: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xii

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................68

Page 13: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah alih aksara dari tulisan Arab ke tulisan Latin. Adapun

pedoman transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

berdasarkan pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang disusun pada tahun

2012, dengan rincian sebagai berikut:

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te خ

ts te dan es ث

j je ج

ḫ ha dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet س

s es س

sy es dan ye ش

ṣ es dengan garis bawah ص

Page 14: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xiv

ḏ de dengan garis bawah ض

ṯ te dengan garis bawah ط

ẕ zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrop ‟ ء

y ye ي

b. Vokal

Vokal terbagi menjadi dua, yaitu vokal tunggal atau monoftong dan vokal

rangkap atau diftong. Ketentuan alih akasara vokal monoftong adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fatḫah

Page 15: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xv

i kasrah

u ḏammah

Misalnya: ج ز ḫaraj = ح

qiyâs = ق ي اس

kutub = ك ت ة

Adapun untuk vokal diftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي Ai a dan i

و Au a dan u

Misalnya: ية raib = ر

ىف khauf = خ

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd) dalam Bahasa Arab

dilambangakan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ى ا

î i dengan topi di atas ى ي

û u dengan topi di atas ى ى

Misalnya: اما م إل = al-imâm

ي al-qâḏî = الق اض

Page 16: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xvi

al-qânûn = الق ان ىن

d. Kata Sandang

Kata sandang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (ال),

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau

qamariyyah. Misalnya:

al-ijtihâd = اإلجتهاد

al-rukhṣah, bukan ar-rukhṣah = الزخصح

e. Syaddah

Syaddah dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf

yang diberi tanda Syaddah tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika

huruf yang menerima tanda Syaddah terletak setelah kata sandang yang

diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

al-syuf‘ah, bukan asy-syuf‘ah = الشفعح

f. Ta’ Marbûṯah

Jika Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)

atau diikuti oleh sifat atau na‘t (lihat contoh 2), maka huruf Ta’ Marbûṯah

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf Ta’ Marbûṯah

diikuti kata benda atau ism, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi

huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syarî„ah شزيعح 1

al-syarî„ah al-islâmiyyah الشزيعح اإلسالميح 2

muqâranat al-madzâhib مقارنح المذاهة 3

Page 17: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

xvii

g. Huruf kapital

Walaupun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, transliterasi tetap

menggunakan huruf kapital. Penggunaannya pun diseuaikan dengan

ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu

diperhatikan, apabila nama orang didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama orang tersebut.

Misalnya: الثخاري = al-Bukhârî, tidak ditulis Al-Bukhârî.

Adapun untuk penulisan nama orang yang berasal dari Nusantara, maka

disarankan untuk tidak ditransliterasi meskipun akar katanya berasal dari

Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-

Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (ḫarf) harus

ditulis secara terpisah. Misalnya:

Kata Arab Transliterasi

al-ḏarûrah tubîḫu al-maḫẕûrât الضزورج تثيح المحظىراخ

al-iqtiṣâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي

uṣul al-fiqh أصىل الفقه

al-aṣl fî al-asyyâ‟ al-ibâḫah األصل في األشياء اإلتاحح

al-maṣlaḫah al-mursalah المصلحح المزسلح

Page 18: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menurunkan syariat Islam untuk mengatur kehidupan manusia,

baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Konsep hukum seperti

inilah yang membedakan hukum Islam dengan konsep hukum lain yang hanya

mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat (odening van het

sociale leven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, hukum merupakan hasil

proses kehidupan manusia dalam bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan

oleh seorang sosiolog Barat, Cicero, ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat,

di sana ada hukum). Dalam tata aturan hukum Islam, aturan yang mengatur

kehidupan pribadi manusia tidak disebut hukum, melainkan disebut norma, moral,

budi pekerti atau asusila.1

Pada dasarnya, hukum Islam hanya melarang perbuatan yang dapat merusak

kehidupan manusia, misalnya pembunuhan, perzinaan, pencurian dan lain-lain.

Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara

menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan agar tercapai kebahagiaan rohani

maupun jasmani. Secara umum, tujuan Allah SWT sebagai syâri‘ dalam

menciptakan hukum adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta

kebahagiaan seluruh manusia di dunia dan di akhirat.

1 Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 65

Page 19: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

2

Hukum Islam merupakan perantara atau sarana untuk penegakan dan metode

untuk realisasi Maqâṣid al-Syarî‘ah.2 Apabila kita memahami hukum Islam

(syariah) dengan benar, maka kita akan sampai pada tujuan dari syariah tersebut.

Dan untuk memahami hukum Islam secara benar, maka kita harus memahami

perangkat-perangkat syariah, seperti ilmu fikih, ilmu usul fikih bahkan Qawâ‘id

Fiqhiyyah.

Pada masa Dinasti „Abbâsiyyah, istilah-istilah fikih yang menjadi ciri dari

kekayaan bahasa fikih banyak bermunculan. Istilah ini diciptakan dengan berbagai

bentuk sesuai dengan mazhab orang yang mencetuskannya. Teori-teori fikih pada

masa ini berkembang sangat pesat sehingga fikih mampu membahas persoalan-

persoalan yang belum terjadi. Pada saat ini pula, banyak Qawâ‘id Fiqhiyyah dan

ḏawâbiṯ (batasan fikih)3 bermunculan.

4

Qawâ‘id Fiqhiyyah adalah metodologi pelengkap yang berfungsi untuk

mempermudah dalam pemahaman dan pendalaman hukum Islam. Qawâ‘id

Fiqhiyyah adalah hukum umum (kullî)5 yang mencakup sebagian besar hukum

2 Abd al-„Azîz „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, (Kairo: Dâr al-Ḫadîts, 2005), h.

25 3 Ḏawâbiṯ (ضوابط) adalah bentuk jamak dari ضابط yang menurut bahasa berarti

„batasan‟, sedangkan menurut istilah fikih berarti sesuatu yang merangkum beberapa

permasalahan fikih yang hampir serupa dalam satu tema bab fikih dari beberapa bab

fikih, misalnya segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi, baik jumlahnya banyak atau

sedikit, yang pertumbuhannya dibantu oleh air hujan atau mata air, maka kadar zakatnya

adalah 1/10. (Lihat „Azzãm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 28) 4 Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II, (Tangerang Selatan:

Adelina Bersaudara, 2008), h. 31 5 Hukum kullî adalah ketentuan yang bersifat garis besar yang berfungsi sebagai

metodologi dalam memahami hukum yang lebih rinci.

Page 20: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

3

khusus (juz’î)6, yang mana dengan mengetahui hukum umum ini, akan diketahui

pula hukum-hukum khususnya. Qawâ‘id Fiqhiyyah merupakan generalisasi dari

hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan sebelumnya dan dirumuskan melalui

metode induktif. Oleh karena itu, Qawâ‘id Fiqhiyyah menjadi sangat berfariasi

sesuai dengan hukum-hukum fikih yang telah dirumuskan oleh para fuqahâ’.7

Keberadaan fikih, usul fikih dan Qawâ‘id Fiqhiyyah memiliki hubungan yang

sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan

senjata utama yang harus digunakan untuk memahami syariat Islam agar dapat

dijadikan pedoman oleh manusia sebagai pelaku syariah dalam melakukan

hubungan dengan Tuhannya sebagai syâri‘ (pembuat hukum), sesama manusia

lainnya maupun lingkungan sekitar.8 Dengan batuan Qawâ‘id Fiqhiyyah, semua

permasalahan hukum baru yang tumbuh di tengah masyarakat menjadi semakin

tampak jelas dapat ditampung oleh syariah Islam dan dengan mudah serta cepat

dapat dipecahkan permasalahannya.9

Pada hakikatnya, Qawâ‘id Fiqhiyyah yang telah dirumuskan oleh para ulama

berjumlah sangat banyak sekali dan berbeda-beda tergantung pada mazhab orang

yang mencetuskannya. Akan tetapi, ada lima Qawâ‘id Fiqhiyyah atau panca

kaidah pokok yang menjadi dasar dari Qawâ‘id Fiqhiyyah yang lain dan telah

6 Hukum juz’î adalah hukum yang bersifat rinci atau khusus dan berdasarkan pada

ketentuan hukum kullî. 7 Abudin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, cet II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 38

8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2003), h. 4 9 Imam Musbikin, Qawa‘id al-Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.

13

Page 21: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

4

disepakati oleh para ulama dari berbagai aliran dan mazhab serta, yaitu sebagai

berikut:

األمور بمقاصدها .1

Segala urusan tergantung pada niat

انضرر يزال .2

Kesulitan harus dihilangkan

انعادة محكمة .3

Adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum

انيقين ال يزال بانشك .4

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan

انمشقة تجهب انتيسير .5

Kesulitan menghendaki kemudahan10

Kehidupan masyarakat semakin berkembang dari zaman ke zaman karena

dipengaruhi oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Keadaan yang dihadapi oleh

masyarakat pada masa sekarang ini, sangat berbeda kontras dengan keadaan yang

dihadapi oleh masyarakat „Abbâsiyyah, Umayyah, apalagi masa sebelum kedua

dinasti ini sampai pada masa Rasulullah SAW. Meskipun Rasulullah SAW telah

memerintahkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada dua sumber utama

hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah, bukan berarti permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat langsung dapat ditemukan dan disampaikan secara

eksplisit dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, agar masyarakat tidak

10

Kelima kaidah pokok tersebut adalah kaidah-kaidah yang dikumpulkan oleh Abû

Ṯâhir al-Dabbâs, seorang ulama fikih yang hidup pada abad IV H. Lihat Sudirman Abbas, Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, h. 14

Page 22: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

5

salah melangkah dan senantiasa taat pada Allah SWT dan Rasul-Nya, masyarakat

dituntut untuk berijtihad menggali hukum untuk mengatasi permasalahan yang

sedang dihadapi. Apabila ternyata tidak semua masyarakat memiliki kemampuan

untuk berijtihad, maka mereka harus berusaha untuk bertanya dan meminta

petunjuk pada orang yang ahli agar mereka tidak tersesat pada jalan yang salah.

Pada era yang semakin modern inilah, peran Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai alat

bantu ijtihad masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan-

permaslahan baru yang tidak diatur oleh naṣ secara eksplisit. Usaha untuk

menggali hukum yang benar adalah tidak lain untuk mewujudkan Maqâṣid al-

Syarî‘ah yang menjadi tujuan utama dari pensyariatan hukum Islam oleh Allah

SWT dan Rasul-Nya. Keberadaan Qawâ‘id Fiqhiyyah sebagai salah satu

perangkat ijtihad sangat berperan dalam proses penetapan hukum, baik bagi

individu perorangan maupun pihak-pihak yang memiliki wewenang, seperti muftî,

hakim, bahkan Pemerintah.

Salah satu kaidah turunan dari Qawâ‘id Fiqhiyyah lima yang telah disebutkan

sebelumnya adalah kaidah “ ضاق األمر اتسع إذا ” (apabila suatu kondisi yang dihadapi

menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi lebih leluasa). Kaidah ini

merupakan salah satu kaidah turunan dari kaidah pokok “انمشقة تجهب انتيسير”.11

Sesuai dengan kaidah pokoknya, kaidah ini dapat dipakai ketika seseorang sedang

berada dalam keadaan masyaqqah (kesulitan) atau kepepet. Keadaan masyaqqah

pasti pernah dialami oleh setiap orang. Namun demikian, yang menjadi

permaslahan di sini adalah bahwasanya orang-orang awam belum benar-benar

11 „Azzâm, Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, h. 121

Page 23: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

6

memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan keadaan masyaqqah dalam

kaidah hukum Islam. Mereka cenderung menganggap bahwa setiap keadaan sulit

yang menyebabkan aturan syariat tidak dapat dilaksanakan adalah masyaqqah,

misalnya menjamak salat karena macet. Jika fenomena seperti ini dibiarkan saja,

maka akan terjadi pergeseran makna masyaqqah dan menyebabkan hukum Islam

terlalu diremehkan oleh orang-orang awam yang tidak benar-benar memahamai

kaidah “إذا ضاق األمر اتسع” ini.

Salah satu contoh yang diungkapkan oleh para ulama untuk kaidah ini adalah

apabila ada seorang wanita dalam keadaan berpergian jauh tanpa wali maka ketika

ia hendak menikah, posisi walinya boleh digantikan oleh laki-laki lain,12

misalnya

wali hakim. Ketentuan fikih ini juga telah diadopsi oleh salah satu peraturan

perundang-perundangan di Indonesia, yaitu sebagaimana yang dapat kita temukan

dalam Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berbunyi:

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak

ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat

tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

Contoh tersebut telah benar-benar terjadi di kehidupan kita. Akan tetapi,

selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak lagi situasi-situasi atau kejadian-

kejadian yang menempatkan manusia pada keadaan sulit, sehingga tidak bisa

menjalankan aturan syariat dengan sempurna atau dengan benar sesuai dengan

aturan yang telah ditetapkan. Kesulitan yang menyebabkan aturan syariat tidak

12

Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-

Syâfi‘î, (Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts, 2009), h. 115

Page 24: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

7

terlaksana maka secara tidak langsung hal ini menyebabkan Maqâṣid al-Syarî‘ah

tidak dapat tercapai.

Dari permasalahan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan

judul “APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL-AMR ITTASA‘A DALAM

SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

maka penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang terkait dengan aplikasi

kaidah fikih dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, yaitu

sebagai berikut:

1. Apa pengertian kaidah fikih secara umum?

2. Apa yang dimaksud dengan kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع”?

3. Apa saja sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah “ إذا ضاق

?”األمر اتسع

4. Bagaimana aplikasi kaidah “إذا ضاق األمر اتسع” dalam kehidupan sehari-

hari?

5. Apakah ada korelasi antara kaidah “إذا ضاق األمر اتسع” dengan Maqâṣid al-

Syarî‘ah?

6. Bagaimana aplikasi kaidah “إذا ضاق األمر اتسع” dalam sumber hukum

materiil keluarga Islam Indonesia?

Page 25: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

8

2. Pembatasan Masalah

Dikarenakan oleh identifikasi masalah yang begitu banyak dan luas dan

juga agar penelitian ini menjadi terarah, maka penulis membatasi

permasalahan pembahasan skripsi ini hanya pada maksud kaidah fikih “ إذا

dan aplikasinya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam ”ضاق األمر اتسع

di Indonesia yang penulis khususkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

3. Pemumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada pembatasan masalah

sebelumnya, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan konsep kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع”?

2. Bagaimana aplikasi kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” dalam sumber hukum

materiil keluarga Islam di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui maksud kaidah fikih “ اتسع األمر ضاق إذا ”

b. Untuk mengetahui aplikasi kaidah fikih “ سعإذا ضاق األمر ات ” dalam sumber

hukum materiil keluarga Islam di Indonesia, khususnyan KHI

2. Manfaat Penelitian

Page 26: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

9

Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendalam

agar dapat diperoleh manfaat dari penelitian tersebut. Maka dari itu manfaat

yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal yang baru dalam

pengembangan ilmu hukum Islam khususnya terkait dalam bidang ilmu

fikih dan usul fikih.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dan wawasan di bidang hukum terkait kaidah fikih dan

aplikasinya dalam sistem hukum Indonesia.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan hasil pemikiran

tentang perkembangan hukum Islam dalam hal yang berkaitan dengan

kaidah fikih dan pelembagaannya dalam sistem hukum Indonesia.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul skripsi yang

berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan, antara lain:

1. Skripsi yang berjudul “Kaidah Fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk Menurut

Abdul Hamid Hakim”, ditulis oleh Mudhofar, Program Studi Al-Ahwal al-

Syakhshiyah, Fakultas Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga

tahun 2010. Penulis menemukan bahwa menurut Abdul Hamid Hakim,

kaidah fikih Al-Yaqîn Lâ Yuzâlu bi al-Syakk adalah salah satu dari lima

Page 27: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

10

kaidah fikih pokok. Kaidah fikih ini dapat dikembangkan menjadi sebelas

kaidah fikih turunan. Kaidah fikih ini adalah termasuk kaidah yang mencakup

seluruh permasalahan yang timbul dalam fikih, baik yang berhubungan

dengan ibadah maupun muamalah. Kaidah fikih ini dapat diterapkan dalam

segala bidang fikih, misalnya dalam bidang perkawinan yang didasarkan pada

kaidah turunan dari kaidah fikih tersebut yaitu kaidah fikih “ األصم في اإلبضاع

"انيقين ال Selain itu, penulis juga mengungkapkan bahwa kaidah fikih .”انتحريم

dapat juga diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia, di يزال بانشك"

antaranya adalah Undang-Undang Perakwinan dan Undang-Undang Wakaf.

Undang-Undang yang diadopsi dari hukum Islam tentu juga didasarkan pada

kaidah fikih tersebut baik secara langsung maupun melalui kaidah

turunannya.

Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas

tentang satu pembahasan kaidah fikih. Perbedaannya adalah bahwa skripsi

tersebut membahas tentang kaidah fikih “انيقين ال يزال بانشك", sedangkan skripsi

ini membahas tentang kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع”.

2. Skripsi yang berjudul “Penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI dan

Pengaruhnya terhadap Putusan Hakim; Studi Kasus Putusan Cerai Gugat

Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”,

ditulis oleh Taufikurrohman, Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi

Al-Ahwal al-Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Penulis menyatakan bahwa

prosedur poligami yang begitu ketat sebagaimana yang diatur dalam KHI

Page 28: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

11

adalah bagian dari Maslahah Mursalah. Selama prosedur-prosedur tersebut

tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan Maqâṣid al-Syarî’ah, maka

prosedur poligami yang ditetapkan dalam KHI adalah sah-sah saja. Penulis

juga memaparkan bahwa penerapan Maslahah Mursalah dalam KHI terhadap

putusan hakim dalam kasus penceraian karena poligami di Pengadilan Agama

Jakarta Selatan memiliki pengaruh yang sangat signifikan. Tolak ukur penulis

dalam pernyataan tersebut adalah pemikiran mayoritas hakim ketika memutus

perkara dengan keyakinan bahwa perceraian karena poligami adalah

maslahah dan juga telah diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Pernyataan penulis dibuktikan dengan adanya empat kasus gugat cerai yang

ditandatangani pada tahun 2007 lalu dikabulkan oleh Majelis Hakim karena

tergugat menyalahi prosedur poligami yang merupakan bagian dari penerapan

maslahah mursalah.

Persamaan skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas

tentang aplikasi perangkat fikih dalam KHI. Perbedaannya adalah bahwa

skripsi tersebut membahas tentang aplikasi salah satu sumber hukum Islam

yaitu Maslaḫah Mursalah dalam KHI, sedangkan skrispsi ini membahas

tentang aplikasi salah satu kaidah fikih yaitu “إذا ضاق األمر اتسع”.

Berdasarkan uraian dua skripsi di atas, penulis menganggap bahwa penelitian

yang dilakukan ini tidak akan tumpang tindih dengan penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya. Adapun hal yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian yang lalu adalah dikarenakan penulis akan meneliti

penerapan kaidah fikih yang berbeda dalam KHI, yaitu kaidah “إذا ضاق األمر اتسع”.

Page 29: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

12

Selain itu, penulis juga menambahkan pembahasan tentang bagaimana korelasi

kaidah fikih tersebut dengan konsep Maqâṣid al-Syarî‘ah.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan menggunakan

studi pustaka sebagai acuannya. Sedangkan terkait dengan pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis hukum Islam.

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, artinya penulis

mendeskripsikan konsep kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” secara rinci

kemudian menganalisis satu-persatu pasal-pasal yang terdapat dalam KHI

sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia.

Dari hasil analisis tersebut, penulis berharap dapat mengetahui pasal-pasal

berapa sajakah yang menggunakan konsep kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع”.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data

hukum yang terdiri dari:

a. Data Primer

Yaitu data yang langsung diperoleh dari sumber yang asli. Dalam

penelitian ini, data primer yang akan digunakan adalah berupa kitab-kitab

Page 30: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

13

fikih dan peraturan perundang-undangan berupa KHI yang merupakan

objek utama dalam penelitian ini.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, kitab-kitab

turâts, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil

penelitian lainnya yang berbentuk laporan, skripsi, tesis atau disertasi.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang

dapat memberikan penjelasan tentang data primer.

c. Data Tersier

Yaitu data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang

data primer dan sekunder, yang terdiri dari artikel, jurnal, ensiklopedia

dan internet.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan,

buku-buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian

deskriptif analistis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif

Page 31: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

14

terhadap data primer dan data sekunder, yaitu dengan metode analisis isi

kualitatif degan cara menguraikan data melalui kategorisasi-kategorisasi serta

pencarian sebab akibat dengan menggunakan teknik analisis induktif (usaha

penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil sebuah

kesimpulan). Penulis mengumpulkan data-data terkait kaidah fikih “ إذا ضاق

dan hukum materiil keluarga Islam di Indonesia. Setelah penulis ”األمر اتسع

mengumpulkan dan memahami data-data terkait kaidah fikih “ إذا ضاق األمر

maka penulis kemudian menganalisis pasal-pasal dalam KHI, apakah ,”اتسع

ada yang menggunakan konsep kaidah fikih ini.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab dengan

sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan

manfaat, kajian (review) terdahulu , metodologi penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TENTANG KAIDAH FIKIH “إذا ضاق األمر اتسع”

Bab ini berisikan pengertian kaidah fikih secara umum, definisi

kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع”, penjelasan ulama tentang kaidah

tersebut, sebab-sebab yang memperbolehkan penggunaan kaidah

Page 32: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

15

tersebut, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari dan korelasinya

dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah.

BAB III : POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM

INDONESIA

Bab ini berisikan definisi dan cakupan hukum keluarga Islam

Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam hukum keluarga

Indonesia dan KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam

Indonesia.

BAB IV : ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “إذا ضاق األمر اتسع”

DALAM SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM

DI INDONESIA

Bab ini berisikan aplikasi kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” dalam

KHI sebagai sumber hukum materiil keluarga Islam di Indonesia

yang kemuadian diperinci dalam bidang pernikahan, perwalian,

perceraian, wasiat dan kewarisan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab akhir dari penelitian ini yang berisikan

kesimpulan dari hasil penelitian dan beberapa saran yang dianggap

perlu dan berkaitan dengan penelitian ini.

Page 33: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

16

BAB II

KONSEP KAIDAH FIKIH “ اتسع األمر ضاق إذا ”

A. Pengertian Kaidah Fikih Secara Umum

Kaidah merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Arab yaitu

Qâ„idah (قاعذة). Kata Qâ„idah dari segi bahasa, merupakan bentuk singular dari

kata Qawâ„id, bentuk ism fâ„il dari kata dasar “قعذ”, yang berarti „asal‟ atau

„pokok‟.1

Adapun pengertian kaidah fikih secara terminologi adalah hukum umum

(kullî) yang mencakup sebagian besar hukum khusus (juz‟î), yang mana dengan

mengetahui hukum umum tersebut, akan diketahui pula hukum-hukum

khususnya.2 Adapun keterkaitan antara hukum kullî dan juz‟î tersebut adakalanya

diketahui dari hubungan yang nampak nyata dan pasti di antara keduanya dan

adakalanya juga diketahui dari hubungan yang besifat dugaan.3 Hukum umum

tersebut adalah hukum yang dikaitkan dengan asas hukum yang dibangun oleh

Syâri„ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya bagi mukallaf.4

B. Definisi Kaidah Fikih “إذا ضاق األمر اتسع”

Kaidah ini adalah salah satu cabang dari lima kaidah fikih dasar yaitu

kaidah “المشقت تجلب التيسير”. Maksud dari kaidah ini adalah apabila suatu kondisi

yang dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi

1 Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, (Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub, 2003), Juz II, h.

362 2 Tâj al-Dîn al-Subkî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmiyyah, 1991), Juz I, h. 23 3 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 11

4 Imam Musbikin, Qawa„id al-Fiqhiyah, h. 7

Page 34: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

17

lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam

menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam keadaan

tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan

kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. 5

Kaidah ini adalah salah satu kaidah yang dicetuskan oleh Imam Al-Syâfi„î

(w. 204 H).6 Dasar hukum dari kaidah ini adalah firman Allah SWT dan Hadis

Rasulullah SAW,7 yaitu:

Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

لن يشاد الذين أحذ إال غلبهوعن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال: 8

Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan

tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan

olehnya(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)

Adapun makna kondisi sempit yang dimaksud oleh kaidah ini adalah

kemungkinan kecil untuk menjalankan aturan hukum. Ketika suatu aturan hukum

syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat bagi mukallaf

untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan keringanan dan

kelonggaran hukum dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini tidak lain bertujuan

5 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121

6 Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115

7 Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 243

8 Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16

Page 35: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

18

agar mukallaf tidak merasa terbebani oleh syariat dan memperoleh kemudahan

dalam memenuhi kebutuhannya.9

Allah SWT menghendaki makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya

dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya adalah tidak

lain bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan di antara mereka. Allah SWT

membentuk syariat Islam dengan asas mempermudah dan menyingkirkan

pembebanan bagi mukallaf. Oleh karena itu, ketika mukallaf tidak mungkin

menjalankan suatu syariat kecuali dengan disertai kesusahan dan kepayahan

(masyaqqah), maka Allah SWT akan memberikan kemudahan baginya dan

menerapkan syariat yang sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya

sehingga ia dapat terhindar dari kesempitan hukum dan tidak merasa terbebani.10

C. Penjelasan Ulama tentang Kaidah Fikih “إذا ضاق األمر اتسع”

Pada sub pembahasan sebelumnya, penulis telah memaparkan bahwa kaidah

ini memberikan peluang keringanan dan keluasan hukum bagi mukallaf ketika

dalam keadaan-keadaan tertentu. Meskipun demikian, mukallaf tidak dapat

mengaplikasikan kaidah ini begitu saja di setiap kondisi dan keadaan sukar yang

sedang dialami. Oleh karena itu, beberapa ulama memberikan keterangan lebih

lanjut tentang pembatasan penerapan kaidah ini, seperti Ibn Abî Hurairah (w. 345

H). Beliau menyatakan bahwa ketika memutuskan setiap langkah hukum maka

beliau menggunakan pertimbangan kaidah ini. Apabila kondisi yang dihadapi

mukallaf menjadi sukar maka hukum yang mengaturnya dapat diperluas. Namun

9 „Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121

10 „Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd al-Laṯîf, Al-Qawâ„id wa al-Dlawâbiṯ al-

Fiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr, (Madinah: Lembaga Penelitian Keilmuwan

Universitas Islam Madinah, 2003), Juz I, h. 118

Page 36: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

19

sebaliknya, apabila kondisi yang dihadapi sangat leluasa maka aturan hukumnya

harus dipersempit sehingga mukallaf tidak dapat meremehkannya.11

Al-Ghazâlî (w. 505 H) kemudian menambahkan bahwa segala sesuatu yang

melampaui batas maka ketentuan hukum yang berlaku harus dikembalikan pada

hukum asalnya.12

Dari stetmen dua ulama di atas, kita dapat memahami bahwa

fleksibilitas syariat bukanlah tanpa batasan. Keadaan dan kondisi yang sedang

dihadapi oleh mukallaf adalah tolak ukur dari pembebanan hukum yang diberikan

oleh syariat.

D. Sebab-Sebab Yang Memperbolehkan Penggunaan Kaidah Fikih “ إذا ضاق األمر

”اتسع

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya, kaidah ini adalah

salah satu kaidah cabang dari kaidah fikih “المشقت تجلب التيسير”. Tolak ukur utama

yang menjadi prioritas dalam kaidah ini adalah unsur masyaqqah yang dirasakan

oleh mukallaf. Dar segi bahasa, masyaqqah berarti الجهذ (kesulitan), التعب

(keletihan), الشذة (kesukaran) dan العناء (kepayahan).13

Secara garis besar, kaidah ini

berarti kesukaran yang dialami oleh mukallaf menghendaki kemudahan hukum.

Apabila mukallaf berada pada kondisi kesulitan dalam menjalankan suatu aturan

11

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 12

Al-Ghazâlî, Iḫyâ‟ „Ulûm al-Dîn, (Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah,

2010), Juz II, h. 131 13

Ibn Manẕûr, Lisân al-„Arab, Juz VI, h. 51

Page 37: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

20

hukum yang berlaku, maka kesulitan tersebut menjadi penyebab yang dibenarkan

untuk memperoleh kemudahan, keringanan dan penghapusan aturan hukum.14

Pada dasarnya, masyaqqah sendiri bersifat individual karena mungkin saja

suatu kondisi merupakan masyaqqah bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain.

Meskipun demikian, syariah memilki standar umum yang sesungguhnya bukan

termasuk masyaqqah dan tidak dapat dijadikan sebagai penyebab keringanan

hukum misalnya perasaan berat untuk berwudlu pada musim dingin, perasaan

berat untuk berpuasa pada musim panas atau perasaan berat bagi terpidana untuk

menjalankan hukuman. Keadaan-keadaan tersebut tidak dapat dianggap sebagai

masyaqqah dalam tataran hukum Islam.15

Adapun untuk membedakan masyaqqah yang dapat berpengaruh dalam

tataran hukum, Al-Syâṯibî (w. 790 H) memberikan sebuah batasan bahwa jika

pekerjaan tersebut dilakukan terus menerus justru akan menyebabkannya

ditinggalkan secara total atau hanya dikerjakan sebagian sehingga menjadi tidak

sempurna. Kesulitan dalam sebuah perbuatan yang berdampak terhadap hal-hal

tersebut adalah termasuk kategori masyaqqah yang „keluar dari kebiasaan‟, dalam

artian bahwa kesulitan yang semacam itu akan mempengaruhi formulasi hukum

yang dihasilkan. Apabila kondisi yang dihadaip mukallaf tidak sampai pada taraf

yang demikian maka ia tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum.16

14

Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam, Qawaid

Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, cet. III, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 58 15

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 57 16

Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, (Kementrian Agama Saudi Arabia, 1424 H), Juz II, h.

121

Page 38: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

21

Masyaqqah juga terbagi menjadi beberapa karakter yang berbeda-beda.

Masing-masing dari karakter masyaqqah ini menyebabkan konsekuensi hukum

yang berbeda-beda pula. Al-Suyûṯî (w. 911 H) membagi karakteristik kesulitan

(masyaqqah) secara umum menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:17

1. Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah), misalnya

rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji tidak dapat menggugurkan

kewajiban ibadah haji. Masyaqqah semacam ini sudah merupakan tabiat

dasar dan konsekuensi logis dari jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.

Artinya, kewajiban seperti haji hanya dapat terlaksana jika mukallaf telah

melewati kesulitan-kesulitan berupa rasa lelah, capek dan sebagainya. Oleh

karena itu, keringanan hukum tidak dapat diterapkan pada masyaqqah jenis

ini.

2. Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah jenis ini

terbagi lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit untuk ditanggung (Al-

Masyaqqah al-A„lâ), seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,

keturunan, organ tubuh dan hal-hal yang mendasar lainnya. Pada taraf

ini, syariat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan

pemeliharaan jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban syariat harus

lebih diutamakan daripada tidak melaksankannya sama sekali. Artinya,

jika umat Islam masih „dipaksa‟ melaksanakan kewajiban yang

sebenarnya sudah tidak mampu dikerjakan maka akan bearkibat fatal

17

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 106

Page 39: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

22

pada keselamatan jiwa ataupun raganya. Hal ini tentu akan

menyebabkan kewajiban itu sendiri menjadi terbengkalai. Dengan

pemberlakuan keringanan hukum, maka kewajiban tersebut tetap dapat

terlaksana.

b. Masyaqqah yang sangat ringan (Al-Masyaqqah al-Adnâ), seperti pegal-

pegal, pusing, pilek dan lain sebagainya. Pada taraf ini, syariat tidak

dapat memberlakukan keringanan hukum dikarenakan kemaslahatan

ibadah masih lebih penting daripada menghindari mafsadah (kerusakan)

yang timbul dari masyaqqah jenis ini. Artinya, mafsadah yang akan

timbul dari hal-hal seperti ini masih sangat minim sehingga

kemaslahatan ibadah harus lebih diutamakan.

c. Masyaqqah pertengahan yang berada di antara dua bagian sebelumnya

(Al-Masyaqqah al-Mutawassiṯah). Masyaqqah jenis ini bisa

mendapatkan keringanan hukum jika kadar kesulitannya telah

mendekati Al-Masyaqqah al-A„lâ. Sebaliknya, jika kadar kesulitannya

lebih dekat pada Al-Masyaqqah al-Adnâ maka tidak bisa mendapatkan

keringanan hukum.

Keringanan hukum dalam terminologi fikih disebut dengan rukhṣah.

Adapun sebab-sebab yang memperbolehkan rukhṣah ada tujuh macam,18

yaitu:

1. Al-Safar (perjalanan), misalnya kebolehan jama„ dan qaṣr salat, berbuka

puasa dan meninggalkan salat Jumat.19

18

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 55 19

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 107

Page 40: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

23

2. Al-Maradl (sakit), misalnya kebolehan tayammum ketika tidak diperbolehkan

menggunakan air, salat fardl sambil duduk, tidak berpuasa Ramadan dengan

kewajiban qadlâ‟ puasa pada hari lain, mencukur rambut sebelum

menyelesaikan ibadah iḫrâm disebabkan oleh penyakit yang ada di kepala,

berobat dengan sesuatu yang diharamkan seperti khamr atau sesuatu yang

najis dan kebolehan dokter melihat aurat lawan jenis dengan tujuan

pengobatan.20

3. Al-Ikrâh (keterpaksaan), misalnya kebolehan menyatakan diri sebagai kafir

dan meminum khamr dalam tekanan pihak lain yang dapat membahayakan

diri mukallaf. Sebab keterpaksaan tidak dapat diberlakukan dalam kasus

pembunuhan dan perzinaan.21

4. Al-Nisyân (lupa), misalnya makan, minum atau melakukan hubungan suami

istri ketika dalam keadaan berpuasa di bulan Ramadan. Perbuatan tersebut

tidak mengakibatkan dosa dan tidak membatalkan puasa serta tidak

mengharuskan pembayaran kafarah jika benar-benar dilakukan dalam

keadaan lupa, bukan berpura-pura lupa.22

5. Al-Jahl (ketidaktahuan), misalnya orang yang baru masuk Islam memakan

makanan yang diharamkan disebabkan ketidaktahuannya tentang hukum yang

berlaku dalam agama Islam.23

6. Al-„Usr (kesulitan) dan „Umûm al-Balwâ (kesulitan yang umum terjadi dan

sulit untuk dihindari), misalnya salat disertai najis yang ma„fû,

20

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108 21

Al-Fâdânî, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229 22

Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 229 23

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, h. 56

Page 41: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

24

ketidakwajiban qadla‟ salat bagi wanita yang haid, kebolehan melihat

perempuan yang akan dipinang pada saat khiṯbah, pengguguran dosa bagi

orang yang salah dalam berijtihad dan legalitas beberapa akad dan transaksi

yang diatur dalam fikih mu„âmalah seperti khiyâr, ḫiwâlah (pemindahan

hutang), iqâlah (pembatalan persetujuan), gadai dan lain-lain.24

7. Al-Naqṣ (kekurangmampuan bertindak hukum), misalnya ketiadaan

pembebanan hukum (taklîf) bagi anak kecil, orang gila dan orang mabuk dan

ketidakwajiban salat Jumat dan jihad bagi perempuan.25

Kaidah fikih “إرا ضاق األمر اتسع” bisa kita terapkan ketika kita menghadapi

ketujuh macam kondisi yang memperbolehkan rukhṣah di atas. Pada dasarnya

cara pengaplikasian kaidah ini tidaklah berbeda dengan cara pengaplikasian

kaidah pokoknya yaitu kaidah “المشقت تجلب التيسير”. Keluasan hukum yang

dikehendaki oleh kaidah ini juga memiliki pembatasan sehingga mukallaf tidak

bisa seenaknya sendiri mempermainkan aturan hukum syariat. Oleh karena itu,

para ulama ahli fikih juga membuat kaidah aksioma dari kaidah ini yaitu “ إرا اتسع

.”االمر ضاق26

Kaidah aksioma ini berarti bahwa keadaan lapang yang dimilki oleh

mukallaf akan membuat hukum menjadi sempit dan terbatas. Salah satu contoh

dari kaidah ini adalah ketika melaksanakan salat, kita tidak diperbolehkan

melakukan gerakan. Akan tetapi, jika gerakan yang kita lakukan adalah

24

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 108-

109 25

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 111 26

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115

Page 42: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

25

disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti menghindari

serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata

lain, salat yang kita laksanakan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan

lapang (اتسع), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (ضاق), yakni tidak

diperbolehkan melakukan gerakan yang berlebihan.27

E. Aplikasi Kaidah Fikih “إذا ضاق األمر اتسع” dalam Kehidupan Sehari-Hari

Eksistensi kaidah fikih memberikan pengaruh yang sangat positif bagi

kehidupan manusia. Dengan bantuan kaidah fikih, kita akan mampu memecahkan

permasalahan yang tidak diatur secara inplisit oleh Al-Quran, Al-Sunnah, Ijmâ„,

Qiyâs maupun sumber-sumber hukum Islam yang lain. Hal tersebut tidak lain

dikarenakan oleh kaidah fikih merupakan refleksi dari sumber-sumber hukum

Islam yang menempati kedudukan lebih tinggi di atasnya.

Dalam kitab-kitab karya ulama yang membahas tentang kaidah fikih, kita

dapat menemukan bahwa dalam menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang ada,

mereka juga mencantumkan beberapa cabang permasalahan (furû„) yang dapat

diselesaikan dengan kaidah-kaidah yang sedang dibahas. Demikian juga dengan

kaidah “إرا ضاق األمر اتسع”, penulis menemukan beberapa furû„ kaidah yang

merupakan bentuk aplikasi dari kaidah ini sendiri, yaitu di antaranya:

27

Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V,

(Surabaya: Khalista, 2009), Jilid I, h. 205

Page 43: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

26

1. Keringanan berupa qaṣr salat dan perubahan gerakan salat dalam salat khauf

(salat dalam keadaan mencekam atau perang).28

Hal ini berdasarkan firman

Allah SWT:

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah

mengapa kamu mengqaṣr salat jika kamu takut diserang oleh orang-orang

kafir.” (QS. Al-Nisâ‟: 101)

Kemudian apabila keadaan telah menjadi aman dan tidak mencekam, maka

wajib bagi kaum Muslim untuk melaksanakan salat sesuai dengan tatacara

yang asli, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat

(sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang telah

ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Nisâ‟: 103)

2. Sikap toleransi kreditur terhadap debiturnya dan pengertiannya untuk

memberikan keluasan waktu dalam pembayaran hutang.29

Hal ini berdasarkan

firman Allah SWT:

28

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121 29

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 121

Page 44: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

27

Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka

berilah tangguhan waktu sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan

(sebagian atau semua utang) adalah hal yang lebih baik bagimu, jika kamu

mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

3. Kebolehan mengangkat wali nikah selain wali mahram bagi seorang wanita

yang hendak menikah sedangkan ia dalam keadaan yang tidak memungkinkan

untuk mendatangkan wali mahramnya, misalnya ketika ia sedang belajar di

luar negeri.30

4. Kebolehan menjatuhkan hukuman mati bagi pencuri dan pembegal jika

memang hukuman tersebut dipandang dapat menghilangkan keresahan dan

kekahawtiran yang terjadi di masyarakat.31

Penulis berpendapat bahwa

hukuman ini juga bisa dijatuhkan pada koruptor di Indonesia karena korupsi

merupakan salah satu tindak pidana yang tidak hanya menimbulkan keresahan

di masyarakat, namun juga dapat merugikan negara.

5. Ketidakwajiban membelot dari pemimpin yang zalim jika memang

pembelotan tersebut malah akan menimbulkan kemafsadatan yang lebih besar

baik bagi diri sendiri maupun masyarakat luas.32

6. Melakukan banyak gerakan dalam salat jika gerakan yang kita lakukan adalah

disebabkan oleh suatu alasan tertentu yang sangat mendesak seperti

menghindari serangan binatang berbisa, maka gerakan tersebut

diperbolehkan.33

7. Najis yang ada di kaki lalat yang hinggap di tubuh, pakaian, makanan atau

tempat sekitar kita dianggap sebagai najis yang ma„fû. Kita boleh memakan

30

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 31

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122 32

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122 33

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 122

Page 45: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

28

makanan tersebut dan juga salat dengan menggunakan pakaian di tempat-

tempat tersebut. Hal ini disebabkan oleh ketidakmungkinan kita untuk

menghindari dan mengetahui apakah lalat-lalat yang berterbangan di sekitar

kita membawa najis atau tidak.34

8. Fenomena yang terjadi di daerah-daerah yang banyak terdapat anjing

berkeliaran seperti daerah pegunungan dan pesisir pantai. Jika anjing-anjing

tersebut tidak sengaja bersentuhan dengan tubuh kita, maka menurut sebagian

ulama Bani Jam„ân najis tersebut di ma„fû dan salat yang kita laksanakan tetap

sah. Dalam kondisi seperti ini, hukum persentuhan dengan anjing tersebut

adalah sebagaimana hukum persentuhan dengan hewan-hewan lain yang tidak

najis. Hal ini dikarenakan begitu banyaknya anjing yang berkeliaran sehingga

sulit untuk menghindari persentuhan tersebut.35

Beberapa contoh aplikasi kaidah fikih “إرا ضاق األمر اتسع” yang telah

disebutkan di atas adalah bersumber dari furû„-furû„ kaidah yang penulis temukan

dari beberapa kitab yang membahas tentang kaidah ini yang mana penulis menilai

bahwa furû„-furû„ tersebut masih relavan dengan kondisi yang dihadapi oleh umat

Muslim pada saat ini. Adapun selain contoh-contoh di atas, pada dasarnya kita

masih mungkin menghadapi permasalahan-permasalahan lain yang

memperbolehkan kita untuk mengaplikasikan kaidah “إرا ضاق األمر اتسع” ini karena

dalam kehidupan kita pasti tidak akan luput dari masyaqqah. Oleh karena itu,

syariat memberikan keringanan dan keluesan aturan hukum dalam bentuk rukhṣah

bagi tiap-tiap mukallaf. Meskipun demikian, mukallaf tidak diperbolehkan untuk

34

Al-Suyûṯî, Al-Asybâh wa al-Naẕâ‟ir fî Qawâ„id wa Furû„ Fiqh al-Syâfi„î, h. 115 35

Al-Fadani, Al-Fawâ‟id al-Janiyyah, h. 244

Page 46: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

29

menyalahgunakan fleksibilitas hukum tersebut seenakanya sendiri, karena hal

tersebut secara tidak langsung dapat menghilangkan esensi ibadah dan mu„âmalah

kita kepada Allah SWT. Kita harus senantiasa mengingat bahwa kita diciptakan

oleh Allah SWT sebagai hamba tidak lain hanyalah untuk menyembah-Nya,

sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Dan Aku (Allah SWT) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan

supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah SWT).” (QS. Al-Dzâriyaat: 56)

I. Korelasi antara Kaidah Fikih “إذا ضاق األمر اتسع” dengan Maqâṣid al-Syarî‘ah

Islam adalah agama yang memberikan pedoman kehidupan kepada manusia

secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju pencapaian

kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan induvidu maupun

bermasyarakat. Secara umum, tujuan Syâri„ dalam mentapkan hukum-hukumnya

adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta seluruh kebahagiaan manusia,

baik kebahagiaan dunia yang sementara maupun kebahagiaan di akhirat yang

kekal. Tujuan hukum Islam ini dapat kita ketahui dari firman-firman Allah SWT

sebagai berikut:36

36

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, h. 66

Page 47: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

30

Artinya: “Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Nabi Muhammad

SAW) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ‟:

107)

Artinya: “Dan di antara mereka ada orang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami

kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa

neraka". Mereka adalah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang

mereka usahakan. Dan Allah SWT sangatlah cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-

Baqarah: 201-202)

Tujuan hukum Islam dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut Al-

Maqâṣid al-Khamsah atau Al-Kulliyyah al-Khamsah. Kelima tujuan tersebut

adalah Ḫifẕ al-Dîn (menjaga agama), Ḫifẕ al-Nafs (menjaga jiwa), Ḫifẕ al-„Aql

(menjaga akal), Ḫifẕ al-Nasl (menjaga keturunan) dan Ḫifẕ al-Mâl (menjaga

harta). Al-Syaukânî (w. 1250 H) kemudian menambahkan satu term lagi yaitu

Ḫifẕ al-„Irdl (menjaga kehormatan) sebagai bagian dari tujuan hukum Islam

sehingga menjadi enam macam.37

Keseluruhan bagian dari Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah bersumber dari

sumber premier hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Kedua sumber hukum

Islam ini telah memberikan pedoman bagi manusia untuk mewujudkan Maqâṣid

al-Syarî„ah. Adapun dalam segi praktek, Maqâṣid al-Syarî„ah tidak harus

dilaksanakan secara berurutan dari Ḫifẕ al-Dîn sebagai bagian yang pertama

sampai Ḫifẕ al-„Irdl sebagai bagian yang terakhir. Akan tetapi, prioritas

pelaksanaan Maqâṣid al-Syarî„ah di atas adalah berdasarkan pada tingkat

37

Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuḫûl, (Riyad: Dâr al-Fadlîlah, 2000), Juz II, h. 901

Page 48: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

31

kebutuhan manusia, apakah berada dalam taraf Dlarûriyyah (primer), Ḫâjjiyyah

(sekunder) atau Taḫsiniyyah (tersier).38

Sendi dan asas syariat Islam adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia

maupun di akhirat. Syariat Islam sepenuhnya mengandung keadilan, rahmat

(kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan. Setiap persoalan yang

mengandung kezaliman, kejahatan, kerusakan dan kesia-siaan bukanlah termasuk

syariat Islam. Syariat Islam merupakan wujud dari keadilan Allah SWT bagi

hamba-hamba-Nya serta kasih sayang-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya.39

Dengan demikian, maka telah nampak jelas bahwa tujuan pembentukan

syariat Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan

keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Manusia yang melaksanakan

ajaran agama dengan benar akan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Sebaliknya, apabila manusia tidak melaksanakan petunjuk Allah SWT

sebagaimana yang terdapat dalam wahyu-Nya, maka ia tidak akan merasakan

kebahagiaan.40

Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan dan kebaikan yang

menyebabkannya menjadi hukum yang paling kaya, memenuhi segala kebutuhan

masyarakat serta menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Apabila

keistimewaan dan kebaikan tersebut dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran-

38

Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât, Juz II, h. 17 39

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„in, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât

al-Azhâriyyah, 1968), Juz III, h. 3 40

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, h. 68-69

Page 49: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

32

ajaran Islam yang lain maka akan dapat menciptakan suatu umat yang ideal dan

kehidupan yang adil.41

Salah satu keistimewaan syariat Islam adalah bersifat

mempermudah (taysîr). Dalil-dalil naṣ yang menujukkan hal ini berjumlah sangat

banyak, di antaranya yang berasal dari Al-Quran dan Hadis:

Artinya: “Allah SWT menghendaki kemudahan bagi kalian semua dan tidak

menghendaki kesukaran bagi kalian semua.” (QS. Al-Baqarah: 185)

بعثت بالحنيفيت السمحتعن أبي أمامت، قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص: 42

Artinya: Dari Abû Umâmah, Rasulullah SAW bersabda: “Aku diutus dengan

membawa ketauhidan yang longgar (mudah).” (HR. Aḫmad)

ولن يشاد الذين أحذ إال غلبهعن أبي هريرة عن النبي ملسو هيلع هللا ىلص قال: 43

Artinya: Dari Abû Hurairah, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Dan

tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan olehnya

(semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhârî dan Al-Nasâ‟î)

Untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Islam tidak membebani

para mukallaf terkecuali dengan hal-hal yang sanggup mereka kerjakan secara

terus-menerus. Oleh karena itu, Allah SWT menghilangkan masyaqqah agar

mukallaf dapat terus-menerus mengerjakan sagala sesuatu yang telah diatur oleh

Allah SWT bagi mereka. Syariat Islam menghendaki mukallaf untuk

41

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1975), h. 119 42

Ibn Ḫanbal, Musnad Aḫmad, (Kairo: Muassasah Qurṯubah, Tth ), Juz V, h. 266 43

Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 16

Page 50: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

33

mengerjakan hal yang mudah dan menjauhi hal yang sukar,44

sebagaimana hadis

Rasulullah SAW yang berbunyi:

ما خير بين أمرين إال اختار أيسرهما ما لم يكن إثما :عن عائشت قالت45

Artinya: Dari „Âisyah, ia berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah dibingungkan

oleh dua perkara kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya

selama hal tersebut tidak mengandung dosa.” (HR. Abû Ya„lâ)

Dalam pandangan penulis, konsep taysîr tersebut sangatlah relevan dengan

prinsip „Adam al-Ḫarj (meniadakan kesusahan) dan prinsip Taqlîl al-Takâlîf

(meminimalisir pembebanan) yang sangat dipegang teguh oleh syariat Islam.

Prinsip „Adam al-Ḫarj berarti bahwa syariat Islam sama sekali tidak menghendaki

kesulitan bagi umatnya dalam menjalankannya.46

Sedangkan prinsip Taqlîl al-

Takâlîf berarti bahwa syariat Islam merupakan syariat yang mudah untuk

dijalankan dan tidak terlalu membebani mukallaf sebagai subjeknya.47

Ketika

syariat Islam telah terlaksana dan memberikan mafaat bagi kehidupan mukallaf,

maka hal ini telah mengindikasikan bahwa Maqâṣid al-Syarî„ah telah terwujud.

Taysîr merupakan metode yang digunakan oleh Al-Quran dan para rasul.

Rasulullah SAW telah mengajarkan para sahabat agar berlaku mudah.48

Hal ini

terbukti dengan adanya sabda beliau yang berbunyi:

عن عبذ هللا بن قيس، قال رسىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص: يسرا وال تعسرا وبشرا وال تنفرا وتطاوعا وال تختلفا49

44

Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 197 45

Abû Ya„lâ al-Mûṣilî, Musnad Abî Ya„lâ, (Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts,

1984), Juz VII, h. 345 46

Muḫammad Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-

Islâmiyyah, 2007), h. 18 47

Kudlarî Bek, Târîkh Tasyri„ al-Islâmî, h. 18 48

Yûsuf al-Qaradlâwî, Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî„ah, cet. III, (Kairo: Dâr

al-Syurûq, 2008), h. 151

Page 51: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

34

Artinya: Dari „Abdullah bin Qais, Rasulullah SAW besabda: “Mudahkanlah

(urusan) dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat

orang lari (tidak tertarik) dan bekerja samalah kalian berdua dan jangan

berselisih”. (HR. Al-Bukhârî dan Muslim)

Dari konsep taysîr ini, para ulama ahli fikih kemudian merumuskan

beberapa kaidah fikih. Kaidah fikih berperan membantu kita untuk memahami

tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang ada di balik syariah.50

Menurut Hasbi ash-

Shiddieqy, salah satu kaidah yang berhubungan dengan konsep taysîr dalam

syariat Islam adalah kaidah “إرا ضاق األمر اتسع”.51

Adapun di antara hal yang

menunjukkan bahwa konsep taysîr sebagai esensi dari kaidah ini adalah landasan

hukum dari kaidah ini sendiri. Dalil-dalil yang menjadi landasan dari kaidah ini,

baik dari Al-Quran maupun Hadis, merupakan dalil-dalil yang menjelaskan

bahwa syariat tidak menghendaki kesusahan dan kesulitan bagi manusia.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan para ulama fikih terkait kaidah ini,

kaidah ini adalah sebagai salah satu solusi bagi mukallaf yang sedang menghadapi

suatu kondisi sempit atau sulit untuk menjalankan suatu aturan hukum yang

berlaku. Kondisi sempit atau sulit dalam hal ini bisa disebut dengan masyaqqah.

Pada taraf-taraf tertentu, masyaqqah yang dirasakan mukallaf menghendaki

kemudahan hukum (rukhṣah).52

49

Sabda Rasululullah SAW tersebut adalah wasiatnya kepada Mu„âdz Ibn Jabal

(w. 18 H) dan Abû Mûsâ al-Asy„ârî (w. 44 H) ketika mereka ditugaskan untuk menjadi

kepala daerah di Yaman. Meskipun wasiat tersebut disampaikan kepada dua orang

sahabat tersebut saja, wasiat tersebut sebenarnya ditujukan pada seluruh umat Islam.

Lihat Al-Bukhârî, Ṣaḫîḫ al-Bukhârî, Juz I, h. 136 50

„Azzâm, Al-Qawâ„id al-Fiqhiyyah, h. 68 51

Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, h. 120 52

Naṣr Fârid Muḫammad Wâṣil, Qawaid Fiqhiyyah, h. 58

Page 52: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

35

Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat korelasi antara kaidah

fikih “إرا ضاق األمر اتسع” dengan Maqâṣid al-Syarî„ah. Esensi yang terkandung

dalam kaidah ini adalah untuk menghindarkan manusia dari kesulitan dan

kesusahan dalam menjalankan syariat. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan

syariat yaitu menghilangkan kesulitan, kesusahan (ḫaraj) dan kesempitan serta

memilih dan mengutamakan rukhṣah (keringanan) jika sedang dalam keadaan

yang tidak memungkinkan.53

Kemaslahatan kehidupan manusia sebagai Maqâṣid al-Syarî„ah yang paling

utama dapat terwujud ketika manusia telah merasakan ketenangan dan

kebahagiaan hidup dengan tanpa merasa terbebani oleh tuntutan syariat. Peran

kaidah fikih “إرا ضاق األمر اتسع” dalam hal ini adalah sebagai salah satu

pertimbangan bagi manusia untuk mengatasi masyaqqah yang sedang

dihadapinya. Dengan bantuan kaidah ini, manusia tidak akan lagi merasa terjebak

dalam suatu aturan hukum yang kaku. Karena pada hakikatnya, syariat Islam

adalah syariat yang lentur, fleksibel dan dapat disesuaikan dengan perubahan

kondisi yang dihadapi manusia.

Meskipun kaidah fikih “إرا ضاق األمر اتسع” ini memberikan kesempatan bagi

kita untuk mendapatkan keringanan hukum, keluasan hukum yang dikehendaki

oleh kaidah ini bukanlah tanpa pembatasan. Bagaimanapun juga, syariat Islam

yang telah dirumuskan oleh Syâri„ memiliki standarisasi tersendiri yang harus kita

penuhi. Kita tidak diperbolehkan untuk terlalu menganggap mudah syariah Islam,

apalagi sampai meremehkannya.

53

Nûr al-Dîn Al-Khâdamî, Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî, (Qatar: Kitâb al-Ummah, 1998),

Juz I, h. 50

Page 53: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

36

BAB III

POTRET HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM INDONESIA

A. Definisi dan Cakupan Hukum Keluarga Islam Indonesia

Hukum keluarga adalah “hukum atau undang-undang yang mengatur perihal

hubungan internal anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan

dengan ihwal kekeluargaan” atau “hukum yang mengatur perihal hubungan-

hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan”.1

Dalam terminologi fikih, hukum keluarga Islam dikenal dengan berbagai

istilah, seperti al-aḫwâl al-syakhṣiyyah (hal-hal yang berhubungan dengan

persoalan pribadi), ḫuqûq al-usrah (hak-hak keluarga), ḫuqûq al-‘â’ilah (hak-hak

keluarga), aḫkam al-usrah (aturan-aturan keluarga) dan qanûn al-usrah (undang-

undang keluarga). Sementara dalam literatur-literatur bahasa Inggris, kita

menemukan istilah-istilah seperti personal statute, Islamic family law dan Moslem

family law, untuk menunjuk hukum keluarga Islam.2

Wahbah Zuhailî (w. 1436 H) mendefinisikan al-aḫwâl al-syakhṣiyyah

sebagai hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa

awal pembentukannya hingga di masa berakhirnya keluarga, berupa nikah, talak,

nasab, nafkah dan kewarisan.3 Dengan kata lain, hukum keluarga Islam adalah

seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal anggota

1 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004), h. 13-14 2 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana,

2013), h. 10 3 Wahbah Zuhailî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h.

19

Page 54: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

37

keluarga dalam konteksnya yang khusus/spesifik dalam hubungan hukum suatu

keluarga Muslim.4

Agar tidak terjadi kerancuan dengan definisi hukum perdata biasa, kita

harus mengetahui bahwa hukum keluarga bukanlah hukum yang mengatur

hubungan antara keluarga dengan keluarga yang lain, dan bukan pula hukum yang

mengatur hubungan di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum

keluarga, meskipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan

masih dalam satu keluarga. Hukum keluarga Islam adalah hukum yang mengatur

hubungan internal anggota keluarga dalam satu keluarga Muslim yang berkenaan

dengan masalah-masalah tertentu.5 Ruang lingkup hukum keluarga adalah

mencakup perkawinan, perwalian, wasiat dan kewarisan.6

B. Pelembagaan Hukum Islam ke Dalam Hukum Keluarga Indonesia

1. Hukum Islam pada Masa Pra Kemerdekaan

Di Indonesia, hukum Islam pernah diterima dan dilaksanakan

sepenuhnya oleh masyarakat Islam. Pada masa kesultanan Islam, hukum

Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada

masa pemerintahan Sultan Agung di Aceh dan pemerintahan Sultan Ageng

Tirtayasa di Banten. Hukum adat setempat dinilai sering menyesuaikan diri

dengan hukum Islam.7

4 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 13

5 Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 11 6 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, h. 30

7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2003), h. 12-13

Page 55: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

38

Sejak awal kehadiran Islam pada abad VII Masehi, tata hukum Islam

sudah diterapkan dan dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam

Indonesia. Setelah Islam memperoleh kedudukan yang kokoh dalam

masyarakat kota perdagangan pesisir pantai, terjadi peralihan peran dari kaum

saudagar ke tangan para ulama. Para ulama bertindak sebagai fungsionaris

dalam penyelesaian sengketa antara sesama pemeluk Islam. Pada masa ini,

peradilan informal Tahkim lahir sebagai wadah dan sarana masyarakat kota

dalam menyelesaikan persengketaan di bidang perkawinan, hibah, wakaf dan

kewarisan yang berorientasi pada sistem mazhab fikih Syâfi„î.8

Pada masa-masa kesultanan Islam, rujukan hukum yang bersifat abstrak

yang berorientasi pada mazhab Syâfi„î masih terus digunakan. Salah satu

kitab fikih yang berotoritas luas pada masa itu adalah kitab Ṣirâṯ al-Mustaqîm

yang ditulis oleh ulama besar Nuruddin al-Raniri pada abad XVII Masehi.

Uraian dan syarah kitab tersebut diperluas dan dijakdikan sebagai standar

bahan rujukan penyelesaian sengketa di beberapa daerah kesultanan Islam

seperti Palembang, Banten, Demak, Jepara, Ngampel dan Mataram.9

Beberapa kesultanan Islam pada masa tersebut juga telah mendirikan

Peradilan Agama secara formal. Di antara macam-macam peradilan yang ada

adalah Pengadilan Penghulu di Jawa, Mahkamah Syar‟iyyah di kesultanan

Sumatera (Deli, Langkat, Asahan dan Indragiri) dan Peradilan Qadli di Banjar

8 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 24 9 M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 25

Page 56: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

39

dan Pontianak. Para ulama memegang peran sebagai penasihat dan hakim di

peradilan-peradilan tersebut. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah

peradilan-peradilan tersebut belum memiliki suatu buku hukum yang

sistematis. Aturan hukum yang diterapkan masih berupa doktrin fikih yang

abstrak sebagaimana masa-masa sebelumnya.10

Dalam menyikapi situasi tersebut, VOC yang sedang berkuasa saat itu

mencoba menerapkan hukum Belanda pada masyarakat. Akan tetapi,

kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan

kesadaran hukum yang hidup di masyarakat. Kecenderungan kesadaran

hukum yang hidup di bidang perkawinan, wakaf dan kewarisan pada saat itu

adalah hukum Islam.11

Kagagalan penerapan hukum Belanda menjadi faktor VOC

mengeluarkan Statuta Batavia pada tahun 1642. Isi terpenting dari statuta

tersebut adalah penegasan bahwa penyelesaian sengketa waris yang dihadapi

oleh orang pribumi yang beragama Islam adalah menggunakan hukum Islam

yang dipakai sehari-hari. Selanjutnya, kolonial VOC juga menyusun kitab

hukum yang dikenal dengan Compendium Freijer pada tahun 1760. Buku

ringkasan ini mengatur tentang hukum perkawinan dan kewarisan Islam.

Setelah direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, buku tersebut

diberlakukan dan dijadikan rujukan hukum oleh pengadilan dalam

10

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 25-26 11

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 26

Page 57: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

40

menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah

yang dikuasai oleh VOC.12

Penggunaan Compendium Freijer tidak berlangsung lama karena pada

tahun 1800 VOC menyerahkan kekuasaan Indonesia kepada Hindia Belanda.

Pada masa ini, secara sistematis penggunaan hukum Islam tidak diakui lagi.

Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengganti sistem hukum Islam yang

berlaku menjadi hukum adat. Pemerintah Hindia Belanda memaksakan

pemberlakuan dua sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum adat yang

diperuntukkan untuk golongan bumiputera dan hukum barat bagi golongan

Eropa.13

Upaya paksaan untuk melenyapkan hukum Islam yang dilakukan oleh

kolonial Belanda terakhir kali ditetapkan melalui Staatsblaad 1937 No. 116.

Aturan ini merupakan hasil usaha komisi Ter Haar yang berisi sebagai

berikut:14

a. Hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat

b. Pencabutan wewenang Peradilan Agama (Raad) untuk mengadili perkara

kewarisan dan dialihkan kepada Peradilan Negeri (Landraad)

c. Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang memeriksa

perkara perkawinan saja

12

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 13 13

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 26-27 14

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 18

Page 58: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

41

Meskipun pelarangan tersebut di atas telah dipublikasikan secara

terang-terangan, namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat

Muslim yang mengajukan perkara kewarisan ke Peradilan Agama. Peradilan

Agama terbukti menyelesaikan perkara dengan cara yang megesankan pada

masa itu. Masyarakat Muslim menganggap bahwa hasil keputusan yang

dikeluarkan oleh Peradilan Agama bersifat lebih islami dan sesuai dengan

kesadaran hukum yang mereka yakini.15

2. Hukum Islam Setelah Masa Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, pelembagaan hukum Islam ke dalam

hukum keluarga Islam dapat terbagi menjadi dua masa perkembangan, yakni

masa orde lama dan orde baru. Pada masa orde lama, pelembagaan hukum

Islam dimulai dengan pendirian Departemen Agama pada tanggal 3 Jnuari

1946. Dengan terbentuknya Depag, maka kewenangan Peradilan Islam telah

dialihkan dari Menteri Hukum kepada Menteri Agama. Penataan hukum

Islam, baik yang berkenaan dengan administrasi maupun kelembagaan

hukum Islam yang mengatur perkawinan, rujuk, talak dan wakaf diberlakukan

di bawah pengawasan Menteri Agama.16

Pada masa ini, legislatif merumuskan beberapa peraturan perundang-

undangan tentang kekeluargaan, di antaranya adalah UU No. 22 Tahun 1946

Tentang Pencatatan Nikah dan UU No. 32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk. Perumusan undang-undang ini merupakan solusi

15

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet.

IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 96 16

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 22

Page 59: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

42

bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Langkah ini

juga merupakan respon atas praktek-praktek negatif yang terjadi dalam

perkawinan seperti pernikahan di bawah umur, praktek poligami tanpa

tanggung jawab dan perceraian yang dilakukan semena-mena oleh pihak

suami.17

Pada masa selanjutnya, yaitu masa orde baru, pemerintah melakukan

langkah-langkah yang dipandang sebagai kebangkitan hukum keluarga Islam

di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan dilegalkan sebagai

respon positif dari tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya kepastian

hukum keluarga khususnya bagi pegangan hukum untuk hakim di Pengadilan

Agama.18

Peraturan perundang-undangan terkait perihal kekeluargaan yang

lahir pada masa ini di antaranya adalah UU No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

bagi PNS dan Kompilasi Hukum Islam.

UU No. 1/1974 tentang Perkawinan diberlakukan bagi seluruh warga

Indonesia dan bagi seluruh agama. UU ini mencerminkan upaya pemerintah

untuk menyatukan undang-undang yang berkaitan dengan undang-undang

perkawinan itu sendiri di bidang-bidang lainnya yang sesuai dengan hukum

adat dan hukum agama. UU Perkawinan ini juga merupakan upaya

pemerintah dalam menanggapi tuntutan kaum perempuan di Indonesia

17

Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”, artikel

diakses pada 24 Oktober 2015 dari https://www.academia.edu/4836677/RESPON-

MASYARAKAT-TERHADAP-HUKUM-KELUARGA-ISLAM 18

Anif Rahmawati, “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”

Page 60: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

43

tentang kedudukan hukum mereka dalam beberapa peristiwa hukum, terutama

poligami dan perceraian.19

Perumusan UU Perkawinan ini merupakan salah satu pencapaian besar

dalam perkembangan kodifikasi hukum keluarga materiil Indonesia.

Meskipun isi materi dari UU ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam,

namun UU ini belum bisa dikategorikan sebagai sumber hukum keluarga

Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan penyusunan UU ini tidak didasarkan

pada ajaran Islam murni. Selain itu, objek pemberlakuan UU ini juga bersifat

sangat umum yaitu bagi masyarakat Indonesia dari semua agama. Oleh

karena itu, pada beberapa dekade selanjutnya, para ahli hukum memandang

perlu untuk merumuskan sebuah buku hukum yang bisa dikhususkan berlaku

bagi masyarkat Muslim Indonesia dengan komposisi yang lebih lengkap dari

UU Pernikahan ini.

Buku hukum tersebut kemudian kita kenal sebagai Kompilasi Hukum

Islam (KHI). Objek pemberlakuan kompilasi ini adalah khusus bagi

masyarakat Muslim Indonesia. selain itu, kompilasi ini mengandung

komposisi yang lebih lengkap terkait hukum keluarga Islam Indonesia karena

telah mencakup pembahasan tentang kewarisan di samping pembahasan

tentang pernikahan.

C. KHI sebagai Sumber Hukum Materiil Keluarga Islam Indonesia

Pada awalnya, hukum materiil keluarga Islam Indonesia yang berada di

bawah yurisdiksi Pengadilan Agama adalah hukum Islam atau yang lebih dikenal

19

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 14

Page 61: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

44

dengan fikih. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada sub pembahasan

sebelumnya, hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan

hukum tertulis (sistem hukum positif) dan masih berserakan dalam berbagai kitab

karya ulama salaf. Para ulama tersebut hidup dalam keadaan sosiokultural yang

berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia. Para hakim Peradilan Agama

sering kali membuat keputusan yang berbeda atas permaslahan yang sama yang

dihadapi oleh masyarakat Muslim pada masa itu. Oleh karena itu, hakim Peradilan

Agama dinilai tidak konsisten dalam memutuskan perkara. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, badan legislatif menyusun sebuah kompilasi hukum Islam

dengan tujuan untuk memberikan pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dan

menyatukan persepsi di kalangan mereka dalam memutuskan perkara.

1. Latar Belakang dan Proses Penyusunan KHI

Ide kompilasi hukum muncul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung

membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dalam pelaksanaan

pembinaan tersebut, Mahkamah Agung merasakan beberapa permasalahan

yang terjadi di lingkungan Peradilan Agama.20

Salah satu contoh

permasalahan tersebut adalah implementasi hukum Islam yang terkadang

menimbulkan perbedaan pemahaman bagi umat Muslim. Hukum Islam yang

diterapkan di Pengadilan Agama Indonesia sebelum tahun 1991, cenderung

simpang siur disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pendapat di antara para

ulama fikih dalam setiap persoalan. Di samping itu, kerancuan dalam

memahami fikih yang dipandang sebagai hukum yang harus diberlakukan

20

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 98

Page 62: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

45

bukan sekedar doktrin ulama terkadang masih menimbulkan kegalauan para

hakim dalam memutuskan suatu perkara.21

Pada saat itu, para ahli hukum Islam Indonesia merasakan keperluan

adanya keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam

yang akan dijadikan pegangan oleh para hakim di lingkungan Peradilan

Agama. Keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam tersebut

menimbulkan gagasan terwujudnya KHI.22

Adapun tokoh penggagas

perumusan KHI adalah Busthanul Arifin yang pada saat itu menjabat sebagai

Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.23

Setelah gagasan Busthanul Arifin disepakati oleh Mahkamah Agung,

Tim Pelaksana Proyek KHI dibentuk dengan adanya Surat Keputusan

Bersama (SKB) No. 07/KMA/1985 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung

bersama Menteri Agama.24

Proses penyusunan KHI dilakukan secara

partisipatif. Penyusunannya melibatkan pejabat pemerintahan, hakim dan para

pemimpin masyarakat (ulama dan cendekiawan) yang representatif.25

Proyek

penyusunan KHI dimulai sejak tahun 1985. Tim penyusun rancangan

kompilasi ini berasal dari Departemen Agama dan Mahkamah Agung. Proses

21

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, h. 144-145 22

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 99 23

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,

(Jakarta: Kencana, 2004), h. 30 24

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, h. 31 25

Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,

dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,

h. 15

Page 63: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

46

penghimpunan bahan kompilasi tersebut ditempuh melalui empat jalur, yaitu

sebagai berikut:26

a. Pengumpulan data melalui telaah dan kajian kitab-kitab yang berkaitan

dengan materi kompilasi.

Tugas ini dijalankan oleh 7 IAIN dari seluruh Indonesia, yaitu IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, IAIN

Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar Raniry Banda Aceh, IAIN Antasari

Banjarmasin, IAIN Alaudin Makassar dan IAIN Imam Bonjol Padang.

Kitab-kitab fikih yang dikaji tidak hanya yang bermazhab Syâfi„î, tetapi

juga kitab-kitab yang bermazhab Ḫanbalî, Mâlikî dan Ḫanafî. Langkah

kajian kitab ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami perbandingan

pemikiran di antara keempat ajaran mazhab. Langkah ini sangat

bermanfaat bagi perkembangan hukum Islam Indonesia yang sedang

berhadapan dengan paradigma baru dan pluralisme masyarakat.27

b. Pengumpulan data melalui wawancara dengan para ulama yang

dilakukan oleh beberapa Pengadilan Tinggi Agama.

Langkah ini mempunyai peran penting karena anggapan dasar bahwa

KHI ditujukam untuk mensistemasi dan menyusun aturan-aturan Islam

untuk mengatur masalah-masalah keluarga yang selama ini diterapkan

oleh umat Islam dan hakim Pengadilan Agama di Indonesia yang

berdasarkan pada kitab fikih. Ulama yang dipandang memiliki

26

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, h. 148 27

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18

Page 64: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

47

kredibilitas karena pengetahuan mereka tentang hukum Islam dipandang

sangat akrab dengan aturan-aturan hukum yang telah diterapkan dalam

masyarakat Muslim. Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendapatkan

aspirasi luas dari masyarakat yang nantinya akan menghadirkan hukum-

hukum yang mapan dan sesuai bagi masyarakat Muslim Indonesia.28

c. Penelitian terhadap yurisprudensi Pengadilan Agama dengan cara

menganalisis keputusan-keputusan yudisial Pengadilan Agama sepanjang

abad-abad sebelumnya yang telah terhimpun.

Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan argumen paling

kuat untuk mendukung penetapan hukum-hukum terkait masalah-

masalah tertentu.29

d. Pengumpulan data melalui perbandingan dengan hukum-hukum yang

berlaku di beberapa negara Islam seperti Maroko, Turki dan Mesir.

Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan studi banding

dengan beberapa negara yang Islam yang telah berhasil melakukan

kodifikasi hukum keluarga Islam. Studi ini dilakukan untuk melihat

bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana prosedur yudisial

dipersiapkan dalam praktek peradilan negara-negara tersebut. Beberapa

informasi penting yang diperoleh dari langkah ini adalah tentang sistem

peradilan, penyerapan syariah ke dalam hukum nasional dan sumber-

28

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 18-19 29

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 19-20

Page 65: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

48

sumber yang menjadi hukum terapan dari permasalahan-permasalahan

keluarga yang sedang berkembang di negara-negara tersebut.30

Setelah data-data tersebut dihimpun, tim penyusun kompilasi

mengolahnya menjadi konsep KHI. Hasil konsep tersebut kemudian dibahas

oleh para ulama dan cendekiawan Muslim melalui lokakarya yang diadakan

pada tanggal 2-6 Februari 1988 di Jakarta. Hasil lokakarya tersebut

kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk

memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Pada akhirnya, KHI

secara resmi ditetapkan sebagai salah satu sumber hukum materiil untuk

perkara-perkara yang diselesaikan di Pengadilan Agama melalui Instruksi

Presiden No. 1 Tahun I991 yang diproklamirkan pada tanggal 10 Juni

1991.31

KHI adalah fikih Indonesia yang disusun dengan memperhatikan

kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.32

Pasal-pasal yang

dirumuskan dalam KHI adalah bersumber dari produk-produk fikih hasil

pemikiran para ulama mazhab yang telah disesuaikan dengan kondisi

masyarakat Islam Indonesia. Di antara kitab-kitab fikih dan usul fikih yang

menjadi sumber rujukan materi KHI adalah Al-Bâjûrî, Fatḫ al-Mu‘în,

Qalyûbî, Fatḫ al-Wahhâb, Targhîb al-Musytâq, Bughyat al-Mustarsyidîn, Al-

30

Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h. 20 31

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Komilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 37 32

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 101

Page 66: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

49

Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, Mughnî al-Muḫtâj, Al-Muḫallâ, Bidâyat

al-Mujtahid, Al-Umm, Al-Mughnî, Al-Muwaṯṯa’, Fiqh al-Sunnah, Al-Wajîz,

I‘ânat al-Ṯâlibîn, Al-Qawânîn al-Syar‘iyyah, Fatḫ al-Qadîr dan lain-lain.33

2. Landasan Yuridis dan Kedudukan KHI

Landasan atau dasar hukum keberadaan KHI di Indonesia terdiri dari

tiga tahapan, yaitu:

a. Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Instruksi Presiden tersebut

ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI yang

sudah disepakati oleh para ulama Indonesia dalam lokakarya yang

diselenggarakan pada 5 Februari 1988.34

Konsideran Instruksi ini

meyatakan bahwa KHI dapat digunakan sebagai pedoman dalam

penyelesaian masalah-masalah di bidang-bidang tertentu yang diaturnya,

yaitu perkawinan, kewarisan dan perwakafan.35

b. Keputusan Menteri Agama RI No. 154 tanggal 22 Juli 1991 tentang

Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.36

Keputusan Menteri

Agama ini menyatakan bahwa KHI dapat digunakan untuk meyelesaikan

permasalahan hukum di samping peraturan perundang-undangan lainnya.

Hal ini menunjukkan adanya kesederajatan KHI dengan peraturan

perundang-undangan lain yang sedang berlaku.37

33

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 52 34

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta:

Akademika Pressindo, 2001), h. 53 35

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 36

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55 37

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57

Page 67: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

50

c. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas

nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal

25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.38

Dari beberapa landasan hukum yang menjadi dasar KHI di atas, maka

kita dapat meyimpulkan bahwa KHI memiliki kedudukan yang sederajat

dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang juga mengatur tentang

perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Di samping itu, KHI juga bersifat

mengikat bagi para pihak yang terkait permasalahan, yaitu pihak yang

bersengketa dan para hakim. Kedua belah pihak ini terikat dan berkewajiban

sepenuhnya untuk melaksanakan isi dari KHI. Meskipun demikian, kewajiban

pelaksanaan KHI ini tidak menutup kemungkinan bagi para hakim

Pengadilan Agama untuk melakukan penemuan Hukum.39

3. KHI sebagai Legalformal Fikih Indonesia

Materi pokok yang diatur oleh KHI terdiri dari tiga bidang hukum,

yaitu sebagai berikut:40

a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, terdiri atas 19 Bab meliputi 170

pasal (pasal 1 sampai dengan pasal 170)

38

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 57-58 39

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 62 40

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 49

Page 68: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

51

b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, terdiri atas 6 Bab meliputi 43 pasal

(pasal 171 sampai dengan pasal 214)

c. Buku III tentang Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 Bab meliputi 12 pasal

(pasal 215 sampai dengan pasal 228)

Penyusunan KHI di Indonesia dapat kita pandang sebagai suatu proses

transformasi hukum Islam dari bentuk yang tidak tertulis menjadi suatu

peraturan perundang-undangan yang tertulis.41

Keberhasilan bangsa Indonesia

melahirkan KHI merupakan salah satu prestasi besar dalam upaya

mewujudkan kesatuan hukum Islam dalam bentuk tertulis. Setelah KHI

disahkan menjadi sebuah sumber hukum, semua hakim di lingkungan

Peradilan Agama diarahkan kepada persepsi penegakan hukum yang sama.

Para hakim Peradilan agama tidak lagi diperkenankan untuk menjatuhkan

putusan-putusan hukum yang berdisparitas.42

Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari

kebutuhan masyarakat di bidang hukum yang digali dari (sumber) nilai-nilai

hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan

hukum dan ketentraman batin masyarakat, karena ia menawarkan simbol-

simbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang

sakral. KHI juga megakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran di

bidang fikih yang secara sosiologis memiliki daya peran dan daya ikat di

41

Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,

dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,

h. 8 42

Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia, h. 150

Page 69: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

52

dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan

oleh warga masyarakat yang memerlukannya.43

KHI disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum

Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam

dipaksa untuk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi

diserahkan atas kehendak masing-masing pemeluk Islam, tetapi ditunjuk oleh

seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas

dan pelaksana penerapan KHI. Sejak KHI dirumuskan, derajat penerapan

hukum Islam telah terangkat sebagai hukum perdata resmi yang bersifat

publik yang penerapannya dapat dipaksakan oleh alat kekuasaan negara,

terutama oleh Badan Peradilan Agama.44

43

Cik Hasan Bisri, “Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia”,

dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia,

h. 15 44

M. Yahya Harahap, “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan

Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Kompilasi Hukum Islam dan

Peradilan Agama di Indonesia, h. 34-35

Page 70: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

53

BAB IV

ANALISIS APLIKASI KAIDAH FIKIH “إذا ضاق األمر اتسع” DALAM KHI

SEBAGAI SUMBER HUKUM MATERIIL KELUARGA ISLAM DI

INDONESIA

Lingkup pembahasan hukum keluarga yang diatur dalam KHI terdiri dari

pernikahan, perwalian, perceraian, wasiat dan kewarisan. KHI sebagai kitab fikih

Indonesia yang telah dilegalformalkan juga menerapkan berbagai macam kaidah

fikih dalam substansi materinya. Menurut penulis, salah satu kaidah fikih yang

diaplikasikan dalam KHI adalah kaidah “إذا ضاق األمر اتسع”. Setelah melakukan

pengamatan pada pasal demi pasal yang terdapat di KHI, penulis menemukan

beberapa pasal yang menerapkan konsep kaidah ini, di antaranya sebagai berikut:

A. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Pernikahan

1. Pengajuan isbat nikah bagi pernikahan yang tidak dapat dibuktikan dengan

akta nikah

Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dapat dibuktikan

dengan akta nikah, maka pasangan suami istri yang bersangkutan dapat

mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Pernikahan yang diakui oleh

negara adalah pernikahan yang telah dicatatkan di Catatan Sipil Negara.

Pencatatan nikah akan berakibat pada perlindungan hukum bagi para pihak

yang ada dalam ikatan pernikahan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagian

masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa pencatatan pernikahan adalah

hal sangat penting di negara kita. Pasal ini menunjukkan fleksibilitas hukum

bahwa pernikahan tanpa akta nikah bukan berarti legalitasnya tidak akan

Page 71: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

54

diakui oleh negara untuk selamanya. Keluasan hukum yang diberikan oleh

pasal ini adalah kesempatan bagi sepasang suami istri untuk mengajukan isbat

ke Pengadilan Agama agar pernikahan mereka mendapatkan perlindungan

hukum dan legalitas dari negara.

2. Persetujuan menikah dengan menggunakan tulisan atau isyarat bagi orang

yang tuna wicara atau tuna rungu

Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa calon mempelai yang hendak

melaksanakan pernikahan sedangkan ia dalam kondisi tuna wicara atau tuna

rungu, maka ia dapat menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan

tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Persetujuan untuk menikah dari

mempelai laki-laki dan perempuan adalah hal yang sangat penting.

Pernikahan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari kedua belah

pihak mempelai. Persetujuan yang dimaksud adalah dengan lisan. Namun

apabila salah seorang dari mempelai adalah tuna wicara atau tuna rungu,

maka pasal ini memberikan keluasan hukum dengan memperbolehkan

persetujuan dengan menggunakan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

3. Perwalian wali ab‘ad (yang lebih jauh hubungan nasabnya) dikarenakan uzur

wali aqrab (yang lebih dekat hubungan nasabnya)

Pasal 22 menyatakan bahwa apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat

sebagai wali, tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak

perwaliannya bergeser pada wali nikah lain yang berada pada derajat nasab

berikutnya. Dalam undang-undang pernikahan Islam Indonesia, wali adalah

salah satu rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita. Oleh

Page 72: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

55

karena itu, pernikahan tanpa wali dari pihak perempuan, maka pernikahan

tersebut tidak sah. Wali nikah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu (1)

kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas seperti ayah dan seterusnya; (2)

kelompok kerabat saudara laki-laki dan keturunannya; (3) kelompok kerabat

paman dan keturunannya; (4) kelompok saudara laki-laki kandung kakek dan

keturunannya. Orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah orang

yang memiliki hubungan nasab paling dekat dengan calon mempelai

perempuan. Apabila wali aqrab tidak memenuhi syarat sebagai wali, tuna

wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka bukan berarti calon mempelai

sudah tidak bisa melangsungkan pernikahan. Pasal ini memberikan keluasan

hukum berupa kebolehan mengangkat wali nikah dari golongan ab‘ad (yang

lebih dekat hubungan nasabnya) sehingga pernikahan tetap bisa dilaksanakan.

4. Penunjukan wali hakim disebabkan uzur wali nasab

Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa wali hakim boleh bertindak sebagai wali

nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, tidak diketahui

tempat tinggalnya (ghâ’ib) atau enggan untuk menikahkan (‘adlal). Kondisi

seperti ini biasanya dialami oleh perempuan yang tinggal jauh dari

keluarganya. Ketika perempuan tersebut hendak menikah sedangkan ia tidak

mungkin mendatangkan wali nasab untuk menikahkannya, maka pasal ini

memberikan keluasan hukum berupa kebolehan menunjuk wali hakim untuk

menikahkannya.

5. Perwakilan ucapan qabûl nikah oleh laki-laki lain atas kuasa dari mempelai

pria

Page 73: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

56

Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, ucapan qabûl

nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan ia telah memberi

kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah

tersebut adalah untuk mempelai pria. Apabila mempelai pria berhalangan

hadir pada majelis akad nikahnya dikarenakan suatu sebab yang sangat

mendesak, sedangkan majelis tersebut juga tidak memungkinkan untuk

dirubah waktu pelaksanaannya, maka ia diperbolehkan mewakilkan ucapan

qabûl nikahnya kepada orang lain yang dipercayainya. Kuasa tersebut harus

berupa kuasa tertulis dan disertai saksi atas perwakilan tersebut. Keluasan

hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah kebolehan bagi mempelai pria

untuk mewakilkan ucapan qabûl nikahnya kepada laki-laki lain atas kuasa

darinya sehingga majelis pernikahan tersebut dapat tetap dilangsungkan

dengan tanpa perubahan waktu yang mungkin malah akan menimbulkan

kesulitan bagi kedua belah pihak mempelai yang hendak menikah.

6. Penggantian mahar yang hilang dengan barang jenis lain ketika mahar belum

diserahkan kepada mempelai wanita

Pasal 36 menyatakan bahwa apabila mahar telah hilang sebelum diserahkan

pada mempelai wanita, maka mahar tersebut dapat diganti dengan barang lain

yang sama atau berbeda jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli

yang telah hilang. Meskipun mahar bukan termasuk salah satu dari rukun

pernikahan, pemberian mahar tetap harus dilakukan oleh mempelai pria,

walaupun hanya berupa barang yang remeh dan kecil. Hal ini dikarenakan

mahar merupakan simbol penghargaan bagi mempelai wanita untuk dimiliki

Page 74: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

57

oleh laki-laki. Sebelum pernikahan dilangsungkan, biasanya kedua belah

pihak telah berdiskusi untuk menentukan bentuk mahar yang akan diberikan.

Apabila mahar yang telah disepakati hilang sebelum diserahkan kepada

mempelai wanita, maka pasal ini memberikan keluasan hukum berupa

kebolehan menggantikan mahar dengan barang lain yang sama atau berbeda

jenis yang harganya senilai dengan barang mahar asli.

7. Ketidakperluan persetujuan istri untuk memberikan izin bagi suami yang

hendak menikah lagi ketika istri berada dalam keadaan yang tidak

memungkinkan untuk diminta persetujuan

Pasal 58 ayat (3) menyatakan bahwa seorang suami tidak memerlukan

persetujuan istrinya untuk menikah lagi ketika istrinya berada dalam keadaan

yang tidak mungkin untuk diminta persetujuannya, tidak dapat menjadi pihak

dalam perjanjian, tidak memberikan kabar minimal selama dua tahun atau

karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Kerelaan

pihak istri adalah salah satu syarat yang harus didapatkan oleh suami sebelum

ia memutuskan untuk menikah lagi. Namun, adakalanya persetujuan dari istri

untuk suami menjadi hal yang sulit untuk didapatkan dikarenakan sebab-

sebab tertentu, misalnya istri meninggalkan suami selama lebih dari dua

tahun tanpa memberikan kabar sama sekali. Oleh karena itu, dalam kondisi

ini, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa kebolehan bagi suami

untuk menikah lagi meskipun tanpa persetujuan dari istrinya.

8. Pengajuan pembatalan pernikahan dikarenakan adanya unsur perbuatan

melanggar hukum dalam pernikahan

Page 75: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

58

Perihal ini diatur dalam pasal 72. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa salah

satu pihak suami atau istri boleh mengajukan pembatalan pernikahan apabila

pernikahan yang dilangsungkan berada di bawah ancaman yang melanggar

hukum. Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa pengajuan

pembatalan pernikahan dapat dilakukan apabila pada saat pernikahan

berlangsung, terdapat penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau

istri. Pasal ini memberikan keluasan hukum bagi salah satu pihak yang

dirugikan, baik suami atau istri, untuk mengajukan pembatalan atas

pernikahan yang mengandung unsur zalim. Apabila pernikahan tersebut tetap

dilanjutkan maka malah akan meyebabkan kesengsaraan bagi pihak yang

merasa dizalimi. Hal ini tentu tidak akan dapat mewujudkan tujuan

pernikahan, yaitu untuk membina rumah tangga sâkinah yang di dalamnya

terdapat mawaddah dan raḫmah sebagaimana yang diharapkan oleh pasal 3.

9. Pembebanan pembayaran hutang keluarga kepada harta pribadi suami atau

istri

Perihal ini diatur dalam pasal 93. Ayat (3) pasal ini menyatakan bahwa

pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan

keluarga bisa dibebankan kepada harta pribadi milik suami apabila harta

bersama tidak mencukupi pembayaran hutang tersebut. Begitu juga dengan

ayat (4) pasal ini, pertanggungjawaban bisa dibebankan kepada harta pribadi

milik istri. Pada dasarnya, pertanggungjawaban hutang untuk kepentingan

keluarga seharusnya dibebankan kepada harta bersama. Akan tetapi, apabila

harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri tidak dapat mencukupi

Page 76: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

59

pembayaran hutang tersebut, maka situasi ini menghendaki agar suami atau

istri merelakan harta milik pribadinya untuk menutupi kekurangan

pembayaran hutang.

B. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perwalian

1. Penunjukan pengasuh anak dari kerabat ketika kedua orang tua tidak mampu

melaksanakannya

Pasal 98 ayat (3) menyatakan bahwa apabila orang tua kandung tidak mampu

memelihara anaknya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang

dari kerabat terdekat yang dipandang mampu untuk menggantikan peran

orang tua kandung. Adapun tugas yang harus dilakukan oleh kerabat

pengganti orang tua tersebut adalah mewakili anak tersebut di segala

perbuatan hukumnya, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pada

dasarnya, pihak yang bertanggung jawab untuk memelihara anak adalah

orang tua kandung anak itu sendiri. Namun, apabila orang tua kandungnya

tidak mampu memelihara dan menjaganya dengan baik, maka kondisi ini

tidak akan membahagiakan anak tersebut. Oleh karena itu, pasal ini

memberikan keluasan hukum bagi anak agar pengadilan menunjuk salah

seorang dari kerabat dekatnya untuk menggantikan peran orang tua

kandungnya.

2. Penetapan asal-usul anak oleh pengadilan terhadap anak yang tidak memiliki

akta kelahiran

Pasal 103 ayat (2) menyatakan bahwa apabila bukti otentik kelahiran seorang

anak tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan

Page 77: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

60

tentang asal-usul anak tersebut setelah melakukan pemeriksaan terhadap alat

bukti yang sah. Asal-usul seorang anak adalah sesuatu yang harus diketahui.

Secara tidak langsung, kejelasan asal-usul seorang anak akan berpengaruh

pada pandangan masyarakat terhadapnya. Selain itu, asal-usul seorang anak

juga berhubungan dengan kependudukan, kewarisan, kewalian dan

permasalahan-permasahan sipil lainnya. Di Indonesia, kejelasan asal-usul

seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti

lainnya seperti surat hasil tes DNA. Apabila seorang anak tidak memiliki

bukti-bukti tersebut, maka pasal ini memberikan keluasan hukum bagi anak

tersebut untuk mengajukan permohonan penetapan asal-usul atas dirinya.

Setelah pengadilan melakukan pemeriksaan berdasarkan bukti-bukti sah yang

diajukan oleh pihak pemohon, maka pengadilan akan mengeluarkan surat

ketetapan asal-usul anak tersebut dan status anak tersebut menjadi jelas.

3. Pengalihan fungsi harta anak di bawah umur oleh orang tua demi kepentingan

dan keselamatan anak

Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa orang tua tidak diperbolehkan

memindahkan atau menggadaikan harta anaknya yang masih di bawah umur

kecuali hal tersebut dilakukan untuk keperluan mendesak yang tidak dapat

dihindari atau berhubungan dengan keselamatan anak. Pada dasarnya,

kewajiban orang tua terhadap harta anaknya yang berusia di bawah umur

hanya merawat dan mengembangkan harta tersebut dan tidak diperbolehkan

untuk mengalihfungsikannya. Akan tetapi, apabila suatu kenyataan terjadi

dikarenakan oleh suatu sebab yang tidak dapat dihindari, misalnya yang

Page 78: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

61

berhubungan dengan keselamatan anaknya, maka pasal ini memberikan

keluasan hukum bagi orang tua untuk mengalihfungsikan harta tersebut.

4. Permohonan kerabat untuk menjadi wali bagi seorang anak ketika walinya

telah lalai dalam melaksanakan tugas

Pasal 107 ayat (3) menyatakan bahwa apabila seorang wali tidak mampu atau

lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat

menunjuk salah seorang kerabat anak tersebut untuk bertindak sebagai wali

atas permohonan dari pihak kerabat. Perwalian yang dimaksud dalam pasal

ini adalah perwalian terhadap diri dan harta anak. Pada dasarnya, anggota

keluarga yang paling berhak menjadi wali dalam hal ini adalah orang tua

anak. Namun apabila wali tersebut tidak mampu atau lalai dalam

melaksanakan tugas perwaliannya, maka pasal ini memberikan keluasan

hukum berupa penetapan wali dari kerabat anak oleh pengadilan. Hal ini tidak

lain ditujukan untuk kemaslahatan anak.

5. Pencabutan hak sebagai wali bagi pihak yang tidak mampu, lalai atau

bertabiat buruk

Pasal 109 menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak

perwalian seseorang atau badan hukum yang tidak mampu, lalai atau bertabiat

buruk dan memindahkan hak tersebut kepada orang lain atas permohonan

kerabat anak demi melindungi kepentingan anak yang berada di bawah

perwalian. Perwalian semacam ini biasanya didapatkan oleh anak setelah

orang tuanya meninggal dunia. Orang tua anak mewasiatkan perwalian anak

kepada orang atau badan hukum tertentu. Apabila orang atau badan hukum

Page 79: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

62

yang mendapatkan hak perwalian atas anak tersebut tidak mampu, lalai atau

bertabiat buruk, maka keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah

kebolehan bagi kerabat anak untuk mengajukan permohonan pencabutan dan

pemindahan hak perwalian dari pihak penerima wasiat perwalian. Hal ini juga

ditujukan untuk melindungi kepentingan anak yang berada di bawah

perwalian.

6. Pemindahan hak ḫadlânah

Pasal 156 huruf (c) menyatakan bahwa Pengadilan Agama dapat

memindahkan hak ḫadlânah kepada kerabat lain atas permintaan kerabat anak

apabila pemegang ḫadlânah yang sebenarnya tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan ḫadlânah

tercukupi. Ibu kandung dari anak adalah orang yang paling berhak atas

ḫadlânah. Apabila ibu telah meninggal maka kedudukannya digantikan oleh

ayah atau wanita-wanita yang memiliki hubungan kerabat dekat dengan ibu

atau ayahnya. Pada dasarnya, hal yang paling diutamakan dalam ḫadlânah

adalah keselamatan jasmani dan rohani anak, bukan kecukupan biaya nafkah

dan ḫadlânah. Oleh karena itu, pasal ini memberikan keluasan hukum berupa

kebolehan pengajuan permohonan untuk memindahkan hak hadlânah pada

pihak kerabat lain yang lebih dapat dipercaya menjaga kemaslahatan anak.

C. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Perceraian

1. Permintaan dan permohonan salinan akta cerai yang hilang

Perihal ini diatur dalam pasal 9. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa akta

cerai yang hilang dapat dapat dimintakan salinannya ke Pengadilan Agama.

Page 80: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

63

Selanjutnya, ayat (2) pasal ini menyatakan jika pengadilan tidak memberikan

salinan akta cerai yang diminta, maka pihak mantan suami atau istri dapat

mengajukan permohonan ke pengadilan. Akta cerai adalah sama pentingnya

dengan akta nikah karena akta cerai adalah bukti otentik bahwa seseorang

tidak berada dalam suatu ikatan pernikahan dengan orang lain. Apabila

seseorang yang telah bercerai dari mantan pasangannya dengan perceraian

yang sah atau legal, kehilangan akta cerainya, sedangkan ia membutuhkannya

untuk menikah lagi misalnya, maka ia bisa meminta salinan akta tersebut ke

Pengadilan Agama. Apabila pengadilan tidak mau memberikan salinan akta

tersebut, maka ia bisa menggunakan cara lain yaitu dengan mengajukan

permohonan ke pengadilan. Pasal ini memberikan solusi keluasan hukum

berupa pemberian salinan akta bagi seseorang yang kehilangan akta asli.

2. Penerimaaan gugatan cerai oleh pengadilan tanpa kehadiran tergugat

Pasal 138 ayat (4) menyatakan bahwa pengadilan dapat menerima gugatan

cerai yang diajukan oleh istri kepada suami atau kuasanya yang tidak pernah

hadir ke pengadilan dan tidak diketahui tempat tinggalnya serta telah

diumumkan oleh pihak pengadilan melalui surat kabar sebanyak dua kali

dalam jangka waktu dua bulan. Gugatan cerai jenis ini mungkin saja terjadi

dikarenakan suami telah pergi meninggalkan istri tanpa kabar dalam waktu

yang lama. Alasan ini memperbolehkan istri untuk menggugat cerai

suaminya. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah penerimaan

gugatan cerai oleh pengadilan. Apabila gugatan telah diterima oleh

pengadilan maka proses perceraian dapat segera dilaksanakan. Dalam kondisi

Page 81: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

64

ini, hal yang diutamakan adalah kejelasan status wanita tersebut dan

kesejahteraan hidupnya ketika suaminya pergi meninggalkannya. Apabila

pengadilan telah memutuskan hubungan di antara keduanya sebagai suami

istri, maka mantan istri telah mendapatkan kejelasan atas status hukumnya

dan diperbolehkan untuk menikah lagi dengan laki-laki lain.

3. Permintaan salinan akta rujuk yang hilang atau rusak

Pasal 166 menyatakan bahwa akta rujuk yang hilang atau rusak sehingga

tidak dapat dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan salinannya kepada

instansi semula yang mengeluarkan akta tersebut. Akta rujuk adalah salah

satu berkas penting yang akan digunakan untuk mengambil Kutipan Akta

Nikah di Pengadilan Agama tempat pasangan suami istri melangsungkan

perceraian sebelumnya. Pasangan rujuk yang belum mengambil Kutipan Akta

Nikah maka pasangan ini belum diakui oleh hukum sebagai pasangan rujuk

yang legal. Oleh karena itu, pasal ini memberikan solusi keluasan hukum

berupa pemberian kesempatan bagi pasangan yang kehilangan akta untuk

meminta salinannya.

D. Aplikasi Kaidah dalam KHI Bidang Kewarisan dan Wasiat

1. Pengalihan bentuk harta warisan

Pasal 189 ayat (2) menyatakan bahwa harta warisan yang pada awalnya

berupa lahan dapat dialihkan menjadi uang jika memang ada salah satu ahli

waris yang memerlukan uang tersebut. Pasal ini merupakan bentuk keluasan

hukum dari pasal sebelumnya, yaitu pasal 189 ayat (1) yang menyatakan

bahwa harta warisan yang berupa lahan agar tetap dipertahankan kesatuan

Page 82: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

65

bentuknya sebagaimana semula dan dimanfaatkan tuntuk kepentingan

bersama. Pasal ini juga mengandung asas tolong-menolong antar sesama

Muslim, terutama antar saudara sesama penerima harta waris.

2. Menyampaikan wasiat di hadapan selain pejabat

Pasal 206 menyatakan bahwa orang yang hendak berwasiat sedangkan ia

berada dalam perjalanan laut, maka wasiatnya dapat disampaikan pada

nahkoda kapal atau orang yang menggantikannya dengan disertai dua orang

saksi. Keluasan hukum yang diberikan oleh pasal ini adalah bahwa wasiat

tidak selalu harus disampaikan kepada pejabat berwenang seperti Notaris.

Kondisi orang yang hendak berwasiat yang sedang berada dalam perjalanan

laut, belum tentu ia dapat menemukan pejabat Notaris di kapal yang

ditumpanginya tersebut. Oleh karena itu, sebagai solusi yang diberikan oleh

pasal ini, ia diperkenankan untuk menyampaikan wasiatnya kepada nahkoda

kapal atau orang yang menggantikannya dengan dua orang saksi yang dapat

dipercaya akan menyampaikan wasiatnya kelak.

Setelah penulis menyebutkan dan menjelaskan satu-persatu pasal KHI yang

dipandang sebagai aplikasi dari kaidah kaidah fikih “ األمر اتسع إذا ضاق ” di atas,

penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pasal-pasal tersebut menghendaki

kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.

Page 83: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis memaparkan konsep kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” dan

menganalisis pengaplikasiannya dalam sumber hukum materiil keluarga Islam di

Indonesia, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” adalah apabila suatu kondisi yang

dihadapi oleh mukallaf menjadi sempit, maka cara pelaksanaanya menjadi

lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam

menjalankan suatu aturan hukum, maka menurut kaidah ini dalam kedaan

tersebut, ia mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keringanan dan

kelonggaran hukum atas suatu permasalahan yang dihadapinya. Ketika suatu

aturan hukum syariat yang berlaku menjadi alasan pembebanan atau pemberat

bagi mukallaf untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia berhak mendapatkan

keringanan dan kelonggaran hukum (rukhṣah) dengan alasan-alasan tertentu.

2. KHI sebagai satu-satunya sumber hukum materiil keluarga Indonesia yang

murni berasal dari hukum Islam telah mengaplikasikan konsep kaidah fikih

dalam pasal-pasalnya. Keseluruhan dari peraturan yang ”إذا ضاق األمر اتسع“

disampaikan oleh pasal-pasal tersebut pada hakikatnya menghendaki

kemudahan dan kemaslahatan bagi masyarakat Muslim Indonesia.

Page 84: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

67

B. Saran

Dari kesimpulan yang telah penulis sampaikan sebelumnya, maka penulis

juga ingin memberikan saran-saran terkait dengan pengaplikasian kaidah fikih “ إذا

:yaitu sebagai berikut ,”ضاق األمر اتسع

1. Sebagai subjek hukum, kita harus selalu mengingat bahwa fleksibilitas

hukum, baik hukum Islam maupun konvensional bukanlah tanpa batasan.

Keluasan hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah ini juga

memiliki pembatasan tertentu sehingga kita tidak diperbolehkan seenaknya

sendiri mempermainkan aturan syariat atau hukum yang berlaku.

2. Sebenarnya, pengaplikasian kaidah fikih “إذا ضاق األمر اتسع” tidak hanya

terbatas ada pada pasal-pasal KHI. Majelis hakim sebagai pembuat keputusan

atas permaslahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat hendaknya

berpegang teguh pada kaidah ini. Karena dengan pertimbangan kaidah ini,

hakim diarahkan untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai sisi

keadaan yang sedang dihadapi oleh penuntut keadilan.

Page 85: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

68

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

„Azzâm, Abd al-„Azîz. Al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2005.

Abbas, Ahmad Sudirman. Sejarah Qawa‘id Fiqhiyyah, cet. II. Tangerang

Selatan: Adelina Bersaudara. 2008.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. III. Jakarta: Akademika

Pressindo. 2001.

Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, cet. IV.

Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

1975.

Al-Baihaqî. Al-Sunan al-Kubrâ. Makkah: Maktabah Dâr al-Bâz. 1994.

Bek, Muḫammad Kudlarî. Târîkh Tasyri‘ al-Islâmî. Jakarta: Dâr al-Kutub al-

Islâmiyyah. 2007.

Bisri, Cik Hasan, Ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.

Al-Bukhârî. Ṣaḫîḫ al-Bukhârî. Damaskus: Dâr Ṯauq al-Najâh. 1422 H.

Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah Fikih, cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.

Al-Fadani, Yasin. Al-Fawâ’id al-Janiyyah. Beirut: Dâr al-Maḫajjah al-Baiḏâ‟.

2008.

Al-Ghazâlî. Iḫyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Mesir: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyyah. 2010.

Haq, Abdul dkk. Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, cet. V.

Surabaya: Khalista. 2009.

Ibn Ḫanbal, Aḫmad. Musnad Aḫmad. Kairo: Muassasah Qurṯubah. Tth.

Ibn Mâjah. Sunan Ibn Mâjah. Kairo: Dâr al-Ḫadîts. 2010.

Ibn Manẕûr. Lisân al-‘Arab. Saudi Arabia: Dâr „Âlim al-Kutub. 2003.

Jahar, Asep Saepudin dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis: Kajian

Perundang-Undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional. Jakarta:

Kencana. 2013.

Page 86: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

69

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi‘in. Kairo: Maktabah al-Kulliyyât

al-Azhâriyyah. 1968.

Al-Juwainî. Al-Burhân fî Uṣûl al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1997.

Al-Khâdamî, Nûr al-Dîn. Al-Ijtihâd al-Maqâṣidî. Qatar: Kitâb al-Ummah. 1998.

Al-Laṯîf, „Abd al-Raḫmân Ibn Ṣâliḫ al-„Abd. Al-Qawâ‘id wa al-Dlawâbiṯ al-

Fiqhiyyah al-Mutadlamminah li al-Taysîr. Madinah: Lembaga Penelitian

Keilmuwan Universitas Islam Madinah. 2003.

Musbikin, Imam. Qawa‘id al-Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001.

Al-Mûṣilî, Abû Ya„lâ. Musnad Abî Ya‘lâ. Damaskus: Dâr al-Ma‟mûn li al-Turâts,

1984.

Nata, Abudin. Masail Al-Fiqhiyah, cet. II. Jakarta: Kencana. 2006.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai

KHI. Jakarta: Kencana. 2004.

Al-Qaradlâwî, Yûsuf. Dirâsah fî Fiqh Maqâṣid al-Syarî‘ah, cet. III. Kairo: Dâr

al-Syurûq. 2008.

Al-Qarâfî. Al-Furûq. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1998.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2003.

Al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabî. Tth.

Suma, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2004.

Al-Subkî, Tâj al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al-

„Ilmiyyah. 1991.

Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Asybâh wa al-Naẕâ’ir fî Qawâ‘id wa Furû‘ Fiqh al-

Syâfi‘î. Kairo: Dâr al-Taufiqiyyah li al-Turâts. 2009.

Al-Syâṯibî, Al-Muwâfaqât. Kementrian Agama Saudi Arabia. 1424 H.

Al-Syaukânî. Irsyâd al-Fuḫûl. Riyad: Dâr al-Fadlîlah. 2000.

Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Hukum Islam dalam

Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.

Page 87: APLIKASI KAIDAH FIKIH IDZÂ ḎÂQA AL AMR ITTASA‘A …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30181/1/... · Kata kunci : Kaidah fikih, masyaqqah, keluasan hukum, KHI

70

Wâṣil, Naṣr Fârid Muḫammad dan „Abd al-„Azîz Muḫammad „Azzam. Qawaid

Fiqhiyyah. Penerjemah Wahyu Setiawan. Jakarta: Amzah. 2013.

Zuhailî, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Beirut: Dâr al-Fikr. 1989.

Rahmawati, Anif. “Respon Masyarakat terhadap Hukum Keularga Islam”. Artikel

diakses pada 24 Oktober 2015 dari https:

//www.academia.edu/4836677/RESPON-MASYARAKAT- TERHADAP-

HUKUM-KELUARGA-ISLAM.