pistaza.files.wordpress.com · iv kaidah fikih ekonomi @.april purwanto, 2019 penyuntung naskah :...

266
i KAIDAH FIKIH EKONOMI

Upload: others

Post on 26-Sep-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

i

KAIDAH FIKIH EKONOMI

Page 2: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

ii

Page 3: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

iii

April Purwanto

KAIDAH FIKIH

EKONOMI

Page 4: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

iv

Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti

Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry

Desain Sampul : Muhammad Zakky Ramadhan

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

All Rights reserved

Cetakan Pertama, Februari 2019

Diterbitkan Oleh Penerbit Pistaza

Jl Taqwa no 31 Plosokuning IV Rt 17 Rw 07 Minomartani Ngaglik Sleman 55581

Telp 085200713971

Email : [email protected]

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

April Purwanto

Kaidah Fikih Ekonomi/Karya April Purwanto: Penyuntung Naskah, Pudji Hastuti –Cet 1 –Sleman, Pistaza, 2019 xii + 263 h, 14,8 x 21,0 Cm

ISBN 978 602 057-1 Kaidah Fikih Ekonomi I Judul II April Purwanto 9x7.3

Page 5: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

v

KATA PENGANTAR

Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan kekuatan dan hidayah

kepada penyusun untuk menyelesaikan tulisan ini. Walaupun begitu cepat

waktu yang digunakan untuk menyusun buku ini, namun waktu yang

digunakan untuk mempersiapkan bahan dan materi sudah cukup lama

(sekitar dua tahunan). Mengingat buku ini akan segera digunakannya

sebagai bahan kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Program Studi

Ekonomi Syariah pada Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur. Ketika penulis

mendapatkan Surat Keputusan (SK) nomor: 008 Tahun 2019 Tentang

Penetapan Dosen Pengampu mata kuliah, terutama mata kulih Kaidah Fikih

Ekonomi, penulis berfikir tentang materi apa yang harus dipersiapkan

untuk mengantarkan mahasiswa memahami mata kuliah ini.

Awalnya buku ini hanya merupakan rangkuman dari garis besar mata

kuliah saja yang sering penulis bagikan kepada mahasiswa ketika kuliah,

tetapi atas masukan beberapa mahasiwa penulis berusaha menyeriusi

rangkuman kaidah fikih ekonomi ini, menjadi buku ajar mata kuliah,

mengingat belum banyak buku Kaidah Fikih ekonomi di pasaran yang

membahas tentang permasalahan tersebut. Oleh karena itu, penulis

berusaha semaksimal mungkin untuk serius membuat buku yang penulis

harapkan menjadi pedoman mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi. Insya Allah

dengan berjalannya waktu penulis akan berusaha untuk menyempurna-

kannya.

Untuk memahami mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi, mahasiswa

membutuhkan panduan buku-buku rujuan yang mudah dipahami sesuai

dengan daya pikir mahasisawa. Sedangkan buku-buku yang dipasaran

sangat jarang ditemukan buku Kaidah Fikih Ekonomi yang ditulis para

sarjana yang menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti. Ada

kitab-kitab kaidah ushul fikih umum dalam bahasa Arab, semisal kitab

“Asybah wa nadhoir” karya imam Suyuti, sangat tidak mudah dipahami oleh

mahasiswa. Mahasiswa butuh buku yang mudah dipahami. Oleh karena itu,

penulis berusaha sekemampuan penulis untuk mempersembahkan sebuah

Page 6: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

vi

tulisan Kaidah Fikih Ekonomi sebagai bahan kuliah semester IV untuk mata

kuliah Kaidah Fikih Ekonomi pada program Studi Ekonomi Syariah pada

Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) An Nur Yogyakarta.

Pada kesempatan ini penulis berusaha sedikit-demi sedikit mencari-

kan " Kaidah syari’ah dari Kaidah fikihiyyah muyassaroh / kaidah-kaidah

fikih yang mudah " yang telah ditulis oleh ulama' dari generasi salafus

sholeh hingga saat ini.

Harapan dari penulisan buku ini adalah agar para mahasiswa semakin

mengenal Kaidah-Kaidah syar'iyah yang disusun oleh para ulama. Karena

dari kaidah-kaidah ini dibangun diatasnya bangunan agama yang megah ini

yang menjadi acuan dalam menjalani kehidupan di dunia. Selain itu kaidah-

kaidah itu diharapkan akan menjadi acuan dalam istimbat hukum, serta

mempermudah bagi kita untuk memahami agama ini. Para mahasiswa

dalam beragama, diharapkan mampu menggunakan kaidah dengan ilmu

sebagai dasar untuk menentukan status hukum ekonomi di dunia milenial

yang semakin maju ini.

Dalam kehidupan beragama mahasiswa mampu mempertimbangkan

berbagai keadaan sehingga mampu memutuskan status hukum tanpa di-

dasari oleh nafsu dan keinginan yang menjerumuskan. Tentu dengan

memahami terlebih dahulu dasar-dasar istimbat hukum yang berupa

kaidah-kaidah ushuliyah maupun Kaidah-Kaidah fikiyah yang telah di

pikirkan oleh ulama-ulama terdahulu.

Bukan hanya asal menyatakan halal atau haram, boleh atau tidak

boleh pada permasalahan fikih ekonomi kontemporer tetapi dengan ilmu

yang dipahami, dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum dalam buku

ini walaupun sedikit minimal bisa membantu menyelesaikan permasalahan

fikih ekonomi kontemporer. Tentunya dengan kaidah-kaidah yang telah

ditetapkan ulama dan ilmu-ilmu pendukungnya yang menjadi pertimbang-

an untuk memutuskan suatu perkara. Karena hakekat ilmu, pada dasarnya

adalah bagaimana mengetahui kebenaran dengan dalilnya bukan hanya

sekedar akal-akalan & memperturutkan hawa nafsu.

Sebagaimana kata imam Ali r.a tatkala mensikapi perintah rasulullah

untuk mengusap sepatu bagian atas, bukan bagian bawahya bagi orang

Page 7: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

vii

yang berwudhu, ketika memakai sepatu dalam perjalanan (musafir) atau

pada musin dingin. Beliau berkata :

لرأى لكان أسفل الف أ ن أعاله وقد رأيت رسول لو كان الد ين ب لمسح م ول ب يسح على ظاهر خفيه -صلى هللا عليه وسلم-الل

Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf

(Sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sung-

guh aku sendiri telah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian atas kedua

khufnya.

Penulis menyadari dalam penulisan buku Kaidah Fikih Ekonomi ini

masih banyak kekurangan, kata pepatah “ Tidak ada gading yang tidak

retak” tidak ada kesempurnaan dalam hasil karya manusia, Sekecil apapun

pasti ada kekurangan. Penulis memberanikan diri bukan berarti sudah

sempurna, penulis memberanikan karena keterpaksaan dan kebutuhan

untuk memudahkan mahasiswa dalam memahami Kaidah Fikih Ekonomi.

Penulis menyadari betul kekurangan ini, tetapi karena memenuhi kebutuh-

an dalam pembelajaran para mahasiswa penulis berusaha sekuat tenaga

untuk menyelesaikannya.

Oleh karena itu, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada para

pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga terselesaikannya tulisan ini. Terutama teman-teman Dosen IIQ An

Nur, teman-teman Dosen di Fak Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan

Kalijaga, teman-teman yang tergabung di Masyarakat Ekonomi Syariah

(MES) DIY, Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) DIY, Forum Zakat (FOZ) DIY

yang penulis sejak Musyawarah Wilayah tahun 2015 diamanahi menjadi

ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO), Kelompok diskusi Group

WA Masyarakat Zakat Indonesia, Kelompok diskusi Group WA Konsorsium

Investasi Syariah (KIS) Surakarta yang memberikan informasi dan bertukar

pikiran serta pengalaman masing-masing dalam diskusi ekonomi syariah.

Penulis juga berharap adanya kritik dan saran dari para dosen Institut

Ilmu al Qur’an (IIQ) An Nur khususnya dan para dosen di kampus lain,

untuk memberikan masukan hingga sempurnanya buku Kaidah Fikih

Ekonomi ini. Mudah-mudahan buku ini dapat menjadi amal jariah penulis

Page 8: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

viii

dan menjadi bahan bacaan bagi para mahasiswa penikmat Kaidah fikih

ekonomi. Semoga bermanfaat !!!

Plosokuning IV, 24 Maret 2019

April Purwanto

Page 9: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Pendahuluan .......................................................................................... 1

B. Tujuan Pembelajaran Kaidah Fikih Ekonomi ........................................... 3

C. Urgensi Kaidah Fikih Ekonomi ................................................................ 5

D. Kebutuhan akan disiplin ilmu lain ........................................................ 17

BAB II PENGERTIAN KAIDAH ......................................................................................... 21

A. Kaidah dalam konteks Keindonesiaan .................................................. 21

B. Proses terjadinya kaidah itu di Indonesia ............................................. 22

1. Kaidah dalam Realitas Indonesia ...................................................... 24

2. Kaidah Fikih ...................................................................................... 25

BAB III QAIDAH USHULIYYAH ....................................................................................... 29

A. Pengertian Qaidah Ushuliyah ............................................................... 29

B. Contoh Kaidah Ushuliyyah ................................................................... 34

BAB IV KAIDAH FIKIHIYAH ............................................................................................. 39

A. Pengertian Kaidah Fikihiyah ................................................................. 40

B. Macam-macam Kaidah Fikihiyah .......................................................... 43

C. Perbedaan Kaidah Fikihiyyah dan Kaidah Ushuliyah............................. 45

D Hubungan Kaidah Fikihiyah, fikih, Ushul Fikih dan Kaidah Ushuliyyah .. 47

E. Kegunaan dan Fungsi Qowaid Fikihiyah dalam Fikih ............................ 49

F. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah . ................................................ 50

BAB V SEJARAH PERKEMBANGAN KAIDAH FIKIH ................................................ 61

A. Pentingnya Kaidah Fikih ....................................................................... 61

Page 10: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

x

B. Ushul fikih di masa Rasulullah SAW ...................................................... 62

1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan .............................................. 62

2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi ................................................... 65

3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan ........................................... 68

C. Metodologi Penyusunan Kaidah Fikihiyah ............................................ 69

D. Lima Kaidah Ushul Fikih ....................................................................... 69

I. Kaidah Asasi Pertama ....................................................................... 69

II. Kaidah Asasi Kedua .......................................................................... 70

III. Kaidah Asasi Ketiga.......................................................................... 73

IV. Kaidah Asasi Keempat ...................................................................... 75

V. Kaidah Asasi Kelima .......................................................................... 77

BAB VI KAIDAH FIKIH DAN PERMASALAHANNYA ............................................... 81

A. Pengertian Kaidah Fikih ........................................................................ 81

B. Posisi Kaidah Fikih ................................................................................ 82

C. Urgensi Kaidah Fikih ............................................................................. 82

D. Proses kodifikasi kaidah fikih................................................................ 83

E. Sistematika penulisan Kaidah Fikih ...................................................... 84

F. Klasifikasi kaidah fikih .......................................................................... 85

BAB VII MAQASHID SYARIAH DALAM USHUL FIKIH .......................................... 87

A. Maqashid syariah dalam ekonomi islam ................................. 89

B. Bangunan Ekonomi Islam ....................................................... 95

C. Tujuan Ekonomi Islam Berdasarkan Maqashid Syariah .......... 97

D. CSR (Maqashid Syariah Dalam CSR) ........................................ 98

E. Tingkatan Maqashid Syariah ................................................... 99

F. Maqashid Syariah Dalam Konsumsi ........................................ 99

BAB VIII KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI ........................................ 101

A. Kaidah-Kaidah Fikih Yang Berhubungan dengan Masalah Ekonomi ... 101

Page 11: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

xi

B. Penerapan Kaidah Fikih dalam Ekonomi ............................................ 103

BAB IX KAIDAH FIKIH TENTANG TRANSAKSI KEUANGAN ............................ 111

A. Kaidah Fikih dan Kaidah Ushuliyah ................................................... 111

B. Niat dan Motivasi dalam Kontrak ....................................................... 114

C. Konsep Menghilangkan Mudharat .................................................... 116

D. Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam .......................... 118

E. Status Adat ....................................................................................... 120

F. Keyakinan Versus Keraguan ............................................................. 121

BAB X KAIDAH-KAIDAH FIKIH EKONOMI .............................................................. 123

Kaidah Kedua puluh dua ............................................................................................................. 223

Kaidah pertama........................................................................................ 123

Kaidah Kedua ........................................................................................... 128

Kaidah Ketiga ........................................................................................... 132

Kaidah Keempat ....................................................................................... 138

Kaidah Kelima .......................................................................................... 143

Kaidah Keenam ........................................................................................ 146

Kaidah Ketujuh ......................................................................................... 151

Kaidah Kedelapan .................................................................................... 156

Kaidah Kesembilan ................................................................................... 160

Kaidah Kesepuluh..................................................................................... 165

Kaidah Kesebelas ..................................................................................... 167

Kaidah Kedua belas .................................................................................. 169

Kaidah Ketiga belas .................................................................................. 172

Kaidah keempat belas .............................................................................. 174

Kaidah Kelima belas ................................................................................. 181

Kaidah Keenam belas ............................................................................... 185

Kaidah Ketujuh belas................................................................................ 193

Kaidah Kedelapan belas ........................................................................... 200

Page 12: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

xii

Kaidah Kesembilan belas .......................................................................... 208

Kaidah Kedua puluh ................................................................................. 215

Kaidah Kedua puluh satu.......................................................................... 219

Kaidah Kedua puluh tiga .......................................................................... 227

Kaidah Kedua puluh empat ...................................................................... 231

Kaidah Kedua puluh lima ......................................................................... 236

Kaidah Kedua puluh enam ....................................................................... 240

BAB XII. PENUTUP ............................................................................................................. 244

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 246

RIWAYAT PENULIS ........................................................................................................... 254

Page 13: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Pada Semester genap tahun 2019 penulis diminta untuk mengajar

mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

pada program studi Ekonomi Syariah. Mata kuliah ini sebenarnya bagi

penulis merupakan mata kuliah baru, karena baru kali ini penulis ditugasi

untuk mengajar mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi. Bagi penulis ini adalah

hal yang baru karena selama penulis kuliah di jenjang sarjana S1 maupun

S2 penulis tidak pernah mendapat mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi.

Penulis menyadari kekurangan tersebut. Namun ini merupakan tantangan

yang sekaligus sebagai pemicu bagi penulis untuk lebih banyak belajar lagi

tentang kaidah-kaidah fikih pada khususnya dan ilmu-ilmu lain yang

mendukung pembelajaran kaidah fikih pada umumnya.

Dua tahun silam penulis berusaha menghimpun buku-buku kaidah

ushul fikih dan penulis berusaha merangkum materi kaidah-kaidah terse-

but. Karena menurut penulis kaidah fikih sangat penting dan bisa dijadikan

dasar dalam mengambil keputusan dalam masalah-masalah ekonomi mo-

dern. Mengingat problema ekonomi modern sangat kompleks dan susah

ditemukan dalam ajaran Islam yakni Alquran maupun hadits.

Oleh karena itu, dengan mata kuliah yang akan penulis ajarkan ini

penulis merasakan kebodohan yang sangat karena sedikitnya pemahaman

dari penulis dalam kaidah fikih ekonomi. Karena Kebodohan inilah panulis

mengupgrade diri untuk memahami kaidah fikih ekonomi. Penulis yakin

akan suatu pepatah yang mengatakan, “seorang ahli tidak akan mampu

menjadi ahli tanpa mengulang apa yang menjadi keahlian-nya”. Ungkapan

inilah yang memotifasi penulis untuk bangkit menerima tantangan

mengajar mata kuliah Kaidah fikih ekonomi.

Untuk mengajar mata kuliah itu penulis harus mempersiapkan bebe-

rapa literatur yang beragam. Ketika penulis mencari literatur Kaidah Fikih,

penulis teringat pernah menyimpan kitab kuning yang sudah agak kumal

dipojok rak buku karena sudah bertahun-tahun sudah tidak dijamah. Buku

Page 14: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

2

itu berjudul “Al Asybah wa Nadhoir fil Furu” karya Imam Jalaluddin Abdur

Rahman bin Abu Bakr As Suyuthi. Setelah penulis baca-baca, walaupun

penulis tidak begitu lancar berbahasa Arab, ternyata disana terdapat

beberapa Kaidah Fikih dengan berbagai klasisfikasinya.

Penulis menyadari bahwa tidak semua mahasiswa juga mampu untuk

membaca teks kitab tersebut. Oleh karena itu harus ada rujukan pendam-

ping yang lebih mudah untuk dipahami dalam pembelajaran Kaidah Fikih

Ekonomi. Beberapa buku ushul Fikih dan Kaidah ushul fikih yang ber-

bahasa indonesia sebenarnya juga dapat menjadi literatur dalam pembe-

lajaran Kaidah Fikih Ekonomi tersebut.

Materi kaidah fikih ekonomi bisa dikatakan sebagai materi dasar bagi

para mahasiswa sebelum terjun ke masyarakat untuk mengabdikan diri

dalam menjalani tugas sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Mengapa

kaidah fikih ekonomi menjadi materi dasar ? Karena kegiatan apapun yang

dilakukan manusia, untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas harus

mengacu pada kaidah yang berlaku. Kaidah sebagai penuntun etika dan

aktiftias kahidupan kita. Kaidah ini bersifat universal, karena pada intinya

kaidah itu adalah

ء ر د ب ل ج د و اس ف ال

ال ص ال

Menolak segala kerusakan dan menarik segala yang bermaslahah

Mata kuliah Kaidah Fikih Ekonomi ini diharapkan agar Mahasiswa

jurusan Ekonomi Syariah mampu mengetahui, memahami Kaidah-Kaidah

Fikih dan meletakkan dalam pembahasan masalah ekonomi. Mahasiswa

dituntut untuk lebih kreatif memecahkan permasalahan-permasalahan

kontemporer yang semakin hari dirasakan semakin pelik. Sehingga mem-

butuhkan istimbat hukum yang bisa dipahami oleh berbagai kalangan umat

Islam. Dengan kemunculan transaksi-transaksi baru yang tidak pernah ada

contoh sebelumnya, para ulama dalam memberikan fatwa di tuntut untuk

kreatif dan aktif belajar ilmu-ilmu modern untuk memutuskan suatu

perkara. Disini mahasiswa diajak untuk berpikir global dan kreatif dalam

memecahkan masalah dengan segala persoalannya. Mahasiswa mampu

mempertimbangkan dengan berbagai pertimbangan dalam memecahkan

permasalahan muamalah iqtishadiyah di era modern ini.

Page 15: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

3

Buku-buku Kaidah fikih dan ushul fikih yang ditulis oleh ulama dan

sarjana dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu sebenarnya sangatlah

banyak. Namun ketika mencari buku atau kitab yang mengkhususkan diri

dalam pembahasan Kaidah Fikih Ekonomi masih sangat minim. Oleh

karena itu penulis memberanikan diri untuk mencoba meramu berbagai

Kaidah Fikih yang mengkhususkan diri pada Kaidah Fikih Ekonomi.

Alhamdulillah, dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dianugerah-

kan Allah kepada penulis, penulis mampu menyelesaikan penulisan buku

Kaidah Fikih Ekonomi.

Buku Kaidah Fikih Ekonomi ini, ditulis untuk kalangan Mahasiswa

terutama mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah yang baru belajar mema-

hami berbagai persoalan yang sudah terjadi untuk persiapan menghadapi

persoalan yang sedang dan akan terjadi di masyarakat. Mengingat segala

persoalan yang terjadi di masyarakat akan berlangsung terus menerus dan

tidak akan pernah berhenti. Ketika kita mampu menyelesaikan persoalan

masa lalu maka dipastikan akan mucul persoalan pada masa sekarang dan

juga apabila kita mampu menyelesaikan persoalan masa sekarang dimasa

depan akan muncul persoalan yang baru. Begitulah yang menjadi hukum

alam.

B. Tujuan Pembelajaran Kaidah Fikih Ekonomi

Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk membantu mahasiswa

dalam memahami Kaidah Fikih terutama Kaidah Fikih Ekonomi untuk

diterapkan dalam istimbat hukum. Buku ini hanya memberikan contoh-

contoh cara ulama beristimbat hukum dalam menentukan hukum suatu

perkara dengan berbagai metodenya. Kaidah Fikih memudahkan mahasis-

wa atau calon ulama untuk belajar menentukan hukum suatu perkara.

Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi kedu-

dukan hukum suatu perkara.

Dengan buku ini mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan

pemikiran hukum ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa diajak

untuk berpikir dengan contoh-contoh yang diberikan. Contoh-contoh

tersebut adalah hasil pemikiran ulama terdahulu dalam proses menetap-

kan suatu hukum terutama yang terkait dengan masalah ekonomi..

Setelah memahami hukum dengan Kaidah-Kaidah yang digunakan

yang terdapat dalam pengambilan keputusan hukum tersebut, mahasiswa

Page 16: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

4

diajak untuk berpikir dengan kondisi kekinian. Bagaimana pemikiran

mahasiswa ketika dihadapkan pada pemasalahan transaksi muamalah

kontemporer? Mahasiswa diajak untuk berpikir kritis terhadap suatu

permasalahan kontemporer, Kemudian diajak untuk menuangkan gagasan

pemikirannya ke dalam tulisan. Disini kita bisa menilai apakah mahasiswa

itu mampu mengeluarkan gagasan yang brilian atau tidak. Apakah maha-

siswa mampu memecahkan permasalahan hukum, dengan memberikan

solusi pada permasalahan akad-akad transaksi yang terjadi pada saat ini ?

Kalau dia memahami apa yang tertulis dalam buku ini diharapkan Maha-

siswa akan mampu mengkritisi dan memberikan solusi permasalahan da-

lam bidang muamalah kontemporer.

Dengan mengambil contoh-contoh yang penah dilakukan para ulama

sebagaimana yang dicontohkan dalam buku ini, kita bisa meniru dan

memodifikasi permasalahan yang terjadi pada masa lalu dalam permasa-

lahan yang terjadi pada masa sekarang atau masa yang akan datang.

Bagaimana ulama dahulu mengambil hukum dengan berpedoman pada

Kaidah-Kaidah yang dibuat sendiri. Sekarang dengan Kaidah-Kaidah yang

sudah ada, kita tinggal menjalankan saja. Artinya menggunakan kaidah-

kaidah hukum untuk memutuskan suatu perkara dalam syariat Islam.

Sebenarnya ulama sekarang itu tugasnya lebih enteng dalam istimbat

hukum karena ibarat jalan tol, ulama sekarang sudah tidak perlu mem-

bangun jalan tol lagi, semua sudah ada, jadi tinggal dilewati dan dirawat

jangan sampai rusak. Kaidah fikih sudah dibuat tinggal menerapkan dalam

hukum saja. Walaupun begitu tidak serta merta setiap orang bisa beristim-

bat hukum tetapi harus memiliki kapasitas dan pemahaman yang kompe-

rehensif tentang berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Ini butuh

riset untuk memahami hal tersebut. Sehingga fatwa-fatwanya mampu men-

jadi panduan bagi masyarakat pada umumnya.

Apabila kita lihat kondisi sekarang ini, bisa dikata sangat mempriha-

tinkan apabila fatwa ulama sudah tidak didengar oleh masyarakat. Seolah

ulama itu hanya milik segolongan orang yang meminta fatwa saja. Padahal

harusnya fatwa itu menyeluruh bagi setiap anggota masyarakat. Oleh

karena itu hadirnya buku ini diharapkan mampu melahirkan ulama dika-

langan mahasiswa dan para pembaca buku ini untuk bisa memahami

kondisi masyarakat secara komperehensif. Sehingga apabila suatu ketika

diminta untuk berfatwa mampu memberikan jawaban yang bisa digunakan

Page 17: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

5

oleh masyarakat secara umum, bukan hanya sekelompok masyarakat yang

meminta fatwa saja.

C. Urgensi Kaidah Fikih Ekonomi

Kaidah fikih ekonomi sebenarnya memiliki ruang lingkup yang cukup

luas, mengingat kajian ekonomi sebagai ilmu, memiliki cakupan yang luas

pula. Sehingga yang membutuhkan kaidah fikih ekonomi bukan hanya

kalangan tertentu saja, tetapi bisa seluruh lapisan masyarakat. Dari masya-

rakat pedesaan hingga masyarakat perkotaan. Walaupun kelihatan-nya

kalangan masyarakat pedesaan kurang memperhatikan hal seperti ini

namun sebenarnya mereka butuh pemahaman kaidah fikih ekonomi juga.

Misalnya dalam kondisi modernisasi seperti sekarang ini kemajuan ilmu

pertanian dan teknologi pertanian mengharuskan dia memproduksi hasil

pertanian dengan kemasan yang layak untuk masuk pada pasar modern. Ia

butuh tenaga ahli, alat bahan, teknologi pemasaran, yang semua itu meru-

pakan hal baru bagi para petani pedesaan. Tentu para petani tidak mau

terdlolimi dan tidak mau mendholimi, dengan adanya alat-alat moderen,

dan pemasaran modern ini. Ia butuh pemahaman tentang kemanfaatan dan

ketentuan hukum yang akan berlaku apabila ia tidak mampu menjalankan

pertanian modern ini. Walaupun ada ungkapan yang menyatakan bahwa

setiap usaha itu pasti mengandung resiko. Tetapi apa salahnya apabila para

petani itu dapat memahami peralatan modern dan pemasaran modern

untuk meminimalisir resiko yang akan didapatkannya. Maka ia harus

memahami tentang kaidah fikih ekonomi sebagai upaya untuk mengurangi

resiko yang akan terjadi dan tidak terdholimi serta tidak mendholimi orang

lain.

Ketika penulis menjadi salah satu pengurus/pimpinan di sebuah lem-

baga keuangan syariah pada tahun 2006-2008, penulis pernah diikutkan

pada sebuah pelatihan perbankan syariah yang diadakan oleh Assosiasi

Perbankan Syariah Indonesia (ASBISINDO) di gedung Artaloka Jakarta

Pusat. Hampir seluruh pesertanya adalah pimpinan organisasi perbankan

syariah dan organisasi keuangan bukan bank yang mengunakan label

syariah. Pelatihan itu diadakan bukan hanya sekali namun beberapa kali.

Dalam pelatihan tersebut ada penyampaian materi salah satunya adalah

materi Ushul fikih. Karena diharapkan para pimpinan organisasi mampu

memahami cara-cara ulama beristimbat hukum untuk menentukan hukum

Page 18: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

6

suatu transasksi. Namun sayangnya pelatihan itu tidak membahas tentang

kaidah-kaidah fikih untuk ekonomi Islam. Pembahasan ushul fikih yang

diberikan pemateri adalah pembahasan ushul fikih secara umum.

Di beberapa Lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank,

direktur bidang pelatihan, pendidikan dan pengembanan kadang sering

pula mengadakan training kelembagaan dengan materi Ilmu ushul fikih.

Disini materi Kaidah fikih ekonomi juga sangat langka diajarkan dalam

materi-materi training kelembagaan baik perbankan syariah maupun lem-

baga syariah bukan bank, bahkan materi bahasannya tidak ditemukan

sama sekali. Karena kelangkaan itu, maka para praktisi yang pakar ekono-

mi Islam dan SDM lembaga keuangan syariah dan bank syariah bahkan

termasuk regulator syariah perlu sekali memahami ilmu ushul fikih teruta-

ma kaidah-kaidah fikih ekonomi, karena disiplin ilmu ini menduduki posisi

utama dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan lemba-

ga keuangan syariah, bank syariah, regulator syariah, dewan fatwa, terlebih

dosen-dosen di perguruan tinggi yang mengajar ekonomi Islam.

Ilmu ushul fikih yang diterapkan dalam kehidupan harusnya bermua-

tan maqashid syariah. Karena dalam maqashid syariah akan memberikan

pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan-ketentuan fikih muama-

lah, qanun dan fatwa-fatwa, misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan apa

yang menjadi sebab dari setiap larangan gharar?, Mengapa bay’ kali bi kali

dilarang?, apa yang menjadi sebabnya, alasannya dan rahasianya?, Menga-

pa riba fadhal dilarang?, apa sebabnya?, Kajian sebab dan falsafah tasyri’

tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa

penangguhan jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang?, tetapi mengapa

tahawwuth/ hedging1 untuk maslahah dibolehkan?. Mengapa pertukaran

1 al-Tahawwuth al-Islami atau Islamic Hedging yaitu cara untuk mengurangi

risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar berdasarkan prinsip syariah.Dalam fatwa terbaru dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), yaitu Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar, dijelaskan lebih rinci mengenai akad dan mekanisme yang dapat digunakan dalam transaksi lindung nilai, sebagai berikut:1.'Aqd al-Tahawwuth al-Basith (Transaksi Lindung Nilai Sederhana) adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; 2.'Aqd al-Tahawwuth al-Murakkab (Transaksi Lindung Nilai Kompleks) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian Transaksi Spot dan Forward Agreement yang diikuti dengan

Page 19: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

7

dinar dengan rupiah harus cash, sedangkan jual beli emas batangan/per-

hiasan secara cicilan dibolehkan. Dalam kasus yang lain; Mengapa talaqqi

rukban2 dilarang ?, apa yang menjadi sebabnya?.

Terus yang penting lagi adalah, apa yang menjadi penyebab larangan

transaksi dua akad dalam satu transaksi?, Mengapa akad two in one itu

dilarang dan mengapa hybrid kontrak dibolehkan?, Bentuk akad two in one

bagaimana yang dilarang dan bagaimana pula yang dibolehkan?. Jawaban-

nya harus dijelaskan secara rasional dan filosofis dalam koridor ilmu ushul

fikih. Urgensi mengetahui sebab ini menjadi suatu keharusan, mengingat

telah terjadi kesalahan fatal dalam menyimpulkan dua akad dalam satu

transaksi (shaf-qatain fi shafqah), yaitu menggeneralisasi secara salah

bahwa setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksi) dilarang, padahal

hanya ada dua macam saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan ben-

tuk lainnya dihalalkan. Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalah-

nya tanpa didasari ilmu ushul fikih tentang sebab dan maqashid syariah

serta tanpa kajian ilmu hadits yang mendalam.

Satu lagi yang cukup penting adalah tentang akad ta’alluq3, Ada ba-

nyak pandangan yang menggeneralisasi semua ta’alluq itu dilarang, semua

jual beli bersyarat itu dilarang, tanpa mengkaji dan memahami mengapa

ta’alluq itu dilarang, apa apa yang menjadi sebabnya, bentuk ta’alluq yang

bagaimana yang dilarang dan bentuk ta’alluq bagaimana yang dibolehkan?.

Mengapa jual beli bersyarat itu dilarang, apa sebabnya?, Semua pengetahu-

an ini sangat berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu

Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; dan, 3. 'Aqd al-Tahawwuth fi Suq al-Sil'ah (Transaksi Lindung Nilai melalui Bursa Komoditi Syariah) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi jualbeli komoditi (sil'ah) dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual-beli komoditi (sil'ah) dalam mata uang asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo..Selanjutnya dalam fatwa tersebut juga diatur pula beberapa ketentuan pelaksanaan Islamic Hedging yaitu: transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif (untung-untungan), hanya boleh dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata (lil hajah), hak pelaksanaan muwa'adah dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh diperjualbelikan. Lihat Peraturan Bank Indonesia no 18/2/PBI/2016

2 Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong peda-gang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar)

3 Akad Ta’alluq adalah satu akad yang pelaksanaannya tergantu pada akad yang lain.

Page 20: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

8

akan memberikan pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad ta’alluq

yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersya-

rat, mana jual beli yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan. Semua

analisisnya harus didasarkan pada kajian illat atau sebab dalam metodologi

ushul fikih.

Contoh lainnya yang juga menarik adalah akad sewa beli (lease and

purchase), apakah akad ini bisa disebut sebagai gharar,? Apa yang gharar

dalam akad ini?. Ketidakjelasan akadnya sewa atau beli, atau dianggap

tidak jelas pemindahahan kepemilikan?. Di sinilah diperlukan kajian illat

atau sebab dan maqashid syariah, sebuah kajian falsafah syariah mengapa

gharar itu dilarang, apakah sebabnya terdapat pada akad sewa beli itu?

Secara praktis, sebenarnya akad sewa beli tidak gharar, karena akad-

nya sudah jelas sekali. Usman Tsabir sudah membahas kontrak ini dalam

buku Muamalah Maliyah Mu’ashirah, secara tuntas4 Begitu sewa berakhir,

maka secara otomatis dan demi hukum aset menjadi milik nasabah, tanpa

perlu akad baru lagi, karena janji hibah yang diaktekan ada saat akad sudah

terwujud secara otomatis setelah berakhirnya periode sewa. Kejelasan

akad sewa beli ini tidak akan memancing dispute atau rawan perselisihan,

karena itu hukumnya boleh. Jual beli gharar yang sebabnya sudah hilang,

hukumnya boleh, sesuai dengan kaedah al hukm yaduru ma’al illat wujudan

wa ‘adaman (hukum itu berputar sesuai dengan sebab, jika ada sebabnya,

maka hukumnya berlaku, jika tidak ada sebab, maka hukum tidak ada, tidak

berlaku).

Dalam kasus ini gharar itu dilarang karena akan sangat rawan

menimbulkan perselisihan para pihak, sedangkan dalam akad sewa beli

semuanya sudah jelas, sama jelasnya dengan kontrak jual beli. Karena akad

yang jelas itu maka peluang perselisihan tidak ada, maka akibat akad

hybrid sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute ada, tapi porsinya

sedikit sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena ghararnya,

melainkan karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan

sengaja menunda pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa

sama saja dengan kecilnya peluang jual beli murabahah cicilan, sebab

setiap akad pasti selalu ada kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi

4 Muhammad Utsman Syabir, 2007,Muamalah Maliyah Mu’ashirah, Daarun

nafais, Kuwait, hal 321

Page 21: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

9

sekali lagi bukan karena ketidakjelasan akadnya, melainkan karena moral

hazard terutama dari nasabah yang mencicil.

Cobalah kita gunakan logika akal sehat kita, kalau ada akad lease and

purchase tanpa bunga, dengan ketentuan akad yang jelas, maka hukumnya

boleh, karena tidak ada gharar dan tidak ada riba. Dengan demikian tidak

semua gharar itu dilarang. Hanya gharar yang besar saja yang dilarang,

yaitu peluang yang mendatangkan perselisihan saja yang dilarang syariah,

sedangkan gharar yang sedikit tidak dilarang apalagi sudah menjadi ‘urf.

Oleh karena itulah ulama membagi gharar kepada 3 macam, gharar katsir,

gharar mutawassith dan gharar qalil.

Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu akad yang

mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik ada atau

tidak adanya obyek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan

menyerahkan obyek yang disebutkan, dalam akad tersebut5. Atau dalam

beberapa kasus dipahami sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak

mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek

akad. Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaru-

han) dan menghadang bahaya6. Sehingga Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-

gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)7. Sedangkan

menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan

al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak dike-

tahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya, dan hal

ini termasuk dalam kategori perjudian.

Menurut ahli bahasa lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang

lahirnya menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari

menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas

yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada

faktor atau pihak lain yang menjelaskannya8

5 Habib nazir, Muhammad Hasanudin,2008, Ensiklopedi Ekonomi dan Per-

bankan Syariah, Kafa Publishing, Bandung, Hal 245

6 Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648

7Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 29. Hal 22

8 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi. 2008, Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; (Terj: Rafiqah Ahmad, Alimin). Migunani, Jakarta:. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, vol 23: hal 786

Page 22: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

10

✓ Dalil tentang Pelarangan Gharar

Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan

adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa ruju-

kan hadist antara lain:

عليه وسلم عن ب يع الصاة وعن ب يع الغرر نى رسول الل صلى الل “ Rasulullah saw melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan

jual beli gharar.9”

Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah 10

dan jual beli gharar. Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagi-

annya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misal-

nya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya menge-

cualikan sutu pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung

unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.11 “Rasulullah saw

telah melarang jual beli muhaqalah12, munabazah13 dan tsunayya14, kecuali

jika telah diketahui” 15.

9 HR Muslim

صاة 10 صى adalah bentuk jamak dari kata الح yang berarti kerikil. Mereka (ahli الح

bahasa) berkata, “Bahwa kalimat صاة -termasuk dalam kategori idhafah (menyan ب يحع الح

darkan) mashdar (kata dasar) kepada macamnya.”Makna jual beli dengan cara melempar kerikil, yaitu seorang penjual berkata kepada pembeli, “Lemparkan kerikil ini, di mana saja kerikil ini jatuh, maka itulah batas akhir tanah yang engkau beli”.Jual beli seperti ini hukumnya haram dan termasuk jual beli Jahiliyyah.

11 Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, 2012, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq,,Jakarta, hal 459

12 Al-Muhaqalah diambil dari kata قحل yang berarti ladang, di mana hasil الح

pertanian masih berada di ladang. Maksud dari jual beli muhaqalah yaitu menjual biji-bijian (seperti gandum, padi dan lainnya) yang sudah matang yang masih di tangkainya dengan biji-bijian yang sejenis. Pada jual beli model ini terkumpul dua hal yang ter-larang, yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan kadar pada barang yang dijualbelikan. 2. Padanya terdapat unsur riba karena tidak diketahui secara pasti adanya kesamaan antara dua barang yang dijualbelikan. Padahal ketentuan syar’i dalam hal ini adalah, “Bahwa ketidakpastian adanya kesamaan (antara dua barang yang dijual-belikan) sama seperti mengetahui secara pasti adanya tafadhul (melebihkan salah satu barang yang ditukar) dalam hal hukum.” Ketidakjelasan di sini karena biji-bijian yang masih di tang-kainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara pasti dan tidak diketahui pula baik dan buruknya barang tersebut. Adapun adanya unsur riba di sini karena jual beli biji-

Page 23: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

11

✓ Hukum dan Hikmah Gharar

Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:16

a. Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang

menyolok (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan

dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli

mulaamasah17, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih18, bai’ al-

bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengannya tanpa adanya takaran syar’i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada sesuatu. Ketidakjelasan di sini karena biji-bijian yang masih di tangkainya tidak diketahui kadarnya (beratnya) secara pasti dan tidak diketahui pula baik dan buruknya barang tersebut. Adapun adanya unsur riba di sini karena jual beli biji-bijian dengan biji-bijian yang sejenis dengan tanpa adanya takaran syar’i yang sudah diketahui akan menyebabkan ketidakjelasan pada sesuatu.

13 Kata al-Munabadzah secara bahasa diambil dari kata الن بحذ yang berarti

melempar, jadi kata منابذة adalah shighah مفاعلة dari الن بحذ. Sedangkan kata munabadzah

secara syar’i berarti seseorang berkata, “Kain mana saja yang kamu lemparkan kepada-ku, maka aku membayar-nya dengan harga sekian,” tanpa ia melihat kepada barang tersebut. Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah al-Maqdisi memberi definisi jual beli Munabadzah, “Yaitu masing-masing pihak melempar (menawarkan) pakai-annya kepa-da temannya dan masing-masing mereka tidak melihat pakaian temannya.”Jual beli ini tidak sah disebabkan dua ‘illat (alasan), yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan barang. 2. Barang yang dijual masih tergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilempar-kan kepadanya. Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasarkan perka-taan, “Barang apa saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib memba-yarnya dengan harga sekian.” Jual beli seperti ini tidak boleh.Jual beli ini dilarang oleh syari’at, karena gambaran jual beli seperti ini akan mengundang perselisihan dan permusuhan antara kedua belah pihak

14 Jual Beli Tsunaya (Penjualan Disertai Pengecualian) yaitu seorang penjual berkata kepada pembeli, “Aku jual barang ini kepadamu kecuali sebagiannya saja”. Atau seorang berkata,“Aku jual unta-unta ini kepadamu kecuali sebagiannya saja.” Atau seorang berkata, “Aku jual pohon ini kepadamu kecuali sebagiannya saja,” dan begitu seterusnya. Pengecualian ini, yaitu seorang penjual menyisakan sesuatu yang masih majhul (tidak diketahui) kepada pembeli dengan cara mengecualikan sebagian dari barang yang sudah dijual.Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa pengecualian sesuatu yang telah diketahui dengan sesuatu yang tidak diketahui akan menjadikan sisanya menjadi tidak diketahui, dan ini tidak boleh.

15 HR At Tirmizi

16 Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, hal 289.

17 Mulamasah secara bahasa adalah sighah (bentuk) مفاعلة dari kata لمس yang

berarti menyentuh sesuatu dengan tangan. Sedangkan pengertian mulamasah secara syar’i, yaitu seorang pedagang berkata, “Kain mana saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.”Jual beli ini bathil dan tidak diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) para ulama akan rusaknya jual beli seperti ini. Jual

Page 24: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

12

madhamin19, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama

tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.

b. Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-

gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka

ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya sese-

orang membeli rumah dengan tanahnya

c. Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian

yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu

yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan

lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam

jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya.

Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya

Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin

dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga

memperbolehkannya.

Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permu-

suhan pada orang yang dirugikan yaitu bisa menimbulkan kerugian yang

besar kepada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya hikmah

larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana dalam

larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang

dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis

jual beli ini.

beli ini tidak sah disebabkan dua ‘illat (alasan), yaitu: 1. Adanya ketidakjelasan barang 2. Barang yang dijual masih tergantung pada syarat, yaitu apabila kain tersebut dilemparkan kepadanya. Dan masuk dalam kategori ini semua jenis barang, berdasar-kan perkataan, “Barang apa saja yang engkau lemparkan kepada saya, maka saya wajib membayarnya dengan harga sekian.” Jual beli seperti ini tidak boleh.

18 Jual beli mulaqih , yaitu jual beli barang yang menjadi objeknya hewan yang masih berada dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. seperti mengawinkan seekor domba jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli seperti ini haram hukumnya karena mengandung unsur kesamaaran didalamnya.

19 Bai’ al – Madhmin yaitu menjual sperma yang berada dalam sulbi unta jantan. Maksudnya adalah bahwa si penjual membawa hewan jantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli.

Page 25: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

13

✓ Klasifikasi Gharar

Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahas-

an gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep

pertukaran normal) dan konsep resiko.

a. Game

Kalau kita lihat dalam berbagai literatur, Pengertian Game adalah

permainan yang menggunakan media elektronik, merupakan sebuah

hiburan berbentuk multimedia yang di buat semenarik mungkin agar

pemain bisa mendapatkan sesuatu sehingga adanya kepuasaan batin.

Bermain game merupakan salah satu sarana pembelajaran. Game

edukasi dibuat dengan tujuan spesifik sebagai alat pendidikan, untuk

belajar mengenal warna, mengenal huruf dan angka, matematika,

sampai belajar bahasa asing. Desainer yang membuat game harus

memperhitungkan berbagai hal agar game benar-benar dapat mendi-

dik, menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan yang

memainkannya. Game edukasi di Indonesia bisa masyarakat temukan

di berbagi toko buku, tempat hiburan, pameran atau bazar dan di

sekolah-sekolah yang bekerja sama langsung dengan perusahaan

pembuat game tersebut. Game edukasi dalam perancangan ini dituju-

kan pada produk keluaran PT Maximize Informa Studio Indonesia

(MISI) yang bernama “Edu-Games” 20

Namun, yang dimaksud dengan game disini adalah sebuah pertukaran

yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam termino-

logi fikih lebih dikenal juga dengan istilah mu’awadhah bi qashd al-

ribh.

b. Zero Sum Game

Zero-sum adalah situasi dalam game theory di mana keuntungan sese-

orang setara dengan kerugian orang lain, sehingga perubahan bersih

dalam kekayaan atau keuntungan adalah nol. Zero-sum game mungkin

hanya memiliki sedikit pemain atau memiliki hingga jutaan peserta.

Poker dan perjudian adalah contoh populer zero-sum game karena

20 http;//elib.unikom.ac.id/files/disk1/.../jbptunikompp-gdl-prasetyoad-22806-6-

unikom_p-i.pdf di akses pada tanggal 28 Februari 2019

Page 26: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

14

jumlah jumlah yang dimenangkan oleh beberapa pemain sama dengan

gabungan kerugian yang dialami pemain lainnya.

Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah

konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang

kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik

kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan

naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Pada dasarnya permainan Zero

sum-game ini adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak

ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerja-

sama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak ber-

jangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti

ada yang rugi)21 juga mendukung transaksi ini lebih mendekat-kan

transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak

tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit

untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka

valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terba-

tas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a

game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif.

Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain

mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban

setiap pihak.

c. Normal Exchange

Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan

kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih

dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai

jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan kon-

sumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya

marginal kurang dari harga barang yang dijual.

Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional

dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan mate-

riil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau

jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka

21 Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity

Bank-bank Asing. http://Mgyasni.niriah.com /2017/06/06/ Kritik-Syariah-terhadap -Transaksi-Murabahah-Commodity–Bank-bank-Asing /.diunduh 28 Januari 2019

Page 27: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

15

rasionalitas (bersifat duniawi)22. Dan dari pandangan lain utility

ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang

dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan

digunakan serta dapat bermanfaat23.

Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi

dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah

terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat

serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam

meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali

mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang

berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, keru-

sakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.24 Jadi utilitas individu

dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (inter-

pendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.

d. Risk Concept

Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko.

Menurut Knight25 risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan

dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur. Karenanya, risiko ini

dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.

✓ Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan beserta Contohnya.

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga

kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan

bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang

begitu hebat dan menjamin keadilan.

Ketidaktentuan dan ketidakjelasan timbul khususnya berkenaan dengan

aspek-aspek berikut:

22 Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE-

Yogyakarta,. Yogyakarta: hal 193

23 Muhammad Abdul Mun’im al-Jamal. 1997, Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,. hal 555.

24 Adiwarman, Karim. 2007, Ekonomi Mikro Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta:hal 62

25 Lihat, Frank H. Knight.1921, Risk, Uncertainty, and Profit, Houghton Mifflin Co. Boston

Page 28: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

16

➢ Keberadaan barang yang ditransaksikan (barangnya ada atau

tidak;

➢ Barangan yang ditransaksikan itu dapat diserahkan atau tidak;

➢ Kaidah transaksi yang dilaksanakan tidak jelas tetapi menarik

perhatian masyarakat untuk bertransaksi;

➢ Akad atau kontrak yang mendasari transaksi itu sendiri sifatnya

tidak jelas.

Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak

lembu yang masih di dalam perut induknya. Menjual burung yang

terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan.

Yang menjadi pertanyaan adalah sempurnakah janin yang akan

dilahirkan, dapatkah burung itu ditangkap. Maka, jika harga dibayar,

tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati

hingga terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar

untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi

gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.

Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada

asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas waktu pemba-

yaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita

sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika

baru sekali seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan

meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung mera-

sa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya,

perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial.

Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama

masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan

jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan

ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar.

Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli

tersebut cacat secara hukum.

Kemahiran menemukan illat, maslalah dan maqashid dari suatu

akad dan transaksi sangat diperlukan, mengingat kasus-kasus baru

terus bermunculan, seperti pembiayaan KPR syariah secara indent,

MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam, dan sebagai-

nya.

Page 29: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

17

Ilmu ushul fikih akan merekonstruksi sebab atau illat dari

larangan jual beli indent (KPR property syariah), bentuk pembiayaan

KPR indent bagaimana yang dilarang? Mengapa dalam jual beli salam,

uangnya harus cash ? sehingga jual beli kali bi kali (al-bay’ bi ajli

badalain) dilarang?, dan bentuk kali bi kali bagaimana yang dilarang,

dan mengapa dilarang ? Apa perbedaan sebab atau illat antara KPRS

Indent (yang menggunakan akad musyarakah mutanaqishah) dengan

jual beli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad Saw ?. Atau dengan

perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafi’ untuk

pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah (MMq)?

Kalau dilarang apa yang menjadi sebabnya?, apakah yang menjadi

sebabnya sudah berubah dan berbeda dengan yang menjadi sebabnya

kali bi kali?. Kalau yang menjadi sebabnya sama maka KPRS indent

dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi jika yang menjadi sebab-

nya berbeda, maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan. Disinilah

diperlukan kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan yang

menjadi sebabnya suatu kasus keuangan syariah.

D. Kebutuhan akan disiplin ilmu lain

Upaya menemukan yang menjadi sebabnya sering kali membutuhkan

pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi makro.

Mungkin secara fikih muamalah literalis suatu produk dibolehkan, tetapi

setelah mengkaji maslahat dan mudharatnya dari perspektif ilmu ekonomi

makro, sesuatu produk itu bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak

kepada kerangkeng fikih muamalah, tapi temukanlah yang menjadi sebab-

nya, temukan maslahah dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah.

Mungkin saja seseorang memiliki keahlian dalam ushul fikih, tapi tidak

menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga tidak bisa

menemukan yang menjadi sebabnya dengan tepat di bidang ekonomi.

Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi

bursa komoditi berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay’ salam,

secara formal memang kelihatannya mirip. Namun secara illat dan

maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di dalamnya, sehingga transaksi

itu menjadi terlarang.

Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang yang menjadi

sebab larangan riba, dikatakan (dianggap) yang menjadi sebabnya zhulm,

Page 30: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

18

padahal yang menjadi sebabnya bukan zhulm. Kesalahan menemukan yang

menjadi penyebab riba, akan menimbulkan kekeliruan berikutnya, misal-

nya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen

setahun adalah tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm, dibanding

margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12 persen setahun. Di

sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami, seperti teori inflasi,

teori bubble dan krisis, hubungan riba dengan produksi, employment, dan

sebagainya.

Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemu-

kan ilat yang menjadi sebabnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan

tentang yang menjadi sebab ini begitu urgen, karena dengan mengetahui

yang menjadi sebab, maka ketentuan fikih muamalah akan selalu bermuat-

an maslahah dan maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual,

responsif, segar dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan

tuntutan kemajuan zaman.

Dalam ilmu ushul fikih kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan

masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tanqihul

manath dan terakhir tahqiqul manath. Forum Training ushul fikih akan

melatih para ekonom muslim (akademisi/praktisi), DPS, regulator dan

bankir untuk menemukan illat dan menetapkannya (tahqiqul manath).

Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fikih

harus bisa menentukan qiyas jaliy dan qiyas khafiy dalam banyak kasus

ekonomi keuangan, Tanpa pengetahuan tentang qiyas jaliy dan qiyas khafiy,

maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu

konsep fikih muamalah, seperti menggeneralisasi semua tawarruq dila-

rang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya

dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian

dan UMKM, maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalku-

lasi bisnis pertanian itu. Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akade-

misi dan praktis harus bisa memahami konsep Istihsan dengan baik, agar

pemahaman keuangan syariahnya utuh dan komprehensif. Jika metode

istihsan digunakan secara kreatif, maka bank-bank syariah akan bisa

melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga bisa tumbuh dan

berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan produk-produk

bank-bank konvensional.

Page 31: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

19

Pengetahuan tentang teori operasional qiyas jaliy ke qiyas khafiy, akan

menolong seorang pakar dalam membedakan musyarakah mutanaqishah

untuk KPRS indent Ijarah Maushufah fiz Zimmah(IMFZ) dengan bay kali bi

kali (al-bay’ bi ajli badalain). Kalau seorang ahli fikih tidak bisa membeda-

kannya, maka MMq indent dianggap tidak sah, karena IMFZ sesungguhnya

adalah bay’ salam, sedangkan bay’ salam harus duluan semua uangnya.

Disinilah perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan IMFZ

dengan bay kali bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yang membedakan antara

keduanya dan para ulama dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak

menggunakan redaksi salam. Jika terdapat perbedaan antara bay kali bi kali

dengan IMFZ, maka peranan qiyas jaliy harus ditinggalkan menuju qiyas

khafiyy, sehingga penggunaan akad Ijarah IMFZ pada MMq indent menjadi

pratik yang dibolehkan secara syariah. (Ket : qiyas jaliy dalam kasus ini

adalah menyamakan IMFZ dengan salam, sedangkan qiyas khafiyy membe-

dakan IMFZ dengan bay kali bi kali.

Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent dengan IMFZ harus dikaji dan

dianalisis dengan bantuan ilmu ekonomi makro, sebab mungkin saja secara

teori hukum Islam pembiayaan KPRS MMq Indent lolos, namun dari aspek

kajian yang lebih luas, (ilmu ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan

resiko kemudhratan, spekulasi properti, gelembung-gelembung harga, dan

sebagainya. Nah, kalau ada problem seperti itu, maka pembiayaan properti

indent dengan IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, walaupun hukum

asalnya dibolehkan.

Page 32: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

20

Page 33: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

21

BAB II PENGERTIAN KAIDAH

Sebelum pembahasan tentang kaidah-kaidah, kaidah ushuliyyah dan

kaidah fikihiyyah perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pengambilan

dasar hukum dari kaidah-kaidah itu semua adalah nash-nash yang terdapat

dalam al quran maupun hadits. Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori

terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi

dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash

qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah,

dan Fikihiyyah.

Kalamiyyah ialah dalil-dalil yang diunggkapkan Allah secara naqliyah

saja, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ualama.

Semua dipaksa harus sepakat terhadap apa yang diungkapkan Allah dalam

al quran. Jadi yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan

kesalahan terhadap hal ini, ia akan mendaaptkan balasan diakhirat dan

dinyatakan oleh al quran sendiri sebagai orang yang berdosa. Nash jenis ini

di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan

sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-

mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu

mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka ia dinyatakan

bersalah dan ia dianggap sebagai orang yang inkar terhadap Allah, kalau

tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan

tersesat. Walaupun begitu tetap saja Allah yang menentukan hukum dan

membalas perbuatan seseorang yang menjalankannya. Manusia tidak

mampu menentukan apakah ia akan masuk surga atau neraka.

A. Kaidah dalam konteks Keindonesiaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kaidah merupakan kata

serapan dari Bahasa Arab yang artinya rumusan asas yang menjadi hukum;

aturan yang sudah pasti; patokan; dalil26 Namun kaidah ini seringkali kita

jumpai penggunaannya di masyarakat menjadi bias walaupun masih

26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hal 376

Page 34: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

22

mengalami kemiripan makna. Kata kaidah seringkali juga diartikan sebagai

patokan atau ukuran sebagai pedoman bagi manusia dalam bertindak.

Kaidah juga dapat dikatakan sebagai aturan yang mengatur prilaku

manusia dan prilaku kehidupan bermasyarakat. Seolah kata kaidah ini

menjadi aturan pokok yang menjadi panduan dalam melakukan aktifitas

kehidupan di masyarakat.

Kaidah juga dipahami sebagai petunjuk hidup, yaitu petunjuk

bagaimana seharusnya kita berbuat atau tidak berbuat, bertingkah laku

atau tidak bertingkah laku didalam masyarakat. Dengan demikian, Kaidah

disamakan dengan norma yang terjadi dimasyarakat. Kaidah menjadi berisi

perintah atau larangan bagi setiap orang. Setiap orang hendaknya menaati

norma atau kaidah yang digunakan di masyarakat agar kehidupan dapat

tenteram dan damai. Hukum merupakan seperangkat norma atau kaidah,

dan kaidah itu bermacammacam, tetapi tetap sebagai satu kesatuan.

Karena kaidah itu berisi perintah maupun larangan maka sudah selayaknya

kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat

memaksa yang merupakan ciri dari kaidah hukum. Dalam kaidah hukum

orang yang melanggar harus kena sangsi.

Kaidah sepertinya terjadi dengan begitu saja, dari perasaan orang.

Kadang seseorang dalam berperilaku dan bertindak menyebabkan orang

lain tidak suka, tidak nyaman dan tidak merasa aman. Lantas kepikiran

oleh seseorang bagaimana supaya tingkah laku, dan tindakannya bisa

menjadikan orang lain itu aman, tenteram, senang dan bahagia. Orang

membuat rumusan kehidupan untuk menjadikan orang hidup bermasyara-

kat itu menjadikan hatinya tenang tidak terganggu, tenteram, bahagia serta

bisa menikmati kehidupan dengan penuh kebahagiaan. Nah rumusan orang

untuk menjadikan hidup menjadilebih tenteram, tenang dan aman inilah

yang kemudianmenjadi kaidah dalam kehidupan bermasyarakat

B. Proses terjadinya kaidah itu di Indonesia

Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka dalam buku Perihal

Kaidah Hukum, menyatakan bahwa Apa yang diartikan dengan kaidah

adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman bertingkah laku/ berperi

laku atau bersikap dan bertindak dalam masyarakat, dalam menjalani

Page 35: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

23

kehidupan.27 Sumber kaidah, Ada yang berpendapat bahwa kaidah itu

datangnya dari luar manusia, kaidah merupakan perumusan suatu

pandangan mengenai perikelaku atau sikap tindakan dalam hidup,

misalnya siapa yang meminjam sesuatu harus mengembalikannya. Ada

pula yang berpendapat bahwa kaidah datangnya dari diri manusia itu

sendiri, yaitu meliputi pikiran dan perasaan sendiri.

Setiap orang memiliki urusan kepentingan dan ingin segera menyele-

saikan urusannya itu. Masyarakat adalah kumpulan dari orang-orang yang

hidup berkelompok. Semua orang ingin bebas menyelesaikan urusan

kepentingannya. Namun perlu diingat bahwa di dalam masyarakat semua

juga ingin tidak terganggu oleh orang lain dalam menjalankan urusan

kepentingannya. Kalau semuanya ingin bebas menjalankan urusannya

tentu akan mengganggu kebebasan orang lain dalam menjalankan urusan-

nya. Padahal setiap orang ingin hidup tenteram aman dan nyaman.

Di dalam masyarakat terdapat berbagai macam kepentingan dimana

kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan

masyarakat. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Agar dapat

memenuhi kebutuhannya dengan aman, tenteram, dan damai diperlukan

suatu tata aturan. Tata aturan yang berwujud aturan yang menjadi

pedoman bagi seluruh tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya

lazim disebut kaidah atau sering juga orang menyebut dengan istilah

norma. Norma memiliki dua hal yang saling bertentangan yaitu:

1. Perintah. Perintah merupakan sifat norma yang harus diikuti secara

umum. Supaya setiap orang dapat menjalani hidup tenteram, nyaman

aman dan damai. Perintah ini mengharuskan setiap orang untuk

berbuat sesuatu atau pebuatan yang dipandang mampu memuaskan

banyak orang, dan bernilai baik oleh karena itu, akibatnyapun

dipandang baik.

2. Larangan Larangan lawan dari perintah yakni norma yang harus

ditinggalkan atau tidak melakukan sesuatu. Karena sesuatu itu dinilai

buruk dan akan berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan antar

sesama manusia.

27 Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum,

PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 24

Page 36: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

24

Disini norma berfungsi untuk memberi petunjuk kepada manusia mengenai seseorang harus bertindak dalam masyarakat, serta perbuatan mana yang harus dijalankan dan yang harus dihindari. Norma itu dapat dipertahankan dengan sanksisanksi, yaitu ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya. Sanksi merupakan suatu legitimasi pengu-kuh terhadap berlakunya norma tadi dan merupakan reaksi terhadap perbuatan yang melanggar norma.

1. Kaidah dalam Realitas Indonesia

Di dalam kehidupan masyarakat tentu setiap orang mendambakan

kehidupan yang aman dan tenteram tanpa adanya gangguan dari siapapun.

Apabila keamanannya teganggu maka masyarakat akan merasa tidak

nyaman dan kacau. Manusia yang bersifat individualistis akan mementing-

kan dirinya sendiri, dengan demikian timbullah pertikaian. Jika keadaan

masyarakat terus menerus seperti itu maka tidak dapat dikatakan ada

kehidupan yang teratur dalam masyarakat tersebut. Namun, kehidupan

masyarakat dalam pergaulan masyarakat terikat oleh kaidah dan norma

yang berlaku di masyarakat, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi

tingkah laku manusia di dalam pergaulan di masyarakat. Sejak kecil

manusia telah merasakan adanya peraturan hidup yang membatasi sepak

terjangnya. Pada awalnya hanyalah peraturan hidup yang berlaku dalam

lingkungan keluarga saja, baru kemudian yang berlaku di masyarakat. Apa

yang dirasakan paling nyata adalah peraturan hidup yang berlaku dalam

suatu negara. Namun, dengan adanya norma itu dirasakan adanya

penghargaan dan perlindungan terhadap diri dan kepentingannya. Karena

memang norma bertujuan agar kepentingan dan ketenteraman warga

masyarakat terpelihara dan terjamin.

Setiap daerah memiliki tradisi dan kaidah serta norma yang berbeda.

Orang jawa menyebut kaidah atau norma dengan unggah-ungguh. Dijawa

ketika menghadapi orang banyak atau berjalan melewati kumpulan orang

banyak harus menundukkan badan dan posisi badan harus lebih rendah

dari orang yang dilaluinya. Kalau naik kendaraan harus turun. Kalau orang

jawa tidak melakukan itu dianggap dan dicap sebagai orang yang tidak

memilki unggah ungguh atau orang yang memiliki tata krama. Namun

sangat berbeda ketika orang jawa berada di padang atau batak.atau daerah

lain. Aturan itu hilang karena dalam adat kebiasaan mereka mungkin tidak

ditemukan unggah ungguh, subasita atau tata Krama. Toh kalau ada unggah

Page 37: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

25

ungguh, subasita atau tata Krama. Mungkin dalam bentuk yang lain tidak

seperti orang jawa. Di Indonesia Kaidah dipahami sebagai moral, etika,

susila, unggah-ungguh dan tata krama.

2. Kaidah Fikih

Kalau di Indonesia kaidah dipahami sebagai tata kehidupan yang

harmonis, sebenarnya sama dalam kehidupan masyarakat Islam. Dalam

Islam kaidah dipabami sebagai dasar aturan dalam penetapan hukum dan

tata cara berperilaku sebagai seorang muslim. Sebagai kajian ilmu kaidah

fikih memiliki peranan penting dalam penentuan hukum syariah. Dalam

studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fikih

senantiasa diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan

pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fikih, kita mendapat dua

term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fikih

Kaidah (Kaidah) dalam bahasa arab Jamaknya Al- Qawâ’id. Secara

bahasa, Kaidah artinya asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang

konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang

artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id

al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an

surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :

نا ن الب يت وإساعيل رب نا ت قبل م يم القواعد م يع وإذ ي رفع إب راه إنك أنت السم [ ٢:١٢٧العليم ]

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah dari-pada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".28

ب ن م فأتى الل ن ق بله ن قد مكر الذين م م السقف م يانم من القواعد فخر عليهن حيث ل يشعرون ] م وأتهم العذاب م [ ١٦:٢٦ف وقه

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap

28 QS Al-Baqarah 127

Page 38: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

26

(rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. 29

Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar,

asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.30 Al-Qaidah al-

fikihiyah ( kaidah-kaidah fikih) secara etimologis artinya dasar-dasar atau

asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih .

Sedangkan arti fikihiyah diambil dari kata fikih yang diberi tambahan

ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara

etimologi makna fikih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang

banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman

Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :

نون لي نفروا كافة هم طائفة لي ت فقهوا ف وما كان المؤم ن ف لول ن فر من كل فرقة مم لعلهم ي [ ٩:١٢٢ذرون ]الد ين ولي نذروا ق ومهم إذا رجعوا إليه

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa

orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk

memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.31 Hadist Nabi SAW :

به خي ا ي فق هه من مه رشده ف يرد الل الد ين وي له“Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam

urusan agama dan ia diilhami Petunjuk-NYa”32

Maka Al-Qawâ’id al-Fikihiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis

adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah

29 QS An-Nahl 26

30 Ali Ahmad Al-Nadwi, 2000, Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Dâr al-Qâlam, Beirut :, cet. V. Lihat juga Muhammad al-Ruki 1998, Qawâ’id Al-Fiqhi al-Islami, Dâr al-Qâlam, Beirut,, cet. I, hal. 107.

31 QS At-Taubah ;122

32 HR. Bukhari Muslim

Page 39: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

27

atau jenis-jenis fikih.33 Para ulama dalam mendefinisikan kaidah secara

terminologi (istilah) beda. Ada yang memperluaskannya dan ada yang

mempersempitkannya. Semua dilakukan untuk lebih memudahkan para

pembelajar lebih mudah memahami uraian-uraian yang disampaikan para

ulama. Walaupun berbagai uraian yang disampaikan berbeda tetapi

sebenarnya substansi uraiannya tetap sama.

Seperti Muhammad Abu Zahrah misalnya mendefinisikan kaidah

dengan34 :

د يمعها ع إل قياس واح ات الت ت رج تشاب مموع األحكام ال

“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”.

Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan35:

ا يع جزئيات ية كل ية منطبقة على ج قض“ketetapan yang kulli (menyeruruh, general) yang mencakup seluruh bagian-

bagiannya”

Imam Tajjuddin al-Subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan36 :

ها ن األمر الكل ي الذي ي نطبق عليه جز ئيات كثية ي فهم أحكا مها م“kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang

banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah

tadi”

Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimahnya, dan Ibnu Nuzaim (w.

970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan

bahwa kaidah itu adalah37 :

33 Asymuni A. Rahman, 1976, Qa’idah-qa’idah Fiqh, : Bulan Bintang ,Jakarta,

cet. I. Hal 6

34 Muhammad Abu Zahrah, tt, Ushul Fiqh, Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt, hal. 10

35 Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, 1983 M, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt, hal. 171

36 Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki,tt, Al-Asybah wa al-Nazhâir: Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beiruthal. 11

37 Ibnu Nuzaim, 1983, Al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus:, hal 8

Page 40: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

28

ها معرفة القواعد الت ت ردإليه وف رعوا األحكام علي “Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci daripadanya

hukum”

Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya “al-asybah wa

nazhair”, mendefinisikan kaidah dengan38:

حكم كل ي ي نطبق علي جز ئياته “ Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya” .

Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat

menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan

kepada juz ‘iyat nya (bagian-bagiannya). Dengan demikian di dalam hukum

Islam ada dua macam kaidah:

1. Kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab

ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari

sumbernya Al-Qur’an ataupun Al-Hadis. Kaidah ushul adalah kaidah

pokok dalam pembahasan fikih pada bab selanjutnya dibahas dalam

kaidah ushuliyyah

2. Kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumya di dalam nash. Maka dalam materi kaidah fikih ekonomi ini, yang akan dibahas adalah kaidah fikih bukan kaidah ushulnya, dalam bab setelah bab kaidah ushuliyyah akan dibahas kaidah fikihiyyah.

38 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, 1979, al-Asybah wa al-Nazhair fi

Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut:, hal.5

Page 41: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

29

BAB III QAIDAH USHULIYYAH

A. Pengertian Qaidah Ushuliyah

Kaidah ushuliyah merupakan gabungan dari dua kata Kaidah dan

ushuliyah. Kata kaidah sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan

sebelumnya yang dalam bahasa Indonesia ditulis dengan bahasa Arab

kaidah, artinya dasar atau pondasi sesuatu39, patokan, pedoman dan titik

tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak kaidah

(mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, arti-

nya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Ashl secara etimologi diarti-

kan sebagai fondasi dari suatu bangunan yang diatasnya akan didirikan

suatu bangunan(fikih) yang kehadiranya lebih dahulu dari bangunan (fikih)

itu sendiri40 atau dengan kata lain “fondasi sesuatu, baik yang bersifat

materi ataupun bukan”

Ushul Fikih adalah kata ganda yang terdiri dari dua kata, yaitu kata

ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fikih. Kata fikih secara etimologi

”paham yang mendalam” Adapun menurut istilah, Ashl artinya “sesuatu

yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Dari pengertian ini ada banyak hal

yang menjadi dasar bagi yang lainnya, maka uala mengembangkan

pengertian dari ashl diantaranya:

a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul

fikih bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman

Allah SWT dan Sunnah Rasul.

b. Kaidah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi

Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau

fondasi)”.

c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul

fikih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti

39 Abdul Aziz Dahlan et. al.(ed), Ensiklopedi hukum Islam vol 3, Ikhtiar Baru

Van Hoeve, Jakarta, hal 860

40 Ibid, hal 866

Page 42: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

30

hakikatnya”. Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perka-

taan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.

d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak

semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, sese-

orang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti

warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinya-

takan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia

tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu

juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.

e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul: ”Anak adalah

cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)

Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,

yakni dalil-dalil fikih. Jadi, kaidah ushuliyah adalah pedoman untuk meng-

gali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan

metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai Kaidah

Istimbat iyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, Kaidah

ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang

digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu

dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan

Arab.41 Maka kaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyelu-

ruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Kaidah ushuliyyah merupakan

sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Kaidah ushuliyyah umumnya

berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.

Kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan

hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai kaidah

ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah

dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.

Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :

➢ Pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam

kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum

(takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.

41 Beni Ahmad Saebani, 2009,Ilmu Ushul Fiqh, CV. Pustaka Setia, Bandung,

hal. 193-194.

Page 43: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

31

Dikarenakan dalam pembahasan kaidah ushul fikih sering ditemukan

dalam kitab-kitab ushul fikih maka kaidah ini disebut juga ushul fikih

atau kaidah ushul fikih yaitu kaidah-kaidah hukum yang dipetik dari

bahasa arab itu sendiri. Misalnya lafadz ditinjau dari segi, makna

yang sengaja diciptakan ada yang mutlaq, muqayyad, aam (umum),

khas (khusus), petunjuk amar adalah wajib dan petunjuk nahi adalah

haram, dan lain sebagainya. Kalau ditinjau dari pemakaiannya ada

yang haqiqat, majaz, sharih, dan kinayah. Ditinjau dari dalalah

maknanya ada yang mutasyabih, mujmal, musykil, khafi, zhahir, nash,

mufassar, dan muhkam. Ditinjau dari sedi cara pengambilan dalalah-

nya ada dalalatul ‘ibarat, dalalatul isyarah, dalalatud dalalah, dalala-

tul istidha’, manthuq, mafhum, dan lain sebagainya. Sedang kalau

ditinjau dari segi perlawanannya ada yang nasikh, mansukh, rajih, dan

marjuh42.

➢ Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan

secara general dari seluruh cabang materi fikih yang menjadi pedo-

man untuk menetapkan hukum setiap petistiwa fikihiyah baik yang

telah ditunjukan oleh nash yang sharih maupun yang belum ada

nashnya sama sekali.43 Atau kaidah kaidah fikih yang secara keselu-

ruhan yang digunakan untuk menentukan hukum dari kasus-kasus

baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.

Kaidah fikih itu disamping berfungsi sebagai tempat bagi para

mujtahid mengembalikan seluruh seluk beluk masalah fikihiyah juga

sebagai kaidah (dalil) untuk menetapkan hukum masalah-masalah

baru yang tidak ditunjuk oleh nash yang sharih yang sangat

memerlukan untuk ditentukan hukumnya. Oleh karena itu, setiap

orang yang sanggup mengusai kaidah-kaidah fikihiyah niscahya

mam-pu menguasai seluruh bagian masalah fikih dan sanggup

menetap-kan ketentuan hukum setiap peristiwa yang belum atau

tidak ada nashnya.

Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah

fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam, hanya saja kaidah-

42 Muchtar yahya, fathchurrahman, 1993, dasar-dasar pembinaan hukum

Islam, al Ma’arif. Bandung. Hal 485

43 Ibid,

Page 44: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

32

kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluar-

kan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-

kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan

hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.

Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara kaidah

ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian kaidah ushuli-

yyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terda-

pat dalam bahasa (wahyu) itu.

Menguasai kaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakih untuk

mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.

Dalam hal ini Kaidah fikihiyah pun berfungsi sama dengan kaidah ushuli-

yyah, sehingga terkadang ada suatu kaidah yang dapat disebut kaidah

ushuliyyah dan kaidah fikihiyah.

Kaidah kulliyah fikihiyah tidak lain adalah prinsip-prinsip umum yang

harus menampung kebanyakan dari bagian-bagian (juz’iyah) yang terperin-

ci. Oleh karena itu, Kaidah-kaidah itu jumlahnya cukup banyak. Ada sebagi-

an ulama yang menetapkan sebanyak 40 buah kaidah dan ada sebagian

yang lain menetapkan lebih dari 40 buah kaindah.

Disamping ada beberapa ulama yang menjabarkan lagi, kaidah-kaidah

kulliyah menjadi berpuluh-puluh kaidah, terdapat juga sebagian ulama

yang memadatkan menjadi beberapa kaidah induk saja.

Syaikh Izzudin bin Abdus Salam dalam kitab Qawaidul Ahkam Fii

Mashalihil Anam44 mengatakan bahwa segala masalah fikihiyah itu hanya

kembali kepada dua kaidah induk yaitu;

ء ر د داس ف ال

(Menolak segala yang merusak)

dan

44 Kitab Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam karya Imam Izzuddin bin 'Abdus

salam, mengajarkan bagaimana kita memahami posisi Maqasid As-Syariah terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang menco-ba membenturkan antara nash dengan maqasid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqasid di dalam nash. Tampak sekali dalam kitab ini fleksibelitas syariat Islam berkat orisinalitas pemikiran Imam Izzuddin bin Abdussalam.

Page 45: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

33

ب ل ج حال ص ال

(Menarik segala yang bermanfaat)

Bahkan ada yang mengembalikan masalah-masalah fikih itu hanya

karena kaidah ” dar’ul mafasid” (Menolak segala yang merusak) itu sudah

termasuk dalam kaidah ”jalbul Mashalih” (Menarik segala yang ber-

manfaat).

Al Qadhi Abu Said mengatakan bahwa ulama syafi’iyyah memulangkan

seluruh ajaran imam syafi’i kepada empat kaidah yaitu;

كلش ب ال ز ي ل يح ق الي

(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)

يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل . 2

(Kesukaran mendatangkan kemudahan)

ال ز ي ر ر الض 3

(Kemudharatan harus dihilangkan)

ة م ك م ة اد ال ع 4

(Kebiasaan dapat menjadi hukum)

Sebagian ahli ilmu golongan muta’akhirin menambahkan satu kaidah

lagi dari empat kaidah diatas, yaitu;

ه د اص ق م ب ر وح م ال (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

Kaidah-kaidah tersebut dikatakan sebagai kaidah induk, karena berpu-

luh-puluh kaidah fikihiyah bernaung dan dapat dikembalikan kepadanya.

Dari kalima kaidah tersebut, alangkah baiknya kalau kaidah terahir

tersebut dijadikan kaidah nomor satu, karena semua hukum fikih memiliki

tujuan yang itu menjadi pokok dari suatu pembahasan kaidah fikih. Ulama

1

Page 46: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

34

juga ada yang menyebut kelima kaidah tersebut dengan nama “Qawa’idul

Khamsa”

B. Contoh Kaidah Ushuliyyah

ه د اص ق م ب ر وح م ال a. (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

Sebelum kita melakukan sesuatu pasti kita memiliki keinginan yang

diharapkan. Keinginan yang diharapkan inilah yang sering disebut sebagai

tujuan. Apabila seseorang melakukan sesuatu bisa dipastikan karena

memiliki keinginan yang diharapkan. Motivasi inilah yang menjadi harapan

bagi seseorang yang menjalankan aktifitas. Motivasi inilah yang menjadi

tujuan. Tanpa adanya motivasi seseorang tidak akan melakukan sesuatu.

Orang melakukan sesuatu pasti ada yang menjadi tujuan yang diharapkan.

dalam hati ada keinginan yang menyertainya. Misalnya kalau kita mau

membeli sesuatu, adanya keinginan itu namanya niat. Kainginan itu

datangnya dari hati, maka niat juga dari hati. Niat sebagai motivasi dan

tujuan yang menjadi harapan bagi setiap orang yang melakukan aktifitas.

Sementara ada yang berkeyakinan bahwa niat hati harus dibimbing dengan

ungkapan lisan. Sehingga harus diungkapkan. Yang menjadi pertanyaan

adalah apakah setiap kita akan melakukan sesuatu harus diunggkapkan

dengan pernyataan lisan? Ada kalanya diungkapkan dengan lisan

adakalanya pula tidak diungkapkan dengan lisan. Semua tergantung pada

situasi dan kondisi dimana dia berada. Ungkapan yang dilisankan itu

bertujuan untuk mempertegas niat dalam membedakan nilai suatu aktifitas

yang menjadi kebiasaan. Misalnya; Mandi junub dan mandi biasa, sholat

sunah dan sholat wajib, Puasa sunah dan puasa wajib dan lain sebagainya.

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang

berbunyi, yang artinya:

ن يا ن ؤته وما كان لن فس أن توت إل بذن الل كتاب مؤجال ومن يرد ث واب الدها ن رة ن ؤته م ها ومن يرد ث واب الخ ن [ ٣:١٤٥وسنجزي الشاكرين ] م

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa

Page 47: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

35

menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur45

ال ز ي ر ر الض b. (Kemudharatan harus dihilangkan)

Kalau misalkan ada pohon kelapa yang sudah tinggi berada di pinggir

jalan yang ramai dilalui banyak orang memiliki buah yang lebat. Buah

sudah tua dan mengering sehingga buah tersebut sering jatuh dan sering

mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus

dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon

tersebut harus segera dipanen atau kalau tidak ada yang berani memanjat

karena ketinggian pohon tersebut maka pohon tersebut harus di tebang.

Dalam kasus ini kemudharatan itu disebabkan oleh buah yang sudah tua

dan mengering maka yang dihilangkan adalah buahnya yakni segera

dipanen atau pangkalnya pohon maka pohonnya bisa ditebang. Untuk

menghilangkan kemudharatan tersebut.

Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56,:

ها وادعوه خوف ا وطمع ا دوا ف األرض ب عد إصالح إن رحت الل قريب ول ت فسنني ] ن المحس [ ٧:٥٦م

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

ة م ك م ة اد ال ع c. (Kebiasaan dapat menjadi hukum)

Ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan

tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan terse-

but akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan sedekah laut, kalau ada

masyarakat pesisir yang tidak melakukan sedekah laut tersebut, maka dia

akan dikucilkan oleh masyarakat setempat. Kemudian ada seseorang yang

45 . QS. Ali-Imran: 145

Page 48: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

36

melakukan perubahan esensi sedekah laut tersebut, tanpa merubah

aktifitas sedekah laut. Dia sadarkan masyarakat bahwa yang memberikan

rezeki itu Allah, bukan laut. Laut adalah makhluk Allah sama kedudukanya

dengam manusia. Esensi sedekah laut adalah bersyukur kepada Allah atas

karunia rezeki yang diberikan dalam bentuk kebahagiaan bersama tanpa

ada kesyirikan. Mereka ubah tradisi sedekah laut dengan melarung sesuatu

ke laut dengan mengumpulkan masyarakat di pendapa balai desa, dan

mengumpulkan berbagai macam tangkapan hasil laut. Kemudian salah

seorang tokoh agama berdoa kepada Allah serta membagikan hasil

tangkapan laut itu kepada masyarakat dalam keadaan matang dan siap

santap. Sebagaimana wali songo, merubah tradisi wayang yang berasal dari

kitab suci agama Hindu tentang cerita Ramayana dan Mahabarata. Para

wali merubah esensi dan memvisualisasikan dalam bentuk gambar dua

dimensi dengan mengubah sehingga mampu merubah keyakinan

masyarakat tentang tradisi dan kebudayaannya

Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat

199,

لني ] لعرف وأعرض عن الاه [ ٧:١٩٩خذ العفو وأمر بJadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah

perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya

logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika

mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya

dapat dijadikan hukum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-

quran atau hadits.

كلش ب ال ز ي ل يح ق الي d. (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)

Contoh: kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih

ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus

berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’,

kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita

telah batal.

Page 49: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

37

يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل e. (Kesukaran mendatangkan kemudahan)

Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut

sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqashar sholat, maka kita

boleh mengqashar sholat tersebut, karena apabila kita tidak mengqashar

sholat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk

shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan

pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu

termasuk pada pekerjaan yang sulit dilakukan apabila harus melakukan

sholat pada waktu sholat tersebut.46

Kaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185,

بكم اليسر ول يريد بكم العسر يريد الل “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu.”.

Dan Surat An-Nisa’ ayat 28,

أن يف ف عنكم نسان ضعيف ا ] يريد الل [ ٤:٢٨وخلق ال “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia

dijadikan bersifat lemah.”

46 Muliadi Kurdi, 201, 1Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga

Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh:, hal.80

Page 50: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

38

Page 51: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

39

BAB IV KAIDAH FIKIHIYAH

Manusia hidup dengan berbagai permasalahannya. Masalah manusia

muncul silih berganti seiring dengan perkembangan pola pikirnya.

Permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari beragam macam-

nya. Tentunya ini mengharuskan agar segera mendapatkan jalan keluar

untuk penyelesaiannya. Jalan keuar seseorang dari permasalahan berma-

cam-macam, ada yang cepat ada yang lambat, ada yang mengguna-kan

cara-cara cepat ada yang lama sekali belum terselesaikan. Seorang dikata-

kan sebagai ahli ketika ia sudah berpengalaman dalam menyelesai-kan

permasalahan. Sehingga mudah baginya menyelesaikan berbagai permasa-

lahan kehidupan. Namun ada juga yang bukan ahli lama sekali dalam

menyelesiakan permasalahan. Kuncinya adalah kebiasaan. Seseorang tidak

akan menjadi ahli apabila tidak pernah mengulang apa yang pernah

diselesaikan. Oleh karena itu seseorang dikatakan sebagai ahli karena

kebiasaannya mengulang menyelesaiakan permasalahanyang ada. Semakin

banyak masalah yang dihadapi untuk diselesaikan,maka semakin

meningkat pula keahliannya dalam suatubidang ilmu tertentu.

Permasalahan yang diselesaikan seorang ahli akal lebih cepat karena

mereka memiliki rumus yang didapat dari kebiasaan sehari-hari. Rumus-

rumus yang dikembangkan itu akan menjadi dasar dalam menyelesaikan

permasalahan umat. Rumusan penyelesaian masalah itulah yang dalam

ilmu fikih disebut kaidah fikih. Oleh karena itu, disusunlah suatu kaidah

secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait

permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini

tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan

permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman modern

ini.

Maka, hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep

disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum

Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik

tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai

Page 52: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

40

seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum

dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.

A. Pengertian Kaidah Fikihiyah

Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan

pedoman dalam mengali hukum Islam yang berasal dari sumbernya, Al-

Qur’an dan Hadits, kaidah fikihiyah merupakan kelanjutannya, yaitu

sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbat-an hukum islam. Kaidah

Fikihiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah

Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-

istimbat-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan

manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam

menyimpulkan bahwa kaidah fikihiyah adalah sebagai suatu jalan untuk

mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara

mensikapi kedua hal tersebut.

Adapun pengertian Kaidah Fikihiyah, dapat diuraikan dari kaidah dan

Fikih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam buku

Ushul Fikih Islami adalah: “Hukum yang bersifat universal (kulli) yang

diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sementara arti fikih

dari beberapa definisi yang dikemukankan fuqaha’ berkisar pada rumusan

berikut:47

1. Fikih merupakan bagian dari Syari’ah

2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali

3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf

4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil

lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut

5. Dilakukan dengan jalan istimbat atau ijtihad sehingga

kebenarannya kondisional dan temporer adanya.

Dengan demikian pengertian Kaidah Fikihiyah dapat diartikan dianta-

ranya sebagai, “Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang

dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pen-

47 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, 1983, Ushul fiqh al-Islami, Iskandariyah

Muassasah Tsaqofahal-Jamiiyah, tt. ..hal.4.

Page 53: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

41

syariatan-nya“48, atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslaha-

tan dan menolak kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas

Salam).

Kaidah fikihiyah sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri

dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fikih atau hukum Islam,

kaidah fikihiyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa perma-

salahan hukum Islam yang dapat digunakan oleh kalangan awam maupun

fuqahâ dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah

masyarakat dalam pelbagai tema baik ibadah, muamalah maupun isu-isu

hukum Islam kontemporer

Ushûliyûn membagi kaidah fikihiyyah dari sisi substansinya menjadi

dua bagian; Pertama, kaidah pokok yang memuat lima kaidah dan kedua,

kaidah cabang yang mencakup banyak aspek baik kaidah-kaidah yang

berkaitan dengan ibadah, muamalah, siyâsah, mâliyah dan lain-lain.

Kata Qai’dah fikihiyah terdiri dari dua kata yakni kaidah dan fikihiyyah.

Kaidah sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah bentuk kata mufrad

yang jamaknya qawa’id menurut bahasa berarti dasar atau asas. Sedangkan

kata fikihiyyah berasal dari kata fikih, yang berarti faham, yang menurut

istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan

perbuatan mukalaf, yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang terperinci.

Pengertian Kaidah fikihiyyah menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa

ialah49:

زة دست ورية تضمن أحكام ا تشريعية عامة ىف اصول ية كل ية ىف نصوص موج فقه الوادث الت تذخل تت موضوعها

“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencang-kup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada pristiwa-pristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.”

Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, kaidah fikihiyyah itu ialah:

48 Ibid, hal.5.

49 Abd . Rahman Dahlan, 2005, Ushul Fiqih. Amzah,Jakarta : hal13

Page 54: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

42

“kaidah-kaidah yang bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ mene-

tapkan hukum (maqashidusy syar’i) pada mukalaf serta dari memahami

rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.” 50

Secara terminologi, kaidah fikihiyyah adalah ketentuan hukum yang

bersifat umum serta mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat

keumumannya dan atau totalitasnya. Adapun secara umum, fuqahâ terbagi

kedalam dua kelompok pendapat berdasarkan pada penggunaan kata kullî

di satu sisi dan kata aghlabî atau aktsari di sisi lain. Pertama, fuqahâ yang

berpendapat bahwa kaidah fikihiyyah adalah bersifat kullî mendasarkan

argumennya pada realitas bahwa kaidah yang terdapat pengecualian

cakupannya berjumlah sedikit dan sesuatu yang sedikit atau langka tidak

mempunyai hukum. Kedua, fuqahâ berpendapat bahwa karakteristik

kaidah fikihiyyah bersifat aghlabiyah atau aktsariyah, karena realitasnya

kaidah fikihiyyah mempunyai keterbatasan cakupannya atau mempunyai

pengecualian cakupannya sehingga penyebutan kulli dari kaidah fikihiyyah

kurang tepat.51

Adapun persamaan dan perbedaan qawâ’id fikihiyyah dengan

dhawâbith fikihiyyah serta nazhâriyah fikihiyyah adalah sebagai berikut:

1) Qawâ’id fikihiyyah dengan dlawâbith fikihiyyah

Keduanya memiliki kajian yang sama berupa kaidah yang terkait

dengan fikih. Yang membedakan adalah cakupan keduanya di

mana qawâ’id fikihiyyah, selanjutnya disebut kaidah fikih, lebih

luas cakupannya dari dlawâbith fikihiyyah yang hanya

mengkhususkan diri pada satu bab fikih tertentu.52

50 A. Mu’in, dkk, 1986, “Ushul Fiqih 1”, Direktorat Pembinaan Perguruan

Tinggi Agama Islam, Jakarta:hal, 181.

51 Abdul Haq, dkk, 2009, Formalisasi Nalar Fikih, Khalista, Surabaya: hal. 8-11.

52 Al-Bannâni berpendapat bahwa kaidah fikih tidak khusus membahas satu bab (masalah) fikih saja, berbeda halnya dengan dhawâbith fiqhiyah. Lihat Abd al rahman ibn Jâdillâh al-Bannâni, 1995, Hâsyiyah al-Bannâni, Jilid I, Dâr al-Fikr, Bayrut:h. 357. Adapun Ibn Nujaim berpendapat bahwa perbedaan kaidah fikih dengan dhawâbith fiqhiyah adalah kalau kaidah fikih menghimpun masalah-masalah cabang dari pelbagai bab fikih yang berbeda-beda, sedangkan dhâbith hanya menghimpun masalah-masalah cabang dari satu bab fikih saja.Ibn Nujaim, 1983, al-Asybah wa al-Nazhâir, Dâr al-Fikr, Damaskus:, h. 192.

Page 55: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

43

2). Qawâ’id fikihiyyah dengan nazhâriyah fikihiyyah

Keduanya memiliki kajian yang sama tentang berbagai permasa-

lahan fikih dalam berbagai bidang atau bab. Perbedaanya adalah

kalau kaidah fikih mengandung hukum fikih dan bersifat aplikatif

sehingga dapat diterapkan pada cabangnya masing-masing, se-

dangkan nazhâriyah fikihiyyah berupa teori umum tentang hukum

Islam yang dapat diaplikasikan pada sistem, tema dan pengem-

bangan perundang undangan53.

B. Macam-macam Kaidah Fikihiyah

Kaidah fikihiyyah dibagi menjadi 3 macam yaitu:

1. Lima kaidah dasar yang mempunyai skala cakupan menyeluruh,

lima kaidah ini memiliki ruang lingkup Furi’iyyah yang sangat

luas, komprehensif, dan unversal, sehingga hampir menyentuh

semua elemen hukum fikih.

2. Kaidah-kaidah yang mempunyai cangkupan furu’ cukup banyak,

tetapi tak seluas yang pertama, kaidah ini biasa disebut sebagai

al-qawa’id al-aghlabiyah.

3. Kaidah yang mempunyai cangkupan terbatas (al-qawa’id al-

qaliliyah) bahkan cendrung sangat sedikit.54

Disisi lain ulama juga mengklasifikasikan dasar kaidah fikihiyyah ke

dalam berbagai segi. Untuk kalsifikasi Kaidah fikihiyyah setidaknya terbagi

dalam tiga segi yang terdiri dari ;

1. Segi Fungsi

Ditilik segi fungsinya, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu kaidah yang berfungsi sebagai sentral dan kaidah yang berfungsi

sebagai marginal. Kaidah fikih yang berfungsi sebagai sentral adalah

kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang sangat luas. Kaidah ini

dikenal sebagai al-Qawa‟id al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

53 Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, 1983, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Mathba’ah

Jâmi’ah, Damaskus, hal. 235. Bandingkan dengan pendapat Abû Zahrah, 1990, Ushûl Fiqh, Dâr al-Fikr al-Arabî, Mesir, hal.10.

54 Abdul haq, dkk, “2009, Formulasi Nalar Fiqih”, Khalista, Surabaya:, hal,82.

Page 56: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

44

العادةمكمة

Al-‟Adatu Muhakkamah (Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam

menetapkan hukum) kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang

berperan marginal, diantaranya:

ن هم المعروف بني التجاركمالمشروط ب ي

”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah

ditentukan sebagai syarat”.

لعرف لنص الت عيني ب كمالت عيني ب

”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan

dengan naskh”

Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah

yang cakupannya lebih atau sebaliknya yaitu sangat sempit sehingga tidak

dihadapkan dengan furu‟.

2. Segi Mustasnayat

Dari sumber pengecualian, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai

pengecualian. Kaidah fikih yang tidak punya pengecualian adalah sabda

Nabi Muhammad Saw. Umpamanya adalah :

واليمني على من انكر الب ي نةعلى المدعي

”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan

kepada tergugat”

Kaidah fikih lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian

kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh

ulama.

3. Segi kualitas

Dari segi kualitas, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi beberapa

macam, yaitu :

a. Kaidah kunci

Page 57: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

45

Kaidah kunci adalah bahwa seluruh kaidah fikih pada dasarnya,

dapat dikembalikan kepada satu kaidah yang menjadi kunci pokok dari

seluruh kaidah yang berlaku, yaitu :

صالحد و جلب ال فاس

درء ال

”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah

fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan

sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.

b. Kaidah asasi

Kaidah Asasi adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui

oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fikih tersebut adalah :

دها قاص المور ب

”Perbuatan/perkara itu bergantung pada niatnya”

لشك اليقني لي زال ب

”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”

ر المشقة تلب الت يس

”Kesulitan mendatangkan kemudahan”

العادةمكمة

”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

c. Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni

Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah ”

majallah al-Ahkam al-Adliyyat, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah

fuqaha utsmaniah.

C. Perbedaan Kaidah Fikihiyyah dan Kaidah Ushuliyah

Perbedaan antara keduanya adalah sebagi berikut:

Page 58: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

46

1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah kaidah istidlaliyah yang

menjadi wasilah para mujtahid dalam istimbat (pengambilan)

sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang

membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan

kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu

hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan

suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fikih adalah suatu susunan

lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang

mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami

bahwa kaidah fikih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan

sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istimbat (mengam-

bil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu

fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib.

Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari

kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik

Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib.

Berbeda dengan kaidah fikih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharat-

an mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i,

bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.

2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (raha-

sia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan

kaidah fikih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.

3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan

mencakup seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (peng-

ecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama

sekali. Berbeda dengan kaidah fikih yang banyak terdapat istitsn-

‘’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).

4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih pun bisa dilihat dari

maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iy-

yah. Sedangkan kaidah fikih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik

itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain.

5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit daripada kaidah-kaidah

fikih.

6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fikih. Seluruh

ulama sepakat bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan

Page 59: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

47

mayoritas dibangun diatas dalil yang qot’i. Adapun kaidah-kaidah

fikih ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa kaidah-

kaidah fikih bukan hujjah secara mutlaq, sebagian mengatakan

hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukan hujjah bagi selainnya, sebagian

yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara

mutlak.

7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fikih.

8. Kaidah Ushuliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fikihiyah

secara induktif. Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-

istimbat-kan hukum syara’ amaliyah, sedangkan kaidah fikihiyah

adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa diikat oleh kesamaan

‘illat atau kaidah fikihiyah yang mencakupnya dan tujuannya taqribu

al-masa’il –alfikihiyawa tashiliha.

D Hubungan Kaidah Fikihiyah, fikih, Ushul Fikih dan Kaidah

Ushuliyyah

Kalau dilihat dari istilahnya, keempat istilah ini mengandung istilah

yang sama yaitu istilah fikih. Keempatnya mustilah memiliki hubungan

yang erat yang mengikat keempat-empatnya. Kaidah Fikihiyah, fikih, ushul

fikih dan kaidah fikihiyah tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang

lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fikih,

karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fikih.

Kaidah fikihiyah, ushul fikih dan kaidah ushuliyah adalah ilmu-ilmu

yang berbicara tentang fikih. Dengan demikian kajian kaidah fikihiyah,

ushul fikih dan kaidah usuliyah tersebut adalah fikih.

Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul

fikih adalah :

ح ا و ه ن الستفادة م ية ف ي ك و ، ال إج قه ل الف ئ ل ة د ف عر م دي ف ست ال ال

“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fikih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”

Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fikih, yaitu :

1. Dalil (sumber hukum)

Page 60: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

48

2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian

hukum dari sumbernya.

3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistin-

bat) hukum dan sumbernya.

Dengan demikian, ushul fikih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil

atau sumber hukum dan metode penggalian (istimbat ) hukum dari dalil

atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus

ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari

dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fikih. Jadi

fikih adalah produk operasional ushul fikih. Sebuah hukum fikih tidak

dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dan sunah) tanpa

melalui ushul fikih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fikih, yaitu

dasar-dasar (landasan) fikih.

Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istimbat ) dari

ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi

وة .......ك واالز ت ءا ة و ال وا الص م ي ق ا و “dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul

fikih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang

merubah ketentuan tersebut ( وبج لو ل ر مح ال ف ل صح ال ).

Disamping itu kaidah fikihiyah dapat dijadikan sebagai kerangka

acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena

dalam menjalankan hukum fikih kadang-kadang mengalami kendala-

kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat

pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajiban-

nya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan

shalat tepat pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut

boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum

boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan kaidah fikihiyah, yaitu dengan

menggunakan kaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah

salah satu perbedaan antara kaidah ushuliyah dengan kaidah fikihiyah.

Page 61: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

49

Kaidah ushuliyah mengkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan sunah) dan

hukum syara’, sedangkan kaidah fikihiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan

hukum syara’.

Demikianlah hubungan antara fikih, kaidah fikihiyah, ushul fikih dan

kaidah ushuliyah. Hukum syara’ (fikih) adalah hukum yang diistimbat dari

nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fikih yang diantara-

nya menggunakan kaidah ushuliyah. Hukum syara’ (fikih) yang telah

diistimbat tersebut diikat oleh kaidah fikihiyah, dengan maksud supaya

lebih mudah difahami dan identifikasi.55

E. Kegunaan dan Fungsi Qowaid Fikihiyah dalam Fikih

Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa

Kaidah Fikihiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk

mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana

cara mensi-kapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al Furu’nya

menulis bahwa seorang fikih tidak akan besar pengaruhnya tanpa

berpegang kepada kaidah fikihiyah, karena jika tidak berpegang pada

kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara

furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fikihiyah tentunya mudah

menguasai furu’-furu’nya.

Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fikihiyah ini adalah

sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut56 :

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah

dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.

2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang

banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan per-

soalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.

3. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analogi (ilhaq)

dan tahkrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan

baru.

55 Syarif Hidayatullah, tt, Qawa’id Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Tran-

saksi Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), hal. 32-35.

56 H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA. http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin /01-02 pendahuluan diunduh pada hari Ahad, tanggal 24 Februari 2019

Page 62: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

50

4. Mempermudah orang yang berbakat fikih dalam mengikuti (mema-

hami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang

berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.

5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bah-

wa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berde-

katan ataupun menegakkan maslahat yang lebih besar.

6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah

mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

7. Secara sederhana, kegunaan kaidah fikih adalah sebagai pengikat

(ringkasan) terhadap beberapa persoalan fikih. Menguasai suatu kai-

dah berarti menguasai sekian bab fikih. Oleh Karena itu, mempelajari

kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fikih dalam

menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fikih.

8. Dengan mempelajari kaidah-kidah fikih kita akan mengetahui prinsip-

prinsip umum fikih dan akan mengetahui pokok masalah yang mewar-

nai fikih dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.

9. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah mene-

tapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.

10. Dengan mempelajari kaidah fikih akan lebih arif dalam menerapkan

materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan

dan adat yang berbeda.

11. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.

12. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang

banyak diperdebatkan.

F. Kaidah Assasiyah dan Kaidah Far’iyah .

ه د اص ق م ب ر وح م ال . 1

(Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu

melaksanakan suatu amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan

nilai dan status hukum amal perbuatan yang dilakukannya. Apakah nilai

dari perbuatan itu sebagai amal syari’at (ibadah) atau perbuatan kebiasaan

dan apakah status hukumnya –jika ia sebagai amal syari’at (ibadah)-wajib

Page 63: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

51

atau sunah atau yang lain sebagainya ditentukan oleh niat pelakunya.

Itulah sebabnya kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh masalah

fikihiyah.

Contoh: kalau kita hendak mengerjakan sholat maka bisa dipastikan

akan memulai dengan yang namanya niat, kalau kita tidak memulai dengan

yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan

yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang

namnya niat.57

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang

berbunyi:

ها.... ن رة ن ؤته م ها ومن يرد ث واب الخ ن ن يا ن ؤته م ....ومن يرد ث واب الدArtinya:

”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”58

ا ابلن ية، األعمال إن جرته كانت فمنن وى، ماامرئ لكل وإن ؛ ورسوله هللا إل هجرته جرته كانت ومن ورسوله، هللا إل فه جرته ؛ ي نكحها امرأة أو يصيبها لدنيا ه فه

إليه هاجر ما إل’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap

orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya)

Shuhaib r.a membaritahukan bahwa rasulullah saw bersabda;

57 Al-Imam Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, tt, Al-

Asybah wa al-Nazhâir, Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beirut:, hal. 11

58 QS. Ali-Imran: 145

Page 64: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

52

ا وهو يوت يوم مات، شيئ ا صداقها من ي عطيها ل أن فن وى امرأة ت زوج رجل أيا زان ع ا رجل من اشتى رجل ، وأي يوم مات شيئ ا ثنه من ي عطيه ل أن فن وى، ب ي

النار ف والائن ، خائن وهو يوت Kapan saja seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, lalu bermaksud tidak akan memberikan memberikan maskawin sedikitpun kepadanya, matilah ia pada saat kematiannya sebagai pezina, dankapan saja seseorang membeli suatu barang dari seseorang dengan niat tidak akan membayar harganya sedikitpun, matilah ia pada saat kematiannya dalam keadaaan sebagai pengkhianat.

Imam syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ad Daruquthni dan lainnya sepakat

menetapkan bahwa hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu

pengetahuan Islam. Pendapat semacam ini diulas oleh Imam Baihaqi

sebagai berikut; segala aktifitas manusia itu adakalanya berpangkal pada

hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang

berpangkal pada hati nurani adalah aktivitas kejiwaan. Aktivitas itu lebih

penting dan lebih kuat ketimbang aktivitas yang berpangkal pada lisan dan

anggota badan. Hal itu sebabkan karena niat daapt berfungsi sebagai

ibadah yang berdiri sendiri. Sedangkan aktivitas yang lain tidak dapat

berfungsi sebagia ibadah sekiranya tidak didukung oleh niat. Niat sekalipun

tidak dibarengi dengan amal perbuatan masih dianggap lebih baik daripada

perbuatan yang tidak dibarengi dengan niat.

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:

Kaidah

يال اذا عي نه واخطأ ل يضر ما ل يشتط الت عرض له جلة و ت فص“ suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun secara terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, kesalahannya itu tidak membhayakan (membatalkan).”

Kaidah

و ما يشتط فيه الت عرض فالطأ فيه مبطل “suatu amal yang disyaratkan penjelasannya maka kesalahannya membatal-kan perbuatan tersebut.”

Page 65: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

53

Kaidah

يال اذا عي نه فاخطأ ضر نه ت فص ب الت عرض له جلة و ل يشتط ت عيي و ما ي“suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebut secara terprinci dan ternyata salah, kesalahannya itu dapat membahayakan.”

Kaidah

ص اللفظ العام ول ت عم الاص الن بة ىف اليمني تص “niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum dan tidak pula menjadi-kan umum pada lafadz yang khusus.”

Kaidah

ا ى فان د وهو اليمني عند القاض ع واح فظ ال ىف موض مقاص اللفظ على نية الى على نية القاض

“maksud dari suatu lafadz adalah menerut niat orang yang mengucapkan-nya, kecuali dalam satu tempat, yang dalam sumpah dihadapan hakim. Dalam keadaan demikian, maksud lafadz menurut niat hakim.”59

kaidah

د و المعان ل لللفاظ والمعان العبة ىف العقود المقاص“yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafadz atau bentuk perkataan.”

ال ز ي ر ر الض .2

(Kemudharatan harus dihilangkan)

Kaidah ini merupakan pembina dasar hukum islam. Sebagaimana

kita ketahui bahwa dalam bagian muamalah, jinayah dan munakahat, jiwa

dari kaidah ini memegang peranan penting.

59 Ibnu Nuzaim, 1983, Al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. 1

hal 34

Page 66: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

54

Pengembalian suatu barang yang telah dibeli, karena terdapat cacat ,

diadakan khiyar dalam jual beli karena perbedaan sifat-sifat yang telah

disepakati, adanya perwalian bagi orang-orang yang tidak cakap mentran-

saksikan harta milik, adanya hak syuf’ah (jual beli utama) bagi seseorang

tetangga dan lain sebagainya adalah sekian contoh-contoh untuk menghin-

darkan kemudharatan para pihak yang mengadakan muamalah bersama.

Syari’at mengadakan hukuman qishash, hudud, kafarat, ganti rugi,

menghalalkan kepada penguasa untuk memerangi kaum pemberontak dan

lain sebagainya untuk membuat kemashlahatan bersama dan menghindari

kemudharatan.

Islam membolehkan adanya perceraian dalam keadaan yang sangat

diperlukan demi ketenteraman rumah tangga yang sudah sangat begitu

kacau dan memberikan kuasa kepada hakim untuk memfasakhkan nikah

seseorang lantaran suami sudah tidak dapat menunaikan tugas rumah

tangga dengan baik, demi untuk menghilangkan kemudharatan bagi

mereka yang tersiksa.

Dasar kaidah ini beracuan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56:

ها وادعوه خوف ا وطمع دوا ف األرض ب عد إصالح إن رحت الل قريب اول ت فسنني ] ن المحس [ ٧:٥٦م

Artinya:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

ب ي هللا ل ن ا ني د س ف ال

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan

(al qashash ; 77)

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:

Kaidah

الضرورة تبيح المحظرة

Page 67: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

55

“kemudaratan membolehkan yang mudarat (dilarang).”

Kaidah

ر بقدرها ما أبيح للضرورة ي قد“apa-apa yang dibolehkan karena mudarat diperkirakan sewajarnya, atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”

Kaidah

لضرر الضرر ل ي زال ب“kemudaratan tidak dapat hilang kemudaratan lain.”

Kaidah

ما رتكاب أخف ه دتن روعي أعظمهما صرر ا ب إذا ت عارض المفس“jika ada dua kemudaratan yang bertentangan, diambil kemudaratan yang paling besar.”60

Kaidah

م على جلب المصالح درءالمفاس د مقد“menolak kemafasadatan didahulukan daripada mengambil kemalahatan.”

Kaidah

الاجة ت نزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة “kebutuhan itu menempati kemudaratan, baik secara umum maupun khusus.’

ة م ك م ة اد ال ع .3

(Kebiasaan dapat menjadi hukum)

60 Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, 1979, al-Asybah wa al-Nazhair fi

Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut:, hal.5

Page 68: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

56

Kaidah fikih ini adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa

Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat

dan al-‘urf.61 Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus

menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara

kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu

perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam

mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima

oleh watak kemanusiaannya.62

Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah

“Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah

al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi

kebiasaan”.63 ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid.

‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia

dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak

membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang

telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalal-

kan yang haram atau membatalkan yang wajib.64

Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat ber-

ikut:

1. Tidak bertentangan dengan syari'at.

2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kema-

shlahatan.

3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.

4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.

5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukum-

nya.

61 Jaih Mubarok, 2002, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi), PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta:hal. 153.

62 Muhammad Ma’shum Zein, 2006, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fiqhiyyah), Al-Syarifah Al-Khadijah, Jombang: hal. 79.

63 A. Djazuli, 2007, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis), Kencana, Jakarta: hal. 80.

64 Imam Musbikin, 2001, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta; hal. 94.

Page 69: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

57

6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.65

Kaidah tersebut didasarkan pada nash Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat

199:

لني ] لعرف وأعرض عن الاه [ ٧:١٩٩خذ العفو وأمر بArtinya:

“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta

berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:

Kaidah

نة واألمكنة ل ي نكر ت غيي األحكام بت غيي األزم“tidak diingkari perubahan hukum disebaban perubahan zaman dan tempat.”

Kaidah

المعروف عرف ا كالمشرط شرط ا“yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”

Kaidah

لن لمعروف كالثابة ب ص الثابت ب“yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash

ق الي . 4 ك لش ب ال ز ي ل يح

(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)

Misalnya seseorang baru saja menikah, untuk memenuhi kebutuhan

penting rumah tangganya, ia membeli peralatan rumah tangga (magic jar)

untuk menanak nasi. Setelah sampai dirumah magic jar itu tidak bisa

digunakan untuk menanak nasi lantaran terjadi kerusakan. Maka sang

pembeli menggugat ke pengadilan kepada penjual dan menyatakan bahwa

65 Burhanudin, 2001, Fiqih Ibadah, CV Pustaka Setia, Bandung: hal. 263.

Page 70: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

58

magic jar nya telah rusak ketika sampai di rumah. Hakim memutuskan

gugatan pembeli tersebut tidak dapat dikabulkan, lantaran dipakai di

rumah. Karena menurut asalnya magic jar yang dijual ditetapkan dalam

keadaan baik.

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:

Kaidah

األصل ب قاء ماكان على ماكان “asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya.”

Kaidah

األصل ب راءة الذ مة “asal itu bebas dari tangugan.”

Kaidah

العدم األصل “asal itu tidak ada”

Kaidah

ق رب الزمان األصل ىف كل حديث ت قدره ب“asal dalam setiap keadaan dilihat dari waktunya yang terdekat.”

Kaidah

بحة األصل ىف األشياء ال“asal dari sesuatu adalah kebolehan”

Kaidah

األصل ىف البحة التحري “asal dari kemubahan adalah keharaman.”

يح س يح الت ب ل جح ت ة ق ش امل .5

Page 71: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

59

(Kesukaran mendatangkan kemudahan)

Seseorang yang akan meninggal dunia diperkenankan untuk mewa-

siat-kan sepertiga harta peninggalannya kepada siapa saja yang dikehen-

daki untuk menambah amal kebaikan dan taqarub kepada Allah. Andai kata

ia tidak diberikan batasan maksimal sepertiga harta peninggalannya, maka

hal itu akan menimbulkan kesulitan ekonomi bagi ahli warisnya yang

berhak menerima. Apalagi kalau mereka sangat membutuhkan harta

peninggalannya.

Kaidah ini berdasarkan pada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 185:

بكم اليسر ول يريد بكم العسر يريد اللArtinya:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu.”

Surat An-Nisa’ ayat 28:

أن يف ف عنكم نسان ضعيف ا ] يريد الل [ ٤:٢٨وخلق الArtinya:

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia

dijadikan bersifat lemah.”

Cabang-cabangnnya antara lain sebagai berikut:

Kaidah

إذا ضاق األمر إتسع وإذا اتسع األمر ضاق “apabila suatu perkara itu sempit, hukumnya menjadi luas, sebaliknya, jika suatu perkara itu luas, hukumnya menjadi sempit.”

Kaidah

د ه ه إن عكس إل ض كل ما تاوز حد“semua yang melampaui batas, hukumnya berbalik mejadi keblikannya,”

Kaidah

Page 72: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

60

عاصىل الرخص ل ت نط ب

“rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”

Kaidah

لشك الرخص ل ت نط ب“rukhsah itu tidak dapat di sangkut pautkan dengan keraguan.”

Page 73: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

61

BAB V SEJARAH PERKEMBANGAN KAIDAH FIKIH

A. Pentingnya Kaidah Fikih

Dalam menerapkan kaidah fikih, setidaknya ada tiga hal yang perlu

diperhatikan agar tepat penggunaannya. Ketiga hal tersebut adalah: (1)

kehati-hatian dalam penggunaannya; (2) ketelitian dalam mengamati

masalah-masalah yang ada di luar kaidah yang digunakan. Dengan kata

lain, meneliti masalah-masalah kekecualian (istitsnaiyat) dari kaidah

tersebut; dan (3) memerhatikan sejauh mana kaidah yang digunakan

berhubungan dengan kaidah-kaidah lain yang mempunyai ruang lingkup

yang lebih luas66

Kaidah fikih dikatakan penting dilihat dari dua sudut :

1. Dari sudut sumber,

Kaidah merupakan media bagi peminat fikih Islam untuk memaha-

mi dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami

beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam

satu persoalan.

2. Dari segi istimbat al-ahkam,

Kaidah fikih mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum

terjadi. Oleh karena itu, kaidah fikih dapat dijadikan sebagai salah

satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum

ada ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fikihnya berkata bahwa nash-nash

tasyrik telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-

undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang

dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-

prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu

cabang undang-undang .

66 A, Djazuli , 2010, Kaidah-Kaidah Fikih, Kencana, Jakarta:hal. 183

Page 74: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

62

Karena cakupan dari fikih begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi

berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-

masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada

kaidah-kaidah fikihiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-

istimbat kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolong-kan

masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam

menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fikihiyah adalah sebagai suatu jalan

untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta

bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-

Furuqnya menulis bahwa seorang fikih tidak akan besar pengaruhnya

tanpa berpegang pada kaidah fikihiyah, karena jika tidak berpegang pada

kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda antara

furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fikihiyah tentunya mudah

menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

B. Ushul fikih di masa Rasulullah SAW

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan Kaidah fikihiyah dapat

dibagi kedalam tiga fase berikut 67:

1. Fase Pertumbuhan dan Pembentukan

Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad

lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi

fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.

A. Zaman Nabi Muhammad saw

Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan

zaman tabi’in serta tabi’it tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-

974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman keju-

mudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri

mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang men-

dirikan mazhab jaririyah.

Dengan demikian, ketika fikih telah mencapai puncak kejayaan, kaidah

fikih baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fikih yang dominan

67 Lihat Al-Nadawi, Ali Ahmad, 1986, Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, Cet. I, Dar Al-

Qalam, Damaskus:

Page 75: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

63

adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat

luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits

yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fikih. Oleh karena

itulah periodesasi sejarah kaidah fikih dimulai sejak zaman Nabi Muham-

mad SAW.

Sabda Nabi Muhammad Saw, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari

dua segi, yaitu :

• Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum

Islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.

• Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah

fikih karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah

fikih, yaitu :

بلضمان الراج .1 (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)

جبار اجرحه العجماء .3( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan

ganti rugi), dll.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli

Sunan menyatakan, dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi

Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghi-

langkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-

bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman.

Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad saw, yaitu hukum meminum minum-

an yang memabukkan adalah haram.

B. Zaman Sahabat

Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fikih, karena turut serta memben-

tuk kaidah fikih. Para sahabat dapat membentuk kaidah fikih karena dua

keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah saw dan mereka tahu

situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun

berkenaan dengan mereka.

Page 76: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

64

Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim

dan kaidah fikihiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-

Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari:

الشروط عند القوق مقاطع (penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat).

2. Pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd

al-Razaq (w.211 H) :

عليه قاسم الر بح فال ضمان من (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).

Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah

syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang

persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.

C. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.

Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fikih pada generasi

tabi’in:

Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)

Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun

adalah :

”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke

Bait al- mal”

Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal

sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta

peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal dunia tidak

memiliki ahli waris.

Imam Asy-Syafi’i,

Pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah

yang dibentuknya, yaitu

”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak

diperbolehkan ketika tidak terpaksa”

Page 77: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

65

Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, diantaranya

نهر م صغ أ و ا ه ط م ق س اس الن ن ط ع ق ا س ذ إ م عظ األ (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).68

Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),

Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang

abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :

هنالر ة و ق د الص ة و ب ال يه ع توز ف ي الب يه ا جاز ف ل م ك ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk

dihibahkan dan digadaikan”

Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),

Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian

timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum,

dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi

wudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta kera-

guannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu

sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim

terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, mem-

beri tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang; ia

tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernya-

taan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:

ك لش ب ول ز ي ل ني ق الي (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .

2. Fase Perkembangan dan Kodifikasi

Awal mula kaidah fikihiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan di-

bukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelah-

nya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan

semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fikih mengalami kemajuan

68 Dari beberapa contoh kaidah fiqhiyah pada masa awal yang berkaitan

dengan muamalah adalah kaidah “la yajtami’u al ajru wa al dhoman”

Page 78: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

66

yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fikih dalam

madzhab. Ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang

telah dicapai oleh fikih pada saat itu. Pembukuan fikih dengan mencantum-

kan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara

madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan

lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat

madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.

Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang

seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai

inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum

furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang

dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-

Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-

Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup

berbagai masalah fikih, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya

mencakup satu masalah fikih , disebut dhabit.

Menurut An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang per-

tama kali mempelajari kaidah fikihiyah. Beberapa informasi yang menyata-

kan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur diantaranya, Alaby

(761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam al kaidah

menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpul-

kan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad

Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di

masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas

beberapa kaidah-kaidah tersebut69.

Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37

kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361

H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al

Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan

karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.

69 Dibahas dalam lima kaidah yang dinukil al Harawi dari Ad Dibas.

Page 79: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

67

Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase kedua dari kemun-

culan kaidah fikihiyah70 dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya

kaidah fikihiyah sebagai sebuah disiplin ilmu.

Pada abad ke-7 H kaidah fikihiyah mengalami perkembangan yang

sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara

ulama yang menulis kitab kaidah pada abad ini adalah al-‘Allamah

Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab

dengan judul “al-Kaidah fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin

Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Kaidah al-Ahkam fi Mashalih al-

Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki

Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-

Mudzhb fi Kaidah al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini

menunjukan bahwa kaidah fikihiyah mengalami perkembangan yang pesat

pada abad ke-7 H. Kaidah fikihiyah pada abad ini nampak tertutup namun

sedikit demi sedikit mulai meluas.

Pada abad ke-8 H, ilmu kaidah fikihiyah mengalami masa keemasan,

ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Kaidah fikihiyah.71

Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para

ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat

dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.

Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara

karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:

1. Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)

2 Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)

3 Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I

(w.761 H)

4 Dll

Karya-karya besar yang mengkaji kaidah fikihiyah yang disusun pada

abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di

antara karya-karya tersebut adalah:

1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)

70 Sebagai sebuah susunan ilmu tersendiri

71 Pada masa ini muncul tujuh buah karya yang sangat terkenal lihat.

Page 80: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

68

2 Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad

al-Zubairi (w. 808 H)

3. Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)

4. Dll

Dengan demikian, ilmu kaidah fikihiyah berkembang secara berangsur-

angsur.

Pada abad X H, pengkodifikasian kaidah fikihiyah semakin berkem-

bang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah

fikihiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi.

Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-

Nadhair. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup

kaidah ushuliyah dan kaidah fikihiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.

Pada abad XI dan XII H, ilmu kaidah fikihiyyah terus berkembang. Dengan

demikian, fase kedua dari ilmu kaidah fikihiyah adalah fase perkembangan

dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-

Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII)

hampir dapat menyempurnakan ilmu kaidah fikihiyah.

3. Fase Kematangan dan Penyempurnaan

Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih, meski-

pun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih

pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad

XIII H adalah

“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin

dari pemiliknya”

Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih

menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah :

“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.

Pengkodifikasian qawa’id fikihiyyah mencapai puncaknya ketika

disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada

masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada

akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan

lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.

Page 81: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

69

Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan

setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab

fikih, adalah suatu prestasi yang gemilang dan merupakan indikasi pada

kebangkitan fikih pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya

telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fikih, lalu mengkon-

struknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya.

Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fikih

semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam

proses penalaran hukum fikih.

C. Metodologi Penyusunan Kaidah Fikihiyah

Metodologi ulama dalam penyusunan kaidah fikihiyah ulama tidak

hanya berdasarkan atas satu metodologi saja. Terdapat bermacam-macam

metodologi penyusunan kaidah fikihiyah, diantaranya :

a. Penyusunan sesuai dengan huruf hijaiyah

b. Penyusunan sesuai dengan subyek pembahasannya

c. Penyusunan sesuai dengan bab dalam fikih

d. Mengumpulkan kaidah-kaidah tidak secara urut

Metodologi ulama dalam hubungan antara kaidah fikihiyah dengan

yang ilmu yang lain :

1. Mengumpulkan kaidah fikihiyah dengan kaidah-kaidh yang lainya

2. Mengumpulkan kaidah fikihiyah dengan subyek pembahasan

fikihiyah yang lain.

E. Lima Kaidah Ushul Fikih

I. Kaidah Asasi Pertama

دها قاص األمور بSegala pernyataan tergantung pada niat.

Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud

melakukan sesuatu disertai pelaksanaannya.

قصد الشيء مقتان بفعله أوالقصدالمقارن للفعل

Page 82: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

70

Di dalam sholat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah ber-

maksud didalam hati dan wajib niat disertai takbirat al-ihram .

Di kalangan mahzab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada

dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari

maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad di dalam hatinya, itu

pun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih

utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar

niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :

• Untuk membedakan antar ibadah dan adat kebiasaan.

• Untuk membedakan kualitas perbuatan baik kebaikan maupun

kejahatan.

• Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu

serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Secara lebih mendalam lagi para fuqaha merinci masalah niat ini baik

dalam ibadah mahdoh seperti thoharoh, wudhu, tayamum, mandi junub,

sholat qhasar, sholat jama, sholat wajib, sholat sunnat, zakat, haji, saum

ataupun didalam ibadah ghair mahdoh seperti pernikahan, thalaq, wakaf,

jual beli, hibah, wasiat, sewa-menyewa, hutang piutang dan akad-akad

lainnya.

II. Kaidah Asasi Kedua

الشك اليقني لي زال ب Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan.

Di dalam kaidah-kaidah fikih banyak di bicarakan tentang hal yang

berhubungan dengan keyakinan dan keraguan misalnya orang yang sudah

yakin suci dari hadast kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya

atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-

hatian yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya. Dari kaidah

asasi tersebut kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang

lingkupnya.

ثله أ ليقني م . اليقني لي زال ب

Page 83: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

71

Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan

pula

Contohnya kita yakin sudah berwudhu tetapi kemudian kita yakin pula

telah buang air kecil, maka wudhu kita menjadi batal.

. أن ما ث بت بيقن لي رت فع إلبيقني ب Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali

dengan keyakinan lagi.

Contohnya thowaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan

yaitu dengan tujuh putaran kemudian dalam keadaan thowaf seseorang

ragu apakah yang dilakukannya puteran ke enam atau kelima. Maka yang

menyakinkan adalah jumlah kelima, karena putaran yang kelima adalah

yang menyakinkan.

. األصل ب راءة الذمة ت Hukum asal adalah bebasnya seorang dari tanggung jawab

Contohnya anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajib-

an sampai adanya waktu baligh. Makan dan minum asalnya di bolehkan

sampai adanya dalil yang melarang makan-makanan dan minum-minuman

yang di haramkan.

ه . األصل ب قاءماكان على ماث كان مال يكن ما ي غي Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal

yang mengubahnya.

Contohnya manusia bebas dari tanggung jawab karena adanya

kematian. Kewajiban suami istri hilang karena ada talaq.

فات العارضة العدم ج . األصل ف الصHukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada .

Contohnya apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli

tentang aib baarah (kecacatan) dalam dijual belikan, maka yang dianggap

benar adalah perkataan sipenjual. Karena pada asalnya cacat itu tidak ada.

Page 84: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

72

ق رب زمنه ح . األصل ف كل حادث ت قدي ره بHukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang

paling dekat kepadanya .

Contohnya seorang wanita yang sedang mengandung ada yang

memukul perutnya kemudian keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan

sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal. Maka meninggalnya si

bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi kepada waktu yang

telah lama tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling

dekat kepada kematiaannya.

ليل على التحري خ بحةحت يدل الد . األصل ف األشياء الHukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang

menunjukkan keharamannya.

Contohnya apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas

tentang keharamannya maka hukumnya boleh dimakan.

قة د . األصل ف الكالم القي Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti sebenarnya.

Contohnya apabila seseorang berkata : “saya mau mewakafkan harta

saya kepada anak kyai Ahmad maka anak dalam kalimat tersebut adalah

anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu.

لظن الذي يظهر خطا ءه ذ . ل عبة بTidak dianggap(diakui) persangkaan yang jelas salahnya.

Contohnya apabila seorag debitor telah membayar hutangnya kepada

kreditor, kemudian wakil debitor membayar lagi hutang debitor atas

sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor maka waikil debitor

berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya karena

pembayaranya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas salahnya yaitu

menyangka bahwa utang belum dibayar oleh debitor.

Page 85: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

73

III. Kaidah Asasi Ketiga

ي الشقة تلب الت يسKesulitan mendatangkan kemudahan.

Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya

menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukhalaf, maka syariah

meringankannya. Sehingga mukhalaf mampu melaksanakannya tanpa

kesulitan dan kesukaran. Dari kaidah tersebut dimunculkan kaidah-kaidah

lain seperti:

. إ ذا ضاق األ مر إتسع أ Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas.

Contohnya boleh berbuka puasa pada bulan ramadhan karena sakit

atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu

kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.

. إذات عذ ر األصل يصا ر إل البدل ب Apabila yang asli suka dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya.

Contohnya tayamum sebagai pengganti wudhu.

نه معفو عنه ت . ماليكن التحرز مApa yang tidak mungkin menjaganya atau menghindarkannya maka

hal itu dimaafkan.

Contohnya pada waktu sedang saum kita berkumur-kumur maka tidak

mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.

Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan, misalnya orang yang

berpergian dengan tujuan melakukan maksiat. misalnya, membunuh maka

orang semacam ini tidak boleh meggunakan keringanan di dalam hukum

Islam.

جاز ثقة يصار إل ال . إذات عذ رت القي

Page 86: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

74

Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya maka

kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya.

Contohnya seseorang berkata,” saya wakafkan tanah saya ini kepada

anak kyai Ahmad”. Padahal semua tahu bahwa anak kayi tersebut sudah

lama meninggal, maka yang ada hanyalah cucunya. maka dalam hal ini, kata

anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya bukan kata sesungguh-

nya sebab tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah

meninggal.

. إذات عذ ر إعمال الكالم ي همل ج Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan maka perkataan tersebut

ditinggalkan.

Contohnya apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa

dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari

akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang

diakuinya sebagai ayahnya. Maka, Perkataan orang tersebut ditinggalkan

dalam arti tidak diakui perkataannya.

بتدء ح وام مال ي غت فر ف ال . ي غت فر ف الدBisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan

pada permulaannya.

Contohnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar

uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewa-

an dan dia ingin memperbaharui sewaannya dalam arti melanjutkan

sewaannya maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.

بتدء مال ي غت فر ف الدوام خ . ي غت فر ف الDimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya

Contohnya seseorang yang baru masuk Islam minum-minuman keras

karena kebiasaanya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minum-

minuman tersebut dilarang. Maka orang tersebut dimaafkan untuk

permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya setelah dia tahu

Page 87: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

75

bahwa perbuatan tersebut adalah haram maka dia harus menghentikan

perbuatan tersebut.

. ي غت فر ف الت وابع مال ي غت فر ف غيها د Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada

hal yang lainnya.

Contohnya penjual boleh menjualkembali karung bekas tempat beras

karana karung mengikuti kepada beras yang dijual.

IV. Kaidah Asasi Keempat

الضرري زال Kemadharatan harus dihilangkan.

Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok

masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi

rakyat. Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah di atas

diantaranya:

خظورات أ . الضرورات تبيح ال

kemadharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

Contohnya boleh menangkap dan menghukum pelaku pornografi dan

pornoaksi untuk menyelamatkan keturunan.

لضرورات ت قد ربقدرها . اب Keadaan darurat, ukurannya ditentukan kadar kedaruratannya.

Contohnya seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang

diobatinya sekedar yang diperlukan untuk pengobatan, itu pun apabila

tidak ada dokter wanita.

مكان ت . الضرري زال بقدر الKemadharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan.

Contohnya usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak

kelaparan.

Page 88: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

76

لضرر ث. . الضرر ل ي زال بKemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan lagi.

Contohnya orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil

barang orang lain yang juga sedang kelaparan.

جل الضرر العام ج . يتمل الضرر الاص ألKemadharatan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak

kemadharatan yang bersifat umum.

Contohnya boleh melarang tindakan hukum seseorang yang

membahayakan kepentingan umum, misalnya mempailitkan suatu

perusahaan demi menyelamatkan para nasabah.

لضرر األخف ح . الضرر األشد ي زال بKemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan

yang lebih ringan.

Contohnya apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama,

mengajarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan ilmu yang berdasarkan agama

kecuali di gaji, maka boleh menggajinya.

. الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة خ Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum

maupun khusus

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,

demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum

berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

. كل رخصة أبيحت للضرورةوالاجة ل تست بح ق بل وجودها د Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-

hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-

hajah.

Page 89: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

77

Contohnya memakan makanan yang haram, baru dilaksanakan setelah

terjadinya kondisi darurat. Misalnya tidak ada makanan lain yang halal.

امنهي عنه . كل تصر ف جر فساد ا أودفع صالح ذ Setiap tindakan yang membawa kemafsadatan atau menolak kemasla-

hatan adalah dilarang.

Contohnya menghambur-hamburkan harta atau boros tanpa ada

manfaatnya.

V. Kaidah Asasi Kelima

العادةمكمة Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum

Contohnya sebelum Nabi Muhammad di utus, adat kebiasaan sudah

berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun di bagian lain termasuk

di Indonesia. Adat kebiasaan tersebut di bangun atas dasar nilai-nilai yang

di anggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipa-

hami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat

tersebut. Diantara cabang dari kaidah ini adalah:

ا أ ب العمل ب . إستعمال الناس حجة يApa yang di perbuat orang banyak adalah alasan/argumen yang wajib

diamalkan.

Contohnya menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi

kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitkan

pakaian adalah tukang jahit.

ا ت عتب العادة إذااضطردت أوغلبت ب . إنAdat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat

yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum.

Contohnya apabila seseorang berlangganan majalah, maka majalah itu

diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan

majalah, maka ia bisa komplain dan menuntut kepada agen majalah

tersebut.

Page 90: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

78

. العبة للغالب الشائع لللنا در ت Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang terkenal oleh

manusia bukan dengan jarang terjadi.

Contohnya para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil

terpanjang tidak akan melebihi satu tahun.

عروف عرف ا كالشروط شرط ا ث . ال

Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang di syaratkan suatu

syarat.

Contohnya apabila orang bergotong- royong membangun rumah yatim

piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong

royong itu tidak di bayar.

ن هم ج عروف بني التجار كالشروط ب ي . ال

Sesuatu yang tidak dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat

diantara mereka.

لنص ح عروف كا الت عيني بل . الت عيني ب

Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash

Contohnya apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menje-

laskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut. Maka si

penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk

kecuali dengan izin orang yang menyewakan.

قة خ مت نع حقي مت نع عادة كا ال

. ال

Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang

tidak berlaku dalam kenyataan.

Contohnya seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain

adalah miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan darimana asal harta

tersebut.

Page 91: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

79

قة تتك بدللة العادة د . القي Arti hakiki di tinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.

Contohnya yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan

penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan

penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah

menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli

itu telah terjadi. Dan penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun

harga barang naik.

ذن اللفطى ذ ذن العرىف كال . الPemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan

pemberian izin menurut ucapaan.

Page 92: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

80

Page 93: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

81

BAB VI KAIDAH FIKIH DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian Kaidah Fikih

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan bab yang telah

lalu bahwa dalam studi ilmu kaidah fikih, kita mendapat dua term yang

perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fikih. Kaidah yang merupakan bentuk

mufrod dari kata kaidah berarti aturan atau patokan. Sebagaimana telah

dijelaskan tersebut diatas bila dalam bahasa Arab terdapat kalimat

“Qowaidl al Bait” maka yang dimaksud adalah pondasi bangunan.

Dalam tinjauan terminologi, para Ulama’ mengartikan kaidah, itu

berbeda-beda sesuai dengan konsentrsai masing-¬masing dibidang studi-

nya, yakni:

1. Kaidah menurut Ulama’ Nahwu (Gramatika Arab), misalnya diartikan

sebagai ketentuan-ketentuan umum yang bersifat tetap/menyeluruh

yang dapat mencakup semua pembahasan masalah-masalah parti-

kular.

2. Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan

“Ketentuan dasar yang bersifat tetap secara kulliyyah yang dapat

diketahui hukum-hukum cabang yang tercakup di dalamnya.

3. Dikalangan ahli Fikih masih terjadi perbedaan pandangan dalam

mendefinisikan arti kaidah. Tajuddin As Subki (W. 771 H) memaknai

kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh

(kulliyyah) dan dapat mencakup berbagai masalah furu’iyyah, untuk

mengetahui ketentuan hukum pada masalah yang serupa72.

4. Al Hamawi mengartikannya sebagai kerangka hukum mayoritas yang

mencakup banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui

hukum-hukumnya, dan masih terdapat pengecualian-pengecualian.

72 Tajuddin as Subki tt,, Al-Asybah wan Nadha'ir, Daar al Qalam, Damaskus, hal 20

Page 94: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

82

Sedangkan Fikih, menurut istilah adalah ilmu yang menerangkan

hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan

dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci).

Jadi, dari semua uraian diatas–Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr.

Abdurrahman Asy Sya’lani–dapat disimpulkan, bahwa Kaidahul fikihiyah

adalah “Aturan umum dalam fikih yang bersifat kulliyyah (unifersal) yang

membahas tentang cabang-cabang yang banyak dari berbagai bab”.

B. Posisi Kaidah Fikih

Menurut al-Qarrafi syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW

terbagi dalam dua macam yaitu: Ushuliyyah yang berisi prinsip-prinsip

dasar atas bangunan hukum syari’at; dan furu’iyyah yang merupakan hasil

dari penerapan prinsip dasar tersebut.

Hukum-hukum ushuliyyah juga dibagi menjadi dua bagian yakni,

kaidah ushuliyyah yang berisi disiplin ilmu yang menekankan kajiannya

pada unsur kebahasaan yang terdapat dalam dalil nash dan metode peng-

galian hukum dari dalil tersebut. Studi inilah yang kemudian melahirkan

produk hukum yang kemudian disebut dengan Fikih.

Bagian kedua dari hukum ushuliyyah adalah kaidah fikih yang meru-

pakan studi yang membahas kerangka hukum yang bersifat umum yang

dirumuskan berdasarkan dalil atau kesamaan ’illat dan karakteristik

permasalahan. Dalam artian, kaidah fikih merupakan rumusan umum dari

berbagai macam persoalan furu’iyyah yang memiliki kesamaan ’illat yang

sesuai dengan dalil nash dan prinsip dasar syari’at. Hasil dari pada peng-

generalisasi-an tersebut dirumuskan dalam sebuah prinsip umum yang

digunakan untuk menelaah persoalan lain yang memiliki kesamaan ’illat.

C. Urgensi Kaidah Fikih

Menurut al-Suyuthi dengan menguasai kaidah fikih akan dapat

diketahui hakikat fikih, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya,

dan rahasia-rahasia terdalamnya. Sedangkan menurut Syekh Yasin al-

Fadani, keuntungan dari mempelajari kaidah fikih adalah akan diperoleh

kemudahan dalam mengetahui hukum kontemporer yang tidak mempu-

nyai nash.

Al-Subuki menyatakan bahwa, mengerahkan semua kemampuan

untuk mempelajari semua persoalan furu’ tanpa didukung oleh ilmu ushul

Page 95: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

83

fikih akan menyebabkan timbulnya kontradiksi dalam pikiran. Akan tetapi,

jika kedua bidang tersebut (Red : Furu’ dan Ushul Fikih) sulit dikuasai,

maka mempelajari kaidah fikih akan sangat membantu dalam memahami

persoalan fikih dan substansi terdalam.

Selain itu, diantara keutamaan mempelajari kaidah-kaidah fikihiyyah

lainnya, menurut al-Qarrafi adalah setiap satu kaidah mengandung

beragam furu’ fikihiyyah yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan bahasa

yang indah dan analitis, al-Qarrafi menyatakan ”barangsiapa menguasai

ilmu fikih disertai kaidah-kaidah kulliyah, karena semuanya telah tercakup

dalam kaidah-kaidah itu”.

D. Proses kodifikasi kaidah fikih

Ketika Rasulullah SAW masih hidup semua persoalan yang dihadapi

oleh umat Islam bisa langsung ditanyakan pada Beliau. Namun ketika

Rasulullah SAW telah wafat, mau tidak mau para Sahabat harus berijtihad

untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Metode yang

ditempuh oleh sahabat setiap kali menghadapi masalah baru adalah ber-

usaha mencari jawabannya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan maka

mereka meneliti hadits Nabi, dan jika tidak ditemukan maka mereka

berupaya melakukan ijtihad dengan berpegang pada prinsip pokok yang

dicontohkan Nabi.

Mereka berupaya meneliti ‘illat hukum yang dikandung nash dan

mengkomparasikannya dengan permasalahan baru. Inilah cikal bakal peng-

gunaan qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum. Penggunaan

qiyas inilah yang pada akhirnya menjadi embrio lahirnya hukum fikih.

Pada masa tabi’in kajian hukum fikih semakin berkembang seiring

dengan munculnya berbagai mazhab fikih. Beragam metodologi penggalian

hukum mulai diperkenalkan oleh para imam madzhab, seperti konsep

istishlah Imam Malik, metodologi qiyas Imam Syafi’i, serta konsep istihsan

imam Hanafi. Pada masa ini pula mulai bermunculan kitab-kitab fikih

periode pertama yang ditulis oleh imam madzhab atau para muridnya.

Selain membicarakan berbagai macam persoalan fikih, pada umumnya

dalam kitab tersebut juga disisipkan beberapa prinsip dasar bangunan

hukum yang digali dari berbagai macam dalil yang menjadi landasan

persoalan hukum fikih. Penyisipan tersebut oleh generasi fuqaha’

Page 96: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

84

selanjutnnya dijadikan sebagai prinsip penggalian hukum. Dari sinilah para

ulama mulai mengembangkan kaidah fikih.

Disamping itu, bibit kaidah juga dirumuskan para ulama dari ber-

bagai persoalan juz’iyyah yang dipadukan dengan dalil syar’i. Permasa-

lahan yang memiliki kemiripan ‘illat dan karakter hukum dikemas dalam

satu ungkapan yang bisa berbentuk ‘illat, dlabith, kaidah, atau ketentuan

hukum lainnya. Hasil dari upaya tersebut dikumpulkan, dihafal, bahkan

ditulis dalam kitab-kitab.

Usaha untuk menghafal dan mengumpulkan tersebut mulai tampak

sejak tahun 300-an hijriyah. Diantaranya adalah ulama’ madzhab hanafi

yakni Abu Thahir ad-Dabbas yang merangkum persoalan fikih madzhab

Hanafi dalam 17 kaidah. Koleksi kaidah milik Abu Thahir ini kemudian

dibukukan oleh sahabat karibnya yaitu Abu al-Hasan al-Karkhi yang

kemudian ditambah sehingga berjumlah 39 kaidah.

Sementara itu di kalangan madzhab Syafi’I, Qadli husayn dinilai

sebagai orang pertama yang merumuskan 4 macam kaidah madzhab

Syafi’I, yakni:

نيق ي ب ل ا إ نه ع ال ز ي ل ة يع ر الش قرر ف ت صل تهد و ل أ ك .1

ييس الت ب ل ت ة ق الش إن .2

ار ر ض ل و ر ر ض ل ه ول ن ق اشتقت م .3

ايه ل وع إ ج الر ة و اد يم الع ك ت .4.

Ke empat kaidah ini pada periode berikutnya disempurnakan lagi

menjadi lima kaidah dengan penambahan kaidah مبقاصدهااألمور , dan

disertai dengan perubahan berbagai redaksi.

E. Sistematika penulisan Kaidah Fikih

Menurut catatan Abdurrahman al-Sya’alani, setidaknya ada tiga

model dalam mensistematisasikan penulisan pada kitab-kitab kaidah fikih,

antara lain:

Page 97: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

85

a. Kitab yang ditulis sesuai urutan bab dalam kitab fikih, seperti kitab al-

Ashbah wa al-Nadloir karya Ibn al-Mulaqqan, atau kitab al-Qawa’id

karya al-Maqarri.

b. Kitab kaidah fikih yang ditulis sesuai dengan urutan huruf hijaiyyah,

seperti langkah al-Zarkasyi dalam menulis kitab al-Mantsur fi al-

Qawa’id

c. Kitab kaidah yang membagi kaidah-kaidah tertentu dalam beberapa

bab atau bagian tertentu, seperti al-‘Alai yang memulai kitabnya

dengan membahas lima kaidah dasar, kemudian kaidah ushuliyyah

dan di akhiri dengan kaidah fikihiyyah. Sedangkan Ibn al-Subuki

memulai kitab al-Asybah wa al-nadloir-nya dengan membahas lima

kaidah dasar, kaidah-kaidah umum, kaidah-kaidah yang khusus yang

masuk pada satu bab fikih, dan diakhiri dengan pembahasan istilah

yang memunculkan cabang hukum.

F. Klasifikasi kaidah fikih

Jika ditinjau dari aspek cakupan furu’ (cabang) yang dikandung dalam

suatu kaidah, maka kaidah fikih dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu:

1. Lima kaidah dasar yang memiliki cakupan menyeluruh, komprehensif

dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum

fikih.

2. Kaidah yang memiliki cakupan furu’ cukup banyak.

3. Kaidah yang memiliki cakupan terbatas, bahkan cenderung sangat

sedikit.

Sementara jika ditinjau dari segi muttafaq atau mukhtalaf –nya

kiadah-kaidah fikih juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Semua kaidah yang telah disepakati oleh semua madzhab, yaitu lima

kiadah dasar atau biasa disebut ¬al-kaidah al-kulliyyah.

2. Formulasi kaidah yang hanya disepakati dalam satu madzhab saja,

seperti kaidah aghlabiyyah dan qaliliyyah, dan jumlah mencapai 40

kaidah.

3. Rumusan kaidah yang masih diperdebatkan dalam satu madzhab yang

jumlahnya ada 20 kaidah.

Page 98: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

86

Kaidah-kaidah ini biasanya diawali dengan nada pertanyaan, atau

ditambah penegasan bahwa dalam kaidah ini masih ada khilaf.

Page 99: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

87

BAB VII MAQASHID SYARIAH DALAM USHUL FIKIH

Dalam penetapan hukum syariat yang berhubungan dengan ekonomi

terbuka pintu ijtihad yang tujuannya memberikan kemaslahatan dan bukan

kerugian bagi umat. Hal ini berhubungan dengan upaya pembentukan atau

pengembangan hukum yang baru yang tidak ada dalam al-quran dan as-

sunnah yang ditinjau dari pendekatan maslahat, yang dilakukan dengan

ijtihad. Selain itu juga sangat berhubungan dengan maqashid syariah

sebagai alasan (‘illah) atau hikmah dalam melakukan ijtihad.

Para ulama mempunyai pendekatan yang berbeda dalam identifikasi

maqashid. Menurut kamali73:

a. Pendekatan tekstual yang jelas, perintah dan larangannya. Perintah

merupakan tujuan syari’ (Allah) dalam bentuk perintah yang positif

dan larangan yang merupakan maqashid syariah dalam bentuk

negatif yang bertujuan menjauhkan manusia dari sesuatu yang

merugikan. Pendekatan ini lebih difokuskan kepada pendekatan teks

(Al-Quran dan As-sunnah).

b. Pendekatan illat, yaitu proses ijtihad menggunakan metode qiyas

yaitu menganalogikan sebuah kasus hukum (furu’) yang baru dengan

yang lama (usul) dengan menghadirkan alasan atau sebab (‘illat)

hukumnya. Pendekatan ini tidak fokus secara langsung kepada

maqashid al-syari’ dan maslahah manusia.

c. Pendekatan ijtihad dengan premis untuk merealisasikan manfaat

(maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). ‘illah dalam pende-

katan ini dinamakan hikmah pada setiap kasus hukum yang baru.

Contoh, hikmah pelarangan narkoba adalah menjaga manusia dari

kerusakan akalnya yang merujuk pada dalil keharaman khamar.

73 Lihat Al-Kamali, Abdullah. 2000. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fiqh al-

Muuwazanat.cet. I,: Dar al-Fikr , Beirut-Libanon

Page 100: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

88

Maka semua minuman memabukan yang dapat merusak akal

manusia diharamkan.

Ada beberapa metode pengambilan hukum dengan menggunakan

pendekatan maqashid syariah, menurut imam syatibi metode tersebut

yaitu:

A. Nash-nash dan hukum-hukum perlu dilihat dari segi tujuan-tujuannya

tanpa harus berhenti pada kejelasan, lafaz dan bentuknya dalam

menentukan ‘illat suatu hukum. Imam syatibi menegaskan dalam

penentuan hukum tidak boleh mengabaikan atau melalaikan maqashid

syariah dengan merujuk pada nash-nash yang benar. Karena itu, dalam

penetapan hukum menggunakan teks-teks alquran dan sunnah.

Contoh: Cari hadits mengenai zakat hanya diberlakukan bagi muslim

dan non muslim wajib membayar jizyah.

Dalam penjelasan di atas, ada dua tujuan dari zakat yaitu, untuk men-

sucikan para muzakki dan solidaritas kepada saudara-saudaranya

yang membutuhkan. Sebaliknya selain non muslim tidak dikenakan

dua tujuan zakat namun diwajibkan untuk membayar jizyah sebagai

kompen-sasi mereka tinggal dinegara Islam.

B. Pendekatan dengan menggunakan nash-nash yang umum dengan

dalil-dalil yang khusus. Adapun yang dimaksud al-kulliyah al-ammah,

yaitu:

• al-kulliyah al-nashiyyah (teks-teks yang menyeluruh) yang bera-

sal dari nash-nash quran dan sunnah yang benar (shahih)

• al-kulliyah al-istiqrai’ (induksi yang menyeluruh) yang menghu-

bungkan metode induksi dengan sejumlah teks-teks dan hukum-

hukum tertentu.

Hal tersebut menjadi sesuatu kewajiban dalam pengambilan hukum

yaitu dengan menimbang hal-hal khusus (dalil-dalil khusus) menjadi

sesuatu yang umum.

C. Jalb al-masalih wa dar’i al mafsadah (mendatangkan kemaslahatan

dan meninggalkan kerugian), merupakan penjelasan dari konsep

maslahah mursalah, dimana terdapat perbedaan pendapat dalam

menggunakan pendekatan ijtihad ini. Menurut syatibi, ketika suatu

Page 101: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

89

maslahah benar-benar sesuai dengan maqashid syariah, maka diharus-

kan ditetapkan hukumnya dan pelaksanaannya.

D. I’tibar al-maalat, yaitu suatu ijtihad yang berupaya menetapkan suatu

hukum berdasarkan kondisi atau situasi yang mengitari objek hukum.

Menurut syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menetapkan suatu

hukum dengan langsung atau menahan diri tanpa harus melihat atau

mengambil pertimbangan dari apa-apa yang ditafsirkan oleh suatu

perbuatan. Dalam penerapannya dapat dimasukan kepada kaidah-

kaidah az-zariah, istihsan, dll.

A. Maqashid syariah dalam ekonomi islam

Dalam upaya memahami kedudukan Maqashid syariah dalam ekonomi

Islam para akademisi dan praktisi lembaga perbankan dan keuangan

syariah, tidak cukup hanya mengetahui fikih muamalah dan aplikasinya

dalam praktek perbankan dan keuangan syariah, tetapi mereka juga perlu

memahami hal yang lebih penting dalam penentuan hukum syariah dalam

ekonomi Islam yaitu memahami ilmu ushul fikih.

Semua ulama sepakat bahwa ushul fikih menduduki posisi yang sangat

penting dalam ilmu-ilmu syariah. Imam Al-Syatibi (w.790 H), dalam kitab

Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fikih merupakan

sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena

melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil

syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkan dalil-dalil

syariah itu di lapangan. Menurut Al-Amidy dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil

Ahkam, Siapa yang tidak menguasai ilmu ushul fikih, maka diragukan

ilmunya, karena tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah (syariah)

kecuali dengan ilmu ushul fikih.”74 .

Hal penting dalam memahami ushul fikih adalah memahami maqashid

syariah. Maqashid syariah merupakan penggerak aktifitas dan kegitatan

ilmu ushul fikih. Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fikih,

karena itu maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam

merumuskan ekonomi syariah, untuk menciptakan produk-produk per-

bankan dan keuangan syariah.

74 Lihat asy Syatibi, dalam kitab Al-Muwafaqat dan juga Lihat Al-Amidy

dalam kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam

Page 102: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

90

Para ulama ushul fikih sepakat bahwa pengetahuan maqashid syariah

menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai proble-

matika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqa-

shid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan

ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk mencip-

takan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori

ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlu-kan dalam

membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Fathi al-Daraini dalam buku Al-Fikih al-Islam al-muqarin ma’a al-

mazahib mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid syariah meru-

pakan pengetahuan yang utama dan memiliki proyeksi masa depan dalam

rangka pengembangan teori ushul fikih, karena itu maqashid syariah

menu-rutnya merupakan ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam melakukan ijtihad seorang mujtahid harus menguasai maqashid

syariah. ‘Abdul wahhab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fikihnya menyebut

dengan tegas bahwa nash-nash syariah tidak dapat dipahami secara tepat

dan benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid syariah dan

asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat). Keberhasilan

penggalian hukum ekonomi Islam dari dalil-dalil Al-Quran dan hadits

sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maqashid al-syariah yang

dapat ditelaah dari dalil-dalil tafshili (al-quran dan sunnah)

Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan

dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan

ganda (alat sosial kontrol dan rekayasa sosio-econonomy) untuk mewujud-

kan kemaslahatan manusia, tetapi juga lebih dari itu, maqashid syariah

dapat memberikan dimensi filosofis dan rasional terhadap produk-produk

hukum ekonomi Islam yang dilahirkan dalam aktivitas ijtihad ekonomi

syariah kontemporer. Maqashid syaiah akan memberikan pola pemikiran

yang rasional dan substansial dalam memandang akad-akad dan produk-

produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan maqashid syariah-

lah produk perbankan dan keuangan syariah dapat berkembang dengan

baik dan dapat meresponi kemajuan bisnis yang terus berubah dengan

cepat.

Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak

persoalan yang muncul, seperti hedging (swap, forward, options), Margin

Page 103: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

91

During Contruction (MDC), Profit Equalization Reserve (PER), Trade Finance

dan segala problematikanya, puluhan kasus hybrid contracts, instrument

money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi

antar bank syariah atau dengan konvensional, restrukturisasi, pembiayaan

property indent, ijarah maushufash fiz zimmah, hybrid take over dan

refinancing, forfeiting, overseas financing, skim KTA, pembiayaan multi

guna, desain kartu kredit, hukum-hukum terkait jaminan fiducia, hypoteik

dan hak tanggungan, maqashid dari Anuitas, Tawarruq, Net Revenue

Sharing, cicilan emas, investasi emas, serta sejumlah kasus-kasus baru yang

terus bermunculan. Semua kasus dan upaya ijtihad terhadap kompleksitas

ekonomi dan keuangan syariah masa kini yang terus berubah dan

berkembang, memerlukan analisis berdimensi filosofis dan rasional dan

subtantif yang terkandung dalam konsep maqashid syariah.

Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi

syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa

maqashid syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu

keliru dalam memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk

keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiscal dan moneter,

akan kehilangan substansi syariahnya. Tanpa maqashid syariah, fikih

muamalah yang dikembangkan dan regulasi perbankan dan keuangan yang

hendak dirumuskan akan kaku dan statis, akibatnya lembaga perbankan

dan keuangan syariah akan sulit dan lambat berkembang. Tanpa

pemahaman maqashid syariah, maka pengawas dari regulator gampang

menyalahkan yang benar ketika mengaudit bank-bank syariah. Tanpa

maqashid syariah, maka regulator (pengawas) akan gampang menolak

produk inovatif yang sudah sesuai syariah. Tanpa pemahaman maqashid

syariah maka regulasi dan ketentuan tentang (Pernyataan Standart

Akuntansi Kauangan)PSAK syariah akan rancu, kaku dan dan mengalami

kesalahan fatal.

Jiwa maqashid syariah akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis,

fleksibel, lincah dan senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman

(shilihun li kulli zaman wa makan). Penerapan maqashid syariah akan

membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif

menciptakan produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk

bank-bank konvensional.

Page 104: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

92

Pemahaman maqashid syariah ini bertitik tolak dari pemahaman

(penguasaan) berbagai disiplin ilmu, seperti ushul fikih, falsafah tasyri’,

tarikh tasyri’ fil muamalah, filsafat hukum Islam, ulumul quran dan tafsir,

ulumul hadits dan mushtalahul hadits, qawaid fikih, kaedah ushul fikih dan

kaedah bahasa Arab. Karena itulah, pengetahuan tentang maqashid al-

syariah ini menjadi syarat yang sangat penting dalam melakukan ijtihad

ekonomi syariah kontemporer.

Setelah belajar Maqashid Syariah pada Ekonomi, Keuangan dan

Perbankan syariah ini diharapkan mahasiswa akan mampu membahas

secara mendalam praktik maqashid syariah sejak zaman Nabi yang

dilakukan Rasulullah dengan contoh-contoh kasus yang menarik. Demikian

pula maqashid syariah pada zaman zaman sahabat, juga perlu

direkonstruksi dengan kasus-kasus historis, yang penting sebagai ibrah

(cermin) dalam berijtihad bagi para mahasiswa, akademisi, pakar dan

regulator untuk perumusan regulasi, peraturan, fatwa dan Undang-Undang.

Begitu pula maqashid syariah di zaman Imam-Imam mazhab, sampai ke

zaman abad pertengahan di masa Imam Al-Ghazali, Ibnu Taymiyah dan

Ibnu Qayyim, bahkan sampai ke zaman Syah Waliullah ad-Dahlawy. Dengan

demikian, maqashid syariah tidak saja dikaji dari sisi teori dan konsep,

melainkan juga dari segi sejarahnya selama berabad-abad. Pendeknya

maqashid syariah akan dipaparkan dalam buku kecil ini secara

komprehensif dan tuntas, agar bisa menjadi contoh, cermin dan pedoman

bagi ilmuwan, cendikiawan, ulama dan regulator dalam membuat regulasi,

mengawasi, mengaudit dan menciptakan produk perbankan dan keuangan.

Selama ini banyak kajian maqashid syariah dilakukan secara dangkal

yang hanya berupa kulit-kulit luar saja, sehingga belum banyak

pengaruhnya menjiwai perumusan regulasi, penciptaan produk dan malah

menciptakan kekakuan dalam pengembangan produk perbankan dan

keuangan syariah. Parahnya di Indonesiamasih saja ada regulator PSAK

yang bukan ahli syariah, secara salah memahami maqashid syariah. Mereka

berpandangan pemahaman akad dalam fikih muamalah itulah maqashid

syariah. Na’uzubillah. Padahal fikih muamalah bukanlah maqashid syariah.

Dalam kajian kaidah fikih ekonomi ini, kajian ushul fikih lebih banyak

ditekankan pada ushul fikih yang bermuatan maqashid syariah. Maka dalil-

dalil yang dibahas umumnya dalil-dalil yang berdimensi maqashid syariah,

seperti istihsan, maslahah dan maslahah mursalah, sadd al-zariah,’urf,

Page 105: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

93

istishab dan tentunya qiyas. Setidaknya terdapat 11 (sebelas) dalil syariah,

yaitu (Alquran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, maslahah mursalah, ‘Urf,

Sa’ad zariah, Istishab, fatwa sahabat dan syar’u man qablana. Pembahasan

dalil-dalil dari kasus-kasus aktual kontemporer dalam pembahasan buku

ini, senantiasa dijiwai oleh maqashid syariah, sebagai pedoman utama

dalam perumusan hukum finansial Islam. Oleh karena itu, kajian maqashid

syariah mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas dalam diskusi

kelas.

Untuk lebih mengkomprehensifkan materi ini, kajiannya juga menggu-

nakan ilmu qawaid fikih dan tarikh tasyrik fil-muamalat serta didukung

ilmu tafsir, ulumul quran dan hadits (mushtalahul hadits). Pendekatan yang

holistic ini akan menunjukkan secara nyata bahwa ekonomi syariah adalah

ilmu yang multidisiplin yang bisa dipertanggung-jawabkan secara

akademis dan syar’i. Dan yang lebih penting lagi, pendekatan yang holistic

ini akan menghasilkan produk, regulasi, aturan dan produk perbankan dan

keuangan yang benar-benar sesuai dengan maqashid syariah.

Dalam konteks keindonesiaan kita juga perlu memahami metode

penetapan fatwa MUI di Indonesia, yakni bagaimana manhaj dan metode

ijtihad yang dilakukan MUI dalam menetapkan fatwa-fatwa ekonomi

syarah. Ini penting, agar para mahasiswa memahami metodologi syariah

dalam penetapan suatu hukum ekonomi Islam, sehingga para mahasiswa

mengetahui bahwa penetapan fatwa tidak dilakukan sembarangan,

melainkan dengan metodologi ushul fikih yang sophisticated dan sangat

ektra hati-hati yang bisa dipastikan berada dalam koridor syariah.

Kalangan masyarakat awam, mungkin tidak begitu perlu memahami

ilmu ushul fikih berwawasan maqashid syariah, tetapi mahasiwa yang

diharapkan menjadi seorang pakar dalam ekonomi syariah, dosen, Dewan

Syariah dalam lembaga keuangan syariah, pejabat bank/LKS, Direksi, DPS,

terlebih regulator (OJK) dan BI, auditor, hakim, wajib memahami ilmu

ushul fikih dan maqashid syariah dengan baik. Demikian pula General

Manager Bank Syariah, Pimpinan Divisi, Head Group, Branch Manager,

(kepala cabang), semua dosen dan mahasiswa prodi ekonomi syariah,

konsultan, notaris syariah perlu memahami maqashid syariah dan aplikasi-

nya dalam ekonomi, keuangan dan perbankan syariah.

Definisi Ekonomi Islam:

Page 106: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

94

• M. Umer Chapra75 cabang ilmu yang membantu merealisasikan

kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan distribusi sumber-

daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa memba-

tasi kebebasan indivisu ataupun menciptakan ketidakseimbangan

makro dan ekologis.

• Menurut M. Akram Khan76 mendefinisikan ilmu ekonomi Islam

adalah ilmu yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang

kabahagiaan hidup manusia (falah) yang dicapai dengan

mengorganisasikan sumber daya di bumi atas dasar gotong royong

dan partisipasi. Ekonomi islam di tetapkan bertujuan untuk

memelihara kemaslahatan umat manusia, kemaslahatan hidup

tersebut berkembang dan dinamis mengikuti perkembangan dan

dinamika hidup umat manusia, formulasi ekonomi yang tersurat di

dalam al-qur’an dan al-hadist.

• Syed Nawab Haider Naqvi77 menyatakan bahwa perbedaan antara

ekonomi Islam dan konvensional adalah internalisasi nilai-nilai etika

(agama) dalam ekonomi Islam.

Dari definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari

ekonomi Islam adalah merealisasikan falah kepada umat manusia dimuka

bumi melalui pendayagunaan sumber-sumber daya yang dianugerahkan

oleh Allah kepada manusia dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan

oleh Allah Swt.

Worldview merupakan perbedaan sudut pandang antara ekonomi

Islam dan konvensional, dan menghasilkan perbedaan tujuan hidup

manusia dalam berekonomi. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang

memberikan cara kepada manusia untuk mendapatkan kesejahteraannya

(falah) yang berdasarkan kepada sumber-sumber Islam.

75 Lihat Umer Chapra. 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani

Press, Jakarta

76 Lihat Muhammad Akram Khan, “The Role of Government in the Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, hal. 157.

77 Lihat Syed Nawab Haider Naqvi,1993, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Ekonomi,(Terj) Husin Anis, Asep Himat, Mizan, Bandung

Page 107: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

95

B. Bangunan Ekonomi Islam

Fondasi utama

1. Aqidah, adalah ketetapan hati yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Kidah merupakan fungsi utama dalam ekonomi Islam. Contoh: dalam

bentuk keyakinan kepada Allah, bahwa harta dalam Islam adalah

amanah yang diberikan oleh Allah, sebagai pemilik mutlak kekayaan

seluruh alam kepada manusia sebagai khalifatullah fil ard.

2. Syariah, adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT

kepada hamba-hambanya yang bersumber dari al-quran dan as-

sunnah. Syariah mencakup seluruh aspek kehidupan baik ritual

(ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah berfungsi sebagai

pengikat ketaatan dan keharmonisan hubungan antara manusia

dengan Allah SWT, sedangkan muamalah berfungsi sebagai aturan

hukum manusia yang ditetapkan oleh Allah untuk kemaslahatannya

dimuka bumi.

3. Akhlak, merupakan komponen yang melekat selalu dalam diri

manusia. Manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan

kebaikan dimuka bumi, ini membuktikan pentingnya peran akhlak

dalam kehidupan manusia.

Ketiga fondasi diatas harus menjadi satu keutuhan dalam implemen-

tasinya dikehidupan manusia yang direalisasikan kedalam fondasi ekonomi

Islam yang tediri dari falsafah dasar, yaitu:

1. Tauhid, merupakan asas utama dari segala aktivitas manusia. Sistem

ekonomi yang telah dibangun oleh Rasulullah saw adalah sistem yang

menggabungkan harmonisasi dan persaudaraan (ukhuwwah dan

tazkiyah) diantara umat manusia, disatukan oleh nilai-nilai tauhid yang

berasal dari kata wahada yang berarti satu. Mereka adalah satu

kesatuan umat yang berikrar tiada Tuhan selain Allah, tiada yang maha

kaya selain Allah, tiada yang maha berkuasa selain Allah dan tiada yang

maha Adil selain Allah.

2. Khalifah (perwakilan) yang memegang peranan penting dalam

kehidupan manusia. Manusia sebagai khalifatullah mempunyai 2 tugas:

• Sebagai hamba Allah (kewajiban agama)

Page 108: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

96

• Sebagi pemakmur bumi (muamalah), dalam kewajiban ini direalisasi-

kan menjadi kewajiban ekonomi, sosial, dan politik. Karena itu

manusia dipercaya untuk mengelola bumi, dengan kebebasan dalam

bertindak untuk memilih yang benar dan meninggalkan yang salah

karena manusia diberi pengetahuan untuk belajar. (Al-Ahzab:72)

3. Alam, tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan manusia sebagai khalifah

di muka bumi. Dalam alquran dijelaskan hubungan manusia dengan

alam, yang meliputi alam kandungan, alam dunia, alam barzah dan alam

akhirat. Alam dunia yang paling menentukan posisi manusia yang

dimanifestasikan dalam perbuatan untuk mencapai kebahagiaan

akhirat. Orang yang mengenal dirinya sendiri akan mengenal wujud

dari alam (al-Zariyat, 19-20)

4. Ukhuwwah, adalah konsep yang berasal dari Islam, yang bermula ketika

umat muslim (muhajir) dan anshor dikenalkan oleh Rasulullah saw, ada

3 hal urgen dari konsep ini yaitu terwujudnya satu kesamaan

keyakinan, tujuan dan perilaku. Ketika ukhuwwah Islamiyyah sangat

kuat maka akan menghasilkan peradaban yang kuat, terutama dalam

bidang ekonomi. Turunan dari konsep ini akan direalisasikan dalam

bentuk kerjasama (cooperation), tolong menolong (ta’awun) dan

kebersamaan untuk maju.

5. Tazkiyah, merupakan komponen akhir yang menghubungkan antara

hubungan manusia dengan Allah, manusia lain, alam dan masyarakat.

Tazkiyah merujuk kepada penyucian dan tumbuh. Pembangunan

mengarah kepada kesempurnaan melalui penyucian perilaku-perilaku

dan hubungan-hubungan, sehingga hasilnya adalah falah.

Pilar-Pilar Ekonomi Islam, merupakan turunan dari fondasi

1. Konsep Kebebasan, tanggung jawab dan amanah konsep ini merupakan

turunan dari fondasi tauhid, alam dan khalifah. Hal ini berhubungan

dengan perilaku manusia (human behaviour) dalam ekonomi Islam

yang diatur oleh syariat.

2. Konsep kepemilikan, konsep ini berhubungan dengan kepemilikan

harta, harta yang dimiliki manusia adalah mutlak milik Allah,

sedangkan manusia hanyalah diberikan amanah untuk mengelolanya.

Page 109: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

97

Kepemilikan dengan amanah (ownership by trusteeship) dibagi menjadi

2:

• Kepemilikan pribadi, bagi individu dibolehkan dalam Islam baik

dengan cara bekerja, warisan atau perdagangan.

• Kepemilikan publik, berhubungan harta-harta yang menjadi milik

bersama masyarakat dalam pengguanaanya. Secara umum konsep ini

berhubungan dengan aktivitas konsumsi dan produksi manusia.

3. Konsep Keadilan, menjelaskan tentang peranan distribusi dan transfer

pendapatan yang berasal dari kekayaan yang dihasilkan oleh manusia.

Tujuan distribusi dalam Islam adalah tidak terakumulasi harta pada

sebagian orang saja, melainkan terdistribusikan kepada mereka yang

membutuhkan, sehingga keadilan sosial dapat tercapai.

C. Tujuan Ekonomi Islam Berdasarkan Maqashid Syariah

Tujuan Ekonomi Islam Maqashid Syariah

Tujuan Ekonomi Islam adalah untuk falah atau kesejahteraan di dunia

dan akhirat78. (al-baqarah: 201), konsep falah ini sangat komprehensif,

yang mencakup pada aspek spiritual, moral, dan kesejahteraan di dunia

dan kesuksesan di akhirat.

• Pada level mikro, falah mengacu kepada pemenuhan kebutuhan

dasar, kebebasan dalam bekerja untuk mendapatkan kesenangan

spiritual dan materi

78 QS al-baqarah: 201

Page 110: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

98

• Pada level makro, terbentuknya stabilitas dan kesejahteraan

ekonomi dengan standrad kehidupan masyarakat dapat tercapai di

dunia dan akhirat.

• Turunan dari konsep falah adalah, distribusi pendapatan yang

merata, keadilan ekonomi, berkurangnya kemiskinan dan terbukanya

kesempatan kerja.

D. CSR (Maqashid Syariah Dalam CSR)

CSR adalah sesuatu yang menunjukkan kegiatan perusahaan selain

meningkatkan keuntungan, seperti melindungi lingkungan, memperhatikan

kebutuhan karyawan, melakukan bisnis yang beretika, dan terlibat dalam

masyarakat setempat.

Implikasi dari maqashid dalam CSR

1. Nilai maqasid syariah sendiri dalam CSR itu terlihat pada adanya

pemerataan terhadap keuntungan yang diberikan oleh perusahaan

untuk kesejahteraan karyawan dan keluarganya, dan masyarakat

sekitarnya.

2. Ini sebagai bukti bahwa, menghapus semua image tentang kapitali-

sasi sebuah perusahaan. ini juga di pandang dari kacamata Islam

sebagai suatu bentuk pertangggungjawaban pada Allah SWT.

3. Konsep Islam sendiri pada CSR adalah sebagai bukti ketaqwaan kita

pada Allah yang mana kita mempunyai kewajiban dalam bertanggung

jawab atas kelangsungan kehidupan manusia.

The mashlahah pyramid

Tahsiniy

ah

Hajiyah

Dharuriyat

Page 111: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

99

E. Tingkatan Maqashid Syariah

Pada tingkat pertama (dharuriyat), para manajer diharapkan dapat

menjaga kepentingan kebutuhan-kebutuhan esensi dari stakeholder dan

berbasis kepada maqashid al-khamsah (agama, jiwa, akal, keturunan dan

harta). Kebutuhan yang esensi menjadi prioritas bagi karyawan sebelum

diberikan kepada konsumen dan masyarakat.

1. Agama, penyediaan fasilitas ibadah, penyediaan waktu yang cukup

untuk ibadah, aturan-aturan perusahaan berbasisi nilai-nilai Islam

2. Jiwa, menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dilingkungan ker-

ja, asuransi kesehatan.

3. Keturunan, bantuan biaya pernikahan bagi para pekerja, subsidi

pembelian rumah.

4. Akal, bantuan biaya pendidikan untuk keluarga pekerja dan masyara-

kat sekitar, pengembangan skill pekerja dan mesyarakat melalui

training.

5. Harta, gaji yang adil, biaya pensiun.

Pada tingkat kedua ada hajiyat, perusahaan dapat membuka program

CSR seperti pelatihan dan program peningkatan kualitas sumber daya

manusia, program beasisiwa untuk meningkatkan tingkat pengetahuan

karyawan dan memberikan pelatihan bagi karyawan mengenai instrumen

keuangan Islam yang ditawarkan untuk melindungi iman (hifdz al-din).

Pada tingkat terakhir adalah tahsiniyat, perusahaan dibebankan

tanggung jawab sosial dengan terlibat dalam program-program yang dapat

menyebabkan peningkatan dan pencapaian terhadap kehidupan umat.

Contoh: dengan menyediakan fasilitas ibadah di masyarakat, fasilitas

kesehatan seperti perawatan gratis bagi masyarakat miskin dan yang

membutuhkan, melindungi lingkungan masyarakat, menawarkan beasisiwa

bagi siswa miskin dan yang membutuhkan dan meningkatkan fasilitas

pendidikan di masyarakat setempat.

F. Maqashid Syariah Dalam Konsumsi

Prinsip-Prinsi dasar konsumsi:

1. Prinsip halal (al-maidah: 3)

2. Prinsip kebersihan dan kebajikan (al-baqarah: 172)

Page 112: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

100

3. Prinsip moderat (Al-‘araf: 31)

Skala prioritas konsumsi dalam tinjauan maqashid syariah, seorang

muslim harus mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa manfaat

(maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah). Hal ini berhubungan dengan

kajian maqashid syariah yang terdiri dari :

1. Dharuriyat, merupakan kebutuhan oleh manusia dalam konsumsi.

a. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu

keagamaan, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

b. Kebutuhan dalam menjaga jiwa, seperti sandang, pangan, papan,

eksistensi diri dan kesehatan.

c. Kebutuhan dalam menjaga keturunan, seperti pengeluaran perka-

winan dan keluarga.

d. Kebutuhan dalam menjaga akal, seperti pengeluaran pendidikan

e. Kebutuhan dalam menjaga harta, seperti pengeluaran tabungan,

investasi dan asuransi.

2. Hajiyat, untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam

pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contoh: pengeluaran

zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat meralisasikan

aspek ritual (hifdz al-din).

3. Tahsiniyah atau kamaliyat, adalah segala sesuatu yang tujuan tidak

untuk merealisasikan maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan

untuk menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada

tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi

dengan landasan nilai-nilai Islam.

Page 113: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

101

BAB VIII KAIDAH FIKIH TENTANG EKONOMI

Kaidah fikihiyah (kaidah-kaidah fikih) terdiri dari kaidah umum dan

kaidah khusus, kaidah khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah

satunya adalah di bidang Ekonomi (Muamalah) Kaidah yang khusus di

bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting karena perhatian

sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits terkait ibadah mahdhoh

dan hukum keluarga Islam lebih dominan dibanding dengan fikih-fikih

yang lain. Akibatnya, di bidang fikih-fikih selain ibadah mahdhoh dan

hukum keluarga Islam, ruang lingkup ijtihad menjadi sangat luas dan

materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.

Al-Qur’an dan Hadits untuk bidang selain ibadah mahdhoh dan hukum

keluarga Islam hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin

dalam dalil-dalil yang bersifat umum. Hal ini tampaknya erat kaitannya

dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba Allah juga sebagai

khalifah fi al-ardh.Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah hanya

membahas kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ekonomi (Muamalah)

saja.

A. Kaidah-Kaidah Fikih Yang Berhubungan dengan Masalah

Ekonomi

Kaidah-kaidah fikih terdiri dari kaidah fikih yang umum dan kaidah

fikih yang khusus, salah satu kaidah fikih yang khusus yaitu kaidah yang

berhubungan dengan masalah ekonomi (muamalah), kaidah-kaidah terse-

but antara lain adalah sebagai berikut:

ف صل األ .1 اه ي ر ى ت ل ع يل ل أن يدل د ل ة إ ح ب ال ة ل ام ع ال

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

ا التزماه بلتعاقدته م يج ت ن ين و ى التعاقد ض العقد ر ف صل األ .2“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

إذنهال ه ب ي ملك غ ف ف صر ن ي د أ ح أل وز ي ل .3

Page 114: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

102

“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”

ةاز ج ل ال قب ي ل ل ط االب .4“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

ة الالحقة كالوكالة السابقةاز ج ال .5“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu”

انع م ت ي ان ل م الض و ر ج األ .6

“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”

ان م لض ب اج ر ال .7“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”

لغمنب رم الغ .8“Risiko itu menyertai manfaat”

ه من ض ا ف ل م ط ئ ب ي ل ش ط ا ب ذ إ .9“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”

اه ع اف ن ى م ل ع د ق الع ان ك عي ى األ ل ع قد الع .10“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad

terhadap manfaat benda tersebut”

ود ق الع ن م ه يد ب ت ح ص ا ي م ل ك .11 ه ت ي ق و ت ح ص ي ال ف ات ض او ع ال

“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah

diberlakukan sementara”

لط ب ي الغ ك ل م ف ف ر ص لت ب ر م األ .12“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah

batal”

بضلق ب ل إ ع ب الت م ت ي ل .13

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

انم الض اف ن ي ي رع ش ال از و ال .14

Page 115: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

103

“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan

ganti rugi”

ت ل ب ق ن و ك ي ن أ ز ائ ج ول ب ق ل ك .15

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”

زائ ج و ه اه ف ض ت ق ن م و م أ د ق الع ة ح ل ض ن م م ان رط ك ش ل ك .16“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,

maka syarat tersebut dibolehkan”

ه ن ه ر از ج ه ع ي ب از ا ج م .17“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”

ب ر و ه ة ف ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك .18“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama

dengan riba”

الضرري زال .19“Kemadharatan harus dihilangkan”

الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة .20“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun

khusus”

انتمع ي ان ل م الض و جر األ .21“Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”

B. Penerapan Kaidah Fikih dalam Ekonomi

Penerapan Kaidah-kaidah fikih dalam ekonomi adalah sebagai berikut:

1. Kaidah pertama:

ف ل ص أل ا اه ي ر ى ت ل ع يل ل ن يدل د أ ل ة إ ح ب ة ال ل ام ع ال

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah) perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.

Page 116: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

104

2. Kaidah kedua:

ض د ر ق الع ف ل ص األ اقدع لت اه ب ا التزم تيجته م ن دين و اق ع ت ى ال

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang

berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,

transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah

pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam

keadaan terpaksa atau dipakasa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada

waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak

merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.

Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh

penjual karena barangnya terdapat cacat.

3. Kaidah ketiga:

ه ن ذ إ ال ب ه ي غ لك م ف ف ر ص ي ن أ د ح أل ز و ي ل “Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang

lain tanpa izin si pemilik harta”

Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang

dijual atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya.

Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.

4. Kaidah keempat:

ةاز ج ال ل ب ق ي ل ل ط االب “Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”

Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak

pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun

diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank syariah tidak boleh melakukan

akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga,

meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga

sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah

apabila lembaga keuangan lain itu mau menggunakan akad-akad yang

Page 117: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

105

diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad atau transaksi

tanpa menggunakan sistem bunga.

5. Kaidah kelima:

ةق اب ة الس ال ك و ال ك ة ق ح ة الال از ج ال “Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan

yang telah dilakukan lebih dahulu”

Seperti telah dikemukakan pada kaidah ketiga bahwa pada dasarnya

seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain

tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan kaidah di atas, apabila

seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si

pemilik harta memberikan izin kepadanya, maka tindakan hukum itu

menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik

harta. Contohnya adalah akad wakalah yang diberlakukan di Bank Syariah.

6. Kaidah keenam:

انع م ت ي ل ان م الض و ر ج األ “Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak

berjalan bersamaan”

Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut

adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada

di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya

tidak ada di pasaran.

Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa

keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-

barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat.

Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu

membawa sewaannya.

7. Kaidah ketujuh:

انم لض ب اج ر ال

Page 118: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

106

“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat

benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang

mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan

alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan

binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak

pembeli.

8. Kaidah kedelapan:

ن م لغ ب م ر الغ “Risiko itu menyertai manfaat”

Maksud dari kaidah al ghurmu bi al ghunmi ialah bahwa seseorang

yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan

menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini

adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang

dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau

ghurmu serta dhomān yang akan terjadi.

Contohnya Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada

keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya,

seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang

dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos

mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang.

9. Kaidah kesembilan:

ه ن م ض ا ف م ل ط ب ئ ي ش ل ط ا ب ذ إ “Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam

tanggungannya”

Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si

pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang.

Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak

pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga

Page 119: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

107

barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya

dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.

10. Kaidah kesepuluh:

اه ع اف ن ى م ل ع د ق الع ك ان عي ى األ ل ع د ق الع “Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap

manfaat benda tersebut”

Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan

nnisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan

sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh

hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah

sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.

11. Kaidah kesebelas:

ود ق الع ن م ه يد ب ت ح ص ا ي م ل ك ه ت ي ق و ت ح ص ي ال ف ات ض او ع ال

“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah

diberlakukan sementara”

Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang

masing-masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak

(penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga

barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga

barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang

semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak

dibatasi waktunya. Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi

sewa menyewa.

12. Kaidah kedua belas:

لط ب ي الغ ك ل م ف ف ر ص لت ب ر م األ “Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain

adalah batal”

Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk

bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap

miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala

Page 120: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

108

penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual

barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.

13. Kaidah ketiga belas:

بضلق ب ل إ ع ب الت م ت ي ل “Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”

Akad tabarru adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan

semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai

penyerahan barangnya dilaksanakan.

14. Kaidah keempat belas:

انم الض اف ن ي ي رع ش ال از و ال “Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan

ganti rugi”

Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik

melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti

rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian

binatang tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati. Maka,

tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali

sumur ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.

15. Kaidah kelima belas:

ت ل ب ق ن و ك ي ن أ ز ائ ج ول ب ق ل ك “Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”

Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad

jual beli, sewa menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu”

(saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab

itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup

dijawab dengan “saya terima”.

16. Kaidah keenam belas:

زائ ج و ه اه ف ض ت ق ن م و م أ د ق الع ة ح ل ض ن م م ان رط ك ش ل ك

Page 121: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

109

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut,

maka syarat tersebut dibolehkan”

Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa

apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka

penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih,

syarat tercatat di notaris.

17. Kaidah ketujuh belas:

ه ن ه ر از ج ه ع ي ب از ا ج م “Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”

Sudah tentu barang yang boleh dijual boleh pula digadaikan namun,

ada pengecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak

boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan

18. Kaidah kedelapan belas:

ب ر و ه ة ف ع ف ن م ر ج ض ر ق ل ك “setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama

dengan riba”

Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang

yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang), karena

pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah

ditentukan. dalam perbankan syariah dilarang menggunakan transaksi

yang menimbulkan riba, oleh sebab itu sistem bunga diganti menjadi

sistem bagi hasil.

19. Kaidah Sembilan belas:

رري زال الض “Kemadharatan harus dihilangkan”

Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus

dijauhkan dari idhrar (tindakan menyakiti) baik oleh dirinya maupun

orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti orang

lain). Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok

Page 122: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

110

masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi

rakyat.

20. Kaidah kedua puluh:

الاجة ت نزل منزلة الضرورةعامة كان أو خاصة “Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum

maupun khusus”

Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi,

demi untuk kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum

berwujud asal sifat-sifatnya atau contohnya telah ada.

21. Kaidah kedua puluh satu:

انتمع ي ان ل م الض و جر األ “Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”

Maksud dari kaidah ini ialah, bahwa upah tanggungan (ganti rugi) dari

suatu barang,

Page 123: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

111

BAB IX KAIDAH FIKIH TENTANG

TRANSAKSI KEUANGAN

Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah swt. Di

dalam berinteraksi antar sesamanya selalu mempunyai hubungan dan

tidak bisa sendiri-sendiri. Manusia sangat bergantung sekali dengan manu-

sia lainnya atau butuh teman, kawan atau makhluk lain maka manusia

tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Bagaimana kalau

seorang manusia mau makan tentu dia butuh beras untuk dimasak maka

tentu dia harus membelinya di pasar atau dia harus menanamnya maka dia

perlu bibit dan pupuk yang diperoleh dari orang lain.

Di dalam berhubungan antar manusia sangat dibutuhkan aturan-atur-

an. Selain aturan itu datang dari Allah swt dan Sunnah RasulNya diperlukan

juga bahan-bahan yang lain, yang intinya mendatangkan kebaikan bagi

manusia.

Hubungan yang dimaksud juga berarti saling bertransaksi dan dalam

setiap kegiatan kehidupan atau ekonomi sangat memerlukan transaksi.

Dalam ekonomi ada yang kita kenal dengan Transaksi Keuangan. Segala

aspek aktifitas ekonomi memerlukan transaksi keuangan. Karena label

ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi Islam maka dalam transaksi

keuangan mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan diridloi oleh Allah

SWT. Maka Transaksi Keuangan itu harus mempunyai landasan yang kuat

dan benar. Berasal dari sumber yang haq dan tayib. Aturan itu harus

mempunyai rujukan hukum yang jelas. Dari semua rujukan hukum itu

dibutuhkan kaidah fikih atau hukum syariat yang jelas. Dalam bertransaksi

keuangan hendaklah ada kaidah fikih yang kita pakai agar transaksi itu

syah dan tayib tadi.

A. Kaidah Fikih dan Kaidah Ushuliyah

Dalam pembahasan pada BAB-BAB yang telah lalu diuraikan fungsi

utama dari ilmu Kaidah Fikihiyyah dari seluruh aturan-aturan yang

universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan

dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan

Page 124: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

112

fungsi masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan

yang sifatnya umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.

Status hukum Kaidah adalah merupakan bantuan hukum yang bisa

menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum dalam mengeluarkan suatu fatwa

atau oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara sepanjang tidak

melenceng dari Alquran, Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum hukum

Islam.

Perbedaan antara Ushul Fikih dan Kaidah Fikihiyyah (Kaidah Fikih)

adalah, Ushul Fikih menaruh perhatian utama pada aturan-aturan menter-

jemahkan teks hukum dan metodologi yang diikuti untuk menurunkan

suatu aturan dari teks hukum. Ushul Fikih merupakan suatu metode yang

diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan umum dari sumber-sumber

asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam bentuk perintah) merupa-

kan kewajiban” adalah suatu kaidah ushuliyah. Semua amalan wajib seperti

mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjan-jian diturunkan

dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang status

hukumnya wajib dalam Islam.

Di sisi lain, Kaidah Fikihiyyah diekstrapolasi dari ketentuan-ketentuan

fikih dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan

mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu yang

membahayakan harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fikih yang

memasukkan semua ketentuan dalam hukum Islam di mana menghapus-

kan hal-hal yang membahayakan dititikberatkan oleh syariah seperti

hukum-hukum yang berkaitan dengan kompensasi terhadap pengrusakan

harta seseorang, hukum mengganti kerugian, hukum Qisas, Hukum pre-

emption (dalam istilah fikih disebut “Syuf’ah” yaitu hak prioritas untuk

membeli terlebih dahulu), likuidasi, hak membatalkan kontrak dan lain-

lain.79

Selain Kaidah ada juga istilah Dabitah. Dabitah adalah memfokuskan

penerapannya dalam topik-topik yang individual. Sementara Kaidah atau

Kaidah adalah satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada semua

spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab Fikih. Misalnya ada Kaidah

“Suatu perbuatan dinilai dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan

79 Muhammad Tahir Mansoori, 2010, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan

Transaksi Bisnis, Ulul Albab Institut, Bogor, hal. 9

Page 125: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

113

pada berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-

lain.

Sumber dan asal Kaidah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa

kategori :

1. Kaidah yang diturunkan dari teks Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.

Contohnya, kaidah ‘Dasar dari segala perbuatan adalah maksud

perbuatan tersebut” diturunkan dari hadist yang terkenal : “Innamal

A’malu binniyat (yang artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu

tergantung pada niatnya)”.80 Begitu juga dengan kaidah “Kesulitan

dapat memunculkan kemudahan” didasarkan pada sejumlah ayat

Alquran yang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami

keadaan sulit. Seperti tercantum dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat

185 dan Surat Al-Hajj ayat 78.

2. Kaidah yang aslinya adalah hadist Rasulullah saw, namun kemudian

lebih dikenal sebagai kaidah-kaidah hukum antara lain :

a. Siap menerima untung berarti siap menerima rugi

انم لض ب اج ر ال b. Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang meminjam-

kannya adalah Riba

ب ر و ه ا ف فع ر ن ج ض ر ق ل ك c. Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki

ك د ن ع س ي ا ل م ع ب ت ل 3. Kaidah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan fikih, tersebar

dalam beberapa bab berbeda pada kitab-kitab fikih.

4. Kaidah yang berasal dari Ushul Fikih (yaitu prinsip-prinsip hukum

Islam) yang diturunkan oleh ulama fikih yang berasal dari keten-

tuan Alquran dan Sunnah antara lain contohnya :

80 Ibid. hal 11

Page 126: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

114

a. “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan”

atau Istishab yang terkenal dalam hukum Islam

كلش ب ل و ز ي ل ني ق الي b. “Adat kebiasaan itu merupakan hakim” atau prinsip Urf

ة م ك م ة اد الع c. Ijtihad tidak berlaku apabila ada nushush (teks Alquran atau

Hadist yang menjelaskan hukum itu)

ه ل ث ب ض نق ي ل اد ه ت ج ال B. Niat dan Motivasi dalam Kontrak

Dalam melakukan kerjasama atau transaksi hendaklah kita mulai

dengan niat yang baik. Apabila niat itu selaras dengan niat Allah atas

transaksi itu maka perbuatan tersebut menjadi sah, tetapi apabila niat itu

tidak selaras dengan niat Allah maka perbuatan tersebut tidak sah.

Niat dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu

akad, disamping menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak

sahnya suatu perbuatan. Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi yang

diberikan bertentangan dengan beberapa ketentuan maka akad itu akan

berubah menjadi akad jual-beli dan bukan lagi akad hadiah walaupun

namanya Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah (pendele-

gasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk

melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad

tersebut jatuh pada akad Kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama

halnya dalam kerjasama Mudharabah jika ada ketentuan yang menyatakan

bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keun-

tungannya maka akad itu disebut Mudharabah tapi akad hutang.81

Sebagai contoh dari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud

kontrak tersebut adalah giro di bank komersial. Para ulama kontemporer

memperlakukan giro sebagai suatu kontrak hutang daripada kontrak

wadiah atau amanah disebabkan karena kontrak wadiah harus memenuhi

81 Ibid. hal 23

Page 127: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

115

syarat bahwa sebagai titipan di tangan orang yang dipercaya dengan tujuan

menjaga keamanan dan tidak ada keharusan suatu kewajiban atau

misalnya apabila barang yang dititipkan itu rusak bukan karena

kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya, kemudian

adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang

menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut dipakai

oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah

berubah menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.

Dan bagaimana dengan giro pada di Bank Syariah ? Ternyata hal yang

ditemukan adalah sangat kontras dari prinsip Wadiah yakni sebagai

berikut :

1. Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan dan tidak berlaku

dalam kasus Wadiah.

2. Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu dengan tabungan

yang lain.

3. Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya dengan aman, atau

bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait uang yang

dititipkan.

4. Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama tetapi uang lain

dalam jumlah yang sama.

Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi hutang dan peng-

hutang antara nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank untuk

memberikan layanan ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung

sebagai Riba. Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal :

‘Setiap hutang yang memberikan manfaat adalah Riba”. Dalam konteks

transaksi hutang, uang jasa yang diberikan kepada pemberi hutang dapat

membuka pintu untuk riba. Jadi atas dasar prinsip Sadd al-dara’i (Menutup

segala cara yang membuka pintu kemungkaran) hal ini harus dihindari.

Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah sebagai berikut :

1. Bay’ al Inah; adalah menjual barang secara kredit dengan harga

tertentu dan kemudian membelinya kembali secara kontan dengan

harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua transaksi

terjadi pada waktu yang bersamaan.

Page 128: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

116

2. Tawaruq; adalah suatu transaksi di mana seorang yang membutuh-

kan uang membeli suatu barang secara kredit dari orang tertentu

dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di

bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.

3. Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi di mana seseorang yang

membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli dengan

syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus

mengembalikan barang yang dibelinya kepadanya dengan harga

pembelian semula.

4. Hiyal; alat/strategi hukum yaitu menghilangkan hak atau menguat-

kan yang salah yang pada sisi lain selalu digunakan dengan niat dan

tujuan untuk menghindari larangan syariah.

5. Sadd Al-Dara’i; mencegah atau menutup proses yang tujuannya

haram atau dilarang yang sebenarnya merupakan pencegahan suatu

kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk memperoleh

hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut

C. Konsep Menghilangkan Mudharat

Ketentuan-ketentuan ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan

pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya mudarat dan mencegah

mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa penerapan kaidah ini adalah

sebagai berikut :

1. Hukum Pencegahan (Hajr)

Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap muatan-

muatan akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan

orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi yang

kemungkinkan besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah

seseorang dari transaksi tersebut disebut hajr dalam hukum Islam.

Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan hartanya.

Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak

dan kepentingan masyarakat yang diakibatkan oleh karakter orang-

orang tertentu.82 Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut

adalah :

82 Ibid. hal 47

Page 129: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

117

a. Safah atau pemborosan dalam hukum Islam merujuk pada

penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan dengan akal

dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang

benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar

kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.

b. Orang yang mengalami penyakit yang mematikan dilarang

melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena

dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh

transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi,

waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari

hartanya. Dan jika dia mempunyai hutang maka dilarang

melakukan donasi karena harta yang ditinggalkannya itulah

sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk transaksi dua arah

(timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena

kepentingan sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli

waris.

c. Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka

terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena

hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi

piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan

kreditor.

2. Law of Pre-emption

Tujuan utama mengakui hak pre-emption adalah untuk menghin-

dari berbagai bahaya yang dapat terjadi pada pemilik atau tetangga

dengan masuknya orang ketiga dari luar. Hak Pre-Emption mempunyai

dasar justifikasi :

a. Kesulitan dan ketidaknyamanan dari suatu kepemilikan bersama

lebih dipentingkan daripada pembeli asing (pihak luar) dan

merelakan orang asing masuk boleh jadi membuat partner kita

meninggalkan hartanya karena ketidaknyamanannya.

b. Konsepsi demokrasi dalam hukum waris cenderung untuk

membagi-bagi harta keluarga maka hak pre-emption untuk

mencegah kejahatan yang timbul karena membagi-bagikan harta

tersebut.

Page 130: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

118

c. Sharaya-ul-Islam dimana pembagi-bagian akan menyebabkan

kerugian dan kerusakan.

d. Hedaya adalah memberikan hak untuk mencegah ketidaknyaman-

an yang timbul

3. Melanjutkan Kontrak Bagi Hasil Sampai Masa Panen Tiba

Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua

belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemuda-

ratan.

4. Kewajiban Pekerja Tempahan

Bahwa para pekerja tetap harus memenuhi kewajibannya sampai

pekerjaan selesai dan wajib mengganti apabila terjadi kerusakan.

5. Penalti/denda atas gagal bayar dalam pembiayaan Murabahah

Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada bebera-

pa ketentuan yaitu : pertama; Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan

kontrak karena barangnya cacat), kedua; Khiyar al-gabn (hak untuk

membatalkan kontrak karena penipuan), ketiga; Penghentian kontrak

karena beberapa keadaan.

D. Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam

Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan

menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah telah memperhatikan

keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi dalam rangka

menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.83

Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga

kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat,

yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat diringankan.

Dalam keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini

mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum dari

hukum asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam

kapasitas seorang manusia normal.84

83 Ibid. hal 75

84 Ibid. hal 76

Page 131: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

119

Kaidah ini dapat juga diterapkan pada semua konsensi hukum yang

didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit, tekanan, kelalaian,

kesulitan umum (‘umum a-balwa), cacat fisik dan lupa. Secara umum,

kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal dalam kasus darurat

dan kebutuhan (hajat).85Kaidah ini meliputi : Keadaan darurat dan

kebutuhannya serta keadaan Hajat (kebutuhan) dan akibatnya.

Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :

1. Darurat dalam pengertian khusus; merupakan suatu kepentingan

esensial yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang

dahsyat yang membuat kematian. Untuk mengilustrasikan hal ini,

dapat diambil contoh daging babi yang dilarang bagi seseorang

muslim untuk memakannya. Jika seseorang yang sekarat karena

kelaparan mengikuti larangan ini dan menjaga diri dari tidak

memakan babi atau bangkai, dia bisa mati kelaparan. Jadi memakan

babi bagi seorang yang sekarat karena kelaparan dibolehkan atas

dasar kebutuhan yang mendesak.86

2. Darurat dalam pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk

pada suatu yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan

syariah. Dapat diamati bahwa perhatian utama dari defenisi darurat

menurut Syatibi adalah untuk melindungi tujuan-tujuan dasar syariah,

yaitu :

a. Menjaga dan melindungi agama,

b. Menjaga dan melindungi nyawa,

c. Menjaga dan melindungi keturunan,

d. Menjaga dan melindungi akal,

e. Menjaga dan melindungi kesehatan,

f. Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan diri.

Jadi, menurut defenisi ini, segala sesuatu yang membantu

merealisasikan tujuan-tujuan dasar syariah ini adalah darurat. Dan

darurat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut yaitu :

85 Ibid. hal 77

86 Ibid. hal 79

Page 132: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

120

a. Darurat harus nyata, bukan spekulatif dan imajinatif

b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan

kecuali keringanan itu

c. Solusi harus tidak menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembu-

nuhan, pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan

sesama jenis kelamin

d. Harus ada justifikasi kuat melakukan keringanan

e. Harus benar-benar hanya itulah solusi yang tersedia

3. Keadaan Hajat dan Akibatnya. Sama dengan darurat yaitu hajat yang

menerapkan keringanan terhadap hukum asal dan memberikan alasan

untuk berbeda darinya. Hajat terdiri dari dua jenis, hajat amah dan

hajat khassah. Syatibi mendefenisikan hajat sebagai suatu kepentingan

yang kalau dipenuhi akan menghilangkan kesusahan dan kesulitan,

dan kalau tidak dipenuhi akan membuat hilangnya tujuan-tujuan yang

dimaksud. Jadi, jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi, maka segala

sesuatu yang terkait dengan aturan-aturan syariah pada umumnya

akan mengalami kesulitan dan kesusahan, tapi hal ini tidak dianggap

sebagai penyebab kekacauan yang diprediksi sebagai hasil dari tidak

terpenuhinya kepentingan yang esensi ini. Contoh kebutuhan yang

selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah bolehnya kontrak

salam ( pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman

barang belakangan ), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas

dasar pesanan), bay’ bil wafa’ (penjualan dengan hak penebusan),

pinjaman, ijarah dan lain-lain.

E. Status Adat

Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi keputusan

pengadilan di mana seorang hakim mempunyai alternatif dalam

menghakimi suatu perkara. Adat kebiasan ini juga memberikan bantuan

dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk

menginterprestasikan ketentuan-ketentuan hukum dari Alquran dan

Sunnah.87 Misalnya untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga

87 Ibid. hal 99

Page 133: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

121

pasar dengan harga aktual dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada

praktik perdagangan dan masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa.

Ulama Fikih terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah

dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh

ulama fikih belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang

mereka dasarkan atasnya tidak ada lagi.

Misalnya, zaman terdahulu gandum dan jelai diukur dalam istilah

Mudd dan Sha’ (dua pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum

dan jelai itu diukur beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun,

apakah untuk dagang, pembayaran ushr, sedekah, atau kafarat, semuanya

dilakukan dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai.

‘Urf juga memiliki peranan dalam riba al-fadl. Riba al-Fadl adalah

suatu kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran

atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd

gandum dengan dua mud gandum, mereka dikatakan telah melakukan Riba

al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, maka Riba al-

Fadl akan terjadi hanya ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg

gandum. Seperti itulah ulam fikih menerjemahkan kriteria syariah dalam

defenisi di atas berkenan dengan pengukuran kapasitas.

Pada masa lalu, jual-beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak

berwujud dilarang oleh ulama fikih. Namun sekarang, praktik perdagangan

telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta,

hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai komoditi yang dapat

diperjual belikan. Ulama Fikih modern telah menetapkan bahwa hak-hak

ini dapat dijual dan dibeli seperti harta berwujud lainnya.

F. Keyakinan Versus Keraguan

Aturan dengan keyakinan versus keraguan dan pandangan untuk

meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua kasus di

mana suatu konflik antara keberadaan sesuatu di masa lalu dan keraguan

akan keberlangsungannya. Kaidah ini menyatakan bahwa aturan hukum

dari sesuatu yang dibangun dengan sebuah keyakinan akan terus berlanjut,

dan keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan

yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan

Page 134: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

122

yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau diha-

puskan.88

Para pemikir muslim telah mengelompokkan derajat pembuk-tian

dalam persoalan keyakinan versus keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin

(yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka kuat), zann (prasangka), syak

(ragu-ragu), dan wahm (bisikan hati). Mereka membolehkan menyan-

darkan praktik hukum-hukum syariah pada tiga kategori pertama. Konssep

kepastian telah tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah kaidah

pelengkap.

Makna dari kaidah dasar yang disebutkan diatas, bahwa begitu

sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal itu, hanya bisa dibatalkan

melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar prinsip ini, harta waris

tidak dapat dituntut dari seorang yang hilang, karena dugaannya ia masih

hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia sudah

meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya orang-orang yang hilang

dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya berdasarkan keraguan

dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat dibagikan kepada

ahli warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan

ia meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya89.

88 Ibid. hal 117

89 Ibid. hal 118

Page 135: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

123

BAB X KAIDAH-KAIDAH FIKIH EKONOMI

Kaidah pertama

بحة والطهارة احألصحل ف احألعحيان احإل

Hukum asal benda-benda adalah suci dan boleh dimanfaatkan

Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal seluruh benda yang ada di

sekitar kita dengan segala macam dan jenisnya adalah halal untuk

dimanfaatkan. Tidak ada yang haram kecuali ada dalil yang menunjukkan

keharamannya. Juga, hukum asal benda-benda tersebut adalah suci, tidak

najis, sehingga boleh disentuh ataupun dikenakan.

Ini termasuk patokan penting dalam syariat Islam dan memiliki

implementasi yang sangat luas, terkhusus dalam penemuan-penemuan

baru, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan semisalnya. Maka

hukum asal dari semua itu adalah halal, boleh dimanfaatkan, selama tidak

nampak bahayanya sehingga menjadikannya haram.

Oleh karena itulah, Ibnu Taimiyah mengatakan berkaitan dengan

kaidah ini, “Ini adalah kalimat yang luas maknanya, perkataan yang umum,

perkara utama yang banyak manfaatnya, serta luas barakahnya. Dijadikan

rujukan oleh para pembawa syari’ah dalam perkara yang tidak terhitung,

baik berupa amalan dan kejadian-kejadian di antara manusia.”90

Dasar Hukum

Kaidah ini ditunjukkan oleh dalil-dalil baik dari al-Qur`ân, as-Sunnah,

maupun Ijma’. Dalil dari al-Qur`ân, di antaranya firman Allâh swt:

هو الذي خلق لكم ما ف األرض جيع ا

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [Q.S al-

Baqarah:29].

90Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam

Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 21. Hal 535.

Page 136: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

124

Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi ketika menafsirkan ayat ini

mengatakan, “Dalam ayat yang agung ini terdapat dalil yang menunjukkan

bahwa hukum asal semua benda adalah mubah dan suci. Karena ayat ini

disebutkan dalam konteks pemberian karunia dari Allâh Swtkepada para

hamba-Nya.”91

Demikian pula firman Allâh Swt:

ا لكم أل تكلوا ما ذكر اسم الل عليه وقد فصل لكم ما حرم عليكم وم

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang

disebut nama Allâh ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh

telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. [Q.S al-

An’âm:119].

Sisi pendalilan dari ayat ini dapat dilihat dari dua sisi.

Pertama, Allâh Swt mencela orang-orang yang tidak mau memakan

daging hewan yang disembelih atas nama Allâh Swt sebelum hewan

tersebut dinyatakan secara khusus sebagai hewan yang halal. Seandainya

bukan karena hukum asal segala benda itu halal, tentu mereka tidak

mendapatkan celaan itu.

Kedua, dalam ayat ini disebutkan bahwa Allâh Swt telah menjelaskan

apa-apa yang diharamkan. Ini menunjukkan, apa-apa yang tidak dijelaskan

keharamannya maka itu bukan perkara yang haram. Dan apa-apa yang

tidak haram, berarti itu halal. Karena tidak ada macam yang lain, kecuali

benda itu halal atau haram.

Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya sabda Nabi Saw dalam

hadits riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim :

صلى ي هللا عنه أن النب هللا عليه وسلم قال : إن عن سعد بن أب وقاص رضن أجل مسألته أعظم المسلمني جرم ا من سأل عن شيء ل يرم فحر م م

Dari Sa’d bin Abi Waqqash r.a , bahwasannya Nabi Saw bersabda,

“Sesungguhnya orang Muslim yang paling besar kesalahannya adalah orang

91 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, 2002, Tafsîr al-Karîm ar-

Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, cet. I, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hal. 48.

Page 137: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

125

yang mempertanyakan sesuatu yang semula tidak haram, kemudian

diharamkan karena sebab pertanyaannya itu”. (HR al-Bukhâri)92

Hadits ini menunjukkan bahwa pengharaman itu adakalanya terjadi

karena sebab pertanyaan. Artinya, sebelum munculnya pertanyaan,

perkara tersebut tidaklah haram. Dan inilah hukum asalnya.

Dalil lain dari as-Sunnah adalah hadits riwayat Imam Tirmidzi :

ي قال : سئل رسول هللا السمن صلى هللا عليه وسلم عن عن سلمان الفارسما والب والفراء. ف قال : الالل ما أحل هللا ف كتابه والرام ما حرم هللا ف كتابه و

سكت عنه ف هو ما عفا عنه

Dari Salman al-Farisi, ia berkata: “Rasulullah Saw pernah ditanya tentang

minyak samin, keju, dan (mengenakan) bulu binatang, maka beliau bersab-

da, ‘Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allâh Swtdi dalam kitab-Nya, dan

yang haram adalah apa yang diharamkan Allâh Swtdi dalam kitab-Nya, dan

apa yang Dia diamkan termasuk sesuatu yang dimaafkan.” (HR at-Tirmidzi) 93

Hadits tersebut merupakan nash yang menunjukkan bahwa perkara-

perkara yang didiamkan dan tidak disinggung tentang keharamannya maka

itu bukanlah perkara yang menjatuhkan seseorang kepada dosa, sehingga

bukan termasuk kategori perkara yang haram.

Demikian pula para Ulama telah bersepakat tentang eksistensi kaidah

ini, yaitu keberadaan hukum asal benda-benda adalah halal untuk diman-

faatkan, baik dimakan, diminum, atau semisalnya. Dan tidaklah haram

darinya kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Sebagaimana

disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan, “Saya

tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan Ulama terdahulu bahwa

perkara yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya maka

perkara itu tidak haram secara mutlak. Banyak orang dari kalangan ahli

ushul-fikih dan cabangnya yang menyebutkan kaidah ini. Dan saya

92 HR al-Bukhâri

93 HR at-Tirmidzi

Page 138: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

126

memandang sebagian di antara mereka telah menyebutkan ijma’, baik

secara yakin maupun persangkaan yang yakin”94.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal semua benda

adalah suci maka telah tercakup dalam dalil-dalil yang disebutkan di atas

ditinjau dari dua sisi.

Pertama, sesungguhnya dalil-dalil tersebut menunjukkan bolehnya

semua bentuk pemanfaatan, baik dengan dimakan, diminum, dipakai,

disentuh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penetapan kesucian

benda-benda itu telah tercakup di dalamnya.

Kedua, telah dipahami dari dalil-dalil tersebut bahwa hukum asal

benda-benda yang ada di sekitar kita itu boleh dimanfaatkan, seperti

dimakan dan diminum. Maka diperbolehkannya barang-barang tersebut

untuk disentuh sebagai benda yang tidak najis adalah lebih utama. Yang

demikian, karena makanan itu bergabung dan bercampur dengan badan.

Adapun sesuatu yang disentuh atau dipakai maka ia sekedar mengenai

badan dari sisi luarnya saja. Apabila telah tetap kebolehan sesuatu dalam

bentuk tergabung dan tercampur, maka kebolehan sesuatu sekedar dipakai

atau disentuh adalah lebih utama. Hal itu diperkuat dengan dalil dari Ijma,

sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menga-

takan: “Sesungguhnya para fuqaha seluruhnya bersepakat bahwa hukum

asal benda-benda adalah suci, dan sesungguhnya najis itu jumlahnya

tertentu dan terbatas. Sehingga semua benda di luar batasan tersebut

hukumnya suci”95.

Penerapan Kaidah

Di antara bentuk implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut:

1. Hewan-hewan yang statusnya meragukan apakah halal ataukah

haram seperti jerapah, gajah, dan semisalnya, maka sesungguhnya

dihukumi sebagai binatang yang halal sesuai hukum asalnya.

2. Tanaman-tanaman yang tidak mengandung racun maka secara

umum halal sesuai hukum asalnya.96

94Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam

Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh,. Vol. 21. Hal 538.

95 Ibid, Vol 21. Hal 542.

96 Lihat As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâ-ir,.... hal. 60.

Page 139: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

127

3. Beraneka-ragam makanan, minuman, buah-buahan, dan biji-bijian

yang sampai kepada kita dari luar negeri, dan kita tidak mengetahui

namanya, sedangkan tidak nampak kandungan zat yang berbahaya

padanya maka hukumnya halal sesuai konsekuensi kaidah ini.97

4. Air, bebatuan, tanah, pakaian, dan wadah-wadah hukum asalnya suci

berdasarkan kaidah ini.

5. Kotoran dan air kencing dari binatang yang halal dimakan hukumnya

suci, karena benda-benda di sekitar kita hukum asalnya suci,

sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannnya,

sehingga dikembalikan pada hukum asalnya98.

97 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, 1983, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-

Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut: hal. 114.

98 Diangkat dari Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, 2005, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, hal. 193-198.

Page 140: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

128

Kaidah Kedua

ال ضحط رار ل ي بحط ل حق الحغيح

Keadaan darurat tidak menggugurkan hak orang lain

Kaidah ini merupakan salah satu cabang kaidah “Kesulitan menjadi

sebab adanya kemudahan” yang termasuk salah satu dari lima kaidah besar

dalam pembahasan fikih. Juga merupakan penjelasan lanjutan dari kaidah

“Keadaan darurat menjadi sebab diperbolehkannya perkara yang

dilarang.”99

Sebagaimana telah kita fahami bahwa seseorang yang berada dalam

keadaan darurat, yang menyebabkannya harus mengkonsumi sesuatu yang

haram, maka ia diberikan udzur untuk melakukannya. Misalnya, orang

yang sangat lapar dan tidak ada makanan yang didapatkan kecuali daging

bangkai maka dalam keadaan itu diperbolehkan baginya untuk memakan

daging tersebut sekedarnya.

Allâh swt berfirman:

فمن اضطر غي بغ ول عاد فال إث عليه

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa

baginya. [QS Al-Baqarah :173]

Namun demikian, timbul pertanyaan apabila perbuatan seseorang

mengambil atau mengkonsumsi perkara yang haram itu menyebabkan

hilang atau rusaknya harta orang lain? Apakah ia wajib menggantinya

ataukah tidak? Inilah yang dibahas dalam kaidah ini. Kaidah ini

menjelaskan bahwa keadaan darurat meskipun menjadikan seseorang

mendapatkan udzur untuk mengambil perkara yang haram dan tidak

berdosa ketika ia melakukannya namun tidak berarti bahwa itu juga

99 Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang dialami seseorang, apabila tidak diatasi maka akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan orang tersebut yang bersifat dharuri. (Lihat – Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, 2005, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, hal. 288)

Page 141: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

129

menjadi sebab diperbolehkannya menggugurkan (atau menghilangkan)

hak orang lain. Sehingga apabila keadaan darurat menyebabkan seseorang

terpaksa mengambil atau memanfaatkan harta orang lain maka ia tetap

harus mengganti harta yang telah ia manfaatkan dari harta orang lain

tersebut.100

Dasar Hukum

Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah

beberapa nash firman Allâh swt dan sabda Nabi saw yang menjelaskan

tentang haramnya mengambil harta seorang Muslim dengan cara yang

batil. Allâh swt berfirman:

لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض نكم ب ي أي ها الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesama kamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. [QS An-Nisâ’:29]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi menafsirkan ayat ini dengan

mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla melarang para hamba-Nya yang beriman

dari memakan harta sesama mereka dengan cara yang batil. Larangan ini

mencakup memakannya dengan cara merampas, mencuri, atau mengambil-

nya dengan perjudian, dan cara-cara hina lainnya.”101

Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi saw

dalam hadits Abu Hurairah r.a riwayat Muslim. Rasulullah saw bersabda :

كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه

Setiap orang Muslim terhadap Muslim lainnya adalah haram darahnya,

hartanya dan kehormatannya (H.R. Muslim)

Rasulullah saw bersabda :

100 Lihat pembahasan kaidah ini dalam Az-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-

Fiqhiyyah, hal. 161.

101 Abdurrahman bin Natsir as-Sa’ady, 2000, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir kalam al-Mannan vol 2, Ulin Nuha ats-Tsa’alaby, Kairo, hal 54

Page 142: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

130

ه ل يل مال امرئ مسلم إل بطيب ن فس

Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya.” (H.R

Ahmad)102

Demikian pula diantara yang mendukung eksistensi kaidah ini adalah

beberapa kaidah fikih berkaitan dengan keadaan darurat yang dialami oleh

seorang insan. Di antaranya :

لضرر الضرر ل ي زال ب

Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat lainnya

الضرر ل ي زال بثله

Madharat tidak boleh dihilangkan dengan madharat semisalnya

Kaidah ini mengharuskan adanya dhoman (ganti rugi) atas harta yang

diambil dan dimanfaatkan oleh orang yang sedang mengalami keadaan

darurat. Jika tidak demikian, berarti itu adalah betuk menghilangkan

madharat dengan madharat lainnya, atau dengan madharat semisal, atau

bahkan dengan madharat yang lebih besar dari madharat pertama, dan ini

bertentangan dengan kaidah tersebut.

Al-Bazdawi mengatakan, “Sesungguhnya pengaruh keadaan darurat

nampak dari gugurnya dosa, bukan hukumnya yang gugur. Maka wajib bagi

seseorang yang mengalami keadaan darurat membayar ta’wîdh (ganti

rugi). Barangsiapa mengalami kelaparan boleh baginya memakan harta

orang lain namun (kewajibannya) ganti rugi tidak gugur darinya.103

Penerapan Kaidah

Banyak permasalahan fikih yang tercakup dalam kandungan kaidah

ini.104 Berikut ini beberapa contoh darinya :

102 Lihat al-Munawi, Kunûz al-Haqâiq fi Hadîts Khair al-Khalâ’iq vol 2. Hal 175

103 Lihat al-Bazdawi Kasyfu al-Asrâr vol 1. Hal 1511. Lihat juga Shalih bin Ghanim as-Sadlan, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Mâ Tafarra’a ‘anha hal. 300.

104 Lihat Ibnu Rajab, al-Qawâ’id karya hal. 36., Ibnu al-Laham, al-Qawâ’id wa al-Fawâid al-Ushûliyyah hal. 34. Lihat juga al-Qarafi , al-Furûq Vol 1 . hal 195

Page 143: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

131

1. Jika seseorang dalam keadaan lapar sehingga terpaksa memakan

makanan orang lain, maka ia wajib mengganti makanan itu atau

membayar ganti rugi kepada pemiliknya. Karena keadaan darurat

tidak menggugurkan hak orang lain.105

2. Apabila sebuah perahu dikhawatirkan akan tenggelam karena

banyaknya muatan, kemudian si pemilik perahu itu melemparkan

sebagian barang milik penumpang ke laut, maka ia wajib mengganti

barang yang dilemparkan tersebut kepada pemiliknya.106

3. Apabila seseorang menyewa perahu selama jangka waktu tertentu,

kemudian ia tidak bisa mengembalikan perahu itu tepat waktu

dikarenakan adanya penghalang berupa ombak yang besar atau

semisalnya yang menyebabkan keterlambatan sampai di daratan,

maka dalam keadaan ini ia wajib membayar ganti rugi kepada

pemilik perahu sesuai standar harga sewa secara umum dan sesuai

kadar lamanya waktu tambahan dari pengembalian itu.107 Hal ini

dikarenakan keadaan darurat yang dialami si penyewa tidak

menggugurkan hak si pemilik perahu tersebut.108

105 Apabila barang yang dimanfaatkan tersebut berupa barang yang ada

semisalnya maka wajib diganti dengan barang semisal. Jika tidak maka diganti dengan membayar harganya. (Lihat Muhammad ‘Utsman Syabir, al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah, hal. 227)

106 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, 1983, al-Wajiz fi Idhah al-Fiqh al-Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut: hal. 186; Lihat juga Ibnu Rajab, al-Qawâ’id hal. 36. Dan Muhammad ‘Utsman Syabir, al-Qawâ’id al-Kulliyyah wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah hal. 228.

107 Lihat Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajîz fi Idhah Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hal. 186

108 Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Cet. II, Tahun 1432 H/2011 M, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh, Hal. 270-272.

Page 144: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

132

Kaidah Ketiga

بحة إ ل ب دل يحل احألصحل ف الشروحط ف الحمعامالت الح ل واإلح

Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan

diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya)

Hukum asal menetapkan syarat sah dalam ibadah adalah tidak boleh

kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Disini akan diulas tentang hukum

asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah, yaitu perkara-perkara yang

tidak termasuk ibadah. Dalam hal ini, perlu kita pahami bahwa hukum

suatu persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya. Apabila

hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat

juga dilarang. Dan jika hukum asal suatu perkara halal maka hukum asal

menetapkan syarat juga halal.

Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa

menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan

kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum

asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah juga halal dan diperbolehkan.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui pula bahwa dalam

mu’âmalah, terutama jual beli, ada istilah syurût shihhatil bai’ (syarat sah

jual beli) dan syurût fil bai’ (syarat jual beli). Yang dimaksud syarat sah

adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar akad jual beli itu sah.

Adapun syarat jual beli adalah syarat yang ditentukan oleh salah satu

pelaku atau keduanya dan tidak berkaitan dengan keabsahan jual beli,

seperti syarat pengantaran barang ke rumah si pembeli, atau persyaratan

pembayaran secara cicilan, atau syarat lainnya.

Perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual

beli dapat kita ketahui dari rincian berikut ini :

1. Syarat sah jual beli disyaratkan pada semua jual beli, adapun syarat

jual beli terkadang ada dan terkadang tidak.

2. Jual beli tidak akan sah kecuali jika syarat sah terpenuhi, tapi jika yang

tidak ada syarat jual beli maka akadnya tetap sah.

Page 145: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

133

3. Syarat sah itu tertentu, tidak berubah, dan berlaku dalam semua jual

beli, adapun persyaratan dalam jual beli tidak tertentu dan bisa

berbeda antara satu akad dengan akad yang lainnya.

4. Syarat sah harus terpenuhi meskipun tidak disebutkan oleh kedua

belah pihak. Adapun persyaratan dalam jual beli itu asalnya tidak ada

kecuali jika dikehendaki dan disebutkan oleh salah satu pelaku akad

dan disetujui oleh yang lainnya.

5. Hukum asal syarat sah jual beli adalah tauqîfi, artinya perlu dalil.

Seseorang tidak boleh menetapkan sesuatu sebagai syarat sah kecuali

jika ada dalil shahih yang menunjukkannya. Adapun persyaratan

dalam jual beli maka hukum asalnya halal dan diperbolehkan. Artinya,

seseorang tidak boleh melarang suatu persyaratan yang dikehendakai

pelaku akad mu’âmalah tanpa ada dalil yang melarangnya.109

Persyaratan yang menjadi pembahasan kita dalam kaidah ini adalah

syurût fil mu’âmalah (persyaratan dalam mu’âmalah), bukan syarat sah

mu’âmalah.

Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini

menjelaskan tentang hukum asal persyaratan dalam mu’âmalah.

Persyaratan tersebut hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan,

kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal mu’âmalah

itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan

melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah

kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap

persyaratan tersebut.

Dasar Hukum

Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah sabda

Nabi Saw :

109 Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa di antara

perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli adalah bahwa syarat sah ditentukan oleh syariat sedangkan persyaratan dalam jual beli ditentukan oleh para pelaku akad. ( Lihat Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 2007, Mudzakkirah al-Fiqh vol II, Cet. I, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, hal 185).

Page 146: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

134

م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا والمسلمون على شروطه

Kaum Muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati,

kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan

perkara yang haram.110

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a , Rasûlullâh Saw bersabda :

إن أحق الشرط أن ي وىف به ما استحللتم به الفروج

Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk ditunaikan adalah

persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita) 111

Demikian pula sabda Nabi Saw :

ما بل أق وام يشتطون شروط ا ليست ىف كتاب الل، من اشتط شرط ا ليس ىف ائة مرة كتاب الل ف ليس له، وإن اشتط م

Mengapa ada beberapa kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak

terdapat dalam Kitabullâh. Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang

tidak terdapat dalam Kitabullâh maka tidak ada hak baginya untuk

melaksanakannya meskipun sejumlah seratus syarat.112

Dalam hadits tersebut Nabi Saw tidak mengingkari persyaratan

mereka, namun yang beliau ingkari adalah syarat itu menyelisihi

Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan syarat

tertentu dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi

Kitabullâh.113

110 HR. Abu Dâwûd

111 HR. Al-Bukhâri

112 HR. Al-Bukhari

113 Lihat penjelasan hadits di atas dalam al-Imam Muhyiddin an-Nawawi, 2007, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj vol IX, Cet. XIV, Dar al-Ma’rifah, Beirut, hal 379-381.

Page 147: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

135

Penerapan Kaidah

Berikut ini adalah contoh kasus yang masuk dalam implementasi

kaidah ini :

1. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut

diantar ke rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli

dan persyaratan tersebut sah karena hukum asal persyaratan itu

adalah boleh.

2. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.” Atau

ia mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.”

Menurut madzhab Hambali, jual beli dengan persyaratan seperti

ini tidak sah disebabkan tidak adanya perpindahan kepemilikan.

Karena ada kemungkinan si Fulan rela atau tidak rela, dan ada

kemungkinan si Fulan datang dan mungkin juga tidak. Sedangkan

hukum asal dalam jual beli adalah berpindahnya barang dagangan dari

si penjual kepada si pembeli setelah sempurnanya akad. Maka

persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah.

Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut

sah. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah

diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya dan tidak ada dalil

yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju dengan

syarat tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli. Namun jika

ia tidak setuju maka tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan

akad itu.

Jika ada yang mengatakan, “Bukankah akad tersebut masih

menggantung dan kepemilikannya belum berpindah ?” Kita jawab

bahwa justru itulah tujuan penetapan syarat tersebut. Artinya, si

penjual tidak mau kepemilikan barang itu berubah kecuali jika si Fulan

rela dengan jual beli itu atau jika si Fulan datang.

3. Persyaratan ‘inah114 dalam jual beli. Apabila seseorang mengatakan,

“Saya jual barang ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan

114 Yang dimaksud ‘inah dalam jual beli adalah apabila seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. (Lihat Nukhbah min al-‘Ulama’, 1424 H, al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah, hal. 217).

Page 148: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

136

cara kredit, dengan syarat engkau menjualnya kembali kepadaku

dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan tersebut tidak

diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum asalnya

boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang karena

ada dalil yang melarang, seperti sabda Nabi Saw :

لعينة, وأخذت أذانب الب قر , وت ركتم الهاد, سلط ,إذا ت باي عتم ب لزرع يتم ب ورضعوا إل دينكم عليكم ذلا ل ي نزعه حت ت رج الل

Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk

riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan ridha dengan pertanian

(terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan jihad, maka

Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia (Allâh) tidak

akan mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian kembali ke

agama kalian115

4. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan

menempatinya dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini

diperbolehkan. Demikian pula jika seseorang menjual hewan

peliharaannya dengan syarat masih diijinkan memanfaatkannya

selama waktu tertentu.[8]116

5. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli

membebaskan budak itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan. Ini

pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Karena hukum asal

menetapkan syarat dalam jual beli itu diperbolehkan selama tidak ada

dalil yang secara khusus melarang penetapan syarat tersebut. Dalam

hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli menolak untuk

membebaskan budak itu, maka hakim berhak memaksanya untuk

membebaskan budak itu.

6. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya di

kemudian hari si pembeli akan menjual kembali barang itu maka si

penjual pertama yang paling berhak untuk membelinya. Dalam kasus

seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan persyarataan tersebut.

115 HR. Abu Dâwûd

116 HR. Al-Bukhari

Page 149: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

137

Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk menjual barangnya

kepada yang ia kehendaki, yang hal itu bertentangan dengan hakikat

kepemilikan atas barang.

Namun menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula

persyaratannya. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah

diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak ada

dalil yang secara khusus menunjukkan larangan terhadap syarat tersebut.

Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat tersebut maka ia bisa meneruskan

akad itu, namun jika tidak, maka dia tidak wajib untuk melanjutkannya.

Dalam hal ini, jika di kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun

tidak mau menjualnya kepada si penjual pertama, maka hakim berhak

memaksanya untuk menjualnya kepada pembeli pertama itu. Karena sejak

semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut dan telah menyetu-

juinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.117

117 Lihat Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan,tt, Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi

Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, dalam kaidah yang Ke-30.

Page 150: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

138

Kaidah Keempat

ت لف واها دل يحالا إ ذا اخح ء م نح مت علقات الحمعاملة ي رجح أق ح الحمت عام الن ف شيح

Jika dua orang pelaku muamalah berselisih tentang suatu hal berkaitan

dengan muamalah itu maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat

alasannya

Kaidah ini menjadi rujukan dalam kasus perselisihan yang terjadi

antara pihak-pihak pelaku akad muamalah, baik jual beli, sewa menyewa,

gadai, atau selainnya. jika terjadi perselisihan di antara mereka berkaitan

dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya, maka pihak yang lebih

kuat alasannya yang lebih dikuatkan perkataannya. Dalam akad jual beli,

misalnya, adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual dan

adakalanya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si pembeli.

Dalam kasus perselisihan semacam ini, sering kali penyelesaiannya

dikembalikan kepada hukum asal dari permasalahan yang bersangkutan.

Di antaranya jika terjadi perselisihan tentang ada tidaknya persyaratan

tambahan, maka hukum asalnya persyaratan itu tidak ada. Demikian pula,

jika suatu akad jual beli telah selesai dan dinyatakan sah kemudian salah

satu pihak menyatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena sebab tertentu,

maka keputusannya berpihak kepada orang yang menyatakannya sah,

karena hukum asal suatu akad yang telah terjadi adalah sah. Demikian pula,

berkaitan dengan cacat pada barang yang diperjual belikan, jika telah

terjadi akad jual beli kemudian si pembeli menyatakan ada cacat pada

barang maka hukum asalnya cacat tersebut tidak ada, kecuali jika ada bukti

pendukung. Dan hukum-hukum asal lainnya sebagaimana dijelaskan para

Ulama.118

Dasar Hukum

Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Nabi Saw

dalam hadits Ibnu ‘Abbâs R.a :

118 Lihat Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-

Sa’adiyah, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hal. 212.

Page 151: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

139

الب ي نة على المدعي واليمني على من أنكر

Bukti itu wajib didatangkan oleh orang yang menuduh dan sumpah wajib

bagi orang yang mengingkarinya.119

Demikian pula disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ûd r.a :

لعة أو ن هما ب ي نة فالقول ما ي قول رب الس يتادان إذا اخت لف المت عامالن وليس ب ي

Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan

tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak

kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.120

Penerapan Kaidah

Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak,

terutama berkaitan dengan permasalahan muamalah. Di antaranya :

1. Jika seseorang menjual rumahnya kepada orang lain. Beberapa waktu

kemudian, ia mengatakan bahwa rumah tersebut masih dalam status

gadai.121 Dengan perkataannya itu, ia ingin membatalkan jual beli.

Maka, perkataannya tidak diterima, karena hukum asal dalam akad

jual beli adalah sah. Kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti yang

menunjukkan bahwa rumah tersebut berstatus gadai, maka perkata-

annya diterima.122

2. Apabila seseorang telah membeli sebuah mobil. Selang beberapa hari

kemudian ia datang kepada si penjual dan mengatakan ada cacat pada

mobil itu. Tujuannya mendapatkan hak khiyar.123 Maka hukum asal

dari dakwaan ini adalah tidak diterima kecuali jika si pembeli bisa

119 HR. Al-Baihaqi

120 HR. Ahmad

121 Barang yang sedang dalam status gadai tidak boleh diperjual belikan. Sebagaimanan disebutkan dalam salah satu bait dalam Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’adi

122 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hal. 268.

123 Yaitu hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli tersebut. Lihat Abu Bakr Jabir al-Jazairi, 2002, Minhâjul Muslim, M, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, Hal. 284.

Page 152: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

140

mendatangkan bukti kebenaran dakwaannya tersebut. Karena hukum

asal dari barang yang sudah dibeli adalah bebas dari aib (cacat).124

3. Dua orang melakukan akad jual beli suatu barang. Selang beberapa

waktu kemudian, si penjual mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah,

karena ketika pelaksanaan akadnya dulu ia belum baligh.125

Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah. Maka dalam

kasus ini perkataan si pembeli yang dimenangkan karena asal dalam

akad jual beli adalah sah, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa

akad itu tidak sah.126

4. Seseorang menjual sebuah mobil kepada orang lain. Dua hari kemudian,

ia datang kepada si pembeli seraya mengatakan bahwa jual beli itu

tidak sah karena dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at.127

Sedangkan si pembeli mengatakan bahwa jual beli itu sah karena

dilaksanakan di luar waktu itu. Maka perkataan berpihak kepada si

pembeli. Karena hukum asal suatu akad jual beli adalah sah. Maka,

dalam kasus ini si penjual harus mendatangkan bukti bahwa jual beli

itu memang dilaksanakan setelah adzan shalat Jum’at. Jika ia tidak

punya bukti, maka kita katakan kepada si pembeli supaya bersumpah

bahwa jual beli itu terjadi di luar waktu tersebut dan dihukumi akan

sahnya jual beli itu.128

124 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-Sa’adiyah,

Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’, Hal. 216.

125 Transaksi jual beli yang dilakukan anak yang belum baligh tidak sah kecuali dengan izin walinya. Lihat Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1422 H, as-Syarh al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’, Cetakan Pertama, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, Hal. 111.

126 Sebagian Ulama berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini, asalnya yang lebih dikuatkan adalah perkataan si penjual. Karena ada hukum asal lain yang lebih kuat, yaitu bahwa hukum asal seseorang adalah belum baligh. Maka dalam kasus tersebut yang wajib bagi si penjual adalah bersumpah bahwa ketika pelaksanaan akad ia belum sampai usia baligh dan jual beli itu dihukumi tidak sah. Ini tidak bertentangan dengan kaidah yang menjelaskan bahwa hukum asal suatu akad adalah sah, karena ada hukum asal lain yang lebih kuat darinya. Lihat Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, Syaikh Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, Hal. 268.

127 Jual beli setelah dikumandangkannya adzan shalat Jum’at termasuk kategori jual beli yang dilarang sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jumu’ah: 9

128 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H,Syarh Manzhûmah Ushûlil Fiqh wa Qawâ’idihi, hal. 267

Page 153: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

141

5. Jika seorang pembeli mengatakan adanya unsur jahalah

(ketidakjelasan) atas barang yang ia beli, dan mengatakan bahwa ia

tidak melihat barang ketika dilaksanakannya transaksi. Dengan tujuan

untuk membatalkan jual beli tersebut. Maka, asalnya perkataan

tersebut tidak diterima karena hukum asal dalam akad jual beli adalah

sah. Demikian pula, keberadaan si pembeli yang membawa barang

tersebut menunjukkan bahwa perkataannya tidak benar. Jika memang

benar apa yang ia katakan, tentu ketika akan menerima barang ia

menolak menerimanya karena adanya unsur jahalah.129

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa apabila terjadi perselisihan

antara dua orang yang melakukan muamalah, maka dilihat siapa di antara

keduanya yang lebih kuat alasan atau buktinya. Namun, suatu ketika timbul

permasalahan baru, yaitu jika ternyata keduanya sama-sama mempunyai

bukti yang kuat sehingga tidak bisa ditentukan perkataan pihak mana yang

lebih dikuatkan. Dalam kasus seperti ini, para Ulama menjelaskan bahwa

jual beli tersebut dibatalkan. Yaitu dengan cara si pembeli mengembalikan

barang yang telah ia bawa dan si penjual mengembalikan uang yang telah

ia dapatkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Mas’ûd r.a :

ن هما ب ي نة لعة أو يتادان إذا اخت لف المت عامالن وليس ب ي فالقول ما ي قول رب الس

Jika terjadi perselisihan antara dua orang yang melakukan muamalah dan

tidak ada bukti pendukung antara keduanya maka perkataan berpihak

kepada pemilik barang atau keduanya saling membatalkan jual beli itu.130

Namun demikian, jika salah satu pihak mau mengalah dan ridha

dengan perkataan pihak lainnya maka ini pun diperbolehkan. Misalnya

dalam kasus jual beli yang pembayarannya ditunda, terjadi perselisihan

antara si penjual dan pembeli berkaitan dengan harga barang yang semula

telah disepakati, dikarenakan lupa, atau sebab-sebab lainnya. Si penjual

menyebutkan harga yang lebih tinggi daripada harga yang disebutkan si

pembeli. Sedangkan tidak ada bukti yang lebih menguatkan salah satu dari

keduanya. Kemudian si pembeli mengalah dan rela dengan harga yang

129 Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 1426 H, Syarh Manzhumah Ushul al-

Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 268.

130 HR. Ahmad

Page 154: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

142

disebutkan si penjual, maka ini termasuk dalam kategori perdamaian yang

diperbolehkan.131

131 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 1430 H, at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wa al-

Ushûlil Jâmi’ah, Cetakan pertama, Muassasah as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, hal. 207.

Page 155: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

143

Kaidah Kelima

ن ف ت كوح ن ف الت عحم يح الالز م الشركاء ف احألمحالك يشح ت كوح ا, ويشح ا ون قحصان ز يدت همح ن ح دار ما ل كل م ل مب قح هح سب م لحك ه مح ومع الح م الحمصار يحف ب وت قسط عليحه

ي تساووحن

Orang-orang yang berserikat dalam kepemilikan suatu barang, saling

menanggung penambahan dan pengurangan benda tersebut, dan bersama-

sama menanggung perbaikan yang bersifat wajib. Dan hak masing-masing

dibagi sesuai kadar kepemilikan mereka. Adapun jika kadar kepemilikan

masing-masing tidak diketahui maka dibagi rata di antara mereka.

Kaidah ini menjelaskan tentang orang-orang yang berserikat dalam

kepemilikan suatu benda. Mereka ini, sama-sama menerima untung jika

ada penambahan nilai pada barang tersebut, namun jika sebaliknya, maka

mereka sama-sama menanggung kerugian. Demikian pula, jika benda itu

perlu perbaikan, maka biaya perbaikannya ditanggung bersama-sama. Pro-

sentase keuntungan dan kerugian sesuai dengan prosentase kepemilikan-

nya terhadap benda yang dimiliki secara bersama-sama itu.

Penambahan tersebut bisa berupa penambahan dari sisi dzatnya,

sifatnya, tambahan yang terpisah atau tambahan yang menyatu dengan

benda yang mereka miliki, demikian pula tambahan dari hasil usahanya132.

Penerapan kaidah ini dapat diketahui dari contoh-contoh kasus,

diantaranya :

1. Apabila sebuah rumah dimiliki oleh dua orang. Salah satunya memiliki

sepertiga dan yang lainnya memiliki dua pertiga dari rumah tersebut.

Jika nilai jual rumah itu bertambah, maka tambahan ini menjadi milik

bersama sesuai dengan prosentase kepemilikan masing-masing133.

132 Wizâratul Auqaf was Syu-ûn al-Islamiyah, 1983, an-nama’ (penambahan)

dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah, Cet. Kedua. Wizâratul Auqaf was Syu-ûn al-Islamiyah. Kuwait vol 41. Hal 369-370.

133 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil., Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 197.

Page 156: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

144

Sebaliknya jika terjadi kerusakan, dan salah satu pemiliknya ingin

rumah itu diperbaiki, maka pemilik lainnya wajib ikut andil dalam

perbaikan tersebut134 .

2. Jika beberapa hewan ternak dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka

biaya pemeliharaannya ditanggung berdua sesuai dengan kadar

kepemilikannya. Artinya, yang kadar kepemilikan setengah, ia wajib

menanggung setengah dari seluruh biaya. Dan, yang kadar kepemilik-

an sepertiga, ia wajib menanggung 1/3 dari seluruh biaya peme-

liharaan135.

3. Jika sebidang tanah atau sebuah rumah diwakafkan untuk beberapa

orang. Kemudian tanah atau rumah tersebut rusak dan perlu biaya

perbaikan. Maka biaya tersebut ditanggung bersama136 .

4. Apabila dua orang sepakat membangun dinding pembatas antara

rumah mereka, kemudian dinding tersebut rusak. Lalu mereka

berselisih tentang siapakah yang berkewajiban memperbaikinya.

Maka, dalam masalah ini yang wajib memperbaiki adalah mereka

berdua, karena mereka memanfaatkannya bersama137.

5. Beberapa ekor kambing yang dimiliki dua orang, kemudian jumlahnya

bertambah karena ada yang melahirkan, atau kambing tersebut

memproduksi susu. Maka tambahan tersebut menjadi milik bersama

sesuai prosentase kepemilikan masing-masing. Ini adalah contoh an-

nama’ al-munfashil (tambahan yang terpisah).

6. Jika seekor ternak dimiliki dua orang, lalu hewan itu semakin gemuk.

Ini berarti nilai jualnya bertambah. Pertambahan nilai jual ini menjadi

milik mereka berdua. Ini adalah contoh an-Nama’ul muttashil

(pertambahan yang menyatu dengan yang asli).

134 Lihat ta’liq Syaikh al-Utsaimin 2002, terhadap kitab al-Qawâ’id wa al-

Ushulul Jâmi’ah wal Furuq wat Taqâsim al-Badî’ah an-Nâfi’ah, Cet. Pertama. Maktabah as-Sunnah. Kairo. hal. 140.

135 Ibid

136 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil, Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 198.

137 Al-Imam al-Hafizh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali., Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ-id, Vol 2,Hal 81.

Page 157: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

145

7. Seseorang yang mahjûr ‘alaihi (yang dilarang mengelola hartanya)

karena bangkrut dan berkewajiban melunasi hutang. Jika harta yang ia

punya tidak cukup untuk melunasi hutang, maka masing-masing orang

yang menghutangi diambilkan dari harta tersebut sesuai kadar

besarnya hutang dari mereka138.

8. Apabila di antara dua rumah ada dinding yang membatasi dan

dimanfaatkan bersama oleh kedua pemilik rumah tersebut, kemudian

salah satunya ingin memasang atap atau memasang tiang pada

dinding tersebut, maka yang lain tidak boleh melarangnya. Dengan

syarat, pemasangan atap atau tiang tersebut tidak menimbulkan

madharat dan dengan izin terlebih dahulu.139

Sebagaimana sabda Nabi Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhâri dan Muslim :

ي هللا عنه : أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال : ل ينع عن أب هري رة رضداره .جار جاره أن ي غرز خشبه ف ج

Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Janganlah seseorang melarang tetangganya untuk memasang kayu di

dinding rumahnya.”140

Berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, adakalanya kadar kepemi-

likan dua orang atau lebih terhadap suatu barang tidak diketahui dengan

jelas. Jika ini terjadi, maka bagian masing-masing dianggap sama. Misalnya,

seseorang mewakafkan atau mewasiatkan tanahnya untuk beberapa orang

tanpa menentukan bagian masing-masingnya, maka dalam kasus ini kadar

untuk masing-masing orang disamakan, tanpa melebihkan salah seorang

dari yang lainnya.

138 Syaikh Ibnu Utsaimin mencontohkan, jika total hutangnya Rp. 10.000,

dengan rincian Rp. 5.000,- dari A, Rp. 3.000,- dari B, dan Rp. 2.000,- dari C. Sedangkan harta yang bisa digunakan untuk bayar hutang hanya sejumlah 5.000. Maka A diberi Rp. 2.500, B diberi Rp. 1.500, dan C diberi Rp. 1.000.

139 Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil,.Syarhul Qawâ’idis Sa’adiyah, hal. 198.

140 HR. Al-Bukhâri

Page 158: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

146

Kaidah Keenam

تحالف وغيح ها إ ل ما ن التصرفات واحإل ل احألمناء ف الذ ي تحت أيحد يحه مح م بل ق وح ي قح والعادة خالف الح س

Perkataan Orang Yang Diserahi Amanah Berkaitan Dengan Pengelolaan,

Kerusakan Dan Masalah Lain Yang Berhubungan Dengan Harta Yang

Diamanahkan Kepadanya Diterima, Kecuali Apabila Menyelisihi Realita Dan

Kebiasaan141

Kaidah ini sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan antara

pemilik harta dan orang yang diserahi amanah142 untuk mengelola harta

tersebut. Dalam akad mudharabah atau yang semisalnya, pemilik harta

(pemodal) mempercayakan hartanya kepada orang lain untuk kelola, baik

dalam perdagangan, sewa atau lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila

terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang diserahi

amanah berkaitan dengan harta tersebut, maka perkataan yang diterima

adalah perkataan orang yang diserahi amanah. Karena pemilik harta telah

mempercayakan harta kepadanya dan telah menposisikannya seperti

dirinya.

Namun, apabila pernyataan orang yang diserahi amanah tersebut

menyelisihi kebiasaan atau tidak selaras dengan realita yang ada, maka

pernyataannya tidak diterima. Misalnya, apabila seseorang yang dititipi

barang mengatakan bahwa barang tersebut telah hancur karena musibah

kebakaran. Sedangkan secara realita tidak ada indikasi musibah kebakaran,

maka perkataannya tidak diterima. Apabila ada tanda-tanda musibah

kebakaran, kemudian terjadi perselisihan antara pemilik harta dengan

141 Diangkat dari kitab Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq , Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. 2001, al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Cet. II. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, hal. 78.

142 Orang yang diserahi amanah (al-amin) maksudnya orang yang mendapat-kan kepercayaan untuk membawa harta orang lain dengan izin pemiliknya atau dengan izin syari’at. (Lihat Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq Dr. Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. 1423, Tuhfatu Ahlit Thalab fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab. Syaikh Cet. Ke-2. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hal. 38-39.

Page 159: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

147

orang yang dititipi harta, misalnya, si pemilik harta bersikeras bahwa

barang yang dititipkan itu tidak ikut terbakar, sementara orang yang

diserahi amanah menyatakan bahwa barang itu juga terbakar, maka

perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang diserahi amanah.143

Kasus-kasus lain yang bisa menjadi contoh implementasi kaidah ini

adalah sebagai berikut :

1. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjual

sejumlah barang. Beberapa waktu berselang, barang itu rusak. Lalu ia

berkata kepada yang diserahi amanah, “Engkau wajib mengganti

karena engkau tidak menjaga harta itu!” Sementara orang yang

diserahi amanah menyanggahhh, “Saya sudah sungguh-sungguh

menjaganya. Karenanya, saya tidak wajib mengganti.” Maka dalam

kasus seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang

yang diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang

diserahi amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan kerusakan

barang, diterima.

2. Apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual sejumlah

pakaian. Beberapa waktu kemudian terjadi perselisihan. Si pemilik

harta berkata, “Engkau belum menawarkan pakaian itu !” Dan orang

yang diserahi amanah berkata, “Saya telah menawarkannya.” Maka,

dalam kasus ini, perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang

diserahi amanah. Karena kedudukannya sebagai orang yang diserahi

amanah, sehingga perkataannya berkaitan dengan pengelolaan harta,

diterima.

3. Apabila seseorang meminjam suatu barang kepada orang lain. Setelah

beberapa waktu, pemilik barang mendatangi orang yang meminjam

untuk meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si peminjam

mengatakan bahwa barang tersebut telah rusak karena musibah. Maka

dalam hal ini, perkataan si peminjam tersebut asalnya diterima karena

kedudukannya sebagai orang yang diserahi amanah, dan sebelumnya

memang ia telah mendapatkan izin dari pemilik harta untuk

membawa ataupun memanfaatkan barang tersebut.

143 Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 2002, terhadap

kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah. Cet I. Maktabah as-Sunnah. Kairo, hal. 131.

Page 160: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

148

Adapun berkaitan dengan ganti rugi kerusakan, para ulama

berbeda pendapat apakah si peminjam wajib mengganti barang

tersebut ataukah tidak. Dan pendapat yang kuat adalah bahwa si

peminjam tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi kecuali

apabila ia tidak benar-benar menjaganya (tafrith) atau berlebihan

dalam pemanfaatannya (ta’addi).144

4. Apabila ada akad sewa menyewa antara dua orang. Kemudian setelah

masa sewa selesai, pemilik barang mendatangi si penyewa untuk

meminta supaya barangnya dikembalikan. Lalu si penyewa berkata

bahwa barang tersebut rusak karena suatu kecelakaan. Maka

perkataan si penyewa diterima karena kedudukannya sebagai orang

yang diserahi amanah.145

5. Dalam akad mudahrabah,146 perkataan mudharib (pengelola barang

mudharabah) berkaitan dengan keuntungan ataupun kerugian dari

pengelolaan barang, diterima. Demikian pula perkataannya berkaitan

dengan penjualan barang, baik secara tunai, kredit, syarat-syarat akad

yang ia lakukan dan sebagainya. Karena hal itu berkaitan dengan

pengelolaan barang yang diamanahkan kepadanya.147

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa pembahasan kaidah ini

berkisar pada perselisihan antara pemilik harta dengan orang yang

diserahi amanah berkaitan dengan pengelolaan dan kerusakan harta yang

diamanahkan. Di sisi lain, terkadang timbul perselisihan berkaitan dengan

pengembalian barang, apakah barang tersebut sudah dikembalikan atau

belum. Yaitu, apabila orang yang diserahi amanah mengatakan bahwa harta

yang diamanahkan sudah dikembalikan kepada pemilik harta, namun si

144 Ini dikuatkan oleh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi. Cet. I. Dar Ibni al-Jauzi. Damam, hal. 278.

145 Lihat Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 278

146 Mudhârabah adalah akad persekutuan antara dua orang atau lebih, di mana harta berasal dari salah seorang diantara mereka, sedangkan yang lainnya berperan seabgai pengelola harta tersebut dengan keuntungan dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik harta. Lihat Muhammad Rawas Qal’ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, 1988., Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Prof. Dr. Cet. II.. Dar an-Nafais. Beirut. Pada kata ( الضاربة ).

147 Lihat contoh-contoh lain penerapan kaidah ini dalam Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa’idihi, hal. 277-278

Page 161: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

149

pemilik menyangkalnya. Maka, dalam kasus seperti ini para ulama

menjelaskan, apabila si penerima amanah tidak memiliki kepentingan sama

sekali pada harta tersebut, maka perkataannya diterima. Namun apabila

dia memiliki kepentingan, maka perkataannya ditolak.(apabila harta yang

diamanahkan tersebut semata-mata untuk maslahat si pemilik harta maka

asalnya perkataan orang yang diserahi amanah diterima. Namun, apabila

orang yang diserahi amanah mengambil manfaat dari harta yang

diamanahkan kepadanya, maka asalnya perkataannya tidaklah di

terima).148

Implementasinya sebagai berikut :

1. Apabila Ahmad menitipkan sejumlah uang kepada Hasan. Selang

beberapa waktu kemudian, Ahmad menemui Hasan untuk meminta

uang yang dititipkannya itu. Kemudian Hasan berkata bahwa uang

tersebut sudah dikembalikan kepada Ahmad. Maka dalam kasus

seperti ini, perkataan yang diterima adalah perkataan Hasan dan ia

tidak dituntut untuk mendatangkan bukti pengembalian. Karena

Hasan membawa harta tersebut semata-mata untuk kepentingan

Ahmad dan tidak berkepentingan dengannya. Dalam hal ini, ia juga

telah berbuat ihsan ketika membantu Ahmad membawakan uangnya.

Sementara Allah k berfirman berkaitan dengan orang yang berbuat

ihsan :

يم غفور رح ن سبيل والل نني م ما على المحس

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang

berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [QS at-

Taubah:91]

2. Apabila seseorang menyelamatkan harta orang lain dari kehancuran

karena ada bencana alam atau semisalnya. Setelah itu, pemilik harta

menyatakan bahwa seluruh harta tersebut atau sebagiannya belum

dikembalikan kepadanya. Sedangkan orang yang menyelamatkan

mengatakan bahwa ia telah mengembalikan semua harta yang ia

selamatkan kepada pemiliknya. Maka dalam kasus seperti ini,

148 Lihat penjelasan Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’adi , Tuhfatu Ahlit Thalab

fi Tahrir Ushul Qawa’id Ibni Rajab, hal. 38-39.

Page 162: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

150

perkataan berpihak kepada si penyelamat harta. Karena ia membawa

harta tersebut demi kemaslahatan pemilik harta. Dan ini masuk juga

dalam keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’aladalam surah at-

Taubah di atas.149

3. Apabila Ahmad meminjam barang dari Hasan. Setelah beberapa lama,

terjadi perselisihan. Ahmad mengaku telah mengembalikan barang

tersebut, sementara Hasan menyangkal. Maka dalam kasus seperti ini,

hukum berpihak kepada Hasan. Karena Ahmad membawa barang

tersebut adalah untuk kepentingan dirinya serta untuk mengambil

manfaat darinya. Maka pengakuan Ahmad tidak diterima kecuali jika

ia bisa mendatangkan bukti pengembalian barang tersebut.

4. Apabila Ahmad menyewa sebuah mobil dari Hasan. Setelah masa sewa

habis, Hasan menemui Ahmad untuk meminta mobilnya dikembalikan.

Lalu Ahmad mengatakan bahwa mobil telah ia kembalikan ke Hasan.

Maka dalam hal ini, perkataan Ahmad tidak diterima, karena ia

membawa mobil untuk kemaslahatannya dan ia mengambil manfaat

darinya.150

149 Lihat Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin 1426, Manzhûmah Ushulil Fiqh

wa Qawa’idihi, hal. 276.

150 Lihat al-Hâfizh Zainuddîn Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Hambali. 1998, Taqrîrul Qawâ’id wa Tahrîrul Fawâ’id, Ta’liq Syaikh Abu Ubaidah Masyhûr bin Hasan Alu Salmân. Cet. I.. Dar Ibni Affân, hal. 315-322.

Page 163: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

151

Kaidah Ketujuh

مة ق وت عذرت الحق سح تح ل الحمسح رع الحقرحعة إ ذا جه تشح

Pengundian Disyariatkan Apabila Orang Yang Berhak Tidak Diketahui

Dan Pembagian Tidak Mungkin Untuk Dilakukan

Telah disebutkan dalil disyariatkannya pengundian151-saat tidak

diketahui siapa yang berhak- dalam al-Qur`ân dan Hadits.. Allâh Swt

berfirman:

ني ن المدحض فساهم فكان م

Kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam

pengundian 152

Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Yûnus A.s ketika meninggalkan

kaumnya yang tidak mau beriman kepada beliau, sehingga sampailah

beliau di tepi pantai dan melihat kapal yang akan berlayar, maka beliau pun

naik ke kapal tersebut. Ternyata muatan kapal tersebut terlalu penuh

muatannya, sehingga saat berada di tengah lautan kapal tidak bisa

bergerak ke depan maupun ke belakang di tengah-tengah lautan. Bila

muatan tidak dikurangi, seluruh penumpang akan tenggelam. Untuk itu,

mereka mengadakan pengundian untuk menentukan siapa di antara

mereka yang akan dikeluarkan dari kapal. Setelah dilakukan undian,

keluarlah nama Nabi Yunus A.s. Selanjutnya beliau dilemparkan keluar dari

kapal. Dan masuklah beliau ke mulut seekor ikan dan tinggal beberapa

waktu di perut ikan itu sampai diselamatkan Allâh Swt .153

Contoh lain, Allâh Swt berfirman:

151 Pengundian (undian)–seperti tercantum dalam kaedah di atas–ditujukan

untuk menentukan pihak yang berhak mendapatkan sesuatu daripada pihak lain. Hal ini perlu ditekankan supaya tidak dibawa kepada undian-undian berhadiah – yang identik dengan perjudian – yang menjamur di media massa.

152 QS Ash Shofat :141

153 Abu Bakr Jabir al-Jazairi. 2003, Aisar at-Tafâsir, Cet. VI, Maktabah Ulum wal Hikam, hal. 1094

Page 164: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

152

م إذ ي لقون أقالمهم أي هم يكفل مري وما كنت ل مون وما كنت لديه م إذ يتص ديه

Padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan

pena-pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan

memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka

bersengketa154.

Ayat ini berkaitan dengan kisah para pengemuka bani Israil yang

berselisih untuk menentukan siapa di antara mereka yang berhak

mengasuh Maryam. Maka, mereka bersepakat pergi ke suatu sungai untuk

mengundi siapa yang berhak mengasuhnya dengan melemparkan pena-

pena mereka, dengan kesepakatan bahwa siapa di antara mereka yang

penanya tidak hanyut terbawa arus sungai, maka dia lah yang berhak

mengasuh Maryam. Ternyata pena Nabi Zakariya A.s lah yang tidak hanyut

terbawa air sungai, sehingga beliau lah yang berhak mengasuh Maryam.155

Adapun dalil dari Sunnah, disebutkan dalam hadits:

ها قالت : كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا أراد ي هللا عن عن عائشة رضا معه سفر ا أق رع بني نسائه, فأي ت هن خرج سهمها خرج .ب

Dari ‘Aisyah r.a ia berkata : Dahulu Rasûlullâh Saw apabila ingin bepergian,

maka beliau mengundi para isterinya. Siapa di antara mereka yang keluar

undiannya, maka beliau akan pergi bersamanya156

Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik

berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun muamalah. Dia antaranya

adalah sebagai berikut :

1. Apabila ada dua orang berebut untuk mengumandangkan adzan,

sedangkan keduanya bukan muadzin râtib157 dan tidak ada kelebihan

salah satu dari yang lain, baik dari sisi keindahan dan kenyaringan

154 QS Ali Imron : 44

155 Ibnu Katsir, 1992,Tafsir al-Qur’ânul ‘Azhim, al-Hâfizh Ibnu Katsir,. Dârul Fikr. Beirut, hal. 446-447

156 HR. Al-Bukhâri

157 Yaitu muadzin yang memang telah ditugaskan secara khusus untuk mengumandangkan adzan di masjid tertentu.

Page 165: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

153

suara, ataupun karakteristik lain yang diperhatikan dalam adzan,

maka penentuan yang berhak mengumandangkan adzan dilakukan

dengan pengundian.

2. Apabila ada dua orang atau lebih sama-sama berkeinginan menjadi

imam sholat, sedangkan mereka setara dari sisi keindahan bacaan,

kedalaman ilmu agama, hijrah, dan usia, maka yang berhak menjadi

imam ditentukan dengan pengundian.

3. Apabila seseorang ingin memberikan suatu barang tertentu, baik

berupa air, pakaian, bejana, atau selainnya kepada orang yang paling

layak mendapatkan barang tersebut di antara sekelompok orang.

Ternyata sekelompok orang tersebut mempunyai sifat latar belakang

yang sama, dan sulit ditentukan siapa di antara mereka yang paling

layak mendapatkan barang tersebut. Maka orang yang berhak

mendapatkannya ditentukan dengan pengundian.

4. Apabila ada beberapa jenazah yang akan disholatkan maka jenazah

orang yang paling berilmu diletakkan paling dekat dengan imam158.

Namun apabila semua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dari

sisi keilmuan, tidak ada yang lebih utama salah satu dari yang lainnya,

maka yang diletakkan paling dekat dengan imam ditentukan dengan

pengundian.

5. Apabila ada dua jenazah yang terpaksa dikuburkan dalam satu liang

lahat karena tempat yang sempit, waktu yang sempit, atau tenaga

pengubur yang sedikit, maka yang lebih didahulukan dimasukkan ke

liang lahat dan diletakkan lebih dekat ke arah kiblat adalah jenazah

orang yang paling utama di antara mereka. Yaitu, jenazah orang yang

paling berilmu dan paling banyak menghafal al Qur’ân159 Namun,

apabila kedua jenazah tersebut mempunyai kesetaraan dalam ilmu

158 Yang dimaksud dengan beberapa jenazah di sini adalah beberapa jenazah

yang sejenis, yaitu sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan. Adapun jika jenisnya berbeda, maka jenazah-jenazah tersebut disholatkan dengan meletakkan jenazah laki-laki dewasa paling dekat dengan imam, kemudian anak laki-laki yang belum baligh, kemudian jenazah wanita dewasa, kemudian jenazah anak wanita yang belum baligh. Syaikh al-‘Utsaimîn, 2003, Fatâwa fi Ahkâmil Janâiz,. Cet. I, Dâr ats-Tsurayyâ,. Riyadh, hal. 102

159 HR. Al-Bukhâri

Page 166: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

154

dan hafalan, maka yang berhak dimasukkan lebih dahulu ke liang lahat

ditentukan dengan undian.

6. Apabila ada dua orang sama-sama menyatakan bahwa suatu barang

tertentu adalah miliknya, dan tidak ada qarinah (tanda-tanda) yang

menguatkan salah satunya lebih berhak atas barang tersebut, maka

orang yang berhak memilikinya ditentukan dengan pengundian.

Namun demikian, apabila barang tersebut bisa dibagi dan keduanya

bersepakat untuk membagi barang tersebut menjadi dua bagian dan

masing-masing mendapatkan separuh bagian yang sama, ini

diperbolehkan.160

7. Apabila ada dua orang berebut untuk mendapatkan suatu barang atau

perkara mubâhât161, dan barang tersebut tidak mungkin dimiliki

secara bersama, maka orang yang berhak mendapatkannya ditentukan

dengan pengundian Misalnya, apabila ada dua orang berbarengan dan

sama-sama berkeinginan untuk duduk di suatu tempat tertentu di

dalam masjid, maka dalam hal ini penentuan yang berhak duduk di

tempat tersebut dilakukan dengan pengundian.

8. Apabila seorang wanita akan melangsungkan pernikahan dan seluruh

karib kerabat yang berhak menikahkannya berkeinginan menjadi wali

nikahnya, padahal mereka semua sederajat, maka penentuan wali

nikah dilakukan dengan pengundian.

9. Apabila seseorang mempunyai beberapa budak, kemudian ia

membebaskan salah satu budaknya, tetapi ia lupa budak manakah

yang ia bebaskan, maka penentuannya ditetapkan dengan pengundian.

Kemudian, berkaitan dengan pembahasan kaidah ini, perlu dipahami

bahwa apabila kadar kepemilikan dua orang atau lebih terhadap suatu

harta ataupun piutang sudah diketahui secara jelas, kemudian mereka

melakukan pengundian untuk menentukan siapa di antara mereka yang

akan mendapatkan harta atau piutang tersebut secara penuh, maka ini

160 Lihat ta’liq (komentar) Syaikh al-‘Utsaimîn , 2002, al-Qawâ’id wal Ushûl

al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Cet. I, Maktabah as-Sunnah, Kairo, hal. 130

161 Yaitu barang-barang atau perkara-perkara yang tidak ada hak kepemili-kan secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat, tanaman, atau selainnya, seba-gaimana dijelaskan pada kaidah sebelumnya.

Page 167: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

155

termasuk perjudian yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân,

Sunnah, dan Ijmâ’. Di antara contohnya dapat diketahui melalui dua kasus

berikut:

1. Apabila sebuah mobil dimiliki secara bersama oleh dua orang. Kemudian

keduanya melakukan pengundian dengan kesepakatan bahwa siapa di

antara keduanya yang keluar namanya dalam undian, maka ia berhak

memiliki mobil tersebut secara penuh, pengundian seperti ini tidak

diperbolehkan karena termasuk dalam kategori perjudian.

2. Apabila ada dua orang sama-sama mempunyai piutang kepada si Fulan

(seseorang), kemudian kedua orang tersebut melakukan pengundian,

dengan kesepakatan bahwa siapa di antara keduanya yang namanya keluar

dalam pengundian, maka seluruh piutang si Fulan, baik dari orang pertama

ataupun orang kedua, menjadi miliknya. Maka pengundian seperti ini

termasuk dalam kategori perjudian.162

162 Lihat contoh-contoh lain dari penerapan pengundian yang tidak diperbo-

lehkan dan masuk dalam kategori perjudian dalam kitab Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Karya Syaikh al-‘Utsaimîn.

Page 168: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

156

Kaidah Kedelapan

امنح سبق إ ل الحمباحات ف هو أحق ب

Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat

Maka Dia Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut

Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih

menemukan atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak

untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala

yang tidak ada hak kepemilikan secara khusus atasnya, baik berupa tanah,

tempat tertentu, tanaman yang tumbuh di bumi atau yang lainnya.

Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang

diriwayatkan dari Asmar bin Mudharris r.a, Rasûlullâh Sawbersabda :

من سبق إل ما ل يسبق إليه مسلم ف هو أحق به

Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang

muslim lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.163

Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,

Rasûlullâh Saw bersabda :

ا حد ف هو أحق ب من عمر أرض ا ليست أل

Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih

berhak terhadap tanah itu.164

Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu

mendapatkan dan mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih

berhak untuk memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara

mubâhât lainnya diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang

disebutkan dalam hadits diatas.

163 HR. Abu Dâwud

164 HR. Bukhâri

Page 169: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

157

Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh

berikut :

1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para

pemilik sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling

didahulukan untuk mendapatkan pengairan dari sungai tersebut.

Maka dalam hal ini yang paling didahulukan adalah sawah yang

posisinya paling tinggi, karena biasanya posisinya lebih dekat dengan

suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan telah cukup maka

barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.

2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa

saja yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu

mengenainya maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan

tersebut. Adapun sebatas melihat hewan tersebut, maka

kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian pula keberadaan

kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput, barangsiapa

lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak

mendapatkannya.

3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan

umum, seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang

menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia

duduk di tempat orang tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di

suatu tempat di masjid mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid

datang dan menyuruh Ahmad berdiri, kemudian Zaid duduk di tempat

tersebut. Maka seperti ini tidak diperbolehkan. Karena Ahmad lebih

dahulu sampai di tempat tersebut sehingga dia yang lebih berhak

untuk duduk di sana.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari

Ibnu ‘Umar r.a dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Saw bersabda :

ه ث يلس في ن ملس ه ولكن ت فسحوا وت وسعوال يقيم الرجل الرجل م

Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat

duduknya kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian

memberi kelonggaran dan keluasan.165

165 HR. Bukhâri

Page 170: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

158

4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah,

rumah, atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak

memerlukan persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang

diwakafkan. Maka siapa saja yang lebih dahulu sampai pada barang-

barang tersebut, dia lebih berhak untuk memanfaatkannya. Misalnya

seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk ditempati oleh fakir

miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu sampai ke

rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya,

sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.

Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya

secara khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir

(pengurus) yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada

persetujuan nâzhir tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih

dahulu sampai pada barang-barang itu.

5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara

khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut

dan mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah

tersebut.

Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang

mati di antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah

itu tidak dimasuki hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur

di area tanah tersebut sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa

dilakukan dengan mengalirkan air ke tanah tersebut baik dari sungai,

atau selainnya untuk mengairi tanah tersebut. Atau dengan

membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan air, atau

benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut.

Rasûlullâh Saw bersabda :

تة فهي له من أحيا أرض ا مي

Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi

miliknya.166

6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah

dilamar orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si

166 R. Abu Dawud

Page 171: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

159

wanita atau tidak ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini

dikarenakan orang yang pertama lebih dulu melamarannya sehingga

dia lebih berhak, Sebagaimana sabda Rasûlullâh Saw:

يه, حت يتك الا طبة أخ له, أو يذن له ل يطب ب عضكم على خ طب ق ب الاطب

Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah

dilamar orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau

mengizinkannya.167

7. Rasûlullâh Saw telah mengabarkan tentang pahala yang besar yang

akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di shaf pertama dalam

shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :

موا عليه دوا إل أن يسته لو ي علم الناس ما ف الن داء والصف األول ث ل ي لست هموا

Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan

adzan dan pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa

memperolehnya kecuali dengan berundi tentulah mereka akan

berundi.168

Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama

tersebut, dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada

orang lain setelahnya.

167 HR. Bukhâri,

168 HR. Bukhâri

Page 172: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

160

Kaidah Kesembilan

ا أحل حراماا أوح حرم حاللا إ ل صلححا ل م يح الحمسح الصلحح جائ ز بيح

Shulh (berdamai) Dengan Sesama Kaum Muslimin Itu Boleh Kecuali

Perdamaian Yang Menghalalkan Suatu Yang Haram Atau Mengharamkan

Suatu Perkara Yang Halal

Kaidah mulia yang sangat bermanfaat ini diambil dari lafadz hadits

yang telah dishahihkan oleh beberapa ahli hadits. Diriwayatkan dari Abu

Hurairah R.a , Rasûlullâh Saw bersabda :

م حالل أو أحل حرام ا والمسلمون ا حر الصلح جائز بني المسلمني إل صلح م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا روطه على ش

Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian

yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang

halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka

sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau

menghalalkan suatu yang haram.169

Hadits ini menjelaskan bahwa seluruh macam shulh (perdamaian)

antara kaum muslimin itu boleh dilakukan, selama tidak menyebabkan

169 Hadits المسلمون عند شروطهم diriwayatkan oleh imam Bukhâri 4/451 secara

mu’allaq dengan shighah jazm. Dan diriwayatkan secara maushul oleh Imam Ahmad 2/366, Abu Dâwud no. 3594, Ibnu Jârud no. 637, al Hâkim 2/45, Ibnu ‘Adiy no. 2088 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu lewat jalur riwayat Katsîr bin Zaid dari Walîd bin Rabâh. Dan dalam riwayat Imam Tirmidzi no. 1370 dari Katsîr bin Abdillah bin ‘Amr bin ‘Auf al Muzaniy dari bapaknya dari kakeknya, Rasulullah saw bersabda:

ا حرم م إل شرط ا حرم حالل أو أحل حرام ا الصلح جائز بني المسلمني إل صلح روطه حالل أو أحل حرام ا والمسلمون على ش

Lafadz ini dibawakan juga oleh Thabrani dalam al Kabîr no. 30, Ibnu ‘Adiy no. 2081, Dâruquthni 3/27, al Baihaqi 6/79, Ibnu Mâjah no. 2353 tanpa kalimat yang akhir. Hadits ini dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, Anas, Abdullâh bin Umar, Râfi’ bin Khadîj Rahiyallahu anhum. Dengan mengumpulkan seluruh jalur periwayatannya, maka hadits diatas itu tsâbit atau sah.

Page 173: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

161

pelakunya terjerumus ke dalam suatu yang diharamkan oleh Allâh Swt dan

Rasûl-Nya.

Berikut beberapa contoh penerapan kaidah diatas :

1. Shulhul iqrâr atau as-shulh ma’al iqrâr (perdamaian yang disertai

pengakuan)

Misalnya, seseorang melihat barang yang diakuinya sebagai milik dia,

misalnya jam, namun jam itu berada di tangan orang lain. lalu dia

mengatakan : “Jam ini milikku !” Orang yang sedang membawa jam

itu mengatakan : “Ya, ini memang jammu. Namun aku ingin berdamai

denganmu dengan cara memberikanmu sejumlah uang lalu jam ini

menjadi milikku.” Jika si pemilik setuju, maka shulh ini sah dan inilah

disebut as-shulh ma’al iqrâr atau shulhul iqrâr.

Apabila Ahmad menyetujui tawaran Zaid tersebut maka ini

diperbolehkan. Ini termasuk kategori Shulhul Iqrâr.

2. Shulhul inkâr atau as-shulh ma’al inkâr (perdamaian yang disertai

pengingkaran)

Contohnya, kasus jam diatas. Jika yang membawa jam itu mengingkari

pengakuan orang itu dengan mengatakan : “Jam ini bukan milikmu

tapi milikku.” Kemudian dia khawatir permasalahan ini akan berke-

panjangan, akhirnya dia ingin menyelesaikannya dengan mengajak

damai. Dia mengatakan : “Kita damai saja, saya akan memberikanmu

sejumlah uang dan jam ini tetap di tanganku sebagai milikku.” Jika

orang pertama setuju, maka shulh ini sah dan disebut dengan shulhul

inkâr atau as-shulh ma’al inkâr. Melihat dalam peristiwa ini ada

indikasi bohong, syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin

mengatakan : “Bagi yang berbohong, maka akadnya tidak sah.”

3. Berdamai dalam khiyâr ‘aib (hak pembeli untuk membatalkan tran-

saksi karena ada cacat pada barang)

Apabila seseorang membeli sesuatu dengan harga tertentu, kemudian

ia mengetahui ada cacat pada barang itu dan ia ingin mengembalikan-

nya kepada penjualnya. Ketika mengembalikan barang tersebut, si

penjual mengatakan, “Bagaimana jika barang ini tidak dikembalikan

dan aku akan berikan ganti rugi kepadamu berupa uang sebesar

sekian sebagai kompensasi dari kerusakan tersebut ?”

Page 174: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

162

Apabila si pembeli setuju tawaran ini, maka ini termasuk kategori

berdamai yang diperbolehkan.

4. Berdamai dalam khiyâr Syarth (hak pembeli untuk membatalkan atau

meneruskan transaksi dengan syarat-syarat tertentu yang telah

disepakati antara penjual dan pembeli)

Misalnya, Ahmad hendak membeli rumah dari Zaid dengan

kesepakatan si pembeli diberi waktu sepekan. Dalam waktu ini, dia

berhak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli tersebut.

Namun kemudian, sebelum lewat waktunya, Zaid mendatangi Ahmad

dan mengatakan, “Bagaimana jika jual beli ini kita jadikan dan kita

tuntaskan saja tanpa menunggu waktunya habis ? Sebagai

kompensasi, aku akan berikan kepadamu sejumlah uang.”

Apabila Zaid menerima tawaran Ahmad ini, maka shulh ini termasuk

kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan dan masuk dalam

keumuman kaidah di atas.

5. Berdamai dalam hak syuf’ah.

Apabila ada suatu barang dimiliki secara bersama oleh Ahmad dan

Zaid, misalnya tanah atau rumah. Kemudian Ahmad menjual

bagiannya kepada Yasir. Dalam hal ini Zaid bisa menggunakan hak

syuf’ahnya untuk membatalkan jual beli tersebut. Zaid berhak menarik

bagian yang sudah dijual Ahmad dan merubah statusnya menjadi milik

Zaid atau membelinya dengan harga yang sudah disepakati oleh

Ahmad dan Yasir. Dalam peristiwa ini, saat Zaid akan menggunakan

hak syuf’ahnya, Yasir berkata, “Bagaimana jika engkau tidak

menggunakan hak syuf’ahmu ? Karena aku ingin memiliki barang ini.

Sebagai konsekuensinya aku akan memberikan sejumlah uang kepada-

mu.”

Apabila Zaid setuju dengan tawaran Yasir ini, maka ini termasuk

kategori shulh (berdamai) yang diperbolehkan.

6. Berdamai dalam diyât pembunuhan atau yang lain.

Apabila terjadi suatu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dan

zalim, maka keluarga korban bisa menuntut hukum qishâsh atau

menuntut diyât (ganti rugi atas pembunuhan tersebut). Jika menuntut

diyât, maka jumlahnya telah ditentukan dalam syari’at yaitu sejumlah

Page 175: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

163

100 ekor onta dengan memenuhi berbagai ketentuan lainnya. Dalam

hal ini, apabila keluarga korban mengusulkan kepada keluarga si

pembunuh supaya memberikan diyât lebih dari 100 ekor lalu keluarga

si pembunuh menyetujuinya, maka ini termasuk shulh (berdamai)

yang diperbolehkan.

7. Perdamaian dalam hutang yang tidak diketahui jumlahnya.

Apabila Ahmad berhutang sejumlah uang kepada Zaid. Setelah

beberapa waktu, keduanya sama-sama lupa nominalnya. Dalam

kondisi ini, apabila Zaid mengatakan, “Bagaimana kalau kita tentukan

saja nominalnya yaitu Rp. 100.000,-, jika nominal sebenarnya lebih

dari itu, maka aku merelakannya, namun jika nominal sebenarnya

kurang dari seratus ribu, maka engkau yang merelakannya ?” Apabila

Ahmad menerima tawaran Zaid tersebut maka ini termasuk shulh

(perdamaian) yang diperbolehkan.

8. Perdamaian dalam hak-hak suami isteri.

Apabila seorang isteri khawatir akan diceraikan oleh suaminya,

kemudian si isteri tersebut berkata kepada suaminya, “Aku ingin tetap

menjadi isterimu, sebagai konsekuensinya aku relakan nafkahku

dikurangi.” Apabila si suami setuju, maka ini termasuk perdamaian

yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allâh swt :

ن ب علها نشوز ا أو إعراض ا فال جناح عل ما أن يصلحا وإن امرأة خافت م يها والصلح خي ن هما صلح ب ي

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh

dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan

perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi

mereka. [an Nisâ’/4:128]

Demikian pula, seluruh perdamaian yang dilakukan untuk

menyelesaikan perselisihan dan persengketaan di antara manusia, maka

hal tersebut diperbolehkan dan masuk dalam keumuman kaidah ini, baik

lewat perantara hakim atau yang lain. Kesimpulannya, hukum asal dari

perdamaian itu adalah boleh selama tidak menyebabkan pelakunya

terjerumus dalam perkara yang haram.

Page 176: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

164

Diantara shulh (perdamaian) yang tidak diperbolehkan karena ada

unsur haram di dalamnya dapat diketahui dari beberapa contoh berikut :

1. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada

Zaid. Setelah beberapa waktu, Zaid lupa nominal, sementara Ahmad

masih ingat nominalnya, tetapi ia tidak mau memberitahukannya

kepada Zaid. Dalam hal ini, apabia Ahmad berkata kepada Zaid, “Aku

juga lupa berapa jumlah hutangku itu. Bagaimana kalau kita tentukan

saja jumlahnya Rp. 50.000 ? Aku rela jika jumlah hutang sebenarnya

lebih kecil dari itu. Dan relakanlah jika jumlah hutang sebenarnya

lebih besar dari itu.” Kemudian Zaid menyetujui tawaran Ahmad

tersebut. Maka perdamaian tersebut haram bagi Ahmad, karena ia

telah menghalalkan perkara yang haram.

2. Apabila Ahmad mempunyai hutang uang sejumlah Rp. 100.000 kepada

Zaid, dengan jangka waktu pengembalian selama satu pekan. Setelah

berlalu satu pekan, ternyata Ahmad belum bisa melunasi hutangnya.

Kemudian Ahmad berkata kepada Zaid, “Berilah tenggang waktu

kepadaku selama tiga hari untuk melunasi hutangku. Dan sebagai

konsekuensinya, aku akan membayar hutangku sebesar Rp 100.000

dengan tambahan Rp. 20.000 untukmu.” Jika Zaid setuju, maka

perdamaian seperti itu tidak diperbolehkan karena mengandung riba.

Page 177: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

165

Kaidah Kesepuluh

ع إ ل الحق يحمة ر الحمسمى رج إ ذا ت عذ

Apabila Harga Yang Disepakati Tidak Diketahui Maka Dikembalikan Kepada

Harga Pasar

Dalam transaksi jual beli, pada asalnya, pembeli wajib membayar

kepada penjual senilai harga yang telah disepakati oleh keduanya. Namun,

apabila harga yang telah disepakati tersebut tidak diketahui karena penjual

dan pembeli sama-sama lupa atau karena sebab lainnya, maka dalam hal ini

timbul permasalahan tentang penentuan harga barang tersebut.

Kaidah di atas menjelaskan bahwa apabila harga yang disepakati oleh

penjual dan pembeli tersebut di kemudian hari tidak diketahui dikarena-

kan suatu sebab tertentu, padahal harga barang belum diserahkan oleh si

pembeli, maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai umumnya

harga barang tersebut di pasaran.

Kaidah ini berbeda dengan kaidah sebelumnya. Karena, dalam suatu

akad transaksi yang harganya telah ditentukan dan disepakati oleh pelaku

transaksi, ada kemungkinan besarnya harga tersebut kemudian tidak

diketahui lagi. Atau ada juga kemungkinan bahwa harga yang telah

disepakati tersebut tidak mungkin diserahkan dikarenakan tidak sahnya

akad transaksi, baik karena gharâr (unsur tipuan), karena adanya perkara

yang haram, atau sebab-sebab lainnya.

Di antara implementasi kaidah ini dapat diketahui pada contoh-contoh

berikut:

1. Apabila dua orang melakukan transaksi jual beli dengan kesepakatan

harga tertentu, dan sebelum pembayaran diserahkan, keduanya tidak

mengetahui berapa besarnya harga yang telah disepakati tersebut,

maka dalam hal ini harga barang ditentukan sesuai harga secara

umum di pasaran, karena umumnya barang-barang dagangan

diperjual-belikan sesuai harganya secara umum di pasaran.

2. Apabila seseorang mempekerjakan orang lain dengan kesepakatan

upah tertentu, kemudian ketika datang waktu pemberian upah,

Page 178: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

166

ternyata tidak diketahui lagi berapa besarnya upah tersebut,

dikarenakan kedua belah pihak lupa atau karena sebab lainnya, maka

dalam hal ini dikembalikan kepada jumlah upah untuk pekerjaan

semisal secara umum di daerah bersangkutan.

3. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, namun ia belum

menentukan besarnya mahar yang harus ia serahkan kepada isterinya,

maka dalam hal ini mahar ditentukan berdasarkan umumnya mahar

yang diberikan untuk wanita semisal di daerah bersangkutan.

Page 179: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

167

Kaidah Kesebelas

م إ ذا ق جع ل كالحمعحدوح ر معحر فة منح له الح ت عذ

Apabila Pemilik Suatu Barang Tidak Diketahui Maka Barang Tersebut

Dianggap Tidak Ada Pemiliknya

Apabila seseorang menemukan barang milik orang lain, namun tidak

diketahui secara jelas siapa pemiliknya, maka dalam hal ini timbul

permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan barang tersebut.

Oleh karena itu, kaidah ini menjelaskan bahwa suatu barang yang

tidak diketahui siapa pemiliknya dan sangat sulit untuk mengetahuinya,

maka barang tersebut dianggap tidak ada pemiliknya. Dan wajib untuk

memanfaatkan barang tersebut dalam perkara-perkara yang paling

bermanfaat bagi pemiliknya atau orang yang paling berhak untuk

memanfaatkannya.

Di antara implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut :

1. Berkaitan dengan barang temuan (luqathah). Seseorang yang

menemukan barang temuan, kemudian ia berusaha untuk

mengumumkan tentang penemuan tersebut, namun pemiliknya tidak

juga bisa diketahui, maka barang tersebut menjadi milik si penemu.

Karena dialah orang yang paling berhak untuk memilikinya.

2. Apabila seseorang memakai barang orang lain tanpa izin, kemudian

tatkala ia ingin mengembalikan barang tersebut, ternyata tidak

diketahui siapa pemiliknya, dan ia sangat kesulitan untuk mengetahui

pemiliknya, maka dalam hal ini ia bisa menyerahkan barang tersebut

ke Baitul Mal supaya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Atau

bisa juga ia menyedekahkan barang tersebut atas nama pemiliknya

dengan niat apabila pemiliknya datang maka ditawarkan kepadanya

apakah ia setuju jika barang tersebut disedekahkan sehingga ia

mendapatkan pahala sedekah, atau si pemilik barang ingin supaya

barang tersebut diganti, sehingga pahala sedekah menjadi milik si

penemu barang.

Page 180: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

168

3. Berkaitan dengan harta hasil curian atau hasil rampokan. Apabila

harta tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta tersebut

bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, atau bisa juga

disedekahkan kepada fakir miskin. Dan bagi orang yang menerima

sedekah dari harta tersebut, halal baginya untuk memanfaatkannya,

karena harta tersebut pemiliknya tidak diketahui, maka dianggap

tidak ada pemiliknya.

4. Seseorang yang meninggal dunia sedangkan ahli warisnya tidak

diketahui, maka harta warisannya dimasukkan ke Baitul Mal untuk

dimanfaatkan dalam perkara-perkata yang maslahat.

5. Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan namun tidak

diketahui siapa walinya, maka ia dianggap seorang yang tidak punya

wali. Sehingga ia dinikahkan oleh wali hakim

Page 181: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

169

Kaidah Kedua belas

ق ب ب رحمان ه ئاا ق بحل أوان ه عوح منح ت عجل شي ح

Barangsiapa Tergesa-Gesa Ingin Mendapatkan Sesuatu Sebelum Datang

Waktunya Maka Ia Mendapatkan Hukuman Dengan Tidak Mendapatkan Apa

Yang Ia Inginkan Tersebut

Kaidah ini menjelaskan tentang ‘iqâb (hukuman) yang didapatkan oleh

seseorang yang terburu-buru mendapatkan sesuatu yang ia inginkan

sebelum datang waktunya. Ia mendapatkan hukuman berupa kebalikan

dari apa ia inginkan itu. Demikian itu karena manusia adalah hamba yang

dikuasai oleh Allah Swt dan berada di bawah perintah dan hukum-Nya.

Maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk tunduk kepada hukum yang

telah digariskan oleh-Nya.

Allah Swt berfirman :

م وما كان لم ن أمره ورسوله أمر ا أن يكون لم الية م نة إذا قضى الل ن ول مؤم ؤم

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi

perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan

suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan

mereka. [al-Ahzâb/33:36]

Oleh karena itu, apabila seseorang tergesa-gesa mendapatkan perka-

ra-perkara yang menjadi konsekuensi hukum syar’i sebelum terpenuhi

sebab-sebabnya yang shahîh, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat

sedikitpun, bahkan ia memperoleh hukuman berupa kebalikan dari yang ia

inginkan.

Di antara implementasi dan contoh penerapan kaidah ini adalah

sebagai berikut :

1. Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan warisan dari orang

tuanya atau orang lain dengan cara membunuh orang tuanya atau

orang lain yang akan memberikan warisan kepadanya itu, maka ia

mendapatkan ‘iqâb (hukuman) berupa diharamkan dari mendapatkan

warisan tersebut. Demikian itu dikarenakan ia telah tergesa-gesa

Page 182: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

170

untuk mendapatkan warisan dengan cara yang haram maka ia

diharamkan dari mendapatkan warisan tersebut.

2. Tentang orang yang mendapatkan wasiat, yang dijanjikan akan

mendapatkan suatu harta tertentu setelah meninggalnya si pemberi

wasiat. Apabila ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya dengan mem-

bunuh si pemberi wasiat maka ia tidak berhak mendapatkan wasiat

tersebut.

3. Tentang mudabbar, yaitu budak yang dijanjikan bebas oleh tuannya

setelah tuannya tersebut meninggal. Apabila si budak tersebut

tergesa-gesa untuk mendapatkan kebebasan dengan cara membunuh

tuannya, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan kebebasan dari

statusnya sebagai budak.

4. Seorang laki-laki yang berada dalam keadaan sakit parah yang

menyebabkan kematiannya. Apabila sebelum meninggal ia mencerai-

kan isterinya dengan tujuan supaya isterinya tidak mendapatkan

warisan darinya, maka dalam hal ini si isteri tersebut tetap berhak

mendapatkan warisan darinya, meskipun si isteri tersebut telah

selesai dari masa iddah, selagi belum menikah lagi dengan laki-laki

lain. Dan ada pula yang berpendapat bahwa si isteri tersebut tetap

mendapatkan warisan meskipun telah menikah lagi dengan laki-laki

lain karena ia mempunyai udzur.

5. Termasuk juga dalam implementasi kaidah ini adalah bahwasanya

orang yang tergesa-gesa untuk melampiaskan syahwatnya di dunia

dalam perkara-perkara yang haram, maka ia dihukum dengan tidak

mendapatkannya di akhirat selama belum bertaubat di dunia.170

Allah Swt berfirman :

ن يا تم طي باتكم ف حياتكم الد وي وم ي عرض الذين كفروا على النار أذهب ا واستمت عتم ب

170 Misalnya orang laki-laki yang memakai pakaian sutra di dunia maka ia

diharamkan dari memakainya di akhirat, dan orang yang minum khamr di dunia diharamkan dari meminumnya di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Saw : “Barangsiapa memakai sutra di dunia maka ia tidak akan memakainya di akhirat. Dan barangsiapa meminum khamr maka ia tidak akan meminumnya di akhirat”. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Page 183: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

171

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka

(kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang

baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-

senang dengannya.171

Berkebalikan dengan kaidah ini, maka barangsiapa meninggalkan

suatu kejelekan dikarenakan mengharap keridhaan Allah Swt , maka

Allah Swt akan memberikan kepadanya suatu pengganti yang lebih

baik dari yang ia tinggalkan tersebut.

171 QS al-Ahqâf:20

Page 184: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

172

Kaidah Ketiga belas

ثحل يات مب ثحل ها والحمت قومات ب ق يحمت ها من الحم تضح

Barang Mitsliyat Diganti Dengan Barang Semisalnya Dan Mutaqawwamat

Diganti Dengan Harganya

Kaidah ini berkaitan dengan kasus seseorang yang mempunyai tang-

gungan untuk mengganti barang orang lain dikarenakan barang tersebut ia

rusakkan, ia hilangkan, atau karena sebab lainnya. Dalam hal ini, timbul

permasalahan, apakah ia mengganti dengan barang yang semisal ataukah

cukup mengganti dengan harga tertentu senilai barang yang harus diganti

tersebut.

Maka, kaidah ini menjelaskan bahwa apabila barang yang dirusakkan

tersebut berupa mitsliyat maka diganti dengan barang yang semisal deng-

annya. Dan apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mutaqa-

wwamat maka diganti dengan nilai barang tersebut.

Namun, para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batasan

mitsliyat dan mutaqawwamat. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa

mitsliyat adalah semua barang yang diperjual-belikan dengan ditakar atau

ditimbang. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang yang diper-

jualbelikan selain dengan ditakar atau ditimbang.

Para Ulama’ yang lain berpendapat bahwa mitsliyat itu lebih umum

daripada batasan di atas. Mereka berpendapat bahwa mitsliyat adalah

segala sesuatu yang mempunyai misal yang serupa atau mirip dengannya.

Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang selain kategori tersebut.

Pendapat inilah yang benar dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Rasulullah Saw pernah meminjam seekor onta, kemudian beliau ingin

mengembalikan ganti onta tersebut kepada pemiliknya. Namun, beliau

tidak mendapatkan onta yang semisal. Maka beliau memberikan ganti

berupa onta yang lebih baik dari onta tersebut.

Hadits ini menunjukkan bahwa mitsliyat tidak terbatas pada barang-

barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar semata.

Page 185: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

173

2. Rasulullah Saw pernah memerintahkan Aisyah R.a untuk menganti

piring Zainab binti Jahsy, dikarenakan Aisyah R.a telah memecahkan

piringnya.

3. Karena memberikan ganti dengan barang yang semisal atau serupa

terkandung di dalamnya dua hal bagi pemilik barang, yaitu

didapatkannya nilai barang yang diganti dan terealisasinya maksud

pemilik barang dalam manfaat barang tersebut. Maka, inilah pendapat

yang benar berkaitan dengan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat.

Di antara implementasi dan penerapan kaidah ini adalah sebagai

berikut :

1. Berkaitan dengan perusakan barang. Seseorang yang merusakkan

barang orang lain dan sedangkan barang tersebut termasuk kategori

mitsliyat, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa.

Namun, apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat

maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.

2. Berkaitan dengan kasus pinjam meminjam. Seseorang yang meminjam

barang orang lain untuk dimanfaatkan, misalnya ia meminjam

sejumlah makanan atau selainnya untuk memenuhi kebutuhannya,

maka ia wajib mengembalikan barang tersebut. Apabila barang itu

termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengembalikan dengan

barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori

mutaqawwamat maka ia cukup mengembalikan dengan nilai harga

barang tersebut.

3. Seseorang yang dititipi barang oleh orang lain. Kemudian barang

tersebut hilang dikarenakan keteledorannya, atau ia berlebih-lebihan

dalam menggunakan barang tersebut. Maka, ia wajib mengganti

barang tersebut. Apabila barang tersebut termasuk kategori mitsliyat

maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Dan apabila

barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup

mengganti dengan nilai harga barang tersebut.

4. Seseorang yang menyembelih udhiyah (hewan kurban). Kemudian ia

memakan semua daging hewan kurbannya tersebut tanpa menyede-

kahkan sedikitpun. Maka, dalam hal ini ia wajib bersedekah dengan

daging hewan sejenis sekedar jumlah yang wajib sebagai ganti atas

kewajibannya bersedekah dengan daging hewan kurban tersebut.

Page 186: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

174

Kaidah keempat belas

ةح ب اإل ل و ال ت ال ام ع امل ف ل صح األ

“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”

Manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Apabila seseorang merasakan lapar pasti akan berusaha untuk mendapat-

kan makanan untuk menghilangkan laparnya, dan ketika seseorang

meraskaan kantuk yang amat sangat pasti ia membutuhkan waktu untuk

Istirahat. Selain memenuhi kebutuhan fisik manusia juga membutuhkan

pemenuhan spriritual, orang butuh ketenangan. Dalam upaya memenuhi

kebutuhan spiritual aktifitas manusia di dunia ini bisa digolongkan menjadi

dua yaitu:

[1] Aktivitas ibadah (pemenuhan kebutuhan spiritual)

[2] Aktivitas non Ibadah (pemenuhan kebutuhan fisik

Untuk memenuhi kebutuhan spiritual atau aktivitas ibadah, Nabi Saw

memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada perintah atau anjuran

dari Allah dan rasulnya. Tanpa perintah atau anjuran dari Allah dan rasul-

nya, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Manusia dalam upayanya

memenuhi kebutuhan spriritualnya berusaha untuk mendapatkan kebaha-

giaan di dunia. Bukan hanya didunia saja manusia juga berpikir bagaimana

kehidupan setelah mati nanti. Maka ini menjadi pertanyaan besar dalam

benak setiap orang. Orang Islam sudah diberikan petunjuk dalam Al Qur’an

tentang hal itu. Sehingga tidak ada cara yang bisa diikuti kecuali mengikuti

petunjuk al Quran dan hadits nabi.

Karena itulah, Nabi Saw mengingatkan kepada umatnya, bahwa setiap

aktifitas keagamaan, tanpa panduan dan petunjuk dari beliau, tidak akan

diterima. Beliau bersabda,

ل عمال ليس عليه أمران ، ف هو رد من عم

Page 187: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

175

Siapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak ada ajarannya dari kami,

maka amal itu tertolak. 172

Berbeda dengan aktivitas yang kedua, aktivitas non ibadah atau

aktifitas pemenuhan kebutuhan fisik, manusia diberi hak untuk berkreasi

dan berinovasi, melakukan kegiatan apapun yang bisa memberikan

manfaat dan kebaikan bagi dirinya, selama tidak melanggar larangan-

larangannya.

Bahkan Nabi Saw menegaskan, bahwa umatnya lebih mengetahui

tentang urusan dunia mereka.

Dalam hadis yang sangat terkenal, yang menyatakan,

م اك ي ن د ر و م ب م ل ع أ م ت ن أ

“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”

Hukum Asal

Allah ciptakan dunia dan seisinnya ini, dan Allah mengizinkan bagi

manusia untuk memanfaatkannya. Allah berfirman,

هو الذي خلق لكم ما ف األرض جيع ا

Dialah Dzat yang menciptakan untuk kalian, semua yang ada di muka bumi

ini.173

Imam as-Sa’adi mengatakan,

يع , ورحة بكم برا لكم، خلق : أي نتفاع , األرض على ما ج ستمتاع لال والعتبار وال

Artinya, dia ciptakan semua yang ada di muka bumi ini untuk kalian, sebagai

kebaikan dan kasih sayang yang diberikan untuk kalian. Agar dimanfaatkan,

dinikmati, dan diambil pelajaran.174

172 HR. Muslim

173 QS Al Baqarah ; 29

174 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, Tafsir as-Sa’adi, hal. 48

Page 188: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

176

Sehingga apapun di alam ini, boleh dimanfaatkan manusia.

Hanya saja, pemanfaatan mereka dibatasi hak kepemilikan. Sehingga

mansia hanya bisa memanfaatkan barang, jika:

[1] Barang itu milik sendiri.

[2] Mengadakan transaksi dengan orang lain, hingga terjadi perpindahan

kepemilikan.

Jika kita mengambil hak orang lain tanpa transaksi yang dibenarkan,

berarti termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Allah sampaikan ini dalam al-Quran,

لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض ي أي ها الذين آمنوا ل نكم ب تكلوا أموالكم ب ي نكم مHai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta sesama

kalian dengan cara yang batil, selain melalui perdagangan yang saling ridha

diantara kalian. 175

Berdasarkan ayat ini, manusia diberi kebebasan untuk melakukan

transaksi yang menjadi syarat perpindahan kepemilikan, selama di sana

ada unsur Saling ridha. Baik transaksi sepihak (tabarru’at), seperti

sedekah, hibah, infaq, dst. atau transaksi dua pihak (muawwadhat), seperti

jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dst.

Disamping syariat memberikan kebebasan untuk melakukan

transaksi, syariat juga memberikan batasan beberapa bentuk transaksi

yang dilarang, sekalipun itu dilakukan saling ridha. Karena keterbatasan

akal manusia, sehingga terkadang mereka tidak tahu unsur kedzaliman

yang ada pada transaksi itu.

Seperti transaksi riba. Bagi sebagian masyarakat, riba tidak dianggap

kedzaliman karena dilakukan saling ridha. Anggapan ini berasal dari

keterbatasan mereka dalam memahami kedzaliman yang sebenarnya. Yang

jika ini dilaranggar, akan merusaka kehidupan manusia.

Dan sebagai gantinya, Allah perbolehkan mereka melakukan jual beli.

175 QS. An-Nisa: 29

Page 189: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

177

Allah berfirman,

الب يع وحرم الر ب وأحل الل

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.176

Untuk itu, ada 3 catatan untuk Jual Beli yang Haram

1. Jual beli yang haram itu hanya sedikit. Karena hukum asal jual beli

adalah mubah

2. Muamalat yang diharamkan, tujuan besarnya untuk menghindari

setiap unsur kedzliman dan mewujudkan kemaslahatan di

masyarakat.

3. Jual beli yang Allah haramkan, kebanyakan diganti dengan transaksi

yang halal. Seperti, Allah larang judi dan diganti dengan lomba. Allah

larang riba, diganti dengan jual beli.

Akad Transaksi

Model transaksi yang dipraktekkan di zaman para sahabat adalah

melanjutkan bentuk transaksi yang sudah makruf di kalangan masyarakat

sejak masa silam. Artinya, transaksi itu sudah ada sebelum Nabi Saw

diutus.

Rasulullah Saw hanya membatasi atau melarang, jika di sana ada

unsur pelanggaran.

Kita bisa lihat beberapa kasus transaksi berikut,

[1] Transaksi salam

Transaksi ini terbiasa dilakukan penduduk Madinah, sebelum beliau

tiba di Madinah. Artinya, transaksi ini sudah ada sejak zaman jahiliyah.

Ketika Nabi Saw datang, beliau memberi batasan, agar transaksi salam

tidak melanggar syariat.

Ibnu Abbas menceritakan,

176 QS. al-Baqarah: 275

Page 190: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

178

المدينة ، والناس يسلفون ىف الثمر العام –صلى هللا عليه وسلم –قدم رسول الل من أسلف ىف تر » -صلى هللا عليه وسلم-ال رسول الل أو ثالثة ، ف ق –والعامني

« ف ليسلف ىف كيل معلوم ووزن معلوم إل أجل معلوم

Nabi Saw tiba di Madinah, sementara mereka telah melakukan

transaksi salam dalam jual beli kurma, untuk masa setahun, dua tahun, atau

tiga tahun. Beliau Saw bersabda, “Siapa yang melakukan transaksi salam,

hendaknya dia tentukan nilai takarannya, timbangannya, dan batas

waktunya. ” 177.

Nabi Saw bukan orang yang menciptakan transaksi salam. Beliau

hanya memberi batasan.

[2] Jual beli araya

Menukar kurma kering di tangan dengan kurma basah yang masih di

tangkai, dengan cara perkiraan. Dan ini jelas riba, karena pasti ada selisih.

Sebelum islam datang ke Madinah, transaksi ini biasa dilakukan para

masyarakat. Ketika Nabi Saw datang, beliau memberi keringanan maksimal

5 wasaq.

Abu Hurairah r.a mengatakan,

ها, فيما دون –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل رص رخص ف ب يع العراي ب خسة أوسق, أو ف خسة أوسق

Bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan untuk jual beli araya dengan

perkiraan, selama tidak melebihi 5 wasaq. 178

Nabi saw tidak menciptakan akad transaksi. Yang beliau lakukan

adalah membatasi, agar tidak melanggar larangan.

Dengan demikian, termasuk ungkapan yang salah ketika ada orang

yang menganjurkan,‘Akad dan Transaksi harus sesuai sunnah’. Sekali lagi,

ini kalimat yang salah. Karena akad dan transaksi bukan masalah ibadah.

Tidak Melanggar

177 HR. Muttafaq ‘alaih

178 HR. Muttafaq ‘alaih

Page 191: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

179

Mengingat hukum asal transaksi adalah mubah, maka alam melakukan

transaksi, tugas seorang muslim adalah memastikan bahwa transaksi yang

dia lakukan, tidak melanggar larangan.

Karena itu, dalam pelaksanaan akad, orang tidak dituntut untuk

mendatangka dalil, apakah akadnya pernah ada di zaman Nabi SAW atau

tidak ada. Karena akad bukan masalah ibadah. Sekalipun akad itu tidak ada

contohnya di masa silam, akad ini bisa diterima, selama tidak melanggar

syariat. Sehingga yang lebih penting untuk dia ketahui bukan bagaimana

cara membuat akad, tapi apakah ada larangan dalam akad itu.

Syaikhul Islam mengatakan,

ن إ يلها ف ل ت ا و يه ر ت ون م ل ع ا ي و ن و ك ي ل د او ق ع مبينه ت عاقدوا إذا المسلمني فإن ني اقد ح الع ان ن ك إ ا و يه ر وا ت د اق ع ت ي ا ل ذ ا إ ون يصح ح ه م ل ع ا أ يم ف يع ا اء ج ه ق الف

يد ل ق ت ل و اد ه ت ج ا ل يلها ل ت م ل ع ن ي ك ي ن ل ذ إ

Kaum muslimin, ketika mereka melakukan akad, mereka tidaktahu apakah

itu halal ataukah haram. Dan para ulama semuanya – menurut yang saya

tahu – menilai sah transaksi ini. Selama mereka tidak melakukan transaksi

yang haram. Meskipun orang yang melakukan akad, ketika dia dibolehkan

untuk berakad, dia tidak tahu kehalalannya, baik dengan ijtihad maupun

dengan mengikuti ulama.

Kemudian Syaikhul Islam menegaskan, andai semua akad harus

berdasarkan dalil, maka banyak akad yang tidak sah sampai orang itu tahu

dalilnya,

وت ب ث د ع ب ل إ د ق ع ح ص ي ل ود ق الع ة ح ص ا ف ط ر ش اص ال ع ار ن الش ذ إ ان و ك ل ف ق ال ف اد ص د ق ان ن ك إ و آث ه ن إ اد ف ه ت ج ا ي غ ب م اك ال م ك و ح ا ل م ك ه ن ذ إ

Jika izin khusus dari syariat menjadi syarat sah akad, maka setiap akad yang

dilakukan manusia menjadi tidak sah, sampai dia yakin ada dalilnya.

Page 192: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

180

Sebagaimana ketika ada hakim yang memutuskan tanpa melalui ijtihad,

maka dia berdosa, meskipun bisa jadi sesuai kebenaran.179

Untuk itu, manusia boleh mengadakan model akad yg baru selama

tidak ada unsur pelanggaran syariat. Akad dinilai sah dengan cara apapun

yang menunjukkan keridhaan.

179 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-

Nuraniyah al Fiqhiyah, Dar Ibn al-Jawzi, al-Dammam, hal. 206

Page 193: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

181

Kaidah Kelima belas

ل عح و ف ول أ ن ق ا م ه ي ح ل ع ل د ا ي ة مب ل ام ع امل د ق ع ن ت

“Muamalah dinilai sah, dengan ucapan maupun perbuatan apapun yang

menunjukkan adanya transaksi”

Ungkapan lain untuk kaidah masalah akad,

ب ود ق الع ف ةب الع و د اص ق ل

و اظ ف ل أل ب ل ان ع ال

ان ب ال

“Inti akad berdasarkan maksud dan makna akad, bukan berdasarkan lafadz

dan kalimat”180 .

Salah satu diantara rukun jual beli adalah adanya shighat akad,

yaitu ucapan atau tindakan atau isyarat dari penjual dan pembeli yang

menunjukkan keinginan mereka untuk melakukan transaksi tanpa

paksaan.

Jika Shighat ini disampaikan secara lisan, para ulama menyebutnya

dengan istilah: ijab qabul. Sementara shighat dalam jual beli disampaikan

dalam bentuk perbuatan atau isyarat, disebut Bai’ Mu’athah.

Saling Ridha

Saling ridha antara penjual dan pembeli menjadi syarat penting dalam

transaksi jual beli. Karena ini yang memastikan bahwa dalam akad tersebut

tidak ada unsur kedzaliman.

Allah berfirman,

لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض نكم ب ي أي ها الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م

180 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Qawaid al-Kulliyah,

hal. 147

Page 194: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

182

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. 181

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi SAW juga bersabda,

ا الب يع عن ت راض إن

Jual beli harus dilakukan saling ridha. 182

Shighat

Ulama berbeda pendapat dalam masalah shighat dalam jual beli;

Pertama, dalam madzhab syafiiyah harus dinyatakan secara lisan, artinya

harus ada ijab qabul.

Mereka beralasan, bahwa saling ridha merupakan syarat

mutlak dalam jual beli. Sementara keridhaan termasuk amal hati.

Tidak ada yang tahu kecuali Allah dan si pemilik hati. Orang lain

baru tahu, jika dia mengungkapkanya. Karena itulah, harus

diucapkan secara lisan. Harus ada ijab qabul. Tanpa ucapan lisan,

berarti meraba isi hati orang lain. Dan itu tidak bisa diterima.

Kedua, madzhab mayoritas ulama, di kalangan Hanafiyah, Malikiyah,

Hambali da sebagian ulama Syafiiyah menyatakan bahwa dalam

transaksi jual beli tidak harus diucapkan. Artinya akad sah

dilakukan dengan cara apapun, yang penting masing-masing

saling paham yang menunjukkan keridhaan.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ب ه ذ ول و ب الق اب و ي ل ب ل إ ح ص ي ل ع ي الب ن هللا أ ه ح ي ر ع اف الش ب ه ذ م ان ول ثل ق م ل إ ه اب ح ص أ ض ع ب

Pendapat Imam Syafi’I : bahwa jual beli tidak sah kecuali jika

masing-masing mengucapkan ijab qabul. Sementara sebagian

syafiiyah mengikuti pendapat kami.

181 QS An-Nisa: 29

182 HR. Ibn Majah

Page 195: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

183

Kemudian beliau melanjutkan,

ل إ يه وع ف ج الر ب ج و ه ف ت ي ف ي ك ني ب ي ل و ع ي الب ل ح هللا أ ن ا أ ن ل و ع م ه اب ح ص أ ن ع ل م و ل س يه و ل ى هللا ع ل ص ب الن ن ل ع ق ن ي ل و ….ف ر الع ف ك ل ا ذ و ل م ع ت س ا و ل ل و و ب الق اب و ي ال ال م ع ت س م ا ه ن ي ب ع ي الب ع و ق و ة ر ث ك ه ل ق ن جب و ا ل ط ر ش ك ل ذ ان ك و ل ا و ع ائ ش ال ق ن ل ق ن م ل ات اع ي ب

Kami berpendapat bahwa Allah menghalalkan jual beli, dan Dia

tidak menjelaskan tata caranya. Sehingga mengenai tata caranya

wajib kita kembalikan kepada standar masyarakat….. dan tidak

ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari

para sahabat tentang penggunaan ijab qabul, padahal jual beli

sangat sering terjadi di antara mereka. Andai mereka selalu

menggunakan ijab dan qabul tertentu dalam jual beli, tentu akan

banyak dinukil sampai kita. Dan itu jika itu syarat jual beli,

seharusnya dinukil ke kita.183

Ad-Dasuqi – ulama Malikiyah – mengatakan,

و ل أ و ق ن ، م ل و ة أ غ ل ل د اء و ا ، س ف ر ا ع ض ى الر ل ع ل د ا ي ب ع ي الب د ق ع ن ي اه د ح أ ن م و ا أ م نه ة م ار ش إ و ة أ اب ت ك

Transaksi jual beli terhitung sah dengan pernyataan akad apapun

yang menunjukkan saling ridha secara urf. Baik sesuai makna

bahasa ataupun tidak. Baik berupa ucapan, tulisan, isyarat ucapan

atau tulisan atau salah satunya. 184

Ridha

183 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni vol 4, Dar Alamul

Kutub, Riyadhi, hal 4

184 Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait , 1983, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, vol 9, Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Kuwait; hal 12

Page 196: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

184

Kapan seseorang disebut telah ridha? Sebagai acuan untuk

mengetahui batasan ridha.

Para ulama menyebutkan, rukun saling ridha ada 2:

[1] Ilmu (mengetahui dan menyadari) dan

[2] al-ikhtiyar (tidak ada paksaan).

Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,

اض الر ط ق س ي اه ر ك ال

Unsur paksaan, menggugurkan ridha.185 .

Penerapan Kaidah

1. Seseorang membeli makanan, dia mengatakan kepada penjual: ’Pak,

saya minta dibungkus dua..’ statusnya beli, sekalipun kalimatnya

minta.

2. Kantin kejujuran. Sekalipun tidak ada ucapan akad apapun, tetap sah

sebagai jual beli. Termasuk jual beli mu’athah.

3. Pembeli mengatakan ke penjual: Tolong bawa dulu hp saya, ini

amanah. Tunggu sampai saya ambil uangnya. Status barang ini

adalah rahn, meskipun dia bilangnya amanah. Karena amanah bisa

diambil pemiliknya kapanpun. Sementara hp ini tidak.

185 Sulaiman ar-Ruhaili, Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’, hal 117

Page 197: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

185

Kaidah Keenam belas

ة ل ط ب ي ه ف صد قح ا ي م يح ف ة ال ه ج وح أ ر ر ا غ ه ي ح ف ة ل ام ع م ل ك

Semua muamalah yang gharar atau jahalah menjadi tujuan utama dalam

transaksi, statusnya batal

Secara bahasa, Gharar adalah bentuk masdar dari gharrara –

yugharriru– Taghrir yang artinya membahayakan atau seseorang

memposisikan dirinya atau hartanya di posisi bahaya, atau mengurangi.

(al-Mishbah al-Munir, 2/445)

Para ulama menyebutkan, secara umum, muamalah yang dilarang,

karena di sana mengandung salah satu dari 3 unsur: [1] Dzalim, [2] Gharar,

dan [3] Riba. Adanya unsur jahalah, membuat gharar mirip dengan judi.

Sementara judi termasuk amal perbuatan setan.

Allah berfirman,

ن عمل الشيطان ر واألنصاب واألزلم رجس م ا المر والميس ي أي ها الذين آمنوا إن فاجتنبوه لعلكم ت فلحون

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,

(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk

perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan”186

Terdapat banyak dalil dari hadis yang menunjukkan larangan gharar.

Kita akan sebutkan beberapa hadis seputar gharar, dengan harapan kita

bisa memahami makna gharar secara lebih utuh,

[1]Hadis Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda,

نى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن ب يع الغرر

186 QS Al-Maidah: 90

Page 198: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

186

Rasulullah Saw melarang jual beli gharar. (HR. Muslim 3881, Nasai 4535,

dan yang lainnya).

[2] Hadis dari Ibnu Umar r.a, beliau mengatakan,

عن عسب الفحل –صلى هللا عليه وسلم –نى النب

Nabi saw melarang jual beli sperma hewan pejantan187

[3] Hadis dari Ibnu Umar,

نى عن ب يع حبل الب لة –صلى هللا عليه وسلم – أن رسول الل

Bahwa Rasulullah Saw melarang jual beli habalil habalah.188 (HR. Bukhari

2143 & Muslim 3882).

Jual beli habalil habalah ada 2 makna:

1. Jual beli anak dari hewan yang masih dikandungan. Misal: onta A

hamil, mengandung onta B. Anak dari onta B ini dijual. Dengan

pengertian ini, jual beli yang terjadi adalah bai’ ma’dum (jual beli

barang yang belum ada).

2. Jual beli dengan batas pembayaran ditentukan melalui lahirnya anak

dari onta yang masih ada di kandungan. Berdasarkan pengertian ini,

jual beli yang terjadi adalah jual beli sampai batas yang tidak jelas.189.

Kata Ibnu Umar,

كان الرجل يبتاع الزور إل أن تنتج الناقة ث تنتج الت بطنها

Bahwa di zaman Jahiliyah, orang jual onta sampai onta bunting melahirkan

anaknya, kemudian anak ini melahirkan anaknya.

[4] Hadis dari Abu Said al-Khudri r.a ,

187 HR. Ahmad

188 HR Mutafaqun Alaih

189 Musthofa Dib Bugha, Ta’liqat Shahih Bukhari, ,vol 2, hal 753

Page 199: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

187

نى عن المنابذة ، وهى طرح الرجل ث وبه –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل لب يع إل الرجل ، ق بل أن ي قل به ، أو ي نظر إليه ، ونى عن المالمسة ، ب

والمالمسة لمس الث وب ل ي نظر إليه

Bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli munabadzah, yaitu seorang

menjual kain ke orang lain dengan cara dilempar. Jika kena berarti dibeli

tanpa melihat dulu kualitas kainnya. Beliau juga melarang jual beli

mulamasah. Bentuknya, seseorang membeli kain dengan cara disentuh

sambil memejamkan mata.190

[5] Dari Anas bin Malik r.a ,

ى قالوا وما نى عن ب -صلى هللا عليه وسلم-أن رسول الل يع الثمرة حت ت زهيك ل مال أخ الثمرة فبم تستح . ف قال إذا منع الل ى قال تمر ت زه

Bahwa Rasulullah saw melarang jual beli buah sampai dia mengalami

zuhuw. Para sahabat bertanya, “Apa ciri zuhuw?” jawab Nabi saw ,“Sampai

memerah. Karena ketika Allah taqdirman tidak jadi berbuah, lalu dari mana

dia bisa mengambi harta saudaranya?.” 191

Dari semua hadis di atas, jika kita simpulkan, semua jual beli yang

dilarang Nabi saw muaranya kembali kepada satu kata, yaitu adanya

ketidak jelasan. Modal dan uang yang diberikan oleh penjual dan pembeli,

digantikan dengan sesuatu yang tidak jelas. Bisa jadi untung besar, atau

bisa jadi sangat merugikan.

[1] Pada jual beli sperma hewan pejantan, terjadi ketidak jelasan,

apakah nanti sperma ini bisa membuahi ovum betina ataukah tidak.

Artinya, petani yang beli sperma pejantan, uang yang dia bayarkan

digantikan dengan peluang kehamilan.

[2] Pada jual beli habalul habalah, unsur ghararnya sangat jelas. Baik

yang terkait waktunya atau bendanya. Baik penjual maupun

190 HR. Bukhari

191 HR. Muslim

Page 200: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

188

pembeli tidak akan pernah tahu masa depan bayi hewan yang ada di

kandungan.

Sehingga uang yang dibayarkan pembeli digantikan dengan peluang

masa depan janin.

[3] Pada jual beli mulamasah dan munabadzah, unsur ketidak

jelasannya sangat nampak. Jika kainnya bagus, dia bisa dapat

untung. Jika jelek, dia rugi. Sangat mirip dengan judi.

[4] Pada jual beli ijon, uang yang dibayarkan dipertaruhkan. Karena

bisa jadi pohon ini berbuah banyak, sehingga dia untung besar. Atau

sebaliknya, gagal panen, sehingga dia rugi besar.

Karena itu, sebagian ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

memberikan definisi tentang gharar dengan pengertian,

و ه ر ر الغ ةب اق ول الع ه ج ال

“Gharar adalah Jual beli yang tidak jelas konsekuensinya” 192

Karena inti dari gharar adalah adanya jahalah (ketidak jelasan), baik

pada barang maupun harga barang, maka gharar sangat mirip dengan judi.

Sama-sama majhul alaqibah (tidak jelas konsekuensinya). Bedanya, judi

terjadi pada permainan. Sementara gharar terjadi dalam transaksi.

Meskipun bahaya judi lebih besar, karena ini pemicu permusuhan dan

saling membenci, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah.

Sehingga diharamkan tanpa kecuali. Berbeda dengan gharar, di sana masih

ada bentuk yang ditoleransi syariat. Karena semua transaksi kita, tidak ada

yang 100% terbebas dari ketidak-jelasan.

Bentuk Gharar

Bentuk tidak jelas pada barang

(1) Tidak tahu barang sama sekali

(2) Tahu barangnya, buta kriteria

(3) Jual beli barang yang belum dimiliki. Tidak jelas, apakah bisa

diserahkan atau tidak

192 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-

Nuraniyah al Fiqhiyah, hal. 116)

Page 201: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

189

(4) Penjual tidak bisa dipastikan bisa menyerahkan barang. Seperti

menjual barang hilang

Bentuk tidak jelas pada harga

(1) Tidak jelas harganya sama sekali. Misal: Kujual mobil ini, harganya

tentukan sendiri. Mereka pisah dan belum ditentukan harganya.

(2) Dikasih pilihan 2 harga, dan ketika pisah, belum ada pilihan. Baik tidak

jelas di depan atau tidak jelas di belakang.

(3) Tidak jelas masa pelunasannya.

Semua bentuk gharar di atas, menyebabkan ketidak jelasan untung

ruginya. Bisa salah satunya lebih diuntungkan, sementara satunya

dirugikan.

Syarat Gharar Terlarang

Hukum asal gharar dilarang. Hanya saja, ada beberapa bentuk gharar

yang diperbolehkan. Dan secara umum, batasan gharar yang terlarang

adalah sebagai berikut,

Pertama, berpengaruh kepada kelanjutan jual beli dan memungkinkan

dihindari. Ini terjadi jika ghararnya besar dan tidak bisa

ditoleransi. Jika ghararnya kecil, tidak terlalu diperhitungkan

dampaknya, tidak pengaruh. Seperti, detail isi mesin untuk jual

beli kendaraan bermotor, atau detail pondasi rumah.

Ibnul Qoyim menjelaskan,

ة ن صح عا م ان ن م ك ي نه ل از م ت ح ال ن ك ي و ل يا أ س ي ان ا ك ذ ر إ ر الغ و هن از م ت ح ن ال ك ي ي ذ ال ي ث ك ال ف ال ، ب د ق الع

“Gharar jika hanya sedikit atau tidak mungkin dihindari, tidak

mempengaruhi keabsahan jual beli. beda dengan gharar yang

besar dan memungkinkan untuk dihindari.” 193

Al-Qarrafi menyebutkan,

193 Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zadul Ma'ad, Pustaka Azzam, Jakarta: 2000, Cet.

II,, Vol 5. Hal 820

Page 202: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

190

ا، اع ج ع إ ن ت ي م ث ام : ك س ق ة أ ث ال ث – ع ي الب ف ي أ –ة ال ه ال ر و ر الغ ة، ب طن ال ق و ار الد اس س أ ا ، ك اع ج ز إ ائ يل ج ل ق ، و اء و ال ف ي الط ك ؟ان لث ب م أ ل و أل ب ق ح ل ي ل ، ه يه ف ف ل ت خ ط ا س و ت م و

Gharar dan jahalah – dalam jual beli – ada 3 macam:

[1] Gharar banyak, hukumnya terlarang dengan sepakat ulama.

Seperti: burung yang ada di udara.

[2] Gharar sedikit, hukumnya boleh dengan sepakat ulama.

Seperti: pondasi rumah dan jenis kapas kain jubah

[3] Gharar pertengahan, hukumna diperselisihkan ulama. Apakah

dimasukan yang pertama atau kedua.? 194

Batasan:

Al-Baji menjelaskan,

ه ف ب وص د ي ق ح الع ب ص أ ت ح د ق ى الع ل ب ع ل ا غ م و ه ي ث الك ر ر الغ

Gharar yang banyak adalah gharar yang mendominasi akad, sehingga akad

ini dikenali dengan ketidak jelasan itu. 195

Kedua, menjadi tujuan utama transaksi

Jika gharar bukan tujuan utama transaksi, namun hanya

mengikuti keberadaan transaksi, hukumnya dibolehkan.

Ada kaidah menyatakan,

م ك ال بع ف ت د و ج الو ف ابع الت

Sesuatu yang keberadaannya hanya sebagai pengikut (tabi’) maka

status hukumnya juga hanya sebagai pengikut.

Sebagai contoh:

194 Abidin, Zainal. 1959. Al-Furuq. Yogyakarta: Maktabah Al-Munawwir. Vol

3, hal 265

195 Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d Ayyub Al-Bajiy, 1999, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik vol 5,, Beirut Lebanon : Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, hal 41

Page 203: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

191

Tidak boleh menjual janin yang ada di kandungan induknya.

Karena ketidak jelasan janin merupakan tujuan utama transaksi.

Namun Boleh menjual hewan betina yang bunting, meskipun

dengan harga lebih mahal, karena bunting. Sehingga harga janin,

sudah jadi satu dengan harga induk. Jual beli ini dibolehkan,

karena ketidak jelasan janin, sifatnya hanya mengikuti.

Dalam kaidah Fikih dinyatakan oleh al-Kurkhi,

ا د ص ل ق ط ب ي ان ن ك إ كما و ح عا و ب ت يء الش ت ب ث د ي ق ه ن أ ل ص األ

Hukum asalnya, terkadang ada sesuatu dibolehkan karena

mengikuti, meskipun batal jika jadi tujuan utama. 196.

Ketiga, bukan kebutuhan umum

Gharar yang itu menjadi kebutuhan umum, dibolehkan.

Semua jual beli yang tidak bisa didetailkan luar dalamnya,

sementara jual beli itu menjadi kebutuhan umum, termasuk

dalam kategori ini.

Syaikhul Islam menjelaskan,

ه، ن يه م ل ة إ اج و ال دع ا ت يم ف ص خ ر ك ل ذ ل ، ف ب ن الر ل م ق أ ر ر الغ ة د س ف م و را ر ه غ ن و ك ر ر ن ض ررا م ض د ش أ ه ي ر ت ن إ ف

Mafsadah gharar lebih ringan dari pada riba. Karena itu

dibolehkan untuk gharar karena menjadi kebutuhan umum, yang

itu tidak ada dalam riba. Karena riba lebih berbahaya dari pada

keberadaan gharar. 197

Keempat, hanya pada akad muawadhah

Gharar pada akad tabarru’, tidak diperhitungkan sama sekali.

Akad muawwadhat: akad komersial

Akad tabarru’: akad sosial.

196 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hal. 340

197 Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, 2002, al-Qawaid an-Nuraniyah al Fiqhiyah, hal 140

Page 204: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

192

Gharar yang terlarang, hanya pada akad muawwadhat.

Sementara gharar pada akad sosial, tidak dihitung.

Sebagai contoh, si A menawarkan ke si B, “Besok datang ke

rumah ya, nanti tak kasih sesuatu yang menarik.”

Kalimat si A, ‘Nanti tak kasih sesuatu yang menarik’ ini tidak

jelas. Bisa jadi makanan spesial, atau ikan hias, atau dikasih jam

tangan, atau dikasih hadiah TV. Namun tidak ada pihak yang

dirugikan, sekalipun si B datang ke sana

Page 205: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

193

Kaidah Ketujuh belas

ام ه ن ح ع ر ر ع الض ف ر و ي رف ة الط ح ل صح م اة اع ر م ل صح األ

Pada prinsipnya, wajib memperhatikan hak kedua belah pihak dan

meniadakan setiap yang merugikan bagi keduanya.

Salah satu prinsip besar yang diajarkan dalam islam adalah prinsip

keadilan. Allah tegaskan dalam al-Quran, bahwa semua Rasul diutus

dengan membawa al-mizan (risalah keadalian).

Allah berfirman,

لقسط يزان لي قوم الناس ب لب ي نات وأن زلنا معهم الكتاب والم لقد أرسلنا رسلنا ب

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa

bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab

dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” 198.

Allah juga menegaskan bahwa Dia hanya memerintahkan manusia

untuk bertindak sesuai prinsip keadilan. Allah berfirman,

حسان لعدل وال إن الل يمر ب

“Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat

baik…”199

Keadilan yang dipelihara dalam islam, tidak hanya dalam masalah

hukum pidana, termasuk perdata, bahkan dalam semua kehidupan. Tak

terkecuali dalam masalah muamalah.

Menuntut Hak

Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain,

terkadang ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak,

tapi malas dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan

dengan tathfif, orangnya disebut muthaffif.

198 QS. Al-Hadid: 25

199 QS. An-Nahl: 90

Page 206: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

194

Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran,

melalui firman-Nya,

وإذا كالوهم أو وزنوهم يست وفون .ويل للمطف فني. الذين إذا اكتالوا على الناس رون يس

“Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli barang

yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar atau

menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”200.

Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat

mereka, selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah

ingatkan bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan

pembalasan setiap kezaliman.

Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat

muta’adi. Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas

untuk kasus jual beli. Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang

melibatkan hak dan kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat

dalam menuntut hak, namun melalaikan kewajibannya, maka dia terkena

ancaman tathfif di ayat ini. 201.

Keseimbangan Hak dalam Muamalah

Dalam Muamalah maliyah (terkait harta), tidak boleh ada posisi yang

dia selalu untung dan tidak ada resiko kerugian. Karena itulah, Rasulullah

saw memberikan batasan, bahwa setiap peluang keuntungan harus

diimbangi dengan resiko kerugian.

Terdapat beberapa hadis yang menyebutkan hal ini. Diantaranya,

Pertama, hadis dari Aisyah r.a,beliau mengatakan,

لضمان - عليه وسلمصلى هللا-أن رسول الل قضى أن الراج ب

200 QS. Al-Mutaffifin: 1 – 3

201 Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’adi, Tafsir as-Sa’adi, hal. 915

Page 207: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

195

Bahwa Rasulullah saw memutuskan, adanya keuntungan karena

menanggung resiko kerugian. 202

Kedua, hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a ,

يضمن عن ربح ما ل -صلى هللا عليه وسلم-نى رسول الل

Rasulullah Saw melarang keuntungan yang tidak ada tanggungan

resiko kerugian. 203

Dalam prakteknya,

[1] Tidak boleh ada jual beli, sementara salah satu di posisi selalu aman

dari kerugian. Seperti menjual barang yang belum diserah terimakan.

Sehingga posisi penjual sama sekali tidak menanggunng resiko

terhadap barang.

[2] Tidak boleh ada investasi, sementara pemodal di posisi aman. Hanya

bisa untung atau minimal modal kembali. Sementara mudharib

(pelaku usaha) berkewajiban menanggung ganti rugi jika usahanya

mengalami kerugian.

[3] Demikian pula dalam transaksi kafalah utang. Seorang penjamin tidak

boleh meminta bayaran. Karena dia di posisi selalu untung. Jika orang

yang ditanggung ini sesuai janjinya, maka dia untung. Dan jika tidak

sesuai janjinya, maka dia punya jaminan upah yang dibayarkan untuk

melunasi utangnya.

Lain halnya dengan transaksi sosial, yang memang tujuan awalnya

untuk beramal dan bukan mencari keuntungan. Sehingga islam

mengajarkan, orang yang hendak membantu, memang harus siap

berkorban. Sekalipun ada resiko yang harus dia terima. Seperti memberi

utang, meminjamkan barang, membantu orang lain, yang itu semua

digantikan dengan janji pahala.

Perlindungan Terhadap Konsumen

Islam menjaga hak kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Karena

itu, dalam transaksi mereka dipastikan tidak ada paksaan dan semua murni

dilakukan atas kesadaran. Islam mengatur ini dengan adanya hak khiyar.

202 HR. Ahmad

203 HR. Ahmad

Page 208: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

196

Hak untuk memilih, antara melanjutkan transaksi ataukah membatalkan-

nya.

Ada banyak macam khiyar, dan secara umum bisa kita kelompokkan

menjadi 4:

Pertama, Khiyar Majlis

Khiyar ini wajib ada dalam setiap jual beli. Bahkan Nabi SAW

melarang orang yang akad secara sengaja menghindari khiyar

majlis.

Dari Abdullah bin Amr r.a , Nabi SAW bersabda,

يار ول يل له أن ليار ما ل ي فتقا إل أن تكون صفقة خ المت بايعان ببه خشية أن يستقيله ي فارق صاح

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar, selama tidak berpisah,

kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang hak khiyar

hingga setelah berpisah. Tidak halal baginya untuk meninggalkan

sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” 204

Masa khiyar majlis

1. Batasan yang diberikan Nabi SAW adalah sampai mereka berpisah.

2. Bentuk perpisahan berbeda-beda tergantung fasilitas transaksinya

3. Jual beli online masa khiyar majlisnya berbeda dengan jual beli

offline

Kedua, Khiyar Syarat

Kedua pelaku akad atau salah satunya mengajukan syarat khiyar

selama batas tertentu.

Hakekat khiyar syarat adalah perpanjangan khiyar majlis,

berdasarkan kesepakatan.

Dalil

Hadis dari Amr bin Auf , bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa

sallam bersabda,

204 HR. Abu Daud

Page 209: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

197

م المسلمون على أو شرط أحل حرام ا إل شرط حرم حالل شروطه

”Kaum muslimin harus mengikuti syarat (kesepakatan) diantara

mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram”205

Aturan berlaku selama masa khiyar

1. Selama rentang masa khiyar, pembeli boleh memanfaatkan barang

2. Jika terjadi resiko barang, pembeli yang menanggung resiko

3. Ketika masa khiyar berakhir maka akad menjadi lazim (mengikat)

Ketiga, Khiyar Aib

Batasan Aib yang membolehkan adanya khiyar : aib yang

mengurangi nilai barang. 206

Harus Disebutkan Aibnya

Jika barang memiliki aib yang mengurangi harganya, wajib dia

jelaskan. Jika tidak, maka terhitung menipu.

Dari Abu Hurairah r.a,

Bahwa Nabi saw pernah melewati setumpuk gandum, lalu beliau

memasukkan tangannya, ternyata ada yang basah. Kemudian

beliau bersabda,

جعلته ف وق الطعام كي ي راه الناس، من غش ف ليس من أفال

Mengapa tidak kamu taruh di atas, biar dilihat orang. Siapa yang

menipu maka dia bukan golonganku. 207

Dalam hadis lain, dari Uqban bin Amir, Nabi saw bersabda,

ع ا فيه عيب إل المسلم أخو يه ب ي ن أخ ، ول يل لمسلم بع م المسلم ب ي نه له

205 HR Abu Daud

206 Lihat As-Syubaili Muqadimah Muamalat Maliyah

207 HR Muslim

Page 210: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

198

Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi

muslim yang menjual barang kepada saudaranya sementara di

sana ada aibnya, kecuali dia harus menjelaskannya.208

Hak Pembali

Jika pembeli menemukan aib dalam barang, dia punya 2 pilihan

hak:

[1] Mengembalikan barang itu dan meminta uangnya

[2] Tidak mengembalikan barang, namun dia berhak meminta

al-Arsy [األرش]

Al-Arsy adalah selisih harga antara barang yang cacat

dengan barang yang tidak cacat.

Syarat Lepas Tangan

Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas

tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual

bisa bebas dengan syarat ini? Bolehkah pembeli mengajukan hak khiyar?

Ada dua keadaan dalam hal ini

[1] Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat jelas,

maka penjual bebas dari cacat ini

[2] Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan dari semua

aib, hukum yang berlaku ada 2:

[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan.

Karena pembeli telah menerima

[b] Cacat yang diketahui penjual, tidak gugur darinya, karena ini

penipuan

Keempat, Khiyar Ghuben

Ghuben [الغب] secara bahasa artinya kurang. Sementara dalam jual

beli, ghuben [الغب] artinya tindakan menipu, yang mengurangi nilai

barang, baik dilakukan penjual atau pembeli. (keteragan Ibnu

Nujaim – dinukil dari al-Mausuah al-Fikihiyah)

208 HR Ibnu Majah

Page 211: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

199

Khiyar ini melindungi hak penjual atau pembeli karena tidak tahu

keadaan barang atau proses transaksi.

Dari Anas bin Malik r.a ,Nabi saw bersabda,

ه ل يل مال امرئ مسلم إل بطيب ن فس

Tidak halal memakan harta orang lain, kecuali dengan kerelaan

pemiliknya.209

Ibnu Qudamah210 menyebutkan, ada 3 bentuk transaksi yang

diberi hak khiyar karena ghuben,

[1] Talaqqi ar-Rukban

Menjemput petani sebelum dagangan masuk ke pasar, sementara

dia buta harga pasar.

[2] Bai’ Najasy

Berpura-pura menawar atau memuji barang agar harga naik, atau

sebaliknya. Dengan maksud menipu penjual atau pembeli

[3] Bai’ Mustarsil

Mustarsil artinya dilepas. Dalam jual beli, bai’ mustarsil berarti

menjual barang tanpa tahu harga, dan dilepas sesuai harga yang

berlaku di masyarakat. Atau membeli tanpa tahu harga, dan

pasrah pada penjual.Jika ada selisih harga yang tidak wajar, pihak

yang dirugikan memiliki hak khiyar atau mendapatkan ganti atas

kerugian.

209 HR Ad-Daruquthni

210 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni,vol 4, hal 92

Page 212: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

200

Kaidah Kedelapan belas

ةب ت عح م د وح ق الع ف ود ص الق

Niat dalam akad itu ternilai

Amal perbuatan manusia terdiri dari amalan dzahir (yang nampak)

dan amalan bathin (yang tidak nampak). Amalan dzahir berupa gerakan

dan ucapan. Sementara amal bathin adalah niat dan motivasi pelakunya.

Dan keduanya diperhatikan dalam syariah.

Dalam hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,

إن الل ل ي نظر إل صوركم وأموالكم ولكن ي نظر إل ق لوبكم وأعمالكم

Sesungguhnya Allah tidak memperhatikan rupa kalian atau harta kalian.

Namun Allah memperhatikan hati dan amal kalian211

Karena itulah, ada amal yang tidak dinilai dalam islam, disebabkan

tidak ada faktor pendorong batin. Artinya, sama sekali tidak diniatkan oleh

pelakunya untuk melakukan amal itu.

Seperti sumpah laghwu, kalimat sumpah yang diucapkan sebatas

pemanis bahasa. Yang ini menjadi tradisi masyarakat arab. Mereka suka

mengucapkan, ‘Demi Allah…’ dalam percakapan mereka. Misalnya: “Demi

Allah, saya mau makan.” “Demi Allah, saya gak tahu.”… dst. dan sumpah

semacam ini tidak dihitung sumpah.

Allah berfirman,

ا كسبت ق لوبكم ذكم ب للغو ف أيانكم ولكن ي ؤاخ ب ذكم الل ل ي ؤاخ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud

(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)

yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.212.

211 HR HR. Muslim

212 QS. Al-Baqarah: 225

Page 213: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

201

Ayat ini berbicara tentang kalimat sumpah yang tidak dimaksudkan

untuk bersumpah. Ibnul Qoyim menjelaskan,bahwa Orang yang merenungi

dalil-dalil syariah, dia akan menyimpulkan bahwa syariat tidak menilai

lafadz yang tidak diniatkan oleh orang yang mengucapkannya. Namun dia

disikapi seperti ucapan tanpa keinginan orang yang mengucapkannya.

Seperti ucapan orang tidur, orang lupa, orang mabuk, orang bodoh, orang

dipaksa, atau orang yang salah ngomong karena saking gembiranya atau

saking marahnya atau karena sakit atau karena sebab lainnya. 213

Selanjutnya Ibnul Qoyim menyebutkan hadis dari Anas bin Malik r.a ,

Nabi saw membuat permisalan, ada orang yang kehilangan ontanya di

tengah padang pasir. Sementara bekal makanan, minuman dan pakaiannya

ada di onta itu. Hingga dia putus asa dan tidur di bawah sebatang pohon.

Tiba-tiba onta itu datang, berdiri di sampingnya lengkap dengan semua

perbekalannya. Langsung dia pegang tali kekangnya, dan mengatakan,

اللهم أنت عبدى وأان ربك

“Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhanmu.”

Dia salah ngomong, karena saking gembiranya.214

Islam tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan, “Ya Allah, kamu

hamba-Ku dan aku Rab-Mu.” karena saking gembiranya, setelah dia

menemukan kembali ontanya yang hilang.

Niat dalam Muamalah

Sebagaimana niat menentukan keabsahan dari ucapan seseorang,

dalam muamalah, niat memiliki pengaruh terhadap status akad. Di sana

ada beberapa pendapat ulama,

Pertama, madzhab hanafi

Dalam akad perlu mempertimbangkan dzahir (yang nampak) dari

maksud dan keinginan pelaku. Tanpa harus mencari tahu latar

belakang perbuatan pelaku.

213 Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, 2000, I’lam al-Muwaqqi’in, vol 3, Maktabah

Dar al-Bayan, Damaskus, hal 95

214 HR. Muslim

Page 214: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

202

Seorang penjual perasan anggur tidak harus yakin bahwa anggur

yang dia jual tidak akan digunakan pembeli untuk membuat

khamr. Karena hukum asal jual beli angur adalah halal secara

dzatnya. Dan bukan kewajiban penjual untuk mencari tahu

makud pembeli. 215

Kedua, madzhab malikiyah

Dalam akad, harus mengetahui tujuan pelaku.

Dalam prakteknya, jika kreditor tahu bahwa hadiah yang

diberikan debitor adalah karena utangnya, maka hadiah ini tidak

boleh diterima. Karena ini termasuk celah riba.

Termasuk juga, jika diketahui tujuan orang yang menikah adalah

untuk tahlil, maka nikahnya batal. 216

Ketiga, madzhab syafi’i

Semua aktivitas akad hanya didasarkan pada apa yang

dzahir. Imam as-Syafii mengatakan,

ة م ه ت ه ب ل ط ب أ ل ر اه الظ ا ف يح ح ص ان د ك ق ع ل ك ن أ ه ي ل إ ب ه ذ ا أ م ل ص أ ني ب ة اد ع ب ل و

ت ان ا ك ذ إ ة ي ا الن م ه ل كر أ ر و اه الظ ة ح ص ب ه ت ز ج أ و ني ع اي ب ت ال

ع ي الب د س ف ت ت ان ت ك ر ه ظ و أ ة ل ي الن

Prinsip yang menjadi pendapat saya bahwa semua akad terhitung

sah berdasarkan dzahirnya. Saya tidak menganggap batal, hanya

berdasarkan sangkaan atau kebiasaan orang yang melakukan

akad. Saya menilai sah jika dzahirnya sah. Dan saya tidak suka

menilai batal hanya berdasarkan niat, andai niat itu ditampakkan,

bisa membatalkan jual beli. 217.

Karena itulah, imam as-Syafii membolehkan jual beli ‘inah.

Dan beliau menganggap ah secara dzahir, tanpa ada penilaian

215 Hasyiyah Ibnu Abidin,1966, Radd Al-Mukhtar vol 4, Musthafa al-Babi al-

Halabi, Mesir: 1966. hal 592

216 Imam Malik bin Anas,1323, Al-Mudawwanah Al-Kubro, As-Saadah, Birut: ,vol 3, hal 171

217 Muhammad bin Idris As-Syafi'i, al-Umm vol 3, Dar al-Fikr, Beirut. hal 74

Page 215: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

203

untuk maksud transaksi riba. Beliau pasrahkan niat pelakunya

kepada Allah.

Keempat, madzhab hambali

Dalam setiap akad harus melihat latar belakang pelaku.

Ibnul Qoyim menjelaskan,

ن ا ا ه م د ه ز و ي ل ت ال ة ع ي ر الش ة د اع ق و ة ف ب ت ع ات م اد ق ت ع ال د و اص ق ال

صد الق ف … ات ار ب الع و ت ب ر ق الت ه ف ب ت ع م ي ا ه م ات ك ار ب الع ات و ف ر ص الت و دا أ اس و ف حا أ ي ح ص اما و ر و ح ل أ ال ح يء الش ل ع اد ب ق ت ع ال و ة ي الن و ةي ص ع و م ة أ اع ط

Kaidah dalam syariah yang tidak boleh ditiadakan, bahwa tujuan

dan keyakinan itu ternilai dalam aktivitas muamalah dan

transaksi… maksud, niat, dan keyakinan menentukan status halal

dan haram, sah dan tidak sah, dinilai taat atau maksiat. 218

Pendapat hambali lebih mendekati. Karena terdapat beberapa dalil

yang menunjukkan pengaruh niat dalam menentukan keabsahan

muamalah. Diantaranya,

Pertama, hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,

من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الل عنه ، ومن أخذ يريد إتالف ها أت لفه الل

Siapa yang membawa harta orang lain untuk dia kembalikan,

maka Allah akan membantunya untuk mengembalikannya. Dan

siapa yang membawa harta orang lain untuk dia habiskan, maka

Allah akan menghilangkannya219

Dalam riwayat lain, Dari Shuhaib al-Khoir, Nabi saw,

ا رجل تدين دي ن ا، وهو م ه، لقي الل سارق اأي ع أن ل ي وف يه إي م

218 Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, 2000, I’lamul Muwaqqi’in, vol 3, hal 96

219 HR. Bukhari

Page 216: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

204

“Siapapun yang berutang, dan dia berniat untuk tidak mengemba-

likannya, maka ketika mati, dia akan ketemu Allah sebagai

pencuri.” 220

Sama-sama berutang, namun Nabi saw memberikan hukum

yang berbeda karena niatnya berbeda.

Kedua, hadis tentang mahar nikah

Dari Suhaib bin Sinan r.a , Nabi saw bersabda,

ا رجل أ ها، ف غرها أي صدق امرأة صداق ا وهللا ي علم أنه ل يريد أداءه إلي ، لقي هللا ي وم ي لقاه وهو زان لباطل هلل، واستحل ف رجها ب ب

Lelaki yang memberi mahar istrinya, sementara Allah tahu, dia

tidak ingin memberikan mahar itu, lalu dia tipu istrinya atas nama

Allah, dan melakukan hubungan dengan ucapan yang batil, maka

dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan sebagai

pezina. 221

Kata as-Sindi mengenai penjelasan hadis ini,

ده ي ض س ر ا ق ذ ن ه أ و ه ل، و اط ب ال م ال ك ل ي: ب ، أ ”ل اط ب ل ب “

“dengan ucapan batil” maknanya dia ambil mahar itu sebagai

utang, yang akan dikembalikan. 222.

Sekalipun suami telah memberikan mahar kepada istrinya, namun

ketika niatnya tidak ingin memberikannya, Nabi saw menghukuminya

sebagai pezina.

Hukum di Dunia & Akhirat

Pembahasan mengenai niat, perlu kita pisahkan antara hukum dunia

dan hukum di akhirat. Hukum di dunia, terkait hubungan pelaku (pemilik

220 HR. Ibn Majah

221 HR. Ahmad

222 Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal, vol 31,. Kairo: Mu'assasah Qurtubah, hal 262

Page 217: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

205

niat) dengan orang lain.Hukum di akhirat, terkait hubungan pelaku

(pemilik niat) dengan Allah Ta’ala.

Karena itu, selama niat tidak pernah ditampakkan pelaku, dan tidak

ada indikator yang menampakkan niat pelaku, maka hukum di dunia

mengikuti dzahirnya (apa yang nampak).

Muhammad Abu Zahra, dalam kitabnya al-Milkiyah wa Nadzariyatul

‘Aqd menyimpulkan tentang pengaruh niat dalam akad sebagai berikut,

1. Orang yang melakukan akad secara tegas menyatakan keinginannya

melakukan akad sesuai yang dia ucapkan, maka konsekuensi akad ini

mengikatnya tanpa ada khilaf diantara ulama.

Misalnya, Orang menyatakan beli dan memang dia ingin beli, bukan

pinjam. Maka konsekuensi akad jual beli mengikat baginya.

2. Orang yang melakukan akad, memiliki maksud dan tujuan yang

berbeda dengan kalimat akad yang dia utarakan. Namun niat itu

hanya ada di batinnya, tidak dia tampakkan dan sama sekali tidak

ada indikator bahwa dia memiliki niat yang berbeda, maka masalah

niatnya, urusan dia dengan Allah, sementara hukum di dunia,

mengikuti apa yang dia tampakkan.

3. Orang yang melakukan akad, memiliki niat yang berbeda dengan apa

yang dia ucapkan, dan pihak kedua mengetahui adanya indikator

yang menunjukkan niat pihak pertama, dalam kondisi ini dia disikapi

sesuai yang dia niatkan di hadapan Allah (hukum akhirat) dan di

depan qadhi (hukum dunia). 223.

Demikian pula yang dinyatakan Dr. Muhammad Shidqi Burnu dalam

kitabnya al-Wajiz fi Qawadi Fikihiyah Kubro, tentang hubungan niat

dengan akad,

ي ع ر ش م ك ا ح ه ي ل ع ب ت ت ي ا ل ه د ح و ة ي الن ، و ر اه و لظ ب ق ل ع ت ت ة ي رع الش ام ك ح األ و ل ل و ة ي ى الن ل ع ب ت ت ي د ق ف ال ع ت و ه ان ح ب هللا س د ن ة ع ر الخ ام ك ح ا أ م أ . ي و ي ن د راه عل ظ ا ف ه ب اح ص ي

223 Muhammad Abu Zahra, Al-Milkiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Sya-Syariah

Al-Islamiyah, Dar Al-. Fikr Al-Arabiy.., hal. 221

Page 218: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

206

Hukum Syar’i itu terkait dengan dzahirnya. Karena itu, semata niat tidak

bisa dijadikan acuan hukum syariat I dunia. Sementara untuk hukum akhirat

kelak di hadapan Allah, niat yang dimiliki seseorang sangat berpengaruh

terhadap keabsahan. Meskipun tidak dilakukan dalam perbuatan. 224.

Contoh Penerapan kaidah

[1] Masalah zakat barang yang ingin dijual

Ada banyak barang yang dimiliki oleh seseorang, selain emas dan

perak. Salah satu diantara aturan zakat adalah adanya zakat barang

dagangan. Dan barang dagangan wajib dizakati, sejak dia diniatkan

untuk dijual. Jika barang tidak ada keinginn untuk dijual, tidak wajib

dizakati.

Misalnya, orang beli rumah untuk dihuni, maka rumah ini tidak wajib

dizakati. Berbeda dengan orang yang beli rumah dengan rencana, akan

dijual lagi jika laku lebih tinggi. Maka jika memenuhi haul, rumah ini

wajib dizakati

[2] Jual beli benda yang berpotensi untuk digunakan maksiat

Seperti pisau untuk membunuh, racun tikus untuk meracuni orang,

lem aibon untuk bikin teller, dst. Jika penjual tidak tahu, barang yang

dia jual akan digunakan pembeli untuk maksiat maka jual belinya

halal. Jika penjual tahu, barang yang dia jual akan digunakan pembeli

untuk maksiat maka jual belinya tidak sah.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ة ن ت الف ف ح ال ع الس ي ب ل ر ا، و خ ه ذ خ ت ي ن م ي ص الع ع ي ب ح ص ي ل و

Tidak sah jual beli anggur kepada orang yang mau menjadikannya

menjadi khamr, dan tidak boleh menjual senjata di masa fitnah

(perang). 225.

Ketika penjual tahu keinginan pembeli, maka dia dianggap membantu

pembeli untuk melakukan pelanggaran. Sehingga niat pembeli

menentukan keabsahan jual beli.

224 Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyah

al-Kubro, hal. 131

225 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Muqni’, vol 2, hal 20

Page 219: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

207

[3] Orang yang meletakkan barang di tempat orang lain ada bbeberapa

kemungkinan.

Bisa karena dia ingin memberi sedekah atau hadiah. Atau ditaruh

sebatas dititipkan, karena dia buru-buru sehingga tidak sempat

meninggalkan pesan. Yang menentukan adalah niat dari orang yang

meletakkannya.

[4] Menemukan barang hilang (luqathah)

Orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk dimiliki

pribadi maka statusnya ghasab (menguasai harta orang lain tanpa

izin). Sehingga ketika barang hilang atau rusak, dia wajib ganti rugi.

Sementara orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk

diumumkan dan dikembalikan ke pemilik maka statusnya orang yang

amanah. Sehingga jika barang hilang atau rusak, dia tidak wajib ganti

rugi.

Dalam Pelanggaran yang Disengaja, Niat Tidak Diperhitungkan

Orang yang korupsi, mencuri, untuk disedekahkan, niat baiknya tidak

diperhitungkan.Dari Ibnu Umar r.a , Nabi saw bersabda,

ن غلول ل ت قبل صالة بغي طهور ول صدقة م

Shalat tanpa bersuci tidak akan terima, demikian pula sedekah dari hasil

korupsi226

Menyembunyikan harta orang lain untuk main-main. Dari as-Saib bin

Yazid dari ayahnya, Nabi saw bersabda,

يه لعب ا ول جاداا ل يخذن أحدكم متاع أخ

Jangan sekali-kali kalian mengambil harta saudaranya (sesama muslim)

baik serius maupun main-main227

226 HR. Muslim

227 HR. Ahmad

Page 220: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

208

Kaidah Kesembilan belas

ه ام ق م م وح ق ي نح و م ك أ ال م نح م ل إ ع يح الب ح ص ي ل ل صح األ

Hukum Asal, Tidak sah jual beli kecuali oleh pemilik atau wakil dari pemilik.

Kaidah ini berlaku baik bagi penjual atau pembali. Syarat penjual

berarti dia harus memiliki barang atau wakilnya. Dan syarat pembeli, dia

harus pemilik uang atau wakilnya.

Kaidah ini hubungannya dengan menjaga hak orang lain. Karena

harta milik orang lain, tidak boleh diganggu, apalagi ditransaksikan tanpa

seizin pemiliknya.

Dari bu Bakrah r.a , Nabi saw bersabda,

كم هذا، ىف شهركم هذا، ىف ب لدكم إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام ، كحرمة ي وم هذا

Sesungguhnya darah sesama kalian, harta sesama kalian adalah haram

untuk kalian langgar. Sebagaimana kemulilaan hari kalian ini (idul adha), di

bulan kalian ini (Dzulhijjah), dan tanah kalian ini (tanah haram Mekah).228

Wakil Pemilik

Ada 4 istilah wakil bagi pemilik dalam transaksi,

[1] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari orang yang hidup dan

sudah dewasa. Diistilahkan dengan wakil

[2] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari anak kecil. Baik anak yatim

atau bukan. Diistilahkan dengan wali.

[3] Orang yang dipasrahi mengelola harta dari orang yang telah

meninggal, seperti membagi warisan, atau melunasi utang, dst. yang

diistilahkan dengan washi (orang yang diberi wasiat)

228 HR. Bukhari

Page 221: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

209

[4] Orang yang diamanahi untuk mengurus wakaf, baik dari pemerintah

atau dari pemiliknya. Disebut nadzir wakaf (pengelola wakaf).

Dasar hukum

Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih

muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam. Beliau pernah bercerita,

Aku pernah bertanya kepada Nabi saw. Aku sampaikan, ‘Ada orang

yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku

miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang

itu kepadanya?’

Jawab Nabi saw,

ل تبع ما ليس عندك

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”229

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

أن أبيع ما ليس عندى -صلى هللا عليه وسلم-نان رسول الل

“Rasulullah saw, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki.” 230

Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,

ه د ن ع س ي ا ل م ل ج الر ع ي ب ي ن وا أ ه ر م ك ل الع ل ه ر أ ث ك أ د ن ع يث د ا ال ذ ى ه ل ل ع م الع و

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang

menjual apa yang tidak dia miliki. 231

Contoh Transaksi

Terdapat beberapa transaksi jual beli, yang barangnya tidak dimiliki

pejual ketika akad. Namun transaksi ini dibolehkan syariat.

Petama, Bai’ Salam

229 HR. Ahmad

230 HR. Turmudzi

231 HR. Turmudzi

Page 222: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

210

Dalam jual beli salam, pembeli membayar tunai di muka, sementara

barang diserahkan penjual secara tertunda. Sehingga, ketika transaksi

salam terjadi, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual.

Dan jual beli salam dibolehkan dengan sepakat ulama. Berdasarkan

hadis dari Ibnu Abbas r.a ma, Nabi saw bersabda,

إل أجل معلوم من أسلف ىف تر ف ليسلف ىف كيل معلوم ووزن معلوم

Siapa yang melakukan transaksi salaf untuk kurma, maka hendaknya

dia tentukan takarannya, timbangannya, dan waktunya232.

Ibnul Mundzir menukil adanya ijma’ tentang hukum transaksi

salam,

ز ائ ج م ل الس ن ى أ ل ع م ل الع ل ه أ ن م ه ن ع ظ ف ن ن م ل ك ع ج أ

Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa jual beli salam itu

dibolehkan.233

Yang menjadi pertanyaan, bukankah orang yang melakukan

transaksi salam, tidak memiliki barang? Lalu mengapa transaksi ini

dibolehkan?

Ada dua pendapat ulama dalam memahami kasus jual beli salam,

Pertama, bahwa salam itu pengecualian. Ulama menyebutnya khilaf al-

Qiyas(tidak sejalan dengan qiyas). Karena keluar dari kaidah

umum dan aturan syariat terkait jual beli. Seharusnya, menjual

barang yang tidak dimiliki hukumnya terlarang. Baik tunai, ada

uang ada barang atau salah satu tertunda.

Namun transaksi salam diperbolehkan, karena ada dalil yang

membolehkannya dan mengingat kebutuhan masyarakat untuk

melakukan transaksi ini. Bahkan sebagian beranggapan bahwa

transaksi salam adalah jual beli gharar yang dibolehkan karena

hajat.

232 HR Mutafaqun Alaih

233 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol 4, hal 185

Page 223: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

211

Kedua, bahwa bai’ salam tidak bisa disebut khilaf qiyas. Karena dalam

syariat, tidak ada istilah khilaful qiyas. Jika ada aturan syariat

yang dianggap khilaf qiyas, ada 2 kemungkinan:

[1] Proses qiyasnya yang keliru, sehingga analogi yang dilakukan

tidak sejalan

[2] Atau hukum pada kasus itu tidak didukung dalil yang shahih.

Dalam Majmu’ al-Fatawa, Syaikhul Islam menjelaskan pendekatan

untuk transaksi salam.

Beliau mengatakan,” Pernyataan bahwa salam itu keringanan (rukhsah)

dari syariat adalah perkataan sebagaian ulama dan tidak ada alam hadis.

Mereka mengatakan, bahwa salam adalah seseorang menjual barang yang

tidak dia miliki, sehingga berseberangan dengan qiyas. Sementara Nabi saw

melarang menjual barang yang tidak dimiliki, sebagaimana dalam hadis

Hakim bin Hizam.

Sementara hakekat jual beli salam ada 2 kemungkinan,

[1] Menjual barang yang sudah tertentu (mu’ayyan), sehingga dia menjual

barang orang lain sebelum dia beli. Ini bukan jual beli salam, dan ini

yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.

[2] Atau menjual barang yang bisa diserahkan, meskipun sudah dijamin.

Dan inilah pengertian yang tepat untuk jual beli salam. Orang yang

melakukan transaksi salam dia telah menjamin untuk mendatangkan

barang.

Lebih lanjut Syaikhul Islam mengatakan,

Jika itu dilakukan dalam tempo tertentu, maka

م ل ا الس م أ ني ب ق ر ف ي أ ل ف ج ؤ م ن م ث اع ب ي ت ب ال ك و ه و ون ي الد ن م ين د ه ن إ ف ل ج ؤ ال

؟ة م الذ ف ال ج ؤ ر م الخ ض و الع ن و ك و ة م الذ ال ف ج ؤ م ني ض و الع د ح أ ن و ك

Untuk salam dengan rentang waktu tunda, statusnya adalah utang. Seperti

menjual barang, namun pembayarannya tertunda. Lalu apa bedanya antara

barang yang tertunda atau pembayaran yang tertunda, sementara keduanya

dijamin?

Kemudian beliau membawakan firman Allah,

Page 224: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

212

إذا تداينتم بدين إل أجل مسماى فاكت بوه

Apabila kalian berutang sampai batas waktu tertentu maka catatlah…234

Ibnu Abbas pernah mengatakan,

ف ل الس ن أ د ه ش أ الية ه ذ ه أ ر ق هللا و اب ت ك ل ف ال ح ة م الذ ف ن و م ض ال

Saya bersaksi bahwa jual beli salam yang dijamin, hukumnya halal

berdasarkan al-Quran. Lalu beliau membaca ayat di atas.

Karena itu, transaksi salam yang hukumnya mubah, sejalan dengan

qiyas dan tidak bertentangan dengan qiyas. 235

Kedua, Bai’ Fudhuli

Kata fudhuli turunan dari kata fadhl, yang artinya kelebihan.

Sementara secara istilah, para ulama menyebutkan,

ةي ل و و ي، أ ع ر ن ش إذ ي غ ب ي الغ ق ح ف ف ر ص ت

Mentransaksikan hak orang lain, tanpa izin secara syar’i atau karena

statusnya sebagai wali (pengurus) orang lain. 236

Kaitannya dengan makna bahasa, orang yang melakukan jual beli

fudhuli, dia melakukan perbuatan yang itu bukan urusannya.

Mengenai hukum Bai’ Fudhuli, ada dua keadaan:

[1] Jika pemilik barang tidak merelakan barangnya dijual orang lain, atau

uangnya digunakan orang lain maka transaksinya batal dengan

sepakat ulama.

[2] Pemilik barang atau uang mengizinkan. Untuk kasus keduanya, apakah

transaksinya sah?

Ada dua pendapat ulama,

234 QS. al-Baqarah: 282

235Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu’ Fatawa, Vol 20, hal 529

236 Ibn Nujaim al-Masharî Al-Hanafî, 1252, al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq Fî Furû' al-Hanafiyyah, vol 6, Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, Beirut,. , hal 160

Page 225: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

213

Pertama, jual beli fudhuli statusnya sah, selama pemilik barang atau uang

merelakannya.Ini pendapat Abu hanifah, Dalam kitab al-Inayah Syarh al-

Hidayah dinyatakan,

، ف ه ن ذ إ ي غ ب ه ي غ ك ل م ع ب ن م خ، س ف اء ن ش إ و ع ي الب از ج أ اء ش ن إ ار ي ل ب لك ا ال

ةاي و ر ف د ح أ لك و ا م ب ه ذ م و ه و

Orang yang menjual barang milik orang lain tanpa seizinnya, maka pemilik

memiliki hak pilih. Jika dia mau, dia bisa merelakannya. Dan jika dia mau,

dia bisa membatalkan transaksi. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam

Ahmad dalam salah satu riwayat. 237.

Kedua, bai’ fudhuli statusnya batal, sekalipun pemiliknya merelakan. Ini

adalah pendapat Imam as-Syafii dalam pendapat baru dan Imam Ahmad

dalam salah satu riwayat. Lanjutan keterangan dalam al-Inayah Syarh al-

Hidayah,

ا ب ن أل ة ي ع ر ش ة ي ل و ن ع ر صد ي ل ه ن أل د ق ع ن ي هللا : ل ه ح ي ر ع اف الش ال ق و و ك أ ل ل

ة ي ع ر الش ة ر د لق ب ل إ اد ق ع ن ا ل ا، و د ق د ف ق ك و الال ن بذ

Sementara Imam as-Syafii rahimahullah mengatakan, Jual belinya tidak sah,

karena dia tidak memiliki izin secara syar’I ketika melakukan akad. Karena

izin syar’I untuk akad adalah dengan memiliki barang atau dengan izi

pemiliknya. Sementara keduanya tidak ada. Dan transaksi tidak sah kecuali

dengan al-Qudrah as-Syar’iyah (keadaan yang diizinlan syariah). 238.

Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat pertama. Dan ini

yang dinilai kuat oleh Syaikhu Islam. 239

Diantara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadis tentang

Urwah al-Bariqi. Sahabat yang dipeseni Nabi saw untuk membeli seekor

kambing seharga 1 dinar. Namun oleh Urwah, uang ini digunakan untuk

membeli 2 ekor kambing. Ketika di perjalanan pulang, ada orang yang

237 Muhammad bin Muhammad Al babaruti, 'ināyah syarh al-hidāyah

Maktabah. Syamilah, vol 9, Hal 361

238 Muhammad bin Muhammad Al babaruti, al-Inayah Syarh al-Hidayah,vol 9, hal 361

239Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, 1383, Majmu al-Fatawa, vol 20, hal 578

Page 226: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

214

menawar salah satu kambingnya. Kemudian oleh urwah dijual seharga 1

dinar. Pulanglah Urwah menuju Rasulullah saw dengan membawa seekor

kambing dan uang 1 dinar. Oleh Nabi saw Urwah didoakan keberkahan.

Hingga seorang sahabat mengatakan, andai Urwah menjual pasir, pasti dia

akan untung. 240

Dalam hadis ini, Urwah membelanjakan harta Nabi saw diluar tugas

yang diamanahkan kepadanya. Ketika Nabi saw merelakannya, transaksi

Urwah tidak dibatalkan

240 HR. Bukhari

Page 227: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

215

Kaidah Kedua puluh

ةام س ى امل ل ا ع اه ن ب ح ات م ع ب الت وق ق ح ؛ و ة اح ش ى امل ل ا ع اه ن ب ح م ات ض او ع امل د وح ق ع

Akad muawwadhat dibangun di atas prinsip al-masyahah. Sementara akad

tabarru’ dibangun di atas prinsip toleran. (Al-Masyahah dari kata as-Syuh

(.yang artinya pelit [الشح]

Dalam fikih muamalah maliyah (muamalah terkait harta), di sana ada

4 pembagian akad, dilihat dari objeknya,

[1] Akad Muawwadhat

Itulah transaksi yang tujuan utamanya mendapatkan iwadh

(keuntungan berupa uang atau barang atau jasa), yang dilakukan

secara dua arah. Seperti: jual beli, sewa-menyewa, dst.

[2] Akad Tabarru’ (sosial)

Itulah akad yang tujuan utamanya untuk sosial, menolong, berbuat

baik kepada sesama, sehingga dilakukan searah. Misalnya: hibah,

sedekah, pinjaman, termasuk memberi pinjaman uang (utang).

[3] Akad Musyarakat

Transaksi yang tujuannya mendapat keuntungan, dengan mengga-

bungkan peran banyak pihak, untuk bersama-sama mendapatkan

keuntungan. Seperti: mudharabah, musyarakah, dst.

[4] Akad Tautsiqat

Akad yang tujuan utamanya untuk menjamin keamanan suatu

transaksi. Sehingga dia tidak menjadi tujuan utama, namun sebatas

penjamin transaksi lainnya. Seperti akad dhiman (jaminan), kafalah,

gadai, dst.

Jika kita kerucutkan, dari keempat akad, bisa kita kelompokkan jadi

dua yaitu;

Pertama, akad yang motifnya komersial. Itulah akad muawwadhat.

Kedua, akad yang motifnya sosial, itulah akad tabarru’.

Page 228: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

216

Untuk akad yang kedua, yaitu akad muawwadhat, prinsip penting

yang perlu dikedepankan adalah saling ridha. Sebagaimana yang Allah

tegaskan,

لباطل إل أن تكون تارة عن ت راض ي أي ه نكم ب ا الذين آمنوا ل تكلوا أموالكم ب ي نكم م

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”241.

Dalam tafsirnya, Ibnul Arabi mengatakan,

د اع و ق ن ة م الي ه ذ ه س أ ت و ال ام ع ال

اتض او ع اس ال

Ayat ini merupakan kaidah baku dalam muamalah dan prisip dalam akad

muawadhat.

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi saw juga bersabda,

ا الب يع عن ت راض إن

Jual beli harus dilakukan saling ridha. 242

Rukun ridha:

Para ulama menyebutkan, untuk bisa disebut ridha, di sana harus

terpeuhi 2 rukun:

[1] Ilmu (mengetahui dan menyadari), artinya pelaku akad memahami

bentuk akad dan menyadari konsekuensi akad. Tidak ada pihak yang

dibodohi dalam transaksinya.

[2] al-ikhtiyar (tidak ada paksaan), artinya, tidak ada unsur paksaan

dalam semua trasaksinya.

Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah,

241 QS. An-Nisa: 29

242 HR. Ibn Majah

Page 229: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

217

اض الر ط ق س ي اه ر ك ال

Unsur paksaan, menggugurkan ridha.243.

Akad muawadhat dibangun di atas prisip pelit, artinya untuk bisa

dianggap akad muawwadhat yang sah, maka masing-masing harus

memastikan bahwa pasangannya telah ridha, tidak ada paksaan dalam

melakukan transaksi.

Termasuk juga, masing-masing pelaku akad harus memahami objek

akad dan konsekuensinya. Karena itu, dalam akad muawwadhat, semua

harus terukur. Sehingga tidak boleh ada transaksi yang mengandung

gharar (ketidak jelasan).

Perlindungan Konsumen

Bisa jadi dalam sebuah transaksi, salah satu pihak merasa dibodohi

atau menyesal dengan tawaran yang diajukan. Termasuk merasa rugi

karena ada cacat pada barang.

Karena itu, baik penjual maupun pembeli, diberi kesempatan untuk

berfikir, antara melanjutkan dan membatalkan transaksi. Dalam fikih jual

beli, kesempatan ini disebut hak khiyar. Hak untuk memilih antara

melanjutkan atau membatalkan transaksi.

Akad Tabarru’ Lebih Longgar

Berbeda dengan akad tabarru’. Syariat memberikan kelonggaran.

Bahkan boleh ada unsur gharar.Karena akad ini sifatnya sosial, sehingga

tidak ada pihak yang dirugikan.

Sebagai contoh, Si A memiliki mobil yang hilang. Sudah sebulan dia

mencari, tapi belum ketemu.Si A tidak boleh menjual mobil itu ke orang

lain, selama belum ditemukan. Si A boleh memberikan mobil itu ke orang

lain, sekalipun belum ditemukan. Misalnya, si A mengatakan kepada si B,

“Saya berikan mobil saya yang hilang ke anda. Silahkan anda cari, jika

ketemu silahkan anda miliki.”Dalam kondisi ini, si B boleh menerima.

Sekalipun ada unsur gharar dan semua serba tidak terukur. Karena sifatnya

pemberian (tabarru’).

243 Sulaiman ar-Ruhaili, Mudzakarah Qawaid fi al-Buyu’,. hal 117

Page 230: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

218

Contoh lain,Jual beli dengan cara melempar pada banyak objek yang

berbeda. Jual beli ini terlarang, karena sangat tidak jelas dan tidak terukur.

Di masa silam disebut jual beli munabadzah.

Berbeda jika bentuknya akad sosial. Misalnya ada orang yang

menyediakan banyak hadiah untuk para siswa. Ada yang sangat mahal,

sampai ada yang hanya berupa kerupuk. Untuk bisa mendapatkan hadiah

itu, masing-masing siswa memilih balon yang disediakan. Di dalam balon

ada kertas tertulis jenis hadiah yang akan dia dapatkan. Semacam ini

dibolehkan, sekalipun ada unsur gharar. Dan tidak jelas dalam transaksi

tabarru’, dibolehkan.

Contoh ketiga, Garansi barang atau asuransi resiko.

Jika garansi atau asuransi itu berbayar, maka transaksinya terlarang.

Karena premi yang dibayarkan digantikan dengan jaminan resiko.

Sementara resiko sifatnya tidak jelas. Bisa terjadi, dan bisa tidak terjadi.

Karena takdir tidak bisa diprediksi. Sehingga transaksinya gharar.

Ini berbeda jika garansi atau asuransi itu gratis. Sebagai layanan bagi

konsumen. Ini dibolehkan, karena gharar dalam transaksi tabarru’ diper-

bolehkan.

Page 231: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

219

Kaidah Kedua puluh satu

ف ر و ع أ ع ر ش اه ض ت ق ا ا م و ه ات ور ر ن ض م و ا ه يه م ف ل خ يئا ؛ د ش ع ن ب م

Siapa yang menjual sesuatu, maka semua yang menjadi unsur pendukung

utama benda itu, masuk ke dalamnya. Termasuk apa yang menjadi

konsekuensi dari perpindahan hak milik benda itu, baik secara syariat atau

urf.

Ketika ada orang melakukan transaksi terhadap objek, ada 3 hal yang

harus mengikuti transaksi itu,

Pertama, bagian yang tidak bisa dipisahkan dari objek itu (dharurat as-

sila’). Yaitu segala sesuatu yang jika dipisahkan dari benda itu, maka benda

tersebut dianggap tidak ada atau sama sekali tidak bisa difungsikan.

Kedua, bagian yang menurut masyarakat itu harus dilibatkan. Meskipun dia

bukan dharurat as-Sila’. Artinya, barang masih bisa berfungsi, ketika ini

ditiadakan. Hanya saja, aturan tidak tertulis di masyarakat, ii harus dilibat-

kan.

Ketiga, bagian yang harus dilibatkan menurut aturan syariat. Meskipun ti-

dak pernah dibahas dalam aturan masyarakat. Sehingga acuannya kembali

kepada dalil.

Contoh kasus

Pertama, jual beli rumah

Orang yang membeli rumah, maka dia memiliki:

– Semua atap rumah itu

– Sumur yang ada di rumah itu

– Instalasi listrik rumah

– Halamannya

– Dan dia harus ada akses jalan

Karena semua ini bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rumah itu.

Selanjutnnya, apakah pembeli juga mendapatkan perabotan di rumah itu?

Page 232: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

220

Ini kembali kepada urf yang berlaku di masyarakat itu.

Kedua, siapa yang membeli tanah maka dia memiliki atasnya sampai ke

langit. Menurut keterangan al-Qurthubi, ini dengan sepakat ulama. Apakah

dia memiliki semua yang ada di bawah tanahnya? Ulama berbeda

pendapat.

Kita simak keterangan al-Qurthubi,

، ل ف الس وا ف ف ل ت خ ا . و اء م الس ل إ ه و ل ل الع ن أ ف ال خ ل . و ه ان رك أ ه ل ف ت ي الب ه ن ل م ا ن ب ه ذ م ف . و يء ش رض األ طن ب ف ه ل س ي ل ال ق ن م م ه ن م ، و ه ل و ه ال ق ن م م ه ن م ف

ن ل و الق

Siapa yang memliki rumah maka dia memiliki pondasinya, dan tidak ada

perbedaan bahwa bagian atas rumah itu sampai ke langit adalah punya dia.

Sementara ulama berbeda pendapat untuk bagian yang ada di bawah tanah

itu. Sebagian ada yang mengatakan, semua itu miliknya dan ada yang

mengatakan, apa yang ada di bawah tanah, sama sekali bukan miliknya. Dan

dalam madzhab kami (Malikiyah), ada 2 pendapat. 244.

Ketiga, jual beli pohon, siapa yang berhak atas buahnya?

Dari Ibju Umar r.a ma, Nabi SAW bersabda,

تاع ، ومن اب تاع من اب تاع نال ب عد أن ت ؤب ر ف ثمرتا للبائع ، إل أن يشتط المب تاع ا وله مال فماله للذى بعه إل أن يشتط المب عبد

Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik

penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang membeli budak

dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang yang menjualnya,

kecuali jika pembeli mempersyaratkannya.245

Nabi saw memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,

[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli

244 Muhammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah al-Qurthubi,, Tafsir al-

Qurthubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol 16,, Daar Ar-Risalah, Beirut, 2006, hal 85

245 HR Mutafaqun Alaih

Page 233: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

221

[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual.

Apakah tidak menyalahi kaidah di atas?

Jawabannya, tidak. Karena buah bukan dharurat as-Sila’. Dia membeli

pohon, bukan membeli buah. Dan pohon tetap bisa bertahan hidup, tanpa

buah. Karena itu, hak terhadap buah kembali kepada orang yang

mengkawinkannya.

Keempat, hadis budak Barirah

Tersebutlah seorang budak wanita bernama Barirah. Tuannya

menjanjikan, jika Barirah bisa menebus sekian dinar, maka dia boleh

merdeka. Transaksi semacam ini disebut transaksi mukatabah. Akhirnya,

Barirah meminta bantuan kepada Aisyah r.a.Aisyah menceritakan,

ى تسع أواق، ف كل عام أوقية، فأعينين، ل ع لي ه ت أ ب ات ت : ك ال ق ة ف ر ي ر ب ن ت اء ج أهلها، ل ة إ ير ر ت ب ب ه ذ لت، ف ع ف ت : إن أحبوا أن أعدها لم ويكون ولؤك ل ال ق ف ندهم ورسول هللا صلى هللا عليه وسلم ن ع ت م اء ج ا، ف ه ي ل فأب وا ع م ت ل ال ق ف

قالت : إن قد عرضت ذلك عليهم فأب وا إل أن يكون الولء لم، فسمع جالس، ف النب صلى هللا عليه وسلم، فأخبت عائشة النب صلى هللا عليه وسلم، فقال : )

ث قام خذيها واشتطي لم الولء، فإنا الولء على من أعتق ( . ففعلت عائشة،د هللا وأثن عليه، ث قال : ) ما بل ، فحم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ف الناس

اب هللا ت ك ف يس ن شرط ل م ان ا ك رجال يشتطون شروط ا ليست ف كتاب هللا، م ائة شرط، ق ان ك ن إ ل، و ط ب و ه ف ء لمن ل ا الو إن أحق، وشرط هللا أوثق، و اء هللا ض م

أعتق(

“Barirah datang kepadaku lalu menyampaikan masalahnya:

“Sesungguhnya saya melakukan mukatabah terhadap majikanku dengan

sembilan uqiyah, per-tahunnya saya membayar satu uqiyah, maka bantulah

saya”. ‘Aisyah berkata : “Kalau memang majikanmu berkenan, saya akan

Page 234: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

222

menyiapkan dananya, dengan syarat wala‘-mu nanti menjadi milik, maka

aku akan melakukannya”. Maka Barirah pergi kepada majikannya, dan

menyampaikan syarat yang diminta ‘Aisyah namun mereka tidak

menyetujuinya. Kemudian Barirah datang lagi kepada ‘Aisyah ketika itu

Rasulullah sedang duduk. Barirah berkata: “Saya telah menawarkan

tawaran tadi kepada mereka, namun mereka enggan, kecuali wala‘-nya

untuk mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mendengarnya, dan

Aisyah menceritakan duduk perkaranya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah

bersabda: “Ambilah ia (Barirah) dan persyaratkan wala sebagaimana yang

engkau syaratkan, karena wala’ itu bagi orang yang membebaskan budak“.

Kemudian ‘Aisyah melakukannya (pergi ke rumah majikan Barirah).

Lalu Rasulullah saw berkhutbah di hadapan orang-orang, beliau memuji

Allah dan memuliakan-Nya, kemudian bersabda:

“Mengapa sebagian orang lancang mempersyaratkan syarat yang tidak ada

dalam Kitabullah. Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, ia adalah

syarat yang batil, walaupun itu 100 syarat. Keputusan Allah itu lebih benar.

Dan syarat dari Allah itu lebih kuat. Dan sesungguhnya wala’ itu bagi orang

yang membebaskan budak”246

Ketika Aisyah r.a yang membayar Barirah, berarti yang memerdeka-

kan Barirah adalah Aisyah. Dan dalam aturan jual beli budak, siapa yang

membeli dan memerdekakan budak itu, maka hak wala’ kembali kepada

yang memerdekakannya, bukan kepada majikan sebelumnya.

Dengan memiliki hak wala’ maka dia berhak atas harta warisan yang

ditinggalkan seorang budak jika dia meninggal. Rasulullah saw menetapkan

wala itu menjadi milik orang yang membebaskan budak. Artinya, hak wala’

adalah konsekuensi dari perpindahan hak milik budak setelah transaksi

jual beli, berdasarkan aturan syariat.

246 HR Mutafaqun Alaih

Page 235: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

223

Kaidah Kedua puluh dua

اه ح ال و ص د بح ي ت ار ح م الث ع يح ب ز وح ي ل

Tidak boleh jual beli buah sampai nampak kelayakannya.

Ada banyak hadis yang mendasari kaidah ini, diantaranya,

Pertama, hadis dari Ibnu Umar r.a ma, beliau mengatakan,

نى عن ب يع الث مار حت ي بدو صالحها ، –صلى هللا عليه وسلم –أن رسول الل تاع نى البائع والمب

Rasulullah saw bersabda melarang jual beli buah sampai nampak

kelayakannya. Beliau melarang penjual dan pembeli. 247

Kedua, hadis dari Anas bin Malik r.a , beliau mengatakan,

نى عن ب يع ثر النخل حت ت زهو. ف قلنا ألنس -صلى هللا عليه وسلم-أن النبيك ما زهوها قال تم ل مال أخ الثمرة ب تستح . أرأي تك إن منع الل ر وتصفر

Nabi saw melarang jual beli buah kurma sampai nampak kelayakannya.

Perawi bertanya kepada Anas, “Apa yang dimaksud nampak kelayakannya?”

jawab Anas: “Sampai memerah atau menguning.” Kata Nabi saw,“

Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah. Dengan

alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya?” (HR. Bukhari 2208 &

Muslim 4060).

Ketiga, hadis dari Ibnu Umar r.a , beliau mengatakan,

بل -صلى هللا عليه وسلم-الل أن رسول نى عن ب يع النخل حت ي زهو وعن السن حت ي ب يض ويمن العاهة نى البائع والمشتى

247 HR. Bukhari

Page 236: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

224

Bahwa Rasulullah saw melarang jual beli kurma sampai memerah atau

menguning. Dan tidak boleh jual beli bulir gandum sampai memutih (terlihat

isinya), dan aman dari gagal panen. Beliau melarang penjual dan pembeli.248

Keempat, hadis Anas bin Malik r.a , beliau mengatakan,

ت يسود وعن ب يع نى عن ب يع العنب ح -صلى هللا عليه وسلم-أن رسول الل الب حت يشتد

Rasulullah Saw melarang jual beli anggur sampai menghitam, dan beliau

melarang jual beli biji-bijian sampai benar-benar berisi.249

Dari beberapa hadis yang kita baca, kita menyimpulkan

1. Hadis mengenai larangan menjual buah dan hasil pertanian sebelum

layak panen, bertujuan untuk menghalangi terjadinya sengketa

antara penjual dan pembali.

Beliau mengatakan, “Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak

jadi berbuah. Dengan alasan apa dia boleh mengambil harta saudaranya.”

2. Illah larangan itu adalah adanya gharar (ketidak jelasan) dalam

transaksi. Bisa untung besar dan bisa rugi besar. Kembali kepada

takdir yang sama sekali tidak diketahui manusia.

Nabi Saw mengatakan,

“Bagaimana menurutmu jika Allah menghendaki tidak jadi berbuah.”

3. Karena illah-nya terkait unsur gharar, larangan ini berlaku baik bagi

penjual dan pembeli. Artinya, unsur saling ridha dalam hal ini tidak

teranggap. Sehingga, bisa saja ada orang yang melakukan transaksi

ijon dan mereka saling ridha. Sekalipun saling ridha, transaksi tetap

dianggap batal.

Ibnu Umar mengatakan, “Beliau melarang penjual dan pembeli.”

a. Batasan yang beliau berikan ada dua,

b. Dia sudah layak panen (sampai nampak kelayakannya)

248 HR. Ahmad

249 HR. Ahmad

Page 237: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

225

c. Aman dari gagal panen. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis ketiga

dari Ibnu Umar.

d. Standar layak panen hasil pertanian berbeda-beda,

4. Untuk buah-buahan, kembali kepada warna yang menunjukkan

masak atau hampir masak. Untuk kurma, memerah atau menguning.

Jika masih hijau, tidak diperkenankan. Untuk anggur, sampai

menghitam. Jika masih hijau atau kuning, belum layak dijual.

5. Untuk biji-bijian, seperti gandum atau beras, kembali kepada isi

bulirnya. Orang jawa menyebutnya kemlatak.

6. Standar layak panen, tidak harus ada pada semua buah di lahan itu.

Namun bisa hanya dengan mengacu pada sebagian yang sudah layak

panen. Jika sudah ada sebagian yang layak panen, indikator ini bisa

diberlakukan untuk semuanya. Karena jika harus memastikan semua

layak panen, akan sangat merepotkan.

Syaikhul Islam mengatakan,

دح ن أ ة ع اي و ر و ه س و ن ال ك ل ذ يع ب ا و ه يع ب از ج ة ر ج ش ض ع ب ح ال ا ص د ا ب ذ إ و

Jika telah nampak kelayakan di sebagian tanaman, maka boleh

menjualnya dan menjual tanaman yang sejenisnya. Dan ini riwayat dari

Imam Ahmad. 250.

Demikian pula keterangan Ibnul Qoyim,

ك ل ذ ع ي ب ز و ي ك ل ذ ك ا ، و ه ع ي ا ج ه ع ي ب از ج ر ج الش ض ع ب ف ح ال ا الص د ا ب ذ إ ان ت س الب ف ه ل ك ع و الن

Jika telah nampak kelayakan di sebagian pohon, maka boleh menjual

semua hasil pohon itu. Dan boleh menjual semua yang sejenis dengan

pohon itu yang satu kebun. (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/23).

7. Boleh melakukan transaksi ijon untuk diambil ketika selesai akad

250 Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al Fiqhiyah, Daar al Kutub al

Ilmiyah, Beirut: 1995, hal. 475

Page 238: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

226

Misalnya, orang membeli mangga yang belum kelihatan layak panen,

masih kecil-kecil. Tapi langsung diambil setelah akad. Terutama bagi

yang membutuhkan mangga kecil untuk manisan.

8. Bedakan antara jual beli pohon dengan jual beli buah

Hadis ini membahas jual beli buah atau biji yang ada di pohon. Ber-

beda dengan jual beli pohon, dia dibeli untuk diambil semuanya.Yang

menjadi pertanyaan, siapa yang berhak memiliki buahnya,

Dari Ibnu Umar r.a Nabi saw bersabda,

تاع ، ومن من اب تاع نال ب عد أن ت ؤب ر ف ثمرتا للبائع ، إل أن يشتط المب تاع ا وله مال فماله للذى بعه إل أن يشتط المب اب تاع عبد

“Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya

milik penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang

membeli budak dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang

yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkannya.”251

Nabi saw memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,

[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli

[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual.

Ini berlaku jika pohon itu berbuah dengan sebab ada usaha manusia

mengawinkannya. Jika dia berbuah tanpa keterlibatan usaha manusia,

maka hasilnnya menjadi hak milik pembeli.

Contoh,

Ada sebagian orang yang menjual pohon jagung belum ada isi

jagungnya. Tapi dijual untuk digunakan pakan ternak. Sehingga dia diambil

setelah dibeli, bukan ditunggu sampai panen. Ini dibolehkan. Karena yang

dibeli seluruh pohonnya, dan bukan buahnya.

251 HR. Bukhari

Page 239: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

227

Kaidah Kedua puluh tiga

ومز الل د وح ق الع ف ل صح األ

“Hukum asal akad itu mengikat”

Di lihat dari keterikatannya, akad dibagi menjadi 2:

[1] Akad lazim adalah akad yang mengikat kedua belah pihak pelaku akad.

Akad ini tidak bisa dibatalkan, kecuali atas kerelaan keduanya.

Misalnya, jual beli, atau sewa menyewa. Dalam akad jual beli, penjual

maupun pembeli tidak boleh membatalkan transaksi jual beli yang

telah terlaksana secara sepihak.

[2] Akad jaiz adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak pelaku

akad. Sehingga bisa dibatalkan oleh salah satunya secara sepihak,

tanpa harus menunggu izin pasangan akadnya.

Misalnya, akad wadi’ah, wakalah, atau syirkah.

Kita ambil contoh akad wadiah, Orang yang titip barang, boleh saja

membatalkan akadnya dengan mengambil barangnya. Demikian pula orang

yang dititipi barang, dia berhak untuk mengembalikan barang itu ke

pemilik, dan membatalkan akad.

Jika kita tambahkan, ada yang ketiga, yaitu akad lazim satu pihak, dan

jaiz bagi pihak lain.

Seperti gadai. Barang gadai tidak boleh diambil oleh orang yang

berutang, kecuali atas izin yang menghutangi. Sehingga akad gadai, lazim

baginya.

Sementara orang yang memberi utang, bisa saja mengembalikan

barang itu kapanpun, tanpa harus menuggu restu dari yang menghutangi.

Akad Jual Beli itu Mengikat

Ketika akad jual beli itu sah, maka statusnya mengikat pelaku akad.

Sehingga tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Mengapa hukum asal akad

itu mengikat?

Page 240: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

228

Karena akad dibolehkan dalam syariat untuk terwujudnya sesuatu

yang menjadi tujuan akad. Dan untuk memenuhi kebutuhan pelaku akad.

Sehingga konsekuensi akad harus mengikat, untuk melindungi hak orang

lain yang memiliki hajah.

az-Zarkasyi megatakan,

ني ب ة ي ار ال د و ق الع ب ت ن ي أ ل ا ا ر اه ة ظ ح ى الص ل ة ع ل و م م ني م ل س ال ا ذ ل و ه ف ال خ ني

ةح ى الص ع د م ق د ص اد س الف و ة ح الص ا ىف ف ل ت ا اخ ذ ا

Akad yang terjadi diantara kaum muslimin secara dzahir dihukumi sah,

sampai ada bukti bahwa akad itu tidak sah. Karena itu, jika ada dua

penilaian yang berbeda, antara sah dan tidak sah, maka lebih dimenangkan

yang menilai sah.252

Kaidah ini bisa kita terapkan dalam banyak kasus. Terutama ketika

terjadi sengketa antara pihak yang melakukan akad.

Pertama, adanya klaim dari salah satu pelaku akad bahwa akad tidak

memenuhi syarat sah.

Misalnya, pembeli mengklaim bahwa saat membeli barang itu, dia

tidak sadar atau terpaksa atau sebab lainnya yang menghilangkan

status ahliyah tasharruf, maka klaimnya boleh tidak diterima selama dia

tidak membawa bukti untuk klaim yang dia sampaikan. Karena hukum asal

dari transaksi adalah sah dan mengikat sampai ada bukti bahwa akad itu

tidak sah.

Kedua, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah terima

Akad mengikat meskipun belum terjadi serah terima. Karena ikatan

terjadi ketika keduanya telah melakukan akad jual beli, sepakat dalam

menentukan barang dan harga. Sekalipun barang belum diserahkan dan

uang juga belum diserahkan.

Karena itu, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah

terima, boleh ditolak.

Ada peristiwa yang pernah terjadi dengan sahabat Khuzaimah bin

Tsabit r.a .

252 Baruddin al-Zarkasyi ,al-Mantsur fil Qawaid, vol 2, hal 413

Page 241: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

229

Suatu ketika Nabi saw membeli seekor kuda dari orang badui. Lalu

Nabi saw meminta kepada orang badui ini agar mengikuti beliau, meng-

ambil uang untuk membayar kuda.

Nabi saw berjalan cepat, sementara orang badui ini sambil meng-

gandeng kudanya, dia berjalan lambat. Sehingga banyak orang yang

menawar kuda yang dibawa orang badui ini. Mereka tidak tahu, bahwa

Nabi Saw telah membelinya.

Merasa ada yang nawar lebih tinggi, si badui ini tertarik untuk

menjualnya ke orang lain. Diapun memanggil Nabi Saw sambil teriak,

“Apakah kamu jadi membeli kuda ini? Jika tidak, biar saya jual ke yang

lain..”

Mendengar ini, Nabi Saw menyampaikan kepada si Badui,“Bukankah

tadi saya sudah membeli kuda itu darimu.”

“Tidak, demi Allah, aku belum menjual kuda ini kepadamu.” Kata si

Badui.

“Yakin, aku tadi sudah membeli kuda itu darimu.” Jawab

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Mana saksimu, datangkan.” Pinta si Badui.

Datanglah Khuzaimah bin Tsabit dan mengatakan,

أنك قد بي عته أان أشهد

“Saya yang menjadi saksi, bahwa anda telah membelinya.”

Nabi saw terheran, beliaupun tanya ke Khuzaimah,“Dengan apa kamu

bisa bersaksi?”

“Dengan Allah membenarkanmu, ya Rasulullah…” jawab Khuzaimah.

Kemudian Nabi saw menjadikan persaksian Khuzaimah sepadan dengan

persaksian 2 orang. 253

Dalam peristiwa di atas, usaha orang badui untuk membatalkan akad,

tidak disetujui oleh Nabi Saw. Karena akad telah terjadi, telah disepakati

barang dan harganya. Hanya saja belum terjadi serah terima.

253 HR. Ahmad

Page 242: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

230

Contoh:

Perjanjian di Nota

Dalam nota pembelian terkadang tertulis; ”Barang yang sudah dibeli

tidak dapat dikembalikan atau ditukar, kecuali jika ada perjanjian.”

Apakah ini dibenarkan? Karena menggugurkan hak khiyar dari konsumen.

Pada asalnya transaksi jual beli termasuk transaksi yang lazim.

Artinya mengikat kedua belah pihak. Sehingga jika ada salah satu pihak

yang ingin membatalkan akad, maka tidak bisa dilakukan, kecuali atas

kerelaan lawannya.

Dan biasanya, toko yang memasang tulisan tersebut dalam nota,

tetap menerima pengembalian dari konsumen, jika dalam barangnya ada

cacat atau kesalahan barang yang diterima.

Karena itu, tulisan semacam ini bukan melanggar syariat. Tidak ada

unsur menggugurkan hak khiyar. Hak khiyar tetap ada, namun dibatasi

selama konsumen masih di majlis transaksi, yaitu di toko.

Dalam transaksi jual beli normal, pembeli tidak dibenarkan

mengembalikan barang yang sudah dibeli tanpa ada perjanjian atau karena

alasan cacat.

Dianjurkan ada Iqalah

Pembeli boleh saja mengembalikan barang, tapi penjual tidak boleh

dipaksa untuk menerimanya. Artinya, penjual berhak menerima dan

berhak menolak. Hanya saja, penjual dianjurkan menerima, dan ini jika

diniatkan berbuat baik kepada orang lain maka bernilai pahala baginya.

Menerima pengembalian ini disebut iqalah. Dari Abu Hurairah R.a ,

Nabi saw bersabda,

عث رته ا أقاله الل من أقال مسلم

Siapa yang menerima iqalah (pembatalan transaksi) dari orang muslim,

maka Allah akan menggugurkan kesalahannya. 254

254 HR. Abu Daud

Page 243: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

231

Kaidah Kedua puluh empat

اع ز الن ل إ ة ي ض ف ت م ان ا ك ذ إ اد س الف د ي ف ا ت ن إ ة ال ه ال لك ش ال

Jahalah yang menyebabkan jual belinya batal adalah jahalah yang

menyebabkan terjadinya sengketa.

Setiap sengketa dalam masalah dunia merendahkan kredibilitas

manusia. Karena itulah, syariat mencegah setiap celah terjadinya sengketa

antar-sesama muslim. Terutama sengketa dalam transaksi jual beli. Karena

itu, kaidah ini menjadi salah satu syarat penting dalam masalah kejelasan

objek transaksi.

Sebagai contoh, dalam jual beli buah. Nabi saw melarang jual beli

buah sebelum nampak kelayakannya untuk dipetik. Arahan Nabi saw di

atas, dalam rangka menutup terjadilah celah sengketa antara pemilik

pohon dengan pembeli.

Kemudian, dalam satu hadis yang panjang, Rasulullah saw melarang

sederet transaksi. Karena semuanya mengandung jahalah (ketidak jelasan).

Dari Jabir bin Abdillah r.a , beliau menceritakan,

مة والمخاب رة عن المحاق لة والمزاب نة والمعاو -صلى هللا عليه وسلم-نى رسول الل يا ورخص ىف العراي وعن الث ن

Rasulullah saw melarang transaksimuhaqalah, muzabanah, muawamah,

mukhabarah, dan ats-Tsunya. Namun beliau memberi keringanan untuk

transaksi Araya. 255

Muhaqalah: transaksi muzara’ah (patungan antara pemilik lahan

pertanian dengan penanam), dengan pembagian tertentu yang

bukan berdasarkan prosentase. Misalnya petak Sawah sebelah

kanan milik tuan tanah. Sementara yang sebelah kiri milik petani.

255 HR. Muslim

Page 244: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

232

Atau panen tahun ini milik petani, panen tahun depan milik tuan

tanah.

Muzabanah: tukar menukar antara kurma kering dengan kurma basah

dengan sama-sama ditakar. Atau anggur kering dengan anggur

basah dengan sama-sama ditakar.

Mu’awamah: jual beli buah kurma atau pohon lainnya, uangnya sekarang

tapi diambil dua tahun atau 3 tahun berikutnya. Sehingga sama

sekali belum kelihatan buahnya.

Mukhabarah: patungan antara pemilik lahan pertanian dengan penanam,

dengan aturan, hasil panen tertentu milik petani, sementara hasil

panen jenis lainnya milik tuan tanah.

At-Tsunya: pengecualian. Artinya, penjual meminta adanya pengecualian

ketika menjual barangnya.

Ulama berbeda pendapat mengenai makna pengecualian dalam jual beli,

[1] Menyatakan kecuali sebagian.

Misalnya, penjual mengatakan, ‘Saya jual motor ini seharga 7 juta,

kecuali sebagian.’

Sementara dia tidak memberi tahu, sebagian apa yang dimaksud.

Dan jika sebagian itu dinyatakan, hukumnya dibolehkan. Sebagaimana

dinyatakan dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah,

يا إل أن ت علم -عليه وسلم صلى هللا-أن النب نى عن الث ن

Bahwa Nabi saw melarang ats-Tsunya kecuali jika diberi tahukan. 256

Kata an-Nawawi, pengecualian yang sama-sama diketahui,

dibolehkan dengan sepakat ulama. 257.

[2] Mengajukan syarat ketika jual beli yang mengurangi sebagian hak

pembeli.

Misalnya, penjual mensyaratkan agar barang itu tidak dijual ke orang

lain atau tidak dikasihkan orang lain.

256 HR. Nasai

257 An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Vol 10, hal 195

Page 245: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

233

[3] Jual beli dengan perjanjian, jika penjual berhasil mengembalikan uang

maka pembeli wajib mengembalikan barang. Atau istilah lainnya ba’i

al-Wafa’. 258.

Namun, melihat konteks hadis, yang lebih tepat adalah makna

pertama. Sebagaimana keterangan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Dan jika perhatikan, semua transaksi di atas, sangat besar unsur

ghararnya. Mentransaksikan peluang. Antara terjadi dan tidak terjadi.

Antara untung, atau rugi sama sekali. Inilah yang dimaksud unsur ‘jahalah’

(ketidak jelasan) yang berpeluang menimbulkan sengketa.

Ada beberapa bentuk ketidak jelasan dalam akad. Diantaranya,

1. Ketidak jelasan pada objek akad, termasuk ketidak jelasan pada upah

untuk akad ijarah.

2. Ketidak jelasan sesuatu yang diserah terimakan dalam akad

muawadhat. Seperti tidak jelas harga dalam akad jual beli.

3. Ketidak jelasan masa serah terima objek akad, untuk akad yang

ikatannya dibatasi masa tertentu. Seperti ketidak jelasan masa untuk

akad sewa.

4. Ketidak jelasan sarana penjamin akad yang disyaratkan adanya

jaminan. Misalnya dalam akad gadai, barang yang digadaikan harus

jelas. 259

Jahalah Yang Tidak Menimbulkan Sengketa

Secara sederhana, keseimbangan dalam transaksi mu’awadhat, dapat

kita rumuskan dengan, Iwadh(yang diserahkan) =Muawwadh(yang

diterima) .Keduanya harus jelas. Jika yang diserahkan jelas, sementara yang

diterima sifatnya hanya peluang, antara terjadi dan tidak terjadi, maka

transaksi ini dilarang. Inilah yang disebut jual beli gharar.

Misalnya, seseorang menyerahkan menyerahka uang, kemudian dia

mendapatkan kupon undian berhadiah. Bisa menang, bisa kalah. Atau nilai

iwadh-nya jelas, namun muawwadh-nya ada bagian yang tidak jelas. Dalam

258 Qutb Mushtafa Sanu, 2000, Mu'jam Musthalahat Usul al-Fikih, vol 1. Dar al-

Fikr, Beirut:, hal 405

259 Mustafa Ahmad al-Zarqa’, 1965, Madkhal al-Fiqh al-Islamy, vol 2. Mathabi’ Fata al-‘Arab, Mesir: hal 689

Page 246: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

234

kondisi ini ditimbang, seberapa besar nilai ketidak jelasannya. Jika nilai

ketidak jelasan itu besar, ini dilarang.

Namun jika nilai ketidak jelasan itu kecil, dan tidak mungkin untuk

dihindari, dibolehkan.

Dalam hadis di atas, Nabi saw memberi keringanan untuk jual beli

araya. Jual beli araya atau ariyah adalah jual beli barter antara kurma

kering di tangan dengan kurma basah di tangkai pohon. Atau barter antara

anggur kering (zabib) dengan anggur basah.

Transaksi semacam ini, bisa dipastikan ada selisih. Sementara barter

antar-bahan makanan yang sama, hukumnya riba kecuali ukurannya sama.

Nabi saw memberikan keringanan selama tidak mencapai 5 wasaq.

Sebagaimana dinyatakan dalam hadis, dari Abu Hurairah r.a ,

رخص ىف ب يع العراي فيما دون خسة أوسق -صلى هللا عليه وسلم-ل الل أن رسو أو ىف خسة أوسق

Bahwa Rasulullah saw memberi keringanan untuk jual beli araya di bawah 5

wasaq.260.

Jika 1 wasaq = 60 sha’, dan 1 sha’ = 2,7 kg, berarti 5 wasaq = 810 kg.

Nabi saw membolehkan, karena ketidak jelasan ukuran senilai itu

masih bisa ditoleransi. Dan ini menjadi kebutuhan para sahabat ketika itu,

sehingga mereka bisa melakukan transaksi barter araya dengan prediksi

tanpa ada sengketa.

Syaikh Ahmad Ibrahim mengatakan,

الهالة ليست بانعة لذاتا؛ بل لكونا مفضية ال النزاع

Ketidakjelasan, tidak dilarang secara dzatnya, namun karena keberadaan-

nya bisa menimbulkan sengketa. 261.

Contoh penerapan kaidah:

[1] Transaksi makan di warung

260 HR. Abu Daud

261 Ahmad Ibrahim bik, al-Muamalat as-Syar’iyah al-Maliyah, hal. 163

Page 247: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

235

Ketika seseorang beli di warung, dia mengambil nasi, lauk, sayur, dan

kelengkapan lainnya. Dia baru melapor kasir setelah dimakan.

Sementara dia hanya menyebutkan jenis sayur dan lauk yang diambil.

Tanpa menghitung berapa gram nasinnya, berapa gram sayurnya, dst.

Ketidakjelasan ukuran semacam ini, tidak sampai menimbulkan

sengketa, dan itu dibolehkan.

[2] Tidak jelas teknik pembagian keuntungan dalam syirkah (kongsi)

Ketidak jelasan cara pembagian hasil dalam syirkah, sangat rentan

dengan sengketa. Terlebih ketika terjadi kerugian. Karena itu, ketidak

jelasan di sini, bisa mempengaruhi keabsahan akad.

Dalam Ensiklopedi Kaidah Fikih Muamalah, dinyatakan,

يشتط بيان الوجه الذي سيقسم فيه الربح بني الشركاء؛ وإذا بقي مبهما ومهول تكون الشركة فاسدة

Disyaratkan adanya penjelasan metode pembagian keuntungan antara

anggota syirkah. Jika masih ada yang belum jelas dan tidak dipahami, maka

kerja sama syirkah menjadi batal. 262.

[3] Ketidak jelasan jarak ketika naik taksi dengan argo

Ketika seseorang mencari alamat dengan taksi, bisa dipastikan

jaraknya tidak jelas dan nominal yang harus dibayar oleh penumpang

juga tidak jelas. Bisa sangat jauh, bisa juga dekat.

Namun ketidak jelasan di sini tidak akan menimbulkan sengketa.

Karena keduanya telah sepakat, biaya yang dikeluarkan penumpang,

sesuai dengan jarak berapa lama dia berada di dalam taksi. 263.

262 Ibid Hal 253

263Ibid, hal 254

Page 248: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

236

Kaidah Kedua puluh lima

ان م لض و ب أ ل م لع و ب أ ال م لح ا ب م إ ح بح الر ق ح ت سح ي

Orang berhak mendapat keuntungan, karena harta, pekerjaan, atau resiko

kerugian.

Secara umum, prinsip yang diajarkan syariat bahwa keuntungan

yang diperoleh seseorang, berbanding lurus dengan pengorbanan dan

resiko yang dia keluarkan.

Terdapat banyak hadis yang menegaskan hal ini. Diantaranya,dari

Abdullah bin Amr bin Ash r.a , Nabi saw bersabda,

ول ربح ما ل يضمن

“Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.”264

Kemudian hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Nabi saw bersabda,

لضمان الراج ب

“Hasil keuntungan itu sebagai ganti dari resiko yang dia tanggung.”265

Kemudian, dalil tentang bolehnya mengambil upah karena dia telah

bekerja, hadis dari Abu Hurairah r.a , Nabi saw bersabda,

ي ا فاست وىف … قال الل ثالثة أان خصمهم ي وم القيامة نه ، ول ورجل استأجر أج م ي عط أجره

Allah berfirman,“Ada 3 orang yang menjadi lawanku di hari kiamat… (salah

satunya) …dan orang yang mempekerjakan orang lain, lalu karyawan ini

telah bekerja dengan baik, namun si majikan tidak memberikan upahnya. 266

Dalam hadis ini, Allah membela hak karyawan yang telah bekerja,

namun dia tidak diberi upah oleh majikannya.

264 HR. Ahmad

265 HR. Ahmad

266 HR. Bukhari

Page 249: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

237

Dari ketiga dalil di atas, para ulama menetapkan kaidah yang lebih

singkat,

الغنم بلغرم

“Keuntungan itu diberikan karena ada resiko kerugian.”

Makna kaidah

Pertama, hak keuntungan karena harta

Orang yang menanam modal, dia berhak untuk mendapatkan

keuntungan dari pertambahan modalnya. Karena dia juga menanggung

resiko kerugian jika modalnya berkurang.

Karena itulah, jika ada akad mudharabah, dimana pihak pemodal

mensyaratkan, apabila terjadi kerugian atau proyek gagal, maka modal

harus dikembalikan maka akad mudharabahnya batal. Karena berarti

konsekuensinya tidak jalan. Karena pemodal hanya siap berbagi

keuntungan, sementara dia tidak siap berbagi kerugian.

Dan dengan adanya persyaratan, mengembalikan modal ketika

terjadi kegagalan, maka status akadnya menjadi qard (utang), sehingga dia

tidak berhak menerima bagi hasil keuntungan. Karena semua kelebihan

dari utang statusnya riba.

Kedua, hak keuntungan karena pekerjaan

Orang yang telah bekerja, dia berhak mendapat upah atas pekerjaan

yang dia lakukan. Ini berlaku untuk akad ijarah.

Sementara untuk akad ju’alah (semacam sayembara), yang dilakukan

adalah jual beli hasil dari usaha, dan bukan volume usaha. Misalnya,

membersihkan virus komputer. Jika berhasil maka akan dibayar Rp

100.000;

Setelah dilakukan pembersihan selama 1 jam, ternyata tidak berhasil,

dan menyerahkan kembali komputer tadi ke pemilik. Apakah petugas

pembersih virus dapat upah??

Jawabannya, tidak dapat upah. Dia menjual hasil dan bukan semata

jasa. Karena dia tidak berhasil, maka dia tidak berhak dapat uang.

Page 250: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

238

Karena itu, jika dalam sebuah skema transaksi, ada posisi yang selalu

mendapatkan upah, sementara dia sama sekali tidak bekerja, maka skema

semacam ini bermasalah. Seperti bisnis MLM, dimana ada up line yang

selalu mendapat bonus, padahal dia sama sekali tidak bekerja. Dia tidak

melakukan penjualan, juga tidak mencari konsumen, dst. dia hanya

menikmati kerja orang lain yang menjadi down line-nya, sehingga upah

yang dia terima adalah upah yang tidak sah.

Ketiga, hak keuntungan karena tanggungan

Orang yang menanggung resiko tertentu atau dibebani tanggung

jawab tertentu, maka dia berhak mendapat keuntungan.

Mudharib (pelaku usaha) yang mengelola harta orang lain, dia

memegang tanggung jawab terhadap harta itu. Karenanya, dia berhak

mendapat bagi hasil keuntungan.

Di zaman Nabi saw, ada sahabat yang membeli budak, Setelah

dipekerjakan beberapa hari, pembeli melihat ada cacat di budaknya, yang

tidak diceritakan oleh penjual. Akhirnya dia-pun mengembalikan budak ini

ke penjual. Tapi pihak penjual tidak mau menerimanya, kecuali jika

pembeli mambayar nilai sewa budak yang telah dipekerjakan di tempat

pembeli selama beberapa hari.

Akhirnya keduanya mengadukan hal itu kepada Nabi Saw.Dan beliau

memutuskan, penjual harus menerima pengembalian karena cacat itu, dan

pembeli tidak berkewajiban bayar biaya sewa.

Penjual belum merasa puas dengan keputusan ini, sampai

mengatakan,

رسول الل قد است غل غالمىي

“Ya Rasulullah, dia telah menikmati ‘hasil’ dari budakku.”

Lalu Nabi saw menjawab,

لضمان الراج ب

“Hasil itu berbanding dengan tanggungan resikonya267

267 HR. Abu Daud

Page 251: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

239

Dengan jawaban ini, Nabi saw memenangkan pembeli. Pembeli tidak

berkewajiban bayar nilai sewa, karena selama budak itu ada di tangannya,

keselamatan budak itu menjadi tanggung jawabnya. Karena itu,

sebagaimana dia menanggung resiko keselamatan itu budak, dia juga

berhak menikmati hasil dari budak itu. Hasil yang dia nikmati, terbayarkan

dengan resiko yang menjadi tanggung jawabnya.

Page 252: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

240

Kaidah Kedua puluh enam

ة م ال ى الس ل د ع قح الع ي ض م ل صح ال

Pada prinsipnya, semua barang yang diterima dalam keadaan selamat

ketika akad

Yang dimaksud selamat di sini adalah terbebas dari aib dan cacat

yang berpengaruh mengurangi nilai barang. Jika dalam barang itu ada cacat

yang mempengaruhi nilainya, maka barang itu dianggap tidak selamat.

Kaidah ini memiliki posisi penting dalam muamalah maliyah. karena

menjadi salah satu rujukan untuk menentukan siapa yang berhak ketika

terjadi sengketa. kaidah ini secara umum merupakan turunan dari prinsip

mengambil yang dzahir (yang nampak), dalam setiap kasus maupun

ucapan.

Al-Kasani mengatakan,

ة وب ل ط ع م ي الب ف ة م ال الس ن أ ة ل ل د د ق الع ف ة ط و ر ش م ة م ال الس ن ى أ ل ع ل ي ل الد د ي ق ب ل ه إ اع ف ت ن ا ل ام ك ت ي ل و يع لب ب اع ف ت ن ال ه ض ر غ ن أل ه ر آخ ل ة إ اد ي ع ت ش ال

ةم ال الس

Bukti bahwa barang bebas cacat adalah syarat akad secara prinsip, karena

barang bebas cacat, itu yang diinginkan pembeli. Karena tujuannya adalah

memanfaatkan barang. Sementara dia tidak bisa memanfaatkan dengan

baik, kecuali jika barang bebas dari cacat. 268.

Untuk itulah, ketika pembeli telah menerima barang, asumsinya,

barang ini bebas dari cacat. Jika ternyata barang ini memiliki cacat, berarti

asumsi itu tidak benar, sehingga pembeli punya hak mengembalikan

barang.

Dalam Ensiklopedi Kaidah Fikih Mumalah Maliyah dinyatakan

268'Allaudin Al- Kasani, al Bada'i as-Shana'i, vol 5, , Dar al-Fikr, Beirut: hal

274

Page 253: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

241

ع ر الش اق ف ت ة ب م ال الس يه ل ع ود ق الع ف ل ص األ ن ب؛ ل ي ع ال ار ي ت خ ب ا ث ن إ و انم ز ل ك اس ف الن ل ام ع ا ت ذ ى ه ل ع ل؛ و ق الع و

Adanya khiyar aib, karena hukum asal dari objek akad adalah diterima

dengan selamat. Bisa dipahami secara syariat dan sesuai logika. Dan inilah

yang menjadi tradisi masyarakat dalam bertransaksi dari zaman ke zaman. 269

Ini seperti yang dinyatakan al-Baji – ulama Malikiyah -,

ب ي ى ع ل ع د ع ب ع ل اط ن إ ا؛ ف ه ي ل ع ص ن ي ل ن إ ؛ و ة م ال الس ي ض ت ق د ي ق الع ق ال ط إ ن إ …د الر ه ل ان ك

Ketika akad telah dilakukan, barang harus dalam kondisi selamat dari aib,

meskipun tidak ada kesepakatan. Sehingga jika setelah itu pembeli melihat

ada aib, maka dia punya hak untuk mengembalikan. 270.

Penerapan Kaidah

Pertama, Pembeli mengklaim bahwa dirinya tidak serius ketika melakukan

akad.

Jika pembeli mengklaim bahwa dia tidak serius ketika melakukan

akad, dan dengan ini dia beralasan untuk mengembalikan barang, maka

alasannya tidak bisa diterima. Karena pada asalnya, transaksi terjadi

dengan baik (as-Salamah), tidak ada penipuan, dan barang diterima dengan

baik. Kecuali jika dia punya bukti yang mendukung pernyataannya.

Dalam al-Mughni dinyatakan,

ن ؛ أل ة ن ي ب ب ل إ ه ل و ق ل ب ق ي ؛ ل ه ار ر ق إ ال ح ل ق الع ل ائ ز ان ك ه ن ى أ ع د ا ث ق ب ر ق أ ن م و اه ي غ م ل ع ي ت ح ة م ال الس ل ص األ

269 Jamharah al-Qawawid al-Fiqhiyah fi al-Muamalah al-Maliyah, hal 270

270 Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d Ayyub Al-Bajiy, 1999, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik, vol 4, Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, Beirut Lebanon, hal 183

Page 254: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

242

Siapa yang menyetujui hak tertentu, kemudian dia mengklaim bahwa ketika

menyetujui dia tidak sadar, maka klaimnya tidak bisa diterima, kecuali

dengan bukti. Karena hukum asalnya adalah akad itu berlangsung selamat

(sukses) sampai diketahui ada kondisi yang berbeda. 271.

Kedua, komplain adanya aib dari pembeli

Jika pembeli mengembalikan barang karena adanya aib pada barang

Di sana ada 3 rincian:

Pertama, Cacat itu murni dari kesalahan pembeli. Dia tidak berhak

mengembalkan barang yang telah dia beli.

Kedua, Cacat yang bisa dipastikan dari penjual, misalnya orang beli

buku, ternyata ada bagian halaman yang kurang. Atau ada bagian

yang tidak sesuai spec yang disebutkan ketika akad.

Ketiga, Cacat tidak jelas kapan munculnya. Pembeli komplain, semen-

tara penjual tidak menerimanya. Siapakah yang dimenang-kan

dalam kasus ini?

Ulama berbeda pendapat dalam kasus ini. Dalam madzhab hambali ada 2

pendapat,

[1] yang dimenangkan adalah pembeli.

Sehingga pembeli cukup bersumpah bahwa cacat itu sudah ada sejak

dari penjual. Ini merupakan pendapat al-Kharqi (w. 334 H).

[2] yang dimenangkan penjual

Sehingga penjual cukup bersumpah bahwa cacat itu dari pembeli. Dan

ini pendapat yang lebih kuat. Dengan alasan:

1. Hukum asal transaksi, barangnya selamat bebas cacat. Jika ada

klaim cacat yang tidak jelas, dikembalikan kepada hukum asal,

bahwa barang diterima dengan selamat.

2. Dinyatakan dalam kaidah,

يخ ار الت ف ف ال ت خ ال د ن ع ه ات ق و أ ب ر ق أ ل إ ث اد ة ال اف ض إ ل ص األ

271 Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, 1997, al-Mughni, vol 5, hal 271

Page 255: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

243

Hukum asalnya, kejadian dikembalikan kepada waktu yang paling

dekat, ketika terjadi perbedaan dalam menetapkan waktunya.

Karena barang ini baru diterima oleh pembeli maka kejadian

dikembalikan kepada pembeli.

Ketiga, jual beli dengan syarat bebas komplain (Ba’i bi Syarth al-Bara’ah)

Ketika penjual mengajukan syarat kepada pembali untuk lepas

tangan dari setiap aib barang, dan pembeli menerimanya, apakah penjual

bisa bebas dengan syarat ini? Bolehkah pembeli mengajukan hak khiyar?

Ada dua keadaan dalam hal ini

Pertama, Pembeli telah mengetahui cacat barang atau cacat itu sangat

jelas, maka penjual bebas dari cacat ini

Kedua, Pembeli tidak tahu cacat, sementara penjual lepas tangan dari

semua aib, hukum yang berlaku ada 2:

[a] Cacat yang sama-sama tidak diketahui, penjual lepas tangan.

Karena pembeli telah menerima semua kondisi barang.

[b] Cacat yang diketahui penjual, sementara dia diam dan merahasia-

kannya. Sehingga pembeli tetap berkewajiban menerima hak

khiyar aib. Karena dengan menyembunyikan aib, termasuk

penipuan.

Page 256: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

244

BAB XII. PENUTUP

Hukum Islam (Fikih) adalah satu dari sistem hukum yang sangat

berkembang dalam sejarah manusia, baik dalam hal kedalamannya

maupun keluasan aplikasinya. Fikih menduduki tempat yang penting dalam

budaya hukum ummat manusia secara keseluruhan . Tidak seperti banyak

tradisi hukum lainnya, Fikih telah memulai sistemasi hukum dan formulasi

kaidah-kaidah hukum-hukumnya sendiri pada awal mula dari tahap

perkembangannya.

Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, hukum Islam (Fikih) ini

merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga

kaidah fikih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi

ekonomi juga menggunakan kaidah fikih muamalah. Kaidah fikih muama-

lah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala

tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada

dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang

berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan

maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Alquran maupun Hadist),

maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

Kaidah fikih dalam muamalah yang ditulis di atas memberikan arti

bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an,

manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa

memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungan-

nya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini

didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi

‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam

urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan

waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk

menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang

bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung

tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensi-

Page 257: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

245

nya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi

manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).

Efek yang timbul dari kaidah fikih muamalah di atas adalah adanya

ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muama-

lah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang

muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum

ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama

transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam

Islam.

Page 258: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

246

DAFTAR PUSTAKA

A Djazuli, Kaidah- Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah

yang Praktis, Kencana, Jakarta: 2007.

A. Ifham Sholihin.Buku Pintar Ekonomi SyariahGramedia, Pustaka Utama,

Jakarta: , 2010

A. Mu’in, dkk, “Ushul Fikih 1”, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta, 1986,

Abd Aziz (ed), Ensiklopedi hukum Islam vol 3, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996

Abd haq, dkk, , Formulasi Nalar Fikih”, Khalista, Surabaya, 2009

Abd Husain Abdullah, Al-Iqtishad al Islami; ushusun wa muba’un wa akhdaf,

(Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar, dan Tujuan) terj. M Irfa Syofwani,

Yogyakarta: Magistra Insani Press, 2004.

Abd Muhsin bin Abdullah az-Zamil, tt, Syarh al-Qawâ’id as-Sa’diyah, Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi

Abd Rahman bin Nashir as-Sa’adi. Tahqiq , Khâlid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsîmul Badî’atun Nâfi’ah, Cet. II. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh, 2001,

Abd Rahman bin Natsir as-Sa’ady, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir kalam al-Mannan vol 2, Ulin Nuha ats-Tsa’alaby, Kairo, 2000

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fikih. Amzah, Jakarta , 2005,

Abd Rahman ibn Jâdillâh al-Bannâni, Hâsyiyah al-Bannâni, Jilid I, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995

Abd Wahab bin Ali bin Abd Al-kafi Al-Subki, Al-Imam Tajuddin. Al-Asybah wa Al-

Nazhair juz 1. Beirut: Dar Al-kutub al-Islamiyah.

Abdullah Al-Kamali. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fikih al- Muuwazanat.cet. I, Dar

al-Fikr, Beirut-Libanon: 2000.

Abi Walid Sulaiman Bin Kholaf Bin Sai’d AyyubAl-Bajiy, Al-Muntaqa Syarah Muwattha’ Malik,: Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, Beirut Lebanon 1999,

Abidin, Zainal. Al-Furuq. Vol 3Maktabah Al-Munawwir., Yogyakarta: 1959.

Abu Bakr Jabir al-Jazairi Aisar at-Tafâsir, Cet. VI, Maktabah Ulum wal Hikam,. 2003,

Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhâjul Muslim, M, Dar Ibni al-Haitsam, Kairo, 2002

Page 259: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

247

Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Latif, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fikih

Islami, Jakarta, Pustaka Al-Furqon; , 2009

Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, Dar al-Ma’arif, Beirut1979,

Adiwarman Azwar Karim, , Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam; Edisi Ketiga, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Adiwarman, Karim, Ekonomi Mikro Islam. PT. Raja Grafindo Persada,. Jakarta. 2007

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid I, terj. Soeroyo dan Nastangin, Dana

Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid II, terj. Soeroyo dan Nastang-in,

Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid III, terj. Soeroyo dan Nastang-in,

Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam; Jilid IV, terj. Soeroyo dan Nastang-in,

Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.,

Ahmad bin Abd Halim, Syeikh Islam Ibn Taimiyah, al-Qawaid an-Nuraniyah, Dar Ibn al-Jawzi, al-Dammam, 2002,

Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Vol. VI. Kairo: Mu'assasah Qurtubah, tt.

Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul fikih al-Islami, Iskandariyah Muassa-sah Tsaqofahal-Jamiiyah, tt. , 1983

Ahmad Mukri,. Kontekstualisasi ijtihad dalam diskursus pemikiran hukum Islam di

Indonesia. Pustaka Pena Ilahi, Bogor:2010

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV, Musthafa Bab al-Halabi, ,

Beirut: t.th

Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2007,

Ali Ahmad Al-Nadawi, Al-Qawa'id Al-Fikihiyah, Cet. I, Dar Al-Qalam, Damaskus, 1986

Ali Ahmad Al-Nadw. Al-Kaidah Al-Fikihiyah. cet .V. Dar al-Qalam. Beirut:. 2000

Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawâ’id Al-Fikihiyah, Dâr al-Qâlam, Beirut , 2000

Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz II, Maktabah Dar al-Bayan, Damaskus, 2000,

Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, Zadul Ma'ad, Pustaka Azzam, Jakarta: 2000.

Page 260: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

248

Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1983

Al-Kamali, Abdullah. Maqashid al-Syari’ah Fi Dau’ Fikih al- Muuwazanat.cet. I,: Dar al-Fikr , Beirut-Libanon. 2000

Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fikih al-Syafi’I, cet. I, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1979

Amir. Syarifuddin.Ushul Fikih jilid 1. Kencana, Jakarta: , 2008

Amir. Syarifuddin.Ushul Fikih.Jilid 2. Kencana, Jakarta: , 2011

An Nabhani, Taqyuddin. An – Nidlam Al Iqtishadi Fil Islam, terj. oleh Magh-fur

Wachid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah

Gusti , 2002

Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad, Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; (Terj: Rafiqah Ahmad, Alimin). Migu-nani, Jakarta. 2008

Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-Undangan Pidana

Khusus di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kemente-rian Agama RI,

Jakarta: 2010.

Asymuni Abd.Rahman. Kaidah-Kaidah Fikih. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang. . 1976

Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fikih, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2009

Burhanudin, Fikih Ibadah, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001

Dahlia Husni, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta: 2006.

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi ke-3, Rajawali Press,

Jakarta:2010.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi

ke- 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa:

Edisi Empat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Euis Amalia,.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kon-

temporer, Pustaka Asatrus, Jakarta:, 2005

Frank H. Knight, Risk, Uncertainty, and Profit, Houghton Mifflin Co. Boston .1921

Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Edisi Kedua Jilid 1,(terj) Haris Munan-dar,

Erlangga, Jakarta: 2003.

Habib Nazir, M Hasanudin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan, Kafa Publishing, Bandung, 2008

Hamka Haq, Al Syathibi; Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-

Muwafaqat, Erlangga, Jakarta: 2007.

Page 261: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

249

Hassan Shadily (ed),. Ensiklopedi Indonesia, Ictiar–Van Hoeve, Jakarta 1983

Hasyiyah Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, jilid IV, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir: 1966.

Ibn Nujaim al-Masharî Al-Hanafî, , al-Bahr ar-Râiq Syarh Kanz ad-Daqâiq (Fî Furû' al-Hanafiyyah), vol , Dâr al-Kutub al-'Alamiyyah, Beirut,. 1252 H

Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhâir, Dâr al-Fikr, Damaskus, 1983

Ibnu Majah, Abu Abd M. bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Darur Fikr,

Beirut:1607.

Ibnu Nuzaim., Al-Asybah wa al-Nazhair. cet 1. Dar Al-fikr. Damaskus: 1983

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Shaikh al Islam Ahmad b. Taimiyah. Al Riyadh Press, Riyadh, 1983

Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of The Hisba, (terj) Arif

Maftuhin Dzofir, Tugas Negara Menurut Islam, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta:. 2004

Imam Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubro, Birut: As-Saadah, 1323 H,

Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fikihiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Jaih Mubarok, Kaidah Fikih (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Jalaluddin Abd al-Rahman Al-Suyuthi. a-Asybah wa al-Nazhair fi Kaidah wa furu’

Fikih al-Syafi’i. cet 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. , Beirut: 1979

Jusmaliani, Bisnis Berbasis SyariahBumi Aksara, , Jakarta: 2008.

Kementerian Agama RI, Syaamil Al-Quran, Edisi Ushul Fikih, Sygma Publising,

Bandung: 2011.

Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait Al-Mausu'ah Al-Fikihiyah Al-Kuwaitiyah, vol 9, Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, Kuwait; , 1983,

Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-2004, Ahkamul

Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Lajnah Ta’lif Nasyr

NU, Surabaya: 2007.

M Nazori Majid,, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf. Cet. I. PSEI STIS,

Yogyakarta: 2003.

M Syakir Sula. Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan Sistem Operasional ,

Gema Insani Press, Jakarta: , 2004

Page 262: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

250

M. Abdul Mannan,, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Dasar-Dasar Ekonomi

Islam), diterj. M Nastangin, PT Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta: 1995.

M. Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, Era Adicitra Intermedia, Solo: 2011.

M. Nur Rianto,, Euis Amalia, Teori Mikro Ekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi

Islam dan Ekonomi Konvensional, Kencana, Jakarta: 2010.

M. Umer Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Gema Insani, Jakarta:2000.

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta: 2000.

Muchtar yahya, fathchurrahman, dasar-dasar pembinaan hukum Islam, al Ma’arif. Bandung. , 1993

Muhammad Abdul Mun’im Al-Jamal, Ensiklopedi Ekonomi Islam. (Terj.) Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Selangor Malaysia: . 1997

Muhammad Abu Zahrah, tt, Ushul Fikih, Dâr Al-Fikri Al-Arabi, tt

Muhammad Abû Zahrah, Ushûl Fikih, Dâr al-Fikr al-Arabî, Mesir, 1990

Muhammad al-Ruki, Qawâ’id Al-Fikihi al-Islami, Dâr al-Qâlam, Beirut, 1998,

Muhammad bin Ahmad abi Bakr Abi ‘Abdullah al-Qurthubi,, Tafsir al-Qurthubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Cet I, Daar Ar-Risalah, Beirut, 2006

Muhammad bin Idris As-Syafi'i, al-Umm (Juz II, , Dar al-Fikr, Beirut.

Muhammad bin Muhammad Al babaruti, 'ināyah syarh al-hidāyah Maktabah. Syamilah, Kitabul Fikihi, Fikih Hanafiah

Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Mudzakkirah al-Fikih vol II, Cet. I, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, 2007

Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarh Manzhûmah Ushûlil Fikih wa Qawâ’idihi, Cetakan Pertama, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, 1426

Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, at-Ta’lîq ‘alal Qawâ’id wa al-Ushûlil Jâmi’ah, Cetakan pertama, Muassasah as-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin al-Khairiyyah, Unaizah, 1430 H

Muhammad Ma’shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fikihiyyah), Al-Syarifah Al-Khadijah, Jombang, 2006

Muhammad Shidqi Ibn al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah al-Fikih al-Kuliyyat, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, 1983,

Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fikih Keuangan dan Transaksi Bisnis, Ulul Albab Institut, Bogor, 2010

Muhammad Umer Chapra, Islam dan tantangan Ekonom; Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Risalah Gusti, Surabaya, 1999.

Muhammad Utsman Syabir,Muamalah Maliyah Mu’ashirah, Daarun nafais, Kuwait, 2007

Page 263: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

251

Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, BPFE Yogyakarta,

Yogyakarta: 2004.

Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE-Yogyakarta,. Yogyakarta, 2004

Muhyiddin an-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj vol IX, Cet. XIV, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 2007

Muliadi Kurdi, Ushul Fikih Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh, 2011

Mun’im A. Sirry, Sejarah Fikih Islam, Sebuah Pengantar, Risalah Gusti,

Surabaya:1995.

Mustafa Ahmad al-Zarqa’,Madkhal al-Fikih al-Islamy, Juz.3. Mathabi’ Fata al-‘Arab, Mesir: 1965

Musthafâ Ahmad al-Zarqâ’, al-Madkhal al-Fikih al-‘Amm, Mathba’ah Jâmi’ah, Damaskus, , 1983

Muwattha’ Malik,Beirut Lebanon : Daar Kitabu Al-‘Ulmiyah, 1999

Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fikihiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, 2005

Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fikihiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, cet. II, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, 2005

Nasrun Haroen,, Ushul Fikih 1, Logos,Yogyakarta: 1997.

Nukhbah min al-‘Ulama’, al-Fikih al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah , 1424 H

Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta:2010.

Nurul Huda, dan A Muti, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Kitab al- Kharaj

Imam Abu Yusuf), Ghalia Indonesia, Bogor: 2011.

Nurul Huda,, et al, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta:

2009.

Paradigma Muhammad, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, Graha Ilmu,

Yogyakarta: 2008,

Sadono Sukirno,.Mikro Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1999

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual; Jawaban tuntas Masalah Kontemporer, Gema

Insani, Jakarta: 2003.

Page 264: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

252

Shadr, M. Baqir. Iqtishaduna: Buku Induk Ekonomi Islam: (Terj )Yudi,: Zahra,

Jakarta, 2008

Sindung Haryanto, Sosiologi Ekonomi, Ar Ruzz, Jakarta:2011.

Soerjono Soekano dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Suharsimi Arikunto.Prosedur Penelitian; SuatuPendekatan Praktis, Rineka Cipta,

Jakarta: , 1998

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara, , Jakarta: 2008.

Syahin Harahap, dan Hasan Bakti, Ensiklopedia Aqidah Islam, Kencana, Jakarta:

2009.

Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di, Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, cet. I, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 2002

Syaikh al-‘Utsaimîn , al-Qawâ’id wal Ushûl al-Jâmi’ah wal Furûq wa at-Taqâsim al-Badi’ah an-Nâfi’ah, Cet. I, Maktabah as-Sunnah, Kairo, 2002,

Syaikh Muwafiquddin Ibnu Qudamah, al-Mughni vol 4, Dar Alamul Kutub, Riyadh, 1997

Syalabi,.Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, PT AL Husna Zikra, Jakarta: 1997

Syed Nawab Haider Naqvi, Etics and Economics: An Islamic Synthesis, The Islamic

Foundation, London, 1981

Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, The

Islamic Foundation, London, 1981

Syeikh al Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al Fikihiyah, Daar al Kutub al Ilmiyah, Beirut: 1995

Tajjuddin Abd al-Wahab bin Ali bin Abd al-Kafi al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhâir, Juz I, Dâr al-Kutub al-Islamiyah, Beirut

Tajuddin as Subki, Al-Asybah wan Nadha'ir, Daar al Qalam, Damaskus

Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Falsafah Hukum Islam, ;PT. Pustaka

Rizki putra. Semarang, 2013,

Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddqy, Pengantar Hukum Islam. cet 1. PT.

Pustaka Rizki putra. Semarang:. 1997

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. , 1989

Wahbah Zuhaily, tt, al-Fikih al-Islam Wa Adillatuhu, Juz IV, Mesir: Dar al- Fikr, t.th.

William A Mceachern,, Pengantar Ekonomi Mikro: Pendekatan Kontemporer, (terj)

Sigit Triandar, Salemba Empat, , Jakarta: 2001.

Page 265: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

253

Ya’qub bin Abdul Wahhab al-Bahisin, al-Mufasshal fi al-Qawâ’id al-Fikihiyyah, Cet. II, Dar at-Tadmuriyyah, Riyadh. 2011

Yusuf Qardhawi, “Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami” (Norma dan Etika

Ekonomi Islam), terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Gema Insani Press,

Jakarta: 2006.,

Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-

bank Asing. Mgyasni.niriah.com

Yulianti, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf : e-journal.stainsalatiga.ac.id.

http//www. firmadani.com/sistem-ekonomi-kapitalis. diunduh hari ahad 10

Februari 2019

http:// elib.unikom.ac.id/files/disk1/.../jbptunikompp-gdl-prasetyoad-22806-6-unikom_p-i.pdf di akses pada tanggal 28 Februari 2019

http://alimurtadho.wordpress.com. diunduh hari jumat 1Februari 2019

http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/penetapan-harga-dalam-

islamperpektif.html.diunduh hari ahad 3Februari 2019

http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin /01-02 pendahuluan diunduh pada hari Ahad, tanggal 24 Februari 1019

Page 266: pistaza.files.wordpress.com · iv Kaidah Fikih Ekonomi @.April Purwanto, 2019 Penyuntung Naskah : Pudji Hastuti Ilustrator Isi : Ahsani Manjid Fakhry Desain Sampul : Muhammad Zakky

254

RIWAYAT PENULIS

April Purwanto lahir di Klaten pada tanggal

14 Sya’ban 1391 H. Alumnus Program Studi

Keuangan dan Perbankan Syariah (KPS) Program

Pasca-sarjana UIN Sunan Kalijaga ini merupakan

praktisi Zakat sejak tahun 1998 ketika banyak

orang menganggap pekerjaan Amil zakat bukan

meru-pakan pekerjaan profesi. Konsistensi dan

pengalamannya dibuktikan deng-an mendirikan

Pusat informasi dan studi zakat (Pistaza) pada

tahun 2005 yang dikemudian membidani lahirnya

beberapa lembaga amil zakat di berbagai daerah yang masih eksis hingga

sekarang.

Selain itu penulis juga pernah aktif di beberapa organisasi di tingkat

nasional maupun daerah. Diantara organisasi yang penah diikuti adalah

Forum zakat (FOZ), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY, Ikatan Ahli

Ekonomi Islam (IAEI) DIY, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Masyarakat

Relawan Indonesia (MRI), dan Gerakab Bebas Narkoba Kabupaten Sleman,

dan lain-lain.

Beberapa karya yang pernah diterbitkan;

1. Risalah Zakat, Rumah Zakat Indonesia, 2003

2. Tanya Jawab Seputar Zakat, RZI Jogja,2005

3. Cara Cepat Menghitung Zakat, Sketsa, 2006

4. Zakat dan Pemberdayaan Umat, Bamuis BNI, 2007

5. Penguatan Modal Berbasis Masyarakat, Pistaza, 2009

6. Mananjemen Fndraising bagi organisasi pengelola Zakat, Teras,

2009

7. Fikih Muamalah, Pistaza, 2017