apbn_optimalisasi_penerimaan_pph_migas20130828111701.pdf

7
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 1 OPTIMALISASSI PENERIMAAN PPh MIGAS 1. Perkembangan Penerimaan PPh Migas Dasar penerimaan migas adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Dalam KKS diatur bahwa Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak-pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) . Total pembayaran pajak-pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) kontraktor menjadi Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Sepanjang tahun 2007- 2013 pertumbuhan rata-rata PPh Migas adalah 13,31% pertumbuhan tertingi dicapai pada tahun 2008 karena booming harga minyak internasional , perusahaan migas banyak mendapat windfall profit. 44,000.5 77,018.9 50,043.7 58,872.7 73,095.5 67,916.7 71,381.5 0.0 20,000.0 40,000.0 60,000.0 80,000.0 100,000.0 LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBNP APBN 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Garfik 2 Perkembangan PPh Migas , 2007-2013 (dalam Triliun Rupiah) Sumber : Kementerian Keuangan, diolah Pph migas terdiri dari dari pph minyak bumi, pph gas alam dan pph migas lainnya sebagian besar pph migas berasal dari Pph minyak bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pph migas adalah asumsi ICP, nilai tukar rupiah dan lifting minyak serta cost recovery. Perkembangan Rincian PPh migas sepanjang tahun 2007 – 2013 dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Upload: tutunkasep

Post on 22-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 1

OPTIMALISASSI PENERIMAAN PPh MIGAS

1. Perkembangan Penerimaan PPh Migas

Dasar penerimaan migas adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Dalam KKS diatur bahwa

Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak-pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) .

Total pembayaran pajak-pajak (PPs/PPh dan PBDR/PPh Psl. 26) kontraktor menjadi

Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Sepanjang tahun 2007- 2013 pertumbuhan

rata-rata PPh Migas adalah 13,31% pertumbuhan tertingi dicapai pada tahun 2008

karena booming harga minyak internasional , perusahaan migas banyak mendapat

windfall profit.

44,000.5

77,018.9

50,043.7

58,872.7

73,095.5

67,916.7

71,381.5

0.0

20,000.0

40,000.0

60,000.0

80,000.0

100,000.0

LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP APBNP APBN

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Garfik 2

Perkembangan PPh Migas , 2007-2013

(dalam Triliun Rupiah)

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah

Pph migas terdiri dari dari pph minyak bumi, pph gas alam dan pph migas lainnya

sebagian besar pph migas berasal dari Pph minyak bumi. Faktor-faktor yang

mempengaruhi pph migas adalah asumsi ICP, nilai tukar rupiah dan lifting minyak serta

cost recovery.

Perkembangan Rincian PPh migas sepanjang tahun 2007 – 2013 dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Page 2: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 2

2007 2008 2009 2010 2011 2013

Real. Real. Real. Real. Real. APBNP Outlook APBN

PPh Minyak Bumi 16.3 29.6 18.4 22.8 25.9 27.6 27.6 24.0

PPh Gas Bumi 27.3 47.4 31.7 36.0 47.2 40.4 49.0 47.4

PPh Migas Lainnya 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Total 44.0 77.0 50.1 58.8 73.1 68.0 76.6 71.4

2012

PERKEMBANGAN PPh MIGAS, 2007 - 2013

(triliun rupiah)

Uraian

Tabel 2

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah

2. Permasalahan dan Potensi :

Cost recovery hingga saat ini masih menjadi persoalan dalam perhitungan penerimaan

Pph migas meski sudah ada PP Nomor 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat

Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu. Dalam PP tersebut

memang sudah ditentukan komponen-komponen biaya apa saja yang dapat maupun

tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa

syarat cost recovery adalah bahwa biaya yang dikeluarkan memang benar-benar

digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang tidak terkait

hubungan istimewa, sehingga biaya yang terjadi merupakan harga wajar. Melalui PP ini

pemerintah juga dapat mengontrol cost recovery dengan menetapkan batas maksImal

atas biaya pengeluaran oleh kantor pusat serta remunerasi untuk tenaga kerja asing.

Selain itu, pemerintah juga telah menentukan batas maksimal biaya modal dan biaya

bukan modal yang dapat dapat diganti sebagai cost recovery yaitu sebesar 2%.

Page 3: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 3

Perkembangan cost recovery dapat dilihat pada grafik 3 berikut ini :

10

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

APBN-P Real. APBN-P Real. APBN-P Real. APBN-P Real. APBN-P Real Sd

Tw.3 *)

APBN

2006 2007 2008 2009 2010 2011

Minyak Bumi 5,395 4,426 5,821 5,159 5,747 5,773 7,198 6390 6,163 4,324 8,018

Gas 3,657 3,685 4,560 3,551 4,725 3,566 3,852 3719 6,026 2,979 4,313

Total 9,051 8,112 10,381 8,710 10,473 9,339 11,050 10,109 12,189 7,303 12,330

Juta

US

$

COST RECOVERY 2007-2010

Sumber : Kementerian Keuangan, ‘Penerimaan Sumber Daya Alam dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas”

Namun PP tersebut berlaku hanya bagi kontrak kerja sama yang baru, kontrak kerja

sama yang lama tetap mengacu pada ketentuan sebelumnya.

Besar kecilnya cost recovery ini menentukan besar kecilnya penghasilan yang akan

dibagikan (equity to be split) antara pemerintah dan kontraktor. Untuk minyak bumi,

bagian pemerintah adalah 85% sedangkan kontraktor 15%. Dari bagian kontraktor

tersebut akan dikurangi kembali dengan kewajiban DMO dan kewajiban PPh migas.

Persentase bagi hasil 85% berbanding 15% ini berlaku selama kontrak berjalan. Hanya

masalahnya hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Dengan

demikian untuk mempertahankan perhitungan 85% dan 15% tersebut, maka

perhitungan tarif pajak juga telah dipatok tetap dan berlaku tetap selama jangka waktu

kontrak, yaitu tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar 35% dan tarif Pajak

atas Bunga, Dividen, dan Royalti (Pbdr) sebesar 20%. Dengan tidak tercantumnya secara

ekplisit persentase bagi hasil 85% dibanding 15% dalam kontrak —hanya gentlemen

agreement —maka penggunaan tarif pajak lebih rendah sesuai perjanjian penghindaran

Page 4: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 4

pajak berganda atau tax treaty antara negara asal kontraktor dan Indonesia menjadi

salah satu solusi untuk mengurangi kewajiban pembayaran pajak kontraktor 1.

Selain cost recovery, Penerapan tax treaty oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS)

juga menjadi permasalahan tersendiri dalam perhitungan PPh migas dan sudah menjadi

perhatian intansi BPK.

Menurut BPK, regulasi mengharuskan KKKS menggunakan tarif pajak sesuai dengan

kontrak bagi hasil (PSC). Namun KKKS memilih tarif tax treaty yang lebih kecil dari PSC 2.

Padahal banyak perusahaan asing yang meneken kontrak minyak dan gas sebelum 2004

membayar pajak tidak sesuai ketentuan akibat aturan tax treaty. Aturan tersebut dibuat

sekitar 1983 di mana Indonesia menyepakati perjanjian pajak dengan 60 negara,

termasuk dengan negara asal perusahaan minyak dan gas. Menurut aturan tax treaty

tersebut, KKKS Migas asing tidak dikenai pajak berganda. Namun, ujungnya berdampak

banyak sengketa (dispute) antara pemerintah dan KKKS soal penghitungan pajak di

industri migas. Sejak 2011 silam, tunggakan 14 perusahaan migas asing juga belum jelas

akhirnya. Padahal, nilai tunggakannya mencapai Rp 1,6 triliun 3.

Perbedaan perhitungan tersebut disebabkan adanya ketidaksamaan pandangan antara

kontraktor dengan pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak dimana kontaktor

memberlakukan tax treaty dan royalty sebagai komponen pengurangan pajak dengan

alasan kedua item tersebut tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery4.

Dengan kondisi tersebut di atas tentunya dapat berpotensi merugikan keuangan negara

karena kontraktor membayar pajak migas yang lebih rendah dari seharusnya.

Dengan adanya PP 79 Tahun 2010 ini sebenarnya juga merupakan peluang untuk

meningkatkan penerimaan pajak . Meningkatnya kewenangan pemerintah untuk

menentukan biaya-baiaya yang dapat dijadikan cost recovery serta perluasan akses

penentuan batas maksimal remunerasi tenaga kerja asing dan batasan maksimal biaya

modal dan bukan modal untuk dijadikan cost recovery diharapkan mampu menekan cost

recovery. Dengan demikian bagian yang harus dibagi (equity to be split) antara

1 Budi, Chandra : “Mengakhiri Polemik Pajak Migas” http://www.pajak.go.id/content/mengakhiri-polemik-pajak-migas diakses tangal 10 Mei 2013.

2 http://firdausilyas.wordpress.com/2011/08/03/tersangkut-traktat-pajak/#more-220 diakses tanggal 13 Mei 2013

3 Kejar Tunggakan Pajak Migas http://shnews.co/detile-15824-kejar-tunggakan-pajak-migas.html

Diakses tanggal 10 Mei 2013

4 opcit

Page 5: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 5

pemerintah dan kontraktor juga semakin besar dan hal ini berpelauang untuk

meningkatkan pph migas.

Belum lagi tambahan jenis pajak final atas transaksi-transaksi yang terjadi. Yang sudah

diatur jelas adalah pengenaan pajak final atas penghasilan lain kontraktor, yaitu sebesar

20 persen atas uplift atau imbalan yang diterima sehubungan dengan penyediaan

talangan dan sebesar lima persen atau tujuh persen atas imbalan yang diperoleh dalam

pengalihan hak atau participating interest. Tidak tertutup kemungkinan, kegiatan

intensifikasi juga menemukan potensi pajak atas kegiatan jasa yang dilakukan sub

kontraktor. Yang pasti, aturan migas yang bias ini membuat ruang gerak Ditjen Pajak

dalam menggali potensi pajak sektor migas semakin terbuka lebar 5.

Potensi tersebut tentunya berpeluang untuk meningkatkan pajak penghasilan migas.

Namun, di awal 2013 ini Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)

70/PMK.011/2013 pada 2 April 2013 telah membebaskan kegiatan eksplorasi dan

eksploitasi minyak dan gas bumi dari bea masuk impor dan Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Hal itu

untuk mendorong peningkatan kegiatan eksplorasi dalam rangka menambah cadangan

dan kegiatan eksploitasi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi nasional.

Dalam jangka panjang tentunya hal ini berdampak pada peningkatan PPh migas namun

jangka pendek pembebasan tersebut tentunya dapat menurunkan penerimaan pajak

yang lain yaitu bea impor, PPN dan PPnBM.

3. Temuan BPK dalam LKPP 2012

Hasil pemeriksaan atas pengelolaan PPh Migas menunjukkan adanya kelemahan yang

dapat mempengaruhi optimalisasi penerimaan PPh Migas Migas sebagai berikut :

a. Pemerintah belum menetapkan Standard Operating Procedure (SOP) koordinasi

antara DJP, DJA dan SKK Migas dalam rekonsiliasi perhitungan Pph migas terutang

dari KKKS.

SKK Migas melakukan rekonsiliasi Financial Quarterly Report (FQR) dan laporan PSC

7.1 dan 7.2 untuk mengetahui kewajiban PPh Migas KKKS tahun buku 2011 dan

menemukan adanya perbedaan nilai kewajiban pajak yang mengindikasikan adanya

kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp96.856.733.487,40. Hasil rekonsiliasi

tersebut baru disampaikan oleh SKK Migas kepada Dit PNBP pada tanggal 24

Oktober 2012, selanjutnya DJA baru menyampaikan hasil rekonsiliasi dimaksud

kepada DJP pada tanggal 21 Februari 2013. KPP Migas sebagai instansi yang

5Chandra Budi, “Potensi Pajak Migas” http://www.migas.esdm.go.id/tracking/berita kemigasan/detil/267001/Potensi-

Pajak-Migas diakses tanggal 14 Mei 2013.

Page 6: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 6

berwenang melakukan pengawasan atas kepatuhan pembayaran pajak baru

melaksanakan himbauan pada tanggal 2 April 2013.

b. KPP Migas belum mengenakan sanksi atas keterlambatan pembayaran PPh Migas

senilai Rp33.026.495.863,89.

Berdasarkan data transasksi penerimaan pajak pada rekening 600.000411, KPP

Migas belum mengenakan denda administrasi sebesar Rp33.026.495.863,89 atas 35

transaksi pembayaran PPh MIgas bulanan sebesar Rp1.592.544.291.145,08 yang

terlambat dibayar dan tidak teridentifikasi untuk masa Desember 2011 s.d.

November 2012.

c. DJP belum menindaklanjuti rekomendasi dalam Laporan Hasil Audit (LHA) BPKP

Nomor LHA-1084/D504/I/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Hasil Audit

Tujuan Tertentu Atas Kewajiban PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP

Kepada Pemerintah

Hasil konfirmasi BPK kepada KPP Migas menunjukkan bahwa KPP Migas belum

mendapatkan iformasi saldo utang PPs dan PBDR PT Pertamina (Persero) dan PT

Pertamina EP kepada Pemerintah sebesar Rp1.350.441.801.529,70 (kurs yengah BI

tanggal 28 Desember 2012 Rp9.670,00/USD) sebagaimana dimaksud dalam LHA

BPKP tersebut sehingga belum ditagih.

d. Penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh Migas dan perhitungan bagi hasil

migas tidak konsisten sehingga Pemerintah kehilangan penerimaan negara minimal

sebesar Rp1.304.458.064.841,30

Pemeriksaan seara uji petik terhadap penerapan tarif PPh Migas oleh KKKS dalam

perhitungan bagi hasil dan kewajiban PPh Migas untuk tahun pajak 2012

menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan KKKS dalam menggunakan tarif PPh.

Ketidakkonsistenan penggunaan tarif pajak tersebut terjadi pada 25 KKKS untuk

periode Januari s.d. November 2012 sehingga KKKS memperoleh share lebih dari

yang seharusnya dan pemerintah memperoleh pendapatan yang lebih rendah

sebesar selisih tarif PPh sesuai PSC sebesar USD134,897,421.39 ekuivalen

Rp1.304.458.064.841,30.

Permasalahan tersebut disebabkan oleh :

a. Koordinasi antara DJA, DJP dan SKK Migas dalam mengelola PPh Migas belum

berjalan secara fektif

b. Belum diaturnya juknis atau SOP sebagai aturan pelaksanaan untuk

menindaklanjuti Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.02/2012

dan

Page 7: apbn_OPTIMALISASI_PENERIMAAN_PPH_MIGAS20130828111701.pdf

Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR-RI | 7

c. Pemerintah belum melaksanakan rekomendasi BPK untuk melakukan

amandemen PSC dan/atau amandemen tax treaty terhadap KKKS yang

menggunakan tax treaty.

Permasalahan di atas mengakibatkan :

a. Pemerintah tidak dapat segera melakukan upaya efektif untuk

mengklarifikasikan dan menagih nilai kekurangan pembayaran PPh Mgas kepada

KKKS.

b. Pemerintah kehilangan penerimaan negara dari PPh Migas minimal sebesar

USD134,897,421.39 ekuivalen Rp1.304.458.064.841,30 (kurs tengah BI per 28

Desember 2012 sebesar Rp9.670,00) dan berpotensi kehilangan penerimaan

negara dari PPh Migas untuk periode selanjutnya apabila Pemerintah tidak

melakukan amandemen terhadap PSC atau tax treaty kembali.

Atas permasalahan dimaksud, BPK merekomendasikan kepada Pemerintah agar :

a. Menetapkan SOP terkait koordinasi anatara DJP, DJA dan SKK Migas untuk

mendindaklanjuti PMK Nomor 79/PMK.02/2012 pasal 16

b. Menagih sanksi denda administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak dari

KKKS sebesar Rp33.026.495.863,89.

c. Menindaklanjuti rekomendasi BPK tentang amandemen PSC dan/atau

amandemen tax treaty terhadap KKKS yang menggunakan tax treaty untuk

mencegah berkurangnya penerimaan negara dari bagi hasil migas dan PPh

Migas.

***