antropek 1
DESCRIPTION
Tugas Mata Kuliah Antropologi Ekologi 1Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah MadaJuan Samuel (334152)2016TRANSCRIPT
Antropologi Ekologi (Semester Genap 2016) Juan Samuel 12/334152/KT/07322
RELASI ANTARA KEBUDAYAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN
(STUDI KASUS: KEBUDAYAAN BATAK)
Batak merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami wilayah Sumatera
Utara. Etnis atau dapat dikatakan sebagai sub-suku dari Batak yang mendominasi di wilayah
Sumatera Utara adalah Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Pak-pak, Batak Karo, dan Batak
Dairi. Nama-nama etnis tersebut dijadikan sebagai nama kabupaten di Sumatera Utara
(contoh: Batak Toba merupakan orang Batak yang merupakan keturunan dari leluhur yang
tinggal di wilayah Kabupaten Tobasa (Toba-Samosir), dimana Danau Toba termasuk di dalam
wilayah tersebut)1. Setiap etnis mempunyai adat-istiadat yang berbeda antara satu dan
lainnya.
Menurut suku Batak, hutan (harangan) adalah kumpulan tumbuhan pohon (hau)
semak dan rumput (ramba) berbagai ragam. Tumbuhan berkembang sesuai dengan sifat
alamnya tanpa pengaruh manusia. Kayu juga ada disekitar perkampungan non hutan yang
dikembangkan oleh manusia sendiri. Kayu dalam hutan atau tanaman rakyat selalu
mendapat perlakukan khusus untuk pemenuhan kebutuhan yang penuh arti dalam hidup
manusia. Tanaman dalam mitologi Batak adalah saudara tua manusia sebelum Siraja Ihat
Manisia (manusia pertama suku Batak) dilahirkan. Seperti halnya manusia, tumbuhan/kayu
juga memiliki kebutuhan siklus dengan peran air.
Pemenuhan perumahan, kayu berperan penting. Pohon hidup memiliki kebutuhan
sama dengan manusia, akan tetapi manusia sudah diwariskan segala sesuatu yang ada di
bumi dengan arif dan bijaksana. Penghormatan kepada sesama zat yang hidup untuk tujuan
penguasaan menjadi dasar bertindak dalam pemanfaatan tumbuhan/kayu. Hal lain juga
mendapat perhatian orang Batak, seperti penguasaan hutan oleh mahluk gaib
Berikut adalah istilah-istilah yang terdapat dalam adat-istiadat yang berkaitan dengan
penebangan pohon:
“Huhuasi”, yaitu melakukan komunikasi kepada “pemilik” pohon tersebut, lalu orang
Batak menancapkan “takke” (sejenis kapak) ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah
memilih pohon tersebut. Bila keesokan harinya “takke” masih lengket maka mereka dapat
memiliki pohon tersebut. Hal gaib telah diabaikan dan tidak akan ada lagi gangguan
mengikuti ke “huta” kampung.
1 Ginting, N. dan M. Simanihuruk. 2004. Pendekatan Partisipatif Dalam Perencanaan Konservasi Lingkungan Di
DTA Danau Toba. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Komunitas (III No. 3 September 2004, hlm. 147-156). Diakses dan diunduh dari http://usupress.usu.ac.id/files/Pemberdayaan%20Komunitas%20Vol_%203%20No_%203%20Sept_%202004.pdf#page=30 pada tanggal 18 Maret 2016.
“Martondi Hau” merupakan sambutan kepada pohon tersebut diajak ke kampung.
Sebagai saudara tua manusia yang akan dimanfaatkan untuk “parhau” (bahan bangunan
rumah yang akan didirikan), sambutan tersebut dilakukan agar senantiasa mereka bersama-
sama rukun antara rumah dan penghuni, kelak tidak dapat diganggu kekuatan lain dari luar
rumah yang dapat mencelakakan penghuninya. Sebagai sambutan, “ulos atau tikar pandan”
dililitkan ke batang pohon, berselang beberapa jam baru dilakukan penebangan.
“Pinta-pinta” Dalam sikap hidup Batak, setiap memanfaatkan sesuatu selalu
mengharapkan ada pengganti kemudian. Prinsip itu ditanamkan dengan “Martumbur
partabaan, malomak pansalongan”. Prinsip ini tidak membatasi satu mengganti satu, akan
tetapi berkembang biak atau bertambah banyak. Barang siapa yang melakukan pemotongan
pohon dan tidak menjamin ada tunas atau tanaman pengganti, berarti dia telah memutus
satu siklus hidup dan ada “sapata” (kerugian) di lain waktu.
“Ruhut” yaitu etika melakukan penebangan yang harus dijaga dengan ketat. Para
pekerja yang diawasi pengetua lebih dulu memperhatikan arah mana pohon akan roboh.
Tujuannya adalah untuk meminimalkan pohon kecil yang menjadi korban. “Marobo hau
bolon, malisat hau anak” yang berarti “Rubuh kayu/pohon besar, kemungkinan besar akan
menimpa kayu/pohon kecil”. Hal ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk mengurangi
risiko pohon tidak patah secara sempurna dan menimpa pohon-pohon kecil.
Dalam kegiatan pengambilan kayu untuk tambatan (borotan) ternak kerbau atau
dalam berbagai kegiatan acara ritual dan adat Batak, juga terdapat suatu proses yang
penting. Cabang kayu yang dipotong tadi harus ditanam dekat dengan batang bekas
tebangan dan setelah digunakan untuk acara, harus ditanam kembali di tempat sekitar
perkampungan. Apabila kayu tersebut dipelihara dengan baik oleh penduduk
perkampungan, dipercaya dapat membawa nasib baik dan keturunan yang baik bagi
perkampungan tersebut2.
Selain pengelolaan hutan secara umum, orang Batak juga mempunyai kegiatan khusus
dalam pemanenan hasil hutan bukan kayu. Mambalbal Bagot adalah salah satu kegiatan
yang dilakukan orang Batak untuk memanen air nira dari pohon Enau (pohon Bagot) yang
secara harafiah artinya adalah “memukul (batang) Bagot (pohon Enau). Tujuan dilakukannya
pemukulan ini adalah untuk melonggarkan serat-serat yang terdapat dalam batang dan
tandan bagot dengan maksud memperlancar air nira dan mendapatkan air nira yang
banyak3.
2 Naipospos, M. 2007. Kearifan Budaya Batak Mengelola Lingkungan. Diakses dari
https://tanobatak.wordpress.com/2007/06/20/kearifan-budaya-batak-mengelola-lingkungan/ pada tanggal 18 Maret 2016. 3 Sihombing, N. D. R. 2013. Analisis Pola Ritmis Mambalbal Bagot Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa
Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah (Skripsi). Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Diakses dan diunduh dari http://www.etnomusikologiusu.com/uploads/1/8/0/0/1800340/sk-nielsonsihombing.pdf pada tanggal 18 Maret 2016.