antioks.dpph.pdf
DESCRIPTION
pkyhpirpohjoyjTRANSCRIPT
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN POTENSI HAYATI DARI
KOMBINASI EKSTRAK EMPAT JENIS TANAMAN OBAT
INDONESIA
ANDRI KURNIAWAN
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRAK
ANDRI KURNIAWAN. Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari
Kombinasi Ekstrak Empat Jenis Tanaman Obat Indonesia. Dibimbing oleh
MARIA BINTANG dan WARAS NURCHOLIS.
Kombinasi ekstrak etanol dilakukan dari empat jenis tanaman obat di
Indonesia, diantaranya temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng. Hasil
kombinasi tersebut ditentukan aktivitas antioksidannya menggunakan metode 2,2-
difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) sebagai radikal bebas, dan aktivitas potensi hayati
(sitotoksisitas) ditentukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT). Nilai IC50 yang dihasilkan berkisar antara 1.92 hingga 219.29 ppm,
dengan nilai terendah dimiliki oleh kombinasi ekstrak dari temulawak dan temu
ireng (1:0:0:1), serta nilai tertinggi dimiliki oleh kombinasi ekstrak meniran,
sambiloto, dan temu ireng (0:1:1:1). Nilai LC50 yang dihasilkan berkisar antara
31.79 hingga 620.165 ppm, dengan nilai terendah dimiliki oleh kombinasi ekstrak
temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng (1:1:1:1), serta nilai tertinggi
dimiliki oleh kombinasi ekstrak temu ireng (0:0:0:1). Korelasi terbaik antara
aktivitas antioksidan dan potensi hayati (sitotoksisitas) dimiliki oleh kombinasi
(1:1:1:1), dengan nilai aktivitas antioksidan dan potensi hayati sebesar 41.875 dan
31.796 ppm.
ABSTRACT
ANDRI KURNIAWAN. The Antioxidant and Biological Activities of Extract
Combination of Four Indonesia Medicinal Plants. Under direction of MARIA
BINTANG and WARAS NURCHOLIS.
The crude ethanol extracts combination of four Indonesia medicinal plants
namely Curcuma xanthorriza, Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, and
Curcuma aeruginosa were examined for their antioxidant (radical scavenging)
activity using 2,2-diphenyl-1-picrylhidrazyl (DPPH) free radical and biological
activities or cytotoxicity using brine shrimp lethality test (BSLT). IC50 values for
DPPH radical scavengeing activity ranged from 1.923 to 211.127 ppm, with
extract combination of Curcuma xanthorriza and Curcuma aeruginosa (1:0:0:1)
having the lowest value and therefore the most potent, and extract combination of
Phyllanthus niruri, Andrographis paniculata, and Curcuma aeruginosa (0:1:1:1)
having the highest value. LC50 values for BSLT ranged from 31.796 to 620.165
ppm, with extract combination of Curcuma xanthorriza, Phyllanthus niruri,
Andrographis paniculata, and Curcuma aeruginosa (1:1:1:1) having lowest value
and therefore the most potent, and extract of Curcuma aeruginosa (0:0:0:1)
having the highest value. A positive correlation between antioxidant and
biological activities of extract combination was obtained from combination
(1:1:1:1), with antioxidant and biological or cytotoxicity values were 41.87 and
31.79 ppm, respectively.
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN POTENSI HAYATI DARI
KOMBINASI EKSTRAK EMPAT JENIS TANAMAN OBAT
INDONESIA
ANDRI KURNIAWAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari Kombinasi
Ekstrak Empat Jenis Tanaman Obat Indonesia
Nama : Andri Kurniawan
NIM : G84070018
Disetujui
Komisi pembimbing
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S Waras Nurcholis, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berjudul
Aktivitas Antioksidan dan Potensi Hayati dari Kombinasi Ekstrak Empat Jenis
Tanaman Obat Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Uji Mutu
Pusat Studi Biofarmaka IPB (PSB) dari Bulan November 2010 hingga Februari
2011. Penelitian ini merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian Hibah Kompetitif
sesuai Prioritas Nasional 2010 dengan topik Uji Tanggap Penanggulangan Avian
influenza dengan Formulasi Herbal.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan karya ilmiah ini, terutama kepada Ibu Prof. Dr. drh.
Maria Bintang, M.S dan Bapak Waras Nurcholis, M.Si selaku dewan komisi
pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan waktunya selama
berlangsungnya penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K Darusman
selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB yang telah mengijinkan penulis
melaksanakan kegiatan penelitian di laboratorium PSB, serta seluruh staf
laboratorium PSB, khususnya Bu Nunu, Mbak Wiwi, Mbak Salina, Mas Endi, Pak
Zaim, dan Nio atas bantuan teknis dan saran yang diberikan selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf
Departemen Biokimia IPB, terutama Dr.Syamsul Falah, S.Hut, M.Si, drh.
Sulistyani, M.Sc, Ph.D, dan Dr. Laksmi Ambarsari, M.Si selaku tim kelayakan
skripsi, yang telah memberikan waktu dan saran terbaiknya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak, Ibu, Riska Dewi Permata, serta ketiga adik penulis tercinta atas do’a,
motivasi, semangat, dan dukungan moriil, maupun materi yang telah diberikan.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Biokimia 44,
Nasrun Hakim, Amboro Rintoko, Mudho Saksono, dan Daniel Rolas Nainggolan
atas segala do’a, bantuan teknis maupun non teknis, serta dukungan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan mampu meningkatkan iman dan
taqwa kita kepada Tuhan pencipta alam semesta.
Bogor, Juli 2011
Andri Kurniawan
RIWAYAT HIDUP
Andri Kurniawan dilahirkan di Malang pada tanggal 9 November 1988
dari Ayah Mukhlis Hidayat dan Ibu Sulis Narwati, Penulis merupakan anak
pertama dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan jenjang
menengah atas di SMA Negeri 1 Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun
2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan jenjang tinggi di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI
IPB). Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.
Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Kimia Dasar pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011,
mata kuliah Pengantar Penelitian Biokimia pada tahun ajaran 2010/2011, serta
mata kuliah Biokimia Akademi Keperawatan pada tahun ajaran 2010/2011.
Selama menempuh program sarjana, penulis menerima beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik (PPA) sejak tahun 2007 hingga 2011. Pada tahun 2010
penulis melaksanakan kegiatan praktik lapang di PT. Nestle Indonesia Kejayan
Factory, dengan karya ilmiah berjudul Pengukuran Kadar Komponen Kimiawi
Fresh Milk dengan Milko Scan FT 120 Akibat Proses Termisasi. Pada tahun 2011
penulis dkk, mendapatkan dana program kreativitas mahasiswa bidang penelitian
(PKMP) berjudul Gula Kristal Aren. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan di luar
bidang ilmu yang ditekuni, penulis tercatat sebagai The First Winner Bogor
Bussines Simulation pada tahun 2007. Di bidang olahraga, penulis pernah meraih
juara II kompetisi sepak bola olimpiade mahasiswa IPB (OMI IPB) pada tahun
2008. Di bidang organisasi, penulis juga pernah menjabat sebagai pengurus
himpunan profesi Community Research and Education Biochemistry Student
(CREBs) pada periode 2008/2009.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... x
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 1
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) .................................................................... 1
Meniran (Phyllanthus niruri L) .................................................................................... 3
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ................................................................... 4
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) ..................................................................... 5
Radikal Bebas ............................................................................................................. 5
Antioksidan ................................................................................................................ 6
Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picryl-hydrazil (DPPH) ............................................... 7
Uji Potensi Hayati Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) ................................................ 8
BAHAN DAN METODE ......................................................................................... …... 10
Bahan dan Alat ....................................................................................................... .... 10
Metode Penelitian ................................................................................................. ...… 10
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 11
Ekstraksi Sampel .......................................................................................................... 11
Uji Aktivitas Antioksidan DPPH ................................................................................. 12
Uji Potensi Hayati BSLT ............................................................................................. 13
Uji Korelasi Kapasitas Antioksidan dan Potensi Hayati .................................................. 14
SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15
LAMPIRAN ................................................................................................................... 20
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Persentase rendemen masing-masing ekstrak ................................................................ 11
2 Nilai IC50 dari masing-masing formula ........................................................................... 13
3 Nilai LC50 dari masing-masing formula .......................................................................... 14
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Rimpang Temulawak ..................................................................................................... 2
2 Daun Meniran ............................................................................................................... 3
3 Daun Sambiloto ............................................................................................................. 4
4 Rimpang Temu Ireng ..................................................................................................... 5
5 Struktur kimia DPPH ..................................................................................................... 8
6 Ekstrak temulawak, meniran, sambiloto, dan temu ireng ............................................... 11
7 Efek Peredaman Warna DPPH .................................................................................... 12
8 Prinsip Penangkapan H oleh DPPH ................................................................................ 13
9 Uji Potensi Hayati BSLT ............................................................................................. 14
10 Hubungan antara Nilai IC50 dengan Nilai LC50 .............................................................. 15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir penelitian ................................................................................................. 21
2 Prosedur ekstraksi ........................................................................................................ 22
3 Rendemen hasil ekstraksi ............................................................................................. 23
4 Kombinasi equal formulation ....................................................................................... 23
5 Prosedur uji antioksidan DPPH ..................................................................................... 24
6 Contoh data absorbansi formula 1 dan 2 ......................................................................... 25
7 Contoh grafik hubungan konsentrasi formula 1 dan 2 ..................................................... 26
8 Nilai IC50 masing-masing formula .................................................................................. 27
9 Hasil analisis statistik IC50 dengan selang kepercayaan 95% ........................................... 28
10 Hasil Uji Duncan IC50 dengan selang kepercayaan 95% ................................................ 29
11 Prosedur uji potensi hayati BSLT ................................................................................... 30
12 Hasil perhitungan analisis probit formula 1 dan 2 ........................................................... 31
13 Analisis probit nilai LC50 masing-masing formula ........................................................ 32
14 Hasil analisis statistik LC50 dengan selang kepercayaan 95% .......................................... 33
15 Hasil Uji Duncan LC50 dengan selang kepercayaan 95% ................................................ 34
16 Hasil uji korelasi nilai IC50 dengan nilai LC50 ................................................................. 34
17 Dokumentasi Penelitian .................................................................................................. 35
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis yang
dikenal dengan julukan the second mega
biodiversity, memiliki berbagai jenis tanaman
yang diketahui secara empirik berpotensi
sebagai obat fitofarmaka. Beberapa jenis
diantaranya adalah temulawak, meniran,
sambiloto, dan temu ireng. Karakteristik
tanaman sebagai obat fitofarmaka didasarkan
pada potensi tanaman tersebut sebagai antimikroba, antioksidan, antifungi,
hepatoprotektor, antiinflamasi, dan sebagainya
(Nuratmi et al. 1996). Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian uji tanggap
penanggulangan Avian influenza melalui
formulasi herbal. Herbal yang digunakan
diantaranya temulawak, meniran, sambiloto,
dan temu ireng.
Dasar pemilihan herbal temulawak dan
temu ireng dilatarbelakangi oleh potensi
faramakologis dari rimpang temulawak dan temu ireng sebagai antibakteri, antifungi,
maupun antivirus. Kandungan xanthorrizol
dalam temulawak, mampu membunuh
Candida albicans pada dosis 5 mg/L dan
Candida parasilopsis pada konsentrasi 7.5
mg/L pada waktu inkubasi 48 jam (Rukayadi
et.al 2006). Selain itu, ekstrak etil asetat dan
ekstrak metanol dari temu ireng, diketahui
berpotensi menghambat pertumbuhan
Pseudomonas aeruginosa, Staphyllococus
aureus, dan Bacillus subtilis pada konsentrasi 500 mg/mL sebesar 7.5 mm (Philip et.al
2009). Potensi farmakologis dari rimpang
temulawak dan temu ireng akan di uji dengan
menggunakan uji potensi hayati Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT).
Pemilihan herbal meniran dan sambiloto
didasarkan pada potensi keduanya sebagai
imunomodulator. Imunomodulator adalah zat
yang dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh akibat gangguan radikal bebas,
serangan bateri ataupun virus, serta mampu
membantu mencegah terjadinya influenza (Suhirman & Winarti 2010). Ekstrak daun
meniran dan sambiloto diketahui berpotensi
meningkatkan nilai indeks fagositosis pada
mencit albino, masing-masing sebesar
0.0171±0.0010 dan 0.0190±0.0009, serta
mampu meningkatkan jumlah leukosit sebesar
9.1±0.1 juta/mm3 untuk meniran dan 10.4±0.4
juta/mm3 untuk sambiloto (Choudari et.al
2010). Potensi daun meniran dan sambiloto
sebagai imunomodulator akan di uji
berdasarkan aktivitas antioksidan dari keduanya (pertahanan terhadap serangan
radikal bebas).
Radikal bebas sebagai pengganggu sistem
kekebalan tubuh, merupakan pemicu beberapa
penyakit degeneratif seperti kanker, katarak,
aterosklerosis, diabetes melitus, penyakit
jantung koroner, dan gangguan
imunodefisiensi. Data WHO (World Health
Organization) tahun 2005 menunjukkan
bahwa, penyakit degeneratif telah
menyebabkan kematian hampir 17 juta orang
di seluruh dunia. Hal ini menempatkan
penyakit degeneratif sebagai penyakit pembunuh manusia terbesar di dunia. Data
WHO menyatakan sekitar satu milyar orang
diseluruh dunia, saat ini menderita resiko
penyakit degeneratif dan diperkirakan akan
naik menjadi 1.5 milyar pada tahun 2015
(Komnas Lansia 2010).
Solusi dari masalah yang ditimbulkan
radikal bebas adalah dengan menggunakan
antioksidan. Antioksidan memiliki potensi
untuk menetralisir radikal bebas dan memutus
reaksi berantai radikal bebas, sehingga dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan oleh
oksidasi radikal bebas.
Perlakuan kombinasi (formulasi) ekstrak
dari keempat jenis tanaman obat Indonesia
tersebut, diharapkan mampu meningkatkan
potensi bioaktivitas antioksidan dan efek
farmakologis dari masing-masing ekstrak
tunggal tanaman tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan hasil kombinasi
antara rimpang temulawak, daun meniran,
daun sambiloto, dan rimpang temu ireng yang memiliki nilai Inhibition Concentration (IC50)
dan Lethal Concentration (LC50) terbaik (hasil
kombinasi dengan nilai IC50 dan LC50 yang
rendah).
Hipotesis penelitian ini adalah melalui
perlakuan kombinasi keempat jenis ekstrak
tersebut, diharapkan berpengaruh terhadap
potensi bioaktivitas yang dihasilkan. Potensi
bioaktivitas dilihat berdasarkan hasil uji
antioksidan dan uji potensi hayati pada
sejumlah kombinasi sampel yang dilakukan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kombinasi yang
memiliki hubungan terbaik antara potensi
antioksidan dan potensi hayati yang
dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan tanaman obat berupa rumpun
berbatang semu. Di Indonesia, temulawak dikenal dengan berbagai nama daerah,
misalnya koneng gede (Jawa Barat),
2
temulawak (Sumatera dan Jawa Timur), dan temo lobak (Madura). Berdasarkan
taksonominya, temulawak termasuk ke dalam
kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub
divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae,
ordo Zingiberales, famili Zingiberaceae,
genus Curcuma, dan spesies Curcuma
xanthorriza Roxb (Supriadi 2008).
Tanaman ini sering kali ditemukan dalam
semak-semak hutan jati, tetapi ada juga yang
ditanam atau dibudidayakan, khususnya di
daerah pulau Jawa. Temulawak tumbuh liar di
hutan-hutan beberapa pulau di Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan
(Supriadi 2008).
Temulawak merupakan tanaman terna
berbatang semu berwarna hijau atau coklat
gelap, dengan ketinggian mencapai 1 m
hingga 2 m. Akar rimpang terbentuk dengan
sempurna dan bercabang kuat, serta berwarna
hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9
helai, dengan bentuk bundar memanjang
sampai bangun lanset. Daun temulawak
berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun berukuran 31-84
cm dan lebar daun 10-18 cm, panjang tangkai
daun (termasuk helaian daun) mencapai 43-80
cm. Pembungaan tanaman temulawak,
termasuk pembungaan lateral, tangkai
ramping dan sisik berbentuk garis. Panjang
tangkai bunga berukuran 9-23 cm dan
lebarnya 4-6 cm, berdaun pelindung banyak
yang panjangnya melebihi atau sebanding
dengan mahkota bunga. Kelopak bunga
berwarna putih berbulu, dengan panjang
antara 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung, dengan panjang keseluruhan 4.5 cm,
helaian bunga berbentuk bundar memanjang,
berwarna putih dan ujung helaian berwarna
merah dadu atau merah, dengan panjang 1.25-
2 cm dan lebar sebesar 1cm (Priamboro 2001
dalam Afifah 2003).
Rimpang temulawak berukuran paling
besar, bila dibandingkan rimpang tanaman
marga curcuma lainnya. Rimpang temulawak,
dapat dipanen setelah memasuki usia 8-12
bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki daun dan bagian tanaman yang telah
menguning dan mengering, serta memiliki
rimpang besar berwarna kuning kecoklatan
(Liza 2010).
Rimpang induk temulawak berbentuk
bulat dan berukuran lebih besar dibandingkan
rimpang cabang. Rimpang cabang temulawak
memiliki bentuk memanjang dan terletak pada
bagian samping rimpang induk. Warna
rimpang cabang umumnya lebih muda
daripada rimpang induk. Kulit rimpang
berwarna kuning kecoklatan, sedangkan warna daging rimpang adalah jingga tua.
Rimpang terbentuk dalam tanah pada
kedalaman ± 16 cm. Setiap rumpun
temulawak, umumnya memiliki enam buah
rimpang tua dan lima buah rimpang muda
(Afifah 2003).
Temulawak merupakan salah satu tanaman
dengan daya adaptasi yang tinggi terhadap
beberapa cuaca di daerah tropis. Syarat
pertumbuhan temulawak dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya iklim, media
tanam, dan ketinggian tempat. Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan
teduh dan terlindung dari terik sinar matahari.
Di habitat alami, rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu atau
jati. Namun, temulawak juga dapat dengan
mudah ditemukan di tempat terik, seperti
ladang (tegalan). Suhu udara yang baik untuk
budidaya tanaman ini, berkisar antara 19-30 0C. Tanaman ini memerlukan curah hujan
tahunan antara 1.000-4.000 mm/tahun (Afifah
2003). Perakaran temulawak, beradaptasi dengan
baik pada berbagai jenis tanah (media tanam),
baik tanah berkapur, berpasir, maupun tanah
liat. Namun, untuk memproduksi rimpang
yang optimal diperlukan tanah yang subur,
gembur, dan berdrainase baik. Oleh karena
itu, dibutuhkan pemupukan organik dan
anorganik untuk memberi unsur hara yang
cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap
gembur. Tanah dengan kandungan bahan
organic yang tinggi, diperlukan untuk
menjaga agar tanah tidak mudah tergenang air (Afifah 2003).
Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian
5-1.000 m/dpl (di atas permukaan laut)
dengan ketinggian tempat optimum 750
m/dpl. Kandungan pati tertinggi di dalam
rimpang, diperoleh pada ketinggian tanam 240
m/dpl. Temulawak yang ditanam di dataran
tinggi menghasilkan kadar minyak atsiri yang
kecil pada rimpangnya. Tanaman ini lebih
cocok dibudidayakan di dataran sedang
dibandingkan dataran tinggi maupun rendah (Afifah 2003).
Rimpang temulawak sering dimanfaatkan
untuk pengobatan alternatif. Rimpang
temulawak, mengandung 48-59.64% zat
tepung, 1.6-2.2% kurkumin, dan 1.48-1.63%
minyak atsiri, serta dipercaya dapat
meningkatkan kinerja ginjal dan anti-
inflamasi. Manfaat lain temulawak secara
medis, diantaranya sebagai hepatoprotektor,
antikanker, antidiabetes, antimikroba,
antilipidemia, antijamur, obat jerawat,
3
penambah nafsu makan, dan antioksidan (Nurcholis 2008).
Menurut Sugiharto (2004), rimpang
temulawak (Gambar 1) mengandung senyawa
metabolit aktif, seperti kurkumin,
xanthorrizol, minyak atsiri, zat pati, flavonoid,
kamfer, turmerol, phellandrene, myrcene,
isofuranogermacen, p-tolymetilkarbitol,
kation Fe, Ca, Na, dan K. Sedangkan menurut
Hwang et.al (2000), kandungan pati dalam
temulawak dapat berkhasiat sebagai senyawa
imunomodulator.
Kurkuminoid dan xanthorrizol memiliki potensi sebagai zat antioksidan dan
hepatoprotektor. Antioksidan secara alami
terdapat dalam tubuh sebagai sistem
perlindungan terhadap radikal bebas.
Kurkuminoid, secara kuat dapat menghambat
aktivitas enzim sitokrom P450 di hati. Enzim
ini merupakan isoenzim yang berperan dalam
bioaktivasi beberapa toksin, termasuk
benzopirena (Irawati 2008).
Kurkumin juga dapat mencegah
pembentukan ikatan kovalen antara sitokrom P450 dengan DNA, serta mampu memodulasi
fungsi sitokrom P450 untuk menghambat
karsinogenesis oleh senyawa kimia. Selain itu,
kurkuminoid juga mampu menjadi
hepatoprotektor terhadap toksisitas alkohol,
dan mampu untuk menghambat proses
replikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) (Liza 2010). Berdasarkan hasil
penelitian Liza (2010), kurkuminoid mampu
menghambat fusion sel virus, pada siklus
replikasi HIV.
Gambar 1 Rimpang temulawak.
Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Meniran merupakan tumbuhan terna
musiman, dengan ketinggian mencapai 1 m.
Batang pohon meniran, berbentuk bulat, liat,
masif, tidak berbulu, bercabang, licin,
berwarna hijau keunguan, dan memiliki diameter ± 3 mm. Daun meniran tersusun
majemuk dengan warna hijau, dan berbentuk
bulat telur. Karakteristik daun meniran
lainnya yaitu memiliki 15-24 helai anak daun,
bagian tepi daun rata, pangkal daun
membulat, berujung tumpul, dan pada bagian bawah tulang daun sering dijumpai butiran
kecil menggantung. Bunga pohon meniran
bersifat tunggal, dengan kelopak daun
berbentuk bintang, dan mahkota berwarna
putih. Buah meniran berbentuk bulat,
berwarna hijau keunguan. Bijinya berukuran
kecil, keras, berbentuk ginjal, dan berwarna
coklat tua (Widayati 2008).
Tanaman ini juga dikenal dengan nama
dukung anak (Malaka), meniran ijo atau
meniran (Jawa, Sunda), dan gossau ma dugi
(Ternate). Di India tanaman ini dijuluki dengan nama chanca-piedra, sementara di
Amerika Selatan disebut sebagai stone
breaker. Berdasarkan taksonominya, meniran
termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiales,
famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus, dan
spesies Phyllanthus niruri Linn.
Daun meniran mengandung senyawa
kimia turunan flavonoid, antara lain kuersetin,
kuersetrin, isokuersetrin, astragalin, rutin kamferol-4-ramnopiranosida, eridiositol-7-
ramnopiranosida, fisetin-4-O-glikosida, dan
irurin. Bagian akar meniran, mengandung
senyawa kimia 3,5,7-trihidroksiflavon-4-O-α-
ramnosida yang merupakan suatu senyawa
glikosida flavonoid dengan kamferol sebagai
aglikon, dan ramnosida sebagai glikon. Selain
itu, terdapat juga senyawa turunan lignin
seperti, norsekurinin, sekurinin, alosekurinin,
ignan, nirfilin, isolintetrain, hipofilantin,
nirtetralin, nirantin, filantin, hinikinin,
ligtetralin, filantostatin, trans-fitol, dan senyawa alkaloid etnosekurinin (Widayati
2008).
Akar tumbuhan meniran, sering
digunakan untuk pengobatan peradangan,
infeksi saluran kencing, diuretikum,
penyembuhan diare, busung air, infeksi
saluran pencernaan, dan gangguan fungsi hati.
Buah meniran berasa pahit, dan banyak
digunakan untuk obat luka dan scabies. Akar
segar meniran, dapat juga digunakan untuk
pengobatan penyakit kuning, penambah nafsu makan, dan obat antidemam.
Meniran banyak disalahgunakan sebagai
obat penggugur kandungan, dan pemakaian
berlebih dari herba Phyllanthi tersebut, dapat
menyebabkan impoten. Widayanti (2008),
menjelaskan senyawa turunan flavonoid yang
terkandung dalam meniran, dapat
menghambat kinerja enzim xantin oksidase,
sehingga dapat dimanfaatkan dalam
pengobatan batu ginjal dan asam urat.
Senyawa turunan flavonoid dalam tanaman
4
meniran dilaporkan memiliki potensi sebagai imunomodulator, sehingga mampu
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan
mampu menangkal serangan virus, bakteri,
atau mikrob lainnya (Suhirman dan Winarti
2010).
Thyagarajan et al. (1988), telah berhasil
mengisolasi tiga senyawa aktif dari genus
Phyllanthus amarus, yang memiliki aktivitas
inhibisi terhadap perkembangbiakan virus
hepatitis B, meningkatkan sistem imun, dan
melindungi sel hati. Selain itu, menurut Maat
dalam Tjandrawinata et al. (2005), melaporkan bahwa ekstrak P.niruri dapat
meningkatkan aktivitas dan fungsi komponen
sistem imun, baik humoral maupun selular.
Tjandrawinata et al (2005), telah
melakukan uji pra-klinis untuk menguji
aktivitas ekstrak daun meniran (Gambar 2).
Uji pra-klinis dilakukan terhadap tikus dan
mencit, untuk menentukan keamanan dan
karakteristik imunomodulasi dari ekstrak daun
meniran. Hasil penelitian menunjukkan,
bahwa ekstrak P.niruri dapat memodulasi sistem imun melalui proliferasi dan aktivasi
limfosit T & B, sekresi sitokin spesifik (gama
interferon, interleukin, tumor nekrosis, dan
faktor alfa), aktivasi sistem komplemen, dan
aktivasi sel fagosit (makrofag dan monosit).
Selain itu, juga terjadi peningkatan sel
sitotoksik, seperti Natural Killer cell (NK sel).
Gambar 2 Daun meniran.
Sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
Sambiloto merupakan tanaman liar yang banyak tersebar di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Tinggi tanaman dapat mencapai 1
m, dengan batang berbentuk persegi empat.
Sambiloto memiliki daun tunggal, terletak
berhadapan, tangkai daun pendek, berbentuk
lanset, berukuran 12 x 13 cm, bertepi rata, dan
permukaan atas berwarna hijau tua. Sambiloto
memiliki bunga majemuk, berbentuk malai,
berukuran kecil, berwarna putih, terdapat di
bagian ketiak dan ujung tangkai. Buah kecil
memanjang, berukuran ± 0.30-0.40 cm x 1.50-
1.90 cm, berlekuk, memiliki dua rongga, berwarna hijau, biji kecil, gepeng, dan
berwarna hitam (Aji 2009). Berdasarkan taksonominya, sambiloto termasuk ke dalam
kingdom plantae, divisi Spermatophyta, sub
divisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae,
ordo Solanales, famili Achantaceae, genus
Andrographis, spesies Andrographis
paniculata Ness.
Sambiloto (Gambar 3) juga dikenal
dengan nama yang berbeda pada tiap daerah,
yaitu sambilata (Sumatra), Ki Oray (Sunda),
sambiloto (Jawa), papaitan (Maluku), dan
ampadu tanah (Minang). Sambiloto
mengandung metabolit sekunder turunan lakton, yang terdiri dari andrografolid,
deoksiandrografolid, saponin, tannin,
flavonoid, homoanografolid, 14-deoksi-11,12-
didehidroandrografolid (Syamsuhidayat &
Hutapea 1994 diacu dalam Aji 2009).
Komponen aktif dari sambiloto yang diisolasi
dari ekstrak metanol mempunyai efek
imunomodulator dan dapat menghambat
induksi sel penyebab HIV. Komponen-
komponen tersebut, dapat meningkatkan
proliferasi dan induksi IL-2 limfosit perifer darah manusia (Kumar et al. 2005 diacu
dalam Elfahmi 2006).
Hasil penelitian Cahyaningsih et al.
(2003), menunjukkan bahwa melalui
pemberian sambiloto pada dosis bertingkat
dengan koksidiostat (preparat sulfa) akan
meningkatkan heterofil darah ayam.
Penambahan dosis sambiloto akan menaikkan
heterofil darah ayam, kenaikan tersebut
diduga berkaitan erat dengan fungsi ganda
sambiloto sebagai imunosupresan dan
imunostimulan (Deng 1978; Puri et al. 1993). Heterofil merupakan salah satu komponen
sistem imun, yaitu sebagai penghancur sel
asing yang masuk ke dalam tubuh (Tyzard
1987).
Sambiloto, juga dapat digunakan sebagai
obat demam, gatal-gatal pada kulit,
peradangan, gigitan ular berbisa, kencing
manis, disentri, masuk angin, malaria, tifus,
penambah nafsu makan, antioksidan, dan obat
keracunan makanan (Aji 2009).
Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan
keberadaan dari kelenjar adrenal (Yin dan
Guo 1993). Hal ini dikarenakan, sambiloto
dapat merangsang pelepasan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar
ptutiari anterior, yang berada di dalam otak.
Selanjutnya, kelenjar adrenal bagian korteks
akan terangsang untuk memproduksi kortisol.
Kortisol yang dihasilkan ini, kemudian akan
bertindak sebagai imunosupresan (West
1995). Efek imunosupresan akan
5
mengakibatkan timbulnya penurunan respon imun.
Menurut Puri et al. (1993) sambiloto
dapat merangsang sistem imun tubuh, baik
berupa respon antigen spesifik, maupun
respon imun non spesifik yang kemudian akan
menghasilkan sel fagosit. Respon antigen
spesifik yang dihasilkan akan menyebabkan
diproduksinya limfosit dalam jumlah besar,
terutama limfosit B. Limfosit B akan
menghasilkan antibodi yang merupakan
plasma glikoprotein dan akan mengikat
antigen, serta merangsang proses fagositosis (Decker 2000).
Gambar 3 Daun sambiloto.
Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb)
Temu ireng merupakan tanaman semak,
dengan ketinggian berkisar ± 1.5 m. Temu
ireng memiliki batang semu, yang terdiri dari
pelepah daun dan rimpang. Temu ireng
memiliki daun tunggal, berbentuk bulat telur,
berujung runcing, bagian tepi rata, bagian
pangkal tumpul, permukaannya licin, tulang
daun menyirip, dan terdapat garis-garis coklat
membujur. Temu ireng memiliki bunga
majemuk, berambut, memiliki tangkai
berukuran 20-35 cm, panjang mahkota ± 2.5 cm, lebar 1.5 cm, berwarna kuning, kelopak
berbentuk silindris, bercangap tiga, dan
pangkal bunga berwarna putih. Temu ireng
memiliki bentuk perakaran serabut, dan
berwarna coklat muda.
Temu ireng, dikenal dengan nama berbeda
pada tiap daerah, diantaranya temu itam
(Melayu), temu hitam (Minangkabau), koneng
hideung (Sunda), temu ireng (Jawa), temo
ireng (Madura), dan temu lotong (Bugis).
Berdasarkan taksonominya, temu ireng termasuk ke dalam kingdom plantae, divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas Monocotyledonae, ordo Zingiberales,
famili Zingiberaceae, genus Curcuma, spesies Curcuma aeruginosa Roxb.
Rimpang temu ireng (Curcuma
aeruginosa) merupakan salah satu tanaman
obat tradisional yang dimanfaatkan sebagai
obat cacing (antihelmintik), penambah nafsu
makan, peluruh dahak, dan obat demam
berdarah (Gambar 4). (Planthus 2008).
Subekti (1990), menyatakan salah satu bahan
alam yang sering digunakan adalah rimpang
temulawak (Curcuma xanthorriza) dan temu
ireng (Curcuma aeruginosa). Kedua bahan
tersebut berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan antihelmintik. Selain
itu, temu ireng juga dapat dimanfaatkan secara
empiris untuk mengobati kerusakan sel hati.
Rimpang temu ireng mengandung senyawa
kimia berupa turunan kurkuminoid, saponin,
flavonoid, minyak atsiri, dan polifenol
(Damayanti 2009).
Gambar 4 Rimpang temu ireng.
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul atau
atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital
terluarnya dan dapat menyebabkan kerusakan
pada biomolekul (Halliwel dan Gutteridge
1989). Hal tersebut menyebabkan radikal
bebas bersifat sangat reaktif dan mampu
mengambil elekron dari molekul lain, seperti
protein, DNA, dan peroksidasi lipid (Hafidz
2003). Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan oksidatif pada jaringan biologis,
kerusakan tersebut dapat menyebabkan
penyakit kronis, seperti iskemia, katarak, kanker, diabetes melitus, penuaan, dan
jantung koroner (Hiriguchi et al. 1995).
Radikal bebas terbentuk melalui dua cara,
yaitu secara endogen dan eksogen. Secara
endogen, radikal bebas dihasilkan melalui
reaksi biokimia di dalam tubuh, contohnya
oksidasi enzimatis, fagositosis, transport
elektron, dan oksidasi logam transisi melalui
ischemic. Secara eksogen, radikal bebas
dihasilkan dari lingkungan sekitar, seperti
polusi udara, bahan tambahan pangan, dan
6
radiasi ultraviolet (UV). Radikal eksogen tersebut, selanjutnya akan masuk ke dalam
tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan
absorbsi kulit (Amelia 2006).
Radikal bebas diproduksi secara endogen
di dalam sel oleh mitokondria, membran
plasma, lisosom, peroksisom, retikulum
endoplasma, dan inti sel (Langseth 1995).
Radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh,
biasanya terdiri dari spesies oksigen reaktif
(ROS) dan spesies nitrogen reaktif (RNS).
Contoh turunan kedua spesies tersebut,
diantaranya radikal superoksida (O2.),
hidroksil (.OH), peroksil (ROO.), hidrogen
peroksida (H2O2), singlet oksigen (O.), nitrit
oksida (NO.), peroksi nitrit (NOO.), dan asam
hipoklorit (HOCl.) (Murray et al. 2003). Atom
atau molekul dengan elektron bebas ini, dapat
digunakan untuk menghasilkan tenaga dan
beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan
untuk membunuh virus dan bakteri.
Menurut Gordon (1991) diacu dalam
Marpaung (2008), mekanisme reaksi
pembentukan radikal bebas terdiri atas tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Tahap inisiasi, merupakan tahap awal
pembentukan radikal bebas. Tahap kedua
adalah propagasi, yaitu perubahan suatu
molekul radikal bebas menjadi radikal bentuk
lain (pembentukan radikal bebas baru). Tahap
yang terakhir adalah terminasi. Terminasi
adalah tahap dimana terjadi penggabungan
dua molekul radikal bebas dan membentuk
produk yang stabil. Mekanisme reaksi ketiga
tahapan tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Inisiasi:
RH + OH R* + H2O
Propagasi:
R* + O2 ROO*
ROO* + RH ROOH + R*
Terminasi:
ROO* + ROO* ROOR + O2
ROO* + R* ROOR
R* + R* RR
Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang memiliki kemampuan untuk menetralisir
radikal bebas dengan cara menyumbangkan
elektronnya pada molekul radikal bebas.
Senyawa antioksidan dapat mencegah
kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal
bebas terhadap sel normal, protein, lemak, dan
DNA. Berdasarkan sumbernya, antioksidan
dikelompokkan ke dalam antioksidan endogen
dan antioksidan eksogen (Kumalaningsih 2007).
Antioksidan endogen merupakan
antioksidan enzimatis yang dihasilkan oleh
tubuh, melalui proses metabolisme sel.
Contoh antioksidan endogen, antara lain
superoksida dismutase (SOD), katalase
(CAT), peroksidase, dan glutathione
peroksidase (GPX). Superoksida dismutase
merupakan antioksidan endogen yang dapat
mengkatalisis radikal superoksida (O2.)
menjadi hidrogen peroksida (H2O2), sehingga
SOD disebut sebagai scavenger atau pembersih superoksida (O2
.). Katalase sebagai
salah satu antioksidan endogen, merupakan
senyawa hemotetramer dengan besi (Fe)
sebagai kofaktornya. Katalase adalah suatu
hemoprotein yang mengandung empat gugus
heme, dan banyak ditemukan pada hewan
maupun tumbuhan. Katalase berfungsi untuk
mengkatalisis berbagai radikal peroksida
menjadi H2O dan O2 (Kumalaningsih 2007).
Peroksidase merupakan enzim turunan
hemeprotein yang terdapat pada organisme prokariot dan eukariot. Sedangkan GPX
adalah salah satu jenis enzim peroksidase
yang memiliki gugus prostetik berupa logam
selenium (Se). Enzim GPX bekerja dengan
cara memecah H2O2 dan berbagai lipid
peroksida, dengan mereduksinya menjadi
H2O. Proses tersebut melibatkan reaksi redoks
dari glutathione tereduksi (GSH)
(Kumalaningsih 2007).
Antioksidan eksogen merupakan
antioksidan yang diperoleh dari luar tubuh.
Antioksidan eksogen kerap kali diperoleh dari makanan sehari-hari, terutama sayuran dan
buah-buahan yang banyak mengandung
vitamin (vitamin A, C, dan E) serta mineral
(seperti Zn dan Se) (Kumalaningsih 2007).
Berdasarkan fungsinya, antioksidan
dikelompokkan menjadi antioksidan primer,
antioksidan sekunder, antioksidan tersier,
oxygen scavenger, dan chelator. Antioksidan
primer adalah antioksidan yang berfungsi
untuk mencegah terbentuknya radikal bebas
baru, karena memiliki kemampuan untuk menonaktifkan radikal bebas sebelumnya.
Contoh antioksidan primer adalah enzim
SOD, enzim tersebut dapat melindungi sel-sel
tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh
radikal bebas. Kinerja enzim SOD
dipengaruhi oleh beberapa mineral, seperti Zn,
Mn, Cu, dan Se (Kumalaningsih 2007).
Antioksidan sekunder adalah senyawa
antioksidan yang mampu memotong reaksi
berantai (propagasi) yang ditimbulkan oleh
radikal bebas. Sehingga dapat mencegah
7
terjadinya kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder adalah betakaroten,
vitamin C, dan vitamin E. Sedangkan
antioksidan tersier merupakan antioksidan
yang mampu memperbaiki kerusakan sel atau
jaringan akibat oksidasi radikal bebas.
Metionin sulfoksidan merupakan contoh
antioksidan tersier yang mampu memperbaiki
kerusakan DNA akibat oksidasi radikal bebas.
Oxygen scavenger adalah antioksidan yang
mampu mengikat radikal oksigen, sehingga
tidak mendukung terjadinya reaksi oksidasi.
Asam askorbat (vitamin C) merupakan contoh dari oxygen scavenger. Sedangkan chelator
berfungsi mengikat kofaktor logam yang
mampu mengkatalisis reaksi oksidasi,
misalnya asam sitrat dan asam amino
(Percival 1998).
Berdasarkan sumbernya, antioksidan
dikelompokkan menjadi antioksidan alami
dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami
dalam makanan, dapat berasal dari satu atau
beberapa komponen makanan. Senyawa
antioksidan tersebut dapat berupa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan,
maupun antioksidan yang terbentuk selama
proses pengolahan (Pratt 1992 diacu dalam
Amelia 2006). Antioksidan alami umumnya
memiliki gugus hidroksil dalam struktur
molekulnya (Sunarni 2005, diacu dalam
Kuncahyono & Sunardi 2007). Menurut Pratt
dan Hudson (1990) diacu dalam Amelia
(2006), senyawa antioksidan yang diisolasi
dari sumber alami, berasal dari bagian
tumbuhan seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, rimpang, dan serbuk sari.
Selain antioksidan alami, terdapat juga
antioksidan sintetik. Jenis-jenis antioksidan
sintetik yang sering dijumpai, diantaranya α
tokoferol, butylatedhydroxytoluene (BHT),
butylatedhydroxyanysole (BHA), propylgalate
(PG), tert-butyl hydroxyquinone (TBHQ), dan
noredihidroquairetic acid (NDGA). Senyawa
BHT dan BHA adalah antioksidan yang
paling banyak digunakan sebagai bahan
tambahan pangan (Buck 1991 diacu dalam Amelia 2006). Namun, antioksidan tersebut
bersifat karsinogen terhadap sistem
reproduksi, menyebabkan pembengkakan
organ hati, mempengaruhi aktivitas enzim
dalam hati, bahkan dalam jangka waktu lama
tidak terjamin keamanannya. Berdasarkan uji
toksisitas akut dan kronik pada hewan coba,
pemakaian zat antioksidan maksimal yang
diperbolehkan dalam campuran makanan
adalah sebesar 200 ppm (Hernani & Rahardjo
2005).
Antioksidan memiliki fungsi utama untuk memutus reaksi berantai radikal bebas.
Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan
mampu menyebabkan kerusakan oksidatif
pada asam nukleat, protein, dan lipid yang
mampu meng-inisiasi terjadinya penyakit
degeneratif. Senyawa antioksidan seperti
fenol, polifenol, dan flavonoid dapat
menghambat mekanisme oksidasi yang
disebabkan oleh radikal bebas seperti
superoksida, hidroksiperoksida, atau lipid
peroksida (Shahidi 1997 diacu dalam
Nurcholis 2008). Secara umum antioksidan bereaksi dengan menghambat oksidasi lipid
atau autooksidasi melalui beberapa tahap,
yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.
Uji Antioksidan 2,2 diphenyl-1-picryl-
hydrazil (DPPH)
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode, diantaranya adalah metode Ferric
thiocyanate (FTC), asam tiobarbiturat (TBA),
Cupric Ion Reducing Antioxidant (CUPRAC),
Ferric Reducing Ability of Plasma (FRAP),
2,2 diphenyl-1-picrylhydrazil (DPPH), dan
sebagainya. Pemilihan metode DPPH untuk
penentuan aktivitas antioksidan, didasarkan
pada beberapa keunggulannya, diantaranya
mudah, sederhana, cepat, reprodusibel, baik
untuk sampel dengan polaritas tertentu, sensitif, dan hanya membutuhkan sedikit
sampel (Koleva et al. 2002).
Reagen DPPH ditemukan pertama kali
oleh Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922.
DPPH merupakan seyawa radikal bebas
berwarna ungu, dan pada awalnya digunakan
sebagai reagen kolorimetri. Selain itu, reagen
DPPH juga berfungsi untuk investigasi reaksi
inhibisi polimerisasi, uji antioksidan (amina,
fenol, dan vitamin), serta inhibisi reaksi
homolitik (Ionita 2003). Karakter dari DPPH diantaranya, DPPH
merupakan senyawa hidrofobik (tidak larut
air). Namun, dapat berubah menjadi hidrofilik
dengan melekatkan gugus CO maupun SO2
pada DPPH. Menurut Ionita (2003), DPPH
merupakan senyawa radikal bebas yang stabil
dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama, pada kondisi penyimpanan yang baik
(kering).
Prinsip metode uji antioksidan DPPH
didasarkan pada reaksi penangkapan atom
hidrogen oleh DPPH (reduksi DPPH) dari senyawa antioksidan. Reagen DPPH berperan
sebagai radikal bebas yang diredam oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam
sampel. Selanjutnya DPPH akan tereduksi
8
menjadi senyawa diphenyl picryl hidrazine (DPPH-H). Reduksi DPPH menjadi DPPH-H
menyebabkan perubahan warna pada reagen
DPPH (Gambar 5), dari ungu menjadi kuning
(Lupea et al. 2006).
Metode DPPH dapat memberikan
informasi mengenai reaktivitas senyawa yang
diuji dengan suatu radikal bebas yang stabil.
Penangkapan radikal bebas DPPH oleh
antioksidan menyebabkan elektron menjadi
berpasangan, serta terjadi perubahan warna
yang sebanding dengan jumlah elektron yang
diambil oleh radikal bebas. Reagen DPPH hanya dapat mengukur senyawa antioksidan
yang terlarut dalam pelarut organik,
khususnya golongan alkohol. Secara luas,
reagen DPPH digunakan untuk mengukur dan
membandingkan aktivitas antioksidan
senyawa turunan fenolik dan mengevaluasi
aktivitas antioksidan melalui perubahan
serapan yang terjadi. Pengujian aktivitas
antioksidan DPPH harus dilakukan secara
cepat dan hati-hati, karena reagen DPPH dapat
dengan mudah didegradasi oleh cahaya, oksigen, Point of Hydrogen (pH), dan jenis
pelarut.
Metode DPPH secara umum, digunakan
untuk screening berbagai sampel dalam
penentuan aktivitas antioksidan. Pengukuran
serapan DPPH berkisar pada panjang
gelombang 515-520 nm. Metode DPPH dapat
digunakan untuk sampel padatan maupun
larutan, dan tidak spesifik untuk komponen
antioksidan partikular, tetapi dapat digunakan
untuk pengukuran kapasitas antioksidan
secara keseluruhan pada suatu sampel (Molyneux 2004).
Gambar 5 Struktur kimia DPPH.
Uji Potensi Hayati Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT)
Analisis Probit Uji potensi hayati dapat dilakukan dengan
menggunakan metode BSLT. Metode ini
sering digunakan untuk menentukan nilai
sitotoksisitas dari suatu bahan alam. Melalui
uji BSLT dapat diketahui nilai Lethal
Concentration (LC50) senyawa bioaktif pada
sampel terhadap larva udang. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang dibutuhkan untuk
mematikan 50% dari populasi larva udang
total (Frank 1995). Nilai LC50 dari suatu
populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan
jenis galur (Finney 1971). Selain dengan
metode BSLT, uji potensi hayati dapat
ditentukan dengan menggunakan inhibisi sel
tumor pada kentang, inhibisi pertumbuhan
daun Lemna minor L, dan toksisitas terhadap
jentik nyamuk Aedes aegypti (Mc Laughlin &
Rogers 1998). Salah satu metode analisis statistika yang
digunakan untuk menghitung nilai LC50 adalah
dengan menggunakan analisis probit. Analisis
tersebut diperkenalkan oleh Finney pada tahun
1971. Metode regresi linier digunakan untuk
mendapatkan grafik garis lurus apabila probit
kematian ditransformasikan terhadap
konsentrasi. Konsentrasi yang dapat
mengakibatkan 50% kematian populasi hewan
diperoleh dengan menarik garis dari 50%
probit kematian (Finney 1971). Meyer et al (1982) telah mengembangkan
metode ini untuk menemukan senyawa
bioaktif baru pada tumbuhan tingkat tinggi.
Metode ini telah banyak digunakan untuk uji
potensi hayati dalam analisis residu pestisida,
anestetik, dan zat pencemaran air.
Metode ini sering digunakan untuk
mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki
efek farmakologis. Data yang diperoleh dari
hasil pengujian dengan menggunakan larva
udang, kemudian dianalisis dengan
menggunakan program SPSS untuk menentukan nilai LC50 dan LC90 (Finney
1971). Data yang diperoleh dapat dianalisis
apabila mortalitas pada kontrol ≤ 20% (Abott
1925 diacu dalam Setiarto 2009). Uji beda
nyata antar nilai LC50 atau LC90 ditentukan
dengan nilai selang kepercayaan 95%.
Senyawa dengan nilai LC50 < 1000 ppm
dikatakan memiliki potensi bioaktivitas hayati
(Mc Laughlin et al 1991).
Metode uji potensi hayati BSLT memiliki
beberapa keunggulan, diantaranya: waktu pelaksanaan cepat, biaya relatif murah,
sederhana, tidak memerlukan teknik aseptis,
tidak memerlukan peralatan khusus, dan
hanya membutuhkan sedikit sampel uji
(Meyer et al 1982).
Larva udang Artemia salina Leach
Artemia merupakan kelompok udang-
udangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda,
kingdom animalia. Artemia hidup di
lingkungan danau berair asin. Udang tersebut
9
toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari kondisi perairan tawar hingga
kondisi garam jenuh. Kadar garam perairan
sangat berpengaruh pada proses penetasan
udang, kadar garam < 6% menyebabkan telur
udang tenggelam dan tidak bisa menetas. Jika
kadar garam > 25%, telur akan berada pada
kondisi tersuspensi, sehingga telur udang
dapat menetas dengan normal (Purwakusumah
2007).
Siklus hidup Artemia dimulai dari saat
penetasan telur atau embrio. Setelah 15-20
jam, pada suhu 25 0C kista akan menetas menjadi embrio. Selama kisaran waktu 20-24
jam, embrio tersebut akan berubah menjadi
naupli (larva udang) yang dapat berenang
bebas. Siklus hidup Artemia dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya pH, cahaya,
suhu, kadar garam, dan aerasi O2. Selang pH
terbaik untuk siklus hidup Artemia adalah
sebesar 8-9, pH di bawah 5 atau di atas 10
dapat membunuh Artemia. Cahaya sangat
diperlukan untuk proses penetasan dan
pertumbuhan mereka. Selain itu, kadar oksigen harus tetap dijaga dengan baik untuk
mendukung pertumbuhan Artemia.
Saat faktor-faktor tersebut dapat diperoleh
dengan optimal, Artemia akan tumbuh dan
beranak-pinak dengan cepat. Apabila kadar
oksigen dalam air rendah, air mengandung
polutan organik, atau salinitas perairan
meningkat, Artemia akan memakan bakteri,
plankton, dan sel khamir. Pada kondisi
tersebut, Artemia akan memproduksi
hemoglobin sehingga tampak berwarna jingga
kemerahan (Purwakusumah 2007). Selama proses inkubasi selama 24 jam,
larva udang membutuhkan proses aerasi
dengan menggunakan aerator (Lampiran 14).
Aerasi merupakan proses terjadinya kontak
antara air dan udara, sehingga terjadi
perpindahan seyawa yang bersifat volatile.
Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2
di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan
menghilangkan rasa serta bau yang
disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga
dapat meningkatkan pH dan menurunkan suhu termal air laut (Setiarto 2009).
Proses aerasi dapat dilakukan dengan dua
cara. Cara pertama adalah dengan
memompakan udara atau oksigen ke dalam
air, sehingga dihasilkan gelembung udara
yang berkontak langsung dengan air. Cara
yang kedua adalah dengan menekan air ke
atas untuk berkontak langsung dengan udara,
proses tersebut dilakukan dengan bantuan
pemutaran baling-baling pada permukaan air
(Moss 1990).
Pertimbangan pemilihan larva udang sebagai hewan uji didasarkan karena telur
Artemia memiliki daya tahan yang lama
(dapat tetap hidup dalam kondisi kering,
selama beberapa tahun). Disamping itu, telur
Artemia lebih cepat dan mudah menetas
dalam waktu 48 jam, sehingga dapat
dihasilkan naupli dalam jumlah besar yang
siap untuk diuji (Carballo et al. 2002). Selain
itu, larva udang memiliki kemampuan untuk
mengatasi perubahan tekanan osmotik dan
regulasi ionik yang tinggi (Croghan 1957).
Alasan lain yang menyebabkan dipilihnya larva udang (naupli) sebagai hewan uji adalah,
karena larva udang memiliki membran kulit
yang tipis, sehingga kematian suatu larva
akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif
dapat dianalogikan dengan kematian sebuah
sel dalam organisme (Fenton 2002; Gad
2007). Disamping itu, larva udang juga
memiliki toleransi yang tinggi terhadap selang
salinitas yang luas, mulai dari air tawar hingga
air yang bersifat jenuh garam (Dyah 1991).
Prinsip penetasan telur udang dilakukan di dalam media air laut buatan selama 24 jam.
Larva udang yang dihasilkan akan berenang
bebas di dalam media air laut buatan. Air laut
buatan terdiri atas klorin, sulfat, natrium,
kalium, magnesium, dan kalsium (Priyotomo
2007). Selanjutnya sebanyak 10 ekor naupli
dimasukkan ke dalam masing-masing sumur
pada plate uji. Kemudian ditambahkan setetes
Tween 80 dan ekstrak dari masing-masing
formula dengan konsentrasi 10, 100, 500, dan
1000 ppm pada masing-masing sumur
(Gambar 9). Tujuan penambahan Tween 80 pada uji potensi hayati BSLT adalah untuk
membantu melarutkan ekstrak hasil maserasi
yang berbentuk pasta (Sanubari 2010).
Persen kematian Artemia salina dapat
dihitung setelah periode inkubasi selama 24
jam, akibat pemberian sejumlah larutan uji
pada media hidupnya. Kematian tersebut
disebabkan, karena larva udang mengalami
keracunan (toxicity) akibat keberadaan
senyawa bioaktif yang masuk ke dalam
tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan tubuh
(imunitas) yang dibentuk larva udang masih
belum mampu untuk menghambat dan
menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat
pada media hidupnya. Kematian larva udang
dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan
menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan
dengan tidak adanya motilitas (pergerakan)
dari larva udang. Selanjutnya dapat dihitung
10
efek farmakologis, berdasarkan nilai LC50
dengan parameter analisis probit.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini, diantaranya rimpang temulawak, rimpang temu ireng, daun sambiloto, daun meniran,
etanol 96%, akuades, telur udang, air laut
buatan, DMSO (dimetil sulfoksida), DPPH,
dan Tween 80.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini,
diantaranya gelas piala, gelas ukur, tabung
reaksi, gelas arloji, sudip, spatula, pipet tetes,
pipet volumetrik, pipet mohr, pipet mikro, tip,
lampu neon, Erlenmeyer, aerator, jerigen,
botol vial, labu takar, vorteks, mikro plate,
oven, rotavapour, sonikator, penggiling 100 mash, freezer, neraca digital, dan Elisa reader
EPOCH.
Metode Penelitian
Pengeringan Sampel
Sampel basah diambil dari kebun
Biofarmaka IPB, terdiri atas 20 kg rimpang
temulawak, 18 kg daun meniran, 11 kg daun
sambiloto, dan 6 kg rimpang temu ireng.
Jumlah bobot yang dipanen didasarkan pada
jumlah tanaman yang tersedia. Tujuannya adalah untuk menghindari kekurangan ekstrak
pada penelitian uji klinis yang akan dilakukan
pada penelitian lanjutan. Masing-masing
sampel dikeringkan dengan menggunakan
oven pada suhu 40-50 0C, selama 4 s.d 5 hari.
Kemudian setiap simplisia kasar dari masing-
masing sampel digiling, dengan ukuran 100
mash.
Ekstraksi Sampel (BPOM 2005)
Setiap simplisia dimaserasi dengan pelarut etanol 96%, dengan perbandingan simplisia
dan pelarut (b/v) sebesar 1:10 untuk setiap
kilogram sampel. Selanjutnya simplisia
dimasukkan ke dalam maserator, dan
direndam sambil sambil sesekali diaduk
selama 6 jam. Maserat yang diperoleh
kemudian dipisahkan, dan proses yang sama
diulang selama dua kali dengan jenis dan
jumlah pelarut yang sama. Selanjutnya,
didiamkan selama 24 jam dan ekstrak yang
diperoleh dipekatuapkan dengan rotavapor
pada suhu 50 0C, sehingga diperoleh ekstrak
kasar dari masing-masing sampel, kemudian
masing-masing sampel disimpan di dalam
freezer pada suhu –20 0C sebelum
dikombinasikan (Lampiran 2).
Kombinasi Sampel Kombinasi ekstrak dilakukan secara equal
formulation, sebagaimana pada Lampiran 4.
Selanjutnya ditambahkan 2 mL etanol 96%
untuk membantu proses homogenisasi. Setiap
sampel kemudian disonikasi dengan sonikator
selama 10 menit, dan dirotavapor pada suhu
50 0C. Kombinasi dilakukan secara triplo.
Uji Aktivitas Antioksidan DPPH (Batubara
2009)
Aktivitas antioksidan dari masing-masing
kombinasi ditentukan dengan menggunakan metode DPPH, menurut Batubara 2009.
Sampel dalam DMSO (konsentrasi 10
mg/mL) dilarutkan dalam etanol 96%.
Kemudian didilusi dengan menggunakan
etanol 96% dengan konsentrasi akhir 0, 0.16,
3.3, 6.7, 10, 13.3, dan 16.7 µg/mL pada
mikroplate. Selanjutnya, ditambahkan 11.8
mg DPPH dalam 100 mL etanol 96%
sebanyak 100 µL, pada setiap lubang
mikroplate. Setelah diinkubasi selama 30
menit, nilai absorban diukur pada panjang gelombang 517 nm (ungu) dengan Elisa
reader EPOCH (Lampiran 5). Aktivitas
inhibisi ditentukan berdasarkan persamaan
berikut:
% inhibisi = A DPPH – A sampel x 100%
A DPPH
Keterangan:
A DPPH : serapan DPPH
A sampel : serapan sampel dan DPPH
Uji Potensi Hayati BSLT (Mc Laughlin
1998)
Potensi hayati dari masing-masing
kombinasi ditentukan dengan menggunakan
metode BSLT, melalui pengamatan nilai persen kematian dari larva udang Artemia
salina Leach (Lampiran 10). Telur udang
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi
air laut buatan untuk ditetaskan. Selama
proses penetasan, wadah diberi penerangan
dengan lampu neon 40-60 watt untuk menjaga
kisaran suhu penetasan (25 0C-30 0C), serta
diaerasi menggunakan aerator. Selanjutnya,
0.02 gr sampel dilarutkan dalam 10 mL air
laut buatan sebagai larutan induk dengan
konsentrasi 2000 ppm. Kemudian larutan
induk diencerkan dengan konsentrasi akhir 10, 100, 500, dan 1000 ppm. Setiap sampel yang
disiapkan ditambahkan setetes Tween 80
sebagai emulsifier (membantu melarutkan
ekstrak hasil maserasi yang berbentuk pasta).
11
Sepuluh ekor larva udang, kemudian dimasukkan ke dalam setiap lubang vial uji
dan ditambahkan 1000 µL sampel. Setelah itu,
diinkubasi selama 24 jam, nilai LC50
ditentukan melalui metode analisis probit
dengan software SPSS 17. Uji potensi hayati
dilakukan secara triplo untuk setiap
kombinasi.
Analisis Statistik (Mattjik & Sumertajaya
2006)
Analisis data statistik dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), sedangkan rancangan
percobaan yang digunakan adalah model
RAL (Rancangan Acak Lengkap). Selanjutnya
dilakukan uji lanjut Duncan Test terhadap
parameter yang dianalisis. Parameter yang
dianalisis meliputi hubungan perlakuan
terhadap nilai IC50, serta hubungan perlakuan
terhadap LC50. Adapun model dari RAL
tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + εij
Dengan : Yij = respon pengamatan formulasi ke-i,
ulangan ke-j
µ = rataan umum
τi = pengaruh rataan ke-i
εij = galat atau komponen acak
dengan
i = 1 untuk formula 1:0:0:0
i = 2 untuk formula 1:1:0:0
i = 3 untuk formula 1:1:1:0
i = 4 untuk formula 1:1:1:1
i = 5 untuk formula 1:1:0:1 i = 6 untuk formula 1:0:1:1
i = 7 untuk formula 1:0:0:1
i = 8 untuk formula 0:1:0:0
i = 9 untuk formula 0:1:1:0
i = 10 untuk formula 0:1:1:1
i = 11 untuk formula 0:1:0:1
i = 12 untuk formula 0:0:1:0
i = 13 untuk formula 0:0:1:1
i = 14 untuk formula 0:0:0:1
Selanjutnya akan ditentukan hubungan
korelasi bivariate antara nilai IC50 dan LC50.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi Sampel
Hasil maserasi dari 20 kg rimpang
temulawak, 18 kg daun meniran, 11 kg daun
sambiloto, dan 6 kg rimpang temu ireng,
masing-masing dihasilkan maserat (ekstrak)
sebesar 200, 150, 150, dan 75 gram. Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh
rendemen masing-masing ekstrak sebesar
3.333%, 4.285%, 8.823%, dan 3.409% (Tabel 1).
Berdasarkan hasil tersebut, sambiloto
memiliki persentase rendemen tertinggi
dibandingkan ketiga jenis ekstrak lainnya,
yaitu sebesar 8.823%, sedangkan persentase
rendemen terendah dimiliki oleh temulawak,
dengan nilai sebesar 3.33%. Senyawa bioaktif
yang terlarut dalam etanol 96% tersebut
diharapkan memiliki aktivitas antioksidan dan
potensi hayati yang akan diuji pada tahap
selanjutnya. Perbedaan jumlah rendemen pada
setiap ekstrak tersebut dikarenakan pada ekstrak dengan rendemen tertinggi
mengandung lebih banyak senyawa yang
mudah larut dalam etanol 96%, sedangkan
ekstrak dengan rendemen yang lebih rendah
mengandung sejumlah senyawa yang kurang
larut dalam etanol 96%. Ekstrak hasil
maserasi dapat dilihat sebagaimana Gambar 6.
Tabel 1 Persentase rendemen masing-masing
ekstrak
Jenis ekstrak Rendemen (%)
Temulawak 3.333
Meniran 4.285 Sambiloto 8.823
Temu ireng 3.409
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6 Ekstrak temulawak (a), meniran (b), sambiloto (c), dan temu ireng (d).
12
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut yang
digunakan, dan luas permukaan simplisia.
Jenis pelarut yang digunakan tergantung pada
polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Pemilihan etanol 96% sebagai pelarut organik,
didasarkan pada kemampuannya untuk
mengisolasi sejumlah bahan bioaktif yang
lebih optimal dibandingkan beberapa jenis
pelarut lainnya. Pemilihan etanol 96% sebagai
pelarut memiliki beberapa keuntungan,
diantaranya dapat menyebabkan komponen
senyawa yang terkandung di dalam sampel dapat terekstrak lebih banyak, karena dapat
mengekstrak komponen kimia yang tahan
panas dan tidak tahan panas (Harborne 1987).
Etanol 96% dapat melarutkan secara
keseluruhan semua zat aktif yang terkandung
di dalam simplisia, baik yang bersifat polar,
semi polar, maupun kurang polar. Menurut
Harborne (1996), etanol dapat menarik
senyawa alkaloid, steroid, saponin, flavonoid,
antakuinon, dan glikosida. Luas permukaan
dari simplisia, juga memengaruhi kelarutan sampel di dalam pelarut etanol 96%. Hal
tersebut disebabkan karena, semakin kecil
ukuran bahan, atau dengan kata lain semakin
tinggi luas permukaannya maka peluang
interaksi dengan pelarut akan semakin besar
(Haryadi 2008).
Uji Aktivitas Antioksidan DPPH
Senyawa bioaktif yang terkandung pada
setiap sampel, akan bereaksi dengan
menyumbangkan satu atom hidrogennya,
sehingga akan menghasilkan senyawa DPPH-H yang berwarna kuning (Gambar7). Baris
atas pada gambar menunjukkan reagen DPPH
sebagai standar (tidak bereaksi dengan
sampel), sedangkan baris bawah adalah
DPPH-H yang merupakan hasil reaksi antara
reagen DPPH dengan senyawa bioaktif.
Daya inhibisi dari masing-masing sampel
diukur pada serapan (absorban) 517 nm. Daya
inhibisi (IC50) dihitung berdasarkan
pengurangan absorban DPPH sebagai standar
terhadap absorban sampel uji (Lampiran 6). Nilai IC50 sebagai parameter aktivitas
antioksidan, merupakan konsentrasi yang
dibutuhkan untuk menghambat aktivitas
radikal bebas (serapan radikal bebas)
sebanyak 50% (Molyneux 2004). Nilai IC50
dari masing-masing sampel diperoleh
berdasarkan persamaan garis yang dihasilkan
dari hubungan antara persen inhibisi terhadap
konsentrasi (Lampiran 7).
Hasil pengukuran aktivitas antioksidan
dari masing-masing sampel ditunjukkan pada
Tabel 2. Semakin rendah nilai IC50 suatu bahan, maka semakin tinggi aktivitas
antioksidannya. Hal tersebut disebabkan,
karena hanya dibutuhkan sejumlah kecil
konsentrasi sampel untuk meredam 50%
radikal bebas DPPH. Hasil penelitian (Tabel
2) menunjukkan bahwa, kombinasi dari
keseluruhan ekstrak pada formula 4 (1:1:1:1)
memiliki nilai IC50 sebesar 41.875 µg/mL
(setara 41.875 ppm). Sedangkan nilai
kombinasi IC50 terendah dimiliki oleh formula
7 (1:0:0:1) yang merupakan kombinasi antara
rimpang temulawak dan temu ireng, yakni sebesar 1.923 µg/mL.
Formula 7 memiliki nilai IC50 yang lebih
rendah dibandingkan nilai IC50 ekstrak
tunggal temulawak dan temu ireng. Ekstrak
tunggal temulawak (formula 1) dan temu
ireng (formula 14), masing-masing memiliki
nilai IC50 sebesar 41.699 µg/mL dan 2.507
µg/mL. Penurunan nilai IC50 tersebut diduga
disebabkan oleh peningkatan kadar senyawa
antioksidan terlarut pada setiap sampel, akibat
perlakuan formulasi. Meskipun formula 7 memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi,
namun parameter tersebut belum memenuhi
kriteria sebagai obat fitofarmaka yang
ditargetkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengukuran efek farmakologis dari masing-
masing sampel uji melalui uji potensi hayati.
Hasil kombinasi antara ekstrak daun
meniran dan daun sambiloto menghasilkan
nilai IC50 sebesar 23.788 µg/mL. Nilai IC50
tersebut, lebih rendah apabila dibandingkan
nilai IC50 ekstrak daun sambiloto tunggal
(formula 12), namun tidak lebih rendah dibandingkan nilai IC50 ekstrak daun meniran
tunggal (formula 8). Ekstrak tunggal daun
sambiloto (formula 12) memiliki nilai IC50
sebesar 86.864 µg/mL, sedangkan ekstrak
tunggal daun meniran (formula 8) memiliki
nilai IC50 sebesar 4.801 µg/mL. Peningkatan
nilai IC50 tersebut diduga disebabkan oleh
peningkatan jumlah senyawa bioaktif di dalam
sampel akibat perlakuan kombinasi dari
masing-masing ekstrak.
Gambar 7 Efek peredaman warna DPPH.
13
Tabel 2 Nilai IC50 dari masing-masing formula
Formulasi Nilai IC50 (µg/mL)
1 41.699c
2 177.089e
3 170.997e
4 41.875c
5 6.714b
6 5.897a,b
7 1.923a
8 4.801a,b
9 23.788c
10 211.127e
11 24.671c
12 86.864d 13 47.295c
14 2.507a,b Keterangan: Perlakuan yang memiliki variabel yang sama
berarti tidak berbeda nyata (p α = 0.05).
Perlakuan formulasi 3 taraf (melibatkan 3
ekstrak) terdapat pada formula 2 (1:1:0:0),
formula 3 (1:1:1:0), formula 5 (1:1:0:1),
formula 6 (1:0:1:1), formula 10 (0:1:1:1), formula 11 (0:1:0:1), dan formula 13 (0:0:1:1)
dengan nilai IC50 masing-masing sebesar
177.089, 170.997, 6.714, 211.127, 24.671, dan
47.295 µg/mL. Beberapa aktivitas antioksidan
formula 3 taraf memiliki nilai IC50 yang lebih
besar dibandingkan formula ekstrak tunggal
maupun formula kombinasi 2 taraf.
Peningkatan nilai IC50 tersebut, dapat
disebabkan oleh adanya interaksi berbagai
senyawa bioaktif ketika proses formulasi,
sehingga menghasilkan suatu produk tertentu
yang tidak memiliki kemampuan sebagai donor elektron pada radikal bebas DPPH.
Hasil analisis statistik ANOVA
menunjukkan nilai p-value sebesar 0.025 atau
bernilai lebih kecil dibandingkan nilai α 5%
(Lampiran 8), sehingga dapat
diintrepertasikan bahwa, perlakuan formulasi
berpengaruh terhadap nilai IC50 yang
dihasilkan. Pengambilan intrepertasi tersebut
didasarkan pada hipotesis awal yang
menyebutkan bahwa perlakuan formulasi
berpengaruh pada nilai IC50 yang dihasilkan. Blois (1958) diacu dalam Hanani et al.
(2005) mengatakan bahwa suatu bahan
memiliki aktivitas antioksidan yang kuat
apabila memiliki nilai IC50 kurang dari 200
ppm (setara 200 µg/mL). Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh, menunjukkan
bahwa kombinasi yang dilakukan
menghasilkan aktivitas antioksidan yang
tinggi, kecuali pada formula10 (0:1:1:1) yang
memiliki nilai IC50 sebesar 211.127 µg/mL.
Nilai aktivitas antioksidan yang tinggi disebabkan oleh banyaknya senyawa kimia
yang berfungsi sebagai zat antioksidan, seperti
flavonoid, kurkumin, xanthorrizol, polifenol,
dan lignin yang terkandung di dalam ekstrak
masing-masing sampel. Perbedaan nilai IC50
pada masing-masing formula, diduga
disebabkan oleh perbedaan jumlah atau kadar
senyawa bioaktif terlarut pada setiap formula.
Senyawa bioaktif pada masing-masing
tanaman yang diduga berperan sebagai
antioksidan diantaranya kurkuminoid,
xanthorrizol (pada temulawak), turunan flavonoid, lignin, alkaloid (pada meniran),
lakton, saponin, tanin, deoksiandrografolid
(pada sambiloto), dan turunan kurkuminoid
lainnya (pada temu ireng). Masing-masing
senyawa tersebut akan berperan sebagai
donor proton pada reagen DPPH, dan
menghasilkan produk berupa DPPH-H. Atom
hidrogen yang disumbangkan oleh masing-
masing senyawa bioaktif akan berikatan
dengan atom nitrogen yang terdapat pada
cincin hidrazin (Ionita 2003). Reaksi penangkapan atom H oleh reagen DPPH dapat
dilihat pada Gambar 8.
Senyawa bioaktif (RH) melepaskan atom
H (hidrogen) membentuk produk (R ). Atom
hidrogen terlepas akan bereaksi dengan
radikal bebas DPPH membentuk produk
turunan DPPH-H, atom H akan terikat pada
cincin hidrazin yang semula memiliki elektron
bebas, sehingga dapat dikatakan bahwa
senyawa bioaktif tersebut memiliki aktivitas
antioksidan.
Gambar 8 Prinsip penangkapan H oleh DPPH.
Uji Potensi Hayati BSLT
Nilai LC50 dari uji potensi hayati masing-
masing formula, ditunjukkan pada Tabel 3.
Penentuan nilai LC50 dilakukan dengan
menggunakan analisis probit pada software SPSS 17. Melalui perangkat tersebut dapat
ditentukan hubungan linearitas antara
konsentrasi formula terhadap probit kematian
dari larva udang. Jumlah letalitas larva udang
dihitung secara manual dengan menggunakan
14
kaca pembesar. Kematian larva udang, disebabkan oleh perlakuan pemberian formula
pada konsentrasi 10, 100, 500, dan 1000 ppm
(Gambar 9). Hasil perhitungan nilai LC50
masing-masing formula dapat dilihat pada
Lampiran 11.
Hasil uji potensi hayati menunjukkan
bahwa efek farmakologis tertinggi dimiliki
oleh formula 4 (1:1:1:1) dengan nilai LC50
sebesar 31.796 ppm. Efek farmakologis
terendah dimiliki oleh formula 14 (0:0:0:1)
dengan nilai LC50 sebesar 620.165 ppm.
Rendahnya nilai LC50 pada formula 4 di duga disebabkan oleh peningkatan jumlah senyawa
bioaktif pada sampel, akibat perlakuan
kombinasi. Semakin rendah nilai LC50 akan
menunjukkan efek farmakologis yang tinggi,
sedangkan semakin tinggi LC50 menunjukkan
bahwa sampel tersebut memiliki efek
farmakologis yang rendah. Nilai potensi
hayati dari masing-masing ekstrak tunggal
diperoleh sebesar 458.912 ppm untuk
temulawak, 472.767 ppm untuk meniran,
569.002 ppm untuk sambiloto, dan 620.165 ppm untuk temu ireng. Menurut Juniarti
(2009), menyatakan bahwa suatu zat
dikatakan memiliki potensi hayati bila
memiliki nilai LC50 ≤ 1000 ppm untuk
ekstrak, sedangkan untuk senyawa murni
memiliki nilai LC50 ≤ 30 ppm, sehingga dapat
dikatakan bahwa seluruh sampel memiliki
potensi hayati, namun potensi hayati terbaik
dimiliki oleh formula 4 (1:1:1:1) dengan nilai
LC50 sebesar 31.796 ppm.
Hasil analisis statistik ANOVA,
menunjukkan bahwa nilai p-value lebih kecil dibandingkan nilai α 0.05. Nilai p-value
diperoleh sebesar 0.018 dan menunjukkan
hasil yang lebih kecil dibandingkan nilai α
sebesar 0.05 (Lampiran 12). Berdasarkan hasil
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan
dari masing-masing formula berpengaruh
nyata terhadap nilai LC50 yang dihasilkan.
Menurut Meyer et al. (1982) suatu ekstrak
turunan dari bahan alam bersifat toksik
apabila memiliki nilai LC50 < 1.0 mg/mL.
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Syahmi et al. (2010) yang
menunjukkan bahwa rentang nilai LC50
ekstrak metanol daun kelapa sawit (Elaeis
guineensis) antara 3.87 mg/mL hingga 9.00
mg/mL, tidak berkorelasi terhadap
pembentukan lesi pada studi histopatologi
hati, jantung, paru-paru, dan limfa mencit.
Kematian mencit terjadi akibat toksisitas
secara akut ekstrak daun kelapa sawit pada
konsentrasi 0.195 mg/mL. Sehingga secara
keseluruhan hasil formulasi memiliki rentang
nilai LC50 yang aman untuk uji klinis pada penelitian lanjutan.
Tabel 3 Nilai LC50 dari masing-masing
formula
Formula Nilai LC50 (ppm)
1 458.912e,f
2 333.170c,d
3 170.768b
4 31.796a
5 173.941b
6 316.561c,d
7 383.948d,e
8 472.767e,f
9 218.444b,c
10 105.227a,b
11 461.264e,f
12 569.002f,g
13 501.960e,f
14 620.165g Keterangan: Perlakuan yang memiliki variabel yang sama berarti tidak berbeda nyata (p α = 0.05).
Gambar 9 Uji potensi hayati BSLT.
Uji Korelasi Kapasitas Antioksidan dan
Potensi Hayati
Setelah diketahui aktivitas antioksidan dan
potensi hayati dari masing-masing sampel,
kemudian dilakukan uji korelasi bivarian melalui software SPSS 17. Tujuan dari uji
korelasi bivarian adalah untuk mengaitkan dan
mengetahui seberapa besar hubungan antara
aktivitas antioksidan terhadap efek
farmakologis (potensi hayati) dari masing-
masing sampel.
Syarat dari obat fitofarmaka yang
ditargetkan adalah memiliki korelasi yang
baik antara aktivitas antioksidan dan efek
farmakologis dari sejumlah sampel yang diuji.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
sampel uji yang memiliki nilai IC50 yang rendah, ternyata belum tentu memiliki nilai
LC50 yang rendah pula.
Formula 4 (1:1:1:1) memiliki hubungan
nilai IC50 dan LC50 terbaik dibandingkan
15
dengan formula lainnya. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 10, yang menunjukkan
bahwa formula 4 (1:1:1:1) memiliki nilai IC50
dan LC50 yang sama rendahnya. Nilai IC50 dan
LC50 dari formula 4 masing-masing sebesar
41.875 ppm dan 31.796 ppm.
Secara garis besar nilai IC50 dan LC50 tidak
memiliki korelasi, seperti yang ditunjukkan
oleh nilai IC50 dan LC50 dari masing-masing
ekstrak tunggal, yaitu formula 1, 8, 12, dan
14, namun, perlakuan formulasi menyebabkan
beberapa formula memiliki hubungan korelasi
pada taraf yang seragam, yakni memiliki nilai pada titik yang hampir sama (Gambar 10).
Berdasarkan hasil uji korelasi secara
bivariate, diketahui bahwa nilai IC50 dan LC50
memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -
0.328, serta signifikan secara statistik dengan
nilai p-value sebesar 0.34. Koefisien korelasi
adalah angka yang menggambarkan tingkat
keeratan hubungan antara dua peubah atau
lebih, sehingga melalui nilai tersebut dapat
diintrepertasikan bahwa nilai IC50 tidak
berkorelasi dengan baik, terhadap nilai LC50. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
jumlah senyawa bioaktif yang terdapat pada
suatu sampel, belum tentu berpotensi atau
memiliki aktivitas antioksidan yang baik.
Gambar 10 Hubungan antara nilai IC50 dengan
nilai LC50.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Formula 4 (1:1:1:1) memiliki hubungan
nilai IC50 dan LC50 yang sama rendahnya, yaitu sebesar 41.875 ppm dan 31.796 ppm.
Formula 4 merupakan formula yang memiliki
aktivitas antioksidan dan efek farmakologis
terbaik dibandingkan formula lainnya. Hal
tersebut didasarkan pada hubungan nilai IC50
dan LC50 yang sama rendahnya.
Saran Perlu dilakukan penelitian yang lebih
lanjut, untuk mengetahui secara spesifik
senyawa bioaktif apa saja yang terkandung
pada setiap formula melalui karakterisasi
secara kimia pada masing-masing formula,
serta perlu dilakukan pengukuran kadar fenol
total pada setiap formula dan dikorelasikan
dengan aktivitas antioksidan yang dihasilkan.
serta perlu juga dilakukan analisis terhadap
aktivitas antioksidan dan efek farmakologis
secara in vivo. Selain itu, perlu dilakukan
pengukuran nilai absorban dari etanol 96% dan DMSO sebagai kontrol pada analisis
aktivitas antioksidan secara DPPH.
DAFTAR PUSTAKA
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia. 2005.
Gerakan Nasional Minum Temulawak.
Jakarta : BPOM RI.
[Komnas Lasia] Komisi Nasional Lanjut Usia.
2010. Penyakit degeneratif [terhubung
berkala]. http://www. Komnaslansia.org.
id./penyakit degeneratif.html [25
Desember 2010].
Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Jakarta: Agromedia.
Aji W. 2009. Uji aktivitas antioksidan tablet
effervescent kombinasi ekstrak etanol daun
dewandaru (Egenia uniflora L) dan herba
sambiloto (Andrographis paniculata Ness)
dengan metode DPPH [skripsi]. Surakarta:
Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Amelia G. 2006. Potensi rumput mutiara
(Hedyotis corimbosa Lam.) sebagai
antioksidan alami [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Batubara I. 2009. Anti-acne potency of
Indonesian medicinal plants [thesis]. Gifu:
United Graduate School, Gifu University.
Blois MS. 1958. Antioxidant determination by
the use of stable free radical. Nature 181:
1191-1200.
Cahyaningsih UK, Setiawan, dan Ekastuti
DR. 2003. Health-promoting properties of
common herbs. Am J of Clinical Nutrition
70: 491-499.
16
Choudari A, Rangari V, Darvekar V. 2010. Formulation development for treatment
and management HIV-AIDS. Int J Pharm
Sci 3: 105-108.
Croghan PC. 1957. The osmotic and ionic
regulation of Artemia salina. Zoology
Journal 10: 219-232.
Damayanti K. 2009. Efek rimpang temu ireng
(Curcuma aeruginosa) terhadap derajat
kerusakan hati ayam petelur yang
diinduksi cacing Ascaridia galli [skripsi].
Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Airlangga.
Decker JM. 2000. Introduction to
Immunology 11th. Blackwell Science: 1-2.
Deng WL. 1978. Preliminary studies on the
andrographis product sodium succinate.
Newsletter of Chinese Herb Med 8: 26-28.
terhubung http://www. Altcancer.com.
Diah SH. 1991.Pembenihan udang galah
Macrobrahium rosenbergi de Man
[laporan kerja praktik]. Bandung: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Teknologi Bandung.
Elfahmi. 2006. Phytochemical and
biosynthetic studies of lignands with a
focus on Indonesian medicinal plants
[thesis]. Nedherlands: Facilitas Beddrif of
Gronigen.
Fenton J. 2002. Toxicology : A Case Oriental
Approach. Boca Raton; ORC Pr.
Finney DJ. 1971. Probit Analysis 3rd Ed.
England: Cambridge University Press.
Frank CL. 1995. Toksikologi Dasar. Edi,
penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan
dari Basic of Toxicology
Gad SC. 2007. Animal Modeling in
Toxicology: 2nd Edition. Boca Raton: ORC
Pr.
Hafidz AF. 2003. Aktivitas anti-radikal bebas
DPPH fraksi metanol Fagreaea auriculata
dan Fagreaea ceilanica. Majalah Farmasi
Airlangga III: 1 April 2003.
Halliwell B, Gutteridge JMC. 1989. Free
Radical In Biology and Medicine. Ed ke-2.
New York: Oxford University Press.
Hanani E, Munim A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp dari Kepulauan
Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 3: 127-
133.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia
Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Bandung: ITB Press.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed ke-
2. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah.
Bandung: ITB Press. Terjemahan dari:
Phytochemical Method.
Haryadi Y. 2008. Pengaruh jenis pelarut, nisbah bahan baku pelarut dan waktu
ekstraksi pada bioaktivitas ekstrak daun
Aglia elliptica [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Heldt W. 2005. Plant Biochemistry. London:
Elsevier.Inc.
Hernani, Rahardjo M. 2005. Tanaman
Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Hiriguchi H, Saito T, Okamura N, Yagi A. 1995. Inhibition of lipid peroxidation and
superoxide generation by diterpenoid from
Rasamarinus officinalis. Planta Medica
61: 333-336.
Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000.
Antibacterial activity of xanthorrizol from
Curcuma Xanthorriza againts oral
pathogens. Fitotherapia 71: 321-323.
Ionita P. 2003. Is DPPH stable free radical a
good scavenger for oxygen active species.
Chem Pap 59: 11-16.
Irawati I. 2008. Perbandingan metode penentuan aktivitas antioksidan rimpang
temulawak [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Jarukamjorn K, Nemoto N. 2008.
Pharmacological aspect of Andrographis
paniculata on health and its major diterpenoid constituent. Journal of Health
Science 54 (4): 370-381.
Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009.
Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan
17
antioksidan DPPH dari ekstrak daun Abrus precatorius. Makara Sains 13: 50-54.
Kardian A, Kusuma FR. 2004. Meniran
Penambah Daya Tahan Tubuh Alami.
Jakarta: Agri Pustaka.
Koleva I, van Beek T, Linnssen JPH, de Groot
A, Evstarieva LN. 2002. Screening of
plant extracts for antioxidant activity: a
comparative study on three testing
methods: Phytochem Anal 13: 494-500.
Kumalaningsih S. 2007. Antioksidan sumber
dan manfaatnya. Antioxidant Centre.
[terhubung berkala].
http://www.antioxidant centre.com.
Kuncahyono I, Sunardi. 2007. Uji aktivitas
antioksidan ekstrak belimbing wuluh
(Averhoa bilimbi. L) terhadap 1,1-
diphenyl-2- picrilhidrazyl (DPPH).
Seminar Nasional Teknologi:1-9.
Langseth L. 1995. Antioxidant and Their
Effect on Health. Di dalam: Schmidl MK,
P Labuza, editor. Essentials of Functional
Food. Maryland: An Aspen Publication.
Liza. 2010. Temulawak, dari uji empiris
hingga uji klinis. Mitra Sehat Alami
Keluarga. [terhubung berkala].
http//www. Lizaherbal.com/main.
Lestari TA. 2010. Profil kimiawi ekstrak
ramuan kunyit, temulawak, dan meniran
berdasarkan aktivitas antioksidan
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Lupea AX, Chambire D, Iditoiou C, Szabro MR. 2006. Short communication
improved DPPH determination for
antioxidant activity spectrophotometric
Assay. Chem Pap 3: 214-216.
Marpaung IM. 2008. Potensi aktivitas
antioksidan pada kulit kayu dan daun
tanaman akway (Drymis sp) [skripsi]. Bogor: Fakultas matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Mattjik A dan Sumertajaya I. 2006.
Rancangan Percobaan. Bogor: IPB
Press.
McLaughlin et al. 1991. “Bench top” bioassay for the discovery of bioactive natural
product: An update. Di dalam Atta-Ur-
Rahman (Ed). Studies in Natural
Product Chemistry. Elsevier:
Amsterdam.
Mc Laughlin, Rogers L. 1998. The use of
biological assays to evaluate botanicals.
Drug Information Journal. Vol 32: 513-524.
Meyer BN, Ferrigni NR, Putman JE, Jacobson
LB, Nichol DE, Mc Laughin JL. 1982.
Brine Shrimps: A convenient general
bioassay for active plant constituent.
Planta Medica 45: 31-34.
Molyneux P. 2004. The use of stable free
radical dyphenilpicryl-hydrazil (DPPH)
for estimating antioxidant activity. J.
Sci. Technol: 211-219.
Moss B. 1937. Ecology of Fresh Waters. Norwich: Anglia.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwel
VW. 2003. Biokimia Harper. Andry
Hartono, penerjemah. Anna P Bani &
Tiara MN, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Terjemahan dari:
Harper’s Biochemistry.
Nuratmi B, Adjirni, Paramitha DL. 1996.
Penelitian farmakologis sambiloto
(Andrographis paniculata). Warta
Tumbuhan Obat Indonesia 3: 23.
Jakarta: Pokjanas.
Nurcholis W. 2008. Profil senyawa penciri
bioaktivitas tanaman temulawak pada
agrobiofisik berbeda [tesis]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Percival M. 1998. Antioxidants. Clinical
Nutrition Insight : 1-4.
Philip K, Nurestry S, Sani W, Shin KS, Kumar S, Lai HS, Serm LG, Rahman S.
2009. Antimicrobial activity of some
medicinal plants from Malaysia.
American of Journal Applied Science 6:
1613-1617.
Planthus. 2008. Temu hitam (Curcuma
aeruginosa Roxb.). terhubung
http://www. iptek.net.id/html.
18
Priyototmo G. 2007. Kandungan umum air laut [terhubung berkala]. http://gudang-
e-bookformaterialscience.
Puri A, Saxena RP, Saxena KC, Srivastava V,
Tanden JS. 1993. Immunostimulant
agent from Andrographis paniculata. J
Nat Prod July 56 (7): 995-999.
http://www.rechnature.com/products/her
bal/articles/Aleanson.html.
Purwakusumah W. 2007. Artemia Salina
(Brine Shrimp). [terhubung berkala]. http://www. O-fish.com/artemia/php.
Puspita MDA. 2009. Pengoptimuman fase
gerak KLT menggunakan desain
campuran untuk pemisahan komponen
ekstrak meniran (Phyllanthus niruri)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Rahman F, Logawa ED, Hegartika H, Simanjutak P. 2008. Aktivitas
antioksidan ekstrak tunggal dan
kombinasinya dari tanaman Curcuma
spp. J Ilmu Farmasi Indonesia 6: 69-74.
Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In
vitro Anticandidal of xanthorrizol
isolated from Curcuma xanthorriza
Roxb. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy. 57: 1231-1234.
Sanubari T. 2010. Toksisitas dan profil kimiawi ekstrak ramuan meniran,
kunyit, dan temulawak [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Sari Y. 2007. Kajian proses pengayaan virgin
oil dengan ekstrak zat pigmen dari
temulawak, kunyit, dan angkak serta
aplikasinya pada penggorengan bahan
pangan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Setiarto HB. 2009. Deteksi dan uji toksisitas
LC50 senyawa aflatoksin B1, B2, G1, G2
pada kacang tanah (Arachis hypogeal L)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika
dan IPA, Institut Pertanian Bogor.
Subekti S. 1990. Khasiat pemberian rimpang
temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.) terhadap ascaridiasis pada ternak ayam. Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga.
Sugiharto. 2004. Pengaruh infus rimpang
temulawak (Curcuma Xanthorriza
Roxb.) terhadap kadar hemoglobin dan
jumlah eritrosit tikus putih yang diberi
larutan timbal nitrat [Pb(NO3)2]. Jurnal
Hayati Berkala 10: 53-57.
Suhirman S dan Winarti C. 2010. Prospek dan
fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Bogor: Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
& Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Sunarni T. 2005. Aktivitas antioksidan
penangkap radikal bebas beberapa
kecambah dari biji tanaman familia
papilanoceae. Jurnal Farmasi Indonesia
2: 53-61.
Supriadi D. 2008. Optimalisasi ekstraksi
kurkuminoid temulawak (Curcuma
Xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Syahmi M, Vijayarathna S, Sasidharan S,
Latha Y, Kwan P, Lau L, Shin N, Chen
Y. Acute oral toxicity and brine shrimp
lethality of Elais guinnesis Jacq (Oil
Palm Leaf) methanol exctract. J Molecules 10: 8111-8121.
Thyagarajan SP, Subramanian T,
Venkateswaran, dan Blumberg BS.
1988. Effect of Phyllantus amarus on
chronic cariers of hepatitic B virus. The
Lancet. 764-766.
Tjandrawinata RR, Maat S, dan Noviyanty D.
2005. Effect of standarized Phyllantus
niruri extract on changes in immunologic parameters: corelation
between pre-clinical and clinic studies.
Medika XXI (6): 367-371.
Tyzard I. 1987. Pengantar Imunologi
Veteriner. Soehardjo Harjosworo,
penerjemah. Terjemahan dari:
Inttroduction to Veterinary Immunology
3: 18-25.
19
West G. 1995. Black Veterinary Dictionary 18th Ed. London: A & C Black.
Widyastuti N. 2010. Pengukuran aktivitas
antioksidan dengan metode Cuprac,
DPPH, dan Frap serta korelasinya
dengan fenol dan flavonoid pada enam
tanaman [skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika dan IPA, Institut Pertanian
Bogor.
Yin J dan Guo l. 1993. Contemporary
traditional Chinese medicine. Beijing: Xie Yuan. [terhubung berkala]
http://www. Altcancer.com.
LAMPIRAN
21
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Sampel basah rimpang temulawak,
daun meniran, daun sambiloto, dan
rimpang temu ireng
Dikeringkan dengan oven padasuhu 40-
500C selama 4 s.d 5 hari
Simplisiadigiling dengan ukuran
100 mash
Ekstraksi dengan Et 96%
Equal formulation
Sonikasi selama 10 menit dan
dirotavapour pada suhu 500C
Uji antioksidan DPPH Uji potensihayati BSLT
Analisis nilai IC50 Analisis nilai LC50
Korelasi nilai IC50dengan nilai LC50
22
Lampiran 2 Prosedur ekstraksi (BPOM 2005)
Simplisiadari masing-masing rimpang
temulawak, daun meniran, daun
sambiloto, dan rimpang temu ireng
Dilarutkan dalam pelarut etanol
96% dengan perbandingan (1:10)
Direndam dan diadukdalam maserator
selama 6 jam
Diamkan selama 24 jam
Rotavapor pada suhu 500C
Simpan di dalam freezer
23
Lampiran 3 Rendemen hasil ekstraksi Jenis sampel Bobot sampel (gr) Bobot ekstrak (gr) Rendemen (%)
Temulawak 20.000 200 3.333
Meniran 18.000 150 4.285
Sambiloto 11.000 150 8.823 Temuireng 6.000 75 3.409
Contoh perhitungan:
Persen rendemen sambiloto (%) = bobot ekstrak (gr) x 100%
Bobot sampel (gr)
= 150 gram x 100%
11.0000 gram
= 8.823 %
Lampiran 4 Kombinasi equal formulation
Formula Kombinasi ekstrak
Temulawak Meniran Sambiloto Temuireng
1 1 0 0 0
2 1 1 0 0
3 1 1 1 0 4 1 1 1 1
5 1 1 0 1
6 1 0 1 1
7 1 0 0 1 8 0 1 0 0
9 0 1 1 0
10 0 1 1 1 11 0 1 0 1
12 0 0 1 0
13 0 0 1 1
14 0 0 0 1
Keterangan:
1 : mengandung ekstrak
0: tidak mengandung ekstrak
24
Lampiran 5 Prosedur uji antioksidan DPPH (Batubara 2009)
1. Stock samples
Prepare stock samples to concentration 10.000 μg/ml in DMSO 2. Prepare DPPH
11.8 mg DPPH In 100 ml ethanol (need fresh).
Note: 1 plate need 10 ml 3. Prepare sample
Put 4 l stock sample and add 396 l ethanol: dilution 100x
Note: 1 series need minimal 400 l
In 96 well plates put the reagents in each well (all in l):
Concentration Sample 0.1mg/ml ethanol DPPH 0 0 100 100
1.6 5 95 100
3.3 10 90 100 6.7 20 80 100
10 30 70 100
13.3 40 60 100 16.7 50 50 100
4. Test the activity
Sample 1 A 0
Sample 2 B 1.6
Sample 3 C 3.3
Sample 4 D 6.7
Sample 5 E 10
Sample 6 F 13.3
Sample 7 G 16.7
H No
5. Make reaction for 30 min and read in plate reader 517 nm
6. Calculate the data % inhibition = (N- A)/(N) x 100%
A: Absorbance for sample
N: absorbance for blank
25
Lampiran 6 Contoh data absorbansi formula 1 dan 2 Formula Ulangan Konsentrasi
(µg/mL)
Absorbansi %inhibisi IC50 Rataan IC50
(µg/mL)
1 1 0 0.839
1.67 0.242 71.156
3.3 0.204 75.685
6.7 0.229 72.706 36.814
10 0.296 64.720
13.3 0.359 57.211
16.7 0.419 50.060
2 0 0.688
1.67 0.113 83.576
3.3 0.156 77.326
6.7 0.163 76.308 48.049 41.699 10 0.181 73.692
13.3 0.196 71.512
16.7 0.369 46.366
3 0 0.929
1.67 0.226 75.673
3.3 0.209 77.503
6.7 0.245 73.628 40.232
10 0.298 67.922
13.3 0.333 64.155
16.7 0.488 47.470
2 1 0 0.929
1.67 0.104 88.805
3.3 0.151 83.746
6.7 0.193 79.225 202.504
10 0.210 77.395
13.3 0.248 73.305
16.7 0.307 66.954
2 0 0.943
1.67 0.102 89.183 3.3 0.170 81.972
6.7 0.189 79.958 172.127 177.089
10 0.213 77.413
13.3 0.258 72.641
16.7 0.325 65.536
3 0 0.859
1.67 0.106 87.660
3.3 0.169 80.326
6.7 0.196 77.183 156.574
10 0.214 75.087
13.3 0.260 69.732
16.7 0.287 66.589
26
Lampiran 7 Contoh grafik hubungan konsentrasi formula 1 dan 2
Grafik formula 1 ulangan 1.
Grafik formula 1 ulangan 2.
Grafik formula 1ulangan 3.
Grafik formula 2 ulangan 1.
Grafik formula 2 ulangan 2.
Grafik formula 2 ulangan 3.
y = -8.83ln(x) + 81.84
R² = 0.6320
50
100
0 5 10 15 20
%in
hib
isi
konsentrasi
y = -10.8ln(x) + 91.82
R² = 0.561
0
50
100
0 5 10 15 20
%in
hib
isi
konsentrasi
y = -9.76ln(x) + 86.06
R² = 0.62
0
50
100
0 5 10 15 20
%in
hib
isi
konsentrasi
y = -8.23ln(x) + 93.71
R² = 0.921
0
50
100
0 5 10 15 20
%in
hib
isi
konsentrasi
y = -8.50ln(x) + 93.76
R² = 0.883
0
50
100
0 5 10 15 20
%in
hib
isi
konsentrasi
y = -8.22ln(x) +
91.54
R² = 0.953
0
20
40
60
80
100
0 20
%in
hib
isi
konsentrasi
27
Lampiran 8 Nilai IC50 masing-masing formula
Formula Ulangan Persamaangaris Nilai IC50
(ppm)
Rataan IC50
(ppm)
1 1 y = -8.83 ln(x) + 81.84 36.814
2 y = -10.80 ln (x) + 91.82 48.049 41.699
3 y = -9.76ln(x) + 86.06 40.232
2 1 y = -8.23ln(x) + 93.71 202.504
2 y = -8.50ln(x) + 93.76 172.127 177.089
3 y = -8.22ln(x) + 91.54 156.574
3 1 y = -7.33ln(x) + 91.12 273.096
2 y = -8.98ln(x) + 91.20 98.295 170.997
3 y = -8.30ln(x) + 91.11 141.601
4 1 y = -8.78ln(x) + 86.09 60.976
2 y = -11.8ln(x) + 91.33 33.200 41.875
3 y = -12.4ln(x) + 92.76 31.450
5 1 y = -13.7ln(x) + 77.25 7.309
2 y = -14.1ln(x) + 76.89 6.733 6.714
3 y = -17.7ln(x) + 82.01 6.101
6 1 y = -19.9ln(x) + 84.37 5.625
2 y = -19.5ln(x) + 85.64 6.220 5.897
3 y = -21.1ln(x) + 81.26 5.848
7 1 y = -8.58ln(x) + 50.48 1.058
2 y = -19.5ln(x) + 62.36 1.885 1.923
3 y = -22.6ln(x) + 73.48 2.826
8 1 y = -23.7ln(x) + 90.46 5.513
2 y = -29.5ln(x) + 92.52 4.226 4.801
3 y = -26.6ln(x) + 90.95 4.662
9 1 y = -8.65ln(x) + 78.37 26.570
2 y = -8.80ln(x) + 77.18 21.947 23.788
3 y = -8.77ln(x) + 77.44 22.848
10 1 y = -6.69ln(x) + 87.62 276.806
2 y = -7.32ln(x) + 91.24 279.745 211.127
3 y = -9.31ln(x) + 90.42 76.828
11 1 y = -11.9ln(x) + 89.47 27.572
2 y = -12.1ln(x) + 90.83 29.206 24.671
3 y = -14.9ln(x) + 92.42 17.236
12 1 y = -7.86ln(x) + 85.99 97.405
2 y = -8.43ln(x) + 87.46 85.085 86.864
3 y = -8.10ln(x) + 85.30 78.103
13 1 y = -10.8ln(x) + 91.82 48.049
2 y = -10.2ln(x) + 91.87 60.637 47.295
3 y = -11.8ln(x) + 91.33 33.200
14 1 y = -14.8ln(x) + 64.99 2.753
2 y = -22.1ln(x) + 73.34 2.875 2.507
3 y = -19.5ln(x) + 62.45 1.894
28
Lampiran 9 Hasil analisis statistik IC50dengan selang kepercayaan 95%
H0 : data stasioner
H1 : data tidak stasioner
Karena p-value lebih besar darialpha 5% maka tidaktolak H0 artinya data
stasioner
Hasil ANOVA
ANOVA
IC50
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 30.547 13 2.350 40.128 .025
Within Groups 1.640 28 .059
Total 32.187 41
H0 : perlakuan formulasi tidak berpengaruh terhadap nilai IC50
H1 : perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai IC50
Karena p-value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 artinya perlakuan formulasi
berpengaruh terhadap nilai IC50
0,500,250,00-0,25-0,50-0,75
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI4
Pe
rce
nt
Mean 1,057355E-17
StDev 0,2000
N 42
KS 0,130
P-Value 0,072
Probability Plot of RESI4Normal
29
Lampiran10 Hasil Uji Duncan IC50 dengan selang kepercayaan 95% IC50
Duncan
perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
a b c d e
7.00 3 1.16100000
14.00 3 1.25433333 1.25433333
8.00 3 1.47833333 1.47833333
6.00 3 1.55800000 1.55800000
5.00 3 1.60900000
9.00 3 2.20666667
11.00 3 2.21800000
4.00 3 2.52066667
1.00 3 2.53833333
13.00 3 2.60800000
12.00 3 3.05066667
3.00 3 3.55466667
2.00 3 3.64400000
10.00 3 3.71000000
Sig. .075 .111 .078 1.000 .466
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
30
Lampiran 11 Prosedur uji potensi hayati BSLT (Mc Laughlin 1998)
Telur udang ditetaskan dalam
media air laut buatan selama 24
jam
Media diaerasi dengan aerator
0.02 gr sampel dari masing-masing
sampel di encerkan dengan 10 mL air laut
buatan
Ditambahkan setetes Tween 80
Sebanyak 10 ekor nauphli
dimasukkan ke dalam setiap sumur
pada plate uji
vorteks
Pada setiap sumur ditambahkan larutan
sampel dengan konsentrasi 1000, 500,
100, dan 10 ppm
Inkubasi selama 24 jam
Hitung persen kematian larva
udang pada masing-masing sumur
31
Lampiran 12 Hasil perhitungan analisis probit formula 1 dan 2 Formula Ulangan konsentrasi
(ppm)
udang
mati
kontrolmat
i
Kematian
(%)
LC50
(ppm)
Rataan
1 1 10 2 1 10
100 4 1 30
500 5 1 40
1000 8 1 70
10 1 1 0
100 3 1 20 412.279
500 6 1 50
1000 9 1 80
10 2 1 10
100 3 1 20
500 6 1 50
1000 9 1 80
2 10 1 1 0
100 4 1 30
500 5 1 40
1000 9 1 80
10 2 1 10
100 3 1 20 399.434 458.912
500 6 1 50
1000 8 1 70
10 2 1 10
100 4 1 30
500 6 1 50
1000 9 1 80
32
Lampiran 13 Analisis probit nilai LC50 masing-masing formula Formula Ulangan Persamaangaris Nilai LC50
(ppm)
Rataan LC50
(ppm)
1 1 y = -0.79ln(x) + 0.0019 412.279
2 y = -0.74ln(x) + 0.0018 399.434 458.912
3 y = -0.99ln(x) + 0.0017 565.022
2 1 y = -0.54ln(x) + 0.0019 284.277
2 y = -0.50ln(x) + 0.0017 298.883 333.170
3 y = -0.69ln(x) + 0.0016 416.351
3 1 y = -0.17ln(x) + 0.0017 101.277
2 y = -0.25ln(x) + 0.0015 165.696 170.768
3 y = -0.38ln(x) + 0.0015 245.330
4 1 y = -0.08ln(x) + 0.0015 5.570
2 y = -0.08ln(x) + 0.0015 5.570 31.796
3 y = -0.14ln(x) + 0.0017 84.249
5 1 y = -0.20ln(x) + 0.0010 199.086
2 y = -0.20ln(x) + 0.0017 177.233 173.941
3 y = -0.19ln(x) + 0.0013 145.503
6 1 y = -0.48ln(x) + 0.0012 377.260
2 y = -0.42ln(x) + 0.0012 338.453 316.561
3 y = -0.37ln(x) + 0.0015 233.971
7 1 y = -0.53ln(x) + 0.0012 434.212
2 y = -0.44ln(x) + 0.0013 325.114 383.948
3 y = -0.55ln(x) + 0.0014 392.517
8 1 y = -0.76ln(x) + 0.0015 505.528
2 y = -0.62ln(x) + 0.0013 464.563 472.767
3 y = -0.75ln(x) + 0.0016 448.209
9 1 y = -0.28ln(x) + 0.0012 226.143
2 y = -0.34ln(x) + 0.0012 265.835 218.444
3 y = -0.17ln(x) + 0.0010 163.353
10 1 y = -0.06ln(x) + 0.0009 73.687
2 y = -0.21ln(x) + 0.0013 159.465 105.227
3 y = -0.09ln(x) + 0.0011 82.528
11 1 y = -0.67ln(x) + 0.0014 481.308
2 y = -0.72ln(x) + 0.0014 492.213 461.264
3 y = -0.55ln(x) + 0.0013 410.270
12 1 y = -0.69ln(x) + 0.0011 597.026
2 y = -0.77ln(x) + 0.0011 653.327 569.002
3 y = -0.52ln(x) + 0.0011 456.653
13 1 y = -0.92ln(x) + 0.0015 588.909
2 y = -0.70ln(x) + 0.0013 519.537 501.960
3 y = -0.42ln(x) + 0.0010 397.339
14 1 y = -0.79ln(x) + 0.0013 569.276
2 y = -0.94ln(x) + 0.0014 677.905 620.165
3 y = -0.73ln(x) + 0.0012 613.313
33
Lampiran 14 Hasil analisis statistik LC50 dengan selang kepercayaan 95%
H0 : data stasioner
H1 : data tidakstasioner
Karena p-value lebih besar dari alpha 5% maka tidak tolak H0 artinya data
stasioner
Hasil ANOVA
ANOVA
LC50
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1281069.006 13 98543.770 22.750 .018
Within Groups 121286.321 28 4331.654
Total 1402355.327 41
H0 : perlakuan formulasi tidak berpengaruh terhadap nilai LC50
H1 : perlakuan formulasi berpengaruh terhadap nilai LC50
Karena p-value kurang darialpha 5% maka tolak H0 artinya perlakuan formulasi
berpengaruh terhadap nilai LC50
100500-50-100-150
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI5
Pe
rce
nt
Mean -6,76707E-15
StDev 54,39
N 42
KS 0,090
P-Value >0,150
Probability Plot of RESI5Normal
34
Lampiran 15 Hasil Uji Duncan LC50 dengan selang kepercayaan 95%
LC50
Duncan
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05
a b c d e f g
4 3 31.7967
10 3 105.2300 105.2300
3 3
170.7700
5 3
173.9400
9 3
218.4433 218.4433
6 3
316.5600 316.5600
2 3
333.1700 333.1700
7 3
383.9467 383.9467
1 3
458.9100 458.9100
11 3
461.2633 461.2633
8 3
472.7667 472.7667
13 3
501.9600 501.9600
12 3
569.0033 569.0033
14 3
620.1667
Sig.
0.183 0.062 0.052 0.247 0.057 0.076 0.349
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Lampiran 16Hasil uji korelasi nilai IC50dengan nilai LC50 Correlations
LC50 IC50
LC50 Pearson Correlation 1 -.328*
Sig. (2-tailed) .034
N 42 42
IC50 Pearson Correlation -.328* 1
Sig. (2-tailed) .034
N 42 42
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
H0 : tidakadakorelasi
H1 : adakorelasi
Karena p-value kurang dari alpha 5% maka tolak H0 artinya ada korelasi.Terlihat
koefisien negative jadi ada korelasi/hubungan negatif.
35
Lampiran 17 Dokumentasi Penelitian
Sampel hasil formulasi rotavapor
Sonikator elisa reader EPOCH
aerator