antara psikologi tingkah laku & psikologi kognit-

19
Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 1 TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS PSIKOLOGI TINGKAH LAKU Oleh: M. Jainuri, M.Pd Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandang psikologi belajar tertentu. Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, seiring hal tersebut bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Psikologi belajar atau disebut pula dengan teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelekual (mental) siswa. Di dalamnya terdiri dari dua hal, yaitu: 1. Uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak 2. Uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu Psikologi mengajar atau teori mengajar berisi tentang petunjuk bagaimana semestinya mengajar siswa pada usia tertentu, bila ia sudah siap belajar. Jadi pada teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar. Dalam proses belajar siswa merupakan subjek dan bukan objek, selanjutnya peristiwa belajar dan mengajar ini sesuai dengan istilah dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang berkonotasi pada proses kinerja yang sinergi antara setiap komponennya. Beberapa teori belajar dari psikologi tingkah laku (behavioristik) dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary behaviorist” atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya. Aliran Psikologi Tingkah Laku Menurut Para Ahli 1. Teori Thorndike : The Law of Effect Edward L. Thorndike (1874-1949) mengemukan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil

Upload: bejokampungan

Post on 07-Feb-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

article

TRANSCRIPT

Page 1: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 1

TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS PSIKOLOGI TINGKAH LAKU

Oleh: M. Jainuri, M.Pd

Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandang psikologi belajar tertentu.

Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, seiring hal tersebut

bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Psikologi belajar atau disebut pula

dengan teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelekual

(mental) siswa. Di dalamnya terdiri dari dua hal, yaitu:

1. Uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak

2. Uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan

pada usia tertentu

Psikologi mengajar atau teori mengajar berisi tentang petunjuk bagaimana

semestinya mengajar siswa pada usia tertentu, bila ia sudah siap belajar. Jadi pada

teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar. Dalam proses belajar siswa

merupakan subjek dan bukan objek, selanjutnya peristiwa belajar dan mengajar ini

sesuai dengan istilah dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang berkonotasi

pada proses kinerja yang sinergi antara setiap komponennya.

Beberapa teori belajar dari psikologi tingkah laku (behavioristik) dikemukakan

oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “contemporary

behaviorist” atau juga disebut “S-R psychologists”. Mereka berpendapat, bahwa

tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan

(reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar

terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.

Aliran Psikologi Tingkah Laku Menurut Para Ahli

1. Teori Thorndike : The Law of Effect

Edward L. Thorndike (1874-1949) mengemukan beberapa hukum belajar yang

dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil

Page 2: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 2

bila respon murid terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau

kepuasan teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh thorndike ini disebut

juga koneksionisme, teori ini mengatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan

proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil:

a. Hukum Kesiapan (Law Of Readiness)

Yaitu menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan

suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak

atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan

tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-

tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.

b. Hukum Latihan (Law Of Exercise) dan Hukum Akibat (Law Of Effect).

Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering

terjadi, akibatnya hubungan akan semakian kuat. Sedangkan makin jarang

hubungan stimulus respon dipergunakan maka makin lemahnya hubungan yang

terjadi. Dalam hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir

dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak, dan anak

cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah

dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban anak, akan

semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-kata “Bagus”,

“Hebat” , ”Kau sangat teliti” dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi anak

yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran.

Di samping itu, Thorndike mengutamakan pula bahwa kualitas dan kuantitas

hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (SR)

dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik kualitas

S-R itu (yang diberikan guru) makin banyak dan makin baik pula hasil belajar siswa.

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah

bahwa:

a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh

yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga

dari alam sekitar akan lebih dihayati.

Page 3: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 3

b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practic) akan lebih cocok.

Karena siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respons yang

diberikan pun akan lebih banyak.

c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar

sesuai dengan tingkat kelas dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih

mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar.

2. Teori Skinner : Operant Conditioning

Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran (reward) atau penguatan

(reinforcement) mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.

Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring

dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan perilakunya itu.

Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu

mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan dan

mengendalikan tingkah laku anak.

Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas

pencapaian tujuan) harus segera diberikan penguatan positif agar respon tersebut

lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan. Penemuan skinner

memusatkan hubungan antara tingkah laku dan konsekuen. Contoh : jika tingkah

laku individu segera diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan, individu akan

menggunakan tingkah laku itu lagi sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang

menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkah laku sering

disebut sebagai operant conditioning.

Konsekuen yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sementara

konsekuen yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkah laku. Secara

sederhana pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning antara lain sebagai

berikut :

a. Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcement bagi tingkah laku yang

akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk

tingkah laku yang dimaksud. Aspek-aspek tadi diurut untuk menuju terbentuknya

tingkah laku tersebut.

Page 4: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 4

c. Dengan mempergunakan secara urut aspek-aspek itu sebagai tujuan sementara

kemudian diidentifikasi reinforcer untuk masing-masing aspek atau komponen

itu.

d. Melakukan pembentukan tingkah laku dengan menggunakan urutan aspek-aspek

yang telah disusun itu. Kalau aspek pertama telah dilakukan, maka hadiah

(reward) diberikan ; ini mengakibatkan aspek itu sering dilkukan. Jika ini telah

terbentuk, dilakukan aspek kedua dan diberi hadiah, demikian berulang-ulang

sampai aspek kedua terbentuk dan demikian seterusnya terhadap aspek-aspek

yang lain, samapai seluruh tingkah laku diharapkan akan terbentuk.

Dalam pembelajaran, operant conditioning menjamin respon terhadap stimuli.

Apabila peserta didik tidak menunjukkan reaksi-rekasi terhadap stimuli, guru tidak

mungkin dapat membimbing tingkah lakunya sesuai dengan tujuan. Guru berperanan

penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah

tercapainya tujuan yang telah dirumuskan. Jenis-jenis stimuli :

1. Positive reinforcement : penyajian stimuli yang meningkatkan probabilitas suatu

respons.

2. Negative reinforcement : pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan, yang jika

dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respons.

3. Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya

“contradiction or reprimend”. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan

stimulus yang menyenangkan (removing of pleasant or reinforcing stimulus)

4. Primary reinforcement : stimuli pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikologis.

5. Scondary or leraned reinforcement

6. Modifikasi tingkah laku guru : perlakuan guru terhadap peserta didik berdasarkan

minat dan kesenangan mereka.

3. Teori Ausubel

Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan

sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan dengan belajar

menerima, jadi tinggal menghafalnya. Tetapi pada belajar menemukan konsep

Page 5: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 5

ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk

dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna.

Pada belajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diterimanya,

tetapi pada belajar bermakna materi yang diperoleh itu dikembangkan dengan

keadaan lain sehingga belajar lebih dimengerti. Selanjutnya bahwa Ausubel

mengemukan bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang baik dan

bermakna. Hal ini dikemukan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar menerima

maupun menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau bermakna.

Misalnya dalam mempelajari konsep Pitagoras tentang segitiga siku-siku, mungkin

bentuk akhir c2= b2+a2 sudah disajikan, tetapi jika siswa memahami rumus itu selalu

dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan lebih bermakna.

Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika advance organizer

(pengatur kemajuan belajar) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat

kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang

mewadahi dan mencakup semua inti pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Jadi proses belajar berlangsung secara deduktif (dari umum ke khusus).

Advance organizer dapat memberikan 3 macam manfaat, yaitu :

a. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan

dipelajari siswa.

b. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang

dipelajari siswa dengan saat ini dengan apa yang akan dipelajari siswa

c. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah.

Oleh karena itu guru dituntut memiliki pengetahuan terhadap isi mata pelajaran

dengan sangat baik serta dituntut pula untuk memiliki logika berfikir yang baik.

Dimilikinya pengetahuan terhadap isi mata pelajaran dengan sangat baik menjadikan

guru mampu menemukan informasi yang berciri sangat abstrak, umum, dan inklusif

sehingga mampu mewadahi apa yang akan diajarkan. Logika berfikir guru yang baik

akan menjadikan guru mampu untuk memilah-milah materi pelajaran dan

merumuskannya dalam rumusan yang singkat, padat, serta mengurutkan materi demi

materi itu ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

Secara umum, teori Ausubel dalam praktek adalah sebagai berikut :

a. Menentukan tujuan-tujuan instruksional

Page 6: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 6

b. Mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) baik

melalui tes awal, interview, review, pertanyaan, dan lain-lain.

c. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-

konsep kunci

d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai siswa dari materi tersebut.

e. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari

f. Membuat dan menggunakan advance organizer, paling tidak dengan cara

membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja diberikan, dilengkapi dengan

uraian singkat yang menunjukkan keterkaitan antara materi yang sudah diberikan

dengan materi baru yang akan diberikan.

g. Mengajar kepada siswa untuk memahami konsep dan prinsip-prinsip yang sudah

ditentukan dengan memfokuskan pada hubungan yang terjalin antara konsep-

konsep yang ada.

h. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

4. Teori Gagne

Menurut Gagne dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh

langsung oleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek tak

langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar

mandiri, bersikap positif terhadap matematika dan tahu bagaimana semestinya

belajar. Sedangkan objek lansung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.

Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang

bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Kemampuan berupa

memberikan jawaban dengan tepat dan cepat,misalnya melakukan pembagian

bilangan yang cukup besar dengan bagi kurang, menjumlahkan pecahan, melukis

sumbu sebuah ruas garis.

Konsep adalah ilmu abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan

objek ke dalam contoh dan noncontoh misalkan konsep, bujur sangkar, bilangan

prima, himpunan, dan fektor.

Aturan adalah objek yang paling abstrak yang berupa sifat dan teorema.

Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi delapan titik belajar yaitu:

belajar isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan,

Page 7: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 7

pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Dalam

pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu :

a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.

b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional.

c. Menyusun hipotesis hipotesis alternattif dan prosedur kerja yang diperkirakan

baik.

d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.

e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.

5. Teori Pavlov : Classical Conditioning

Teori classical conditioning/pembiasaan klasikal berkembang berdasarkan hasil

eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Petrovitch Pavlo (1849 – 1936) seorang

ilmuwan Rusia yang meraih nobel pada tahun 1909 dalam bidang fisiologi. Pavlo

terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap seekor anjing,

anjing itu dikurung dalam suatu kandang dalam waktu tertentu dan diberi makan.

Selanjutnya, setiap akan diberi makan Pavlov membunyikan bel, ia memperhatikan

bahwa setiap dibunyikan berl pada waktu tertentu anjing itu mangeluarkan air

liurnya, walaupun tidak diberi makanan.

Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan atau conditioning. Dalalm

hubugannya dalam kegiatan belajar mengajar agar siswa belajar dengan baik maka

harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal peekerjaan rumah dengan

baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai

terhadap hasil pekerjaannya.

6. Teori Baruda

Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian

meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh

orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun,

tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematis, maka siswa

akan menirunya. Jika contoh yang dilihat kurang baik maka ia pun akan menirunya.

Page 8: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 8

7. Aliran Latihan Mental

Aliran ini berkembang sampai dengan abad 20, yang mengemukakan bahwa

struktur otak manusia terdiri atas gumpalan-gumapalan otot, agar ini kuat, maka

harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin berat,maka

otot atau otak itu makin kuat pula, oleh karna itu jika anak atau siswa ingin pandai,

maka ia harus dilatih otaknya dengan cara banyak berlatih memahami dan

mengerjakan soal-soal yang benar, makin sukar materi itu makin pandai pula anak

tersebut.

Struktur kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit,

sehingga orang sedikit yang bersekolah karna tidak kuat untuk mengikutinya. Di

samping faktor lain seperti keturunan, biaya, dan kesadaran akan pentingya sekolah.

Page 9: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 9

TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS PSIKOLOGI KOGNITIF

Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal

mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan

diterangkan tanpa melibatkan proses mental misalnya motivasi, kesengajaan,

keyakinan, dan sebagainya. Dengan kata lain, tingkah laku termasuk belajar selalu

didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana

tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam

situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Dengan demikian

tingkah laku seseorang bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan

yang ada di dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih dari bagian-bagiannya

dengan penekanan pada organisasi pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan

serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.

Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya.

Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut

teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru

beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang

telah dimiliki siswa. Jadi, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu

melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak

berjalan sepotong-sepotong atau terpisah-pisah, melainkan melalui proses yang

mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh. Misalnya : ketika seseorang

membaca suatu bahan bacaan, maka yang dibacanya bukan huruf-huruf yang

terpisah-pisah, melainkan kata, kalimat, atau paragraf yang kesemuanya seolah

menjadi satu, mengalir, dan menyerbu secara total bersamaan.

Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt.

Peletak dasar teori gestalt adalah Max Wertheimer (1880-1943) yang meneliti

tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Koffka (1886-

1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan,

kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada

simpanse. Penelitian-penelitian ini menumbuhkan psikologi gestalt yang

Page 10: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 10

menekankan bahasan pada masalah konfigurasi, struktur, dan pemetaan dalam

pengalaman.

Konsep penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau

pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu

situasi permasalahan. Insight ini sering dihubungkan dengan pernyataan aha.

Dalam prakteknya, teori ini antara lain terwujud dalam pandangan Piaget

mengenai tahap-tahap perkembangan, dalam pandangan Ausubel mengenai belajar

bermakna, dan pandangan Jerome Bruner mengenai belajar penemuan secara bebas

(free discovery learning).

Aliran Psikologi Kognitif Menurut Para Ahli

1. Piaget

Menurut Jean Piaget, proses belajar sesungguhnya terdiri dari 3 tahapan, yaitu

asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah

proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang telah

ada ke dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif pada

situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi

dan akomodasi. Misalnya seorang siswa telah memiliki pengetahuan tentang baik

dan buruk. Kemudian gurunya memberi pelajaran baru tentang perbuatan baik dan

buruk menurut Pancasila. Maka proses penyesuaian materi baru terhadap materi

pengetahuan yang sudah dimiliki siswa itu disebut asimilasi.

Jika proses ini dibalik, yaitu pengetahuan si mahasiswa disesuaikan dengan

materi baru, maka proses ini disebut sebagai akomodasi. Selama proses asimilasi dan

akomodasi berlangsung, diyakini ada perubahan struktur kognitif dalam diri siswa.

Proses perubahan ini suatu saat berhenti. Untuk mencapai saat berhenti dibutuhkan

proses equilibrasi (penyeimbangan). Jika proses equilibrasi ini berhasil dengan baik,

maka terbentuklah struktur kognitif yang baru dalam diri siswa berupa penyatuan

yang harmonis antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.

Seseorang yang mempunyai kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu

menata berbagai informasi ke dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan

Page 11: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 11

seseorang yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi yang baik akan cenderung

memiliki alur fikir yang ruwet, tidak logis, dan berbelit-belit.

Di samping itu, Piaget berpandangan bahwa proses belajar harus disesuaikan

dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam hal ini Piaget

membagi menjadi 4 tahap, yaitu :

1. Tahap sensori motor (0 tahun sampai 1,5 tahun atau 2 tahun)

Pada tahap ini tingkah laku inteligen individu dalam bentuk aktivitas

motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Anak belum mempunyai konsep

tentang objek secara tetap, namun hanya mengetahui hal-hal yang ditangkap

melalui inderanya.

2. Tahap praoperasional (2 atau 3 tahun sampai 7 atau 8 tahun)

Pada tahap ini reaksi anak terhadap stimulus sudah berupa aktivitas internal.

Anak telah memiliki penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis,

imitasi, serta bayangan dalam mental. Anak sudah mampu menirukan tingkah

laku yang dilihatnya sehari atau sehari sebelumnya, serta dapat mengadakan

antisipasi. Akan tetapi pada masa ini pola berfikir anak masih egosentrik, cara

berfikirnya memusat (hanya mampu memusatkan pikiran pada 1 dimensi saja),

dan berfikirnya tidak dapat dibalik.

3. Stadium Operasional Kongkrit (7 atau 8 tahun sampai 12 atau 14 tahun)

Cara berfikir egosentris semakin berkurang dan anak sudah mampu berfikir

multi dimensi dalam waktu seketika dan mampu menghubungkan beberapa

dimensi itu. Di samping itu, anak sudah mampu memperhatikan aspek dinamis

dalam berfikir, dan mampu berfikir secara reversible (dapat dibalik).

4. Stadium Operasional Formal

Cara berfikir seseorang tidak terikat, sudah terlepas dari tempat dan waktu.

Bila dihadapkan pada masalah seseorang sudah mampu memikirkan secara

teoritik dan menganalisa dengan penyelesaian hipotetis yang mungkin ada.

Disamping itu, individu juga sudah mampu melakukan matriks kombinasi atas

berbagai kemungkinan pemecahan masalah dan kemudian melakukan pengujian

hipotesis atas kemungkinan-kemungkinan jawaban tersebut.

Page 12: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 12

Implikasi pandangan Piaget dalam praktek pembelajaran adalah bahwa guru

hendaknya menyesuaikan proses pembelajaran yang dilakukan dengan tahapan-

tahapan kognitif yang dimiliki anak didik. Karena tanpa penyesuaian proses

pembelajaran dengan perkembangan kognitifnya, guru maupun siswa akan

mendapatkan kesulitan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.

Misalnya mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada siswa kelas

dua SD, tanpa ada usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsep tersebut tidak

hanya percuma, akan tetapi justru semakin membingungkan siswa dalam memahami

konsep yang diajarkan.

Secara umum, pengaplikasian teori Piaget biasanya mengikuti pola sebagai

berikut :

a. Menentukan tujuan-tujuan instruksional

b. Memilih materi pelajaran

c. Menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa

d. Menentukan dan merancang kegiatan kegiatan belajar yang cocok untuk topik-

topik yang akan dipelajari siswa.(Kegiatan belajar ini biasanya berbentuk

eksperimentasi, problem solving, role play, dan sebagainya)

e. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk

berdiskusi maupun bertanya

f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

2. Bruner

Menurut Bruner proses belajar lebih ditentukan oleh cara kita mengatur materi

pelajaran dan bukan ditentukan oleh umur seseorang seperti yang telah dikemukakan

oleh Piaget. Adapun proses belajar terjadi melalui tahap-tahap :

a) Enaktif, berupa aktivitas siswa untuk memahami lingkungan melalui pengalaman

langsung suatu realitas.

b) Ikonik, berupa upaya siswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi

verbal.

c). Simbolik, berupa pemahaman siswa terhadap gagasan-agasan abstrak berupa

teori-teori, penafsiran, analisis, dan sebagainya terhadap realitas yang telah

diamati atau dialami.

Page 13: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 13

Dalam aplikasi praktisnya teori belajar ini sangat membebaskan siswa untuk

belajar sendiri. Oleh karena itu teori belajar ini sering dianggap bersifat discovery

(belajar dengan cara menemukan). Di samping itu, karena teori ini banyak menuntut

pengulangan-pengulangan sehingga desain yang berulang-ulang tersebut disebut

sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum spiral ini menuntut guru untuk memberi

materi perkuliahan setahap demi setahap dari yang sederhana sampai yang kompleks

di mana suatu materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali

secara terintegrasi dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian

seterusnya berulang-ulang sehingga tak terasa mahasiswa telah mempelajari suatu

ilmu pengetahuan secara utuh.

Secara umum, teori Bruner ini bila diaplikasikan biasanya mengikuti pola

sebagai berikut :

a. menentukan tujuan-tujuan instruksional

b. memilih materi pelajaran

c. menentukan topik-topik yang mungkin dipelajari secara induktif oleh siswa.

d. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, dan sebagainya yang dapat digunakan

mahasiswa untuk belajar.

e. Mengatur topik-topik pelajaran sedemikian rupa sehingga urutan topik itu

bergerak dari yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke

kompleks, dari tahapan-tahapam enaktif, ikonik, sampai ke tahap simbolik dan

seterusnya.

f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

3. Teori Gestalt

Tokoh aliran ini adalah John Dewey, ia mengemukakan bahwa kegiatan belajar

mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut :

a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian

b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan

intelektual peserta didik

c. Mengatur suasana kelas agar peserta didik siap belajar.

Dalam penyajian pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus

diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap

Page 14: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 14

terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak

sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses

melalui metode induktif.

Pendekatan dan metode yang digunakan harus disesuaikan dengan kesiapan

intelektual peserta didik. Peserta didik di tingkat SMP masih ada pada tahap operasi

konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu

dengan menggunakan benda konkret. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan

belajar mengajar mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka

ragam, kemudian mengarahkan kepada konsep abstrak tersebut. Dengan cara ini

diharapkan kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.

Faktor eksternal bisa mempengaruh pelaksanaan belajar dan hasil elajar peserta

didik. Oleh karena itu sebelum, selama dan sesudah mengajar guru harus pandai-

pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar peserta didik siap untuk belajar

dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.

4. Teori Brownell

W. Brownel mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan

belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia mengeaskan bahwa belajar pada

hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna. Teori Brownel sesuai dengan

teori belajar mengajar Gestal yang menyatakan bahwa latihan hafal atau yang dikenal

dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini

ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.

Aritmatika atau berhitung yang diberikan di SD dulu lebih menitikberatkan

hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan

5. Teori Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan

perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya

bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak- anak,

sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari

matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai

Page 15: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 15

pelajaran tentang struktur, klasifikasi tentang struktur,relasi-relasi dalam struktur

dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur- struktur. Ia

meyakini bahwa setiap konsep atau prinsip dalam matematika akan dapat dipahami

secara penuh konsep tersebut,apabila disajikan dalam bentuk kongkrit dengan

berbagai macam sajian. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek

dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam

pengajaran matematika.

Dienes membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep

matematika, yaitu sebagai berikut.

a. Tahap Bermain Bebas

Tahap bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak

diarahkan. Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan percobaan dan

mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda kongkrit dari unsur-unsur yang sedang

dipelajarinya.

Pada tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur- unsur

dalam interaksinya dengan lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini

juga anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar

membentuk struktur sikap dan mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.

b. Tahap Permainan

Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-

pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin

terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya.

Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat

mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak

diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika.

Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam

konsep-konsep tertentu, maka akan semakin jelas konsep yang dipahami anak.

Karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam

konsep yang dipelajarinya itu.

Page 16: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 16

c. Tahap Penelaahan Kesamaan Sifat

Pada tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-

sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak

dalam mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka dengan

mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk

permainan lainnya. Translasi tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada

dalam permainan semula.

d. Tahap Representasi

Tahap representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa

situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep

tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat

dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Representasi yang diperolehnya ini bersifat

abstrak. Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur

matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang

dipelajari.

e. Tahap Simbolisasi

Tahap simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan

kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan

menggunakan simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

f. Tahap Formalisasi

Tahap formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam

tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian

merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang

telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus

mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.

6. Teori Van Hiele

Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan

penelitian dalam pengajaran geometri Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama

Page 17: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 17

dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran

yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan

kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir yang lebih tinggi. Van Hiele

menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu :

tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap

akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut.

a. Tahap Pengenalan (Visualisasi)

Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara

keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk

geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada anak diperlihatkan sebuah

kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh

kubus tersebut. Ia belum tahu bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan

bujursangkar, anak pun belum mengetahui bahwa bujursangkar (persegi) keempat

sisinya sama dan ke empat sudutnya siku-siku.

b. Tahap analisis

Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun

Geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang

terdapat pada bangun Geometri itu. Misalnya pada saat ia mengamati persegi

panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan

kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Tapi tahap ini anak belum mampu

mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda

geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa persegi adalah

persegipanjang atau ,persegi itu adalah belah ketupat dan sebagainya.

c. Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan

yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini

belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak

pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali

bahwa persegi adalah jajaran genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang.

Page 18: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 18

Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa

kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya

berbentuk persegi . Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan

mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjangnya. Anak mungkin belum

memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang

kongruen.

d. Tahap Deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,

yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal

yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya

peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang

didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada

tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang

digunakan dalam pembuktian. Tetapi anak belum mengerti mengapa sesuatu itu

dijadikan postulat atau dalil

e. Tahap Akurasi

Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan

dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia

mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat- postulat dari geometri

Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks.

Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk

di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berfikir ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Rajagrapindo Persada

Page 19: Antara Psikologi Tingkah Laku & Psikologi Kognit-

Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif_M. Jainuri, M.Pd Page 19

Sri Esti Wuryani Djiwandono. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Gramedia Suryabrata, Sumadi. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers Wasty Soemanto. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta