antara dinas peternakan dan kesehatan hewan provinsi nusa ... · variabel yang diukur dalam kajian...

40
ANALISI GUNA P PETERNA D Dinas Peterna Fakultas P LAPORAN AKHIR IS KOEFISIEN TEKNIS TERN PENYUSUNAN PARAMETER T AKAN DAN KESEHATAN HEW DI NUSA TENGGARA BARAT Kerja Sama Antara akan dan Kesehatan Hewan Nusa Tenggara Barat Dengan Peternakan Universitas Mata Mataram, 2013 NAK SAPI TEKNIS WAN T Provinsi aram

Upload: vocong

Post on 24-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

LAPORAN AKHIR

ANALISIS KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPIGUNA PENYUSUNAN PARAMETER TEKNIS

PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWANDI NUSA TENGGARA BARAT

Kerja Sama

AntaraDinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Nusa Tenggara Barat

DenganFakultas Peternakan Universitas Mataram

Mataram, 2013

LAPORAN AKHIR

ANALISIS KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPIGUNA PENYUSUNAN PARAMETER TEKNIS

PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWANDI NUSA TENGGARA BARAT

Kerja Sama

AntaraDinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Nusa Tenggara Barat

DenganFakultas Peternakan Universitas Mataram

Mataram, 2013

LAPORAN AKHIR

ANALISIS KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPIGUNA PENYUSUNAN PARAMETER TEKNIS

PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWANDI NUSA TENGGARA BARAT

Kerja Sama

AntaraDinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi

Nusa Tenggara Barat

DenganFakultas Peternakan Universitas Mataram

Mataram, 2013

Page 2: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR

1. Judul : Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi gunaPenyusunan Parameter Teknis Peternakan danKesehatan Hewan di NTB

2. Ketua Tim :

a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U

b. NIP : 195111111977021001

c. Pangkat/Golongan : Pembina Utama Madya/IVd

d. Jabatan : Guru Besar pada Fakultas Peternakan Unram

e. Bidang Keahlian : Sosial Ekonomi Peternakan

f. Tempat Kegiatan : Provinsi NTB

3. Jangka Waktu Kegiatan : 3 (empat) bulan (Juli s/d September 2013)

4. Sumber Dana : APBD 2013 pada Dinas Peternakan dan Kesehatan

Provinsi NTB

Mataram, September 2013

Mengetahui:

Dekan Fakultas Peternakan Ketua TimUniversitas Mataram

Prof. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono, Ph.D Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U

NIP 196110251985031003 NIP 195111111977021001

Page 3: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

SUSUNAN TIM PENELITI

Penanggung Jawab : Prof. Ir. Yusuf A. Sutaryono, Ph.D

(Dekan Fakultas Peternakan Unram)

Ketua Tim : Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U

Sekretaris : Dr. Ir. Lalu Muhammad Kasip, M.S.

Anggota : 1. Dr. Ir. Erwan, M.S

2. Ir. Uhud Abdullah, M.P.

3. Ir. Bulkaini, M.P

Administrasi Keuangan : Ir. Harjono, M.P. (PD II Fakultas Peternakan)

Page 4: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

iv

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .................................................................................... iHalaman Pengesahan .......................................................................... iiSusunan Tim ....................................................................................... iiiDaftar Isi ............................................................................................. ivDaftar Tabel ........................................................................................ vKata Pengantar ................................................................................... vi

I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1.Latar Belakang ..................................................................... 11.2.Tujuan .................................................................................. 21.3.Luaran Kegiatan.................................................................... 2

II METODE KAJIAN .................................................................. 32.1. Lokasi Kajian ................................................................. 32.2. Pemilihan Sampel................................................................ 32.3. Variabel yang diukur ..........................................................2.4. Pengumpulan data ............................................................2.5. Analisis data .......................................................................

455

III KEADAAN UMUM PETERNAKAN SAPI............................ 63.1. Populasi Ternak Pemakan Hijauan .................................... 63.2. Daya Tampung Ternak ....................................................... 12

IV KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI ................................... 184.1. Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi .................................... 184.2. Koefisien Peternakan Ternak Sapi .................................. 19

V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 325.1. Kesimpulan ........................................................................ 32

5.2. Saran ...................................................................... 33

Page 5: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

v

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman3.1 Populsi ternak di NTB ………………………………………… 63.2 Populasi ternak menurut jenis kelamin ……………………….. 83.3 Populasi ternak menurut struktur umur ………………………. 93.4 Populasi ternak betina menurut umur ………………………… 93.5 Populasi ternak besar menurut kabupaten ……………………. 103.6 Populasi ternak kecil menurut kabupaten …………………….. 113.7 Populasi ternak pemakan hijauan dalam UT ………………….. 123.8 Luas lahan sumber pakan di P. Lombok ……………………… 133.9 Luas lahan sumber pakan di P. Sumbawa ……………………... 133.10 Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Lombok ………… 143.11 Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Sumbawa ……….. 153.12 Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB ……… 163.13 Populasi sapid an kerbau menurut ST-2013 dan PSPK-2011 … 164.1. Luas lahan menurut penggunaannya di NTB .............................. 184.2 Umur sapi betina pertama dikawinkan ........................................ 204.3 Jarak beranak ternak sapi di NTB ............................................... 214.4 Umur penyapihan pedet di NTB .................................................. 224.5 Umur sapi induk diafkir .............................................................. 244.6 Sistem perkawinan ternak sapi ................................................... 254.7 Asal pejantan pemacek yang digunakan ..................................... 264.8 Asal usul pejantan pemacek ........................................................ 274.9 Waktu perkawinan ternak sapi ................................................... 284.10 Kematian pedet di bawah 1 tahun dan di atas 1 tahun ................ 294.11 Pola pemeliharaan ternak sapi ..................................................... 304.12 Sistem perkandangan yang digunakan ........................................ 31

Page 6: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T, karena limpahan rahmat dan taufiq Nya

maka laporan akhir kajian “Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi Guna Penyusunan

Parameter Teknis Peternakan dan Kesehatan Hewan di NTB” ini dapat diselesaikan

sesuai dengan rencana. Laporan ini merupakan pertanggung-jawaban Fakultas

Peternakan Unram sebagai pihak pelaksana kegiatan sesuai dengan perjanjian kerja

sama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dengan Fakultas

Peternakan Universitas Mataram. Hal-hal pokok yang dibahas dalam laporan ini

meliputi kondisi terkini peternakan sapi dan koefisien teknis ternak sapi di NTB.

Dengan telah selesainya laporan ini, tim menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang telah

memberikan kepercayaan kepada Fakultas Peternakan Unram untuk melaksanakan

kegiatan kajian ini;

2. Dekan Fakultas Peternakan Unram yang telah menugaskan kepada kami sebagai tim

pelaksana kegiatan kajian ini;

3. Para dosen dan alumni Fakultas Peternakan Unram yang telah membantu dalam

pengumpulan data lapangan.

Akhirnya, semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan peternakan sapi di

NTB.

Mataram, September 2013

Ketua Tim

Prof. Dr. Ir. Soekardono,S.U.

Page 7: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya mengatasi permasalahan penyediaan daging sapi di Indonesia sampai

dengan saat sekarang belum berhasil sesuai harapan. Selama empat tahun terakhir

(2009-2012) impor daging dan sapi bakalan masih cukup besar. Impor daging sapi

berturut-turut sebesar 110.000 ton, 120.000 ton, 100.000 ton, dan 34.000 ton. Impor

sapi bakalan berturut-turut 765 ekor, 521.000 ekor, 560.000 ekor, dan 283.000 ekor.

Impor tahun 2012 terlihat jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini merupakan kebijakan pemerintah, setelah hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi

Perah, dan Kerbau (PSPK) Tahun 2011 mencatat populasi sapi potong sebanyak

14,8 juta ekor. Dengan populasi tersebut diperkirakan dapat memproduksi daging

sekitar 399.000 ton sehingga apabila konsumsi daging sapi tahun 2012 diperkirakan

sebanyak 484.000 ton maka kekurangannya tinggal 85.000 ton. Kekurangan inilah

yang digunakan sebagai dasar kebijakan impor daging sapi dan sapi bakalan tahun

2012. Namun, kebijakan impor tersebut ternyata menimbulkan kelangkaan

pasokan daging sapi pada industri pengolahan daging sapi di Jakarta dan sekitarnya.

Menurut Direktur Utama PD Dharma Jaya, RPH Cakung pada tahun 2011 dapat

memotong hingga 3.000 ekor per bulan, pada awal tahun 2012 pasokan sapi potong

hanya 600 – 900 ekor per bulan (Komite Daging Sapi DKI Jakarta dalam Majalah

Kontan No.30-XVI, Edisi 23-29 April 2012, halaman 7).

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi pemasok sapi

potong nasional yang cukup potensial. Berdasarkan hasil PSPK tahun 2011,

populasi sapi di NTB tercatat 685.810 ekor, menempati urutan keenam setelah Jatim,

Jateng, Sulsel, NTT, dan Lampung. Dalam upaya meningkatkan populasi dan

produktivitas sapi potong, pemerintah provinsi NTB meluncurkan program

unggulan yang dikenal dengan Bumi Sejuta Sapi (BSS) sejak tahun 2009. Dalam

Blue Print NTB-BSS, pada akhir tahun 2013 diharapkan populasi sapi dapat

mencapai 1.032.507 ekor. Trend pertumbuhan populasi ternak sapi pada program

BSS diperhitungkan berdasarkan parameter-parameter yang diasumsikan semakin

baik dari tahun ke tahun. Misalnya, proporsi populasi induk yang semula (tahun

2008) adalah 37%, pada tahun 2012 diasumsikan bertambah menjadi 45%.

Kematian pedet yang semula 15%, pada tahun 2012 diasumsikan menurun menjadi

Page 8: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

2

5%. Calving Interval yang semula 18 bulan, pada tahun 2012 diasumsikan menurun

menjadi 14 bulan. Oleh karena parameter-parameter tersebut merupakan asumsi,

tentu akan menyebabkan kesalahan dalam perhitungan trend populasi apabila

asumsi tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu,

parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan trend pertumbuhan ternak

sapi seharusnya bukan berdasarkan asumsi melainkan berdasarkan hasil kajian

lapangan secara periodik.

Program NTB-BSS tahap I (2009-2013) akan segera berakhir. Berdasarkan

data perkembangan populasi, program tersebut dapat dikatakan berhasil, dengan

ditandai telah dapat dicapai populasi pada tahun 2012 sebanyak 916.560 ekor lebih

tinggi dari pada target program BSS sebanyak 897.832 ekor. Namun, disadari

bahwa realitas di lapangan sering terjadi kontradiksi. Sebagai contoh, masih

terdapat kesulitan mencari sapi potong berat di atas 300kg untuk di potong pada

RPH dalam NTB sendiri atau untuk diantar pulaukan. Hal ini mengindikasikan

bahwa produksi sapi potong di NTB masih rendah, yang salah satu penyebabnya

adalah rendahnya populasi. Oleh karena itu, kajian tentang parameter-parameter

yang digunakan dalam perhitungan perubahan populasi, perhitungan produksi, dan

perhitungan konsumsi perlu dilakukan.

1.2. Tujuan Kajian

Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui:

a. Koefisien-koefisien teknis yang terkait dengan produksi, reproduksi, dan sarana

produksi pada sapi perbibitan;

b. Koefisien ekonomis usaha ternak sapi potong, baik sapi perbibitan maupun sapi

penggemukan.

c. Menyusun parameter-parameter teknis Peternakan Sapi di NTB.

1.3. Luaran Kajian

Luaran kajian ini adalah dokumen yang berisi koefisien-koefisien teknis ternak

sapi perbibitan dan koefisien ekonomis sapi perbibitan dan sapi penggemukan yang

dapat digunakan untuk: (1) sebagai parameter dalam menyusun trend perkembangan

populasi, (2) sebagai masukan dalam perencanaan kegiatan pengembangan usaha

ternak sapi potong di NTB, dan (3) sebagai bahan dasar penyusunan pengembangan

Blue Print NTB-BSS tahap II (2014-2018).

Page 9: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

3

Page 10: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

3

BAB IIMETODE KAJIAN

2.1. Lokasi Kajian

Kajian ini dilaksanakan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

dengan menggunakan metode survei. Wilayah NTB terdiri dari dua pulau besar, yaitu

Sumbawa dan Lombok, yang masing-masing memiliki kondisi geografi dan demografi

yang berbeda. Kondisi geografi tersebut berpengaruh kepada sistem pemeliharaan

ternak sapi pada masing-masing pulau tersebut. Di wilayah Pulau Sumbawa, umumnya

ternak sapi dipelihara secara ekstensif, yaitu dengan menggembalakannya di padang-

padang penggembalaan yang tersedia atau di hutan-hutan atau di lahan kebun/ladang

milik sendiri. Di wilayah Pulau Lombok, ternak sapi umumnya dipelihara secara

intensif, yaitu dikandangkan setiap harinya dan disediakan pakan ternak secara cut

and carry. Oleh karena itu, dalam kajian ini diambil sampel lokasi yang dapat

mewakili sifat-sifat pada kedua wilayah tersebut.

2.2. Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dalam kajian ini dilakukan dengan teknik multi stage

sampling, dengan tahapan penetapan Kabupaten sampel, Kecamatan sampel, dan

Responden. Penetapan Kabupaten, Kecamatan, dan Desa sampel dilakukan secara

purposive. Pemilihan responden dilakukan secara stratified random sampling.

Penetapan strata berbeda antara di wilayah P. Sumbawa dan P. Lombok. Range

pemilikan ternak sapi di wilayah P. Sumbawa lebih besar dari pada di P. Lombok.

Oleh karena itu, responden di wilayah P. Sumbawa dikelompokkan menjadi tiga strata,

yaitu Strata I (S-I): peternak dengan pemilikan 10 ekor ke bawah, Strata II (S-II):

peternak dengan pemilikan 11 ekor sampai 50 ekor, dan Strata III (S-III): peternakan

dengan pemilikan di atas 50 ekor. Untuk wilayah P. Lombok, responden

dikelompokkan menjadi tiga strata, yaitu Strata I (S-I): peternak dengan pemilikan 4

ekor ke bawah, Strata II (S-II): peternak dengan pemilikan 5 ekor sampai 10 ekor, dan

Strata III (S-III): peternakan dengan pemilikan di atas 10 ekor.

Jumlah sampel responden keseluruhan ditetapkan sebanyak 480 peternak.

Secara rinci, nama Kabupaten dan Kecamatan sampel serta jumlah responden menurut

strata tertera pada Tabel 1.

Page 11: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

4

Tabel 1. Kabupaten dan Kecamatan sampel serta responden menurut strata

No Kabupaten KecamatanResponden

S-I S-II S-III Jumlah1 Dompu 1. Manggalewa 25 20 15 60

2. Pekat 25 20 15 602 Sumbawa 1. Moyo Hulu 25 20 15 60

2. Lopok 25 20 15 60P. Sumbawa 100 80 60 240

3 Lombok Timur 1. Aikmel 25 20 15 602. Pringgesile 25 20 15 60

4 Lombok Tengah 1. Pringgerate 25 20 15 602. Pujut 25 20 15 60

P. Lombok 100 80 60 240NTB 200 160 120 480

2.3. Variabel yang diukur

Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu

variabel penunjang dan variabel pokok.

2.3.1. Variabel penunjang

Variabel penunjang meliputi:

a. Kondisi Umum Daerah NTB dan Kabapaten/Kota se NTB meliputi, keadaan alam,

kependudukan, pertanian-peternakan, SDM peternakan, dan kelembagaan

peternakan

b. Latar belakang para peternak responden.

2.3.2. Variabel pokok

Variabel pokok meliputi:

a. Koefisien teknis produksi dan reproduksi:

1. Jenis kelamin dan struktur umur ternak sapi

2. Jumlah induk

3. Jumlah pejantan

4. Bibit betina

5. Calon pejantan

6. Induk afkir

7. Sapi betina muda non bibit

8. Umur betina bibit dikawinkan pertama

Page 12: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

5

9. Umur induk diafkir

10. Jarak beranak

11. Umur pedet disapih

12. Kematian pedet

13. Kematian ternak muda dan dewasa

b. Koefisien ekonomi usaha ternak sapi:

1. Besar dan komponen biaya produksi

2. Besar dan komponen pendapatan

3. Pemasaran ternak yang dilakukan peternak.

2.4. Pengumpulan Data

Data terkait kondisi umum daerah diperoleh dari berbagai instansi terkait, baik

pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, seperti Bappeda, Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, dan Badan

Pertanahan Nasional (BPN). Data terkait dengan latar belakang peternak responden

dan variabel-variabel pokok diperoleh dari wawancara mendalam terhadap responden

dan observasi lapangan.

2.5. Analisis Data

Data keadaan umum daerah dianalisis secara deskriptif untuk memberikan

gambaran umum potensi pengembangan ternak sapi di NTB ditinjau dari aspek

sumberdaya lahan, sumberdaya ternak, SDM, dan kelembagaan yang tersedia. Latar

belakang peternak dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran

kemampuan peternak untuk mengadopsi teknologi peternakan. Data koefisien teknis

produksi dan reproduksi dianalisis secara deskriptif untuk merumuskan parameter-

parameter perubahan populasi dan produksi ternak sapi. Data koefisien ekonomi usaha

ternak sapi dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran seberapa besar

efisiensi pemeliharaan ternak sapi rakyat.

Page 13: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

6

BAB IIIKEADAAN UMUM PETERNAKAN SAPI DI NTB

3.1. Populasi Ternak Pemakan Hijauan

Ternak pemakan hijauan terdiri atas sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba.

Dalam analisis pengembangan ternak sapi, perlu juga diketahui kondisi ternak kerbau,

kuda, kambing, dan domba karena ternak-ternak ini bersifat bersaing dengan ternak

sapi dalam penggunaan sumberdaya terutama pakan ternak. Perkembangan populasi

ternak pemakan hijauan di NTB selama lima tahun terakhir tertera pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perkembangan populasi ternak pemakan hijauan di NTB periode 2008-2012

Jenis ternakTahun r

(%)2008 2009 2010 2011 2012

Kuda 77.997 77.837 76.622 72.909 77.520 - 4

Sapi 546.114 592.875 695.951 784.019 916.560 10

Kerbau 161.450 155.307 155.904 141.511 144.261 - 2

Kambing 495.028 439.989 490.830 579.250 627.282 1

Domba 27.875 25.878 29.539 37.500 37.875 10

Keterangan: r = pertumbuhan rata-rata per tahunSumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2012)

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa sapi, kambing, dan domba mengalami perkembangan

positif sedangkan kuda dan kerbau mengalami penurunan. Populasi ternak kerbau dan

kuda menurun kemungkinan karena nilai manfaat bagi peternak tergeser oleh ternak

sapi. Lebih-lebih sejak tahun 2009 NTB lebih berkonsentrasi pada pengembangan

ternak sapi melalui program unggulan Bumi Sejuta Sapi (BSS). Oleh karena itu kedua

jenis ternak ini, ke depan juga perlu mendapat perhatian, minimal untuk menjaga

kestabilan populasinya.

Untuk lebih mudah membaca data perkembangan populasi ternak pemakan

hijauan, berikut ini disajikan grafik perkembangan populasi ternak besar dan ternak

kecil periode tahun 2008-2012 seperti tertera pada Gb. 3.1 dan 3.2. Gambar. 3.1

menunjukkan bahwa populasi sapi terus meningkat cukup besar setiap tahunnya,

Page 14: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

7

terutama mulai tahun 2009. Peningkatan populasi demikian sesuai dengan tujuan

program BSS-NTB untuk mencapai populasi sekitar satu juta ekor pada tahun 2013.

Gb. 3.1. Perkembangan populasi ternak besar 2008-2012

Grafik pertumbuhan populasi ternak kerbau dan kuda nampak datar cenderung

menurun yang menunjukkan bahwa populasi ternak-ternak tersebut cenderung

mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ternak kerbau perlu mendapat perhatian

karena selain dapat mensubstitusi ternak sapi, ternak kerbau merupakan ternak khas

Sumbawa yang telah menjadi aset nasional. Perkembangan ternak kecil (kambing dan

domba) terlihat pada Gb. 3.2 .

Gb. 3.2. Perkembangan ternak kambing dan domba

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

1,000,000

2008 2009 2010 2011 2012

Kuda

Sapi

Kerbau

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

2008 2009 2010 2011 2012

Kambing

Domba

Page 15: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

8

Pada Gb. 3.2 terlihat bahwa grafik perkembangan populasi ternak kambing menaik

relatif besar sedangkan perkembangan populasi ternak domba datar cenderung naik.

Ternak kambing perlu mendapat perhatian karena sangat besar peranannya dalam

peningkatan pendapatan rumah tangga kurang mampu di pedesaan. Ternak kambing

lebih cepat menghasilkan uang dibandingkan dengan ternak besar (sapi dan kerbau)

sehingga lebih cocok diusahakan oleh rumah tangga kurang mampu. Dengan demikian

usaha ternak kambing lebih cocok untuk program pengentasan kemiskinan di

pedesaan.

Perkembangan populasi ternak sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara

populasi ternak jantan dan betina. Untuk menghasilkan perkembangan populasi yang

maksimal, harus diupayakan agar perbandingan antara jumlah pejantan dan betina

induk optimal. Sebagai contoh, apabila program pengembangan sapi dilakukan dengan

sistem perkawinan alam, maka perbandingan antara jumlah induk dan jumlah pejantan

sebaiknya sekitar 20 : 1. Dalam Tabel 3.2 disajikan data jumlah ternak di NTB

menurut jenis kelaminnya.

Tabel 3.2. Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2012

Jenis TernakJantan Betina Jantan & Betina

(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)

Sapi 331.061 36,12 585.499 63,88 916.560

Kerbau 50.448 34,97 93.813 65,03 144.261

Kuda 35.907 46,32 41.613 53,68 77.520

Kambing 212.272 33,84 415.010 66,16 627.282

Domba 9.196 24,28 28.679 75,72 37.875

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Dalam Tabel 3.2 terlihat bahwa baik ternak besar maupun ternak kecil proporsi ternak

betina lebih besar dari pada ternak jantan. Kecuali ternak kuda proporsi ternak betina

di atas 60%. Kondisi ini cukup ideal karena untuk perkembangan ternak diperlukan

ternak betina yang lebih banyak terutama sebagai induk produktif.

Disamping proporsi populasi berdasarkan jenis kelamin, proporsi berdasarkan

umur sngat penting untuk program perkembangan ternak pemakan hijuan. Dalam

Tabel 3.3 disajikan data populasi ternak pemakan hijauan berdasarkan struktur umur.

Tabel 3.3 menunjukkan bahwa ternak dewasa menempati proporsi terbanyak, yaitu

sekitar 50%, sedangkan ternak muda dan anak relatif sama, masing-masing sekitar

Page 16: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

9

25%. Khusus pada sapi, ternak dewasa 48,55%; muda 26, 29%; dan anak 25,17%.

Struktur umur ini cukup ideal untuk perkembangan populasi ternak pada tahun-tahun

mendatang.

Tabel 3.3. Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2012

Jenis TernakAnak Muda Dewasa Jumlah

(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)

Sapi 230.698 25,17 240.964 26,29 444.990 48,55 916.560

Kerbau 32.834 22,76 35.632 24,7 75.795 52,54 144.261

Kuda 11.868 15,31 13.721 17,7 51.938 67,00 77.520

Kambing 184.484 29,41 170.307 27,15 272.429 43,43 627.282

Domba 8.245 21,77 8.333 22 21.297 56,23 37.875

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Data proporsi populasi menurut umur khusus untuk ternak betina menentukan

dalam perkembangan ternak. Semakin besar proporsi ternak betina dewasa semakin

banyak pula anak beranaknya yang dihasilkan. Proporsi populasi ternak pemakan

hijauan menurut umur tertera dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2012

Jenis ternak

Anak Muda Dewasa Jumlah

(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)

Sapi 119.886 20,47 114.662 19,58 351.042 59,95 585.590

Kerbau 17.441 18,59 19.908 21,22 56.464 60,19 93.813

Kuda 6.163 14,81 7.093 17,05 28.357 68,15 41.613

Kambing 105.509 25,42 103.188 24,86 206.313 49,71 415.010

Domba 4.776 16,65 6.700 23,36 17.203 59,98 28.679

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Tabel 3.4. menunjukkan bahwa proporsi populasi ternak betina dewasa adalah

terbanyak, yaitu sekitar 60%, ternak betina muda sekitar 20% , dan betina anak sekitar

20%. Populasi ternak betina anak sebaiknya mendekati 40% dari populasi ternak

induk. Proporsi demikian cukup baik untuk perkembngan populasi ke depan, dengan

catatan ternak muda yang berkuallitas diprioritaskan sebagai ternak bibit pengganti

induk atau pengganti pejantan. Oleh karena itu, kebijakan pengendalian pengeluaran

ternak betina bibit perlu mendapat perhatian.

Page 17: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

10

Keadaan populasi ternak pemakan hijauan berdasarkan Pulau dan

Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk penyusunan perencanaan pengembangan

ternak sesuai dengan daya tampung wilayah. Populasi ternak besar dan ternak kecil,

menurut Pulau dan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut (Tabel 3.5 dan 3.6).

Tabel 3.5. Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012

No Kab./Kota/Pulau Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Kuda (ekor)

1 Mataram 1.994 22 754

2 Lombok Barat 80.881 8.564 4.026

3 Lombok Utara 76.086 435 612

4 Lombok Tengah 137.200 18.894 2.361

5 Lombok Timur 110.979 4.864 5.277

Jumlah P. Lombok 407.140 32.779 13.030

6 Sumbawa Barat 54.393 13.264 5.787

7 Sumbawa 197.141 54.022 39.660

8 Dompu 96.205 20.411 8.119

9 Bima 148.089 23.072 8.483

10 Kota Bima 13.592 713 2.441

Jumlah P. Sumbawa 509.420 111.482 64.490

TOTAL 916.560 144.261 77.520

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Dalam Tabel 3.5 terlihat bahwa populasi ternak besar di P.Sumbawa lebih banyak dari

pada di P. Lombok. Populasi ternak sapi di P. Sumbawa sebanyak 509.420 ekor

(55,58%) sedangkan di P. Lombok sebanyak 407.140 ekor (44,42%). Ternak kerbau di

P. Sumbawa sebanyak 111.482 ekor (77,28%) sedangkan di P. Lombok sebanyak

32.779 ekor (22,72%). Ternak kuda juga jauh lebih banyak di P. Sumbawa 64.490 ekor

(83,19%) dari pada di P. Lombok 13.030 ekor (16,81%). Hal ini menunjukkan bahwa

P. Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan ternak besar di

NTB karena masih terdapat padang penggembalaan yang luas.

Populasi ternak kecil (kambing dan domba) menurut Pulau dan

Kabupaten/Kota di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 3.6). Seperti halnya pada ternak

besar, populasi ternak kecil (kambing dan domba) di P. Sumbawa juga lebih banyak

Page 18: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

11

dari pada di P. Lombok. Populasi kambing di P. Sumbawa tercatat 403.093 ekor

(64,26%) sedangkan di P. Lombok tercatat 224.190 ekor (3574%). Demikian pula

populasi domba di Kabupaten Sumbawa juga lebih banyak dari pada di P. Lombok. Di

P. Sumbawa populasi domba tercatat 25.435 ekor (69,16%) sedangkan di P. Lombok

tercatat 11.221 ekor (29,63%). Dari sisi populasi, menunjukkan bahwa Pulau

Sumbawa memiliki potensi lebih besar dari pada Pulau Lombok untuk pengembangan

ternak pemakan hijauan.

Tabel. 3.6. Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012

No Kab./Kota/Pulau Kambing (ekor) Domba (ekor)1 Mataram 2.346 112 Lombok Barat 40.297 2.9553 Lombok Utara 28.208 -4 Lombok Tengah 76.076 6325 Lombok Timur 77.263 7.623

Jumlah di P. Lombok 224.190 11.2216 Sumbawa Barat 16.149 1.7117 Sumbawa 38.368 1.6178 Dompu 62.889 789 Bima 270.332 21.45810 Kota Bima 15.355 571

Jumlah di P. Sumbawa 403.093 25.435TOTAL (NTB) 627.282 37.875

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Data populasi ternak pemakan hijauan perlu dikonversikan ke dalam satuan

Unit Ternak (UT) karena Unit Ternak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan

dalam perencanaan usaha peternakan, salah satunya untuk menghitung daya tampung

wilayah (carryng capacity). Populasi ternak pemakan hijauan dalam satuan Unit

Ternak tertera dalam Tabel 3.7). Dalam Tabel 3.7 terlihat bahwa perbandingan

populasi di NTB dalam UT antara sapi, kerbau, kuda, dan kambing-domba adalah

73,80%, 11,96%, 7,16%, dan 7,09%. Proporsi ini menunjukkan bahwa ternak sapi

merupakan ternak yang memiliki potensi pengembangan terbesar di NTB, sehingga

sangat tepat jika ternak sapi menjadi ternak unggulan di NTB. Proporsi populasi antara

P. Lombok dan P. Sumbawa adalah sebagai berikut: untuk sapi adalah 44,5% dan

55,6%, kerbau 23% dan 77%, kuda 17% dan 83%, kambing dan domba 35% dan

65%.

Page 19: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

12

Apabila dibuat klasifikasi berdasarkan populasi pada masing-masing

Kabupaten/Kota, maka Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Sumbawa

dapat dikategorikan ke dalam kabupaten yang memiliki potensi besar, yaitu dengan

populasi ternak pemakan hijauan di atas 100.000 UT; kabupaten Lombok Barat,

Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Dompu, masuk dalam kategori

sedang, dengan populasi di atas 50.000 sampai 100.000 UT; dan kota Bima dan kota

Mataram masuk kategori kecil, dengan populasi di bawah 50.000 UT.

Tabel 3.7. Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012

NoKab./Kota/Pulau

Sapi Kerbau Kuda Kb+Db Jumlah

1 Mataram 1.356 15 588 212 2.4132 Lombok Barat 54.999 5.995 3.140 3.893 69.1373 Lombok Utara 51.738 305 477 2.539 55.0094 Lombok Tengah 93.296 13.226 1.842 6.904 116.4195 Lombok Timur 75.466 3.405 4.116 7.640 93.505

Jumlah P. Lombok 276.855 22.945 10.163 21.187 336.483

6 Sumbawa Barat 36.987 9.285 4.514 1.607 54.3637 Sumbawa 134.056 37.815 30.935 3.599 209.2698 Dompu 65.419 14.288 6.333 5.667 94.4249 Bima 100.701 16.150 6.617 26.261 148.28910 Kota Bima 9.243 499 1.904 1.433 13.479

Jumlah P. Sumbawa 346.406 78.037 50.302 38.568 519.825TOTAL 623.261 100.983 60.466 59.864 856.308

Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2012)

Dalam Tabel 3.7 juga menunjukkan bahwa populasi ternak pemakan hijauan (sapi,

kerbau, kuda, kambing, dan domba) adalah sebanyak 856.308 UT, tepat sama

dengan populasi tahun 2011. Namun ternak sapi meningkat dari 597.266 UT menjadi

623.261 UT atau naik sekitar 6%.

3.2. Daya Tampung Wilayah NTB untuk Ternak Pemakan Hijauan dan PotensiPengembangan Ternak Sapi

Sumber daya alam (SDA) NTB sangat mendukung untuk pengembangan

ternak pemakan hijauan, terutama sapi, kerbau, kambing, dan domba. Lahan yang

dapat menjadi sumber pakan ternak antara lain adalah sawah, tegal, kebun, ladang,

hutan negara, hutan rakyat, perkebunan, lahan yang tidak digunakan, dan padang

Page 20: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

13

penggembalaan. Jenis dan luas penggunaan lahan di NTB adalah sebagai berikut

(Tabel 3.8 dan Tabel 3.9).

Tabel 3.8. Luas Lahan Sumber Pakan Ternak di P.Lombok menurut Penggunaannya

Jenis PenggunaanKabupaten/Kota

Lobar Loteng Lotim KLU Mtr P. Lombok

Lahan Sawah (Ha) 16.836 51.189 45.350 8.301 2.095 123.771

Irigasi 15.632 39.977 44.708 8.185 2.095 110.597

Tadah Hujan 1.204 11.212 642 116 - 13.174

Lahan Kering (Ha) 67.169 41.392 91.997 61.985 148 262.691

Tegal/ Kebun 22.908 20.576 22.677 16.720 83 82.964

Ladang/ Huma 9.094 1.058 6.178 4.105 - 20.435

Padang Pengembalaan 160 - 556 160 - 876

Lahan tidak diusahakan - - 20 - - 20

Hutan rakyat 6.616 2.260 3.476 6.000 - 18.352

Hutan negara 20.310 17.021 55.927 27.000 - 120.258

Perkebunan 8.081 477 3.163 8.000 65 19.786

Jumlah 84.005 143.186 137.347 70.286 2.243 386.462

Keterangan: Data Lombok Barat dan KLU, untuk padang penggembalaan, hutan danperkebunan merupakan hasil pendekatan.

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB (2010)

Tabel 3.9. Luas Lahan Sumber Pakan di P. Sumbawa menurut Penggunaannya

Jenis Penggunaan

Kabupaten/Kota

Sbw KSB Dompu BimaKotaBima

P. SBW

Lahan Sawah (Ha) 48.194 19.243 31.716 30.743 2.255 132.151

Irigasi 39.625 14.961 23.451 23.060 2.021 103.118

Tadah Hujan 8.569 4282 8.265 7.683 234 29.033

Lahan Kering (Ha) 495.932 156.851 215.761 381.397 26.787 1.276.728

Tegal/ Kebun 59.000 16.473 70.731 65.538 8.896 220.638

Ladang/ Huma 9.883 2.598 9.047 7.570 4.069 33.167PadangPengembalaan

3.773 2.445 6.526 15.326 - 28.070

Lahan tidkdiusahakan

25.937 1.905 3.838 22.108 215 54.003

Hutan rakyat 91.336 1.850 20.905 40.375 2.840 157.306

Hutan negara 278.154 128.263 96.272 219.703 9.827 732.219

Perkebunan 27.849 3.317 8.442 10.777 940 51.325

Jumlah 544.126 176.094 247.477 412.140 29.042 1.408.879

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB (2010)

Page 21: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

14

Apabila diasumsikan bahwa lahan sawah dapat menampung ternak 1,5 UT per

ha; ladang/huma, tegal/kebun, hutan rakyat, perkebunan, lahan tidak diusahakan, dan

padang penggembalaan dapat menampung ternak 1 UT per ha dan lahan hutan negara

0,25 UT per ha , maka dapat diperhitungkan daya tampung ternak pemakan hijauan,

untuk wilayah P. Lombok seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan untuk P. Sumbawa pada

Tabel 3.11.

Tabel 3.10. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Lombok(Unit Ternak =UT)

Jenis PenggunaanKabupaten/Kota

Lobar Loteng Lotim KLU Mtr P. Lombok

Lahan Sawah 25.254 76.784 68.025 12.452 3.143 185.657

Lahan Kering 51.937 28.626 50.052 41.735 148 172.498

Tegal/ Kebun 22.908 20.576 22.677 16.720 83 82.964

Ladang/ Huma 9.094 1.058 6.178 4.105 0 20.435

PadangPengembalaan

160 0 556 160 0 876

Lahan tidakdiusahakan

0 0 20 0 0 20

Hutan rakyat 6.616 2.260 3.476 6.000 0 18.352

Hutan negara 5.078 4.255 13.982 6.750 0 30.065

Perkebunan 8.081 477 3.163 8.000 65 19.786

Jumlah 77.191 105.410 118.077 54.187 3.291 358.154

Dalam Tabel 3.10 terlihat bahwa wilayah P. Lombok memiliki daya tampung ternak

pemakan hijauan sebanyak 358.154 UT, yang tersebar di Kabupaten Lombok Barat

77.191 UT, Lombok Tengah 105.410 UT, Lombok Timur 118.077 UT, Lombok Utara

54.187 UT, dan Kota Mataram 3.291 UT. Daya tampung tersebut sebagian besar

berasal dari lahan sawah (sekitar 52%) dan lainnya berasal dari lahan kering (sekitar

48%). Daya tampung lahan kering, sebagian besar berupa tegal/kebun, yaitu sekitar

48% dari luas lahan kering, lainnya berupa ladang/huma 12%, hutan rakyat 11%, hutan

negara 17%, dan perkebunan sekitar 11%. Padang penggembalaan dan lahan yang

tidak diusahakan sangat kecil daya tampungnya. Oleh karena daya tampung ternak

pemakan hijauan di wilayah P. Lombok sebagian besar berasal dari lahan sawah maka

Page 22: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

15

sebagian besar bahan pakan ternak berupa limbah pertanian dan hasil sisa produksi

pertanian.

Tabel 3.11. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Sumbawa(Unit Ternak = UT)

Jenis Penggunaan

Kabupaten/Kota

Sbw KSB Dompu BimaKotaBima

P. SBW

Lahan Sawah 72.291 28.865 47.574 46.115 3.383 198.227

Lahan Kering 287.317 60.654 143.557 216.620 19.417 727.564

Tegal/ Kebun 59.000 16.473 70.731 65.538 8.896 220.638

Ladang/ Huma 9.883 2.598 9.047 7.570 4.069 33.167

PadangPengembalaan

3.773 2.445 6.526 15.326 0 28.070

Lahan tidakdiusahakan

25.937 1.905 3.838 22.108 215 54.003

Hutan rakyat 91.336 1.850 20.905 40.375 2.840 157.306

Hutan negara 69.539 32.066 24.068 54.926 2.457 183.055

Perkebunan 27.849 3.317 8.442 10.777 940 51.325

Jumlah 359.608 89.518 191.131 262.734 22.799 925.790

Dalam Tabel 3.11 terlihat bahwa wilayah Pulau Sumbawa dapat menampung 925.790

UT. Kebalikan dari wilayah P. Lombok, daya tampung tersebut sebagian besar berasal

dari lahan kering sekitar 79%, sisanya berasal dari lahan sawah sekitar 21%. Lahan

tegal/kebun memiliki daya tampung terbanyak, disusul oleh lahan hutan negara, hutan

rakyat, lahan yang tidak diusahakan, perkebunan, ladang/huma, dan padang

penggembalaan.

Dengan membandingkan daya tampung lahan sumber pakan dengan populasi

ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing/domba) dalam Unit Ternak

(UT) dapat dihitung potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB, seperti

tertera pada Tabel 3.12. Dalam Tabel 3.12 terlihat bahwa pada tahun 2012 potensi

pengembangan ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba) di NTB

sebesar 427.636 UT , tersebar di P. Lombok sebanyak 21.671 UT dan di P. Sumbawa

sebanyak 405.965 UT. Apabila seluruh potensi ini digunakan untuk pengembangan

ternak sapi maka NTB masih dapat menampung tambahan ternak sapi sebanyak

427.636 UT atau sekitar 598.691 ekor. Terdapat dua kabupaten di P. Lombok yang

telah melebihi kapasitas daya tampungnya, yaitu Lombok Tengah dan Lombok Utara.

Kabupaten lainnya masih memiliki potensi pengembangan yang cukup besar.

Page 23: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

16

Tabel 3.12. Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB

No Kab./Kota/PulauDaya Tampung

(UT)Populasi TPH

(UT)

PotensiPengembangan

(UT)

1 Mataram 3.291 2.413 8782 Lombok Barat 77.191 69.137 8.0543 Lombok Utara 54.187 55.009 (823)4 Lombok Tengah 105.410 116.419 (11.009)5 Lombok Timur 118.077 93.505 24.572

Jumlah P. Lombok 358.154 336.483 21.6716 Sumbawa Barat 89.518 54.363 35.1557 Sumbawa 359.608 209.269 150.3398 Dompu 191.131 94.424 96.7079 Bima 262.734 148.289 114.44510 Kota Bima 22.799 13.479 9.320

Jumlah P. Sumbawa 925.790 519.825 405.965TOTAL (NTB) 1.283.944 856.308 427.636

Potensi pengembangan tersebut dihitung berdasarkan data pada Dinas

Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB tahun 2013. Data ini berbeda dengan

data hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau tahun 2011 (PSPK-2011)

dan data Sensus Ternak tahun 2013 (ST-2013). Menurut data PSPK-2011 dan ST-2013

populasi sapi dan kerbau di NTB tercacat seperti pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13. Populasi Sapi dan Kerbau di NTB menurut ST-2013 dan PSPK-2011

No Kabupaten/Kota ST-2013 PSPK-20111 Lombok Barat 54.200 60.9002 Lombok Tengah 104.300 119.7003 Lombok Timur 82.000 96.2004 Sumbawa 187.400 198.9005 Dompu 83.600 87.3006 Bima 115.100 118.4007 Sumbawa Barat 34.900 39.5008 Lombok Utara 53.700 57.8009 Kota Mataram 1.900 1.80010 Kota Bima 9.700 10.600

Provinsi Nusa Tenggara Barat 726.900 791.200Sumber: www.bps.go.id

Apabila data ST-2013 dijadikan sebagai data dasar dalam perhitungan daya tampung

wilayah maka potensi pengembangan ternak sapi di NTB tentu lebih besar dari

perhitungan di atas.

Page 24: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

17

BAB IVKOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI

4.1. Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi

Provinsi NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau

Sumbawa. Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah 15.414,50 km2 (76,49%),

sekitar tiga kali lebih luas dari pada Pulau Lombok 4.738,70 km2 (23,51%).

Kondisi geografi, topografi, dan iklim di kedua pulau ini sangat berbeda. Tofografi

pulau Sumbawa lebih banyak berbukit dan bergunung sedangkan pulau Lombok lebih

banyak yang datar. Kondisi curah hujan dan hari hujan secara umum di P. Lombok

lebih baik dari pada di P. Sumbawa. Sumberdaya lahan menurut penggunaannya juga

berbeda antara di P. Sumbawa dan P. Lombok (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Luas lahan menurut penggunaannya di NTB tahun 2009

No Jenis Penggunaan P. Lombok P. Sumbawa NTBA Lahan Sawah (Ha) 185.657 198.227 383.8831 Irigasi 165.896 154.677 320.5732 Tadah Hujan 19.761 43.550 63.311B Lahan Kering (Ha) 218.982 935.662 1.154.6441 Tegal/ Kebun 124.446 330.957 455.4032 Ladang/ Huma 30.653 49.751 80.4033 Padang Pengembalaan 1.314 42.105 43.4194 Lahan tidak diusahakan 30 81.005 81.0355 Hutan rakyat 27.528 235.959 263.4876 Hutan negara 30.065 183.055 213.1197 Perkebunan 4.947 12.831 17.778

Jumlah 404.638 1.133.889 1.538.527Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB (2010)

Dalam Tabel 4.1 terlihat bahwa di Pulau Sumbawa didominasi oleh lahan kering

(82,52% ) dan sisanya berupa lahan sawah 17,48%, sedangkan di Pulau Lombok luas

lahan kering sebesar 54,12% dan sisanya 45,88% berupa lahan sawah.

Perbedaan kondisi di atas sangat mempengaruhi sistem pemeliharaan ternak

sapi di kedua wilayah pulau tersebut. Peternak di pulau Lombok umumnya memelihara

sapi secara intensif, di kandangkan terus menerus dengan penyediaan pakan secara cut

and carry. Sistem ini berpengaruh terhadap jumlah pemeliharaan sapi sesuai dengan

kemampuan peternak mencari rumput setiap harinya. Oleh karena itu, jumlah

pemeliharaan ternak sapi per peternak di P. Lombok umumnya relatif kecil, yaitu 1 – 3

Page 25: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

18

ekor. Sistem pemeliharaan di P. Sumbawa berbeda dengan di P. Lombok.

Pemeliharaan sapi di P. Sumbawa umumnya dilakukan secara ekstensif, sapi dilepas

pada padang penggembalaan atau di kawasan hutan terus menerus, sewaktu-waktu

diambil untuk dikontrol dan dijual. Disamping itu telah banyak berkembang

pemeliharaan semi ekstensif, pada siang hari sapi dilepas di tegal/kebun, ladang/huma,

lahan yang tidak diusahakan, atau di padang penggembalaan umum, dan pada malam

hari dikandangkan. Oleh karena itu, jumlah pemeliharaan rata-rata per peternak di P.

Sumbawa lebih banyak dari pada di P. Lombok, yaitu lebih dari 5 ekor, bahkan banyak

yang memelihara ratusan ekor.

Hasil penelitian terhadap 558 orang responden, menunjukkan bahwa pemilikan

ternak sapi rata-rata per peternak adalah sebagai berikut (Tabel 4.2 dan 4.3).

Tabel 4.2. Pemilikan ternak sapi per peternak menurut umur di NTB

KabupatenDewasa Muda Anak

JmlEkor % ek % ek %

KLU 2,53 71,13 0,73 20,42 0,30 8,45 3,55Lobar 2,33 65,49 0,54 15,14 0,69 19,37 3,55Loteng 2,33 59,62 0,73 18,59 0,85 21,79 3,90Lotim 2,23 57,42 0,59 15,16 1,06 27,42 3,88P.Lbk 2,35 63,19 0,64 17,31 0,73 19,50 3,72KSB 8,58 53,26 5,10 31,68 2,43 15,06 16,10Sumbawa 7,35 42,75 5,36 31,19 4,48 26,07 17,19Dompu 4,48 48,79 2,37 25,81 2,33 25,40 9,19Bima 7,01 45,42 3,95 25,59 4,48 28,99 15,44P. Sbw 6,85 47,34 4,20 28,98 3,43 23,68 14,48

Tabel 4.3. Pemilikan ternak sapi menurut jenis kelamin di NTB

Kabupaten Betina Jantan Jml Btn (%) Jtn (%)KLU 1,53 2,03 3,55 42,96 57,04Lobar 2,21 1,34 3,55 62,32 37,68Loteng 2,49 1,41 3,90 63,78 36,22Lotim 2,54 1,34 3,88 65,48 34,52P.Lombok 2,19 1,53 3,72 58,91 41,09KSB 10,50 5,60 16,10 65,22 34,78Sumbawa 11,43 5,76 17,19 66,49 33,51Dompu 6,37 2,81 9,19 69,35 30,65Bima 10,73 4,71 15,44 69,51 30,49P. Sumbawa 9,76 4,72 14,48 67,39 32,61NTB 5,97 3,12 9,10 65,66 34,34

Page 26: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

19

Dalam Tabel 4.2 dan 4.3 terlihat bahwa pemilikan ternak sapi di P. Sumbawa lebih

banyak dari pada di P. Lombok. Pemilikan rata-rata per peternak di P. Sumbawa

sebanyak 14,48 ekor terdiri atas 9,7 ekor betina dan 4,72 jantan sedangkan di P.

Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 2,19 ekor betina dan 1,53 ekor jantan. Jika

diperinci menurut umur, di P. Sumbawa terdiri atas 6,85 ekor dewasa (47,34%), 4,2

ekor muda (28,98%), dan 3,4 ekor anak ( 23,68%) sedangkan di P. Lombok terdiri atas

2,35 ekor dewasa (63,19%), muda 0,64 ekor (17,31%), dan 0,73 ekor anak (19,50%).

4.2. Koefisien Teknis Peternakan Sapi

Koefisien teknis sangat penting dalam perencanaan pengembangan peternakan

sapi. Koefisien teknis penting yang dikaji dalam penelitian ini meliputi, (1) umur sapi

betina pertama dikawinkan, (2) jarak beranak (calving interval), (3) umur pedet

disapih, (4) induk diafkir, dan (5) angka kematian pedet.

4.2.1. Umur Sapi dikawinkan

Sapi betina pertama dikawinkan berdasarkan pada kondisi tubuh ternak, yaitu

sudah mengalami dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Umur sapi pertama kali

dikawinkan tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Umur Sapi Bali dikawinkan Pertama

LokasiUmur sapi dikawinkan pertama kali

1 - 1,5 th 1,5 – 2 th > 2 thJumlah

respondenP. LombokLombok Barat 1 28 44 73Lombok Utara 0 10 31 41

Lombok Tengah 2 19 60 81

Lombok Timur 5 49 26 80Jumlah 9 116 161 279Persentase 3,32 41,58 49,90 100

P. Sumbawa

Sumbawa Barat - - 40 40Sumbawa - 29 46 75Dompu - 1 27 28Kab. Bima - 12 30 42Jumlah - 42 143 185Persentase 22,70 77,30 100NTB (%) 1,94 34,05 65,52 100

Page 27: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

20

Pada Tabel 4.4, terlihat bahwa umur sapi betina pertama kali dikawinkan di Pulau

Lombok umumnya di atas 2 tahun. Dari 280 responden di wilayah P. Lombok,

sebanyak 3,32% menyatakan umur sapi betina pertama dikawinkan adalah umur 1-1,5

tahun; sebanyak 41,58% menyatakan pada unmr 1,5-2 tahun; dan sebesar 49,90%

menyatakan di atas 2 tahun. Dari 278 responden di wilayah kabupaten Sumbawa,

sebanyak 22.70% menyatakan sapi betina pertama dikawinkan pada umur 1,5 – 2

tahun, dan lainnya (77.30%) menyatakan pada umur di atas 2 tahun. Di wilayah NTB,

sebagian besar sapi betina pertama kali dikawinkan pada umur di atas 2 tahun.

Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi dara di pulau Sumbawa

termasuk masak lambat, sedangkan sapi-sapi dara di pulau Lombok tergolong masak

dini. Penyebabnya adalah perbedaan sistem pemeliharaan dan ketersediaan pakan di

pulau Lombok lebih memadai bila dibandingkan di pulau Sumbawa.

Umur sapi dikawinkan pertama tidak terlepas dari umur pubertas sapi. Umur

pubertas pada sapi Bali merupakan aspek penting dikaitkan dengan kapasitas

reproduksinya. Menurut hasil survey yang telah dilakukan Arman dkk. (1996), bahwa

sapi Bali jantan akan mencapai pubertas rataan pada umur 20,40±4,07 bulan dan umur

perkawinan pertama yang mampu menghasilkan kebuntingan adalah 23,49±4,91 bulan.

Sedangkan ternak betina akan mencapai pubertas pada umur 18,55±2,91 dan

perkawinan pertama yang menghasilkan kebuntingan akan terjadi pada umur

21,19±3,60 bulan. Menurut Fordyce et al. (2002), umur pubertas sapi bali baik jantan

maupun betina pada umur 12 – 24 bulan dengan berat badan berkisar antara 100 – 150

kg. Kebuntingan pada ternak betina tersebut dapat terjadi pada siklus birahi kedua

sejak pubertas dicapai.

4.2.2. Jarak Beranak (bulan)

Jarak beranak sangat menentukan tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi.

Idealnya ternak sapi memiliki jarak beranak 12 bulan atau setiap tahun beranak. Oleh

karena itu salah satu target NTB-BSS adalah memperbaiki kinerja induk sapi di NTB

sehingga dapat beranak sekali setahun atau dikenal dengan 3S (satu induk, satu tahun,

satu anak). Berdasarkan wawancara kepada para peternak, diperoleh data jarak beranak

sebagai berikut (Tabel 4.5). Dalam tabel 4.5 terlihat bahwa rata-rata jarak beranak sapi

di NTB adalah 12,7 bulan, terkecil 12 bulan dan terbesar 15,25 bulan. Jarak beranak

sapi di P. Sumbawa sedikit lebih baik, yaitu 12,48 bulan, dari pada di P. Lombok

Page 28: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

21

12,92 bulan. Hal ini mungkin karena sapi di P. Sumbawa lebih banyak digembalakan

sehingga secara alami sapi betina dapat lebih intensif ketemu pejantan pemacek ketika

masa birahi. Jarak beranak rata-rata 12,7 bulan dapat diartikan bahwa dalam

sekelompok induk produktif, dalam satu tahun akan dapat diperoleh angka kelahiran

sekitar 94% dari jumlah induk produktif. Jadi, dalam program pengembangan sapi

perbibitan, faktor yang sangat penting diperhatikan adalah produktifitas induk.

Tabel 4.5. Jarak beranak ternak sapi induk di NTB

N0 KabupatenRata-rata(bulan)

Terkecil(bulan)

Terbesar(bulan)

1 Bima 12,6 12 162 Dompu 12,51 12 163 Sumbawa 12,07 12 134 Sumbawa Barat 12,75 12 14

P. Sumbawa 12,48 12 14,755 Lombok Timur 13,36 12 186 Lombok tengah 12,76 12 157 Lombok Barat 12,78 12 168 Lombok utara 12,79 12 14

P. Lombok 12,92 12 15,75NTB 12,70 12 15,25

Hasil ini juga terkait dan erat hubungannya dengan perkawinan kembali setelah

melahirkan, dan juga bunting kembali setelah melahirkan. Perkawinan kembali setelah

sapi beranak baik di pulau Lombok maupun di pulau Sumbawa terjadi setelah 2

sampai 4 bulan. Ternak sapi induk mengalami kebuntingan kembali setelah beranak

baik di pulau Lombok maupun di Sumbawa sekitar 3,5 bulan. Secara umum kondisi di

P. Sumbawa sedikit lebih baik dibandingkan dengan di P. Lombok. Hal ini mungkin

disebabkan oleh perbedaan dalam sistem pemeliharaannya. Di Pulau Lombok

pemeliharaan sapi umumnya dilakukan secara intensif yaitu sapi-sapi baik jantan

maupun betina dikandangkan atau diikat secara terus menerus ditempat yang berbeda

oleh pemiliknya sehingga sapi-sapi tersebut selalu terpisah dan tidak bisa melakukan

percumbuan ataupun perkawinan secara bebas. Sedangkan sapi-sapi dipulau Sumbawa

dipelihara secara ekstensip dimana sapi-sapi tersebut digembalakan secara bersama-

sama dalam satu areal penggembalaan baik dipadang rumput, pinggiran hutan, diatas

bukit ataupu di areal lahan pertanian yang sedang tidak ditanami, sehingga sapi jantan

dan betina lebih intensif ketemu pada masa-masa sapi betina birahi. Hasil penelitian

Page 29: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

22

yang dilakukan peneliti terdahulu (Thalib et al., 2002 ) menunjukkan bahwa

terjadinya pubertas pada sapi bali di NTB yaitu pada umur 2,5 tahun, umur beranak

pertama pada umur 36 bulan, jarak antar beranak 16 bulan, angka kelahiran 51,7%,

sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wirdhayati (1994) dan Thalib

(2001) mengungkapkan bahwa calving rate sapi bali di NTB berkisar antara 63 – 78

%. Calving interval dan calving rate sangat penting diperhatikan dalam pengembangan

sapi perbibitan. Oleh karena itu program seleksi bibit calon induk dan peningkatan

produktivitas ternak induk sangat penting dilakukan secara terus menerus sehingga

terjaga kualitas induk sapi sebagai pabrik ternak sapi.

4.2.3. Umur Penyapihan Pedet

Umur penyapihan pedet juga sangat penting dalam program pengembangan

sapi perbibitan. Umur penyapihan pedet dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Umur penyapihan pedet di wilayah NTB

KabupatenRata-rata umurpedet di sapih

(bulan)

Umur disapihtermuda(bulan)

Umur disapihtertua

(bulan)Bima 7,00 5 8Dompu 6,52 6 8Sumbawa 7,20 5 8,5Sumbawa Barat 8,6 5 12P. Sumbawa 7,33 5 12Lombok Timurt 8,05 4 12Lombok Tengah 6,40 5 8Lombok Barat 6,86 5 11,5Lombok Utara 5,15 4,5 6P. Lombok 6,6 4 12NTB 6,9 4 12

Penyapihan pedet dapat dilakukan pada waktu pedet umur 3 atau 4 bulan. Namun,

umumnya para peternak rakyat menyapih pedet dari induknya lebih dari 6 bulan,

dengan alasan kasihan. Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa rata-rata penyapihan pedet di

NTB adalah 6,9 bulan. Penyapihan pedet di Pulau Sumbawa lebih lama (7,33 bulan)

dibandingkan dengan di Pulau Lombok (6,6 bulan). Banyak pula peternak yang

menyapih pedetnya sampai umur satu tahun, bahkan secara alamiah disapih oleh

induknya sendiri. Umur sapih paling muda tercatat 4 bulan. Dalam program

Page 30: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

23

pengembangan ternak sapi perbibitan sebaiknya umur penyapihan diprogramkan

antara 3 – 4 bulan agar induknya lebih baik kondisinya. Setelah disapih, pedet-pedet

tersebut selain diberikan hijauan yang berkualitas perlu diberikan pakan tambahan

konsentrat yang mencukupi untuk pertumbuhan optimal.

Umumnya peternak di Pulau Lombok melakukan penyapihan dengan cara

mengikat atau menaruh anak sapi di kandang yang terpisah dari induknya. Pada

awalnya anak sapi dilatih untuk berhenti menyusui dengan cara dibatasi untuk

menyusui kepada induknya, dalam sehari diberikan 3 kali sehari, selanjutnya 2 kali

sehari kemudian 1 kali sehari dan setelah 2 minggu kemudian anak sapi diberhentikan

sepenuhnya untuk tidak menyusui lagi dari induknya. Sedangkan peternak di

Sumbawa penyapihan agak sulit dilakukan karena sistem penggembalaan yang selalu

bersama anatara induk dan pedetnya. Sistem ini menyebabkan lamanya waktu untuk

anak sapi berhenti menyusui. Penyapihan dapat dilakukan dengan cara tidak mengikut

sertakan anak sapi untuk di gembalakan yang dapat dilakukan pada anak sapi yang

sudah besar (umur 5-6 bulan). Metode yang lain untuk penyapihan yaitu dengan

mengolesi puting susu induk dengan daun-daun tumbuhan yang terasa pahit dengan

tujuan agar anak sapi tidak suka menyusu.

4.2.4. Umur Sapi Induk Diafkir

Data umur sapi induk diafkir tertera pada Tabel 4.7 di bawah ini.

Tabel 4.7. Umur sapi induk diafkir di wilayah NTB

KabupatenUmur Sapi Diafkir/ Diganti

(tahun)

Jumlah KelahiranUntuk Penggantian Induk

(kali)

Lombok Barat 11,14 8,94Lombok Utara 11,10 9,40Lombok Tengah 11,17 8,24

Lombok Timur 11,09 7,58

P. Lombok 11,12 8,54Sumbawa Barat 12,20 11,01Sumbawa 12,99 10,04Dompu 8,00 5,00Kab. Bima 8,00 5,00P. Sumbawa 10.30 7,76NTB 10,71 8,15

Page 31: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

24

Dalam pengembangan sapi perbibitan, produktivitas sapi induk sangat penting. Salah

satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi induk adalah umur. Oleh karena itu,

umur sapi induk diafkir secara keseluruhan akan mempengaruhi produktivitas ternak

sapi. Dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa rata-rata sapi induk di NTB diafkir pada umur

10,71 tahun, di P. Lombok 11,12 tahun, dan di P. Sumbawa 10,30 tahun. Umur sapi

induk diafkir dikedua wilayah Pulau tersebut tidak berbeda nyata, yaitu antara 10 – 11

tahun atau setelah melahirkan sekitar 8 kali. Kondisi ini tergolong sudah cukup baik

untuk pengembangan sapi perbibitan rakyat.

4.2.5. Sistem Perkawinan Ternak

Sistem perkawinan ternak sapi umumnya terdiri atas dua macam, yaitu kawin

alam atau kawin suntik. Pada daerah-daerah yang pemeliharaan ternak sapinya

dilakukan secara intensif telah banyak dikembangkan kawin suntik, tetapi pada daerah-

daerah dengan pemeliharaan secara ekstensif, perkawinan sapi masih dengan kawin

alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (98%) peternak di P.

Sumbawa mengawinkan ternak sapinya secara kawin alam, hanya 2% yang

mengawinkan dengan kawin suntik. Peternak di P. Lombok sudah banyak yang

menggunakan kawin suntik, mencapai 30%, 70% peternak lainnya masih

menggunakan kawin alam. Keberhasilan kebuntingan dari masing-masing sistem

perkawinan tersebut tertera pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Sistem perkawinan ternak sapi di NTB

Lokasi Sistem PerkawinanKawin Alam (Kali) Kawin Suntik (Kali)

Lombok Barat 2 2,04Lombok Utara 1,00 2,11Lombok Tengah 1,15 1,50Lombok Timur 1.35 2,00P. Lombok 1,38 1,91Sumbawa Barat 1,21 1,00Sumbawa 1,26 2,67Dompu 1,34 0,00Kab.Bima 1,00 0,00P. Sumbawa 1,2 0,92NTB 1,27 1,45

Page 32: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

25

Data dalam Tabel 4.8 terlihat bahwa di P. Lombok untuk kawin alam kebuntingan

terjadi rata-rata setelah sapi dikawinkan sebanyak 1,38 kali dengan pejantan pemacek

sedangkan dengan kawin suntik rata-rata 1,91 kali. Di pulau Sumbawa, dengan kawin

alam terjadi kebuntingan setelah rata-rata dikawinkan sebanyak 1,27 kali, sedangkan

pada kawin suntik setelah diinseminasi sebanyak rata-rata 1,45 kali. Perkawinan

dengan Inseminasui buatan frekuensi pengulangannya lebih tinggi dibandingkan

dengan kawin alam, hal ini berkaitan dengan tingkat keterampilan inseminator dan

waktu melakukan inseminasi buatan. Bila inseminator kurang mahir dalam melakukan

inseminasi dan waktu yang kurang tepat akan menyebabkan tingginya tingkat

kegagalan menghasilkan kebuntingan. Petani responden di pulau Sumbawa tidak

mengawinkan ternak sapinya dengan inseminasi, walaupun sebenarnya di pulau

Sumbawa juga sudah diterapkan program inseminasi tetapi terbatas pada lokasi lokasi

tertentu. Kebijakan pemerintah NTB untuk menjadikan pulau Sumbawa sebagai daerah

pemurnian genetik sapi bali juga berdampak terhadap pelarangan kegiatan inseminasi

buatan dengan tujuan untuk mencegah masuknya jenis-jenis bibit sapi selain sapi bali

masuk ke pulau Sumbawa melalui pengiriman semen dalam bentuk straw untuk IB.

Perkawinan alam biasanya dilakukan dengan pejantan yang tersedia dikelompok

ternak yang dibayar sesuai dengan hasil kesepakatan kelompok biasanya berkisar

antara Rp 15.000 - 25.000 untuk sekali perkawinan. Hasil pembayaran sebagian

dimasukkan menjadi KAS kelompok dan sebagiannya sebagai upah bagi yang

memelihara pejantan, sedangkan untuk kawin suntik peternak membayar antara Rp

100 000 -125 000 untuk satu kali kawin suntik. Pejantan pemacek yang digunakan

umumnya berasal dari berbagai sumber, ada yang dari milik sendiri, ada yang milik

tetangga, ada yang milik kelompok, dan ada pula yang berasal dari padang

penggembalaan umum. Secara rinci, asal pejantan pemacek dapat dilihat pada Tabel

4.9. Dalam Tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besar asal pejantan pemacek adalah milik

kelompok. Di P. Lombok, 64% pejantan pemacek yang digunakan adalah milik

kelompok, 24% milik sendiri, dan 12% milik tetangga. Di P. Sumbawa, 49% pejantan

pemacek adalah milik kelompok, 35% milik sendiri, 9% milik tetangga, dan 7%

berasal dari padang penggembalaan umum. Pada peternakan rakyat, termasuk yang

dilakukan oleh para peternak di NTB, pencatatan tentang perkembangbiakan ternaknya

atau recording masih jarang dilakukan, apalagi mencatat tentang perkawinan

ternaknya.

Page 33: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

26

Tabel 4.9. Asal pejantan pemacek yang digunakan

Kabupaten

Kepemilikan Pejantan

Milik sendiriMilik

TetanggaMilik

Kelompok

Pejantan dipadang

penggembalaan

Lombok Barat 28 7 59 -Lombok Utara 29 4 9 -Lombok Tengah 6 16 65 -Lombok Timur 3 6 43 -P. Lombok 66 33 176 -Persentase 24 12 64 -Sumbawa Barat 11 4 22 6Sumbawa 40 2 30 0Dompu 16 11 0 6Kab.Bima 0 0 42 0P. Sumbawa 67 17 94 12Persentase 35 9 49 7

Data yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, mengindikasikan bahwa pengetahuan peternak

tentang inbreeding masih rendah, hal ini dapat dilihat dari penggunaan pejantan untuk

mengawinkan ternaknya. Banyak diantara peternak yang memelihara anak sapi jantan

sampai umur dewasa dan membiarkannya kawin dengan kerabat terdekatnya yaitu

saudara sebapak atau saudara seibu bahkan mengawini induknya sendiri. Kondisi ini

menyebabkan koefisien inbreeding terhadap populasi sapi yang ada di masyarakat

masih tinggi. Seleksi untuk memperoleh pejantan pemacek unggul juga masih jarang

dilakukan oleh peternak.

Dari mana asal pejantan pemacek diperoleh, secara tidak langsung juga

mempengaruhi kualitas keturunan ternak sapi di suatu wilayah. Tabel 4.10

menunjukkan asal pejantan pemacek yang digunakan oleh peternak. Dalam Tabel 4.10

terlihat bahwa di pulau Lombok 31,95% pejantan pemacek yang digunakan berasal

dari dalam desa, 9,4% dari luar desa, 46,40% diperoleh dari pasar hewan, 9,40%

menggunakan pejantan milik kelompok, dan 2,63% dari bantuan Dinas Peternakan.

Besarnya tingkat pemakaian pejantan yang berasal dari dalam desa secara genetik akan

menyebabkan tingkat inbreeding (kawin keluarga) yang tinggi. Peternak di desa-desa

pada umumnya mengawinkan ternaknya dengan pejantan yang ada ditempat yang

Page 34: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

27

terdekat bila pejantan tersebut sering dipakai secara bergantian dan berulangkali yang

menyebabkan terjadinya kawin antar keluarga dekat.

Tabel 4.10. Asal usul Pejantan Pemacek

KabupatenAsal Pejantan Yang Digunakan

DalamDesa

Luar DesaDari pasar

hewanMilik

KelompokBantuanDinas

Lombok Barat 34 0 30 11 2

Lombok Utara 32 1 8 0 0

Lombok Tengah 13 24 50 7 1

Lombok Timur 6 0 36 7 4

P. Lombok 85 25 124 25 7% 31.95 9.40 46.62 9.40 2.63

Sumbawa Barat 25 12 0 4 1

Sumbawa 45 27 0 1 0

Dompu 27 2 0 0 0Kab.Bima 42 0 0 0 0P. Sumbawa 139 41 0 5 1

% 74.73 22.04 0 2.69 0.35

Pejantan Pemacek biasanya diperoleh dari anak sapi jantan yang diperoleh dari

kelahiran sebelumnya yang dibesarkan hingga dewasa dan menjadi pejntan pemacek.

Kondisi ini menyebabkan anak sapi yang sudah dewasa akan mengawini induk-induk

sapi yang ada disekitarnya yang kemungkinan adalah induknya sendiri atau saudara

sebapak atau saudara seinduknya. Perkawinan antar keluarga dekat pada suatu

populasi ternak akan menyebabkan tingkat homozigositas yang tinggi terhadap genetik

ternak. Tingginya tingkat homozigositas menyebabkan rendahnya nilai heterosis pada

pertumbuhan keturunan ternak tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi di pulau

Sumbawa.

Waktu perkawinan ternak sangat penting diperhatikan karena sangat

berkorelasi dengan waktu kelahiran dan kematian pedet. Ketika waktu kelahiran terjadi

pada musim kemarau, di mana terjadi kekurangan pakan, pada waktu itu banyak terjadi

kematian pedet. Waktu perkawinan sapi yang umum terjadi tertera dalam Tabel 4.11.

Dalam Tabel 4.11 terlihat bahwa perkawinan ternak sapi di pulau Lombok

terdistribusi secara merata sepanjang tahun. Ini berarti bahwa di pulau Lombok tidak

Page 35: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

28

terdapat musim kawin dan musim lahir pedet. Kondisi ini tidak terlepas dari sistem

pemeliharaan, terutama dalam penyediaan pakan.

Tabel 4.11. Waktu Perkawinan Ternak Sapi

Kabupaten

Bulan KawinJ F Mt A Mi Jn Jl Ag S O N D

Lobar 2 2 3 1 2 8 5 1 4 1 4 2

KLU 13 4 4 14 9 4 2 2 5 2 4 17

Loteng 3 9 1 - - 2 8 4 12 2 1 3

Lotim 1 - - - - 1 - - - 4 - 1

P. Lbk 19 15 8 15 11 15 15 7 21 9 9 23

% 11.4 11 6 11 8.0 11 11 5.1 15.3 6.6 6.6 16.8

KSB - - 2 - - - - 8 16 11 1 -

Sumbawa - 1 - - - 25 38 3 8 6 2 3

Dompu 1 5 12 4 7 7 9 2 0 1 0 0

Bima - - - - - - 35 41 - 4 2 3

P. Sbw 1 6 14 4 7 32 82 54 24 23 5 6

% 0,39 2,33 5,43 1,55 2,71 12,40 31,78 20,93 9,30 8,91 1,94 2,33

Pemeliharaan sapi di P. Lombok umumnya dilakukan secara intensif (dikandangkan)

sehingga penyediaan pakan relatif sama antara musim hujan dan musim kemarau.

Berbeda halnya dengan di pulau Sumbawa yang menunjukkan bahwa sebagian besar

sapi-sapi kawin pada bulan Juli dan Agustus, kondisi ini juga selanjutnya akan diikuti

oleh musim lahir pedet yaitu kira-kira pada bulan Maret dan April. Perkawinan yang

terpola diperkirakan berkaitan dengan sistem penggembalaan di mana ketika musim

tanam berakhir pada bulan Juli dan Agustus sehingga banyak lahan-lahan pertanian

dijadikan tempat penggembalaan sapi secara bersama-sama. Dalam penggembalaan

bersama ini banyak terjadi perkawinan ternak sapi secara alami.

4.2.6. Kesehatan Ternak

Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting dalam peternakan sapi,

karena akan menyebabkan turunnya produksi dan produktivitas ternak, bahkan

mengakibatkan kematian ternak, yang pada gilirannya akan merugikan peternak.

Kematian ternak sapi sebagian besar terjadi ketika masih pada umur di bawah 1 tahun

(pedet) (Tabel 4.12).

Page 36: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

29

Tabel 4.12. Kematian Pedet dibawah 1 tahun dan 1 tahun ke atas

Kab Jml (ekor)Kematian

<1th (ek) >1th (ek) Jml (ek) %KLU 142 7 4 11 7,75Lobar 284 15 6 21 7,39Loteng 312 16 4 20 6,41Lotim 310 27 13 40 12,90P.Lbk 1.048 65 27 92 8,61KSB 644 52 30 82 12,73Sumbawa 1.289 71 25 96 7,45Dompu 744 35 35 70 9,41Bima 1.266 99 39 138 10,90P. Sbw 3.943 257 129 386 10,12NTB 4.991 322 156 478 9,37

Dalam Tabel 4.12 terlihat bahwa kematian ternak sapi rata-rata di NTB sebanyak

9,37% per tahun, sebagaian besar (67%) mati ketika masih umur kurang dari 1 tahun

(pedet) dan 33% mati setelah umur 1 tahun. Terdapat sedikit perbedaan antara

persentase kematian sapi di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P. Lombok sebesar

8,61% sedangkan di P. Sumbawa 10,12%. Penyebab kematian pedet umumnya adalah

mencret, cacingan, premature, kurang perawatan, tidak mau menyusui, dan tergelincir.

4.2.7. Pola Pemeliharaan Ternak

Sistem pemeliharaan ternak sapi secara umum berbeda antara di wilayah P.

Sumbawa dan di P. Lombok. Perbedaan pemeliharaan ini disebabkan oleh perbedaan

geografi, topografi, dan iklim yang mempengaruhi sistem pertanian tanaman pangan.

Di pulau Lombok, sebagian besar lahan pertanian ditanami secara intensif untuk

tanaman pangan sehingga sangat sedikit lahan yang menganggur yang dapat digunakan

sebagai padang penggembalaan. Oleh karena itu, pemeliharaan sapi umumnya

dilakukan dengan dikandangkan terus menerus dengan menyediakan pakan secara cut

and carry. Sebaliknya, di P. Sumbawa masih banyak lahan-lahan yang tidak digunakan

secara intensif untuk tanaman pangan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai padang

penggembalaan. Oleh karena itu, pemeliharaan sapi di P. Sumbawa umumnya

dilakukan secara ekstensif (di lepas di padang penggembalaan umum). Kondisi pola

pemeliharaan ternak sapi di NTB tertera pada Tabel 4.13.

Page 37: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

30

Tabel 4.13. Pola pemeliharaan ternak sapi di NTB

Pola Pemeliharaan ternak sapi dalam hal ini dikategorikan ke dalam sistem intensif,

ekstensif, dan semi intensif (campuran intensif dan ekstensif). Pemeliharaan secara

intensif yaitu pemeliharaan sapi yang sepenuhnya dilakukan dengan cara

dikandangkan, sehingga kebutuhan pakan dan minum disediakan oleh peternak yang

memeliharanya. Pola pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak dengan sistem

penggembalaan (grazing) di padang penggembalaan atau areal pertanian yang tidak

ditanamai dengan tanaman produktif, sehingga pakan dan minum dipenuhi saat

pengembalaan ternak. Sistem pemeliharan campuran adalah pemeliharaan sapi ketika

siang hari sapi dilepas mencari pakan sendiri dan ketika malam hari sapi

dikandangkan. Di pulau Lombok seluruh responden (100%) memelihara sapi dengan

cara intensif yaitu dikandangkan terus menerus. Di pulau Sumbawa, pemeliharaan

ternak sapi sebagian besar dilakukan secara ekstensif dan campuran, hanya 2,51%

yang dilakukan secara intensif.

Sistem pemeliharaan sapi dapat pula digambarkan melalui sistem

perkandangan yang digunakan. Tabel 4.14 menggambarkan sistem perkandangan yang

digunakan para peternak di NTB. Tabel 4.14 memperlihatkan adanya perbedaan yang

signifikan pemeliharaan ternak sapi antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P.

Lombok, sebagian besar peternak (86%) menggunakan kandang kolektif, hanya 14%

KabupatenDikandangkan

(Intensif)

DigembalakanTerus Menerus

(Ekstensif)Campuran

Lombok Barat 77 - -Lombok Utara 40 - -Lombok Tengah 73 -Lombok Timur 80 -P. Lombok 270Persentase 100Sumbawa Barat 4 16 20Sumbawa - 43 30Dompu 1 20 7Kab. Bima - 0 42P. Sumbawa 5 95 99Persentase 2,51 47,74 49,75

Page 38: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

31

yang menggunkan kandang individual. Penggunaan kandang kolektif tersebut lebih

ditujukan untuk pengamanan ternak dari pencurian. Sebaliknya, di P. Sumbawa para

peternak lebih banyak menggunakan kandang individual (61%), lainnya yang 39%

menggunakan kandang individual.

Tabel 4.14. Sistem perkandangan yang digunakan pemeliharaan sapi

LokasiSistem Perkandangan

Kandang Kolektif IndividualLombok Barat 64 14Lombok Utara 28 12Lombok Tengah 78 11Lombok Timur 76 4P. Lombok 246 41Persentase ( %) 85,71 14,29Sumbawa Barat 13 27Sumbawa 62 -Dompu - 75Kab. Bima 3 25P. Sumbawa 78 127Persentase (%) 38,94 61,06

Bentuk kandang sapi di pulau Lombok juga berbeda dengan kandang sapi di

pulau Sumbawa, di mana di Pulau Lombok bangunan kandang lebih permanen dengan

konstruksi kayu atau tiang beton dengan bahan atap dari alang-alang, asbes, atau

genteng. Lantai kandangnya berupa campuran tanah pasir dan kerikil yang sudah

dipadatkan bahkan lantai beton. Kandang sapi di pulau Sumbawa umumnya hanya

berupa pagar keliling sekedar sebagai tempat mengumpulkan sapi pada malam hari

atau pada saat siang hari sewaktu istirahat digembalakan. Pagar keliling kandang

biasanya terbuat dari tanaman pagar hidup seperti kayu banten atau bambu yang

dikelilingi dengan kawat berduri.

Page 39: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

32

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah:

a. Menurut data sementara Sensus Pertanian tahun 2013 (ST-2013), populasi sapi

dan kerbau di NTB tercatat 726.900 ekor atau setara dengan sekitar 508.830 UT.

Jika populasi kuda 60.466 UT dan kambing/domba 59.864 UT maka populasi

ternak pemakan hijauan di NTB sebanyak sekitar 629.160 UT.

b. Berdasarkan luas lahan sumber pakan yang tersedia, daya tampung wilayah NTB

untuk pemeliharaan ternak pemakan hijauan mencapai 1.283.944 UT. Dengan

demikian, jika dibandingkan dengan populasi yang ada maka potensi

pengembangan ternak pemakan hijauan di wilayah NTB masih sekitar 654.784

UT atau setara dengan sekitar 916.697 ekor sapi.

c. Jumlah pemeliharaan ternak sapi rata-rata per peternak, untuk NTB sebanyak 9,10

ekor terdiri atas 3,12 ekor jantan dan 5,97 ekor betina; untuk Pulau Sumbawa rata-

rata 14,48 ekor terdiri atas 4,72 ekor jantan dan 9,76 ekor betina; untuk Pulau

Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 1,53 ekor jantan dan 2,19 ekor betina.

d. Koefisien teknis ternak sapi perbibitan yang terkait dengan produksi dan

reproduksi adalah sebagai berikut:

1). Sapi betina dikawinkan pertama di wilayah NTB umumnya di atas 2 tahun;

2). Jarak beranak di NTB rata-rata 12,7 bulan; terpendek 12 bulan dan terpanjang

15,25 bulan. Jarak beranak di wilayah P. Sumbawa (12,48 bulan) relatif lebih

baik dari pada di wilayah P. Lombok (12,92 bulan).

3). Umur penyapihan pedet rata-rata di NTB 6,9 bulan. Umur penyapihan di

wilayah P. Lombok (6,6 bulan) relatif lebih baik dari pada di P. Sumbawa

(7,33 bulan).

4). Umur sapi induk diafkir di NTB rata-rata 10,71 tahun atau ketika sudah

melahirkan 8-9 kali. Tidak banyak berbeda umur pengafkiran sapi induk antara

di wilayah P. Sumbawa dan di P. Lombok.

5). Perkawinan ternak sapi di wilayah P. Sumbawa umumnya (98%) meng-

gunakan sistem kawin alam. Di wilayah P. Lombok telah berkembang

perkawinan ternak dengan kawin suntik, yaitu mencapai 30%, lainnya masih

Page 40: Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa ... · Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1

33

dengan kawin alam. Baik dengan kawin alam maupun kawin suntik umumnya

berhasil bunting 1-2 kali perkawinan/suntik.

6). Pejantan pemacek yang digunakan dalam perkawinan ternak sapi pada

umumnya milik kelompok. Di wilayah P. Lombok penggunaan pejantan milik

kelompok mencapai 64% dan di P. Sumbawa 49%. Kemudian disusul oleh

milik sendiri, di P. Sumbawa mencapai 35% dan di P. Lombok 24%.

Selebihnya menggunakan pejantan milik tetangga dan pejantan yang ada di

padang penggembalaan.

7). Masa perkawinan ternak sapi berbeda antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa.

Di P. Lombok, perkawinan ternak terjadi merata sepanjang tahun atau dapat

dikatakan tidak ada masa kawin. Di P. Sumbawa perkawinan ternak sapi

banyak berlangsung pada bulan Juli dan Agustus yang umumnya terjadi pada

padang penggembalaan umum.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disarankan hal-hal berikut:

a. Oleh karena umur penyapihan pedet umumnya masih tinggi, sekitar 7 bulan, maka

perlu dilakukan penyuluhan intensif kepada para peternak agar mereka bersedia

menyapih pedetnya lebih awal, yaitu pada umur 3 s/d 4 bulan. Dalam kaitan ini

tentu harus dibarengi dengan perbaikan manajemen pemeliharaan pedet setelah

disapih.

b. Perlu perbaikan manajemen perkawinan ternak sapi, terutama yang menggunakan

sistem kawin alam harus diupayakan tidak terjadi inbreeding dan diupayakan

menggunakan pejantan unggul. Manajemen kawin suntik juga perlu diperbaiki

baik yang terkait dengan sarana-prasarana maupun kualitas inseminatornya.

c. Walaupun calving interval hasil kajian cukup baik dan tingkat kematian pedet juga

tergolong rendah, tetapi dalam menggunakannya dalam analisis perubahan

populasi sebaiknya data tersebut digunakan sebagai data optimis. Artinya, perlu

disusun analisis perubahan populasi dengan data calving interval dan kematian

pedet yang lebih tinggi sebagai analisis perubahan yang pesimis. Dengan

demikian dalam analisis perubahan populasi ada dua skenario, yaitu skenario

optimis dan skenario pesimis.