anotasi agama
DESCRIPTION
freeTRANSCRIPT
1
BAB I
RINGKASAN SINGKAT ARTIKEL
A. RINGKASAN JURNAL A
1. Identitas jurnal/ artikel A
Diniarti, SK., Hanati N., 2012. Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan
Psikiatri. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Vol 43 (1).
2. Ringkasan isi jurnal A
Jurnal ini membahas mengenai kesurupan yang dilihat dari dua sisi,
yaitu dari sisi medis dan budaya. Beberapa budaya di Indonesia menganggap
bahwa kesurupan merupakan hal yang lazim. Walaupun di Indonesia sering
terjadi kesurupan massal, masyarakat masih menganggap hal itu merupakan
kejadian yang wajar dan bahkan sering terjadi. Masyarakat percaya kesurupan
berkaitan dengan hal yang bersifat gaib dan diluar nalar manusia. Bahkan di
dunia medis pun belum ada bukti yang mendukung bagaimana kesurupan itu
biasa terjadi.
Dari segi medis dalam artikel ini, disebutkan banyak peneliti dan
klinisi berpikir kesurupan sebagai fenomena disosiatif terkait dengan
kemampuan seseorang untuk dihipnotis (hipnotizability). Disosiasi ada juga
yang menganggap sebagai suatu pertahanan terhadap trauma. Banyak jenis
penelitian yang menyatakan hubungan antara disosiatif dengan peristiwa
traumatik, khususnya penyiksaan fisik dan seksual pada masa anak-anak.
Teori- teori perilaku menganggap reaksi- reaksi disosiatif sebagai respon-
respon pelarian yang dimotivasi oleh tingkat kecemasan yang sangat tinggi.
Kesurupan dalam DSM- IV-TR termasuk dalam gangguan disosiatif
yang tidak ditentukan atau NOS ( Not Otherwise Specified). DSM-IV-TR
memasukkan dalam apendiksnya suatu kriteria diagnostik gangguan trance-
2
disosiatif. Kriteria riset untuk Gangguan Trance-Disosiatif menurut DSM- IV
TR:
1. Trance, yaitu perubahan keadaan kesadaran atau hilangnya rasa
identitas pribadi yang biasanya yang terjadi secara sementara dan
jelas tanpa penggantian oleh identitas pengganti, disertai dengan
sekurangnya satu dari berikut:
Penyempitan kesadaran tentang sekeliling, atau
penyempitan dan pemusatan perhatian selektif yang tidak
biasanya terhadap stimuli lingkungan.
Perilaku atau gerakan stereotipik yang dirasakan di luar
kendali orang tersebut
2. Kesurupan (possession- trance), suatu perubahan tunggal atau
episodik dalam keadaan kesadaran yang ditandai oleh penggantian
rasa identitas pribadi yang biasanya dengan identitas baru. Hal ini
dipengaruhi oleh suatu roh, kekuatan, dewa, atau orang lain,
seperti yang dibuktikan oleh satu (atau lebih) berikut ini:
Perilaku atau gerakan meniru/ stereotipik dan ditentukan
secara kultural yang dirasakan sebagai dikendalikan oleh
hal- hal yang menyebabkan kesurupan ( possessing agent )
Amnesia penuh atau sebagian terhadap kejadian
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa- III (PPDGJ-
III) memasukkan Gangguan Trans dan Kesurupan dalam kelompok Gangguan
disosiatif (konversi) dengan pedoman diagnostik sebagai berikut:
a. Gangguan ini menunjukkan kehilangan sementara aspek
penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap
lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu tersebut
berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan
gaib, malaikat, atau ’kekuatan lain’.
3
b. Hanya gangguan Trans yang ’involunter’ (di luar kemauan
individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan
merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya yang boleh
dimasukkan dalam pengertian ini.
c. Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus temporalis,
cedera kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari
gangguan jiwa tertentu (misalnya skizofrenia, gangguan
kepribadian multipel).
Selain dari segi medis jurnal ini membahas kesurupan dari segi
budaya.. Menurut kepercayaan masyarakat, kesurupan terjadi bila roh lain
memasuki seseorang dan menguasainya. Orang itu menjadi lain dalam hal
bicara, perilaku dan sifatnya serta perilakunya menjadi seperti kepribadian
yang memasukinya. Kaitan sindrom ini dengan kebudayaan masih belum
jelas benar. Diduga sindrom ini ada hubungan dengan kepercayaan yang
hidup dalam suatu kebudayaan tertentu dan kepercayaan ini hidup dalam
individu, baik secara sadar maupun tak sadar, mengenai mitos-
mitos/kepercayaan supranatural yang hidup dalam kebudayaan yang
bersangkutan. Jika dalam kebudayaan tertentu terdapat kepercayaan-
kepercayaan tertentu, maka kebudayaan itu memungkinkan timbulnya
sindrom yang terkait kebudayaan, dan sindrom ini akan muncul jika ada
peristiwa atau ketegangan-ketegangan dalam kelompok orang yang
mempunyai kebudayaan tadi. Jadi ibaratnya gangguan ini diasuh oleh suatu
kebudayaan.
Kesurupan menyebabkan seseorang bebas mengungkapkan emosi
secara terang-terangan, seperti marah, iri hati, kekerasan fisik, tanpa mendapat
sangsi dari masyarakat. Pada saat kesurupan orang dikuasai oleh suatu
kekuatan, sehingga perilakunya tidak bisa dikendalikan dan ia tidak bisa
disalahkan karena perilaku itu. Dalam keadaan kesurupan, orang dipercaya
4
menerima atau mengungkapkan perasaan dan informasi dari dewa atau suatu
kekuatan. Suasana lingkungan yang mendukung seperti bau wewangian/ asap
kemenyan, semerbak bunga, nyanyian/kidung, musik/gamelan, atau suara
monoton, sangat mendukung terjadinya kesurupan.
Bagi masyarakat Bali, kesurupan yang berkait dengan budaya dan
ritual keagamaan disebut sebagai ’kerauhan/ kalinggihan’. Kerauhan
berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara sekala dan niskala, atau antara
para dewa dengan manusia. Kepercayaan penganut agama Hindu di Bali, para
dewa dan leluhur sebagai sinar suci berada amat dekat dengan pemujanya.
Saat ritual tertentu, akan dimulai dengan para dewa ”dipendak” (dijemput atau
diundang) untuk datang. Kemudian mereka dipersilakan ”nyejer” (menempati
tahta) selama berlangsung ritual tersebut. Dalam masa nyejer inilah umat
mendapat kesempatan untuk menghaturkan sembah serta berkomunikasi
dengan para junjungannya, salah satunya dengan cara kerauhan.
B. RINGKASAN JURNAL B
1. Identitas jurnal B
Harsono. 2012. Gambaran Trans Disosiatif pada Mahasiswi. Journal of Social
and Industrial Psychology. Vol 1(2)
2. Ringkasan jurnal B
Fenomena trans disosiatif di Indonesia dari tahun ketahun mengalami
peningkatan. Trans disosiatif di Indonesia lebih dikenal dengan fenomena
kesurupan. Kesurupan biasa terjadi pada wanita usia muda sampai dewasa
awal. Dimana masa itu penuh dengan masa-masa yang labil dan stress.
Ada berbagai macam gangguan mental (mental disorder), salah
satunya adalah gangguan trans disosiatif (dissociative trance disorder) yang
termasuk dalam gangguan jiwa ringan. Fenomena disosiatif dikenal dengan
5
istilah kesurupan. Kesurupan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu
keadaan yang terjadi bila roh yang lain memasuki seseorang dan
menguasainya sehingga orang itu menjadi lain dalam hal bicara, perilaku dan
sifatnya. Perilakunya menjadi seperti ada kepribadian lain yang memasukinya.
Kepercayan sebagian besar manusia akan keberadaan alam ghaib dan roh
telah berlangsung sejak lama, keyakinan ini juga dikuatkan lagi oleh berbagai
budaya serta agama yang ada dan di wariskan secara turun temurun.
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar
mengalami trans disosiatif dibandingkan laki-laki. Kondisi trans biasanya
terjadi pada perempuan dan seringkali dihubungkan dengan stress atau trauma
(Barlow dan Durand, 2002: 177). Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang
terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan
lebih mudah dipengaruhi dibandingkan laki-laki. Orang yang sugestible ini
lebih berisiko untuk disosiasi atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis.
Penyebab Trans Disosiatif
Kartono (1981: 86) menyebutkan penyebab trans disosiatif adalah
faktor psikologis dan kultural yang menimbulkan munculnya stres dan
ketegangan kuat yang kronis pada seseorang. Selain itu faktor-faktor
penyebabnya adalah:
a. Predisposisi pembawaan berupa sistem syaraf yang lemah.
b. Tekanan-tekanan mental (stres) yang disebabkan oleh kesusahan,
kekecewaan, syok dan pengalaman-pengalaman pahit yang menjadi
trauma.
c. Disiplin dan kebiasaan hidup yang salah. Hal ini mengakibatkan kontrol
pribadi yang kurang baik, atau memunculkan integrasi kepribadian yang
sangat rapuh.
d. Mempergunakan defence mechanism yang negatif/keliru dan
maladjustment, sehingga menimbulkan semakin banyak kesulitan.
6
e. Kondisi fisik/organis yang tidak menguntungkan; misalnya sakit, lemah,
lelah, fungsi-fungsi organik yang lemah, gangguan pikiran dan badan.
Gejala trans disosiatif
Menurut Daradjat (1983: 38) gejala-gejala yang sering muncul saat
orang mengalami trans disosiatif adalah badan seluruhnya menjadi kaku, tidak
sadar akan diri, kadang-kadang sangat keras, disertai dengan teriakan-teriakan
dan keluhan-keluhan, tapi air mata tidak keluar. Kejang-kejang ini biasanya
terjadi pada siang hari selama beberapa menit saja, tapi mungkin pula sampai
beberapa hari lamanya. Diantara tanda-tanda kejang hysteria adalah, dalam
pandangan matanya terlihat kebingungan. Setelah kejadian itu, biasanya
penderita mengalami kebingungan, tidak mau bicara atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Orang yang terserang
biasanya berusaha memegang, atau menarik apa saja yang dapat dicapainya.
Kecenderungan kepribadian penderita trans disosiatif
Menurut Kartono (1981: 87) kepribadian penderita trans disosiatif antara lain:
a. Umumnya mereka itu sangat egoistis dan selfish. Mereka selalu ingin
“semau-gue”. Mereka itu semisal anak-anak manja yang jahat. Selalu
menginginkan banyak perhatian. Mereka selalu mengharapkan banyak
pujian-pujian dan cinta kasih. Atau mereka itu adalah pribadi-pribadi yang
merasa tidak bahagia.
b. Sangat suggestible, mudah terpengaruh, sangat sensitive terhadap
pendapat orang lain. Dan selalu ingin melakukan semua sugesti tersebut
untuk memperoleh attentive atau perhatian, persetujuan dan pujian.
c. Memiliki emosi-emosi yang kuat. Mereka mempunyai rasa suka dan tidak
suka yang sangat kuat, dan penilaiannya sangat dipengaruhi oleh perasaan
likes and dislikes tersebut.
7
d. Ada kecenderungan yang sangat kuat sekali untuk melarikan diri dari
situasi-situasi yang dianggap sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan.
Juga ada banyak keinginan untuk mendapatkan maaf atas kegagalan dan
kelemahannya.
e. Simptom-simptom fisiknya dibuat-buat, ditiru dengan sengaja atau dengan
sengaja diperkuat, agar bisa memperpanjang waktu melarikan diri dengan
cara menjadi sakit itu. Dan bertujuan untuk menghindari tugastugas
tertentu, atau menghindari situasi yang tidak disenanginya
Berdasarkan penjelasan mengenai kepribadian penderita trans
disosiatif ada kecenderungan mengarah pada kategori kepribadian histrionik
dan dependen
a. Kepribadian histrionik
Gangguan kepribadian histrionik ditandai oleh perilaku yang bermacam-
macam, dramatik, ekstovert pada orang yang meluap-luap dan emosional.
Tetapi, menyertai penampilan mereka yang flamboyan, seringkali terdapat
ketidakmampuan untuk mempertahankan hubungan yang mendalam dan
berlangsung lama. Orang dengan gangguan kepribadian hitrionik
menunjukkan perilaku mencari perhatian yang tinggi. Mereka cenderung
memperbesar pikiran dan perasaan mereka, membuat segalanya terdengar
lebih penting dibandingkan kenyataannya.Perilaku menggoda sering
ditemukan baik pada pria maupun wanita. Pada kenyataannya, orang
histrionik mungkin memiliki disfungsi psikoseksual; wanita mungkin
anorgasmik dan pria cenderung mengalami impotent. Mereka mungkin
bahwa melakukan impuls seksual mereka untuk menentramkan diri
mereka bahwa mereka menarik bagi jenis kelamin yang lain. Kebutuhan
mereka akan ketentraman tidak ada habisnya. Tetapi, hubungan mereka
cenderung dangkal dan orang dapat gagal lagi tapi asyik dengan diri
sendiri dan berubah-ubah (Kaplan, Sadock dan Grebb, 2010: 274-275).
8
b. Kepribadian Dependen
Orang dengan gangguan kepribadian dependen, menempatkan kebutuhan
mereka sendiri dibawah kebutuhan orang lain. Meminta orang lain untuk
mengambil tanggung jawab untuk masalah besar dalam kehidupan
mereka, tidak memiliki kepercayaan diri dan mungkin mengalami rasa
tidak nyaman yang kuat jika sedang sendirian lebih dari suatu periode
yang singkat. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pria, dan lebih sering terjadi pada anak yang lebih kecil jika dibandingkan
yang lebih tua. Gangguan kepribadian dependen ditandai oleh
ketergantungan yang pervasif dan perilaku patuh. Orang dengan gangguan
ini tidak mampu untuk mengambil keputusan tanpa nasehat dan
pertimbangan yang banyak dari orang lain. Pesimisme, keraguan diri,
pasivitas, dan ketakutan untuk mengekspresikan perasaan seksual dan
agresif menandai perilaku gangguan kepribadian dependen (Kaplan,
Sadock dan Grebb, 2010: 263-264).
C. RINGKASAN JURNAL C
1. Identitas Jurnal C
Pradnya, S. 2013. Kerauhan dalam Ritual Agama Hindu di Bali. [available online]http://hinduresearchcenter.blogspot.co.id/2013/02/kerauhan-menurut-teologi-hindu-kerauhan_6546.html [accessed 01 Oktober 2015]
2. Ringkasan jurnal C
Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan
tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan
memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga
melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu
lengkap, sempurna, atau kurang. Walaupun demikian masing-masing
9
desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang
menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang
menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khususnya di
Bali menganggap fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap
upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang
mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan megatur ritual
mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian.
Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang
pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada
orang Kerauhan itu adalah roh dewa. Datangnya kekuatan roh
para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan
sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat
menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan
atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut Catur Marga,
antara lain Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta
mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak
mengharapkan balasan), Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan
tekun dan disiplin), Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan
sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan) dan Bhakti
Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih
setulus-tulusnya). Dengan memahami CaturMarga umat Hindu mampu
menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama
Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma ( sejahtera di dunia,
damai di akhirat). Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum
semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang
maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati
Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang
Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam
wujud pikiran maupun kata-kata. Bagi mereka yang pemahamannya
10
sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan
jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal
God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar,
maha penyayang dan lain sebagainya. Ajaran Hindu adalah ajaran yang
universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati
keberadaan Tuhan.
Dalam jurnal ini dibahas mengenai 5 unsur yang berkaitan dengan
tradisi kerauhan yang ada dalam budaya masyarakat Hindu di Bali, yaitu:
1. Pura (Khayangan)
Pura merupakan tempat suci agama Hindu. Pura dalam Bahasa
sansekerta berarti kota atau benteng. Sekarang pura identik dengan tempat
pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Setiap
desa/pakraman di Bali wajib memilki pura, dalam konsep Khayangan Tiga
oleh Mpu Kuturan, setiap desa wajib membangun Pura Desa, Pura Puseh,
dan Pura Dalem. Dalam proses pembangunan Pura itu sendiri memerlukan
waktu serta upacara yang sakral. Pendirian pura tidak mudah didirikan,
sebab tidak sembarang tempat dapat dijadikan kawasan membangun
pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan
tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum,
yang gingsing dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang
ideal membangun pura adalah seperti yang dikutip dari bhavisya
purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai
“hyang-hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka” , tempatnya
tentu sangat indah dan memancarkan fibrasi kesucian yang memancar
pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91). Sehingga
Pura merupakan tempat suci dimana prosesi kesurupan/kerauhan sebagai
bagian dari upacara keagamaan
11
2. Waktu Kerauhan/kesurupan
Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi
menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus:
a. Waktu umum
Nedunang Ida Bhattara
menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura.
Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan
dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang
dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci
yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai
persembahan.
Nglungang Ida Bhattara
Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida
Bhattara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara
Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah
hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian
atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di
istanakan di sebuahjempana yang dibuat khusus dengan
kayu pilihan untuk diiring kepesucian, prosesi inilah yang
disebut Nglungang Ida Bhattara.
Ngwaliang/Mapamit
Prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara telah
menyucikan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, dengan
diakhiri upacara pesembahyangan bersama, maka Ida
Bhattara akan kembali ke Parahyangan masing-masing
b. Waktu khusus
Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan
orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan
pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu
12
khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana
upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau
nasehat kepada para umat.Jika dalam pelaksanaan ritual
agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-
tiba Kerauhan dan memberikannasehat atau arahan kepada
umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan
sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara
langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana
melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam,
bukan asal membuat upacara saja
3. Jenis-jenis kerauhan/kesurupan
Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat
dikategorikan menjadi 4 yaitu merangkak (tubuh menyentuh
tanah), ngurek, menari-nari dan diam. Pada fenomena Kerauhan
dengan gerakan merangkak yang merasuki tubuh Tapakan
Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari,
ketika gerakan Ngurek yang merasuki adalah pepatih Ida
Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari adalah widyadara/
widyadari sedangkan yang diam adalah Ida Bhattara/Bhattari sendiri
4. Pengaruh kerauhan/kesurupan
Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena
yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui
bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan padaritual agama
diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu
orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara
penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan,
seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.
Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi
yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : (1)
13
suara gamelan, (2) kul-kul, (3) genta, (4) kidung dan (5)mantra.
Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal
sampai akhir upacara.
Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan
karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orangKerauhan dalam
keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia
akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu,pewisik atau mimpi.
Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang
datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri
seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung
pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung
orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi
memiliki batin yang sangat bersih
5. Material Kerauhan
Dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan
Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika
mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-
nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak
sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan.
BAB II
TANGGAPAN ISI JURNAL
14
A. TANGGAPAN JURNAL A
Menurut saya isi dari jurnal A membahas mengenai fenomena
kesurupan bukan hanya dari sisi budaya melainkan dari sisi medis juga.
Dimana masyarakat Indonesia sering memandang fenomena kesurupan tidak
melalui sisi medis melainkan hanya dari segi mistisnya saja. Dalam jurnal ini
dibahas mengenai trans disosiatif order atau sindrom trance yang menjelaskan
baigaimana fenomena kesurupan itu terjadi dari sudut pandang psikologi.
Dalam junal A diulas mengenai apa itu trans disosiatif sindrom, mulai dari
ciri-cirinya dan penyebabnya.
Dalam jurnal A juga memuat fenomena dari sudut pandang
kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan di seluruh dunia memandang
kesurupan dengan cara yang berbeda. Ada yang mengaitkannya seperti
upacara ritual keagaamaan. Sebut saja contohnya di Bali
Di Bali kesurupan disebut dengan kerauhan dimana proses keruhan ini
merupakan sebagai pelengkap upacara keagamaan. Dalam prosesi keagamaan
peristiwa kerauhan dipicu karena suara musik yang monoton seperti gamelan,
serta wewangian seperti dupa atau menyan. dalam tradisi kesurupan di
berbagai belahan di dunia proses dari kesurupan pun berbeda-beda, ada yang
menganggap bahwa orang yang kesurupan itu dirinya kemasukan roh, atau jin
ataupun setan sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat itu
sendiri. Selain itu orang yang mengalami kesurupan tingkah lakunya
menyerupai apapun yang merasuki tubuhnya.
B. TANGGAPAN JURNAL B
15
Sama seperti jurnal A jurnal B membahas mengenai fenomena
kesurupan dari segi medis. Dari segi medis dalam jurnal B disebutkan bahwa
fenomena kesurupan disebut sebagai trans disosiatif. Dalam jurnal B juga
dibahas mengenai pengertian dari trans disosiatif, berserta gejalanya. Selain
itu dalam jurnal dibahas pribadi orang yang mengalami trans disosiatif
sindrom berserta ciri-cirinya. Namun, dalam jurnal B tidak dibahas mengenai
fenomena kesurupan dari segi budaya
C. TANGGAPAN JURNAL C
Dalam jurnal C dibahas mengenai fenomena kesurupan dari segi
kebudayaannya. Jurnal ini membahas fenomena kesurupan yang terjadi di
Bali. Fenomena kesurupan di Bali sangat erat kaitannya dengan upacara
keagamaan. Dimana dalam proses upacara keagamaan fenomena kesurupan
merupakan bagian dari proses upacara karena orang yang mengalami
kesurupan bertugas untuk memberi tahu apa yang kurang dalam upacara
tersebut. Selain itu dalam jurnal juga dibahas
PENUTUP
16
Kesimpulan
Di Indonesia fenomena kesurupan merupakan suatu hal yang tidak asing lagi.
Fenomena ini oleh sebagian besar masyarakat dipercaya dipengaruhi oleh makhluk
gaib seperti jin atau setan.
Namun di beberapa daerah contohnya di bali, fenomena kesurupan lebih
diartikan sebagai proses kerauhan. Karena dalam proses kerauhan tubuh manusia
diprcaya tidak dimasuki oleh jin ataupun setan, melainkan oleh Bhattara sebagai
manifestasi Ida Sang Hyang Widi. Kerauhan juga umumnya terjadi dalam upacara
keagamaan, seperti upacara Dewa Yadnya.
Dalam dunia medis fenomena kesurupan disebut sebagai gangguan trans
disosiatif. Dimana orang yang mengalami gangguan ini akan bertingkah seperti ruh
yang merasuki tubuhnya. Namun sampai sekaran fenomena kesurupan belum
diketahui penyebabnya dari segi psikologis
DAFTAR PUSTAKA
17
Chiu, S.N. 2000. Historical, Religious, & Medical Perspectives of Possession
Phenomenon. Hong Kong Journal of psychiatry. 10/1: 14-18.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb, J.A. 2010. Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan
perilaku jilid dua. Jakarta: Binarupa Aksara
Suryani LK, Jensen GD. Trance and possession in Bali, a window on western
multiple personality, possession disorder, and suicide. Bandung: Penerbit ITB
Bandung, 1999; h. 19-196.
Swadiana JMO, Putrawan N. Kesurupan, membahas tradisi kerauhan di Bali.
Denpasar: Majalah Hindu Raditya, April 2007; h. 13-89
Jensen GD, Suryani LK. Orang Bali, penelitian ulang tentang karakter. Bandung:
Penerbit ITB Bandung, 1996; h. 110-6.