anotasi agama

27
1 BAB I RINGKASAN SINGKAT ARTIKEL A. RINGKASAN JURNAL A 1. Identitas jurnal/ artikel A Diniarti, SK., Hanati N., 2012. Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan Psikiatri. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Vol 43 (1). 2. Ringkasan isi jurnal A Jurnal ini membahas mengenai kesurupan yang dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi medis dan budaya. Beberapa budaya di Indonesia menganggap bahwa kesurupan merupakan hal yang lazim. Walaupun di Indonesia sering terjadi kesurupan massal, masyarakat masih menganggap hal itu merupakan kejadian yang wajar dan bahkan sering terjadi. Masyarakat percaya kesurupan berkaitan dengan hal yang bersifat gaib dan diluar nalar manusia. Bahkan di dunia medis pun belum ada bukti yang mendukung bagaimana kesurupan itu biasa terjadi. Dari segi medis dalam artikel ini, disebutkan banyak peneliti dan klinisi berpikir kesurupan sebagai fenomena disosiatif terkait dengan kemampuan

Upload: novita-afsari

Post on 05-Jan-2016

246 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

Page 1: Anotasi Agama

1

BAB I

RINGKASAN SINGKAT ARTIKEL

A. RINGKASAN JURNAL A

1. Identitas jurnal/ artikel A

Diniarti, SK., Hanati N., 2012. Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan

Psikiatri. Jurnal Ilmiah Kedokteran. Vol 43 (1).

2. Ringkasan isi jurnal A

Jurnal ini membahas mengenai kesurupan yang dilihat dari dua sisi,

yaitu dari sisi medis dan budaya. Beberapa budaya di Indonesia menganggap

bahwa kesurupan merupakan hal yang lazim. Walaupun di Indonesia sering

terjadi kesurupan massal, masyarakat masih menganggap hal itu merupakan

kejadian yang wajar dan bahkan sering terjadi. Masyarakat percaya kesurupan

berkaitan dengan hal yang bersifat gaib dan diluar nalar manusia. Bahkan di

dunia medis pun belum ada bukti yang mendukung bagaimana kesurupan itu

biasa terjadi.

Dari segi medis dalam artikel ini, disebutkan banyak peneliti dan

klinisi berpikir kesurupan sebagai fenomena disosiatif terkait dengan

kemampuan seseorang untuk dihipnotis (hipnotizability). Disosiasi ada juga

yang menganggap sebagai suatu pertahanan terhadap trauma. Banyak jenis

penelitian yang menyatakan hubungan antara disosiatif dengan peristiwa

traumatik, khususnya penyiksaan fisik dan seksual pada masa anak-anak.

Teori- teori perilaku menganggap reaksi- reaksi disosiatif sebagai respon-

respon pelarian yang dimotivasi oleh tingkat kecemasan yang sangat tinggi.

Kesurupan dalam DSM- IV-TR termasuk dalam gangguan disosiatif

yang tidak ditentukan atau NOS ( Not Otherwise Specified). DSM-IV-TR

memasukkan dalam apendiksnya suatu kriteria diagnostik gangguan trance-

Page 2: Anotasi Agama

2

disosiatif. Kriteria riset untuk Gangguan Trance-Disosiatif menurut DSM- IV

TR:

1. Trance, yaitu perubahan keadaan kesadaran atau hilangnya rasa

identitas pribadi yang biasanya yang terjadi secara sementara dan

jelas tanpa penggantian oleh identitas pengganti, disertai dengan

sekurangnya satu dari berikut:

Penyempitan kesadaran tentang sekeliling, atau

penyempitan dan pemusatan perhatian selektif yang tidak

biasanya terhadap stimuli lingkungan.

Perilaku atau gerakan stereotipik yang dirasakan di luar

kendali orang tersebut

2. Kesurupan (possession- trance), suatu perubahan tunggal atau

episodik dalam keadaan kesadaran yang ditandai oleh penggantian

rasa identitas pribadi yang biasanya dengan identitas baru. Hal ini

dipengaruhi oleh suatu roh, kekuatan, dewa, atau orang lain,

seperti yang dibuktikan oleh satu (atau lebih) berikut ini:

Perilaku atau gerakan meniru/ stereotipik dan ditentukan

secara kultural yang dirasakan sebagai dikendalikan oleh

hal- hal yang menyebabkan kesurupan ( possessing agent )

Amnesia penuh atau sebagian terhadap kejadian

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa- III (PPDGJ-

III) memasukkan Gangguan Trans dan Kesurupan dalam kelompok Gangguan

disosiatif (konversi) dengan pedoman diagnostik sebagai berikut:

a. Gangguan ini menunjukkan kehilangan sementara aspek

penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap

lingkungannya; dalam beberapa kejadian, individu tersebut

berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan

gaib, malaikat, atau ’kekuatan lain’.

Page 3: Anotasi Agama

3

b. Hanya gangguan Trans yang ’involunter’ (di luar kemauan

individu) dan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan

merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya yang boleh

dimasukkan dalam pengertian ini.

c. Tidak ada penyebab organik (misalnya epilepsi lobus temporalis,

cedera kepala, intoksikasi zat psikoaktif) dan bukan bagian dari

gangguan jiwa tertentu (misalnya skizofrenia, gangguan

kepribadian multipel).

Selain dari segi medis jurnal ini membahas kesurupan dari segi

budaya.. Menurut kepercayaan masyarakat, kesurupan terjadi bila roh lain

memasuki seseorang dan menguasainya. Orang itu menjadi lain dalam hal

bicara, perilaku dan sifatnya serta perilakunya menjadi seperti kepribadian

yang memasukinya. Kaitan sindrom ini dengan kebudayaan masih belum

jelas benar. Diduga sindrom ini ada hubungan dengan kepercayaan yang

hidup dalam suatu kebudayaan tertentu dan kepercayaan ini hidup dalam

individu, baik secara sadar maupun tak sadar, mengenai mitos-

mitos/kepercayaan supranatural yang hidup dalam kebudayaan yang

bersangkutan. Jika dalam kebudayaan tertentu terdapat kepercayaan-

kepercayaan tertentu, maka kebudayaan itu memungkinkan timbulnya

sindrom yang terkait kebudayaan, dan sindrom ini akan muncul jika ada

peristiwa atau ketegangan-ketegangan dalam kelompok orang yang

mempunyai kebudayaan tadi. Jadi ibaratnya gangguan ini diasuh oleh suatu

kebudayaan.

Kesurupan menyebabkan seseorang bebas mengungkapkan emosi

secara terang-terangan, seperti marah, iri hati, kekerasan fisik, tanpa mendapat

sangsi dari masyarakat. Pada saat kesurupan orang dikuasai oleh suatu

kekuatan, sehingga perilakunya tidak bisa dikendalikan dan ia tidak bisa

disalahkan karena perilaku itu. Dalam keadaan kesurupan, orang dipercaya

Page 4: Anotasi Agama

4

menerima atau mengungkapkan perasaan dan informasi dari dewa atau suatu

kekuatan. Suasana lingkungan yang mendukung seperti bau wewangian/ asap

kemenyan, semerbak bunga, nyanyian/kidung, musik/gamelan, atau suara

monoton, sangat mendukung terjadinya kesurupan.

Bagi masyarakat Bali, kesurupan yang berkait dengan budaya dan

ritual keagamaan disebut sebagai ’kerauhan/ kalinggihan’. Kerauhan

berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara sekala dan niskala, atau antara

para dewa dengan manusia. Kepercayaan penganut agama Hindu di Bali, para

dewa dan leluhur sebagai sinar suci berada amat dekat dengan pemujanya.

Saat ritual tertentu, akan dimulai dengan para dewa ”dipendak” (dijemput atau

diundang) untuk datang. Kemudian mereka dipersilakan ”nyejer” (menempati

tahta) selama berlangsung ritual tersebut. Dalam masa nyejer inilah umat

mendapat kesempatan untuk menghaturkan sembah serta berkomunikasi

dengan para junjungannya, salah satunya dengan cara kerauhan.

B. RINGKASAN JURNAL B

1. Identitas jurnal B

Harsono. 2012. Gambaran Trans Disosiatif pada Mahasiswi. Journal of Social

and Industrial Psychology. Vol 1(2)

2. Ringkasan jurnal B

Fenomena trans disosiatif di Indonesia dari tahun ketahun mengalami

peningkatan. Trans disosiatif di Indonesia lebih dikenal dengan fenomena

kesurupan. Kesurupan biasa terjadi pada wanita usia muda sampai dewasa

awal. Dimana masa itu penuh dengan masa-masa yang labil dan stress.

Ada berbagai macam gangguan mental (mental disorder), salah

satunya adalah gangguan trans disosiatif (dissociative trance disorder) yang

termasuk dalam gangguan jiwa ringan. Fenomena disosiatif dikenal dengan

Page 5: Anotasi Agama

5

istilah kesurupan. Kesurupan dipercaya oleh masyarakat sebagai suatu

keadaan yang terjadi bila roh yang lain memasuki seseorang dan

menguasainya sehingga orang itu menjadi lain dalam hal bicara, perilaku dan

sifatnya. Perilakunya menjadi seperti ada kepribadian lain yang memasukinya.

Kepercayan sebagian besar manusia akan keberadaan alam ghaib dan roh

telah berlangsung sejak lama, keyakinan ini juga dikuatkan lagi oleh berbagai

budaya serta agama yang ada dan di wariskan secara turun temurun.

Berdasarkan jenis kelamin, perempuan mempunyai risiko lebih besar

mengalami trans disosiatif dibandingkan laki-laki. Kondisi trans biasanya

terjadi pada perempuan dan seringkali dihubungkan dengan stress atau trauma

(Barlow dan Durand, 2002: 177). Hal ini terbukti dari kasus-kasus yang

terjadi sebagian besar adalah perempuan. Hal ini mungkin karena perempuan

lebih mudah dipengaruhi dibandingkan laki-laki. Orang yang sugestible ini

lebih berisiko untuk disosiasi atau juga menjadi korban kejahatan hipnotis.

Penyebab Trans Disosiatif

Kartono (1981: 86) menyebutkan penyebab trans disosiatif adalah

faktor psikologis dan kultural yang menimbulkan munculnya stres dan

ketegangan kuat yang kronis pada seseorang. Selain itu faktor-faktor

penyebabnya adalah:

a. Predisposisi pembawaan berupa sistem syaraf yang lemah.

b. Tekanan-tekanan mental (stres) yang disebabkan oleh kesusahan,

kekecewaan, syok dan pengalaman-pengalaman pahit yang menjadi

trauma.

c. Disiplin dan kebiasaan hidup yang salah. Hal ini mengakibatkan kontrol

pribadi yang kurang baik, atau memunculkan integrasi kepribadian yang

sangat rapuh.

d. Mempergunakan defence mechanism yang negatif/keliru dan

maladjustment, sehingga menimbulkan semakin banyak kesulitan.

Page 6: Anotasi Agama

6

e. Kondisi fisik/organis yang tidak menguntungkan; misalnya sakit, lemah,

lelah, fungsi-fungsi organik yang lemah, gangguan pikiran dan badan.

Gejala trans disosiatif

Menurut Daradjat (1983: 38) gejala-gejala yang sering muncul saat

orang mengalami trans disosiatif adalah badan seluruhnya menjadi kaku, tidak

sadar akan diri, kadang-kadang sangat keras, disertai dengan teriakan-teriakan

dan keluhan-keluhan, tapi air mata tidak keluar. Kejang-kejang ini biasanya

terjadi pada siang hari selama beberapa menit saja, tapi mungkin pula sampai

beberapa hari lamanya. Diantara tanda-tanda kejang hysteria adalah, dalam

pandangan matanya terlihat kebingungan. Setelah kejadian itu, biasanya

penderita mengalami kebingungan, tidak mau bicara atau menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Orang yang terserang

biasanya berusaha memegang, atau menarik apa saja yang dapat dicapainya.

Kecenderungan kepribadian penderita trans disosiatif

Menurut Kartono (1981: 87) kepribadian penderita trans disosiatif antara lain:

a. Umumnya mereka itu sangat egoistis dan selfish. Mereka selalu ingin

“semau-gue”. Mereka itu semisal anak-anak manja yang jahat. Selalu

menginginkan banyak perhatian. Mereka selalu mengharapkan banyak

pujian-pujian dan cinta kasih. Atau mereka itu adalah pribadi-pribadi yang

merasa tidak bahagia.

b. Sangat suggestible, mudah terpengaruh, sangat sensitive terhadap

pendapat orang lain. Dan selalu ingin melakukan semua sugesti tersebut

untuk memperoleh attentive atau perhatian, persetujuan dan pujian.

c. Memiliki emosi-emosi yang kuat. Mereka mempunyai rasa suka dan tidak

suka yang sangat kuat, dan penilaiannya sangat dipengaruhi oleh perasaan

likes and dislikes tersebut.

Page 7: Anotasi Agama

7

d. Ada kecenderungan yang sangat kuat sekali untuk melarikan diri dari

situasi-situasi yang dianggap sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan.

Juga ada banyak keinginan untuk mendapatkan maaf atas kegagalan dan

kelemahannya.

e. Simptom-simptom fisiknya dibuat-buat, ditiru dengan sengaja atau dengan

sengaja diperkuat, agar bisa memperpanjang waktu melarikan diri dengan

cara menjadi sakit itu. Dan bertujuan untuk menghindari tugastugas

tertentu, atau menghindari situasi yang tidak disenanginya

Berdasarkan penjelasan mengenai kepribadian penderita trans

disosiatif ada kecenderungan mengarah pada kategori kepribadian histrionik

dan dependen

a. Kepribadian histrionik

Gangguan kepribadian histrionik ditandai oleh perilaku yang bermacam-

macam, dramatik, ekstovert pada orang yang meluap-luap dan emosional.

Tetapi, menyertai penampilan mereka yang flamboyan, seringkali terdapat

ketidakmampuan untuk mempertahankan hubungan yang mendalam dan

berlangsung lama. Orang dengan gangguan kepribadian hitrionik

menunjukkan perilaku mencari perhatian yang tinggi. Mereka cenderung

memperbesar pikiran dan perasaan mereka, membuat segalanya terdengar

lebih penting dibandingkan kenyataannya.Perilaku menggoda sering

ditemukan baik pada pria maupun wanita. Pada kenyataannya, orang

histrionik mungkin memiliki disfungsi psikoseksual; wanita mungkin

anorgasmik dan pria cenderung mengalami impotent. Mereka mungkin

bahwa melakukan impuls seksual mereka untuk menentramkan diri

mereka bahwa mereka menarik bagi jenis kelamin yang lain. Kebutuhan

mereka akan ketentraman tidak ada habisnya. Tetapi, hubungan mereka

cenderung dangkal dan orang dapat gagal lagi tapi asyik dengan diri

sendiri dan berubah-ubah (Kaplan, Sadock dan Grebb, 2010: 274-275).

Page 8: Anotasi Agama

8

b. Kepribadian Dependen

Orang dengan gangguan kepribadian dependen, menempatkan kebutuhan

mereka sendiri dibawah kebutuhan orang lain. Meminta orang lain untuk

mengambil tanggung jawab untuk masalah besar dalam kehidupan

mereka, tidak memiliki kepercayaan diri dan mungkin mengalami rasa

tidak nyaman yang kuat jika sedang sendirian lebih dari suatu periode

yang singkat. Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan

pria, dan lebih sering terjadi pada anak yang lebih kecil jika dibandingkan

yang lebih tua. Gangguan kepribadian dependen ditandai oleh

ketergantungan yang pervasif dan perilaku patuh. Orang dengan gangguan

ini tidak mampu untuk mengambil keputusan tanpa nasehat dan

pertimbangan yang banyak dari orang lain. Pesimisme, keraguan diri,

pasivitas, dan ketakutan untuk mengekspresikan perasaan seksual dan

agresif menandai perilaku gangguan kepribadian dependen (Kaplan,

Sadock dan Grebb, 2010: 263-264).

C. RINGKASAN JURNAL C

1. Identitas Jurnal C

Pradnya, S. 2013. Kerauhan dalam Ritual Agama Hindu di Bali. [available online]http://hinduresearchcenter.blogspot.co.id/2013/02/kerauhan-menurut-teologi-hindu-kerauhan_6546.html [accessed 01 Oktober 2015]

2. Ringkasan jurnal C

Umat Hindu meyakini, roh yang masuk pada orang Kerauhan

tersebut diyakini sebagai roh yang baik atau yang suci yang akan

memberikan petunjuk bagaimana melaksanakan ritual, sehingga

melalui Kerauhan itu masyarakat dapat mengetahui apakah ritualnya itu

lengkap, sempurna, atau kurang.  Walaupun demikian masing-masing

Page 9: Anotasi Agama

9

desa di Bali menafsirkan hal Kerauhan itu secara berbeda-beda, ada yang

menafsirkan sebagai pertanda kurangnya sarana upacara, ada juga yang

menafsirkan bahwa upacara telah sempurna. Umat Hindu khususnya di

Bali menganggap fenomena Kerauhan yang selalu terjadi pada setiap

upacara khususnya Upacara Dewa Yadnya ditafsirkan sebagai unsur yang

mengesahkan proses pelaksanaan ritual. Orang Kerauhan  megatur ritual

mana yang didahulukan dan ritual mana yang dilakukan kemudian.

Ketika orang Kerauhan sedang mengatur prosesi ritual itu, tak seorang

pun berani membantahnya, karena diyakini bahwa roh yang ada pada

orang Kerauhan itu adalah roh dewa. Datangnya kekuatan roh

para dewa yang memasuki tubuh manusia tidak dilakukan dengan

sembarangan, tetapi dimulai dari sebuah proses yang dapat

menghubungkan diri menuju Tuhan. Hindu mengajarkan, empat jalan

atau cara menghubungkan diri menuju Tuhan yang disebut  Catur Marga,

antara lain Jnana Marga (menghubungkan diri dengan belajar serta

mengamalkan ilmu pengetahuan yang sungguh-sungguh dengan tidak

mengharapkan balasan), Raja marga (jalan melakukan tapa, brata dengan

tekun dan disiplin), Karma Marga (jalan bekerja dan berbuat dengan

sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan) dan Bhakti

Marga (jalan menyerahkan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih

setulus-tulusnya). Dengan memahami CaturMarga umat Hindu mampu

menghubungkan diri menuju Tuhan, sehingga tercapainya tujuan agama

Hindu yaitu Moksatam Jagat Hita Ya Ca Iti Dharma ( sejahtera di dunia,

damai di akhirat). Dalam kitab suci Bhagawad Gita telah merangkum

semua jalan atau cara umatnya untuk dapat membayangkan Tuhan Yang

maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya menghayati

Tuhan dengan jalan jnana marga dan raja marga, dimana Tuhan Yang

Maha Esa digambarkan dalam pikirannya sebagai Impersonal God dalam

wujud pikiran maupun kata-kata. Bagi mereka yang pemahamannya

Page 10: Anotasi Agama

10

sederhana menghayati Tuhan Yang Maha Esa dengan

jalan bhakti marga dan karma marga, digambarkan sebagai Personal

God, berpribadi sebagai wujud yang agung, maha pengasih, maha besar,

maha penyayang dan lain sebagainya. Ajaran Hindu adalah ajaran yang

universal dan fleksibel begitu pula dalam memahami dan menghayati

keberadaan Tuhan.

Dalam jurnal ini dibahas mengenai 5 unsur yang berkaitan dengan

tradisi kerauhan yang ada dalam budaya masyarakat Hindu di Bali, yaitu:

1. Pura (Khayangan)

Pura merupakan tempat suci agama Hindu. Pura dalam Bahasa

sansekerta berarti kota atau benteng. Sekarang pura identik dengan tempat

pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya. Setiap

desa/pakraman di Bali wajib memilki pura, dalam konsep Khayangan Tiga

oleh Mpu Kuturan, setiap desa wajib membangun Pura Desa, Pura Puseh,

dan Pura Dalem. Dalam proses pembangunan Pura itu sendiri memerlukan

waktu serta upacara yang sakral. Pendirian pura tidak mudah didirikan,

sebab tidak sembarang tempat dapat dijadikan kawasan membangun

pura dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan

tanah yang layak dijadikan pura adalah tanah yang berbau harum,

yang gingsing dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang

ideal membangun pura adalah seperti yang dikutip dari bhavisya

purana dan brhat samhita yang secara sederhana disebut sebagai

“hyang-hyangin sagaragiri atau sagara-giri adumuka” , tempatnya

tentu sangat indah dan memancarkan fibrasi kesucian yang memancar

pada lokasi yang ideal di kawasan tersebut (Titib, 2003: 91). Sehingga

Pura merupakan tempat suci dimana prosesi kesurupan/kerauhan sebagai

bagian dari upacara keagamaan

Page 11: Anotasi Agama

11

2. Waktu Kerauhan/kesurupan

Waktu Kerauhan dalam ritual agama Hindu di Bali dapat dibagi

menjadi 2 bagian yaitu waktu umum dan khusus:

a. Waktu umum

Nedunang Ida Bhattara

menghadirkan Ida Bhattara yang berstana di sebuah Pura.

Biasanya Upacara Nedunang ini tidak sembarangan

dilakukan, tentunya ada beberapa persyaratan yang

dilaksanakan yaitu adanya upacara, adanya orang suci

yang menghadirkan beliau, adanya sarana upacara sebagai

persembahan.

Nglungang Ida Bhattara

Waktu Kerauhan berikutnya pada prosesi Nglungang Ida

Bhattara, pada upacara ini berlangsung setelah Upacara

Nedunang Ida Bhattara. Jadi ketika Ida Bhattara telah

hadir diundang ke dunia, maka beliau diiring ke pesucian

atau ke beji oleh pengempon pura. Dengan Ida Bhattara di

istanakan di sebuahjempana yang dibuat khusus dengan

kayu pilihan untuk diiring kepesucian, prosesi inilah yang

disebut Nglungang Ida Bhattara.

Ngwaliang/Mapamit

Prosesi ini dilaksanakan apabila Ida Bhattara telah

menyucikan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, dengan

diakhiri upacara pesembahyangan bersama, maka Ida

Bhattara akan kembali ke Parahyangan masing-masing

b. Waktu khusus

Waktu Kerauhan secara khusus, maksudnya secara spontan

orang tiba-tiba Kerauhan, tapi konteksnya masih berpatokan

pada rentetan ritual agama yang sedang berlangsung. Waktu

Page 12: Anotasi Agama

12

khusus yang dimaksud, misalnya kurangnya sarana

upacara atau ketika beliau ingin memberikan pewisik atau

nasehat kepada para umat.Jika dalam pelaksanaan ritual

agama ada sarana upacara yang kurang, maka seseorang tiba-

tiba Kerauhan dan memberikannasehat atau arahan kepada

umat bahwa sarana upacara ini sangat penting dan diharapkan

sarana tersebut dipenuhi segalanya. Disini umat secara

langsung mendapat bimbingan dan arahan bagaimana

melaksanakan bhakti agar dapat diterima langsung oleh alam,

bukan asal membuat upacara saja

3. Jenis-jenis kerauhan/kesurupan

Jenis-jenis Kerauhan dalam ritual upacara secara umum dapat

dikategorikan menjadi 4 yaitu merangkak (tubuh menyentuh

tanah), ngurek, menari-nari dan diam. Pada fenomena Kerauhan

dengan gerakan merangkak yang merasuki tubuh Tapakan

Kerauhan adalah ancangan (kendaraan suci) Ida Bhattara/Bhattari,

ketika gerakan Ngurek  yang merasuki adalah pepatih Ida

Bhattara/Bhattari, yang gerakanya menari-nari adalah widyadara/

widyadari sedangkan yang diam adalah Ida Bhattara/Bhattari sendiri

4. Pengaruh kerauhan/kesurupan

Kerauhan pada ritual agama di Bali merupakan sebuah fenomena

yang sangat unik dan sakral, beberapa orang pasti ingin mengetahui

bagaimana orang Kerauhan. Tapakan Kerauhan padaritual agama

diakibatkan karena pengaruh bunyi dan reaksi mental. Di samping itu

orang yang akan Kerauhan terlebih dulu disucikan dengan upacara

penyucian dan ada beberapa pantangan yang harus dilaksanakan,

seperti dilarang makan daging sapi atau hewan berkaki empat lainya.

Pengaruh bunyi sangat mempengaruhi orang Kerauhan, bunyi

yang biasanya disuarakan ada lima atau panca nada, yaitu : (1)

Page 13: Anotasi Agama

13

suara gamelan, (2) kul-kul, (3) genta, (4) kidung dan (5)mantra.

Kelima suara ini yang mengantarkan prosesi ritual agama dari awal

sampai akhir upacara.

Selain karena panca nada proses Kerauhan juga diakibatkan

karena reaksi mental. Hal ini terjadi apabila orangKerauhan dalam

keadaan mental atau dalam keadaan dirinya akan tahu bahwa ia

akan Kerauhan. Hal ini diketahui melalui wahyu,pewisik atau mimpi.

Hal seperti ini disebut intuisi yang bersifat supraintelektual yang

datang dari yang mutlak yaitu Tuhan. Intuisi tumbuh pada diri

seseorang tanpa didahului keterangan yang logis dan tidak tergantung

pada pengamatan. Ini adalah jenis intuisi yang dapat menjunjung

orang-orang yang ternama dan orang-orang sederhana, akan tetapi

memiliki batin yang sangat bersih

5. Material Kerauhan 

Dimaksudkan segala senjata atau alat yang dipergunakan Tapakan

Kerauhan pada ritual keagamaan di pura, sebab ketika

mengalami Kerauhan pastilah ada senjata yang dipakai menikam-

nikam dadanya. Senjata yang dipergunakan tentunya tidak

sembarangan perlu berbagai proses untuk dipergunakan.

BAB II

TANGGAPAN ISI JURNAL

Page 14: Anotasi Agama

14

A. TANGGAPAN JURNAL A

Menurut saya isi dari jurnal A membahas mengenai fenomena

kesurupan bukan hanya dari sisi budaya melainkan dari sisi medis juga.

Dimana masyarakat Indonesia sering memandang fenomena kesurupan tidak

melalui sisi medis melainkan hanya dari segi mistisnya saja. Dalam jurnal ini

dibahas mengenai trans disosiatif order atau sindrom trance yang menjelaskan

baigaimana fenomena kesurupan itu terjadi dari sudut pandang psikologi.

Dalam junal A diulas mengenai apa itu trans disosiatif sindrom, mulai dari

ciri-cirinya dan penyebabnya.

Dalam jurnal A juga memuat fenomena dari sudut pandang

kebudayaan. Dimana setiap kebudayaan di seluruh dunia memandang

kesurupan dengan cara yang berbeda. Ada yang mengaitkannya seperti

upacara ritual keagaamaan. Sebut saja contohnya di Bali

Di Bali kesurupan disebut dengan kerauhan dimana proses keruhan ini

merupakan sebagai pelengkap upacara keagamaan. Dalam prosesi keagamaan

peristiwa kerauhan dipicu karena suara musik yang monoton seperti gamelan,

serta wewangian seperti dupa atau menyan. dalam tradisi kesurupan di

berbagai belahan di dunia proses dari kesurupan pun berbeda-beda, ada yang

menganggap bahwa orang yang kesurupan itu dirinya kemasukan roh, atau jin

ataupun setan sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat itu

sendiri. Selain itu orang yang mengalami kesurupan tingkah lakunya

menyerupai apapun yang merasuki tubuhnya.

B. TANGGAPAN JURNAL B

Page 15: Anotasi Agama

15

Sama seperti jurnal A jurnal B membahas mengenai fenomena

kesurupan dari segi medis. Dari segi medis dalam jurnal B disebutkan bahwa

fenomena kesurupan disebut sebagai trans disosiatif. Dalam jurnal B juga

dibahas mengenai pengertian dari trans disosiatif, berserta gejalanya. Selain

itu dalam jurnal dibahas pribadi orang yang mengalami trans disosiatif

sindrom berserta ciri-cirinya. Namun, dalam jurnal B tidak dibahas mengenai

fenomena kesurupan dari segi budaya

C. TANGGAPAN JURNAL C

Dalam jurnal C dibahas mengenai fenomena kesurupan dari segi

kebudayaannya. Jurnal ini membahas fenomena kesurupan yang terjadi di

Bali. Fenomena kesurupan di Bali sangat erat kaitannya dengan upacara

keagamaan. Dimana dalam proses upacara keagamaan fenomena kesurupan

merupakan bagian dari proses upacara karena orang yang mengalami

kesurupan bertugas untuk memberi tahu apa yang kurang dalam upacara

tersebut. Selain itu dalam jurnal juga dibahas

PENUTUP

Page 16: Anotasi Agama

16

Kesimpulan

Di Indonesia fenomena kesurupan merupakan suatu hal yang tidak asing lagi.

Fenomena ini oleh sebagian besar masyarakat dipercaya dipengaruhi oleh makhluk

gaib seperti jin atau setan.

Namun di beberapa daerah contohnya di bali, fenomena kesurupan lebih

diartikan sebagai proses kerauhan. Karena dalam proses kerauhan tubuh manusia

diprcaya tidak dimasuki oleh jin ataupun setan, melainkan oleh Bhattara sebagai

manifestasi Ida Sang Hyang Widi. Kerauhan juga umumnya terjadi dalam upacara

keagamaan, seperti upacara Dewa Yadnya.

Dalam dunia medis fenomena kesurupan disebut sebagai gangguan trans

disosiatif. Dimana orang yang mengalami gangguan ini akan bertingkah seperti ruh

yang merasuki tubuhnya. Namun sampai sekaran fenomena kesurupan belum

diketahui penyebabnya dari segi psikologis

DAFTAR PUSTAKA

Page 17: Anotasi Agama

17

Chiu, S.N. 2000. Historical, Religious, & Medical Perspectives of Possession

Phenomenon. Hong Kong Journal of psychiatry. 10/1: 14-18.

Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb, J.A. 2010. Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan

perilaku jilid dua. Jakarta: Binarupa Aksara

Suryani LK, Jensen GD. Trance and possession in Bali, a window on western

multiple personality, possession disorder, and suicide. Bandung: Penerbit ITB

Bandung, 1999; h. 19-196.

Swadiana JMO, Putrawan N. Kesurupan, membahas tradisi kerauhan di Bali.

Denpasar: Majalah Hindu Raditya, April 2007; h. 13-89

Jensen GD, Suryani LK. Orang Bali, penelitian ulang tentang karakter. Bandung:

Penerbit ITB Bandung, 1996; h. 110-6.