animorphs 04 - terjebak didasar samudera
DESCRIPTION
novel terjemahanTRANSCRIPT
Chapter 1
NAMAKU Cassie.
Hanya itu yang bisa kuceritakan tentang diriku. Bukannya aku tidak mau, tapi karena memang tidak bisa. Aku juga tidak bisa
memberitahu di mana aku tinggal. Kami, para anggota Animorphs, terpaksa merahasiakan identitas masing-masing. Kalau tidak, wah bisa
gawat deh. Keselamatan kami bisa terancam. Kalau kaum Yeerk sampai tahu siapa kami sebenarnya,
tamatlah riwayat kami. Kalaupun tidak langsung dibunuh, kami pasti akan dijadikan Pengendali. Otak kami akan disusupi makhluk Yeerk, yang selanjutnya mengendalikan kami sesuai keinginannya. Kami
akan menjadi budak mereka. Kami harus ikut menguasai Bumi dan memusnahkan para penghuninya.
Terus terang saja, aku tidak sudi dikendalikan makhluk asing. Dan aku juga belum bosan hidup di dunia.
Di pihak lain, sebagai Animorphs aku bisa melakukan hal-hal yang asyik dan juga seru banget.
Seperti saat ini, misalnya. Hari sudah larut malam. Seharusnya aku sudah tidur. Tapi aku malah menyelinap ke gudang jerami, dan
bersiap-siap untuk menjelma menjadi tupai. Sebenarnya itu bukan gudang jerami sembarangan, melainkan
Klinik Perawatan Satwa Liar. Ayahku dokter hewan. Ibuku juga, tapi ia bekerja di The Gardens, kebun binatang besar di kota. Klinik kami dikelola oleh dua orang saja, yaitu Dad dan aku. Kami merawat
burung dan hewan-hewan lain yang cedera, lalu setelah sembuh kami mengembalikan mereka ke habitat alami masing-masing.
Jadi di situlah aku berada. Di gudang jerami. Di antara lusinan kerangkeng berisi berbagai jenis burung, mulai dari merpati yang
membentur kaca mobil sampai elang emas yang nyaris mati tersengat karena hinggap di kabel listrik.
Di bagian lain gudang jerami itu terdapat kandang-kandang lebih besar yang dihuni luak, opossum, sigung, rusa, dan bahkan
sepasang serigala yang keracunan. Kandang kuda terletak di ujung lain gudang (jauh dari kedua serigala).
Kami punya ruang operasi dan beberapa ruang kecil yang digunakan sebagai ruang pemulihan.
Kini kembali ke malam itu. Pernahkah kau memperhatikan tupai yang berkeliaran di taman? Mereka selalu waspada. Selalu
memandang berkeliling. Seolah setiap saat mereka berpikir, "Hei! Apa itu?"
Karena itulah aku tahu aku akan gelisah dan ketakutan kalau
aku berubah menjadi tupai. Tapi masalah ini memang dihadapi oleh kami semua—anggota kelompok Animorphs: kami harus bisa
mengendalikan naluri binatang yang wujudnya kami tiru. Pokoknya, aku sekarang berada di gudang jerami yang remang-
remang. Hanya ada beberapa lampu yang sinarnya menyala redup berwarna kuning. Kenapa aku di situ? Karena ada seseorang, atau
sesuatu, yang suka menyelinap masuk dan mengganggu burung-burung. Semalam kami kembali kehilangan pasien. Seekor bebek. Dan
kini aku sedang mengintai makhluk penyusup itu. Kecuali itu, aku memang lagi susah tidur. Setiap malam aku
bermimpi. Tapi rasanya bukan seperti mimpi. Rasanya seperti... ah, entahlah. Pokoknya, aneh
"Tenang saja, Magilla," aku berbisik kepada tupai yang duduk
di tanganku. "Kujamin nggak sakit deh." Aku mengambil segenggam buah kenari dari kantong menyodorkan sebuah. Sebuah lagi jatuh ke
lantai. Aku selalu berdebar-debar sebelum meniru seekor binatang
untuk pertama kalinya. Proses metamorfosis kadang-kadang terasa sangat mudah. Tapi kadang-kadang juga mengerikan sekali. Waktu
aku menjelma sebagai ikan trout—wah, itu agak ajaib. Aku terus membayangkan diriku bakal digoreng dan dihidangkan dengan saus
tomat. Padahal aku tidak suka saus tomat.
"Tupai," aku berkata dalam hati. Sebelum berubah, aku selalu berusaha mengira-ngira apa yang akan kuhadapi.
Perubahan pertama yang terlihat adalah ukuran tubuhku. Aku mulai mengerut. Rasanya aneh sekali. Kita tahu bahwa kita
sebenarnya diam di tempat, tapi semakin lama lantai semakin dekat saja. Sedangkan langit-langit semakin jauh. Pegangan pintu tak lagi di
posisi semula, tapi tiba-tiba berada jauh di atas kepala kita. Tinggi badanku tinggal sekitar enam puluh atau tujuh puluh
sentimeter ketika lenganku mulai tertarik masuk ke tubuhku. Pada saat
itulah Magilla yang asli memutuskan untuk angkat kaki. Ia berlari ke kandangnya, bergegas masuk, dan—ini tidak bohong, lho—menutup
pintu. Tapi, okelah. Panjang kakiku masih seimbang dengan badanku,
meskipun memang telah bertambah pendek. Tapi lenganku jadi pendek sekali. Jumlah jariku masih lima, namun semuanya kecil-
kecil—terlalu kecil untuk ukuran tubuhku. Telingaku bergeser ke atas, dan akhirnya berhenti di puncak
kepalaku. Tubuhku mulai terbungkus bulu lembut berwarna kelabu, yang menyebar bagaikan gelombang. Wajahku terdorong maju, dan
mulutku berubah menjadi moncong yang runcing. Lalu... nah ini yang paling aneh... tiba-tiba saja aku sudah
berekor! Padahal aku belum berubah jadi tupai. Aku masih setengah
manusia, setinggi anak balita, dan ekorku tumbuh begitu saja. Panjangnya lebih dari setengah meter! Jauh lebih panjang dan lebih
besar daripada ekor tupai sesungguhnya.
Aku menengadah dan melihat ekor berbulu lebat yang melengkung di atasku. Wah, keren!
Kakiku semakin pendek, sampai aku akhirnya merangkak di lantai beton.
Baru sekarang aku sadar bahwa lantai itu tidak sebersih yang kuduga. Padahal sudah kusapu dan kupel.
Mema ng sih, kalau mata kita cuma dua sentimeter dari lantai, setiap butir debu pasti terlihat jelas.
Lalu otak tupai-ku mulai beraksi. WOW! HEI!
Sekonyong-konyong aku merasakan energiku menjadi berlipat ganda.
Aku seperti disengat listrik sejuta volt. Tenagaku meletup-letup. Otak manusiaku yang lamban benar-benar kewalahan menghadapi ledakan energi itu.
Eh, ada suara! Suara apa itu? Aku segera pasang telinga. Aku menoleh dan
memfokuskan mataku yang besar. Wah, ada burung dalam kandang! Ada suara lain lagi. Apa itu? Aku berbalik.
Oh, apa itu? Dan itu? Dan yang satu lagi? PEMANGSA! Mereka ada di mana-mana! Aku terkepung!
PEMANGSA! Burung! Burung-burung besar dengan cakar tajam. Mereka ada
di mana-mana. Tunggu.Ada buah kenari. Aduh, enaknya buah kenari.
PEMANGSA! Awas! Aku melesat melintasi lantai. Tengok kiri. Tengok kanan.
Endus endus endus udara.
Oh, ya. Pemangsa. Baunya tercium jelas. Ada burung. Serigala. Luak.
PEMANGSA! KABUR KABUR KABUR!
Eh, tunggu. Bukankah ada buah kenari tadi? Aku melompat-lompat. YA! Buah kenari! Aku memungutnya dengan kaki depanku
yang mungil, dan langsung mulai menggerigitinya. Hmm! Asyik! Kenari! Dan aku yang menemukannya. Tak ada yang bisa merebutnya
dariku. Hah hah hah! Ada suara! Suara apa itu?
PEMANGSA! Kenarinya jangan sampai jatuh! Kabur bawa kenari! KA-BUR!
Kumasukkan kenari itu ke dalam mulut. Lalu aku lari sekencang-kencangnya.
Aku berlari menaiki dinding. Tegak lurus ke atas. Dan tepat pada saat itulah Tobias muncul.
Chapter 2
TOBIAS terbang melalui jendela loteng yang terbuka.
Masalahnya, naluri tupai masih merajalela dalam benakku, sehingga aku tidak mengenali Tobias.
Aku cuma melihat seekor elang ekor merah. Seekor burung pemangsa. Dan yang satu ini tidak disekap di dalam kandang.
Burung elang ini malah terbang di bawah atap. Ia memiliki cakar sekeras baja dan paruh melengkung yang bisa membelah
tubuhku seperti sekaleng sarden. Aku bisa merasakan tatapan si elang. KABUR KABUR KABURKABURKABUR!
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Maksudku, aku—si anak manusia bernama Cassie—tidak tahu harus berbuat apa. Aku sadar
aku harus bisa mengendalikan si tupai. Tapi aku begitu gugup! Untung saja si tupai sendiri tidak ikut bingung.
ZOOOM! Aku berlari menaiki dinding. Aku mencengkeram retakan kecil
pada permukaan kayu dengan kukuku yang mungil, dan memanjat dengan kecepatan luar biasa. Kalau kau belum pernah jadi tupai—dan
mengaku pasti belum pernah, kan?—kau takkan bisa membayangkan bagaimana rasanya berlari ke atas. Permukaan dinding kayu terasa
seperti lantai. Tapi aku tetap tahu mana atas dan mana bawah. Aku tahu aku akan meluncur ke bawah kalau aku terjatuh. Rasanya seperti berlari di lantai, tapi kalau terpeleset, kita akan terempas ke dinding.
Pokoknya, aneh sekali. Tobias hinggap di balok kayu di bawah atap. Tapi aku tahu ia
masih menatapku dengan tajam. Aku segera berhenti bergerak. Aku
diam sepenuhnya. Ekorku pun tidak berani kugerakkan. Aku terus mencengkeram dinding dan diam seperti patung.
Masalahnya, aku tak sanggup bertahan dalam posisi seperti itu. Dengan energi tupai yang meletup-letup ini aku tak bisa diam untuk
waktu lama. Tiba-tiba, setelah melirik sekilas ke samping, aku melontarkan
tubuhku ke udara. Aku seperti terbang. Aku melompat dan melayang sejauh tiga meter. Tapi rasanya seperti setengah kilometer.
GUBRAK! Aku jatuh di balok kayu yang melintang di atas kandang kuda.
Ternyata aku telah membuat kesalahan besar. Tobias melihat gerakanku. Dari sudut mata aku melihat ia merentangkan sayapnya
yang lebar. Ia segera menukik dengan cakar siap menyambar. Tapi tiba-tiba... ada gerakan lain. Sesuatu yang besar bergerak
pelan-pelan. Aku menoleh dan melihat salah satu papan dinding
bergeser. Sebuah kepala menyembul. Persis di bawahku. Sepasang mata yang bersinar licik menatapku seakan-akan menganggap diriku
hidangan makan malam. Seekor rubah! Aha! Rupanya inilah makhluk penyusup, si
pembantai burung yang misterius. Aku harus bisa menguasai otak tupai yang ada di dalam
kepalaku. Biasanya aku butuh waktu sekitar satu menit sebelum aku berhasil mengendalikan naluri binatang yang kutiru, tapi kali ini
waktuku tidak sebanyak itu. Tobias masih meluncur cepat.
Situasinya mendadak jadi kacau-balau. Burung-burung di kandang mulai ribut! Kedua serigala melolong-lolong di ruang sebelah. Semua kuda meringkik-ringkik.
Tobias langsung menyingkir karena kaget. Tapi aku sudah melompat lagi, dan kini aku terjun ke arah lantai
kandang yang penuh jerami. Tepatnya ke arah si rubah.
Begitu mendarat, aku langsung berlari lagi. Debu dan batang-batang jerami beterbangan di belakangku.
Si rubah tentu saja segera mengejarku. Dan ia ternyata gesit. Gesit sekali.
<Tobias! Tolong!> aku berseru melalui pikiranku. <Hei... Cassie? Itu kau, ya?>
Aku membelok kiri. Si rubah ikut membelok. Larinya lebih cepat daripada aku dan hampir sama lincahnya.
Kalau aku tidak segera menemukan tempat yang bisa dipanjat, habislah riwayatku!
<Ya, ini aku!> <Aduh, kenapa kau tidak bilang dari tadi?!> ia menggerutu.
<Hampir saja kau kumakan. > <Aku baru saja berubah. Naluri tupai ini baru bisa kukendalikan
sekarang. Tapi TOLONG selamatkan aku dulu dong.>
Taring si rubah nyaris menyambar ekorku. <Ya, ampun,> ujar Tobias. Ia merentangkan sayap dan
meluncur ke arah musuhku. Si rubah sempat melihat bayangan elang yang besar. Seketika ia
berhenti. Tapi terlambat. Cakar Tobias telah menggores punggungnya.
Si rubah rupanya tidak mau mengambil risiko. Serta-merta ia berlari ke pintu rahasianya.
Tobias hinggap di salah satu balok kayu. Ia menatapku dengan mata elangnya yang menyorot tajam. <Cassie? Kenapa kau
berkeliaran sebagai tupai di tengah malam buta begini?> Aku sudah mulai berubah kembali ke wujud manusia. <Dalam
beberapa hari terakhir selalu ada burung yang mati. Dad dan aku
sudah menyangka pelakunya seekor luak, atau racoon, atau rubah, tapi kami tidak tahu bagaimana cara hewan itu masuk. Karena itulah aku
menjelma sebagai tupai dan menunggu dia datang.>
<Hmm, mana mungkin aku menyalahkan seseorang yang mau menyelamatkan burung,> katanya. Ia melebarkan sayap dan mulai
merapikan bulunya. Penampilanku sudah mulai mirip manusia. Badanku sudah lebih
tinggi, dan kakiku terus bertambah panjang. Tapi mulutku belum kembali normal. <Kau sendiri sedang apa di sini, Tobias? Mau cari
sandwich tupai, ya?> Tobias sudah pasrah, ia sudah hampir menerima kenyataan
bahwa ia kini terperangkap dalam tubuh elang ekor merah. Untuk selama-lamanya. Belakangan ini ia mulai berburu dan makan seperti
elang. Memang ia masih agak peka tentang urusan ini, tapi kupikir kalau aku mengajaknya bercanda, ia akan sadar bahwa aku tidak
merasa jijik terhadapnya. <Sandwich tupai?> ia bertanya. <Bukan, aku lagi ingin makan
tupai panggang. Sori kalau aku membuatmu ketakutan.>
"Tidak apa-apa," aku menyahut dengan suaraku sendiri. Mulutku sudah terbentuk lagi. Tubuhku sudah hampir kembali
normal, hanya saja aku masih memiliki ekor besar yang menyembul dari balik bajuku.
Tubuhku tidak gemuk, tapi juga tidak kurus. Rambutku selalu dipotong pendek karena aku malas mengurusi rambut. Aku juga bukan
pengikut mode. Sehari-hari aku memakai overall dan sarung tangan kulit untuk bekerja. Pekerjaanku antara lain memaksa seekor musang
menelan obat yang kuberikan. Jake pernah mengambil fotoku dalam keadaan seperti itu. Foto
itu disimpannya di samping komputer di kamarnya. Jangan tanya kenapa, aku juga tidak tahu. Sebenarnya aku mau saja memberikan foto saat aku pakai rok. Roknya bisa kupinjam dari Rachel. Mungkin
dengan pakai rok, aku tampak lebih kece. Tapi Jake bilang ia tak perlu foto lain. Ia suka foto yang sudah ada.
<Ada suara,> ujar Tobias. Sikapnya langsung waspada.
Aku pasang telinga. Tapi telinga manusia memang payah. Hampir semua satwa memiliki pendengaran yang lebih tajam. Tapi
akhirnya aku juga mendengarnya. Memang ada suara.
"Siapa itu?" "Aduh, itu ayahku!" aku berseru tertahan.
<Ekormu belum hilang.> Terlambat. Pintu gudang jerami terbuka. Ayahku muncul
sambil membawa senter. Matanya berkedip-kedip karena masih mengantuk. "Cass? Sedang apa kau di sini?"
Aku memegang ekorku dengan kedua tangan dan berusaha menyelesaikan proses metamorfosis secepat mungkin. "T-t-tidak ada
apa-apa, Dad. A-a-aku cuma tidak bisa tidur." Ia mengangguk. "Oke. Tapi sekarang kembalilah ke kamarmu,"
ia menggerutu. Ayahku termasuk tipe orang yang butuh waktu satu
jam dan tiga cangkir kopi sebelum benar-benar bangun. "Oke, Dad," ujarku.
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Cassie? Coba berputar."
"Berputar?" aku membeo dengan suara pelan. "Yeah. Berputar. Rasanya... ehm, coba berputar dulu."
Perlahan-lahan aku berbalik badan. Secara bersamaan sisa ekorku tertarik masuk
"Huh," Dad bergumam. "Rupanya aku masih mimpi. Kupikir kau punya ekor tadi."
"Heh heh heh," aku memaksakan tawa. Begitu Dad pergi, aku langsung menjatuhkan diri ke jerami.
"Seharusnya aku tetap di tempat tidur saja," ujarku kepada Tobias.
"Masa bodoh dengan mimpi itu." <Mimpi?> ia bertanya. <Mimpi apa?>
Aku angkat bahu. "Entahlah. Mimpi aneh tentang laut."
<Laut,> ia mengulangi. <Dan ada suara yang memangilmu dari bawah air. >
Udara di gudang jerami sebenarnya cukup hangat, tapi tiba-tiba saja aku merinding.
Chapter 3
"TIDAK tuh. Aku belum pernah bermimpi aneh tentang laut,"
kata Marco. "Tapi aku pernah bermimpi aku mau dicekik oleh seprai tempat tidurku. Dalam mimpi aku juga pernah jatuh dari tempat yang
tinggi sekali, dan akhirnya aku ditolong oleh Superman. Aku juga pernah bermimpi berenang sama cewek-cewek pemain film
Baywatch... nah, itu memang ada hubungannya dengan laut." "Jadi kau pernah bermimpi ketemu Superman?" tanya Rachel.
Ia pasang tampang seakan-akan merasa kuatir. "Wah, gawat tuh." Ia geleng-geleng kepala sambil berdecak-decak.
"Memangnya kenapa? Apa salahnya bermimpi ketemu
Superman?" balas Marco. Rachel angkat bahu. "Aku cuma bisa menasihati bahwa kau
perlu menemui psikiater sebelum keadaanmu tambah parah." Rachel memalingkan wajah dan mengedipkan mata padaku. Tentu saja Marco
tidak melihat aksinya. "Lucu sekali," Marco menggerutu. Tapi ia kelihatan agak
waswas. Kami berkumpul di rumah Rachel pada keesokan harinya,
seusai sekolah. Kamarnya rapi sekali. Persis seperti foto-foto yang suka ada di majalah. Semuanya serbaserasi. Ia punya semacam papan
buletin tempat ia menempelkan kata-kata mutiara. Aku menghampiri papan buletin itu dan membaca, "'Di kolam
yang tenang, buaya mengintai.'—Pepatah Melayu."
Di sampingnya tertempel kertas bertulisan, “ ‘Kenalilah musuh dan dirimu sendiri, dan kau tak perlu ragu menghadapi seratus
pertempuran pun.'—Sun Tzu."
Aku jadi agak sedih. Sebelum ini semua terjadi, Rachel pasti lebih suka menempelkan kata mutiara mengenai hidup hemat atau
bersikap sopan. Ini salah satu tanda betapa hebat perubahan yang telah terjadi padanya.
Dalam waktu singkat kami telah terbiasa hidup di dunia yang penuh ketakutan dan bahaya. Kami pergi sendiri-sendiri ke rumah
Rachel. Masing-masing memastikan tak ada yang membuntuti. Tanggal pertemuan sengaja kami tetapkan pada hari ibu Rachel dan
kedua adiknya pergi. Kami bahkan minta agar Tobias terbang berkeliling untuk
memantau keadaan. Begitulah kehidupan kami sekarang. Kami harus selalu
waspada, dan senantiasa siap tempur. Jake belum berkata apa-apa. Tobias dan aku sudah bercerita
tentang mimpi kami yang sama. Mimpi tentang suara yang seakan-
akan berasal dari dasar laut. Suara aneh yang seakan-akan memanggil-manggil kami. Tapi ternyata cuma kami berdua yang mendengar suara
itu. Marco langsung memberi komentar konyol. Biasalah, namanya juga Marco si Raja Ngocol. Rachel menanggapi cerita kami dengan
sikap ragu-ragu. Hanya Jake yang diam saja. Jake bisa dibilang "pemimpin" kami, walaupun ia tak pernah
sok kuasa. Ia memang punya sifat pemimpin. Kami selalu berpaling padanya kalau ada masalah.
Sebenarnya masih ada alasan lain kenapa Jake lebih penting bagiku daripada kawan-kawanku yang lain. Tentu saja Jake takkan
kuberitahu, tapi aku memang suka padanya. Maksudku, benar-benar suka.
Ia punya tampang keren. Rambutnya cokelat dan warna
matanya sangat gelap. Orang-orang yang belum mengenalnya pasti menyangka ia selalu serius. Namun kalau kita sudah akrab, kita akan
sadar bahwa ia memang serius tapi juga tahu kapan waktunya tertawa.
Jake mau tak mau harus bisa tertawa, sebab ia sudah bersahabat dengan Marco sejak mereka sama-sama masih memakai popok. Dan
sejak kecil mereka selalu bersaing dan bertengkar dan berbeda pendapat. Tujuan hidup Marco adalah menertawakan segala sesuatu.
Termasuk sahabat karibnya. Marco juga keren sih, tapi ia bukan tipeku. Rambutnya cokelat
dan panjang, dan bulu matanya benar-benar lentik. Sayang bukan aku yang punya bulu mata seperti itu.
Marco tidak berminat jadi pemimpin. Sekadar menjadi anggota kelompok pun ia enggan. Ia justru ingin agar kami melupakan saja
semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia selalu mendesak agar kaum Yeerk serta kemampuan metamorfosis yang kami miliki
dilupakan saja. Menurutnya, kami lebih baik cari selamat. Tapi sebaliknya malah Marco yang paling memperhatikan
masalah keamanan. Marco yang selalu melarang kami membahas apa
pun melalui telepon karena, siapa tahu, percakapan kami terdengar oleh telinga musuh.
Rachel temanku yang paling dekat. Sudah bertahun-tahun aku bersahabat dengannya. Hmm, bagaimana aku bisa menjelaskan
Rachel? Pertama-tama, ia sepupu Jake, dan keduanya punya banyak kemiripan. Tampaknya seluruh keluarga mereka memiliki sifat berani,
sebab Rachel cewek paling berani yang kukenal. Tak ada yang bisa membuatnya gentar. Ia tidak kenal takut. Paling tidak, begitulah kesan
yang kuperoleh. Kalau orang menatapnya, mereka pasti akan berpikir, Oh, dia
akan jadi peragawati berotak kosong, soalnya ia bertubuh jangkung, berwajah cantik, dan berambut pirang. Tapi aku kasihan pada orang-orang yang menyangka Rachel tidak tahu apa-apa.
Kadang-kadang aku merasa Rachel sangat menikmati menjadi anggota Animorphs. Seolah selama ini ia memang ingin menjadi
prajurit wanita.
Tapi yang jelas, Rachel bukan orang yang percaya mimpi. "Ehm, oke," katanya sambil berdeham-deham, "kalau urusan mimpi
ini sudah selesai, bagaimana kalau..." "Rachel," Jake menyela, "aku membawa sesuatu yang mungkin
sangat menarik." Ia mengeluarkan kaset video dari tasnya. "Yeah, lebih baik kita nonton film saja," kata Marco.
"Ini bukan film," ujar Jake. "Semalam tidak ada yang nonton berita terakhir, ya?"
"Oh, aku sibuk nonton ulangan film Petualangan Superman," sahut Marco sambil melirik ke arah Rachel. "Semalam ceritanya
Superman sedang sakit gigi, sehingga dia tidak bisa membasmi penjahat."
Jake geleng-geleng kepala, seperti biasanya kalau Marco sibuk bercanda atau bertingkah konyol. "Rachel, videonya bisa kita putar di bawah?"
"Boleh saja," jawab Rachel. Kami menuruni tangga. Kecuali Tobias, yang terbang di atas
kepala kami. "Eh, Tobias," kata Marco. "Aku mau tanya nih. Apakah elang
juga seperti burung camar? Maksudku, apakah mereka juga buang kotoran sambil terbang?"
<Tergantung siapa yang ada di bawahku,> balas Tobias. <Begini saja, deh—kalau kau sampai bikin aku jengkel, lebih baik kau
beli topi dulu.> Kami masuk ke ruang duduk. Jake menyalakan TV dan
memasukkan kaset video ke dalam VCR. "Aku sempat merekam berita singkat ini," ia berkata ketika
seorang laki-laki tua muncul di layar kaca. Orang itu mengenakan
jubah mandi dan sedang memegang sesuatu yang tampak seperti lempengan logam.
"Sejak kapan kau tertarik pada kakek-kakek yang mau mandi?" tanya Marco.
"Menurut laki-laki itu, benda yang dipegangnya terdampar di pantai beberapa hari lalu, ketika terjadi badai. Coba perhatikan baik-
baik." Kamera beralih pada benda di tangan orang tua itu. Ternyata
memang sepotong lempengan logam. Panjangnya sekitar setengah meter, sedangkan lebarnya kurang-lebih tiga puluh senti. Ketika
kamera mendekat, aku melihat corat-coret mirip tulisan. Hanya saja huruf-hurufnya sama sekali asing bagiku.
Kini rekaman Jake memperlihatkan pembaca berita yang sedang tersenyum, dan kemudian layar TV menjadi gelap. Jake
mematikan VCR. "Oke... lalu apa?" tanya Marco. Jake menghela napas. "Pada malam kita bertemu si Andalite,
sewaktu aku masuk ke pesawatnya untuk mengambil kubus yang dapat memindahkan kemampuan metamorfosis kepada kita, aku
sempat melihat tulisan." Bulu kudukku langsung berdiri.
"Bisa jadi aku keliru, aku bukan ahli tulisan," Jake melanjutkan. "Tapi kurasa abjadnya sama. Huruf-hurufnya persis seperti itu."
Tak ada yang tertawa. Bahkan Marco pun tidak berkomentar. "Kurasa lempengan yang terdampar di pantai itu adalah bagian
dari pesawat Andalite," ujar Jake. Sekonyong-konyong lantai di bawah kakiku serasa berputar-
putar. Aku terjatuh. Jake menangkapku sebelum aku sempat terempas di karpet, tapi aku sudah sudah tidak sadar.
Chapter 4
AKU melayang-layang.
Dan akhirnya tercebur ke laut. Byur! Aku berada di dalam air, tapi aku masih terus meluncur
ke bawah. Turun, turun, turun, menembus lapisan air biru kehijauan yang diterangi sinar matahari.
<Aku di sini,> sebuah suara memanggil. <Aku di sini. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Kalau kau mendengarku...
datanglah. Datanglah.> Tiba-tiba aku membuka mata, dan melihat wajah Jake yang
tampak cemas.
Aku menoleh. Aku melihat Rachel dengan gagang telepon menempel di telinganya. Agaknya ia siap menelepon.
"Dia sudah sadar!" kata Jake. "Lebih baik kita panggil ambulans," sahut Rachel.
"Jangan!" seru Marco. "Kecuali kalau dia memang cedera. Risikonya terlalu besar."
Rachel langsung melotot. Ia selalu begitu kalau ada yang menentang keinginannya. "Aku tetap akan memanggil ambulans,"
ujarnya dengan ketus. "Jangan, Rachel, aku tidak apa-apa," kataku. Aku duduk tegak.
Kepalaku masih agak pening, tapi selain itu aku baik-baik saja. Rachel tampak ragu-ragu. "Bagaimana dengan Tobias?" Aku memandang berkeliling dan melihat Tobias tergeletak di
lantai. Sebelah sayapnya tertindih badannya sendiri. Ya ampun. Jangan-jangan...
Aku langsung berdiri dan berlari menghampirinya.
"Rachel, kelihatannya Cassie memang tidak apa-apa, dan ambulans tidak bisa menolong Tobias," ujar Jake.
Rachel meletakkan telepon dan menghampiri Tobias. "Dia masih hidup," kataku. Dadanya mengembang dan
mengempis seiring tarikan napasnya. Lalu, sama mendadaknya seperti aku tadi, ia sadar kembali. Mata elangnya langsung menyorot tajam.
Reaksi pertamanya betul-betul seperti elang. Ia bangkit dan segera mengembangkan bulu-bulunya agar tubuhnya kelihatan lebih
besar daripada sebenarnya. Persis seperti kucing yang ingin menggertak lawan.
"Jangan ada yang bergerak," ujarku cepat-cepat. "tenang saja, Tobias, kau cuma pingsan sebentar."
Dalam sekejap ia sudah berhasil mengendalikan naluri elang. <Wah, aneh sekali,> ia berkomentar.
"Aku juga sempat tidak sadar. Dan aku mimpi lagi. Cuma kali
ini aku benar-benar mendengar suara. Atau paling tidak, pesan yang disampaikan melalui pikiran."
<Aku juga.> "Oke, ini mulai terlalu aneh," Rachel menanggapi. "Kayaknya
aku juga merasakan sesuatu." "Yeah," Jake membenarkan. Marco mengangguk.
<Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi... tapi tampaknya ada yang mengirim sinyal padaku. Tampaknya ada yang butuh pertolongan.>
"Mereka ada di dalam air, atau di bawah air," aku menimpali. "Begitu aku melihat tulisan di rekaman video tadi, pesannya
mendadak bertambah jelas." "Tapi mungkin juga ini semua cuma kebetulan," kata Jake. "Ini
bukan mimpi. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya, tapi yang jelas
bukan mimpi. Aku juga melihat sesuatu. Ini semacam pesan."
"Ini semua memang sangat menarik," ujar Marco, "tapi apa artinya? Dan siapa yang mengirim pesan itu? Putri Duyung? Apa yang
harus kita lakukan?" Jake berpaling padaku. "Cassie, suara yang kaudengar dalam
mimpimu, apakah suara itu suara manusia?" Pertanyaannya terasa mengejutkan. Aku tertawa. "Hmm,
rasanya sih bukan." Aku kembali tertawa. "Tapi itu kan tidak masuk akal."
<Suara itu bukan suara manusia,> Tobias tiba-tiba angkat bicara. <Aku mengerti maksudmu, tapi suaranya bukan suara
manusia. Pesan itu tidak memakai kata-kata.> "Jadi suara apa, dong?" tanya Rachel. "Suara Yeerk?"
Aku berusaha mengingat-ingat mimpiku. Aku berusaha agar suara itu bisa hadir kembali dalam kepalaku. "Bukan, bukan suara Yeerk. Suara itu mengingatkan pada sesuatu... pada seseorang."
<Si Andalite,> seru Tobias. Aku menjentikkan jari. "Ya! Itu dia! Aku teringat si Andalite.
Waktu dia pertama kali bicara dengan kita melalui pikirannya. Kira-kira begitu rasanya."
"Si Andalite," Marco bergumam. Ia memalingkan wajah. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya. Aku tahu apa yang ada dalam
pikiran kami semua. Waktu itu hari sudah malam. Kami pulang sehabis ngeceng di
mall dan mengambil jalan pintas lewat tempat pembangunan gedung yang terbengkalai. Dan tiba-tiba pesawat si Andalite muncul di atas
kami. Pesawat itu mendarat, dan si pangeran Andalite keluar. Ia
mengalami cedera fatal dalam pertempuran melawan kaum Yeerk di
suatu tempat di antariksa. Pangeran Andalite itulah yang memberitahu kami tentang
adanya kaum Yeerk—spesies parasit yang tinggal dalam otak
makhluk-makhluk lain dan menjadikan mereka budak, menjadikan mereka Pengendali. Si Andalite yang memperingatkan kami. Ia juga
yang—dalam keadaan terdesak—memberi kami senjata andalan yang hebat sekaligus mengerikan, yaitu kemampuan metamorfosis atau
morph. Kami bersembunyi sambil meringis ketakutan ketika kaum
Yeerk berhasil menemukan si Andalite. Akhirnya sang pangeran tewas di tangan Visser Three, pemimpin makhluk-makhluk keji itu.
Aku merinding ketika teringat teriakan terakhir si Andalite yang kesakitan.
"Ya," bisikku. "Tobias benar. Ini memang suara Andalite. Itulah yang memanggil kita dari laut. Makhluk Andalite."
Kami semua membisu selama beberapa menit. Kemudian Rachel berkata, "Dia berkorban nyawa untuk
menyelamatkan kita." Ia menatap Marco dengan pandangan menyala-
nyala. "Aku tahu itu tidak berarti apa-apa bagimu. Tapi si Andalite berkorban nyawa untuk menyelamatkan dunia."
Marco mengangguk. "Aku tahu. Dan kau keliru, Rachel. Pengorbanannya sangat besar artinya bagiku."
"Oh ya? Hmm, kalau ada Andalite yang butuh pertolongan, aku takkan tinggal diam," ujar Rachel.
Jake dan aku saling melirik. Rupanya pikiran kami sama: "Wah, kejutan nih, Rachel sudah siap beraksi lagi." Aku menahan senyum,
dan Jake pun berusaha pasang tampang biasa. "Tobias?" tanya Jake. "Pendapatmu bagaimana?"
<Kurasa suaraku tidak masuk hitungan kali ini. Di antara kalian, aku satu-satunya yang tidak bisa berbuat banyak kalau urusannya menyangkut air. Lagi pula, kalian pasti sudah tahu
bagaimana pendapatku.> Di antara kami berlima, Tobias-lah yang paling lama
mendampingi si Andalite, meskipun sang pangeran telah menyuruh
kami pergi. Dan agaknya dalam waktu singkat itu telah tercipta ikatan yang sangat kuat antara Tobias dan pangeran itu.
"Aku tidak mungkin diam saja kalau memang ada yang meminta bantuan kita," ujarku.
Kami semua menatap Marco. Rachel sudah siap-siap mengamuk kalau Marco sampai tidak setuju, seperti biasanya.
Marco cuma nyengir. "Sebenarnya aku tidak senang. Tapi aku juga tidak suka mengecewakan kalian." Kemudian sikapnya menjadi
serius. "Aku juga ada di tempat pembangunan waktu itu, bersama kalian. Aku ada di sana waktu Visser Three..." Tiba-tiba suaranya
terputus. "Maksudku, kalau ada Andalite yang membutuhkan sesuatu, aku siap membantu."
Chapter 5
"AKU tidak tahu kalian sadar atau tidak, tapi kalau kita ada di
pantai karena berita semalam, bukan tidak mungkin bahwa beberapa Pengendali juga datang kemari," Marco berkata untuk kesepuluh
kalinya. "Ya Marco, aku tahu," jawab Jake dengan sabar. "Tapi siapa
tahu Cassie dan Tobias bisa menangkap pesan yang lebih jelas di sini, di tepi laut."
"Tunggu dulu—jadi sekarang kita mengambil keputusan berdasarkan mimpi Tobias dan Cassie, begitu?" tanya Marco. "Tapi mimpiku sama sekali tidak digubris. Aku pernah mimpi bahwa aku
ada di rumah dan nonton TV dengan tenang. Tapi itu pasti tidak penting, kan?"
"Memang betul," Jake menjawab singkat. Kami ada di tepi laut. Di pantai tempat laki-laki tua dalam
siaran berita semalam menemukan lempengan logam yang mungkin berasal dari pesawat Andalite. Kami datang setelah gelap. Pantulan
sinar bulan tampak menari-nari di permukaan laut yang hitam pekat. Udaranya berbau asin. Aku merasa tenteram, tapi sekaligus juga kecil
dan tak berarti, seperti biasanya kalau aku berdiri di tepi pantai. Tak ada yang sebesar samudra. Samudra bagaikan planet lain
yang penuh tumbuhan ajaib dan satwa mengagumkan. Lembah dan gunung dan gua dan dataran luas, semuanya tersembunyi dari mata manusia.
Yang bisa kulihat hanya permukaannya. Yang bisa kurasakan hanya tepiannya, yang membasahi kakiku setiap kali ombak pecah di
pantai.
Samudra begitu luas, dan aku begitu kecil. "Bagaimana dengan mimpiku bahwa aku sempat hidup sampai
cukup umur untuk mendapat SIM?" Jake menatap Marco dengan kesal. "Marco, kau bisa berubah
jadi burung dan terbang. Sekarang juga, kalau perlu. Kenapa kau masih memikirkan soal mengemudi mobil?"
"Ini soal cewek," Marco langsung menyahut. "Mana mungkin aku dapat cewek kalau aku berbentuk burung?!" Ia melirik ke atas.
Sepasang sayap tampak samar-samar berkepak di langit yang gelap. "Jangan tersinggung, Tobias. Aku bukannya tidak senang
karena bisa terbang, tapi angan-anganku adalah Ferarri berwarna merah terang dengan mesin sebesar empat ratus tenaga kuda."
Sikap Marco untuk mendukung kami ternyata tidak bertahan lama. Seperti sudah kuduga. Kalau soal mengeluh, Marco memang biangnya. Kalau tidak mengeluh, mulutnya bisa gatal-gatal. Sama
seperti Rachel yang takkan senang kalau tak ada yang perlu diperjuangkan. Tobias lain lagi. Ia memang tidak pernah bahagia,
titik. Ia takut kalau ia bahagia, ada orang yang akan merampas kebahagiaannya.
"Bagaimana, Cassie?" tanya Rachel. "Kau sudah merasakan sesuatu?"
"Ehm, aku malah jadi agak rikuh sekarang," aku berterus-terang. "Aku merasa konyol sekali."
"Bagaimana kalau cari dukun saja?" Marco mengusulkan. "Halo, Pak Dukun? Belakangan ini aku sering bermimpi tentang
makhluk asing dari luar Bumi..." "Kenapa justru Cassie dan Tobias?" tanya Rachel tanpa
menggubris komentar Marco. "Kenapa pesan itu bisa diterima begitu
jelas oleh mereka, sedangkan kita nyaris tidak merasakan apa-apa?" Jake menggelengkan kepala. "Entahlah. Tapi coba
kaubayangkan kau Andalite yang sedang dalam kesulitan. Kau butuh
pertolongan. Siapa yang akan kaupanggil untuk menyelamatkanmu? Tentu saja Andalite lain, bukan?"
"Tobias bukan Andalite, dan begitu juga aku," ujarku. "Aku tahu," kata Jake. "Tapi siapa tahu pesan itu berhubungan
dengan kemampuan metamorfosis? Hanya makhluk yang bisa berubah wujud yang bisa 'mendengarnya'. Dengan cara itu pesan tersebut akan
diterima hanya oleh sesama Andalite." "Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa justru Tobias dan
aku..." "Nanti dulu," Marco menyela. Roman mukanya sudah kembali
serius, "Begini, Tobias sudah berubah secara permanen. Dan Cassie, di antara kita semua kaulah yang paling berbakat untuk urusan
berubah wujud." Marco nyengir lebar. "Lagi pula, kau lebih suka binatang daripada manusia, jadi kau selalu mengambang di antara dua dunia."
Tiba-tiba ada sosok gelap yang melintas di atas kepala kami. <Ada sorot lampu!> Tobias melaporkan. <Di pantai di depan.
Sekelompok orang membawa senter. Sepertinya mereka mencari sesuatu. Kalian belum bisa melihat mereka, sebab mereka terhalang
bukit pasir itu. Tapi sebentar lagi mereka akan sampai di sini.> "Siapa mereka?" tanya Jake.
<Entahlah,> jawab Tobias. <Siang hari mataku memang tajam, tapi setelah gelap penglihatanku sama saja dengan kalian. Aku elang,
bukan burung hantu. Untung saja pendengaranku cukup baik. Kalian bersembunyi dulu. Aku segera kembali.>
Seketika ia menghilang dalam kegelapan malam. "Ayo," ujar Jake. "Tobias benar. Kita harus sembunyi." Kami meringkuk di antara dua bukit pasir. Aku tiarap di pasir
yang dingin dan lembap. Dengan hati-hati aku mengintip melalui alang-alang. Mataku tertuju ke tepi pantai yang basah dijilat ombak
berbuih putih.
Tobias kembali beberapa menit kemudian. <Ternyata mereka,> ia melaporkan, lalu hinggap di sepotong
kayu yang terdampar di pantai. <Sekelompok anggota The Sharing. Mr. Chapman ada di sana.> Ia menoleh ke arah Jake. <Tom juga.>
The Sharing adalah perkumpulan yang sebenarnya merupakan kedok bagi kaum Yeerk. Menurut mereka The Sharing adalah
perkumpulan untuk segala usia, semacam perkumpulan pramuka. Tapi sesungguhnya ini cuma suatu cara bagi kaum Yeerk untuk mencari
induk semang sukarela. Aku tahu. Kedengarannya memang tidak masuk akal, tapi ternyata ada orang yang mau menjadi induk semang
bagi kaum Yeerk. Ini sangat membantu makhluk-makhluk keji itu, soalnya induk semang sukarela lebih mudah dikendalikan daripada
orang yang dijadikan budak secara paksa. Kegiatan The Sharing tentu saja tidak terang-terangan. Para
anggotanya dipengaruhi pelan-pelan, dalam jangka waktu panjang.
Para anggota baru mula-mula tidak tahu apa-apa. Mereka menyangka ini cuma klub hura-hura.
Aku tidak tahu kapan para anggota diberitahu tujuan sesungguhnya. Tapi kurasa pada saat itu sudah terlambat. Mereka
harus bersedia menjadi induk semang secara sukarela, atau dipaksa, seperti yang dialami Tom—kakak Jake.
"Tom juga ikut?" Jake bertanya. <Ya,> jawab Tobias. <Beberapa anggota senior—antara lain
Mr. Chapman dan Tom—berjalan di belakang rombongan utama. Aku sempat mendengar sepenggal percakapan mereka. Mereka
mencemaskan lempengan pesawat Andalite itu.> "Jadi lempengan itu memang milik pesawat Andalite?" tanya
Rachel.
<Kelihatannya begitu,> sahut Tobias. <Ada hal lain lagi yang kudengar.>
Ia terdiam sejenak. Aku langsung tegang. "Apa?"
<Mereka bilang Visser Three menerima semacam pesan. Agaknya pesan itu membuatnya kesal. Saat itu Visser Three tengah
berada di dalam pesawat induk. Ia langsung melempar salah satu Hork-Bajir ke luar pesawat karena menyebabkan konsentrasinya
buyar.> "Visser Three bisa menangkap pesan itu karena dia
menggunakan tubuh Andalite," ujar Marco. "Ya, kurasa begitu. Mimpi atau pesan ini rupanya suatu bentuk
komunikasi yang seharusnya hanya bisa didengar kaum Andalite." Tiba-tiba sederet titik cahaya muncul di hadapan kami. Sekitar
dua puluh orang tengah menyusuri pantai, dan masing-masing membawa senter. Mereka maju pelan-pelan sambil mengamati
permukaan pasir. "Mereka mencari kepingan lain," bisikku. Mendadak sebagian dari mereka berhenti. Salah seorang
menyerukan sesuatu. Yang lain bergegas menghampirinya. "Apa yang mereka temukan?" Jake bertanya-tanya.
"Aku juga tidak..." Sekonyong-konyong aku sadar. "Jejak kaki kita! Jejak kaki kita yang masih baru dan tahu-tahu membelok ke
bukit pasir!" "Kita harus lari!" Jake berseru tertahan. "Cepat!"
Terlambat! Belasan berkas senter menyapu pasir yang bergelombang dan
menyoroti lereng bukit pasir. Sebentar lagi semua lampu senter akan terarah ke tempat kami bersembunyi.
Kami segera merangkak mundur sambil menundukkan kepala. Kemudian kami bangkit dan langsung lari pontang-panting.
"Kita harus berubah!" ujar Rachel terengah-engah. Setiap
langkah kaki kami terbenam pasir sampai ke mata kaki. "Jangan!" kata Marco. "Jejak kita juga akan berubah dari jejak
manusia ke jejak binatang."
"Tangkap mereka!" teriak seseorang. Kedengarannya seperti suara Mr. Chapman. Ia wakil kepala sekolah kami. Aku kenal
suaranya karena ia sering marah-marah di koridor sekolah. Belasan lampu senter menyoroti sekeliling kami. Kami
merunduk dan berlari secepat mungkin. Tapi berlari melintasi pasir benar-benar menguras tenaga.
Jake membisikkan perintah di sela napasnya yang terengah-engah. "Ambil jalan berputar... kalau mereka menyusul... kita kelilingi
bukit pasir... kita kembali ke pantai... dan berubah di sana..." "Itu mereka! Itu mereka!"
Tiba-tiba cahaya senter menyorot diriku. Aku melihat bayanganku memanjang di pasir.
Aku melompat ke kiri, menghindari berkas cahaya senter. Dan untung saja.
DOR! DOR!
Letusan senjata! Ya ampun! Aku ditembak.
Chapter 6
INI benar-benar tidak masuk akal.
Aku sudah pernah terlibat pertempuran hidup-mati melawan prajurit Hork-Bajir yang tingginya lebih dari dua meter. Aku juga
pernah ditembaki sinar Dracon yang bisa membuat tubuh kita terurai pelan-pelan. Tapi seumur hidup aku belum pernah ditembaki senapan
biasa. Rasanya konyol banget, setelah berbagai kejadian seru yang
kami lalui. DOR! DOR! DOR! Bluk! Aku mendengar sesuatu menerjang pasir, hanya beberapa
sentimeter dari kakiku. "Aaaaahhh!" aku memekik kaget.
Sebuah tangan kasar mencengkeram lenganku dan menarikku ke depan. Ternyata Jake. Aku memang langsung terpaku di tempat
ketika mendengar bunyi pasir diterjang peluru tadi. <Mereka ada di bukit pasir!> teriak Tobias. <Sekaranglah
waktunya! Ayo kalian ber-morph.> "Ayo!" seru Jake. Ia setengah menyeretku ke bukit pasir
terdekat, tapi aku sudah sanggup berjalan sendiri. Aku merangkak menaiki lereng bukit sambil berpegangan pada
rumput liar. Kami melewati puncak bukit. Kami merosot dan menggelinding
dan berlari menuruni lereng seberang.
Kami kembali berada di tepi laut. Aku melirik ke kanan. Tak ada cahaya senter di pantai. Mereka semua masih di antara bukit-bukit
pasir. Mencari kami.
"Masuk ke air," kata Jake. "Kita berubah jadi ikan." "Jake," aku tersengal-sengal. "Ikan trout... hidup di air tawar...
ini air laut." "Ada ide yang lebih baik?" ia bertanya.
DOR! DOR! "Tidak ada," sahutku. Kami menerjang ombak yang berdebur-
debur. Sambil berlari, aku membayangkan diriku sebagai ikan. Aku mengingat-ingat bagaimana rasanya menjadi ikan. Aku mencoba
memusatkan pikiran. Tapi itu tidak mudah, apalagi kalau kita sedang dikejar-kejar dan ditembaki selusin Pengendali.
Aku tersandung. Kakiku telah mengerut dan kini mulai menghilang sama sekali. Aku terempas ke air dan terpaksa menelan
air laut. Aku berusaha agar kepalaku tetap di atas air, tapi tanganku juga
sudah mulai lenyap. Ombak di sekelilingku seakan-akan bertambah
tinggi karena tubuhku semakin kecil. Pakaianku menggembung tidak keruan.
Para anggota The Sharing, para Pengendali, berlari ke tepi air. Senter di tangan mereka tampak aneh ketika mata manusiaku berubah
menjadi mata ikan. Dengan telingaku yang masih tersisa aku mendengar, "Jejaknya
menuju ke air." Itu suara Tom. Menyusul suara Chapman, "Mereka tidak
kelihatan. Tapi mereka tidak mungkin berenang jauh. Arus di sini terlalu kuat. Ayo, semua menyebar untuk mengawasi pantai."
"Apakah mereka bandit-bandit Andalite yang kita cari-cari selama ini?"
"Bukan. Ini jejak manusia. Kemungkinan besar hanya
sekelompok anak-anak. Kurasa mereka tidak melihat apa-apa. Seharusnya kita tidak menembak tadi."
"Sir," sebuah suara baru berkata. "Kami menemukan celana jeans di air. Ukurannya cocok untuk celana anak-anak."
"Ada tanda pengenal di sakunya?" "Tidak, Sir. Tidak ada apa-apa."
"Mungkin cuma kebetulan," ujar Chapman. "Kalau memang manusia, kenapa kita tidak bisa melihat
mereka?" tanya Tom. "Empat jejak kaki manusia. Tapi tidak ada siapa-siapa di air. Jangan-jangan... Visser Three keliru? Bagaimana
kalau lawan kita ternyata bukan Andalite?" Aku terbenam dalam air. Metamorfosisku sudah hampir
lengkap. Tapi sebelum menyelam, aku masih sempat mendengar Chapman tertawa bengis. "Visser Three keliru? Bisa jadi. Tapi jangan
harap aku mau berkata begitu di depannya." Proses metamorfosis sudah selesai. Aku telah menjelma
menjadi ikan sepanjang tiga puluh sentimeter. Ikan trout, tepatnya.
Lezat sekali kalau dimasak, digoreng, atau dipanggang. Air laut terasa panas pada sisikku, dan insangku nyaris tak bisa
bernapas. <Bagaimana keadaan kalian?> tanya Jake. Setelah berubah
wujud, kami pun bisa berkomunikasi melalui pikiran, seperti Tobias. <Aku baik-baik saja,> jawabku. <Tapi aku sulit bernapas. Kita
harus buru-buru nih.> <Setuju,> ujar Rachel. <Sisikku rasanya seperti terbakar.
Insangku juga.> <Kita harus berenang ke kiri untuk menyusuri pantai, secepat
dan sejauh yang bisa kalian tahan,> kata Jake. <Bagaimana, Marco?> tanyaku. <Oh, setuju, setuju. Mana mungkin aku tidak ikut kalau
acaranya seramai ini? Bayangkan saja, kita sudah berlari-lari di bukit pasir sambil diberondong peluru. Dan sekarang kita menyelam di laut
dan berubah jadi ikan trout, yang sebenarnya tidak bisa hidup di air asin. Nah, apa lagi yang kurang?>
Chapter 7
SELAMA beberapa hari berikutnya kami tidak mengadakan
kegiatan bersama. Kami cuma bertemu di sekolah, itu pun kalau kebetulan berpapasan di koridor. Kami masing-masing tetap punya
acara sendiri di luar kelompok Animorphs. Rachel sibuk dengan latihan senamnya. Selain itu, ia diajak
ibunya menghadiri acara pemberian penghargaan di mana ibunya mendapat penghargaan sebagai Pengacara Terbaik. (Rachel tentu saja
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk berbelanja besar-besaran.) Jake mendapat nilai jelek untuk ulangan bahasa, karena ia tidak
belajar. Ia disuruh membuat karangan singkat untuk memperbaiki
nilainya. Aku sendiri sibuk membantu Dad merawat elang emas yang nyaris mati kesetrum. Elang itu sedang melewati tahap kritis masa
penyembuhannya. Tobias mampir suatu malam, dan tampaknya ia kurang senang
melihat aku berusaha menyelamatkan seekor elang emas. Elang ekor merah dan elang emas memang tidak akur. Mungkin karena elang
emas kadang-kadang memangsa elang ekor merah. Beberapa hari kemudian Jake naik sepeda ke rumahku. Aku
tidak tahu ia akan datang, sehingga penampilanku lebih amburadul lagi daripada biasanya. Bauku juga tidak enak, karena aku sedang
membersihkan semua kandang di gudang jerami. Aduh, Jake. Kenapa kau harus muncul di saat penampilanku
lagi parah-parahnya?
"Hai, Cassie," ia menyapaku dengan santai, seakan-akan tidak ada apa-apa.
"Hai, Jake. Kau kemari untuk membantuku membersihkan kandang?"
Ia tersenyum. Senyumnya menawan sekali. Senyum itu muncul perlahan-lahan, seolah-olah tidak berani mampir di wajahnya yang
serius. "Entahlah. Memangnya kau perlu bantuan?" "Oh, perlu sekali," sahutku. Langsung saja aku menyodorkan
sekop. "Silakan mulai." Kami bekerja sebentar. Tak ada suara selain bunyi sekop
bergesekan di lantai beton. Aku tahu bahwa Jake hendak mengatakan sesuatu. Aku selalu tahu. Tapi rasanya lebih baik kalau kutunggu saja
sampai ia siap mengatakannya. "Oke," ia akhirnya berkata.
"Oke," aku membeo. "Begini, Cassie. Kami semua, ehm, menunggu keputusanmu." Aku agak terkejut, dan langsung berhenti menyekop. "Hah?
Keputusan apa?" "Maksudku, soal mimpimu. Apa yang harus kita. lakukan?"
Aku angkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Lagi pula, bukan cuma aku yang bermimpi. Tobias juga. Dan kalian semua juga sempat
merasakan sesuatu, biarpun cuma sedikit." "Yeah, tapi Tobias pikir dia takkan bisa banyak membantu
kalau... ehm... kalau kita memutuskan untuk bertindak. Kali ini urusannya dengan air, dan Tobias tidak bisa berubah lagi. Mengenai
teman kita yang lain, entahlah. Rachel dan Marco masih ragu-ragu dengan pesan itu."
"Kau sendiri bagaimana, Jake?" Jake berhenti menyekop. Ia menyeka kening dengan punggung
tangan lalu menatapku. "Aku percaya kau tidak mengada-ada, Cassie.
Kurasa kau dan Tobias memang benar. Tapi Marco belum yakin." Ia mengangkat sebelah alis, seakan-akan hendak berkata, "Tahu sendiri
kan bagaimana si Marco."
Aku langsung agak tegang. "Jadi, kau ingin agar aku yang mengambil keputusan? Aku yang harus menentukan langkah kita
selanjutnya, begitu?" "Cassie, kaulah yang mengalami mimpi itu. Hanya kau yang
tahu apakah mimpi itu nyata, dan apakah kita perlu berbuat sesuatu." "Aku tidak tahu," sahutku. Apa yang diharapkan Jake dariku?
Setiap kali mencoba melawan kaum Yeerk, kami pasti nyaris celaka. Baru dua hari lalu aku mendengar peluru berdesing-desing di
sekelilingku. Jake menunggu sampai aku kembali menatapnya. "Cassie, kau
tahu kami semua mempercayai nalurimu. Kau yang paling memahami binatang. Kau yang paling menguasai proses metamorfosis. Dan kau
tahu kami semua menghormatimu." Aku meringis. "Jangan terlalu memuji. Nanti kepalaku
menggembung."
"Kalau menurutmu kita harus bertindak, Rachel pasti mendukungmu. Aku juga."
"Dan Marco?" Jake kembali nyengir. "Marco pasti ngomel-ngomel. Tapi
akhirnya dia pasti ikut, biarpun beberapa meter di belakang kita." Kami tertawa.
"Entahlah, Jake. Ini cuma mimpi. Bagaimana aku bisa yakin apakah ini sungguhan atau tidak?"
Ia menggelengkan kepala. "Memang sulit, sih. Kelihatannya kau harus mengandalkan naluri dan berharap semoga kau benar."
Aku meringis lagi. Aku bukan Rachel. Aku bukan orang yang suka mengambil risiko. "Kenapa bukan kau saja yang memutuskan?" aku berkelakar.
Jake mengangguk dengan serius. "Bisa juga, kalau memang itu yang kauinginkan."
"Dan kalau hasilnya ternyata kacau-balau, kau yang harus bertanggung jawab," ujarku. "Kau yang akan merasa bersalah, dan kau
yang bakal disalahkan." Aku mengangkat tangan dan menyentuh pipinya. "Kau baik sekali. Tapi kau benar. Kali ini aku yang harus
mengambil keputusan." Aku menghela napas dan memandang ke sekeliling gudang
jerami. Baunya memang bukan main, dan kadang-kadang ramainya minta ampun. Burung-burung berdecit-decit, serigala melolong-
lolong, dan kuda meringkik-ringkik. Semuanya butuh perawatan, meski mereka juga takut terhadap perawatan yang kami berikan. Tapi
inilah satu-satunya tempat di seluruh dunia, di mana aku merasa sangat betah.
Melalui pintu gudang jerami yang terbuka, aku bisa melihat ladang jagung dan padang rumput yang membentang sampai ke hutan di kejauhan.
"Aku tahu ini tidak masuk akal," ujarku, "tapi laut membuatku agak ngeri. Di darat aku merasa aman. Aku memahami Bumi dan
segala sesuatu yang tumbuh di atasnya." Aku tertawa. "Maklum, aku besar di tanah pertanian. Aku sudah pernah bilang kan, bahwa
pertanian ini milik keluargaku sejak zaman perang dulu?" Jake mengedipkan mata. "Itu sih aku sudah tahu. Tahun lalu
aku kan ikut perayaan Thanksgiving bersama keluargamu di sini. Waktu itu nenek buyutmu bercerita panjang-lebar tentang sej arah
keluargamu." "Mulai dari zaman bumi masih dikuasai dinosaurus," aku
langsung menambahkan. "Yeah, nenek buyutku memang paling senang bercerita tentang sejarah keluarga."
Roman muka Jake kembali serius, bahkan nyaris tegang.
"Terserah kau saja, Cassie. Misi ini akan sangat berbahaya, dan kemungkinan besar hasilnya tidak terlalu bagus. Samudra kan luas
sekali. Tapi kau yang harus memutuskan."
"Yap," aku membenarkan, lalu menggelengkan kepala pelan-pelan. "Aku percaya mimpi ini bukan sekadar mimpi. Aku percaya
ada Andalite yang sedang dalam kesulitan... entah di mana. Dan dia butuh pertolongan."
"Oke, kurasa sudah cukup jelas," kata Jake. "Nah, sekarang bagaimana caranya supaya kita bisa mendatangi si Andalite?"
Aku mengerutkan kening sambil merenungkan berbagai kemungkinan. "Bagaimana kalau jadi ikan? Kita harus jadi sesuatu
yang sanggup bergerak cepat, dan tidak mudah dimangsa. Maksudku, bukan jenis ikan yang mungkin disambar ikan tuna yang lagi lapar."
Jake mengangguk. "Dan jangan lupa, kita juga harus bisa menyadap pola DNA-nya. Berarti sesuatu yang ada di The Gardens."
"Di sana ada singa laut. Dan lumba-lumba. Tapi kita tidak mungkin meniru mereka, kan?"
"Kenapa tidak?"
"Ehm... entahlah. Lumba-lumba? Mereka cerdas sekali. Rasanya... ehm... rasanya tidak pantas."
"Oke, terserah kau saja," ujar Jake sambil menyandarkan sekop ke dinding. "Aku mau pulang dulu. Aku harus belajar. Jangan sampai
ulanganku kacau lagi." "Ah, kau cuma takut kusuruh membersihkan kandang lagi," aku
berkomentar. "Cassie," sahut Jake, "aku lebih suka menyekop kotoran kuda
bersamamu daripada membuat PR sendirian." Aku menganggapnya sebagai pujian.
Jake pulang, dan aku malah lebih gelisah daripada sebelum ia datang tadi.
Chapter 8
SEUSAI sekolah keesokan hari, kami berempat naik bus
menuju The Gardens. Tobias tentu saja memilih terbang. Ia bilang ia akan tiba lebih cepat daripada kami, namun ia tidak tahu apakah ia
bisa bergabung dengan kami setelah sampai di sana. The Gardens merupakan taman hiburan raksasa yang antara lain
berisi kebun binatang. Hanya saja pihak pengelola tidak menyebutnya kebun binatang, melainkan "taman margasatwa." Ibuku bekerja di situ.
Ia kepala dinas kesehatan satwa, alias kepala dokter hewan. Aku punya kartu masuk khusus, sehingga aku bisa masuk kapan
saja. Tapi teman-temanku terpaksa membayar. Ini cukup menyulitkan,
karena Marco tidak pernah punya uang. Sejak ibu Marco meninggal, ayahnya jadi pemurung dan enggan keluar rumah. Ia bekerja
serabutan, dan mereka selalu kekurangan uang. Ayah Marco sangat terpukul oleh kematian istrinya, dan ia larut
dalam dukacita yang berkepanjangan. Aku bisa mengerti kesedihannya. Tapi di pihak lain, kematian memang di luar kekuasaan
manusia. Kematian sering datang secara tiba-tiba, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengatasinya. Aku menyadari hal ini
setelah mulai membantu pekerjaan Dad di klinik. Keadaan Marco memang sulit, karena ia merasa berkewajiban
mengurus ayahnya. Aku melirik Marco yang duduk di sampingku di dalam bus. Ia
sedang termenung-menung sambil memandang ke luar jendela.
"Kau habis potong rambut, ya? Kelihatannya keren juga." "Yeah?" Ia tampak terkejut. Ia mengusap rambutnya yang
panjang dan cokelat, lalu tersenyum tipis.
Aku mengerjakan beberapa soal PR matematika (idih!) sambil mendengarkan Walkman.
Ketika kami sampai, ternyata sedang ada diskon khusus untuk tiket masuk—beli dua tiket dan dapatkan tiket ketiga dengan harga
satu dolar. Untung saja Marco bawa uang kali ini, sehingga kami tidak perlu ribut-ribut.
Kami melintasi kawasan hiburan dan menuju ke taman margasatwa.
Jake memperhatikan permainan roller-coaster sambil menggelengkan kepala. "Dulu kupikir tak ada yang lebih seru
daripada ini," katanya. "Tapi sejak aku bisa menjelma jadi falcon, wahana ini jadi tidak ada apa-apanya. Apa asyiknya meluncur dengan
kecepatan sekitar seratus kilometer di atas rel, kalau aku bisa melesat dua kali lebih kencang sebagai falcon?"
"Semuanya memang jadi lain sejak kita bisa berubah wujud,"
Marco membenarkan. "Dulu aku ingin badanku berotot. Tapi kemudian aku berubah jadi gorila, dan tiba-tiba aku sanggup
mengangkat mobil. Jadi untuk apa aku harus repot-repot berlatih angkat besi?"
"Aku tidak setuju," ujar Rachel. "Aku justru semakin getol berlatih senam setelah jadi kucing. Gerak-gerik kucing begitu anggun
dan penuh percaya diri. Dan sekarang aku selalu berusaha meniru cara gerak kucing. Kalau aku lagi berjalan di balok keseimbangan, aku
berusaha membangkitkan rasa percaya diri itu." "Dan setelah itu kau tetap jatuh seperti biasanya, kan?" aku
berkelakar. "Memang sih," sahut Rachel sambil tertawa. Jarinya meniru
gerakan melangkah, lalu terbalik. "Boom. Aku terpeleset. Tapi paling
tidak sekarang aku penuh percaya diri kalau jatuh."
Kami sampai di gerbang taman margasatwa. Bagian paling depan ditempati mamalia laut. Bagian itu terdiri atas satu gedung
utama, dan beberapa kolam tanpa atap. Kami menuju kolam yang paling besar. Di tiga sisi terdapat
tribun untuk pengunjung yang ingin menyaksikan pertunjukan. Satu pertunjukan baru saja berakhir, dan ratusan orang sedang
meninggalkan tempat itu. Pertunjukan berikut masih beberapa jam lagi.
"Kita pilih waktu yang tepat," kata Jake. "Keadaannya tidak terlalu ramai."
"Ini kan hari kerja," sahutku. "Pada hari-hari kerja memang tidak terlalu ramai."
Kami berjalan melawan arus, dan sampai di tepi kolam. Kolamnya cukup besar. Kira-kira sebesar empat atau lima
kolam renang. Airnya biru sekali dan berkesan sangat bersih. Di salah
satu sisi terdapat pelataran kecil, tempat para pelatih berdiri untuk berkomunikasi dengan lumba-lumba asuhan mereka.
"Jadi, apa bedanya antara porpoise dan dolphin?" tanya Marco. "Keduanya sama-sama ikan, kan?"
BYURRR! Permukaan air yang tenang tiba-tiba bergolak beberapa jengkal
di samping kami. Aku dihujani percikan air. "Awww!" kami memekik bersamaan.
Ia melesat tegak lurus dari air, bagaikan torpedo berbentuk ramping dan berwarna kelabu. Panjangnya, dari kepala sampai ekor,
sekitar tiga setengah meter. Beratnya hampir dua ratus kilo. Ia melompat dari air, melayang di udara, menatap kami penuh rasa ingin tahu, lalu kembali menyelam. Gerakannya begitu mulus sehingga
nyaris tidak menimbulkan gelombang. "Itu yang namanya dolphin," aku berkata pada Marco.
"Oke, kalau itu aku setuju," ujar Marco. "Kalian lihat apa yang dilakukannya?"
Apakah kau pernah memperhatikan bahwa gerak-gerik atlet hebat selalu berkesan begitu ringan? Michael Jordan, misalnya? Setiap
gerakannya sempurna. Kita tahu ia pasti sudah berlatih jutaan jam, tapi kesan yang diberikannya selalu membuat kita berkata, "Ah, itu sih
keciiil. Itu sih gampang. Apa susahnya melayang-layang di udara?" Begitulah lumba-lumba di dalam air. Gerakannya serbaanggun.
Serbasempurna. Ikan berenang dalam air. Ikan hiu berenang, ikan tuna berenang,
ikan trout berenang, bahkan manusia pun berenang. Lain halnya dengan lumba-lumba. Mereka menganggap air sebagai milik mereka.
Sebagai mainan. Air bagaikan trampolin raksasa bagi lumba-lumba, dan mereka bermain-main seperti anak kecil yang sedang bergembira ria.
Sekadar menonton mereka beraksi sudah bisa membuat kita ikut bergembira. Tapi secara bersamaan kita pun akan sadar bahwa gerak-
gerik kita sendiri begitu kikuk dan canggung. Manusia mungkin makhluk paling cerdas di Bumi, tapi banyak spesies yang jauh lebih
tangkas daripada kita. "Dia berusaha merayu kalian untuk mendapat ikan lagi."
Kami semua berbalik dan melihat salah satu pelatih lumba-lumba, seorang wanita bernama Eileen.
"Oh, hai, Eileen," aku menyapanya. Wanita itu mengangguk ke arah si lumba-lumba yang kembali
melesat dari air. Kali ini ia bersalto di udara. "Joey memang pandai merayu. Dia selalu berusaha mendapatkan tambahan ikan."
"Dia hebat sekali," kataku.
"Ya, memang," Eileen membenarkan. Ia tampak bangga. Aku memperkenalkan Jake, Marco, dan Rachel. "Kami baru
saja mendapatkan informasi tentang lumba-lumba melalui Internet,"
aku berdalih, "dan sekarang kami jadi tertarik untuk melihat lumba-lumba yang asli."
"Oke, kami punya enam lumba-lumba di sini. Selain Joey masih ada Ross, Monica, Chandler, Phoebe, dan Rachel. Hei, kalian
berminat memberi mereka makan? Coba lempar ikan ke air. Mereka pasti langsung datang."
"Tapi nanti jadwal makan mereka jadi kacau." "Asal jangan terlalu banyak, tidak apa-apa. Dan jangan sampai
semua ikan dimakan Joey. Dia memang agak rakus." Eileen mengambil satu ember penuh ikan, lalu meninggalkan
kami. "Idih, amis benar baunya," Marco berkomentar. "Kau takkan
bilang begitu kalau sudah berubah jadi lumba-lumba," balas Rachel. Marco menatapnya sambil mengerutkan kening. "Masih ingat
nggak, bahwa beberapa hari lalu kita sempat jadi ikan? Ikan yang
mirip dengan ikan-ikan ini?" Ia benar. Tapi aku enggan mengingatnya. Sejak dulu aku selalu
dekat dengan hewan. Tapi ceritanya jadi lain banget kalau kita bisa menjelma menjadi macam-macam binatang.
Aku meraih seekor ikan dan melemparkannya ke air. Dan persis seperti yang dikatakan Eileen, lumba-lumba yang lain segera
bermunculan. "Wow! Kelihatannya mereka memang doyan makan," ujar
Rachel. Kawanan lumba-lumba itu segera mulai beraksi. Tampaknya
mereka tahu persis bagaimana membuat orang terkagum-kagum. "Lihat, tuh! Mereka nyengir terus," ujar Marco. "Seolah mereka
memang berpikir ada yang lucu."
"Dan mereka juga terus menatap mata kita," Jake menambahkan. "Kebanyakan binatang lain cuma menoleh sebentar,
sekadar untuk melihat apa yang terjadi di dekat mereka. Tapi lumba-lumba ini memandang seakan-akan pernah mengenal kita."
Jake membungkuk di tepi kolam untuk mengelus salah satu lumba-lumba. "Halo? Apakah kita pernah bertemu? Namaku Jake."
Si lumba-lumba menggoyangkan kepala maju-mundur, seolah-olah mengangguk sambil berceloteh dengan suaranya yang bernada
tinggi. "Wah, aneh sekali," ujar Rachel. "Kayaknya dia menjawab
pertanyaanmu, Jake." "Mungkin saja," kataku. "Lumba-lumba sangat cerdas lho.
Kecerdasan mereka memang berbeda dari kecerdasan manusia, tapi kurasa mereka termasuk makhluk paling pintar di dunia."
"Pasti aneh deh, kalau kita menjelma sebagai binatang yang begitu cerdas," Rachel bergumam.
"Ya," aku membenarkan. Aneh, dan... sepertinya tidak pantas.
Aku tidak tahu kenapa aku punya perasaan begitu, tapi yang jelas perasaanku tidak enak. "Jangan-jangan apa yang kita lakukan
sebenarnya sama saja dengan apa yang dilakukan kaum Yeerk." Rachel tampak kaget. "Jelas lain dong! Kaum Yeerk mengambil
alih tubuh manusia," katanya. "Lagi pula, mereka tidak berubah wujud, mereka hidup di dalam para korban mereka. Kita meniru pola
DNA seekor binatang untuk menciptakan makhluk baru." "Dan setelah itu kita desak nalurinya supaya kita bisa
mengendalikannya sepenuhnya," ujarku. "Tapi tetap lain," Rachel berkeras, meskipun tak lagi seyakin
tadi. "Aku perlu memikirkan soal ini," ujarku. "Terus terang,
perasaanku kurang enak."
Jake menghampiri Rachel dan aku. "Sebaiknya kita mulai saja." Aku mengangguk. "Ya. Sebelum kita kehabisan ikan untuk
mereka." Aku membungkuk di tepi kolam dan menepuk-nepuk kepala
lumba-lumba terdekat. Kulitnya kenyal seperti karet, tapi sama sekali tidak berlendir. Rasanya seperti bola karet yang basah.
Lumba-lumba itu menyeringai dan menatapku sambil memiringkan kepala.
Aku menyingkirkan semua kebimbangan. Aku memejamkan mata, dan memusatkan pikiran pada lumba-lumba itu. Seperti
biasanya selama proses penyadapan DNA, ia menjadi tenang sekali dan nyaris tidak bergerak.
Boleh? aku bertanya dalam hati. Tapi tentu saja ia tidak bisa menjawab....
Chapter 9
MALAM itu aku kembali bermimpi tentang suara di bawah
laut, suara yang memanggil-manggil pertolongan. Hanya saja kali ini suaranya sudah semakin lemah. Seperti radio yang baterainya sudah
lemah. Aku tidak yakin apakah ini mimpi sungguhan. Aku juga bermimpi tentang lumba-lumba di kolam di taman
margasatwa. Lumba-lumba yang diberi nama Monica. Mungkinkah ia sebenarnya punya nama sendiri? Sudah berapa lama ia hidup di kolam
itu? Dan kapan ia terakhir kali bebas mengarungi samudra luas? Besok hari Jumat. Sekolah diliburkan karena ada rapat guru,
sehingga kami bisa berakhir pekan selama tiga hari.
Aku menelepon Jake. "Hai, Jake. Kita jadi pergi ke pantai nanti?"
Kami selalu berhati-hati kalau berbicara melalui telepon. Saluran telepon bisa disadap. Lagi pula Tom, kakak Jake, mungkin
saja menguping lewat saluran paralel dan mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak boleh didengarnya.
"Jangan deh. Pantainya pasti ramai sekali hari ini," jawab Jake. "Aku sempat mengobrol dengan Marco, dan dia usul supaya kita main
ke sungai saja." Usul Marco masuk akal. Kami memang tidak mungkin berubah
wujud di pantai yang penuh orang. "Dua jam lagi aku ke sana. Aku masih ada tugas di klinik." Ternyata aku agak terlambat. Teman-temanku sudah menunggu
ketika aku tiba. Kami berkumpul di tempat yang pernah kudatangi bersama
Dad, sebuah taman kecil di dekat jembatan. Itu tempat yang baik
untuk memancing. Kira-kira satu kilometer dari sana, sungai bermuara ke laut. Hampir seluruh tepi sungai itu diapit pepohonan. Di sana-sini
berdiri rumah tinggal dan dermaga pribadi, tapi kami memilih tempat yang terlindung dari jembatan dan jauh dari perumahan.
"Hai, Cassie," Jake menyapaku sambil tersenyum. "Halo semuanya," sahutku. Aku melihat sesuatu bergerak di
salah satu dahan pohon. "Hei, Tobias. Bagaimana kabarmu?" <Biasa saja. Elang masih makan tikus.>
Aku tertawa. Dalam hati aku bersyukur Tobias sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa ia manusia bertubuh elang.
<Aku yang jadi pencatat waktu, supaya kalian tidak melewati batas waktu dua jam> kata Tobias. <Aku satu-satunya burung di dunia
yang punya arloji sendiri.> Aku menatapnya sambil mengerutkan kening, dan melihat arloji
digital mungil yang terpasang di sebelah kakinya.
<Rachel yang memasangnya,> ia menjelaskan. <Aku akan terbang terus di atas laut, dengan begitu keadaan cukup aman. Takkan
ada penggemar burung yang melihatku sambil terheran-heran, 'Hmm, sejak kapan elang ekor merah mulai pakai jam?' >
Jake berkata, "Kita sembunyikan baju kita dulu, lalu masuk ke sungai. Baru setelah di air kita mulai berubah."
"Oke, ujar Rachel. "Cassie? Mau duluan?" tanya Jake.
Aku mengangguk. "Boleh." Entah kenapa semua temanku sepakat menyatakan akulah yang paling menguasai proses morphing
atau metamorfosis. Aku sebenarnya tidak sependapat. Kami semua punya kemampuan yang sama.
Tapi menjelma menjadi binatang yang belum pernah kami tiru
memang cukup mendebarkan. Tak ada yang bisa menduga seperti apa rasanya. Tak ada yang tahu seberapa sulitnya mengatasi naluri dan
perasaan binatang tersebut.
Dan kali ini malah ada kekuatiran baru, paling tidak untukku. Apa yang akan kami temui saat menjelma sebagai lumba-lumba?
Apakah lumba-lumba bertindak berdasarkan dorongan naluri semata-mata, ataukah mereka punya jiwa yang mampu berpikir?
Aku melepaskan baju overall dan membuka sepatu. Seperti biasa kalau mau menjelma, aku cuma memakai baju senam. Kami bisa
memakai baju saat berubah wujud, tapi bajunya harus baju ketat. Baju yang longgar pasti bakal terkoyak-koyak. Dan sepatu? Jangan tanya
soal sepatu. Kami semua pernah mencobanya, dan setiap kali kami gagal.
Aku melangkah ke air. "Ih, dingin," aku melaporkan. Arus sungai menarik-narik kakiku.
Aku maju beberapa langkah, sampai airnya setinggi pinggang. Kemudian aku memusatkan pikiran pada lumba-lumba yang
telah menjadi bagian dari diriku.
Perubahan pertama tampak pada kulitku. Warnanya berubah dari cokelat menjadi kelabu pucat. Dan kalau disentuh rasanya seperti
karet, kenyal tapi kuat. Bagus. Aku memang ingin mempertahankan kakiku selama
mungkin. Aku ingin mengubah sebanyak mungkin bagian tubuhku, sebelum harus menyelam.
Aku mendengar bunyi berderak-derak yang kadang-kadang timbul kalau ada tulang yang bertambah panjang atau pendek. Dan
kurasakan wajahku mulai menggembung dan menjorok ke depan. "Wah, ini sih tidak asyik," Marco mengerang di tepi sungai.
"Kau tidak bisa dibilang tambah cantik, Cassie." Proses metamorfosis memang bukan sesuatu yang enak dilihat.
Orang yang tidak tahu apa-apa bisa menjerit-jerit kalau
menyaksikannya. Aku pernah melihat Rachel menjelma menjadi gajah, dan percayalah, adegan itu betul-betul mengerikan. Apalagi
kalau seseorang berubah menjadi ikan.
Aku tidak bawa cermin, tapi aku bisa membayangkan betapa seram penampilanku. Hidungku menyembul bagaikan leher botol dari
wajahku. Kulitku seakan-akan terbuat dari karet berwarna kelabu. Dan ketika aku meraba-raba belakang tubuhku dengan tangan yang
semakin kecil, aku merasakan sirip punggung yang muncul dari tulang belakang.
Dalam waktu singkat lenganku telah lenyap dan digantikan sepasang sirip dada. Badanku yang setinggi tiga meter ditopang kaki
manusia berukuran normal. Sudah waktunya untuk merampungkan proses metamorfosis.
Aku merelakan kaki manusiaku. Seketika aku jatuh ke air. Aku menoleh ke bawah dan melihat ekorku. Semua sudah
lengkap. Namun airnya terlalu dangkal sehingga aku nyaris tidak bisa mengambang. Aku mengibaskan ekor. Sejenak perutku menggesek dasar sungai yang berpasir, tapi kemudian aku berhasil mencapai air
yang lebih dalam. Dengan waswas aku menunggu otak lumba-lumba mulai
beraksi. Aku bersiap-siap menghadapi desakan naluri yang menghasilkan rasa lapar dan takut yang meletup-letup. Pengalamanku
selama ini menunjukkan itulah yang akan terjadi. Tapi kenyataannya sangat berbeda. Rasanya sama sekali bukan
seperti ketika aku menjelma menjadi tupai atau kuda. Otak lumba-lumba tidak dipenuhi rasa takut dan desakan naluri.
Lumba-lumba lebih seperti... aku tahu kedengarannya aneh, tapi aku merasa seperti anak kecil. Aku berusaha mendengarkan suara hati
si lumba-lumba, berusaha memahami kebutuhan dan keinginannya. Aku pasang kuda-kuda untuk menghadapi ledakan naluri binatang yang serbaprimitif. Lari! Berkelahi! Makan!
Tapi apa yang kubayangkan ternyata tidak terjadi. Oke, aku memang lapar. Tapi rasa lapar itu tidak menggebu-gebu dan tak
terkendali seperti yang dialami Jake ketika ia menjadi kadal, atau seperti yang dihadapi Rachel waktu ia menjelma sebagai cecurut.
Dan tak ada rasa takut. Sedikit pun tidak ada. Untung saja aku tidak menemui kesadaran diri seperti yang
dimiliki manusia. Aku langsung menarik napas lega. Tapi secara bersamaan—ini juga aneh—aku mendapat kesan bahwa si lumba-
lumba ingin bermain. Persis seperti anak kecil. Aku ingin mengejar ikan, menangkap ikan, makan ikan, tapi cuma untuk main-main. Aku
ingin melesat di permukaan laut, tapi juga cuma untuk main-main. <Cassie?> aku mendengar suara Tobias di dalam kepalaku.
<Kau baik-baik saja?> Baik-baik saja? aku bertanya dalam hati. <Ya, Tobias. Aku...
aku malah gembira sekali. Rasanya seperti... entahlah. Rasanya aku ingin mengajakmu bermain.>
<Bermain denganku? Ehm, sori, Cassie. Tapi elang tidak suka
air.> <Ayo, dong!> aku berseru pada yang lain. <Ayo! Tunggu apa
lagi? Kita berenang ke laut! Aku mau main!>
Chapter 10
<AYO! Cepat dong! Aku sudah tidak sabar nih!>
Aku tidak betah di sungai itu. Aku ingin menjelajahi samudra. Aku bisa merasakannya di dekatku. Aku seperti dipanggil-panggil.
Samudra. Aku sudah tidak sabar menunggu. Tempatku di sana. Di lautan yang luas.
Kami berenang berkelompok. Berempat. Tobias terbang di atas kami.
Kami berpacu dengan arus sungai, dan tak lama kemudian airnya mulai terasa asin. Kulitku dibasahi air laut. Rasanya seolah-olah ada yang membuka pintu toko mainan berisi semua mainan dari
seluruh dunia, dan aku punya waktu tak terbatas untuk memainkannya.
Teman-temanku berenang di sekelilingku. Mereka tampak samar-samar berbentuk sosok-sosok ramping yang gesit. Semua mirip
torpedo kelabu yang meluncur cepat ketika mereka menembus permukaan laut untuk menarik napas.
Aku hidup di dua dunia—di atas dan di bawah air. Aku melihat samudra yang berwarna biru kehijauan serta langit yang biru pucat.
Berkali-kali aku menembus batas cemerlang yang memisahkan keduanya.
Jake melesat melewatiku. Ia mengambil ancang-ancang, lalu melompat ke udara. Aku mendengar bunyi berdebur ketika ia terempas kembali ke air. Ia mengajakku bermain! Aku menyelam
dalam-dalam, sampai ke batas maksimal yang bisa kucapai. Kemudian aku mengibaskan ekor, mengencangkan sirip dada, dan melaju menuju
permukaan. Batas antara air dan udara kelihatan terang benderang di atasku.
Lebih cepat lagi! Lebih cepat lagi! Aku melesat bagaikan roket. <Yah haaaah!>
Aku menerobos permukaan laut dan melompat tinggi-tinggi. Kulitku dibelai angin hangat. Aku melayang-layang sejenak.
Permukaan air tampak berkilau-kilau. Kesannya begitu mengundang. Aku menundukkan kepala dan menyelam.
<Aaaaah!> Seketika aku disambut air yang dingin.
<Wow, ini baru asyik!> ujar Marco sambil tertawa. Suaranya bergaung dalam kepalaku.
<Yeah, ini memang seru,> sahutku. <Lebih seru dari seru,> Rachel menimpali. <Ayo kita coba lagi!> Jake mengajak. <Tapi kali ini sama-
sama!> Kami kembali menukik. Dasar samudra masih jauh di bawah
kami. Pasirnya bergelombang, dan di sana-sini mencuat batu karang dan rumput laut.
Kami menyelam sampai nyaris menyerempet dasar laut. Kemudian kami kembali meluncur menuju permukaan yang berkilau
keperakan. Tenaga kami seakan-akan tak ada habisnya. Kami beradu cepat, berputar-putar, meliuk-liuk, menerobos permukaan laut,
melayang-layang di udara. Rasanya seolah-olah seluruh samudra milik kami.
<Sampai kapan kalian masih mau main-main terus?> Ternyata Tobias. <Kalian sadar kalian telah menghabiskan empat puluh lima menit untuk bermain-main?>
Empat puluh lima menit? Aku tertawa. Siapa yang peduli?
<Halo semuanya? Aku tahu kalian merasa tidak terpengaruh oleh otak lumba-lumba, tapi itu tidak benar. Kalian harus bisa
menguasai diri. Ada alasan kenapa kalian di sini.> Alasan? Apa itu?
<Kalian seharusnya mencari... ehm... sesuatu,> ujar Tobias. <Sesuatu yang tidak biasa. Pesawat antariksa Andalite atau
sebangsanya.> Ya, ia benar. Benar sekali. Tapi apakah itu asyik? Apakah itu
permainan juga? <Cari pesawat antariksa. Siapa takut?> sahut Rachel. <Aku
yakin aku yang bisa menemukannya paling cepat.> <Enak saja!> balas Jake seketika. <Pasti aku yang duluan!>
<Mana pesawat itu? Ayo, siapa duluan sampai di sana!> Marco menantang.
<Aduh,> kata Tobias. <Tingkah kalian seperti anak lima
tahun!> Tapi aku terlalu gembira untuk menghiraukan komentarnya.
<Hei, siapa yang bisa berbuat begini?> Aku berkonsentrasi, dan tiba-tiba saja terdengar serangkaian bunyi klik yang keras dan cepat sekali.
Suara itu berasal dari balik keningku. <Wow, apa itu? >
Sekonyong-konyong—aku sendiri kaget—aku mendengar sesuatu dalam rangkaian bunyi itu. Aneh sekali. Aku seperti
mendengar sesuatu, padahal tidak. Gelombang bunyi klik yang kupancarkan itu seolah memantul pada sesuatu yang berada jauh di
bawah kami. Aku bisa merasakan pantulan bunyi yang mirip gema. Gema itu membawa setumpuk informasi. Sebagian informasi
tersebut membuatku gelisah.
<Teman-teman?> aku memanggil. <Agaknya ada sesuatu di bawah. Sesuatu yang... entahlah. Tapi yang jelas, aku tidak suka.>
Kawan-kawanku segera mulai memancarkan bunyi klik. Bunyi itu adalah cara lumba-lumba untuk mengetahui keadaan sekitar,
semacam radar bawah air. <Yeah,> ujar Marco. <Aku juga melihatnya. Maksudku, aku
tidak melihatnya, tapi aku tahu apa yang kaumaksud.> Aku menjelajahi otak lumba-lumba yang ada dalam kepalaku.
Aku menerobos tempat-tempat di mana naluriku tertindih di balik lapisan kecerdasan.
Kemudian sebuah bayangan muncul dalam benakku. <Aku tahu!> aku berseru, seakan-akan baru saja memenangkan lotere. <Ada
ikan hiu! > Serta-merta kami berhenti bermain-main. Teman-temanku juga
telah menggali naluri yang ada dalam diri masing-masing. Radar bawah air kami menunjukkan ada hiu besar di sekitar kami.
Dan satu hal sudah pasti: lumba-lumba dan hiu adalah musuh
bebuyutan.
Chapter 11
< EHM, aku bukannya mau menggurui kalian,> ujar Tobias,
<tapi tujuan kalian kemari bukan untuk bertempur melawan hiu.> <Dia benar,> kataku. <Lumba-lumba takkan menyerang hiu
kalau hiu itu tidak menyerang lebih dulu.> <Tunggu... aku menangkap gema lagi,> Rachel menyela.
<Hiunya lebih dari satu. Lalu masih ada sesuatu yang lebih besar daripada hiu.>
Aku menggunakan indra radarku untuk "meraba-raba" laut di depanku. <Kau benar,> ujarku. <Ada segerombolan hiu. Dan satu si besar.>
<Satu apa?> tanya Tobias. Aku jadi bingung sendiri. Apa maksudku sebenarnya? Istilah si
besar terlintas begitu saja dalam benakku. <Maksudku, ada ,ikan paus. Seekor ikan paus. Dia diserang kawanan hiu.>
<Si besar diserang?> tanya Marco. Nada suaranya tegang. Aneh, memang, tapi kami semua merasa tegang. Lebih dari
seharusnya. <Terserah kalian mau berbuat apa,> kata Rachel. <Kalau aku
sih tidak bisa diam saja.> <Wah, ini baru kejutan,> Tobias bergumam. Kedengarannya ia
kagum bercampur waswas. Kami berempat melesat maju, sekencang-kencangnya, menuju
ikan paus yang sedang dalam kesulitan.
<Aku melihat mereka,> Tobias melaporkan dari atas. <Mereka tepat di depan kalian. Kelihatannya ada empat-lima ekor hiu. Dan
seekor ikan paus yang besar. Wow, benar-benar besar.>
Kami sedang berenang dengan sekuat tenaga ketika aku melihat hiu yang pertama. Hiu itu lebih besar daripada aku. Panjangnya sekitar
tiga setengah meter. Dan di sisi tubuhnya terdapat garis-garis vertikal samar-samar.
Ia terlalu sibuk berburu sehingga baru melihatku pada detik terakhir. Tapi saat itu sudah terlambat. Aku mengerahkan segenap
tenaga dan menghantam insang hiu macan tersebut. WHOOOMP!
Rasanya seperti menabrak tembok batu. Moncongku memang kuat, tapi tubuh hiu itu seakan-akan terbuat dari baja.
Aku terpental. Kepalaku pusing. Tapi ketika aku berusaha memulihkan diri, aku melihat darah menyebar dari insang musuhku.
Aku melintas di bawahnya, dan kemudian aku melihat sosok ikan paus berukuran raksasa. Panjangnya lebih dari dua belas meter. Kedua sirip dadanya penuh remis, dan masing-masing lebih panjang
daripada aku. Ia berusaha naik ke permukaan untuk bernapas, tapi ia terus-
menerus diserang hiu. Ikan-ikan buas itu mengincar daging empuk di sekeliling mulutnya.
Aku jadi marah. Marah sekali. Tiba-tiba, dari kedalaman yang remang-remang, Jake dan
Rachel melesat ke atas bagaikan roket. WHOOOMP! Rachel menghantam sasarannya.
Hiu yang diincar Jake masih sempat mengelak. Jake hanya menyerempet kulit hiu macan yang bagaikan kertas ampelas. Sebelum
Jake sempat kabur, hiu itu sudah mengejarnya. <Jake! Kau dikejar!> <Oke!>
<Awas, Marco! Ada hiu di sebelah kiri!>
Hiu-hiu itu mampu berenang sekencang kami. Mereka juga sanggup berbelok-belok seperti kami. Tapi ada satu keuntungan di
pihak mereka—mereka tidak kenal takut. <Ia mengejarku! Ia mengejarku!>
<Aaaaarrrggghhh!> <Marco!>
<Aku tidak bisa melihat apa-apa! Di mana dia?> <Cassie! Awas, di bawahmu! Di bawahmu!>
Ini bukan permainan lagi. Aku mengawali pertarungan dengan penuh percaya diri. Aku ingin menolong paus yang malang itu. Tapi
sekarang aku sadar ini pertempuran hidup-mati. Ikan hiu adalah mesin pembunuh. Seluruh tubuh mereka dirancang untuk bertempur—mulai
dari kulit yang seakan-akan terbuat dari baja, sirip bagaikan golok yang siap menebas, sampai mulut yang lebar dan penuh gigi tajam.
Laut sampai bergolak akibat pertempuran maut di antara
mereka dan kami. Tiba-tiba saja aku sadar kami bisa kalah. Ada kemungkinan
kami akan celaka. Aku mungkin tewas.
Air laut menjadi keruh karena darah yang masih terus mengalir dari insang hiu yang kutabrak tadi.
Sekonyong-konyong dua hiu membelok ke arah lain. Mereka berbalik dan berenang menjauh. Mula-mula aku tidak mengerti
sebabnya. Tapi kemudian aku melihat mereka mengejar hiu yang telah
kubuat cedera. Mereka mengikuti jejak darah di dalam air. Kedua hiu itu sudah hampir menghilang dari pandangan ketika
mereka menyerang. Keduanya menyerang hiu yang terluka. Bertubi-tubi. Tak kenal ampun.
Hiu terakhir pun berpaling dari pertempuran dan menyusul mereka. Setelah gagal mendapatkan daging ikan paus, ia akan
memangsa saudaranya sendiri. <Semuanya baik-baik saja?> tanya Jake.
<Aku mengalami beberapa luka ringan, tapi selebihnya aku tidak apa-apa,> aku melaporkan.
<Aku juga,> ujar Rachel. Suaranya letih. Aku pun begitu. Aku merasa letih dan kehabisan tenaga. Pertempuran tadi paling-paling
berlangsung dua menit. Tapi dua menit itu terasa lama sekali. <Marco?>
<Kayaknya... kayaknya aku terluka,> jawabnya. Aku memandang berkeliling untuk mencarinya. Ia
mengambang di air, nyaris tanpa bergerak, kira-kira lima meter di bawahku. Kami segera berenang menghampiri Marco.
Kemudian aku melihat lukanya. Seandainya bisa, aku pasti
menjerit. Ekornya nyaris putus karena digigit hiu. Sirip ekornya menggantung lemas, tak berguna.
Kami berada beberapa kilometer dari daratan. Dan Marco takkan sanggup berenang sampai ke pantai.
Chapter 12
DIA bisa mati kalau kita tidak berbuat apa-apa,> seru Rachel.
<Cassie?> tanya Jake. <Apa yang harus kita lakukan?> <A-aku juga tidak tahu!>
<Cassie, kan kau yang paling mengerti soal binatang,> Jake mendesak.
Tapi aku sama sekali tidak merasa sebagai ahli satwa. Aku justru merasa tolol sekali. Ini semua salahku. Aku yang mengambil
keputusan untuk melaksanakan rencana gila ini. Aku yang bertanggung jawab.
<Ahhh,> Marco mengerang. <Aduh, sakit banget nih!>
<Ada apa?> Tobias memanggil dari atas. <Kedengarannya Marco kesakitan.>
<Memang,> sahut Jake dengan tegang. <Oh, aku tidak mau mati sebagai ikan,> seru Marco. <Aku
tidak mau mati di laut. Ibuku mati tenggelam. Aku akan mati seperti dia. Dan ayahku...>
<Kau harus berubah! Cepat!> aku memekik. <Kurasa itu jalan keluarnya. Kau harus kembali jadi manusia.>
<Tapi dia akan tenggelam kalau berubah sekarang,> kata Rachel.
<Tidak. Proses metamorfosis menggunakan DNA, kan? Unsur dasar yang membentuk seekor binatang.Marco bisa menjelma kembali sebagai manusia. Lukanya takkan terbawa, sebab DNA manusianya
tidak terpengaruh. Setelah itu, dia harus kembali lagi jadi lumba-lumba. Tubuh lumba-lumbanya yang sekarang memang cedera, tapi
kurasa DNA-nya tidak apa-apa. Mestinya dia jadi lumba-lumba yang sehat lagi.>
<Tapi, bagaimana kalau kau keliru?> tanya Rachel. <Tak ada pilihan lain,> Jake menyela. <Marco? Kau harus.
kembali ke wujud manusia. Kami akan menjagamu, supaya kau tidak tenggelam.>
<Jake... kau kan tahu aku tidak bisa berenang.> <Aku tahu, Marco. Kami akan menjagamu.>
<Oke. Yeah, oke. Kalau aku memang harus mati, lebih baik aku mati dengan tubuhku sendiri. Ahh. Ahhhh! Tapi sakitnya minta
ampun. Mungkin...> Kesadarannya mulai menurun. <Dia terlalu banyak kehilangan
darah,> ujarku. <Dia bisa pingsan. Marco. Kau harus berubah. Cepat!>
Kami bertiga membentuk lingkaran di sekelilingnya, sementara
Tobias berputar-putar di atas. Paus raksasa yang kami selamatkan berenang di samping kami.
Kemudian Marco mulai berubah. Sirip dadanya berubah menjadi lengan. Wajahnya semakin datar. Mulut lumba-lumba yang
selalu menyeringai kembali menjadi sepasang bibir manusia. Kulit Marco pun kembali ke warna aslinya, dan tak lama setelah itu baju
yang dikenakannya mulai tampak. Ekornya yang cedera parah terbelah dua. Jari kaki mulai terlihat
di ujung masing-masing belahan. Jari kaki manusia. <Dia berhasil!>
"Yeah, aku berhasil. Dan sekarang aku akan tenggelam!" <Tunggu,> kataku sambil berenang ke sisinya. <Pegang sirip
belakangku saja.>
Ia menaruh tangannya di pundakku, dan aku membantunya mengapung.
Tiba-tiba aku sadar bahwa ada sesuatu yang aneh. Dasar laut seakan-akan bergerak mendekatiku.
Ternyata bukan dasar laut. Melainkan si paus. Ia telah menyelam ke bawah kami, dan kini naik perlahan-lahan ke permukaan
air. <Awas! Ikan paus itu!> seru Rachel.
Tapi tepat pada saat itulah aku mengalami kejadian paling ajaib di hari yang penuh keajaiban itu.
Pikiranku, baik sebagai manusia maupun lumba-lumba, tiba-tiba terbuka, bagaikan sekuntum bunga menyambut sinar matahari.
Kepalaku mendadak dipenuhi suara yang megah membahana, namun sesungguhnya tidak terdengar. Tak sepatah kata pun terucap.
Namun setiap sudut dalam benakku langsung terisi satu perasaan sederhana.
Rasa terima kasih.
Si paus memberitahuku bahwa ia berterima kasih pada kami. Kami telah menyelamatkannya. Dan kini ia akan membalas budi
dengan menyelamatkan teman sekolah kami. <Mundur,> aku berkata kepada Rachel dan Jake. <Tidak apa-
apa kok.> <Yeah,> sahut Rachel dengan nada takjub. <Aku juga
mendengarnya. Atau merasakannya. Atau apalah.> Punggung paus itu muncul ke permukaan. Marco yang megap-
megap langsung terangkat dari air. Dan tahu-tahu ia sudah menduduki sesuatu yang menyerupai pulau kecil di tengah laut.
Tobias turun dan hinggap di sampingnya. Si paus memanggilku. Dengarkan aku, si kecil, ia berkata dengan suara yang kurasa
sanggup memenuhi seluruh jagat raya. Aku mendengarkannya. Aku mendengarkan suara tanpa bunyi
yang bergaung dalam kepalaku.
Aku tidak tahu berapa lama adegan itu berlangsung. Menurut Tobias sekitar sepuluh menit. Tapi selama sepuluh menit itu aku
benar-benar tidak sadar akan sekelilingku. Aku diajak menyelami sebagian kecil dari jiwa si paus.
Ia telah menempuh delapan puluh migrasi. Ia sempat mempunyai banyak pasangan, banyak induk, yang akhirnya mati satu
per satu. Anak-anaknya kini mengarungi semua samudra. Ia telah terlibat dalam banyak pertempuran, dan sudah
mengunjungi laut beku di ujung dunia sebelah selatan dan utara. Ia masih ingat zaman di mana manusia memburu paus dengan kapal
yang menyemburkan asap hitam. Ia ingat nyanyian sekian banyak paus yang telah mati
mendahuluinya. Seperti nyanyiannya sendiri kelak akan dikenang oleh paus yang lain.
Tapi sepanjang hayatnya yang sarat akan pengalaman, ia belum
pernah melihat salah satu dari si kecil berubah menjadi manusia. Marco, aku menyadari. Pasti Marco yang dimaksud si paus.
Dan si kecil? Barangkali itu sebutan yang dipakai bangsa paus untuk lumba-lumba?
Sebenarnya kami bukan... si kecil. Memang bukan. Kalian makhluk baru di samudra. Tapi bukan
satu-satunya yang baru. Aku tidak tahu persis apa yang hendak disampaikannya padaku.
Ia bicara melalui rangkaian perasaan yang bagaikan puisi. Tanpa kata-kata. Sebagian berupa nyanyian. Sebagian lagi bisa kutangkap hanya
seperti aku menangkap gelombang radar bawah air. Apa lagi yang baru? Ia memperlihatkan sebuah gambaran, sebuah kenangan. Ada
hamparan rumput yang luas, lengkap dengan pohon-pohon dan sungai kecil. Semuanya di bawah air. Dan di hamparan rumput itu melintas
makhluk yang tampak seperti kombinasi antara rusa, kalajengking, dan juga manusia.
Di mana ini? aku bertanya dengan bahasa batin yang dipertegas oleh serangkaian bunyi klik.
Dan ia memberitahuku. Tiba-tiba aku terbangun. Paling tidak, begitulah rasanya. Si
paus memutuskan komunikasi batin di antara kami. Dan aku seakan-akan baru sadar dari mimpi.
<Kau tidak apa-apa?> tanya Jake. <Sebenarnya kami sudah agak kuatir, tapi tampaknya si paus tidak ingin kami ikut campur.>
<Aku baik-baik saja,> ujarku. <Bahkan lebih dari itu.> <Marco sudah siap berubah lagi,> Jake melaporkan.
<Hmm,> aku bergumam. Aku masih hanyut dalam bayangan yang kuperoleh dari sebuah jiwa yang jauh lebih besar dan jauh lebih tua, dan begitu menakjubkan.
<Halo? Waktu kalian tinggal dua puluh lima menit,> Tobias mengingatkan. <Dan kalian lumayan jauh dari pantai.>
Aku mendengar Marco mengatakan sesuatu, tapi ia bicara dalam bahasa manusia, bukan melalui pikiran. Dengan telinga di
bawah air, aku sulit mendengar ucapannya. Aku menyembulkan kepala dan melihatnya kembali ke wujud
lumba-lumba. Tak lama kemudian ia merosot dari punggung si paus, dan
langsung menyelam. Sirip dadanya terbentuk kembali. Begitu pula moncongnya.
Disusul ekornya. Sempurna, sehat, dan tanpa cedera sedikit pun. Kami menuju ke daratan. Kami merasa letih, tapi selamat. Rasanya aneh, meninggalkan si paus di tengah laut. Tapi setelah
kami berenang sekitar satu kilometer, aku tiba-tiba mendengar nyanyiannya—rangkaian nada yang mengalun perlahan dan
menggetarkan hati.
<Kenapa dia tidak bernyanyi sewaktu kita ada di sana tadi?> Jake bertanya dengan heran.
Aku tersenyum dalam hati. Dan karena aku lagi jadi lumba-lumba, tampangku tentu saja juga cengar-cengir.
<Dia bernyanyi bukan untuk yang kecil,> aku menjelaskan. <Dia bernyanyi untuk kaum induk.>
<Apa maksudmu?> tanya Marco. <Dia bernyanyi untuk mencari pasangan.>
<Ya ampun. Jadi dia keliling-keliling untuk cari cewek. Yeah, aku mengerti. Tapi sebenarnya aku penasaran juga. Apakah dia tahu
bahwa dia telah membantu menyelamatkan nyawaku?> <Marco, dia tahu hal-hal yang kau dan aku takkan pernah
tahu.>
Chapter 13
KEESOKAN harinya aku mengunjungi Marco di rumahnya.
Ia dan ayahnya tinggal di kompleks apartemen. Kompleks itu sudah agak tua dan agak kumuh. Letaknya di ujung daerah tempat
tinggal Jake dan Rachel. Aku baru beberapa kali main ke sana. Tampaknya Marco agak rendah diri karena ia tidak punya uang
banyak. Dulu ia bertetangga dengan Jake, saat ibunya masih hidup dan
sebelum ayahnya berhenti bekerja. Aku mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara Marco. "Dad,
ada orang di luar. Tolong pakai jubah mandi dulu, oke?"
Aku harus menunggu sebentar sebelum pintu terbuka. Marco tampak kurang senang melihatku.
"Cassie? Kenapa kau datang kemari?" "Aku perlu bicaradenganmu."
"Bicara? Soal apa?" "Soal kemarin," kataku.
Ia terdiam sejenak. "Ehm, aku mau menemani ayahku hari ini, oke? Kau mau... ehm... mungkin kami mau keluar nanti."
"Bagus," ujarku. Ayah Marco terlihat di belakang. Ia mengenakan jubah mandi dan duduk di sofa. Pandangannya tertuju ke
pesawat TV. Para ayah memang biasa nonton TV pada pagi hari di akhir pekan. Tapi aku mendapat kesan bahwa ayah Marco selalu duduk di depan TV.
"Begini, Marco, aku cuma ingin bicara sebentar. Boleh aku masuk?"
"Jangan, jangan," ia segera melarang. Malah ia yang melangkah keluar. Jauh di bawah kami terdapat kolam renang. Tapi airnya tidak
ada, dan dasar kolamnya tertutup dedaunan. "Marco, aku perlu bicara tentang kejadian kemarin."
"Ada apa sih?" "Kau hampir celaka kemarin. Dan akulah yang salah kalau
sampai terjadi apa-apa. Kan aku yang mendesak kalian untuk melacak sumber suara dalam mimpiku. Jake sempat bertanya apakah rencana
itu jadi kita laksanakan atau tidak, dan aku bilang jadi." Marco geleng-geleng kepala. "Cuma itu? Begini, kejadian
kemarin bukan salahmu. Yang jadi masalah justru seluruh urusan Animorphs ini. Dari pertama memang sudah berbahaya. Sangat
berbahaya. Dan kita semua sudah tahu itu." Aku angkat bahu. "Tapi selama ini semua rencana selalu berasal
dari orang lain."
"Oh, aku mengerti sekarang. Kau tidak suka memikul tanggung jawab?"
Aku meringis. Betulkah itu? Betulkah aku tidak berani mengemban tanggung jawab? "Aku tidak mau teman-temanku
celaka." "Siapa sih yang mau celaka," balas Marco sambil tertawa. "Aku
amat sangat keberatan kalau harus celaka." Ia menjadi lebih serius, dan bahkan agak sedih. "Tapi memang
sih, yang namanya musibah bisa saja terjadi. Dan kita takkan pernah tahu kapan musibah akan menimpa kita."
Aku bersandar ke pagar dan memandang kolam renang yang kering. "Aku sudah sering berurusan dengan kematian," ujarku. "Di klinik kami selalu saja ada binatang yang gagal diselamatkan.
Kadang-kadang mereka bahkan terpaksa disuntik mati—untuk mengakhiri penderitaan mereka. Tapi ayahku yang memutuskannya.
Bukan aku. Dia dokter hewan. Aku cuma asistennya."
"Hei, aku masih di sini, aku masih hidup," Marco berkata sambil menepuk dada. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tak ada
yang memaksaku ikut. Aku sendiri yang memutuskan." "Apakah kau sempat takut kemarin?"
Cukup lama ia diam saja. Ia cuma menghampiriku dan ikut bersandar di pagar. "Belakangan ini aku selalu takut, Cassie," ia
akhirnya menjawab. "Aku takut melawan kaum Yeerk, dan aku takut membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku tidak melawan
mereka. Setiap kali aku melihat Tobias, aku teringat apa yang terjadi padanya, dan itu juga membuatku takut setengah mati. Bagaimana
kalau suatu hari aku yang tidak bisa kembali ke wujud manusia? Tapi yang paling utama, aku takut pada... pada dia."
Aku tidak perlu bertanya siapa dia. Visser Three. "Ketika aku pertama kali melihatnya, di tempat pembangunan, ketika dia membunuh... membantai si Andalite." Marco memaksakan senyum.
"Kejadian itu terus terbayang di depan mataku, setiap hari. Begitu juga kolam Yeerk." Ia menggelengkan kepala. "Seandainya aku bisa
melupakan semua itu." "Ya," aku membenarkan. "Memang banyak hal yang
menakutkan akhir-akhir ini." "Jadi, apakah aku takut kemarin? Tentu saja. Aku takut sekali.
Masa bertempur melawan makhluk Hork-Bajir, Taxxon, dan Visser Three belum cukup? Masa kita juga harus bertempur melawan ikan
hiu?" Ia tertawa, dan mau tidak mau aku ikut tertawa. Selama beberapa menit kami cuma berdiri sambil cekikikan
seperti orang gila. Kami tertawa karena lega, karena kami masih hidup.
"Ehm, omong-omong, sebenarnya aku mau menunggu kita
berkumpul dulu sehingga aku bisa memberitahu kalian semua," kata Marco. "Tapi tampaknya kita punya masalah."
"Masalah apa?"
"Aku membaca dua artikel di koran tadi pagi. Satu tentang orang yang mencari kapal pembawa harta yang tenggelam di lepas
pantai. Satu lagi tentang ahli biologi kelautan yang akan melakukan penelitian bawah laut di lepas pantai sini."
"Terus?" "Sepertinya laut di daerah sini mendadak jadi sangat menarik.
Pemburu harta? Bersamaan dengan penelitian bawah laut?" "Pengendali?"
Ia mengangguk. "Kelihatannya begitu. Kurasa itu semua cuma samaran. Itu pasti mereka. Dan agaknya yang mereka cari sama
dengan yang kaucari." Aku langsung lemas. Gambaran yang kuperoleh dari si paus
muncul kembali dalam benakku. Seruan minta tolong yang kudengar dalam mimpi juga kembali terngiang-ngiang di telingaku.
"Aku... aku tidak akan membawa kalian ke samudra lagi,"
bisikku. "Siapa tahu kali ini kita tidak beruntung." Marco tampak salah tingkah. "Cassie, kau tahu bagaimana
pendapatku tentang semua ini. Menurutku, kita harus mendahulukan keselamatan kita sendiri. Dan keselamatan keluarga kita." Ia menoleh
ke pintu apartemennya. "Di pihak lain... setelah apa yang dilakukan si Andalite untuk kita, rasanya aku tak pantas disebut manusia kalau aku
tidak berusaha menolong siapa pun yang terjebak di laut sana." "Aku tidak tahu siapa yang memanggilku," ujarku. "Aku
bahkan tidak tahu apakah benar-benar ada yang memanggil." "Tapi menurutmu ada Andalite yang butuh pertolongan."
"Rasanya begitu. Tapi Marco, aku tidak pasti. Kalau sampai ada yang cedera... atau malah terbunuh... hanya karena mimpiku—aku tidak sanggup mengambil keputusan seperti itu."
"Oke, tapi apakah kau sanggup memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa? Itu juga sebuah keputusan."
Mau tidak mau aku tersenyum. "Marco, untuk orang yang selalu bercanda dan mengganggu orang lain, kau benar-benar cerdas."
"Yeah, aku tahu, tapi jangan beritahu yang lainnya. Bisa-bisa citraku rusak nanti."
Aku sudah hendak pergi. "Kau tahu, apa yang paling aneh kemarin?" tanya Marco.
"Apa?" "Gerombolan ikan hiu itu. Mereka begitu ganas: Kita sibuk
memikirkan para Hork-Bajir,Taxxon, dan Visser Three. Tapi kita lupa bahwa di Bumi pun ada makhluk-makhluk yang tak kalah buas dan
berbahaya. Lucu sekali kan, kalau kita akhirnya mati bukan karena makhluk asing, tapi karena makhluk yang memang hidup di Bumi."
Aku sama sekali tidak melihat di mana letak lucunya. Marco meringis melihat wajahku yang kaku. "Oke, mungkin bukan lucu ha-ha-ha, tapi lucu aneh."
Chapter 14
"OKE," ujar Jake, "inilah informasi yang sudah terkumpul
sampai sekarang. Tapi sebagian besar memang masih berupa dugaan." Kami kembali berkumpul di kamar Rachel, beberapa jam
setelah aku mengunjungi Marco. Tobias bertengger di ambang jendela. Ia merasa tidak nyaman berada di dalam ruangan untuk waktu
lama. Ia ingin bisa merasakan embusan angin dan melihat langit yang luas.
"Pertama, kita menduga paling tidak ada satu Andalite yang selamat dalam pertempuran melawan kaum Yeerk, dan dia sekarang terperangkap di bawah laut."
"Mudah-mudahan saja dia kuat menahan napas," Marco berkelakar.
"Kedua, Cassie yakin dia bisa menemukan Andalite ini, berkat informasi yang diperolehnya dari ikan paus kemarin."
Kami semua pasang tampang serius selama sepuluh detik, lalu langsung tertawa terbahak-bahak.
"Informasi dari seekor ikan paus," Marco mengulangi sambil cekikikan.
<Aku agak bingung nih. Yang aneh itu pengalaman kita akhir-akhir ini, atau aku sendiri?> tanya Tobias.
"Aneh?" Marco langsung berkoar. "Coba kupikir dulu. Ada burung yang bisa bicara. Dan burung itu menanyakan informasi tentang makhluk asing yang kita dapatkan dari seekor ikan paus yang
kita selamatkan dari serangan hiu. Kita sendiri waktu itu berubah jadi lumba-lumba... Hmm, rasanya biasa-biasa saja, tuh. Masa sih begitu
saja sudah heran?"
Jake tersenyum. "Oke, sekarang kita kembali ke pembicaraan tadi. Cassie dan aku sempat melihat-lihat peta. Menurut Cassie, lokasi
yang harus kita datangi cukup jauh di tengah laut. Waktu dua jam tidak cukup untuk berenang bolak-balik ke sana."
"Berarti tidak mungkin dong," Marco berkomentar. Jake menoleh ke arah Rachel. "Aku sempat bicara dengan
Rachel tadi, dan dia punya ide." Rachel, yang semula berbaring santai di tempat tidur, segera
berdiri. "Kita akan menumpang kapal. Tapi pertama-tama kita harus berubah dulu jadi burung camar."
Marco menghela napas. "Aku paling tidak senang kalau ada rencana yang dimulai dengan 'pertama-tama kita harus berubah dulu'."
"Kita berubah jadi burung camar," aku melanjutkan. "Setelah itu kita terbang ke jalur pelayaran. Kita hinggap di kapal tanker atau kapal kontainer atau kapal apa saja yang berlayar ke arah yang tepat.
Lalu kita kembali ke wujud manusia dan beristirahat sebentar. Kita tunggu sampai kapal itu tiba cukup dekat ke tujuan kita, setelah itu
baru kita terjun ke laut. Kita berubah lagi jadi lumba-lumba, dan selanjutnya kita berenang."
"Wah, kedengarannya gampang sekali," ujar Marco. "Tapi lebih gampang lagi kalau kita sekalian saja ke rumah
Chapman, supaya dia bisa memanggil Visser Three untuk menghabisi kita. Kita tak perlu capek, dan hasilnya tetap sama."
Jake menghela napas. "Rencana ini memang berbahaya dan penuh risiko, dan kemungkinan gagalnya cukup besar. Ditambah lagi,
seperti yang diceritakan Marco tadi, apa yang kita cari mungkin juga sedang dicari oleh para Pengendali."
"Ah itu satu alasan lagi untuk membatalkan rencana gila ini,"
ujar Marco. "Kalau begitu kita ambil keputusan berdasarkan suara terbanyak
saja," Jake mengusulkan.
"Aku ikut," Marco menyahut seketika. Sepersekian detik kemudian Rachel berkata, "Aku ikut." Seperti
biasanya. Semua menatap Marco dengan tercengang-cengang. "Dari dulu
aku memang ingin mendahului Rachel, sekali saja," Marco menjelaskan.
"Tobias?" tanya Jake. <Suaraku tidak masuk hitungan kali ini. Soalnya aku tidak bisa
ikut. Aku tidak sanggup terbang begitu lama tanpa tempat bertengger. Sori.>
"Tapi kau bermimpi sama seperti Cassie," balas Jake. "Jadi bagaimana, rencana ini kita laksanakan atau tidak?"
Tobias menatapku dengan matanya yang selalu menyorot tajam. <Ya, mimpi Cassie dan aku memang sama. Dan kurasa itu bukan mimpi biasa.>
"Oke, kita akan pergi," Jake segera berkata. "Besok. Pagi-pagi sekali. Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Semakin lama urusan ini
kita tunda, semakin besar kemungkinan kaum Yeerk mendahului kita."
Kami meninggalkan rumah Rachel. Marco langsung pulang. Tobias terbang entah ke mana. Jake dan aku sempat berjalan sama-
sama, meskipun rumahnya tidak searah dengan rumahku. "Aku mendapat kesan Tobias merasa agak tersisih," ujarku.
"Ada baiknya kau bicara dengan dia nanti. Coba ingatkan, sudah beberapa kali dia menyerempet bahaya."
"Itu ide bagus," kata Jake. Selanjutnya kami berjalan sambil membisu. Inilah salah satu hal
yang kusuka dari hubungan kami. Kami bisa sama-sama diam tanpa
merasa canggung. "Ini benar-benar berbahaya, ya?" aku bertanya padanya.
Ia mengangguk.
Sekonyong-konyong aku berhenti. Aku tidak tahu kenapa, tapi sebenarnya sudah lama ada yang ingin kukatakan padanya. Aku
meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat dengan kedua tanganku. "Jake?" ujarku.
"Ya?" Hampir saja aku mengatakannya, tapi tiba-tiba saja aku jadi
salah tingkah. Akhirnya aku cuma berkata, "Hati-hati. Jangan sampai kau celaka, oke?"
Ia menampilkan senyumnya yang menawan. "Hei, aku tahan banting. Aku tidak bisa celaka."
Nada suaranya begitu yakin. Tapi ketika kami berpisah dan aku menuju ke rumahku, aku sempat melirik ke langit. Dan sekilas aku
melihat burung berbulu kemerahan melintas di depan matahari yang sedang terbenam. Tobias. Teman kami, yang terperangkap untuk selama-lamanya dalam tubuh yang bukan tubuhnya sendiri.
Dan seketika aku sadar: musibah bisa menimpa siapa saja.
Chapter 15
<HEI! Ada sisa sandwich! Isi sosis lagi!>
<Coba lihat tuh! Apa itu?> <Piza! Piza! Hmm, pasti renyah sekali!>
Untung saja Klinik Perawatan Satwa Liar (yang juga dikenal sebagai gudang jeramiku) tidak pernah kekurangan pasien burung
camar. Dengan mudah kami berhasil mendapatkan DNA burung camar.
Kemudian kami berempat berubah wujud, sementara Tobias menonton dari balok kayu di bawah atap.
Aku sudah pernah menjelma menjadi burung. Tepatnya menjadi
osprey, salah satu jenis elang. Tapi burung camar berbeda daripada elang. Pertama, burung
camar hidup dari sisa makanan. Mereka bukan pemburu. Jadi ketika kami terbang dari jendela terbuka di loteng gudang jerami, aku
memperhatikan dan merasakan hal-hal yang berbeda pula. Naluri camarku tidak mendesakku untuk mencari tikus atau binatang lain
yang berlarian di rumput. Pikiranku jauh lebih terbuka. Aku mencari segala sesuatu—pokoknya apa saja—yang mungkin bisa dimakan.
Untung saja otak burung camar cukup mirip dengan otak burung lain yang pernah kami tiru, sehingga kami tidak menemui
kesulitan untuk mengendalikannya. Kami tidak perlu membuang-buang waktu untuk membiasakan diri.
Tapi begitu mulai terbang, kami semua langsung sibuk mencari-
cari makanan. <Hei! Lihat, tuh! Ada kentang goreng di bawah.>
<Di samping mobil itu ada sisa cokelat.>
<OOoooh, ooh! Coba lihat tong sampah di belakang McDonald's itu!>
Kadang-kadang cara berpikir seekor binatang harus kita terima apa adanya.
<Pantainya sudah kelihatan,> Jake berkata ketika kami mengepakkan sayap, lalu melayang sejenak, lalu mengepakkan sayap
lagi. Terbang sebagai osprey ternyata lebih mudah. Kita tidak perlu
banyak mengepakkan sayap. Tapi paling tidak, begitu kami terbang di atas air kami bisa
berhenti mencari-cari makanan. Meskipun hal itu tidak sepenuhnya benar.
<Hei! Kelihatannya ada sekantong keripik kentang mengapung di air. >
Kami terbang rendah, hanya beberapa meter di atas permukaan
laut. Tidak seperti elang, yang bisa memanfaatkan angin termal untuk melayang sampai ke awan.
Tapi Tobias juga tidak terlalu jauh di atas kami. Di atas air tidak ada angin termal, dan ia pun terpaksa mengepakkan sayap agar bisa
tetap terbang. <Hei, coba lihat tuh,> ujar Rachel. <Di sebelah kiri.>
Sosok-sosok ramping berwarna kelabu tampak membelah air. Naik, turun, naik, turun, menerobos batas keperakan antara langit dan
laut. Rupanya sekawanan lumba-lumba. <Kadang-kadang aku merasa kita beruntung sekali,> Rachel
kembali berkata. <Seperti sekarang, misalnya. Kita bisa terbang. Dan nanti kita bisa seperti mereka, menjelajahi lautan yang luas.>
<Lalu ketemu ikan hiu lagi,> Marco berkomentar.
<Tapi tetap asyik,> balas Rachel. <Ada kapal di depan,> Jake mengumumkan.
<Kau baru lihat sekarang?> tanya Tobias sambil tertawa. <Hah-hah. Ternyata mata burung camar tidak terlalu tajam, ya? Kapal itu
kapal kontainer bernama Newmar. Asalnya dari Monrovia. Mau tahu apa warna rambut nakhodanya?>
<Dasar tukang pamer,> Jake menggerutu. Mata elang memang luar biasa. Selama cuaca cukup cerah,
Tobias bisa membaca buku dari jarak lebih dari seratus meter. Kami harus bekerja keras agar bisa mengejar kapal yang
berlayar cukup cepat. Ketika kami berhasil mendekatinya, tenagaku sudah nyaris terkuras habis.
Kapalnya besar sekali. Lambungnya dicat biru, dan geladaknya lebih panjang daripada lapangan sepak bola. Anjungan dan semua
ruangan lainnya berada di buritan. Bisa dipastikan para awak kapal berkumpul di situ. Karena itu kami terbang ke haluan sambil berharap menemukan tempat sepi untuk bersembunyi.
Geladak kapal dipenuhi tumpukan kontainer, sementara ratusan kontainer lagi berderet-deret di palka di bawah.
Kami menyelinap ke celah sempit di antara dua tumpukan kontainer di dekat haluan kapal. Rasanya seperti dikelilingi dinding.
Dinding logam yang menjulang tinggi di atas kepala kami. <Tobias? Berapa sisa waktu kami?> tanya Jake.
Tobias menundukkan kepala agar dapat melihat arloji kecil yang terpasang di kakinya. <Tinggal sekitar setengah jam.>
Kami memutuskan untuk kembali ke wujud manusia dulu. Celah di antara kedua tumpukan kontainer terasa lebih sempit lagi
setelah kami berubah. "Ih, ternyata di sini lebih dingin daripada dugaanku," ujarku.
Kami bertelanjang kaki di geladak yang terbuat dari baja. Sinar
matahari tidak bisa menerobos ke dasar celah sempit tempat kami bersembunyi.
"Inilah yang paling kubenci," Marco menggerutu. "Kapan kita bisa berubah dengan memakai sepatu, dan kalau bisa sekalian dengan
baju hangat? Ayo dong, Cassie. Kau kan yang paling jago. Coba pikirkan gimana caranya. Masa sih setiap kali kita harus kedinginan?"
"Tapi kau pantas pakai baju ketat seperti ini," Rachel menggodanya.
"Oh ya, belum lagi soal penampilan," Marco langsung menambahkan. "Sebenarnya kita perlu baju seragam. Baju seragam
yang keren—dan hangat. Coba, bagaimana kalau musim dingin nanti? Bagaimana kita bisa menyelamatkan Bumi kalau kita selalu menggigil
kedinginan?" "Aku punya pertanyaan yang lebih mendesak," sela Rachel.
"Bagaimana kita bisa tahu bahwa kita sudah sampai? Di tempat tujuan kita, maksudku?"
Jake mengerutkan kening. "Hmm, kecepatan kapal ini sekitar,
ehm, tiga puluh kilometer per jam? Berarti setelah satu jam kita sudah menempuh tiga puluh kilometer, ya kan?"
Rachel geleng-geleng kepala. "Hebat. Satu jam dengan kecepatan tiga puluh kilometer per jam, dan dia langsung tahu bahwa
hasilnya tiga puluh kilometer. Aku tidak menyangka kau jago matematika, Jake."
Jake cuma cengar-cengir. <Sebenarnya, kecepatan kapal ini sekitar dua puluh delapan
kilometer per jam,> Tobias angkat bicara. Kami menatapnya dengan bingung.
<Aku suka membaca speedometer mobil-mobil kalau aku lagi terbang di atas jalan raya. Lama-lama aku jadi bisa menaksir kecepatan.>
"Oke, kurang-lebih dua puluh delapan kilometer per jam, lurus ke selatan," Marco bergumam. "Berarti kita akan mendekati lokasi
yang menurut Cassie harus kita datangi."
Aku meringis. Setiap kali namaku disebut sehubungan dengan rencana berbahaya ini, aku pasti langsung gugup setengah mati.
<Aku harus kembali sekarang,> Tobias berkata dengan nada menyesal. <Aku tidak yakin aku kuat terbang dua puluh delapan
kilometer tanpa istirahat. Sedangkan kalau aku tetap di sini, bisa-bisa aku sampai di Singapura nanti.>
"Singapura?" tanya Rachel. <Yeah. Aku sempat melihat buku catatan nakhoda waktu kita
terbang lewat anjungan tadi. Kapal ini menuju ke sana.> Tobias segera berangkat. Arlojinya ia tinggalkan untuk kami.
Menunggu satu jam benar-benar menjemukan, soalnya tak ada yang bisa kami lakukan selain menebak apa isi kontainer-kontainer di
sekeliling kami. Tapi di pihak lain, kami tahu petualangan yang menanti kami pasti takkan membosankan.
Karena itulah kami tidak keberatan menunggu. Kami duduk
berdekatan agar tetap hangat meskipun diterpa angin laut. Setelah beberapa waktu Jake melirik arloji yang ditinggalkan
Tobias. "Sudah kira-kira satu jam. Bagaimana, Cassie?" "Hmm, bagaimana ya?" aku bergu mam. "R-rasanya aku harus
menjelma dulu sebagai lumba-lumba, supaya aku bisa lebih memahami informasi yang kudapat dari si paus. Sebagian besar
berupa gambaran. Dan di antaranya ada yang menyangkut bunyi, arus, dan suhu air, dan hal-hal yang tidak kelihatan dari permukaan."
Jake merenung sejenak. "Oke, kita mulai saja. Ayo, kita ke pinggir."
Kami bangkit, lalu meluruskan kaki dan lengan yang kaku karena kedinginan. Dengan hati-hati kami menyusuri deretan kontainer, menuju ke sisi kiri kapal.
Seluruh geladak .dikelilingi pagar yang terbuat dari lempengan baja. Tingginya kira-kira sepinggang. Jake kuatir kami akan terlihat
dari anjungan, dan karena itu kami maju sedikit ke tempat aman.
Kami membungkuk melewati pagar dan menatap permukaan laut di bawah. Jaraknya seakan-akan sejuta mil dari tempat kami
berdiri. Marco membelalakkan mata. "Astaga. Kita harus melompat ke
situ?" "Untuk burung camar atau lumba-lumba sih tidak ada apa-
apanya, tapi untuk manusia ini memang lumayan seram," aku membenarkan.
"Kita tidak bisa berubah di atas sini. Kita takkan sanggup melewati pagar kapal setelah menjelma jadi lumba-lumba," kata
Rachel. "Betul juga," ujar Jake. "Berarti kita harus terjun dalam wujud
manusia. Kecuali Marco. Soalnya dia tidak bisa berenang. Mungkin dia bisa berubah di sini, setelah itu kita semua mendorongnya melewati tepi kapal."
Rachel mengerutkan kening. "Jake? Kalau Marco berubah, beratnya bisa mencapai dua ratus kilo."
Jake tampak cemas. "Aku lupa memperhitungkannya waktu aku menyusun rencana."
Aku pun merasa waswas. Masa belum apa-apa rencana kami sudah terancam gagal?
"Barangkali lebih mudah kalau aku berubah sambil bersandar ke pagar," kata Marco. "Tunggu sampai sesaat sebelum kakiku hilang.
Lalu kalian tinggal mendorongku sedikit. Aku akan berubah sepenuhnya setelah masuk ke air."
"Kecuali kalau kau pingsan waktu terempas ke laut, dan langsung tenggelam," aku berkomentar datar. "Sudahlah, kita lupakan saja semuanya. Lebih baik kita berubah jadi burung camar lagi dan
langsung terbang pulang. Rencana ini terlalu gila." "Gila?" Marco mengulangi. "Hei, seharusnya aku yang bilang
begitu. Lagi pula, sekarang sudah tanggung."
"Masa bodoh!" seruku. Aku sendiri kaget mendengar suaraku. "Pokoknya, aku tidak mau bertanggung jawab kalau salah satu dari
kalian sampai celaka. Ini tidak mungkin berhasil. Aku tidak tahu di mana kita sekarang. Aku tidak tahu kita harus ke mana setelah ini.
Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan!" Marco tertawa. "Kau memang pandai memompa semangat,
Cassie. Aku jadi makin tidak sabar nih." Hampir saja aku membentaknya. Hampir saja aku menghardik,
"Dengar, Marco, ini bukan lelucon." Tapi ketika aku menatapnya, aku melihat wajahnya sudah mulai menggembung dan membentuk
moncong yang panjang menyeringai. Ia sudah mulai berubah.
"Aku takkan...," ia berkata. Tapi mulutnya sudah tak berfungsi. Ia semakin besar. Kaki manusianya tampak kewalahan
menopang tubuhnya. Kedua lengannya menjadi pipih, dan semakin
lama semakin menyerupai sirip. "Sekarang!" seru Jake. Serta-merta ia meraih lengan sirip
Marco. Rachel dan aku melompat maju dan cepat-cepat memegang kaki Marco yang sudah mulai mengerut.
"Angkat!" Jake memberi aba-aba. Marco sudah berwujud setengah lumba-lumba ketika ia jatuh ke
belakang melewati pagar, dan tercebur ke laut. "Sekarang giliran kita," kata Jake.
"Yii-haa!" Rachel memekik sambil nyengir lebar. Ia melompat ke atas pagar, merentangkan lengan untuk menjaga keseimbangan,
lalu terjun dengan kepala lebih dulu. Jake dan aku berpandangan. Kami sama-sama mengerutkan
kening.
"Dasar Rachel," ia bergumam sambil geleng-geleng kepala. "Dia memang cewek bandel."
"Hei, dia kan sepupumu," aku berkomentar.
"Aku hitung sampai tiga. Satu, dua..." "Ahhhhhhhh!" Aku memanjat pagar kapal dan melompat sejauh
mungkin.
Chapter 16
"AAAAAAHHHHHH!"
Rasanya lama sekali aku melayang-layang di udara. BYUUUUUUUR!
Kakiku menerobos permukaan air. Gelembung-gelembung udara di sekelilingku membuat air seakan-akan mendidih.
Airnya sendiri ternyata dingin sekali. Dingin seperti es. Sedangkan lambung kapal tanker itu berjarak hanya beberapa jengkal
dari tubuhku. Dinding baja itu melaju cepat sekali. Aku mengayunkan kaki dan naik ke permukaan. Sejak kecil aku
sudah bisa berenang, tapi aku tetap ngeri karena berada di air yang
begitu dalam. Ini bukan kolam renang atau danau. Ini samudra. Tiga puluh kilometer dari daratan.
Kepalaku menyembul di permukaan, dan aku langsung menarik napas dalam-dalam. Seketika aku terbatuk-batuk karena air laut yang
tanpa sengaja terhirup olehku. Dari atas kapal tadi, laut berkesan cukup tenang. Tapi kini aku dikelilingi ombak yang menjulang tinggi.
Teman-temanku tidak kelihatan. Yang terlihat cuma lambung kapal. Ayo Cassie, aku berkata dalam hati. Kau harus berubah. Cepat.
Jangan buang-buang waktu. Sebagai manusia aku merasa tak berdaya di tengah samudra
yang luas. Seandainya aku tidak memiliki kemampuan metamorfosis, aku takkan sanggup bertahan sampai satu jam.
Aku mulai merasakan perubahan yang terjadi pada diriku.
Mula-mula kupikir aku akan mati. Tubuhku semakin berat, padahal kakiku belum berubah. Aku takkan sanggup menopang tubuh yang
beratnya hampir lima kali lipat berat semula dengan sepasang kaki
manusia yang begitu lemah. Apalagi kedua lenganku sudah menjelma menjadi sirip.
Aku tergulung gelombang, dan kembali terbatuk-batuk. Aku sadar aku takkan bisa bertahan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu
membiarkan diriku terbenam dalam air. Mata manusiaku berubah menjadi mata lumba-lumba, dan
penglihatanku di bawah air langsung bertambah terang. Aku melihat beberapa sosok lain menendang-nendang dan menggeliat-geliut di
sekitarku. Jake, yang baru setengah berubah. Rachel, yang sudah hampir selesai. Dan Marco, yang memperhatikan kami sambil
menyeringai. Lalu aku mengibaskan ekorku yang baru terbentuk, dan aku pun
tahu bahwa aku selamat. Proses metamorfosis telah usai. Aku telah menjelma menjadi lumba-lumba di dunia lumba-lumba. Semua ketakutan dan kecanggungan manusia yang kurasakan sebelumnya
langsung menguap. Segala sesuatu terasa sempurna.
<Semuanya oke? > Satu per satu mereka menjawab. Kami berhasil. Sayang ini baru
bagian awal misi kami. <Huh, pengalaman seperti ini cukup satu kali saja deh,> Marco
berkata. <Moga-moga kita tak perlu lagi mengulanginya.> < Cassie? >
Aku berusaha meredam pikiran manusiaku. Aku perlu mendengarkan naluri si lumba-lumba. Aku perlu memahami instruksi
si paus. Dan itu tidak mungkin kulakukan sebagai manusia. <Tidak jauh,> ujarku. <Kita cuma beberapa... ehm... sori, tidak
ada kata untuk menjelaskannya. Tapi yang jelas, tidak jauh dari sini.>
Rasanya aneh bahwa kali ini aku yang memimpin. Masalahnya, hanya aku yang tahu jalannya. Mula-mula kami berenang di dekat
permukaan. Tapi ini agak membingungkan bagiku, sebab paus biasa
berenang di kedalaman laut. Apa yang dilihat dan diketahui si paus berbeda dari apa yang dilihat dan diketahui olehku sebagai lumba-
lumba. Meskipun demikian aku tahu bahwa kami menuju ke arah yang
benar. Melalui radar bawah airku, aku mendapat gambaran samar-samar mengenai bukit, lembah, dan celah di dasar laut. Aku
merasakan desakan arus dan perubahan suhu air di sekelilingku. Dan akhirnya aku langsung tahu begitu kami sampai di tujuan.
<Oke, semuanya. Tarik napas dalam-dalam,> ujarku. Kami muncul di permukaan, mengembuskan napas, lalu menghirup udara
laut yang bersih dan segar. <Hei! Apa itu? > tanya Rachel.
<Ada apa?> aku balik bertanya. <Di sebelah sana. Ada helikopter.> Kami memperhatikan helikopter itu terbang rendah dan
perlahan sekali di atas air. Jaraknya masih beberapa ratus meter dari tempat kami, tapi terus mendekat. Tampaknya helikopter itu menyeret
sesuatu yang terikat pada seutas kabel. <Pasti semacam sensor,> Jake menduga-duga. <Kelihatannya
mereka mencari sesuatu di dalam air,> Marco menimpali. <Itu mereka,> kataku.
Tak ada yang membantah. Kami semua tahu bahwa helikopter itu diterbangkan oleh para Pengendali. Kaum Yeerk sudah datang.
Chapter 17
<SEMUA tarik napas sebanyak mungkin,> aku berkata sekali
lagi. <Kita akan menyelam ke tempat yang sangat dalam.> Kami menyelam dan berenang hampir tegak lurus ke bawah.
Turun, turun, turun. Semakin lama semakin jauh dari permukaan laut yang berkilau-kilau. Semakin jauh dari matahari. Semakin jauh dari
udara yang kami butuhkan, baik sebagai manusia maupun sebagai lumba-lumba.
Sekawanan ikan tertangkap gelombang radar bawah airku, persis di bawah kami. Tapi kami kemari bukan untuk makan siang. Kami menerobos kawanan itu dan terus berenang ke bawah, sampai
dasar samudra mulai terlihat. Kemudian kami berenang menyusuri dasar laut, bagaikan
pesawat jet tempur yang terbang rendah di atas pepohonan. Melewati hamparan rumput laut yang bergoyang-goyang. Menerobos kawanan
ikan yang segera menghambur ke segala arah. Melintasi batu karang yang penuh kerang dan dihuni ribuan kepiting, udang, cacing, dan
keong. Di depan menghadang semacam bukit rendah memanjang.
Kami melayang di atasnya. <Rasanya aku perlu tarik napas dulu,> ujar Rachel. <Seberapa
jauh lagi...> Dan tiba-tiba kami semua melihatnya. Kami memang melihatnya, tapi kami nyaris tidak percaya pada
apa yang kami lihat. Akhir-akhir ini aku sudah terbiasa melihat hal-hal yang tidak
masuk akal—makhluk asing dari luar Bumi, pesawat antariksa, teman-
temanku yang menjelma sebagai binatang. Tapi apa yang kulihat sekarang benar-benar sukar dipercaya.
Bentuknya bulat. Bulat seperti piring. Piring yang amat sangat besar. Garis tengahnya pasti sekitar satu kilometer.
Semuanya diselubungi kubah tembus pandang. Kubah dari kaca bening, atau entah bahan apa yang digunakan kaum Andalite sebagai
pengganti kaca. Dan di dalam kubah itu, terlindung dari air bertekanan luar
biasa, terbentang sesuatu yang menyerupai taman. Sebuah taman yang tertutup kubah plastik bening, di dasar laut.
Ada rumput berwarna kebiruan. Pohon-pohon yang mirip kembang kol. Dan pohon-pohon lain yang mirip terung, tapi berwarna
jingga dan biru. Dan di tengah-tengah menghampar telaga dengan air berwarna biru jernih. Kristal-kristal hijau yang tembus pandang tampak menyembul dari permukaan air, seperti serpih-serpih salju.
<Wow,> Marco bergumam. <Ya ampun,> Jake berkomentar.
<Inikah yang kaulihat dalam mimpimu, Cassie?> Rachel bertanya padaku.
<A-aku sempat melihat bayangan... sepintas lalu... tapi ini! Ini luar biasa.>
<Kelihatannya ada pintu masuk di bawah sana,> ujar Marco. <Kalian lihat bagian yang menjorok ke luar?>
<Kita coba saja,> kata Jake. <Aku sudah mulai kehabisan napas.>
Kami meluncur menuju bagian kubah yang tampak berbeda. Besarnya kubah itu semakin terasa ketika kami mendekat. Kesannya seperti stadion sepak bola. Tapi lebih besar lagi.
<Memang betul itu pintu,> Rachel melaporkan. Ia berenang mendahului kami. <Semacam pintu kaca. Di baliknya ada ruangan
kecil, lalu ada pintu lagi yang membuka ke dalam kubah. Di samping pintu sebelah luar ada panil kecil berwarna merah.>
<Kita coba masuk saja,> Marco mendesak. <Kalau tidak, kita harus naik ke permukaan.>
<Panil merah itu pasti untuk membuka pintu,> ujar Jake. <Oke, mudah-mudahan saja bisa.> Ia segera menempelkan moncongnya.
Seketika pintu luar membuka. <Satu per satu saja,> kata Marco. <Supaya kita tahu aman atau
tidak.> <Waktunya tidak cukup,> sahutku. Paru-paruku sudah serasa
mau pecah. Aku butuh udara. Kami berempat berenang melewati pintu sebelah luar. Di balik
pintu ada panil merah lagi. Aku mendorongnya dengan moncongku, dan pintu itu langsung menutup kembali. Kami berada di ruangan kecil berdinding kaca. Kami bisa melihat ke segala arah, kecuali ke
arah kubah. Sisi itu tidak tembus pandang. <Sudah kusangka bahwa cepat atau lambat kita bakal jadi
penghuni akuarium,> Marco berkomentar. Air di ruangan kecil itu terisap keluar, perlahan-lahan.
Permukaan air semakin turun. Aku segera naik untuk menghirup udara.
<Oke, kita bisa berubah sekarang,> kata Jake. Aku segera memulai proses perubahan. Air di ruangan itu masih
setinggi pinggang ketika aku menjelma kembali sebagai manusia. "Kita berhasil," kata Marco setelah mulutnya kembali normal.
"Aku tidak tahu di mana kita berada, tapi kita berhasil." Air di ruangan kecil itu kini telah terisap habis. Kami berdiri
bertelanjang kaki, hanya dengan baju ketat yang basah kuyup. Aku
melihat satu panil merah lagi di samping pintu yang menuju ke kubah. "Siap?" tanya Jake.
"Makin cepat makin baik," balas Marco.
Jake menekan panil itu dengan sebelah tangan. Pintu itu langsung terbuka. Kami disambut udara hangat yang harum sekali.
Sepintas lalu aku melihat... Menyusul kilatan cahaya terang benderang...
Dan tiba-tiba aku tidak sadarkan diri. Ebukulawas.blogspot.com
Chapter 18
AKU membuka mata. Pandanganku tertuju lurus ke atas. Aku
telentang, dikelilingi samudra. Jauh di atas aku melihat ikan berwarna-warni. Di atasnya lagi tampak batas cemerlang yang memisahkan laut
dan langit. Tapi jaraknya jauh sekali. Aku menoleh ke samping. Jake terbaring di sisiku. Ia belum
siuman. Di bawah kepalaku ada rumput biru. Aku menoleh ke arah berlawanan.
"Ahhhh!" <Jangan bergerak. Kau cuma kulumpuhkan sementara. Tapi
kalau kau bergerak, kau akan kuhancurkan.>
Ia berdiri dengan empat kaki langsing. Sepintas lalu ia mirip rusa atau kijang dengan bulu biru muda bercampur cokelat.
Bagian atas tubuhnya kekar, seperti makhluk setengah kuda setengah manusia yang hidup dalam legenda, dengan sepasang lengan
kecil dan tangan berjari banyak. Wajahnya berbentuk segitiga. Matanya besar dan bersudut lancip. Di tempat di mana seharusnya ada
hidung, hanya ada celah vertikal. Dan di tempat di mana seharusnya ada mulut, malah tidak ada apa-apa.
Sepasang tanduk menyembul dari kepalanya. Tapi tanduk itu bukan tanduk. Di ujung masing-masing tanduk terdapat mata yang
bisa berputar ke segala arah, tidak tergantung pada kedua mata utamanya.
Makhluk itu berkesan lemah lembut, bahkan hampir bisa
dibilang rapuh. Tapi kesan itu langsung buyar begitu aku melihat ekornya. Ekornya seperti ekor kalajengking. Tebal dan kokoh. Di
ujungnya terdapat duri melengkung yang berkilau-kilau.
Aku segera tahu makhluk apa yang kuhadapi. Aku tidak mungkin keliru. Itu makhluk Andalite.
Dan aku juga tahu apa yang ada di tangannya. Benda itu mirip sekali dengan pistol sinar Dracon kaum Yeerk.
Senjata itu diarahkannya padaku. Teman-temanku mulai siuman.
"Ada apa... oh," Marco memekik tertahan. "Moga-moga ini Andalite sungguhan dan bukan Visser Three."
Sekonyong-konyong, tanpa peringatan, ekor si Andalite melesat ke depan. Durinya berhenti hanya beberapa senti dari wajah Marco.
<Visser Three! Jangan sebut nama itu!> si Andalite berkata melalui pikirannya.
"O-o-o-oke," jawab Marco tergagap. "Terserah kau saja. "Kami temanmu," kataku. <Aku tidak kenal kalian,> balas si Andalite. Tapi ia menarik
mundur ekornya, dan Marco baru berani bernapas lagi. "Kami kemari karena panggilanmu," aku berkata. "Kami datang
untuk menolongmu." <Panggilanku? Kalian mendengarnya?> Ia menatapku dengan
keempat matanya. <Siapa kalian?> "Manusia. Penghuni planet Bumi."
<Aku pernah melihat gambaran kalian. Tapi panggilanku ditujukan kepada para sepupuku. Bagaimana mungkin kalian
mendengarnya?> "Aku tidak tahu," jawabku terus terang. "Aku mendengarnya
dalam mimpi. Begitu juga salah satu temanku. Kami menduga ada Andalite yang butuh pertolongan. Kami ingin menolong."
<Bagaimana kalian bisa tahu tentang kami? Manusia tidak tahu
soal Andalite. Kalian tidak menjelajahi antariksa. Kalian hanya tahu planet kalian sendiri. Itulah yang dikatakan sepupu-sepupuku yang
lebih tua.>
"Kami pernah bertemu salah satu dari bangsamu. Kami bersamanya waktu... waktu dia terbunuh."
Si Andalite memicingkan mata utamanya. <Siapa Andalite yang kaubilang mati terbunuh?>
Aku berusaha mengingat-ingat namanya. Ia sempat menyebutkannya, tapi namanya sukar diingat karena cukup panjang
dan aneh. "Aku tidak tahu nama panjangnya. Tapi sebagian adalah Pangeran Elfangor."
Si Andalite tersentak, seakan-akan disambar petir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ekornya yang mematikan tampak melengkung
tinggi. <Pangeran Elfangor? Tak ada yang sanggup membunuh
Elfangor. Dia pejuang paling tangguh yang pernah hidup. Tak ada yang bisa membunuhnya!>
"Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri," kata Jake.
"Kami ada di sana waktu dia tewas." <Siapa? Siapa yang membunuh Elfangor?>
"Dia yang namanya tak boleh kami ucapkan," jawabku pelan-pelan.
Si Andalite menegakkan kepala, namun ekornya terkulai lemas di rumput. Ia menurunkan senjatanya. <Dia kakakku. Apakah...
apakah dia gugur sebagai pejuang sejati? Dalam pertempuran?> Jake yang menjawab. "Dia mengorbankan nyawa untuk
melindungi kami, dan sampai akhir hayatnya dia terus melawan kaum Yeerk. Pada saat terakhir dia menyerang dengan semua senjata yang
dimilikinya." Sejenak si Andalite memejamkan mata utamanya. <Kakakku
memang pejuang sejati. Para sepupu menyayanginya. Dan para musuh
takut padanya. Tak ada pujian yang lebih hebat untuk pejuang Andalite.>
Aku terkejut mendengar ucapan Jake berikutnya. "Aku juga kehilangan kakak. Dia telah dijadikan salah satu dari mereka. Dia
dijadikan Pengendali." Si Andalite membuka mata. <Dan kalian, Manusia? Kalian
mengabdi kaum Yeerk atau bertempur melawan mereka?> "Mereka musuhku. Musuh kami."
<Senjata apa yang kalian pakai? Kalian memiliki senjata andalan?>
"Andalan kami hanya senjata yang diberikan kakakmu," sahutku. "Kemampuan metamorfosis."
<Elfangor memberikannya pada kalian? Ini belum pernah terjadi!> Ia tampak risau. <Keadaannya pasti parah sekali kalau
Elfangor sampai memberikan kemampuan itu pada kalian.> "Keadaannya memang lebih gawat dari yang kauduga," kata
Marco. "Menurut kami, kaum Yeerk tahu kau ada di sini. Sebuah
lempengan logam dari pesawat Andalite terdampar di pantai. Dan sekarang mereka sudah di sini, di permukaan air."
Untuk pertama kali si Andalite tampak ragu-ragu. <Apa rencana kalian?>
"Kami akan berusaha membawamu dari sini dan mencarikan tempat berlindung yang baru," kataku.
<Kalian datang khusus untuk menyelamatkanku? Betulkah itu?>
"Ya." Ia tersenyum melalui matanya, persis seperti Pangeran
Elfangor. <Kalian pasti lelah setelah menempuh perjalanan ke sini. Kalian perlu istirahat.>
"Ya, sebentar saja," jawabku.
"Apa sih ini?" tanya Rachel. "Kubah ini, maksudku? Kelihatannya seperti taman."
<Ini bagian utama pesawat Dome, pesawat kubah bangsa Andalite. Di sinilah kami tinggal. Mesin dan anjungan perang terdapat
di bagian memanjang yang menjorok ke bawah, sedangkan kubah ini berada di atas.>
"Jadi bentuknya seperti jamur. Atau seperti payung," aku menyimpulkan.
Si Andalite menatapku sambil mengerutkan kening. Ia tampak bingung.
"Ya sudah. Aku cuma asal ngomong kok," ujarku. <Dalam pertempuran sengit di sekitar planet kalian, kubah ini
dilepaskan dari sisa badan pesawat.> "Kenapa?"
Si Andalite mengais-ngais rumput dengan kaki depannya. <Aku... aku terlalu muda untuk bertempur, menurut hukum bangsaku. Lagi pula, kapal kami lebih gesit tanpa kubah.>
"Kau masih anak-anak? Maksudku, kau masih kecil?" tanya Marco.
<Ya.> "Dan sekarang hanya kau yang tersisa? Kau satu-satunya
Andalite di sini?> <Ya. Aku sendirian. Kami tidak menyangka pesawat Blade
akan muncul di sini. Aku melihat sisa pesawat kami terbakar habis. Dan sistem pengendali kubah ini rusak karena sinar Dracon. Aku
jatuh. Aku tercebur ke samudra dan tenggelam sampai ke dasar. Sudah berminggu-minggu aku di sini. Sudah berminggu-minggu aku
menunggu para sepupuku datang untuk menyelamatkanku. Akhirnya aku mengambil risiko dengan mengirim pesan melalui gelombang cermin. Cara kerjanya...> Ia terdiam. Ia tampak salah tingkah. <Tidak
seharusnya aku menjelaskan kemampuan teknologi Andalite. Kakakku... kakakku pasti marah seandainya ia tahu.>
"Jadi, hanya kau yang selamat," ujarku dengan sedih.
<Hanya aku,> sahutnya. <Tak ada pangeran lagi. Tak ada pejuang lagi.>
Aku langsung patah semangat. Dan tampaknya teman-temanku juga begitu. Semula kami berharap kami akan menemukan pangeran
atau pemimpin pasukan Andalite. Kami berharap ia bisa mengambil alih komando. Kami berharap ia tahu lebih banyak daripada kami.
"Kami juga masih kecil," ujarku. "Menurut hukum yang berlaku di Bumi, kami terlalu kecil untuk berperang."
<Tapi kalian tetap bertempur!> "Karena kami merasa tidak punya pilihan lain. Oh ya, kita
belum sempat berkenalan. Ini Jake, Rachel, Marco. Aku Cassie. Dan ada satu lagi rekan kami. Namanya Tobias."
<Aku Aximili-Esgarrouth-Isthil.> Kami menatapnya dengan tercengang. "Ax," kata Marco. "Aku senang bisa berkenalan denganmu."
<Siapa pangeran kalian?> Satu per satu kami menoleh ke arah Jake.
"Hei, jangan macam-macam," sergah Jake. "Aku bukan pangeran."
Tapi si Andalite sudah melangkah maju. Ia menundukkan kepala dan menurunkan ekor. <Aku akan bertempur untukmu,
Pangeran Jake, sampai aku bisa kembali ke duniaku sendiri.>
Chapter 19
< INI pohon derrishoul,> kata Ax. Ia menunjuk pohon mirip
terung yang tumbuh tinggi tegak lurus. Ia mengantar kami berkeliling sementara kami memulihkan tenaga yang sempat terkuras dalam
proses metamorfosis terakhir. <Dan itu kami sebut enos ermarf. >
"Yang mana?" Aku tidak tahu apa yang ditunjuknya. <Itu. Tepi telaga yang menjorok ke hamparan rumput dengan
diapit pohon-pohon derrishoul.> "Kalian punya istilah khusus untuk itu?" tanyaku. <Kami punya nama untuk semua hubungan antara air dan langit
dan tanah,> ia menjelaskan. <Dan juga untuk semua posisi matahari dan bulan di langit.>
Rachel melirik ke arahku sambil menggerakkan bibir. "Dia lucu," katanya tanpa bersuara. Kemudian ia mengedipkan mata.
Aku tidak yakin dengan pendapatnya. Penampilan Andalite antara lucu dan mengerikan. Oke, mata tambahan di ujung tanduk dan
kenyataan bahwa mereka tidak punya mulut masih bisa diabaikan, tapi ekor yang seperti ekor kalajengking itu benar-benar seram. Ekor itu
mengingatkanku pada ikan hiu. "Kalian semua tinggal di sini?" Marco terheran-heran.
"Maksudku, di tempat terbuka? Di padang rumput?" <Di mana lagi? Di sini kami bisa berlari-lari. Bagaimana kami
bisa hidup kalau tidak ada tempat untuk berlari-lari?>
"Berada di sini rasanya seperti berada di planet lain," Jake berkomentar. "Seperti berada di dunia Andalite."
<Memang benar. Kami biasa memboyong tempat tinggal kami ke antariksa. Ini membuat kaum Yeerk gusar,> ia menambahkan
dengan geram. "Kenapa begitu?" tanya Marco. "Apa urusan mereka?"
<Karena mereka benci, dan mereka mau menghancurkannya. Kaum Yeerk mau merebut dunia kami dan membuatnya tandus seperti
dunia mereka sendiri. Hal yang sama akan mereka lakukan terhadap planet kalian, kecuali kalau ada yang bisa mencegah mereka.>
Aku meraih lengan Ax. "Apa... apa maksudmu? Mereka mau membuat Bumi jadi tandus?"
Ax menatapku dengan kedua mata utamanya. <Kaum Yeerk selalu berbuat begitu. Begitu mereka berhasil menguasai sebuah
planet, mereka mengubahnya sesuai keinginan mereka. Mereka menyisakan spesies tumbuhan dan hewan secukupnya untuk menghidupi para induk semang—manusia, kalau di "Bumi—
selebihnya mereka musnahkan.> Ax hendak berpaling, tapi aku menggenggam lengannya erat-
erat. "Tunggu, tunggu. Rasanya aku belum mengerti. Mereka memusnahkan makhluk hidup?"
<Ya. Mereka akan menjadikan Bumi semirip mungkin dengan dunia mereka sendiri. Mereka akan memusnahkan sebagian besar
spesies tumbuhan dan hewan, kecuali yang mereka makan.> Aku melepaskan lengannya. Kepalaku berdenyut-denyut, dan
aku nyaris kehilangan keseimbangan. Aku serasa baru ditabrak mobil. "Tidak mungkin," bisikku. "Itu tidak mungkin. Kau bilang begitu
hanya karena kau tidak suka kaum Yeerk." Teman-temanku juga kaget. Mereka diam seperti patung. Ax menatap kami satu per satu.. <Jadi kalian belum tahu?
Kalian belum tahu siapa yang kalian hadapi?> "Kami cuma tahu bahwa mereka menguasai pikiran manusia,"
ujar Rachel pelan.
<Ya. Dan itu salah satu kejahatan mereka. Tapi bukan satu-satunya. Bahkan bukan kejahatan yang paling besar. Kaum Yeerk
adalah pemusnah dunia. Pembunuh segenap kehidupan. Mereka ditakuti dan dibenci di seluruh galaksi. Mereka seperti wabah yang
menyebar dari satu dunia ke dunia lain. Mereka menyebabkan kesengsaraan, perbudakan, dan penderitaan.>
Aku menggigil. Aku merasa begitu kecil, lemah, dingin, dan ngeri. Aku memandang berkeliling, tapi lingkungan Andalite yang
subur pun tidak mampu membuatku merasa hangat. Samudra yang mengelilingi kubah seakan-akan sudah menunggu untuk menyergap
kami semua. <Di seluruh galaksi tinggal tiga bangsa yang masih melawan
kaum Yeerk,> Ax berkata dengan bangga. <Dan hanya bangsa Andalite yang bisa menghentikan mereka.>
"Masih berapa lama lagi para sepupumu kembali ke Bumi?"
aku bertanya padanya. Ia terdiam sejenak. <Satu tahun, menurut hitungan kalian.
Mungkin dua.> "Dua tahun!" Jake langsung pucat. Aku menghampirinya dan
mengait lengannya. "Lima anak melawan musuh yang telah menghancurkan separuh galaksi? Kami berlima?"
Ax kembali tersenyum melalui matanya. <Bukan lima, Pangeran, tapi enam,> ia berkata.
"Hmm," Marco bergumam. "Kalau berenam sih tidak ada masalah," ia berkata sinis.
"Bagaimana kaum Yeerk bisa menghimpun kekuatan yang begitu besar?" tanya Rachel. "Bagaimana ini bisa terjadi? Kalau bangsa Andalite memang begitu hebat, kenapa kalian tidak dari dulu
mencegah mereka? Bagaimana mungkin sekelompok makhluk busuk yang hidup dalam kubangan menjadi begitu berkuasa?"
Ax menatapnya dengan tajam. <Ada beberapa hal yang tidak bisa kuceritakan.>
Rachel memicingkan mata. "Apa? Kaubilang planet Bumi sudah menuju kehancuran dan hanya kita yang bisa mencegahnya, tapi
kau masih juga mau main rahasia-rahasiaan? Konyol banget!" Si Andalite tampak gusar, namun sikap Rachel tak kalah
garang. "Ehm, rasanya aku sudah siap untuk berubah lagi," aku berkata
untuk meredakan suasana yang tegang. Rachel marah karena ia takut. Aku tahu bahwa penjelasan Ax membuatnya terguncang. Kami semua
merasa terguncang. Tekanan yang kami alami sudah cukup besar selama ini. Kami tidak siap menerima kenyataan bahwa nasib setiap
makhluk hidup di Bumi tergantung pada kami. Tanggung jawab seperti itu merupakan beban yang sangat berat. "Cassie benar," ujar Jake. "Sudah waktunya. Ayo, sebelum
terlambat." Kami mengikutinya keluar, menuju samudra.
Dalam hati aku berharap aku bisa melupakan segala sesuatu yang diceritakan Ax. Aku ingin menyingkirkan bayangan tentang
Bumi tanpa burung dan pohon. Bumi dengan samudra yang mati dan kosong.
<Kalian belum tahu siapa yang kalian hadapi?> si Andalite sempat bertanya.
Sekarang aku sudah tahu.
Chapter 20
OMONG-OMONG, aku punya pertanyaan konyol nih," ujar
Marco. "Apa?" tanya Jake.
Marco menunjuk Ax dengan jempolnya. "Bagaimana cara kita membawa dia keluar dari sini?"
Jake mengerutkan kening. "Ehm, Ax, kau bisa berenang? Maksudku, bukan sekadar bisa, tapi jago berenang. Soalnya kita jauh
sekali dari daratan." <Aku takkan berenang dengan tubuh ini. Aku akan menjelma
sebagai makhluk penghuni laut dulu.>
"Seperti apa, misalnya?" Marco mendesak. "Kita harus berenang jauh dan cepat."
<Aku bisa meniru makhluk yang sempat berenang di dekat kubah. Makhluk itu cukup besar. Aku melumpuhkannya dan
menyadap pola DNA-nya. Kupikir siapa tahu ada gunanya kalau aku sampai terpaksa melarikan diri.>
"Binatang apa? Apakah seperti..." Aku terdiam tiba-tiba. Aku merasakan sesuatu. Sebuah bayangan. Aku menengadah.
Pandanganku tertuju ke atas, menembus puncak kubah yang bening. Dan kemudian aku melihatnya. Sebuah bayangan berbentuk
cerutu, di permukaan laut. "Ada kapal," kataku. "Di atas sana. Kayaknya kapal itu
berhenti."
"Kita harus keluar dari sini," seru Jake. "Sekarang juga." Kami berlari ke pintu.
PING-NG-NG! PING-NG-NG!
Bunyi itu bergema di dalam kubah. "Itu sonar! Alat pelacak kapal," seru Marco.
"Dari mana kautahu?" tanya Rachel. "Masa kau tidak nonton Titanic? Filmnya seru sekali. Ayo, kita
harus kabur dari sini. Mereka sudah menemukan kita." PING-NG-NG! PING-NG-NG!
Kami berdesak-desakan di ruangan kecil tempat kami masuk tadi.
"Cepat berubah!" seru Jake. Kami tidak membuang-buang waktu. Aku mulai menjelma
sebagai tubuh lumba-lumba. Teman-temanku juga. Air mengalir deras di sekeliling kaki kami.
Ax pun berubah wujud. Konsentrasiku nyaris buyar karena aku terlalu memperhatikannya. Dalam keadaan normal Andalite sudah cukup aneh. Bayangkan seperti apa penampilan mereka ketika
bermetamorfosis! Bukan cuma dua kaki yang mengerut dan mengecil, tapi empat. Belum lagi kedua mata tambahannya. Duri di ujung
ekornya lenyap. Ekornya berubah menjadi sirip yang terbelah dua, dengan bagian atas lebih panjang daripada bagian bawah.
Permukaan air naik sampai ke leherku, tapi saat itu aku sudah lebih mirip lumba-lumba daripada manusia.
BA-BOOOOM! Ledakan itu membuat seluruh kubah bergetar. Gigiku sampai
bergemeletuk. Gendang telingaku serasa mau pecah. <Kaum Yeerk,> ujar Ax. Ia mengucapkan kata itu persis seperti
kakaknya. Penuh kebencian. BA-BOOOOM! Untuk kedua kalinya seluruh kubah terguncang akibat ledakan
keras! Tiba-tiba pintu sebelah luar membuka dan kami segera berenang ke luar. Empat ekor lumba-lumba dan seekor...
Hiu!
Ax telah berubah menjadi hiu. <Oh, pilihan yang bagus, Ax,> ujar Marco. <Kau berubah jadi
hiu?> <Kenapa? Ada yang salah?> si Andalite bertanya dengan heran.
<Spesiesmu dan spesies kami musuh bebuyutan,> aku menjelaskan.
<Oh-oh. Aku masih harus belajar banyak tentang Bumi.> <Oke, ini pelajaran yang pertama—kita harus KABUR!> teriak
Marco. Aku melesat cepat menuju permukaan laut yang tampak jauh di
atas kami. Tapi sambil berenang aku sempat menoleh ke belakang. Aku melihat dua lubang menganga di kubah si Andalite. Air yang
mengalir masuk tampak bagaikan air bah. Kemudian aku melihat satu lagi tabung berwarna gelap jatuh pelan-pelan dari permukaan air. Aku pun cukup sering menonton film tentang kapal selam, sehingga aku
mengenali tabung itu sebagai bom bawah air. <Spesies apa yang digunakan kaum Yeerk di dunia ini?> Ax
bertanya dengan nada mendesak. <Ehm... sebagai Pengendali, maksudmu? Hork-Bajir dan
manusia,> jawabku. <Hork-Bajir tidak bisa berenang,> sahut Ax. <Kita mungkin
cukup aman. Kaum Yeerk tidak tahu banyak tentang perairan yang dalam. Di dunia mereka tidak ada samudra, hanya kolam-kolam
dangkal.> <Bagus,> ujar Jake. <Di sini cuma ada Pengendali-Hork-Bajir.
Dan Taxxon, tentu saja.> <Taxxon?> <Ya. Kenapa memangnya?>
Kami sudah di dekat permukaan sekarang, hanya beberapa meter di bawah batas berkilau yang memisahkan laut dan langit.
Tiba-tiba sebuah bayangan besar dan gelap melewati kami. Warna bayangan itu lebih hitam dari hitam. Bayangan yang
mencekam. Persis di atas permukaan laut. Bentuknya seperti kapak perang. Sepasang sayap melengkung
di bagian belakang, dan ujung panjang berbentuk berlian di bagian depan.
Itu pesawat Blade yang membawa Visser Three. Sesuatu tercebur ke laut ketika pesawat itu melintas di atas
kami. Aku berguling ke samping agar dapat melihat lebih jelas. Apa yang kulihat membuatku merinding.
Gerombolan Taxxon. Mereka ada di dalam air. Dan mereka menuju ke arah kami.
<Cacing-cacing brengsek itu bisa berenang?> Marco memekik. Tapi jawabannya sudah jelas. Sekitar sepuluh Taxxon—
makhluk mirip kaki seribu, dengan tubuh sepanjang tiga meter dan
selusin pasang kaki—mengejar kami. Gerakan mereka gesit sekali di dalam air.
Benar-benar gesit. Dari bawah, mata mereka yang bagaikan gumpalan agar-agar
berwarna merah tidak kelihatan. Tapi mulut bulat di ujung tubuh mereka kelihatan jelas.
Aku sempat menyaksikan makhluk Taxxon memperebutkan serpihan-serpihan tubuh Pangeran Elfangor ketika Visser Three
memangsanya. Mereka bahkan tidak segan-segan melahap sesama mereka atas
perintah Visser Three. <Aku mau tanya,> ujar Ax. <Tubuh yang kutempati ini rasanya
cocok untuk bertempur. Betulkah itu?>
Aku tersenyum dalam hati. <Ya, Ax. Hiu memang bisa bertempur.>
<Kalau begitu, Pangeran Jake, bagaimana kalau gerombolan Taxxon ini kita singkirkan saja?>
<Jangan panggil aku 'pangeran',> sahut Jake. <Dan jawabannya, oke. Ayo, kita hajar mereka.>
Chapter 21
SELUSIN Taxxon berenang di dalam air, melawan kami
berlima. Kalau soal berenang lurus, mereka memang lebih hebat. Tapi soal meliuk dan membelok, kami lebih jago.
<Pilih sasaran,> Jake berkata dengan tegang. Aku mengincar salah satu cacing raksasa. Namun aku harus
memaksakan diri untuk bertempur. Lawanku bukan hiu, dan aku tidak merasakan dorongan naluri lumba-lumba untuk menyerang.
Aku terpaksa membangkitkan semangat tempur melalui akal sehatku sebagai manusia. Dan itu tidak mudah. Sebelumnya aku telah melawan kaum Yeerk untuk membela kemerdekaan umat manusia.
Kini aku harus bertempur untuk menyelamatkan seluruh dunia. Tapi tetap saja, pada dasarnya aku memang tidak suka kekerasan.
Di pihak lain, aku sadar aku tidak punya pilihan. Kaum Yeerk tak kenal ampun. Seandainya para Taxxon menang, kami semua akan
dibunuh. Atau mengalami nasib yang lebih buruk lagi. Aku melesat maju untuk menghadang Taxxon yang melaju ke
arahku. Kami bagaikan dua kereta api yang meluncur dari arah berlawanan di rel yang sama.
Aku menunggu sampai detik terakhir sebelum mengelak ke samping. Mulut si Taxxon sudah menganga lebar, siap menyambar.
Aku melengkungkan punggung, dan menghantam lawanku dari samping.
Semula kusangka badannya seperti badan ikan hiu—sekeras
baja. Tapi ternyata dugaanku keliru. Rasanya seperti menghantam kantong kertas basah dengan palu godam. Tubuh si Taxxon buyar
bagaikan semangka yang jatuh ke lantai.
<Aaaaarrrrggghhh!> Aku hampir muntah. Cepat-cepat aku mengibaskan ekor untuk menjauhi adegan menjijikkan itu.
Pertumpuran berlangsung sengit. Empat lumba-lumba dan seekor hiu bahu-membahu melawan gerombolan Taxxon.
Menurut para ilmuwan, ikan hiu termasuk spesies binatang paling tua yang masih hidup sampai sekarang. Alam menciptakan
mereka sebagai pemangsa yang hebat. Sebagai mesin pembunuh yang sempurna. Selama jutaan tahun tubuh ikan hiu tak pernah berubah,
sebab memang tak ada yang perlu diperbaiki. Lain halnya dengan lumba-lumba. Para ahli beranggapan bahwa
berjuta-juta tahun silam lumba-lumba hidup di darat. Mamalia laut tidak berbeda jauh dengan manusia dan mamalia lainnya. Dalam
perjalanan evolusi, mereka kembali ke samudra. Dan mereka mengalami perubahan pula dalam cara menghadapi pemangsa—paus pembunuh dan ikan hiu.
Aku tidak tahu dari laut mana bangsa Taxxon berasal. Aku tidak tahu makhluk apa yang menjadi musuh mereka. Tapi yang jelas
mereka tidak siap untuk bertempur di samudra. Mereka tidak siap bertempur satu-lawan-satu dengan para penguasa lautan di Bumi.
Mereka bukan lawan sepadan bagi lumba-lumba maupun hiu. <Oke, kurasa sudah cukup,> ujar Jake. <Kelihatannya mereka
sudah kapok.> <Hah, cuma segitu saja?> tanya Rachel dengan nada
menantang. Tapi aku mendapat kesan bahwa ia sendiri sebenarnya juga agak ngeri.
Aku melesat ke permukaan dan langsung mengisi paru-paruku dengan udara senja yang hangat. Matahari sudah hampir terbenam. Aku melihat dua kapal menuju ke arah kami.
Tapi yang lebih kucemaskan adalah pesawat Blade, yang kini melayang rendah di atas permukaan laut.
<Jangan buang-buang waktu lagi,> kata Marco. <Kita langsung pergi saja ke salah satu pulau kecil di dekat sini, sesuai rencana.
Begitu sampai di sana, kita kembali ke wujud manusia dan beristirahat sebentar. Setelah itu kita berenang ke daratan. Tapi pulau itu jauhnya
hampir dua jam dari sini, itu pun kalau kita berenang secepat mungkin. Kita harus buru-buru. Kalau sampai terlambat, kita terpaksa
memilih antara terperangkap dalam wujud lumba-lumba atau tenggelam. Dan dua-duanya bukan pilihan yang enak.>
<Kau benar, Marco,> sahut Jake. <Kita berenang secepat mungkin ke pulau terdekat.>
<Bagaimana cara kalian menghitung waktu?> tanya Ax. <Kadang-kadang kami membawa jam. Tapi kadang-kadang,
seperti sekarang, kami cuma bisa menduga-duga dan berdoa.> <Oh, begitu. Kalau kalian tidak keberatan, biar aku saja yang
menghitung waktu.>
<Memangnya kau punya jam?> <Tidak, tapi aku punya kemampuan untuk menghitung waktu.>
<Oke, kenapa tidak?> balas Marco. <Berapa sisa waktu kita? > <Waktu yang sudah berlalu sejak kita berubah kira-kira tiga
puluh persen dari waktu yang aman.> <Tiga puluh persen?> Aku langsung mulai berhitung. Tapi dari
dulu aku memang payah dalam matematika. Apalagi aku baru saja terlibat pertempuran dan masih ketakutan setengah mati. <Berarti
sekitar tiga puluh enam menit. Jadi sisa waktu kita masih satu jam dua puluh empat menit.>
BYAAARRR! Aku mendengar bunyi yang keras sekali di belakangku. Seakan-
akan ada truk besar jatuh ke dalam air.
<Apa itu?> tanya Marco. <Ada yang tercebur ke laut,> jawabku. <Sesuatu yang besar.>
WHUMP, WHUMP, WHUMP.
<Apa lagi sekarang?> tanya Rachel. Aku naik ke permukaan untuk menarik napas dan memandang
berkeliling. Kedua kapal tadi masih m¬nuju ke arah kami, tapi jalannya tidak terlalu cepat dan agaknya takkan sanggup mengejar
kami. Namun pesawat Blade tak terlihat lagi. Aku menoleh ke segala arah, tapi aku tidak bisa menemukannya.
<Ada yang melihat pesawat Blade?> tanyaku. <Tidak. Tapi itu tidak berarti pesawat itu sudah pergi,> sahut
Jake. <Bisa jadi cuma selubungnya saja yang dinyalakan lagi.> WHUMP, WHUMP, WHUMP.
<Suara apa itu?> <Entahlah. Tapi yang jelas, suaranya semakin dekat, > ujarku.
Tiba-tiba aku ingat bahwa aku tidak tergantung pada panca indra manusia semata-mata. Aku juga bisa menggunakan indra lumba-lumba. Dan serta-merta aku memancarkan gelombang radar bawah
air. Bayangan yang kutangkap benar-benar mencengangkan.
<Ada sesuatu di dalam air. Sesuatu yang sangat besar. Seukuran ikan paus, tapi gerakannya bukan seperti itu.>
Jake, Marco, dan Rachel langsung mencoba cara yang sama. <Ada sesuatu yang mengejar kita,> Rachel melaporkan.
<Kita dikejar sesuatu yang besar dan melaju kencang,> Marco membenarkan.
WHUMP, WHUMP, WHUMP. Aku naik untuk menarik napas dan memandang ke belakang.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu menyembul di permukaan, jauh di belakangku. Semacam punuk besar berwarna merah keunguan. Punuk itu dipenuhi ratusan ekor kecil yang mirip ekor ikan, dan semuanya
bergerak-gerak tanpa henti.
Aku kembali menyelam. <Ax, ada sesuatu di belakang kita. Dan kurasa bukan makhluk Bumi.> Aku menggambarkan apa yang
kulihat tadi. <Mardrut,> ujar Ax.
<Mardrut? Apa itu?> <Itu nama binatang yang hidup di samudra di salah satu bulan
Andalite. Bayangkan, kaum Yeerk keparat berani mendatangi bulan kami! Dan meniru binatang kami!>
<Ax, seperti apa mardrut itu?> aku bertanya padanya. <Mardrut adalah binatang yang sangat besar, yang berenang
dengan menyemburkan air dari tiga rongga besar. Dia mengeluarkan suara seperti...>
WHUMP, WHUMP, WHUMP. <Seperti itu?> tanya Marco. <Ya,> jawab Ax. <Seperti itu. Aku tidak mengenalinya tadi.
Aku baru sekali mendengarnya, itu pun di sekolah, dan waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan penjelasan guru.>
Aku hampir tertawa karena membayangkan ruang kelas Andalite di mana para muridnya asyik melamun, persis seperti kami di
Bumi. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk tertawa. WHUMP, WHUMP, WHUMP.
<Tapi ini bukan Mardrut sungguhan,> ujar Ax. <Memang bukan,> Jake membenarkan.
<Jadi kalian tahu siapa sebenarnya yang mengejar kita?> Ax tampak kaget. <Kalian tahu bahwa makhluk itu sebenarnya Visser
Three?> <Kami pernah bertemu dengannya,> balas Rachel dengan
geram.
<Kalian pernah berhadapan dengan Visser Three? Dan kalian masih hidup?> Kali ini si Andalite benar-benar terkejut. <Aku salut
pada kalian.>
<Yeah, oke, thanks,> sahut Marco sinis. <Tapi kalau boleh, penghormatanmu ditukar dengan perahu motor saja, supaya kita bisa
kabur dari bajingan itu.> WHUMP, WHUMP, WHUMP.
Chapter 22
VISSER THREE ternyata menjelma menjadi makhluk yang tidak kenal lelah.
Lain halnya dengan kami. Aku merasa seakan-akan telah berenang selama dua hari
nonstop. Setelah setengah jam aku mulai kehabisan tenaga. Sejak awal kami sudah mengembangkan kecepatan penuh. Kami menerjang arus
yang menghadang. Melawan dorongan naluri untuk beristirahat ketika ekor kami mulai letih. Mengabaikan rasa lapar yang semakin
menggebu-gebu. WHUMP, WHUMP, WHUMP. Sementara itu si mardrut terus mengejar. Tenaganya seakan-
akan tak terbatas. Ia terus bertambah dekat, sejengkal demi sejengkal, sedikit demi sedikit.
Aku bisa melihatnya sekarang. Sebuah kantong raksasa bertotol ungu dan merah yang mengembang dan mengempis di dalam air.
Tubuhnya terdorong oleh tiga rongga besar yang menyemburkan air secara bergantian. Di sela semburan-semburan keras itu, ratusan ekor
kecil di seluruh permukaan tubuhnya mengoyak-ngoyak air untuk mempertahankan kecepatannya.
WHUMP, WHUMP, WHUMP. Kemudian ia angkat bicara. Kami semua sudah pernah
mendengar suara bisu itu di dalam kepala kami masing-masing. Rasanya seperti mendengar sumpah serapah yang membuat bulu kudukku berdiri.
<Kalian takkan bisa lolos, prajurit-prajurit Andalite,> Visser Three mengejek. <Kalian takkan bisa lolos.>
Suara itu bagaikan api yang menghanguskan segala sesuatu yang disentuhnya. Seketika aku merasakan kebencian membara yang
setara dengan kebencian Visser Three. Gambaran yang kuperoleh dari Ax—Bumi yang gersang dan tandus, semua penghuninya menjadi
budak kaum Yeerk..... Selama ini aku hidup tentram dan damai tanpa kebencian.
Perasaan benci itu benar-benar memuakkan. Hati kita seperti terbakar, dan kadang-kadang kita pikir api itu takkan pernah padam.
<Kalian takkan bisa lolos. Nasib kalian terletak di tanganku. Enaknya kalian kuapakan, ya? Kujadikan Pengendali? Atau lebih baik
kumakan saja? Aku harus pikir-pikir dulu. Kalian semakin lelah. Waktu kalian tinggal sedikit.>
WHUMP, WHUMP, WHUMP. Kami semua sudah pernah berhadapan langsung dengan Visser
Three. Tapi Ax belum. Ia tampak gemetaran. Itu jelas kelihatan
meskipun ia berwujud ikan hiu. Matanya yang gelap tidak menunjukkan emosi, tapi gerak-geriknya terkesan kacau.
<Ax,> aku berkata padanya. Ia tidak menyahut. <Ax, kami sudah pernah mendengar suaranya. Kami sudah pernah diancamnya.
Dan kami masih hidup sampai sekarang.> <Dia akan membunuh kita,> balas Ax. <Dia akan membunuh
kita! Dia telah membunuh Elfangor!> <Bertahanlah, Ax. Jangan menjawab. Jangan pikirkan dia.
Pokoknya, berenang saja!> Namun ketakutan yang menimpa Ax juga menular pada kami.
Ia benar. Kami tidak punya waktu untuk mencapai daratan. Kami akan terperangkap dalam wujud lumba-lumba. Dan kami tidak mungkin lolos dari Serangan Visser Three. Aku menoleh ke belakang.
Jarak di antara kami tinggal sekitar lima kali panjang tubuhku! Aku berusaha menambah kecepatan, tapi otot-ototku sudah tak
sanggup.
Tamatlah riwayatmu, Cassie, aku berkata dalam hati. Tamatlah riwayatmu.
Sekali lagi aku dilanda perasaan benci yang begitu dalam. Tapi aku tidak mau berakhir seperti itu. Aku tidak mau mati dalam
cengkeraman kebencian. Itu satu-satunya kemenangan yang bisa kurampas dari Visser Three.
Aku membiarkan pikiranku berkelana, sementara tubuhku terus berupaya menyelamatkan diri. Aku teringat gudang jerami kami, dan
semua binatang yang menghuninya. Aku teringat Mom dan Dad. Dan Jake.
Aku teringat berbagai kenangan manis. Mengarungi angkasa bersama Tobias dan teman-temanku yang lain sambil merentangkan
sayap lebar-lebar. Duduk di kaki Nenek sambil mendengarkan ceritanya mengenai keluargaku, yang turun-temurun hidup di tanah pertanian.
Dan kemudian sebuah kenangan yang lebih baru muncul dalam benakku. Si ikan paus. Aku teringat bagaimana keheningannya yang
megah namun lemah lembut mengisi jiwaku. Aku bahkan bisa mendengar nyanyiannya.
Tunggu dulu! Nyanyiannya memang terdengar. Ini bukan kenangan. Bukan khayalan. Aku benar-benar mendengar nyanyiannya
yang mengalun pelan dan membuat hati tergetar. Ia tidak jauh dari kami.
Aku membuka mata hati dan membiarkan kesadaranku sebagai manusia tenggelam perlahan-lahan. Aku memanggil jiwa si lumba-
lumba—jiwa yang suka bermain-main, suka bertempur, dan suka melesat ke udara bagaikan burung.
Kemudian aku memancarkan gelombang radar bawah air.
Selain itu, aku juga menjerit minta tolong.
Aku tahu perbuatanku konyol. Tidak masuk akal. Tapi aku tetap berteriak tanpa suara, seperti anak kecil yang memanggil-manggil
ibunya jika ia bermimpi buruk. Aku dikejar si monster! Si pemusnah! Si makhluk jahat!
Tolong aku. <Kita sudah menghabiskan delapan puluh persen waktu kita,>
ujar Ax. <Berarti tinggal dua puluh empat menit,> Marco berkata sambil
terengah-engah. <Tak ada pengaruhnya. Aku sudah tidak kuat,> Rachel
mengakui. <Aku tidak sanggup lagi. Visser Three sudah terlalu dekat. Kita harus bertempur melawannya.>
WHUMP, WHUMP, WHUMP. <Tapi kita tidak mungkin menang!> seru Ax. <Kami tahu,> jawab Jake. <Tapi kalau memang aku harus
kalah, aku lebih suka kalah terhormat daripada ditangkap satu per satu.>
<Ucapanmu seperti Andalite sejati,> balas Ax. <Kita punya banyak sifat yang sama. Sayang semuanya harus berakhir seperti ini.>
<Oke. Siap, pada hitungan ketiga,> seru Jake. <Satu.>
<Dua.> <Tiga.>
<Ayo!> Kami berhenti. Kami berbalik untuk menghadapi si mardrut.
<Jake? > ujarku. <Ada yang perlu kukatakan...> <Ya. Aku juga, Cassie,> sahutnya. WHUMP, WHUMP, WHUMP.
Makhluk raksasa berwarna ungu dan merah itu terus melaju ke arah kami.
Aku gemetaran karena ngeri. Tapi aku sudah terlalu letih untuk lari.
Tolong! aku berseru sekali lagi. Tapi aku tahu tak ada yang bisa menolong kami.
Dan akhirnya aku pasrah pada nasib.... dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia.
Ebukulawas.blogspot.com
Chapter 23
<AKU sudah tahu kalian harus diapakan,> ujar Visser Three.
<Setelah mengejar kalian begitu lama, aku benar-benar lapar.> Ia menghampiri kami dengan kecepatan tinggi. Kami siap
menghadangnya. Tiba-tiba aku melihat bayangan gelap yang muncul dari
keremangan di bawah kami. Sesuatu yang gelap, berbentuk panjang, dan bahkan lebih besar
dari si mardrut. FWOOOMP! Visser Three tersentak dan langsung berhenti. Bayangan kedua
muncul, sama cepatnya dengan yang pertama. FWOOOMP!
<Si besar,> bisikku. <Kawanan ikan paus! > seru Marco.
Aku melihat lima ekor ikan paus. Kedua ikan paus jantan besar yang menyerang lebih dulu
memiliki kepala seperti palu godam. Ikan paus jenis sperm. Panjang tubuh mereka hampir dua puluh meter. Dan berat mereka sekitar enam
puluh lima ton. Sama beratnya dengan lima puluh mobil. Mereka muncul dari kedalaman laut, dan menghantam
makhluk yang berasal dari samudra di dunia lain itu dengan kecepatan yang mencengangkan.
Mardrut itu memang besar. Mardrut itu memang kuat. Tapi tak
ada makhluk hidup yang sanggup menahan gempuran tanpa henti lawan-lawan seberat puluhan ribu kilogram.
Kemudian si ikan paus—ikan paus sahabatku, sebab aku sudah menganggapnya sebagai sahabat—mulai menghantam musuh kami
dengan ekornya, berulang-ulang. Dinding beton pun akan roboh jika terkena hantaman seperti itu. Dua ikan paus betina yang lebih kecil
meniru contohnya, sedangkan kedua ikan paus jantan tadi kembali mengambil ancang-ancang untuk menyerang.
<Rrrraaagggghhh!> Visser Three mengerang karena marah dan kesakitan. Erangannya bergaung dalam kepalaku.
<Dia mundur!> seru Jake. <Dia kabur!> Rachel bersorak. <Hah-hah!>
<Rupanya Visser Three kurang suka pada ikan paus,> Marco menimpali. <Rupanya dia benci ikan paus!>
Mula-mula kelima ikan paus masih mengejarnya, tapi akhirnya mereka membiarkannya pergi.
Ikan paus tidak punya bakat membunuh. Mereka tidak punya
insting tajam untuk membenci dan menghancurkan lawan yang paling keji sekali pun.
Beberapa menit kemudian sahabatku si ikan paus telah kembali dan berhenti di sampingku.
Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi seperti sudah kukatakan sebelumnya, cara berpikir ikan paus tidak seperti
manusia. Namun aku tetap mencobanya. Terima kasih, sahabatku.
Orang sering berdebat apakah ikan paus makhluk cerdas atau bukan. Apakah mereka secerdas manusia? Tapi menurutku, bukan itu
persoalannya. Ikan paus takkan pernah bisa membaca buku atau membuat roket atau mengerjakan soal aljabar. Untuk hal-hal seperti itu, manusia lebih cerdas.
Tapi itu sama sekali tidak berarti ikan paus tidak hebat. Mereka tidak memerlukan kata-kata untuk bisa bernyanyi. Mereka adalah
makhluk yang membuat kita terkagum-kagum. Dan meskipun aku
sendiri tidak tahu persis apa yang dimaksud dengan hati nurani, satu hal sudah pasti—kalau manusia memilikinya, ikan paus juga begitu.
Aku ingin berterima kasih karena ia datang ketika aku minta tolong. Tapi ketika ia membuka hatinya untuk menyambut getaran
batinku, aku mendapat kesan bahwa kedatangannya bukan karena panggilanku semata-mata.
Aku mendapat kesan bahwa laut sendiri yang memanggilnya, untuk mencegah perbuatan keji Visser Three.
Tentu saja semua itu tidak kuceritakan kepada Jake atau yang lain. Mereka pasti akan tertawa. Paling tidak Marco.
<Waktunya sudah hampir habis,> ujar Ax. <Kalau kita berubah sekarang, kurasa sahabatku ini mau
menopang kita sampai kita siap berubah lagi,> kataku. Kami menjelma kembali sebagai manusia, sedangkan Ax
kembali ke wujud aslinya sebagai Andalite. Kemudian kami naik ke
punggung si ikan paus. Aku langsung tertidur. Kedengarannya memang aneh, tapi aku
segera terlelap. Aku benar-benar letih, baik jiwa maupun raga. Matahari sudah hampir terbenam ketika aku terbangun. Kami
berada di dekat daratan. Aku bisa melihat pantai, dan juga muara sungai.
Kami basah kuyup terkena percikan air dan semburan dari lubang pernapasan si ikan paus. Aku agak kedinginan, apalagi
matahari sudah hampir menghilang. Tapi di pihak lain, aku tidak jadi dimangsa Visser Three,
sehingga aku pun tidak mau mengeluh. Jake duduk bersilang kaki di punggung si ikan paus. Ia
menatapku sambil tersenyum.
"Hari ini lumayan seru, hmm?" ia bertanya. Aku membalas senyumnya. "Yeah."
"Kita berhasil. Kita berhasil menyelamatkan si Andalite dan juga diri kita sendiri."
"Ya, tapi dengan susah payah," aku menambahkan. "Ehm, Cassie? Ternyata kau benar. Kau mengandalkan
perasaanmu, kami semua mengikutimu dan kita semua selamat." Aku mengangguk: "Memang betul sih. Tapi Marco pasti bilang,
'asal jangan sering-sering saja'." Jake kembali mengembangkan senyum. "Tapi menjelma
sebagai lumba-lumba benar-benar asyik kan? Aku tahu kau sempat bimbang. Aku tahu kau merasa kita tidak berhak memanfaatkan
mereka." Aku menggelengkan kepala. "Sampai sekarang aku masih
merasa begitu. Tapi kelihatannya kita tidak punya pilihan. Kaum Yeerk yang memulai perang ini, bukan kita. Dan setelah mendengar penjelasan Ax... bukan cuma manusia yang akan mereka musnahkan.
Tapi juga semua binatang. Jadi seluruh Bumi memang terancam." Jake mengangguk. "Kurasa kalau kita bertanya pada para
lumba-lumba, mereka juga takkan keberatan. Soalnya kita kan berusaha menyelamatkan mereka."
"Ah, mereka takkan mengerti. Mereka pasti menganggap semua ini cuma main-main."
Kami tertawa. Kalau pun mereka bisa bicara, lumba-lumba takkan pernah bisa mengerti kenapa kami begitu cemas.
"Ya, benar juga," ujar Jake. "Tapi kita mengerti." Kami bertukar pandang. "Kita mengerti apa yang harus diselamatkan. Dan kita harus
melakukan apa pun supaya bisa menang." Aku tahu maksud Jake. Kami memanfaatkan lumba-lumba
untuk menyelamatkan mereka. Begitu juga binatang-binatang lain.
Kami meniru mereka untuk menyelamatkan mereka. Tujuan kami mulia, dan karena itu aku tidak perlu merasa bersalah.
Chapter 24
SEKALI lagi kami menjelma menjadi lumba-lumba. Kami
berenang ke sungai tempat kami berangkat tadi, lalu berkumpul di air yang dangkal. Dalam sekejap saja kami sudah berubah kembali
menjadi manusia. "Wah, enak benar rasanya bisa jadi manusia lagi," kata Jake.
Serta-merta Marco berkomentar, "Memangnya kau manusia sebelum kita berubah tadi, Jake?"
Sebetulnya ucapan Marco lucu, tapi kami semua terlalu letih untuk tertawa.
Kami mengambil pakaian dan sepatu masing-masing. Aku
cepat-cepat mengenakan jeans dan sweter, lalu memasukkan kakiku yang berlumpur ke dalam sepatu.
<Aneh,> ujar Ax, yang terus memperhatikan kami. <Benda apa yang kalian pakai untuk membungkus tubuh kalian?> -
"Ini namanya pakaian, " Rachel menjelaskan. <Untuk apa kalian memakainya? Sebagai semacam
pelindung?> "Ya. Selain itu, orang-orang juga bakal marah besar kalau kita
jalan-jalan dalam keadaan telanjang," jawab Marco. Aku mendengar suara kepak sayap di atas. Salah satu dahan
yang terselubung bayangan mendadak turun sedikit. "Tobias?" aku memanggil. <Ya. Kalian... kalian berhasil menemukan Andalite!>
"Ya. Tobias, ini Ax. Ax, itu Tobias. Tobias salah satu dari kami."
<Tapi aku agak berbeda,> Tobias menambahkan dengan nada datar. <Aku terlalu menyukai tubuh burung ini, jadi aku terus-menerus
jadi burung.> Si Andalite tampak kaget. <Kau terperangkap?>
<Ya.> Ax menoleh ke arahku, lalu menatap teman-temanku yang lain
satu per satu. Roman mukanya serius sekali. <Kalian telah banyak berkorban untuk membantu kakakku, Elfangor.>
<Pangeran Elfangor kakakmu?> tanya Tobias. Mata elangnya berbinar-binar. <Aku mendampinginya menjelang saat kematiannya.>
"Aku bukannya tidak mau mengobrol panjang-lebar," Jake menyela, "tapi kita harus segera pergi dari sini. Kita juga perlu
memikirkan Ax. Dia tidak mungkin pergi ke kota bersama kita." "Sebaiknya dia ikut ke tanah pertanianku," kataku.
"Keadaannya tidak berbeda jauh dengan pesawat Dome. Ada ladang,
padang rumput, hutan. Dia tetap harus berhati-hati, tapi selain itu tidak ada tempat untuk menyembunyikannya."
"Tapi bagaimana cara kita membawa dia ke sana?" tanya Marco. "Tempat pertanianmu cukup jauh dari sini. Dan orang-orang
pasti ketakutan melihat rusa besar berbulu biru dengan mata tambahan dan ekor seperti kalajengking."
<Berarti aku harus berubah,> ujar Ax. Sekonyong-konyong ia menghampiriku. Ia menyentuh wajahku dengan tangannya yang
berjari banyak. <Kalau kau mengizinkan,> katanya. Aku langsung merasa melayang-layang. Aku tidak sampai
pingsan, tapi juga tidak sepenuhnya sadar. Aku tahu apa yang dilakukannya. Ia sedang menyerap pola
DNA-ku.
"Ehm... sori, tapi apakah kau akan meniru Cassie?" tanya Marco. "Kau bisa melakukan itu?"
Ax menghampiri Marco dan menyentuh wajahnya. Satu per satu ia menyerap pola DNA kami.
Dan kemudian ia mulai berubah. Proses metamorfosis selalu ajaib. Tapi ini lebih ajaib daripada
apa pun yang pernah kusaksikan. Ax tidak berubah menjadi binatang. Ia berubah menjadi manusia.
Ia menjelma menjadi gabungan dari keempat anak Animorphs. Kaki depannya mulai mengecil. Kaki belakangnya bertambah
besar dan kokoh. Dan tiba-tiba sudah ada mulut di wajah Andalite-nya.
Ekor kalajengking yang menakutkan mulai mengerut, sampai akhirnya menghilang sama sekali.
Ia menegakkan badan dan berdiri dengan dua kaki. "Ehm, kurasa lebih baik kita menoleh ke arah lain,"
aku mengusulkan.
"Dia mau jadi cowok atau cewek?" tanya Marco. "Pokoknya jangan lihat dulu deh," sahutku.
Kami berpaling. Tepat pada waktunya. "Hei, Ax! Di tumpukan baju itu ada celana pendek dan T-shirt
yang tak terpakai," ujar Jake. "Gimana kalau kaupakai saja dulu, oke?"
Beberapa menit kemudian kami berbalik lagi. Kami semua tercengang.
Alex mengenakan T-shirt di kaki, sedangkan celana pendeknya malah bertengger di kepalanya.
"O-o-o-o-ke," kata Jake. "Boleh juga, hanya perlu sedikit perbaikan. Ax, kau laki-laki atau perempuan?"
"Aku memilih men-men-menjadi laki-laki." Ia langsung terdiam
dengan mata terbelalak. Agaknya ia terkejut karena mempunyai mulut. Mulut adalah sesuatu yang membingungkan bagi kaum
Andalite.
"Aku memilih menjadi laki-laki karena aku memang laki-laki. Kata-kata. Laki-laki. Pilihan tepat? Pi-ly-han? Pih pih pih-liyan?" Ia
menggerak-gerakkan bibir dan menjulurkan lidah. "Aneh," katanya. "Oke, jadi kau laki-laki," ujar Jake. "Rachel? Cassie? Tolong
berbalik dulu. Marco dan aku akan membantu Ax berpakaian." Ketika aku berpaling lagi, Ax sudah berpakaian normal.
Tapi penampilannya tidak normal. Tingginya sedang, antara Rachel dan Marco. Badannya cukup kekar, antara Jake dan Marco.
Rambutnya cokelat—dengan sedikit sentuhan pirang rambut Rachel—dan agak keriting, seperti rambutku. Kulitnya berwarna kopi susu,
campuran antara kulitku yang gelap, kulit Marco yang kecokelatan, dan kulit Jake serta Rachel yang putih pucat.
Ia telah menjelma sebagai manusia, namun entah kenapa tetap berkesan janggal.
Ia menoleh ke kiri-kanan. "Bagaimana kalian melihat? Meliat?
MeliHAT. HAT. Bagaimana kalian melihat sekeliling? Liling. Me, me, melihat ke belakang?"
Aku tersenyum. Keadaannya seperti kalau aku untuk pertama kali menirukan seekor binatang. Ax sedang membiasakan diri dengan
tubuhnya yang baru. Paling tidak, ia berusaha membiasakan diri. Ia menggerak-gerakkan bibir dan mencoba berbagai bunyi baru. Tapi
tiba-tiba ia jatuh ke depan. Jake cepat-cepat menangkapnya.
"Kakimu cuma dua sekarang, Ax," katanya. "Ya. Dua. Oh. Goyah sekali."
"Yeah, manusia memang makhluk yang mudah goyah." "Oke, sudah waktunya kita pulang," ujar Jake. "Ax?" kataku pada si Andalite. "Jangan bicara pada orang yang
tidak kaukenal dalam perjalanan pulang. Oke?"
Chapter 25
BEBERAPA hari berlalu dengan tenang. Kami semua sudah
pulih. Aku juga telah memastikan Ax aman di ladang terpencil di tanah pertanian, jauh dari keramaian.
Aku menunggu sampai hari gelap, lalu menjelma menjadi burung camar.
Aku terbang keluar dari gudang jerami, menembus kegelapan, menuju The Gardens.
Taman hiburan itu sudah tutup dan sudah sepi. Hanya ada beberapa penjaga malam di sana-sini. Mereka pasti akan menghadangku seandainya aku masuk lewat pintu gerbang. Tapi tak
ada yang mencurigai seekor burung camar. Aku mendarat di dekat kolam lumba-lumba, dan kembali
berubah berwujud manusia. Semua lampu sudah dipadamkan. Satu-satunya sumber cahaya adalah bulan sabit di langit. Tapi aku bisa
mendengar para lumba-lumba berenang kian kemari. Salah satu dari mereka segera menghampiriku. Barangkali ia heran kenapa ada
manusia yang muncul malam-malam. "Hai," katanya. "Sori, aku tidak punya makanan untukmu."
Kemudian aku memanjat dinding kolam dan masuk ke air yang dingin.
Tiga lumba-lumba berenang mendekat. Mereka pasti bingung. Ada orang asing masuk ke kolam mereka. Apakah ini permainan baru?
Aku mulai berubah. Mereka semakin penasaran. Keenam lumba-lumba di kolam itu
berenang mengelilingiku dan mengamatiku dari segala arah.
Dan perlahan-lahan aku menjadi salah satu dari mereka. Aku tahu perbuatanku benar-benar konyol. Tapi aku merasa aku
harus melakukannya. Aku ingin memberitahu mereka apa yang telah kulakukan. Aku
ingin minta izin untuk meniru mereka. Aku ingin mencari jalan untuk menjelaskan... semua yang telah terjadi.
Tapi begitu aku menjelma menjadi lumba-lumba, pikiranku kosong melompong. Aku tak ingat semua yang membuatku kuatir.
Aku tak ingat kenapa aku datang kemari. Wah, gawat deh! Salah satu lumba-lumba menghampiriku. Ia mendorongku
dengan moncongnya, perlahan-lahan, lalu meluncur ke permukaan. Kemudian ia melesat ke udara dan masuk kembali ke dalam air. Tanpa
menimbulkan suara. Dan semulus anak panah. Mereka mengajakku bermain. Mereka mengajakku menari bersama mereka.
Dan itulah yang kulakukan.END Ebukulawas.blogspot.com