efek praktek pencitraan para pejabat di media massa ... · web viewakibatnya, partai-partai...
TRANSCRIPT
Makalah Sosiologi Komunikasi
Universitas Mercubuana Jakarta
Fakultas Ilmu Komunikasi
2012
1Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Disusun Oleh:
Achmad JamaluddinAmelia K. RosidiDede SetiawanElika Winanda
Hanifa ChoirunisaRidho Azlam A.Siti Nurinah A.Yogo SeptianYosi Dayanti
Efek Praktek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa Terhadap Kehidupan Bermasyarakat
Kata PengantarPuji Sukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas
dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih kami kepada Bapak Iskandar selaku dosen
Sosiologi Komunikasi UMB, dan semua pihak yang telah berperan serta membantu
dari awal sampai akhir.
Tugas ini berisikan makalah tentang Efek Praktek Pencitraan Para Pejabat di
Media Massa terhadap Kehidupan Bermasyarakat, yang akan membahas tentang efek
pencitraan tersebut kepada masyarakat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Pada
makalah ini juga kami tak terfokus kepada media massa sebagai kekuatan utama
pencitraan pejabat. Namun kami juga menyajikan informasi berkait lembaga-lembaga
yang ambil andil dalam memmbangun pencitraan tentunya dengan menggunakan
media massa sebagai alat mobilisasinya.
Dalam arena politik, banyak sekali strategi dan cara yang ditempuh para tokoh
politik untuk mencapai tujuannya. Apalagi seorang pemimpin Negara, wajib memiliki
cara untuk merebut hati rakyat, salah satunya dengan strategi politik pencitraan.
Strategi ini menonjolkan sikap dan sifat positif seorang pemimpin Negara agar
mendapat perhatian rakyat dan mendapat ruang dihati rakyat. Hal ini tentu saja
membuat semakin mantapnya posisi pemimpin/presiden dalam kursi jabatannya.
Dalam politik pencitraan tak lepas dari peran media yang menebar info pada
rakyat. Kami mencoba mengutip kalimat, “siapa yang menguasai media maka dia
akan menguasai dunia”. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengaruh media
dalam strategi politik ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kami selalu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun makalah ini
untuk lebih baik.
Jakarta, 12 Mei 2012
Kelompok 2
2Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Daftar Isi
Sampul depan ........................................................................................................ 1
Kata Pengantar ...................................................................................................... 2
Daftar Isi .................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 6
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................ 11
Politik Pencitraan di Indonesia .................................................................. 11
Komunikasi Politik dan strategi politik ................................ 11
Partai Politik ........................................................................ 13
Media Massa ....................................................................... 16
Lembaga Konsultan Politik ................................................. 18
Marketing Politik ................................................................ 19
Kekuatan kehumasan .......................................................... 20
Contoh Kasus ...................................................................... 21
BAB IV KESIMPULAN ............................................................................. 24
Komunikasi Politik dan strategi politik ................................ 24
Partai Politik ........................................................................ 24
Media Massa ....................................................................... 25
Lembaga Konsultan Politik ................................................. 25
Marketing Politik ................................................................ 25
Kekuatan kehumasan ........................................................... 26
SARAN ........................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA & REFRENSI .................................................................. 37
3Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
Ada joke anak muda yang mengatakan, “jangan hanya melihat casing luarnya
saja, tapi lihatlah ke dalam isinya.” Joke ini sangat tepat untuk menyindir gaya
berpolitik politikus kita sekarang ini, yang notabene adalah seorang pilihan dari rakyat
di kalangannya. Di kalangan anak muda yang gaul, ada segudang istilah untuk
menyebut gaya politik “tampilan luar” semacam ini, diantaranya, “lebay”, “narsis”,
dan lain sebagainya.
Gaya politik pencitraan memang sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu
gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan
angka-angka fantastis. Ketika sedang berpidato di depan publik, maka penampilannya
akan seperti pemain sinetron yang pintar mengundang air mata penonton, ataupun
“tukang jual obat” yang pintar menipu calon pembeli.
Ada beberapa konsekuensi dari penerapan politik pencitraan ini: pertama, kita
selalu menemukan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, dan ketimpangan
antara janji-janji dan pelaksanaannya. Kedua, ada proses manipulasi data, khususnya
statistik, yang sangat menonjol dan sistematis, seperti data soal angka kemiskinan,
pengangguran, dan lain-lain. Ketiga, aktor politik seringkali terlihat lambat dalam
merespon “situasi genting”, begitu banyak pertimbangan (soal image), dan tidak
pemberani dalam mengambil-alih persoalan berat. Keempat, suka menyuap “mulut
kaum yang lapar” dengan program belas kasihan yang sangat terbatas, tentative, dan
tidak kontinyu, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Pada kenyataan, apa yang disampaikan oleh Presiden SBY terkadang
bertentangan dengan kenyataan. Sebagai misal, dia menjanjikan pemberantasan
korupsi tanpa memberi ampun, tetapi pemberian remisi terhadap koruptor berjalan
terus; dia menjanjikan kebijakan yang pro-poor, pro-job, dan pro-growth, tetapi
kenyataannya dia menjalankan kebijakan neoliberal yang menyebabkan kemiskinan,
pengangguran bertambah, kesenjangan ekonomi melebar, dan sebagainya.
4Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Bukan berarti bahwa politik pencitraan tidak punya keterbatasan. Ibarat
gelembung sabun yang mudah pecah, politik pencitraan juga sangat mudah untuk
hancur. Bukti paling konkret dari keterbatasan politik pencitraan adalah kekalahan
Andi Malarangeng dalam pemilihan ketua umum partai demokrat.
Dan, akhir-akhir ini kita pun mulai menyaksikan rontoknya politik pencitraan
itu satu per satu, misalnya: publik mulai tahu bahwa anggaran pidato presiden adalah
Rp1,9 milyar (sumber: RKA-KL Setneg/Rakyat merdeka online); anggaran baju dan
furniture Presiden mencapai 42 milyar (sumber:FITRA). Padahal, pak SBY sering
menyebut dirinya sebagai pro-rakyat, tidak hidup mewah, dan membenci
penghamburan uang negara.
Di samping itu, rakyat juga agak kecewa dengan sejumlah sikap lamban SBY
dalam merespon beberapa isu, seperti kasus cicak versus buaya, sengketa perbatasan
dengan Malaysia, dan pembatalan kunjungan ke Belanda. Pendek kata, karena politik
pencitraan hanya menonjolkan tampilan luar, maka dengan mudah pun ia akan
tersingkap. Selain hukum waktu yang akan berbicara, hembusan angin kritis dari
rakyat pun bisa menyingkapnya.
5Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
BAB II
LANDASAN TEORI
Para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai sekarang berbeda pendapat
mengenai kekuatan media massa memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak.
Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat powerfull. Media tidak hanya
sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan publik. Di sisi lain, pengaruh
media dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang dan waktu, dan di mana
media itu bekerja. Bagi mereka yang menganggap the media is powerfull, kemudian
melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang memiliki pengaruh besar terhadap
masyarakat dan budaya, yakni teori Agenda Setting, teori Dependensi, Spiral of
Silence, dan Information Gaps. Namun yang akan kami bahas lebih mendalam kali ini
adalah teori agenda setting, diantara teori-teori tersebut. Kami juga mengambil
beberapa teori yang kami dapat dan kami pelajari dari beberapa matakuliah yakni
teori komunikasi, komunikasi politik, dan berbagai macam sumber lainnya.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Model Jarum Hipodermik Model jarum hipodermik merupakan model komunikasi massa yang bersifat
linier dan satu arah. Bila kita menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik
atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan sekehendak hati kita.
Model Jarum Hipodermik (Peluru Ajaib)
S – M – C – R – E
Sifat:
- khalayak pasif/tidak penting
- efek sama sebab atomistic (tergantung pada media)
6Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Model ini mempunyai asumsi bahwa komponen-komponen komunikasi
(komunikator, pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi. Disebut
model jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan-akan
komunikasi “disuntikan” langsung ke dalam jiwa komunikan. Sebagaimana obat
disimpan dan disebarkan dalam tubuh sehingga terjadi perubahan dalam sistem fisik,
begitu pula pesan-pesan persuasif mengubah sistem psikologis. Model ini sering juga
disebut “bullet theory” (teori peluru) karena komunikan dianggap secara pasif
menerima berondongan pesan-pesan komunikasi. Bila kita menggunakan
komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat
diarahkan sekehendak kita. Karena behaviorisme sangat mempengaruhi model ini,
Defleur menyebutnya sebagai “the mechanistic S-R theory” (Defleur, 1970).
Dari teori ini sudah dapat di ambil garis besar betapa pentingnya seorang aktor
politik menggunakan atau bahkan memiliki kantor media dalam membangun citra
politiknya di hadapan khalayak umum. Sehingga masyarakat dapat mengetahui pesan
yang dia sampaikan baik dalam bentuk kampanye, menanggapi suatu isu, atau sekedar
menghibur masyarakatnya.
2. Agenda SettingTeori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965)
pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya
telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The
mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly
successful in telling us what to think about“. Dengan teknik pemilihan dan
penonjolan (Framing), media memberikan cues tentang mana issue yang lebih
penting (Becker, 1982:530). Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat
dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu
atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Asumsi dasarnya adalah: “To tell what to think about” (membentuk persepsi
khalayak tentang apa yang dianggap penting). Dasar pemikirannya adalah: diantara
berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang lebih banyak mendapat
perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya, akan
7Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
dianggap penting dalam suatu periode tertentu, dan akan terjadi sebaliknya bagi topik
yang kurang mendapat perhatian media massa.
Model ini menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang
diberikan media terhadap suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak
pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, “apa yang dianggap penting oleh media,
akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akam
luput juga dari perhatian masyarakat”.
Pengaruh media terasa lebih kuat pada masyarakat, karena orang memperoleh
banyak informasi tentang dunia dari media massa pada saat yang sama sehingga sukar
untuk mengecek kebenarannya. efek derasnya arus informasi yang beredar.
Adanya Framing (Pembingkaian)
Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus
ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert
N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan
menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan
sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat sungguh besar.
Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini
publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media
menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda
kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil
banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil
mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa
saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu
yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif.
8Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
3. Uses and Gratification Model (Model Kegunaan dan
Kepuasan)Merupakan pengembangan dari model jarum hipodermik.
Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri khalayak, tetapi
tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media, sebab khalayak dianggap aktif
menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Studinya memusatkan perhatian pada penggunaan (uses) media untuk mendapatkan
kepuasan (gratification) atas kebutuhan seseorang (psikologis dan sosial)
- Jadi, dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan
kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada khalayak
- apa yang dilakukan khalayak terhadap media
(aktif)
Berbeda dengan Jarum Hypodermis
- apa yang dilakukan media terhadap khalayak
(pasif)
Dengan mengetahui tingkat kepuasan yang didapat dari hasil survei atau opini
publik. Hal tersebut membuktikan atau memberi informasi sukses tidaknya pesan
politik yang disampaikan dari aktor politik melalui media massa kepada masyarakat
(khalayak/komunikan) secara umum.
4. Teori komunikasi politik empati Menurut teori ini, komunikasi politik diukur dari keberhasilan komunikator
(subjek komunikasi) memproyeksikan diri dalam sudut pandang orang lain.
Komunikasi politik berhasil apabila dapat menanamkan citra diri si komunikator
dalam suasana alam pikiran masyarakat, atau secara ringkas, membangun empati
masyarakat. Sehingga ketika sang aktor politik muncul di media massa yang sudah
didandani sedemikian rupa oleh konsultan politiknya untuk melakukan praktek
9Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
komunikasi (entah dalam pesan yang bagaimana), agar masyarakat (khalayak)
sehingga benar-benar merasakan hal yang sangat dekat, percaya, dengan apa yang di
rasakan oleh aktor politik tersebut.
5. Komunikasi adalah berkah sekaligus kutukan. Seperti disimbolkan dalam kisah Menara Babel, umat manusia terpecah-belah
ketika berkomunikasi tetapi tidak saling memahami karena masing-masing
menggunakan bahasa yang berbeda. Kemampuan bahasa dan reproduksi saluran-
saluran komunikasi adalah lompatan peradaban manusia, mendekatkan jarak sehingga
muncul istilah global village tetapi juga memisahkan satu sama lain dalam jurang
persepsi. Begitu banyak persoalan, mulai dari hubungan antara dua manusia, pada
tingkat keluarga, kelompok kecil, masyarakat, hingga korporasi dan negara-bangsa,
muncul akibat problem komunikasi.
6. American StyleDalam kehidupan politik, hubungan antara elite dan publik, persoalan-
persoalan komunikasi menjadi salah satu kajian yang tergolong esoteris dalam
khazanah ilmu-ilmu sosial. Pada konteks Indonesia, kita mengalami bauran
kompleksitas komunikasi politik akibat komunikasi gaya Amerika yang menekankan
pada aspek pencitraan, sehingga sering pula disebut politik pencitraan. Penulis
menyebutnya sebagai “gaya Amerika” karena modus komunikasi politik pencitraan
secara sistematis melalui pemanfaatan media massa pertama kali dipraktikkan oleh
Lyndon B Johnson saat bertarung dalam pemilu Amerika Serikat.
10Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
BAB III
Pembahasan
Politik Pencitraan di Indonesia
Politik mencakup lebih dari sekedar pengelolaan masalah publik, struktur dan
organisasi pemerintah serta kampanye pemilu yang bersemangat. Lebih dari itu,
politik mencakup aspirasi, tujuan, keyakinan, dan nilai - nilai kemanusiaan. Politik
berkaitan dengan teori dan praktek, keterampilan filosofis serta teknis. Terjun
kedalam dunia politik, haruslah memliki prasyarat utama. Atau komposisi utama
berpolitik, agar berpolitik bukan saja permainan belaka, tapi berpolitik adalah upaya
sungguh-sungguh mengabdi pada kepentingan rakyat banyak.
Dewasa ini, misalnya, dalam konteks pertarungan politik atau kontes politik
faham pencitraan makin diperhatikan. Pencitraan menjadi keharusan agar seseorang
kandidat (pemimpin) terpilih menduduki jabatan-jabatan politik. Tanpa pencitraan,
rasa-rasanya dunia politik tak menarik saja, katakanlah bumbu yang dianggap
“pamungkas” untuk memenangkan pertarungan “masak-memasak.”
Banyak sekali aspek yang diperhitungkan dalam mengkampanyekan citra
politik. Lembaga yang berperan “memuluskan” pencitraan adalah partai politik,
media massa, juga lembaga konsultan politik. Lembaga inilah yang menggagas,
merumuskan dan merampungkan paket pencitraan politik. Makalah ini akan mencoba
menyoroti tentang politik pencitraan di Indonesia, marketingnya dan sejauh mana
pencitraan tersebut memiliki andil terhadap tingkat keterpilihan tokoh. Juga tentang
ekses buruk dari politik pencitraan yang berlebihan.
Komunikasi Politik dan Strategi Politik
Komunikasi politik di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia
biasanya menggunakan dua sistem komunikasi dominan, yaitu media massa modern
dan sistem komunikasi tradisional. Untuk mempengaruhi masyarakat, maka perlu
11Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
untuk memilih sarana komunikasi yang tepat, sesuai dengan keperluan dan kepada
siapa pesan politik ingin disampaikan.
Dalam masyarakat perkotaan, apalagi kelas menengah, media massa menjadi
akses utama komunikasi politik karena pola hidup mereka yang mobile, dan hampir
tidak punya waktu untuk melakukan komunuikasi dengan orang lain. Media massa
atau internet menjadi medium paling pas menyampaikan pesan-pesan politik dan
mengetahui umpan balik.
Sementara untuk masyarakat pedesaan, apalagi masyarakat pedalaman yang
secara literal tidak memiliki tradisi baca, pesan politik hanya bisa disampaikan oleh
sistem komunikasi tradisional. Komunikasi yang paling efektif adalah dengan
menggunakan sistem komunikasi lokal yang sesuai dengan budaya mereka.
Pendekatan dengan tokoh-tokoh kampung menjadi pengatur lalu lintas opini
menjadi kunci keberhasilan dalam sistem komunikasi tradisional ini. Tidak heran bila
banyak pasangan kandidat dan tim sukses melakukan berbagai pendekatan dan
strategi untuk mempengaruhi opini sang tokoh, dengan harapan tokoh tersebut akan
menggunakan pengaruhnya untuk memilih sang kandidat. Pola-pola ini merupakan
pola-pola umum yang digunakan hampir oleh semua kandidat dalam bursa politik di
Indonesia.
Penggunaan media massa untuk kepentingan kampanye bisa dikatakan masih
sangat terbatas. Hanya beberapa kandidat yang mengiklankan dirinya di tabloid,
internet dan koran lokal di Indonesia. Selebihnya mereka lebih memilih untuk
mengkampanyekan dirinya melalui kalender, stiker, dan spanduk yang biayanya jauh
lebih murah dan bertahan lama.
Tidak dipilihnya media massa sebagai kampanye terbuka sangat terkait
dengan; Belum dimulainya putaran kampanye resmi, atau karena kampanye melalui
media massa di samping mahal, juga memiliki daya tahan yang terbatas. Namun,
boleh jadi penggunaan media massa akan dipacu menjelang hari H pemilihan, karena
jarak jangkau media massa yang luas, apalagi media massa cetak dengan oplah besar
diharapkan bisa mempengaruhi sikap akhir pemilih.
Sebagai agen politik, media massa bisa melakukan proses pengemasan pesan
dan proses inilah yang sebenarnya membuat sebuah peristiwa atau aktor politik
12Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
memiliki citra tertentu. Pencitraan politik seringkali sangat efektif untuk menaikkan
pamor atau menghancurkan pamor aktor politik. Namun masalahnya, media yang
menjadi agen politik harus meninggalkan objektivitasnya dan memanipulasi fakta
sebagai alat untuk kepentingan politik.
Sejauh ini, pola komunikasi tradisional masih menjadi pilihan strategi
dominan oleh para kandidat dan tim sukses. Kyai dan ulama merupakan sasaran
kampanye paling strategis, sehingga hampir setiap saat Kyai dikunjungi oleh para
kandidat. Bahkan kadang-kadang jadwalnya bertabrakan dengan jadwal kandidat lain.
Keyakinan para kandidat dan tim sukses terhadap pengaruh ulama menjadi penyebab
kenapa dipilih sebagai arena kampanye. Sebagai bagian dari sistem sosial masyarakat,
masih dipandang penting dalam sistem kepercayaan masyarakat termasuk dalam
persoalan politik. Namun, karena hal itu, tak urung ulama dikritik menjadi arena
politik praktis.
Menjadikan Kyai dan ulama sebagai jalan menuju kursi kekuasaan politik
tidak sepenuhnya salah. Sah-sah saja setiap orang atau lembaga menggunakan haknya
untuk berpolitik. Namun yang disayangkan adalah apabila Kyai dan ulama
dimanipulasi untuk keperluan politik praktis jangka pendek yang bisa mengorbankan
citra Kyai dan ulama secara mayoritas. Karena politik tidak jauh dari praktik “siapa
menguasai siapa, dan siapa memanfaatkan siapa”.
Selain Kyai dan ulama, para kandidat juga berupaya memperoleh dukungan
dari militer. Lembaga ini memiliki pengaruh langsung terhadap masyarakat baik
secara sukarela maupun karena takut. Pendekatan-pendekatan personal dilakukan
kepada pejabat, Ini sudah bukan rahasia. Apalagi jika kita menengok parktek-praktek
politik yang terjadi di Indonesia selama ini.
Partai Politik
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir
yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
13Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka.
Realitas politik di Indonesia menunjukan bahwa sebagian besar partai politik
tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Partai politik masih menerapkan
pragmatisme politik semata ketimbang mengimplementasikan fungsi-fungsi yang
dimilikinya. Kondisi ini terutama terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana
sosialisasi dan pendidikan politik sangat minim sekali (bahkan nyaris tidak ada).
Partai politik seperti pernah disinggung, memainkan peran yang kuat dalam
pencitraan politik kader-kadernya. Dengan mesin partai yang terstruktur,
penggalangan sumberdaya menjadi lebih mudah dan tepat. Mendekati musim
pemilihan partai politik berlomba melakukan seringkain bentuk pencitraan diri agar
mendapat simpati dari konstituen masyarakat. Partai-partai politik berlomba
menciptakan iklan, yang dapat mencitrakan partai atau tokohnya, yang dapat menarik
perhatian rakyat. Ini dianggap pilihan-pilihan politik yang kreatif,yang tujuannya
mendapat dukungan yang luas
Yang menarik, bahwa ada partai politik yang membuat iklan dengan
menampilkan tokoh-tokoh masa lalu, yang berubah menjadi 'kontroversi'. Tapi,
dianggap masalah penampilan iklan itu, yang penting kontroversi itu menjadi
konsumsi politik rakyat. Misalnya yang menjad sorotan adalah, adanya sebuah partai
yang tiba-tiba menggulirkan isu untuk pengangkatan Almarhum Jenderal Soeharto
sebagai Pahlawan. Ini jelas sebuah strategi penggalangan emosi masasa yang cukup
baik.
Bahkan, bagi partai partai yang ingin menjadi partai besar, tak segan-segan
membuat iklan yang lebih populis, merakyat, dan memposisikan partainya benar-
benar sebagai partai pembela rakyat. Partai politik masih berparadigma konvensional,
yang menempatkan kampanye sebagai ajang unjuk kekuatan ketimbang wahana
penyampaian wacana politik dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat.
Kondisi ini menunjukan adanya mal-fungsi dari partai politik, dalam hal ini fungsi
partai politik sebagai sarana sosialiasi dan pendidikan politik tidak berjalan.
Begitupula halnya dengan realisasi dari fungsi partai politik sebagai peredam
dan pengatur konflik. Partai politik belum bisa menempatkan diri sebagai sebuah
14Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
institusi politik yang inklusif yang menampung aspirasi masyarakat dan mendeteksi
secara dini potensi dan gejala munculnya konflik dalam masyarakat. Bahkan, kerap
kali partai politik terlibat langsung dalam konflik atau menjadi biang keladi
munculnya sebuah konflik dalam masyarakat.
Dan kondisi ini terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana terjadi konflik
terbuka antar partai yang memunculkan konflik antar kelompok masyarakat. Mal-
fungsi dan partai politik (terutama dalam fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan
pendidikan politik serta sarana peredam dan pengatur konflik) ini terjadi sebagai
akibat dari; pertama, kemunculan partai yang lebih disebabkan oleh eufona politik
semata, bukan dilandasi oleh kebutuhan dan pemikiran politik yang dewasa.
Hal ini menyebabkan partai-partai tersebut cenderung emosional dan reaktif
dalam berpolitik. Kedua, sebagian besar partai politik tidak memiliki visi, misi,
platform, dan program yang jelas. Ini merupakan dampak turunan dari kemunculan
partai politik itu sendiri yang dilandasi oleh euforia politik. Akibatnya tidak ada
wacana politik yang dapat ditawarkan kepada masyarakat, hanya konvoi dan arak-
arakan saja.
Dalam kaitan itu, partai politik tidak melakukan pendewasaan politik tetapi
melakukan pembodohan politik kepada masyarakat. Ketiga, struktur dan infrastruktur
politik yang dimiliki oleh sebagian besar partai politik (baru) sangat tidak memadai
bagi terealisasinya fungsi-fungsi dari partai politik. Hal ini dimungkinkan karena
usianya yang masih relatif muda, dibutuhkan waktu yang panjang untuk
mematangkan dan menguatkan struktur dan infrastruktur partai politik sehingga dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
Keempat, sebagian partai politik masih cenderung memiliki pemikiran politik
yang kurang dewasa, terutama menempatkan pemilu sebagai alat untuk memperoleh
kekuasaan semata. Pemilu hanya dilihat sebagai alat untuk mendapatkan jatah kursi di
legislatif. Fungsi lain dari pemilu diabaikan begitu saja. Akibatnya, partai-partai
politik terjebak pada pragmatisme dan cenderung menghalalkan segala cara untuk
memperoleh kekuasaan. Mal-fungsi dari partai politik tersebut pada akhirnya akan
mengurangi kualitas dari penyelenggaraan pemilu, terutama berkaitan dengan
pendidikan dan pendewasaan politik masyarakat.
15Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Media Massa
Politik sering menempatkan media sebagai medan perang sekaligus panglima.
Hal ini dimungkinkan ketika media memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan
informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini
menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi individu atau lembaga. Hal
ini menjadikan berita terus mengalami redefinisi sesuai dengan kebutuhan masing-
masing.
Fakta juga kini telah berubah menjadi komoditas yang mudah dikemas, didaur
ulang dan dimaknai kembali. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan
hal yang sama dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah
pilkada langsung, hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi
ruang dan waktu untuk mengulas pilkada langsung.
Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada
langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi
citra politik justru dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke
dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara
sadar atau tidak merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi
politik disengaja atau tidak disengaja telah melahirkan keberpihakan media.
Menurut John Hartley narasi berita hampir mirip dengan sebuah novel atau
karangan fiksi yang memunculkan sosok pahlawan dan penjahat. Media juga selalu
punya kecenderungan untuk menampilkan tokoh dua sisi untuk saling
dipertentangkan sebagai akibat pemahaman yang serampangan tentang.
Ruang-ruang publik yang termasuk di dalam media massa, menjadi ruang
ekspresi yang tak terlepas dari berbagai manuver, taktik, dan strategi politik yang
digelar oleh elite politik dalam suksesi. Teknik “pemasaran politik” dengan
mengemas “citra” tentang sosok calon kepala daerah dalam praktek politik citraan
(politics of image), menempatkan media massa sebagai pemegang kendali utama
pemberitaan, karena salah satu kekuatan media yang sangat diperhitungkan adalah
kekuatan menciptakan opini publik.
Media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruki kultural yang
dihasilkan ideologi, karena sebagai produk media massa, berita surat kabar
16Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Lewat narasinya,
surat kabar menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa
pahlawan, siapa penjahat; apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang
layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa
yang disebut perjuangan (demi membela kebenaran dan keadilan); isu apa yang
relevan dan tidak (Eriyanto).
Narasi yang dibangun dan dipoles sedemikian rupa dengan bahasa, tidak
sekedar untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat
mempengaruhi cara melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat
digunakan untuk memberikan akses tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan,
misalnya dengan menekankan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan,
melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.
Dalam dunia pencitraan, citra dan realitas menjadi dua kutub yang terus tarik
menarik. Citra telah berubah menjadi sebuah mesin politis yang bergerak kian cepat.
Strategi pencitraan dan teknologi pencitraan atau imagologi dikemas sedemikian rupa
untuk mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik sehingga
mereka dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan dan keputusan politik tertentu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pilkada langsung tak lebih dari pemilihan
image politik individu atau lembaga. Bukan calon kepala daerahnya, tetapi image-
nya. Citraan-citraan itulah yang dijual dalam pencalonan, kampanye dan janji-janji
politiknya. Dalam pilkada langsung orang dituntun memilih berdasarkan image.
Imagologi politik dalam tahapan pilkada ini mengarah pada semacam
diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik, sehingga teknologi pencitraan
mengkonstruksi semacam realitas kedua (second reality) yang didalamnya terdapat
kebenaran yang dimanipulasi. Dalam bukunya simulation, Jean Baudrillard
mendefinisikan simulakra sebagai sebuah strategi penyamaran tanda dan citra
(disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan,
turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan.
Citra politik menjelma menjadi “kekuatan utama” dalam mengendalikan
wacana politik sehingga di dalamnya kini tidak hanya ada kekuatan pengetahuan,
tetapi lebih penting lagi menjelmanya “kekuatan citra” (power/image) sebagai
17Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
kekuatan politik. Meskipun pada akhirnya pemberitaan media menunjukkan sifat
netral atau berpihak, merepresentasikan fakta atau rekayasa fakta, menggambarkan
realitas atau hanya mensimulasi realitas. Namun yang jelas media tidak dapat
dilepaskan dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun
kepentingan ideologi.
Dalam menghasilkan pemberitaan politik misalnya, sebuah media dipengaruhi
oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu
kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan
sebuah kekuatan politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca
atau permirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya (Ibnu
Hamad).
Wajah media memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi media berupaya
mendekati obyektifitas pemberitaan, namun di satu sisi yang lain media juga tak luput
dari keberpihakan dan ketidak berimbangan yang dapat dijadikan celah bagi tim
sukses untuk terus memasukkan pesan dan citra politik sosok calon kepala daerah.
Celah ini bisa dimanfaatkan bagi elit politik maupun tim sukses untuk
menjadikan media sebagai sarana pemasaran massal. Tak heran bila beberapa
pendapat mengatakan bahwa komunikasi politik di era informasi telah menjelma
menjadi ajang pemasaran massal yang di dalamnya tanda dan citra memainkan peran
sentral.
Lembaga Konsultan Politik
Bila menelusuri literatur, profesi konsultan politik sudah dikenal di publik AS
bahkan sebelum Perang Dunia II. Pada 1930-an, berdiri perusahaan Whitaker and
Baxter, yang cikal bakal konsultan politik modern. Berbasis riset dan kampanye
media, perusahaan ini membantu para kandidat untuk memenangi pemilu.
Bahkan, Bill Clinton pun mengakui bantuan konsultan politiknya, Dick
Morris, yang membuatnya tetap bertahan di kursi kepresidenan periode kedua meski
tersandung kasus Monica Lewinsky. Pun, seminggu sebelum hasil pemilu
diumumkan, Gallup Poll lebih dulu mengumumkan prediksi. Hasilnya, akurat.
18Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Di Indonesia, profesi atau konsultasi politik “dibawa” oleh sekelompok yang
kita sebut saja sebagai “Ohio Mafia”, atau para akademisi lulusan Ohio State
University, seperti Denny Januar Ali dan Syaiful Mujani dan Professor William
Liddle. Mulanya mereka mendirikan Lembaga Survei Indonesia yang berkonsentrasi
pada riset opini publik dan survei politik. Namun kemudian Denny keluar, dan
mendirikan lembaga dengan nama yang hampir mirip, Lingkaran Survei Indonesia.
Lingkaran Survei Indonesia selain bergerak pada riset dan survei, juga
melayani jasa konsultan politik. Ini sebenarnya sesuatu yang paradoksial, sebab kerja
survei membutuhkan independensi, objektifitas dan kerja konsultan membutuhkan
keberpihakan dan subjektifitas. Beberapa tahun terakhir ini, banyak lembaga survei
dan konsultan politik didirikan. Ada lembaga yang hanya berkonsentrasi pada survei,
tapi ada juga lembaga yang menerima jasa keduanya (survei dan konsultan). Sebagai
salah satu media untuk pencitraan politik, lembaga konsultan politik cukup diminati
sekarang. Bisnis ini cukup fantastis dan dengan spektrum cukup luas.
Choel Mallarangeng, Direktur Fox Indonesia yang menangani “proyek politik
SBY”, mengatakan Tidak semua konsultan politik itu sama. Ada yang hanya
menangani isu saja, ada yang menangani style and contain client saja. Ada yang
menangani grass root campaign client saja, ada yang memimpin keseluruhan tim
pemenangan, ada yang media campaignnya saja. Bahkan bukan membuat eksekusi
media, tapi cuma creative brief, ada pelaporan dan adminitrasinya. Tapi kalau
tujuannya menang, begitu banyak secara holistik harus dilakukan untuk menang.
Di Indonesia jasa-jasa konsultasi politik semakin diminati. Dari pemilihan
kepala daerah sampai pemilu presiden, semuanya melibatkan jasa konsultasi politik
agar menjual pencitraannya kepada masyarakat. Menjamurnya iklan-iklan politik
merupakan andil dari lembaga konsultan politik. Semua tingkah laku tokoh politik
juga diatur sedemikian rupa.
Marketing Politik
Konsultan marketing politik penggunaan teknik-teknik pemasaran yang
sebelumnya hanya digunakan untuk produk-produk konsumen kemudian tumbuh
19Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
pesat dan berpengaruh menjadi bagian penting dalam memperluas jangkauan
kampanye hampir di semua tingkatan pemerintahan di Amerika Serikat.
Dengan kemajuan pengembangan teknologi di bidang media, pemasaran
politik telah menemukan alat baru untuk meningkatkan komunikasi yang persuasif.
Selama masa-masa kampanye para politisi telah terampil menggunakan media radio
untuk menyebarkan pesan-pesan mereka, salah satu contoh adalah Adolf Hitler lebih
dari dari 60 tahun memanfatkannya demikian juga dengan dan John F. Kennedy. Saat
sekarang, media internet bisa diandalkan menjadi media komunikasi yang baru.
Seorang Konsultan marketing politik pada umumnya bekerja lebih pada segi
aspek emosional pemilih dibandingkan dengan pemaparan program-program kerja
secara spesifik atau penjelasan teknis program. Media akan memiliki peran utama
dalam bidang pekerjaan para konsultan marketing politik akan tetapi media bukanlah
satu-satunya alat dengan melalui sebuah metode para konsultan marketing politik
mencakup penggunaan teknik-teknik penargetan dalam komunikasi jarak dekat atau
metode persuasi dengan campuran retorika melakukan rekayasa penggeseran tema
perdebatan dalam mempengaruhi tingkah laku pemilih.
Tema kampanye adalah bagian dari strategi ini sebagai pembuatan topik yang
menarik bagi pemilih. Kebijakan pelaku marketing politik dapat baik digunakan
sebagai penyebab mempromosikan seorang atau partai dalam suatu negara, Konsultan
marketing politik sering dipersalahkan berperilaku bagaikan menjual produk barang-
barang dibandingkan dengan ide-ide atau program politik.
Kekuatan kehumasan
Pencitraan politik di Tanah Air makin andalkan kekuatan kehumasan. Sejak
beberapa tahun lalu, partai-partai politik dan tokoh-tokohnya memanfaatkan kekuatan
itu secara lebih berarti dalam mesin politik mereka.
"Partai politik dan tokohnya harus membangun komunikasi yang baik, jujur,
terbuka dan sesuai realitas," kata Ketua Umum Perhumas, Prita K Gani, dalam diskusi
Political Branding and Public Relations, yang dilaksanakan di Kampus LSPR,
Jakarta. Diskusi itu juga menjadi ajang peluncuran buku kedua dari trilogi PR Magic
20Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
karya Silih A Wasesa. Buku itu mengadopsi pencitraan merek untuk partai politik dan
pencitraan politik bagi politisi dan mengungkap eratnya kaitan antara merek politik
dan kehumasan.
Menurut dia, hubungan masyarakat saat ini tak hanya berkutat dengan dunia
bisnis, namun juga dilibatkan dalam dunia politik, dunia yang atmosfernya mudah
sekali berubah.
Secara praktik kehumasan, buku itu juga membahas berbagai aspek penting,
yaitu komunitas membentuk merek politik, rekayasa citra, segmentasi publik, target
pemilih, dan pencitraan personal kandidat. Tidak kalah penting adalah menyasar
pemilih, manajemen media massa dengan impresi politik.
Contoh Kasus :
Capres Ganteng berinisial SBY gegap gempita diusung massa. Tempik sorak
membahana di mana-mana. Gambaran Capres ganteng, tinggi, sopan, indah
membayang di lubuk hati para Ibu-Ibu. Siapa di balik politik pencitraan ini? Fox
Indonesia. Bagaimana cara dan teknik serta urutan Fox Indonesia memoles, an
indecisive general dan jenderal yang kurang memiliki pengalaman kombatan di
kesatuannya menjadi bersinar? Membius rakyat Indonesia. Itu awal politik pencitraan
ala Amerika Serikat. Penuh kepalsuan. Lihat sekarang di AS bagaimana Mitt Romney
sedang mencitrakan diri yang bikin saya tertawa.
Tahukah Anda bahwa semua hal yang berkenaan dengan pencitraan itu
dimulai dari zaman Megawati. Cara ngomong SBY diatur. Harus berwibawa. Sesuai
dengan besaran tubuhnya. Jangan banyak tersenyum, karena menurut kesesuaian
antara tubuh dan gaya mulut harus sesuai. Semakain banyak tersenyum akan
melunturkan kewibawaan. SBY harus digambarkan layaknya raja-raja Jawa yang
kharismatik. Untuk itu tidak boleh cengengesan. Senyum dianggap meruntuhkan
wibawa. Pada waktu itu berhasil, namun sekarang jadi gagal total: SBY sekarang
dikenal sebagai pemilik wajah murung. Gaya wibawa raja jatuh menjadi paria. 1-0!
Keberhasilan politik pencitraan pribadi SBY yang disayang para ibu dan
perempuan, data menunjukkan bahwa pemilih perempuan kebanyakan tidak mau
21Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
memikirkan program. Makanya semua iklan dibuat plastis. Artificial, palsu, dibuat-
buat, digagah-gagahkan, diputih-putihkan! SBY ditampilkan sebagai sosok sempurna
bak malaikat dari surga. Fox Indonesia lupa atau melakukan tindakan untuk
pencitraan dengan cara membalik pikiran orang, melawan arus utama, agar tercapai
tujuannya. Namun sangat disayangkan keburu semua orang belajar memahami isi
perut Fox Indonesia, hasilnya ya gagal. Masyarakat tak percaya lagi dengan
namannya SBY. Mirip sinetron. Lebay. Tidak otentik. Tidak normal. Sekarang semua
omongan SBY dan penampilan SBY dianggap sinetron. Kehilangan wibawa dan
kepercayaan. 2-0.
Lalu digaraplah teknik berkomunikasi tingkat tinggi yang dirancang oleh
Partai Demokrat. Semua orang diatur tentang tugas dan perannya. Dibuatlah tokoh
antagonis dan protagonis. Tujuannya untuk politik penc itraan; pengalihan isu,
penipuan, kebohongan terhadap publik. Tujuan sebenarnya masa kekuasaan kedua
ini hanya untuk menghabiskan masa jabatan. Titik. Muncullah Marzuki Ali, dia ini
orang cerdas, dia disuruh berperan menjadi manusia jelak, bermulut jahat, tengil dan
ketus - ini semua awalnya hanya acting. Pernah dia bilang rakyat bodoh dan
sebagainya. Itu disengaja. Tujuannya membuat wacana dan lontaran isu ke publik.
Masuk kelompok ini Sutan Batoeghana, Ahmad Mubarok, dan Ruhut
Sitompul. Ingat kan Ahmad Mubarok pernah melontarkan sesuatu kepada PKS, itu
petinggi kedua partai tertawa terbahak-bahak sambil berselonjor kaki di hotel ketika
masyarakat ribut. Itulah cara-cara petinggi partai politik berkomunikasi. Apapun akan
dilakukan. Jadi jangan heran melihat mereka berbicara ngawur-ngawuran. Tak
beretika. Itu cuma acting. Selesai sampai di situ? Tidak.
Lalu diatur rapi para tokoh protagonis, seolah-olah, sebagai katalisator Partai
Demokrat. Ada SBY, Anas Urbaningrum, Ibas yang tampil indah memesona, dengan
bahasa yang tertata rapi. Lalu para perempuan seperti Angelina Sondakh, maaf (Adji
Massaid), Amir Samsudin, dan kader yang elok masuk ke gerbong orang manis
berbicara manis. Maka jangan heran orang-orang ini akan muncul seolah mengoreksi
membenarkan yang salah. Persis dibuat untuk saling beradu jotos palsu. Lalu muncul
menjadi wasit, melontarkan kebenaran yang seolah-olah.
Namun, badai Nazaruddin datang kencang. Kebohongan mulai terkuak dari
dalam Partai Demokrat. Celakanya soal taktik dan politik pencitraan, masyarakat
22Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
menilai lurus-lurus saja tanpa memikirkan apa yang disebut strategi komunikasi
massa. Dianggaplah kelompok antagonis itu manusia buruk benar. Jahat mulut,
melecehkan masyarakat dan sebagainya. Padahal niat awalnya cuma acting.
Rupanya Fox Indonesia tidak mampu atau kewalahan untuk mengendalikan aktor-
aktor antagonis mereka. Rakyat tahunya mereka orang-orang buruk - atau memang
buruk. Hasilnya Partai Demokrat citranya rusak oleh acting mereka. 3-0.
Sementara para pemeran protagonis gagal total menetralisir dan berperan
mencairkan dan mengontrol para pemeran antagonis. Kenapa? Karena para antagonist
terlalu menikmati peran mereka sebagai orang jahat yang semaunya ngomong. Tak
perlu aturan. Aturannya asal ngomong buruk saja. Toh ada pemeran protagonist
punya tugas. Terlebih lagi gambaran para pemeran protagonist terlanjur tergambar,
tercitrakan sebagai lebay, alay, plastis, lemot, lambat, tidak natural, dibuat-buat, dan
tidak jujur. Maka yang terjadi Partai Demokrat dan SBY menuai citra yang sangat
buruk.
Jadi selamat datang politik pencitraan palsu yang akan menciptakan kepalsuan
dan kebohongan. Mau bukti kebohongan SBY dan Partai Demokrat? Angelina
Sondakh itu. Nazaruddin itu. Semua yang suka ngomong itu. 4-0. Angka mati pada
2014. Demokrat bukan Golkar. Tamat.
23Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
BAB IV
KESIMPULAN
Kegiatan politik praktis di negeri yang berideologi demokrasi, setelah runtuhnya
rezim orde baru yakni dengan nama reformasi. Melahirkan satu cara (strategi politik)
yang digunakan oleh beberapa calon pemimpin untuk mendapatkan tampuk
kekuasaan tertentu. Dan pada bab ini kami menyimpulkan faktor-faktor yang berperan
“memuluskan” pencitraan adalah partai politik, media massa, lembaga konsultan
politik, Marketing Politik, juga Kekuatan Kehumasan.
Komunikasi Politik dan Strategi PolitikKomunikasi politik biasanya menggunakan dua sistem komunikasi dominan, yaitu
media massa modern dan sistem komunikasi tradisional. Untuk mempengaruhi
masyarakat, maka perlu untuk memilih sarana komunikasi yang tepat, sesuai dengan
keperluan dan kepada siapa pesan politik ingin disampaikan.
Partai PolitikPartai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau
dibentuk dengan tujuan khusus. Realitas politik di Indonesia menunjukan bahwa
sebagian besar partai politik tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Partai
politik masih menerapkan pragmatisme politik semata ketimbang
mengimplementasikan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Kondisi ini terutama terlihat
jelas dalam tahapan kampanye, dimana sosialisasi dan pendidikan politik sangat
minim sekali (bahkan nyaris tidak ada). Sehingga tak ayal kita akan terbiasa melihat
banyak partai politik yang merekrut orang tidak jelas untuk menjadi kandidat mereka
di pemilu namun tidak memberikan pemahaman yang baik akan fungsi politik dalam
kehidupan bernegara di tanah air.
24Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Media MassaSebagai agen politik, media massa bisa melakukan proses pengemasan pesan
dan proses inilah yang sebenarnya membuat sebuah peristiwa atau aktor politik
memiliki citra tertentu. Pencitraan politik seringkali sangat efektif untuk menaikkan
pamor atau menghancurkan pamor aktor politik. Namun masalahnya, media yang
menjadi agen politik harus meninggalkan objektivitasnya dan memanipulasi fakta
sebagai alat untuk kepentingan politik. Diantaranya fungsi media massa yang terkait
dengan politik adalah pembentukan image (pencitraan). Media tidak dapat dilepaskan
dari berbagai kepentingan, baik itu kepentingan ekomomi maupun kepentingan
ideologi. Maka dari itu sebagai masyarakat (sebagai makhluk sosial) kita tentunya
harus menjadi masyatakat cerdas yang selektif dalam memilih (mengonsumsi) dalam
memaknai suatu informasi dari media massa.
Konsultan PolitikAda beberapa tipe konsultan politik menurut Choel Mallarangeng (Direktur
Foz Indonesia) Ada yang hanya menangani isu saja, ada yang menangani style and
contain client saja. Ada yang menangani grass root campaign client saja, ada yang
memimpin keseluruhan tim pemenangan, ada yang media campaignnya saja. Bahkan
bukan membuat eksekusi media, tapi cuma creative brief, ada pelaporan dan
adminitrasinya. Tapi kalau tujuannya menang, begitu banyak secara holistik harus
dilakukan untuk menang. Dari pemilihan kepala daerah sampai pemilu presiden,
semuanya melibatkan jasa konsultasi politik agar menjual pencitraannya kepada
masyarakat. Menjamurnya iklan-iklan politik merupakan andil dari lembaga
konsultan politik. Semua tingkah laku tokoh politik juga diatur sedemikian rupa.
Marketing PolitikTataran persentuhan konsultan marketing politik seperti yang dikatakan pada bab
sebelumnya, yakni hanya bekerja pada aspek emosinal pemilih tanpa memedulikan
sisi substansial dari apa yang mau ditawarkan dengan brand Politik tersebut.
25Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Kekuatan kehumasanFaktor ini merupakan kekuatan partai - partai politik beserta aktor politiknya
dalam mesin politik-nya. Aspek penting faktor ini, yaitu komunitas membentuk merek
politik, rekayasa citra, segmentasi publik, target pemilih, dan pencitraan personal
kandidat. Tidak kalah penting adalah menyasar pemilih, manajemen media massa
dengan impresi politik.
Dunia politik tak ubahnya seperti arena bertarung yang sangat membutuhkan strategi
jitu dalam pemenangannya. Tidak hanya sekedar politik uang yang mampu berperan
sebagai second God dalam memenangkan hati rakyat, saat ini rakyat semakin kritis
dan sebagian besar tak lagi tertarik pada politik uang, meskipun tak dapat dipungkiri
bahwa masih ada sebagian partai politik yang menggunakan politik uang sebagai
strategi pemenangannya.
Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and
the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 -
1998, ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah
partai politik dan strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor
utama dalam menentukan kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor
biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai
politik dan pemimpin partai politik merupakan kunci penentu kemenangan. Melalui
pendekatan program kerja sebuah partai politik kepada pemilihnya hanya akan
dimengerti oleh publik yang “melek” politik. Bagi publik yang “buta” politik, mereka
akan lebih suka melihat citra para pemimpin partai politik. Pengertian citra berkaitan
erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga
dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan
merek suatu produk barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak
sasaran (audience).
Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting
dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat
keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan tindakan
26Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang
menampilkan kondisi yang paling baik.
Memasarkan partai politik tak ubahnya seperti memasarkan sebuah produk
barang atau jasa kepada target pasarnya. Pada dasarnya, jika diibaratkan berdagang,
target pasar untuk partai politik adalah para pemilih (voters), jika kita melakukan
segmentasi pemilih yang menjadi target pasar partai politik, maka akan terdapat 4
jenis pemilih potensial yang ada di Indonesia, yang pertama adalah pemilih ideologis
(ideologist voters), yang kedua adalah pemilih tradisional (traditional voters), yang
ketiga adalah pemilih rasional (rational voters) yang terbagi dalam pemilih intelektual
dan non partisan, sedangkan yang keempat adalah pemilih yang masih berubah-ubah
(swing voters). Ideologist Voters dan Traditional Voters menguasai sekitar 40% dari
market share, sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar 60%
dari market share (Priosoedarsono, 2005).
Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan, tak dapat dilepaskan dari
peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah) untuk memberitakan
kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor politik yang diberitakan
dan menjadi konsumsi media massa. Disini peranan “Framing” maupun “Agenda
Setting” menjadi penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-
berita yang akan menjadi headline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik,
artinya adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan
oleh media untuk menjadi berita utama (headline). Media massa mempunyai peranan
penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Hal tersebut
tampak dari fungsi yang dijalankan oleh media massa yaitu sebagai alat untuk
mengawasi lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-
bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), mengirimkan warisan
sosial (transmission of the social heritage), dan memberikan hiburan (entertainment)
– (Littlejohn, 1999).
Peristiwa politik selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan.
Hal ini terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan. Yang pertama adalah karena
saat ini politik berada di era mediasi (politics in the age of mediation), yaitu media
massa sebagai wadah yang dapat melakukan proses mediasi antara kepentingan publik
dan politik, hampir mustahil jika kehidupan politik dipisahkan dari media massa.
27Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Para aktor politik yang melakukan strategi pencitraan senantiasa berusaha menarik
perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media. Yang
kedua adalah peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor
politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat
rutin belaka, misalnya kegiatan rapat kerja partai atau pertemuan seorang tokoh
politik dengan para pendukungnya. Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar
biasa seperti pemilihan umum. Alhasil, liputan politik senantiasa menghiasi berbagai
media setiap harinya.
McNair (1995), menyatakan bahwa dalam era mediasi tersebut, fungsi media
massa dalam komunikasi politik bisa menjadi penyampai (transmitters) pesan-pesan
politik dari pihak-pihak di luar dirinya, sekaligus menjadi pengirim (senders) pesan-
pesan politik yang dibuat (constructed) oleh para jurnalis kepada publik. Jadi bagi
para aktor politik, media massa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan politik
mereka kepada khayalak maupun sebagai media untuk melakukan proses strategi
pencitraan, sementara untuk para wartawan, media massa adalah wadah untuk
memproduksi pesan-pesan politik, karena peristiwa-peristiwa politik itu memiliki
nilai berita (news value). Sebagian dampak politik terhadap liputan media dilihat dari
isi berita atau informasinya, tepatnya pesan-pesan politiknya.
Oleh karena itu bagaimana pesan-pesan politik tersebut disusun agar dapat
memperoleh citra positif didalam media? Dinegara yang menganut sistem politik
yang demokratis, maka pesan yang dikirim haruslah di Construct terlebih dahulu.
Yang melakukan Construct adalah jurnalis sedangkan yang menerima pesan adalah
khalayaknya. Sementara itu media kerjanya tidak saja melaporkan kepada
khalayaknya secara netral, atau tidak memihak, akan tetapi juga harus mampu
menunjukkan sikap impartiality-nya. Disamping itu ia juga harus menjaga agar
semua berita yang disiarkan akan tetap menjaga sifat akurasinya terhadap semua
event atau peristiwa yang ada disekitarnya sebagai Political Reality, yang
memperhatikan 3 hal, yaitu Realitas Politik yang Objective, yaitu berita politik yang
diambil dari Event Politik seperti apa adanya. Realitas Politik yang Subjective, yaitu
berita politik yang diambil dari Event Politik seperti apa yang dilihat dari kacamata
aktor politik maupun partai politik. Dan Realitas Politik yang Konstruktif, yaitu berita
politik yang diambil dari Event Politik yang diliput oleh media massa.
28Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Menurut Blumler dan Gurevitch dalam studinya mengenai The Political
Effects of Mass Communications (1986) menjelaskan bahwa kepedulian publik
tentang komunikasi massa pada dasarnya terfokus pada efek potensial dari isi media
massa kepada publiknya / khalayaknya. Oleh karena itu ada semacam asumsi bahwa
media massa mempunyai pengaruh yang potensial kepada khalayaknya, dan karena
itu pula orang sering mengatakan bahwa media massa itu sangatlah powerfull.
Kekuatan media massa untuk mempengaruhi khalayaknya sangat berdampak keras
dan dapat menjadikan sebuah partai politik maupun aktor politik yang ada didalamnya
mempunyai citra negatif atau positif.
Berangkat dari pemikiran tersebut diatas, para aktor politik yang akan
melakukan proses pencitraan terhadap dirinya maupun pencitraan terhadap partai
politik yang diusungkan hendaknya dapat memanfaatkan media massa yang dapat
memberikan pengaruh besar kepada publik. Pesan-pesan politik yang akan
dihadirkan oleh para aktor politik tersebut biasanya disusun terlebih dahulu sehingga
sesuai dengan target pencitraan yang diinginkan melalui media massa, hal tersebut
akan memberikan efek yang lebih besar jika isi media lebih disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing media yang berfungsi sebagai transmitter. Disamping
karakteristik media, diperlukan juga karakteristik dari khalayak pemirsanya. Hal ini
penting karena segmentasi khalayak akan memperjelas besar-kecilnya pengaruh yang
diharapkan, dan segmentasi khalayak perlu dilakukan karena mereka punya preferensi
pilihan medianya sendiri-sendiri. Sementara itu ada faktor lain yang ikut menentukan
tingkat pengaruh politik terhadap media massa yang digunakan, yaitu tampilan dari
aktor politik dalam media tersebut dan tampilan ini biasanya melekat juga pada diri
aktor politik tersebut, misalnya latar belakang pendidikan, karir organisasinya atau
orientasi politiknya. Untuk mengukur tingkat exposure dari isi media yang dipilih
oleh masing-masing khalayak, maka kembali yang dilihat adalah tidak semata-mata
dari pesan yang disampaikan melalui media tersebut, tetapi juga harus dilihat dari
pesan-pesan lain yang sama sekali tidak bernuansa politik, misalnya acara hiburan,
dan pengaruh tersebut sebagian besar adalah karena faktor kebiasaan menonton yang
dimiliki oleh publik, bukan karena faktor pilihan publik atas media.
Dimensi lain yang juga bisa diangkat sebagai suatu asumsi bahwa pengaruh
politik atas media massa yang digunakan adalah bisa dilihat juga dari perspektif lain
dan masing-masing punya masalah dalam alat ukur yang digunakan, misalnya
29Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
mengenai policy information, issue priorities, images of politicians, qualities as
leaders, attitude to the various parties strengths and weaknesses, voting preferences.
Faktor lain yang selalu digunakan sebagai ukuran besar kecilnya pengaruh politik atas
media massa yang digunakan biasanya dilihat dari perpektif identitas khalayaknya,
misalnya faktor demografis, seperti gender, umur, pendidikan, sosial-ekonomi-status,
faktor loyalitas kepada partai, motivasi mengikuti kampanye politik, dan kefanatikan
dalam menggunakan media politik dan lain sebagainya.
Liputan politik juga cenderung lebih rumit ketimbang reportase bidang lain.
Pada satu pihak liputan politik memiliki dimensi pembentukan pendapat umum
(public opinion), baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh para jurnalis.
Oleh sebab itu, berita politik bisa lebih daripada sekedar reportase peristiwa politik,
tetapi merupakan hasil konstruksi realitas politik untuk kepentingan opini publik
tertentu. Dalam komunikasi politik, aspek pembentukan opini ini justru menjadi
tujuan utama Karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian pencitraan
politik para aktor politik tersebut.
Dalam melaporkan atau mengkonstruksikan realitas pemberitaan politik,
lazimnya media massa memanfaatkan tiga komponen, yaitu pemakaian simbol-simbol
politik (language of politics), strategi pengemasan pesan (framing strategies) dan
kesediaan media memberi tempat (agenda setting function). Seorang tokoh politik
hendaknya dapat memberikan pemberitaan-pemberitaan politik yang aktual dan kritis
yang dapat memberikan kesadaran pada masyarakat tentang pentingnya sistem politik
yang lebih demokratis. Banyak aspek dari media massa yang membuatnya penting
dalam kehidupan politik, pertama adalah daya jangkaunya (coverage) yang sangat
luas dalam menyebar-luaskan informasi politik yang mampu melewati batas wilayah
(geografis), kelompok umur, jenis kelamin dan sosial-ekonomi-status (demografis)
dan perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Dengan begitu sebuah masalah
politik yang dimediasikan dapat menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan
kalangan. Kedua, kemampuan dari media massa yang dapat melipat-gandakan pesan
(multiplier of message) yang sangat luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa dilipat-
gandakan pemberitaannya sesuai dengan kebutuhannya melalui jumlah eksemplar
surat kabar, tabloid, dan majalah yang tercetak, dan juga bisa diulang-ulang
penyiarannya di media massa elektronik sesuai dengan kebutuhan. Alhasil pelipat-
gandaan ini menimbulkan dampak yang sangat besar di tengah khalayak. Ketiga,
30Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
setiap media massa mempunyai kemampuan untuk bisa mewacanakan sebuah
peristiwa politik sesuai dengan pandangan masing-masing media yang memberitakan.
Kebijakan redaksional dalam menentukan agenda setting yang dimilikinya
menentukan penampilan dari isi sebuah peristiwa politik yang diberitakan.
Justru karena kemampuan inilah maka media massa banyak diincar oleh
pihak-pihak yang ingin menggunakannya untuk kepentingan politik tertentu dan
sebaliknya, akan dijauhi oleh pihak yang tak menyukainya. Keempat, tentu saja
dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media massa memiliki kesempatan
yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa
politik. Sesuai dengan kebijakannya masing-masing, setiap peristiwa politik dapat
disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas belum tentu berita politik yang menjadi
agenda media merupakan agenda publik juga. Kelima, pemberitaan peristiwa politik
oleh suatu media massa lazimnya berkaitan dengan media massa lainnya sehingga
membentuk rantai informasi (media as links in others chains). Hal ini akan
menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi, khususnya informasi
politik dan dampaknya terhadap publik. Dengan adanya aspek inilah maka peranan
media dalam membentuk opini publik akan semakin kuat. Atas dasar kenyataan
inilah, wajar jika kemudian publik sering menyoroti pemberitaan-pemberitaan politik,
apalagi pada saat-saat krusial dalam kehidupan berpolitik di Indonesia seperti pada
masa kampanye pemilu, saat terjadi krisis politik, konflik antar para pendukung
partai, deklarasi partai politik baru, maupun isu-isu mengenai partai politik yang saat
ini menjadi statusquo. Untuk itulah maka momentum yang demikian dapat
dimanfaatkan oleh para aktor politik agar mulai melakukan strategi pencitraan, karena
di era mediasi seperti saat ini media and money are the second God.
31Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
SARAN
Peter Schoder mengatakan bahwa “kita tidak mungkin disukai oleh semua
orang”. Kampanye politik bukanlah situasi perang, tetapi, kata Schoder, “setiap ide
politik yang dikemukakan oleh seseorang atau sebuah kelompok akan memecah
masyarakat pada saat ide itu diumumkan”.
Politik tak sama dengan peperangan. Tetapi efek dari situasi yang diciptakan
oleh kampanye politik bisa berubah menjadi perang ketika kampanye politik dijadikan
sebagai arena untuk membantai lawan politik tanpa etika dan sopan santun politik.
Kampanye politik merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi pemilih supaya
menentukan pilihan sesuai dengan tujuan sang kandidat. Oleh sebab itu, sering kali
kampanye politik diisi oleh penyerangan terhadap pribadi-pribadi kandidat dan
pendukungnya dengan membuka keburukan-keburukan dari segala dimensi.
Kampanye negatif merupakan trend universal di gelanggang politik dunia. Di
negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap
keburukan-keburukan lawan sering dilakukan. Namun, dalam konteks Indonesia yang
memiliki kultur Ketimuran yang kuat, membuka keburukan-keburukan lawan masih
belum bisa diterima secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus yang merugikan publik
secara luas, seperti kasus korupsi.
Kasus-kasus kerusuhan paska pilkada di berbagai daerah di Indonesia di era
reformasi merupakan fakta bahwa politik bisa bertransformasi menjadi perang ketika
benturan ide dan kepentingan politik diserahkan kepada massa yang anarkis.
Pemanfaatan berbagai sumber daya politik yang mengabaikan aturan politik menjadi
asal mula berubahnya politik menjadi perang.
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2005
menunjukkan bahwa tiga faktor yang menyebabkan konflik antar elit politik, yang
kadang bisa berubah menjadi konflik fisik antar massa pendukung. Faktor itu
meliputi:
Pluralisme identitas dan beragamnya kepentingan politik serta sumber daya
politik yang terbatas,
32Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Pergeseran patronase politik di tingkat lokal menyebabkan terjadinya
persaingan politik antar elit lokal dalam mengisi jabatan-jabatan kekuasaan,
dan
Transisi politik dan intervensi elit nasional yang bisa membuka pertarungan
elit menjadi pertarungan terbuka.
Beberapa peristiwa politik di Indonesia paska pergantian penjabat
bupati/walikota, menunjukkan bahwa konflik antar elit benar-benar terjadi. Dalam
kasus pergantian pejabat dan kepala dinas, sangat terasa disebabkan oleh terjadinya
pergeseran patronase politik. Pejabat-pejabat lama yang dianggap menjadi kubu
kandidat lain dengan segera diganti setelah penjabat baru dilantik. Pergeseran
patronase politik ini juga menjadi ajang balas dendam untuk membabat kubu politik
lawan.
Persoalan yang lebih mendasar dari semua ini adalah makin menurunnnya
kualitas kehidupan politik di Indonesia. Pencitraan yang berlebihan dan tidak
memiliki substansi yang hendak dipersembahkan dalam kehidupan politik, jelas
mengaburkan tujuan politik. Apa tujuan berpolitik, tujuannya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Sekedar contoh bagaimana terjadi perang citra yang tidak berkualitas sama
sekali terjadi pada masa kampanye pemilu. Para calon kandidat yang mau bertarung
ramai-ramai memasang poster mereka dengan pesan-pesan singkat dan Instan. Tidak
ada sesuatu yang lebih fundamental dibahas. Terlebih ketika para caleg melakukan
“pendomplengan” popularitas dengan menambahkan foto orang lain dalam posternya.
Pembodpohan publik yang luar biasa.
Kedepannya, rakyat harus kritis dan elit poltik harus sadar dan berkemauan
unutk menciptakan iklim politik yang sehat. Pencitraan sah-sah saja, asalkan dia
diberi oleh tujuan-tujuan politik yang substansial dan fundamental menyangkut cita-
cita menyejahteraan rakyat seluruh Indonesia.
33Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Akhiri Politik Pencitraan
SBY pantas dinobatkan sebagai aktor terbaik dalam dunia politik Indonesia. Ia
sanggup memerankan dengan baik lakon presiden dengan segala kebajikan dan kebaikannya. Ia selalu bertindak dengan bijak, memutuskan segala sesuatu dengan
hati-hati dan penuh pertimbangan, dan tindakannya selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Dia adalah pemimpin dalam dunia politik yang serba telah disetting. Pemimpin seperti ingin memimpin seperti dewa-dewa: tidak ada salah, tidak ada dosa,
tidak ada gesekan, intrik politik dan fitnah. Ia ingin memerintah dengan segala kesucian dan kebersihannya.
Tetapi kita hidup di dalam dunia, bukan surga. Kita hidup dalam dunia yang selalu dinamis, dialektis, selalu bergolak dan bergerak. Justru, karena kita sebagai
manusia, sebagai makhluk yang terpilih, harus bisa menghadapi dunia yang semacam itu dengan berbagai pilihan-pilihan di tangan kita. Seorang manusia terkadang harus
memilih jalan yang sulit dan berat, bahkan paling berat, demi mempertahankan kehidupan.
Seorang pemimpin harus hidup dalam dunia nyata. Ia harus bersedia menerima resiko-resiko yang dikehendaki dan tak dikehendakinya. Ia juga harus
menerima segala respon manusia yang dipimpinnya, baik berupa pujian maupun cap buruk, atas segala tindakan politiknya.
Tetapi SBY ingin kesempurnaan. Ia hanya mau dianugerahi pujian, tetapi menolak ditimpakan kesalahan, cacat, dan celaan. SBY hanya mau menampilkan satu
aspek dari kekuasaannya: prestasi dan kebaikan. Di sinilah muncul banyak persoalan:
Pertama, angka-angka statistik dimanipulasi. Akhirnya, kita menemukan
betapa kuatnya intervensi politik dalam mengatur kriteria kemiskinan, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Yang terpublikasikan adalah angka-
angka statistik yang menguntungkan pemerintah secara politis.
Kedua, kita juga mendengar banyak jargon daripada tindakan. Begitu banyak
jargon pembangunan yang digembar-gemborkan pemerintah, tapi sangat miskin dalam implementasi praksisnya. Sebut saja: gembar-gembor pemerintah untuk
memberantas korupsi, tapi sampai sekarang tidak terbukti sedikitpun.
34Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Ketiga, banyak ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan alias bohong. Banyak sekali janji-janji manis pemerintah yang tidak pernah terbukti sampai
sekarang. Salah satunya adalah program pembaharuan agraria nasional (PPAN), yang sampai sekarang tidak jelas kemana dan dimana program itu dijalankan. Masih
banyak janji-janji pemerintah, yang pernah diucapkan secara resmi di hadapan publik, tetapi tidak pernah berjalan atau dilaksanakan hingga kini.
Keempat, SBY dinilai terlalu lamban merespon persoalan. Demi menjaga citra di mata rakyat, SBY terkadang ragu atau bahkan lamban dalam merespon berbagi
persoalan yang muncul di masyarakat. “Kehatian-hatian yang berlebihan ini” justru membuat pemerintah selalu gagal sebelum bertindak.
Kelima, SBY terlalu banyak menghimbau dan terlalu sedikit memutuskan. Ada banyak sekali pidato-pidato SBY yang bersifat himbauan, karena di dalam pidato
itu sendiri terkandung banyak keragu-raguan; jangan-jangan tidak populer, jangan-jangan ditentang banyak orang, dan lain sebagainya.
Sebuah kebijakan pastilah merupakan keberpihakan: ada yang diuntungkan, tapi ada pula yang dirugikan. Di sini, seorang pemimpin haruslah mengutamakan
kepentingan nasional yang lebih besar dan rakyat banyak.
Keenam, SBY menjadi tukang klarifikasi dan penjaga nama baik keluarga.
Klarifikasi memang perlu, apalagi untuk menjelaskan atau menguraikan sebuah persoalan yang masih kabur dipahami massa rakyat. Tetapi terlalu banyak pidato
hanya untuk menjaga nama baik partai sendiri ataupun keluarga justru terkesan sebagai tindakan mensubordinasikan kepentingan nasional di bawah kepentingan
pribadi/golongan.
Ketujuh, SBY terlalu bergantung kepada media massa dan pujian. Setiap
kegiatan presiden memang perlu dilaporkan, supaya massa rakyat mengetahui dan setidaknya memberi dukungan atas kegiatan tersebut. Tetapi kalau terlalu banyak
kegiatan yang dibuat-buat, apalagi untuk tujuan publisitas belaka, maka justru akan menghambur-hamburkan banyak anggaran. Ada kalanya seorang pemimpin
diharapkan kehadirannya tanpa publisitas yang berlebihan.
35Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
Dan, untung SBY tidak hidup di jaman kuno, dimana kehadiran seorang pemimpin sangat diperlukan di medan peperangan. Jika ia hidup di jaman itu,
bagaimana ia mengatur para pengisah agar menceritakan bahwa ia bertempur dengan gagah berani di medan peperangan dan gugur sebagai ksatria di sana.
36Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar. 2011. Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Nasution, Zulkarimen. 1990. Komunikasi Politik Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing; Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi, Edisi 9. Terjemahan oleh Mohammad Yusuf Hamdan dari Theoris of Human Communication, 9th ed (2008). Jakarta: Salemba Humanika.
Tinarbuko, Sumbo. 2009. Iklan Politik dalam Realitas Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Sumber Refrensi
http://www.scribd.com/doc/51374962/Pencitraan-Politik-Di-Indonesia di akses pada 11 Mei 2012.
http://politik.kompasiana.com/2012/02/12/pencitraan-politik-sby-dari-raja-jadi-paria/ di akses pada 11 Mei 2012.
http://www.antaranews.com/berita/293032/pencitraan-politik-makin-andalkan-kehumasan di akses pada 11 Mei 2012.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20101011/politik-pencitraan-politik-tanpa-isi.html di akses pada 11 Mei 2012.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20111011/akhiri-politik-pencitraan.html di akses pada 11 Mei 2012.
http://monitorindonesia.com/ di akses pada 13 Mei 2012.
http://edelmensch.blogspot.com/2010/01/politik-pencitraan-penguasaan-simbol.html diakses pada tanggal 13 Mei 2012.
http://winsolu.wordpress.com/2009/04/15/politik-pencitraan-di-indonesia/ di akses pada 13 Mei 2012.
http://www.spindoctors-indonesia.com/deesinsight.htm?id=85&page=h di akses pada 13 Mei 2012.
http://mejikubirubiru.wordpress.com/2012/05/13/efek-pencitraan-para-pejabat-di-media-massa-terhadap-kehidupan-bermasyarakat/ di akses pada 13 Mei 2012.
37Efek Pencitraan Para Pejabat di Media Massa terhadap kehidupan bermasyarakat