anestesi bab1-2.docx

41
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendiks merupakan suatu organ berbentuk kantung ‘buntu’ yang berpangkal di sekum pada usus besar. Peradangan pada apendiks disebut juga dengan apendisitis. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi bakteri. Apendisitis dapat menyerang semua kalangan usia mulai dari balita hingga usia tua, dengan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 2:1 dan paling sering dijumpai di negara-negara berkembang 1 . Insidens tertinggi terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun 2 . Insidens apendisitis tertinggi mencapai 25 kasus per 10.000 anak setiap tahunnya pada kisaran usia 10 hingga 17 tahun 1 . Diagnosis kasus apendisitis pada anak pada umumnya cukup sulit dilakukan. Kesulitan membedakan antara apendisitis dengan dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan. Lebih dari 50% dari semua pasien pediatri dengan apendisitis terlambat didiagnosa dan 1

Upload: dyan-friska-yanty-lbs

Post on 26-Sep-2015

35 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangApendiks merupakan suatu organ berbentuk kantung buntu yang berpangkal di sekum pada usus besar. Peradangan pada apendiks disebut juga dengan apendisitis. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi bakteri. Apendisitis dapat menyerang semua kalangan usia mulai dari balita hingga usia tua, dengan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 2:1 dan paling sering dijumpai di negara-negara berkembang1. Insidens tertinggi terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun2. Insidens apendisitis tertinggi mencapai 25 kasus per 10.000 anak setiap tahunnya pada kisaran usia 10 hingga 17 tahun1. Diagnosis kasus apendisitis pada anak pada umumnya cukup sulit dilakukan. Kesulitan membedakan antara apendisitis dengan dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan. Lebih dari 50% dari semua pasien pediatri dengan apendisitis terlambat didiagnosa dan perforasi telah terjadi yang meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas3,4Konsultasi dini dengan petugas kesehatan dapat mencegah keterlambatan diagnosis dari penyakit ini. Diagnosa terkait apendisitis baik pada dewasa maupun anak-anak didapat dari anamnesa dan pemeriksaan fisik serta dari tanda dan gejala yang dialami oleh pasien. Namun perlu diketahui bahwa angka kejadian misdiagnostic pada penyakit ini cukup tinggi, yaitu sekitar 28-57% pada anak dibawah usia 12 tahun, dan hampir mencapai angka 100% pada anak dibawah usia 2 tahun. Penggunaan media imaging seperti USG, CT Scan, laparoskopi dapat dilakukan untuk menurunkan insidensi perforasi serta komplikasi lainnya pada kasus-kasus yang meragukan4. Apendisitis merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen (abdominal pain) dan merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan tindakan pembedahan segera khususnya pada anak-anak1.Sebelum tindakan bedah pada kegawatdaruratan apendisitis, persiapan anestesi untuk pasien merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Persiapan dimulai sejak sebelum pasien masuk ke dalam ruang operasi, baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan. Tindakan pra-medikasi, pilihan teknik anestesi , baik anestesi umum ataupun anestesi regional/lokal, serta alat dan obat-obatan yang digunakan merupakan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum tindakan bedah dilakukan. Terdapat upaya untuk mengendalikan jalan nafas pada pasien dekompensata di ruang gawat darurat. RSI (rapid Sequence Intubation) membuat pasien menjadi tidak sadar, neuromuskularnya dihambat dan dilakukan intubasi trakea tanpa mengganggu ventilasi tekanan positif (sedasi-intubasi hanya dalam 1 menit)5.

1.2. Tujuan Penulisan1. Memahami tentang apendisitis dan penanganan kegawatdaruratannya dari sisi anestesiologi2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang kedokteran3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departeman Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. ApendiksApendiks merupakan organ berbentuk tabung, dengan panjang sekitar kira 10 cm (kisaran 3-15), lebar 0,3-0,7cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Apendiks merupakan tonjolan kecil mirip jari didasar sekum atau berbentuk kantung buntu dibawah tautan antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum6. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus2. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene

Gambar 2.1. Anatomy of the appendixAppendiks merupakan bagian dari organ sistem pencernaan tubuh manusia yang tidak memiliki fungsi yang jelas. Namun appendiks memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme intestinal. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh2.

2.2. Defenisi ApendisitisApendisitis merupakan suatu reaksi inflamasi akut dan infeksi dari apendiks vermiform1. Definisi lain Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan dengan bagian akhir secum yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks. Apendisitis merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen (abdominal pain) dan merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan pembedahan segera khususnya pada anak-anak. Apendisitis dapat terjadi disebabkan oleh proses infeksi, proses inflamasi ataupun merupakan suatu proses inflamasi kronik yang dapat mengarahkan menuju tindakan apendektomi6.

2.3. EpidemiologiApendisitis memiliki angka insidens yang cukup tinggi dan merupakan kelainan abdomen pada bagian bedah yang paling umum dijumpai khususnya pada anak-anak. Insidens tertinggi terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun. Apendisitis terdiagnosa hanya 1-8% dari seluruh pasien anak-anak yang datang ke instalasi gawat darurat. Apendisitis menyerang 70.000 anak di Amerika Serikat setiap tahunnya. Kejadian diantara bayi baru lahir hingga usia 4 tahun adalah 1 hingga 2 kasus per 10.000 anak setiap tahunnya. Insidens meningkat hingga 25 kasus per 10.000 anak setiap tahunnya pada kisaran usia 10 hingga 17 tahun1. Kejadian perforasi terjadi cukup tinggi, yaitu sekitar 50-85% pada anak usia muda, dengan angka mortalitas 0,1 1% pada anak-anak7.Apendisitis juga dapat terjadi pada usia dewasa dan usia tua, sedangkan perbandingan kejadian apendisitis pada pria dan wanita, yaitu sekitar 2:1. Apendisitis lebih sering terjadi di daerah ataupun negara berkembang. Meskipun alasan mengapa kejadian itu terjadi belum dapat dijelaskan, potensial faktor resiko diduga akibat diet rendah serat dan tinggi gula, riwayat keluarga dan infeksi1,6.

2.4. EtiologiEtiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan apendisitis antara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia jaringan limfoid, dan infeksi virus8. Pada anak-anak sendiri obstruksi paling sering terjadi akibat hiperplasia jaringan limfoid pada submukosa folikel. Penyebab hiperplasia ini sendiri masih kontroversial, namun dehidrasi dan infeksi virus diduga menjadi penyebab utama). Penyebab lainnya dari apendisitis antara lain; benda asing (foreign body), infeksi bakteri, parasit, dan tumor appendiks atau sekum9.

2.5. PatofisiologiPatologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah2. Ketika obstruksi telah terjadi di apendiks, bakteri yang terperangkap di dalam lumen appendiceal mulai bermultipikasi, menyebabkan apendiks menjadi distensi. Peningkatan tekanan intraluminal menyebabkan juga terjadinya obstruksi drainase vena serta aliran darah arteri sehingga apendiks mengalami kongesti dan iskemik. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis dan menjadi gangren. Gambar 2.2. Patofisiologi Apendisitis

Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Pada stadium awal pasien akan mengalami nyeri abdomen di daerah periumbilikal akibat rangsangan oleh serabut saraf T10 dari apendiks10. Inflamasi yang semakin berat cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal dan menyebabkan nyeri semakin intens.Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Perforasi terjadi akibat adanya cairan inflamasi serta bakteri yang keluar hingga mencapai cavitas abdomen. Kejadian ini menginflamasi lapisan peritoneal secara luas dan peritonitis semakin hebat. Lokasi peritonitis sendiri (diffuse atau localized) tergantung oleh derajat dimana omentum dan adjacent bowel loop mampu menampung konten dari luminal itu sendiri. Jika cairan inflamasi dan bakteri tersebut dibungkus omentum, nyeri dan ketegangan (tenderness) akan terjadi secara lokal. Namun jika cairan inflamasi dan bakteri tidak terbungkus omentum dan menyebar menuju peritoneum, nyeri akan terasa di seluruh regio abdomen1.

2.6. Staging ApendisitisStaging dari apendisitis dapat dibagi menjadi 8 tahap, yaitu:2,61. Early Stage AppendicitisObstruksi pada lumen apendiks menyebabkan terjadinya edema mukosa, ulserasi mukosa, diapedesis bakteri, distensi apendiks dan mengarah menuju terjadinya akumulasi dan peningkakan tekanan intraluminal. Serabut saraf aferen viseral terstimulasi dan pasien akan merasakan nyeri periumbilikal dan nyeri epigastrik yang ringan, berlangsung selama 4-6 jam.2. Suppurative AppendicitisPeningkatan tekanan intraluminal pada akhirnya akan melebihi tekanan perfusi kapiler, berkaitan dengan obstruksi limfatik dan drainase vena dan menyebabkan invasi bakteri serta cairan-cairan inflamasi pada dinding apendiks. Masuknya bakteri menyebabkan acute suppurative appendicitis. Ketika bagian appendiks yang terinflamasi kontak dengan parietal peritonium, pasien akan mengalami tanda nyeri klasik, yaitu berpindahnya rasa nyeri dari periumbilikal ke bagian kanan bawah abdomen (right lower abdominal quadrant (RLQ)) yang berkepanjangan dan terasa semakin nyeri. 3. Gangrenous AppendicitisVena intramural dan trombosis arteri terjadi, berakibat pada terjadinya gangren apendisitis.4. Perforated AppendicitisIskemik jaringan apendiks yang terus menerus berakibat pada keadaan infark dan perforasi, baik perforasi lokal ataupun general.5. Phlegmonous AppendicitisLapisan apendiks yang meradang atau perforasi dapat berdinding omentum yang besar, mengakibatkan radang usus apendiks phlegmonous atau abses fokal. 6. Spontaneously Resolving AppendicitisJika obstruksi lumen apendiks teratasi, apendisitis akut juga akan hilang secara spontan. Hal ini terjadi saat hiperplasia limfatik atau fekalit terbuang keluar dari lumen.7. Recurrent AppendicitisInsidensnya sekitar 10%. Didiagnosa saat pasien mengalami nyeri RLQ pada beberapa waktu yang berbeda setelah pada pasien pernah dilakukan apendektomi.8. Chronic AppendicitisKronik apendisitis memiliki insidens 1% dan didefinisikan dengan keadaan:a. Pasien dengan riwayat nyeri RLQ setidaknya 3 minggu tanpa diagnosis alternatif lain,b. Setelah dilakukannya apendektomi pasien mengalami tanda dan gejala yang benar-benar hilangc. Secara histopatologi, dibuktikan dengan gejala inflamasi aktif yang kronik dari dinding apendiks atau fibrosis dari dinding apendiks2,6.

2.7. Diagnosis Apendisitis2.7.1 Gambaran KlinikAppendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat2.Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis. Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal (distribusi dari nervus T8 T10). Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga demam ringan (37,5C) 1

Peningkatan jumlah leukosit 10 x 109/L 2

Neutrofilia dari 75% 1

Total10

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang13 Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan

2.8. Diagnosis Banding2Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti: Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut. Demam Dengue Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat. Kelainan ovulasi Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Infeksi panggul Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Kehamilan di luar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Endometriosis ovarium eksterna Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar. Urolitiasis pielum/ ureter kanan Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Penyakit saluran cerna lainnya Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks.

2.9. Penatalaksanaan13Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi. Penanggulangan konservatif Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik. Operasi Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

Pencegahan apendisitis secara menyeluruh yang dapat dilakukan diantaranya:13 Diet tinggi seratBerbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon. Defekasi yang teraturMakanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada appendiks.

2.10. Komplikasi2Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya: AbsesAbses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. PerforasiPerforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis. PeritonitisPeritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

2.11. Konsep Dasar AnestesiaAnestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri saat proses pembedahan. Dalam anestesi dikenal trias anestesia yaitu: Sedasi, Analgesi, dan Relaksasi. Sedasi merujuk pada membuat pasien tidak sadar, analgesik merujuk pada hilangnya nyeri, dan relaksasi berarti melumpuhkan otot lurik5.Sebelum tindakan anestesi dan bedah persiapan pasien merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Persiapan dimulai sejak sebelum pasien masuk ke dalam ruang operasi, baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan. Tujuan utama kunjungan pra-anastesi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas selama operasi serta mengembalikan pasien pasca operasi ke fungsi yang diharapkan secepat mungkin, mengurangi biaya pengobatan dan pelyanan kesehatan. Kunjungan pra-anastesi juga berfungsi sebagai sarana perkenalan dokter agar dapat memberikan informed consent dan edukasi yang dapat diterima dengan baik oleh pasien maupun keluarganya. Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mempersiapkan pasien pra-anastesia:151. Identitas: hal mendasar pertama yang harus dipastikan. Salah pasien, metode operasi, bagian tubuh yang akan dibedah mungkin saja dapat terjadi bila tidak dilakukan konfirmasi pada pasien.2. Anamnesis: menanyakan riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat sosial (penggunaan rokok, alkohol, atau obat-obatan terlarang), riwayat alergi, dan obat-obatan yang sedang digunakan saat ini. Riwayat operasi juga penting ditanyakan, hal ini terkait dengan jenis anastesi yang digunakan saat itu, adanya hal-hal yang memerlukan perhatian khusus (alergi terhadap zat anastesi, mual muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak pasca bedah). Hal ini terkait dengan beberapa jenis obat yang disarankan untuk tidak diulangi pemakaiannya, seperti halotan yang tidak boleh digunakan ulang dalan jangka waktu tiga bulan. Pasien yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan sebelum operasi. Penghentian 1-2 hari sebelum operasi dapat mengeliminasi nikotin yang dapat mempengaruhi sistem kardiosirkulasi. Penghentian beberapa hari dapat mengaktifkan kembali kerja silia saluran pernapasan sementara penghentian beberapa minggu dapat mengurangi produksi sputum. 3. Pemeriksaan fisis: nilai kondisi medis pasien secara menyeluruh seperti: tanda vital, status generalisata, bahkan status lokalisata organ yang akan dioperasi. Pemeriksaan dasar pada kunjungan pra-anastesi adalah penilaian jalan napas, paru, dan jantung. Untuk pasien yang akan menjalani anestesi umum dan melibatkan tindakan intubasi, nilai kondisi rongga mulut pasien untuk memperkirakan kemudahan pemasangan pipa endotrakeal. Untuk memudahkan dapat diingat dengan singkatan LEMON:a. L: Look, lihat karakter yang menyulitkan intubasi seperti obesitas, mikrognatia, pembedahan/iradiasi leher dan kepala, adanya rambut di wajah, kelainan gigi (susunan buruk, gigi besar), palatum yang tinggi dan melengkung, leher pendek dan gemuk, dan trauma leher dan kepala.b. E: Evaluation, evaluasi aturan 3-3-2. Pasien dengan aturan ini memiliki anatomi relatif normal sehingga laringoskopi dapat dilakukan dengan sukses. Bukaan mulut normal adalah sesuai dengan lebar 3 jari pasien, jarak antara mentum dengan tulang hyoid adalah 3 jari, dan tonjolan kartilago tyroid berada 2 jari dibawah tulang hyoid.c. M: Mallampati, adanya hubungan antara visualisasi faring secara langsung dengan apa yang terlihat pada laringoskopi. Pemeriksaan dikerjakan dengan meerintahkan pasien membuka mulut selebar-lebarnya, mengeluarkan lidah, dan mengatakan ah. Setelah itu periksa lidah, palatum, uvula, dan tonsil. Kela

Gambar 2.3 . Kelas Malampatid. O: Obstruction, evaluasi adanya stridor, benda asing, atau obstruksi lainnya sebelum laringoskopi dikerjakan.e. N: Neck mobility, pasien dengan artritis reumatoid/degeneratif dan kemungkinan cedera vertebra servikal memiliki pergerakan leher yang terbatas. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan ekstensi leher untuk intubasi.4. Pemeriksaan penunjang: Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaab darah lengkap dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.5. Klasifikasi status fisik: The American Society of Anasthesiologists (ASA) membuat suatu sistem klasifikasi untuk menggambarkan status kebugaran fisik. Klasifikasi ini bukan untuk memperkirakan risiko anestesia, karena efek samping anestesia tidak dapat dipisahka dari efek samping pembedahan.

Tabel 2.2. Klasifikasi American Society of Anesthesia

6. Asupan oral, penggunaan anastesi menurunkan refleks laring sehingga dapat terjadi regurgitasi isi lambung ke jalan napas. Untuk itu, pasien yang akan menjalani operasi diminta untuk melakukan puasa minimal 6-8jam. Pada anak kecil puasa berkisar 4-6 jam, sementara bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak minimal 5jam dan minuman bening 3 jam sebelum induksi. Penggunaan air putih untuk minum obat dibolehkan secara terbatas hingga 1 jam sebelum induksi.7. Pra-medikasi, pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi dengan tujuan untuk mengurangi kecemasan pasien, memperlancar induksi, mengurangi sekresi kelenjar ludah, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual-muntah pasca bedah, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi refleks yang membahayakan. Pra-medikasi yang sering digunakan: diazepam per-oral 5-10mg, Petidin 50mg IM.

Teknis anastesi dapat dibagi menjadi:16,171. Anestesi umumAnestesi umum adalah menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai dengan hilangnya kesadaran. Tindakan anestesi ini mencakup induksi dan rumatan anestesia. Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya proses anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi langsung dilanjutkan dengan rumatan anestesia sampai tindakan pembedahan anestesia. Induksi intravena: paling banyak dikerjakan dan digemari karena cepat namun hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Obat yang sering dipakai: tiopental, propofol, dan ketamin. Induksi intramuskular: hanya Ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 5-7mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. Induksi inhalasi: hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara ini dipakai pada bayi/anak yang belum terpasang jalur iv atau dewasa yang takut disuntik. Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang dilakukan karena pasien sering batuk dan membutuhkan waktu induksi lebih lama. Induksi per-rektal: hanya digunakan pada bayi dengan tiopental atau midazolam.Rumatan (maintenance) anestesia dapat dikerjakan secara intravena atau inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu hipnosis (tidur ringan), analgesik (diusahakan pasien tidak nyeri selama dibedah), dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50 mcg/kgBB yang cukup untuk menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup dan hanya tinggal memberikan pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapa menggunakan opioid dosis biasa namun pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Sedangkan rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 ditambah halotan atau enfluran, atau isofluran, atau sevofluran bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu, atau dikendalikan.Setelah dikenal obat penawar pelumpuh otot, anastesia tidak perlu dalam hanya sekedar supaya tidak sadar dan otot-otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Terdapat 2 jenis pelumpuh otot, yaitu pelumpuh otot depolarisasi (bekerja di celah saraf otot tanpa dirusak oleh kolinesterase sehingga terjadi depolarisasi yang ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik, seperti: suksinilkolin) dan pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor kompetitif di reseptor nikotinik kolinergik tanpa menyebabkan depolarisasi, seperti: pankuronium, rokuronium, atrakurium dan gallamin).2. Anastesi (Analgesia) Regional dan LokalAnalgesi regional atau lokal bertujuan untuk menghilangkan impuls rasa nyeri dari bagian tubuh tertentu dengan cara memblokir hantaran syaraf sensorik untuk sementara.Anastesi regional terdiri dari: Blok neuroaksial: blok spinal, epidural, dan kaudal. Blok perifer: blok pleksus brakialis, blok aksiler, wrist block, dan lain-lain.Anastesi lokal terdiri dari: Topikal: obat anastesi diberikan pada akhir serabut saraf di mukosa dengan cara menyemprot atau mengoles. Infiltrasi: obat anestesi regional dengan cara infiltrasi langsung pada garis insisi atau luka. Field block: obat anestesi regional dengan cara membentuk dinding anestesi sekitar daerah operasi

2.12. Rapid Sequence Intubation (RSI)5,17Rapid Sequence Intubation (RSI) merupakan upaya untuk mengendalikan jalan napas pada pasien dekompensata di ruang gawat darurat. Tujuan RSI sendiri adalah untuk membuat pasien menjadi tidak sadar, neuromuskularnya dihambat dan dilakukan intubasi trakea tanpa mengganggu ventilasi tekanan positif (sedasi-intubasi hanya dalam 1 menit). Karena kebanyakan pasien gawat darurat tidak dalam keadaan puasa, pasien-pasien ini menjadi sangat berisiko aspirasi dan udara masuk ke lambung bila ventilasi tekanan positif diberikan sebelum jalan napas dapat dikontrol. Dengan demikian RSI yang benar dapat memudahkan dokter mengendalikan jalan napas pasien tanpa ventilasi tekanan positif sampai ETT sudah di trakea pasien.Langkah-langkah RSI: Segera setelah diketahui perlunya tindakan intubasi, lakukan pre-oksigenasi dengan oksigen 100% menggunakan sungkup non-rebreathing (dianjurkan selama 5 menit) untuk membuang nitrogen dalam paru sehingga kapsitas residu fungsional dapat menjadi cadangan oksigen yang cukup saat intubasi dilakukan. Dalam 2 menit 95% nitrogen akan keluar dari dalam paru orang yang parunya normal dan memberi 3-4 menit tambahan pasien untuk apnea tanpa hipoksemia. Selagi pasien dipreoksigenasi, alat-alat untuk RSI disiapkan. Berikut ini adalah alat-alat yang perlu disiapkan sebelum prosedur dilakukan.

Tabel 2.3. Peralatan RSI

Ukuran ETT dapat dengan mudah ditaksir dengan menggunakan rumus {16+ usia (tahun)}/4. Ukuran blade yang dipakai dapat dilihat psesuai usia pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4. Ukuran Blade Laringoskop berdasarkan Usia

Beberapa penulis menganjurkan pemberian jeli KY atau jel yang larut air pada ujung ETT untuk mempermudah pemasangan dan mengurangi kejadian mikroaspirasi paru. Menyiapkan obat-obatan yang akan dipakai untuk memulai prosedur. Obat-obat yang dipakai termasuk golongan induksi yang bertujuan untuk membuat pasien tersedasi dan neuromuskular bloker yang akan memudahkan proses intubasi. Agen penginduksi yang banyak dipakai adalah benzodiazepin (midazolam, lorazepam, diazepam), thiopental, ketamin, etomidat dan narkose lainnya. Kesemuanya diberikan setelah pasien dipreoksigenasi namun sebelum obat pelemah otot diberikan. Masing-masing obat memiliki keuntungan dan kerugian, sehingga klinisi harus benar-benar menguasai indikasi dan efek samping dari masing-masing obat. Selanjutnya diberikan obat pelumpuh otot baik golongan pendepolarisasi ataupun non-depolarisasi. Memposisikan pasien pada sniffing position dimana leher sedikit ditahan ekstensi. Pada pasien bayi dan anak dapat dibantu dengan mengganjal bahu menggunakan gulungan handuk. Sedangkan pada anak yang lebih tua dan remaja, gulungan handuk dapat diletakkan dekat kepala. Setelah preoksigenasi diberikan selama 5 menit, agen penginduksi diberikan sambil menjaga patensi jalan napas dan ventilasi dengan memberikan ventilasi manual saat pasien masih bernapas spontan. Diberikan penekanan krikoid (sellick manuever) setelah agen penginduksi diberikan hingga pemberian agen pelumpuh otot. Sellick manuever dilakukan dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk klinisi pada kartilago krikoid dengan sedikit penekanan ke arah posterior untuk menyumbat esofagus dan mencegah aspirasi. Manuver ini dilanjutkan sampai prosedur intubasi dan tidak akan dilepas hingga ETT terfiksasi. Penekanan krikoid dapat menyebabkan muntah pasien sadar sehingga baru dapat dilakukan setelah pasien tersedasi. Selanjutnya diberikan agen pelumpuh otot. Setelah semua obat diberikan dan pasien menjadi apnea, mulut pasien dibuka dengan hati-hati kemudian dimasukkan laringoskopi dengan hati-hati agar blade tidak menciderai gigi atau bibir pasien. setelah nampak plika vokalis, tempatkan tube diantara kedua plika vokalis dan kembangkan balon. Untuk memastikan posisi tube telah pada tempatnya lakukan pemeriksaan inspeksi pergerakan dinding dada (seharusnya simetris) dan auskultasi suara pernapasan pada kedua dinding dada (seharusnya sama kiri dan kanan dan tidak terdengar suara pernapasan di lambung). Bila posisi ETT telah tepat dan pasien dapat diberikan ventilasi dan oksigenasi dengan baik maka fiksasi tube, jangan terlalu kuat terutama pada daerah leher pada pasien dengan penekanan intrakranial karena dapat menghambat aliram darah vena jugularis.

Gambar 2.4. Algoritma RSI25