anastesi-antiinflamasi

Upload: monalytaa-panjaitan

Post on 01-Mar-2016

34 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERCOBAAN IV

ANESTESI DAN ANTIINFLAMASI PADA TIKUS PUTIH

A. Tujuan

1. Melakukan anestesi umum pada tikus putih.2. Mengamati stadium anestesi yang terjadi melalui parameter-parameter antara lain, respon nyeri, lebar pupil, jenis pernapasan, frekuensi jantung dan tonus otot.

3. Mempelajari daya antiinflamasi obat pada binatang dengan radang buatan.

B. Dasar Teori

1. Anestesi

Anestesi adalah suatu keadaan hilangnya sensasi nyeri yang disertai maupun yang tidak disertai kehilangan kesadaran. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik lokal dan anestetik umum. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestesi umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anestesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya dapat menimbulkan efek analgesia. Anestetik umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan anestetik lokal bekerja langsung pada serabut saraf perifer (Syarif, 2003).

Anestetik digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi) (Tjay, 2007).2. Teori anestesi umum

Anestesia terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi diberbagai bagian SSP. Kerja neurotransmitter di pasca sinaps akan diikuti dengan pembentukan second messenger yang dalam hal ini adalah cAMP yang selanjutnya mengubah transmisi di neuron. Disamping asetilkolin sebagai neurotransmitter klasik, dikenal juga katekolamin, serotonin, GABA, adenosin, serta berbagai asam amino dan peptide endogen yang bertindak sebagai neurotransmitter atau yang memodulasi neurotransmitter di SSP, misalnya asam glutamat dengan mekanisme hambatan pada reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat) (Syarif, 2007).

Beberapa jenis anestesi umum adalah sebagai berikut :a) Anestesi inhalasi

Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran napas. Keuntungannya adalah resorpsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga ekskresinya melalui gelembung paru (alveoli) yang biasanya dalam keadaan utuh. Pemberiannya mudah dipantau dan bila perlu setiap waktu dapat dihentikan. Obat ini digunakan terutama untuk memelihara anestesi. Semua anestetik inhalasi adalah derivat eter kecuali halotan dan nitrogen. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan karena penggunaan anestetik inhalasi adalah dapat menyebabkan tekanan pernapasan, menekan sistem kardiovaskular, merusak hati dan ginjal, oliguri (reversible), dan menekan sistem regulasi suhu (Tjay, 2007).

Anestesi inhalasi yang sempurna adalah yang masa induksi dan pemulihannya singkat dan nyaman, peralihan stadium anestesinya terjadi cepat, relaksasi ototnya sempurna, berlangsung cukup aman, dan tidak menimbulkan efek toksik atau efek samping berat dalam dosis anestetik lazim (Syarif, 2007).

Mekanisme kerja dari anestesi inhalasi yaitu digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi yang kemudian diturunkan sampai hanya sekedar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi). Keuntungan anestetik inhalasi dibandingan dengan anestetik intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi (Tjay, 2007).

Kebanyakan anestesi umum tidak dimetabolisasikan oleh tubuh karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat faali. Oleh karena itu teori yang mencoba menerangkan khasiatnya selalu didasarkan atas sifat fisikanya, misalnya tekanan parsial dalam udara yang diinhalasi, daya difusi dan kelarutannya dalam air, darah dan lemak. Semakin besar kelarutan suatu zat dalam lemak, semakin cepat difusinya ke jaringan lemak dan semakin cepat tercapainya kadar yang diinginkan dalam SSP (Tjay, 2007).

Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anestetika umum dibawah pengaruh protein SSP, dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anestesi (Tjay, 2007).b) Anestesi intravena

Obat-obat ini juga dapat diberikan dalam sediaan suppositoria secara rektal, tetapi reasorpsinya kurang teratur. Terutama digunakan untuk mendahului induksi anestesi total, atau memeliharanya juga sebagai anestesi pada pembedahan singkat (Tjay, 2007).

Dalam teknik yang disebut sebagai anestesia berimbang (balanced anesthesia) obat-obat ini mungkin digunakan tunggal atau dalam kombinasi sebagai ajuvan untuk anestesi inhalasi, yaitu agar induksi anestesi segera tercapai. Untuk tindakan bedah tertentu, anestetik intravena saja sudah memadai dan pemulihan terjadi cukup cepat misalnya thiopental dan propofol sehingga dapat digunakan pada rawat jalan. Fentanil digunakan sebagai ajuvans untuk anestetik inhalasi karena sifat sedatifnya menimbulkan analgesia kuat dan menstabilkan kardiovaskular, sedangkan benzodiazepine digunakan untuk menidurkan pasien dan membuatnya tidak ingat akan apa yang dialami sebelum anestesi (Syarif, 2007).3. Stadium anestesi umum

Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap yang mula-mula dihambat adalah fungsi yang kompleks dan yang paling akhir dihambat ialah medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Anestesi umum dibagi kedalam 4 tahapan stadium anestesi, yaitu:a) Stadium I (analgesia)

Stadium analgesia dimulai sejak saat pemberian anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah. Pada stadium ini dapat dilakuan tindakan pembedahan ringan seperti mencabut gigi dan biopsy kelenjar.

(Syarif, 2007)b) Stadium II (eksitasi)

Stadium ini dimulai sejak saat hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur yang merupakan tanda dimulainya stadium pembedahan. Pada stadium ini pasien tampak mengalami delirium dan eksitasi dengan gerakan-gerakan diluar kehendak. Pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea, tonus otot rangka meninggi, pasiennya meronta-ronta kadang sampai mengalami inkontinensia, dan muntah. Ini terjadi karena hambatan pada pusat inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka stadium ini diusahakan cepat dilalui.

(Syarif, 2007)c) Stadium III (pembedahan)

Stadium III dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan. Keempat tingkat dalam stadium pembedahan ini dibedakan dari perbedaan perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata, dan konjungtiva, tonus otot, lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan (Syarif, 2007).1) Tingkat 1: Pernapasan teratur, spontan dan seimbang antara pernapasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi diluar kehendak, miosis, sedangkan tonus otot rangka masih ada.

2) Tingkat 2: Pernapasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas dan refleks laring hilang sehingga pada tahap ini dapat dilakukan intubasi.3) Tingkat 3: Pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada, karena otot interkostal lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.4) Tingkat 4: Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini, sebab pasien akan mudah sekali masuk kedalam stadium IV, yaitu ketika pernapasan mulai melemah. Untuk mencegah ini harus diperhatikan benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya tekanan darah.

(Syarif, 2007)d) Stadium IV (depresi modulla oblongata)

Stadium ini dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan napas disini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan, bila tidak didukung oleh alat bantu napas dan sirkulasi (Syarif, 2007).Selain dari derajat kesadaran, relaksasi otot, dan tanda-tanda diatas, ahli anestesia menilai dalamnya anestesia dari respons terhadap rangsangan nyeri yang ringan sampai yang kuat. Rangsangan yang kuat terjadi saat pemotongan kulit, manipulasi peritoneum, kornea, mukosa uretra terutama bila ada peradangan. Nyeri sedang terasa ketika terjadi manipulasi pada fasia, otot dan jaringan lemak, sedangkan nyeri ringan terasa ketika terjadi pemotongan dan penjahitan usus atau pemotongan jaringan otak (Syarif, 2007).

4.Antiinflamasi

Inflamasi adalah respon sel normal yang bersifat preventif terhadap kerusakan selain atau sel tetangga. Respon ini merupakan respon homeostasis yang kompleks. Reaksi inflamasi dapat terjadi secara akut setelah terjadi kerusakan jaringan atau secara kronis akibat oleh infeksi patogen yang rersisten dalam jaringan dan dalam jangka waktu yang lama, seperti pada infeksi TBC (Mycek, 2009).Inflamasi dapat disertai dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler, meningkatnya permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan radang, dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya terganggu. Mediator yang dilepaskan antara lain histamin, bradikinin, leukotrin, Prostaglandin dan PAF (Mycek, 2009).Obat antiinflamasi yang banyak digunakan terutama dari kelompok obat-obat antiinflamasi non steroid (NSAID) dan sebagian kecil dari golongan antiinflamasi steroid (AIS). Kerja utama dari obat obat NSAID yaitu sebagai penghambat enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini merupaan pra zat antitrombotik, yaitu menghambat sintesa prostaglandin di vena (Mycek, 2009).Reaksi inflamasi terjadi sebagai aksi fisiologik substansi inflamatori endogen, yang dikenal dengan nama mediator inflamasi. Sebagai prekursor pada sintesis eikosanoid adalah asam arakhidonat, yang terdapat dalam bentuk teresterifikasi pada fosfolipid membran. Fosfolipid adalah lipid yang memiliki aktivitas biologik dan merupakan prekursor sintesis mediator. Respon inflamasi terdiri dari :

a. Respon kardinal

Yang dimaksud respon kardinal adalah respon utama, yaitu kemerahan (rubor), rasa sakit / nyeri (dolor), suhu jaringan radang lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan normal (kalor), udem diarea radang (tumor) dan gangguan fungsi organ (function laesa). Respon kardinal ini hanya tampak apabila reaksi inflamasi terjadi pada permukaan tubuh. Hal ini tidak akan tampak apabila terjadi pada organ internal. Respon kardinal terdiri dari respon vaskuler dan respon seluler (Mycek, 2009).b. Even vaskuler

Setelah terjadi cedera jaringan, akan terjadi perubahan hemodinamik dalam pembuluh darah. Even vaskuler diawali dengan vasokonstriksi yang selanjutnya dengan segera diikuti dengan vasodilatasi arteriol dan venule yang bersirkulasi ke area radang tersebut. Sebagai akibatnya area tersebut jadi tersumbat (congested) dan menjadi kemerahan (eritema) dan peningkatan suhu. Respon hyperemia ini diikuti dengan peningkatan permeabilitas kapiler, yang berakibat cairan mengalir ke jaringan. Terjadi eksudasi dan menyebabkan udem, nyeri dan gangguan fungsi organ. Pada saat cairan mengalir keluar kapiler, maka terjadi stagnasi aliran dan kloting darah pada kapiler-kapiler kecil di area radang. Hal ini menyebabkan lokalisasi mikroorganisme agar tidak menyebar (Mycek, 2009).c. Even seluler

Even seluler pada respon inflamasi ditandai dengan pergerakan sel leukosit fagosit ke area inflamasi. Ada dua macam leukosit yang berperan pada respon inflamasi akut yaitu granulosit akut dan monosit. Selain rekrutmen leukosit, maka respon inflamasi akut juga disuport oleh rilis mediator inflamasi dari sel-sel penjaga (sentinel cells), seperti sel mastosit dan makrofag yang keberadaannya pada jaringan bersifat preposisi (Mycek, 2009).Obat-obat antiinflamasi memiliki efek farmakologik antara lain:1) Menghambat migrasi leukosit.

2) Mencegah pembentukan cairan intraperitonium.3) Menghambat pembentukan granuloma.4) Menghambat sintesis prostaglandin.5) Mencegah degranulasi mastosit sehingga tidak terjadi pelepasan histamin, dengan demikian uji antiinflamasi selain uji efek analgesik juga meliputi uji antiarthritis dan antiedematus.

(Mycek, 2009)Dalam praktikum ini yang digunakan untuk menginduksi inflamasi adalah karagenan karena ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain tidak menimbulkan kerusakan jaringan, tidak menimbulkan bekas, memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi (Vogel, 2002).

Karagenan sebagai senyawa iritan menginduksi terjadinya cedera sel melalui pelepasan mediator yang mengawali proses inflamasi. Pada saat terjadi pelepasan mediator inflamasi terjadi udem maksimal dan bertahan beberapa jam. Udem yang disebabkan induksi karagenin bertahan selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam (Vogel, 2002).

Karagen merupakan cairan polisakarida yang terdiri dari unit-unit galaktosa tersulfatasi dan didapat dari tanaman chondrus crispus. Karagen yang paling efektif untuk udemogen adalah yang mengandung -galaktosa. Denaturasi oleh panas yang membebaskan sulfatnya akan mengurangi aktivitas udemogeniknya (Vogel, 2002).Bahan penginduksi udem yang dapat digunakan selain karagenin, antara lain :

1) Ovalbumin putih telur unggas dengan dosis 0,5 % v/v 0,1 0,5 ml.

2) Karagen 0,5-1 %.3) Larutan dekstran 60 5 g/ml atau formalin.

4) Formalin.

(Vogel, 2002)C. Alat, Bahan dan Hewan uji1. Alat

a. Labu Ukur 10 mL dan 5 mL

b. Penggaris

c. Pipet tetes

d. Spuit injeksi

e. Toples

2. Bahan

a. Asam Mefenamat

b. Ibuprofen c. Kertas HVS

d. Kertas saring

e. Kloroform

f. Na CMC

g. Putih Telur 3. Hewan Uji

a.Tikus putih

D. Prosedur Kerja

1. Anestetik

a. Dimasukkan kertas saring ke dalam toples

b. Ditetesi dengan kloroform sebanyak 5 tetes

c. Ditutup toples dan dibiarkan beberapa menit

d. Dimasukkan tikus putih ke dalam toples

e. Diamati stadium-stadium anestetik hingga stadium 2 ke 3

f. Dikeluarkan tikus dari toples, dan diamati keadaan tikus.

2. Antiinflamasi

a. Diambil tikus yang telah diianestetikkan.b. Disuntikkan suspensi obat secara peritoneal pada tikus uji dan Na CMC pada tikus control, kemudian diukur besar kaki tikus.

c. Dibiarkan hingga 15 menit kemudian disuntikkan dengan putih telur pada suplantar.

d. Diukur besar kaki mencit pada menit 1, 30, 60, dan 90.E. Hasil Pengamatan

1. Tabel hasil Pengamatan

a. Anestesi

StadiumPemeriksaan

PernapasanMataGerakanNyeriSaliva

1--AgresifTidak terasa-

2Pernapasan meningkatMata membesarSangat agresifTidak terasa-

3Pernapasan tidak teraturPupil terfiksasiLemas--

b. Anti inflamasi

ObatBesar (cm)

Awal1 menit30 menit60 menit90 menit

Kontrol1,62,53,243,7

Asam mefenamat2,22,53,43,12,8

Ibuprofen2,32,83,53,23

2. Perhitungan

a. Asam mefenamat

BB = 135

DM= 500

1) 0,018 x 500 = 9 mg/200g

2) 3) b. Ibuprofen

BB = 103 gr

DM= 400 mg

1) 0,018 x 400 = 7,2 mg/200g

2) F. Pembahasan

Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi yang disebabkan induksi obat. Dalam hal ini selain hilangnya rasa nyeri juga disertai hilangnya kesadaran. Obat anestetik umum ialah obat-obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri disertai dengan hilangnya kesadaran, sedangkan obat anestetik lokal adalah hilangnya rasa nyeri tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran.Pada percobaan kelima ini, anastetika digabung dengan percobaan antiinflamasi. Penggabungan kedua percobaan ini bertujuan agar dalam percobaan antiinflamasi, tidak membutuhkan waktu yang banyak dalam pengamatan kinerja obat pada tikus. Hal ini dikarenakan, tikus yang akan diujikan dilemahkan atau dianestesikan terlebih dahulu sehingga mudah dalam penanganannya. Inflamasi adalah suatu mekanisme pertahanan yang dibentuk oleh tubuh untuk menangkal benda-benda asing yang bercirikan udem yang terasa nyeri dengan perubahan warna permukaan menjadi merah atau kebiruan. Inflamasi dapat dihentikan menggunakan obat antiinflamasi yang terdiri dari golongan kortikosteroid dan nonsteroid anti inflamasi drugs (NSAIDS). Kedua percobaan ini dilakukan secara bertahap. Tahapan pertama dilakukan anastesi umum dan dilanjutkan dengan pengujian efek antiinflamasi pada tikus dengan menggunakan obat antiinflamasi, golongan NSAIDS (ibuprofen dan asam mefenamat).

Anastesi dilakukan pada tikus putih melalui anastesi inhalasi, tepatnya inhalasi sistem terbuka. Alasan digunakannya mekanisme anastesi inhalasi karena reabsobsi yang cepat melalui paru-paru juga ekskresinya melalaui gelembung paru dalam keadaan utuh, pemberian yang mudah dipantau, masa induksi dan masa pemulihannya singkat dan nyaman, peralihan stadium anastesi terjadi cepat, relaksasi otot semprna, berlangsung cukup aman, dan tidak menimbulkan efek toksik. Kerugian anastesi inhalasi menyebabakan ketidaknyamanan seperti bau, dan sifat iritasi saluran pernapa sannya. Anastesi dengan cara inhalasi paling sering digunakan. Teknik pemberiannya berupa pemberian cairan terbang (eter, kloloform, trikloretin) yang diteteskan pada sehelai kain atau kapas didalam toples atau wadah tertutup. Penggunaan wadah tertutup ini bertujuan agar uap dari kloroform yang berupa gas dihirup dengan tikus secara maksimal, sehingga anastesi berlangsung cepat tanpa kontaminasi udara luar. Dalam mekanisme kerjanya, cairan terbang akan memberikan uap yang berkhasiat melemaskan otot ataupun menghilangkan rasa sakit.

Anastesi umum SSP dalam 4 tahap, yang biasa disebut 4 stadium anastesi umum, yaitu stadium I (analgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium IV (depresi medula oblongata). Stadium I, dimulai sejak pemberian anastesi sampai hilang kesadaran dan tidak merasa nyeri tetapi masih tetap sadar. Stadium II, dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan yang teratur dan tanda mulainya stadium pembedahan. Stadium III, dimulai dengan timbulnya kembali pernapasan yang teratur dengan adanya gerakan bola mata, refleks bulu mata dan lebar pupil semakin dalamnya pembiusan. Stadium IV, dimulai dengan melemahnya pernapasan perut, tekanan darah tidak dapat menyebabkan kematian. Kloroform digunakan dalam percobaan anastesi ini, karena kloroform merupakan anastesi kuat dan kerjanya lebih cepat, sifat analgetiknya lemah, dan toksiknya berat. Sejak awal mulai tahap anastesi pada tikus didalam toples, diamati kondisi tikus pada stadium I, stadium II, dan stadium III. Penggunaan stadium hanya pada sampai stadium III, tidak sampai stadium IV. Hal ini dikarenakan, tikus yang akan dilanjutkan dengna percobaan antiinflamasi. Stadium I diamati dengan melihat pernapasan pada tikus, refleks mata, gerakan/otot, respon nyeri, dan salivasi. Pada stadium ini, keadaan tikus masih memperhatikan kondisi yang sama pada keadaan semula. Stadium ini merupakan stadium I karena tikus masih dapat merespon yang diamati pada 1 menit 50 detik melewati stadium I, pernafasan pada tikus memperlihatkan keadaan yang tidak teratur, otot mulai melemah, serta tidak ditemukan respon nyeri. Diamati mata tikus yang masih dapat memberikan refleks dan terlihat adanya salivasi yang sedikit berlebih. Keadaan ini menunjukkna tercapainya stadium II yang ditandai dengan kesadaran dan respon. Stadium ini mulai ditunjukkan pada menit ke 5. Pada waktu 8 menit 14 detik menunjukan pernapasan yang lebih tidak teratur, refleks mata yang hilang, gerakan melemah, disertai nyeri yang tidak direspon hingga peningkatan saliva. Keadaan ini sudah menunjukkan tercapainya stadium III.

Setelah mencapai stadium III tikus dikeluarkan dari toples dan siap untuk disuntikkan dengan obat anti inflamasi, berupa obat golongan NSAIDS yaitu ibuprofen dan asam mefenamat. Anti inflamasi adalah suatu senyawa atau obat yang digunakan untuk menghambat metabolisme asam arakidonat dan reseptor dari mediator nyeri yang dapat menyebabkan nyeri.

Dalam percobaan tahap kedua ini digunakan 3 tikus putih. Tikus pertama diberikan obat ibuprofen, tikus kedua diberikan asam mefenamat dan tikus ketiga sebagai kontrol. Fungsi tikus kontrol disini adalah untuk mengetahui perbedaan antar tikus yang diberikan obat antiinflamsi dengan yang tidak diberikan obat. Obat anti inflamasi disuntikkan secara peritonial terlebih dahulu pada tikus yang bertujuan untuk memperoleh efek anti inflamasi yang murni dari obat bukan dari respon imun tikus. Kemudian, tikus yang telah disuntikkan dibiarkan selama 30 menit. Tujuan penyuntikan peritonial agar penyerapan obat cepat didalam tubuh dan tak ada obat yang dikeluarkan sehingga semuanya terabsorpsi sempurna, efek obat cepat tercapai. Setelah dibiarkan 30 menit, kedua tikus yang telah disuntikan obat dan juga tikus kontrol disuntikkan putih telur pada telapa kaki secara subkutan. Putih telur dipilih sebagai reduktor udem dikarenakan putih telur mengandung protein dengan berat molekul yang lebih besar dari cairan tubuh sehingga tidak bersifat permeabel terhadap membran. Akibatnya protein menumpuk pada bagian tertentu dan memberikan respon tubuh sebagai dari hasil pengamatan terhadap waktu yang digunakan dalam terjadinya udem, sejak mencit pertama udem sudah memperlihatkan ukuran yang besarnya 2,5 cm pada tikus dengan mefenamat dan kontrol. Sedangkan ibuprofen menghasilkan lebih besar udem yang berukaran 2,8 cm. Pada menit ke 30, tikus kontrol udemnya bertambah besar menjadi 0,7cm. Pembengkakan ini semakin membesar karena adaya zat asing yang masuk kedalam tubuh yang diasingkan atau diabaikan disebut sekuestrasi dan disebabkan terjadinya reaksi radang didalam tubuh tikus dan tidak adanya respon imun dalam tubuh tikus. Sedangkan tikus dengan pemberian asam mefenamat bertambah sebesar 3,4 cm dan ibuprofen sebesar 3,5 cm. Sejak menit ke 60, kedua tikus menunjukkan peruntuhan udem kecuali dengan tikus kontrol yang tetap membesar hingga 4 cm. Tikus dengan asam mefenamat berkurang udemnya menjadi 3,1 cm sedangkan tikus dengan ibuprofen menjadi 3,2 cm. Hingga selang waktu 30 menit, tikus kontrol baru menunjukkan penurunan ukuran udem, diikuti tikus dengan mefenamat yang turun menjadi 2,8 cm dan tikus ibuprofen yang menjadi 3 cm. Penurunan udem ini dikarenakan adanya respon imun dalam tubuh yang membantu dalam mengurangi radang secara perlahan-lahan dan adanya efek obat yang bekerja pada radang ditelapak kaki tikus.

Berdasarkan potensi kerjanya asam mefenamat memiliki daya antiinflamasi yang lebih besar dibanding ibuprofen. Hal ini sesuai dengan litelatur yang ada dan dibuktikan pada percobaan dengan melihat pada ukuran udem akhir yang diberikan terhadap masing-masing pemberian obat. Masing-masing obat memiliki daya kinerja mencapai puncak dan waktu paruh yang berbeda. Asam mefenamat memerlukan waktu yang lebih panjang untuk mencapi titik puncak dari efek terapi, dibanding ibuprofen. Kadar puncak dari asam mefenamat terjadi pada waktu 2-4 jam sedangkan ibuprofen lebih singkat 1-2 jam. Oleh karena itu pada tabel terlihat dalam waktu yang bersamaan ibuprofen lebih cepat dalam menghasilkan ukuran udem yang lebih kecil dibanding asam mefenamat.

G. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan ini dapat disimpulkan :

1. Penyuntikan atau pemberian anestesi dapat dilakukan dengan inhalasi dan injeksi.2. Anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium 1 kehilangan peka terhadap rasa sakit, stadium 2 terjadi pergerakan yang diluar kesadaran, stadium 3 terjadi pernapasan teratur dan hilangnya kesadaran, dan stadium 4 denyut jantung tidak dapat diukur dan berujung kematian.

3. Obat ibuprofen mempunyai daya antiinflamasi lebih baik dibanding dengan asam mefenamat.

58