anaphilaxis

13
Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator Rangsangan sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator. SEL MAST DAN BASOFIL REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPAT Sensitisasi dan reaksi atopik Hipersensitivitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE. Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi atopik dan reaksi atopik

Upload: whana

Post on 09-Jul-2016

234 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anaphilaxis

Anafilaksis adalah suatu respons klinis hipersensitivitas yang akut, berat dan menyerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi hipersensitivitas tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator yang mempunyai efek farmakologik terhadap berbagai macam organ tersebut. Selain itu dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh interaksi antara antigen dan antibodi. Reaksi anafilaktoid disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast dan basofil sehingga menyebabkan terlepasnya mediator

Rangsangan sel mast yang menyebabkan pelepasan mediator.SEL MAST DAN BASOFILREAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE CEPATSensitisasi dan reaksi atopik

Hipersensitivitas tipe cepat terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE. Secara ringkas reaksi berantai tersebut terdiri dari sensitisasi atopik dan reaksi atopik

Alergen

Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respons imun spesifik berupa pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah zat yang mampu bereaksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kecuali kalau bergabung dengan protein. Alergen adalah

Page 2: Anaphilaxis

antigen khusus yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap dan alergen dengan sel molekul rendah (hapten).

Rangkaian reaksi hipersensitivitas tipe cepat

Sensitisasi atopik1. Pajanan antigen (alergen)2. Respons pembentukan IgE3. Terikatnya IgE pada sel mast

Reaksi atopik1. Terpapar ulang dengan antigen yang sama2. Interaksi antigen-IgE spesifik di sel mast3. Pelepasan mediator oleh sel mast4. Efek mediator pada berbagai organ

Alergen protein lengkap

Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa bantuan zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B (lihat Gambar 18-4). Yang termasuk kelompok ini misalnya serbuk sari, bulu binatang, ATS (serum antitetanus) dan ADS (serum antidifteri).

Alergen dengan berat molekul rendah

Kelompok ini tidak dapat menimbulkan respons antibodi berupa IgE karena hanya berfungsi sebagai hapten. Biasanya hapten harus berikatan dengan protein jaringan atau protein serum in vivo membentuk kompleks hapten-karier untuk dapat menimbulkan respons antibodi IgE. Yang termasuk kelompok ini misalnya adalah obat-obatan.

Page 3: Anaphilaxis

Antibodi

Produksi antibodi IgE spesifik memerlukan kerja sama aktif antara makrofag, sel T dan sel B. Alergen yang masuk melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis atau kulit akan difagosit oleh makrofag untuk diproses dan dipresentasikan kepada sel T. Sel T yang tersensitisasi akan merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang mensintesis dan mensekresi IgE spesifik.

Sel plasma yang memproduksi IgE terutama terdapat dalam lamina propria traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis serta jaringan limfoid bersangkutan. Kadar total IgE serum adalah jumlah IgE yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut, yang secara pasif berdi£usi ke dalam kompartemen vaskular. IgE mempunyai sifat biologik unik, yaitu dapat terikat pada sel mast untuk jangka waktu yang panjang (6 minggu).

Pengikatan IgE oleh sel mast mempunyai konsekuensi penting. Karena IgE serum terikat pada sel mast di seluruh tubuh maka sel mast di bawah kulit lengan bawah juga sensitif terhadap alergen yang masuk melalui traktus gastrointestinalis atau traktus respiratorius. Di samping itu mungkin sebagian besar sel mast telah sensitif terhadap alergen tertentu, sehingga pajanan terhadap alergen tersebut dapat memacu sel mast secara sistemik yang akan melibatkan banyak sistem dan akan menimbulkan syok anafilaktik. Pengikatan oleh sel mast menyebabkan IgE merupakan suatu fraksi dengan waktu paruh yang lebih panjang. Diperkirakan waktu paruh IgE adalah 2-3 hari. Walaupun mempunyai waktu paruh yang lama, IgE tidak dapat melewati plasenta sehingga hipersensitivitas ibu tidak dapat ditransfer secara pasif kepada fetus.

Aktivasi penting lainnya adalah bila IgE berikatan dengan alergen. Hal ini dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur alternatif sehingga dihasilkan anafilaktoksin (C3 dan C5a) dan zat kemotaktik lain yang penting pada respons inflamasi.

Sel mast

Yang termasuk sel mediator adalah sel mast, basofil dan trombosit. Sel mast diselimuti oleh IgE yang terikat pada reseptor spesifik untuk bagian Fc rantai epsilon. Setiap sel mast dapat mengikat bermacam IgE spesifik sehingga sel mast dapat bereaksi dengan berbagai macam antigen. Jumlah IgE pada satu sel basofil sangat bervariasi, dan diperkirakan berkisar di antara 5.000-500.000 molekul per sel basofil.

Page 4: Anaphilaxis

Walaupun penderita alergi mempunyai molekul IgE yang tinggi pada basofilnya bila dibandingkan dengan orang-orang yang tidak alergi, terdapat suatu overlapping yang luas dalam jumlah IgE yang terdapat pada kedua goIongan tersebut. Jumlah IgE yang terikat pada sel merupakan refleksi kadar IgE dalam serum, akan tetapi banyaknya molekul IgE pada satu sel tidak berhubungan dengan derajat sensitivitas. Faktor yang menentukan perbedaan besar sensitivitas seseorang sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Activation of Mast Cell. This figure illustrates how activation of a mast cell leads to degranulation.

Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin, SRS-A, ECF-A, PAF, dan heparin. Beberapa mediator disimpan dalam lisosom (heparin, histamin) yang berada dalam sitoplasma sel mast, dan dilepaskan bila terdapat rangsangan yang cukup. Rangsangan alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen (lihat Gambar 18-5). Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.

Degranulasi sel mast dapat diatur oleh sejumlah zat. Zat yang menurunkan cAMP atau menaikkan cGMP seperti adrenergik α, zat kolinergik atau prostagladin F2a, memperhebat degranulasi sel mast. Sebaliknya zat yang meningkatkan cAMP, seperti epinefrin, teofilin dan prostaglandin E1 dan E2 menghalangi degranulasi sel.

Page 5: Anaphilaxis

ETIOLOGIPenyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.

Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain. Bisa yang dapat menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis. Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.

Page 6: Anaphilaxis

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi anafilaksis akan lebih jelas kalau kita lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskular, traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan kulit.

Mediator anafilaksis Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu sel peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis

Histamin Aksi histidin dekarboksilase pada histidin akan menghasilkan histamin. Dalam tubuh kita sel yang mengandung histamin dalam jumlah besar adalah sel gaster, trombosit, sel mast, dan basofil. Pada sel mast dan basofil, histamin disimpan dalam lisosom dan dilepaskan melalui degranulasi setelah perangsang yang cukup. Pengaruh histamin biasanya berlangsung selama l0 menit dan inaktivasi histamin in vivo oleh histaminase terjadi sangat cepat. Histamin bereaksi pada banyak organ target melalui reseptor H1 dan H2. Reseptor H1 terdapat terutama pada sel otot polos bronkioli dan vaskular, sedangkan reseptor H2 terdapat pada sel parietal gaster. Beberapa tipe antihistamin menyukai reseptor H1 (misalnya klorfeniramin) dan antistamin lain menyukai reseptor H2 (misalnya simetidin). Reseptor histamin terdapat pada beberapa limfosit (terutama Ts) dan basofil. Pengaruh fisiologik histamin pada manusia dapat dilihat pada berbagai organ. Histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sel dangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini menyebabkan respons wheal-flare  (triple respons dari Lewis), dan bila terjadi sel sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria, dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila pelepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.

SRS-ABerbeda dengan histamin, heparin dan ECF-A, SRS-A tidak ditemukan sebelumnya dalam granula sel mast. Rangsangan degranulasi sel mast memulai sintesis SRS-A, yang kemudian muncul dalam lisosom sel mast dan selanjutnya dalam cairan paru sehingga terjadi kontraksi otot bronkioli yang hebat dan lama. Pengaruh SRS-A tidak dijalankan melalui reseptor histamin dan tidak dihambat oleh histamin. Epinefrin dapat menghalangi dan mengembalikan kontraksi yang disebabkan oleh SRS-A.

Page 7: Anaphilaxis

ECF-A ECF-A telah terbentuk sebelumnya dalam granula sel mast dan dilepaskan segera waktu degranulasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi anafilaksis. Pada daerah tersebut eosinofil dapat memecah kompleks antigen-antibodi yang ada dan menghalangi aksi SRS-A dan histamin.

PAF PAF menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah. PAF juga mengaktifkan faktor XII dan faktor XII yang telah diaktifkan akan menginduksi pembuatan bradikinin.

BradikininBradikinin tidak ditemukan dalam sel mast manusia, aktivitasnya dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular sel lambat, lama dan hebat. Bradikinin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler yang menyebabkan timbulnya edema jaringan, serta merangsang serabut saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Selain itu bradikinin juga merangsang peningkatan produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Bradikinin menjalankan pengaruhnya melalui reseptor pada sel yang berbeda dengan reseptor histamin atau SRS-A

SerotoninSerotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit atau melalui mekanisme lain. Serotonin juga menyebabkan kontraksi otot bronkus tetapi pengaruhnya hanya sebentar. Serotonin tidak begitu penting pada anafilaksis.

Prostaglandin Prostaglandin memainkan peranan aktif pada anafilaksis melebihi pengaruh nukleotida siklik sel mast. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus.

Kalikrein Kalikrein basofil menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah.

Secara imunopatologik reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dibagi menjadi 1) reaksi anafilaksis yang diperankan oleh IgE atau IgG, reaksi anafilaktoid karena lepasnya mediator secara langsung misalnya oleh obat, makanan, agregasi kompleks imun seperti reaksi terhadap globulin γ, IgG antiIgA, reaksi transfusi karena pembentukan antibodi terhadap eritrosit atau leukosit, dan reaksi yang diinduksi prostaglandin oleh pengaruh aspirin atau obat lain.

Page 8: Anaphilaxis

PENATALAKSANAAN

Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum

Evaluasi segera  Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner

Adrenalin Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.

Intubasi dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.

Turniket Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.

Oksigen Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.

Page 9: Anaphilaxis

Difenhidramin Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema. Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.

Cairan intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.

Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.

Vasopresor Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.

Kortikosteroid Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.

Page 10: Anaphilaxis

Daftar Pustaka Sampson HA, Munoz-Furlong A, Campbell RL, et al. Second symposium on the definition

and management of anaphylaxis: Summary report- second National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis network symposium. J Allergy Clin Immunol 2006;117:391-7.

Johansson SG, Bieber T, Dahl R, et al. Revised nomenclature for allergy for global use: Report of nomenclature review committee of the World Allergy Organization, 2003. J Allergy Clin Immunol 2004;113:832-6.

Lieberman PL, Camargo C, Simons FER, et al. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of the ACAAI Epidemiology of Anaphylaxis Working Group. Ann Allergy, Asthma and Immunol 2006;97:596-602.

Shen Y, Li L, Grant J, et al. Anaphylactic deaths in Maryland (US) and Shanghai: a review of forensic autopsy cases from 2004 to 2006. Forensic Sci Int 2009;186:1-5.

Decker WW, Campbell RL, Manivannan V, et al. The etiology and incidence of anaphylaxis in Rochester, Minnesota: a report from the Rochester Epidemiology Project. J Allergy Clin Immunol 2008;122(6):1161-5.

Krause, Richard. 29 April 2005. Anaphylaxis. eMedicine. Accessed 24 April 2006 Lieberman P et al. “The Diagnosis and Management of Anaphylaxis:An Updated Practice

Parameter.” The Journal of Allergy and Clinical Immunology 115 (2005)483-523. Rusznak, Csaba. “Anaphylaxis and Anaphylactoid Reactions: A Guide to Prevention,

Recognition, and Emergent Treatment.” Postgraduate Medicine 111 (2002): 1-4. Ellis, Anne and James Day. “Diagnosis and Management of Anaphylaxis ” Canadian

Medical Association Journal 169(2003): 1-4. Ewan,Pamela. “ABC of Allergies:Anaphylaxis” British Medical Journal 316 (1998): 1442-

1445. Janeway, C.A., Travers, P., Walport, M., Schlomchik, M. Immunobiology 6th Ed: The

Immune System in Health and Disease. New York: Garland Publishing, 2005. Sampson, Hugh. “Anaphylaxis and Emergency Treatment.” Pediatrics 111 (2003): 1601-

1608. Stern, David. 6 November 1997. Anaphylaxis:Life-Threatening Allergy. Asthma and

Allergy Information and Research.