analsis sebaran suhu permukaan laut di perairan …repository.umrah.ac.id/336/1/jurnal skripsi...
TRANSCRIPT
ANALSIS SEBARAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN
PULAU BINTAN TAHUN 2015-2016
Zulfikar(1)
, Yales Veva Jaya(2)
, Risandi Dwirama Putra(3)
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali
Haji, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 29125 Email: [email protected]
ABSTRAK
Informasi suhu permukaan laut (SPL) dalam bidang perikanan memiliki peran
yang sangat penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
memetakan sebaran suhu permukaan laut di perairan Pulau Bintan. Metode penelitan ini
menggunakan analisis suhu permukaan laut secara temporal berdasarkan fluktuasi SPL
bulanan dan musiman dalam bentuk grafik deret waktu, dan analisis spasial berdasarkan
visualisasi peta sebaran rata-rata SPL musiman. Hasil penelitian menunjukan bahwa
variasi temporal SPL tahun 2015-2016 di perairan Pulau Bintan cenderung mengalami
peningkatan. Nilai SPL tahun 2015 bervariasi antara 26,01 0C – 29,53
0C sedangkan
tahun 2016 bervariasi antara 27,04 0C–30,21
0C. Nilai SPL maksimum tahun 2015 dan
2016 terjadi pada bulan mei dengan suhu rata-rata bulanan 29,14 °C dan 29,85 °C dan
minimum tahun 2015 dan 2016 terjadi pada bulan Februari dengan rata-rata suhu
bulanan 26.28 °C dan 27.61 °C. Variabilitas nilai SPL di perairan Pulau Bintan
dipengaruhi oleh musim, SPL pada musim timur dan musim peralihan barat-timur
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan SPL pada musim barat dan musim
peralihan timur-barat. Sebaran spasial SPL di perairan dekat pesisir cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan SPL di perairan jauh pesisir atau lepas pantai.
Kata Kunci : SPL, ECMWF, Variabilitas Temporal, Variabilitas Spasial, Perairan Pulau
Bintan.
ABSTRACT
Sea Surface Temperature (SST) information in the field of fisheries has a very
important role. The purpose of this research is to analyze and map the distribution of
Sea Surface Temperature in Bintan island waters. This research method uses temporal
Sea Surface Temperature analysis based on monthly and seasonal SST luctuation map
of SST seasonal average distribution spreades. The result showed that variation of SST
2015-2016 in Bintan island waters tend to increase. The 2015 SST score varies between
26,01 °C-29,53 °C while 2016 varies between 27,04 °C -30,21 °C. Maximum SST
values for 2015 – 2016 occur in may with a monthly average temperature of 29,14 °C-
29,85 °C and a minimum of 2015-2016 occuring in February with an average monthly
temperature of 26,28 °C-27,61 °C. The variability of SST values in Bintan island waters
is influenced by season, SST in east season and west-east transition period tends to be
higher than SST in west season and east-west transition. SST in coastal waters tends to
be higher than SST in offshore waters.
Keyword : SST, ECMWF, Variability Temporal, Variability Spatial, Bintan Island
Water
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suhu permukaan laut (SPL)
merupakan faktor penting yang
mempengaruhi dinamika iklim global,
selain itu juga berpengaruh terhadap
aktivitas metabolisme dan
perkembangan suatu organisme (Qu et
al., 2005; Sahabuddin dan Tangko,
2008). Perubahan suhu permukaan laut
akan mempengaruhi reproduksi dan
distribusi ikan di laut (Nybakken,
1988). Menurut Hamuna et al., (2015),
suhu perairan mengalami variasi dari
waktu ke waktu sesuai dengan kondisi
alam yang mempengaruhi perairan
tersebut. Angin muson, El Nino dan
Indian Ocean Dipole (IOD) menjadi
penyebab utama terjadinya variasi suhu
di perairan Indonesia (Wyrtki, 1962;
Saji et al.,1999; Susanto et al.,2002) .
Informasi mengenai suhu
permukaan laut menjadi penting karena
memiliki hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi dengan iklim (Mulyana,
2000; Ummenhofer et al., 2008). Dalam
bidang perikanan, suhu permukaan laut
memiliki peran penting sebagai
indikator pendugaan dan penentuan
lokasi yang potensial untuk
penangkapan ikan. Kunarso et al
(2005), menjelaskan bahwa variabilitas
spasial suhu dan klorofil-a permukaan
laut dapat digunakan untuk menduga
dan menentukan perairan yang potensial
untuk penangkapan ikan (fishing
ground). Selain itu juga, suhu
permukaan laut dapat mempengaruhi
ekosistem pesisir baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh pemanasan
global (Collins,et al. 2010).
Hasil monitoring COREMAP
CTI tahun 2016, perairan Bintan
ditemukan fenomena bleaching pada
karang, kondisi ini diduga karena
adanya anomali suhu di perairan Bintan.
Terkait sebaran nilai suhu, status
Bleaching Alert Area terumbu karang di
sekitaran Perairan Kabupaten Bintan
berada dalam watch level, dengan
kisaran nilai suhu perairan antara 28
OC-30
OC ( Zulfikar et al.,2016 )
Salah satu cara untuk
mengetahui sebaran suhu peemukaan
laut dapat menggunakan data
penginderaan jauh, salah satunya
adalah data dari ECMWF (European
Centre for Medium-Range Weather
Forecast). ECMWF merupakan
organisasi internasional yang terdiri dari
31 negara dibenua Eropa serta
organisasi meteorologi dunia seperti
ESA, WMO, EUMETSAT, ACMAD,
JRC, CTBTO, CLRTAP.
Rumusan Masalah
Kejadian bleaching pada karang
tahun 2016 di perairan Pulau Bintan
diduga disebabkan oleh adanya
peningkatan suhu di perairan Pulau
Bintan
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dan memetakan sebaran
suhu permukaan laut perairan Pulau
Bintan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi kejadian
anomali suhu di perairan Pulau Bintan.
Selain itu juga, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi
awal terkait fenomena bleaching pada
karang di perairan Pulau Bintan.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di
perairan Pulau Bintan dengan luas AOI
(Area Of interest) 213.120 Km2. Lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 1.
Alat yang digunakam sebagai berikut:
Peralatan yang dibutuhkan dalam
penelitian ini berupa perangkat keras
(hardware) dan perangkat lunak
(software). Perangkat keras yang
dibutuhkan antara lain sebagai berikut:
1. Laptop Intel (R) Celeron (R) CPU
B820 @ 1.70 GHz 1.70 GHz. Dengan
Memori 2 GBDDR3 dan kapasitas
penyimpanan 500 GB HDD
2. Printer untuk mencetak hasil
3. Modem/wifi untuk mendownload data
citra
Perangkat lunak (software) yang
dibutuhkan adalah :
1. ODV (Ocean Data View)
2. ArcGIS 10.1
3. Microsoft Excel 2013
Bahan yang digunakan sebagai berikut :
Data suhu permukaan laut (SPL)
dari data ECMWF (Europen Centre for
Medium Range Forcase). Data yang
digunakan merupakan data suhu
permukaan laut bulanan berdasarkan
rata-rata harian periode Januari-
Desember tahun 2015 dan 2016 yang
diperoleh dari www.ecmwf.int. Jenis
penelitan yang digunakan adalah
metode desk analisis yaitu menganalisa
data yang diperoleh tanpa melakukan
validasi dan verifikasi dilapangan. Data
yang diperoleh dideskripsikan berdasar
teori-teori yang ada (Azani et al, 2012)
dan suhu permukaan laut hasil unduhan
dianalisis menggunakan perangkat
lunak (software) ODV.
DIAGRAM ALIR PENGOLAHAN
DATA
INPUT
Data SPL ECMWF
Download di
www.ecmwf.int.
Cropping dan Eksport
Citra
Mengggunakan software
ODV
Hasil Eksport Citra Berupa Data
Numeric (NC)
Filtering dan Perata-rataan data dengan
menggunakan Ms. Excel
OUTPUT
Peta Sebaran SPL secara Spasial
Grafik Fluktuasi SPL secara Temporal
P
R
O
C
E
S
S
I
N
G
Visualisasi Data Suhu Permukaan Laut
dengan Sofware ArcGIS 10.1
P
R
E
P
R
O
C
E
S
S
I
N
G
P
R
O
C
E
S
S
I
N
G
PENGOLAHAN DATA SPL
Proses atau tahap pengolahan
data suhu permukaan laut terdiri dari
import atau display data suhu
permukaan laut ke software ODV
dengan Proses pemotongan (cropping)
dan eksport data untuk mendapatkan
nilai suhu permukaan laut, Selanjutnya
data dianalisis menggunakan Microsoft
Excel untuk menampilkan data secara
temporal dan data hasil analisis
ditampilkan secara spasial
menggunakan Software ArcGIS dengan
proses Import file suhu rata-rata
permusim dalam format xls dan data
garis pantai kedalam software ArcGis
pada menu file, add data X,Y kemudian
file ini nanti digunakan untuk proses
interpolasi. Interpolasi dilakukan pada
menu arctoolbox, spatial analyst tools,
interpolation, topo to raster. Selanjutnya
Buat layout peta dengan menambahkan
grid, judul peta, arah mata angin, skala,
inset, dan sumber data. Secara umum
prosedur pengolahan data suhu
permukaan laut disajikan pada Gambar
2.
ANALISIS DATA
Analisis Temporal
Analisis suhu permukaan laut
secara temporal dilakukan untuk
mengetahui fluktuasi SPL yang terjadi
pada lokasi penelitian. Sebaran suhu
permukaan laut secara temporal bulanan
ditampilkan dalam grafik time series (
deret waktu ) menggunakan perangkat
lunak Microscoft Excel. Nilai suhu
permukaan laut dirata-ratakan kemudian
di buat grafik berdasarkan waktu dan
dianalisis untuk mengetahui bagaiman
pola fluktuasi suhu permukaan laut di
perairan Pulau Bintan pada setiap
musim salama dua tahun (2015 dan
2016).
Analisis Spasial
Analisis spasial suhu permukaan
laut dilakukan dengan membandingkan
sebaran suhu permukaan laut pada
lokasi pengamatan setiap musim selama
dua tahun (2015 dan 2016). Data yang
ditampilkan merupakan hasil
penggabungan tiap-tiap bulan
berdasarkan musim dengan
menggunakan software ArcGIS dengan
cara Import file suhu rata-rata permusim
dalam format xls kedalam software
ArcGis untuk proses interpolasi.
Interpolasi Data citra ini dilakukan
untuk mengisi kekosongan data pada
citra sehingga tampilan data citra
menjadi terlihat penuh dan lebih mudah
untuk dianalisis dan selanjutnya
klasifikasi nilai citra dilakukan
bertujuan untuk mengelompokkan data
suhu berdasarkan kelas dan warna
tertentu, misalnya pengelompokan suhu
berkisar 28,25 ºC-28,50 ºC dengan
warna hijau, suhu berkisar 29,75 ºC-
30,00 ºC dengan warna merah. sehingga
dapat dikatahui sebaran spasial suhu
permukaan laut di wilayah pengamatan
pada setiap musim.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Variabilitas Temporal
Variasi temporal nilai suhu
permukaan laut perairan Pulau Bintan
selama dua tahun disajikan pada
Gambar 4. Suhu permukaan laut pada
tahun 2016 cenderung lebih tinggi
dengan nilai suhu berkisar antara 27,04
0C–30,21
0C, sedangkan pada tahun
2015 berkisar antara 26,01 0C – 29,53
0C. Nilai rata-rata suhu permukaan laut
maksimum di perairan Pulau Bintan
pada tahun 2015 dan 2016 terjadi pada
bulan mei dengan suhu rata-rata bulanan
29,14 °C dan 29,85 °C. sedangkan rata-
rata suhu permukaan laut minimum
tahun 2015 dan 2016 terjadi pada bulan
Februari dengan rata-rata suhu bulanan
26.28 °C dan 27.61 °C. Berdasarkan
fluktuasi suhu permukaan laut selama
dua tahun, pada bulan Maret-Mei dan
September-November SPL secara
umum cenderung meningkat sedangkan
pada bulan Desember-Februari dan
Juni-Agustus suhu permukaan laut
cenderung menurun.
Berdasarkan grafik fluktuasi
temporal suhu permukaan laut perairan
Pulau Bintan diperoleh periode tren
suhu permukaan tertinggi, yaitu pada
hari selasa tanggal 23 Febuari bertahan
pada suhu 29.44 0C dan pada minggu
pertama bulan Maret bertahan pada
suhu 28,06 0C –30,07
0C dan mingggu
ke 3 selama tiga hari bertahan pada suhu
kisaran 28,64 0C-29,60
0C. Sedangkan
suhu permukaan laut terendah terjadi
pada bulan Febuari 2015 dengan kisaran
antara 25,78 0C–25,98
0C. Hal ini terjadi
diduga karena adanya faktor cuaca,iklim
dan pemanasan global.
Suhu permukaan laut di perairan
Pulau Bintan mengalami variasi secara
musiman. Secara umum nilai rata-rata
suhu permukaan laut maksimum di
perairan Pulau Bintan terjadi pada
musim timur tahun 2015 dengan rata-
rata suhu musiman 28,36 °C sedang
pada tahun 2016 terjadi pada musim
peralihan barat – timur dengan nilai
suhu 29,09 °C (Gambar 4). Berdasarkan
grafik fluktuasi temporal perairan Pulau
Bintan terdapat perbedaan tren pada
musim timur hingga musim peralihan
timur-barat, dimana nilai rata-rata SPL
cenderung lebih tinggi dan sebaliknya
pada musim barat hingga musim
peralihan barat-timur rata-rata suhu
permukaan laut cenderung mengalami
penurunan.
Gambar3.Grafik variabilitas temporal
SPL di perairan Pulau
Bintan selama dua tahun
(2015 dan 2016).
Sebaran Spasial
Peta sebaran spasial rata-rata
suhu permukaan laut perairan Pulau
Bintan selama dua tahun berdasarkan
musim disajikan pada Gambar 6. Secara
umum, berdasarkan visualisasi sebaran
spasial rata-rata suhu permukaan laut
perairan Pulau Bintan cenderung
mengalami fluktuasi. Perairan dekat
pesisir memiliki suhu yang lebih tinggi
dibandingkan perairan lepas pantai atau
jauh dari pesisir. Akan tetapi pada
musim – musim tertentu, suhu
permukaan laut perairan Pulau Bintan
akan menyebar secara merata pada
seluruh perairan atau dengan variasi
suhu permukaan laut yang relatif tinggi.
Menurut Illahude (1997) pengaruh
daratan yang kuat terhadap suhu
perairan menyebabkan perairan pantai
mempunyai suhu yang lebih tinggi
dibandingkan perairan lepas pantai.
Suhu permukaan laut pada musim
peralihan barat-timut dan musim timur
menunjukkan sebaran spasial
mengalami fluktusi suhu tinggi.
Sedangkan pada musim barat hingga
musim Peralihan timur-barat
menunjukan sebaran spasial yang relatif
turun. Suhu permukaan laut pada
musim barat terjadi puncak penurunan
rata-rata (suhu pemukaan laut terendah)
di perairan Pulau Bintan. Pada musim
peraliahan barat-timur suhu permukaan
laut berubah menjadi tinggi dan
menyebar merata ke seluruh perairan
Pulau Bintan. Hal ini menandakan akan
memasuki musim timur yang memiliki
suhu permukaan laut yang relatif tinggi.
(Gambar 6).
Pola tahunan suhu permukaan
laut perairan Pulau Bintan, pada musim
25.00
25.50
26.00
26.50
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
30.50
Su
hu
Pe
rmu
ka
an
La
ut
(°C
)
Waktu ( Bulan )
SPLTahun2015
SPLTahun2016
peralihan timur-barat tahun 2015 dan
2016 menunjukkan sebaran spasial
suhu permukaan laut yang relatif stabil
dengan nilai variasi suhu yang berbeda.
Hal ini terlihat dari kisaran suhu antara
28.01 0C–30,00
0C. Sedangkan
dibandingkan dengan musim-musim
yang lainnya, suhu perairan Pulau
Bintan pada musim barat didapatkan
nilai suhu permukaan laut berkisar
antara 26,51 0C–28,50
0C dengan hasil
distribusi suhu yang homogen. Bergerak
ke arah perairan bagian selatan, sebaran
suhu berkisar antara 27,01 0C -27,25
0C
sedangkan memasuki perairan bagian
utara, timur, dan selatan sebaran suhu
cenderung merata. namun pada musim
yang sama suhu permukaan laut pada
tahun 2016 terdapat pola sebaran suhu
yang relatif berubah. Hal ini dapat
dilihat pada bagian utara, timur hingga
selatan Pulau Bintan dengan variasi
suhu yang cenderung hangat. Pada
musim peralihan timur pola sebaran
suhu cenderung merata. Dilihat dari
variasi suhu pada musim peralihan
timur tahun 2015 dengan kisaran suhu
antara 28,00 °C -29,25 °C. Namun
tahun 2016 pada musim yang sama pola
sebaran suhu cenderung meningkat
dengan nilai yang bervariasii dari utara,
timur, selatan hingga barat bintan. Pada
musim peralihan timur-barat tahun 2015
dan 2016 terdapat pola sebaran suhu
yang variasi. Pada tahun 2015 pola
sebaran suhu permukaan laut sangat
bervariasi kisaran suhu antara 27,75 °C
-29,00 °C. sedangkan pada tahun 2016
terdapat pola sebaran suhu yang
bervariasi dengan kisaran antara 28,00
°C-28,75 °C.
MUSIM BARAT TAHUN 2015
( Desember – Januari – Febuari )
MUSIM BARAT TAHUN 2016
( Desember – Januari – Febuari )
MUSIM PERALIHAN BARAT-TIMUR 2015
( Maret – April – Mei
MUSIM PERALIHAN BARAT-TIMUR 2016
( Maret – April – Mei )
MUSIM TIMUR TAHUN 2015
( Juli – Juni – Agustus )
MUSIM TIMUR TAHUN 2016
( Juli – Juni – Agustus )
MUSIM PERALIHAN TIMUR - BARAT TAHUN 2015
(September – Oktober – November)
MUSIM PERALIHAN TIMUR-BARAT 2016
(September – Oktober – November)
Pembahasan
Hasil interpretasi suhu
permukaan laut selama dua tahun (2015
dan 2016), menampilkan bahwa sebaran
suhu permukaan laut mengalami
fluktuasi. Hasil interpretasi rata – rata
suhu permukaan laut di perairan Pulau
Bintan pada tahun 2016 lebih tinggi
dibandingkan pada tahun 2015.
Menurut Hamuna ( 2015 ) naik nya
suhu permukaan laut disebabkan oleh
adanya pengaruh angin munson yang
menyebabkan terjadinya pergantian
musim, yaitu angin munson timur yang
bergerak dari Benua Australia ke Benua
Asia dan angin munson barat yang
bergerak dari Benua Asia ke Benua
Australia. Menurut Triatmodjo (2008)
pada musim timur di belahan bumi
utara mengalami musim panas
sedangkan belahan bumi selatan musim
dingin dengan tekanan udara yang
rendah, sehingga angin dari daratan
Australia berhembus menuju Asia.
Naiknya suhu permukaan laut
ditunjukkan adanya penyimpangan
iklim berupa peristiwa El Nino. Faktor
utama yang juga mempengaruhi
variabilitas iklim di Indonesia adalah
ENSO (El Nino And Soutern
Oscillation) (Endlicher,2001;Hupfer, et
al., 2001). ENSO merupakan sebuah
interaksi laut atmosfer yang berpusat di
wilayah ekuator Samudra Pasifik yang
menyebabkan anomali iklim global
menjadi lebih hangat pada saat El Nino
dan lebih dingin pada tahun La Nina
(Trenberth dan Caron, 2000; Aldrian,
2008).
Suhu permukaan laut di perairan
Pulau Bintan mengalami variasi secara
musiman. Secara umum nilai rata-rata
suhu permukaan laut maksimum terjadi
musim timur tahun 2015 dan musim
peralihan barat-timur tahun 2016.
Sedangkan suhu permukaan laut
minimum tahun 2015 dan 2016 terjadi
pada musim barat. Hal ini terjadi
disebabkan oleh adanya perbedaan
jumlah penyinaran atau pemanasan air
laut oleh sinar matahari yang lebih
tinggi pada musim timur, dan
sebaliknya pada musim barat lebih
banyak terjadi hujan di wilayah
Indonesia. Menurut (Estiningtyas et al.,
2007; Aldrian dan Susanto, 2003)
bahwa terdapat korelasi antara suhu
permukaan laut dengan kondisi curah
hujan. Variabilitas suhu permukaan laut
dapat mempengaruhi 50% variasi curah
hujan seluruh Indonesia, sedangkan
variabilitas suhu permukaan di Laut
India hanya 10-15% (Hendon, 2003).
Berdasarkan Nontji (2002), setiap bulan
November hingga Januari di Indonesia,
terutama bagian barat sedang
mengalami musim hujan dengan curah
hujan yang cukup tinggi. Kondisi yang
sama dengan wilayah kabupaten Bintan
dan sekitarnya, musim hujan cenderung
akan terjadi pada September hingga
Febuari dengan intensitas normal curah
hujan rata-rata ± 2,214 mm/tahun,
sedangkan musim kemarau cenderung
terjadi pada Maret hingga Agustus.
(Bappeda Kabupaten Bintan, 2013).
Berdasarkan fluktuasi suhu
permukaan laut, puncak harian suhu
permukaan laut tertinggi terjadi dibulan
Febuari hingga Maret tahun 2016
dengan kisaran suhu antara antara 28,06
0C–30,07
0C. Perubahan suhu
permukaan laut rata rata harian yang
cukup ekstrim terjadi pada minggu
terakhir bulan Febuari tahun 2016
sebesar 2,06 oC dan bulan maret minggu
pertama dan minggu kedua sebesar 3,03
oC. Perubahan suhu permukaan laut
secara drastis tersebut diduga sebagai
penyebab terjadinya fenomena coral
bleaching di perairan Pulau Bintan. Hal
ini diperkuat oleh pernyataan Hoegh-
Guldberg (1999) bahwa peningkatan
suhu air laut sebesar 2°C selama 4
minggu (satu bulan) menyebabkan
sebagian besar jenis karang mengalami
pemutihan atau bleaching. Menurut
Wouthuyzen (2015), pada skala
regional, kejadian pemutihan karang
disebabkan naiknya suhu laut akibat
pemanasan global. Kenaikan suhu
sebesar 1-2°C saja (suhu anomali)
selama 2-4 minggu di atas suhu
maksimum rata-rata jangka panjang
(suhu normal) bias menyebabkan
pemutihan karang, dan dalam waktu
yang lebih panjang akan menyebabkan
terumbu karang mati. Menurut Rahmi
(2014) terumbu karang cenderung
terjadi bleaching apabila suhu
meningkat tajam dalam waktu yang
singkat atau suhu meningkat perlahan-
lahan dalam jangka waktu yang
panjang. Nuary et al., (2014)
menjelaskan, penyebab utama
meningkanya penyakit bleaching
disebabkan adanya peningkatan suhu
permukaan laut. Fenomena pemutihan
karang atau coral bleaching di perairan
Pulau Bintan diduga disebabkan atau
ada kaitannya oleh dampak anomali
iklim tahunan salah satunya adalah
ENSO (El Nino And Soutern
Oscillation).
ENSO merupakan anomali iklim
tahunan yang mempengaruhi pemutihan
karang atau coral bleaching. El Nino
merupakan salah satu penyebab coral
bleaching karena fenomena ini
menyebabkan kenaikan suhu
permukaan laut. Dampak peningkatan
suhu terjadi di sebagian tempat secara
ekstrim. Menurut Glynn (1993), coral
bleaching banyak terjadi pada saat
ENSO namun tidak menutup
kemungkinan bahwa coral bleaching
dapat terjadi diluar dari fenomena
ENSO. Prediksi nilai ENSO pada bulan
Desember 2015 oleh NOAA (National
Oceanic and Atmospheric
Administration), JAMSTEC (Japan
Agency for Marine- Earth Science and
Technology), POAMA (Predictive
Ocean Atmosphere Model for Australia)
dan BMKG menyatakan bahwa EL
Nino masih dalam kriteria kuat dengan
menunjukkan kondisi di bawah normal
dengan nilai rata-rata mencapai -
6,73/Negatif. Dengan demikian, masih
diprediksi akan terjadi pengurangan
jumlah curah hujan di wilayah
Indonesia khususnya wilayah
Kepulauan Riau pada bulan
Desember.(BMKG Kota Batam ,2015 )
Tahun 1997 dan 1998 menurut
(Abram et al., 2003; Gaol et al,, 2007)
terjadi kematian terumbu karang di
sekitar Pulau Mentawai, Perairan
Sibolga. Berdasarkan pengamatan tahun
1999 dan 2001 terjadi kematian karang
sepanjang 400 km dari utara Pulau
Pagai hingga Nias. Menurut Gaol
(2007) berdasarkan informasi di sekitar
perairan pada tahun 1997 / 1998
Indonesia terjadi kekeringan yang luar
biasa akibat dari ENSO dan juga IOD.
Di pantai selatan jawa hingga Sumatra
suhu permukaan laut turun sangat
rendah sekitar 4 0C dari kondisi normal.
Peningkatan suhu yang tinggi
menyebabkan zooxanthella terlepas dari
karang sehingga karang mengalami
stres, akibatnya mudah terinfeksi oleh
penyakit (Ben-Haim et al., 1999). Hal
ini diperkuat dengan laporan hasil
monitoring COREMAP CTI tahun 2016
ditemukan kejadian Coral Bleaching
terutama di perairan bagian Timur
Pulau Bintan yang diduga kuat
merupakan bagian gejala bleaching
massal akibat pemanasan global
(Zulfikar et.al.2016 ).
Sebagai perairan yang berada di
wilayah tropis dan dekat dengan garis
khatulistiwa, maka sepanjang tahun
kondisi suhu permukaan laut di perairan
Pulau Bintan umumnya cenderung
hangat. Akan tetapi dengan adanya
pergantian musim yang terjadi sangat
berdampak pada fluktuasi nilai suhu
permukaan laut, walaupun dengan
tingkat fluktuasi yang kecil. Pola
musiman suhu permukaan laut perairan
Pulau Bintan memiliki puncak tinggi
pada musim peralihan barat-timur dan
musim timur dengan rata-rata suhu
permukaan laut yang tidak berbeda
jauh, sedangkan puncak rata-rata
terendah suhu permukaan laut terjadi
pada musim barat. Menurut Wicaksono
( 2010 ) suhu di laut dapat dipengaruhi
oleh adanya pengaruh musim proses
sirkulasi air laut regional seperti arus
massa air yang hangat dari samudera
pasifik ke samudera Hindia melewati
sebagian wilayah Indonesia dan juga
dari adanya fenomena alam El Nino.
Kondisi ini dapat menyebabkan pola
fluktuasi suhu permukaan laut yang
berbeda di perairan Indonesia.
Perbedaan kondisi perairan antara
perairan Pasifik dan Samudera Hindia
akan mempengaruhi pola distribusi
suhu permukaan laut di perairan
Indonesia, (Gaol et al., 2014). Suhu
permukaan laut yang relatif tinggi pada
musim barat-timur dan musim timur di
perairan Pulau Bintan disebabkan
karena posisi matahari pada musim
timur mulai bergeser ke belahan bumi
bagian utara. Di belahan bumi utara,
khususnya Benua Asia akan memiliki
suhu yang relarif tinggi dengan tekanan
udara yang rendah, kondisi sebaliknya
suhu di Benua Australia. Perbedaan
tersebut menyebabkan terjadi
pergerakan angin dari Benua Australia
ke Benua Asia melalui perairan
Indonesia yang dikenal sebagai angin
munson timur dan hanya melewati
wilayah perairan yang kecil dan jalur
perairan yang sempit (Wyrtki, 1961).
Angin munson timur tidak banyak
menurunkan hujan sehingga
menyebabkan wilayah Indonesia akan
mengalami musim kemarau. Pergerakan
angin munson timur menyebabkan
wilayah perairan Indonesia, termasuk
perairan Pulau Bintan memiliki suhu
perairan yang relatif tinggi.
Menurut Hutabarat dan Evans,
(2014), pada waktu musim timur arus
mengalir dari arah selatan melalui laut
flores,laut jawa dan laut natuna utara
sedangkan pada waktu musim barat hal
ini terjadi kebalikannya dimana arus
mengalir dari arah utara. Pada musim
Barat massa air yang masuk ke laut
berasal dari Laut Cina Selatan yang
lintangnya tinggi akan menyebabkan
suhunya rendah (Illahude, 1997). Secara
geografis posisi Pulau Bintan sangat
strategis yaitu di ujung Selat Malaka
dan selatan Semenanjung Malaysia,
yang berhadapan langsung dengan Selat
Malaka serta Laut Cina Selatan. Arus di
perairan Pulau Bintan termasuk arus
yang cukup kompleks sebagai hasil
interaksi berbagai macam arus
musiman. Arus utama perairan Pulau
Bintan dipengaruhi oleh pola arus Laut
Natuna secara umum, yang sangat
tergantung dari angin musim (Bappeda
Kabupaten Bintan, 2013).
.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Nilai suhu permukaan laut di perairan
Pulau Bintan pada tahun 2016 lebih
tinggi dibandingkan pada tahun 2015.
Pola tahunan suhu permukaan laut
tertinggi terjadi pada bulan Mei
sedangkan suhu permukaan laut
terendah terjadi pada bulan Februari.
Suhu permukaan laut bulan Febuari
hingga Maret tahun 2016 terjadi
fluktuasi suhu harian dengan adanya
beberapa aliran suhu puncak tertinggi
yang diduga adanya anomali suhu
ekstrim yang bisa menyebabkan stres
pada karang di sekitar perairan Pulau
Bintan. Secara spasial, perairan dekat
pesisir memiliki suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perairan lepas
pantai. Suhu permukaan laut di perairan
Pulau Bintan juga cenderung
mengalami fluktuasi berdasarkan
musim. Pada musim Peralihan barat-
timur dan musim peralihan timur. Nilai
rata-rata suhu permukaan laut
cenderung lebih tinggi dan sebaliknya
pada musim barat dan musim peralihan
timur-barat rata-rata suhu permukaan
laut cenderung mengalami penurunan
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai adanya data karang yang
mengalami bleaching di perairan Pulau
Bintan sebagai data pendukung.
Sehingga keterkaitan peristiwa anomali
suhu dengan fenomena bleaching pada
karang dapat diketahui dengan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Abram,N.J.,M.K.Gagan,M.T.,Mcculloc
h.J.Chappell,W.S.,Hantoro.,200
3. Coral reef death during the
1997 indian ocean dipole linked
to indonesian wildfires. Science.
301,953-955.
Aldrian, E. dan Susanto, R.D.,2003.
Identification of three dominant
rainfall regions within Indonesia
and their relationship to sea
surface temperature.
International Journal of
Climatology. 23, 1435-1452.
Aldrian, E.,2008. Meteorologi laut
indonesia. Jakarta. Badan
Meteorologi dan Geofisika.
Azani, R., Sari, T.E.Y., Usman.,2012.
Variabilitas Spasial Dan
Temporal Suhu Permukaan Laut
Dan klorofila Diperairan Selat
Malaka Melalui Citra Satelit
Aqua Modis. Jurnal Universitas
Riau. Pekanbaru
Ben-Haim, Y., Banin, E., Kushmaro,
A., Loya, Y. and Rosenberg, R.
1999. Inhibition of
Photosynthesis and Bleaching of
Zooxanthellae by The Coral
Pathogen Vibrio shiloi. Environ.
Microbiol. 1, 223-229.
Bappeda Kabupaten Bintan.,2013.
Kabupaten Bintan. Diakses pada
tanggal 1 Juli 2016.
Bouttier, F.,2001. The use of profiler
data at ECMWF.
Meteorologische
Zeitschrift.10(6), 497–510.
Cahyarini. S.Y.,2011. Rekonstruksi
Suhu Permukaan Laut Periode
1993 - 2007 Berdasarkan
Analisis Kandungan Sr/Ca Koral
dari Wilayah Labuan Bajo,
Pulau Simeulue. Jurnal Geologi
Indonesia, 6(3), 129- 134.
Collins, M., Soon-II An, Cai, W.,
Ganachaud, A.,Guilyardi, E.,
Jin, F.F., Jochum, M.,
Lengaigne, M.,Power, S.,
Timmermann, A.,Vecchi,
G.,Wittenberg, A. (2010). The
Impact of Global Warming on
the Tropical Pacific Ocean and
El Niño. Nature Geoscience,
3(6), 391-397.
Dahuri, R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu,
M.J., 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta
Dewayani, S.,2000. Manfaat inderaja
sig untuk pengembangan
perikanan laut: potensi
pengembangan budidaya ikan
dalam keramba apung. Prosiding
pelatihan pengelolaan wilayah
pesisir terpadu. Bogor. 29
Oktober – 3 November 2001,
226 - 235.
Dulbahri.,2001. Sistem informasi
geografis. Program
penginderaan jauh untuk
sumberdaya dengan pendekatan
interpretasi citra dan survei
terpadu .Universitas Gadjah
Mada Fakultas Geografi
(PUSPICS) UGM –
Bakosurtanal.Yogyakarta.
Endlicher, W., 2001. Terrestial Impact
of the Southern Oscillation and
Related El Niño and La Niña
events. in Climate of the 21st
Century: Changes and Risk:
Scientific Facts (JL Lozán, H
Graßl, and P Hupfer, eds.).
Wissenschaftliche
Auswertungen, Hamburg, 52-54.
Estiningtyas, W., Ramadhani, F.,
Aldrian, E. 2007. Analisis
korelasi curah hujan dan suhu
permukaan laut wilayah
Indonesia serta implikasinya
terhadap perkiraan curah hujan
(studi kasus Kabupaten
Cilacap). Jurnal
Agrometeorologi Indonesia,
21(2):46-60.
Gaol, J. L dan B. Sadhotomo., 2007.
Karakteristik dan Variabilitas
Parameter Oseanografi Laut
Jawa Hubungannya dengan
Distribusi Hasil Tangkapan
Ikan, Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 3, 201-21.
Gaol, J.L., Arhatin, R.E., Ling,
M.M.,2014. Pemetaan suhu
permukaan laut dari satelit di
perairan Indonesia untuk
mendukung “One Map Policy”,
dalam Prosiding Seminar
Nasional Penginderaan Jauh,
Bogor April 2014, 433-442.
Gaol, J.L.,2007. Variabilitas suhu
permukaan laut (1986-2002)
Estimasi dari citra satelit dan
dampaknya terhadap terumbu
karang di perairan
Indonesia.Coremap II. Program
rehabilitas dan pengolahan
terumbu karang.
Gaol, J.L.,Arhatin, R.E.,
Manurung,D.,Kawaru,M.,2007.
Pemetaan Sumberdaya Laut
Pulau Nias dengan Teknologi
Penginderaan Jauh Satelit Pasca
Tsunami 2004.
Glynn, P.W.,1993. Coral reef bleaching:
ecological perspectives. Coral
Reefs. 12, 1-17.
Gross, M.G.,1990. Oceanography: A
View of the Earth. 5th Edition.
Prentice Hall. London.
Hacker, E.C. dan Hastenrath, S.,1985.
Mechanisms of Java Rainfall
Anomalies. Monthly Weather
Review. 114, 745 – 757.
Hamuna, B.,Yunus. P.,Paulangan,
L.D.,2015. Kajian suhu
permukaan laut mengunakan
data satelit Aqua-MODIS di
perairan Jayapura, Papua.
Universitas Cenderawasih. 4(3),
160-167
Hastenrath, S.,1988. Climate and
Circulation of the Tropic. D.
Reidel Publishing Company.
New York.
Hendon, H.H.,2003. Indonesian rainfall
variability: Impacts of ENSO
and local air-sea interaction.
American Meteorology Society.
Hoegh-Guldberg, O.,1999. Climate
Change, Coral Bleaching and
The Future of The World’s of
Coral Reef. Marine and
Freshwater Research. 50(8),
839-866.
Hupfer, P.H.,Grassl, J, lozán.,2001.
Summary: Warning Signal from
Climate. Pp.400-408 in Climate
of the 21st Century: Changes
and Risk: Scientific Facts (JL
Lozán, H Graßl, and P Hupfer,
eds.). Wissenschaftliche
Auswertungen, Hamburg.
Hutabarat, S. Dan Stewart M.
Evans.,2014. Pengantar
Oseanografi. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press)
Jakarta, 59-93.
Ilahude, A. G. 1997. Sebaran suhu,
salinitas, sigma-T dan zat hara
perairan Laut Cina Selatan.
Dalam: Suyarso (ed.). Atlas
oseanologi laut cina selatan.
Puslitbang Oseanologi-LIPI
Jakarta. Hlm.: 25-34.
Irmudyanti, L.,2000. Respon suhu dan
tekanan di udara dan perairan
Selat Lombok terhadap El-Nino
1997 dan La-Nina 1998
[skripsi]. Bogor: Program Studi
Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB
Keller, B.D.,Gleason, D.F.,Mcleod,
E.,C.M, Woodley.,Airame, S.,
B.D, Causey., A.M,
Friedlander., Grober-Dunsmore., R., J.E, Johnson., S.L, Miller.,
R.S Steneck,.,2009. Climate
Change, Coral Reef Ecosystems,
and Management Options for
Marine Protected Areas.
Environmental Management. 44,
1069-1088
King, C. A. M.,1963. An Introduction
to Oceanography. McGraw
Book Company Inc. New York.
Kunarso, S., Hadi, N.S., Ningsih., 2005.
Kajian lokasi upwelling untuk
penentuan fishing ground
potensial ikan tuna. Ilmu
Kelautan 10(2), 61–67
Lembaga Antariksa dan Penerbangan
Nasional.,2003. Teknologi
Penginderaan Jauh dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Lautan. Pusat
Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan
Jauh. LAPAN. Jakarta.
Levitus, S., Burgett, R., dan Boyer,
T.,1994. World Ocean Atlas, 3.
Lillesand, T dan Kiefer, R.W.,1997.
Penginderaan Jauh dan
Interpretasi Citra. Dulbahri
(Penerjemah). Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Mulyana, E.,2000. Hubungan antara
Anomali Suhu Permukaan Laut
dengan Curah Hujan di Jawa.
Jurnal Sains & Teknologi
Modifikasi Cuaca,1(2), 125-132.
Mulyana, E.,2002. Analisis Angin
Zonal di Indonesia Selama
Periode Enso. Jurnal Sains dan
Teknologi Modifikasi Cuaca
3(2), 115-120
Naury,
A.,Trianto.,Agus.,D.S.,Anugroh
o, A.,2014. Studi Korelasi Nilai
SPL dari citra satelit Aqua
Modis Multitemporal dan Coral
Bleaching di Perairan Pulau
Biawak Kabupaten Indramayu.
Jurnal Of Marine Research, 202-
210.
Nontji, A., 2002. Laut nusantara.
Cetakan ketiga. Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Nuarsa, I.W., 2005, Menganalisis Data
Spasial dengan ArcView GIS
3.3 untuk Pemula, Penerbit PT.
Elex Media Komputindo
Gramedia, Jakarta.
Nybakken, J.W.,1988. Biologi laut:
Suatu pendekatan ekologis.
Terjemahan dari marine biology:
An ecological approach
(Eidman, M., Koesoebiono,
D.G. Bengen, M. Hutomo, S.
Sukardjo, Penerjemah). PT.
Gramedia, Jakarta.
Paine.D.L.,1981. Aerial Photography
and Image Interpretation For
Resources Management. John
Willey and Sons. New York
Paulus,C.A.,2006. Analisis Sebaran
Suhu Permukaan Laut dan
Kandungan Khlorofil-a Dengan
menggunakan Data MODIS di
Perairan Nusa Tenggara Timur.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Prabowo, M. dan Nicholls, N. 2002.
Kapan Hujan Turun ? Dampak
Osilasi Selatan di Indonesia.
Brisbane : Publishing Services.
Prabowo.Anang Dwi. Palapa John.
Ardiansyah H, 2002, Modul
Pengenalan GIS, GPS & Remote
Sensing, Departement GIS
Forest Watch Indonesia.
Prahasta,E.,2003. Konsep–Konsep
Dasar Sistem Informasi
Geografis.Informatika
Bandung.
Qu, T., Y. Du.,Strachan,
J.,Meyers,G.,,Slingo,J.,2005.
Sea surface temperature and its
variability in the Indonesian
region. Oceanography, 18(4),
50.
Rahmi.,2014. Prevalensi Penyakit
Karang Dikawasan Konservasi
Laut di Sulawesi Selatan. Jurnal
Perikanan. Volume 3, No 1
Sahabuddin dan A. M. Tangko. 2008.
Pengaruh Jarak Lokasi Budidaya
Dari Garis Pantai Terhadap
Pertumbuhan dan Kandungan
Karaginan Rumput Laut
Eucheuma cottoni. Seminar
Nasional Kelautan IV, 24 April
2008. Surabaya. 4 hal.
Saji, N. H., Goswami, B. N.,
Vinayachandran, P. N., &
Yamagata, T.,1999. A dipole
mode in the tropical Indian
Ocean. Nature, 401(6751), 360-
363.
Soenarmo, S.H.,2009, Pengindraan Jauh
dan Pengenalan Sistem
Informasi Geografis Untuk
Bidang Ilmu Kebumian, ITB,
Bandung
Stasiun Meteorologi Kelas I Hang
Nadim.,2015. Buletin
Meteorologi. Badan Meteorologi
dan Geofisika Badan
Pengusahaan. Batam
Sugiarto, A dan Birowo.,1975. Atlas
Oseanologi Perairan Indonesia
dan Sekitarnya. Buku No.1
Jakarta: LON-LIPI.
Susanto, R. D., Gordon, A. L., Zheng,
Q., 2002. Upwelling along the
coasts of Java and Sumatra and
its relation to ENSO.
Geophysical Research
Letters,28(5), 1599-1602.
Susanto, R.D. and Gordon, A.L.,2005.
Velocity and Transport of the
Makassar Strait Throughflow. J.
Geophys. Res. 110, C01005.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid
I. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.
Svedrup, H. V, M.W Jhonson dan R.H
Fleming. 1946. The Oceans,
Their Physic, Chemistry and
General Biology. Prentice-Hall.
Inc. Englewood. New York.
Syaifuallah, D.,2001. Memprakirakan
kedatangan fenomena el-nino
tahun 2002~200., Jurnal sains
dan modifikasi cuaca. 3(1), 63 -
67.
Trenberth, K.E dan Caron,J.M.,2000.
The Southern Oscillation
Revisited: Sea Level Pressures,
Surface Temperatures and
Precipitation. Journal of
Climate. 13, 4358 – 4365.
Trenberth, K.E. 1997. The Definition El
Nino. Bulletin of the American
Meteorological Society. 78(12),
2771-2777.
Triatmodjo, B. (2008). Pelabuhan.
Yogyakarta: Beta Offset.
Ummenhofer, C.C., A.S. Gupta, M.H.
England and C.J.C. Reason.
2008. Contributions of Indian
Ocean Surface Temperatureto
Enhanced East African Rainfall.
Journal of Climate. 22, 993-
1013.
Wicaksono,A.,Muhsoni,F.F.,Fahrudin,
A.,2010. Aplikasi Data Citra
Satelit NOAA-17 untuk
Mengukur Variasi Suhu
Permukaan Luat Jawa.Jurnal
Kelautan. 3(1).
Wouthuyzen ,S., Abrar, M., Lorwens,
Jonas.,2015. Pengungkapan
Kejadian Pemutihan Karang
tahun 2010 di Perairan
Indonesia melalui Analisis
Suhu Permukaan Laut. Jurnal
Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia. 1(3), 305-327.
Wyrtki, K. 1961. Scientific results of
marine investigations of the
South China Sea and the Gulf of
Thailand. Physical
oceanograpfic of the Southeast
Asians water. Naga Report, 2,
195 p.
Wyrtki, K.,1962. The upwelling in the
region between Java and
Australia during the south-east
monsoon. Marine and
Freshwater Research, 13(3),
217-225.
Zulfikar, A.,Pratomo, A.,Koenawan,
J.C.,Kurniawan, D., Idris, F.,
Irawan, H.,Karlina,
I.,Jumsurizal.,Putra,
D.R.,Susiana.,Raza’I,
S.T.,Melani, R. W.,Jaya.
V.Y.,2016. Panduan
Monitoring: Kesehatan
Terumbu Karang: Coremap –
CTI, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).