analitical hierarchy proses (ahp) dengan program …

108
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur ISBN 978-979-99327-6-1 E-1 ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM CDPlus 3.0 UNTUK MENYUSUN DETITION SUPPORT SYSTEM PENGENDALIAN BANJIR DI SURAKARTA Adi Yusuf Muttaqin Dosen Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Sebelas Maret Surakarta. email : [email protected] ABSTRAK Permasalahan banjir di Kota Surakarta tidak semata- mata persoalan teknis, tetapi juga terkait erat dengan masalah non teknis yaitu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penyelesaian permasalahan banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan hanya merujuk pada disiplin ilmu teknik saja tapi juga partisipasi (keterlibatan) masyarakat sangat mempengaruhi, terutama dalam hal operasional dan pemeliharaannya. Demikian juga dengan kondisi anggaran pengelolaan drainase Kota Surakarta yang rendah. Review Master Plan Drainase Surakarta Bagian Utara (2003) dan Penyusunan Database Sistem Drainase Kota Surakarata (2008) telah menunjukkan kondisi existing, permasalahan dan solusi penanggulangan pada masing-masing Sub Wilayah Pembangunan (SWP) tetapi belum mencakup penetapan prioritas rehabilitasi sesuai dengan conveyor drain dan berdasarkan variable penentunya. Untuk itu diperlukan Detition Support System (Sistem Pendukung Kebijakan) prioritas rehabilitasi dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP), guna mempercepat proses analisis digunakan Program Komputer Criterium Decicion Plus (CDPlus 3.0). Analitical Hierarchy Process (AHP) memungkinkan pengguna untuk menentukan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk ( atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan. Mengubah perbandingan berpasangan tersebut menjadi suatu himpunan bilangan yang mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif dengan cara yang konsiten . Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana pada Pemerintah Kota Surakarta apalagi partisipasi masyarakat dalam ikut membiayai rehabilitasi sangat rendah , maka rehabilitasi saluran drainase yang rusak sebagai upaya penanggulangan banjir harus dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan urutan prioritas. Sistem Pendukung Kebijakan untuk melakukan rehabilitasi jaringan drainase yang telah disususun memberikan urutan prioritas sebagai berikut : Saluran Sumber Jetis dengan skor 12,6. Saluran Nusukan Barat dengan skor 12,4. Saluran Nayu Utama dengan skor 11,4. Saluran Kedung Tungkul dengan skor 10,6. Saluran Masjid Baiturrohmah dengan skor 10,0. Saluran Ngemplak Sutan dengan skor 10,0. Saluran Sekip-Joglo-Nayu dengan skor 9,4. Saluran Jl Adisumarmo dengan skor 8,3. Saluran Nusukan Timur dengan skor 8,2. Saluran Kali Kebo dengan skor 7,5. Kata kunci : AHP, pengendalian banjir, prioritas 1. PENDAHULUAN Kasus banjir sering terjadi pada kawasan tertentu di wilayah perkotaan, seperti sering terjadi di Surakarta (Solo) pada musim hujan, beberapa kawasan mengalami genangan banjir rutin seperti kawasan Kelurahan Semanggi, Kelurahan Sewu, Komplek Perumahan Puri Gading, Kelurahan Joyontakan hal ini disebabkan meluapnya Kali Jenes sehingga terjadi arus balik ( back water ) yang bermuara di Bangawan Solo. Pada bagian lain kawasan Kota Solo seperti, Perumahan Fajar Indah Kelurahan Jajar, sebagian wilayah Kelurahan Nusukan, sebagian wilayah Kelurahan Banyuanyar, sebagian Perumnas Mojosongo, pada musim hujan juga mengalami banjir . Hal ini disebabkab buruknya kinerja jaringan drainase yang bermuara di Kali Anyar, serta perubahan tata guna lahan dikawasan Surakarta Bagian Utara. ( Bappeda Kota Surakarta, 2003). Penelitian tahun 2003 tersebut belum ditindak lanjuti telah disusul banjir yang lebih besar pada bulan Februari 2007, ratusan rumah di 12 RW Kelurahan Sumber, sebagian Kelurahan Manahan, serta 7 RW di Kelurahan Kadipiro akibat meluapnya Kali Pepe dan Kali Anyar yang merupakan badan air penerima, serta banjir besar di wilayah Solo bagian selatan yang berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo (Solopos, 16 Februari, 2007 ). Demikian juga pada Desember 2010 dan Januari 2011 banjir masih tetap terjadi yang merendam 1788 rumahyan meliputi Kelurahan Sangkrah dan Pasar Kliwon (Solopos, 5 Januari 2011). Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang memadahi menyebabkan pemanfaatan lahan perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali dengan baik. Disamping itu juga disebabkan oleh tingkat kesadaran Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam institusi pemerintah, serta masyarakat yang masih rendah dan acuh tak acuh terhadap permasalahan yang

Upload: others

Post on 02-Nov-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-1

ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM CDPlus 3.0

UNTUK MENYUSUN DETITION SUPPORT SYSTEM

PENGENDALIAN BANJIR DI SURAKARTA

Adi Yusuf Muttaqin

Dosen Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Sebelas Maret Surakarta. email : [email protected]

ABSTRAK Permasalahan banjir di Kota Surakarta tidak semata- mata persoalan teknis, tetapi juga terkait erat dengan

masalah non teknis yaitu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penyelesaian permasalahan banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan hanya merujuk pada disiplin ilmu teknik saja tapi

juga partisipasi (keterlibatan) masyarakat sangat mempengaruhi, terutama dalam hal operasional dan

pemeliharaannya. Demikian juga dengan kondisi anggaran pengelolaan drainase Kota Surakarta yang

rendah. Review Master Plan Drainase Surakarta Bagian Utara (2003) dan Penyusunan Database Sistem

Drainase Kota Surakarata (2008) telah menunjukkan kondisi existing, permasalahan dan solusi

penanggulangan pada masing-masing Sub Wilayah Pembangunan (SWP) tetapi belum mencakup

penetapan prioritas rehabilitasi sesuai dengan conveyor drain dan berdasarkan variable penentunya.

Untuk itu diperlukan Detition Support System (Sistem Pendukung Kebijakan) prioritas rehabilitasi

dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP), guna mempercepat proses analisis digunakan

Program Komputer Criterium Decicion Plus (CDPlus 3.0).

Analitical Hierarchy Process (AHP) memungkinkan pengguna untuk menentukan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk ( atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan

melakukan perbandingan berpasangan. Mengubah perbandingan berpasangan tersebut menjadi suatu

himpunan bilangan yang mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif dengan cara

yang konsiten .

Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana pada Pemerintah Kota Surakarta apalagi partisipasi

masyarakat dalam ikut membiayai rehabilitasi sangat rendah , maka rehabilitasi saluran drainase yang

rusak sebagai upaya penanggulangan banjir harus dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan urutan

prioritas. Sistem Pendukung Kebijakan untuk melakukan rehabilitasi jaringan drainase yang telah

disususun memberikan urutan prioritas sebagai berikut : Saluran Sumber Jetis dengan skor 12,6. Saluran

Nusukan Barat dengan skor 12,4. Saluran Nayu Utama dengan skor 11,4. Saluran Kedung Tungkul

dengan skor 10,6. Saluran Masjid Baiturrohmah dengan skor 10,0. Saluran Ngemplak Sutan dengan skor 10,0. Saluran Sekip-Joglo-Nayu dengan skor 9,4. Saluran Jl Adisumarmo dengan skor 8,3. Saluran

Nusukan Timur dengan skor 8,2. Saluran Kali Kebo dengan skor 7,5.

Kata kunci : AHP, pengendalian banjir, prioritas

1. PENDAHULUAN

Kasus banjir sering terjadi pada kawasan tertentu di wilayah perkotaan, seperti sering terjadi di Surakarta

(Solo) pada musim hujan, beberapa kawasan mengalami genangan banjir rutin seperti kawasan Kelurahan

Semanggi, Kelurahan Sewu, Komplek Perumahan Puri Gading, Kelurahan Joyontakan hal ini disebabkan

meluapnya Kali Jenes sehingga terjadi arus balik ( back water ) yang bermuara di Bangawan Solo.

Pada bagian lain kawasan Kota Solo seperti, Perumahan Fajar Indah Kelurahan Jajar, sebagian wilayah

Kelurahan Nusukan, sebagian wilayah Kelurahan Banyuanyar, sebagian Perumnas Mojosongo, pada

musim hujan juga mengalami banjir . Hal ini disebabkab buruknya kinerja jaringan drainase yang bermuara di Kali Anyar, serta perubahan tata guna lahan dikawasan Surakarta Bagian Utara. ( Bappeda

Kota Surakarta, 2003). Penelitian tahun 2003 tersebut belum ditindak lanjuti telah disusul banjir yang

lebih besar pada bulan Februari 2007, ratusan rumah di 12 RW Kelurahan Sumber, sebagian Kelurahan

Manahan, serta 7 RW di Kelurahan Kadipiro akibat meluapnya Kali Pepe dan Kali Anyar yang

merupakan badan air penerima, serta banjir besar di wilayah Solo bagian selatan yang berbatasan dengan

Sungai Bengawan Solo (Solopos, 16 Februari, 2007 ). Demikian juga pada Desember 2010 dan Januari

2011 banjir masih tetap terjadi yang merendam 1788 rumahyan meliputi Kelurahan Sangkrah dan Pasar

Kliwon (Solopos, 5 Januari 2011).

Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang

memadahi menyebabkan pemanfaatan lahan perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali dengan

baik. Disamping itu juga disebabkan oleh tingkat kesadaran Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam institusi pemerintah, serta masyarakat yang masih rendah dan acuh tak acuh terhadap permasalahan yang

Page 2: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-2

dihadapi kota, khususnya kinerja drainasenya. Hal inilah yang menyebabkan persoalan drainase perkotaan

/ wilayah menjadi sangat komplek.

Berdasarkan uraian diatas tercermin bahwa permasalahan banjir di Kota Solo tidak semata- mata

persoalan teknis, tetapi juga terkait erat dengan masalah non teknis yaitu, kondisi sosial, budaya dan

ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penyelesaian permasalahan banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan

hanya merujuk pada disiplin ilmu teknik saja tapi juga partisipasi ( keterlibatan ) masyarakat sangat

mempengaruhi, terutama dalam hal operasional dan pemeliharaannya. Demikian juga dengan kondisi

anggaran pengelolaan drainase Kota Surakarta yang rendah.

Sistem drainase Kota Surakarta secara makro dibagi dalam dua sub sistem master plan, yaitu Master Plan

Drainase Kota Surakarta Bagian Utara, dilakukan review tahun 2003 (Bappeda Kota Surakarta, 2003) dan

Master Plan Kota Surakarta Bagian Selatan, dilakukan review tahun 2006 (Bappeda Kota Surakarta, 2006). Kemudian pada tahun anggran 2007 dan 2008 telah disusun Database SIG Sistem Darinase Kota

Surakarta (Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta, 2008) Seperti yang disajikan pada skema dibawah ini

:

Gambar 1.1. Skema Sistem Drainase Makro Kota Surakarta

Berdasarkan latar belakang tersebut dalam penelitian ini telah dilakukan analisis penyusunan Detition

Sport System (DSS) prioritas rehabilitasi dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP), yang

bertujuan untuk memberikan solusi prioritas rehabilitasi sistem jaringan draianse, sebagi studi kasus

dilaksanakan pada Sistem Drainase Mikro Kota Surakarta DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar. Guna

mempercepat proses analisis digunakan Program Komputer Criterium Decicion Plus (CDPlus 3.0).

2. DIKRIPSI WILAYAH STUDI

Berdasarkan geomorfologi Kota Surakarta adalah kawasan yang dilintasi sungai-sungai yang berhulu di

Gunung Lawu, Kendeng, Merapi dan Merbabu dan sungai-sungai tersebut akhirnya bermuara di

Bengawan Solo sementara Kota Solo posisinya berada persis di tepian sungai Bengawan Solo yang

terdekat dengan hulunya di Pegunungan Selatan. Bisa kita teliti sungai-sungai yang mengalir di Kota Solo

(lihat peta) seperti Kali Premulung berhulu di kaki gunung Merapi melintas di Kabupaten Sukoharjo, kali

Pepe berhulu di gunung Merapi melintas di Kab Klaten dan Boyolali. Kemudian kalau kita telusuru

kearah hulu dari Jurug sepanjang sungai Bengawan Solo sampai Waduk Wonogiri mempunyai anak-anak

sungai yang memberi kontribusi cukup besar dan cepat meningkatkan debit saat hujan deras dengan

durasi yang lama, antara lain : Kali Wingko, Kali Samin, Kali Kembangan, Kali Brambang, Kali

Buntungan, Kali Jlantah, seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Page 3: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-3

Gambar 2.1. Peta Wilayah Drainase Makro Kota Surakarta

Selanjutnya berdasarkan diskusi dan konsultasi dengan Sub Dinas Drainase DPU Kota Surakarta

diputuskan bahwa sistem drainase Kota Surakarta merupakan satu kesatuan sistem dalam Sistem Drainase

Makro Kota Surakarta dan dibagi dalam Sistem Drainase Mikro berdasarkan Daerah Aliran Sungai

(DAS) dimana di Kota Surakarta mengalir 10 (sepuluh) sungai (kali) sebagai badan air penerima

(reciving water) yang sebagian besar bermuara di Sungai Bengawan Solo. Seperti terlihat pada Gambar

1.1.

Pada studi ini wilayah dibatasi pada Surakarta Utara DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar yang meliputi Sistem Drainase Kadipiro-Nusukan, Sistem Drainase Sumber-Nusukan Sistem Drainase Mojosongo

3. LANDASAN TEORI

Detition Suport System ( DSS ) adalah suatu sarana atau alat bantu untuk mendukung suatu kebijakan.

Analisis DSS dapat diawali dengan mengidentifikasi masalah yang ada, menetapkan tujuan kegiatan dan

menetapkan elemen pendukung keputusan . Setiap elemen dapat dibagi menjadi empat atau lima kondisi

sesuai dengan jenisnya ( Sobriyah, 2005 ).

Metode Analitical Hierarchy Process ( AHP ) digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan

kebijakan dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP suatu persoalan akan

dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat

diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks

dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya ( Marimin, 2004 ). Sedangkan menurut Budi Wignyosukarto, dkk, 2001, Aplikasi metode Analitical Hierarchy Process (

AHP ) pada sistem drainase perkotaan mempunyai kekuatan antara lain sebagai berikut Menstruktur

masalah secara sitematis. Dirancang untuk menggunakan rasio dan intuisi untuk memilih alternatif yang

terbaik, pada kejadian banjir di perkotaan / suatu kawasan. Alternatif yang terbaik adalah yang

mempunyai kerugian paling kecil, serta mempunyai keuntungan terbesar. Mengelempokkan faktor-faktor

yang menentukan keputusan secara gradual dari yang umum ke khusus.

4. METODE ANALISIS

Pada penelitian ini metode yang dipakai adalah Deskriptif Evaluatif, yaitu metode studi yang

mengevaluasi kondisi obyektif / apa adanya pada suatu keadaan yang sedang menjadi obyek studi. Obyek

penelitian yang dimaksud adalah, sistem jaringan drainase di Surakarta Bagian Utara, sebagian telah mengalami penurunan kapasitas dan atau peningkatan debit. Kondisi ini mengakibatkan terjadi genangan

pada waktu hujan yang mengganggu aktifitas masyarakat. Sehingga diperlukan adanya solusi dan

kebijakan yang mengutamakan opini masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Page 4: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-4

Pengumpulan data merupakan langkah awal setelah dilakukan pengidentifikasian terhadap masalah yang

ada. Analisis Detition Suport System ( DSS ) disusun berdasarkan proses : Penyusunan hierarki.

Pembobotan terhadap kriteria dan alternatif yang terdiri dari : Partisipasi masyarakat. Kapasitas saluran

(debit). Luas daerah layanan. Estimasi biaya rehabilitasi. Analisis metode AHP dilakukan dengan

menggunakan program komputer C DPlus versi 3.0. Dalam penyusunan hierarki ini diawali dengan

tujuan, yaitu penetapan prioritas rehabilitasi jaringan untuk level 1, dilanjutkan dengan kriteria pada level

2 dan alternatif pada level 3. Kriteria-kriteria yang dikembangkan dalam DSS rehabilitasi jaringan

drainase ini adalah, Partisipasi masyarakat, tingkat kerusakan, luas areal layanan dan estimasi biaya

rehabilitasi. Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut :

Tujuan ( level 1 ) :

Kriteria ( level 2 ) :

Alternatif (level 3) :

Gambar 4.1.Struktur Hierarki dalam AHP

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lingkup Studi ini dibagi tiga jaringan drainase di dalam Sub Wilayah Pengembangan Jaringan Drainase

itu adalah : Jaringan Drainase Kadipiro-Nusukan, Jaringan Drainase Sumber-Nusukan, Jaringan Drainase

Mojosongo. Jaringan Drainase ini terdiri dari saluran-saluran yang saling berhubungan menjadi sebuah

sistem drainase, yang masuk pada sistem drainase mikro DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1

Gambar 5.1. Jaringan Drainase Surakarta Wilayah Studi

Prioritas Rehabilitasi

Tingkat kapasitas

saluran

Partisipasi

masyarakat

Luas areal

layanan

Estimasi biaya

Rehabilitasi

Conveyor

drain 1

Conveyor

drain 2

Conveyor

drain 3

Conveyor

drain 4

Conveyor

drain 5

Page 5: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-5

Jaringan Drainase Kadipiro-Nusukan Jaringan Drainase dalam wilayah ini terdiri Saluran sekunder Nayu Utara-Timur, Saluran sekunder

Sumber Nayu bergabung di Kali Nayu, selanjutnya bermuara di K.Anyar.

Jaringan Drainase Sumber- Banyuanyar

Jaringan Drainase dalam wilayah ini meliputi Saluran sekunder Sumber

Trangkilan, Sal sekunder Gayamsari, K.Kuil, & K.Kijing.

Jaringan Drainase Mojosongo

Jaringan Drainase dalam wilayah ini meliputi Sal.Sek.Kedungjumbleng, Sal.Sek.Debegan,

Sal.Sek.Untoroloyo, Sal.Sek.Kedung Tungkul, Sal.Sek.Ngemplak Sutan, Sal.Sek.Mipitan & K.Kebo.

Rumusan Detition Support System (DSS) Hasil dari pemeriksaan kondisi existing sistem jaringan drainase di Surakarta Utara pada masing-masing

sub sistem, menunjukkan adanya kerusakan badan saluran, sedimentasi dan sebagian belum dibangun

saluran. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya banjir/genangan di beberapa tempat sampai dengan

menurunkan kinerja sistem jaringan drainase. Guna mengurangi volume genangan dan upaya

meningkatkan kinerja sistem jaringan drainase secara keseluruhan maka perlu dilakukan rehabilitasi pada

lokasi-lokasi kerusakan, pembersihan sedimentasi, dan pembangunan saluran baru. Sistem jaringan

drainase di Surakarta Utara merupakan satu kesatuan sistem, tetapi dikarenakan keterbatasan sumberdaya

dan sumberdana dari Pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat , maka diperlukan DSS penentuan skala

prioritas dalam melakukan rehabilitasi. Pada penelitian ini langkah penentuan skala prioritas dibagi dalam 10 saluran pembawa (Conveyor drain)

yang tersebar pada sub sistem jaringan drainase di wilayah studi.

Tabel 5.1.Rehab Conveyor Drain Surakarta Utara

Selanjutnya ditentukan berdasarkan 4 (empat) kriteria, yaitu : Partisipasi masyarakat, kapasitas debit

pada badan saluran, luas daerah layanan dan rencana anggaran biaya (RAB) rehabilitasi. Kelancaran dan

keberhasilan rehabilitasi pada masing-masing Conceyor drain sangat ditentukan oleh partisipasi

masyarakat, maka kriteria partisipasi masyarakat dalam analisis ini paling dominan. Perumusan DSS

berdasarkan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) menggunakan program CDPlus versi 3.0. Proses analisis metode AHP dengan tahapan melakukan penilaian dan pembobopatan kriteria, penilaian

dan pembobotan alternatif, selanjutakan dilakukan penentuan skala prioritas.

Penentuan Skala Prioritas dengan Metode AHP

Hasil akhir dari pembobotan kriteria dan alternatif tersebut diatas akan memberikan jawaban colector

drain mana yang diprioritaskan secara berurutan untuk dilakukan rehabilitasi dengan terlebih dahulu

dilakukan analisis dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). Alasan dipilihnya metode AHP,

menurut Marimin (2004) adalah AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelasakan proses

pengambilan keputusan, yaitu :

Penentuan kriteria yang paling dominan akan sangat mempengaruhi hasil akhir.

Hasil akhir dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Proses keputusan yang komplek dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil.

No Nama Saluran Kelurahan

1. Saluran Sumber Jetis Sumber

2. Saluran di Jl Adi Sumarmo Banyuanyar

3. Saluran Nayu Utama Kadipiro

4. Saluran Sekip-Joglo-Nayu Kadipiro

5. Saluran Nusukan Barat Nusukan

6. Saluran Nusukan Timur Nusukan

7. Saluran Kedung Tungkul Mojosongo

8. Saluran Ngamplak Sutan Ata Mojosongo

9. Saluran kali Kebo Mojosongo

10. Saluran Depan Masjid Baiturohmah Mojosongo

Page 6: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-6

AHP menguji konsistensi penilaian bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai

konsistensi sempurna, jika demikian maka penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus

distruktur ulang.

Untuk selanjutnya analisis menggunakan program komputer Criterium Decision Plus (CDP) versi3.0.

Analisis dengan CDP versi 3.0

Program ini menyediakan 20 block struktur hierarki, artinya dapat membantu analisis penentuan

pilihan/penentuan prioritas sampai dengan 20 alternatif. Pada penelitian ini akan menentukan prioritas

rehabilitasi saluran drainase pada Sistem Drainase Surakarta Utara dalam 10 pilihan colector drain.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam perhitungan dengan CDP versi 3.0 adalah sebagai berikut : Menjalankan program CDP versi 3.0.

Dibuat brainstorming, dengan goal Rehab Konveyor Drain, dimasukkan kriteria dan alternatif, hasilnya

seperti Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Brainstorming Rehabilitasi Conveyor Drain Gambar 5.2. Diagram Struktur Hierarki

Membuat struktur hierarki, hasilnya seperti pada Gambar 5.2.

Diagram pada Gambar 5.2. diatas mempresentasikan keputusan untuk memilih prioritas rehabilitasi

saluran drainase (conveyor drain), adapun kriteria untuk membuat keputusan tersebut adalah partispasai masyarakat, debit, luas daerah layanan dan RAB. Alternatif yang tersedia dalam membuat keputusan

tersebut adalah lokasi conveyor drain

Melakukan penilian terhadap kriteria dengan cara mengisi data perbadingan antar kriteria, hasilnya dapat

dilihat pada Gambar 5.3

Gambar 5.3. Hasil pengisian nilai alternatif Gambar 5.4.Grafik Hasil Pengolahan Akhir

Hasil yang ditunjukkan Gambar 5.4. adalah kriteria partisipasi masyarakat mempunyai nilai 6 pada Sal

Sumber Jetis adalah important ( penting ), pada Sal Jl Adisumarmo nilai 7 adalah important, pada Sal Nayu Utama nilai 7 adalah important, pada Sal Sekip Joglo-Nayu nilai 7 adalah important demikian juga

Page 7: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-7

pada Sal Nusukan Barat 7 adalah Important dan seterusnya. Selanjutnya didapat juga hasil penilaian

alternatif untuk kriteria debit, luas daerah layanan dan kriteria rencana anggran biaya. Hasil akhir

disajikan pada Gambar 6.

Hasil penentuan skala prioritas dengan metode AHP menunjukkan bahwa nilai tertinggi decision scors

adalah 12,6 % pada Sal Sumber Jetis, artinya prioritas pertama rehabilitasi direkomendasikan pada Sal

Sumber Jetis, prioritas kedua di Nusukan Barat dengan skor 12,4%, prioritas ketiga di Sal Nayu Utama

dengan skor 11,4%, prioritas keempat pada Sal Kedung Tungkul dengan skor 10,6% dan prioritas kelima

di Sal Ngemplak Sutan dengan skor 9,8 %. dan seterusnya.

6. KESIMPULAN

Dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana pada Pemerintah Kota Surakarta apalagi partisipasi masyarakat dalam ikut membiayai rehabilitasi sangat rendah , maka rehabilitasi saluran

drainase yang rusak harus dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan urutan prioritas. DSS untuk

melakukan rehabilitasi jaringan drainase memberikan urutan prioritas sebagai berikut : Saluran Sumber

Jetis dengan skor 12,6. Saluran Nusukan Barat dengan skor 12,4. Saluran Nayu Utama dengan skor 11,4.

Saluran Kedung Tungkul dengan skor 10,6. Saluran Masjid Baiturrohmah dengan skor 10,0. Saluran

Ngemplak Sutan dengan skor 10,0. Saluran Sekip-Joglo-Nayu dengan skor 9,4. Saluran Jl Adisumarmo

dengan skor 8,3. Saluran Nusukan Timur dengan skor 8,2. Saluran Kali Kebo dengan skor 7,5.

Partisipasi masyarakat yang merupakan unsur dominan dalam pengelolaan kinerja sistem jaringan

drainase di Surakarta Utara ini dapat ditunjukkan pada tingginya kontribusi kriteria partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan jaringan drainase lingkungan. Tetapi rendah kontribusinya dalam partisipasi

pembiayaan, menurut anggapan mereka hanya berkewajiban mengelola saluran lingkungan, bagaian ke hilir pengelolannya dibawah tanggung jawab Pemerintah Kota.

7. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan kesimpulan tersebut diatas maka dapat

disampaikan beberapa saran sebagai barikut :

Sistem Drainase Kota Surakarta dan ketegasan tanggung jawab pengelolan jaringan drainase perlu

dilegalkan dalam Peraturan Daerah (Perda).

Metode AHP dengan program CDPlus versi 3.0. bisa dikembangkan untuk penyusunan DSS yang lain

guna memudahkan pengambilan keputusan yang akurat, akuntable, cepat dan melibatkan partisipasi

masyarakat.

8. REFERENSI

1. Bappeda Kota Surakarta, 2003, Review Master Plan Drainase Kota Surakarta Utara.

2. Budi Wignyosukarto, 2001, Pemanfaatan Decision Support System Untuk Perencanaan Sitem

Drainase, Makalah pada Kongres VII dan PIT VIII HATHI, Malang 2001.

3. Halim Hasmar, 2002, Drainase Perkotaan, Penerbit UII Press, Jogyakarta.

4. Hariyadi, 2005, Penetapan Prioritas Rehabilitasi Jaringan Irigasi Dengan Pendekatan AHP

pada Saluran Induk Colo Timur Di Wilayah Sragen. Skripsi, tidak dipublikasikan Fakultas

Teknik UNS.

5. Kodoatie, Robert, 2003, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Penerbit Pustaka Pelajar,

Jogyakarta.

6. Marimin,2004, Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk, Penerbit PT Grasindo.

7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta, 2008, Penyusunan Database SIG Sistem Drainase Mikro Kota Surakarta

8. Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi, Jogyakarta.

9. Sobriyah, 2005, Sistem Pendukung Keputusan Pada Penentuan Prioritas Rehabilitasi

Jaringan Irigasi di DIY. Gema Teknik Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

10. Yusuf, 2006, Kinerja Sistem Jaringan Drainase Berbasis Partisipasi Masyarakat Program Pasca

Sarjana Universitas Diponegoro Magister Teknik Sipil.

Page 8: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-8

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 9: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-9

STUDI KONDISI TINGGI MUKA AIR PADA PERTEMUAN KALI BANGILTAK DAN KALI

KEDUNGLARANGAN UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN GENANGAN DI

KABUPATEN PASURUAN

Aulia Tirtamarina1)

, Nadjadji Anwar2)

, Anggrahini3)

1) Mahasiswa S2 MRSA Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

[email protected] 2)Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya [email protected]

3)Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

Kementerian Pekerjaan Umum berencana memfungsikan kembali kali Bangiltak untuk mengatasi

permasalah Drainase di kabupaten Pasuruan apabila kali Porong tidak lagi dapat difungsikan sebagai

saluran drainase akibat pembuangan lumpur untuk mengatasi bencana alam lumpur di Sidoarjo. Difungsikannya kembali kali Bangiltak dikhawatirkan akan menambah permasalahan genangan di

kabupaten Pasuruan. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa permasalahan genangan telah terjadi di daerah

kali Wrati, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan. Sebelum kali Bangiltak difungsikan kembali, perlu

ada penelitian untuk menyelidiki kondisi saluran masih layak untuk menerima debit tambahan.

Pengaruh akibat terjadinya genangan dapat diketahui dengan melaksanakan penelitian kondisi pada

daerah pertemuan antara kali Kuntulan, kali Bangiltak, dan kali Kedunglarangan serta kali kuntulan itu

sendiri hingga sebelum titik pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean. Rencana pemerintah

untuk mengatasi permasalahan genangan yang mungkin timbul dengan pembuatan sudetan di daerah kali

Wrati menuju kali Bangiltak dan sudetan di daerah kali kedunglarangan menuju kali kalanganyar juga

perlu diteliti lebih lanjut penyebabnya dalam mengatasi genangan tersebut. Penelitian dilaksanakan

dengan permodelan menggunakan program SMS RMA-2. Hasil permodelan kondisi eksisting akan divalidasi dengan hasil pengukuran di lapangan.

Berdasarkan hasil sementara pada penelitian ini didapatkan bahwa pada perpotongan antara kali

Wrati, kali Bangiltak dan kali Kedunglarangan terjadi penyempitan saluran akibat besarnya sedimentasi

di daerah tersebut. Besarnya arus yang mengalir dari arah kali Wrati tidak hanya membawa sedimentasi

yang cukup besar pada titik perpotongan, namun juga mengakibatkan aliran dari kali Kedunglarangan

sulit untuk mengalir ke kali Kuntulan

Kata kunci: tinggi muka air, sudetan, SMS RMA-2,

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Permasalahan banjir di wilayah kabupaten Pasuruan telah berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Genangan banjir di kabupaten Pasuruan terjadi akibat meluapnya kali

Bangiltak. kali Wrati dan kali Kedunglarangan yang disertai gerusan tebing dan putusnya tanggul di

beberapa tempat.

Untuk mengatasi genangan yang terjadi, perlu diketahui terlebih dahulu penyebabnya. Perlu terlebih

dahulu dilaksanakan penelitian untuk mengetahui bagaimanakah kondisi elevasi muka air di pertemuan

antara kali Kedunglarangan dan kali Bangiltak. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki

apakah kondisi pertemuan antara kali Bangiltak dan kali Kedunglarangan juga memiliki kontribusi atas

meningkatnya tinggi muka air akibat adanya penyempitan volume saluran atau yang sering dikenal

dengan istilah bottle neck sehingga mengakibatkan terjadinya banjir di wilayah tersebut. Untuk

menyelidiki kemungkinan terjadinya bottle neck, maka penulis mengambil lokasi penelitian di titik

perpotongan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan hingga sebelum pertemuan antara kali Kuntulan dan Avur Bawean sebagaimana nampak pada Gambar 1.1. Kondisi eksisting

Page 10: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-10

disimulasikan dengan menggunakan debit aliran yang terkecil, yaitu Q1.1 dan kemudian terus

ditambahkan dengan menggunakan debit yang lebih besar, yaitu Q2 , Q5 Q10 dan Q20.

Upaya yang direncanakan Pemerintah untuk mengatasi genangan diantaranya adalah pelaksanaan

normalisasi di kali Bangiltak, Wrati, dan Kedunglarangan untuk meningkatkan kapasitas tampungan pada

ketiga kali tersebut. Upaya normalisasi ini perlu diteliti tingkat keefektifiannya dalam mengatasi

genangan yang terjadi, oleh sebab itu pada thesis ini akan dimodelkan pula kondisi wilayah studi pada

saat telah dilaksanakan normalisasi

Gambar 1.1 Lokasi Studi

Upaya penanggulangan lainnya dilaksanakan dengan membuat sudetan (shortcut) di Kali

Kedunglarangan guna mengurangi debit air yang menglir ke arah kali Kuntulan. Dengan upaya

pembuatan sudetan ini, maka debit air yang mengalir pada kali Kuntulan hanya berasal dari debit kali Bangiltak dan tidak mendapat tambahan debit dari kali Kedunglarangan. Apabila hasil penelitian

sebelumnya menyatakan bahwa upaya normalisasi tiga sungai tidak cukup efektif untuk mengatasi

permasalahan genangan, maka perlu diteliti lebih lanjut apakah permasalahan genangan dapat lebih

diatasi dengan adanya sudetan di kali Kedunglarangan. Untuk mengetahui tingkat efektifitas pembuatan

sudetan di kali Kedunglarangan dalam menanggulangi permasalahan genangan di wilayah studi, maka

akan dilaksanakan permodelan dengan memperhitungkan efek pembuatan sudetan di kali

Kedunglarangan pada kondisi eksisting saat ini dan pada kondisi setelah adanya normalisasi.

Permasalahan lain muncul akibat adanya bencana alam lumpur panas di Porong telah berlangsung

selama 4 tahun terakhir. Untuk mengatasi timbulnya wilayah genangan lumpur semakin meluas,

pemerintah berencana membuang lumpur panas tersebut ke arah kali Porong. Apabila lumpur panas

benar-benar dialirkan ke arah kali Porong, maka kinerja kali Porong sebagai saluran drainase akan terganggu. Solusi yang dipandang dapat ditempuh untuk mengatasi tidak berungsinya kali Porong sebagai

saluran drainase adalah dengan memfungsikan kembali Kali Bangiltak untuk mengalirkan debit 390

m3/dtk yang seharusnya dialirkan menuju Kali Porong.

Dialirkannya kembali aliran air dari kali Porong menuju kali Bangitak hulu dengan debit sebesar 390

m3/detik tentu saja berpengaruh terhadap aliran kali Wrati dan kondisi di titik perpotongan antara kali

Bangiltak dan kali Kedunglarangan. Segala pengaruh perubahan tinggi muka air beserta kemungkinan

terjadinya backwater di wilayah tersebut peru mendapat perhatian lebih lanjut. Aliran sebesar ini nantinya

akan pula melewati daerah perpotongan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan.

Tentunya hal ini berpotensi akan meningkatkan tinggi muka air di wilayah studi sehingga menyebabkan

timbulnya permasalahan genangan baru. Oleh sebab itu dalam studi ini akan pula dilaksanakan

permodelan dengan memperhitungkan pengaruh dialirkannya debit sebesar 390 m3/detik ke arah kali

Bangiltak pada kondisi setelah adanya sudetan di kali Kedunglarangan, baik apabila dilaksanakan pada kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah adanya normalisasi.

Program SMS akan digunakan untuk memecahkan model matematika yang dibangun berdasarkan

konsep gerak air dan gerak sedimen yang secara matematis dipecahkan dengan elemen hingga (finite

elemen) melalui pendekatan dua dimensi horisontal. Diharapkan dengan melaksanakan permodelan

menggunakan SMS, perubahan tinggi muka air sungai dapat diprediksi dengan baik.

Oleh sebab pentingnya penelitian kondisi tinggi muka air di daerah perpotongan antara kali

Bangiltak, Kedunglarangan dan Kuntulan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa

Kedungpandan, maka penulis mengajukan peneltian berjudul “Studi Kondisi Tinggi Muka Air pada

Pertemuan Kali Bangiltak, Kali Kedunglarangan dan Kali Kuntulan untuk Mengatasi Permasalahan

Genangan di Kabupaten Pasuruan”

1.2. Perumusan Masalah

Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :

Lokasi

studi

Page 11: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-11

1. Bagaimanakah kondisi eksisting tinggi muka air di daerah titik perpotongan Kali Bangiltak, Kali

Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa

Kedungpandan?

2. Bagaimanakah kondisi tinggi muka air setelah adanya normalisasi di Kali Bangiltak, kali Kuntulan,

dan kali Kedunglarangan?

3. Bagaimanakah pengaruh pembuatan sudetan (shortcut) di Kali Kedunglarangan terhadap elevasi

muka air di daerah titik perpotongan Kali Bangiltak, Kali Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga

sebelum titik pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean baik apabila diterapkan pada

kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah normalisasi, dan apakah pembuatan sudetan tersebut

efektif dalam menanggulangi genangan yang saat ini terjadi?

4. Bagaimanakah pengaruh difungsikannya kembali aliran sungai dari Kali Porong ke arah Kali Bangiltak terhadap kondisi tinggi muka air di daerah titik perpotongan hingga sebelum titik

pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean, pada kondisi setelah adanya sudetan di Kali

Kedunglarangan, baik apabila diterapkan pada kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah

normalisasi ?

1.3. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari studi penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Wilayah studi ini hanya akan difokuskan pada lokasi titik perpotongan antara Kali Bangiltak, Kali

Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa

Kedungpandan .

2. Dasar Teori

2.1 Permodelan Menggunakan Program SMS

Bagian pokok dari SMS yang akan digunakan pada penelitian ini adalah RMA- 2 (Resources

Management Associates-2). RMA-2 inti dari SMS, merupakan program elemen hingga dua dimensi untuk

menyelesaikan masalah hidrodinamika. RMA-2 dapat digunakan untuk menghitung elevasi muka air dan

kecepatan aliran pada titik node dalam suatu mesh elemen hingga yang mewakili badan air seperti sungai,

kolam, estuari atau pelabuhan.(SMS, 2002)

Sebagai persamaan pengatur, RMA2 menggunakan persamaan konservasi massa dan momentum yang

diintegrasikan terhadap kedalaman.

Persamaan konservasi massa :

0

y

hv

x

hu

y

v

x

uh

t

h

…………………………………...…………… ...........(2.1)

Persamaan konservasi momentum:

arah x

0sin 2cos

486.1

22/122

26/1

2

2

2

2

2

vhVvu

h

gun

x

h

x

agh

y

uE

x

uE

h

y

uhv

x

uhu

t

uh

a

xyxx

…...(2.2)

arah y

0sin 2sin

486.1

22/122

26/1

2

2

2

2

2

vhVvu

h

gvn

y

h

y

agh

y

vE

x

vE

h

y

vhv

x

vhu

t

vh

a

yyyx

….....(2.3)

Persamaan konservasi massa dan momentum tersebut di atas diselesaikan dengan metode elemen hingga

dengan mengunakan Metode sisa berbobot (weighted residuals) Galerkin.

Kelebihan-kelebihan yang lain dari RMA2:

a. RMA2 khusus dirancang untuk mensimulasi perubahan elevasi dan distribusi kecepatan aliran pada

sungai, muara sungai, estuari, atau bahkan perairan teluk yang terbuka ke laut lepas.

b. Mampu mensimulasi bermacam-macam jenis material perairan seperti pasir, lumpur, rawa-rawa

(swamp), dan bantaran rawa (marsh). c. Mampu mensimulasi berbagai kondisi fisik perairan seperti kering, basah, atau terendam sesuai

Page 12: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-12

dengan kekasaran dasar/tebing perairan.

d. Memperhitungkan turbulensi fluida sesuai dengan sifat-sifat pengalirannya.

e. Memperhitungkan pengaruh perputaran bumi dan tegangan geser akibat angin.

f. Dapat memodelkan sampai 5 tipe struktur kontrol aliran yang berbeda.

g. Menyediakan petunjuk untuk penghitungan yang dapat diatur oleh pengguna seperti :

Parameter wet/ dry, Kontrol iterasi,dan Koreksi dalam suatu langkah waktu

h. Koefisien dapat dimasukkan oleh pengguna seperti koefisien turbulensi, koefisien kekasaran Manning,

suhu, dll:

i. Beberapa macam kondisi batas berikut dapat dimodelkan: Elevasi permukaan air (langgeng maupun

tak langgeng), Debit atau kecepatan aliran (langgeng maupun tak langgeng), Kecepatan dan arah

angin, Fluktuasi debit terhadap elevasi, Karakteristik material

2.2 Kondisi Batas Pemodelan

Ada dua macam kondisi batas yang dapat diaplikasikan pada modul RMA2 ini, yaitu debit (kecepatan

aliran) dan perubahan elevasi muka air (head). Pada umumnya, debit digunakan pada batas dimana air

mengalir masuk ke model dan perubahan elevasi muka air digunakan pada batas sisi berlawanan model.

RMA-2 dapat digunakan untuk menghitung kasus aliran langgeng (steady) dan aliran tidak langgeng

(dinamis). Aliran langgeng adalah suatu aliran dimana kecepatan dan tinggi muka air tidak berubah dalam

waktu, sedangkan aliran tidak langgeng adalah suatu aliran yang berubah dalam waktu, misalnya aliran

akibat pasang surut, banjir dan sebagainya. Disini dapat menentukan kondisi batas (debit atau perubahan

elevasi muka air) konstan atau berubah terhadap waktu sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan.

Pemilihan kondisi batas tersebut biasanya tergantung dari ketersediaan data, kebutuhan dan besarnya

pengaruh terhadap model yang disimulasikan. Selain kondisi batas di atas, diperlukan juga sifat material untuk membentuk model hidrodinamika.

Setiap elemen dalam mesh elemen hingga diberi suatu pengenal (ID) matrerial merupakan indeks dari

suatu daftar sifat material. Setiap material mempunyai lima koefisien yang menentukan sifat material

yaitu empat koefisien pertukaran turbulen ( ) dan satu koefisien kekasaran Manning (n). Kelima

koefisien material tersebut dapat dimasukkan sama secara keseluruhan mesh atau berbeda-beda untuk

bagian yang berbeda dalam mesh. a. Koefisien Pertukaran Turbulen

Koefisien pertukaran turbulen juga dikenal sebagai „viskositas eddy‟. SMS memerlukan empat nilai

koefisien pertukaran turbulen, yaitu masing- masing :

Koefisien pertukaran turbulen normal pada sumbu x ( xx )

Koefisien pertukaran turbulen tangensial pada sumbu x (xy )

Koefisien pertukaran turbulen normal pada sumbu y ( yx )

Koefisien pertukaran turbulen tangensial pada sumbu y (yy )

Tabel 2.1 menunjukkan nilai-nilai koefisien pertukaran turbulen yang dapat digunakan secara praktis.

Tabel tersebut dimaksud hanya untuk sebagai petunjuk dalam memberi nilai awal.

b. Koefisien Kekasaran (n)

Koefisien kekasaran Manning diberi berdasarkan sifat fisik dari material dasar dan pertimbangan

tertentu geometris.

Tabel 2.1 Nilai Koefisien Pertukaran Turbulen

Kondisi Nilai (N.sec /m2)

Sungai dangkal (aliran lamban) 240-1200

Sungai dangkal (aliran cepat) 1200-2400

Muara dalam (elemen kecil) 2400-4800

Muara dalam (elemen besar) 9500-14400

Rawa basah dan kering oleh pasut 4800-9500

Perpisahan aliran sekitar struktur 50-240

Sumber:Brigham Young University, 1992

2.3 Stabilitas dan Akurasi

Faktor yang mempengaruhi stabilitas model mencakup:

a. Desain Mesh

Page 13: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-13

Desain mesh merupakan aspek terpenting dalam pembentukan model numeric karena secara fisik

membentuk daerah yang akan dimodelkan dan juga menentukan, apabila kepadatan mesh memadai, akan

adanya kesalahan yang menentukan dalam penghitungan.

b. Kemiringan Pada Dasar

Jika kemiringan dasar diukur dalam arah sejajar dengan garis aliran lebih dari 10:1, asumsi bahwa

kemiringan landai dari persamaan dasar telah dilanggar dan solusi dapat menjadi tidak akurat. Selain itu,

perubahan kedalaman searah aliran dari node ke node harus ditahan kurang dari 20% dengan alasan

stabilitas, walaupun kemiringan landai.

c. Waktu Basah dan Waktu Kering

Suatu node pada RMA 2 dikatakan kering bila hasil perhitungan elevasi muka air dibawah elevasi node.

Bila satu saja node-yang termasuk dalam satu elemen- dikategorikan kering, maka semua elemen tersebut termasuk elemen kering. Batasan kering dan basah yang dihitung oleh RMA-2 dapat ditayangkan oleh

SMS.

d. Kondisi Batas

Kondisi batas umumnya diberi dengan elevasi muka air pada hilir dan debit atau kecepatan aliran pada

hulu. Kondisi batas tidak boleh ditempatkan dekat lokasi yang akan ditinjau.

3. Metodologi Penelitian

3.1 Perumusan Ide

Gambar 3.1 menunjukkan upaya yang ditempuh dalam mengetahui dan memprediksi perubahan

tinggi muka air yang terjadi pada pertemuan kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan di

Kabupaten Pasuruan. Untuk itu dibutuhkan studi literatur, data primer dan sekunder, serta pembuatan skematik model.

Perkiraan tinggi muka air dengan menggunakan SMS RMA-2 akan dilaksanakan dengan cara

melakukan simulasi aplikasi pada saat kondisi existing di lapangan, dimana belum dibuat sudetan di kali

Bangiltak dan di kali Kedunglarangan. Setelah hasil RMA-2 divalidasi dengan melihat kondisi dan data

yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya akan dilaksanakan pula simulasi permodelan SMS RMA-2

pada kondisi setelah adanya normalisasi. Dengan memperkirakan kedua hasil permodelan sungai

diharapkan dapat diperoleh hasil analisa yang lebih tajam untuk mengetahui pengaruh normalisasi sungai

dalam mengurangi genangan banjir. Langkah selanjutnya akan dilaksanakan simulasi aplikasi saat

sudetan telah dibuat pada kondisi eksisting maupun kondisi setelah adanya normalisasi sungai. Dengan

simulasi aplikasi ini dapat diketahui pengaruh pembuatan sudetan di kali Bangiltak dan kali

Kedunglarangan terhadap titik pertemuan di antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan tersebut. Sebagai simulasi terakhir akan dilaksanakan pula permodelaan pada saat sudetan telah

dibuat dan debit sebesar 390m3/detik telah dialirkan dari kali Porong menuju kali Bangiltak. Adapun

secara skematik simulasi aplikasi permodelan yang akan dilaksanakan adalah sebagaimana nampak pada

Gambar 3.2

Perkiraan bentuk dasar sungai akan dilaksanakan dengan menggunakan program SMS sebab daerah

yang ditinjau dititik beratkan pada daerah pertemuan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali

Kuntulan yang tidak terlalu luas.

Page 14: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-14

Gambar. 3.1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

Gambar 3.2 Simulasi Aplikasi Permodelan

3.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data terdiri dari 2 bentuk data yaitu : data Sekunder dan data primer.

3.2.1. Data primer dilakukan pada 4 lokasi yaitu :

- Di hilir kali Bangiltak, sebelum pertemuan Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan

- Di hilir kali Kedunglarangan, sebelum pertemuan Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan

- Di hulu kali Kuntulan, sesudah pertemuan kali Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan

- Di titik sebelum pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean

Mulai

Pengumpulan Data: Primer: - Data geometri sungai Kali Wrati, Bangiltak dan Kedunglarangan - Sedimen dan kecepatan aliran

Sekunder: - Peta topografi, debit rencana, potongan

Skematik model

RMA-2 Kondisi eksisting (sebelum adanya Normalisasi, sudetan,

dan aliran dari kali Porong)

Validasi

Model

Parameter pada RMA-2 - Koef kekasaran

- Debit dan kecepatan

aliran

- Fluktuasi debit terhadap

elevasi

- Karakteristik material

- butiran sedimen

Tidak

Ya

Kesimpulan

Selesai

RMA-2 Sesudah ada Normalisasi, sudetan, dan aliran dari K. Porong

Analisa dan Pembahasan Sebelum dan sesudah adanya normalisasi,

sudetan, dan aliran dari kali Porong

Start

Normalisasi

Sudetan Tanpa

Sudetan

Tanpa 390 m

3/dtk

+ 390 m

3/dtk

Tanpa 390 m

3/dtk

+ 390 m

3/dtk

Eksisting

Sudetan Tanpa

Sudetan

Tanpa 390 m

3/dtk

+ 390 m

3/dtk

Tanpa 390 m

3/dtk

+ 390 m

3/dtk

Page 15: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-15

Pengukuran dilaksanakan dalam kondisi tidak hujan

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder dalam kegiatan penelitian ini diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi

Jawa timur dan Konsultan PT. Citra Surya Wahana. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi :

a. Peta topografi.

b. Pengukuran Memanjang dan Melintang

c. Data Debit Rencana

d. Hasil dari studi morfologi kali Wrati , kali Bangiltak, dan Kedunglarangan.Perubahan morfologi,

jumlah sedimen yang dialiran.

e. Hasil perkiraan perhitungan angkutan sedimen dan kecepatan aliran akibat pengaruh pembuatan dua buah sudetan di kali Wrati dan satu sudetan di kali Kedunglarangan.

3.4 Validasi

Validasi merupakan pencocokan hasil yang diperoleh dari model dibandingkan dengan kondisi asli

dilapangan. Diharapkan dari hasil model dapat diketahui pola sedimentasi di dasar sungai. Selanjutnya

hasil dicocokan dengan kondisi dilapangan dari hasil pengukuran yang telah dilakukan. Diharapkan

model menghasilkan output yang tidak jauh beda dengan kondisi asli dilapangan.

4. Hasil Dan Diskusi

Hasil penelitian sementara mengungkapkan bahwa terjadi penumpukkan sedimen pada titik

perpotongan antara kali Wrati, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan sebagaimana nampak pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Kondisi penampang pada titik pertemuan kali Wrati, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan

Besarnya sedimentasi utamanya akibat besarnya aliran dari arah kali Wrati. Berdasarkan pengukuran

di lapangan, debit dari arah kali Wrati adalah sebesar 0,542 m3/dtk. Debit kali Wrati ini berasal dari

cathment area kali Wrati dengan total seluas 69,25 km Besarnya debit dari arah kali Wrati ini juga mengakibatkan aliran dari arah kali Kudunglarangan tidak dapat mengalir dengan lancer menuju kali

Kuntulan. Pertemuan dua aliran ini menyebabkan terjadinya pusaran air di daerah perpotongan, sehingga

debit yang mengalir dari arah kali Kedunglarangan terbilang kecil apabila dibandingkan dengan debit dari

kali Wrati, yaitu hanya sebesar 0,076 m3/dtk.

Dengan munculnya permasalahan sedimentasi akibat besarnya debit dari kali Wrati, maka apabila

rencana pengaliran debit sebesar 390 m3/detik dari kali Porong benar-benar dilaksanakan tanpa adanya

perubahan penampng saluran, maka tentu saja hal ini akan memperparah kondisi sedimentasi di titik

pertemuan dan kondisi aliran dari kali Kedunglarangan

Page 16: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-16

Hasil perhitungan menggunakan program SMS dengan debit sebagaimana hasil pengukuran diatas

menunjukkan adanya daerah dengan kecepatan aliran sangat tinggi yang rawan mengakibatkan gerusan

dan perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut.

5. Kesimpulan

Beberapa kesimpulan sementara yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kondisi eksisting pada titik pertemuan antara kali Wrati, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan

menunjukkan terjadinya penumpukan sedimentasi dan adanya pusaran air di wilayah tersebut akibat

besarnya aliran dari kali Wrati

2. Kondisi saluran eksisting tidak cukup mampu menampung debit limpasan rencana dari kali Porong

sebesar 390 m3/detik. 3. Perlu adanya peninjauan kembali penampang sungai apabila debit limpasan dari kali Porong sebesar

390 m3/detik benar-benar dialirkan kea rah kali Wrati

6. Daftar Pustaka

Anggrahini .1997. Hidrolika Saluran Terbuka . Surabaya : Penerbit CV. Citra Media.

Chow Ven Te. 1992. Hidrolika saluran Terbuka. Jakarta, Penerbit : Erlanggas

De Vries. Rivers and River Engineering. Delft University of Technology

Froehlich David. Finete Element Surface-Water Modeling System: Two-Dimensional Flow in a

Horizontal Plane Version 2 Draft User’s Manual.Virginia: Penerbit US Department of

Transportation

Jansen, Bendegon, Berg, Vries dan Zanen. 1979. Principle of River Engineering The Non-Tidal Aluvial River, Delft Uitgevers Maatsschappij.

Lensley, Ray K dan Franzini, Joseph B. 1991. Teknik Sumber Daya Air Jilid II diterjemahkan oleh Djoko

Sasongko. Surabaya : Penerbit.

PT. Cipta Surya Wahana . 2009. SID Normalisasi Kali Bangiltak, Kali wrati dan Kali kedunglarangan di

Kabupaten Pasuruan.

SMS. 2002. Surface Water Modeling System Tutorials Version 8.0 Penerbit: Bringham Young University

Soejadi Bambang. Sediment Transport. Diktat kuliah FTSP Teknik Sipil ITS

Triatmojo Bambang .2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Penerbit Beta Offset.

Rijn, Leo C. Van. 1990. Principles of Fluid Flow and Surface Wafes in Rivers, Estuaries, Seas, and

Oceans. Amsterdam: Penerbit Aqua Publication

Page 17: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-17

STUDI KOMPARASI PEMAKAIAN MODEL TRANSPORTASI

DAN FUZZY INTEGER TRANSPORTATION PROBLEM

UNTUK OPTIMASI DISTRIBUSI AIR MINUM PDAM

Imam Suprayogi

Laboratorium Plumbing dan Mekanika Fluida

Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru 28293

E-mail : [email protected]

ABSTRAK Pengembangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh PDAM yang

diakibatkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat di daerah perkotaan, sedangkan

jumlah air relatip terbatas untuk dapat melayani akan kebutuhan air bersih. Pengambilan keputusan

dalam upaya pengembangan wilayah pelayanan air bersih, memerlukan analisa yang cermat. Model yang

harus dikembangkan adalah model yang mengakomodasi pola hubungan antara alokasi distribusi air

minum dengan alokasi biaya yang dimiliki oleh PDAM.

Metode pendekatan yang digunakan dalam proses optimasi distribusi air minum PDAM dari reservoir di

Gemawang, Gedong Kuning dan Tegalrejo ke daerah pelayanan di Jogyakarta Utara, Jogyakarta Selatan,

Jogyakarta Barat dan Jogyakarta Selatan adalah menggunakan studi komparasi antara model transportasi

dan fuzzy integer transportation problem.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Jogyakarta menggunakan pendekatan model fuzzy integer transportation problem sebesar Rp. 1.591.320 (lebih hemat Rp.8.680),

sedangkan menggunakan Model Transportasi adalah sebesar Rp.1.605.000 (lebih boros Rp. 5.000) dari

anggaran biaya yang disediakan sebesar Rp.1600.000,00 oleh PDAM Jogyakarta.

Kata kunci : optimasi, distribusi air minum, model transportasi, fuzzy integer transportation problem

1. PENDAHULUAN

Pemodelan sumberdaya air atau analisa sistem sumberdaya air merupakan suatu cara atau prosedur

untuk memprediksi perilaku dimasa mendatang dari suatu sumberdaya air yang ada sekarang atau sistem

yang akan diusulkan. Modeling sumberdaya air dituangkan dalam bentuk persamaan matematik yang menggambarkan sistem yang di modelkan, misalnya tujuan sistem yang akan dicapai, parameter yang

mempengaruhi baik yang sudah ada maupun yang ingin dicapai, batasan sistem yang ada maupun yang

dikehendaki (Qomariyah, 1995).

Lebih lanjut Qomariyah (1995) memaparkan bahwa model optimasi merupakan salah satu model

analisa sistem yang diidentikkan dengan operation research. Teknik ini digunakan untuk menganalisa

suatu sistem yang diuraikan ke dalam bentuk persamaan matematik yang terdiri dari fungsi sasaran/tujuan

(objective function) yaitu tujuan sistem yang ingin dicapai, parameter penentu (decision variable) yang

merupakan variabel yang mempengaruhi dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut, serta kendala atau

batasan (constraint) yang merupakan faktor pembatas dari sistem yang dimodelkan. Dimyati (1994)

menuturkan bahwa model transportasi adalah suatu model khusus dari programa linier. Keunggulan dari

model transportasi adalah bisa dipergunakan untuk menyelesaikan masalah pendistribusian suatu

komoditas, atau produk, dari sejumlah sumber (supply) kepada sejumlah tujuan (destination demand), dengan tujuan meminimumkan ongkos pengangkutan yang terjadi.

Menurut Indriyani (2004) bahwa pengembangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang

sering dihadapi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang diakibatkan terjadinya pertambahan

jumlah penduduk yang sangat pesat di daerah perkotaan, sedangkan jumlah air relatip terbatas untuk

dapat melayani akan kebutuhan air bersih. Pengambilan keputusan dalam upaya pengembangan wilayah

pelayanan air bersih, memerlukan analisa yang cermat. Model yang harus dikembangkan adalah model

yang mengakomodasi pola hubungan antara alokasi distribusi air minum dengan alokasi biaya yang

dimiliki oleh PDAM.

Pada dekade sekarang bahwa softcomputing yang dicetuskan oleh Prof. Lofti Ahmad Zadeh dari

Departemen Listrik dan Komputer Universitas Barkeley, USA, adalah metode yang mampu mengolah

data dengan baik walaupun di dalamnya terdapat ketidakpastian, ketidakakuratan dan kebenaran parsial untuk mencapai ketahanan, bisa ditelusuri dan biaya murah (Suyanto, 2008; Nugroho, 2007). Masih

dikatakan Zadeh dalam Suyanto (2008) bahwa metode softcomputing dapat dikategorikan ke dalam tiga

Page 18: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-18

kategori besar yaitu jaringan syaraf tiruan (artificial neural networks), logika fuzzy (fuzzy logic) dan

algoritma genetika (genetic algorithm). Karakteristik ini menempatkan softcomputing sebagai salah satu

solusi yang dapat dipakai untuk memecahkan berbagai masalah yang terdapat pada domain dunia nyata.

Solusi berbagai masalah pada domain ini tidak mudah dihitung dengan berbagai model analitik yang ada.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah membandingkan model distribusi air minum PDAM

menggunakan pendekatan model transportasi dengan model fuzzy integer transportation problem (FITP).

2. TINJAUAN PUSTAKA

Suprayogi, dkk (2010) telah melakukan penelitian optimasi distribusi air bersih PDAM di wilayah

Jogyakarta menggunakan Model Transportasi Program Bantu Lingo 8.0. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Jogyakarta menggunakan pendekatan model transportasi sebesar Rp. 1.605.000, atau lebih mahal Rp.5.000 dari anggaran biaya yang disediakan sebesar

Rp.1600.000,00 oleh PDAM Jogyakarta.

Algoritma FITP

Menurut Channas dalam Kusumadewi (2004) bahwa formulasi secara umum FITP adalah sebagai berikut

:

Minimumkan :

Z = ij

n

j

ij

m

i

XC 11

Pembatas :

iij

m

i

AX 1

, untuk i = 1,2,.....,m

jij

n

i

BX 1

, untuk j = 1,2,..,n

0ijX untuk seluruh i dan j

Misalkan A adalah sembarang interval. Simbol [A] menotasikan interval terbesar yang bernilai integer :

[a,b], dengan:

A = min ( t/t A, A: integer), B = min ( t/t B, B: integer)

Selanjutnya diselesaikan menggunakan persamaam 4, 5 dan 6 seperti di bawah ini:

Minimumkan :

Z (X) = ij

n

j

ij

m

i

XC 11

Pembatas :

iij

n

i

AX 1

, untuk i = 1,2,..., n.

iij

m

i

BX 1

, untuk j =1,2,....,m ,

0ijX , integer

Masalah persamaan 4 untuk 1 merupakan minimal ekstension dari masalah persamaan 4 untuk

1 identik dengan masalah persamaan 4 untuk * dengan :

* = maks {maks Ai (t), 1 im, t

iA , maks Ai (t), 1 im, t iA }

Masih menurut Channas dalam Kusumadewi (2002) bahwa algoritma FITP adalah sebagai berikut :

1. Tetapkan (1) = 0 dan (2) = 1

2. Selesaikan persamaan 6,7 dan 8 untuk = )1(

Jika masalah tersebut feasible dan c(x( )1( )1(G , ke langkah 3.

Jika tidak, berhenti. Masalah (1) infeasible ( D (x) = 0 untuk setiap X).

3. Selesaikan persamaan 6,7 dan 8 untuk = )2(

Page 19: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-19

Jika masalah tersebut feasible dan c(x( )2( )2(G berhenti untuk X( ))2( , adalah solusi

optimal untuk persamaan 2, 3 dan 4 dengan D (x) = 1. Jika tidak ke langkah 4.

4. Hitung 2/))2()1(()( half ke langkah 5.

5. Selesaikan masalah persamaan 6,7 dan 8 untuk )(half

6. Jika masalah infeasible, maka tetapkan )()2( half ke langkah 6, dan jika tidak kerjakan :

Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((( halfX adalah solusi optimal untuk

masalah persamaan 2, 3 dan 4 dan berhenti.

Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((()1( halfXC maka ke

langkah 6.

Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((()2( halfXC atau jika

))((()2( halfXC , maka ))((()2( halfXC ke langkah 6.

7. Jika )1()2( , ke langkah 4. Jika tidak, cek apakah masalah persamaan 6,7 dan 8

untuk = )1( adalah minimum ekstension dan masalah persamaan 6,7 dan 8 untuk =

)2( . Jika tidak ke langkah 4. Jika ya, berhenti, salah satu solusi yaitu X ))1((

X ))2(( adalah solusi optimal untuk masalah persamaan 2, 3 dan 4. Jika masalah dari

persamaan di bawah ini:

Maksimum : dengan

Pembatas : Z (X) G ,

iij

n

i

AX 1

, untuk i = 1,2,......., n.

iij

m

i

BX 1

, untuk j = 1,2,....., m.

0ijX , integer dan >0

Infeasible untuk = )2( maka X( )1( ) adalah solusi optimal untuk persamaan 2, 3 dan 4

maka nilai biasanya berkisar antara 1.005.0 .

3. METODE PENELITIAN

1.Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di PDAM Jogyakarta, adapun lokasi reservoir terletak di Gemawang (R1),

Gedong Kuning (R2) dan Tegalrejo (R3). Daerah tujuan pelayanan distribusi air bersih meliputi

Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT).

Data Penelitian

Data penelitian adalah bersumber dari data sekunder dari PDAM Jogyakarta yang meliputi :

1. Kapasitas Reservoir Kapasitas reservoir Gumawang (R1) mampu mensuplai kebutuhan air bersih sebesar 16.000.000 liter

dengan toleransi kurang dari 15.500.000 liter dan tidak lebih dari 16.500.000 liter, kapasitas reservoir

Gedong Kuning (R2) sebesar 19.000.000 liter dengan toleransi kurang dari 18.500.000 liter dan tidak

lebih dari 19.500.000 liter, kapasitas reservoir Tegalrejo (R3) sebesar 17.500.000 liter dengan

toleransi kurang dari 17.000.000 liter dan tidak lebih dari 18.000.000 liter.

2. Kebutuhan Air Bersih Daerah Pelayanan.

Daerah yang harus dipasok oleh PDAM adalah daerah Jogyakarta Utara (JU) sebesar 10.000.000 liter,

Jogyakarta Selatan (JS) sebesar 12.000.000 liter, Jogyakarta Barat (JB) sebesar 14.000.000 liter dan

Jogyakarta Timur (JT) sebesar 16.000.000 liter.

3. Biaya Anggaran PDAM Jogyakarta

Page 20: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-20

Anggaran yang tersedia dari PDAM setempat untuk keperluan operasi berkisar Rp. 1.500.000,00 dan

penambahan hanya dimungkinkan maksimal sebesar Rp. 100.000,00 sehingga total biaya yang di

sediakan PDAM Jogyakarta untuk mendistribusikan air bersih sebesar Rp. 1.600.000,00.

4. Biaya Operasi Di Setiap Daerah Pelayanan.

Biaya operasi di setiap daerah pelayanan keempat wilayah meliputi Jogyakarta Utara (JU),

Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) seperti Tabel 1 di bawah

ini:

Tabel 1 : Biaya Operasi Di Setiap Daerah Layanan Setiap 1000 Liter

Pasokan JU J S JB JT

Gemawang 30 45 60 75

Gedong Kuning 45 30 75 30

Tegalrejo 60 15 30 45

Sumber : Kusumadewi (2004)

Formulasi Matematika Distribusi Air Bersih dari Reservoir ke Daerah Pelayanan PDAM

Jogyakarta Menggunakan Algoritma FITP Masih bersumber dari Gambar. 1 di atas, maka dapat disusun struktur model pola hubungan antara

kapasitas reservoir, alokasi dana terhadap pasokan air untuk PDAM di Jogyakarta yang disusun dalam

formulasi program linier sebagai berikut:

Minimumkan

Z = C11 X11 + C12 X12 + C13 X13 + C14 X14 + C21 X21 + C22X22 + C23X23 + C24 X24 +

C31X 31+ C32X32 + C33X34.

Dengan Cij adalah biaya yang harus dikeluarkan PDAM dari reservoir i ke daerah pelayanan j dimana

untuk i : 1, 2 dan 3 dan j : 1, 2, 3 dan 4.

C11 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara. C12 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.

C13 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.

C14 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.

C21 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.

C22 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta

Selatan.

C23 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.

C24 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.

C31 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.

C32 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.

C33 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat. C34 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.

C11 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.

C12 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.

C13 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.

C14 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.

X11 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.

X12 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Selatan

X13 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Barat.

X14 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Timur. X21 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Utara.

X22 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Selatan.

X23 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Barat.

X24 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Timur.

Page 21: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-21

X31 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Utara.

X32 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan

Jogyakarta Selatan.

X33 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Barat.

X34 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta

Timur.

Batasan Sumber

X11 + X12 + X13 + X14 a1

X11 + X12 + X13 + X14 a2 X11 + X12 + X13 + X14 a3

Dengan a1 a2 dan a3 adalah berturut - turut kapasitas reservoir Gumawang, Gedong Kuning dan Tegalrejo

dalam lt.

Batasan Tujuan

X11 + X21 + X31 = b1

X12 + X22 + X23 = b2

X13 + X23 + X33 = b3

X14 + X24 + X34 = b4

X11, X12,X13, X14,X21, X22, X23,

X24, X31, X32, X33 dan X34 0 dan integer Dengan b1 b2 b3 dan b4 adalah berturut - turut kebutuhan air bersih PDAM untuk daerah pelayanan

Jogyakarta Utara, Jogyakarta Selatan, Jogyakarta Barat dan Jogyakarta Timur.

4. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Selanjutnya pengembangan model FITP untuk distribusi air minum didiskripsikan dalam pola

hubungan antara kapasitas reservoir, alokasi dana terhadap daerah pelayanan seperti yang disajikan

seperti pada Gambar. 1 di bawah ini :

30R1

R2

R3

YU

YS

YB

YT

45

60

75

45

30

75

30

15

30

45

60

10.000

12.000

14.000

16.000

15.500 16.000 16.500

18.500 19.000 19.500

16.500 17.000 17.500

0

1

0

1

0

1

1.500.000 1.600.0000

1

µ4

j=1 3jA3[ ]X

µG[ ]XC( )

µ4

j=1 2jA2[ ]X

µ4

j=1 1jA1[ ]X

Gambar 1. Pola Hubungan Antara Kapasitas Reservoir, Alokasi Dana

Terhadap Pasokan Air Untuk Daerah Pelayanan di PDAM Jogyakarta.

Keterangan dari Gambar.1 :

Sumber : sumber pasokan air yang berasal dari reservoir Gumawang (Gm), Reservoir Gedong

Kuning (Gk) dan Tegalrejo (Tr).

Tujuan : tujuan daerah distribusi pelayanan air bersih yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta

Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Selatan (JS).

Minimumkan

Page 22: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-22

Z = 30.X11 + 45.X12 + 60. X13 + 75.X14 + 45.X21 + 30.X22 + 75.X23 + 30.X24

+ 60.X 31+ 15.X32 + 30.X33+ 45.X34

Batasan Sumber

X11 + X12 + X13 + X14 (16.000, 16.000, 500, 500)L-L

X11 + X12 + X13 + X14 (19.000, 19.000, 500, 500)L-L

X11 + X12 + X13 + X14 (17.000, 17.000, 500, 500)L-L

Batasan Tujuan

X11 + X21 + X31 = 10.000

X12 + X22 + X23 = 12.000

X13 + X23 + X33 = 14.000

X14 + X24 + X34 = 16.000

X11, X12,X13, X14,X21, X22, X23, X24,X31, X32, X33 dan X34 0 dan integer

Fuzzy goal ditentukan sebagai

G = (0, 1500.000, 0, 100.000)L-L

-cut untuk nilai fuzzy pasokan air bersih (supply) dan daerah pelayanan (demand), serta fuzzy goal

sesuai dengan bentuk L-L, dimasukkan ke dalam algoritma fuzzy integer transportation problem.

1A = )1(500000.16),1.(500000.16 ;

2A = )1(500000.19),1(500000.19 ;

3A = )1(500000.17),1(500000.17 ;

G = )1(000.100000.500.1,0 ;

-cut untuk nilai fuzzy pasokan air bersih (supply) dan daerah pelayanan (demand), serta fuzzy goal

sesuai dengan bentuk L-L, dimasukkan ke dalam algoritma fuzzy integer transportation problem.

1A = )1(500000.16),1(500000.16 ;

2A = )1(500000.19),1(500000.19 ;

3A = )1(500000.17),1(500000.17 ;

G = )1(000.100000.500.1,0 ;

Langkah penyelesaian Distribusi Air Minum PDAM di Jogyakarta menggunakan pendekatan algoritma

FITP adalah sebagai berikut :

1. Langkah 1 : (1) = 0 dan (2) = 1

2. Langkah 2

(1) = 0 ; diperoleh solusi

Z = 1.590.000 000.000.16,0

(2) = 1; diperoleh solusi

Z = 1.605.000 [infeasible]

3. Langkah 3 : problem 6,7 dan 8 infeasible untuk = 1

4. Langkah 4 :

2/))2()1(()( half = (0+1)/2=0.5;

5. )(half = 0.5; Z = 1.597.500 000.550.1,0 [infeasible]

6. Langkah 6 : )1()2(( = 0.5 – 0 = 0.5 > 0.07

Berdasarkan hasil perhitungan dari langkah 6 di atas, nilai hasil 0.5 > 0.07, maka dilakukan proses

iterasi dari langkah 4 dan langkah 5 dengan memberi nilai )(half yang berbeda.

Dengan melakukan serangkaian kegiatan pengulangan proses iterasi akan diperoleh nilai masukan

086.0)1( yang merupakan minimal extension 08725.0)2( , selanjutnya akan diperoleh

2/))2()1(()( half = (0.084+0.08725)/2=0.085625, Hal ini berarti bahwa x(0.086) dan

x(0.08725) merupakan solusi optimal. K

serta nilai hasil dari Z= 1.591.290 437.591.1,0 .

Nilai x:

X11 = 10.000; X12 = 5,544; X13 = 0; X14 = 0; X21 = 0;

X22 = 3.000; X23 = 0; X24 = 16.000; X31 = 0; X32 = 3.456;

Page 23: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-23

X33 = 14.000; X34 = 0;

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil optimasi distribusi air minum PDAM menggunakan pendekatan model transportasi paket

program bantu Lingo 8.0 akan didapatkan biaya distribusi reservoir ke empat daerah pelayanan

wilayah Jogyakarta yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta

Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) sebesar Rp.1.605.000,00.

2. Hasil optimasi distribusi air minum PDAM menggunakan pendekatan model Fuzzy Integer

Transportation Problem (FITP) akan didapatkan biaya distribusi reservoir ke empat daerah

pelayanan wilayah Jogyakarta yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) sebesar Rp.1.591.320,00.

3. Biaya yang harus dikeluarkan PDAM lebih hemat sebesar Rp.8.680,00 menggunakan Model

FITP. Adapun volume air yang didistribusikan dari reservoir dari Gemawang sebanyak 15.000

liter, dari reservoir Gedong Kuning sebanyak 19.500 liter dan reservoir Tegalrejo sebanyak

17.500 liter.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, MSc dan Prof. Dr.Techn. M.

Isa Irawan, MT dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya atas segala sumbang saran

keilmuan untuk penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hatmoko,W. (1999). Model Alokasi Air Untuk Mendukung Pengusahaan Sumberdaya Air Yang

Adil Dan Berkesinambungan. Proseding Seminar Nasional Desentralisasi Pengelolaan

Sumberdaya Air Di Indonesia. ITB, Hal 54- 63.

Kusumadewi, S. (2004), Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan, PT. Graha Ilmu,

Jogyakarta.

Labadie, J.W. (2001). Reservoir System Optimization Models. Water Resources Update, United State

of America.108: 83-110. Lund, J.R. (1996). Operating Rule Optimization for Missouri River Reservoir System Journal of

Water Resources Planning and Management.122(4) : 287-295.

Nugroho, A.S. (2007). Menggairahkan Riset Softcomputing Di Indonesia, Keynote Speaker Seminar

Nasional Riset Teknologi Informasi STMIK AKAKOM, Jogyakarta 7 Juli 2007.

Rispiningtati,. (2008). Model Alokasi dan Nilai Air Pada Sistem Sungai Multi Waduk, Jurnal Agritek

ISSN 0852-5426 Universitas Brawijaya, Malang Volume16 No.12 Desember 2008 Hal.2408-

2429.

Suprayogi, I, Joleha, dan Hasibuan, S. (2010). Model Transportasi Distribusi Air Minum PDAM

Jogyakarta Menggunakan Program Bantu Lingo 8.0, Jurnal Sains dan Teknologi (JST)

Fakultas Teknik, Universitas Riau Edisi Oktober Hal. 19-28.

Suyanto.(2008). Softcomputing Membangun Mesin Ber-IQ Tinggi, PT.Informatika, Bandung. Indryani, R, Suprayitno, H, dan Astana, I.N.Y.(2004). Model Transportasi Untuk Pengembangan Air

Bersih di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sipil Jurusan

Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya Edisi Maret Hal. 19-28.

Page 24: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-24

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 25: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-25

PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KECAMATAN DARUL MAKMUR DAN KECAMATAN TADU

RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

Kustamar 1

, I Wayan Mundra2 , dan Daim Triwahyono

3

1Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:

[email protected] 2Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:

[email protected] 3Dosen Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:

[email protected]

ABSTRAK

Pertumbuhan suatu kawasan ditandai dengan meluasnya kawasan-kawasan terbangun yang

berdampak pada meningkatnya kebutuhan air bersih. Secara umum kebijakan penyediaan air bersih dibagi menjadi lima kelompok arahan sebagai dasar untuk memenuhi sasaran MDG baik jangka pendek

maupun jangka panjang, yaitu: Peningkatan cakupan dan kualitas air bersih bagi seluruh masyarakat

Indonesia, Pengembangan pendanaan untuk penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)

dari berbagai sumber secara optimal, Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan,

Peningkatan penyediaan Air Baku secara berkelanjutan, Peningkatan peran dan kemitraan dunia usaha,

swasta dan masyarakat. Nagan Raya merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang beribukota

di Suka Makmue, merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang secara geografis

berada di pantai barat Pulau Sumatera. Kabupaten Nagan Raya terdiri dari 8 Kecamatan, 27 mukim dan

222 desa, terbagi dalam 4 (empat) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Alue Bilie merupakan pusat

SWP IV yang melayani wilayah Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya.

Pelayanan air bersih penduduk Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya pada awalnya

direncanakan dipenuhi SPAM Ibu Kota Kecamatan (IKK) Alue Bilie. Namun hingga saat ini, tidak pernah dioperasikan karena lokasinya yang kurang bagus, yaitu: tidak terdapat sumber air baku dengan

kuantitas dan kualitas yang mencukupi, serta lokasi instalasi pengolah air (IPA) jauh dari permukiman

sehingga dibutuhkan biaya pemasangan pipa yang mahal. Dalam penelitian ini, penyediaan air bersih

diupayakan melalui 2 jenis sistem, yaitu sistem perpipaan dan non-perpipaan.

Penyediaan air bersih dengan sistem perpipaan dilakukan dengan memanfaatkan air sungai Tripa

sebagai air baku, yang kemudian ditingkatkan kualitasnya dengan IPA yang lengkap, dan didistribusikan

ke penduduk dengan sistem pipa distribusi. Penduduk yang bermukim pada wilayah yang tidak

terjangkau sistem perpipaan dilayani dengan meningkatkan kualitas air sumur dengan sistem penyaringan

dan pengendapan sederhana, baik pada sumur individu maupun kelompok.

Kata kunci: Air bersih, Darul Makmur dan Tadu Raya, Nagan Raya, NAD

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kawasan ditandai dengan meluasnya kawasan-kawasan

terbangun yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan air bersih. Sektor air bersih sebagai bagian dari

infrastruktur saat ini tidak lagi hanya dipandang sebagai barang konsumsi publik, air bersih juga

dibutuhkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah perkotaan. Secara umum

kebijakan penyediaan air bersih dibagi menjadi lima kelompok arahan sebagai dasar untuk memenuhi

sasaran MDG baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu: Peningkatan cakupan dan kualitas air

bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia, Pengembangan pendanaan untuk penyelenggaraan SPAM dari

berbagai sumber secara optimal, Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan,

Peningkatan penyediaan Air Baku secara berkelanjutan, Peningkatan peran dan kemitraan dunia usaha,

swasta dan masyarakat. Nagan Raya merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang beribukota di Suka Makmue,

merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang secara geografis berada di pantai barat

Pulau Sumatera. Kabupaten Nagan Raya terdiri dari 8 Kecamatan, 27 mukim dan 222 desa, dengan

Page 26: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-26

topografi daerah bagian utara cenderung berbukit dan bagain tengah hingga ke pantai selatan cederung

datar.

Hingga saat ini, penyediaan air bersih dengan perpipaan di Kabupaten Nagan Raya terdapat 3 (tiga)

unit instalasi kecil tingkat kecamatan (IKK), yaitu: IKK Jeuram, IKK Simpang Peut dan IKK Alue Bili.

IKK Akue Bilie melayani kebutuhan air bersih penduduk Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan

Tadu Raya, yang berpusat di Alue Bilie. Dari ketiga IKK tersebut, IKK Alue Bilie sama sekali tidak

pernah dioperasikan mulai saat dibangun. Hal tersebut dikarenakan lokasinya yang kurang bagus, yaitu:

tidak terdapat sumber air baku yang mencukup (hanya mengandalkan cekungan/bukan sungai), dan

penempatan instalasi pengolah air (IPA) jauh dari permukiman sehingga dibutuhkan biaya pemasangan

pipa yang mahal. Penduduk memenuhi kebutuhan airnya secara mandiri melalui sumur dangkal maupun

dari sungai.

Maksud, Tujuan Dan Sasaran

Maksud dari penelitian ini ialah penyusunan strategi dan program penyediaan air bersih di Kecamatan

Alue Bilie Kabupaten Nagan Raya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sedangkan tujuannya adalah

membuat garis besar perencanaan strategis penyediaan air bersih di Kecamatan Darul Makmur dan

Kecamatan Tadu Raya, yang berpusat di Alue Bilie hingga 15 tahun mendatang sesuai dengan target

Millenium Development Goals (MDGs).

Lingkup Bahasan

Lingkup bahasan dalam tulisan ini dibatasi sebagai berikut:

a) Membuat kajian kondisi penyediaan air bersih dan tingkat pelayanannya saat ini, meliputi:

karakteristik wilayah pelayanan, cakupan pelayanan, tingkat pelayanan, jenis-jenis pelayanan, dan

kebutuhan dasar air penduduk. b) Membuat proyeksi kebutuhan air bersih hingga akhir tahap perencanaan baik kebutuhan air

domestik maupun non-domestik.

c) Membenahi zona pelayanan sesuai kecenderungan perkembangan kota.

2. KAJIAN PUSTAKA

Penelitian Yang Pernah Dilakukan

Aspek Kependudukan Dan Sosial Budaya

Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua peranan penting dalam

pembangunan yaitu sebagai subyek/perilaku sekaligus sebagai obyek dari pembangunan. Hasil registrasi

penduduk menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Nagan Raya mengalami kenaikan dari tahun ke

tahun.

Arahan Pengembangan Wilayah Berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kabupaten Nagan Raya dibagi menjadi 4

(empat) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) yaitu:

SWP I : Meliputi wilayah Kecamatan Seunagan dan Suka Makmue dengan pusat

pengembangannya adalah Jeuram, diarahkan untuk: a) Tanaman padi, Pendidikan di

Jeuram dan b) Industri, Perdagangan dan Perkantoran di Suka Makmue.

SWP II : Meliputi wilayah Kecamatan Seunagan Timur dan Beutong dengan pusat

pengembangannya di Kota Babussalam, diarahkan untuk: a) Budidaya ikan air tawar, b)

Perkebunan kelapa sawit, c) Tanaman pangan lahan basah dan tanaman buah-buahan dan

d) Peternakan kerbau.

SWP III : Meliputi wilayah Kecamatan Kuala, Kuala Pesisir dan Tadu Raya dengan pusat

pengembangannya di Ujong Fatihah, diarahkan untuk: a) Tanaman pangan dan tanaman buah-buahan, b) Perkebunan kelapa sawit dan c) Industri, perdagangan dan jasa di

kawasan menuju Bandar udara Cut Nyak Dien.

SWP IV : Meliputi wilayah Kecamatan Darul Makmur dengan pusat pengembangannya di Alue

Bilie, diarahkan untuk: a) Tanaman pangan dan tanaman buah-buahan, dan b) Perkebunan

kelapa sawit.

Landasan Teori

Standar Konsumsi/ Pemakaian Air

Domestik

Kegiatan domestik adalah kegiatan yang dilakukan didalam rumah tangga. Standar konsumsi pemakaian domestik ditentukan berdasarkan rata-rata pemakaian air perhari yang diperlukan oleh setiap

orang.

Page 27: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-27

Non-domestik

Kegiatan non-domestik adalah kegiatan penunjang kota terdiri dari kegiatan komersial berupa

industri, perkantoran, perniagaan dan kegiatan sosial seperti sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah.

Penentuan kebutuhan air non domestik didasarkan pada faktor jumlah penduduk pendukung dan jumlah

unit fasilitas yang dimaksud. Fasilitas perkotaan tersebut antara lain adalah fasilitas umum, industri dan

komersil.

Proyeksi kebutuhan air bersih untuk memenuhi sistem penyediaan air bersih non domestik di

Kabupaten Nagan Raya ditentukan sebesar 20% dari kebutuhan domestik. Hal ini didasarkan kepada

kriteria desain Ditjen Cipta Karya, yaitu berkisar antara 20% - 30%.

Kehilangan Air

Kehilangan air fisik dialokasikan agar mendekatai 20%, dengan komponen utama penyebab kehilangan atau kebocoran air adalah: a. kebocoran pada pipa transmisi dan pipa distribusi induk, b.

kebocoran dan luapan pada tangki reservoir, dan c. kebocoran pada pipa distribusi skunder hingga meter

pelanggan.

3. PENDEKATAN DAN METODE

Pengumpulan Data

Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data pada instansi yang terkait dengan

penyusunan pekerjaan ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk mendapatkan data-data sebagai

berikut: 1. Data peta cakupan wilayah layanan

2. Data kondisi fisik dasar, meliputi topografi, hidrologi, geologi , klimatologi dan penggunaan lahan

yang dilengkapi dengan peta. Serta data kependudukan yang meliputi jumlah dan perkembangan

penduduk di Kabupaten Nagan Raya.

3. Data studi terdahulu yang meliputi :

- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nagan Raya

- Data eksisting sarana dan prasarana pelayanan air bersih.

- Bangunan penunjang dan SPAM yang sudah ada.

4. Peraturan dan perundang-uandangan yang berlaku dan yang relevan.

Data Primer

1. Data-data yang menyangkut aspirasi dan apresiasi masyarakat. Mencari data dari instansi terkait dalam pengelolaan air bersih dengan mengisi kuisioner yang disediakan.

2. Peninjauan lapangan mengenai sumber air baku, dilakukan untuk menyelaraskan antara data-data

yang telah didapat dengan kondisi yang ada di lapangan, disertai dengan pengambilan gambar

berupa foto-foto untuk memperkaya bahan analisa.

3. Melakukan pengamatan terhadap sistem penyediaan air bersih eksisting.

Analisa Data

Tahap analisa data terdiri dari kegiatan: a). Analisa kondisi eksisting penyediaan air berih, jumlah

pelanggan maupun sebarannya, serta kapasitas pelayanan yang tersisa. b). Zonasi daerah layanan. c).

Prediksi kebutuhan air, berdasarkan proyeksi kebutuhan penduduk, standard kebutuhan air tiap

pelanggan, dan target persentase layanan, serta alokasi kebocoran. d). Potensi air baku, baik debit maupun

kualitasnya, serta lokasinya.

Penyususunan Rencana Kegiatan penyusunan rencana berupa pengembangan penyelenggaraan penyediaan air bersih yang

mencangkup semua aspek, yaitu: aspek fisiografi, aspek sosial-ekonomi, aspek teknis, identifikasi

potensi sumber daya air dan pemanfaatannya serta melakukan evaluasi sistem penyediaan air bersih

eksisting.

4. HASIL DAN DISKUSI

Rencana Penyediaan Air Bersih Dengan Sistem Perpipaan

Zonasi Daerah Pelayanan

Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Nagan Raya 2009-2028, terdapat beberapa lokasi rencana

pengembangan yang perlu mendapat prioritas dalam perencanaan air bersih, yaitu:

A. Pusat pengembangan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). B. Pusat Industri, Perdagangan, Perkantoran, yaitu di Suka Makmue

Page 28: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-28

C. Pusat Pendidikan, terletak di Jeuram

D. Perdagangan dan jasa, yaitu kawasan di sepanjang jalan menuju bandara.

Potensi Air Baku

Potensi Air Baku di Kabupaten Nagan Raya yang akan dijadikan sebagai mata air berasal dari air

permukaan. Hal ini dikarenakan keberadaan sungai lebih potensial jika dibandingkan dengan penggunaan

sumber mata air yang berada sangat jauh dari permukiman penduduk dan berada diluar batas administratif

Kabupaten nagan Raya.

Sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Alue Bilie dipilih air

sungai Krueng Tripa. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan: lokasi dan elevasi, debit dan kualitas

airnya.

Unit Produksi

Karena air yang digunakan sebagai air baku dalam penyediaan air bersih adalah air permukaan/ air

sungai, maka penyediaan air harus melalui pengolahan yang lengkap. Dalam perencanaan System

Penyediaan Air Bersih Alue Bilie direncanakan membuat system penyediaan secara lengkap, yang terdiri

dari unit air baku, unit transmisi, unit produksi, dan unit distribusi. Berikut adalah rincian perencanaan

pada tiap tahap perencanaan.

Unit Distribusi

Rencana sistem transmisi dan distribusi meliputi perencanaan sistem jaringan transmisi dan jaringan

distribusi umum (JDU). Sistem distribusi meliputi reservoir, jaringan pipa distribusi dan tata letak, baik untuk SPAM jaringan perpipaan maupun SPAM bukan jaringan perpipaan.

Kebutuhan Air

Kebutuhan air pada tiap pelayanan diasumsikan sebesar 130 liter/orang/hari. Persentase penduduk

terlayani dari total jumlah penduduk setiap tahunnya adalah 3,2%. Sehingga prosentase pelayanan

penduduk sampai tahun proyeksi 2028 sebesar 70%.

1. Kebutuhan Air Domestik

Asumsi dan dasar perhitungan yang digunakan dalam analisa kebutuhan air domestik adalah sebagai

berikut:

a) Sesuai dengan standar kriteria pelayanan air bersih untuk wilayah pelayanan berpenduduk antara 100.000 - 500.000 orang, konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 150 l/org/hari dan untuk wilayah

pelayanan berpenduduk antara 20.000 - 100.000 orang, konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 130

l/org/hari. Sedangkan untuk daerah yang memiliki jumlah penduduk kurang dari 20.000 orang,

konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 100 l/org/hr.

b) Konsumsi air bersih pada kondisi eksisting sampai tahun 20128ditetapkan sebesar 130 l/org/hr

(berdasar rata–rata pemakaian air melalui sambungan rumah).

2. Kebutuhan Air Non Domestik

Asumsi dan dasar perhitungan yang digunakan dalam analisa kebutuhan air non-domestik adalah sebagai

berikut:

a) Konsumsi air bersih dalam analisa perhitungan kebutuhan air non domestik berdasarkan standar

kriteria pelayanan air bersih dan kondisi pemakaian air eksisting. b) Besarnya kebutuhan air non domestik dan prosentase kebutuhan airnya terhadap kebutuhan air

domestik disesuaikan dengan kondisi eksisting.

3. Kehilangan Air

Faktor kehilangan air secara teknis bisa karena adanya kebocoran pipa, adanya pengambilan secara illegal

dari pipa yang sudah terpasang, dan ketidakakurasian alat pencatat meter air. Sedangkan secara non teknis

bisa diakibtakan adanya pengambilan air yang tidak tertata. Dalam perencanaan ini diasumsikan untuk

factor kehilangan sebesar 30% dari total kebutuhan.

4. Prediksi Kebutuhan Air

Hasil prediksi kebutuhan air untuk daerah layanan kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya adalah sebagai berikut:

Page 29: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-29

Tabel 1. Kebutuhan Air

No Kecamatan Kebutuhan Air (l/hari)

2009 2013 2018 2023 2028

1. Darul Makmur 521,894 1,267,900 2,234,203 3,234,187 4,271,583

4. Tadu Raya 100,935 169,359 257,771 349,387 444,205

Sumber : Hasil perhitungan

Rencana Sistem Jaringan Air Bersih

Rangkaian sistem jaringan air bersih Alue Blie terdiri dari sistem perpipaan dan bangunan

pendukung. Sistem perpipaan terdiri dari Pipa Transmisi dan Pipa Distribusi. Pipa transmisi berfungsi

mengantarkan air baku dari yang diambil dari Sungai Tripa melalui Intake sampai dengan bangunan

Instalasi Pengolah Air (IPA), yang dialirkan dengan bantuan pompa. Sistem perpipaan distribusi,

berfungsi mendistribusikan air bersih yang sudah diproduksi IPA dan ditampung sementara dalam

Tandon air. Bangunan keairan sebagai pendukung pada sistem permpipaan adalah berupa: Intake, Pompa, IPA,

dan Tandon Air. Bangunan Intake berupa pengambilan bebas yang dilengkapi dengan sumur penangkap

air untuk menjamin kelancaran suplai air baku. Sumur pengkap air dilengkapi dengan sistem penyaring

sampah terapung agar penghisapan air tidak terganggu jika air membawa sampah, terutama saat banjir.

Pompa air yang dipilih terdiri dari 4 buah pompa dengan kapasitas masing-masing berkisar 150 l/detik,

dan dengan kemampuan mengalirkan air pada beda tinggi 15 m. Pompa dipasang pada rumah pompa

yang terletak di dekat lokasi Intake.

Bangunan IPA berupa sistem pengolah air lengkap, terdiri dari: sarngan cepat, saringan lambat,

pengendap, dan flokulan. Sedangkan pemberian gas chloor disarankan dalam bentuk injektor yang

dipasang pada pipa distribusi utama di dekat tandon. Tandon air dipilih berjenis tandon bawah tanah

(ground reservoir) agar konstruksi lebih murah. Sistem jaringan utama dipilih model bercabang, dengan harapan setiap cabang akan terbentuk zona

layanan sehingga mempermudah dalam lokalisasi jika terjadi permasalahan. Sedangkan sistem jaringan

pipa distribusi dalam zona layanan disarankan untuk menggunakan model melingkar, untuk menunjang

pengkondisian kontinyuitas layanan.

Analisa kebutuhan diameter pipa didasarkan pada: debit dan tekanan yang ditargetkan, serta elevasi

dan panjang pipa. Skema sistem jaringan dilihatkan pada Gambar 1, dan dengan program bantu, diperoleh

hasil yang menunjukkan kebutuhan pipa dan tekanan seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Gambar 1. Skema Rencana Jaringan Pipa

Page 30: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-30

Rencana Penyediaan Air Bersih Non-Perpipaan

Sumber air baku yang banyak digunakan sebagai air bersih penduduk setempat adalah air tanah,

yang diambil dengan jalan membuat sumur dangkal. Mayoritas tanah berjenis dolomite sehingga air

tanah berupa kekuning-kuningan, dan mengandung banyak logam (Fe). Oleh karenanya diperlukan

proses penyaringan lambat dengan pasir halus dan pengendapan. Proses penyaringan dan pengendapan

dapat dilakukan di dalam sumur maupun di alam tandon.

Penyaringan di dalam sumur dilakukan dengan memasang saringan pasir halus di sekeliling dinding

sumur maupun dasar sumur. Sedangkan penyaringan di tandon dilakukan dengan pemasangan saringan

lambat di dalam tandon.

Tabel 2. Desain Pipa

Sumber: hasil perencanaan

ID PIPADIAMETER

(mm)

MATERIA

L

PANJANG

(m)ID PIPA

DIAMETER

(mm)

MATERIA

L

PANJANG

(m)

P-77 300 BESI 196.59 AB16 100 PVC 529.89

P-78 300 BESI 10.00 AB17 100 PVC 1814.35

P-79 300 BESI 3.00 AB18 100 PVC 918.17

AB1 300 PVC 7109.86 AB19 100 PVC 504.63

AB2 300 PVC 12648.13 AB20 100 PVC 732.47

AB3 300 PVC 976.43 AB21 100 PVC 736.40

AB45 300 PVC 2531.84 AB24 100 PVC 409.13

AB47 300 PVC 718.89 AB27 100 PVC 362.54

AB49 300 PVC 380.48 AB29 100 PVC 283.62

AB50 300 PVC 501.54 AB32 100 PVC 2543.83

AB58 300 PVC 382.84 AB33 100 PVC 678.84

AB59 300 PVC 249.66 AB35 100 PVC 587.68

AB60 300 PVC 1800.72 AB36 100 PVC 708.19

AB66 300 PVC 307.64 AB37 100 PVC 241.36

AB67 300 PVC 321.17 AB38 100 PVC 143.78

AB71 300 PVC 625.55 AB39 100 PVC 399.42

AB75 300 PVC 21890.36 AB40 100 PVC 540.46

AB4 250 PVC 959.12 AB41 100 PVC 736.34

AB5 200 PVC 3029.34 AB42 100 PVC 659.83

AB76 200 PVC 10850.25 AB43 100 PVC 816.26

AB11 150 PVC 2396.78 AB44 100 PVC 105.48

AB12 150 PVC 2954.08 AB46 100 PVC 801.64

AB13 150 PVC 395.10 AB48 100 PVC 463.86

AB15 150 PVC 1369.25 AB51 100 PVC 512.87

AB22 150 PVC 314.18 AB52 100 PVC 462.69

AB23 150 PVC 227.35 AB53 100 PVC 187.10

AB25 150 PVC 1815.57 AB54 100 PVC 246.06

AB26 150 PVC 1352.23 AB55 100 PVC 209.49

AB28 150 PVC 217.81 AB56 100 PVC 514.25

AB30 150 PVC 1752.36 AB6 100 PVC 752.08

AB34 150 PVC 2200.47 AB61 100 PVC 432.77

AB57 150 PVC 121.32 AB62 100 PVC 270.64

AB69 150 PVC 636.81 AB73 100 PVC 832.94

AB7 150 PVC 668.88 AB74 100 PVC 252.70

AB70 150 PVC 6226.19 AB77 100 PVC 2681.25

AB72 150 PVC 5620.83 AB78 100 PVC 1649.77

P-76 150 PVC 10.00 AB79 100 PVC 593.52

AB10 100 PVC 347.29 AB8 100 PVC 70.14

AB14 100 PVC 998.50 AB9 100 PVC 2298.97

Page 31: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-31

Tabel 3. Tekanan Air di Titik Simpul Hasil Model

ID nodeElevasi

(m)

Demand

(l/s)

Pressure

(m H2O)ID node

Elevasi

(m)

Demand

(l/s)

Pressure

(m H2O)

135 63.97 0 15 74 25 0.31 22.179

134 37.5 7.15 29.463 138 25 0.64 22.171

133 47.58 12.72 18.038 113 33.26 0.32 25.116

132 33.69 1.77 28.507 112 32.25 0.23 25.745

131 34.64 0.96 25.545 111 30.41 0.41 27.562

130 37.5 3.05 16.911 110 37.5 1.36 18.53

129 37.5 0.76 16.819 108 37.5 1.83 18.323

128 35.98 0.67 14.877 107 37.5 0.29 18.317

127 25 2.31 23.616 109 36.55 0.36 19.468

126 35.59 0.07 13.398 106 29.59 1.76 20.648

125 35.8 0.35 13.18 105 25.74 0.6 23.02

124 25 2.41 15.605 104 25 0.68 23.687

114 26.31 2.97 13.67 102 30.34 2.21 17.496

123 25 0.4 15.071 101 26.33 0.59 21.457

122 25 1 14.866 100 29.12 0.11 18.386

121 25 1.38 13.772 99 27.15 0.71 20.275

120 25 0.92 13.611 98 27.63 0.24 19.358

119 25 0.53 12.125 96 27.18 0.14 19.633

118 25 1.82 10.997 94 25.79 0.4 20.787

117 24.89 0.51 11.864 92 25 0.54 21.544

116 24.2 0.74 12.47 97 25 0.74 21.895

115 23.82 0.74 12.847 95 25 0.66 21.75

91 25 2.55 32.558 93 25 0.82 21.464

89 25 0.72 31.381 103 25 2.56 20.779

87 25 0.38 30.783 81 25 0.25 27.519

84 25 0.5 30.149 83 25.3 0.52 29.822

90 25 0.81 32.447 73 23.09 6.26 19.096

88 25 0.47 31.358 136 25 0.32 21.876

86 25 0.47 28.487 137 25 0 21.604

85 25 0.19 28.485 72 25 0.63 21.022

80 25 0.21 27.517 71 26.4 5.65 14.146

82 25 0.12 25.832 70 29.05 0.84 11.38

79 25 0.39 25.284 69 28.52 0.25 12.021

78 25 0.44 25.264 68 5.65 22.07 26.277

77 25 0.25 24.937 67 7.31 8.03 17.914

76 25 0.27 24.932 66 12.5 1.98 10.788

75 25 1.81 22.482 65 7.31 1.22 17.424 Sumber: hasil perhitungan

5. KESIMPULAN

Penyediaan air bersih untuk masyarakat di Kecamatan Darul Makmur dan Tadu Raya dilayani

melalui 2 sistem, yaitu: sistem perpipaan dan Non-perpipaan.

1) Pelayanan air bersih sistem perpipaan terdiri dari: unit pengambilan air menggunakan pompa, unit

pengolah kualitas air lengkap, dan unit distribusi model bercabang.

2) Pelayanan air bersih sistem non-perpipaan dilakukan dengan memanfaatkan sumur dangkal sebagai

sumber air baku, dengan sistem saringan sederhana baik yang dipasang di dalam sumur maupun di

tandon air.

Page 32: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-32

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoko Sasongko, (1989), Teknik Sumber Daya Air Jilid I dan Jilid II, Edisi Ketiga, Terjemahan,

Pernerbit Erlangga, Jakarta.

2. Haestad, (2001), User`s Guide WaterCad v 4 for Windows, Haestad Press, Waterburry CT, USA

3. Kamulyan B, (2000), Perkiraan Kebutuhan Air, Jurusan Sipil Fakultan Teknik Gajah Mada,

Yogyakarta.

4. Menteri Pekerjaan Umum. (2007). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2007

Tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. 5. Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. (2008). Laporan Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Nagan Raya. Tidak diterbitkan. Suka Makmue

Page 33: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-33

PENGENDALIAN SEDIMEN PADA INFRASTRUKTUR AIR DENGAN MENGGUNAKAN

DERET BENDA APUNG SEBAGAI PEMBANGKIT ALIRAN TURBULEN

Mamok Suprapto

Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami No. 36A, Surakarta, Telp.

O271-647069, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan sedimentasi dapat mengurangi kapasitas/kinerja infrastruktur air. Untuk mengatasi

masalah sedimen dilakukan pengerukan lebih sering dan adakalanya harus menggunakan alat khusus. Alternatif lain adalah dengan mengubah dimensi infrastruktur yang ada. Upaya tersebut jelas

memerlukan biaya yang cukup besar. Agar infrastruktur air dapat berfungsi secara berkelanjutan, perlu

solusi yang tepat dan murah. Penelitian ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sedimentasi dengan

membangkitkan aliran turbulen menggunakan deret benda apung (Debapung).

Penelitian dilakukan di laboratorium dengan menggunakan open flume dan pelimpah model Ogee.

Open flume diberi aliran hingga aliran stabil. Setelah itu pasir diameter 2,36 mm, (lolos saringan no.8),

ditaburkan pada aliran. Proses terjadinya sedimen diamati hingga relatif stabil. Awal formasi sedimen

diukur dari ujung hilir model pelimpah. Pengukuran meliputi panjang dan ketebalan sedimen pada titik-

titik tertentu. Setelah pengukuran selesai dilakukan, Debapung ditempatkan di permukaan aliran di hilir

pelimpah. Debapung diikat dengan tali agar tidak terbawa aliran tetapi masih bisa mengikuti flukuasi aras

(level) muka air. Air dialirkan kembali dengan debit yang sama dan pasir ditaburkan dan selanjutnya dilakukan pengukuran. Demikian perlakuan dan pengukuran formasi sedimen tersebut diulang dengan

bedslope dari open flume yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruas open flume yang berada di bawah dan di hilir Debapung

dapat terbebas dari sedimentasi. Debapung dapat berfungsi dengan baik dalam membangkitkan aliran

turbulen pada beragam kecepatan aliran. Bila Debapung ditempatkan pada ruas saluran yang sering

mengalami sedimentasi, maka Debapung dapat menjadi alternatif yang tepat dan murah. Infrastruktur air

dapat dijaga agar dapat menjamin hasil produksi dan keberlanjutan fungsi. Namun Debapung hanya

efektif dan efisien digunakan bila penampang saluran berbentuk segi empat.

Kata Kunci: Debapung, infrastruktur-air, sedimen, turbulen.

1. LATAR BELAKANG Fenomena alam yang merugikan sering terjadi beberapa tahun terakhir. Fenomena ini ditengarai

sebagai dampak dari perubahan iklim [14][16][18]. Dampak langsung terhadap kinerja infrastruktur air

adalah terjadinya peningkatan sedimentasi yang pada akhirnya mengurangi kapasitas infrastruktur air [5].

Untuk mengatasi sedimentasi pada infrastruktur air yang ada, umumnya dilakukan pengerukan. Namun,

karena jumlah sedimen terlalu banyak, maka pengerukan harus dilakukan lebih sering dan adakalanya

harus menggunakan alat berat atau peralatan khusus. Alternatif lain adalah dengan melakukan modifikasi

bentuk dan dimensi infrastruktur air yang ada. Upaya-upaya tersebut jelas memerlukan biaya yang lebih

besar. Sebaliknya, pengendapan yang terjadi tidak bisa dibiarkan terjadi secara terus menerus, karena

sedimen akan menjadi lebih banyak dan lebih padat.

Agar infrastruktur dapat berfungsi secara berkelanjutan, perlu dicari solusi untuk mengatasi masalah

sedimen, yaitu solusi yang tidak memerlukan biaya besar, baik dalam hal pengadaan, pemasangan,

operasinal, maupun pemeliharaan. Penelitian dilakukan untuk mencegah proses terjadinya sedimentasi secara alami, yaitu dengan cara membangkitkan arus turbulen. Arus turbulen dibangkitkan dengan cara

menempatkan deret benda apung (Debapung) di permukaan aliran. Percobaan dilakukan di laboratorium,

menggunakan open flume dan Debapung yang terbuat dari kayu, berpenampang lingkaran.

2. MATERI DAN METODE PENELITIAN

Aliran turbulen

Aliran turbulen memiliki sifat yang khas. Butir-butir air bergerak menurut lintasan yang tidak teratur

dan tidak tetap, membentuk aliran yang berputar-putar, namun tetap menunjukkan gerak maju [19]. Arah

aliran selalu berubah sehingga sulit untuk digambarkan atau diprediksi [2][6]. Ilustrasi lintasan aliran

turbulen dan laminer dapat diperiksa pada Gambar-1a dan transisi antara kedua jenis aliran tersebut

ditunjukkan dalam Gambar-1b.

Page 34: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-34

Sumber: [9] Sumber: [12]

(a) (b)

Gambar-1. Lintasan aliran turbulen dan laminer (a) dan transisi (b)

Hubungan diameter sedimen dengan kecepatan aliran serta proses kejadiannya dapat dijelaskan dengan

hukum Hjulstrom, seperti yang diterangkan dalam Gambar-2.

Sumber:[12]

Gambar-2. Kondisi butiran pada beragam diameter dan kecepatan aliran.

Sifat aliran turbulen yang tidak menentu, jelas tidak memungkinkan bagi butiran sedimen (diameter

tertentu) untuk mengendap di lokasi sepanjang terjadinya aliran turbulen. Aliran turbulen umumnya

terjadi bila ada perubahan kecepatan pada aliran laminer. Perubahan kecepatan bisa terjadi karena adanya

perubahan penampang aliran [4].

Saluran irigasi

Saluran irigasi merupakan salah satu contoh dari saluran terbuka yang mengambil air sungai melalui

intake di bangunan bendung. Saluran ini direncana untuk tidak mengangkut sedimen yang dapat

mengendap di sepanjang saluran pembawa, agar saluran pembawa tetap berfungsi dengan baik. Saluran

irigasi direncana dengan dimensi dan kemiringan dasar saluran tertentu, sehingga memenuhi syarat agar tidak terjadi endapan maupun penggerusan [3].

Untuk maksud tersebut, pada bagian awal saluran (hilir intake), umumnya dibuat saluran penangkap

pasir agar butiran sedimen tertentu dapat mengendap di ruas saluran ini dan tidak terbawa ke hilir. Namun

karena angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai telah berubah baik secara kuantitas maupun kualitas,

maka saluran penangkap pasir menjadi lebih cepat terisi endapan. Pada akhirnya, saluran penangkap pasir

menjadi tidak dapat berfungsi dengan baik sebelum jadwal waktu pembilasan tiba. Dengan demikian, bila

pola operasional dan pemeliharan saluran irigasi tidak diubah, maka endapan yang terjadi di saluran

penangkap pasir menjadi mengeras dan sulit dilakukan pembilasan secara alami. Contoh kejadian ini

dapat ditemukan di lapangan, salah satunya adalah saluran penangkap pasir di bendung Jati, Kali Madiun.

Bentuk saluran penangkap pasir pada bendung Jati dibuat dibuat 3 (tiga) alur seperti ditunjukkan dalam

Gambar-3. Adapun tujuannya adalah bila aliran mengecil, tidak semua alur diaktifkan, sehingga aliran masih memiliki kecepatan tertentu.

Sumber:[8]

Gambar-3. Saluran penangkap pasir bendung Jati, kali Madiun.

Page 35: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-35

Sedimen

Kecepatan angkut sedimen merupakan fungsi dari kecepatan aliran air dan dimensi butir sedimen.

Butir berukuran kecil dapat diangkut aliran air dalam bentuk wash load. Sedangkan butiran yang lebih

besar, antara lain pasir, cenderung bergerak dengan cara melompat. Partikel yang lebih besar dari pasir

(bed load), misalnya kerikil, bergerak dengan cara menggelinding di dasar saluran [15][17]. Gerak

butiran ditampilkan dalam bentuk 3 (tiga) dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar-4. Secara empiris,

gerak butiran dapat diprediksi berdasarkan bilangan Froude, seperti yang ditampilkan dalam Tabel-1.

Kecepatan geser untuk menggerakan butiran dapat didekati dengan persamaan:

SRgu ..* (1)

dengan:

*u =kecepatan geser (m/dt), g=gravitasi (m/dt2), R=jejari hidraulik (m), S=bedslope.

Berdasarkan kecepatan geser tersebut, bilangan Reynold dapat diperkirakan bila diketahui ukuran

butiran sedimen dan viskositas airnya berdasarkan persamaan:

s

e

DuR

. (2)

dengan:

Re=bilanganReynolds, *u =kecepatan geser (m/dt), Ds=diameter butiran sedimen (m), υ=viskositas

(m2/dt).

Sumber: [10]

Gambar-4. Gerak butiran dalam aliran air

Tabel-1. Beragam gerak butiran sesuai dengan bilangan Froude.

Sumber: [11]

Page 36: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-36

Bilangan Reynolds dapat digunakan untuk menentukan dimensi tegangan geser ( F ) dengan

menggunakan diagram Shields seperti ditunjukkan pada Gambar-5a atau untuk menentukan faktor geser

(friction factor) sesuai dengan nilai kekasaran relatif (relative roughness) butiran dengan menggunakan

grafik Moody seperti yang ditampilkan pada Gambar-5b.

Sumber: [10] Sumber:[13]

(a) (b)

Gambar-5. Diagram Shield (a) dan Moody (b)

Tegangan geser non dimensi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut:

ss

c

DF

).(

(3)

dengan:

F =tegangan geser non dimensi, c =tegangan geser kritis (kg/m2), γs=berat jenis butiran sedimen

(kg/m3), γ=berat jenis air (kg/m3), Ds=diameter butiran sedimen (m).

Adapaun tegangan geser diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

SRgw ...0 (4)

dengan:

τ0=tegangan geser (kg/m2), g=gravitasi (m/dt2), ρw=massa jenis air (kg/m3), R=jari-jari hidraulik (m), S=

kemiringan dasar saluran.

Awal gerak butiran sedimen tergantung besarnya tegangan geser yang terjadi dibandingkan dengan

tegangan geser kritis. Apabila τ0>τc, maka butiran bergerak, τ0=τc, maka butiran mulai bergerak (kondisi

kritis), dan τ0<τc , maka butiran diam.

Benda Apung

Gaya yang bekerja ke bawah pada permukaan atas benda lebih kecil dari gaya ke atas pada

permukaan bawah benda. Perbedaan antara gaya tekanan ke atas dan ke bawah adalah gaya apung pada

benda [1]. Dalam penelitian dipilih benda apung berpenampang bulat (diameter=3cm, panjang=7cm),

yang memiliki berat jenis tertentu, sehingga posisi titik berat benda (G) berada pada posisi di bawah aras

muka air dengan jarak yang cukup, seperti yang ditunjukkan pada Gambar-6.

d

D

H

O

B

G

Gambar-6. Benda apung

Percobaan di laboratorium

Benda apung yang sudah dibentuk, diberi lubang pada bagian as. Lubang ini untuk keperluan

pengikatan, agar benda apung tidak terbawa arus, namun masih bisa mengikuti fluktuasi aras (level) muka

air. Benda apung yang sudah terikat untuk selanjutnya disebut sebagai Deret benda apung (Debapung).

Page 37: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-37

Sebelum pengamatan dimulai, model pelimpah Ogee dari kayu dipasang pada open flume. Bentuk model

pelimpah Ogee yang digunakan seperti ditunjukkan pada Gambar-7.

Gambar-7. Model pelimpah

Selanjutnya air dialirkan dalam open flume hingga aliran stabil. Langkah berikutnya adalah menaburkan

butiran pasir yang lolos ayakan no. 8 (diameter 2,36 mm), diatas puncak model pelimpah. Setelah formasi

endapan yang terbentuk stabil, dilakukan pengukuran jarak dan ketebalannya. Selanjutnya, Debapung dipasang, air dialirkan, pasir ditaburkan, dan dilakukan pengukuran lagi terhadap formasi endapan.

Percobaan ini dilakukan berulang kali dengan kemiringan dasar open flume atau kecepatan aliran yang

berbeda.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Formasi endapan yang terbentuk sebelum dan setelah dipasang Debapung dapat dicermati pada

Gambar-8. Tampak dalam gambar adanya agihan (distribution) endapan setelah adanya Debapung pada

kondisi kecepatan aliran tertentu.

Gambar-8. Formasi endapan sebelum dan setelah ada Debapung

Karakteristik Sedimen

Penelitian ini menggunakan pasir seragam ukuran 2,36 mm (lolos ayakan no. 8), bersih, halus, dan non-

cohesive. Berat jenis sedimen diketahui melalui percobaan Specific Gravity Picnometer. Dari 3 (tiga) kali

pengujian, mempertimbangkan faktor koreksi suhu, dan menggunakan persamaan, maka berat jenis spesifik sedimen yang dipakai dalam penelitian ini diketahui sebesar 2,6559 gr/cm3 yaitu termasuk jenis

pasir.

Aliran Turbulen

Aliran turbulen dibangkitkan dengan Debapung yang memiliki berat jenis 605,7 kg/m3. Debapung terdiri

dari 5 (lima) buah potongan kayu yang diikat dengan tali, sehingga tidak terbawa oleh aliran. Jarak antar

Debapung ± 3 cm. Keseimbangan dari Debapung dalam air dihitung untuk mengetahui letak

metasentrum. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa metasentrum berada di bawah titik berat sejauh

0,111 cm. Sketsa letak metasentrum dapat diperiksa pada Gambar-7.

Kecepatan aliran

Currentmeter yang telah dikalibrasi digunakan untuk mengukur debit. Debit aliran yang digunakan dalam

penelitian adalah Q1=2,55x10-4m3/s dan Q2=2,84x10-4m3/s. Dengan hasil pengukuran ketebalan air di open flume, dan dengan menggunakan persamaan sederhana, Q=A.V, kecepatan aliran pada tiap kondisi

dapat diketahui. Kecepatan aliran sebelum dan setelah ditempatkan Debapung untuk beragam bedslope

dengan 2 (dua) macam debit disajikan dalam Tabel-2. Tampak dalam tabel bahwa keberadaan Debapung

dapat meningkatkan kecepatan aliran pada debit yang sama.

Page 38: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-38

Tabel-2. Kecepatan aliran

Perc S

(%)

H

(m)

V (m/s)

sebelum Debapung

V (m/s)

Setelah Debapung

Q=2,55x10-4 (m3/s)

1 0,0 0,044 0,07 0.43

2 0,5 0,031 0,10 0.45

3 1,0 0,010 0,33 0.46

4 1,5 0,008 0,39 0.49

Q= 2,84x10-4 (m3/s)

5 0,0 0,041 0,09 0.28

6 0,5 0,028 0,13 0.32

7 1,0 0,009 0,21 0.36

8 1,5 0,007 0,27 0.39

Gerak Sedimen

Dengan menggunakan persamaan yang digunakan dalam analisis sedimen dan grafik Shield, awal gerak

butiran sedimen dapat diketahui. Hasil analisis ditampilkan dalam Tabel-3. Hasil menunjukkan bahwa

pada kondisi debit yang berbeda, dengan bedslope yang bervariasi, semua butiran bergerak.

Tabel-3. Awal gerak butiran sedimen

S (%) τ0 (kg/m2) τc (kg/m2) Ket

Q=2,55x10-4 (m3/s)

0,5 0,85 0,17 Butir sedimen bergerak

1,0 0,78 0,16 Butir sedimen bergerak

1,5 1,02 0,16 Butir sedimen bergerak

Q=2,84x10-4 (m3/s)

0,5 0,80 0,16 Butir sedimen bergerak

1,0 0,71 0,16 Butir sedimen bergerak

1,5 0,91 0,15 Butir sedimen bergerak

Awal formasi endapan dari hilir model pelimpah

Model pelimpah hanya digunakan sebagai titik awal pengukuran jarak mulainya formasi endapan.

Formasi endapan diukur, baik jarak maupun ketebalannya. Gambar-9 menunjukkan contoh pengamatan jarak dan ketebalan formasi endapan. Hasil pengukuran jarak disajikan pada Tabel-4. Dalam tabel

ditunjukkan dengan jelas bahwa awal formasi endapan menjadi lebih jauh setelah adanya Debapung.

40.5

0.90 1.001.23

9.00 2.7033.00

3.18

1.40

15.00 6.30

17.30

Gambar-9. Ilustrasi pengukuran jarak dan tebal formasi endapan

Tabel-4. Awal formasi endapan

No. V

(m/s)

L (cm)

Sebelum

Debapung

Setelah

Debapung

Q=2,55x10-4 (m3/s)

1 0,07 5,5 10

2 0,10 40,5 45,7

3 0,33 176,5 247,5

Page 39: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-39

4 0,38 276,5 306,2

Q=2,84x10-4 (m3/s)

5 0,09 11,5 14,8

6 0,13 59,5 89,8

7 0,41 211,5 275,5

8 0,49 286,5 312,2

Panjang endapan

Panjang endapan yang terjadi sebelum dan setelah adanya Debapung juga diamati, pada debit Q1 dan

pada debit Q2. Contoh pengamatan untuk panjang sedimen dapat dilihat pada Gambar-10. Panjang

endapan hasil pengamatan disajikan pada Tabel-5. Dengan adanya Debapung, formasi endapan menjadi

lebih panjang. Hasil ini menunjukkan bahwa, walaupun endapan masih terjadi setelah adanya Debapung,

ketebalan endapan relatif kecil karena teragih memanjang, kecuali di formasi paling ujung. Dengan

berkurangnya ketebalan formasi sedimen, maka penurunan kapasitas atau fungsi infrastruktur air dapat

diminimalkan. Ilustrasi formasi endapan yang diakibatkan oleh enerji rendah dan enerji tinggi seperti

yang ditampilkan pada Gambar-11.

Stream Power

Stream power merupakan karakter aliran yang menunjukkan kemampuan aliran untuk mengangkut butiran sedimen [20]. Stream power tergantung pada debit dan bedslope, Ω =γ.Q.S. Hasil perhitungan

stream power dengan nilai γ= 9810 N/m3, untuk berbagai kondisi disajikan dalam Tabel-6.

(a) (b)

Gambar-10. Formasi endapan pada kecepatan rendah (a) dan tinggi (b)

Sumber:[7]

Gambar-11. Formasi endapan pada enerji berbeda

Page 40: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-40

Tabel-5. Panjang formasi endapan

V

(m/s)

L

Sebelum

Debapung

(cm)

Setelah

Debapung

(cm)

Q=2,55x10-4 (m3/s)

1 0,07 17,7 23,0

2 0,10 34,3 23,3

3 0,33 41,0 36,0

4 0,38 46,0 41,5

Q=2,84x10-4 (m3/s)

5 0,09 21,0 29,0

6 0,13 39,5 33,5

7 0,41 40,0 35,0

8 0,49 41,5 36,0

Tabel-6. Stream Power dan panjang formasi sedimen

S (%) Ω (N/s)

L

Sebelum

Debapung (cm)

Setelah

Debapung (cm)

Q=2,55x10-4 (m3/s)

0,5 0,01 40,5 45,67

1,0 0,02 176,5 247,5

1,5 0,03 276,5 306,17

Q=2,84x10-4 (m3/s)

0,5 0,01 59,5 89,83

1,0 0,03 211,5 275,5

1,5 0,04 286,5 312,17

4. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada saudara Yushar Yahya dan Ferdian Agung atas kontribusinya

dalam kegiatan penelitian ini.

5. KESIMPULAN

a. Jarak awal sedimen dari kaki pelimpah menjadi lebih panjang dengan adanya Debapung, pada

kondisi Q Q=2,84x10-4 (m3/s) dan Q=2,55x10-4 (m3/s) b. Tebal formasi sedimen berkurang dengan adanya Debapung

c. Semakin besar stream power yang dimiliki aliran, semakin panjang jarak awal sedimen sari kaki

pelimpah.

d. Debapung mampu membangkitkan aliran turbulen pada beragam kecepatan

e. Debapung mampu menghambat proses sedimentasi

f. Debapung hanya bermanfaat secara efekti dan efisien bila diterapkan pada saluran terbuka

berpenampang segi empat

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Bambang Triatmodjo (1996), Hidraulika Jilid I dan II, Yogyakarta, Beta Offset.

2. Chow, V.T., Maidment, D.R., dan Mays, L.W. (1988), Applied Hydrology, Mcgraw Hill, New York.

3. DitJen Pengairan (1986), KP-03 Standar Perencanaan Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum RI,

Bandung , CV. Galang Persada. 4. Gravemeir, V. (2003), The Variational Multiscale Method Debapungr Laminar and Turbulent

Incompressible Flow, Germany: Stutgart University

Page 41: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-41

5. Guo, Y., Keith W. BedDebapungrd, and David Welsh (2003), Storm Impacts on Sediment

Deposition at a River-Coastal Confluence, ASCE Conf. Proc. 145, 64, DOI:10.1061/40734(145)64

6. Henderson, F. M. (1996), Open Channel Flow, New York, Mcmillan Company.

7. http://farm6.static.flickr.com/2010

8. http://muzlimacmal.files.wordpress.com/2010

9. http://oilindonesia.files.wordpress.com/2010

10. http://t1.gstatic.com/2010

11. http://upload.wikimedia.org/2010

12. http://weiminhan.files.wordpress.com/2010

13. http://www.coolit.co.za/2010

14. Kaini, P., John W. Nicklow, J. W., dan Schoof, J. T. (2010), Impact of Climate Change Projections and Best Management Practices on River Flows and Sediment Load , ASCE Conf. Proc. 371, 234,

DOI:10.1061/41114(371)234

15. Kironoto, B.A. (2003), Hidraulika Transpor Sedimen, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

16. Lebel, L, Tira Debapungran, Po Garden, Jesse B. Manuta (2009), Adaptation To Climate Change

And Social Justice: Chalenges Debapungr Flood And Disaster Management In Thailand, Climate

Change Adaptation In The Water Sector, Sterling, Earthscan, p.125-141

17. Liu, Z. (2001), Sediment Transport, Aalborg University

18. Ludwig, L dan Jacob D. (2009), The Impact Of Climate Change On Water, Climate Change

Adaptation In The Water Sector, Sterling, Earthscan, p.35-50

19. Recktenwald, G. (2007), Head Loss in Pipe Systems Laminar Flow and Introduction to Turbulent

Flow, Portland: Mechanical and Materials Engineering Department Portland State University 20. Worthy, M. (2005), High-Resolution Stream Power Estimates Debapungr The Cotter River,

Namadgi National Park, Australian Capital Teritory, Canberra: Australian National University

Page 42: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-42

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 43: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-43

KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM JARINGAN DISTRIBUSI AIR BERSIH

MENGGUNAKAN PROGRAM EPANET V.2 PADA ZONA 4 (DAERAH PELAYANAN

SUMBERAYU KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI)

Nanang Saiful Rizal2

1Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jember, Telp 0331-336728,

email:[email protected]

ABSTRAK

Penyediaan air bersih yang layak sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan manusia, maka dengan

peningkatan pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin bertambah. Adapun perencanaan sistem distribusi air bersih yang kurang baik menyebabkan terjadinya kehilangan air

pada saat pendistribusian, hal ini juga dapat disebabkan kurang memperhatikan peningkatan pola

kebutuhan konsumen.

Jaringan air bersih di wilayah Zona-4 cukup luas, maka untuk menganalisa jaringan air bersih eksisting

dan proyeksi tahun 2019 diperlukan bantuan program EPANET V.2 Setelah dilakukan analisa bisa dilihat

bagaimana kinerja jaringan eksisting. Jika kinerja jaringan kurang baik, maka dilakukan perubahan

jaringan, penambahan valve dan perubahan diameter pipa.

Setelah dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2 diperoleh hasil bahwa kondisi perpipaan

eksisting untuk proyeksi sampai dengan tahun 2019 kurang layak, sebab dalam waktu jangka panjang

dapat menyebabkan kebocoran pada jaringan perpipaan dan dapat menyebabkan terjadinya penyumpatan

pada jaringan perpipaan. Setelah dilakukan simulasi dengan memasang valve dan memperkecil diameter pipa pada beberapa jaringan perpipaan, kondisi jaringan sudah lebih baik hal ini dapat dilihat dari tekanan

pada titik simpul lebih kecil dari 100 mH2O dan kecepatan aliran pada pipa sudah lebih besar dari 0,1

m/s.

Kata Kunci : Proyeksi, Jaringan, Pipa, EPANET

1. LATAR BELAKANG

Air sebagai salah satu sumber daya alami sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan mahluk

hidup baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan. Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk

maka mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin bertambah. Adapun kendala umum yang

dihadapi sekarang ini adalah bagaimana cara pendistribusian air bersih ke daerah layanan, jumlah atau

ketersediaan sumber daya air baku dan cara pengelolaan air baku menjadi air bersih sehingga air tersebut layak dikonsumsi masyarakat dan memenuhi satndar kelayakan baik dalam hal kualitas, kuantitas dan

kontinuitas air bersih. Perencanaan sistem distribusi air bersih yang kurang baik menyebabkan terjadinya

kehilangan air pada saat pendistribusian. Hal ini juga dapat disebabkan perencanaan yang kurang

memperhatikan peningkatan pola kebutuhan konsumen. PDAM selaku BUMD yang berwenang dalam

pelayanan kebutuhan air bersih kepada masyarakat pada lingkup wilayah tertentu harus dapat mengatasi

masalah tersebut di atas.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan sistem jaringan

distribusi air bersih yang dinamakan Sistem Zona. Dari sistem zona ini diharapkan dapat mempermudah

pengoperasian kebutuhan air bersih, meratakan tekanan, dan mendeteksi letak kebocoran pipa di

lapangan. Pada tahap pengembangan selanjutnya, kebutuhan air tersebut diproyeksikan pada setiap titik

simpul yang ada dan dilakukan simulasi dengan kondisi tidak permanen dengan bantuan program

EPANET v.2.0. Tujuan dari kajian ini adalah untuk merencanakan jaringan air bersih PDAM Muncar untuk wilayah

Zone-4 ditinjau dari segi hidrolika dan sistem operasinya pada kondisi eksisting dan proyeksi 10 tahun

mendatang. Hal tersebut berkaitan dengan usaha pemenuhan target kebutuhan, peningkatan kuantitas, dan

kualitas pelayanan konsumen PDAM Muncar. Selain itu juga untuk menambah wawasan tentang program

EPANET dalam aplikasinya untuk menganalisis sistem jaringan air bersih, serta manfaatnya sebagai

bahan pertimbangan bagi PDAM Muncar dalam upaya memenuhi dan meningkatkan penyediaan air

bersih di wilayah Muncar dengan corak kebutuhan yang bervariasi sepanjang waktu secara baik dan benar

ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas tanpa mengesampingkan aspek pelestariannya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Penduduk

Page 44: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-44

Perkembangan penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan air bersih. Dalam

studi ini, proyeksi jumlah penduduk digunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat kebutuhan air

bersih pada masa mendatang. Perkiraan jumlah penduduk di suatu daerah pada tahun tertentu dapat

dilakukan apabila diketahui tingkat pertumbuhan penduduknya. Perkiraan jumlah penduduk di masa

mendatang dapat dihitung menggunakan Metode Geometrik dengan menggunakan formula sebagai

berikut (Muliakusuma, 1981) :

Pn = Po(1 + r)n (1)

dengan :

Pn = jumlah penduduk pada akhir tahun ke-n (jiwa)

Po = jumlah penduduk pada tahun yang ditinjau (jiwa)

r = angka pertumbuhan penduduk tiap tahun ( %) n = jumlah tahun proyeksi (tahun)

2.2. Kebutuhan Air Bersih

Kebutuhan air bersih adalah jumlah air yang diperlukan secara wajar untuk keperluan pokok manusia

(domestik) dan kegiatan-kegiatan lainnya yang memerlukan air (non domestik). Kebutuhan domestik

merupakan kebutuhan air bersih yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan kran umum yang

jumlah kebutuhannya ditentukan dari data kota atau daerah yang bersangkutan berdasarkan karakteristik

dan perkembangan konsumen pemakai air bersih dalam penggunaan air bersih.

Tabel 1 : Nilai Kebutuhan Air Bersih Untuk Bangunan Tempat Tinggal

Kategori

Kota

Keterangan Jumlah Penduduk Keb. Air Bersih

(lt/org/hari)

Kategori I

Kategori II

Kategori III

Kategori IV

Kategori V

Kategori VI

Kota Metropolitan

Kota Besar

Kota Sedang

Kota Kecil

Desa

Desa Kecil

>1.000.000

500.000 s.d 1.000.000

100.000 s.d 500.000

20.000 s.d 100.000

10.000 s.d 20.000

3000 s.d 10.000

190

170

150

130

100

60

Sumber : Pedoman Kebijaksanaan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) Repelita V,

Ditjen Cipta Karya

Kebutuhan non domestik merupakan semua kebutuhan yang termasuk penyediaan air untuk sarana

sosial seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan juga keperluan komersial seperti industri, hotel, perdagangan, serta untuk pelayanan jasa umum. Kebutuhan non domestik untuk kota kecil dan sedang

tidaklah seberapa besar, namun pada kota-kota besar atau metropolitan kebutuhan air untuk keperluan air

untuk keperluan non domestik dapat mencapai 15 % dari kebutuhan domestik.

Besarnya pemakaian air bersih oleh masyarakat pada suatu daerah tidaklah konstan, namun terjadi

fluktuasi pada jam-jam tertentu bergantung aktifitas keseharian masyarakatnya. Hal tersebut berlangsung

setiap hari dan membentuk suatu pola penggunaan air yang relatif sama. Pada saat-saat tertentu terjadi

peningkatan aktifitas penggunaan air sehingga memerlukan pemenuhan air bersih lebih banyak dari

kondisi normal, sementara saat-saat tertentu juga tidak terdapat aktifitas yang memerlukan air.

Gambar 1 : Grafik Fluktuasi Pemakaian Air Sumber : Ditjen Cipta Karya Departemen PU, Anonim, 1987

Page 45: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-45

2.3. Hidraulika Aliran Dalam Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih

Beberapa jenis teori yang berhubungan dengan perhitungan hidraulika aliran dalam pipa, yaitu

(Dirjen Cipta Karya, 1987) :

2.3.1. Prinsip Kontinuitas

Yang dimaksud dengan prinsip kontinuitas adalah jumlah air yang masuk dalam suatu sistem

perpipaan adalah sama dengan jumlah air yang keluar dari sistem perpipaan tersebut.

Q1 = Q2 + Q3

A1.V1 = (A2.V2) + (A3.V3) (2)

dengan :

Q = debit aliran air (m3/dt) A = luas penampang (m2)

V = kecepatan aliran (m/dt)

2.3.2. Prinsip Bernoulli

Persamaan Bernoulli dapat ditulis sebagai berikut (Triatmojo, 1993) :

h1 +

w

P

1 +

g

v

2

2

1 = h2 +

w

P

2 +

g

v

2

2

2+ hL (3)

dengan :

w

P

1 ,

w

P

2 = tinggi tekanan dititik 1 dan 2 (m)

g

v

2

2

1,

g

v

2

2

2 = tinggi kecepatan dititik 1 dan 2 (m)

P1, P2 = tekanan dititik 1 dan 2 (kg/m2)

w = berat jenis air (kg/m3)

v1, v2 = kecepatan aliran dititik 1 dan 2 (m/dt)

g = percepatan gravitasi (m/dt)

h1, h2 = tinggi elevasi dititik 1 dan 2 dari garis yang ditinjau (m)

hL = kehilangan tinggi tekan dalam pipa (m)

2.3.3. Kehilangan Tinggi Tekan Pada Aliran Didalam Pipa

Kehilangan tinggi tekan pada pipa dibagi 2, yaitu Major Losses dan Minor losses. Major Losses

dapat dihitung menggunakan persamaan Hazen-Williams. Persamaannya ditulis dalam bentuk (Priyantoro, 1991) :

V = 0,3454 Chw D0,63 S0,54 (4)

ki = 87,485,1 .

67,10

DC

L

hw

(5)

hf = 85,1.Qki (6)

dengan :

V = kecepatan aliran pada pipa (m/dt)

Chw = koefisien kekasaran hazen-williams.

D = diameter pipa (m)

S = kemiringan garis energi

Q = debit aliran pada pipa (m3/dt)

L = panjang pipa (m) hf = kehilangan tinggi tekan mayor (m)

Minor losses yang terjadi pada suatu sistem perpipaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya

adalah (Priyantoro, 1991) :

1. Kehilangan tinggi akibat pengecilan

Page 46: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-46

2. Kehilangan tinggi akibat pembesaran

3. Kehilangan tinggi akibat belokan

4. Kehilangan tinggi melalui katup

2.4. Analisa Program EPANET versi 2.0

2.4.1. Komponen Pemodelan EPANET versi 2.0 Komponen fisik model EPANET versi 2.0 dalam sistem distribusi air merupakan penghubung (links)

dan node. Links adalah penghubung antara node yang ada. Link merupakan gambaran dari pipa, pompa,

atau katup kontrol, sedangkan node merupakan gambaran dari junction, tank, atau reservoir.

Gambar 2 : Komponen Fisik Dari EPANET

Komponen non fisik EPANET versi 2.0 menggunakan tiga tipe objek informasi untuk membantu

komponen fisik, yaitu: kurva, pola, dan kontrol melukiskan tingkah laku dan aspek operasi pada sistem

distribusi. Kurva terdiri atas :Kurva pompa, Kurva efisiensi, Kurva volume, Kurva kehilangan tekanan

(Headloss)

2.4.2. Input Data Dan Output Dalam EPANET v 2.0

Input data yang dibutuhkan dalam program Epanet v.2.0 diantaranya adalah peta jaringan,

node/junction/titik dari komponen, elevasi, panjang pipa distribusi, diameter dan jenis pipa yang

digunakan, spesifikasi pompa (bila menggunakan pompa), Bentuk dan ukuran reservoir, beban masing-

masing node dan faktor fluktuasi pemakaian air

Output yang dihasilkan diantaranya : hidrolik head masing-masing titik, tekanan dan kualitas air, kecepatan aliran dan demand.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Data yang digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan sistem distribusi air bersih

berdasarkan data PDAM Muncar yang direkap tiap satu bulan sekali. Langkah-langkah penelitian adalah

sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai berikut :

a. Data primer adalah data elevasi jaringan distribusi air bersih di wilayah Zona 4.

b. Data sekunder antara lain :

Peta jaringan sistem distribusi air bersih

Data jumlah penduduk.

Data kebutuhan air bersih 2. Melakukan evaluasi jaringan eksisting sistem distribusi air bersih menggunakan program EPANET

versi 2.0.

3. Melakukan proyeksi jumlah penduduk untuk 10 tahun yang akan datang.

4. Menganalisa jumlah kebutuhan air bersih untuk 10 tahun yang akan datang.

5. Merencanakan pengembangan sistem distribusi air bersih di wilayah Zona-4 dengan menggunakan

program EPANET versi 2.0.

6. Menganalisa sistem jaringan distribusi air bersih setelah dilakukan perencanaan pengembangan.

Page 47: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-47

Gambar 3 : Diagram alir metodologi kajian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Daerah kajian secara geografis terletak pada 1130 53‟- 1140 38‟ Bujur Timur dan 070 43‟- 080 46‟

Lintang Selatan. Dengan luas wilayah 9,43 km2. Dari kondisi topografi, daerah ini terletak pada

ketinggian 3 m di atas permukaan laut.

Gambar 3 : Peta daerah layanan air bersih Zona-4

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama ini memanfaatkan 2 sumur bor sebagai sumber mata

air dengan kapasitas debit sumber 116 liter/detik. Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk pada

Data Jumlah Penduduk Thn

2005-2009

Data Ketersediaan

Air Baku

Peta Dan Data Teknis Jaringan

Distribusi (Existing) Data Pelanggan

PDAM Thn 2009

Data elevasi Data

pengembangan jaringan

distribusi air

bersih

Proyeksi Jumlah

Penduduk Thn 2019

Menghitung Debit Pembebanan Titik Simpul

Melakukan Pemodelan Sistem Jaringan Distribusi Air

Bersih (Existing) Dengan Epanet v 2.0

Melakukan Simulasi Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih (Existing) Dengan

Epanet v 2.0

Merencanakan Perbaikan Sistem

Jaringan Distribusi Air Bersih (Existing)

Perhitungan Air Bersih

Hingga Thn 2019

Menghitung Prosentase Jumlah Penduduk

Terlayani Hingga Thn

2019

Menghitung Prosentase

Penduduk Terlayani

Analisa Kinerja Sistem Jaringan Distribusi Air

Bersih (Existing)

Analisa Kinerja

Sistem Jaringan

Distribusi Air Bersih

Perencanaan Pengembangan Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih Hingga Thn 2019

Menghitung Debit Pembebanan Titik Simpul

Melakukan Simulasi Pengembangan Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih Dengan

Epanet v 2.0

Merencanakan Perbaikan Pengembangan Sistem

Jaringan Distribusi Air Bersih

Kesimpulan Dan Saran

Selesai

Tidak

Ya

Mulai

Page 48: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-48

masa mendatang perlu ada pengembangan jaringan distrubusi. Adapun hasil proyeksi penduduk dengan

metode geometrik, pertambahan penduduk terlayani dan kebutuhan air bersih pada saat kondisi existing

tahun 2009 dan kondisi pengembangan tahun 2019 disajikan pada tabel 2.

Tabel 2 : Proyeksi jumlah penduduk terlayani dan kebutuhan air wilayah zona-4

No Uraian Kondisi Existing

2009

Kondisi pengembangan

2019

1 Jumlah penduduk (jiwa) 16816 21798

2 Jumlah penduduk terlayani

(jiwa)

155 10899

3 Kebutuhan air (liter/detik) 0,269 26,129

Dalam pengembangan jaringan distribusi ini ketersediaan debit dari sumber air cukup untuk proyeksi

sampai dengan tahun 2019, sehingga yang dilakukan adalah pengembangan jaringan distribusi agar dapat

meningkatkan manfaat dari kapasitas sumber daya air. Pengembangan jaringan distribusi dilakukan

dengan tetap memanfaatkan jaringan dalam kondisi eksisting yang selanjutnya dilakukan analisa

menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang diperoleh menunjukkan pada hampir semua titik

simpul memiliki tekanan yang cukup besar diatas 100 m H2O dan kecepatan aliran pada beberapa pipa kurang dari 0,1 m/s. Pipa jenis PVC hanya mampu menahan tekanan maksimum 100 H2O, sedangkan

standar kecepatan aliran minimum pada jaringan perpipaan minimal adalah 0,1 m/s.

23

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

1

22

23

2

34

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

2021

1

22

Gambar 4 : Skema node dan link Zona-4

Maka berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan simulasi untuk menurunkan tekanan pada beberapa

titik simpul dan meningkatkan kecepatan pada beberapa pipa dengan jalan menambah valve pada

beberapa section pipa selanjutnya dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang

Page 49: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-49

diperoleh menunjukkan pada semua titik simpul tekanan kurang dari 100 m H2O namun kecepatan aliran

pada beberapa pipa masih kurang dari 0,1 m/s.

Untuk menaikkan kecepatan aliran pada beberapa section pipa dilakukan dengan memperkecil

diemeter pipa selanjutnya dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang diperoleh

menunjukkan pada hampir semua jaringan pipa kecepatan aliran sudah lebih dari 0,1 m/s.

5. KESIMPULAN

1. Kebutuhan domestik dan non domestik pada kondisi pengembangan (2019) yang total keseluruhan

hanya sebesar 26,129 lt/dtk, dapat tercukupi dengan kapasitas 2 pompa yang dapat menghasilkan

debit air 20 lt/dtk dan 15 lt/dtk. Jadi tidak perlu ada penambahan pompa lagi.

2. Pemanfaatan jaringan perpipaan aksisting untuk proyeksi sampai dengan tahun 2019 kurang layak, sebab sebagian besar tekanan pada titik simpul lebih besar dari 100 m H2O sehingga dalam waktu

jangka panjang dapat menyebabkan kebocoran pada jaringan perpipaan. Adapun kecepatan aliran

pada beberapa pipa masihkurang dari 0,1 m/s sehingga dalam waktu jangka panjang dapat

menyebabkan terjadinya penyumpatan pada jaringan perpipaan.

3. Setelah dilakukan simulasi dengan memasang valve dan memperkecil diameter pipa pada beberapa

jaringan perpipaan, kondisi jaringan sudah lebih baik hal ini dapat dilihat dari tekanan pada titik

simpul lebih kecil dari 100 m H2O dan kecepatan aliran pada pipa sudah lebih besar dari 0,1 m/s.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 1987, Buku Utama Sistem Jaringan Pipa. Jakarta : DPUD Jenderal Cipta Karya Direktorat Air Bersih.

2. Anonim, 2000, User Manual EPANET 2. Jakarta : EKAMITRA Engineering.

3. Priyantoro, Dwi. (1991). Hidrolika Saluran Tertutup. Malang : Fakultas Teknik Universitas

Brawijaya.

4. Triadmodjo, B. (1993). Hidraulika I. Yogyakarta : Beta Offset.

5. Triadmodjo, B. (1993). Hidraulika II. Yogyakarta : Beta Offset.

Page 50: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-50

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 51: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-51

PEMODELAN HUJAN-DEBIT MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS

DI DAS SAMPEAN BARU

Nur Azizah Affandy1 dan Nadjadji Anwar

2

1Mahasiswa S2 MRSA Jurusan Teknik Sipil- FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp.

08113407073, email : [email protected] 2Dosen Jurusan Teknik Sipil- FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 0811329039, email :

[email protected]

ABSTRAK

Banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air akibat perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan terpola dengan baik serta tidak berwawasan

lingkungan, sehingga akibat dari perubahan tata guna lahan itu mengakibatkan bertambahnya volume

debit banjir rancangan yang terjadi pada DAS tersebut.

Oleh sebab itu permodelan hujan-debit merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis

proses yang terjadi di lapangan. Kemampuan pengukuran hujan-debit aliran sangat diperlukan untuk

mengetahui potensi sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Model hujan-debit dapat dijadikan sebuah alat

untuk memonitor dan mengevaluasi debit sungai melalui pendekatan potensi sumberdaya air permukaan

yang ada. Suatu wilayah DAS dibagi menjadi sub–sub DAS untuk mendapatkan informasi dan hasil

running yang lebih terperinci. Dalam studi ini DAS Sampean Baru dibagi menjadi 10 sub DAS dengan

luas total 718, 896 km2 dengan outlet AWLR Kloposawit. Dalam studi ini menggunakan model HEC-

HMS karena dalam HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi, kemampuan simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu dan kemampuan GIS.

Hasil dari pemodelan tahun 2003-2007 ini, didapatkan besarnya debit puncak (peak flow) adalah

sebesar 101.4 m3/det yang diakibatkan hujan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2003 sedangkan debit

puncak dilapangan sebesar 242.78 m3/det yang diakibatkan hujan yang terjadi pada tanggal 27 Februari

2003. Sedangkan Analisa Kalibrasi dengan metode RMSE pada tahun 2005 memberikan nilai RMSE

terkecil 3.7 sedangkan dengan metode Nash tahun 2006 memberikan nilai terkecil -0.2 dengan parameter

karakteristik DAS Sampean baru yang berpengaruh adalah : Nilai CN, Initial Loss, Imperviousness, Time

lag dan Muskingum Routing nilai K dan nilai X.

Kata kunci : Pemodelan, Hujan, Debit, HEC-HMS

1. PENDAHULUAN

Banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air

akibat perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan terpola dengan baik serta tidak berwawasan

lingkungan, sehingga akibat dari perubahan tata guna lahan itu mengakibatkan bertambahnya volume debit banjir rancangan yang terjadi pada DAS tersebut

Pemodelan hujan-debit merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses yang terjadi

di lapangan. Kemampuan pengukuran hujan-debit aliran sangat diperlukan untuk mengetahui potensi

sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Model hujan-debit dapat dijadikan sebuah alat untuk memonitor

dan mengevaluasi debit sungai melalui pendekatan potensi sumberdaya air permukaan yang ada. Suatu

wilayah DAS dibagi menjadi sub–sub DAS untuk mendapatkan informasi dan hasil running yang lebih

terperinci. Dalam studi ini membahas suatu analisa model hubungan hujan dan debit dari data curah hujan

harian dan data curah hujan jam-jaman pada DAS Sampean Baru dengan membagi DAS menjadi 10 sub

DAS dengan luas total 718, 896 km2 dengan outlet AWLR Kloposawit dan menguji keandalan model

tersebut.

Dalam studi ini menggunakan model HEC-HMS karena dalam HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi, kemampuan simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu dan kemampuan

GIS.

2. DASAR TEORI

Salah satu model transformasi hujan menjadi aliran khususnya untuk aliran rendah (lowflow) adalah

model HEC-HMS. Model ini merupakan model hidrologi numerik yang dikembangkan oleh Hydrologic

Engineering Centre (HEC) dari US Army Corps Of Engineers. Program HEC-HMS merupakan program

komputer untuk menghitung transformasi hujan dan proses routing pada suatu sistem DAS. Model ini

dapat digunakan untuk menghitung volume runof, direct runoff, baseflow dan channel flow. Seperti yang

dijelaskan dalam buku ”Hydrologic Modeling System (HECHMS) Technical Reference Manual”,

program HEC-HMS ini merupakan program komputer untuk menghitung pengalihragaman hujan dan

Page 52: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-52

proses routing pada suatu sistem DAS. Software ini dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Centre

(HEC) dari US Army Corps Of Engineers. Dalam software HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi maupun

simulasi model distribusi, model menerus dan kemampuan membaca data GIS.

TABEL 2. 1. FASILITAS KOMPUTASI DAN MODEL YANG TERDAPAT DALAM HEC-HMS

Komputasi Model

Precipitation User hyetograph

User gage weighting

Inverse distance gage weights

Gridded precipitation

Frequency storm

Standard project storm

Volume runoff Initial and Constant rate

SCS curve number (CN)

Gridded SCS CN

Green and Ampt Deficit and constant rate

Soil moisture accounting (SMA)

Gridded SMA

Direct runoff (overland flow

dan interflow)

(overland flow dan interflow)

User-spesified unit hydrograph

Clark’s UH

Snyder’s UH

SCS UH

Modclark

Kinematic wave

Baseflow Constant monthly

Exponential recession

Linier reservoir

Channel flow Kinematic wave

Lag

Modified Puls Muskingum

Muskingum-Cunge Standard Section

Muskingum-Cunge 8-point Section

Sumber : Technical Refence Manual HEC-HMS 2000

2.1. Metode Perhitungan Volume Limpasan Dengan Hec Hms

Lapisan kedap air adalah bagian dari DAS yang memberikan kontribusi berupa limpasan langsung

tanpa memperhitungakn infiltrasi, evaporasi ataupun jenis kehilangan volume lainnya. Sedangkan

jatuhnya air hujan pada lapisan yang kedap air juga merupakan limpasan.

Didalam pemodelan HEC-HMS ini, terdapat beberapa metode perhitungan limpasan (runoff) yang

dapat kita gunakan, yaitu (HEC-HMS Technical Reference Manual, 2000:38):

1. The initial and constant-rate loss model,

2. The deficit and constant-rate loss model,

3. The SCS curve number (CN) loss model (composite or gridded), dan

4. The Green and Ampt loss model.

Karena keterbatasan ketersediaan data lapangan yang dibutuhkan didalam penggunaan metode-

metode perhitungan tersebut diatas, maka penulis memilih metode SCS curve number (CN) yang dianggap paling mudah di aplikasikan dalam perhitungan.

2.1.1. Limpasan Scs Curve Number (Cn)

Metode perhitungan dari Soil Conservation Service (SCS) curve number (CN) beranggapan bahwa

hujan yang menghasilkan limpasan merupakan fungsi dari hujan kumulatif, tata guna lahan, jenis tanah

serta kelembaban. Model perhitungannya adalah sebagai berikut (HEC-HMS Technical Reference

Manual, 2000:40):

SIP

IPP

a

a

e

2

..........................................................................................................(2 - 1)

dengan : Pe = Hujan kumulatif pada waktu t

Page 53: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-53

P = Kedalaman hujan kumulatif pada waktu t

Ia = Kehilangan mula-mula (initial loss)

S = Kemampuan penyimpanan maksimum

Hubungan antara nilai kemampuan penyimpanan maksimum dengan nilai dari karakteristik DAS

yang diwakili oleh nilai CN (curve number) adalah sebagai berikut :

CN

CNS

.101000 (English Unit) .......................................................................... (2 - 2)

CN

CNS

.25425400 (Metric Unit) ........................................................................... (2 - 3)

Nilai dari CN (curve number) bervariasi dari 100 (untuk perumukaan yang digenangi air) hingga

sekitar 30 (untuk permukaan tak kedap air dengan nilai infiltrasi tinggi).

2.2. Metode Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetis

Dalam pemodelan menggunakan HEC-HMS ini, disediakan beberapa pilihan metode yang dapat

digunakan untuk perhitungan hidrograf satuan. Metode-metode yang ada antara lain adalah (HEC-HMS

Technical Reference Manual, 2000:56) :

1. Hidrograf satuan sintetis Snyder 2. Hidrograf satuan SCS (Soil Conservation Service)

3. Hidrograf satuan Clark

4. Hidrograf satuan Clark modifikasi

5. Hidrograf satuan Kinematic Wave

2.2.1. Hidrograf Satuan Scs

Model SCS Unit Hidrograf adalah suatu Unit Hidrograf yang berdimensi, yang dicapai puncak

tunggal Unit Hidrograf. SCS menyatakan bahwa puncak Unit Hidrograf dan waktu puncak Unit

Hidrograf terkait oleh:

………………………………….……………………………………. (2 - 4)

di mana A = daerah aliran air; dan C = konversi tetap (208 di SI dan 484 di dalam sistem kaki). Waktu

puncak (juga yang dikenal sebagai waktu kenaikan) terkait kepada jangka waktu unit dari kelebihan hujan, seperti :

…………………………………………………………….…….. (2 - 5)

di mana t = jangka waktu kelebihan hujan dan tlag = perbedaan waktu antara pusat massa dari kelebihan

curah hujan dan puncak dari Unit Hidrograf. Perlu dicatat bahwa untuk t, yang kurang dari 29% dari tlag harus digunakan (USACE, 1998).

Ketika waktu keterlambatan tersebut ditetapkan, HEC-HMS memecahkan persamaan untuk

menemukan waktu dari puncak Unit Hidrograf dan untuk menemukan puncak Unit Hidrograf.

2.3. Metode Perhitungan Baseflow

HEC-HMS menyediakan tiga macam metode didalam penentuan baseflow yang akan digunakan

dalam perhitungan selanjutnya. Ketiga metode tersebut adalah (HEC-HMS Technical Reference Manual,

2000:75) :

1. Metode konstan bulanan

2. Metode penurunan eksponensial (exponential recession model) 3. Metode volume tampungan linear (linear-reservoir volume accounting model)

Dalam perhitungannya, penulis menggunakn metode konstan bulanan didalam penentuan besaran

baseflow. Hal ini karena ketiadaan data sekunder yang dapat digunakan jika ingin akan menggunakan

metode yang lainnya.

2.4. Kriteria Kalibrasi Model

Dalam proses kalibrasi ini, kita diharapkan dapat menentukan nilai parameter-parameter dari

karakteristik DAS daerah studi kita seperti nilai CN (Curve Number), resapan awal (Initial abstraction),

luasan daerah kedap air (imperviousness) atau nilai baseflow sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang

paling mendekati dengan kondisi di lapangan. Parameter yang digunakan sebagai acuan dalam proses

kalibrasi ini adalah nilai dari debit banjir pada outlet dari DAS daerah studi kita. Nilai debit banjir yang biasanya kita dapatkan dari pencatatan AWLR (Automatic Water Level recorder) atau alat pencatat debit

otomatis ini akan kita cek dengan nilai debit banjir yang dihasilkan oleh perhitungan HEC-HMS. Sebaran

Page 54: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-54

dari kedua nilai inilah yang perlu diperhatikan. Semakin kecil sebarannya, maka semakin baik kualitas

pemodelan yang telah kita lakukan.

Tabel 2.2. Nilai Parameter Untuk Kalibrasi Model HEC-HMS

Model Parameter Min Max

SCS Loss Initial abstraction

Curve number

0 mm

1

500 mm

100

SCS UH Lag 0.1 min 30000 min

Baseflow Initial baseflow

Recession factor

Flow-to-peak ratio

0 m3/s

0.000011

0

100000 m3/s

-

1

Muskingum Routing K

X

Number of steps

0.1 hr

0

1

150 hr

0.5

100

Sumber : Panduan HEC-HMS (Suhartanto, 2008)

2.12. Kriteria Penampilan Model

Kriteria Kalibrasi model adalah salah satu cara mengkaji model untuk mengetahui parameter-parameter yang dipakai model dapat diterapkan pada kondisi lapangan atau kondisi rencana. Hasil

pengukuran AWLR debit sungai Sampean digunakan sebagai data (measurement data) yang akan

dibandingkan dengan hasil simulasi.

Adapun metode untuk menentukan criteria penampilan atau kalibrasi model terhadap hasil

pengamatan dilapangan sebagai berikut. (G. Drogue, A.El Idrissi, L.Pfister, T. Leviandier, J.F. Iffly, and

L. Hoffmann).

1. Root Mean Square Errors (RMSE)

RMSE bertujuan untuk mempresentasikan rata-rata kuadrat simpangan (selisih) antara nilai keluaran

model terhadap nilai pengukuran atau target. Nilai Root Mean Square Errors (RMSE) mensyaratkan

mendekati satu (1).

…………………………………(2 - 24)

Dimana : Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)

Qsim = debit hasil pemodelan (m3/dt)

2. Nash

Metode kalibrasi dengan menggunakan Nash ini adalah dengan membandingkan kuadrat selisih debit

hasil simulasi dan debit hasil pengamatan dengan kuadrat selisih debit pengamatan dan rata-rata debit

pengamatan. Metode Nash mensyaratkan pemodelan dikatakan valid jika nilainya mendekati nol (0).

Nash memberikan persamaan sebagai berikut :

…………………………………………(2 - 25)

Dimana : Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)

Qsim = debit hasil simulasi (m3/dt)

= rata-rata debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)

3. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penyusunan studi ini diperlukan data- data yang mendukung baik itu data primer maupun data

sekunder.

Pada tahap analisa akan dilakukan proses memasukkan parameter-parameter yang diperlukan dalam

model HEC-HMS dari berbagai data yang telah ada. Dalam analisa data input yang digunakan ada dua

yaitu : Data hujan harian dan data hujan jam-jaman. Setelah semua parameter dimasukkan dalam model,

maka langkah selanjutnya proses simulasi model yang hasilnya diharapkan akan sesuai dengan kenyataan

dilapangan.

Pada tahap kesimpulan dan saran diberikan ulasan mengenai hasil simulasi yang merupakan pokok dari studi. Dari hasil simulasi akan diketahui sejauh mana keandalan dari model HEC-HMS tersebut dan

diberikan kesimpulan mengenai hasil simulasi serta saran untuk pengembangan studi selanjutnya.

4. HASIL

4.1. Lokasi Studi

Sungai Sampean adalah salah satu sungai yang berada di daerah kabupaten Bondowoso, dengan oulet

pada Sta AWLR Kloposawit yang memiliki luas wilayah 718.896 km2 yang secara geografis berada pada

koordinat antara 113°60′10″ - 113°12′26″ BT dan 7°70′10″ - 8°00′41″ LS. Kabupaten Bondowoso

memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar 15,40 0C - 25,10 0C,

Page 55: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-55

4.2. Analisa Hidrologi

4.2.1. Data Curah hujan

Di lokasi studi terdapat 33 stasiun hujan manual dan tiga stasiun ARR, dalam penelitian ini diambil

tiga stasiun penakar hujan ARR mewakili 10 subdas yaitu Stasiun Sentral, Stasiun Maesan dan Stasiun

Tlogo dengan outlet pada Stasiun AWLR Kloposawit. Data hujan yang digunakan dalam analisa tersebut

meliputi data curah hujan harian dengan periode pengamatan tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.

4.2.2. Curah Hujan Harian Maksimum Data curah hujan harian maksimum yang terjadi di DAS Sampean dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Curah Hujan Harian Maksimum Sub DAS Sampean Baru

No Tahun Curah Hujan Harian Maksimum

1 2003 65 83 70

2 2004 96 104 68

3 2005 108 103 68

4 2006 118 101 67

5 2007 75 81 83

Sumber : Hasil Analisa

4.3. Metode Poligon Thiessen Tabel 4.2. Koefisien Thiessen DAS Sampean Baru

Nama Stasiun Luas (km²) Bobot

Sentral 296.904 0.413

Maesan 94.894 0.132

Tlogo 327.098 0.455

Jumlah 718.896 1.000

Sumber : Hasil perhitungan

Gambar 4.1. Pengaruh Stasiun Hujan pada tiap SubDas pada DAS Sampean

4.4. Pemodelan dengan HEC-HMS

4.4.1. Penentuan Batas DAS dan Pembuatan DEM AVSWAT 2000

Gambar 4.2. Tampilan Hasil Batas DAS dan Pembagian subdas dengan outlet di Kloposawit

4.5. Input Data HEC-HMS

4.5.1. Basin Model Attributes

Page 56: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-56

Gambar 4.3. Tampilan Hasil Pemodelan DAS Proses HEC-HMS

4.5.2. Input Data Meteorologic Model

Pada toolbar Component melalui perintah Meteorologic Model dengan pilihan new akan

mengidentifikasikan stasiun hujan yang terdekat pada masing-masing subbasin. Dalam studi ini

menggunakan metode Gage Weight karena stasiun hujan dimodelkan karena penggaruh polygon

Thiessen.

Tabel 4.3. Meteorologic model stasiun hujan Sub Das Sampean Baru

No Sub Das Stasiun Bobot

1 Sub Das 1

Sentral 0.00002

0.09725 Maesan 0.01550

Tlogo 0.08173

2 Sub Das 2 Sentral 0.04402

0.14038 Maesan 0.09636

3 Sub Das 3 Sentral 0.00001 0.00001

4 Sub Das 4

Sentral 0.02028

0.04542 Maesan 0.01944

Tlogo 0.00570

5 Sub Das 5 Sentral 0.16604 0.16604

6 Sub Das 6 Sentral 0.00738

0.01181 Tlogo 0.00443

7 Sub Das 7

Sentral 0.00036

0.24180 Maesan 0.00117

Tlogo 0.24027

8 Sub Das 8 Sentral 0.00109

0.00175 Tlogo 0.00066

9 Sub Das 9 Sentral 0.11041

0.11042 Tlogo 0.00001

10 Sub Das 10 Sentral 0.06344

0.18511 Tlogo 0.12167

Jumlah 1.00

Sumber : Hasil Analisa

4.5.3. Input Data hujan

Data Hujan dari stasiun yang terdapat di DAS Sampean Baru adalah Sentral, Maesan dan Tlogo.

Adapun data hujan yang digunakan adalah tahun 2003 -2007 karena data debit AWLR Kloposawit tahun 2003-2007 adalah yang paling lengkap.

4.5.4. Parameterisasi Basin Model

a. Parameter Basin Loss Rate (SCS Curve Number)

Tabel 4.4. Nilai Parameter SCS Curve Number

No Sub basin Initial Loss CN impervious

1 Sub basin 1 11.223 81.905 1.229

2 Sub basin 2 13.465 79.047 0.135

3 Sub basin 3 13.466 79.047 0.217

4 Sub basin 4 18.228 73.594 21.213

5 Sub basin 5 13.984 78.415 0.509

6 Sub basin 6 13.504 78.999 0.593

7 Sub basin 7 13.207 79.366 0.779

8 Sub basin 8 14.046 78.339 0.159

Page 57: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-57

9 Sub basin 9 13.594 78.890 1.533

10 Sub basin 10 13.210 79.362 3.237

Sumber : Hasil Perhitungan

b. Parameter Basin Transform (SCS Unit Hydrograph)

Tabel 4.5. Nilai Lag Time

No Sub basin Lag Time

1 Sub basin 1 86.569

2 Sub basin 2 127.980

3 Sub basin 3 94.825

4 Sub basin 4 0.250

5 Sub basin 5 279.295

6 Sub basin 6 105.698

7 Sub basin 7 168.410

8 Sub basin 8 526.575

9 Sub basin 9 130.320

10 Sub basin 10 41.689

Sumber :Hasil Perhitungan

c. Penelusuran Banjir

Untuk penelusuran banjir menggunakan metode Muskingum, nilai Muskingum-Routing

Tabel 4.6. Nilai Muskingum Routing

No Reach Name Muskingum K (hrs) Muskingum X Number of Reach

1 Reach-1 80 0.2 5

2 Reach-2 85 0.2 4

3 Reach-3 90 0.2 3

4 Reach-4 95 0.2 2

5 Reach-5 100 0.2 1

Sumber : Hasil Analisa

4.6. Hasil Pemodelan HEC-HMS

4.6.1. Pemodelan Tahun 2003

Jan Mar May Jul Sep Nov

2003

Flow

(M3/

S)

0

50

100

150

200

250

Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"

Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:Run 1 Element:OUTLET Result:Outf low

Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low

Gambar 4.4. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2003 dan Hasil Kalibrasi

Dari Hasil Analisa Peak Flow Pemodelan = 101.4 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2003.dengan Base flow 0.2 m3/dt. . Sedangkan Peak Discharge = 242.78 m3/dt terjadi pada

tanggal 27 Februari 2003

Page 58: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-58

4.6.2. Pemodelan Tahun 2004

Jan Mar May Jul Sep Nov

2004

Flo

w (

M3/S

)

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"

Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low

Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low

Gambar 4.5. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2004 dan Hasil Kalibrasi

Dari Hasil Analisa Peak Flow = 40.3 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 27 Desember 2004.

Base flow 0.6 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 40.44 m3/dt tanggal 23 Januari 2004

4.6.3. Pemodelan Tahun 2005

Jan Mar May Jul Sep Nov

2005

Flo

w (

M3

/S)

0

5

10

15

20

25

30

Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"

Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low

Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low

Gambar 4.14. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2005 dan Hasil kalibrasi

Dari Hasil Analisa Peak Flow = 28.7 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 30 Desember 2005.

Base flow 0.75 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 21.85 m3/dt tanggal 30Desember 2005.

4.6.4. Pemodelan Tahun 2006

Jan Mar May Jul Sep Nov

2006

Flo

w (

M3

/S)

0

5

10

15

20

25

30

Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"

Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low

Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low

Gambar 4.15. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2006 dan Hasil Kalibrasi

Dari Hasil Analisa Peak Flow = 26.2 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 01 April 2006. Base

flow 0.6 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge =24.14 m3/dt pada tanggal

31 Maret 2006

Page 59: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-59

4.6.5. Pemodelan Tahun 2007

Jan Mar May Jul Sep Nov

2007

Flo

w (

M3/

S)

0

5

10

15

20

Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"

Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:Run 1 Element:OUTLET Result:Outf low

Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low

Gambar 4.16. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2007

Dari Hasil Analisa Peak Flow = 20.1 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 25 Desember 2007.

Base flow 0.2 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 22.78 m3/dt pada tanggal 07 Maret 2007.

4.7. Kriteria Penampilan Model

Tabel. 4.7. Hasil Kalibrasi Pemodelan Das Sampean Baru

Tahun Metode Kalibrasi

RMSE Nash

2003 20.09 0.3

2004 6.63 -0.3

2005 3.794 -0.6

2006 4.473 -0.2

2007 4.149 -0.8

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan, antara lain :

1. Besarnya debit banjir maksimum pada Das Sampean berdasarkan data historis tahun 2003-2007

menggunakan HEC-HMS adalah :

No Tahun Debit Max (m3/dt) Tanggal Terjadi

1. 2003 101.4 28 Februari 2003

2. 2004 40.3 27 Desember 2004

3. 2005 28.7 30 Desember 2005

4. 2006 26.2 01 April 2006

5. 2007 20.1 25 Desember 2007

2. Uji keandalan model menggunakan Metode RMSE memberikan hasil bahwa pemodelan pada

tahun 2005 mempunyai nilai RMSE (Root Mean Square Error) paling kecil yaitu 3.7 mendekati satu

sedangkan tahun 2006 mempunyai nilai Nash = 0.2 mendekati 0.

Daftar Pustaka

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada

University Press. Chow, Ven Te. 1997. Hidrolika Saluran Terbuka. Erlangga. Jakarta.

Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Soemarto, C. D. 1987. Hidrologi Teknik. Jakarta. Erlangga Suhartanto, Ery. 2998. Panduan HEC-HMS dan Aplikasinya di Bidang Teknik Sumber Daya Air. Malang.

CV Citra. USACE. 2000. Hydrologic Modelling System HEC HMS Technical Reference Manual. Maret 2000.

http://www.hec.usace.army.mil.

USACE. 2002. Hydrologic Modelling System HEC HMS Applications Guide. Desember 2002.

http://www.hec.usace.army.mil.

USACE. 2000. Geospatial Hydrologic Modelling Extension HEC GeoHMS Users Manual. Juli 2000.

http://www.hec.usace.army.mil.

Page 60: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-60

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 61: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-61

STUDI SEDIMENT DELIVERY RATIO MENGGUNAKAN AVSWAT-X DI DAERAH ALIRAN

SUNGAI WADUK PACAL BOJONEGORO

Zulis Erwanto1)

, Nadjadji Anwar2)

, dan Bambang Sarwono3)

1) Mahasiswa Program Magister Teknik Sipil, Jurusan Manajemen & Rekayasa Sumber Air, FTSP ITS

Surabaya (e-mail : [email protected]) 2) Professor, Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo

Surabaya, Telp 031-5946094 (e-mail : [email protected]) 3) Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya,

Telp 031-5946094 (e-mail : [email protected])

ABSTRAK

Akhir-akhir ini anak-anak sungai di DAS Waduk Pacal mengalami peningkatan banjir, baik

frekuensi maupun kuantitas debitnya serta angkutan sedimennya (debit solid). Hal tersebut

menyebabkan pendangkalan dan berkurangnya tampungan di dasar Waduk Pacal karena

sedimen yang terus bertambah setiap tahunnya akibat kerusakan lahan dan pengikisan tanah di

daerah hulu. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan laju erosi dan menentukan besarnya

Sediment Delivery Ratio (SDR) yang terendapkan di Waduk Pacal sebagai titik kontrol erosi

yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro.

Untuk menganalisis hal tersebut diperlukan suatu model yang berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu menggunakan alat bantu software ArcView SWAT-X. Dengan bantuan

SIG ini diharapkan mempermudah untuk menginterpretasikan suatu analisis data dalam bentuk

peta zonasi laju erosi.

Dari hasil analisa spasial SIG, total tingkat laju erosi di DAS Waduk Pacal sebesar 198,46

ton/ha/th (18,04 mm/th), dengan luas lahan kategori tingkat bahaya erosi rendah sebesar 62,89%

dan kategori tingkat bahaya erosi sedang sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal yaitu

sebesar 81,8 Km2. Sedangkan besarnya Sediment Delivery Ratio (SDR) DAS Waduk Pacal

adalah sebesar 0,506 (50,6%), sehingga diperoleh hasil sedimen (sediment yield) rata-rata

pertahunnya adalah sebesar 100,37 ton/ha/th (9,12 mm/th) atau sama dengan 747.254 m3/th.

Dari hasil ini diharapkan adanya pemeliharaan DAS Waduk Pacal dengan berbagai tindakan

seperti konservasi dan rehabilitasi lahan dan hutan.

Kata kunci : ArcView SWAT-X, DAS Waduk Pacal, Laju Erosi, Sediment Delivery Ratio.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Variabel penyebab terjadinya banjir adalah kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis, seperti

terjadinya perubahan atau penyimpangan tata guna lahan. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa

perubahan penggunaan lahan mayoritas akibat penebangan hutan dan pembukaan lahan baru untuk

perladangan, persawahan dan pemukiman. Secara hidrologis, dampak yang terjadi adalah meningkatnya

aliran limpasan permukaan, menurunnya laju infiltrasi, tererosinya lahan dan terjadinya banjir, sehingga

memerlukan upaya penanganan dan pengelolaan lebih lanjut untuk mencegah kerusakan yang terjadi di

daerah aliran sungai tersebut.

Potensi banjir dan kerusakan daerah aliran sungai itupun dikhawatirkan terjadi di Daerah Aliran Sungai Pacal Kabupaten Bojonegoro. Saat ini kondisi kapasitas tampungan Waduk Pacal berdasarkan

pengamatan dari UPT. Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo Bojonegoro telah

berkurang dari 41.550.000 m3 menjadi 21.500.000 m3. Berkurangnya tampungan Waduk Pacal ini

diakibatkan adanya pendangkalan di dasar waduk karena sedimen yang terus bertambah setiap tahunnya

akibat kerusakan lahan dan pengikisan tanah di daerah hulu. Akhir-akhir ini pula anak – anak sungai di

DAS Waduk Pacal juga mengalami peningkatan banjir, baik frekuensi maupun kuantitas debitnya serta

angkutan sedimennya (debit solid).

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan studi Sediment Delivery Ratio (SDR) dari fenomena

tingginya curah hujan yang menyebabkan terjadinya banjir dan pendangkalan Waduk Pacal akibat laju

erosi yang tinggi. Dengan menggunakan permodelan yang berbasis Sistem Informasi Geografis yaitu

menggunakan alat bantu software ArcView SWAT-X. Dengan bantuan Sistem Informasi Geografis ini

Page 62: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-62

diharapkan mempermudah untuk menginterpretasikan suatu analisis data dalam bentuk peta zonasi laju

erosi.

1.2 Permasalahan

Bagaimanakah analisis laju erosi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro dengan alat bantu

program ArcView SWAT-X dan berapa Sediment Delivery Ratio (SDR) yang dihasilkan di Waduk Pacal

sebagai titik kontrol erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : Menganalisis besarnya laju erosi lahan pada DAS Waduk Pacal

Kabupaten Bojonegoro dengan alat bantu program ArcView SWAT-X, dan mengetahui persentase

Sediment Delivery Ratio (SDR) yang terendapkan di Waduk Pacal sebagai titik kontrol erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro.

2. DASAR TEORI

2.1 Perkiraan Laju Erosi

Wischmeier dan Smith (1978) merumuskan proses besarnya erosi yang terjadi dalam bentuk

Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT), atau dikenal dengan nama “Universal Soil Loss Equation

(USLE)”, yaitu (Arsyad, 2000 : 248):

A = R . K . LS . C . P (2.1)

dengan :

A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/th)

R = Indeks erosivitas hujan dan aliran permukaan, tahunan (KJ/ha) K = Faktor erodibilitas tanah (ton/KJ)

LS = Faktor Topografi terdiri dari Faktor Panjang Lereng (L) dan Faktor Kemiringan Lereng (S)

C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman

P = Faktor tindakan khusus konservasi tanah

2.2 Indeks Bahaya Erosi, IBE

Indeks bahaya erosi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan rumus berikut (Hammer,

1981 dalam Arsyad, 2000 : 274) :

)//(

)//()(

thhatonEdp

thhatonPotensialErosiIBEErosiBahayaIndeks (2.2)

dengan :

Erosi potensial = R . K . LS (ton/ha/th)

Edp = Erosi yang masih diperbolehkan (ton/ha/th)

Penentuan kategori (harkat) hasil perhitungan indeks bahaya erosi pada masing-masing satuan lahan di

suatu DAS dapat ditentukan dengan cara memasukkan pada klasifikasi Indeks Bahaya Erosi seperti Tabel

2.1 berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi

No. Indeks Bahaya Erosi (IBE) Kategori/Harkat

1. < 1,00 Rendah

2. 1,01 – 4,00 Sedang

3. 4,01 – 10,00 Tinggi

4. > 10,01 Sangat Tinggi

Sumber : Arsyad, 2000 : 275

2.3 Sediment Delivery Ratio (SDR)

Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah

tererosi dari daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivery Ratio

(SDR).

Menurut Asdak, untuk menentukan besarnya SDR adalah dengan menggunakan persamaan berikut :

(Asdak, 2004 : 408)

Page 63: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-63

A

SYSDR

(2.3)

dengan : SDR = Sediment Delivery Ratio

SY = Sediment Yield yang di peroleh di outlet DAS/sub DAS

A = Erosi total yang berasal dari daerah tangkapan air (termasuk erosi parit, erosi kulit, dan erosi

alur) yang berlangsung di bagian atas outlet

Berdasarkan Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Lembaga Penelitian IPB,

Penelitian Hidro-orologi di Proyek Bendungan Karangkates merumuskan suatu hubungan fungsional

seperti berikut :

1

1

..502

.10

0

Ans

AsSDR

(2.4)

dengan :

SDR = Angka perbandingan sedimen suatu DAS, 0 < SDR < 1

A = Luas DAS, Ha

s = Kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS, %

n = Koefisien kekasaran Manning ρ0 = 0,8683216132

ρ1 = - 0,2018621338

Berikut adalah diagram hubungan variabel – variabel antara Sediment Delivery Ratio dengan erosi tanah

didalam proses mencari hasil sedimen (Sediment Yield).

Gambar 2.1 Diagram Proses Hasil Sedimen (Sediment Yield) Dengan Metode RUSLE (Da Ouyang, 2001)

2.4 Model Pendugaan Erosi

2.4.1 ArcView SWAT-X (Soil and Water Assessment Tool)

SWAT yaitu suatu model skala lembah sungai (river basin), atau DAS (watershed) yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA Agricultural Research Service (ARS). AVSWAT-X

adalah sebuah extension dari Arcview dan graphical user interface. SWAT merupakan model skala yang

dikembangkan untuk memprediksi dampak dari praktek pengelolahan lahan terhadap limpasan air,

sedimen dan bahan kimia agrikultur di DAS yang besar dan komplek dengan kondisi tanah, tata guna

lahan dan pengelolaan yang bervariasi (Di Luzio, 2002 : 1).

Gambar 2.2 Proses dan Display ArcView SWAT-X (Di Luzio, M., 2002)

Page 64: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-64

2.4.2 Metode Perhitungan Besarnya Erosi Dengan AVSWAT-X

Untuk memperkirakan besarnya erosi melalui SWAT menggunakan metode MUSLE (Modified

Universal Soil Loss Equation). Metode MUSLE merupakan modifikasi dari USLE (Universal Soil Loss

Equation) yang dikembangkan oleh Williams (1995) (SWAT Theoretical Documentation 2000, 2002 :

216).

CFRGLSPCKareaqQsed USLEUSLEUSLEUSLEhrupeaksurf ........8,1156,0

(2.5)

dengan :

sed = Hasil sedimen per hari (ton)

Qsurf = Volume aliran limpasan permukaan (mm/ha)

qpeak = Debit puncak limpasan (peak runoff rate) (m3/dt)

areahru = Luas HRU (Hydrologic Response Unit) (ha)

KUSLE = Faktor erodibilitas tanah USLE

CUSLE = Faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam USLE

PUSLE = Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) USLE

LSUSLE = Faktor topografi USLE

CFRG = Faktor pecahan batuan kasar

3. METODOLOGI

3.1 Pengumpulan Data

Dalam studi ini hanya menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pengumpulan data-

data yang berasal dari BBWS Bengawan Solo, UPT PSDA WS Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro,

dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bojonegoro, antara lain : data curah hujan, debit, klimatologi

harian dari tahun 2003-2009, data volume sedimen dari beberapa tahun yang terukur, peta digital

topografi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL, peta digital kelerengan, tata guna lahan, jenis tanah,

dan kedalaman tanah (solum tanah), dan data monografi lokasi studi tahun 2009/2010.

3.2 Flowchart Langkah – Langkah Pengerjaan Studi

Gambar 3.1 Bagan Alir Pengerjaan Studi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum DAS Waduk Pacal

Waduk Pacal terletak di Dukuh Tretes, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, Kabupaten

Bojonegoro atau tepatnya berjarak ± 34 Km dari Ibukota Kabupaten Bojonegoro, ke arah selatan

melewati Kecamatan Dander dan Kecamatan Temayang atau bila melewati arah Timur melalui

Kecamatan Balen, Kecamatan Sugihwaras, dan Kecamatan Temayang.

Secara geografis Waduk Pacal terletak di 070 23‟ 25” LS dan 1110 55‟ 00” BT. Sedangkan secara

administratif Waduk Pacal dibatasai oleh :

Page 65: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-65

Sebelah Utara : Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, dan Desa Sumberrejo,

Kecamatan Bubulan.

Sebelah Timur : Desa Gondang dan Desa Kalimati, Kecamatan Temayang.

Sebelah Barat : Gunung Kitiran dan Gunung Dimoro.

Sebelah Selatan : Desa Gondang dan Desa Senganten, Kecamatan Bubulan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Pacal adalah seluas ± 84 Km2 meliputi wilayah besar

Kecamatan Bubulan, dan sebagian Kawasan Temayang, yang sebagian besar merupakan kawasan hutan

di bawah pengelolaan Administratur Perhutani Bojonegoro. Waduk Pacal itu sendiri menampung Kali

Pacal dengan anak-anak sungainya.

Gambar 4.1 Lokasi DAM dan Waduk Pacal (Dok. Survey, 23 April 2010)

Gambar 4.2 Peta DAS Dan Pembagian Sub DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)

4.2 Faktor Topografi

Kemiringan rata-rata untuk daerah genangan adalah 0,0015 sampai dengan 0,0085 dan dalam

kemiringan inilah genangan Waduk Pacal mampu menampung air ± 41.558.450 m3.

Tabel 4.1 Nilai Faktor LS Di DAS Waduk Pacal

No. Kelerengan Kelas

Lereng Kondisi

Luas (Km2)

Faktor LS

% Luas

Nilai LS Per Area

1 0 - 2 % I Datar 45.1 0.05 55.12 0.027

2 2 - 15 % II Landai 29.2 0.08 35.71 0.027

3 15 - 25 % III Agak Curam 6.3 0.17 7.71 0.013

4 25 - 40 % IV Curam 1.0 0.38 1.20 0.005

5 > 40 % V Sangat Curam 0.2 0.65 0.26 0.002

Total 81.8 100

Nilai LS Rata-Rata 0.26 0.015

Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011

Page 66: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-66

Gambar 4.3 Peta Topografi Dan Kemiringan Lereng DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)

4.3 Faktor Geologi

Jenis tanah di wilayah genangan Waduk Pacal rata-rata adalah Litosol berwarna coklat kehitaman

dengan dataran alluvial hingga pertemuan kali Pacal dan Bengawan Solo, dengan rata-rata nilai

erodibilitas tanahnya sebesar 0,08.

Tabel 4.2 Nilai Erodibilitas Tanah Di DAS Waduk Pacal

No. Jenis

Tanah

Tekstur

Tanah Nilai K

Tingkat

Erodibilitas

Luas

(Km2)

%

Luas

Nilai K

Per Area

1 Andosol Ringan 0.09 Sangat Rendah 5.5 6.72 0.01

2 Litosol Berat 0.29 Agak Tinggi 50.6 61.82 0.18

3 Regosol Ringan 0.16 Agak Rendah 25.8 31.46 0.05

Total 81.8 100

Nilai K Rata-Rata DAS 0.08

Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011

Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Dan Polygon Thiessen DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)

4.4 Faktor Hidrologi Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Waduk Pacal adalah sebesar 1411 mm, dengan temperatur

rata-rata tahunan sebesar 28,260C dan evapotranspirasi rata-rata tahunannya adalah sebesar 40 mm/tahun

yang diukur dari pos klimatologi Padangan, dan stasiun hujannya antara lain di stasiun Tretes, Sugihan,

Gondang dan Sukun.

Tabel 4.3 Nilai Erosivitas Hujan Dan Koefisien Thiessen Di DAS Waduk Pacal

No. Stasiun

Hujan Kode

EI30 Rerata

Tahunan

Luas Thiessen

(Km2)

Koefisien Thiessen

(%)

1 Sukun 55a 303.87 25.8 0.315

2 Sugihan 55b 1,020.06 23.2 0.284

3 Gondang 55c 338.83 26.9 0.329

4 Tretes 60a 809.35 6.0 0.073

Total 81.9 1

Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011

Page 67: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-67

4.5 Penggunaan Lahan

Berikut merupakan kondisi penggunaan lahan di DAS Waduk Pacal.

Tabel 4.4 Nilai Faktor C Dan P Pada Tata Guna Lahan Di DAS Waduk Pacal

No. Tata Guna Lahan Nilai

C

Nilai

P

Luas

(Km2)

%

Luas

Nilai CP

Per Area

1 Danau 0.003 0.004 1.8 2.26 0.00003

2 Hutan 0.200 0.300 4.9 5.94 0.357

3 Kebun 0.235 0.348 45.8 55.95 4.569

4 Ladang 0.400 0.600 3.1 3.81 0.913

5 Pemukiman 0.010 1.000 2.6 3.14 0.032

6 Sawah Irigasi 0.075 0.050 4.3 5.21 0.020

7 Sawah Tadah Hujan 0.080 0.119 10.9 13.28 0.126

8 Semak Belukar 0.300 0.450 6.8 8.29 1.119

9 Sungai 0.048 0.072 0.3 0.36 0.001

10 Tanah Kosong/Padang Rumput 0.825 0.901 1.4 1.76 1.311

Total 81.8 100

Nilai CP Rata-Rata 0.845

Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011

Gambar 4.6 Peta Tata Guna Lahan Beserta Kondisi Penggunaan Lahan DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa

Dan Dok. Survey, 23 April 2010)

4.6 Hasil Analisa Laju Erosi Dan Hasil Sedimen

Secara umum kondisi DAS di Waduk Pacal terjadi penurunan daya dukung daerah tangkapan air

yang diawali dari kerusakan hutan, beralih fungsinya lahan sehingga mengurangi luas areal hutan, karena

tidak sesuai dengan prinsip konservasi tanah dan air, pengelolaan tata ruang yang lebih berorientasi pada

keuntungan semata daripada ramah lingkungan.

Permasalahan ini berkembang dengan terjadinya peningkatan kejadian erosi, longsoran tebing, dan

sedimentasi pada anak-anak sungai yang masuk kedalam waduk, yang lama-kelamaan mengurangi kapasitas daya tampung air di waduk. Hal ini terbukti dengan adanya sedimentasi waduk yang terus

mengalami peningkatan disetiap tahunnya.

Berdasarkan hasil analisa spasial Sistem Informasi Geografis, nilai total tingkat laju erosi yang terjadi di

DAS Waduk Pacal adalah sebesar 198,46 ton/ha/th atau sama dengan 18,04 mm/th atau setara dengan

1.477.579 m3/th.

Dengan menggunakan persamaan (2.4) dari Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, Lembaga Penelitian IPB, dimana kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS Waduk Pacal

adalah sebesar 26% dan koefisien kekasaran Manning diambil 0,048, sehingga diperoleh Sediment

Delivery Ratio (SDR) sebesar 0,506 (50,6%). Jadi hasil sedimen (Sediment Yield) rata-rata setiap

tahunnya yang terendapkan di Waduk Pacal adalah sebesar 100,37 ton/ha/th atau sama dengan 9,12

mm/th atau setara dengan 747.254 m3/th.

Hasil ekstrapolasi data volume tampungan Waduk Pacal antara tahun 2007 sampai 2010 didapatkan hasil endapan sedimen lapangan sebesar 640.684 m3/th. Jadi tingkat kesalahan model (error) adalah

sebesar (747.254 – 640.684 m3/th) / 640.684 m3/th = 0,166 (16,6%) dan tingkat keakurasian model adalah

sebesar 83,4%.

Page 68: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-68

Gambar 4.7 Peta Laju Erosi Dan Tingkat Bahaya Erosi DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)

Tabel 4.5 Luas Lahan Kritis Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di DAS Waduk Pacal

TBE Luas (m2) Luas (Km2) Luas (Ha) % Luas

Rendah 51,474,815.05 51.5 5147.5 62.89

Sedang 30,369,695.92 30.4 3037.0 37.11

Total 81,844,510.97 81.8 8184.5 100

Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011

Berdasarkan analisa spasial, di DAS Waduk Pacal hanya mengalami 2 tingkatan kategori lahan kritis

yaitu rendah dan sedang. Persentase luas lahan tingkat bahaya erosi kategori rendah sebesar 62,89% dan

kategori sedang sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal.

Gambar 4.8 Kondisi Outlet Waduk Pacal Yang Penuh Dengan Sedimen

(Dok. Survey, 7 Agustus 2010)

Gambar 4.9 Kondisi Kekritisan Lahan Pegunungan Di DAS Waduk Pacal

(Dok. Survey, 7 Agustus 2010)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Total tingkat laju erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal adalah sebesar 198,46 ton/ha/th (18,04 mm/th) atau setara dengan 1.477.579 m3/th.

2. Pendekatan nilai SDR (Sediment Delivery Ratio) eksisting untuk DAS Waduk Pacal dengan luas 81,8

km2 adalah sebesar 0,506 (50,6%) didapat hasil sedimen rata-rata tahunan (sediment yield) sebesar

100,37 ton/ha/th atau sama dengan 9,12 mm/th atau setara dengan 747.254 m3/th.

3. Persentase luas lahan Tingkat Bahaya Erosi kategori rendah sebesar 62,89% dan kategori sedang

sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) DAS Waduk Pacal

dapat digunakan untuk memantau kerusakan lahan secara dini dan mengetahui faktor penyebabnya

serta mengambil tindakan alternatif penanggulangan bahaya erosi, yaitu dengan tindakan konservasi

dan rehabilitasi lahan dan hutan.

Page 69: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-69

4. Untuk menekan laju erosi, sebaiknya daerah yang kritis pada zona proteksi dilakukan forestrisasi atau

reboisasi dengan beberapa kombinasi tanaman dan menanam tanaman yang bersifat covering dengan

kerapatan yang tinggi.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. Bogor : IPB Press.

2. Asdak, Chay. 2004. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

3. Neitsch, S. L. et al. 2005. Soil and Water Assessment Tool Theoretical Documentation Version 2005.

Texas : USDA Agricultural Research Service.

4. Ouyang, Da. et al. 1997. Predicting Sediment Delivery Ratio In Saginaw Bay Watershed. Michigan State University : Institute of Water Research.

5. Ouyang, Da. et al. 2005. Assessing Sediment Loading From Agricultural Croplands in The Great

Lakes Basin. The Journal of American Science. http://www.americanscience.org

Page 70: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-70

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 71: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-71

DEGRADASI FUNGSI EMBUNG KECIL SEBAGAI PENYEDIA AIR DI DARATAN TIMOR

Denik Sri Krisnayanti3

ABSTRAK

Sebagian daerah Nusa Tenggara Timur terutama P. Timor mempunyai zona yang mempunyai curah hujan

rendah dan sering mengalami kekeringan setiap tahun sehingga embung menjadi sarana yang tepat untuk

menanggulangi kelangkaan akan air bersih. Embung merupakan salah satu alternatif bangunan penyedia

air bagi masyarakat di daratan Timor. Namun bangunan embung yang ada beberapa diantaranya berfungsi

dengan baik, akan tetapi beberapa buah lainnya mengalami penurunan fungsi.

Untuk menganalisis penurunan / degradasi fungsi embung dilakukan identifikasi permasalahan mencakup bangunan phisik embung, masyarakat sebagai pengguna embung dan pengelolaan operasional

pemeliharaan embung. Analisis dilakukan pada 68 buah embung kecil di daratan Timor dengan usia

bangunan > 8 tahun.

Hasil analisis didapatkan bahwa penurunan fungsi embung disebabkan karena kerusakan pada

instrumen embung rata-rata lebih dari 55%, sedimentasi sebesar 53% dan kerusakan pada spillway

sebesar 40%. Sedangkan yang disebabkan karena konflik horizontal pada masyarakat sebesar 19%.

Adapun dalam meningkatkan kinerja embung agar optimum fungsinya maka diperlukan perencanaan

yang baik dalam pembangunan embung, pemeliharaan dan perawatan yang memadai dengan melibatkan

unsur masyarakat sebagai pengguna embung dan pihak terkait sebagai pengelola operasional embung.

Kata Kunci : embung, degradasi

1. PENDAHULUAN

Sebagian daerah Nusa Tenggara Timur terutama P. Timor mempunyai zona curah hujan yang

rendah dan sering mengalami kondisi kekeringan setiap tahun sehingga embung menjadi sarana yang

tepat untuk menanggulangi kelangkaan akan air bersih,terutama kebutuhan air di pedesaan.

Terdapat sekitar 500 buah embung yang telah dibangun tersebar diseluruh wilayah kota/kabupaten

di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa diantaranya berfungsi dengan baik, akan tetapi beberapa

buah lainnya mengalami penurunan fungsi. Malahan ada embung yang tidak berfungsi lagi, sementara

bangunan tersebut diharapkan oleh masyarakat untuk dapat menjamin kelangsungan hidup mereka terutama jaminan akan adanya air bersih.

Beberapa faktor yang menyebabkan fungsi embung menurun /mengalami degradasi atau kinerja

embung menurun antara lain : 1) terdapat beberapa elemen bangunan/peralatan tidak berfungsi secara

benar atau mekanisme kerja sudah tidak sesuai dengan perencanaan semula; 2) kegiatan operasionalisasi

dan pemeliharaan/perawatan embung tidak dilakukan dengan semestinya; 3) pengguna embung kurang

memperhatikan atau rendahnya pemahaman mengenai sistim kinerja embung dan tidak menaati aturan

pemakaian air embung.

Ketiga aspek tersebut diatas dianalisis sehingga didapatkan hasil yang bisa dijadikan bahan masukan bagi pihak terkait untuk dapat membuat kebijakan yang tepat demi kesinambungan fungsi

pelayanan embung untuk dipertahankan ataupun ditingkatkan.

2. METODE PENELITIAN

Dalam analisis ini, metode yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Melakukan inventarisasi embung kecil dengan usia pembangunan > 8 tahun di daratan Timor.

2. Melakukan identifikasi kerusakan embung dan permasalahan yang terjadi dalam penggunaan air

embung di masyarakat.

3. Menetapkan dan menganalisis parameter degradasi fungsi embung meliputi bangunan phisik dan

masyarakat sebagai pengguna.

4. Merumuskan rekomendasi untuk perbaikan embung ke depan sehingga embung bisa berfungsi secara optimum bagi masyarakat setempat.

5. Menyusun kesimpulan dari hasil analisis yang didapat.

3. ANALISIS DEGRADASI FUNGSI EMBUNG

3.1. Bangunan Phisik Embung

a. Spillway/Pelimpah

3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fak. Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana Kupang, Jl. Adi Sucipto

– Penfui Kupang, Telp.0380-881559/08123794142, email : [email protected]

Page 72: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-72

Spillway merupakan bagian dari konstruksi embung yang berfungsi untuk membuang kelebihan air

dari tampungan yang disebabkan karena tingginya curah hujan, sehingga kapasitas tampungan tidak

terlampaui dan tidak melimpah ke tubuh embung yang menyebabkan kerusakan. Spillway juga harus

mampu mengalirkan kelebihan air tersebut secara cepat.

Pada beberapa embung mempunyai bangunan spillway pada hulu dibuat dengan dasar

tanah,begitu ditemui topologi curam maka spillway tidak lagi saluran tanah tetapi lebih mirip dengan got

miring dan biasanya dimulai dari pertengahan saluran sampai dengan ujung saluran spilway.

Kondisi di lapangan menunjukkan bagian spillway embung banyak mengalami kerusakan karena

terjadi gerusan (scouring).Hal ini terjadi selain karena aliran yang cukup besar pada saat curah hujan

tinggi, juga karakteristik tanah sebagai dasar konstruksi spillway yang melemah pada saat tanah jenuh,

selanjutnya akan tergerus.

Gambar 1. Bentuk spillway embung yang mengalami kerusakan

b. Erosi Daerah Aliran dan Sedimentasi

Erosi adalah proses terkikisnya tanah permukaan akibat akibat aliran air.Sedangkan sedimentasi

adalah mengendapnya butiran tanah hasil erosi yang terbawa aliran air limpasan hujan masuk ke kolam

embung. Proses sedimentasi terkait erat dengan proses erosi, besar sedimentasi berbanding lurus dengan

erosi. Perkecualian pada fenomena longsor,terjadi erosi yang dipercepat.

Penanaman pada bagian hulu embung juga mengakibatkan laju erosi semakin tinggi.Fenomena

terjadi secara alami karena dengan adanya air, masyarakat memanfaatkan lahan di bagian hulu untuk

meningkatkan penghasilannya.Akan tetapi tanpa disadari hal tersebut secara teknis juga menganggu ketahanan tubuh embung.

c. Kerusakan pada Instrumen Embung

Instrumen embung adalah unit peralatan kelengkapan sistim transmisi untuk mengalirkan air dari

kolam embung ke tempat pelayanan. Instrumentasi tersebut adalah:

Pelampung, untuk mengapungkan pipa intake agar dapat mensuplai air.Karena pelampung sifatnya

bisa menyesuaikan permukaan air maka pipa intake akan mengikuti fluktuasi permukaan air.Hanya

disayangkan apabila air mencapai dasar maka pada pengisian kolam saat hujan tiba,pipa akan terisi

lumpur dan akhirnya tersumbat. Dari kasus gagalnya fungsi pelampung mencapai sekitar 60 %.

Pipa distribusi, merupakan pipa utama untuk membawa air ke konsumen.Pada saat

pipa tersumbat,maka sulit bagi masyarakat untuk membersihkan kembali karena pipa yang cukup

panjang tidak mampu membersihkan kotoran yang menyumbat. Bak air untuk minum penduduk, kebanyakan penggunaan kurang maksimal artinya bak biasanya

difasilitasi kran,dan banyak kran yang rusak mengakibatkan air mengalir secara menerus.

Gambar 2. Bak penampung

Page 73: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-73

Saringan pasir cepat, merupakan sistim penyaringan air sederhana agar air yang keruh mengandung

partikel-partikel halus dari embung tersaring pada bak saringan pasir cepat dan diharapkan secara

phisik air bisa diminum setelah dimasak.

Pagar pengaman kolam,diperuntukkan sebagai batas pengamanan kolam agar tidak terganggu oleh

pencemaran kotoran.Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh pagar

embung sudah rusak atau hilang,sehingga hewan ternak dengan leluasa bebas masuk dan minum

sambil membuang kotorannya.

Hal tersebut ternyata membawa dampak psikologis yang mengakibatkan masyarakat tidak mau

memanfaatkan sebagai air minum,apalagi ada yang memanfaatkan untuk mandi dan cuci.Disini

embung beralih fungsi dari peruntukan air minum menjadi air sekedar untuk kebutuhan lain

Ada pula masyarakat membuat sumuran ditepi kolam untuk mendapatkan air bersih dan jernih untuk dikonsumsi air minum.

Gambar 3. Kolam embung yang tanpa pagar pengaman

Alat ukur duga air, merupakan pedoman untuk mengetahui berapa kedalaman air pada saat

itu.Umumnya alat ini masih terdapat di beberapa embung saja.

Bak kebun dan bak minum hewan, umumnya tidak terisi air karena tersumbatnya pipa distribusi.

3.2. Perubahan Kondisi Fisik Luasan Penutup Lahan (landcovering) DAS

Perubahan luasan penutup lahan DAS adalah berubahnya prosentase penutup lahan oleh vegetasi di DAS tersebut. Jika angka prosentase penutupan lahan oleh vegetasi menjadi besar berarti retensi aliran

di DAS cukup untuk konservasi, tetapi jika angka prosentase berubah menjadi kecil maka dapat diartikan

terjadi kerusakan DAS.

Hasil survei menunjukkan adanya indikasi bahwa dengan adanya air embung, masyarakat

berkebun di daerah hulu kolam embung (DAS) yang dikuatirkan adanya erosi yang cukup

signifikan,apalagi tanaman singkong,kacang tanah merupakan tanaman yang cukup potensial merusak

struktur lahan karena tanah menjadi gembur akibat lahan olahan tersebut.

3.3. Vegetasi Pada Tubuh Embung

Di tubuh bendung tidak boleh ada tumbuhan pohon menahun,karena adanya tumbuhan tersebut

yang mempunyai akar tunjang yang dalam akan menciptakan pipa-pipa pada zona perakaran.Akar

tersebut pada saat tumbuhan tersebut mati akan menimbulkan pipa/rongga.Apabila hujan turun,air memasuki rongga pipa tersebut,yang berakibat terjadinya sliding/longsoran.Tubuh bendung seharusnya

ditanami dengan gebalan rumput untuk mengurangi erosi yang tidak merusak struktur inti tubuh bending.

Hasil survey menunjukkan bahwa banyak tumbuhan yang tumbuh pada badan embung/tanggul embung

bahkan sengaja ditanami tanaman pangan.

3.4. Kependudukan / Demografi Masyarakat

Aspek kependudukan akan memberikan masalah pada tingkat pelayanan dan kinerja embung jika

pertambahan penduduk terjadi begitu besar pada suatu saat. Penduduk baru pada saat itu mempunyai

mentalitas mempertahankan hidup dan mencari rasa aman, sehingga tanpa disadari perilaku penduduk

dengan sikap mental tersebut mencemari/merusak embung sebagai sumber air bersih penduduk, dampak

yang terjadi adalah embung kehilangan fungsi pelayanan air bersih karena air menjadi kotor masyarakat sudah tidak menggunakan lagi air embung.

Page 74: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-74

3.5. Konflik Horisontal di Masyarakat

Konflik horisontal yang terjadi ditengah-tengah warga pemakai air dipicu karena pembagian air

yang tidak merata, diantara sesama pemakai air embung atau antara masyarakat pemakai air dengan

masyarakat yang tidak mendapatkan jatah air. Faktor ini biasanya menjadikan suasana kehidupan

masyarakat menjadi tidak rukun, kecemburuan ini sering menyebabkan timbulnya konfrontasi dan yang

menjadi sasaran adalah embung itu sendiri / fasilitas umum yang lain. Hal tersebut bisa terjadi antara lain

karena tingkat pendidikan masyarakat setempat, masalah kepemilikan tanah yang dijadikan lahan

embung, ketersediaan air embung yang mencukupi dan lokasi embung di pemukiman penduduk.

3.6. Kultur dan Perilaku Masyarakat.

Kultur dan akar budaya mempengaruhi perilaku masyarakat sehari-hari. Dalam upaya mempelajari perilaku budaya masyarakat, tingkat pendidikan hanya merupakan aspek kecil menyangkut tingkat

pemahaman masyarakat, akan tetapi ada aspek lain yang lebih dominan yang bisa membantu

mengeliminir tingkat pendidikan (IQ), aspek tersebut adalah kemauan dan daya juang (EQ). Aspek lain

yang harus diperhatikan adalah kepercayaan masyarakat yang bersifat adikodrati – gaib, berakibat dalam

perilaku kehidupan bermasyarakat masih banyak hal yang bersifat tabu dan banyak aturan pada apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan (pamali). Adat kepercayaan ini berlangsung turun temurun dan tertanam

kuat di hati dan pikiran masyarakat bahkan sampai saat ini.

Tidak semua embung dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Tak jarang banyak embung

yang bergeser fungsi dan manfaatnya dari tujuan awal embung tersebut dibuat. Semula tujuan utama

embung untuk penyediaan air bersih buat masyarakat tetapi pada kenyataan ada yang bergeser hanya

digunakan untuk peternakan dan perkebunan (sayur). Jadi dalam kasus diatas unsur sugesti dan kepercayaan adat tentang daerah-daerah pamali (angker)

berperan besar, perbaikan / upaya agar bisa embung bisa dimanfaatkan lagi memerlukan pendekatan yang

bersifat budaya pula.

3.7. Penggunaan air embung aktual

Karakteristik masyarakat di Pulau Timor dalam pemanfaatan air sebagian besar hanya untuk

kepentingan air minum, sedangkan untuk kebutuhan mandi mereka mencoba menggunakan sumber air

yang lain.

Selama ini didalam masyarakat yang mempunyai inisiatif penggunaan air sisa dalam bak

digunakan untuk mengupayakan lahan pekarangan, tetapi hal ini menimbulkan dampak negatif yaitu

mempertajam kecemburuan sebagian masyarakat yang tidak terlayani air embung. Kenyataan aktual diatas dapat dijadikan dasar kebijakan pengembangan embung di masa

mendatang salah satunya dengan memenuhi permintaan sebagian masyarakat untuk penambahan bak air,

agar terjadi pemerataan dan mengurangi potensi konflik horisontal diantara masyarakat.

3.8. Rekapitulasi Permasalahan di Lapangan

Hasil kajian dari beberapa aspek seperti sudah diuraikan diatas, kerusakan yang terjadi pada

embung-embung di lima kabupaten se daratan Timor digolongkan berdasarkan kerusakan yang terjadi

dan dilakukan rekapitulasi untuk mengetahui prosentase permasalahan / kerusakan yang terjadi.

Gambar 4. Rekapitulasi Permasalahan Embung di P Timor

16%

40%34%

53%

88%

73%

60%55%

90%

19%

62%

0

10

20

30

40

50

60

70

80

tanggul

spilway

air di ta

mpungan

sedimen

pelampung

pipa dugaintake

bak distribusi

pagar

koflik horis

ontal

tdk fungsi air m

inum

Page 75: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-75

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa kerusakan paling banyak dialami pada instrumen embung

yang rata-rata lebih dari 55%, dan diikuti masalah pada sedimentasi sebesar 53% dan Kerusakan pada

Spillway sebesar 40%. Hal tersebut diatas mengakibatkan sasaran pembangunan embung menjadi

bergeser, dari semula tujuan pokok untuk penyediaan air bersih masyarakat saat ini hanya digunakan

sebagai air minum ternak (biasanya langsung dari kolam embung) dan menyiram sayuran.

Angka diatas tidak berdiri sendiri-sendiri atau tidak bisa dianalisa tiap-tiap permasalahan embung

tanpa mengaitkan dengan permasalahan yang lain, hal ini didasari adanya kerusakan salah satu bagian

embung yang sebabkan oleh masalah yang terjadi di bagian yang lainnya misalnya kerusakan pipa

distribusi disebabkan oleh pengrusakan masyarakat karena adanya konflik horisontal atau kerusakan

intake dapat terjadi karena pelampung yang hilang dan sebagainya. Jadi besar prosentase kerusakan harus

dibaca dan dianalisa lebih hati-hati.

4. REKOMENDASI DALAM OPTIMASI FUNGSI EMBUNG

4.1. Bangunan Fisik Embung dan Instrumen Embung

a. Tanggul Embung secara teknis harus terhindar dari vegetasi, untuk mencegah kapilarisasi dari tubuh

embung oleh karenanya pada embung yang tanggulnya banyak ditumbuhi vegetasi harus dibersihkan

b. Spillway merupakan bangunan untuk membuang kelebihan air pada kolam embung secara cepat, oleh

karenanya pembuatan spillway harus lurus atau kalau kondisi terpaksa harus membentuk lengkung,

maka harus diberi perkuatan tebing. Spillway dari tanah diusahakan tetap berupa saluran, jika

kemiringan curam maka spillway harus dari pasangan.

c. Sedimentasi merupakan hasil erosi yang mengendap pada dasar kolam untuk mengurangi laju sedimentasi perlu:

bangunan penahan erosi pada alur inflow

pencegahan/pelarangan pengolahan lahan (untuk pertanian) dibagian hulu embung

Penanaman/reboisasi pada daerah tangkapan hujan embung

Apabila memungkinkan dilakukan pengerukan sedimen

d. Pipa intake harus dilengkapi dengan penguras tidak terlalu jauh dari bagian hilir tubuh embung

e. Perlunya pembuatan pagar kawat untuk melindungi kolam embung dari pencemaran kotoran ternak.

f. Perbaikan secara kontinyu pada instrument embung termasuk bangunan pelengkap embung.

g. Saat pembangunan fisik / rehabilitasi hendaknya melibatkan masyarakat setempat

4.2. Operasional dan Pemeliharaan Embung a. Dalam proses pembangunan prasarana fisik dikenal dengan S-I-D-La-C-O-M, dari rangkaian proses

tersebut jelas sangat memerlukan adanya kegiatan operasi dan pemeliharaan demi kesinambungan

fungsi prasarana embung tersebut yang dibutuhkan oleh masyarakat didaerah terpencil dan sulit air

b. Oleh karena itu embung merupakan bangunan penyedia air yang memerlukan kesinambungan

perawatan. Diperlukan :

a. Panduan operasional dan pemeliharaan embung

b. Pelatihan pelaksana OP

c. Dana perawatan dan operasional yang memadai

Gambar 5. O & P dalam pemanfaatan embung yang berkelanjutan

Operasional

&

Pemeliharaan

- Diambil dari masyarakat

. setempat

- Diadakan pelatihan

Petugas O/P

UU SDA No.7 Th 2004

Bab X Pembiayaan

Ps 77, ayat 1

Pembiayaan pengelolaan

SDA ditetapkan

berdasarkan kebutuhan

nyata

Ayat 2.

Jenis pembiayaan

pengelolaan SDA :

- biaya sistem informasi

- biaya perencanaan

- biaya pelaksanaan

. konstruksi

- biaya operasi dan

. pemeliharaan

- biaya pemantauan,

. evaluasi dan

. pemberdayaan

. masyarakat

Dasar Hukum

Pemanfaatan

embung yang

berkelanjutan

- Pengaturan tugas &

. tanggung jawab pemakai

. air embung dari instansi

. terkait

- Pemberdayaan

. pemakai air embung

- Pengaturan pembiayaan

Pengelolaan

Page 76: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-76

Dari upaya pendalaman aspek budaya masyarakat dapat diungkapkan satu alur berpikir tentang cara

penyampaian nilai di dalam komunitas masyarakat tradisional, yaitu sangat pentingnya budaya lisan/tutur

yang diulang-ulang dalam beberapa kesempatan dalam mentransferkan ide/pesan moral/sejarah sehingga

masyarakat bisa menerima dan menjadikan hal tersebut sebagai naluri dalam kehidupan sehari-hari.

Aspek pengajaran dengan metode ini menjadi sangat penting untuk menjembatani kemampuan

sumberdaya masyarakat di Pulau Timor yang masih masuk kategori kurang/rendah.

5. KESIMPULAN

a. Degradasi fungsi bangunan embung disebabkan antara lain:

- Kerusakan pada instrumen embung yang rata-rata lebih dari 55%, sedimentasi sebesar 53% dan

kerusakan pada spillway sebesar 40%. Sedangkan yang diakibatkan konflik horizontal masyarakat sebesar 19%. Kerusakan pada bangunan phisik juga disebabkan karena faktor perencanaan yang

kurang tepat dalam desain bangunan (tubuh embung, spillway ) serta bangunan pelengkap (pipa

intake, pagar pengaman, saringan pasir, bak air) yang tidak diperhitungkan secara teliti terhadap

kondisi geologi tanah setempat.

- Kurangnya sosialisasi penggunaan embung bagi masyarakat setempat dan pemberian penyuluhan

yang kontinyu dari pihak terkait dalam pengoperasian serta pemeliharaan embung.

- Tidak adanya panduan O/P menyebabkan pemeliharaan embung tidak dilakukan oleh masyarakat.

b. Rekomendasi dalam mengoptimalkan fungsi embung dilakukan dengan cara :

- Perencanaan yang tepat dan teliti untuk bangunan utama dan bangunan penunjang sesuai dengan kondisi geologi serta topografi setempat.

- Saat pembangunan fisik / rehabilitasi hendaknya melibatkan masyarakat setempat

- Dalam proses pembangunan prasarana fisik dikenal dengan S-I-D-La-C-O-M, dari rangkaian proses tersebut jelas sangat memerlukan adanya kegiatan operasi dan pemeliharaan demi

kesinambungan fungsi prasarana embung tersebut yang dibutuhkan oleh masyarakat didaerah

terpencil dan sulit air.

6. DAFTAR PUSTAKA 1. , (1994), Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering Di

Indonesia, B-4, Bandung, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.

2. , (2007) , Studi Evaluasi Kinerja Embung Kecil Di Lima Kabupaten Sedaratan Timor,

Laporan Akhir, Kupang, CV. Hatari Gesit Mandiri, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah,

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

3. , (2010), Pengumpulan Data/Informasi Kebutuhan Penyusunan Dokumen Perencanaan

Bid. SDA & Irigasi (Pembangunan Embung dan Jaringan Irigasi), Laporan Akhir, Kupang,

CV.Techno21, Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Page 77: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-77

ADAPTASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DALAM MENGHADAPI

PERUBAHAN IKLIM DI JAWA TIMUR

Hadi Moeljanto1 dan Ainur Rofiq

2

1 PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya ,Telp 031-

8299585, email :[email protected] 2 PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya ,Telp 031-

8299585, email :[email protected]

ABSTRAK

Melihat kondisi cuaca akhir akhir ini sering berubah cepat karena adanya pergeseran /pergantian cuaca

sebagai hasil perubahan iklim yang diakibatkan pemanasan global sehingga mengakibatkan gelombang

tinggi,angin kencang,Banjir atau kekeringan serta merebaknya hama tanaman .Dari sisi sumber daya air

Perubahan iklim mengakibatkan musim hujan datang lebih lambat,lebih singkat namun curah hujan lebih

intensif sehingga meningkatkan resiko banjir serta perubahan pola hujan saat musim hujan periode

musim hujan lebih pendek jumlah hari hujan berkurang tetapi tetapi dengan intensitas lebih tinggi

akibatnya banjir sering terjadi seperti pada Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo di Kab.

Bojonegoro,Lamongan,Gresik serta WS. Brantas Kab.Trenggalek,Mojokerto,Jombang dengan permasa

lahan seperti rusaknya tanggul dan tebing,Penurunan dasar sungai, Perubahan bentuk sungai. Mengingat UU SDA No. 7 tahun 2004 bahwa pengelolaan sumber daya air dalam pengertian luas

mencakup lima kegiatan pokok, yaitu: Konservasi SDA, Pendayagunaan SDA ,Pengendalian Daya Rusak

Air,Penyediaan sistem informasi SDA dan Pemberdayaan dan Peningkatan peran masyarakat,Swasta dan

Pemerintah , Dengan mengingat pengelolaan sumberdaya air terhadap perubahan iklim diperlukan

langkah Adaptasi yaitu upaya untuk mengatasi perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun

antisipatif termasuk pengurangan resiko bencana yang dilakukan bersama dengan koordinasi antar sektor

dan antar wilayah .

Akibat dampak perubahan iklim seperti banjir,kekeringan serta pemasalahan lainnya diperlukan

upaya dengan melakukan inventarisasi dan optimasi infrastruktur SDA,perbaikan jaringan

hidrologi,peningkatan daya dukung DAS ,pengembangan sungai berdasar ekohidraulik ,mengatur pola

operasi waduk dan penelitian geohidrologi dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk masyarakat. untuk mengurangi dampak/resiko yang berorientasi sumber daya air dengan mempertimbangkan faktor

kondisi fisik infrastruktur ,sumber daya ekologi dan tidak lepas pada keharmonisan antara masyarakat

dan lingkungannya .

Kata kunci : Perubahan iklim,Pengelolaan SDA.

1. PENDAHULUAN

Dengan terjadinya pemanasan global, mengakibatkan kondisi iklim akan terganggu sehingga secara

jangka panjang akan mengalami perubahan yang bersifat menetap. Pemanasan global mengakibatkan

perubahan iklim yang terlihat dengan musim hujan yang datang lebih lambat, lebih singkat, sehingga

meningkatkan resiko kekeringan seperti kelangkaan air yang merupakan ancaman serius pada sektor pertanian,perkebunan karena minus air sedangan kejadian curah hujan yang terjadi lebih intensif

(intensitas tinggi), sehingga meningkatkan resiko kejadian banjir.Selain itu Dampak perubahan iklim

mengimbas ke sumber daya air yang berakibat kekeringan bertambah parah ,air tanah semakin berkurang

disamping itu kelangkaan sumber daya air bisa terjadi pada provinsi jawa timur seperti meningkatnya

jumlah penduduk juga akan memberikan tekanan pada penyediaan air terutama daerah perkotaan .saat ini

sudah banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih seperti demo

masyarakat pasuruan masalah pengambilan air PDAM untuk kota Surabaya ,Sidoarjo selain kabupaten

Pasuruan dari sumber air umbulan kabupaten Pasuruan yang merupakan cadangan air tanah lintas

kabupaten Pasuruan dan Probolinggo ,penutupan sumber air PDAM dari sumber air desa

bumiharjo,kecamatan Glenmore Banyuwangi .

Saat ini kondisi daerah aliran sungai di Jawa Timur menurun. Hal itu terindikasi dengan meningkatnya bencana Banjir di wilayah DAS Brantas , seperti Banjir Bandang kecamatan Pujon

Kabupaten Malang 24 Pebruari 2010 ,longsor dan banjir di blitar,Kediri,Malang ,Bojonegoro 28 April

Page 78: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-78

2010 ,banjir dan longsor di Trenggalek dan tulungagung dan sedimentasi pada beberapa waduk besar di

DAS Brantas. Meningkatnya kepadatan penduduk di sekitar DAS, meningkat pula

pemanfaatan/eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan alhasil dapat dipastikan DAS mengalami

penurunan kondisi.

Sementara itu penyebab permasalahan ini yang terjadi umumnya akibat adanya Perubahan

iklim dan degradasi lingkungan yang berdampak pada rusaknya DAS bagian hulu serta belum

maksimalnya kegiatan penanganan reboisasi daerah tangkapan air, oleh karena itu untuk mengurangi

dampak tersebut diperlukan strategi jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim terutama

pengelolaan sumber daya air baik melalui mitigasi dan adaptasi tetapi dalam makalah lebih ditekankan pada Manajemen Adaptasi

Diharapkan dalam menerapkan melibatkan masyarakat lokal yang terkena dampak ,perencanaan

pengelolaan SDA yang tepat ,Pengelola baik lahan dan SDA saling berkoordinasi ,memperhatikan

kuantitas dan kualitas SDA ,Pendayagunaan SDA yang memperhatikan keseimbangan air permukaan dan

air tanah dan pertimbangan perubahan iklim.

2. DASAR TEORI

Perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya banjir ,kekeringan serta kejadian lainnya dengan

menggunakan adaptasi dengan pengertian suatu proses yang menentukan bagaimana suatu strategi yang

bertujuan menekan,menyesuaikan dan mampu mengambil manfaat dari suatu dampak kejadian iklim diperluas ,dikembangkan dan diterapkan/upaya yang dapat menjamin pengelolaan sumber daya air yang

berdasar pengalaman masa lalu maupun yang diperkirakan kedepan .

Dengan mengkaji bahaya ,kerentanan dan resiko yang dilanjutkan strategi adaptasi serta program kegiatan

dan lokasi dengan pendekatan untuk memandu intervensi dalam menghadapi ketidakpastian dengan

menggunakan kebijakan dan informasi ilmiah berdasar data yang akurat dan pengetahuan untuk

perencanaan dan pembangunan kapasitas serta penyesuaian terhadap proses ekologi.

3. METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam menghadapi perubahan iklim dari sisi pengelolaan sumber daya

air dengan melalui sesuai pendekatan prinsip konsep adaptasi yang merupakan proses lingkaran iteratif

atau lingkaran siklus atas identifikasi masalah,pelaksanaan adaptasi dan evaluasi manfaat yang akan

memberikan umpan balik padatiaplangkahnya: :

Gambar 1. Urutan tujuh langkah dalam Proses Adaptasi

7 Monitor&

Evaluasi

Adaptasi

1 Keterlibatan

Stakeholder

3 Kajian kapasitas

adaptasi

4 Identifikasi

pilihan adaptasi

5

Evaluasi opsi

adaptasi&me

milih aksi

6

Implementa

si adaptasi

7 Monitor&

Evaluasi

Adaptasi

2

Menentukan

sasaran

Page 79: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-79

1. Menentukan SDM yang terlibat melalui proses partisipasi (keterlibatan stakeholder) dalam

pengelolaan sumber daya air untuk menghadapi perubahan iklim untuk menciptakan kepercayaan

dan kepemilikan bersama.

2. Tentukan langkah permasalahan dengan memasukkan resiko terkini maupun potensial dimasa

mendatang (misal perubahan waktu dan keragaman iklim) dan saling komunikasi dalam penyelesaian

akibat perubahan iklim.

3. Kaji kapasitas adaptasi dan diukur secara sosial ,pendidikan,kelembagaan ,lokasi dan faktor lain

4. Identifikasi pilihan adaptasi dengan mengumpulkan teknologi alternatif,kegiatan atau kebijakan

pengelolaan dalam rangka mengatasi dan antisipasi dampak perubahan iklim.

5. Evaluasi pilihan adaptasi dan memilih aksinya dengan kriteria yang meliputi keuntungan ,manfaat

,tujuan pembangunan,biaya ,dampak lingkungan,dampak samping ,kemampuan pelaksanaan serta hambatan.

6. Melaksanakan adaptasi dengan merekomendasikan bahwa suatu rencana pelaksanaan dengan

komponen rencana strategis,perkiraan kebutuhan penguatan kapasitas dan rencana pelatihan,rencana

pembiayaan,rencana komunikasi, rencana keberlanjutan dan rencana pengawasan adaptasi.

7. Evaluasi yang terus menerus terhadap efektifitas pelaksanaan adaptasi sedangkan kriteria evaluasi

dan indikator yang dipilih stakeholder(biaya,mudah dilaksanakan,manfaat yang didapat ,dampak

yang merugikan) dalam enam langkah sebagai bagian rencana pengawasan dan kinerja

Bahwa Adaptasi bertujuan mengurangi dampak negatif memaksimalkan peluang dan konsekuensi yang

muncul dari perubahan iklim.

Metodologi yang digunakan pada penulisan makalah ini berdasar kajian pustaka, dan pengalaman

memberikan ilustrasi aplikasi metode pada beberapa kasus banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim.

4. HASIL DAN ANALISA

Untuk mengatasi berbagai persoalan banjir , kekeringan serta lainnya akibat perubahan iklim dengan

melakukan adaptasi melalui Pengelolaan SDA dengan beberapa strategi serta kegiatan yang dilaksanakan

.

Untuk Peran stakeholder sektor Sumber Daya Air di Jawa Timur disarankan Dewan SDA Provinsi

sedangkan TK.PSDA WS untuk wilayah sungai sehingga ada Regulator (Gubernur) ,pengembang

(BBWS) ,Operator (Dinas,BBWS dan PJT 1),pemanfaat pengguna (petani,kota,industri,Pakar,LSM)

untuk mempercepat pengambilan keputusan Oleh karena iu dilakukan adaptasi Pengelolaan Sumber data

air sesuai langkah ke 6 dengan langkah Melaksanakan adaptasi dengan rencana aksi dapat dilihat pada

tabel terlampir. Adapun dalam menghadapi banjir ditekankan pada bagaimana mengurangi potensi banjir akibat

perubahan iklim serta pengelolaan DAS dengan Strategi : Mengendalikan banjir melalui penataan

ruang dan pengelolaan DAS dengan Program Kegiatan :sebagai berkut :

1. Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan

air sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi lahan dan RTRW berpedoman UU no. 26

tahun 2007 tentang penataan ruang,

2. Membangun waduk /Embung baru dan mengeruk sedimen pada waduk /embung yang sudah ada

sebagai sarana penyimpan air di musim hujan dan dimanfaatkan pada musim kemarau.

3. Mengubah pola operasi dan pemeliharaan waduk dan bangunan pelengkap sesuai dengan

peningkatan intensitas hujan dan berkurangnya curah hujan .

Sedang untuk menghadapi kekeringan dilakukan strategi Menjamin keseimbangan neraca air serta

meningkatkan kapasitas DAS dan penghematan air yang berfokus pada ketersediaan air melalui

pengelolaan daerah tangkapan air. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :

1. Membangun waduk/Embung baru dan mengeruk sedimen pada waduk/embung yang sudah ada

sebagai sarana penyimpan air di musim hujan dan dimanfaatkan pada musim kemarau.

2. Melaksanakan gerakan hemat air untuk segala keperluan seperti untuk air minum

,domestik,pertanian ,industri.

3. Mengembangkan dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung

sungai ,memperlambat laju aliran dan meresapkan air kedalam tanah karena secara teknis dapat

menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan dapat dibangun berseri.

4. Mengadakan penelitian geohidrologi untuk mengetahui cekungan cekungan air tanah

5. Mengadakan inventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum dan daerah irigasi yang akan terkena kenaikan muka air laut

Page 80: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-80

Dalam menghadapi pencemaran dilakukan strategi Meningkatkan kualitas air pada DAS serta

mengoptimalkan efisiensi penggunaanya. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :

1. Menginventarisasi DAS yang mengalami pencemaran dan tingkat penggunaan airnya sangat

tinggi .

Strategi yang digunakan untuk data dan informasi yaitu Meningkatkan kapasitas data dan informasi

SDA dalam menghadapi perubahan iklim. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :

1. Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi peru bahan

ketersediaan air dan sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.

5. KESIMPULAN .

Dengan adanya penanganan dengan antisipasi terhadap perubahan iklim pada bidang sumber daya air

dalam menangani banjir dan kekeringan serta lainnya dapat disimpulkan :

1. Perlunya koordinasi antar sektor dan antar wilayah dalam menghadapi perubahan iklim .

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.

3. Untuk menekan degradasi lingkungan dilakukan peningkatan daya dukung DAS.

4. Menetapkan daerah rentan dan resiko tinggi terkena dampak perubahan iklim sebagai prioritas untuk

melakukan adaptasi.

5. Persediaan Sumber Daya Air (SDA) yang terbatas sehingga perlu di konservasi serta mempertahankan

persediaan air tanah yang berkelanjutan

6. Perlu penataan ulang pengelolaan sumber daya air untuk kegiatan yang mengarah penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi sungai terhadap alirannya.

6. DAFTAR PUSTAKA.

1. Agus Maryono (2005) Banjir ,Kekeringan dan Lingkungan ,Gadjah Mada University Press.

2. Hira Jhamtani,Agung Wardana,Kadek Lisa (2005) Berubah atau Diubah ,INSIST Press ,Yogyakarta.

3. Subandono Diposaptono, Budiman, Firdausgung (2005), Menyiasati Perubahan Iklim, PT Sarana

Komunikasi UtamaAgus Maryono (2005), Menangani Banjir, kekeringan dan Lingkungan, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

4. Sarwoko Mangkoedihardjo,Ganjar Samudro (2010),Fitoteknologi Terapan ,Graha ilmu.

5. Brigitta Isworo (2010), Perlukah Menunggu Bencana Besar,Laporan akhir tahun ,Kompas .

6. Nawa Tunggal (2010), Mengintip Potensi Bencana 2011,Laporan akhir tahun ,Kompas . 7. FAO (2005), Hutan dan Banjir Tenggelam dalam suatu fiksi,atau berkembang dalam fakta ? ,RAP

Publication.

8. Harianto (2010),Peran Pengelolaan Sumber Daya Air Di Wilayah Perum Jasa Tirta I Untuk

Menjamin Kecukupan Produksi Pangan,Raker Dinas.

Page 81: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

E-81

Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur

NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN

A. Strategi : Mengendalikan Banjir Melalui Penataan Ruang dan Pengelolaan DAS

1. Meningkatkan daya dukung DAS

dengan mencegah kerusakan dan

memperbaiki daerah tangkapan air

sebagai daerah resapan air melalui

upaya konservasi lahan dan RTRW

berpedoman UU no. 26 tahun 2007

tentang penataan ruang .

Beberapa upaya konservasi antara lain Perum Jasa Tirat I

melakukan reboisasi pada DAS di Wilayah Sungai Brantas

dengan menanam ± 860.000 pohon yang dibagi pada 4 lokasi

yaitu pada DAS Hulu di desa Sukowilangun Kec. Kalipare

Kabupaten Malang, pada DAS Tengah di Desa Mrican

Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri, pada DAS Hilir

di desa Bleberan Kec. Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Dan

kegiatan reboisasi tersebut akan diupayakan meningkat 50%

setiap tahunnya.

Penanaman pohon di DAS- DAS kritis di wilayah kerja 9

(Sembilan) UPT PSAWS di Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur.

Melalui program One Man One Tree (OMOT) yang digagas

oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dengan target 45

juta pohon yang akan ditanam di hutan-hutan yang telah rusak

± 700.000 Ha (dari total luas hutan di Jawa Timur 1.357.206

Ha)

Melalui program Lembaga Masyarakat Desa Hutan di Kota

Batu (ESP – USAID), membangun kebun pembibitan dengan

kapasitas 445.100 bibit pohon dan merehabilitasi lahan kritis

di wilayah hulu DAS Brantas seluas 3.887 Ha.

Untuk DAS bagian hilir, khususnya pada kawasan permukiman / perkotaan dengan membuat sumur – sumur

resapan.

2. Membangun waduk/Embung baru

dan mengeruk sedimen pada

waduk/embung yang sudah ada

sebagai sarana penyimpan air di

musim hujan dan dimanfaatkan pada

musim kemarau.

Pengerukan sedimentasi menjadi ancaman fungsi

pengendali banjir dan penyediaan air baku seperti waduk

sengguruh (sisa tamp. 36,4 % -2005), waduk harian wlingi

(sisa tamp. 38,6 % -2006), waduk harian lodoyo (sisa

tamp.65% -2006), waduk sutami (sisa tamp. 57,7% -2004),

waduk lahor (sisa tamp. 85,2% -2002), waduk selorejo (sisa

tamp. 71 % -2003).

Pembangunan waduk waduk / Embung seperti waduk

kresek(Madiun , tamp .efektif:4,549x106m3)waduk bendo

(Ponorogo,tamp. efektif: 42,70 x 106 m3), waduk gonggang

(Magetan,tamp.efektif: 2,273 x 106 m3), Bendung gerak Sembayat (Lamo ngan dan gresik, 7 x 106 m3), waduk

kedungbendo(Pacitan, tamp. Efektif :41,25 x106m3), waduk

gongseng (Bojonegoro , tamp.efektif:6,0x106m

3), waduk

pejok(Bo jonegoro , tamp.efektif: 6,0x106m3), wa duk Nipah

(Sampang , tamp.efektif: 5,04 x106 m3),

Beberapa embung yang telah selesai pembangunannya oleh BBWS Brantas antara lain ;

Embung Potoan Laok Kab. Pamekasan, Embung Larangan

Pereng Kab. Sumenep, Embung Guluk – Guluk Kabupaten

Sumenep, Embung Campor Kabupaten Bangkalan, Embung

Pilang Kerep Kabupaten Probolinggo, Embung Kertosari Kabupaten Pasuruan, Embung Gading Kabupaten Sumenep,

Embung Kulak Seceng Kabupaten Nganjuk, Embung Oro-

Oro Embo Kabupaten Nganjuk, Embung Ngepeh Kabupaten

Trenggalek, Embung Grojogan Kabupaten Jombang.

3. Mengubah pola operasi dan

pemeliharaan waduk dan bangunan

Langkah adaptasi karena meningkatnya frekuensi dan

besaran kejadian banjir.

Page 82: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-82

Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur

NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN

pelengkap sesuai dengan peningkatan

intensitas hujan dan berkurangnya

curah hujan.

Penurunan muka air Waduk saat intensitas hujan

cenderung tinggi dan elevasi waduk sudah diatas pola.

Contoh:Sutami dari El 269 ke El 267 (11 Nopember

2010).

Meninjau kembali dan Menetapkan control water level

disetiap waduk tahunan, contoh:Elevasi Waduk Wonogiri

dijaga pada Control Water Level (CWL) El 135,3.

Mengaktifkan kembali fungsi retarder area sebagai

tempat parkir banjir sementara.

Langkah Adaptasi Menghadapi Dampak Kekeringan . Memperhatikan prakiraan awal musim kering dari

BMKG.

Monitoring muka air waduk dan ketersediaan pada

sumber air.

Pengaturan alokasi air.

Efisiensi penggunaan air (misal melalui pengembangan

sistem intensifikasi padi).

Pencegahan terjadinya pengambilan air secara illegal.

Modifikasi cuaca, jika kondisi sangat kritis (sesuai Ps. 38

UU No. 7 Th. 2004).

Pemanfaatan Cadangan Kekeringan (Drought Water Bank)

Cadangan kekeringan yang hanya digunakan ketika musim kemarau kering panjang (drought year, sekali dalam 5

tahun) merupakan potensi yang tidak optimal dimanfaatkan

selama musim kemarau normal (4 tahun). Cadangan

kekeringan Waduk Sutami (EL 260 – EL 246 = 57,8 juta m3

setara dengan Waduk Kedungwarak (Inv. Cost: USD 99

mill, O&M Cost: USD 2.1 mill/year)

Idle capacity tsb dapat dimanfaatkan untuk diberikan

kepada pemanfaat baru bila tersedia sumber cadangan lain

ketika musim kemarau kering panjang. Cadangan tsb. dapat

berada pada kelompok petani pemegang ijin bila ybs secara

sukarela mengembalikan sebagian ijinnya (bersifat sementara) kepada pemerintah melalui Badan Pengelola.

Kepada kelompok petani tsb. Badan Pengelola akan

memberikan insentif kompensasi untuk membiayai O&P

sistem irigasinya.

Badan Pengelola atas seijin pemerintah memanfaatkannya

untuk menutup defisit air selama musim kemarau panjang

tsb.

B. Strategi : Menjamin Keseimbangan Neraca Air Serta Meningkatkan Kapasitas DAS Dan

Penghematan Air Yang Berfokus Pada Ketersediaan Air Melalui Pengelolaan Daerah Tangkapan

Air

1. Membangun waduk/Embung baru

dan mengeruk sedimen pada

waduk/embung yang sudah ada sebagai sarana penyimpan air di

musim hujan dan dimanfaatkan pada

musim kemarau.

Pengerukan sedimentasi menjadi ancaman fungsi

pengendali banjir dan penyediaan air baku seperti waduk

Sengguruh (sisa tamp. 36,4 % -2005), waduk harian Wlingi (sisa tamp. 38,6 % -2006), waduk harian Lodoyo (sisa

tamp.65% -2006), waduk Sutami (sisa tamp. 57,7% -2004),

waduk Lahor (sisa tamp. 85,2% -2002), waduk Selorejo (sisa

tamp. 71 % -2003).

Pembangunan waduk waduk / Embung seperti waduk

Kresek (Madiun, tamp .efektif:4,549x106m3) waduk Bendo

(Ponorogo,tamp. efektif: 42,70 x 106 m3), waduk Gonggang

Page 83: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-83

Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur

NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN

(Magetan,tamp.efektif: 2,273 x 106 m3), Bendung gerak

Sembayat (Lamo ngan dan Gresik, 7 x 106 m3), waduk

Kedungbendo (Pacitan, tamp. Efektif :41,25 x106m3), waduk

Gongseng (Bojonegoro, tamp.efektif:6,0x106m3), waduk

Pejok (Bo jonegoro, tamp.efektif: 6,0x106m3), waduk Nipah

(Sampang, tamp.efektif: 5,04 x106 m3),

Beberapa embung yang telah selesai pembangunannya oleh BBWS Brantas antara lain ;

Embung Potoan Laok Kab. Pamekasan, Embung Larangan

Pereng Kab. Sumenep, Embung Guluk – Guluk Kabupate Sumenep, Embung Campor Kabupaten Bangkalan, Embung

Pilang Kerep Kabupaten Probolinggo, Embung Kertosari

Kabupaten Pasuruan, Embung Gading Kabupaten Sumenep,

Embung Kulak Seceng Kabupaten Nganjuk, Embung Oro-

Oro Embo Kabupaten Nganjuk, Embung Ngepeh Kabupaten

Trenggalek, Embung Grojogan Kabupaten Jombang.

2. Melaksanakan gerakan hemat air

untuk segala keperluan seperti untuk

air minum ,domestik,pertanian

,industri

Melaksanakan upaya peningkatan efisiensi dapat

dilakukan antara lain dengan cara:

Pemberian air berselang-seling (intermittent), mencukupi

kebutuhan minimum optimal

Penggunaan kembali air buangan (water re-use) Mengadopsi pemanfaatan air secara conjuctive, saling

melengkapi antara penggunaan air pemukaan, hujan, air

tanah, dsb

Pembuatan waduk lapangan (embung)

Saluran pasangan (canal lining)

Teknologi baru pemberian air, antara lain metode SRI

(System of Rice Intensification)

Meningkatkan kedisiplinan petani dalam mentaati jadwal tanam dan aturan pemberian air.

Memberantas pengambilan air liar (illegal offtake)

Melaksanakan konsep efisiensi air irigasi melalui insentif

kompensasi Peningkatan penggunaan air selama ini berasal dari

peningkatan efisiensi supply management (pemberian air

tepat waktu saat diperlukan).

Irigasi merupakan pengguna air terbesar dengan tingkat

efisiensi yang rendah karena tidak dibebani biaya jasa

pengelolaan SDA. Perlu instrumen ekonomi untuk meningkatkan efisiensi

air irigasi melalui insentif kompensasi. Kompensasi dapat

digunakan untuk meningkatkan ketersediaan biaya OP

irigasi.

Penerapan Water Pricing Reform saat kelangkaan air.

Dalam kondisi SDA sudah krisis, penerapan Water

Pricing yang tepat dapat menjadi alternatif solusi yang

menjanjikan.

Dalam kebijakan penerapan Water Pricing, perlu

dilakukan hal-hal sbb:

- Menyusun aturan nasional/sub nasional sebagai

prioritas. - Menyusun secara jelas obyektifitas water pricing.

- Melakukan justifikasi, menetapkan target dan

melakukan transparansi kebijakan subsidi.

Page 84: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-84

Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur

NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN

- Menyiapkan strategi dan metode penerapannya.

- Melibatkan user dan stakeholder dalam proses formulasi

water pricing.

- Dilaksanakan dengan menggunakan pilot project

terlebih dahulu.

3. Mengembangkan dam parit yang

dibangun pada alur sungai untuk

menambah kapasitas tampung sungai

,memperlambat laju aliran dan

meresapkan air kedalam tanah karena

secara teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar

dan dapat dibangun berseri.

Melaksanakan pembangunan dengan konsep ekohidraulik

seperti fiktoteknologi(penerapan ilmu dan teknologi untuk

mengkaji dan menyiapkan solusi masalah lingkungan dengan

menggunakan tumbuhan) bantaran sungai melalui Pola

penguatan dengan menggunakan tumbuhan yang bisa

mengurangi kecepatan aliran sungai dan tidak menyebabkan pendangkalan sungai dibanding menggunakan plengsengan

atau struktur buatan sejenisnya tidak fungsional untuk

memperbaiki mutu air sungai dan sempadan sungai .

4. Mengadakan penelitian geohidrologi

untuk mengetahui cekungan

cekungan air tanah

Meskipun pemanfaatan air bawah tanah di daerah Provinsi

Jawa Timur telah memberikan sumbangan yang cukup berarti

dalam memasok kebutuhan air untuk berbagai sektor

pembangunan (industri dan pertanian), namun di sisi lain

dapat menimbulkan dampak buruk terhadap sumberdaya itu

sendiri maupun terhadap lingkungan hidup di sekitarnya,

seperti menyusutnya cadangan air bawah tanah dan

menurunnya tinggi permukaan air tanah (water table) serta

mutu / kualitas air tanahnya akibat adanya intrusi air laut maupun pengaruh polusi lainnya.

Di Jawa Timur dibagi dalam 12 CAT, yang meliputi CAT

Brantas 6.186 Km2, CAT Bulukawang 618 Km2, CAT

Sumber Bening 715 Km2, CAT Pasuruan 1.596 Km2, CAT

Probolinggo 1.639 Km2, CAT Jember Lumajang 3.865 Km2,

CAT Besuki 469 Km2, CAT Bondowoso Situbondo 2.358

Km2, CAT Wonorejo 543 Km2, CAT Banyuwangi 1.737

Km2, CAT Blambangan 413 Km2, CAT Bangkalan 398 Km2,

CAT Ketapang 631 Km2, CAT Sampang Pamekasan 1.200

Km2, CAT Sumenep 478 Km2, CAT Turanggo 101 Km2.

Pada CAT –CAT yang teridentifikasi telah dilakukan eksploitasi secara intensif, (dengan banyaknya sumur-sumur

dalam) perlu dilakukan pembatasan-pembatasan pengambilan

debit air tanah, sehingga keseimbangan air tanah akan tetap

terjaga, hal ini dilakukan dengan instrument hukum berupa

peraturan daerah, dan sebagai leading sektornya adalah Dinas

ESDM Provinsi Jawa Timur.

Untuk mengurangi timbulnya berbagai dampak buruk

tersebut, maka upaya pendayagunaan sumberdaya air bawah

tanah tersebut harus dilakukan secara terencana, rasional,

optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan daya

dukungnya dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan

keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan.

5. Mengadakan inventarisasi tempat

pengambilan air baku untuk air

minum dan daerah irigasi yang akan

terkena kenaikan muka air laut

Mempercepat pembangunan Bendung gerak Sembayat di

kabupaten Gresik utara dan Lamongan utara yang digunakan

untuk water treatment plan dengan debit maksimum 2 m3/det

,untuk irigasi di kabupaten gresik 883 Ha ,industri rumah

tangga 1,446 m3 /det, tambak sekitar 3,990 m3/det dan

mencegah instrusi air laut,mengoptimalkan bendung karet

Page 85: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-85

Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur

NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN

sudetan plang woot (Lamongan), Pembangunan Waduk

Bajulmati (Banyuwangi utara), Waduk Nipah (Sampang),

Rehab Bendung Sampean lama dan Sampean baru,

C. Strategi : Meningkatkan kualitas air pada DAS serta mengoptimalkan efisiensi penggunaanya

1. Menginventarisasi DAS yang

mengalami pencemaran dan

penggunaan airnya sangat tinggi

1). DAS Brantas hilir untuk sawah seluas 34.892 Ha

kebutuhan airnya 32,34 m3/det, (DI. Jatimlerek 2.050 Ha

kebutuhan airnya 1,83 m3/det, Menturus 3.392 Ha

kebutuhan airnya 4,04 m3/det, Jatikulon 619 Ha

kebutuhan airnya 0,66 m3/det, Delta Brantas 27.362 Ha

kebutuhan airnya 1,83 m3/det, DI.Surabaya 1.469 Ha

kebutuhan airnya 0,83 m3/det), Kebutuhan Industri 4,74 m3/det, Kebutuhan air baku untuk 5 Kab/Kota sebesar

26,87 m3/det (Gresik : 1,91 m3/det, Sidoarjo : 8,02

m3/det, Surabaya : 12,19 m3/det, Mojokerto : 4,45

m3/det, Kota Mojokerto : 0,30 m3/det) dan Kebutuhan

Tambak 19,59 m3/det (Sidaorajo : 10,01 m3/det, Surabaya

Selatan : 2,05 m3/det, Surabaya Utara : 2,00 m3/det,

Porong : 5,53 m3/det)

2). DAS lain di Jawa Timur yang mengalami pencemaran dan

penggunaan airnya tinggi adalah ; DAS Rejoso, DAS

Grindulu, DAS Pasiraman, DAS Sampean dan DAS

Sarokah

D. Strategi : Meningkatkan kapasitas data dan informasi SDA dalam menghadapi perubahan iklim

1. Memperbaiki jaringan hidrologi di

tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air

dan sebagai perangkat pengelolaan air

dan sumber air

Terkait dengan terbatasnya sarana (stasiun pos penakaran

hujan yang masih layak) dan sumber daya manusia (operator lapangan), maka untuk mendapatkan data base curah hujan

yang akurat diperlukan kegiatan rasionalisasi stasiun hujan.

Sehingga akan didapatkan data yang akurat (tepat dan teliti

serta kontinyu). Selain itu, pada daerah-daerah yang rawan

bencana (banjir dan kekeringan) digunakan stasiun hujan yang

real –time yang terintergrasi dengan data debit,sehingga

dalam penanganan bencana akan lebih cepat pada tahun 2010

telah dilaksanakan kajian neraca air berdasar data

hujan.seluruh WS di Jawa Timur yang bisa diupload oleh

UPT PSAWS sehingga didapat data ketersediaan air dan

kebutuhan air .

Page 86: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-86

PETA RAWAN

BANJIR

DI PROVINSI

JAWA TIMUR

S A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I A

L A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W A

S E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R A

S E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L I

S E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R A

L A U T J A W AL A U T J A W A

SELAT BALISELAT BALI

S A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I A

430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA

793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA

15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA

668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA

56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA

2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA

2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA

1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA

971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA

1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA

67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA

897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA 284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA

3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA

930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA

4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA

2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA

21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA

15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA

2.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,42

2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA

950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA

2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA

PAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASAN

KEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRI

BOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGORO

LAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGAN

TRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEK

TULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNG

MALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANG

BLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITAR

JOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANG

NGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUK

SURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYA

SIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJO

MOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTO

PASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUAN

PROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGO

LUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANG

JEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBER

SITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDO

BONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSO

BANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGI

NGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWI

MAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETAN

PONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGO

PACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITAN

MADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUN

TUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBAN

GRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIK

BANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALAN SAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANG

SUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEP

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

JAWA T

ENGAH

BALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALI

PETA RAWAN

KEKERINGAN

DI PROVINSI

JAWA TIMUR

Page 87: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-87

ESTIMASI TEGANGAN GESER DASAR

UNTUK GELOMBANG IRREGULER

Taufiqur Rachman1 dan Suntoyo

2

1Dosen Program Studi Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Kampus UNHAS

Tamalanrea Makassar, Telp 0411-585637, email: [email protected] 2Dosen Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,

Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5936852, email: [email protected]

ABSTRAK

The bottom shear stress of the turbulent bottom boundary layer under irregular wave over rough bed has been examined through two methods. The first is to fit logarithmic velocity profile to the measured

velocity in an oscillating wind tunnel, and the second is a calculation method based on a quadratic of free

stream velocity. However, an investigation of a more reliable calculation method to estimate the time-

variation of bottom shear stress has not been fully dealt with. In the present study, the new method for

calculating the instantaneous bottom shear stress under irregular waves proposed. The bottom shear

stress of experimental result will be examined with both calculation method of bottom shear stress -based

on incorporating velocity and acceleration terms all at once- and existing calculation methods. The

calculation method gives a good agreement with the bottom shear stress under irregular waves from

experimental results. Therefore this method can be used to an input sediment transport model under rapid

acceleration in a practical application.

Keywords: turbulent bottom boundary layer, bottom shear stress, irregular wave

1. PENDAHULUAN

Lapis batas turbulen (turbulent boundary layer) yang disebabkan oleh gelombang permukaan melalui

dasar kasar telah mendapat banyak perhatian para ahli insinyur pesisir dan kelautan. Meskipun ketebalan

lapis batas gelombang turbulen sangat kecil dibandingkan dengan kedalaman air, namun masih

memainkan peran yang sangat penting dalam penentuan laju transport sedimen, laju disipasi energi

gelombang, dan besaran tegangan geser dasar yang terkait dengan besar skala arus yang berubah secara

lambat menuju pantai. Karenanya, pemahaman kuantitatif dari mekanisme gelombang yang disebabkan

lapis batas dasar adalah paling penting dalam memprediksi proses morfologi pantai [1].

Pada dasarnya, gelombang di lingkungan pantai adalah irreguler dan memiliki karakteristis lapis batas gelombang yang berbeda dengan gelombang sinusoidal. Oleh karena itu dibutuhkan keakuratan perilaku

lapis batas gelombang irreguler untuk mencapai estimasi tegangan geser dasar yang paling representatif

dalam proses transportasi sedimen pantai.

Kajian yang berkaitan dengan wave boundary layer dan kaitannya dengan transportasi sedimen untuk

gelombang irregular sangat jarang sekali dilakukan, meskipun ada namun kebanyakan dibatasi untuk

kondisi dasar halus (smooth bed) misalkan [2] dan [3], yang mana sangat berbeda dengan kondisi nyata di

dasar pantai yang memiliki kekasaran dasar. Kajian tentang tegangan geser dasar dengan kondisi dasar

kasar untuk gelombang irregular telah dilakukan melalui pengujian di laboratorium dan mengusulkan

metode untuk estimasi tegangan geser dasar [4], namun begitu hasilnya masih kurang sesuai dengan hasil

percobaan. Baru-baru ini juga telah dilakukan studi tegangan geser pada gelombang irreguler tetapi lebih

cenderung menekankan terhadap metode percobaan untuk kondisi dasar halus dan kasar [5]. Selain itu, prediksi pemodelan morfologi pantai adalah lebih efisien jika menggunakan pendekatan

perhitungan tegangan geser dasar untuk keperluan praktis daripada pendekatan yang lebih komplek

dengan pemodelan dua fase [6]. Estimasi tegangan geser dasar adalah merupakan langkah yang paling

penting yang diperlukan sebagai input untuk pemodelan transportasi sedimen untuk keperluan praktis.

Oleh karena itu estimasi tegangan geser dasar yang digunakan berdasarkan pendekatan gelombang

sinusoidal dan non-linier perlu dievaluasi dengan melibatkan pengaruh ketidakteraturan dari bentuk

gelombang irregular yang biasa terjadi di perairan pantai.

Kajian ini bertujuan untuk menguji tegangan geser dasar baik melalui eksperimen osilasi wind tunnel

kondisi dasar kasar melalui gelombang irreguler dengan Laser Doppler Velocimeter (LDV) untuk

mengukur distribusi kecepatan, maupun secara numerik dengan pemodelan aliran turbulen boundary

layer gelombang irreguler. Metode estimasi baru tegangan geser dasar melalui gelombang irreguler

diusulkan yang didasarkan penggabungan efek kecepatan dan percepatan dalam perhitungan kecepatan

Page 88: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-88

gesekan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode baru yang lebih akurat untuk

perhitungan tegangan geser dasar akibat gelombang irregular.

2. DASAR TEORI

1. Pembangkitan gelombang irreguler eksperimen

Keacakan gelombang laut adalah akibat adanya sejumlah komponen gelombang dengan perbedaan

amplitudo dan frekuensi yang terkandung dalam spektrum gelombang. Profil gelombang irreguler yang

digunakan seperti yang diajukan oleh Nielsen [7]. Sketsa definisi gelombang irreguler ditampilkan pada

Gambar 1. Dalam gelombang irreguler ada dua definisi yang mungkin dari tinggi gelombang, sesuai

dengan gelombang individu yang dibatasi oleh zero upcrossings atau zero downcrossings berikutnya.

Pengukuran dari lembah ke puncak berikutnya adalah tinggi zero downcrossing, dH , sedangkan

pengukuran dari puncak ke lembah berikutnya adalah tinggi zero upcrossing, uH , dengan periode

gelombang masing-masing dT dan uT . Rata-rata adalah invarian yang berhubungan dengan pilihan

upcrossing versus downcrossing: uH = dH dan uT = dT .

Dalam analisis ini kerapatan spektral elevasi permukaan air gelombang irreguler, fS dihitung

dengan menggunakan formula kerapatan spektral Bretschneider-Mitsuyasu [2]:

4

3/1

5

3/13/1

2

3/1 03.1exp257.0

fTfTTHfS (1)

dimana, 3/1H , dan 3/1T adalah tinggi dan periode gelombang signifikan, dan f adalah frekuensi

gelombang. Simulasi kecepatan aliran bebas gelombang irreguler yang dilakukan untuk menghasilkan

time series kecepatan cukup panjang untuk memfasilitasi perhitungan parameter spektrum. Input

parameter untuk simulasi gelombang irreguler adalah tinggi dan periode gelombang signifikan, dan

kedalaman air. Pilihan segmen hasil time series disajikan sebagai waktu non-dimensi, t1/3 (dimana,

3/11/3 /2 T ). Tinggi permukaan air ( ) dan kecepatan aliran bebas (U ) telah dinormalisasi

dengan 2/1/3H dan hasil data kecepatan aliran bebas signifikan ( 1/3U ). Tingkat keakuratan irregularitas

pada hasil elevasi permukaan air dan kecepatan aliran bebas dapat diamati.

Gambar 1: Sketsa definisi gelombang irreguler

2. Metode-metode estimasi tegangan geser dasar (bottom shear stress)

3. Logarithmic-law

Tegangan geser dasar dari hasil eksperimen bisa diestimasi dengan menggunakan hubungan secara

logaritmik antara friction velocity, *U , dan variasi kecepatan terhadap kedalaman air sebagai berikut:

oz

zUu ln

*

(2)

/*

oU ; zyz (3)

Page 89: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-89

Dimana, u adalah kecepatan aliran didalam boundary layer yang diukur dengan LDV di dalam oscillating

wind tunnel, adalah konstanta von Karman‟s (=0.4), z adalah jarak yang melintas aliran dari

theoretical bed level zyz . *U adalah kecepatan gesek yang dikaitkan dengan tegangan geser

dasar ** UUo dan adalah kekentalan fluida Dengan memplot nilai u terhadap ozz /ln ,

garis lurus tergambarkan melalui data percobaan dan selanjutnya nilai kecepatan gesekan, *U bisa

diperoleh dari kemiringan garis ini.

4. Metode perhitungan tegangan geser dasar

Metode perhitungan tegangan geser dasar yang sudah ada digunakan yaitu, metode 1 diusulkan oleh

Tanaka dan Samad (2006) yang merupakan pendekatan tegangan geser dasar dari gelombang harmonik

yang dimodifikasi dengan beda fase antara tegangan geser dasar dan kecepatan aliran bebas sebagai

berikut [3]:

tUtUft wo

2

1

(4)

Disini, to , variasi tegangan geser dasar, t adalah waktu, adalah frekuensi angular, tU adalah

variasi waktu dari kecepatan aliran bebas, adalah beda fase antara tegangan geser dasar dan free

stream velocity (kecepatan aliran bebas) dan wf adalah koefisien gesekan gelombang.

Metode 2 merupakan metode baru tegangan geser dasar, dengan mengadopsi metode yang diusulkan oleh

Suntoyo [8]. Dalam metode ini diusulkan koefisien akselerasi, ca , yang digunakan untuk

mengekspresikan efek kecondongan gelombang irreguler dan ditentukan secara empiris dari data

percobaan dan hasil SST k model. Kecepatan gesekan diekspresikan dengan:

t

tUatUftU c

w

2/*

(5)

tUtUto

** (6)

Disini, harga koefisien percepatan ca diperoleh dari harga rata-rata tac yang dihitung dari hasil

percobaan tegangan geser dasar dan pemodelan numerik dengan menggunakan persamaan:

t

tUf

tUftU

taw

w

c

2/

2/*

(7)

5. Faktor gesekan gelombang dan beda fase

Koefisien gesekan gelombang dan beda fase yang digunakan dalam metode perhitungan tegangan

geser dasar [9], yaitu:

100.0

07.853.7expo

mw

z

af (8)

2

3/13/1

3/1

TUam (9)

derajatC

CCS 563.0

357.0153.0

127.01

00279.014.42

(10)

Page 90: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-90

o

mw

z

afC

2

1

; kondisi dasar kasar (11)

Variabel amplitudo orbit partikel fluida ma disesuaikan dengan gelombang signifikan, yakni 3/1ma ,

yang diberikan dengan Persamaan (9) untuk memperoleh koefisien gesek Persamaan (8). Variabel s

adalah beda fase antar kecepatan aliran bebas dan tegangan geser dasar, hasil penelitian terhadap

gelombang sinusoidal [9].

3. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, merupakan tahap pemodelan turbulence

boundary layer untuk gelombang irregular dengan menggunakan shear stress transport (SST) k

turbulence model. Tahap kedua, dilakukan analisa eksperimen dengan menggunakan data percobaan yang

diberikan dalam Tanaka [4]. Analisa ekperimen ini dilakukan sebagai validasi terhadap pemodelan

numerik, untuk selanjutnya menentukan metode baru perhitungan tegangan geser dasar dengan

memasukkan variabel batas kecepatan dan percepatan dalam perhitungannya, seperti pendekatan serupa

diberikan untuk gelombang asymmetric [10] dan saw tooth [8].

1. Eksperimen Turbulence Boundary Layer Gelombang Irreguler

Percobaan aliran turbulen untuk gelombang irreguler dilakukan di dalam oscillating wind tunnel,

kecepatan diukur pada bagian tengah terowongan diambil 20 titik kearah vertikal dengan menggunakan

LDV. Set-up eksperimen ditunjukkan pada Gambar 2, sedangkan kondisi percobaan diberikan pada Tabel

1 untuk mencapai suatu rezim turbulen.

Gambar 2: Diagram skematik sistem eksperimen

Tabel 1: Kondisi eksperimen

3/1T (s) 3/1U (cm/s) (cm2/s) RE S kS/yh

3.0 392.3484 0.148 496619,1 18.73 0.657

Dimana, 3/1T dan 3/1U adalah periode gelombang signifikan dan kecepatan aliran bebas signifikan,

masing-masing, tinggi gelombang kinematis, Sk dan tinggi kekasaran setara Nikuradse's, hy : jarak

dari dasar ke sumbu simetri terowongan, RE: (= 2// 3/11/3 TU ) bilangan Reynolds dan S:

(= hyTU 2// 3/11/3 ) Strouhal Number. Kekasaran dasar eksperimen berbentuk bola alluminium

Measuring Section

90 90 5.0

m

A

A

20

10

Section A-A (Dim. in cm)

Wind Tunnel

Input Signal through

a PC

DA Converter

Signal Controller

Servo Motor

Piston Servo Motor Driver to Wind

Tunnel

Potentiometer

Page 91: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-91

dengan diameter 1,0 cm, ditempelkan pada permukaan dasar wind tunnel sesuai Gambar 3 (tinggi

kekasaran, rH =10 mm). Elemen kekasaran menonjol melalui viskos sub-layer pada bilangan Reynolds

yang tinggi. Hal ini menyebabkan arus ikut (wake) di balik setiap elemen kekasaran, dan tegangan geser

ditransmisikan ke dasar oleh tekanan drag pada elemen kekasaran, sehingga distribusi kecepatan didekat

dasar adalah logaritmik. Fenomena ini dapat menjelaskan bahwa log-law bisa digunakan untuk estimasi

tegangan geser dasar diatas dasar kasar [11].

Gambar 3: Sketsa definisi kekasaran

2. Deskripsi model turbulen secara numerik

Model turbulen bisa digunakan untuk memprediksi properti turbulen akibat gerakan berbagai macam

gelombang. Shear stress transport (SST) k model juga merupakan bentuk gabungan antara formula

penyempurnaan k model di daerah dekat-dinding dengan k model dalam lapis batas terluar

yang diusulkan oleh Menter [12]. SST k model diklaim lebih akurat dan diandalkan untuk

klasifikasi aliran yang lebih luas daripada k model standar sebaik k model original, termasuk

memperbaiki prediksi kerugian gradien tekanan aliran. Dalam SST k model, pendefinisian

viskositas Eddy dimodifikasi dengan memperhitungkan prinsip efek transport dari tegangan geser

turbulen.

Persamaan non linier boundary layer untuk model turbulen diselesaikan secara numerik dengan

menggunakan Crank-Nicolson type implicit finite-difference scheme. Untuk mencapai akurasi yang lebih

baik didekat dasar, jarak grid diijinkan meningkat secara eksponensial. Tiap 1 periode gelombang

digunakan langkah 100 dalam ruang dan 7200 dalam waktu. Konfergen dicapai melalui dua tahap, tahap

pertama konfergen yang didasarkan pada nilai dimensionless dari u, k dan pada setiap waktu selama

satu siklus gelombang. Tahap kedua konfergen didasarkan pada harga maksimum wall shear stress dalam

satu siklus gelombang. Batas konfergen ditetapkan pada nilai 1x10-6 untuk kedua tahapan tersebut.

Penjelasan lengkap tentang teknik pemodelan numerik disediakan dalam [8] dan [13].

4. HASIL DAN DISKUSI

Pemodelan numerik aliran turbulen –dengan metode SST k model- pada kondisi dasar kasar

dan gelombang irreguler telah dilakukan. Analisa hasil percobaan dilakukan terhadap hasil eksperimen

Tanaka et.al. [4] dengan kondisi aliran dan gelombang yang sama. Selain sebagai validasi pemodelan numerik, analisis hasil percobaan ini akan menampakkan analisis lebih rinci tentang perilaku karakteristik

lapis batas turbulen. Hasilnya akan diterapkan dalam estimasi tegangan geser dasar.

Perbandingan variasi kecepatan rata-rata antara data eksperimen dengan pemodelan numerik yang

didasarkan pada tinggi gelombang signifikan eksperimen ditunjukkan pada Gambar 4. Nampak

kesesuaian sepanjang lintasan antara variasi kecepatan pemodelan numerik (USST k–ω model) dan kecepatan

eksperimen di wind tunnel, meskipun masih terdapat nilai over-estimasi dan under-estimasi di bagian

puncak dan lembah, namun pemodelan numerik yang dihasilkan valid.

Page 92: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-92

0 10 20 30

Time (s)

-500

0

500

U

(cm

/s)

Umodel

0 10 20 30

-500

0

500 Ueksperimen

Gambar 4: Perbandingan variasi kecepatan rata-rata hasil eksperimen dan pemodelan numerik (USST k–ω

model )

Tegangan geser dasar diperoleh dengan fitting logaritmik distribusi kecepatan terhadap pengukuran

kecepatan, sesuai Persamaan (2) dan (3) serta Gambar 5.

1 4 1 5 1 6 1 7 1 8

-4 00

-2 00

0

2 00

4 00

U(c

m/s

)

time (s)

i jk

l

mn

op

5

1 0- 1

2

5

100

2

5

101

z(c

m)

ij

kl m

n o

p

-4 00 -2 00 0 2 0 0 40 0

u (cm/s)

5

1 0- 1

5

100

5

101

z(c

m)

Gambar 5: Fitting logarithmik untuk estimasi bottom shear stress

Perbandingan estimasi tegangan geser dasar hasil eksperimen, metode SST k turbulence model,

metode Tanaka dan Samad (metode 1) dan metode 2 dapat dilihat pada Gambar 6. Baik metode SST

k turbulence model dan metode 1 ini tidak menunjukkan kesesuaian yang baik terhadap hasil

estimasi tegangan geser dasar eksperimen sepanjang siklus gelombang irregular. Keduanya memberikan

nilai over-estimasi dan under-estimasi tegangan geser dasar pada bagian puncak dan lembah hasil

eksperimen. Berdasarkan perbandingan estimasi tegangan geser dasar tersebut maka dibutuhkan metode

Page 93: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-93

baru untuk estimasi tegangan geser dasar akibat pergerakan gelombang irregular, yang lebih mendekati

estimasi tegangan geser dasar hasil eksperimen.

0 10 20 30

Time (s)

-2000

0

2000

o/

(c

m2/s

2)

Metode 1

Metode 2

Eksperimen

Model SST

-500

0

500

U

(cm

/s)

Gambar 6: Perbandingan bottom shear stress hasil eksperimen, metode SST k turbulence model,

metode Tanaka dan Samad (metode 1) dan metode yang diusulkan (metode 2)

Estimasi metode baru tegangan geser dasar ini ditentukan secara empiris dari data percobaan dan hasil

SST k model dan diperoleh koefisien akselerasi sebesar ca = 0,485 yang digunakan untuk

mengekspresikan efek kecondongan gelombang irreguler. Perbandingan estimasi tegangan geser dasar metode baru dengan koefisien akselerasi ditampilkan sebagai metode 2 pada Gambar 6. Metode baru ini

telah menunjukkan persetujuan yang paling baik dengan data eksperimen. Metode baru dapat

dipertimbangkan sebagai metode handal untuk perhitungan tegangan geser dasar pada gelombang

irreguler. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode baru yang diusulkan untuk perhitungan tegangan

geser dasar akibat gelombang irreguler memiliki akurasi yang cukup.

5. KESIMPULAN

Metode baru untuk estimasi tegangan geser dasar akibat pergerakan gelombang irregular dengan

kondisi dasar kasar telah diusulkan. Penggabungan efek percepatan telah secara signifikan memperbaiki

perhitungan tegangan geser dasar untuk gelombang irreguler. Sehingga bisa dipertimbangkan bahwa

metode baru tegangan geser dasar ini bisa digunakan untuk pemodelan laju transportasi sedimen akibat

gelombang yang memiliki akselerasi tinggi dan dapat diterapkan dalam aplikasi praktis, dengan demikian diharapkan nantinya bisa memperbaiki keakuratan dalam pemodelan morfologi pantai dalam kondisi

sebenarnya.

Page 94: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-94

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Hsu, T.W and Ou, S.H (1997) Wave boundary layers in rough turbulent flow. Ocean

Engineering, Elsevier. Vol. 24, No. 1, pp. 25-43.

2. Samad, M.A and Tanaka, H (1999) Estimating instantenous turbulent bottom shear stress under

irregular wave. Journal of Hydroscience and Hydraulic Engineering, 17(2), 107126.

3. Tanaka, H, and Samad, M.A (2006) Prediction of instantaneous bottom shear stress for turbulent

plane bed condition under irregular wave. Journal of Hydraulic Research, Elsevier, 44 (1), 94-

106.

4. Tanaka, H, Suzuki, T, Suntoyo and Yamaji, H (2002) Time-variation of bottom shear stress under

irregular waves over rough bed. Journal of Hydroscience and Hydraulic Engineering, 25(2), 217-

225. 5. Huo, G, Wang, Y, Yin, B and You, Z. (2007) The study of the bed shear stress on the irregular

waves. 17th 2007 International Offshore and Polar Engineering Conference, ISOPE 2007. Lisbon:

1 July 2007 through 6 July 2007. Code 70675.

6. Hsu, T.J and Hanes, D.M (2004) Effects of wave shape on sheet flow sediment transport. Journal

of Geophysical Research Vol. 109, C05025.

7. Nielsen, P (2009) Coastal and estuarine processes. Advanced Series on Ocean Engineering –

Volume 29. Singapure. Word Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

8. Suntoyo, Tanaka, H and Sana, A (2008) Characteristics of turbulent boundary layers over a rough

bed under saw-tooth waves and its application to sediment transport. Coastal Engineering,

Elsevier, 55 (12), 1102-1112.

9. Tanaka, H, and Thu, A (1994) Full-range equation of friction coefficient and phase difference in a wave-current boundary layer. Coastal Engineering, Vol.22, 237-254.

10. Suntoyo, 2006. Study on Turbulent bottom boundary layers under non-linier waves and its

application to sediment transport, PhD Thesis, Tohuku University, Japan.

11. Hino, M, Kashiwayanag, M, Nakayama, A and Nara, T (1983) Experiments on the turbulence

statistics and the structure of a reciprocating oscillatory flow. Jurnal Fluid Mechanic, Vol. 131,

263.

12. Menter, F.R (1994) Two-equation eddy-viscosity turbulence models for engineering applications.

AIAA Journal, Vol.32, No.8, 1598-1605.

13. Suntoyo, Tanaka, H (2009) Effect of bed roughness on turbulent boundary layer and net sediment

transport under asymmetric waves. Coastal Engineering, Elsevier, 56(9), 960-969.

Page 95: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-95

HIDROLOGI INSPEKSI BENDUNGAN

SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

Manyuk Fauzi

Dosen Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5

Simpang Baru, Pekanbaru 28293, email:[email protected]

ABSTRAK

Pengertian pengendalian daya rusak air tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2004 pasal 51 ayat (1) yaitu

mencakup upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Penjelasan rinci tentang pengendalian daya rusak air melalui bendungan beserta waduknya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30

Tahun 2010 pasal 117. Pengendalian daya rusak air melalui bendungan beserta waduknya merupakan

kegiatan yang meliputi a). pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan dan b).

pengendalian terhadap fungsi bendungan beserta waduknya. Menyangkut penyelenggara keamanan

bendungan diuraikan pada pasal 138 hingga pasal 143 dalam PP yang sama. Penyelenggara keamanan

bendungan meliputi a). evaluasi keamanan bendungan, b). pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi

bendungan, dan c). penyelenggaraan inspeksi bendungan. Penyeleggaraan inspeksi bendungan meliputi

kegiatan penelitian terhadap kondisi fisik bendungan dan bangunan pelengkapnya dan pengecekan

instrumen bendungan. Uraian tersebut di atas menunjukkan pentingnya peranan hidrologi jika

dihubungkan dengan keberlangsungan fungsi bendungan. Analisa hidrologi dalam inspeksi bendungan

sangat dibutuhkan dalam 2 hal yaitu a). verifikasi dan kalibrasi data yang tersedia guna keperluan evaluasi banjir dan ketersedian air, dan b). analisa erosi serta sedimentasi waduk.

Analisa hidrologi dalam kajian ini menggunakan prosedur yang ditetapkan di dalam Panduan

Perencanaan Bendungan Urugan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum RI, meliputi

analisa penelusuran banjir (flood routing) dan tinggi maksimum tanggul. Dalam analisa tersebut juga

dikaji tingkat resiko waduk (situ) berdasarkan data teknis hasil kajian.

Hasil kajian hidrologi saat kejadian menunjukkan bahwa tinggi muka air di atas pelimpah 1,03 m atau

elevasi + 99,03. Dengan elevasi tanggul excisting + 100,00 m maka untuk kesimpulan keruntuhan akibat

overtopping secara teoritis tidak terjadi. Dengan tujuan menurunkan tingkat resiko waduk/situ maka

harus dilakukan analisa lebih lanjut.

Kata kunci : hidrologi, inspeksi bendungan, pengendalian daya rusak air

1. PENDAHULUAN

Apresiasi perlu disampaikan kepada Subandrio [1] selaku Direktur Sungai dan Pantai Kementrian

Pekerjaan Umum atas pernyataannya bahwa “proyek ini (rehabilitasi situ Gintung) semestinya selesai

pertengahan tahun 2011, tapi saya minta sampai akhir tahun ini saja. Ini merupakan proyek rekonstruksi

tercepat di dunia, mulai dari runtuh, pembangunan, sampai jadi”. Pernyataan Direktur Sungai dan Pantai

tersebut berhubungan dengan rehabilitasi situ Gintung yang jebol pada 27 Maret 2009, kemudian mulai

dibangun kembali pada Desember 2009. Proyek rehabilitasi situ seluas 26,5 hektar itu ditargetkan selesai

pada 31 Desember 2010. Kendati demikian, akibat cuaca yang tidak menentu, pembangunannya belum

100% rampung.

Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), situ Gintung

dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1932-1933 dengan luas 31 hektar dan kapasitas

penyimpanan air/waduk (storage) ± 2,1 juta meter kubik. Namun, pada tahun 2008, luas situ tinggal 21,4

hektar dan kapasitas waduk air berkurang menjadi ± 1,5 juta meter kubik. Hal tersebut menjadi indikator terjadinya perubahan tata guna lahan dan sedimentasi, yang cukup signifikan merubah keseimbangan air

di situ Gintung. Semula situ ditujukan sebagai sumber air irigasi untuk persawahan,namun demikian,

areal persawahan tersebut secara bertahap berubah fungsi menjadi perumahan. Fungsi situ pun berubah,

tidak lagi berfungsi sebagai sumber air irigasi, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai pengendali banjir,

tempat wisata, dan perikanan. Akibat perubahan tersebut, asumsi-asumsi teknis di awal perencanaan

dimungkinkan sudah tidak sesuai lagi untuk kondisi saat ini. Secara teknis, keruntuhan bendungan dapat

disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut [2] :

1. Erosi akibat mengalirnya air melalui lubang-lubang/pondasi (piping) suatu bendungan penyebab

utama kerusakan bendungan di dunia, dibandingkan dengan sebab-sebab yang lain kecuali peluapan di

atas tubuh bendungan (overtopping), bila air dari waduk merembes melalui tubuh atau pondasi

Page 96: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-96

bendungan urugan yang terdiri atas material tanah yang dipadatkan, maka tekanan hidrolisnya akan

didistribusikan terhadap tegangan pori yang merupakan pengikat antar butiran material. Jenis

kegagalan ini terjadi pada bendungan Solorejo, Kedung Sengon dan Kaliulo.

2. Kerusakan akibat retakan (crack), retakan sering kali menjadi penyebab kebocoran pada bendungan

yang berkembang menjadi erosi buluh dan akhirnya menyebabkan kerusakan bendungan. Retakan

yang patut diwaspadai adalah retakan dengan lebar lebih dari ¼ inchi. Retakan yang paling bahaya

yakni jenis melintang as bendungan, sebab retakan ini berpotensi menjadi alur buluh yang menembus tubuh bendungan dan disebabkan konsolidasi yang tak seragam pada tubuh bendungan atau pondasi.

Hal tersebut juga dapat mengindikasikan tidak memadainya proses pemadatan pada saat konstruksi.

Jenis kerusakan ini terjadi pada bendungan Kedung Ombo dan Kedung Bendo di Provinsi Jawa

Tengah.

3. Longsoran (slide) pada bendungan urugan disebabkan karena penyebab yang sama yakni kejadian

longsoran pada tebing atau lereng yang biasa ketika gaya yang bekerja pada suatu bidang geser

melampui batas gaya yang dapat ditahan. Terdapat tiga jenis longsoran yakni longsoran selama

konstruksi, longsoran pada lereng timbunan sebelah hilir sebelum waduk dioperasikan dan longosorang lereng timbunan sebelah hulu. Jenis kerusakan ini terjadi pada bendungan Way Curug di

Provinsi Lampung dan Kedung Sengon di Provinsi Jawa Tengah.

4. Peluapan (overtopping) yakni peristiwa meluapnya air waduk melalui puncak bendungan yang terjadi

karena banjir besar melebihi kapasitas dan gelombang tinggi melampaui puncak bendungan yang

diakibatkan gempa tektonik atau kelongsoran pada dinding waduk. bendungan beton pada umumnya

tahan peristiwa ini namun peluapan sangat fatal pada bendungan urugan, sebab aliran yang melampaui

puncak bendungan urugan sedemikian derasnya dan mampu menggerus puncak bendungan urugan,

baik tanah maupun batu, sehingga keruntuhan total hampir selalu terjadi. Di Indonesia, peristiwa semacam ini pernah terjadi satu kali, yakni di anak bendungan (urugan batu) Waduk Sempor

Jawa Tengah.

5. Gempa Bumi, siaga gempa bumi terjadi apabila gempa bumi terasa dan membawa akibat pada

bangunan-bangunan utama di daerah bendungan/embung. Akibat terjadinya gempa bumi sangat

tergantung pada besar kecilnya gempa. Guncangan gempa bumi yang membahayakan

bendungan/embung adalah jika :

a. lebih dari 4 MMI (Modified Marcalli Intensity)

b. lebih dari 15–18 detik pada frekuensi 3 Hz dan akselerasi lebih dari 0,12 gal

c. terdapat gempa bumi dengan kekuatan : Lebih dari 4 Skala Riechter dalam radius < 50 km

Lebih dari 5 Skala Riechter dalam radius < 80 km

Lebih dari 6 Skala Riechter dalam radius < 80 km

Lebih dari 7 Skala Riechter dalam radius < 80 km

Tingkat frekuensi kerusakan yang telah diuraikan diatas dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel 1: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan di Dunia

No Faktor Penyebab Mekanisme Terjadinya Prosentase

1 Limpasan (overtopping) banjir 30%

2 Piping/aliran buluh atau longsoran pada timbunan

atau pondasi

rembesan dan erosi

pada bagian dalam 25%

3 Kebocoran pipa saluran bervariasi 13%

4 Kerusakan pada lapisan permukaan timbunan

bagian hulu bervariasi 5%

5 Ketidakstabilan lereng timbunan bervariasi 15%

6 Penyebab lain (gempa, liquefaction, sabotase dan

lain-lain) bervariasi 12%

Sumber : Dam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005 [2]

Page 97: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-97

Tabel 2: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan Ditinjau dari Usia Bendungan

Waktu Penyebab Keruntuhan (%) Rerata

Setelah Pengisian Overtopping Kebocoran saluran Rembesan Gelincir (%)

0 - 1 9 23 16 29 19

1 - 5 17 50 34 24 31

5 - 10 9 9 13 12 11

10 - 20 30 9 13 12 16

20 - 50 32 9 24 23 22

50 - 100 3 0 0 0 1

Sumber : Dam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005 [2]

Sesuai Tabel 2 untuk bendungan dengan usia lebih dari 10 tahun, overtopping menjadi penyebab

keruntuhan paling dominan. Dalam banyak kasus di struktur bendungan, overtopping selalu dihubungkan

dengan kapasitas peluapan dari pelimpah. Besarnya debit banjir sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang efektif menjadi limpasan langsung. Perubahan lahan dari kondisi vegetasi menjadi perumahan

menyebabkan peningkatan volume limpasan langsung (run off). Dengan asumsi hidrograf banjir saat

kejadian runtuhnya tanggul situ Gintung dijadikan data terkini dalam kerangka kegiatan inspeksi

bendungan, maka penelitian ini bertujuan memperoleh elevasi tanggul maksimum rencana. Diharapkan

dengan elavasi maksimum tersebut, kejadian overtopping dapat dihindari apabila situ Gintung

difungsikan kembali. Kajian berpedoman pada Buku Panduan Perencanaan Bendungan Urugan,

Departemen Pekerjaan Umum, tahun 1999.

2. INSPEKSI BENDUNGAN

Metode ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan dalam kegiatan desain, konstruksi, eksploitasi,

pemeliharaan dan penghapusan bendungan serta pengawasan kegiatan, untuk menjamin keamanan bendungan. Desain mencakup antara lain [3], mengenai desain hidrologi dan hidraulik, desain struktur,

pemantauan, perencanaan dan desain waduk, petunjuk inspeksi keamanan, rencana darurat dan tata cara,

aspek keamanan desain yang berkaitan dengan sungai perbatasan dan pengesahan desain.

Pelaksanaan konstruksi meliputi aspek pelaksanaan terhadap desain, penampang sungai dan

pengisian waduk, tindakan pencegahan dalam keadaan darurat, dan resiko lingkungan serta perbaikan

bendungan dan waduk yang ada. Eksploitasi dan pemeliharaan meliputi pengendalian debit banjir,

kemampuan dalam operasional, pemantauan dan inspeksi serta klasifikasi kerawanan tentang peristiwa

dan musibah. Penghapusan bendungan berisikan persetujuan menghentikan kegiatan, pemugaran keadaan

alamiah dan pengawasan terhadap bendungan yang dihapus. Desain hidrologi dan hidraulik mencakup

metode dan patokan desain, debit banjir desain, kondisi air hilir, penggenangan di hilir. Desain struktur

mencakup tentang metode, patokan, rancangan desain, beban dan faktor keamanan, stabilitas pondasi,

rembesan, deformasi bangunan, kemerosotan mutu dan kegempaan. Pemantauan meliputi sistem pengamatan hidrologi, pemantauan struktur dan pemantuan seismik.

Perencanaan dan desain waduk membahas tentang pengamanan banjir, kemantapan tebing waduk,

pengendapan di waduk dan keamanan lingkungan. Petunjuk inspeksi keamanan memuat tentang jadwal

inspeksi, metode dan tata cara pengawasan. Aspek pelaksanaan konstruksi terhadap desain meliputi

perubahan konstruksi terhadap desain, metode konstruksi dan peralatan, supervisi dan inspeksi

konstruksi. Eksploitasi dan pemeliharaan kekokohan struktural dan keamanan operasional meliputi

pembebanan dan deformasi bangunan, pemeriksaan visual bendungan, penyelidikan di bawah air,

rembesan dan drainase, pondasi dan tebing tumpuan.

Inspeksi bendungan merupakan salah satu syarat utama dalam usaha menentukan tingkat keamanan

dari suatu bendungan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.72 tahun 1997

tentang Keamanan Bendungan pada Bagian Kedua mengenai Inspeksi Bendungan, Pasal 17 "penyelenggaraan inspeksi bendungan dilakukan oleh Unit Keamanan Bendungan sekurang-kurangnya

sekali dalam 5 (lima) tahun atau ditentukan lain oleh Komisi Keamanan Bendungan”. Secara garis besar,

ada tiga macam inspeksi yang perlu dilakukan, yaitu [4]:

1. inspeksi tahunan

2. inspeksi besar (setiap lima tahun)

3. inspeksi luar biasa (seteiah kejadian luar biasa berupa gempa, banjir dan lain-lain)

Page 98: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-98

Dengan demikian, jelas bahwa inspeksi berkala merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan oleh semua

pemilik bendungan untuk memenuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia. Hal ini tentunya terkait dengan

kenyataan bahwa bendungan memiliki potensi bahaya disamping berbagai manfaat untuk energi primer,

air baku, irigasi, pengendalian banjir, penampung limbah tambang dan sebagainya.

3. PENELUSURAN BANJIR

Penelusuran banjir lewat waduk ini bertujuan mendapatkan hubungan antara pengeluaran (outflow)

dan elevasi muka air waduk yang dimulai dari elevasi ambang pelimpah. Penelusuran banjir lewat waduk

didasarkan pada persamaan kontinuitas sebagai berikut (Hidrologi Teknik, 1995:176):

I – O = dt

ds (3-1)

dengan I = aliran yang masuk ke waduk (m3/det), O = aliran yang keluar dari waduk (m3/det), dan dt

ds =

perubahan tampungan tiap periode (m3/det).

Penjabaran rumus diatas adalah sebagai berikut :

2

O

t

S

2

O

t

S

2

II 221121

(3-2)

jika,

2

O

t

S 11 (3-3)

2

O

t

S 22 (3-4)

maka,

2

21 II (3-5)

dengan I1 = inflow pada awal t, I2 = inflow pada akhir t, O1 = outflow pada awal t, O2 =

outflow pada akhir t, S1 = tampungan pada awal t, S2 = tampungan pada akhir t, dan t = periode penelusuran banjir.

Penelusuran banjir lewat waduk dihitung untuk kondisi banjir yang melimpas di atas pelimpah. Besarnya

aliran yang menjadi limpasan (over flow) melalui pelimpah didekati dengan rumus Q = C.L.H3/2, dengan

Q = debit (m3/dt), C = koefisien limpasan, L = lebar efektif bendung (m), dan H = total tinggi tekanan air

di atas mercu (m).

4. EVALUASI ELEVASI PUNCAK TANGGUL

Dalam inspeksi bendungan, analisa berdasarkan data terbaru harus dilakukan guna melakukan

evaluasi kondisi struktur saat ini. Dalam kasus penelitian ini, difokuskan kepada evaluasi elevasi puncak

tanggul, hal ini dikarenakan berkembang persepsi bahwa kejadian runtuhnya situ Gintung akibat overtopping.

Penetapan elevasi puncak tanggul berdasarkan urutan skenario perhitungan kapasitas tampungan

optimal waduk, ditambah kebutuhan tinggi untuk volume banjir dengan tinggi jagaan. Dari perhitungan

kapasitas tampungan optimum didapatkan muka air normal, sedangkan dari routing melalui pelimpah

akan didapatkan muka air banjir.

a. Tinggi Jagaan (Hj)

Berdasarkan Buku Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum, tahun

1999, halaman 34, tinggi jagaan yang diperhitungkan terdiri dari :

Tinggi gelombang karena angin (wave height = Hw)

Formula Molitor untuk menghitung tinggi gelombang karena angin adalah sebagai berikut :

Page 99: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-99

212

1

41

21

41

21

)(032.0 )(17.0

km 32 miles 20

27.075.0).(032.0 5.2).(17.0

km 32 miles 20

UFHUFH

FFUntuk

FFUHFFUH

FFUntuk

ww

ww

(4-1)

dengan Hw = tinggi gelombang, dalam feet atau meter, U = kecepatan angin, dalam miles/hours atau km/jam dan F = panjang fetch.

Peningkatan tinggi muka air karena angin (wind set up = Hs)

Dihitung menggunakan dengan persamaan ZuiderZee formula :

cos1400

2

D

FVHs (mile)

D

FVHs

63000

cos..2 (m) (4-2)

dengan Hs = peningkatan tinggi muka air karena angin (m), V = kecepatan angin (km/jam), F =

panjang fetch (km atau miles), D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m), = sudut

antara bidang tegak lurus as bendungan dengan arah gelombang.

Tinggi rayapan gelombang (wave run up = Hr)

Dihitung dengan menganggap bahwa gesekan di lereng bendungan kecil,

g

VHr

g

2

2

(4-3)

Hr = tinggi rayapan gelombang, feet

Vg = kecepatan gelombang, feet/second

persamaan Gaillard : Vg = 5 + 2Hd

Hd = tinggi gelombang karena angin (wave height, unit: feet) = 1,3 Hw

g = gravitasi, 32,15 ft/sec2

Tinggi gelombang akibat gempa (He)

Dihitung menggunakan dengan persamaan :

Hoge

..

= he

dengan he = tinggi ombak (m), e = intensitas gempa horisontal, = siklus gempa, Ho =

kedalaman air di dalam waduk (m).

Tinggi cadangan (Hu)

Tinggi cadangan (Hu) = 1,00 m untuk muka air normal

Tinggi cadangan (Hu) = 0,50 m untuk muka air banjir

5. ANALISA DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis curah hujan untuk kawasan di sekitar Situ Gintung, curah hujan yang terukur

pada stasiun hujan terdekat yaitu stasiun Ciputat, curah hujan mencapai 113,2 mm/hari. Dari radar cuaca

Pondok Betung BMKG, curah hujan tersebut terjadi selama 2 kali, yaitu pada pukul 13.00-16.00 dengan

hujan normal, dan pada pukul 17.00-18.30 dengan hujan ekstrim mencapai 70 mm/jam.

Dibandingkan dengan kejadian hujan pada waktu sebelumnya maka disekitar Situ Gintung pernah terjadi hujan dengan tebal hujan yang lebih besar dari pada saat bencana. Pada 1 Februari 2007, saat

Jakarta mengalami banjir besar, hujan di daerah sekitar Situ Gintung mencapai 275-300 mm/hari. Namun

tanggul tidak jebol meski hujan terjadi sangat besar. Dengan demikian curah hujan yang terjadi

menjelang jebolnya tanggul Situ Gintung bukan merupakan faktor utama. Namun sebagai pemicu

(trigger) karena volume air mengalami kenaikan secara cepat sehingga limpas dari spillway. BMKG

(4-4)

Page 100: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-100

Ciputat juga mencatat hidrograf banjir saat terjadinya keruntuhan tanggul situ Gintung sebagaimana

gambar 1 atau tabel 3.

Gambar 1: Hidrograf Banjir Saat Kejadian

Tabel 3: Inflow Banjir

Sumber : BMKG Ciputat

Tabel 4: Luas DAS

Sumber : Neraca Air Kali Angke , 2007

No Sub DAS Luas (km2)

1 Pesanggrahan 1 1 75,15

2 Pesanggrahan 2 20,52

3 Grogol 31,01

4 Pesanggrahan 3 12,14

5 Angke 1 107,53

6 Angke 2 118,74

7 Sepak 30,54

8 Mookervart Canal 63,69

Hidrograf Banjir Saat Kejadian

t Inflow t Inflow

( jam ) ( m3/dt) ( jam ) ( m3/dt)

0.00 0.70 6.25 3.80

0.25 0.75 6.50 3.00

0.50 0.80 6.75 2.40

0.75 0.85 7.00 2.00

1.00 1.00 7.25 1.70

1.25 1.10 7.50 1.50

1.50 1.50 7.75 1.30

1.75 2.50 8.00 1.20

2.00 5.00 8.25 1.19

2.25 10.75 8.50 1.18

2.50 16.50 8.75 1.17

2.75 22.25 9.00 1.16

3.00 28.00 9.25 1.15

3.25 33.00 9.50 1.14

3.50 36.60 9.75 1.13

3.75 35.80 10.00 1.12

4.00 32.00 10.25 1.11

4.25 27.00 10.50 1.10

4.50 22.00 10.75 1.09

4.75 17.00 11.00 1.08

5.00 12.50 11.25 1.07

5.25 9.50 11.50 1.06

5.50 7.50 11.75 1.05

5.75 6.00 12.00 1.04

6.00 4.80 12.25 1.03

Gambar 2: DAS Ciliwung

Page 101: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-101

Situ Gintung sendiri masuk ke dalam sistem DAS Pesanggrahan 2 dengan luas DAS 20,52 km2. Tabel 2

menunjukkan besaran banjir maksimum saat kejadian runtuhnya tanggul yaitu 36,60 m3/dt. Dengan luas

DAS 20,52 km2 (DAS Pesanggrahan 2), pemerintah Belanda melakukan desain pelimpah (spillway) situ

Gintung untuk kala ulang 100 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa besarnya banjir maksimum saat

kejadian runtuhnya tanggul situ Gintung mencapai 36,60 m3/dt. Analisa banjir berbagai kala ulang untuk

DAS Pesanggrahan 2 ditunjukkan tabel 5. Jika dilihat informasi hidrograf banjir saat kejadian dengan

hasil analisa banjir rencana, maka secara teoritis pelimpah situ Gintung masih sanggup melewatkan debit banjir saat kejadian. Kata „sanggup‟ yang dimaksud sebelumnya berarti tinggi air yang melimpas di atas

pelimpah tidak mungkin melampui elevasi tanggul atau overtopping. Guna membuktikan ini lebih lanjut

dilakukan analisa penelusuran banjir lewat waduk, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 6 dan tabel 7.

Penelusuran banjir dilakukan berdasarkan data lengkung kapasitas waduk (gambar 3a) dan hubungan

antara variabel tampungan, elevasi dan debit yang melimpas di atas pelimpah.

Tabel 5 : Banjir Berbagai Kala Ulang DAS Pesanggrahan 2

DAS Kala Ulang

2 5 10 20 25 50 100

Pesanggrahan 2 10.40 17.71 22.77 28.39 31.20 35.70 41.32

Sumber : Neraca Air Kali Angke , 2007

Tabel 6 : Hubungan Elevasi-Tampungan-Debit Hubungan Elevasi-Tampungan-Debit

Elevasi H Q S S/t Q/2 Y

( m ) ( m ) ( m3/dt) (m3) (m3/dt) ( m3/dt) ( m3/dt) ( m3/dt)

98.0 0.0 0.0 - 0.0 0.0 0.0 0.0

98.1 0.1 0.6 751,981.2 835.5 0.3 835.2 835.8

98.2 0.2 1.8 764,519.9 849.5 0.9 848.6 850.3

98.3 0.3 3.3 777,132.8 863.5 1.7 861.8 865.2

98.4 0.4 5.3 789,817.1 877.6 2.7 874.9 880.2

98.5 0.5 7.6 802,570.1 891.7 3.8 887.9 895.6

98.6 0.6 10.3 815,388.7 906.0 5.1 900.8 911.1

98.7 0.7 13.3 828,270.1 920.3 6.6 913.7 926.9

98.8 0.8 16.5 841,211.1 934.7 8.3 926.4 942.9

98.9 0.9 20.1 854,208.7 949.1 10.0 939.1 959.2

99.0 1.0 23.9 867,259.7 963.6 11.9 951.7 975.6

99.1 1.1 27.9 880,361.0 978.2 14.0 964.2 992.2

99.2 1.2 32.3 893,509.1 992.8 16.1 976.7 1008.9

99.3 1.3 36.8 906,700.9 1007.4 18.4 989.0 1025.9

99.4 1.4 41.6 919,932.9 1022.1 20.8 1001.3 1042.9

99.5 1.5 46.6 933,201.7 1036.9 23.3 1013.6 1060.2

99.6 1.6 51.8 946,503.8 1051.7 25.9 1025.8 1077.6

99.7 1.7 57.3 959,835.7 1066.5 28.6 1037.9 1095.1

99.8 1.8 62.9 973,193.9 1081.3 31.4 1049.9 1112.8

99.9 1.9 68.7 986,574.6 1096.2 34.4 1061.8 1130.6

100.0 2.0 74.7 999,974.2 1111.1 37.4 1073.7 1148.4 Sumber : Hasil Analisa

Page 102: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-102

84

86

88

90

92

94

96

98

100

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0

Elev

atio

n (m

)

Volume ( 106 m3)

Kurva Waduk

[Hubungan Elevasi Dengan Tampungan]

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0 1 2 3 4 5 6 7

Hidrograf Inflow-Outflow

Gambar 3a: Lengkung Kapasitas Waduk Gambar 3b: Hidrograf Banjir Hasil Routing

Kondisi elevasi tanggul saat kejadian adalah el. +100,0 m serta elevasi crest spillway +98,0 m. Dengan

lebar efektif pelimpah ±11,20 m maka dapat dihitung hubungan antara tampungan-elevasi-debit

sebagaimana tabel 6. Hasil penelusuran banjir dengan menggunakan persamaan (3-2) hingga persamaan

(3-5) ditunjukkan tabel 7. Nilai maksimum tinggi air di atas spillway adalah elevasi +99,04 m atau tinggi

air rencana, Hd = 1,04 meter dengan debit yang melimpas keluar ±25,39 m3/dt (lihat gambar 3b). Elevasi air maksimum yang melimpas di atas spillway secara teoritis masih dibawah elevasi tanggul eksisting

(+99,04 m < +100,0).

Tabel 7: Penelusuran Banjir Lewat Waduk Situ Gintung

[jam] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m] [m]

0.00 0.70 0.70 0.70 0.17 98.17

0.25 0.75 0.73 836.44 837.16 0.70 0.11 98.11

0.50 0.80 0.78 836.46 837.24 0.71 0.11 98.11

0.75 0.85 0.83 836.53 837.35 0.72 0.11 98.11

1.00 1.00 0.93 836.64 837.56 0.73 0.11 98.11

1.25 1.10 1.05 836.83 837.88 0.76 0.11 98.11

1.50 1.50 1.30 837.12 838.42 0.80 0.12 98.12

1.75 2.50 2.00 837.62 839.62 0.90 0.13 98.13

2.00 5.00 3.75 838.72 842.47 1.13 0.16 98.16

2.25 10.75 7.88 843.35 851.22 1.85 0.21 98.21

2.50 16.50 13.63 849.37 863.00 3.12 0.29 98.29

2.75 22.25 19.38 859.88 879.26 5.19 0.39 98.39

3.00 28.00 25.13 874.07 899.19 8.26 0.52 98.52

3.25 33.00 30.50 890.93 921.43 12.23 0.67 98.67

3.50 36.60 34.80 909.20 944.00 16.75 0.81 98.81

3.75 35.80 36.20 927.25 963.45 21.06 0.93 98.93

4.00 32.00 33.90 942.39 976.29 24.05 1.00 99.00

4.25 27.00 29.50 952.24 981.74 25.39 1.04 99.04

4.50 22.00 24.50 956.35 980.85 25.17 1.03 99.03

4.75 17.00 19.50 955.67 975.17 23.79 1.00 99.00

5.00 12.50 14.75 951.39 966.14 21.69 0.94 98.94

5.25 9.50 11.00 944.45 955.45 19.25 0.88 98.88

5.50 7.50 8.50 936.20 944.70 16.90 0.81 98.81

5.75 6.00 6.75 927.79 934.54 14.81 0.75 98.75

6.00 4.80 5.40 919.73 925.13 12.92 0.69 98.69

6.25 3.80 4.30 912.21 916.51 11.30 0.63 98.63

6.50 3.00 3.40 905.21 908.61 9.86 0.58 98.58

6.75 2.40 2.70 898.74 901.44 8.64 0.54 98.54

7.00 2.00 2.20 908.55 910.75 7.98 0.61 98.61

t I Q H El. MAW2

21 II 2

21 II

Sumber : Hasil Analisa

Page 103: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-103

Hasil analisa menunjukan bahwa kejadian overtopping secara teoritis tidak terjadi. Fakta di lapangan

menujukkan bahwa sebagian lahan permukiman yang telah berkembang di hilir tanggul memiliki beda

ketinggian mencapai sekitar 15 meter. Dengan melihat bekas-bekas jebolnya tanggul, maka diduga

adanya erosi buluh (piping) sudah berlangsung cukup lama yang ditandai dengan adanya mata air

dibawah tanggul. Erosi buluh tersebut menyebabkan deformasi struktur spillway. Pada saat muka air situ

naik dengan cepat dan melimpas di spillway, maka terjadi gaya dorongan massa air yang lebih besar

sehingga terjadi landsliding (longsoran) pada badan tanggul. Makin lama makin menggerus bagian dasar

tanggul sehingga mencapai sekitar 20 meter [5].

Sementara itu, terhadap elevasi maksimum tanggul eksisiting masih harus dilakukan analisa kembali

dengan menggunakan standar yang berlaku saat ini. Sesuai dengan Buku Panduan Perencanaan

Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum (1999) maka besarnya tinggi jagaan sebagaiman ditampilkan tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan kebutuhan tinggi jagaan sebesar 2,81 m, dengan demikian tinggi tanggul yang

harus ditetapkan adalah elevasi crest spillway + tinggi air maksimum di atas pelimpah + tinggi jagaan

atau +98,00 + 1,04 + 2,81 = +101,85 m ≈ +102,00 m. Jika nilai +102,00 m merupakan kebutuhan riil,

yang dihitung berdasarkan kondisi saat ini sebagai hasil inspeksi bendungan, maka elevasi tersebut

menjadi rekomendasi yang sangat penting. Hal tersebut mengingat elevasi puncak tanggul eksisting

berada pada +100,00 m.

Tabel 8 : Analisa Tinggi Jagaan (freeboard)

Data Teknis :

Fetch = 0.67 miles

Koef. Gempa = 0.17

Periode = 1.00 detik

Kedalaman Muka Air Normal = 14.00 m

Kecepatan Angin = 100.00 miles/hours

Elevasi crest spillway = 98.00 m

Tinggi Jagaan Besaran (m) Keterangan

akibat wave height 0.68

akibat wind set up 0.03

akibat wave run up 0.77

akibat gempa 0.32

tinggi cadangan 1.00 asumsi kedalaman air normal

Total Tinggi Jagaan 2.81

He

Hu

Variabel

¾Hw

Hs

Hr

Sumber : Hasil Analisa

Terdapat beberapa hal yang harus ditetapkan dalam tahap rehabilitasi atau perencanaan ulang yang

berhubungan dengan elevasi tanggul eksisting :

a. Meninggikan elevasi tanggul menjadi +102,00 m, hal ini tentunya menaikkan tingkat resiko waduk

menjadi lebih besar [3].

b. Merencanakan penambahan lebar efektif pelimpah (lebih dari 11,20 m), jika mempertahankan elevasi

tanggul yang ada saat ini yaitu +100,00 m. Dengan melakukan analisa secara sederhana diperkirakan

kebutuhan minimum lebar efektif pelimpah adalah 20,00 m. Penambahan lebar efektif tersebut harus

disertai dengan penetapan elevasi crest spillway yang lebih rendah dari sebelumnya yaitu menjadi

+97,00 m atau turun 1,00 meter dari kondisi eksisting (+98,00 m). Memperhatikan kondisi di

lapangan maka harus direncanakan desain pelimpah dengan lebar efektif lebih besar namun tidak terlalu banyak membutuhkan tempat/lahan.

6. KESIMPULAN

Guna mempertahankan fungsi dan keamanan bendungan maka inspeksi bendungan merupakan

kebutuhan yang sangat penting. Hasil rekomendasi dari inspeksi bendungan mencakup hal-hal berikut :

a). evaluasi tinggi muka air waduk/situ, b). evaluasi curah hujan, c). evaluasi pemantauan tekanan air pori,

d). evaluasi pemantauan debit tembesan (V-notch) dan bocoran (RD & RG, Bouchon, dan Ascenceur), e).

evaluasi pergerakan internal : vertikal (settlement point), horisontal (inclinometer) serta perbedaan

penurun-an inti dan filter, f). evaluasi pergerakan eksternal : vertikal (surface momment), horisontal serta

pergerakan sambungan blok beton (joint). Hasil penelitian berdasarkan pada kondisi curah hujan

menunjukkan bahwa curah hujan yang terjadi menjelang jebolnya tanggul Situ Gintung bukan merupakan

Page 104: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-104

faktor utama. Namun sebagai pemicu (trigger) karena volume air mengalami kenaikan secara cepat dan

limpas lewat spillway.

DAFTAR PUSTAKA

1. Subandrio, P (2010) Bendungan Gintung Diisi Maret 2011. Kompas Edisi 22 Desember 2010

2. Azdan, D. (2008) Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia, Seminar Nasional Bendungan Besar,

Surabaya

3. SNI 03-1731-1989 (1999) Tata Cara Keamanan Bendungan.

4. Firman, A. F., (2008) Peran Inspeksi Berkala Bendungan Besar Dalam Optimalisasi Sumber Energi

Primer. Seminar Nasional Bendungan Besar, Surabaya

5. Anonim (2009), Analisis Jebolnya Situ Gintung, BPPT

Page 105: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-105

INVENTARISASI PERMASALAHAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN IRIGASI

Anton Dharma PM 1) dan Hadi Moeljanto 2)

1) PNS, UPT PSAWS Bondoyudo Mayang di Lumajang- Dinas PU Pengairan Propinsi Jawa Timur,

Jl.Sultan Agung 3 Lumajang, [email protected]

2) PNS, Dinas PU Pengairan Propinsi Jawa Timur, Jl.Ahmad Yani 152A Surabaya,

[email protected]

ABSTRAK

Sejarah irigasi tidak pernah lepas dan selalu memegang peranan penting bagi masyarakat Indonesia

yang merupakan negara agraris. Bahkan di jaman kolonial Belanda, dengan politik etisnya pada era 1900-an, irigasi menjadi salah satu program baik untuk peningkatan pendapatan perkebunan Belanda

maupun untuk areal sawah bangsa pribumi. Sejarah ini sedikit dilupakan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Sangat kontras dengan demikian pentingnya irigasi sebagai pendukung produksi padi yang merupakan

bahan makanan pokok bangsa Indonesia. Karena dari sejarah itu kita bisa berkaca, bagaimana naik

turunnya produksi padi. Bagaimana perananan pemerintah dalam pengelolaan dan bagaimana nasib

petani sebagai pelaku utamanya.

Paper ini menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam kegiatan pengelolaan

operasi dan pemeliharaan irigasi, baik dalam level manajerial hingga di lapangan, serta di pihak

pemerintah maupun di pihak petani pemanfaat irigasi. Inventarisasi tersebut didapatkan dengan metode

pustaka, wawancara dengan pelaku bidang irigasi dan pengamatan langsung di lapangan pada beberapa

daerah irigasi di Jawa Timur. Dari pembahasan terlihat bahwa pengelolaan irigasi memasuki fase baru dengan adanya UU7/2004

dan PP20/2006 yang pada dasarnya adalah sebuah produk hukum yang berusaha menata pengelolaan

irigasi pada kondisi yang lebih baik. Pada kenyataannya produk hukum baru ini membawa konsekuensi

pada permasalahan baru yang timbul maupun permasalahan lama yang belum juga terselesaikan.

Setidaknya terdapat 5(lima) bidang permasalahan yaitu Kewenangan Pengelolaan Irigasi, Operasi Irigasi,

Pemeliharaan Irigasi, Petani Pemakai Air dan Lahan Irigasi.

Keyword: operasi dan pemeliharaan, irigasi

1. PENDAHULUAN

Sejarah irigasi teknis di Indonesia adalah sesuatu hal yang sedikit dilupakan oleh bangsa Indonesia

sendiri. Sangat kontras dengan demikian pentingnya irigasi sebagai pendukung produksi padi yang merupakan bahan makanan pokok bangsa Indonesia. Karena dari sejarah itu kita bisa berkaca, bagaimana

naik turunnya produksi padi. Bagaimana perananan pemerintah dalam pengelolaan dan bagaimana nasib

petani sebagai pelaku utamanya.

Dipandang dari sisi pengelolaan irigasi di Indonesia, dapat dibagi dalam 3(tiga) fase perkembangan

(Effendi P, 2003) yaitu (1) fase masyarakat petani, yang diperkirakan telah berkembang semenjak 16

abad sebelum masehi, dimana masyarakat petani sendiri yang membangun dan mengelola irigasi

pertanian. Hal ini masih dapat dilihat pada irigasi subak di Bali. (2) fase koeksistensi masyarakat petani

dan pemerintah, pada fase ini ditandai dengan dibangunnya irigasi teknis pada awal abad 19 oleh

pemerintahan kolonial Belanda, sementara masyarakat petanni tetap membangun dan mengelola irigasi

milik mereka sendiri. (3) fase dominasi pemerintah, yaitu terutama dimulai pada masa orde baru yang

melakukan investasi besar-besaran pada kegiatan irigasi dengan tujuan untuk mewujudkan swasembada

pangan. Pada masa sekarang, sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP no

20 tahun 2006 tentang Irigasi, fase dominasi pemerintah nampaknya tetap berlanjut namun mulai

diterapkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat petani dalam pengelolaan irigasi

terutama di jaringan tersier sedangkan pada jaringan utama primer dan sekunder masih dikelola oleh

pemerintah.

Lalu bagaimana keadaan pengelolaan irigasi teknis dengan adanya produk hukum yang baru tersebut,

seharusnya menjadi pertanyaan besar bagi kita. Karena secara logika maupun fakta di lapangan, tentu

saja banyak permasalahan yang memerlukan pemikiran dan ide-ide alternatif sebagai solusi.

2. DASAR TEORI

Kebijakan irigasi sangat diperlukan dengan mengingat peranan irigasi sebagai pendukung ketahanan

pangan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani. Dalam hal ini kebijakan terdapat tiga jenis kegiatan dalam rangka pengelolaan irigasi yaitu operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. (Direktorat

Irigasi, 2007).

Page 106: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-106

Kebijakan operasi yang disarankan meliputi: (1) pedoman penyusunan organisasi tingkat lapangan di

daerah irigasi dibawah lingkungan Dinas PU Kabupaten/ Kota, (2) pengelolaan sistem informasi

ketersediaan debit (dependable flow) yang akurat tetapi juga dimengerti dan dipahami oleh petani, (3)

penerapan sistem golongan dalam rangka memanfaatkan kondisi debit awal musim hujan yang cenderung

naik dalam rangka meningkatkan efisiensi, (4) pelaksanaan pemberian air secara intermitten pada daerah

irigasi yang didukung waduk, tetapi pelaksanaan pemberian air secara intermitten tersebut cukup antar

jaringan irigasi tersier, (5) penerapan teknologi System of Rice Intensification (SRI). (Direktorat Irigasi,

2007).

Kabijakan yang disarankan dalam pemeliharaan: (1) peningkatan partisipasi masyarakat di daerah

tangkapan air, untuk menjaga kelestarian hutan, dalam rangka mengurangi erosi, yang berarti mengurangi

lumpur yang masuk ke jaringan irigasi, (2) peningkatan partisipasi masyarakat di daerah irigasi, untuk menjaga kebersihan di saluran primer dan sekunder agar terbebas dari sampah, terutama sampah plastik,

karena akan mempercepat pendangkalan saluran, yang berarti mengurangi kapasitas saluran, (3)

peningkatan partisipasi petani pemakai air dalam pelaksanaan kegiatan pemeliharaan jaringan irigasi, baik

dalam bentuk sumbangan pikiran, sampai dengan kontribusi dalam bentuk tenaga, bahan dan dana untuk

keperluan pemeliharaan jaringan irigasi (Direktorat Irigasi, 2007).

Kebijakan tentang rehabilitasi jaringan irigasi adalah segera melakukan inventarisasi, pemeriksaan

dan penilaian terutama pada bendung-bendung dan jaringan irigasi, yang mungkin perlu segera

direhabilitasi kembali mengingat waktu pelaksanaan pembangunan awal sudah cukup lama (lebih dari 25

tahun). (Direktorat Irigasi, 2007).

3. METODOLOGI

Inventarisasi permasalahan dalam pengelolaan irigasi dalam makalah ini didapatkan dengan metode pustaka berbagai tulisan ilmiah dan wacana yang berkembang di dalam internal pemerintahan baik Pusat,

Provinsi dan Kabupaten.

4. TUJUAN

Berbagai permasalahan yang ada diseputar pengelolaan irigasi sementara ini bergulir dalam wacana

para operator irigasi yaitu pemerintah. Sehingga tidak memunculkan alternatif untuk solusi penyelesaian

dikarenakan sistem pemerintahan yang hanya sedikit memberi peluang pada ide-ide dari bawah dan lebih

banyak sumber-sumber solusi muncul dari atas (pimpinan). Dengan tidak menutup mata bahwa telah

banyak tulisan ke-irigasian namun diharapkan tulisan ini (sebagai mana tulisan ilmiah di bidang

keirigasian lainnya) akan menjadi salah satu pendorong bagi munculnya alternatif-alternatif solusi

permasalahan irigasi terutama melalui pemikiran ilmiah dari akademisi dan peneliti lainnya.

5. HASIL ANALISA

5.1. Kewenangan Pengelolaan Irigasi

Dengan berlakunya UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan diperkuat dengan PP 20/2006 tentang

irigasi, maka pengelolaan irigasi berubah. Semula sesuai dengan otonomi daerah maka pengelolaan

irigasi merupakan bidang yang diotonomikan, dimana seluruh kegiatan pengelolaan irigasi dilaksanakan

oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota. Dengan produk hukum yang baru, pengelolaan irigasi terbagi yaitu:

- Pelaksanaan O&P sistem irigasi Primer dan Sekunder menjadi wewenang dan Tanggung Jawab

Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (pasal 64 ayat 6 huruf a)

- Pengelolaan irigasi Primer dan Sekunder (penjelasan pasal 41 ayat 2)

- DI luas< 1.000ha (DI Kecil) dan berada dalam satu kab./kota menjadi wewenang dan tanggung

jawab pemerintah kabupaten /kota.

- DI luas 1.000 ha s/d 3.000 ha (DI Sedang), atau DI Kecil lintas kab/kota menjadi wewenang dan

tanggung jawab pemerintah provinsi. - DI luas >3.000 ha, atau (DI besar) Lintas Prov menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah

Pusat.

- Pelaksanaan O&P sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat petani pemakai

air. (pasal 64 ayat 6 huruf b)

Permasalahan-permasalahan yang muncul adalah perubahan ini merupakan perubahan yang cukup drastis.

Sehingga muncul permasalahan di lapangan terutama untuk Daerah Irigasi Pusat dan Provinsi dimana

irigasi tersebut semula dikelola oleh Kabupaten/ Kota. Wacana yang muncul adalah:

1. Tepatkah pembagian kewenangan daerah irigasi berdasarkan luas areal? dalam hal ini beberapa

Pemerintah Kabupaten/ Kota telah melakukan pengelolaan irigasi dengan baik, walaupun tidak

sedikit juga yang bisa dikatakan tidak berhasil.

2. Pendanaan untuk areal irigasi >3000 oleh Pemerintah Pusat dapat dikatakan layak dengan pendanaan sekitar Rp.150.000/ ha, namun pelaksanaannya di tugas pembantuankan kepada provinsi

Page 107: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-107

sementara petugas lapangannya tetap dari Kabupaten/ Kota. Dapat dikatakan Pemerintah Pusat

sebagai pemilik kewenangan daerah irigasi memiliki dana tetapi tidak memilik SDM di lapangan.

3. Struktur pelaksana lapangan irigasi adalah pegawai dari Kabupaten/ Kota, menjadi permasalahan

tersendiri bahwa mereka tidak pernah mendapatkan diklat mengenai irigasi sebagai bekal mereka

bekerja, dan bahkan beberapa kasus tercatat background yang tidak sesuai seperti sarjana bidang

nonteknis dan bahkan pekerja dari bidang kesehatan dipekerjakan di lapangan irigasi.

5.2. Operasi Irigasi

Operasi irigasi, sistem yang digunakan pada areal irigasi teknis saat ini adalah sistem yang diadopsi

dari kolonial Belanda yang membangun sebagian besar areal irigasi teknis. Bahkan areal irigasi yang

baru dibangun pun tetap mengadopsi sistem operasi dari kolonial Belanda. Beberapa hal yang

dipertanyakan menjadi masalah adalah: 1. Sistem Centralistik pada operasi irigasi. Pada operasi irigasi teknik merupakan sebuah sistem yang

centralistik dimana pengelolaan terpusat, terkendali dan terkomando di kantor pusat. Sebuah sistem

yang sangat ditentang oleh penggelut bidang pertanian yang menganggap sistem ini adalah sistem

kolonial dan seharusnya sistem irigasi terpusat pada petani di lapangan dalam hal ini mereka

merefrensi pada sistem irigasi “Subak” di Bali yang mengendalikan operasi irigasi secara mandiri

oleh petani.

2. Operasi irigasi sangat tergantung pada pemerintah. Dalam hal ini baik pendanaan maupun SDM

pengoperasian irigasi.

3. Operasi irigasi terlalu teknis dan tidak mudah ditularkan untuk dilaksanakan oleh petani pengguna

air irigasi.

4. Sistem operasi dalam skala besar ternyata sudah mulai ditinggalkan karena kurangnya pembinaan pada masa otonomi daerah. Akibat dari UU baru, maka penerapan sistem ini mulai dilaksanakan

kembali.

5. Pencurian air merupakan permasalahan tersendiri. Berbeda dengan jaman Orde baru, dimana petani

akan takut terhadap petugas irigasi, maka pada era ini petugas tidak memiliki wibawa untuk

menindak tegas para pelaku pencurian air.

5.3. Pemeliharaan Irigasi

Dengan adanya UU baru, secara drastis mengakibatkan adanya perhatian khusus kepada pendanaan

bagi pemeliharaan jaringan irigasi. Beberapa sumber dana yaitu dari APBN untuk daerah irigasi

kewenangan pemerintah Pusat, dari DAK (Dana Alokasi Khusus) bagi daerah irigasi kewenangan

Provinsi dan Kabupaten/ Kota, disamping pendanaan APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Beberapa

permasalah yang ada yaitu: 1. Pendanaan bidang irigasi di beberapa Kabupaten/ Kota kurang mendapatkan perhatian. Hal ini

terjadi karena beberapa alasan, contohnya adalah (a) kurang berhasilnya pihak eksekutif untuk

meyakinkan pihak legislatif untuk meloloskan anggaran untuk irigasi, (b) kurang pahamnya pihak

eksekutif sendiri terhadap pentingnya irigasi sehingga tidak mengusulkan anggaran irigasi

2. Paradigma terhadap investasi irigasi menjadi wacana juga. Terdapat pertanyaan bagaimana nilai

ekonomis investasi irigasi. Sebagai contoh apabila APBD diinvestasikan pada pembangunan jalan,

maka nilai ekonomisnya dapat dengan jelas dan langsung diperhitungkan. Sementara untuk irigasi,

secara ekonomis kegiatan pemeliharaan tidak berdampak langsung sehingga perlu ada pemikiran

secara intens untuk menjelaskan dengan gamblang terhadap bagaimana pentingnya irigasi pada segi

ekonomi.

3. Permasalahan aset pintu irigasi menjadi permasalahan nasional. Diperkirakan 80-90% pintu hilang

sehingga mengganggu kegiatan operasi irigasi. Terdapat beberapa wacana untuk solusi yaitu (1) mengganti bahan morhes pada pintu yang terbuat dari kuningan dengan bahan lain agar tidak

menarik untuk dicuri, (2) membangun pintu dengan konstruksi lain, seperti rangka dari beton, telah

dicoba di daerah irigasi di Bondowoso, (3) menyerahkan pengamanan pintu kepada perangkat desa,

telah dicoba di Sidoarjo, (4) melakukan buka tutup pintu dengan bantuan katrol yang mobile, dicoba

di Jember.

5.4. Petani Pemakai Air

Partisipasi masyarakat pengguna air irigasi merupakan salah satu item kebijakan operasi irigasi.

Namun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai kendala yaitu:

1. Organisasi HIPPA (Himpunan Petani Pengguna Air) sebagian besar belum mandiri secara organisasi

dan masih merupakan pekerjaan panjang untuk menciptakan HIPPA yang mandiri.

2. Paradigma HIPPA yang ingin menjadi pelaksana pekerjaan fisik bukannya berfokus kepada pelaksanaan kegiatan operasi irigasi.

Page 108: ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM …

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya

Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

ISBN 978-979-99327-6-1 E-108

3. Terdapat kesimpangsiuran karena adanya dua organisasi di petani yaitu HIPPA dan kelompok tani,

terdapat wacana bahwa organisasi itu nantinya hanya ada satu yaitu Kelompok Tani yang dibina

oleh Departemen Pertanian.

5.5. Lahan Irigasi

Alih guna lahan pertanian sawah irigasi menjadi permasalahan yang cukup pelik. Di satu sisi, ada

permasalahan ketahanan pangan yang memerlukan perluasan areal irigasi atau areal pertanian, namun di

sisi lain perkembangan perkotaan menuntut pembangunan sarana dan prasarana baru yang pada akhirnya

memakan areal irigasi teknis.

6. KESIMPULAN

Dari pembahasan terlihat bahwa pengelolaan irigasi memasuki fase baru dengan adanya UU7/2004 dan PP20/2006 yang pada dasarnya adalah sebuah produk hukum yang berusaha menata pengelolaan

irigasi pada kondisi yang lebih baik. Pada kenyataannya produk hukum baru ini membawa konsekuensi

pada permasalahan baru yang timbul maupun permasalahan lama yang belum juga terselesaikan.

Setidaknya terdapat 5(lima) bidang permasalahan yaitu Kewenangan Pengelolaan Irigasi, Operasi Irigasi,

Pemeliharaan Irigasi, Petani Pemakai Air dan Lahan Irigasi.

7. DAFTAR PUSTAKA

1. Sigit Supadmo A, dkk, 2009, Pengembangan Konsep Sistem Operasi Dan Pemeliharaan (O&P)

Daerah Irigasi Multiguna Dengan Membangun Komitmen Untuk Berbuat Konsensus Antar Pelaku :

Sebuah Kasus Di Jawa Timur, UGM, Yogyakarta.

2. Effendi Pasandaran, 2003, Politik Ekonomi reformasi Irigasi di Indonesia, Balitbang Pertanian, Jakarta.

3. Anonim, 2007, Pokok-Pokok Kebijakan Irigasi, Direktorat Irigasi, Jakarta.