analisis struktur tari dan musik iringan serta … · struktur tari dibentuk oleh gerak, pola...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS STRUKTUR TARI DAN MUSIK
IRINGAN SERTA FUNGSI TARI ULA-ULA
LEMBEN DALAM KEBUDAYAAN
ETNIK TAMIANG DI ACEH
TESIS
Oleh
TEGUH PRASETYO WIBOWO NIM 157037003
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
ii
LEMBAR PESETUJUAN Judul Tesis : ANALISIS STRUKTUR TARI DAN MUSIK IRINGAN
SERTA FUNGSI TARI ULA-ULA LEMBEN DALAM KEBUDAYAAN ETNIK TAMIANG DI ACEH
Nama : Teguh Prasetyo Wibowo
Nomor Pokok : 137037002
Program Studi : Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Ketua, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Anggota, Yusnizar Heniwati, SST, M.Hum., Ph.D. NIP 196511161990032001
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Ketua, Dekan, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Budi Agustono, M.S. NIP 195110131976031001 NIP 196008051987031001
iii
ABSTRACT
This master thesis is entitled “Analysis of the Structure of Dance and Musik and the Functions of Ula-ula Lemben in the Tamiang Ethnic Culture in Aceh.” The purpose of this research is to study and obtain research results from three aspects of the Ula-Ula Lemben show, througout: (a) dance structure, (b) musikal structure (melody and text), and (c) functions in Tamiang ethnic culture in Aceh. To examine these three aspects the author uses a field research method that acts as a participant observer, by conducting interviews, recording data in audiovisual form, and analyzing data. This study also uses qualitative methods by selecting several key informants. To analyze the structure of dance structure theory is used, for the melodic structure we use the weighted scale theory, for vocal musik (text) semiotic theory, and for the function use the theory of functionalism. The results obtained from this study are as follows. (A) The structure of dance is formed by: the motion of prayer, the movement of swinging hands back and forth, the movement of martial arts, the forward movement with the pattern of circular floors, the movement of judging, pedaling movements, and the motion of the cover. This movement has the meaning of self-power in the face of nature. (B) The structure of vocal musik (text) is composed by ten poetry stanzas, each stanza is four lines, and each line is a phrase sentence. The contents of the text starting with greetings, continued with the proposal, the theme of strength in love, and the final greeting. (C) The musikal melodic structure consists of: (1) C Major scales with fis extra notes, (2) C basic notes, (3) one octave tone area (200 cent), (4) tone usage distribution is dominated by tones c, (5) the most commonly used intervals are pure prime and major majors; (6) melody formulas are composed of four forms; (7) the cadence patterns tend to end in c notes with the duration of a quarter note or more (8) contours tend to be pendoulus. (D) The use of Ula-ula Lemben is: enlivening the event, welcoming guests or invitations, a means of channeling talents, presenting beauty, and means of learning art. On the other hand its functions are: entertainment, survival and continuity of culture, a symbol of community existence, communication, economy, and community unification. Key word: structure, dance, musik, text, function
iv
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Analisis Struktur Tari dan Musik serta Fungsi Ula-ula
Lemben dalam Kebudayaan Etnik Tamiang di Aceh.” Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan mendapatkan hasil penelitian dari tiga aspek dari pertunjukan Ula-ula Lemben, yaitu: (a) struktur tari, (b) struktur musik (melodi dan teks), dan (c) fungsi dalam kebudayaan etnik Tamiang di Aceh. Untuk mengkaji ketiga aspek tersebut penulis menggunakan metode penelitian lapangan yang bertindak sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data dalam bentuk audiovisual, dan analisis data. Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif dengan memilih beberapa informan kunci. Untuk menganalisis struktur tari digunakan teori struktur tari, untuk struktur melodi digunakan teori weighted scale, untuk musik vokal (teks) teori semiotika, dan untuk fungsi teori fungsionalisme. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (A) Struktur tari dibentuk oleh: gerak sembah, gerakan mengayunkan tangan ke depan dan belakang, gerakan silat, gerakan maju dengan pola lantai melingkar, gerakan jud kedidi, gerakan mengayuh, dan gerak penutup. Gerakan ini memiliki makna kekuatan diri dalam menghadapi alam. (B) Struktur musik vokal (teks) adalah disusun oleh sepuluh stanza syair, setiap stanza empat baris, dan setiap baris merupakan satu frase kalimat. Isi teks dimulai dari ucapan salam, diteruskan dengan upaya pinangan, tema kekuatan dalam cinta, dan salam akhir. (C) Struktur melodi musiknya, terdiri dari: (1) tangga nada C Mayor dengan nada tambahan fis, (2) nada dasarnya C, (3) wilayah nada satu oktaf (200 sent), (4) distribusi pemakaian nada adalah didominasi nada c, (5) interval yang paling banyak digunakan adalah prima murni dan sekunde mayor; (6) formula melodi disusun oleh empat bentuk; (7) pola-pola kadensanya cenderung berakhir pada nada c dengan durasi not seperempat atau lebih (8) kontur cenderung pendoulus. (D) Guna Ula-ula Lemben adalah: memeriahkan acara, menyambut tamu atau undangan, sarana penyaluran bakat, mempresentasikan keindahan, dan sarana belajar seni. Di sisi lain fungsinya adalah: sebagai hiburan, kebertahanan dan kesinambungan kebudayaan, simbol keberadaan masyarakat, komunikasi, ekonomi, dan penyatuan masyarakat. Kata kunci: struktur, tari, musik, teks, fungsi
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan, magister, doktor, dan
lainnya di suatu Perguruan Tinggi. Sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar
pustaka. Kutipan pendapat para informan ditulis di catatan kaki dan semua
informan dijelaskan di daftar informan tesis ini.
Medan, 20 April 2019
Teguh Prasetyo wibowo NIM 157037003
vi
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa
Taala (SWT) atas karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
tesis yang merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar magister seni pada
Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara di Medan. Salawat dan salam juga penulis hadiahkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul Terakhir
(Khataman) yang memberikan ilmu dan menuntun iman dari kegelapan menuju
pencerahan, dan diharapkan syafaatnya di Yaumil akhir kelak, amin.
Adapun judul tesis ini adalah Analisis Struktur Tari dan Musik Iringan
serta Fungsi Tari Ula-ula Lemben dalam Kebudayaan Etnik Tamiang di Aceh..
Tesis ini ditulis menggunakan disiplin ilmu utama etnomusikologi dan
etnokoreologi dalam konteks multidisiplin ilmu, yaitu dengan menggunakan ilmu-
ilmu linguistik, antropologi budaya, dan lainnya. Fokus utama tesis ini mencakup
dua masalah: (a) kajian struktural tari dan musik iringan (mencakup melodi dan
musik vokal atau teks nyanyian) dan (b) fungsi tari tersebut di dalam konteks
kebudayaan suku Melayu Tamiang di Aceh.
Tugas akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dari Program Studi Penciptaan dan
Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena
belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas dan tidak pernah berakhir, dengan kata
lain belajar sepanjang hayat dikandung badan. Demikianlah arahan yang penulis
peroleh dari para guru dan dosen penulis selama ini.
vii
Selesainya tesis ini, tentunya tidak lepas dari dorongan dan uluran tangan
berbagai pihak, dan oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang terkait dengan proses tersebut, yaitu :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
dan segenap jajarannya, sebagai pimpinan tertinggi di universitas ini, yang
telah menerima penulis untuk menjadi mahasiswa dan membantu semua
urusan akademik penulis selama ini.
2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, dan segenap jajarannya yang juga telah
memfasilitasi segala urusan akademik penulis selama ini.
3. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku Ketua Program Studi
Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara dan juga sebagai pembimbing I, yang banyak memberikan
bimbingan, bantuan dan gagasan dalam proses penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku sekretaris Prodi Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu budaya USU yang telah membantu
memberikan ide dan pemikiran serta mengkoreksi tesis ini secara cermat,
sehingga memenuhi standar tulisan ilmiah di bidang seni.
5. Ibu Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum., Ph.D. yang meluangkan waktunya
sebagai dosen pembimbing II yang mengajari, membuka wawasan dan
memberikan bantuan secara maksimal kepada penulis mengenai arah dan isi
dari tesis ini.
6. Bapak dan ibu dosen yang menjadi tenaga pengajar pada Program Studi
Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, yang selama ini telah
viii
memberikan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki kepada penulis, yaitu Drs.
Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D.; Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.; Prof. Dr.
Ikhwanuddin Nasution, M.Si.; Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D.; Dr.
Muhizar Muchtar, M.S.; Dr. Ridwan Hanafiah, M.A.; Dr. Nurlela, M.Hum.;
Dr. Dardanila, M.Hum.; Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn., M.Sn.; Dr.
Nurwani, M.Hum.; Dr. Panji Suroso; Dr. Agus Priyatno; Dr. Junita
Batubara, dan lain-lainnya.
7. Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai tata usaha di Prodi Magister Penciptaan
dan Pengkajian Seni USU yang selalu membantu saya dalam proses
administrasi untuk penyelesaian tugas akhir ini.
8. Kedua orang tua penulis yang sangat banyak memberikan bantuan kepada
penulis untuk menyelesaikan tesis ini melalui dukungan materi, moral,
spiritual, wawasan, dan motivasi yang luar biasa dari awal sampai saat ini
9. Istri yang sangat penulis cintai, yang telah mendampingi hidup dalam
bahagia dan susah secara bersama, terutama kesabarannya dalam
mendampingi proses penelitian hingga penyelesaian tesis magister ini
10. Seluruh informan pangkal dan kunci penulis yang disebutkan di dalam
daftar informan tesis magister ini, yang telah memberikan ilmu-ilmu dan
pengalamannya dalam rangka melestarikan seni Ula-ula Lemben.
11. Seluruh Angkatan 2015 Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB
USU yang membantu penulis dengan dukungan motivasi sehingga penulis
bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
12. Seluruh mahasiswa Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB
USU, baik yang telah menyelesaikan studi maupuan yang sedang aktif
ix
kuliah, yang juga telah memberikan bantuan kepada penulis dalam bentuk
motivasi kepada penulis untuk bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
13. Dan terakhir adalah semua pihak yang telah membantu penulis di lapangan
penelitian maupun dan di Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu dalam tesis ini.
Akhir kata, semua penulis kembalikan kepada Allah atas rahmat-Nya
penulis dapat membuat tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan menjadi
suatu karya tulis hasil penelitian lapangan yang memberi dampak positif bagi
masyarakat luas nantinya.
Medan, Mei 2019 Penulis,
Teguh Prasetyo Wibowo NIM 157037003
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... ii ABSTRACT ............................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................... iv PERNYATAAN .......................................................................................... v PRAKATA ............................................................................................... vi DAFTAR ISI .............................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN .................................................................................... xv DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... xvi BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 9 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 9 1.5 Tinjauan Pustaka ........................................................................ 10 1.6 Konsep dan Teori........................................................................ 13
1.6.1 Konsep .............................................................................. 16 1.6.2 Teori .................................................................................. 18
1.6.2.1 Teori struktur tari ................................................... 22 1.6.2.2 Teori weighted scale .............................................. 23 1.6.2.3 Teori semiotika ...................................................... 23 1.6.2.4 Teori fungsionalisme serta penggunaan dan fungsi musik .......................................................... 26
1.7 Metode Penelitian ....................................................................... 27 1.8 Sistematika Penulisan ................................................................. 31
BAB II: TINJAUAN ETNOGRAFIS UMUM MASYARAKAT
TAMIANG ..................................................................................... 35 2.1 Muasal Masyarakat Tamiang ...................................................... 35 2.2 Letak Geografis Kabupaten Aceh Tamiang ................................. 45 2.3 Sistem Kekerabatan .................................................................... 47 2.4 Agama Dan Sistem Kepercayaan ................................................ 48 2.5 Mata Pencaharian ....................................................................... 49 2.6 Bahasa ........................................................................................ 51 2.7 Kesenian ..................................................................................... 52
xi
BAB III: DESKRIPSI PERTUNJUKAN DAN ANALISIS STRUKTUR TARI ULA-ULA LEMBEN ..................................... 53
3.1 Sejarah Munculnya Tari Ula-ula Lemben .................................... 53 3.2 Tari Ula-ula Lemben Sebagai Pertunjukan .................................. 56 3.3 Tempat Pelaksanaan Pertunjukan ................................................ 56 3.4 Waktu Pelaksanaan Pertunjukan ................................................. 57 3.5 Perlengkapan dan Peralatan Tari ................................................. 58 3.6 Alat Musik Yang Digunakan....................................................... 62
3.6.1 Gendang Melayu ............................................................... 62 3.6.2 Biola .................................................................................. 63 3.6.3 Accordion .......................................................................... 65
3.7 Perlengkapan Musik Yang Digunakan ........................................ 67 3.7.1 Microphone ....................................................................... 67 3.7.2 Speaker .............................................................................. 69
3.8 Deskripsi Penyajian Tari Ula-ula Lemben .................................... 70 BAB IV: ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA MUSIK VOKAL
(TEKS) LAGU ULA-ULA LEMBEN ............................................ 82 4.1 Studi Teks Nyanyian dalam Etnomusikologi................................ 82 4.2 Teks Nyanyian dalam Pertunjukan Ula-ula Lemben..................... 84 4.3 Struktur Teks ............................................................................... 84 4.4 Arti dan Makna Teks ................................................................... 88
BAB V: ANALISIS STRUKTUR MELODI .............................................. 99
5.1 Proses Transkripsi....................................................................... 99 5.2 Analisis Melodi Lagu.................................................................. 102 5.3 Hasil Analisis Melodi Lagu Ula-ula Lemben .............................. 103
5.3.1 Tangga Nada ................................................................... 103 5.3.2 Nada Dasar ...................................................................... 105 5.3.3 Wilayah Nada .................................................................. 106 5.3.4 Jumlah Pemakaian Nada .................................................. 107 5.3.5 Bentuk ............................................................................. 176 5.3.6 Interval ............................................................................ 191 5.3.7 Kontur ............................................................................. 252 5.3.8 Pola-pola Kadensa ........................................................... 253 5.3.9 Gaya Lagu ....................................................................... 254
5.4 Rentak Yang Digunakan Untuk Mengiringi Tari Dan Lagu ......... 256
xii
BAB VI: ANALISIS PENGGUNAAN DAN FUNGSI SENI ULA-ULA
LEMBEN ..................................................................................... 258 6.1 Penggunaan ................................................................................. 259
6.1.1 Memeriahkan suatu acara atau kegiatan ............................. 259 6.1.2 Menyambut tamu atau undangan ....................................... 259 6.1.3 Sebagai sarana untuk penyaluran bakat .............................. 260 6.1.4 Sebagai sarana untuk mempresentasikan rasa keindahan .... 261 6.1.5 Sebagai sarana untuk belajar seni ....................................... 261
6.2 Fungsi ......................................................................................... 262 6.2.1 Fungsi Hiburan .................................................................. 263 6.2.2 Fungsi memberikan sumbangan untuk kebertahanan dan
kesinambungan kebudayaan............................................... 264 6.2.3 Fungsi Simbol Keberadaan Masyarakat ............................. 265 6.2.4 Fungsi komunikasi ............................................................. 265 6.2.5 Fungsi Ekonomi ................................................................ 266 6.2.6 Fungsi memberikan sumbangan untuk penyatuan
masyarakat ........................................................................ 267
BAB VII: PENUTUP .................................................................................. 269 7.1 Kesimpulan............................................................................ 269 7.2 Saran ..................................................................................... 271
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 273 DAFTAR INFORMAN ............................................................................... 276 LAMPIRAN: NOTASI LAGU ULA-ULA LEMBEN ................................ 278
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1: Contoh pakaian yang digunakan penari ..................................... 59 Gambar 3.2: Kain Songket yang digunakan penari ........................................ 59 Gambar 3.3: Ikat pinggang ............................................................................ 60 Gambar 3.4: Pakaian penari lengkap dengan warna yang berbeda untuk
setiap sub-kelompoknya ............................................................ 60 Gambar 3.5: Contoh Gendang Melayu .......................................................... 61 Gambar 3.6: Cara memainkan Gendang Melayu pada pertunjukan
Ula-ula Lemben ........................................................................ 62 Gambar 3.7: Contoh alat musik Biola............................................................ 63 Gambar 3.8: Cara memainkan alat musik Biola pada pertunjukan
Ula-ula Lemben ........................................................................ 63 Gambar 3.9: Contoh alat musik Accordion .................................................... 65 Gambar 3.10: Cara memainkan alat musik Accordion ................................... 66 Gambar 3.11: Contoh Microphone ................................................................ 67 Gambar 3.12: Penggunaan microphone pada pada pertunjukan
Ula-ula Lemben .................................................................... 67 Gambar 3.13: Contoh Speaker ...................................................................... 68 Gambar 3.14: Contoh gerakan awal tarian dan deskripsinya .......................... 69 Gambar 3.15: Contoh rangkaian gerakan kedua dari tarian dan deskripsinya . 70 Gambar 3.16: Contoh rangkaian gerakan ketiga dari tarian dan deskripsinya . 72 Gambar 3.17: Contoh gerakan penutup dari rangkaian gerakan ketiga
dari tarian dan deskripsinya .................................................... 72 Gambar 3.18: Contoh rangkaian gerakan keempat dari tarian
dan deskripsinya ..................................................................... 73 Gambar 3.19: Pola gerakan tari melingkar..................................................... 73 Gambar 3.20: Contoh rangkaian gerakan jud kedidi dari tarian
dan deskripsinya ..................................................................... 74 Gambar 3.21: Contoh gerakan mengayunkan tangan yang dilakukan
penari dengan formasi melingkar ............................................ 75 Gambar 3.22: Contoh gerakan mengayuh sampan dan formasinya ................ 76 Gambar 3.23: Contoh gerakan tari melewati tangan penari ............................ 77 Gambar 3.24: Contoh gerakan silat yang dilakukan penari dan formasinya ... 78 Gambar 3.25: Contoh gerakan menutup dan membuka tangan dan
ditutup dengan gerakan setengah bersimpuh ........................... 79 Gambar 3.26: Contoh gerakan menyatukan tangan sambil membentuk
Barisan dan berjalan ke luar arena pertunjukan ....................... 80 Gambar 5.1: Ilustrasi pola ritem dasar rentak mak inang ............................... 255 Gambar 5.2: Ilustrasi pola ritem variasi dari rentak mak inang dan
juga menjadi rentak patam-patam .......................................... 256
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 6.1: Jumlah pemakaian nada berdasarkan nilai notasinya ..................... 108 Tabel 6.2: Bentuk, variasi bentuk dan letaknya ............................................. 188 Tabel 6.3: Nama interval dan jumlah pemakaiannya ..................................... 250
xv
DAFTAR BAGAN Bagan 1.1: Hubungan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Konsep,
Teori, dan Metode Penelitian Tari Ula-ula Lemben dalam Budaya Tamiang di Aceh .......................................................... 44
xvi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Teguh Prasetyo Wibowo NIM : 157037003 Tempat/ Tanggal Lahir : Kisaran/ 21 Desember 1986 Alamat : Kec. Manyak Payed, Aceh Tamiang Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Guru Seni Budaya di SMP Negeri 1 Langsa Pendidikan akademik:
1. SDN 023906 (1993-1999) 2. SMP Negeri 1 Tamiang (1999-2002) 3. SMA Negeri 1 Tamiang (2002-2005) 4. Fakultas Bahasa dan Seni Unimed, Jurusan Sendratasik (2005-2010)
Pengalaman di bidang kesenian:
1. Menjadi pemain biola dan pengisi acara pada pertunjukan musik Melayu di Denmark tahun 2012
2. Menjadi pemain biola pada Parade Tari Nusantara di TMII 2013 3. Menjadi pemain biola pada Sabang Fair 2014 4. Pemain rapa’i pada Cross Culture Surabaya tahun 2014 5. Sebagai pemain biola Tanglong Dance Festival di Banda Aceh
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ula-ula Lemben adalah nama satu tarian yang dimiliki oleh masyarakat
Kabupaten Aceh Tamiang. Pertunjukan ini menyajikan gerakan-gerakan tari, yang
diiringi dengan musik dan lagu. Nama tarian ini, disusun dari dua kata yang
berasal dari bahasa Melayu Tamiang, yaitu kata ula-ula, yang artinya adalah ular-
ular atau banyak ular, dan kata lemben, yang merupakan istilah untuk
menyebutkan satu senjata tradisional suku Tamiang yaitu lembing1. Kata ini
merujuk kepada pemahaman binatang ular yang dijadikan sebagai simbol
kekuatan supernatural dalam kebudayaan Melayu, sedangkan lembing adalah
senjata yang juga merupakan simbol kemampuan dalam mempertahankan
eksistensi diri, bahkan kemampuan untuk mencari kebutuhan hidup terutama
makanan yang berasal dari hewan yang diburu melalui alat lembing ini. Dalam
makna lainnya, tarian yang selalu difungsikan dalam upacara adat perkawinan
Melayu di Tamiang ini adalah sebagai simbol dari menyatunya sepasang manusia
menjadi suami-istri yang dibebani tugas dalam melanjutkan keturunannya.
Tari Ula-ula Lemben ini termasuk dalam kategori tari gembira yang
biasanya digunakan dalam acara perkawinan, akan tetapi menurut menurut
pendapat para infroman bukanlah tarian ini bukanlah bagian dari rutinitas ritual
perkawinan pada masyarakat Aceh Tamiang. Tari Ula-ula Lemben ini sendiri juga
1Hasil wawancara dengan informan kunci yaitu Bapak Muntazir 12 November 2018.
2
memiliki makna di setiap lirik dan pergerakannya, menunjukkan sebagai manusia
harus bekerja keras dan tidak cepat putus asa dalam menjalani hidupnya.
Berdasarkan keterangan para informan, dalam pertunjukannya tari Ula-ula
Lemben ditarikan secara bersama-sama, dengan bentuk pola melingkar, yang
merupakan mimesis (tiruan) dari gerakan-gerakan ular yang lincah dan dinamis.
Tari ini dilakukan oleh minimal 6 orang dan tidak memiliki batas untuk jumlah
maksimalnya, namun harus genap, dengan gerakan berputar-putar mengelilingi
panggung bagaikan ular. Tari Ula-ula Lemben juga harus dilakukan bersama
dengan gerakan yang lincah dan ceria, sebagai ekspresi rasa gembira.
Tari dari budaya Melayu Tamiang atau juga sering disebut Aceh Tamiang
ini, belum terlalu dikenal oleh penduduk Aceh dan di luar Aceh. Menurut
keterangan para informan, kurang terkenalnya tari ini adalah karena faktor
kurangnya pertunjukan ini dilakukan baik di masyarakat Aceh Tamiang sendiri,
ataupun di luar Aceh. Selain itu, walaupun etnik Aceh Tamiang pada dasarnya
adalah suku Melayu, namun kini sesuai dengan perkembangan zaman daerah
Aceh Tamiang ini merupakan daerah multikultural, artinya dihuni oleh berbagai
macam etnik yang hidup bersama dan berdampingan, diantaranya adalah Melayu
Tamiang, Aceh Rayeuk, Jawa, Batak, Gayo, Minangkabau, dan suku-suku lainya.
Hal yang menarik dari tarian ini memiliki struktur tertentu dan dilengkapi
makna-maknya dalam konteks kebudayaan Melayu Tamiang. Struktur tari
merupakan ekspresi dari kebudayaan masyarakatnya. Tarian ini penuh dengan
nilai-nilai kesopanan yang membentuk adat dan budaya suku Melayu Tamiang.
3
Tampilan busana dan olaahan pola lantai juga menunjukan ciri khas identitas
masyarakatnya.
Selain tari, seni ini juga dilengkapi dengan musik pengiring yang khas,
yang disebut musik Ula-ula Lemben. Musik ini disajikan dalam bentuk ensambel,
yang terdiri dari:
a. Seorang penyanyi, bisa laki-laki atau perempuan;
b. Dua gendang Melayu atau disebut juga rebana, dengan fungsi musikal satu
gendang memainkan rentak induk yakni gendang induk, dan satu gendang
memainkan rentak peningkah yang disebut gendang anak
c. Satu biola, yang membawakan melodi sama dengan vokal.
d. Adakalanya ditambah dengan sebuah gong yang disebut tawak-tawak atau
tetawak, yang memberikan aksentuasi ritmis.
Lagu yang dibawakan oleh penyanyi berbentuk pantun, dengan bentuk
melodi yang sama namun isi pantun yang berubah-ubah. Cara penyajian ini dapat
diokategorikan sebagai satu bentuk pertunjukan musikal yang logogenik, yakni
mengutamakan komunikasi verbal dalam konteks sosial dan budayanya. Tekstur
dari pertunjukan musikalnya bersifat heterofonik.
Mengacu dari Encyclopedia Brittanica (versi daring diunduh 2017), istilah
heterofonis dalam musik adalah tekstur yang dihasilkan dari pertunjukan variasi-
variasi secara simultan dengan nada-nada melodi yang hampir sama. Heterofoni
ini khas ditemukan pada praktik musik Timur Tengah serta berbagai macam
musik rakyat lainnya di dunia. Para penyanyi epik Slavia di Semenanjung Balkan,
misalnya, melakukan sajian secara heterofonik pada gusle (biola). Dalam musik
4
seni Persia, para pemain instrumental diharapkan membuat melodi variasi
terhadap penyanyi. Heterofoni yang kompleks, dengan berbagai jenis variasi yang
berbeda-beda untuk instrumen yang berbeda, mencirikan musik gamelan (tuned
percussion orchestra) di Indonesia. Lagu monofonik Eropa Abad Pertengahan
(melodi yang tidak harmonis), juga tampaknya menghasilkan heterofoni,2 yang
disajikan pada banyak kesempatan. Heterofoni juga terjadi dalam jazz, terutama
dari aliran Dixieland dan Chicago.
Musik vokal Ula-ula Lemben juga memiliki struktur dan makna yang
sangat khas mencermikan kebudayaan suku Melayu Tamiang. Musik vokal atau
teksnya terdiri dari sepuluh stanza, yang sebagaian bersifat repetitif, dan
sebahagian teks baru. Teks nyanyian ungtuk iringan tarian ini juga memiliki
makna-makna simbolik, ikonik, dan indeksikal. Apalagi teks menggunakan kosa-
kosa kata bahasa Melayu Tamiang, yang sebahagiannya adalah arkaik (kuno) dan
sebagaiannya adalah kosa kata bahasa Melayu kini. Hal ini sangat menarik untuk
dikaji.
Selain dari sajian musikal yang khas dan memberikan identitas kepada
musik iringan tarian ini, juga secara umum tari dan musik Ula-ula Lemben
memiliki guna dan fungsi di dalam konteks masyarakatnya. Penggunaan yang
utama tarian dan musiknya adalah pada upacara pernikahan, yang disajikan
2Yang dimaksud dengan heterofoni dalam tesis ini adalah sajian beberapa alat musik
dan/atau vokal yang menyajikan melodi pokok yang sama, namun diberikan variasi-variasi di sana sini sesuai dengan nilai-nilai estetika yang dimiliki oleh para penyajinya. Dengan demikian melodi yang disajikan ini salaing menguatkan dan memberi kesan keindahan yang terintegrasi. Seringkali heterofoni ini disertai dengan improvisasi seketika atau spontanitas. Dalam hal ini pengelaman dalam memainkan melodi menjadi kunci utama keberhasilan pertunjukan musik yang heterofonis, seperti halnya pertunjukan musik Melayu seacara umum, dalam ensambel ronggeng, pakpung, dondang sayang, joget dangkung, dan lain-lainnya. Demikian pula sajian musik Ula-ula Lemben dalam mengiringi tariannya.
5
sebagai bahagian dari upacara, walaupun bukan suatu kewajiban. Dengan
demikian tari dan musik ini memiliki guna untuk dipertunjuukkan dalam upacar
pernikahan. Tari dan musik ini juga digunakan pada berbagai kegiatan sosial
budaya lainnya, seperti menyambut tetamu kehormatan, mengiringi acara
khitanan, pertunjukan budaya, untuk kepntingan kepariwisataan, dan lain-lain.
Selain itu, berdasarkan pengamatan peneliti, tari dan musik Ula-ula
Lemben ini juga memiliki fungsi. Apabila dilihat berdasarkan teori fungsi yang
dikemukakan Merriam (1964:223), maka fungsi tari dan musik ini adalah untuk
meneruskan generasi manusia, melalui institusi upacara perkawinan. Artinya
tarian ini menjadi penciri utama kegiatan upacara perkawinan, yakni menyatunya
antara sepasang suami-istri, yang kemudian dianugerahi anak dari Tuhan, dan
sekaligus menyumbang kepada keberlanjutan generasi manusia. Selain itu, tari
dan musik ini juga memiliki fungsi-fungsi seperti: pengintegrasian masyarakat,
komunikasi, hiburan, simbolik, dan lain-lain.
Dengan melihat fenomena seperti di atas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji seni ini dari titik pandang etnomusikologi. Berdasarkan kutipan dari
situs web etnomusikologi.org, dapat dipahami bahwa etnomusikologi merupakan
studi musik dalam konteks budaya di mana musik itu tumbuh dan berkembang.
Para ahli etnomusikologi yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut
etnomusikolog, biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial
untuk memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik
dan khalayak, dan bagaimana makna yang disampaikan musik tersebut. Secara
keilmuan etnomusikologi sangat interdisipliner. Artinya para ilmuwan yang
6
bekerja di lapangan etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik,
atau ilmuwan antropologi budaya, cerita rakyat, kajian pertunjukan, tari, studi
budaya, studi gender, stuis ras atau etnik, studi kawasan, atau bidang lainnya di
bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial. Namun semua etnomusikolog berbagi
landasan yang koheren dalam pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1)
Mengambil pendekatan global untuk musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau
genre). (2) Memahami musik sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai
aktivitas manusia yang dibentuk oleh konteks budaya). (3) Melakukan penelitian
lapangan etnografi (berpartisipasi aktif dalam mengamati musik yang sedang
dipelajari, mengkaji tradisi musik baik sebagai pemain atau ahli teori sekaligus),
dan penelitian sejarah musik.
Etnomusikolog aktif dalam berbagai bidang. Sebagai peneliti, mereka
belajar musik dari setiap bagian di dunia ini dan menyelidiki koneksi ke semua
elemen kehidupan sosial. Sebagai pendidik, mereka mengajar kursus musik dunia,
musik populer, studi budaya musik, dan berbagai kelas yang lebih khusus
(misalnya, tradisi musik sakral, musik dan politik, mengajarkan pendekatan
disiplin ilmu dan metode). Etnomusikolog juga berperan di dalam budaya
masyarakat. Bekerjasama dengan komunitas musik yang mereka pelajari,
etnomusikolog dapat mempromosikan dan mendokumentasikan musik tradisi atau
berpartisipasi dalam proyek-proyek yang melibatkan kebijakan budaya,
penyelesaian konflik, pengobatan (melalui media musik), pemrograman seni, atau
komunitas musik. Etnomusikolog dapat bekerja pada museum, festival budaya,
rekaman label, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi musik dunia.
7
Selain itu digunakan juga disiplin etnokoreologi, terutama untuk mengkaji
Ula-ula Lemben dari sisi tarinya. Apa yang dimaksud dengan etnokoreologi
adalah merujuk tulisan Blacking berikut.
Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musikology (ethnomusikology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, musik, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi
(juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui
penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi
(etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru,
yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari
hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian,
etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis
untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut
8
para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup
gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini,
tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta
sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis
sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali
tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan
bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari
terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses
pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan
wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan
budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk
membawa keberuntungan dalam damai atau perang.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tarian dan
musik iringan Ula-ula Lemben, dan menjadikannya sebagai satu kajian ilmiah
dengan judul Analisis Struktur Tari dan Musik Iringan serta Fungsi Tari Ula-ula
Lemben dalam Kebudayaan Etnik Tamiang di Aceh.
1.2 Pokok Permasalahan
Ada tiga pokok permasalahan yang difokuskan dari penelitian ini. Ketiga-
tiganya adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana struktur tari Ula-ula Lemben pada kebudayaan etnik Tamiang
di Aceh?
9
b. Bagaimana struktur musik iringan (yang mencakup melodi dan musik
vokal) tari Ula-ula Lemben pada kebudayaan etnik Tamiang di Aceh?
c. Bagaimana fungsi tari Ula-ula Lemben pada etnik Tamiang di Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis bagaimana struktur tari Ula-ula Lemben pada
masyarakat Tamiang di Aceh.
b. Untuk menganalisis bagaimana struktur musik iringan (yang mencakup
melodi dan musik vokal) tari Ula-ula Lemben pada masyarakat Tamiang
di Aceh.
c. Untuk menganalisis bagaimana fungsi tari Ula-ula Lemben pada
masyarakat Tamiang di Aceh.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diambil dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Menambah referensi khususnya Ula-ula Lemben bagi lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah) sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai
bahan pembelajaran.
b. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain baik
mencakup teori maupun uraian dalam pertunjukan tari Ula-ula Lemben.
c. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni musik
dan tari supaya mengetahui struktur musik dan fungsi tari ula-ula lemben.
10
d. Sebagai pengembangan seni-seni tradisional dalam konteks dunia
kepariwisataan diprovinsi Aceh pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis melakukan studi kepustakaan yakni mecari
literatur-literatur yang berhubungan dengan objek-objek penelitian yaitu:
a. Skripsi Sarjana yang berjudul Deskripsi Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-
ula Lembing Oleh Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang, yang
ditulis oleh Adji Suci pada tahun 2015 di Departemen Etnomusikologi
Universitas Sumatera Utara, menjadi satu tulisan yang penulis gunakan
sebagai acuan untuk tesis ini. Skripsi ini membahas tentang keberadaan satu
sanggar tari di Tamiang yang tetap melestarikan keberadaan tari Ula-ula
Lembing, sebagai satu pertunjukan seni milik masyarakat Tamiang. Skripsi
ini terdiri dari 5 bab, yang mana penjelasan tentang tari Ula-ula Lembing
dimuat di dalam bab III.
b. Hoesin, Muhammad. 1978. Adat Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku ini menguraikan secara
lengkap tentang berbagai adat dalam kebudayaan masyarakat Aceh, terutama
di wilayah budaya Aceh Raya.
c. Koentjaraningrat, 1980. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan
Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia Press. Buku ini memuat metode yang lazim digunakan di dalam
11
ilmu antropologi dalam konteks mengkaji keberadaan sosial masyarakat yang
diteliti oleh para antropolog, terutama metode penelitian lapangan.
d. Hasjmy A., 1990. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Benua
Aceh Dalam Angka. Buku ini berisikan materi deskripsi tentang kebudayaan
masyarakat Aceh yang sangat beragam dan dijiwai oleh semangat dalam
kebersamaan yakni agama Islam. Buku ini menjadi acuan penulis dalam
melihat kebudayaan suku Tamiang dalam konteks Aceh yang lebih luas.
e. Hartoko, Dick. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. Buku ini
bersisikan uraian seputar manusia dan hubungannya sebagai unsur pencipta
seni. Di dalam buku ini diurai bahwa manusia mengekspresikan akan dan
budinya memalui seni. Buku ini menjadi salah satu landasan penulis dalam
melihat masyarakat Tamiang dan seni Ula-ula Lemben.
f. Sebuah tesis pada Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU, oleh
Maghfirah Murni Bintang P. yang berjudul Analisis Struktur Tari Guel pada
Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Menurutnya, tari Guel
merupakan tarian yang mencerminkan hidup masyarakat Gayo, berasal dari
kisah kakak beradik paa masa kerajaan Linge. Kajian ini memfokuskan pada
kajian struktur tari Guel dalam kaitannya dengan pemahaman sosial
masyarakat pendukungnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
struktur tari Guel pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah dan
mendeskripsikan serta ungkapan-ungkapan konsep estetik melalui struktur
teknik artistik Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena
mementingkan makna dan konteks, dengan pengumpulan dan analisis data
12
berlangsung secara simultan. Penelitian berlokasi di Kotacane Kab. Aceh
Tengah. Subyek penelitian, adalah para pemangku adat yang memiliki
kredibilitas di dalam tari Guel. Dalam menganalisis data digunakan
pendekatan strukturalisme dengan memfokuskan pada konsep struktur tari
Guel, dengan menitik beratkan teori struktur gerak tari dari Kaepler. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa tari Guel adalah tari yang awalnya
diciptakan untuk kebutuhan upacara adat, kemudian berkembang menjadi tari
hiburandilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Struktur Tari Guel terdiri dari
struktur bentuk/luar dan struktur isi/dalam. Struktur bentuk memiliki
hubungan erat dengan struktur pertunjukan berkaitan dengan elemen dalam
pendukung tari yang terdiri dari struktur koreografi, struktur gerak, struktur
musik, dan sturuktur bentuk. Struktur koreografi terdiri dari unsur gerak,
unsur penokohan/karakter, unsur norma/adat, unsur komunikasi, unsur tata
rias dan busana, unsur musik pengiring dan unsur tempat pertunjukan.
Struktur isi/dalam berkaitan dengan ungkapan konsep estetik yang merupakan
simbol dari keluhuran nilai-nilai moral, adat dan agama suku Gayo dan
menjadi simbol masyarakatnya. Kesemua simbol ini tampak jelas dalam
pertunjukan tari Guel yang dilakonkan dalam empat babak (babak munatap,
babak redep dep, babak ketibung, babak cincang nangka), masing-masing
memiliki alur cerita, dituangkan dalam ragam-ragam gerak yang memiliki
makna dari kehidupan suku Gayo. Simbol tersebut berfungsi ganda, yaitu;
sebagai petanda peristiwa/kejadian dari peristiwa pencarian seorang adik
kepada abangnya yang mencerminkan kesetiaan, tanggungjawab,
13
persaudaraan, kepahlawanan, dan kewaspadaan, yang memberikan pesan
kepada masyarakat, bahwa dalam melakukan sesuatu haruslah
mempersiapkan diri baik lahir maupun batin. Sedangkan sebagai penanda
peristiwa, memiliki makna dari simbol visual yang sekaligus berfungsi
sebagai penuntun bagi pengamatnya. Tesis ini menjadi salah satu bahan
keilmuan bagi penulis untuk mengkaji tari Ula-ula Lemben di dalam budaya
masyarakat Tamiang di Aceh.
g. Sebuah tesis, yang temanya dekat dengan yang penulis teliti adalah tulisan
Rima Kartina, dari Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni
FIB USU, yang berjudul Pertunjukan Tari Persembahan dalam Kebudayaan
Masyarakat Aceh Tamiang: Analisis Struktur Tari, Musik, dan Teks. Di
dalam tesis ini Rima Kartina mengkaji tiga aspek dari Tari Makan Sirih,
yakni struktur tari, struktur musik, dan struktur teks. Dengan menggunakan
teori struktur tari, struktur musik weighted scale, dan semiotika, ditemukan
berbagai ciri-ciri khas dari pertunjukan tari dan musik Persembahan dalam
kebudayaan Tamiang ini.
1.6 Konsep dan Teori
1.6.1 Konsep
Untuk memperjelas arah penelitian terhadap eksistensi Tari Ula-ula
Lemben ini, maka perlu dijelaskan konsep-konsep yang terkait dengan topik
penelitian. Di antara konsep-konsep itu adalah: (1) analisis, (2) struktur, (3) tari
Ula-ula Lemben, (4) struktur tari, (5) struktur musik, (6) teks, dan (7) fungsi.
14
(1) Kata analisis dalam tesis ini merujuk kepada istilah yang diserap dari
bahasa Inggris, analysis. Pada laman (https://en.wikipedia.org/wiki/Analysis)
dijelaskan mengenai analisis sebagai berikut.
The word comes from the Ancient Greek ἀνάλυσις (análusis, "a breaking up", from ana- "up, throughout" and lusis "a loosening"). As a formal concept, the method has variously been ascribed to Alhazen, René Descartes (Discourse on the Method), and Galileo Galilei. It has also been ascribed to Isaac Newton, in the form of a practical method of physical discovery (which he did not name).
Analisis adalah proses memecah topik atau substansi yang kompleks
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik darinya. Teknik ini telah diterapkan dalam studi matematika dan logika
sejak sebelum Aristoteles (384-322 SM ), meskipun analisis sebagai konsep
formal adalah perkembangan yang relatif baru. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Kuno ἀνάλυσις (análusis , "putus", dari ana- "naik, sepanjang" dan lusis
"melonggarkan"). Sebagai konsep formal, metode ini telah banyak dikaitkan
dengan Alhazen, René Descartes (Wacana tentang Metode), dan Galileo Galilei.
Itu juga dianggap berasal dari Isaac Newton, dalam bentuk metode praktis
penemuan fisik (yang tidak disebut namanya).
Dalam tesis ini kata analisis ditujukan untuk kerja ilmiah memecah
substansi kompleks tari dan musik iringan pada seni Ula-ula Lemben yang
tumbuh dan berkembang dalam budaya masayarakat Tamiang di Aceh. Sebagai
sebuah seni fungsional dalam masyarakat, maka seni ini memiliki struktur yang
sedemikian rupa yang perlu untuk dipecahkan.
15
(2) Kata struktur juga merupakan serapan dari bahasa Inggris structure.
Dalam (https://en.wikipedia.org/wiki/Structureai) kata ini diuraikan sebagai
berikut.
Structure is an arrangement and organization of interrelated elements in a material object or system, or the object or system so organized.3 Material structures include man-made objects such as buildings and machines and natural objects such as biological organisms, minerals and chemicals. Abstract structures include data structures in computer science and musical form. Types of structure include a hierarchy (a cascade of one-to-many relationships), a network featuring many-to-many links, or a lattice featuring connections between components that are neighbors in space.
Artinya struktur adalah susunan dan organisasi dari unsur-unsur yang saling
terkait dalam suatu objek material atau sistem, juga objek atau sistem yang
sedemikian terorganisir. Struktur material meliputi benda buatan manusia seperti
bangunan dan mesin dan benda alam seperti organisme biologis, mineral, dan
bahan kimia. Struktur abstrak mencakup struktur data dalam ilmu komputer dan
bentuk musik. Jenis struktur termasuk hierarki (rangkai hubungan satu dengan
yang lain-lainnya), jaringan yang menampilkan berbagai tautan, atau kisi yang
menampilkan koneksi antara komponen yang bertetangga di ruang angkasa.
Dalam tesis ini, kata struktur digunakan merujuk kepada struktur tari dan musik
iringan. Struktur tari dibentuk oleh gerak, pola lantai, posisi badan penari, dan
sejenisnya. Sementara itu, struktur musik disusun oleh melodi dan ritme—melodi
terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula, kadens, kontur, dan
lain-lain, ritem disusun oleh meter, densitas, aksentuasi, dan sejenisnya.
3Tim wikipedia Inggris ini mengutip tulisan Saleh, Mahmoud; Esa, Yusef; Mohamed, Ahmed (2018-05-29). "Applications of Complex Network Analysis in Electric Power Systems". Energies. 11 (6): 1381. doi:10.3390/en11061381.
16
(3) Yang dimaksud dengan tari Ula-ula Lemben adalah salah satu tari
yang berasal dari Kabupaten Aceh Tamiang. Makna etimologis dari tarian ini,
disusun oleh dua kata dalam bahasa Melayu Tamiang di Aceh Timur, yakni yang
pertama adalah ula-ula, yang apadanannya dalam bahasa Indonesia adalah ular-
ular atau banyak ular. Yang kedua adalah kata lemben, yang artinya adalah senjata
tradisional Tamiang yakni lembing.
Seterusnya makna secara kultural, tarian Ula-ula Lemben ini adalah
merujuk kepada ular sebagai simbol kekuatan supernatural dalam kebudayaan
Melayu. Lembing adalah senjata yang juga sebagai simbol kemampuan dalam
mempertahankan keberadaan diri, bahkan kemampuan untuk mencari kebutuhan
hidup terutama makanan yang berasal dari hewan yang diburu melalui alat
lembing ini. Dalam makna lainnya, tarian yang selalu difungsikan dalam upacara
adat perkawinan Melayu di Tamiang ini adalah sebagai simbol dari menyatunya
sepasang suami-istri yang dibebani tugas dalam melanjutkan keturunannya.
(4) Struktur tari, yang dimaksud dengan struktur tari tidak akan lepas dari
tatahubungan yang terdapat dalam tarian itu sendiri, secara teks dan konteks.
Struktur dapat dipahami sebagai sebuah bangunan yang terdiri dari unsur-unsur
yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Adapun menurut
Sumaryono, yang dimaksud struktur tari itu adalah sebagai berikut.
Kata “struktur” secara mudah dimengerti sebagai susunan, kerangka, atau bangunan. Pengertian “susunan” juga bias sifatnya karena bisa saja merujuk urutan secara alfabetis dari “A” sampai dengan Z, atau dari angka 1 sampai dengan 15 misalnya, yang lebih tepat disebut sebagai “urutan.” Susunan bersifat vertikal dan urutan bersifat horizontal. Susunan juga bisa berarti lapisan-lapisan secara gradual. Sedangkan “kerangka” adalah semacam frame, bingkai, atau penyangga suatu bidang atau bangunan. Sementara “bangunan”
17
adalah suatu kata susun yang membentuk suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antar elemen-elemen di dalamnya (Sumaryono, 2011:39-40).
(5) Struktur musik dalam tesis ini adalah mencakup bidang-bidang: ensambel
atau instrumentasi, baik itu organologi, akustik, jalinan dalam ensambel, fungsi dan
peran alat-alat musik (pembawa ritme, siklus, fungtuasi, melodi, peran heterofonis, dan
hal-hal sejenis). Selain itu juga struktur musik ini mencakup dimensi ruang, yang
mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, distribusi nada,
interval, kontur, dan hal-hal sejenis.
Struktur musik dalam konteks kajian ini juga mencakup teks atau lirik yang
disajikan dalam musik. Seperti diketahui bahwa musik Melayu yang bersifat verbal
selalu menggunakan aspek-aspek puisi seperti pantun, gurindam, seloka, nazam, syair,
dan lainnya. Teks lagu Ula-ula Lemben ini terdiri dari unsur pantun (sampiran dan isi).
Untuk menganalisis makna teks lagu (musik) maka aspek yang akan dikaji meliputi
diksi, gaya bahasa, rima (persajakan), jumlah baris, bait, kata-kata seru, struktur baris,
makna konotatif, makna denotatif, nilai-nilai budaya, dan hal-hal sejenis.
(6) Teks yang dimaksud di dalam tesis ini adalah mengacu kepada lirik
nyanyian yang digunakan oleh penyanyi dalam mengiringi pertunjukan tari Ula-ula
Lemben. Teks ini terdiri dari huruf vokal, konsonan, kemudian membentuk kata,
seterusnya beberapa kata membentuk baris, dan baris membentuk bait. Keseluruhan
lagu ini terdiri dari 10 bait teks. Teks ini berkaitan dengan perilaku verbal dan lingistik,
dibandingkan ekspresi prilaku musikal.
(7) Yang dikonsepkan dengan fungsi dalan tesis ini, merujuk kepada pendapat
Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala
18
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya. Kesenian sebagai contoh daripada salah satu unsur kebudayaan,
terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap
keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk
tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi
dari beberapa macam human need itu. Dengan pemahaman ini seorang peneliti
bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat
dan kebudayaan manusia.4
1.6.2 Teori
Berikut adalah teori-teori yang akan penulis gunakan sebagai landasan
penelitian ini. (a) Yang pertama, untuk menganalisis struktur tari Ula-ula Lemben
digunakan teori strutur tari; (b) yang kedua, untuk menganalisis struktur musik,
digunakan teori weighted scale; (c) yang ketiga untuk menganalisis struktur dan makna
musik vokal (teks) digunakan teori semiotik; (d) untuk menganalisis fungsi tari dan
musik Ula-ula Lemben dalam kebudayaan masyarakat Tamiang di Aceh digunakan
teori penggunaan dan fungsi musik yang ditawarkan Merriam.
4Lihat Koentjaraningrat (penye.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi
tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penyelidikan lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
19
1.6.2.1 Teori struktur tari
Para sarjana tari telah melakukan penganalisaan tari melalui pendekatan
sruktural, yaitu pendekatan yang berkembang pertamanya sebagai bidang studi bahasa.
Pendekatan itu dalam bidang studi bahasa disebut dengan istilah linguistik atau ilmu
tata bahasa. Radclife Brown menjelaskan pengertian srtuktur dengan analogi organik.
Brown menyatakan bahwa organ seekor binatang terdiri dari sebuah cahaya sel dan
celah zat cair yang saling berhubungan, sehingga keduanya tidak semata-mata
dipandang sebagai sebuah kumpulan saja, melainkan sebuah satu sistem integrasi
molekul yang rumit atau kompleks. Sistem tatahubungan di mana unit-unit
dihubungkan adalah merupakan struktur organik. Istilah organik yang dimaksud di sini
adalah kumpulan unit-unit yang ditata dalam sebuah struktur, yaitu dalam seperangkat
tatahubungan, orginisme mempunyai struktur. Menurut Radcliffe Brown srtuktur
sebagai seperangkat tatahubungan di dalam kesatuan keseluruhan (Royce, 1980,
dikutip Ben Suharto, 1987:1).
Penelitian tari yang menggunakan padanan bahasa sebagai pendekatan dapat
dirangkum dalam dua metodologi , yaitu: (1) terminologi universal elemen dasar gerak
tari, dan (2) aturan gramatikal universal gerak tari. Kedua metodologi ini dianggap
dapat diterapkan sebagai pendekatan untuk segala bentuk tari dari berbagai lingkup
budaya (Ben Suharto, 1987:1).
Contoh penerapan metodologi yang pertama yaitu tulisan Kaeppler dalam
menganalisa tari Tongan. Analisisnya menitikberatkan pada dua tataran atau unit dasar
yaitu dalam kategori linguistik yang menggunakan padanan fonem dan morfem dengan
mengetengahkan istilah kinem dan morfokin (Kaeppler 1972, dikutip Ben Suharto,
20
1987:2). Padanan linguistik digunakan untuk menguraikan bahasa dengan pertama-
tama memecah notasi fonetik semua suara yang didengar, dan hal ini dapat pula
dilakukan oleh seorang penari yang memecah dalam notasi kinetik (seperti notasi
Laban) semua gerak tari yang dilihat. Sistem penganalisaan itu disebut dengan analisa
etik yang membedakan gerak satu dengan yang lainnya dalam satu sistem yang bebas
dan mengacu pada perbedaan gerak seperti apa adanya sesuai dengan perbedaan
sesungguhnya. Di dalam analisa etik, pola-pola gerak secara fisik dijelaskan tanpa
mengkaitkan dengan fungsi gerak itu dalam sistem. Sedangkan analisa dengan
pendekatan emik memperhatikan hubungan fungsional secarapenuh dengan
menentukan satuan-satuan kontrastif minimal sebagai dasar deskripsi (Kridaleksana
1982: 41). Kaeppler tidak menggunakan analisis dengan sistem etik, tetapi ia
memperlakukan kinem yang menjadi padanan fonem sebagai sasaran untuk analisa
dengan pendekatan emik.
Dengan analisis emik akan dapat disusun inventarisasi gerak bermakna yang
disebut kinem, yaitu unit yang sepadan dengan fonem berupa unsure yang dipilih dari
semua kemungkinan gerak dan sikap yang dikenal memiliki makna bagi orang dari
kalangan tradisi di mana tari itu hidup dan berkembang.
Selanjutnya Kaeppler menjelaskan bahwa kinem merupakan gerak dan sikap
yang meskipun tidak mempunyai maknanya sendiri, tetap saja merupakan unit dasar
tari di kalangan tradisi tertentu disusun. Tugas pertama analisis struktur adalah
melokalisasikan unit dasar gerak tari tradisi tertentu dan mendefinisikan teba
kemungkinan variasi diantara unit-unit tersebut (Kaeppler, 1972).
21
Analisis etik digunakan untuk eksperimentasi dalam usaha mendapatkan
penetapan perbedaan gerak secara lebih akurat dalam rangka mendapatkan perbedaan
gerak pada gilirannya sewaktu menganalisa dengan menggunakan pendekatan emik.
Bila pada waktu pengujian untuk memperoleh kejelasan adanya perbedaan gerak
tataran kinem ternyata terdapat perbedaan yang tidak menjadikan masalah bagi para
ahli di kalangan tradisi di mana tari itu diselidiki, maka gerak itu merupakan allokine
dari sebuah kinem. Dengan kata lain ternyata antar pribadi mempunyai variasi dalam
melakukan sesuatu gerak yang pada dasarnya mempunyai bentuk yang sama. Dalam
menganalisa tari Tongan, Kaeppler menyatakan bahwa pada tingkat kinem ia hanya
melihat pada kontur gerak saja, sehingga ia tidak melibatkan pertimbangan aspek
waktu masih tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbeda.
Untuk menetapkan pola gerak dan sikap pada tingkat kinem, ia menggunakan
analisa kontrastif yang mirip dengan proses dalam bahasa untuk mendapatkan fonem.
Pola gerak dan sikap yang tidak berbeda secara kontras sehingga dapat dilihat sebagai
variasi dikelompokkan sebagai allokine, sehingga dengan demikian dimungkinkan
untuk mendefinisikan batas kinem berikut variasinya. Sedangkan pola gerak dan sikap
ini memiliki perbedaan secara kontras dapat dipandang sebagai kinem yang lain
berikutnya.
Pada tingkat kinem ia menggunakan suatu konstelasi yang dihasilkan melalui
tiga bagian tubuh yaitu kaki, tangan dan kepala sehingga sistem gerak bermakna.
Sedangkan torso dan pinggul meskipun bergerak juga tetap tidak bermakna oleh karena
tidak dianggap berbeda oleh masyarakat pendukungnya. Setelah inventarisasi seluruh
kinem sebagai tingkat pertama analisa struktural ini, maka barulah dilanjutkan dengan
22
pengelompokan untuk mendapatkan tingkat yang kedua, yang ia sebut dengan tingkat
morfokin (morfokinemik), sebagai satuan atau unit yang lebih besar.
Tingkat kedua organisasi struktural gerak tari, ia sebut dengan istilah tingkat
morfokinemik dan merupakan padanan dengan tingkat morfem pada struktur bahasa. Ia
mendefinisikan morfokin sebagai unit terkecil yang memiliki makna dalam struktur
pada sistem gerak. Tetapi ia mengingatkan bahwa penjelasan tentang makna tidak
harus dalam makna naratif atau penggambaran hal tertentu, meskipun beberapa
diantaranya memang begitu. Makna ia maksudkan bahwa sesuatu wujud dapat dikenal
sebagai gerak tari. Sebagaimana diketahui bahwa pada tingkat kinem sebagaimana
pada tingkat fonem dalam bahasa, dikalangan luas secara tidak disadari menjadi
kesatuan yang terpisah bagi mereka yang biasa menyajikannya. Morfokin merupakan
kombinasi kinem baik gerak dan sikap kedalam alunan gerak dengan awal dan akhir
yang jelas. Dan hanya beberapa macam kombinasi saja yang dipandang mempunyai
makna. Penggabungan itu tidaklah dengan urutan yang linier seperti pada bahasa.
Dapat pula sebuah morfokin terdiri dari segelintir kinem yang jelas satuan-satuan
tersebut tidak dapat dibagi atau diperinci tanpa merubah atau merusak maknanya.
Kombinasi ini dikenal sebagai gerak oleh para pelaku tari tradisi tertentu dan biasanya
mempunyai nama.
1.6.2.2 Teori Weighted Scale
Yang pertama untuk mengkaji struktur musik digunakan teori weighted scale
oleh Malm (1977). Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori yang lazim
dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisisi melodi baik
23
itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau kriteria
yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada
(scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada
(frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence
patterns), (7) formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm
terjemahan Takari, 1993:13).
Dalam rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi lagu Ula-ula
Lemben yang disajikan oleh penyanyi dalam konteks situasi, maka terlebih dahulu
data audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan
etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang
bentuknya visual, barulah notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini penulis juga
melakukan penafsiran-penafsiran.
6.1.2.3 Teori semiotika
Untuk menjelaskan struktur dan makna teks dari syair lagu Ula-ula
Lemben ini, maka penulis menggunakan teori semiotika yang dikemukakan oleh
Roland Barthes ((1915-1980). Konsep pemikiran Barthes yang operasional ini
dikenal dengan Tatanan Pertandaan (Order of Signification). Dalam teorinya
tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu
tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna
eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang
24
menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Sehubungan dengan aktivitas gerak tari, maka penulis menggunakan teori
yang dikemukakan oleh Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul The
Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 (enam) fungsi, yaitu
(1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta
ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, 4 sebagai ungkapan
serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni
sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Selain itu
untuk memperjelas pembahasan tentang fungsi tari ini, penulis juga menggunakan
terori yang dikemukakan oleh Soedarsono (2002) membagi fungsi seni
pertunjukan ke dalam dua kelompok utama, yaitu fungsi primer dan sekunder.
Fungsi primer dari pertunjukan ada 3 (tiga), yaitu : (1) sebagai sarana ritual, yang
mana penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, (2) sebagai
sarana hiburan, yang penikmatnya adalah orang-orang yang menggemari musik
yang dimaksud, dan (3) adalah sebagai presentasi estetis yang pertunjukannya
harus dipresentasikan atau disajikan kepada penonton. Sedangkan fungsi
sekundernya adalah fungsi-fungsi elain ketiga fungsi tersebut di atas. Selain itu,
untuk untuk memperjelas pembahasan fungsi lain dari tari ini, maka teori tersebut
di atas akan dikombinasikan dengan teori uses and function yang dikemukakan
oleh Merriam (1964:223).
25
1.6.2.4 Teori fungsionalisme serta penggunaan dan fungsi musik
Kemudian untuk mengkaji fungsi tari dan musik Ula-ula Lemben dalam
kebudayaan masyarakat Tamiang di Aceh digunakan teori fungsionalisme. Teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosisl yang
menekankan pada saling kebergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Lahirnya Fungsionalisme adalah
karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan-kelemahan pada paradigma-
paradigma sebelunnya, (evilusi, difusi, dan sejarah kebudayaan) meskipun mereka
selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya dengan baik namun kesan
yang muncul dari hipotesis dari penelitan mereka seakan spekulatif.
Meskipun ada beberapa ilmuan yang telah melakukan penelitian lapangan
seperti yang dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad 20,
masih juga terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Berbagai kritik yang
dilontarkan pada teori tersebut karena dalam penelitian yang mereka lakukan tidak
membandingkan dengan kebudayaan yang lain yang memiliki keterkaitan tetapi lebih
kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri.
Teori Fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu
sosial,yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana
susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga,
aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti
Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk
mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang
26
lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi
untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang
berhubungan kekerabatannya.
Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19,
khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah
teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton
tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-
Amerika dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown.
Mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada
masyarakat bukan Barat. Sejak dekade. 1970-an, teori fungionalisme dipergunakan
pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer, 1991:112-113).
Selain itu, digunakan pula teori penggunaan dan fungsi musik (uses and
functions) oleh Merriam, dengan uraian sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210).
Dari kutipan paragraph di atas terlihat bahwa Merriam membedakan
pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan
pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi
27
tertentu dan menjadi bahagian situasi itu. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi
fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang
menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik
seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan
keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin
dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan
manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti
menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara.
“Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia;
sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan
terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh
peristiwa muskal tersebut. Dengan demikian, selaras dengan pendapat Merriam,
menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi
lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya, dan lebih
bersifat konseptual dan abstrak.
1.7 Metode Penelitian
Pada umumnya penelitian seni menggunakan beberapa langkah dalam
penerapannya, yakni (1) pemahaman tentang wacana mengenai kebudayaan (seni) itu
sendiri dan masyarakatnya; (2) penggunaan pendekatan emik-etik dalam studi
kesenian; (3) metode penelitian lapangan (observasi); (4) Proyeksi laporan akhir dalam
hal ini adalah tesis; (5) Pendekatan metodologi etnografi tulis (written ethnography)
28
dan etnografi visual (visual ethnography). Metode penelitian lapangan merupakan
sebuah penelitian dimana penulis melakukan pengamatan langsung dilapangan saat
upacara perkawinan, khitanan, menyambut tetamu, atau acara akan dimulai di sebuah
pesta di Aceh Tamiang dan pada saat para penari melakukan tari Ula-ula Lemben
dengan memposisikan diri sebagai insider/outsider dalam subjek penelitian.
Selain metode penelitian observasi, penulis juga menggunakan metode
penelitian etnografi, Karakteristik dari metode etnografi adalah sebagai berikut: (1)
observasi langsung; (2) percakapan untuk mendapatkan informasi yang dapat
distrukturisasi maupun yang tidak dapat distrukturisasi; (3) membuat jadwal
wawancara; (4) mengaitkan informasi satu dan lainnya; (5) memilih informan yang
tepat dan dinilai cakap dalam bidangnya; dan (6) wawancara mendalam apabila
diperlukan untuk mendapatkan kesejahteraan hidup seseorang.
Penelitian ini merupakan studi tentang kebudayaan yang kualitatif dan karena
merupakan studi tentang kebudayaan maka digunakan pendekatan yang
mengkombinasikan tehnik-tehnik etnografi maka mengungkapkan sudut pandangan,
pelaku kebudayaan merupakan tujuan utama. Untuk itu digunakan metode observasi
terbatas serta in-deept interview atau wawancara mendalam dengan para informan yang
merupakan para pelaku kebudayaan tersebut.
Subyek penelitian adalah masyarakat Aceh Tamiang yang masih menggunakan
pertunjukan Tari Ula-ula Lemben dalam upacara perkawinan, khitanan, menyambut
tetamu, dan lain-lain. Mereka masih mempraktikkan tradisi tari dalam adat- setempat,
sebagai representasi, dan nantinya akan diambil beberapa orang sebagai informan
29
utama yang mengerti dengan budaya suku Aceh Tamiang tersebut yang berhubungan
dengan pertunjukan Tari Ula-ula Lemben.
Selama di lapangan, peneliti akan melakukan kegiatan wawancara dengan
informan dengan mewawancarai lebih berfokus dan tidak berkembang pada data yang
kurang relevan. Digunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disusun
sebelum proses wawancara sifatnya tidak mengikuti, karena dapat juga terjadi
penelitian memperoleh data yang tidak diperkirakan sebelumnya.Untuk keperluan
analisa, hasil wawancara perlu di dokumentasikan baik dengan pencatatan (transkripsi)
maupun dengan bantuan alat rekam (tape recorder).
Selama pengumpulan data, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap apa
yang terjadi di lapangan, kegiatan pengamatan selain untuk mengungkap apa yang
belum diperoleh dari wawancara juga penguat (konfirmasi langsung) terhadap data
yang diperoleh dari proses wawancara, untuk itu diperlukan catatan lapangan (fied
note) yaitu catatan yang tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan
difikirkan dalam rangka pengumpulan data dan repleksi terhadap data dalam penelitian
kualitatif, catatan kualitatif.
Selain data primer, juga dilakukan pencarian data-data sekunder, yang dapat
beberapa informasi dari pendukung maupun data dokumen lain yang mendukung,
semua data yang diperoleh akan dianalisis interpretasi deskriptif untuk lebih
memperkuat data dijamin akurasi data lapangan . Semua data baik dari pengamatan,
wawancara dengan subyek maupun data dari sekunder diverifikasi.
Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan makna, gerak,
30
pola lantai, bentuk syair, busana, dan tata rias tari Ula-ula Lemben. Selanjutnya
menganalisis makna syair atau teks (musik vokal) yang disajikan oleh penyanyi
tari Ula-ula Lemben. Analisis teks ini mencakup makna denotatif, konotatif, diksi,
gaya bahasa, dan sejenisnya.
Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan
fungsi seni tari Ula-ula Lemben dalam kebudayaan masyarakat Aceh Tamiang di
Aceh Tamiang Nanggroe Aceh Darussalam. Seterusnya, sesuai dengan bidang
keilmuan penulis yaitu pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji
struktur musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ula-ula Lemben ini.
Kemudian tentu saja penulis harus melakukan deskripsi atau uraian hubungan
antara tari dan musik pengiring tari Ula-ula Lemben.
Sebelum menganalisis tari Ula-ula Lemben terlebih dahulu penulis
mendeskripsikannya, dengan menggunakan gambar dalam bentuk foto dan
dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para
pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi. Demikian pula untuk mengkaji
struktur musik, penulis terlebih dahulu mentranskripsikannya dakam bentuk
visual, yang merupakan pemindahan dimensi dengar ke dimensi penglihatan.
Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan transkripsi deskriptif, yaitu
menuliskan nada-nada utama, tidak serinci mungkin. Hal ini dilakukan
berdasarkan penelitian bahwa kebudayaan musik Aceh umumnya menguatkan
sajian syair teks, dengan demikian termasuk budaya musik yang logogenik.
31
1.8 Sistematika Tulisan
Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas tujuh bab. Ketujuh bab ini
ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang diajukan
pada bab I, dan terfokus ke pada empat aspek: (a) struktur tari, (b) struktur musik
(melodi dan vokal), dan (c) fungsi Ula-ula Lemben yang digunakan dalam
berbagai konteks sosial dan budaya suku Melayu Tamiang di Aceh.
Bab I merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi dengan
uraian tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah yang dikaji, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinajuan Pustaka, Metode Penelitian, Observasi, Wawancara,
Kerja Laboratorium, Konsep, Teori, Metode Penelitian, dan lainnya. Bab ini berisi
mengenai faktor-faktor sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan peneliti
tertarik meneliti dan menulis fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut
dikaji berdasarkan keilmuan etnomusikologi dan etnokoreologi dalam konteks
multidisiplin ilmu.
Bab II, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada etnik Melayu
Tamiang di Aceh dan kebudayaannya. Aspek yang dideskripsikan di antaranya
adalah asal-usul masyarakat Tamiang, letak geografis Aceh Tamiang dan wilayah
budaya, sistem kekerabatan, sistem agama dan kepercayaan, mata pencaharian,
bahasa, kesenian, dan lain-lainnya. Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi
etnografis masyarakat Tamiang dan kebudayaannya serta hubungannya dengan
seni musik dan tari Ula-ula Lemben, baik ditinjau dari sisi kultural, struktural
maupun fungsional.
32
Bab III, berisikan tentang sejarah munculnya tari Ula-ula Lemben, dan
budaya tari sebagai pertunjukan, tempat pertunjukan, waktu pelaksanaan
pertunjukan, perlengkapan dan peralatan yang digunakan dalam tari, dan deskripsi
penyajian dari tari tersebut.
Bab IV, berisikan analisis struktur dan makna musik vokal (teks) dari lagu
Ula-ula Lemben. Tajuk ini kemudian didukung oleh struktur teks, serta arti dan
makna teks.
Bab V, adalah analisis struktur melodi lagu Ula-ula Lemben. Judul ini
didukung oleh kajian berupa proses transkripsi, analisis melodi lagu, hasil analisis
melodi lagu Ula-ula Lemben, yang kemudian didukung pula oleh: tangga nada,
nada dasar, wilayah nada, jumlah pemakaian nada, bentuk, interval, dan kontur.
Bab VI, berisi analisis tentang penggunaan dan fungsi seni Ula-ula
Lemben. Judul ini diisi oleh sub-sub bab penggunaan, memeriahkan suatu acara
atau kegiatan, menyambut tamu atau undangan, sebagai sarana menyalurkan
bakat, sebagai sarana untuk mempresentasikan rasa keindahan, sebagai sara untuk
belajar seni. Dilanjutkan dengan kajian fungsi yang terdiri dari: fungsi hiburan,
fungsi memberikan sumbangan untuk kebertahanan dan kesinambungan
kebudayaan, fungsi simbol keberadaan masyarakat, fungsi komunikasi, fungsi
ekonomi, fungsi memberikan sumbangan untuk penyatuan masyarakat, dan
lainnya.
Bab VII, merupakan kesimpulan dan saran penelitian ini. Bab ini adalah
bab penutup tulisan. Di dalam bab ini ditarik berbagai kesimpulan terhadap tiga
pokok permasalahan yang telah ditetapkan pada Bab I.
33
Bagan 1.1 Hubungan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Konsep, Teori, dan Metode Penelitian Tari Ula-ula Lemben dalam Budaya Tamiang di Aceh
34
BAB II
TINJAUAN ETNOGRAFIS UMUM
MASYARAKAT TAMIANG
Pada Bab II ini, peneliti menguraikan etnografis5 umum etnik Tamiang di
Provinsi Aceh. Tujuannya adalah memberikan penjelasan latar belakang budaya
yang melahirkan tari Ula-ula Lemben ini. Tari, musik, dan pertunjukan ini
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan suku Tamiang secara
umum.
Pertunjukan budaya berupa tarian dan musik adalah bagian dari unsur
kebudayaan, yakni kesenian. Kesenian yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
dalam sebuah kebudayaan adalah didasari oleh kebutuhan manusia yang
universal, yakni ingin menikmati dan mengekspresikan keindahan-keindahan di
dalam kehidupannya. Keindahan adalah bagian dari kebenaran dan dapat
memperkaya aspek rohani manusia, serta menjadi gerak dorong untuk
mendekatkan diri pada pencipta keindahan itu sendiri yakni Tuhan Yang Maha
5Perkataan etnografis merupakan unsur serapan dari bahasa Inggris ethnographical, yang di
dalam disiplin antropologi dimaknai sebagai berikut. Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlahrelatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
35
Indah. Itulah latar belakang dari uraian-uraian etnografi di dalam kajian-kajian
kesenian.
2.1 Muasal Masyarakat Tamiang
Etnik6 Tamiang merupakan salah satu etnik yang mendiami wilayah Aceh
dan memiliki kebudayaan tersendiri yang khas serta berbeda dengan etnik yang
lain. Dengan demikian, etnik Tamiang telah ikut serta memperkaya khasanah
kebudayaan Aceh yang memang sangat heterogen. Karena itu, agar heterogenitas
budaya ini tidak menimbulkan konflik antar etnik, maka setiap individu dari
masing-masing etnik tidak memposisikan etnik dan kebudayaannya secara
eksklusif bak menara gading. Sebab, kebudayaan tidak mengenal dikotomi
superior dan inferior etnik. Sejatinya, perbedaan etnik dan budaya tidaklah
digunakan sebagai pemicu konflik antar etnik, tetapi dimaknai sebagai kekuatan
pendorong kemajuan peradaban bangsa.
6Istilah etnik atau etnis lazim digunakan di dalam ilmu antropologi (baik antropologi
budaya maupun antropologi sosial). Istilah kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi (misalnya oleh Narroll, 1964), adalahsebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Dalam kajian ini adalah suku bangsa Tamiang, yang memiliki hubungan dengan budaya Melayu dT Sumatera Timur dan juga Aceh. Setiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.
36
Berbicara mengenai sejarah munculnya masyarakat Tamiang di Provinsi
Aceh, sampai saat ini belum ditemukan tulisan yang bisa dijadikan sebagai
referensi yang jelas. Namun begitu beberapa literatur yang penulis temukan
melalui media massa dan juga melalui wawancara dengan informan, dapat
digunakan untuk mendeskripsikan tentang munculnya masyarakat Tamiang.
Masyarakat Tamiang pada mulanya mendiami beberapa kecamatan yang
tersebar di Kabupaten Aceh Timur namun mulai tahun 2002, telah menjadi
Kabupaten Aceh Tamiang. Pemberian nama Aceh Tamiang mungkin dikarenakan
sebagian besar masyarakat yang mendiami di wilayah kabupaten yang baru lahir
tersebut adalah etnik Tamiang. Adapun asal-usul masyarakat etnik Tamiang,
sampai sekarang masih belum dapat diketahui secara pasti, karena hingga kini kita
belum dapat menemukan bukti-bukti sejarah yang akurat untuk menjelaskan asal
muasal suku bangsa Tamiang tersebut.
Kendatipun demikian bukan berarti kita tidak dapat mengetahui sama
sekali asal-usul suku bangsa tersebut. Berdasarkan sumber-sumber dari cerita
rakyat, dongeng dan legenda yang tersebar di masyarakat Tamiang, dapat pula
dijadikan patokan untuk menyingkap misteri asal-muasal kehadiran etnik
Tamiang di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang.
Dalam buku yang berjudul Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah
Aceh terbitan tahun 1994 yang ditulis oleh Adnan Abdullah, disebutkan tentang
legenda yang mengisahkan keberadaan etnik Tamiang. Legenda tersebut
mengisahkan bahwa nama Tamiang berasal dari julukan orang-orang Pasai
terhadap daerah taklukannya, yaitu yang terletak di persimpangan Sungai
37
Simpang Kanan dan Simpang Kiri. Tamiang merupakan wilayah yang menjadi
tempat kerajaan taklukan Dinasti Pasai. Yang menjadi raja Tamiang pada waktu
itu bernama Raja Muda Sedia tahun 1330-1352 M (Abdullah, 1994:55).
Sebutan Tamiang diberikan pada Raja Muda Sedia karena raja tersebut
mempunyai tanda atau ciri pada bagian mukanya. Pada pipi Raja Muda Sedia
tersebut terdapat warna hitam, sehingga jika diucapkan dalam bahasa Tamiang
menjadi Itam Mieng. Itam artinya hitam dan mieng artinya pipi. Jadi Itam Mieng
berarti hitam pipinya. Istilah Itam Mieng lama-lama berubah menjadi Tamieng,
kemudian jadi Tamiang. Pendapat lain yang dimitoskan oleh masyarakat Tamiang
adalah pendapat yang mengatakan bahwa istilah Tamiang berasal dari nama salah
satu gugusan pulau yang terletak di Riau, yang merupakan daerah asal nenek
moyang mereka (ibid:56).
Jika sumber-sumber sejarah yang valid tidak ada atau sulit didapat, maka
tradisi lisan (termasuk mitos) yang trersebar di masyarakat pun dapat dijadikan
patokan untuk mengetahui asal muasal kehadiran masyarakat tersebut. Hal ini
dapat dimaklumi karena mitos sering kali banyak menyertai asal-usul nama suatu
daerah, walaupun mitos ini berasal dari dongeng-dongeng yang sulit dibuktikan
kebenarannya.
Selain dua keterangan yang telah disebutkan di atas, ada versi lain yang
menyebutkan asal muasal masyarakat Tamiang adalah dongeng pucuk suluh dan
rumpun bambu. Dari dongeng tersebut dapat kita ketahui bahwa raja pertama
masyarakat Tamiang bernama Raja Pucuk Suluh yang pernah memerintah
Kerajaan yang bernama Kerajaan Batu Karang. Kerajaan Batu Karang ini berada
38
di daerah Simpang Kanan. Pada awalnya, kerajaan ini hanyalah sebuah kerajaan
kecil yang bernama Kerajaan Aru. Di sisi lain ada juga masyarakat yang
menyebutnya sebagai Kerajaan Sarang Djaja.
Setelah Raja Pucuk Suluh meninggal, kekuasaan pemerintahannya
kemudian diserahkan kepada anak cucunya. Hal ini dilakukan karena sudah
menjadi tradisi pada waktu itu bahwa setiap penguasa kerajaan, di samping ia
berkuasa mutlak ia juga dapat mewariskan kekuasaannya kepada anak cucunya
yang dikehendaki. Lebih-lebih setelah rajanya meninggal, otomatis kekuasaan
jatuh ketangan anaknya. Setelah duduk di singgasana ia berhak memerintah
sampai seumur hidup, sampai saatnya ia meninggal dan digantikan oleh anak
turunnya (Abdullah, 1994: 5-56 dan Sufi, 1998: 147-148).
Sebelum hadirnya kekuasaan Kolonial Belanda di daerah Aceh Tamiang,
masyarakat Tamiang telah mendirikan kerajaan yang ditata berdasarkan adat
empat suku atau adat empat kaum. Bahkan dalam catatan sejarah dapat diketahui
bahwa Kerajaan Tamiang pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan lainnya.
Salah satu di antaranya pernah menjalin hubungan diplomasi dengan Kaisar
Tiongkok pada masa Dinasti Ming abad XIV Masehi (Sufi, 1998:148). Hadirnya
pengaruh Kolonial Belanda, wilayah kerajaan Tamiang terpecah-belah. Meskipun
kerajaan tersebut terpecah belah, setiap kerajaan masih tetap memegang teguh
peraturan tata pemerintahan yang telah diadatkan, yaitu adat empat suku. Sampai
dengan berakhirnya masa pendudukan Belanda, di wilayah suku bangsa Tamiang
masih terdapat pecahan lima kerajaan tersebut. Adapun kelima Kerajaan tersebut
39
di antaranya yaitu Sungai Iyu, Bendahara, Sutan Muda, Seruway, Karang Baru
dan Kejuruan Muda.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah telah merubah status kerajaan
tersebut dan memberikan status baru sebagai daerah setingkat kecamatan yang
kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Dikutip dari www.kompasiana.com7, pada masa yang lalu di
Persimpangan Sungai Simpang Kanan dan Simpang Kiri, berdiri sebuah kerajaan
yang merupakan taklukan dari Kerajaan Pasai. Salah seorang raja yang
memerintah kerajaan tersebut bernama Raja Muda Sedia (1330-1352). Raja ini
memiliki tanda hitam (Aceh: itam) di bagian pipinya (Aceh: mieng), sehingga
orang-orang Pasai menjulukinya “si Itam Mieng”. Lama-kelamaan sebutan itu
berubah menjadi tamieng atau tamiang. Cerita yang lain menyebutkan bahwa
nama Tamiang berasal dari dongeng Pucuk Suluh dan Rumpun Bambu.
Berdasarkan dongeng tersebut dapat diketahui bahwa raja pertama masyarakat
Tamiang bernama Raja Pucuk Suluh. Raja ini memerintah Kerajaan Batu Karang
yang terletak di kawasan Simpang Kanan. Sebelum menjadi kerajaan besar dan
bernama Batu Karang, kerajaan ini bernama Kerajaan Aru atau Sarang Djaja dan
merupakan sebuah kerajaan kecil.
Menurut catatan sejarah, etnik Tamiang merupakan etnik melayu
pendatang (imigran) di Aceh. Sebelumnya, Aceh telah dihuni oleh imigran
melayu yang lain yang tinggal di daerah pesisir. Mereka adalah etnik Gayo dan
etnik Mante di Aceh Besar. Kedua etnik ini enggan menerima pembaruan yang
7https://www.kompasiana.com/bustamiaceh/54ffd2058133119068fa70ec/selayang-
pandang-tentang-etnik-tamiang, diakses pada hari Minggu 7 Oktober 2018, pukul 19:24:03 WIB
40
dibawa oleh imigran baru (etnik Tamiang) sehingga mereka lebih memilih
bertempat tinggal di daerah pedalaman. Adapun etnik Tamiang pada mula
kedatangan mereka ke Aceh bermukim di Kuala Simpang, sebuah kota yang
berbatasan dengan Selat Malaka. Etnik Melayu ini berasal dari Kerajaan
Sriwijaya, sehingga mereka sangat identik dengan Melayu Riau dan Melayu
Malaysia. Seiring dengan memudarnya kejayaan Sriwijaya, mereka meninggalkan
negeri asalnya dan berlayar ke Sumatera bagian barat sampai akhirnya berlabuh
dan bermukim di Kuala Simpang. Kendati sebagai pendatang baru di Aceh, orang-
orang Tamiang dapat berinteraksi dan berbaur dengan etnik Aceh secara mudah
dan cepat. Ini disebabkan oleh kelembutan budi dan keramahan sikap mereka
terhadap penduduk setempat.
Dikutip dari http://serbagratiss.wordpress.com8, Tamiang pada masa lalu
pernah terpecah dua hingga menjadi dua kerajaan yakni Kerajaan Karang dan
Kerajaan Benua Tunu. Tapi kedua kerajaan itu tetap tunduk pada negeri Karang.
Dalam buku Tamiang Dalam Lintas Sejarah yang dikarang Ir Muntasir Wan
Diman secara ringkas disebutkan bahwa Kerajaan Tamiang dijadikan dua kerajaan
otonom. Pada masa pemerintahan Raja Proomsyah yang menikah dengan Puteri
Mayang Mengurai anak Raja Pendekar Sri Mengkuta tahun 1558 menjadi Raja
Islam kedelapan dengan pusat pemerintahan di Desa Menanggini. Sementara itu
Raja Po Geumpa Alamsyah yang menikah dengan Puteri Seri Merun juga anak
Raja Pendekar Sri Mengkuta memerintah di Negeri Benua sebagai Raja Muda
Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu.
8Diakses pada hari Minggu 7 Oktober 2018, pukul 19:45:20 WIB.
41
Diuraikan Muntasir bahwa Kerajaan Karang muncul setelah Tan Mudin
Syari (Raja Islam Tamiang ke 10) wafat, lalu diganti kemanakannya yang bergelar
“Tan Kuala” (Raja Kejuruan Karang I) yaitu putera dari Raja Kejuruan Tamiang
Raja Nanjo (Banta Raja Tamiang). Raja Kejuruan Karang Tan Kuala memerintah
1662-1699 merupakan pengganti turunan Suloh. Setelah Raja Tan Kuala
meninggal dunia digantikan Raja Mercu yang bergelar Raja Kejuruan Mercu yang
merupakan Raja Kejuruan Karang II. Pusat pemerintahan Raja Kejuruan Karang
II di Pente Tinjo. Raja Kejuruan Karang II berdaulat 1699 - 1753 berlangsung
aman dan tenteram.
Penggantinya Raja Kejuruan Banta Muda Tan egia berdaulat 1753 - 1800
merupakan Kerajaan Karang III. Selanjutnya Raja Karang III diganti Raja Sua
yang bergelar Raja Kejuruan Sua (Raja Karang IV) memerintah 1800–1845 . Raja
Sua diganti Raja Achmad Banta dengan gelar Raja Ben Raja Tuanku di Karang
sebagai Raja Kejuruan Karang V yang memerintah 1845–1896. Pada masa raja
ini-lah terjadi peperangan Aceh dengan Belanda 1873–1908 dan melalui
peperangan itu, Raja Kejuruan Karang V meninggal dunia dalam tawanan
Belanda. Penggantinya adalah anak dia sendiri bernama Raja Muhammad bergelar
Raja Silang sebagai Raja Kejuruan Karang ke VI. Raja Silang memerintah setelah
lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901–1925. Setelah Raja Silang
meninggal dunia dimakamkan di belakang Masjid Desa Tanjung Karang.
Makamnya saat ini dari pantauan Serambi terawat bersih dan sudah dipugar pihak
Dinas Kebudayaan Provinsi NAD setahun lalu.
42
Pengganti Raja Silang adalah Tengku Muhammad Arifin sebagai Raja
Kejuruan Karang ke VII yang merupakan Raja Kejuruan Karang terakhir
memerintah tahun 1925-1946. Pada masa pemerintahan Tengku Muhammad
Arifin dia membangun Istana Karang yang saat ini dikuasai pihak Pertamina
Rantau karena sebelumnya keluarga Raja Kejuruan Karang telah menjualnya
kepada seorang pengusaha yang bernama Azis.Tapi sekitar tahun 1999 terjadi
bencana alam menyemburnya gas panas akibat dari pengeboran gas yang
dilakukan pihak Pertamina.
Pemilik istana Azis disebut-sebut meminta ganti rugi kepada
Pertamina.Karena sudah diganti rugi oleh pihak Pertamina sehingga istana
tersebut dikuasai Pertamina. Belakangan kabarnya istana itu telah dihibahkan
Pertamina kepada Pemkab Aceh Tamiang. Karenanya sekarang istana tersebut
dijadikan Kantor Perpustakaan dan Arsip Pemkab Aceh Tamiang sebagian dan
sebagian lagi dijadikan Kantor Penghubung Kodim 0104 Aceh Timur. Sementara
halaman istana tersebut saat ini selalu dibuat acara seremonial keramaian
masyarakat. Jika melewati Aceh Tamiang, istana tersebut bisa dilihat karena
letaknya persis sekitar 30 meter dari jalan Negara Medan ke Banda Aceh yang
masuk wilayah Desa Tanjung Karang Kecamatan Karang Baru.
Kini turunan Tengku Muhamad Arifin salah seorangnya yang masih hidup
adalah H Helmi Mahera Almoejahid anggota DPD/MPR-RI yang berkantor di
Gedung MPR-RI Jakarta. Ibundanya Hj. Tengku Mariani adalah putri Tengku
Muhammad Arifin Raja Kejuruan Karang VII. Tengku Hj. Mariani dipersunting
sebagai isteri salah seorang pelaku sejarah Aceh pada zaman DI/TII yang bernama
43
Tgk H Amir Husin Almoejahid (kedua ibunda dan ayahanda H Helmi Mahera
Almoejahid ) telah meninggal dunia dan saat ini H Helmi berdomisili di Istana
Kecil Kerajaan Karang VII bersama keluarga dan turunan Raja Kejuruan Karang.
Lintas sejarah mengenai Raja Karang berakhir sampai dengan Tengku
Muhammad Arifin yang menyisakan sebuah istana yang kini tak jelas siapa
pemiliknya. Sebab meskipun kabarnya sudah dihibahkan Pertamina, tapi berita
acara serah terimanya tidak ada di daftar kepemilikan asset Pemkab Aceh
Tamiang. Karena itu bukti sejarah tentang istana Raja Silang harus segera
ditelusuri pihak Pemkab Aceh Tamiang.
Kemudian lintasan Kerajaan Benua Tunu diceritakan dalam buku yang
sama di karang Ir. Muntasir Wan Diman bahwa pada saat Raja Benua dikuasai
Raja Muda Po Gempa Alamsyah sebagai Raja Benua Tunu yang pertama yang
diberi gelar Raja Muda Negeri Sungai Kiri Benua Tunu I yang memerintah 1558–
1588. Setelah wafat Raja Muda Po Gempa Alamsyah berturut-turut akhirnya
hingga Raja Benua Tunu III yang dikenal Raja Muda Po Perum sebagai Raje
Benua Tunu terakhir yang berdaulat 1629–1669. Setelah Raja Benua Tunu III
wafat, kekuasaan kembali dipegang Raja Tan Kuala yang berarti Kerajaan
Tamiang sudah tidak terpecah kembali.
Belakangan setelah Benua Tunu dikuasai Raja Tan Kuala sekitar tahun
1669 datanglah Raja Po Nita bersama rombongan yang menggugat tentang silsilah
bahwa beliau adalah keturunan Raja Muda Sedia (Raja Islam Tamiang yang
pertama) dengan bukti menunjukkan surat dan sislsilah yang lengkap. Akibatnya
terjadi perang saudara antara rakyat Tanjong Karang dengan yang mengakui Raja
44
Tan Kuala sebagai Raja Tamiang dan rakyat di Benua Tunu mendukung Raja
Penita (Po Nita) sebagai Raja Tamiang, sehingga perang saudara pecah dan
banyak memakan korban jiwa.
Kelanjutan dari kekuasaan antara Raja Tan Kuala dengan Raja Penita
berakhir dengan campur tangannya Sultan Aceh yang pada saat itu dipimpin
seorang ratu yang bernama Ratu Kemalat Syah.Hasil dari intervensi ratu tersebut
diputuskan negeri Tamiang dipecah menjadi dua daerah lagi. Raja Tan Kuala
sebagai raja yang berkuasa di daerah Sungai Simpang Kanan dan Raja Penita
berkuasa di wilayah Sungai Simpang Kiri.
Banyak peristiwa lanjutan dari kedua kerajaan tersebut hingga masa
penjajahan Belanda sampai merdeka. Belakangan Negeri Tamiang menjadi bagian
dari Wilayah Aceh Timur yang berstatus Pembantu Bupati Wilayah III yang pusat
pemerintahannya Kota Kuala Simpang.Selanjutnya 11 Maret 2002 Wilayah
Tamiang disyahkan DPR-RI menjadi Kabupaten Aceh Tamiang melalui UU NO 4
Tahun 2002 tentang pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang.
2.2 Letak Geografis Kabupaten Aceh Tamiang
Tamiang merupakan salah satu kabupetan yang termasuk ke dalam
propinsi Aceh, yang berada di wilayah bagian Timur provinsi tersebut, dan
berbatasan langsung dengan provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data statistik
tahuan 2017, secara geografis kabupaten ini terletak pada 03053’18,81”–
04032’56,6” Lintang Utara, dan 97043’41,51”–98014’45,41” Bujur Timur, dengan
45
luas wilayah mencapai 1.057,02 km2, dan berada pada ketinggian 20-700 M.
Kabupaten ini beribukotakan Karang Baru dengan jumlah kecamatan 12 yaitu:
a. Tamiang Hulu dengan ibukota Pulau Tiga
b. Bandar Pusaka dengan ibukota Babo
c. Kejuruan Muda dengan ibukota Sungai Liput
d. Tenggulun dengan ibukota Simpang Kiri
e. Rantau dengan ibukota Alur Cucur
f. Kota Kuala Simpang dengan ibukota Kuala Simpang
g. Seruway dengan ibukota Tangsi Lama
h. Bendahara dengan ibukota Sungai Iyu
i. Banda Mulia dengan ibukota Telaga Meuku
j. Karang Baru dengan ibukota Karang Baru
k. Sekerak dengan ibukota Sekerak Kanan
l. Manyak Payed dengan ibukota Tualang Cut
Ke-12 kecamatan tersebut terbagi lagi ke dalam wilayah yang lebih kecil
yaitu kampung, desa, atau kelurahan dengan jumlah yang mencapai 213,
Adapun batas wilayahnya adalah sebagai berikut.
(1) Sebelah Utara dengan Kota Langsa (Kabupaten Aceh Timur) dan Selat
Malaka,
(2) Sebelah Timur dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara,
(3) Sebelah Selatan dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dan
Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh,
(4) Sebelah Barat dengan Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Timur.
46
Iklim di Kabupaten ini termasuk sedang dengan curah hujan terendah 176
mm pada bulan Maret dan tertinggi 1.083,7 mm pada bulan Mei, yang tersebar di
12 kecamatan yang ada, dengan ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Pada
kondisi normal, musim kemarau terjadi pada bulan Maret hingga Agustus dengan
suhu 280C, dan musim hujan pada bulan September hingga Februari dengan suhu
250C hingga 290C, dan kelembaban udara rata-rata 55% sampai 70%. Wilayah
Kabupaten Aceh Tamiang sebagian besar merupakan wilayah perbukitan yang
berada di bagian Timur dan pesisir pada bagian Utara dan Barat Laut yang
berbatasan langsung dengan Selat Malaka.
2.3 Sistem Kekerabatan
Bila dilihat dari sistem kekerabatan, masyarakat Tamiang menggunakan
prinsip patrilineal. Yakni menarik garis keturunan dari garis laki-laki. Namun,
sesudah menikah, ada ketentuan adat baru yang harus dipatuhi, yakni tinggal di
lingkungan yang dekat dengan kerabat dari pihak sang wanita.
Dahulu kala di masa pra-kemerdekaan ada 3 pembagian lapisan sosial di
masyarakat Tamiang, yaitu ughang bangsawan, ughang patoot serta ughang
bepake. Golongan yang paling awal adalah untuk para raja dengan keturunan yang
ada pada keluarganya. Untuk laki-laki menggunakan gelar tengku sedangkan
untuk wanita memakai gelar Wan. Golongan kedua merupakan orang-orang yang
mendapatkan kekuasaan serta hak tertentu dari sang raja, mereka memeroleh gelar
sebagai orang kaya. Sementara untuk golongan yang terakhir atau yang ketiga
berisi masyarakat umum yang berasal dari etnik Tamiang.
47
2.4 Agama dan Sistem Kepercayaan
Masyarakat asli etnik Tamiang memilih Islam sebagai kepercayaannya.
Mereka sangat taat dengan berbagai aturan yang ada di agama Islam. Bahkan
dalam perjalanan kehidupannya, mereka sangat lekat dengan beragam ajaran
Islam yang bukan hanya pemahaman tetapi juga diaplikasikan ke dalam
perjalanan hidup mereka. Walaupun begitu, beberapa anggota masyarakat tetap
melakukan berbagai tradisi adat dan kepercayaan lama yang mereka miliki.
Bagi suku perkauman Tamiang perkawinan suatu keharusan yang
ditetapkan oleh agama dimana perkawinan itu seorang merupakan suatu bentuk
hidup bersama antara laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat
dalam hukum, oleh sebab itu setiap laki-laki dan wanita yang telah aqil baligh
diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Bagi suku perkauman Tamiang
untuk mencari dan mendapatkan jodoh itu membutuhkan syarat-syarat tertentu
yaitu, pertama yang mencari jodoh itu adalah orang tua, kedua jodoh yang
dipilih untuk anak mereka berdasarkan keturunan fungsi, dan status sosial dari
keluarga si gadis sebaiknya orang tua si gadis menerima lamaran tersebut sesuai
pula dengan ketentuan diatas, hal ini berlaku timbal balik antara keluarga laki-laki
maupun perempuan.
Perwakilan juga sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan, oleh sebab
itu pasangan dari anak mereka harus benar-benar diketahui dahulu asal usulnya
sehingga keterunan yang dihasilkan juga memiliki status yang jelas dalam suatu
keturunan misalnya anak keturunan raja dengan anak yang mempunyai keturunan
yang sama yang jelas setiap anak tidak akan dikawinkan dengan anak yang tidak
diketahui asal-usul keluarganya baik anak laki laki maupun anak perempuan.
48
2.5 Mata Pencaharian
Tempat tinggal atau kediaman dari suku asli etnik Tamiang ini dibagi
menjadi dua bagian. Daerah pertama yakni daerah yang terletak di sebelah barat
Kabupaten Aceh Timur. daerah ini memiliki beberapa kecamatan antara lain
Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Karang baru dan juga Kecamatan
Tamiang Hulu. Selain tinggal di Kabupaten Aceh Timur sebelah barat,
masyarakat Tamiang juga tinggal di daerah pantai. Permukiman masyarakat
Tamiang tersebut terletak di antara hutan bakau dan juga daerah yang berawa-
rawa. Sementara daerah di pedalaman yang dijadikan tempat tinggal mereka yaitu
tempat yang jaraknya dekat dengan perkebunan, wilayahnya luas dan juga dekat
dengan hutam alam. Banyak yang mereka bisa dapatkan dari alam antara lain
yaitu kelapa sawit dan juga karet. Tentunya kedua hal tersebut di atas
mempengaruhi sistim mata pencaharian etnik Tamiang
Sebagian besar, masyarakat asli etnik Tamiang merupakan para petani
yang selalu bercocok tanam di sawah untuk mencukupi berbagai kebutuhan dalam
hidupnya. Bukan hanya itu, masyarakat Tamiang juga memilih bidang peternakan
untuk menyambung hidupnya. Bidang peternakan yang dipilih antara lain
beternak bebek, ayam, sapi dan juga beternak kambing.
Suku Perkauman Tamiang umumnya hidup dari hasil sawah mereka
(dalam bahasa Tamiang sawah disebut belang atau hume). Sawah ini dibentuk
berpetak-petak yang dipisahi dengan “batas” (pematang). Pengairan disawah
sangat tergantung pada turunnya hujan. Sehingga tanaman padi hanya dapat
dilakukan satu kali dalam setahun. Sawah dibajak dengan memakai sapi atau
karbau memakan waktu sampai satu bulan (sekarang telah banyak menggunakan
49
peralatan modern dengan tractor atau jacktor dan telah ada pengairan (irigasi),
serta dengan berbagai komoditas padi yang dibudidayakan sehingga penanaman
dapat dilakukan lebih dari satu kali setahun).
Selain berbelang (sawah), suku perkauman Tamiang juga mengerjakan
ladang (dalam bahsa Tamiang ladang disebut padang) biasanya padang mereka
agak jauh dengan desa tempat tinggal mereka. Ladang dibuka (dikerjakan) dengan
sistem menebang dan membakar hutan yang letaknya ada sebagian dilerang bukit.
Pekerjaan berladang ini merupakan pekerjaan sambilan yang dikerjakan dengan
mencangkul tanah. kemudian baru ditanam dengan berbagai macam tanaman
seperti padi darat, cabai, jagung, dan tanaman palawija serta sayur-sayuran
lainnya (holtikultura).
Nelayan merupakan mata pencaharian bagi suku perkauman Tamiang
yang bertempat tinggal dipinggiran sungai dan di muara-muara yang menjorok
ke laut. Tradisi nelayan yang sering dilakukan sangat tradisional dengan
memakai perahu dayung (sampan) cara menangkap ikan udang dan kepiting
dilakukan dengan beberapa cara diantaranya ngejang yaitu bubu yang dibuat
dari rotan dengan bentuk melingkar yang panjangnya sekitar 1 meter dan
dengan diameter 0,5 meter, salah satu ujungnya ditutup dan ujungnya yang
lain dibuka sebagai pintu masuk dengan cerocok atau jeruji yang berbentuk
kerucut dipasangkan menjorok kebagian dalam berfungsi agar ikan dan
binatang lain yang sudah masuk tidak akan berani keluar lagi. Bubu tersebut
dikelilingi dengan jang yang terbuat dari rotan dengan bentuk seperti krei.
50
Selain itu juga alat yang biasa dipakai adalah pancing atau kail, jaring,
jala, tombak, ambe (jaring berbentuk hampir seperti kerucut yang dipsang dekat
muara sungai atau sering tanggok yang berdiameter 3-4 meter dan panjang 5-6
meter). Khusus untuk kepeting digunakan alat yang diberi nama “angkol” yaitu
jaring yang dipasang pada tangkai yang terbuat dari bambu dengan bentuk
melengkung dan bersilang empat, panjang sisi sekitar 30 cm di persilangkan
tangakai inilah digantung umpan (biasanya ikan-ikan busuk atau sejenisnya).
Namun sekarang ini kehidupan para masyarakat asli suku Tamiang ini
sudah mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Kini, banyak lapangan kerja
tersedia untuk masyarakatnya. Baik bekerja melalui sektor swasta maupun
pemerintahan. Namun ada juga beberapa masyarakat Tamiang lebih memilih
untuk membuka lapangan pekerjaannya sendiri. Entah sebagai usaha pribadi
maupun usaha untuk membantu membuat sejahtera masyarakat lain yang tinggal
di lingkungan sekitar.
2.6 Bahasa
Etnik Tamiang merupakan etnik yang termasuk ke dalam rumpun Melayu,
dan seperti umumnya etnik di Indonesia, mereka menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar kesehariannya. Namun di beberapa wilayahnya mereka
juga menggunakan bahasa daerah yang disebut dengan bahasa Tamiang, yang
umumnya digunakan oleh suku perkauman Tamiang.9 Dikarenakan etnik ini
9Dikutip dari Suci (2015:25-26), masyarakat Tamiang menyebut kelompoknya dengan
istilah suku perkauman Tamiang. Secara umum mereka juga dimasukkan ke dalam kelompok etnik Melayu, yaitu Melayu Tamiang. Istilah ini di dalam ilmu antropologi dapat dipadankan dengan kelompok etnik (ethnic group), atau istilah lainnya adalah suku bangsa.
51
hidup berdekatan dengan beberapa etnin lainnya seperti seperti suku Gayo, Aceh,
dan Melayu Deli, maka bahasa yang digunakan pun dipengaruhi oleh suku-suku
tersebut yang teridentifikasi dari dialeknya.
Bahasa daerah yang digunakan oleh etnik Tamiang tersebut lebih dikenal
dengan nama bahasa Kampong (bahasa khusus etnik Tamiang) yang apabila
diperhatikan memili tiga dialek, yaitu dialek ilek (dialek hilir), dialek tengah, dan
dialek hulu. Bagi suku perkauman Tamiang, bahasa-bahasa kampong tersebut
dapat dipahami secara umum walaupun terdapat beberapa isitilah yang memiliki
perbedaan pengertian. Meskipun begitu, anggota masyarakat etnik Taming tetap
menghargai dan saling memahami, dikarenakan mereka memegang suatu pesan
yang dibuat oleh raja Muda Sedia ‘’ller boleh pecah. Ulu boleh pecah Tamiang
tetap bersatu.” Artinya hilir bisa pecah, hulu juga bisa pecah, namun Tamiang
tetap bersatu. Pesan tersebutlah yang menjadi pedoman bagi masyarakat
Tamiang untuk tetap bersatu dalam satu wilayah, dan tidak saling terpecah
dengan egosentris masing-masing etnik yang ada di wilayah tersebut.
2.7 Kesenian
Seni budaya yang dimiliki oleh suku perkauman Tamiang adalah salah
satu dari sekian banyak seni budaya dari suku bangsa lainya memiliki pola dan
corak yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi
dari kolompok masyarakat yang kemudian menimbulkan suatu kesadaran identitas
dan diikat pula dengan kesatuan bahasa sehingga menimbulkan rasa memilki yang
mengikat.
52
Seni budaya suku Tamiang yang tradisional sukar untuk menentukan
apakah tari mengikuti nyanyi atau nyanyi pengiring tari. Karena setiap tari di
daerah Tamiang selalu disertai dengan nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas
pantun. Pola dasar dari gerak tari pada seni budaya suku perkauman Tamiang
adalah gerak melingkar atau saling memotong silih berganti, dengan hentakan
kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara gelang kaki. Setelah
berkembang barulah diikuti diiringi dengan instrumen yang sederhana seperti
gendang, seruling, dan biola. Namun dibeberapa tempat yang terpencil tarian ini
hanya diiringi oleh irama lesung ataupun ketukan pada kayu yang disusun
pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu).
Tarian tradisional yang telah digali dari masyarakat suku perkauman
Tamiang yang dianggap seni budaya tua disebut piasan. Seni budaya ini dapat
dipegelarkan tanpa musik, baik dalam bentuk penyajian atau penampilan tarian
maupun nyanyian. Oleh sebab itulah dalam penyajian ini sekaligus diuraikan seni
budaya tari dan nyanyian, salah satu tarian dan nyanyian adalah tari Ula-
ula Lemben.
53
BAB III
DESKRIPSI PERTUNJUKAN DAN ANALISIS STRUKTUR
TARI ULA-ULA LEMBEN
3.1 Sejarah Munculnya Tari Ula-Ula Lemben
Tari Ula-ula Lembing (Lemben) adalah tari yang mengekspresikan
kegembiraan yang biasanya digunakan dalam acara perkawinan. Namun
demikian, menurut penjelasan para informan tarian ini bukanlah termasuk
ritual adat perkawinan Aceh Tamiang. Tarian ini menggambarkan tekad bulat
seorang pemuda dalam mengatasi semua halangan untuk mencapai cita-citanya
menemui dan mendapatkan kekasih idaman hati. Di samping itu digambarkan
pula bahwa bila seseorang akan membangun kehidupan baru harus mampu
menempuh halangan dan rintangan serta mendapatkan restu dari orang tua dan
masyarakat.
Tari Ula-ula Lembing ditarikan bebas dalam acara apa saja, tarian ini
adalah tari hiburan rakyat yang mendidik dalam segi agama, syair lagunya dalam
bahasa Tamiang Hilir dan terdiri dari pantun pantun rakyat. Kesemuanya ini
tergambar juga di dalam gerak tari Ula-ula Lembing, satu tarian tradisional suku
perkauman Tamiang yang telah memperkaya khasanah kebudayaan Nasional.
Tarian ini adalah tarian pesisir pantai laut Tamiang, di mana dahulu
diceritakan menurut Hikayat Tamiang pada zaman kerajaan Tamiang ada dua
kerajaan yang berseteru (bertengkar). Pertengkaran ini terjadi karena raja dari
kedua kerajaan tersebut tidak setuju menjalin perkawinan antara kedua anak
54
mereka. Raja Tamiang Hulu mempunyai seorang putri dan Raja Tamiang Hilir
mempunyai seorang putra. Kedua putra dan putri raja tersebut sudah saling suka
untuk menempuh hidup berumah tangga. Namaun demikian, kedua orang tua
mereka tidak setuju. Karena itu mereka mencari jalan bagaimana mereka bisa
bertemu walaupun dengan cara apa saja sekalipun dengan cara yang dapat
membahayakan mereka. Mereka tetep berusaha keras agar bisa terjalin hubungan
berumah tangga. Kedua putra putri raja ini masing masing mencari dayang dan
hulubalang yang rela membela mereka sehingga setiap mereka bertemu harus
secara diam- diam tanpa diketahui oleh kedua orang tua mereka dan
hulubalangnya. Apabila ingin bertemu, sang putri dan sang pangeran, keluar
istana secara diam-diam dan jalan yang dilalui dan dilewati adalah jalan yang
tidak diketahui oleh orang-orang secara umum. Mereka harus naik sampan,
malewati hutan dan menentang orang- orang yang menghalangi mereka.
Pangeran sendiri berani menyamar dan berubah menjadi seekor ular,
pangeran pun langsung menelusuri pantai yang diterjang ombak untuk mencari
gadis pujaannya tersebut di tepi sungai, Tekad mereka satu ingin terwujud apa
yang diinginkan. Untuk menggambarkan kegigihan tekad putra putri Tamiang
diciptakan suatu tarian yang diberi nama Ula-ula Lembing yang mempunyai arti
ular itu panjang tetapi harus tegar (keras) seperti lembing sehingga sanggup
berjalan menyusup sampai tempat tujuan. Konon di sebut ular disini karena sang
pangeran berani menyamar menjadi seekor ular untuk memasuki kerajaan dan
menjemput sang putri idaman hatinya.
55
3.2 Tari Ula-ula Lemben Sebagai Pertunjukan
Ula-Ula Lembing merupakan tari drama bermusik yang disajikan dengan
diiringi lirik-lirik atau lagu-lagu berbahasa Aceh Tamiang. Seperti sekilas
diisyaratkan oleh namanya, tarian ini mewakili kelincahan seekor ular. Adapun
lembing (tombak) melambangkan ketangkasan.
Kelincahan dan ketangkasan tersebut tergambarkan melalui rangkaian
gerak tari. Dimulai dengan acara penghormatan, kemudian penari membawakan
gerak salam. Gerakan lain, di antaranya Gerak Niti Batang, Tunda-Tunda Benting,
Pungku-Pungku Batang, Endang-Endang Bincah dan Gerakan Silat.
Sebagai kesenian yang berfungsi hiburan, dalam prakteknya Tari Ula-Ula
Lembing bisa ditarikan oleh penari laki-laki maupun penari perempuan. Jumlah
penari biasanya tujuh orang atau lebih yang semuanya menggunakan busana atau
ragam hias khas adat Aceh Tamiang.
Dahulu kala semasa prakemerdekaan tari ini sering dipentaskan pada acara
penyambutan tamu agung atau pada pesta pernikahan adat Aceh Tamiang.
Sayangnya, seiring banyaknya hiburan modern serta kurangnya sosialisasi,
perlahan tapi pasti tarian ini mulai ditinggalkan masyarakat pendukungnya.
3.3 Tempat Pelaksanaan Pertunjukan
Tari Ula-ula Lemben ini dipertunjukkan diberbagai tempat, tergantung
pada kegiatan yang dilaksanakan. Namun secara umum, tarian ini dipertunjukkan
di tempat yang memiliki ukuran cukup memadai, seperti lapangan, halaman atau
56
pekarangan rumah yang luas, aula, gedung pertujukan, bahkan sewaktu-waktu
bisa dilakukan di jalan.
Lapangan yang luas digunakan ketika tari ditampilkan pada acara-acara
yang bersifat besar seperti penyambutan tamu yang merupakan pejabat daerah
atau pejabat Negara, dan tamu-tamu khusus pada acara-acara tertentu. Tentunya
acara tersebut juga dilaksanakan di lapangan. Sedangkan halaman ,pekarangan
dan juga digunakan pada saat tari Ula-ula Lemben digunakan untuk acara
pernikahan, khitanan, memperingati hari besar Islam (halaman Mesjid atau
Musholla), dan acara-acara lainnya. Sedangkan gedung digunakan pada saat acara
tersebut dilaksanakan di sebuah gedung, seperti acara yang bersifat resmi
kedaerahan dan kenegaraan.
3.4 Waktu Pelaksanaan Pertunjukan
Waktu pelaksanaan tari ini pada umumnya siang don sore hari antara
pukul 10 WIB hingga pukul 17 WIB, walaupun dalam beberapa kegiatan juga
dilaksanakan pada malam hari, antara pukul 19 WIB hingga pukul 21 WIB. Hal
ini lebih disebabkan oleh fungsi tari yang digunakan untuk menyambut para tamu
yang datang pada suatu acara atau kegiatan, yang pada umumnya datang sekitar
waktu itu. Namun demikian, pelaksanaan tari juga disesuaikan dengan permintaan
dari pihak penyelanggara acara, dengan tujuan kedatangan tamu yang diinginkan
harus disambut semeriah mungkin, dan salah satunya adalah dengan tarian.
Dikaitkan dengan durasi tari, Ula-ula Lemben ini umumnya dilaksanakan
selama 10-15 menit, dengan beberapa gerakan yang sudah dirangkai sedemikian
57
rupa. Durasi ini juga disesuaikan dengan kondisi tamu yang akan disambut pada
satu acara, sehingga kedatangan tamu dianggap tepat dengan penyambutan yang
dilakukan oleh penari. Hal ini berlaku untuk tarian yang dilakukan pada siang,
sore, ataupun malam hari.
3.5 Perlengkapan dan Peralatan Tari
Dilihat dari penyajiannya, Ula-ula Lemben sudah termasuk ke dalam satu
pertunjukan, dikarenakan terdapat beberapa unsur pertunjukan seperti apa yang
disajikan, untuk apa disajikan, siapa yang menyajikan, dan siapa yang melihat
atau menyaksikan. Untuk itu perlu dilihat beberapa hal yang berkaitan dengan
penyajian tari tersebut.
Ula-ula Lemben adalah satu pertunjukan seni yang menggabungkan antara
gerak dan musik. Gerak yang dilakukan berbentuk gerak tari dan gerak silat,
sedangkan musik berbentuk vocal (nyanyian) dan instrumental. Percampuran dari
keempat kesenian inilah yang membentuk pertunjukan Ula-ula Lemben yang
digunakan untuk menyambut tamu.
Untuk menyajikan tari tersebut, tentunya diperlukan beberapa
perlengkapan dan peralatan yang berkaitan dengan tari dan musik, dikarenakan
perlengkapan dan peralatan juga mendukung pelaksanaan pertunjukan tari ini.
Dan berikut akan dijelaskan beberapa perlengkapan yang digunakan pada
pertunjukan Ula-ula Lemben tersebut.
58
Pakaian, pada umumnya setiap penari menggunakan pakaian seragam,
namun dengan warna yang berbeda-beda, namun menggambarkan budaya dari
masyarakat Tamiang. Penari berpakaian adat suku perkauman Tamiang untuk
wanita secara lengkap yang terdiri dari dua kelompok warna yang berbeda
misalnya 5 penari berwarna merah dan 5 penari berwarna hijau. Dalam
kebudayaan melayu khususnya Tamiang warna ini sangat penting artinya
misalnya warna kuning diartikan sebagai warna raja, warna hitam diartikan
sebagai kesatria, sedangkan warna hijau dan merah adalah warna yang
melambangkan daerah Tamiang sehingga penari Ula-ula lembing diharuskan
mengunakan kedua warna tersebut yang menjadi identitas dari suku perkauman
Tamiang.
Adapun pakaian dasar yang digunakan penari Ula-ula Lembing yaitu
pakaian adat melayu yang terdiri dari, baju adat melayu, kain songket, dan tali ikat
pinggang. Khusus Aceh Tamiang digunakan pakaian berwarna merah dan hijau10.
Adapun gambar pakaian yang digunakan pada tarian Ula-ula Lembing dapat
dilihat pada gambar berikut.
10Warna pakaian tidak memiliki ketentuan yang pasti, tergantung dari kelompok tari atau
sanggar tari yang menggunakannya, dengan catatan tetap bercirikan masyarakat Melayu
59
Gambar 3.1: Contoh pakaian yang digunakan penari (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gambar 3.2: Kain Songket yang digunakan penari (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
60
Gambar 3.3: Ikat pinggang (Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gambar 3.4: Pakaian penari lengkap dengan warna yang berbeda untuk setiap sub-kelompoknya
(Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
61
3.6 Alat Musik Yang Digunakan
3.6.1 Gendang Melayu
Gendang Melayu merupakan satu alat musik yang dijadikan sebagai alat
musik khas suku Melayu. Alat musik ini terbuat dari kulit binatang seperti kerbau,
kambing atau lembu, dan alat musik ini merupakan salah satu alat musik dalam
kelompok Membranophone (alat musik yang menggunakan kulit atau membrane
sebagai sumber bunyinya), dan termasuk ke dalam single headed drum (gendang
yang hanya memiliki satu sisi untuk dimainkan).
Alat musik Gendang melayu ini dimainkan dengan cara dipukul
menggunakan kedua tangan sambil dipeluk dalam posisi duduk dan agar bunyinya
lebih nyaring pada lingkaran kulit bagian dalam dipasak dengan menggunakan
rotan bulat (sepanjang lingkaran badan gendang) yang biasa disebut silak. Pada
tradisi masyarakat Melayu, Gendang ini lazim digunakan untuk memainkan dan
menfatur polaritme dan tempo dari untuk pengiring tari dan lagu-lagu melayu.
Berikut adalah contoh Gendang Melayu dan cara memainkannya.
Gambar 3.5: Contoh Gendang Melayu (Sumber: https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/)
artikel-fungsi-gendang-melayu-alat.html, diakses tanggal 2 April 2019)
62
Gambar 3.6: Cara memainkan Gendang Malayu pada pertunjukan Ula-ula Lemben
(Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
3.6.2 Biola
Biola adalah alat musik yang memiliki dawai (senar), yang dimainkan
dengan cara digesek. Biola memiliki empat senar yang masing-masing senar
memiliki bunyi nada berbeda yaitu nada G, yang merupakan nada yang paling
rendah, nada D yang merupakan nada terendah setelah nada G, nada A pada senar
ketiga, dan nada E yang merupakan nada yang bisa menghasilkan suara paling
tinggi. Dalam klasifikasi alat musik, biola termasuk ke dalam alat musik
Chordophones (alat musik yang suaranya dihasilkan dari senar atau dawai, dengan
bantuan resonator pada bagian alat musik untuk mengeraskan suaranya). Cara
memainkan alat musik ini adalah dengan meletakkan bagian resonator ke atas
bahu dan di jepit dengan dagu, satu tangan digunakan untuk menekan senar, dan
satu tangan lagi digunakan untuk menggesek senar dengan alat penggesek senar
63
biola yang disebut dengan Bow. Berikut gambar alat musik biola dan cara
memainkannya
Gambar 3.7: Contoh alat musik Biola (Sumber : https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/ artikel-Biola-alat.html, diakses tanggal 2 April 2019)
Gambar 3.8 : Cara memainkan Biola pada pertunjukan Ula-ula Lemben
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
64
3.6.3 Accordion
Di kutip dari https://kumpulanalatmusik.blogspot.com/2016/05/accordion.
html, Accordion merupakan alat musik yang berasal dari Jerman pada abad ke-19
dan tersebar luas diseluruh dunia. Bentuk dasar alat musik ini diyakini telah
diciptakan di Berlin pada tahun 1822 oleh Christian Friedrich Ludwig
Buschmann. Walau begitu, alat musik accordion ini pertama kali dipatenkan pada
tahun 1829 oleh Cyrill Demian. Secara tradisional, accordion digunakan untuk
pertunjukan musik rakyat dan light classical musik. Tetapi pada masa kini, alat ini
sudah berbaur dan dimainkan dalam berbagi jenis musik seperti musik pop, rock,
classical musik bahkan turut dimainkan dalam iklan.
Accordion ini memiliki bagian-bagian yang bersifat universal, diantaranya
bellow, tubuh, palet dan bagian lain yang variabel. Tubuh terbuat dari 2 kotak
kayu yang menyatu dengan bellow. Di dalamnya merupakan ruang buluh yang
akan mengeluarkan suara atau bunyi. Sedangkan palet yang berbentuk seperti
katup, mempunyai fungsi sebagai pengontrol masuk dan keluarnya udara ke
dalam alat musik tersebut. Sedangkan bellow merupakan bagian yang
menciptakan kevakuman dan tekanan udara yang digetarkan sehingga
menghasilkan suara.
Alat musik ini termasuk ke dalam Aerophone (alat musik yang
menghasilkan bunyi dari udara yang ditiupkan pada rongga-rongga penghasil
suaranya). Bentuk Alat musik ini relatif kecil, dan dimainkan dengan cara
digantungkan di leher. Pemusik memainkan tombol-tombol akord dengan jari-jari
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memainkan melodi lagu yang
65
dibawakan. adapun cara penggunaannya dengan memakai kedua tangan, yang
mana tangan yang satu difungsikan sebagai pengatur alunan suara, sedangkan
pada tangan yang kedua digunakan untuk mengatur nada. Pada saat dimainkan,
akordeon didorong dan ditarik untuk menggerakkan udara di dalamnya.
Pergerakan udara ini disalurkan ke lidah akordeon sehingga menimbulkan bunyi.
Komponen yang ada dalam sebuah akordeon adalah bagian kotak kayu,
bellow, dan palet. Di dalam kotak kayu itu ada sebuah rongga tempat dimana
suara akordeon dihasilkan. Sedangkan palet yang berbentuk seperti katup yang
mengontrol keluar masuknya udara ke dalam akordeon tersebut. Sedangkan
bellow adalah komponen yang dominan yang menciptakan kevakuman dan
tekanan udara yang digetarkan sehingga menghasilkan suara.
Untuk memainkan alat musik akordeon ini dibutuhkan posisi tubuh yang
benar, tidak boleh membungkuk ketika memengangnya, dan harus berdiri dengan
tegak atau atur beban tumpuan pada dada anda ketika memainkannya, dengan
tujuan untuk memberikan kenyamanan dalam bermain. Berikut contoh alat musik
accodioan dan cara memainkannya
Gambar 3.9: Contoh alat musik Accordion (Sumber : https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/
artikel-fungsi-Accordion -alat.html, diakses tanggal 2 April 2019)
66
Gambar 3.10 : Cara memainkan Accordion pada pertunjukan Ula-ula Lemben
(Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
3.7 Perlengkapan Musik yang Digunakan
3.7.1 Microphone
Dikutip dari http://elektronika-dasar.web.id/microphone/ (pada tanggal 4
April 2019), Microphone atau sering ditulis mikropon adalah suatu alat yang
dapat mengubah getaran suara menjadi getaran listrik. Microphone merupakan
salah satu sumber pokok dan merupakan input studio rekaman (studio produksi).
Karena sangat peka dalam menerima getaran suara, peletakan microphone
memerlukan pengaturan yang khusus agar suarasuara yang tidak diperlukan tidak
ikut masuk menggetarkan membrane mikropon. Media penghantar getaran
listriknya merambat melalui kabel. Berikut adalah contoh microphone dan
penggunaannya pada pertunjukan Ula-ula Lemben.
67
Gambar 3.11: Contoh microphone (Sumber : http://elektronika-dasar.web.id/microphone/ ,
diakses tanggal 4 April 2019)
Gambar 3.12 : Penggunaan microphone pada pada pertunjukan Ula-ula Lemben
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
68
3.7.2 Speaker
Speaker adalah perangkat keras output yang berfungsi mengeluarkan hasil
pemrosesan oleh CPU berupa audio/suara. Speaker juga bisa di sebut alat bantu
untuk keluaran suara yang dihasilkan oleh perangkat musik seperti MP3 Player,
DVD Player dan lain sebagainya (https://www.audioengine.co.id/pengertian-
fungsi-speaker/, diakses 4 April 2019). Speaker memiliki fungsi sebagai alat
untuk mengubah gelombang listrik yang mulanya dari perangkat penguat
audio/suara menjadi gelombang getaran yaitu berupa suara itu sendiri. Proses dari
perubahan gelombang elektromagnet menuju ke gelombang bunyi tersebut
bermula dari aliran listrik yang ada pada penguat audio/suara kemudian dialirkan
ke dalam kumparan.Dalam kumparan tadi terjadilah pengaruh gaya magnet pada
speaker yang sesuai dengan kuat-lemahnya arus listrik yang diperoleh maka
getaran yang dihasilkan yaitu pada membran akan mengikuti. Dengan demikian,
terjadilah gelombang bunyi yang dalam keseharian dapat kita dengar.
Gambar 3.13: Contoh Speaker (Sumber : https://www.audioengine.co.id/pengertian-fungsi-speaker/,
diakses 4 April 2019)
69
3.8 Deskripsi Penyajian Tari Ula-ula Lemben
Seperti telah dituliskan di atas, bahwa pelaksanaan tari Ula-ula Lemben ini
dilakukan di tempat yang luas, dikarenakan dilakukan oleh penari yang berjumlah
lebih minimal 6 orang (3 pasang penari), dan di tambah dengan pemain musik dan
pelantun lagu. Berikut akan dituliskan deskripsi penyajian tarian tersebut, yang
pada umumnya dilakukan oleh sanggar tari tempat penelitian penulis, yang akan
dijelaskan dalam bentuk tabel.
Tarian ini dilakukan secara berpasangan, jadi pada saat akan memulai
tarian Ula-ula Lemben ini para penari akan berdiri berpasangan secara berbanjar,
yang mana pada tulisan ini penari yang dicontohkan berjumlah 3 pasang ( 6
orang). Selanjutnya setelah musik (yang memainkan lagu Ula-ula Lemben dengan
kecepatan 116) dimainkan, mereka akan melakukan gerakan pertama dan berikut
contohnya.
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Tangan disatukan di depan dada di bawah dagu, dengan posisi badan membungkuk ke depan 750-850, dengan hitungan 2 x 4 ketuk. Gerakan ini merupakan gerakan awal dari tari
Gambar 3.14: Contoh gerakan awal tarian dan deskripsinya
(Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
70
Gerakan kedua adalah rangkaian gerakan mengayunkan tangan ke depan
dan ke belakang, yang diakhiri dengan posisi menyembah. Berikut adalah contoh
gerakan yang dilakukan
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Mengayunkan tangan kanan ke depan dan ke belakang sebanyak 6 kali dengan hitungan sebanyak 4 x 4 ketuk,
Mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan posisi badan miring ke kanan
Mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan posisi badan miring dan miring ke kiri
Gerakan selanjutnya adalah gerakan menyembah. Pada gerakan ini posisi tangan disatukan di depan dada dan posisi badan setengah jongkok, dan dilakukan sebanyak 2 x 4 ketukan
Gambar 3.15: Contoh rangkaian gerakan kedua dari tarian dan deskripsinya (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
71
Setelah gerakan menyembah tersebut dilanjutkan dengan gerakan
mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan posisi badan miring
ke kanan dan miring ke kiri, dengan hitungan 8 x 4 ketuk seperti pada rangkaian
gerakan ke dua dan dilanjutkan lagi dengan rangkaian gerakan ketiga yaitu
gerakan silat yang dilakukan oleh 2 orang penari yang berada di depan. Musik
yang dimainkan untuk mengiringi gerakan ini adalah patam-patam dengan
kecepatan M.M. = 140
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan pertama adalah meluruskan tangan kanan ke depan dengan posisi telapak tangan tegak lurus, dan juga tangan kiri di depan dada dengan posisi telapak tangan tegak lurus secara bergantian. Posisi badan agak turun, dan langkah kaki mengikuti tangan yang berada di depan 2. Urutan pelaksanaannya adalah meluruskan tangan kanan ke depan yang diikuti kaki kanan 1 langkah, kemudian tangan kiri ke depan dan juga kaki kiri sebanyak 1 langkah, kemudian merubah arah ke kiri dengan tangan dan kaki kanan terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan tangan dan kaki kiri, kemudian memutar badan yang didahului dengan tangan dan kaki kanan yang dilanjutkan dengan tangan dan kaki kiri.
Gerakan silat balik arah
72
Gerakan silat ke arah depan
Gambar 3.16: Contoh rangkaian gerakan ketiga dari tarian dan deskripsinya (Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan ini merupakan gerakan penutup dari rangkaian gerakan ketiga, yang mana posisi badan setengah berjongkok, dengan posisi tangan kanan dan kiri berada di samping badan dan telapak tangan menyentuh lantai seperti menopang badan. Sementara penari lainnya hanya berdiri tegak hingga rangkaian gerakan silat yang disajikan selesai dari awal hinga akhir
Gambar 3.17: Contoh gerakan penutup dari rangkaian gerakan ketiga dari tarian dan deskripsinya
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Setelah gerakan silat, penari akan melanjutkan dengan gerakan keempat
yaitu mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan posisi badan
yang juga miring ke kanan dan ke kiri, namun dengan formasi melingkar, dengan
hitungan 4 x 4 ketuk, yang dilanjutkan dengan gerakan memutarkan badan di
tempat dengan formasi tetap melingkar dan dilakukan sebanyak 2 kali, dengan
hitungan 4 x 4 ketuk. Musik yang dimainkan pada gerakan ini adalah lagu Ula-ula
Lemben dengan tempo 116. Berikut adalah contoh gerakan yang dilakukan.
73
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang, posisi badan miring ke kanan dan ke kiri, formasi melingkar, dengan hitungan 4 x 4 ketuk
Gerakan memutarkan badan di tempat ke arah kanan dengan formasi tetap melingkar dengan hitungan 4 x 4 ketuk. Gerakan ini dilakukan sebanyak 2 kali.
Gambar 3.18: Contoh rangkaian gerakan keempat dari tarian dan deskripsinya
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Berikut adalah pola gerakan tari yang dilakukan
Gambar 3.19: Pola gerakan tari melingkar
Gerakan selanjutnya adalah gerakan yang mereka sebut dengan jud kedidi,
yang mana gerakan ini menunjukkan gerakan badan yang mengenjut-ngenjut
dengan posisi tangan disamping badan dan formasi tetap melingkar, dengan
hitungan 10 x 4 ketuk. Musik yang dimainkan adalah patam-patam dengan
kecepatan M.M. = 140.
74
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Posisi badan berdiri tegak, kaki kanan ke depan dan telapak kaki menghentak ke lantai dengan tumit tetap berada di lantai. Badan ikut mengenjut-enjut sesuai dengan gerakan telapak kaki. Posisi tangan berada di samping badan dan telapak tangan di depan perut dengan 2 telapak tangan menghadap ke bawah. Enjutan yang dilakukan badan, kaki dan tangan dilakukan secara bersamaan
Posisi badan berdiri tegak, kaki kanan ke depan dan telapak kaki menghentak ke lantai dengan tumit tetap berada di lantai. Badan ikut mengenjut-enjut sesuai dengan gerakan telapak kaki. Posisi tangan berada di depan dada dan telapak tangan disatukan hingga tangan mencapai posisi ke atas sejajar dengan kepala. Badan dan kaki tetap melakukan enjutan
Gambar 3.20: Contoh rangkaian gerakan jud kedidi dari tarian dan deskripsinya
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Setelah gerakan tersebut, para penari akan melanjutkan dengan gerakan
mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan posisi badan yang
juga miring ke kanan dan ke kiri dan formasi melingkar seperti pada contoh
gambar 3.9, dengan hitungan 4 x 4 ketuk. Hanya saja gerakan yang dilakukan
ditambah dengan gerakan berjalan berputar keliling sebanyak 1 kali dan berputar
ditempat sebanyak 2 kali (seperti pada contoh gambar 3.9). Musik yang
dimainkan pada gerakan ini adalah lagu Ula-ula Lemben dengan tempo 116.
Berikut adalah contoh gerakan yang dilakukan.
75
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Mengayunkan kedua tangan ke depan dan ke belakang dengan formasi melingkar
Gerakan berputar dengan formasi melingkar. Pada saat berputar hanya saja gerakan tangan tidak lagi cuma berayun, akan tetapi sudah ditambahkan dengan gerakan mengangkat tangan ke atas sambil dan melentikkan jari. Gerakan ini merupakan gerakan yang dilakukan ke arah dalam (dengan tangan kiri)
Gerakan melentikkan jari ke arah luar (dengan tangan kanan)
Gambar 3.21: Contoh gerakan mengayunkan tangan yang dilakukan penari dengan formasi melingkar
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gerakan selanjutnya adalah gerakan seperti mengayuh sampan. Gerakan
ini juga dilakukan dengan formasi melingkar dan tetap berputar, yang mana penari
melakukan gerakan untuk tangan kiri dan tangan kanan, sebanyak 1 kali. Untuk
gerakan pertama, seluruh penari masih dalam posisi berdiri, namun untuk gerakan
selanjutnya sudah bervariasi, yang mana tiga orang penari dalam posisi berdiri
dan tiga orang penari berada dalam posisi setengah jongkok dengan hitungan 4 x 4
dan dilakukan sebanyak 2 kali. Setelah itu dilanjutkan dengan gerakan mengayuh
76
dengan formasi melingkar dan berputar, dengan posisi berdiri. Berikut adalah
contoh gambar dari geakan yang dilakukan.
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan mengayuh, dilakukan oleh penari dengan dua posisi. Satu kelompok setengan bersimpuh dengan kaki kiri berada lebih tinggi daripada kaki kanan. Gerakan tangan adalah seperti mengayuh sampan dengan menggunakan tangan kiri, dan arah kayuhan adalah ke depan dan ke belakang. Penari lainnya berdiri, berputar mengelilingi penari yang bersimpuh, dengan gerakan tangan yang sama
Semua penari berdiri sambil berputar dengan melakukan gerakan tangan seperti mengayuh sampan
Gambar 3.22: Contoh gerakan mengayuh sampan dan formasinya (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gerakan selanjutnya adalah gerakan berjalan, yang mana 2 orang penari
berjalan beriring sambil melewati tangan penari lainnya yang digandengkan.
Gerakan ini juga dilakukan dengan posisi penari yang berubah dan mengikuti arah
putaran, dengan hitungan 4 x 4 ketuk. Berikut adalah contoh gerakannya.
77
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
2 orang penari berjalan beriring melewati tangan 2 penari yang disatukan
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
2 orang penari berjalan beriring melewati tangan 2 penari yang disatukan
Gambar 3.23: Contoh gerakan tari melewati tangan penari (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Setelah melakukan beberapa kali perulangan untuk gerakan seperti pada
contoh gambar 3.22 maka gerakan terakhir yang dilakukan adalah gerakan silat
yang dilakukan secara bersama-sama dengan formasi tetap melingkar dan
berputar, dengan arah putaran dan gerakan yang berubah-ubah ke kiri dan ke
kanan. Berikut adalah contoh gerakan yang dilakukan.
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan silat seperti yang dilakukan pada contoh gambar 3.7. perbedaannya terletak pada pormasi yang mana pada gerakan ini formasi yang diambil adalah melingkar dan berputar ke arah kiri dan ke arah kanan. Selain itu, gerakan dilakukan oleh semua penari. Gambar ini menunjukan berputar ke arah kiri
78
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan berputar ke arah kanan
Gambar 3.24: Contoh gerakan silat yang dilakukan penari dan formasinya
(Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gerakan selanjutnya yang dilakukan oleh penari adalah berupa rangkaian
gerakan, yang dilakukan dengan cara menutup dan membuka tangan, dan penari
bergerak dengan posisi dari berkumpul ke berpencar ke arah mereka menghadap.
Dan pada akhir gerakan, mereka mengambil posisi setengah jongkok dan agak
menunduk. Berikut contoh gerakan yang dilakukan oleh penari.
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Posisi berdiri dan kedua tangan disatukan di depan dada. Formasinya adalah berpencar ke arah luar lingkaran
Posisi berdiri dan kedua tangan dibuka ke arah samping badan. Formasinya adalah berpencar ke arah luar lingkaran
79
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Gerakan ini merupakan gerakan penutup. Pada gerakan ini, posisi penari setengah bersimpuh, dan sedikit menundukkan kepala, dengan posisi kedua tangan berada di samping kanan dan kiri, dan jari menyentuh lantai
Gambar 3.25: Contoh gerakan menutup dan membuka tangan dan
ditutup dengan gerakan setengah bersimpuh (Sumber: Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Gerakan terakhir yang dilakukan oleh penari adalah gerakan menyatukan
tangan di depan dada mereka, sambil bergerak menyusun formasi berbaris, untuk
bergerak ke luar dari arena pertunjukan. Gerakan ini dilakukan hingga para penari
keluar semuanya dari tempat pertunjukan berlangsung. Berikut adalah contoh
gambar dari gerakan yang dilakukan.
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Ini merupakan rangkaian gerakan terakhir dari keseluruhan gerakan tari Ula-ula Lemben. Gerakan yang ditampilkan adalah berdiri kemudian berjalan dan berkumpul membentuk lingkaran, sedangkan telapak disatukan di depan dada
Berputar sambil menyatukan telapak tangan
80
Contoh gerakan tari Deskripsi gerakan
Berjalan ke luar arena sambil tetap menyatukan tangan
Gambar 3.26: Contoh gerakan menyatukan tangan sambil membentuk barisan
dan berjalan ke luar arena pertunjukan (Sumber : Dokumentasi penulis 25 Juli 2018)
Demikianlah beberapa gerakan yang dilakukan oleh penari peda
penyajian tari Ula-ula Lemben ini. Dari deskripsi di atas, penulis mengambil
kesimpulan bahwa gerakan inti dari tarian adalah gerakan menyembah, gerakan
mengayunkan tangan ke depan dan ke belakang dengan arah kiri dan kanan yang
dilakukan berulang-ulang, gerakan silat, gerakan mengenjut-enjutkan kaki atau
Jud Kedidi, gerakan mengayuh, gerakan melentikkan jari ke kanan dan ke kiri,
gerakan berbaris dan melewati tangan yang disatukan, gerakan menyatukan dan
membuka tangan, dan gerakan terakhir yaitu menutup tangan dan bergerak ke
arah luar. Beberapa gerakan yang ditampilkan dilakukan secara berulang-ulang
beberapa kali dengan formasi yang sama, yaitu gerakan mengayunkan tangan ke
depan dan belakang pada arah kanan dan kiri, dan juga gerakan silat. Selain itu,
beberapa gerakan juga menggambarkan syair yang dinyanyikan, seperti mengayuh
dan mencari atau menanyakan jalan. Semua gerakan di atas didokumentasikan
dari foto-foto dan video tari pada saat penelitian pada tanggal 25 Juli 2018.
81
BAB IV
ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA MUSIK VOKAL (TEKS)
LAGU ULA-ULA LEMBEN
4.1 Studi Teks Nyanyian dalam Etnomusikologi
Dalam kajian-kajian etnomusikologis, teks nyanyian atau lagu, kadangkala
disebut musik vokal, adalah menjadi salah satu pusat perhatian. Studi teks
biasanya melibatkan bukan hanya dari sisi struktur bunyi musik, tetapi juga yang
terpenting dari aspek kebahasaan. Mengenai hubungan antara etnomusikologi dan
ilmu bahasa ini dalam kerangka memahami manusia, diurai secara jelas oleh
Merriam (1964:189) sebagai berikut.
One of the most obvious sources for the understanding of human behavior in connection with music is the song text. Texts, of course, are language behavior rather than music sound, but they are an integral part of music and there is clear-cut evidence that the language used in connection with music differs from that of ordinary discourse.
It is a truism to say that music and language are interrelated, and that the study of this interrelationship is thus a task for the joint energies of the ethnomusicologist and the linguist. The exact nature of the problem, however, tends to be technical and structural in nature and is not of primary concern here, although some aspects of it may be noted briefly. Language clearly affects music in that speech melody sets up certain patterns of sound which must be followed at least to some extent in music, if the music-text fusion is to be understood by the listener. Bright comments that "languages display regular patterns of high-pitched and low-pitched syllables, loud and soft syllables, long and short syllables; and different languages give different emphases to these factors. Since patterns involving these elements of pitch, dynamics, and duration are also among the basic elements of music, it is at least a reasonable hypothesis that there may be some cultures in which features of spoken languages have played a part in conditioning the musical patterns of song."
82
Salah satu sumber yang paling jelas untuk memahami perilaku manusia
sehubungan dengan musik adalah teks lagu. Teks, tentu saja, adalah lebih
mengarah kepada perilaku bahasa daripada suara musik, tetapi baik teks maupun
unsur suara adalah bagian integral dari musik--dan ada bukti yang jelas bahwa
bahasa yang digunakan sehubungan dengan musik berbeda dari wacana biasa.
Dengan demikian bermakna bahwa musik dan bahasa saling terkait, dan bahwa
studi keterkaitan ini juga akan memerlukan tugas kerja bersama etnomusikolog
dan ahli bahasa.
Bahasa dengan jelas memengaruhi musik dalam melodi, yang mengatur
pola-pola suara tertentu yang harus diikuti setidaknya sampai batas tertentu dalam
musik, jika perpaduan musik-teks ingin dipahami oleh pendengar. Bright
berkomentar bahwa "bahasa menampilkan pola reguler dari suku kata bernada
tinggi dan bernada rendah, suku kata keras dan lembut, suku kata panjang dan
pendek; dan bahasa yang berbeda memberikan penekanan yang berbeda terhadap
faktor-faktor ini. Karena pola melibatkan unsur-unsur nada, dinamika, dan durasi
ini. juga di antara unsur-unsur dasar musik, setidaknya hipotesis yang masuk akal
bahwa mungkin ada beberapa budaya di mana fitur bahasa lisan telah memainkan
peran dalam mengkondisikan pola musik lagu. "
83
4.2 Teks Nyanyian dalam Pertunjukan Ula-ula Lemben
Pada pertunjukan yang dilakukan, kesenian Ula-ula Lemben bukan hanya
hanya terdiri dari tampilan tarian, tetapi juga musik (yang berbentuk musik
instrumental dan musik vocal/nyanyian atau lagu). Lagu yang disajikan memiliki
judul yang sama dengan tariannya, dan memiliki keterkaitan dengan gerakan tari
yang dilakukan, sehingga antara lagu dan gerak memiliki ikatan yang saling
mempengaruhi.
Lagu yang dinyanyikan menggunakan bahasa Melayu Tamiang, dan
mengandung perumpamaan-perumpamaan yang tentunya memiliki makna
tersendiri dalam pemahaman mereka. Selain itu, lagu tersebut juga memiliki
keterkaitan dengan beberapa hal, seperti penghormatan, percintaan (kasih sayang),
dan beberapa ungkapan yang dinyatakan dengan bahasa kiasan dalam bahasa
Melayu Tamiang tersebut. Pada bab ini, akan dibahas beberapa hal yang berkaitan
dengan penggunaan teks dalam nyanyian Ula-ula Lemben. Berikut adalah
pembahasan dari teks yang digunakan pada syair lagu Ula-ula Lemben ini.
4.3 Struktur Teks
Berdasarkan teks yang dinyanyikan, lagu Ula-ula Lemben berbentuk
pantun. Berikut akan disajikan teks lagu Ula-ula Lemben yang dilantunkan oleh
penyanyi di tempat penulis melaksakan penelitian, yaitu pada Sanggar Seni
Tamiang. Teks disertai dengan artinya dalam bahasa Indonesia yang diapit oleh
tanda kurung siku.
1. Assalammualaikum kami ucapke
Kepada hadiren yang kami muliake
84
Kami angkat sepuluh jari menyusun sembah puja dan puji
Alhamdulillah Ilahirobbi selawat salam kepade Nabi
[artinya dalam bahasa Indonesia:
Assalamualaikum kami ucapkan
Kepada hadirin yang kami muliakan
Kami mengangkat sepuluh jari menyusun sembah puja dan puji
Alhamdulillah Ilahirabbi selawat salam kepada Nabi]
2. Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Lepak dalam bate tepak dalam dulang
Belanja tiga tael tujuh cari tunang
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Lepak dalam bate tepak dalam dulang
Belanja tiga tail tujuh cari tunang]
3. Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Malam bekalam mimpi siang betumpang mate
Gunong tinggi ku daki lembah dalam ku arong rate
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Malam berkalam mimpi siang bertumpang mata
Gunung yang tinggi ku daki lembah dalam ku harung rata]
4. Kayoh Maijah kayoh kayoh ramai-ramai
Singgah Maijah singgah tepian belom sampe
Kayoh Maijah kayoh kayoh laju-laju
Singgah Maijah singgah di sini kita bertemu
[Kayuh Maijah kayuh kayuh ramai-ramai
Singgah Maijah singgah tepian belum sampai
Kayuh Maijah kayuh kayuh laju-laju
Singgah Maijah singgah di sini kita bertemu]
85
5.Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Ranto telok ku arungi paloh muare ku sebrangi
Pante betin sakat umbak penawa hati belum beriak
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Rantau teluk ku arungi paluh muara ku seberangi
Pantai beting sakat ombak penawar hati belum beriak]
6. Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Biar karam bade mengamok putus temerang patah kemudi
Tujuh harap nak ku jengok larai dendam rindu di hati
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Biar karam badai mengamuk putus temberang patah kemudi
Tujuh harap kan ku jenguk melerai dendam rindu di hati]
7. Puku puku pangke lang betanye-tanye jalan
Jalan kemane jalan kemane anda tanyeke
Jalan kami jalan kami ke gudang baden
Bak diambek bak diambek ke gudang baden
[Pukul-pukul pangkal yang bertanya-tanya jalan
Jalan kemana jalan kemana anda tanyakan
Jalan kami jalan kami ke seberang sungai
Bagai diambil bagai diambil ke seberang sungai]
8. Layu bunge layu riang tembang di jalan
Nak lalu usah layu dayang ngampang di tengah jalan
Lob bubu lob tempire kelua jangan bercere-cere
Padu kate kaseh beture sepanjang mase jangan becere
[Layu bunga layu riang bertembang di jalan
Hendak lalu jangan layu dayang menghempang di tengah jalan
Pasang bubu pasang tempira keluar jangan bercerai-cerai
86
Pada kata kasih bersandar sepanjang masa jangan bercerai]
9. Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Bintang alam mapah pepaye turon mase selip purnama
Puje tujoh harapan sudah penuju hati ku datang jua
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Bintang alam mapah payah turun masa selip purnama
Puja tujuh harapan sudah penuju hati ku datang juga]
10. Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Kami akhiri ucapan salam pade hadirin handai dan tolan
Mane yang saleh harap maafke semoga kite dilindong Tuhan
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
Kami akhiri ucapan salam pada hadirin handai dan taulan
Mana yang salah harap maafkan semoga kita dilindung Tuhan]
Syair lagu Ula-ula Lemben terdiri dari 10 bait, yang mana setiap baitnya
terdiri dari 4 baris. Setiap baris terdiri dari kesatuan frase kalimat yang utuh yang
menyambung ke baris kedua, ketiga dan keempat.
Terdapat dua baris yang selalu diulang dalam kesepuluh bait syair lagu di
atas yakni
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
[Ular-ular lembing tertusuk awan-awan
Yang mana yang ku tusukkan yang putih tandanya
87
Struktur demikian merupakan gaya tersendiri teks lagu ini. Gaya tersebut dapat
dikategorikan sebagai gaya perulangan (repetisi). Baris-baris berupa dua kalimat
ini adalah menguatkan tema tentang Ula-ula Lemben sebagai sebuah simbol
dalam konteks komunikasi verbal dan nonverbal.
4.4 Arti dan Makna Teks
Pada bagian ini, penulis akan menyajikan arti dan makna dari teks lagu
Ula-ula Lemben, yang akan dijelaskan berdasarkan baitnya. Arti dan makna ini
penulis dapatkan berdasarkan wawancara dengan Bapak Musa yang dilakukan
selama penelitian, dan juga terhadap beberapa orang tokoh budaya di Tamiang,
penyanyi, dan pemain musik dari beberapa sanggar yang melakukan pertunjukan
ini. Untuk menjelaskan makna teks dari syair lagu Ula-ula Lemben ini, maka
penulis menggunakan teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes
((1915-1980). Konsep pemikiran Barthes yang operasional ini dikenal dengan
Tatanan Pertandaan (Order of Signification). Dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi
dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan
pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda
dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini, 2006).
Secara sederhana, kajian semiotik Barthes bisa dijabarkan denotasi
merupakan makna sesungguhnya, atau sebuah fenomena yang tampak dengan
88
panca indera, atau bisa juga disebut deskripsi dasar, dan Konotasi merupakan
makna-makna kultural yang muncul atau bisa juga disebut makna yang muncul
karena adanya konstruksi budaya sehingga ada sebuah pergeseran, tetapi tetap
melekat pada simbol atau tanda tersebut. Dua aspek kajian dari Barthes di atas
merupakan kajian utama dalam meneliti mengenai semiotik. Kemudian Barthes
juga menyertakan aspek mitos, yaitu di mana ketika aspek konotasi menjadi
pemikiran populer di masyarakat, maka mitos telah terbentuk terhadap tanda
tersebut. Pemikiran Barthes inilah yang dianggap paling operasional sehingga
sering digunakan dalam penelitian.
Berikut arti dan makna teks dari lagu yang dapat penulis simpulkan dari
semua hasil wawancara dan juga teori yang digunakan.
Bait 1:
Assalammualaikum kami ucapke
Kepada hadiren yang kami muliake
Kami angkat sepuluh jari menyusun sembah puja dan puji
Alhamdulillah ilahirobbi selawat salam kepade Nabi
Bait ini dinyanyikan pada bagian awal lagu, yang menjadi kalimat
pembuka, berisikan kalimat salam khas dalam agama Islam yaitu ucapan
Assalammualaikum. Kalimat tersebut ditujukan kepada semua yang hadir di
tempat tersebut sebagai tamu, undangan, penonton, ahli bait ataupun pihak
penyelenggara acara. Kemudian dilanjutkan dengan kata-kata yang mengajak para
hadirin untuk mengucapkan kalimat syukur dan juga pujian (selawat) kepada
Nabi, yang dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW.
89
Makna dari bait ini adalah bahwa sebelum acara dimulai manusia tetap
harus mengingat Allah SWT dan juga Nabi dalam agama Islam, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Kalimat pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad
dimasukkan sebagai salah satu syair dalam lagu. Hal ini merupakan ajakan dari
penyaji untuk selalu mengingat sang pencipta dan juga utusan-Nya, dan dengan
demikian orang yang menyajikan dan menyaksikan pertunjukan tersebut tetap
ingat kepada agama. Artinya, manusia harus tetap berpijak atau berdasarkan pada
pandangan agama dalam berbagai kegiatan yang mereka lakukan.
Bait 2:
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh panonye
Cepah dalam batee tepak dalam dulang
Belanja tiga tael tuju cari tunang
Kalimat yang menjadi syair pada bait tersebut bisa diartikan sebagai
berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan-awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
Cepah dalam batee tepak dalam dulang
(tempat meletakkan batee dan tepak)
Belanja tiga tail tujuan mencari tunangan
Bait di atas memiliki makna yang berbeda dari bait yang pertama. Pada
dua kalimat pertama yang menjadi sampiran dalam bait ini, diungkapkan bahwa
permainan yang dianggap kecil (senda-senda kecil) mampu menembus hingga ke
atas (tercolok awan-awan). Kalimat yang kedua memiliki makna yang mengacu
kepada tanda hitama (itam miang) yang dimiliki oleh raja, jadi kalimat tang puteh
90
pano nye merupakan kalimat yang mengandung pengertian sebaliknya dari kata
yang diucapkan. Dua kalimat ini memiliki makna bahwa sesuatu yang dianggap
tidak memiliki arti pun bisa menjadi penting dalam kehidupan sehingga akan
mampu mencapai tujuan yang diangan-angankan (cita-cita hidup). Jadi apabila
manusia yang memiliki cita-cita, akan dapat dicapai dengan berbagai cara,
walaupun cara yang dilakukan tersebut tidak sesuai dengan kebiasaan dan bisa
saja hal-hal yang dianggap tidak memiliki arti.
Selanjutnya, dua kalimat yang menjadi isi pada bait ini mengungkapkan
tentang sesuatu yang biasa digunakan oleh masyarakat Melayu untuk
menghormati para tamu yang datang, yaitu tepak. Tepak merupakan suatu benda
berbentuk segiempat dan memiliki penyanggah yang pada masyarakat Melayu
pada umumnya berisikan sirih, kapur, dan lain-lain, dan disajikan kepada para
tamu untuk menyatakan rasa hormat yang sangat tinggi dan dalam.
Kalimat terakhir adalah kalimat yang berarti belanja tiga tail tuju cari
tunang, memiliki makna bahwa membelanjakan sesuatu dengan harga tiga tail11.
Pada masa lalu, jumlah ini dianggap memadai untuk mendapatkan seorang
perempuan yang mau diajak menikah, jadi sebelumnya harus diikat terlebih
dahulu dengan tradisi tunangan. Dengan kata lain, seorang laki-laki dianggap bisa
mendapatkan seorang calon istri dengan jumlah tersebut, yang mana tradisi awal
untuk meresmikan ikatan pernikahan yang diinginkan adalah bertunangan, dengan
membelikan sesuatu dengan jumlah tiga tael tadi.
11Tail adalah mata uang yang digunakan pada masa Belanda menguasai Indonesia
sebelum kemerdekaan.
91
Pengertian lainnya adalah bahwa seperangkat isi dulang merupakan bahan-
bahan untuk menepung tawari raja yang hendak menikah, sedangkan sejumah
uang sebagai isyarat kerelaan dan dukungan dari orangtua berbentuk materil untuk
pernikahan raja yang dimaksud, yakni raja muda sedia.
Bait 3
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Malam bekalam mimpi siang betumpang mate
Gunong tinggi ku daki lembah dalam ku arong rate
Kalimat yang menjadi syair pada bait tersebut bisa diartikan sebagai
berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
Malam terbawa mimpi siang terbayang di mata
Gunung tinggi akan ku daku lembah yang dalam akan kuarungi (kuanggap)
rata
Dua kalimat pertama pada bait ini memiliki pengertian dan makna yang
sama dengan dua kalimat pertama pada bait kedua, jadi tidak penulis jelaskan lagi.
Sedangkan kalimat ketiga dan keempat yang menjadi isi memiliki makna
memiliki pengertian karena rindunya bertemu dengan sang kekasih, terbawa
hingga ke dalam mimpi dan terbayang-bayang selalu di depan mata, sehingga
memunculkan tekat yang sangat untuk bertemu dengan si kekasih hingga
rintangan yang besar dan berat pun akan dijalani sang raja, walaupun harus
melewati gunung yang tinggi dan lembah atau jurang yang sangat dalam.
92
Bait 4:
Kayoh maijah kayoh kayoh rami-rami
Singgah maijah singgah tepian belom sampe
Kayoh maijah kayoh kayoh laju-laju
Singgah maijah singgah di sini kita bertemu
Kalimat di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Kayuh Ma’Ijah kayuh, kayuh kuat-kuat
Singgah Ma’Ijah singgah, tepian belom sampe
Kayuh Ma’Ijah kayuh, kayuh ramai-ramai
Singgah Ma’Ijah singgah, di sini kita bertemu
Syair di atas memiliki pengertian bahwa sang raja rindu kepada orangtua
yang mengasuhnya, sehingga beliau berpantun kepada masyarakat setempat untuk
disampaikan kepada orangtua angkatnya (Ma’ Ijah) untuk dapat datang dengan
menyeberangi laut dan sungai menggunakan perahu (yang muncul dari kalimat
Kayo Ma’Ijah Kayo), dan terus mengayuh karena tempat yang harus dituju oleh
Ma’Ijah, yang merupakan tempat tinggal si raja pada saat itu belum sampai. Dan
hal ini juga diperkuatnya dengan kalimat ditempat itulah sang raja muda sedia
menunggu orangtua angkatnya tersebut datang, yang muncul dalam kalimat di sini
kita bertemu. Pemahamannya adalah sang raja telah berada di suatu tempat dan
merasa rindu dengan orangtua yang sudah mengasuhnya dari kecil hingga beliau
melakukan perjalanan ke tempat lain.
Bait 5:
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Ranto telok ku arungi paloh muare ku sebrangi
Pante betin sakat umbak penawa hati belum beriak
93
Syair di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
Berbagai teluk akan kuarungi, paluh dan muara akan ku seberangi
Pantai sudah memiliki banyak ombak, tetapi penawar hati (rindu) belum
terlihat
Dua kalimat yang menjadi isi pada bait di atas memiliki pemahaman
bahwa demi berjumpa dengan ibu angkatnya tersebut, sang raja yang akan
menjemput dengan mengarungi banyak teluk dan muara dengan menggunakan
perahu. Walaupn begitu, sudah banyak pantai dan ombak yang dilihatnya, namun
beliau belum juga berjumpa dengan si ibu angkat. Kalimat ini bermakna
kerinduan yang sangat mendalam terhadap si ibu, dan akan menempuah
perjalanan yang lama dan berat untuk menemukan dan menjemput si ibu.
Bait 6:
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Biar karam bade mengamok putus temerang patah kemudi
Tuju harap nak ku jengok lerai dendam rindu di hati
Bait di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
Biar (kapal/ perahu) karam karena badai mengamuk hingga putus talinya
dan patah kemudinya
Demi mencapai tujuan yang diharapkan bisa dijumpai, untuk dapat
melepaskan rasa rindu di hati
Kalimat yang menjadi isi pada bait di atas masih memiliki hubungan
dengan bagian isi pada bait ke 5. Pada intinya bait di atas memiliki makna bahwa
tidak ada yang dapat menghalangi sang raja muda untuk melepaskan rindunya
94
bertemu dengan ibu angkat yang mengasuhnya. Berbagai rintangan dan halangan
tetap dilaluinya demi bertemu ibunya tersebut.
Bait 7:
Puku puku pangke lang betanye-tanye jalan
Jalan kemane jalan kemane anda tanyeke
Jalan kami jalan kami ke gudang baden
Bak diambek bak diambek ke gudang baden
Bait di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Bermain-main sambil bertanya-tanya jalan
Jalan kemana jalan kemana anda tanyakan
Jalan kami-jalan kami ke seberang sungai
Bagaikan diambek ke seberang sungai
Bait ini memiliki makna percakapan yang terjadi antara sang raja dengan
orang di tempatnya singgah. Beliau menanyakan kea rah mana yang tercepat atau
paling mudah untuk dapat menjumpai orang yang dirinduinya kepada orang
tersebut, hingga dengan mudah dapat menyeberangi sungai. Inti dari bait ini
adalah menanyakan jalan tersingkat untuk ke seberang sungai agar dapat dengan
bertemu ibunya (orang yang dirindunya). Kata seberang sungai memiliki makna
sebuah tempat yang ada di seberang tempat mereka singgah, yang merupakan
sebuah daerah yang mereka tuju untuk menjumpai sang ibu.
Bait 8:
Layu bunge layu riang tembang di jalan
Nak lalu usah layu dayang ngampang di tengah jalan
Lok bubu lok tempire kelua jangan bercere-cere
Padu kate kaseh beture sepanjang mase jangan becere
Bait di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Walaupun bunga sudah layu tetap bernyanyi dengan riang di jalan
95
Kalau hendak berlalu jangan sampai layu, karena ada dayang dan para
pembantunya membantu di tengah jalan
Ibaratkan masuk ke tempat yang akan sulit untuk keluar lagi, tapi kalau pun
sudah keluar jangan sampai terpisah-pisah
Untuk menyatukan kata dan kasih bersama-sama agar selamanya tidak akan
berpisah
Bait ini memiliki makna bahwa walaupun sudah merasa tidak segar lagi
(sudah tua) tetap harus merasa senang, tanpa memikirkan hal-hal yang
menyedihkan, dan jikalau hendak pergi juga jangan menunggu usia tua,
dikarenakan para pendukung bersedia untuk membantu dalam perjalanan. Intinya
adalah bahwa jangan merasa ragu atau menunda-nunda perjalanan yang harus
dilakukan oleh sang raja untuk menjumpai ibunya tersebut.
Kalimat ketiga dan keempat memiliki makna bahwa apabila sudah masuk
ke suatu tempat yang akan sulit untuk keluar lagi (tempat yang dimaksud adalah
daerah persinggahan si raja muda sedia tersebut), namun apabila mereka akan
keluar dari tempat tersebut bersama dengan para pembantunya tetap bersatu dan
bersama-sama, agar mereka tetap kuat selamanya hingga tercapainya tujuan.
Intinya adalah mereka harus tetap bersatu dan kuat untuk dapat mencapai tujuan
utama dari perjalanan yang mereka lakukan.
Bait 9:
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Bintang alam mapah pepaye turon mase selip purnama
Puje tujoh harapan sudah penuju hati ku datang jua
Kalimat pada bait di atas, bisa diartikan sebagai berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
96
Sesuatu yang sangat jauh dan memiliki sinar terang akan menampakkan diri
dengan wajah berseri-seri
Dengan memuji kepada yang memberikan harapan hidup, akhirnya orang
yang dicari bertemu juga.
Dua kalimat yang merupakan isi pada bait di atas memiliki makna bahwa
sesuatu yang awalnya sangat jauh dan sangat dinanti-nanti pada waktunya akan
datang dengan wajah berseri-seri (bahagia), dan dengan segala pujian dan harapan
yang sudah diungkapkan akhirnya yang orang yang dinanti tersebut muncul juga.
Kalimat ini memberikan makna bahwa bagaimanapun rintangan yang dijumpai
dan dihadapi, seberapa jauh sesuatu yang diharapkan itu ada, namun semuanya
berakhir dengan kebahagiaan.
Bait 10:
Ula-ula lemben tetedong awan-awan
Tang mane ku pacok ke tang puteh pano nye
Kami akhiri ucapan salam pade hadirin handai dan tolan
Mane yang saleh harap maaf ke semoga kite dilindong Tuhan
Bait di atas bisa diartikan sebagai berikut:
Senda-senda kecil tercolok awan
Yang mana ku tusukkan yang putih tandanya
Kami akhiri dengan ucapan salam kepada semua saudara yang datang
Apabila ada yang salah (dalam berbagai hal) harap dimaafkan dengan
harapan semuanya tetap dalam lindungan yang maha kuasa.
Bait ini memiliki makna sebagai salam penutup dari penyaji pertunjukan
kepada para tamu undangan dan penonton pertunjukan tari Ula-ula lemben pada
97
saat itu, dengan memohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi pada
saat penyajian, dan juga berdoa agar Allah SWT tetap melindungi semuanya
setelah selesainya acara tersebut hingga ke depannya. Intinya adalah penanaman
nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat dengan selalu mengingat kepada yang
maha kuasa yaitu Allah SWT.
Demikianlah kajian terhadap teks yang terdapat pada tarian Ula-ula
lemben ini, yang menjadi lagu pengiring pada pertunjukan tari tersebut. Beberapa
makna pentng yang dapat diambil dari teks tersebut adalah bahwa sebagai
manusia kita tetap wajib beribadah kepada Allah SWT dalam hidup ini dan dalam
berbagai kesempatan dan juga kegiatan yang dilakukan.
Kemudian, manusia juga diwajibkan untuk berbaikti kepada orangtuanya,
terutama kepada ibu, karena sesuai dengan ajaran agama Islam, ibu merupakan
orang yang harus paling dihormati dan disayangi, karena ibu merupakan orang
yang menyayangi, mengasuh dan membesarkan kita dengan tulus dari kecil.
Makna lainnya adalah bahwa selayaknya manusia tetap berusaha keras untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupan, walaupun akan menghadapi
berbagai rintangan berat dalam menjalaninya. Makna yang paling akhir adalah
kebahagiaan tersebut pasti datang, walaupun terlebih dahulu harus menghadapi
berbagai cobaan yang ada.
98
BAB V
ANALISIS STRUKTUR MELODI
5.1 Proses Transkripsi
Transkripsi adalah proses untuk menotasikan bunyi dari yang tidak tampak
menjadi simbol bunyi yang dapat dilihat (Nettl;1964,48). Simbol bunyi yang
dapat dilihat tersebut dinamakan notasi musik, yang pada sistem notasi musik
Barat terdapat dua jenis, yaitu notasi angka dan notasi balok. Sehubungan dengan
hal ini, untuk menotasikan lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini, maka
penulis mengunakan notasi balok yang dibuat di dalam garis paranada. Alasan
penulis memilih notasi balok untuk mentranskripsikan lagu-lagu tersebut adalah:
a. notasi balok lebih dikenal secara umum dalam penulisan musik.
b. lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini, menggunakan nada-nada
yang terdapat pada tangga nada musik Barat.
Untuk mentranskripsikan bunyi musik, Nettl (ibid,99) mencatat dua
masalah penting yang berhubungan dengan teori dan metodologi. Ia menawarkan
metodologi yang dikemukakan oleh Charles Seeger, yang mana Seeger
membedakan dua notasi pendeskripsian musik, yaitu notasi secara umum
(Preskriptif) dan notasi secara detail (Deskriptif). Notasi preskriptif adalah notasi
yang bertujuan untuk penyaji (bagaimana ia harus menyajikan sebuah komposisi
dari musik). Notasi ini merupakan suatu alat untuk membantu mengingat.
Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang bertujuan untuk menyampaikan
kepada pembaca ciri-ciri dan detail-detail dari komposisi musik yang memang
belum diketahui oleh pembaca. Dalam hal ini, pendekatan yang penulis pilih dan
99
lakukan untuk mentranskripsikan lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini
adalah pendekatan notasi preskriptif.
Untuk mentranskripsikan musik secara rinci, maka transkripsi ini
dilakukan dengan berbagai langkah, seperti yang pernah dikemukakan oleh Nettl
(ibid;119-120), yaitu:
(a) Mendengarkan nada secara seksama, untuk membedakan antara penyanyi,
alat musik, dan lain sebagainya.
(b) Untuk memindahkan nada yang didengar ke dalam bentuk tulisan, digunakan
garis paranada untuk menempatkan notasi balok.
(c) Penulisan bentuk yang pertama ditulis dengan terperinci, untuk menghindari
terjadinya kesulitan dengan bentuk yang pertama dengan bentuk lainnya.
(d) Menggunakan kecepatan normal, kemudian hasil transkripsi diperiksa
kembali, lalu diteruskan dengan nada yang lainnya.
Untuk mentranskripsikan lagu, penulis menggunakan alat musik
Keyboard, sebagai alat bantu. Tujuan dari penggunaan alat musik keyboard untuk
mentranskripsikan lagu adalah untuk mempermudah penulis dalam menentukan
nada-nada yang dinyanyikan oleh penyanyi dalam sampel lagu. Sedangkan alasan
penulis menggunakan alat musik keyboard, karena alat musik ini penulis anggap
memiliki nada-nada yang standar dengan nada-nada yang terdapat pada sistem
tangga nada musik Barat.
Sebelum menuliskan nada-nada itu ke bentuk not balok pada garis
paranada, penulis terlebih dahulu menentukan tanda kunci (kleft) yang akan
digunakan, yang mana tanda kunci ini akan menentukan letak dari nada-nada yang
100
akan dituliskan nantinya. Dalam hal ini, penulis memilih menggunakan tanda
kunci G pada garis paranada, seperti yang terlihat pada contoh di bawah ini.
Lagu yang dinyanyikan dalam sampel, menggunakan nada-nada yang
terdapat pada musik Barat, dan pada penyajiannya selalu diiringi dengan alat
musik Biola sebagai pembawa melodi utama. Oleh karena itu, pada saat
bernyanyi, nada-nada yang muncul dari vokal dan biola cenderung sama termasuk
pada nada dasarnya. Dan untuk memudahkan penulisan notasi lagu ke kertas yang
menjadi sampel dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan nada dasar C=do
sebagai acuan. Selanjutnya, untuk mempermudah penulis dalam menganalisis
lagu, maka patokan yang digunakan adalah nada-nada yang digunakan pada
vokal, yang muncul hanya ketika penyanyi melantunkan lagu.
Untuk mentranskripsikan notasi pada lagu menjadi lambang-lambang
not yang dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca, maka penulis menggunakan
aplikasi MuseScore2. Aplikasi ini dapat menampilkan notasi dengan lambang
berupa not balok di dalam garis paranada, dan berbagai elemen penting lainnya.
101
5.2 Analiisis Melodi Lagu
Ula-ula Lemben merupakan satu pertunjukan yang menampilkan 2 bentuk
seni secara bersamaan, yaitu musik dan tari. Kedua seni tersebut dipetunjukkan
tidak terpisah dikarenakan memiliki keterikatan dan ketergantungan. Dengan
demikian, musik dan tari yang disajikan memiliki judul yang sama. Dan oleh
karena itu untuk lagu yang akan ditranskripsikan dalam tulisan ini, penulis juga
sudah menetapkan lagu yang berjudul Ula-ula Lemben, dikarenakan hanya lagu
tersebut yang disajikan pada pertunjukkan.
Pada dasarnya, dalam proses transkripsi lagu sudah terjadi proses analisis,
karena dalam proses itu telah dilakukan suatu pengamatan terhadap rentetan bunyi
musik yang ditranskripsikan. Namun, untuk memperjelas analisis tersebut, penulis
akan menguraikan hasil analisis lagu yang menjadi sampel pada tulisan ini, yang
merupakan penjelasan dari struktur musik yang ditranskripsikan.
Untuk analisis ini, penulis menggunakan teori yang ditawarkan oleh
William P. Malm yang disebut dengan weighted scale (1977:15), yang mana
dikatakannya bahwa untuk mendeskripsikan suatu musik, maka perlu diperhatikan
beberapa kriteria, yaitu:
1. Tangga nada
2. Nada dasar
3. Wilayah nada
4. Jumlah nada
5. Interval
6. Formula melodi
102
7. Pola-pola kadensa, dan
8. Kontur
Namun demikian, untuk menganalisis lagu yang menjadi sampel dalam
tulisan ini, penulis juga akan menggunakan teori lain yang juga akan
mendeskripsikan suatu musik. Teori tersebut dikemukakan oleh Nettl, dengan
tujuan untuk lebih melengkapi dan memperjelas penganalisisan lagu ini nantinya.
Dan menurut beliau untuk mendeskripsikan suatu musik perlu diperhatikan hal-
hal seperti, tangga nada, modus, nada dasar, ritem, bentuk, dan tempo
5.3 Hasil Analisis Melodi Lagu Ula-ula Lemben
5.3.1 Tangga Nada
Tangga nada adalah susunan berjenjang dari nada-nada pokok suatu sistem
nada, mulai dari salah satu nada dasar sampai dengan oktafnya (Soeharto,
1992:32). Malm (1977:8), mengatakan bahwa menentukan tangga nada dapat
dilihat dari nada pokok (modal). Yang dimaksud dengan nada pokok adalah nada-
nada yang terdapat pada lagu-lagu yang ditranskripsikan itu. Selain itu, salah satu
cara untuk mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan nada-nada
yang dipakai, tanpa melihat fungsi masing-masing dalam lagu, kemudian
digolongkan menurut beberapa kriteria.
Netll (1964:145) mengemukakan cara-cara mendeskripsikan tangga nada
dengan menuliskan nada yang dipakai tanpa melihat fungsi masing-masing dalam
lagu. Tangga nada tersebut lalu digolongkan menurut jumlah nada yang dipakai,
yaitu: Diatonik (dua nada), tritonik (tiga nada), tetratonik (empat nada), pentatonic
103
#
/ . . . . . .
(lima nada), hexatonik (enam nada), heptatonik (tujuh nada). Dua nada yang
memiliki jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis mengambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan tangga nada adalah nada-nada yang terdapat pada
melodi lagu. Hal ini dilakukan melalui pencacahan nada-nada mulai dari nada
yang paling rendah sampai tertinggi, tanpa melihat nilai dan fungsi dari nada yang
dituliskan. Dengan demikian, setelah melalui proses transkripsi dan analisis,,
penulis berkesimpulan bahwa tangga nada yang digunakan pada lagu Ula-ula
lemben ini adalah sebagai berikut:
Nada-nada yang digunakan pada lagu Ula-ula Lemben ada 7 yaitu: G, B, c,
d, e, f, fis dan g, dan untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada garis paranada gambar
berikut ini.
(Nada) G B c d e f fis g
(Not Angka) 5 7 1 2 3 4 4 5
(Interval) 2 ½ 1 1 ½ ½ ½
(Cent) 400 100 200 200 100 100 100
Dilihat dari nada-nada yang digunakan, maka lagu ini menggunakan
tangga nada Diatonis, dikarenakan tangga nada pada lagu ini sudah menggunakan
dua macam jarak nada (interval), yaitu interval satu dan interval setengah. Interval
setengah muncul pada nada B ke c, e ke f, f kef is, fis ke g, dan g ke gis.
104
Sedangkan interval satu muncul pada naga c ke d, dan d ke e, dan apabila melihat
progesi dasar akordnya maka lagu ini mengunakan konsep triadik
Dilihat dari banyaknya nada yang digunakan, maka nada pokok yang
terdapat pada lagu ini ada 6, yaitu G, B, c, d, e, dan f, dengan satu nada duplikasi
pada oktaf yang lebih rendah yaitu nada G. Selanjutnya terdapat dua nada yang
intervalnya dinaikkan setengah dengan menggunakan tanda kromatis, yaitu nada
nada f menjadi fis dan nada g menjadi gis. Berdasarkan penjelasan yang
dikemukakan Nettl, maka tangga nada pada lagu ini adalah Heptatonik,
dikarenakan hanya 6 nada pokok yang digunakan.
5.3.2 Nada Dasar
Nada dasar adalah nada tumpuan bagi nada-nada yang terpakai, dan pada
umumnya adalah nada pertama tangga nada (Soeharto, 499:88). Nada ini
dijadikan patokan dasar untuk menentukan tinggi rendahnya nada lagu yang
disajikan. Berdasarkan rekaman dan transkripsi dari lagu Ula-ula Lemben, yang
sudah penulis sesuaikan dengan alat musik keyboard patokan nadanya, maka
penulis berpendapat bahwa lagu tersebut dimainkan dengan menggunakan nada-
nada yang terdapat pada tangga nada standar, artinya lagu ini dimainkan dengan
menggunakan nada dasar C=do.
Selain itu, patokan yang digunakan untuk menentukan tangga nada pada
lagu ini adalah dengan melihat penggunaan akord pada lagu. Dengan melihat
akord yang digunakan tentunya akan dapat diketahui nada dasar dari lagu,
berdasarkan pola nada yang digunakan. Berdasarkan hasil transkripsi, maka akord
105
yang digunakan pada lagu Ula-ula Lemben ini adalah C mayor, F Mayor, G
Mayor, dan A minor, yang mana akord ini termasuk ke dalam akord pokok pada
tangga nada C=do. Dengan demikian hal ini mempertegas bahwa lagu ini
dimainkan dengan nada dasar C=do.
Terlihat bahwa nada c merupakan nada yang paling sering muncul pada
lagu Ula-ula lemben, dan menjadi nada tumpu (tonalitas). Akan tetapi, untuk
menentukan masalah tonalitas ini, perlu juga diperhatikan ungkapan yang
ditawarkan oleh Nettl (1964;147-149), yang mengatakan bahwa untuk
menentukan nada tumpu dari sebuah komposisi dan juga untuk membedakan
nada-nada yang penting dan kurang penting ada 7 hal, yaitu:
1. Nada yang sering dipakai dan nada yang jarang dipakai dalam satu komposisi
tersebut.
2. Terkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada
dasar, biarpun jarang dipakai.
3. Nada yang dipakai di akhir (awal) komposisi, atau pada akhir (awal) bagian-
bagian komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas
tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada atau posisi pas
di tengah-tengah dapat dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Umpamanya, bila ada satu nada dalam tangga nada seluruh
komposisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak
memakai oktaf (nada pertama tersebut boleh dianggap penting).
106
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan
tonalitas.
7. Harus diingat bahwa mungkin ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem
tonalitas sendiri. Untuk mendeskripsikan tonalitas seperti itu, maka cara
terbaik tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan
gaya musik tersebut.
Berdasarkan pengalaman yang penulis dapatkan sejak melakukan
penelitian di lapangan, tidak ada patokan yang pasti yang digunakan oleh pemusik
di masyarakat Melayu Tamiang untuk menyanyikan lagu ini. Hanya saja pada
umumnya lagu yang ditampilkan selalu menggunakan nada mayor. Lagu Ula-ula
Lemben ini menggunakan nada-nada yang termasuk ke dalam modus Ionian,
dikarenakan nada c menjadi nada yang paling sering muncul dan menjadi nada
dasar dari lagu ini, walaupun nada terendah yang digunakan adalah nada G.
5.3.3 Wilayah Nada
Untuk menentukan wilayah nada pada lagu, dilihat berdasarkan pada
ambitus suara yang terdapat pada lagu yaitu dengan memperhatikan rentang jarak
antara nada yang terendah dengan nada yang tertinggi dalam satu komposisi.
Pada lagu Ula-ula Lemben nada terendah yang digunakan adalah nada G
dan nada tertinggi adalah nada g. Berdasarkan pendapat dari Alexander J. Ellis
(1850), yang menggunakan sistem cent dalam penghitungan nada, maka wilayah
nada dari lagu Ula-ula Lemben ini adalah 1200 cent, dengan range 8 Aughmented.
107
G - g
Jarak : 1200 cent
Range : 8 Perfect
5.3.4 Jumlah Pemakaian Nada
Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam satu komposisi
lagu, mulai dari nada terendah sampai nada tertinggi. Untuk mendeskripsikan
modus lagu, Nettl mengatakan paling tidak harus disebutkan nada mana yang
berfungsi sebagai nada dasar (tonal centre). Gambaran nada dan modus biasanya
disampaikan lewat notasi, jadi yang dimaksud dengan modus adalah nada-nada
yang umumnya digunakan dalam satu komposisi musik. Dan untuk mengetahui
modus nada
Total jumlah nada yang digunakan pada lagu Ula-ula Lemben ini adalah
sebanyak 520 nada, dan perincian dari penggunaan nada tersebut, dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
108
Tabel 5.1: Jumlah Pemakaian nada berdasarkan nilai notasinya
Tabel di atas menunjukkan jumlah pemakaian nada berdasarkan notasi
yang digunakan pada lagu Ula-ula Lemben, yang tersebar di 104 birama12.
Berdasarkan hasil transkripsi lagu, nada terendah yang digunakan pada lagu
adalah nada G, dan nada tertinggi adalah nada g. Ini menunjukkan adanya
duplikasi nada pada oktaf yang lebih tinggi. Selain itu, not yang digunakan adalah
not dengan nilai ¼ (q), 1/8 (e), seperenambelas (x), dan not 3/4 (q.), yang mana
not 1/4 merupakan not dengan nilai paling besar dan not 1/16 merupakan not
dengan nilai paling kecil. Selanjutnya, dilihat dari jumlahnya, maka not dengan
nilai 1/8 digunakan sebanyak 578 kali, disusul oleh not dengan nilai 1/16 yang
digunakan sebanyak 224 kali, kemudian not dengan nilai ¼ yang digunakan
sebanyakk 27 kali dan terakhir adalah not dengan nilai 3/4 yang digunakan
sebanyak 1 kali. Dengan demikian, pada lagu Ula-ula lemben ini, not dengan nilai
12 Untuk lebih jelasnya, lihat pada lampiran transkrip lagu Ula-ula Lemben.
109
1/8 merupakan not yang paling sering digunakan (578 kali), sedangkan not
dengan nilai 3/4 merupakan not yang paling jarang digunakan (1 kali).
Selanjutnya tanpa melihat nilainya, nada yang digunakan sebanyak 8 nada,
yang mana nada G digunakan sebanyak 64 kali, nada B digunakan sebanyak 2
kali, nada c digunakan sebanyak 211 kali, nada d digunakan sebanyak 148 kali,
nada e digunakan sebanyak 170 kali, nada f digunakan sebanyak 109 kali, nada fis
digunakan sebanyak 14 kali, dan nada g digunakan sebanyak 112 kali. Dengan
demikian, nada c merupakan nada yang paling sering muncul pada lagu ini dengan
jumlah 211 dengan presentasi 25,42%, sedangkan nada B menjadi nada yang
paling jarang digunakan yaitu sebanyak 2 kali, dengan presentase 0,24%. Berikut
gambaran jumlah nada yang digunakan pada lagu ini :
Kemunculan: 64 2 211 148 170 109 14 112
Berikut akan peneliti sajikan jumlah pemakaian nada berdasarkan birama
yang terdapat pada transkrip lagu. Perlu diketahui, lagu ini dimulai tidak pada
birama pertama, dikarenakan biola menjadi yang alat musik utama pengiring lagu,
terlebih dahulu muncul memainkan bagian awal lagu. Oleh karena itu dalam
menjelaskan jumlah nada yang digunakan, birama yang muncul tidak akan berurut
nomornya, dan dalam hal ini penulis akan menjelaskannya berdasarkan frasenya.
1. Frase 1, birama 9-11
110
Vokal pada lagu ini dimulai dari birama ke-9, yang didahului oleh tanda
istirahat senilai 3/16, dan dilanjutkan dengan nada g dengan nilai 1/16, kemudian
dilanjutkan secara melangkah ke nada g dengan nilai 1/8, melangkah lagi ke nada
g dengan nilai 1/8, kemudian melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/8,
kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8, dan melangkah lagi pada nada g dengan nilai 1/8, yang
merupakan nada penutup pada birama ke-9 ini.
Selanjutnya nada melompat turun ke birama ke-10 sebanyak 2 nada ke
nada e dengan nilai 1/16, kemudian melompat turun sebanyak 1 ke nada d dengan
nilai 1/16. kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8.
Ketiga nada ini mendapatkan tanda legato yang berfungsi untuk memanjangkan
nilai nada ketika dinyanyikan, namun dengan nada yang berbeda, sehingga ketika
dibunyikan teks dari lagu ini akan terdengar seperti mengayun. Selanjutnya
muncul tanda istirahat dengan nilai 1/8. Setelah tanda istirahat, nada yang
digunakan adalah f dengan nilai 1/8, lalu melompat turun sebanyak 2 nada ke
nada d dengan nilai ¼, kemudian melompat turun ke nada c dengan nilai 1/8 dan
diakhiri dengan melangkah ke nada c dengan nilai 1/8. Nada ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-10. Selanjutnya frase lagu diakhiri pada nada c dengan
nilai 1/8, yang merupakan nada awal pada birama ke-11 dan sebagai penutup
adalah tanda istirahat dengan nilai 1/8.
111
Untuk frase ini, total birama yang digunakan ada 3 yaitu birama 9, 10, dan
11, dengan jumlah nada yang digunakan 7 pada birama ke-9, 7 pada birama ke-10,
dan 1 pada birama ke-11. Perinciannya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali,
nada d muncul sebanyak 2 kali, nada e muncul sebanyak 2 kali, nada f mncul
sebanyak 1 kali, dan nada g muncul sebanyak 7 kali.
2. Frase 2, birama ke-11, 12, dan 13
Frase kedua dimulai pada birama ke-11 pada hitungan kedua, yaitu dari
nada G dengan nilai 1/8, lalu melangkah ke nada G lagi dengan nilai 1/8, dan
melompat naik sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian melompat
turun 1 nada ke nada B dengan nilai 1/16, dan melompat naik lagi ke nada c
dengan nilai 1/8. Ketiga nada ini mendapatkan tanda legato. Selanjutnya
dilanjutkan dengan melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8,
dan kemudian melompat turun satu nada ke nada c dengan nilai 1/16, dan diakhiri
dengan melompat naik satu nada ke nada d dengan nilai 1/16. Selanjutnya adalah
melompat naik sebanyak 2 nada ke nada e dengan nilai 1/16 pada birama ke-12,
yang disambungkan oleh tanda legato pada 2 nada selanjutnya yaitu melompat
turun sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik sebanyak 1
nada ke nada e dengan nilai 1/8. Setelah itu, melompat naik sebanyak 1 nada ke
nada f dengan nilai 1/8, lalu melompat turun sebanyak 1 nada ke nada e dengan
nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8,
kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8, kemudian
112
melangkah ke nada c dengan nilai 1/8, dan diakhiri dengan melangkah ke nada c
dengan nilai 1/8. Frase kedua ini diakhiri dengan nada c yang bernilai 1/8 yang
terletak pada hitungan 1 birama ke-14, dan ditutup dengan tanda istirahat yang
bernilai 1/16.
Secara keseluruhan, frase ini terletak pada 3 birama yaitu birama ke-12,
13, dan 14, dengan total jumlah nada 18, yang mana 8 nada terletak pada birama
ke-12, 9 nada terletak pada birama ke-19, dan 1 nada terletak pada birama ke-14.
Perinciannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada B muncul sebanyak 1
kali, nada c muncul sebanyak 7 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e
muncul sebanyak 3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali.
3. Frase ke-3, birama ke-14, 15, dan 16.
Frase ketiga dimulai dari birama ke-14 hitungan pertama pada nada g
dengan nilai 1/8, yang dilanjutkan dengan melangkah ke nada g dengan nilai 1/8,
kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/16, kemudian
melangkah ke nada g dengan nilai 1/16, melangkah lagi ke nada g dengan nilai
1/8, dan melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/8, yang merupakan nada terakhir
pada birama ke-14 ini. Selanjutnya, nada yang digunakan adalah melompat turun
sebanyak 2 nada yang terletak di birama ke-1 pada nada e dengan nilai 1/8,
dilanjutkan dengan melangkah ke nada e dengan nilai 1/16, melangkah lagi ke
nada e dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada f
113
dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun satu nada ke nada e dengan nilai 1/8,
kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1’16, dilanjutkan dengan
melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, dan birama ini
diakhiri dengan melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c. Nada terakhir yang
digunakan pada frase ini adalah nada c dengan nilai 1/8. yang terletak pada birama
ke 15 hitungan pertama.
Secara keseluruhan, frase ini terletak pada 3 birama yaitu birama 13, 14,
dan 15, yang mana 8 nada terletak pada birama ke-13, 10 nada terletak pada
birama ke-14, dan 1 nada terletak pada birama ke-15, dengan total jumlah nada
19. Perincian nada yang digunakan adalah nada c muncul sebanyak 4 kali, nada
muncul sebanyak 2 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak
1 kali, dan nada g muncul sebanyak 8 kali, dan menjadi nada yang paling sering
digunakan pada frase ini.
4. Frase ke-4, birama ke-15, 16 dan 17
Frase ke-4 dimulai dari nada c pada ketukan pertama dengan nilai 1/16,
pada birama ke-15, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian
melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8, kemudian
melangkah ke nada G dengan nilai 1/8, kemudian melompat naik ke nada c
dengan nilai 1/8, selanjutnya melangkah ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian
melangkah ke nada dengan nilai 1/16, yang merupakan nada terakhir dari birama
114
ini. Selanjutnya melompat naik sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 yang
terletak pada birama ke 16, lalu melangkah ke nada e dengan nilai 1/16, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik sebanyak 1
nada ke nada f dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke nada d
dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan
nilai 1/16, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian melompat
naik ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8, yang merupakan nada terakhir untuk biramake-16 ini.
Selanjutnya adalah melangkah ke nada c dengan nilai 1/8, yang menjadi nada
terakhir frase ke-4, dan terletak pada hitungan ke-1 birama ke-17, dan frase ini
diakhiri dengan tanda istirahat yang bernilai 1/8.
Secara keseluruhan, birama yang digunakan pada frase ke4 ada 3 yaitu
birama ke-15, 16, dan 17, yang mana nada yang digunakan berjumlah 21, dengan
pembagian 10 nada terletak pada birama ke-15, 10 nada terletak pada birama ke-
16, dan 1 nada terletak pada birama ke 17. Perincian nada yang digunakan adalah
nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul sebanyak 10 kali, nada d muncul
sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, dan nada f muncul sebanyak 1
kali. Dengan demikian nada menjadi nada yang palng sering muncul (10 kali),
sedangkan nada f menjadi nada yang paling jarang muncul (1 kali).
5. Frase ke-5, birama ke-17, 18, dan 19.
115
Frase ke-5 dimulai dengan nada c yang memiliki nilai 1/8, dan terletak
pada birama ke 17 ketukan ke-2, dilanjutkan dengan melompat turun sebanyak 4
nada ke nada G dengan nilai 1/8, kemudian melompat naik sebanyak 4 nada ke
nada c dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G
dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik sebanyak 4 nada ke nada B dengan
nilai 1/16, kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8,
dan melompat naik ke nada d dengan nilai 1/16, dan menjadi nada terakhir untuk
birama ke 17 ini. Selanjutnya melompat naik 1 nada ke nada e pada birama ke-18
dengan nilai 1/8, yang mana nada ini mendapat tanda legato untuk tiga nada
berikutnya, yaitu melompat turun ke 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16 dan
melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8, dan dilanjutkan dengan tanda
istirahat dengan nilai 1/8. Selanjutnya adalah nada e dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun ke nada d dengan nilai 1/16, yang juga mendapatkan tanda legato
untuk 2 nada di depannya yaitu nada c dengan nilai 1/16 dan nada d dengan nilai
1/8. Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 lagi yang merupakan nada
terakhir untuk birama ke-18. Nada terkahir untuk frase 5 ini adalah nada c dengan
nilai ¼, yang terletak pada birama ke-19 ketukan pertama.
Secara keseluruhan, birama yang digunakan untuk frase ini ada 3 yaitu
birama 17, 18, dan 19, yang mana 7 nada terletak pada birama ke-17, 9 nada
terletak pada birama ke-18, dan 1 nada terletak pada birama ke-19, sehingga total
nada yang digunakan adalah 17. Perinciannya adalah nada G muncul sebanyak 2
kali, nada B muncul sebanyak 1 kali, nada c muncul sebanyak 7 kali, nada d
116
muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali. Dengan demikian, nada c
menjadi nada yang paling sering digunakan (7 kali), dan nada B menjadi nada
yang paling jarang digunakan (1 kali) pada frase ini.
6. Frase ke-6, birama ke-19, 20, dan 21
Frase ke-6 dimulai dengan nada G yang memiliki nilai 1/8, yang terletak
pada birama ke 19 ketukan ke-2, kemudian dilanjutkan dengan melangkah ke
nada G dengan nilai 1/8, lalu melompat naik sebanyak 4 nada ke nada c dengan
nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada B
dengan nilai 1/8 yang dilanjutkan dengan melompat naik 1 nada ke nada c dengan
nilai 1/8. Selanjutnya adalah melompat naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8,
kemudian melompat turun ke nada c dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda
legato untuk nada di depannya yang naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai
1/16, dan menjadi nada terakhir untuk birama ke 19 ini. Selanjutnya adalah
melompat naik sebanyak 1 nada ke nada e pada birama ke 20 dengan nilai 1/16,
yang mana nada ini juga mendapatkan tanda legato untuk 2 nada berikutnya yaitu
nada c dengan nilai 1/16 yang dilanjutkan dengan melompat naik 1 nada ke nada e
dengan nilai 1/8. Berikutnya adalah melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai
1/8, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e, kemudian melompat turun 1
nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun 1 nada ke nada c
dengan nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8, kemudian
melangkah lagi ke nada c dengan nilai 1/8, dan menjadi nada terakhir untuk
117
birama ke-20 ini. Frase ini diakhiri dengan nada c yang bernilai 3/4, yang terletak
pada ketukan pertama birama ke-20, dan ditutup dengan 1 tanda istirahat yang
memiliki nilai 1/8, dan tanda istirahat yang memiliki nilai 2 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini terletak pada 3 birama, yaitu birama ke-19,
20, dan 21, yang mana sebanyak 8 nada terletak pada birama ke-19, 9 nada
terletak pada birama ke-20, dan 1 nada terletak pada birama ke 21, sehingga total
jumlah nada yang digunakan pada frase ini adalah 18 nada. Perinciannya adalah
nada G muncul sebanyak 2 kali, nada B muncul sebanyak 1 kali, nada c muncul
sebanyak 7 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 2 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c menjadi nada yang
paling sering digunakan dengan fekwensi 7 kali, sedangkan nada B dan nada f
menjadi nada yang jarang digunakan dengan fekwensi 1 kali.
7. Frase ke-7, birama ke-69. 70, dan 71
Frase ini dimulai dari birama ke 69, yang mana tanda istirahat dengan nilai
¼ menjadi awalnya, dan disusul dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8. Awal
nada dimulai dari ketukan ke-2 hitungan ke-3 dengan nada G yang memiliki nilai
1/8, kemudian melompat naik sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G dengan nilai ¼, kemudian
melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8, dan melompat naik sebanyak 1 nada ke
nada d dengan nilai 1/8, yang menjadi nada terakhir untuk birama ke-69 ini.
Selanjutnya nada yang digunakan adalah melompat naik sebanyak 1 nada ke nada
118
e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya
yaitu nada yang melompat turun sebanyak 1 nada yaitu nada d dengan nilai 1/16,
dan melompat naik lagi sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8. Seterusnya,
melompat naik sebanyak 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8, kemudian melompat
turun sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 kemudian melompat naik sebanyak 1
nada ke nada d dengan nilai 1/8, dan melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c
dengan nilai 1/8, yang merupakan nada terakhir untuk birama ke-70. Frase ini
diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 pada ketukan pertama birama ke-
71 dan juga tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-69, 70,
dan 71, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama 69, 9 nada berada pada
birama ke-70, dan 1 nada berada pada birama ke-71, sehingga total jumlah nada
yang digunakan pada frase ini adalah 15 nada. Perinciannya adalah nada G
muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak
4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan
demikian, nada c menjadi nada yang paling sering digunakan dengan frekwensi 5
kali, sedangkan nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan
frekwensi sebanyak 1 kali pada frase ini.
8. Frase ke-8, birama ke-71, 72, dan 73
119
Frase ini ke-8 ini dimulai pada birama ke 71 ketukan ke 2, dengan nada
awal G yang memiliki nilai 1/8, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G
dengan nilai 1/8. Selanjutnya adalah melompat sebanyak 4 nada ke nada c dengan
nilai 1/8, kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8,
kemudian melompat naik sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8, dan
melompat naik lagi sebanyak 2 nada ke nada d dengan nilai 1/8, dan menjadi nada
terakhir untuk birama ke-71 ini. Nada selanjutnya adalah melompat naik sebanyak
1 nada ke nada e dengan nilai 1/16 pada birama ke-72, yang mana nada ini
mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada d dengan nilai
1/16 yang kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8.
Seterusnya, frase ini dilanjutkan pada nada f dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat
turun sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16, yang mana nada ini juga
mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada e dengan nilai
1/16 dan nada d dengan nilai 1/8, yang dilanjutkan dengan melompat turun 1 nada
ke nada c dengan nilai 1/8 dan melangkah ke nada c dengan nilai 1/8, dan menjadi
nada terakhir untuk birama ke-72 ini. Sedangkan nada terakhir untuk frase ini
adalah nada c dengan nilai 1/8, yang terletak pada ketukan pertama birama ke 72,
dan ditutup dengan tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-71, 72,
dan 73, yang mana sebanyak 6 nada berada pada birama ke-71, 10 nada berada
pada birama ke-72, dan 1 nada berada pada birama ke-73, dengan total jumlah
nada yang digunakan 17. Perinciannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali,
120
nada c muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul
sebanyak 4 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c
menjadi nada yang paling sering digunakan dengan frekwensi 5 kali, dan nada f
menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
9. Frase ke-9, birama ke-73, 74, dan 75.
Frase ke-9 dimulai pada birama ke-73, ketukan ke-2 hitungan pertama
dengan nada g yang memiliki nilai 1/4, dan dilanjutkan dengan melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8, melangkah ke nada g dengan nilai 1/8, melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8, melangkah ke nada g lagi dengan nilai 1/8, dan menjadi
birama terakhir untuk birama ini. Selanjutnya diteruskan ke nada e dengan nilai
1/16 pada birama ke-74, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat 1 nada ke nada e dengan
nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai ¼, kemudian melompat
turun sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian turun 1 nada ke nada
c dengan nilai 1/8, kemudian naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8, dan
kemudian turun ke nada d dengan nilai ¼, dan menjadi nada terakhir untuk birama
ke-74 ini. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 yang terletak pada
birama ke 75 hitungan pertama, dan ditutup dengan tanda istirahat yang memiliki
nilai 1/8.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-73, 74,
dan 75, yang mana sebanyak 5 nada berada pada birama ke-73, 8 nada berada
121
pada birama ke-74, dan 1 nada berada pada birama ke-7, sehingga total jumlah
nada yang digunakan adalah 14. Perinciannya adalah nada c muncul sebanyak 2
kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada g
muncul sebanyak 5 kali, dan menjadi nada yang paling sering digunakan pada
frase ini.
10. Frase ke-10, birama ke-75, 76, 77
Frase ke-10 dimulai dari birama ke 75, pada ketukan ke-3, dengan nada G
yang memiliki nilai 1/8, dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan nilai
1/8, kemudian melompat naik sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8, kemudian melompat naik 1 nada
ke nada d dengan nilai 1/8, dan kemudian melangkah ke nada d dengan nilai 1/8,
yang mana ini merupakan nada terakhir pada birama ini. Selanjutnya dilanjutkan
dengan pada birama ke-76 dengan melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai
1/16 yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada d
dengan nilai 1/16 dan nada e dengan nilai 1/8, kemudian naik 1 nada ke nada f
dengan nilai 1/8 yang mendapatkan tanda legato untuk 1 nada di depannya yaitu
nada e dengan nilai 1/8, kemudian turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8,
kemudian turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8, kemudian naik 1 nada ke nada
d dengan nilai 1/8, kemudian turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8, yang ini
merupakan nada terakhir birama ke-76. Frase ini diakhiri dengan nada c yang
memiliki nilai ¼, yang terletak pada birama ke-77, pada ketukan pertama.
122
Secara keseluruhan, frase ini berada pada birama yaitu birama 75, 76, dan
77, yang mana 6 nada berada di birama ke-75, 9 nada berada di birama ke-76, dan
1 nada berada di birama ke-77, sehingga total nada yang digunakan berjumlah 16.
Perinciannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul sebanyak 5
kali, nada d muncul sebanyak 5 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c dan nada d merupakan nada
yang paling sering digunakan dengan fekwensi 5 kali, dan nada f menjadi nada
yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
11. Frase ke-11, birama ke-77, 78, dan 79
Frase 11 dimulai pada birama ke 77 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼ ketuk, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-77. Seanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-78, pada
nada e dengan nilai 1/16 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 ketukdan melompat naik 1 nada ke nada
e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
123
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
78. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-77, 78,
dan 79, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-77, 9 nada berada di
birama ke-78, dan 1 nada berada di birama ke-79, dengan total jumlah nada 15.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan nada
yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan nada f
menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
12. Frase ke-12, birama ke-79, 80, dan 81
Frase ke-12 dimulai pada birama ke-79 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai nada 1/8 ketuk ketuk , dan ini merupakan
nada terakhir pada birama ke-79 ini. Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 80
124
pada nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada
di depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 ketuk, dan kemudian melompat 1 nada
ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke
nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, dan
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga
nada terakhir ini disatukan oleh tanda legato. Selanjutnya melompat turun
sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk nada dan kemudian melangkah
ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke 80
ini. Frase ini diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk dan tanda
istirahat dengan nilai 1/8 ketuk.
secara keseluruhan frase ke-12 berada di birama ke-79, 80, dan 81, yang
mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-79, 10 nada berada di birama ke-80,
dan 1 nada berada di birama ke-81, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul sebanyak 5
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang paling
sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
13. Frase ke-13, birama ke-81, 82, dan 83
125
Frase ini dimulai dari birama ke 81 ketukan ke-2, pada nada g dengan nilai
¼, ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
81. Selanjutnya nada diteruskan melompat turun 2 langkah ke nada e dengan nilai
1/16 ketuk, dan mendapatkan tanda legato untuk 2 nada berikutnya, yaitu nada d
dengan nilai 1/16 ketuk, dan kemudian melompat naik 2 langkah ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, yang dilanjutkan dengan melompat naik 1 langkah ke nada
f dengan nilai 1/8 ketuk, dan selanjutnya melompat turun sebanyak 1 langkah ke
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun sebanyak 1 langkah ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada c
dengan nilai 1/8 ketuk, yang merupakan nada terakhir dari birama ke 82. Frase ini
diakhiri dengan nada c yang bernilai 1/8 ketuk, yang berada pada birama ke-82,
dan ditambah dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama 81, 82,
dan 83, yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-81, 9 nada berada di
birama ke-82, dan 1 nada berada di birama ke-83, dengan jumlah total 16 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul
sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali,
dan nada g muncul sebanyak 6 kali. Dengan demikian, nada g menjadi nada yang
126
paling sering dengan frekwensi 6 kali, dan nada f menjadi nada yang paling jarang
digunakan dengan frekwensi 1 kali.
14. Frase ke-14, birama ke-83, 84, dan 85
Frase ini dimulai dari birama ke 83, pada ketukan ke 2 hitungan pertama
dengan nada G yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian dilanjutkan dengan
melangkah ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat naik 4
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 4 langkah ke
nada G dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 4 langkah ke nada c
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah naik 1 langkah ke nada d dengan
nilai 1/8 ketuk, yang merupakan nada terakhir untuk birama 83.
Selanjutnya adalah melompat naik 1 langkah ke nada e dengan pada
ketukan pertama pada hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada e lagi dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1
langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ke nada d dengan nilai
1/8 ketuk, selanjutnya melompat turun ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian
melangkah ke nada c dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, dan melompat turun ke nada c dengan nilai 1/8, yang mana
ini merupakan nada terakhit untuk birama ke-84. Nada terakhir untuk frase ini
adalah nada c dengan nilai ¼ yang terletak pada hitungan pertama birama ke-85.
127
Secara keseluruhan, frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-83,
84, dan 85, yang mana 6 nada berada di birama ke-83, 9 nada berada pada birama
ke-84, dan 1 nada berada pada birama ke-85, dengan jumlah total 16 nada.
Perincian dari penggunaan nada pada frase ini adalah nada G muncul sebanyak 3
kali, nada c muncul sebanyak 6 kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e
muncul sebanyak 3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian,
nada nada merupakan nada yang paling banyak digunakan dengan frekwensi
sebnayak 6 kali dan nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan
frekwensi sebanyak 1 kali.
15. Frase ke-15, birama ke-85, 86, dan 87
Frase 15 dimulai pada birama ke 85 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-77. Seanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-78, pada
nada e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
128
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
86. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada
birama ke 87.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-85, 86,
dan 87, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-85, 9 nada berada di
birama ke-86, dan 1 nada berada di birama ke-87, dengan total jumlah nada 15.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan nada
yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan nada f
menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
16. Frase ke-16, birama ke-87, 88, dan 89
Frase ke-16 dimulai pada birama ke-87 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
129
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-87 ini. Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 88 pada
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada
e dengan nilai 1/8 ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16,
kemudian melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir
ini disatukan oleh tanda legato. Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke 88 ini. Frase ini
diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk dan tanda istirahat dengan
nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan pertama birama ke-89.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-87, 88, dan 89, yang
mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-87, 10 nada berada di birama ke-88,
dan 1 nada berada di birama ke-89, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul sebanyak 5
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang paling
sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
130
17. Frase ke-17, birama ke-93, 94, dan 95
Frase ke-17 dimulai pada birama ke-93, dimulai dengan tanda istirahat
yang memiliki nilai ¼ ketuk pada hitungan pertama, dan tanda istirahat dengan
nilai 1/8 pada hitungan kedua. Untuk nadanya, dimulai pada nada e yang memiliki
nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melompat naik 2 langkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/16,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis, kemudian melompat naik ½
langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke
nada fis, yang mana nada ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-93.
Selanjutnya adalah melompat 1 langkah ke nada g pada birama ke-94 di
hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini mendapatkan tanda
legato untuk tiga nada di depannya, yaitu nada g dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis dengan nilai 1/16 ketuk, dan
melompat naik ½ langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk pada hitungan ke-2.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada.f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun lagi
sebanyak 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-94. Nada terakhir untuk frase ke-17 ini
adalah nada d dengan nilai ¼ ketuk, yang terletak pada birama ke-95.
131
Secara keseluruhan frase ke-17 ini berada di birama ke-93, 94, dan 95,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-93, 9 nada berada di birama ke-
94, dan 1 nada berada di birama ke-95, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada d muncul sebanyak 1 kali, nada e muncul sebanyak 3
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 2 kali, nada fis muncul sebanyak 3 kali, dan nada g muncul
sebanyak 6 kali. Dengan demikian nada g menjadi nada yang paling sering
digunakan pada frase ini dengan frekwensi 6 kali, sedangkan nada d merupakan
nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
18. Frase ke-18, birama ke-95, 96, dan 97
Frase ke-18 dimulai dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8 ketuk, yang
terletak di hitungan ke-2 pada birama ke-95, yang dilanjutkan dengan nada e yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada f dengan nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan nada f yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat
turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
ke sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-95.
Selanjutnya diterusan ke nada e pada hitungan pertama di birama ke-96,
dengan nilai ¼ ketuk, dilanjutkan dengan melompat turun sebanyak 2 langkah ke
nada c yang memiliki nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8,
132
kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian
melompat naik sebanyak 1½ langkah ke nada f yang memiliki nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8, yang merupakan
nada terakhir untuk birama ke-96. Frase ini diakhiri dengan nada c pada hitungan
pertama birama ke 97, yang memiliki nilai ¼.
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-95,
96, dan 97, yang mana 6 nada berada di birama ke-95, 7 nada berada di birama ke-
96, dan 1 nada berada di birama ke-97, dengan jumlah total 14 nada. Perincian
penggunaan nadanya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul
sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak 4 kali.
19. Frase ke-19, birama ke-97, 98, dan 99
Frase ke-19 dimulai dari birama ke-97, dengan tanda istirahat dengan nilai
1/8 ketuk pada hitungan ke-2, dan dilanjutkan dengan nada e yang memiliki nilai
1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melompat naik 2 langkah ke nada g dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/16, kemudian
melompat turun ½ langkah ke nada fis, kemudian melompat naik ½ langkah ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis,
yang mana nada ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-97.
Selanjutnya adalah melompat 1 langkah ke nada g pada birama ke-94 di
hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini mendapatkan tanda
133
legato untuk tiga nada di depannya, yaitu nada g dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis dengan nilai 1/16 ketuk, dan
melompat naik ½ langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk pada hitungan ke-2.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada.f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun lagi
sebanyak 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-98. Nada terakhir untuk frase ke-17 ini
adalah nada d dengan nilai ¼ ketuk, yang terletak pada birama ke-99.
Secara keseluruhan frase ke-17 ini berada di birama ke-97, 98, dan 99,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-97, 9 nada berada di birama ke-
98, dan 1 nada berada di birama ke-99, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada d muncul sebanyak 1 kali, nada e muncul sebanyak 3
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 2 kali, nada fis muncul sebanyak 3 kali, dan nada g muncul
sebanyak 6 kali. Dengan demikian nada g menjadi nada yang paling sering
digunakan pada frase ini dengan frekwensi 6 kali, sedangkan nada d merupakan
nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
20. Frase ke-20, birama ke-99, 100, dan 101
134
Frase ke-20 dimulai dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8 ketuk, yang
terletak di hitungan ke-2 pada birama ke-95, yang dilanjutkan dengan nada e yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada f dengan nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan nada f yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat
turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
ke sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-99.
Selanjutnya diterusan ke nada e pada hitungan pertama di birama ke-100,
dengan nilai ¼ ketuk, dilanjutkan dengan melompat turun sebanyak 2 langkah ke
nada c yang memiliki nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian
melompat naik sebanyak 1½ langkah ke nada f yang memiliki nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8, yang merupakan
nada terakhir untuk birama ke-100. Frase ini diakhiri dengan nada c pada hitungan
pertama birama ke 101, yang memiliki nilai ¼, dilanjutkan dengan tanda istirahat
dengan nilai ¼ ketuk dan tanda istirahat yang memiliki nilai ½ ketuk
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-99,
100, dan 101, yang mana 6 nada berada di birama ke-99, 7 nada berada di birama
ke-100, dan 1 nada berada di birama ke-101, dengan jumlah total 14 nada.
Perincian penggunaan nadanya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d
muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak
135
4 kali. Dengan demikian, nada c menjadi nada yang paling sedikit digunakan
dengan frekwensi 3 kali.
21. Frase ke-21, birama ke-105, 106, dan 107
Frase ke-21 dimulai pada birama ke-105, dimulai dengan tanda istirahat
yang memiliki nilai ¼ ketuk pada hitungan pertama, dan tanda istirahat dengan
nilai 1/8 pada hitungan kedua. Untuk nadanya, dimulai pada nada e yang memiliki
nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melompat naik 2 langkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/16,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis, kemudian melompat naik ½
langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke
nada fis, yang mana nada ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-105.
Selanjutnya adalah melompat 1 langkah ke nada g pada birama ke-106 di
hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini mendapatkan tanda
legato untuk tiga nada di depannya, yaitu nada g dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis dengan nilai 1/16 ketuk, dan
melompat naik ½ langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk pada hitungan ke-2.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada.f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun lagi
sebanyak 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini
136
merupakan nada terakhir untuk birama ke-106. Nada terakhir untuk frase ke-17 ini
adalah nada d dengan nilai ¼ ketuk, yang terletak pada birama ke-107.
Secara keseluruhan frase ke-17 ini berada di birama ke-105, 106, dan 107,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-105, 9 nada berada di birama ke-
106, dan 1 nada berada di birama ke-107, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada d muncul sebanyak 1 kali, nada e muncul sebanyak 3
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 2 kali, nada fis muncul sebanyak 3 kali, dan nada g muncul
sebanyak 6 kali. Dengan demikian nada g menjadi nada yang paling sering
digunakan pada frase ini dengan frekwensi 6 kali, sedangkan nada d merupakan
nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
22. Frase ke-22, birama ke-107, 108, dan 109
Frase ke-22 dimulai dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8 ketuk, yang
terletak di hitungan ke-2 pada birama ke-107, yang dilanjutkan dengan nada e
yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada f dengan nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan nada f yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat
turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
ke sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-107.
137
Selanjutnya diterusan ke nada e pada hitungan pertama di birama ke-108,
dengan nilai ¼ ketuk, dilanjutkan dengan melompat turun sebanyak 2 langkah ke
nada c yang memiliki nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian
melompat naik sebanyak 1½ langkah ke nada f yang memiliki nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8, yang merupakan
nada terakhir untuk birama ke-109. Frase ini diakhiri dengan nada c pada hitungan
pertama birama ke 110, yang memiliki nilai ¼.
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-107,
108, dan 109, yang mana 6 nada berada di birama ke-107, 7 nada berada di birama
ke-108, dan 1 nada berada di birama ke-109, dengan jumlah total 14 nada.
Perincian penggunaan nadanya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d
muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak
4 kali.
23. Frase ke-23, birama ke-109, 110, dan 111
Frase ke-23 dimulai dari birama ke-109, dengan tanda istirahat dengan
nilai 1/8 ketuk pada hitungan ke-2, dan dilanjutkan dengan nada e yang memiliki
nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melompat naik 2 langkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/16,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis, kemudian melompat naik ½
138
langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke
nada fis, yang mana nada ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-109.
Selanjutnya adalah melompat 1 langkah ke nada g pada birama ke-110 di
hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini mendapatkan tanda
legato untuk tiga nada di depannya, yaitu nada g dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat turun ½ langkah ke nada fis dengan nilai 1/16 ketuk, dan
melompat naik ½ langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk pada hitungan ke-2.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada.f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun lagi
sebanyak 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-110. Nada terakhir untuk frase ke-17 ini
adalah nada d dengan nilai ¼ ketuk, yang terletak pada birama ke-111.
Secara keseluruhan frase ke-17 ini berada di birama ke-109, 110, dan 111,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-109, 9 nada berada di birama ke-
110, dan 1 nada berada di birama ke-111, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada d muncul sebanyak 1 kali, nada e muncul sebanyak 3
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f
muncul sebanyak 2 kali, nada fis muncul sebanyak 3 kali, dan nada g muncul
sebanyak 6 kali. Dengan demikian nada g menjadi nada yang paling sering
digunakan pada frase ini dengan frekwensi 6 kali, sedangkan nada d merupakan
nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
139
24. Frase ke-24, birama ke-111, 112, dan 123
Frase ke-24 dimulai dengan tanda istirahat dengan nilai 1/8 ketuk, yang
terletak di hitungan ke-2 pada birama ke-111, yang dilanjutkan dengan nada e
yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik ½ langkah ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada f dengan nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan nada f yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat
turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
ke sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-111.
Selanjutnya diterusan ke nada e pada hitungan pertama di birama ke-112,
dengan nilai ¼ ketuk, dilanjutkan dengan melompat turun sebanyak 2 langkah ke
nada c yang memiliki nilai 1/8, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian melompat naik sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian
melompat naik sebanyak 1½ langkah ke nada f yang memiliki nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak ½ langkah ke nada e dengan nilai 1/8, kemudian
melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8, yang merupakan
nada terakhir untuk birama ke-112. Frase ini diakhiri dengan nada c pada hitungan
pertama birama ke 113, yang memiliki nilai ¼, dilanjutkan dengan tanda istirahat
dengan nilai ¼ ketuk dan tanda istirahat yang memiliki nilai ½ ketuk
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-111,
112, dan 113, yang mana 6 nada berada di birama ke-111, 7 nada berada di birama
140
ke-112, dan 1 nada berada di birama ke-113, dengan jumlah total 14 nada.
Perincian penggunaan nadanya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d
muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak
4 kali. Dengan demikian, nada c menjadi nada yang paling sedikit digunakan
dengan frekwensi 3 kali.
25. Frase ke-25, birama ke-133, 134, dan 135
Frase 25 dimulai pada birama ke 133 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-133. Selanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-134,
pada nada e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
141
134. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada
birama ke 135.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-133,
134, dan 135, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-133, 9 nada berada
di birama ke-134, dan 1 nada berada di birama ke-135, dengan total jumlah nada
15. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak
3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan
nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
26. Frase ke-26, birama ke-135, 136, dan 137
Frase ke-26 dimulai pada birama ke-135 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-135 ini. Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 136 pada
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada
142
e dengan nilai 1/8 ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16,
kemudian melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir
ini disatukan oleh tanda legato. Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke 136 ini. Frase ini
diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan
pertama birama ke-137.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-135, 136, dan 137,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-135, 10 nada berada di birama
ke-136, dan 1 nada berada di birama ke-137, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang
paling sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
27. Frase ke-27, birama ke-137, 138, dan 139
Frase ini dimulai dari nada g yang terletak pada birama ke-137, pada
ketukan pertama hitungan naik dengan nilai 1/8 ketuk, yang dilanjutkan dengan
143
melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, yang merupakan
nada terakhir untuk birama ini.
Selanjutnya dimulai pada nada e pada hitungan ke satu pada birama 138,
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16,
kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik
sebanyak ½ langkah ke nada f dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
sebanyak ½ langkah ke nada e kemudian melompat turun satu langkah ke nada d,
kemudian melompat turun sebanyak 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8,
kemudian naik satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8, kemudian melompat turun
satu langkah ke nada c dengan nilai 1/8, dan merupakan nada terakhir untuk
birama ke-138. Frase ini diakhiri dengan nada c pada birama ke-139 di ketukan ke
satu dengan nilai 1/8 ketuk, dan ditutup dengan tanda istirahat yang memiliki nilai
1/16 pada hitungan naik.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-137,
138, dan 139, yang mana 7 nada berada di birama ke-17, 9 nada berada di birama
ke-138, dan 1 nada berada di birama ke-139, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul
sebanyak 2 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali,
dan nada g muncul sebanyak 7 kali. Dengan demikian, nada g menjadi nada yang
144
paling sering digunakan dengan frekwensi 7 kali, dan nada f menjadi nada yang
paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
28. Frase ke-28, birama ke-139, 140, dan 141
Frase ini dimulai dari birama ke-139, pada ketukan pertama, dengan nada
G yang memiliki nilai not 1/16 ketuk, yang dilanjutkan dengan melompat naik
sebanyak 3 langkah ke nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan
melangkah lagi ke nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan
melangkah lagi ke nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun sebanyak 3 langkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik sebanyak 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik sebanyak 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8, dan ini merupakan nada
terakhir untuk birama ke-139 ini.
Selanjutnya dilanjutkan dengan nada e pada birama ke-140 yang memiliki
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik ½
langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun sebanyak 1 langkah ke
nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun sebanyak 1 langkah ke
nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangka ke nada c dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan
kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini
145
merupakan nada terakhir untuk birama ke-140. Frase ini diakhiri dengan dengan
nada c yang terletak pada birama ke-141 pada hitungan pertama, dengan nilai ¼
ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada di tiga birama yaitu birama ke-139,
140, dan 141, yang mana sebanyak 7 nada berada di birama ke-139, 10 nada
berada pada birama le-140, dan 1 nada berada pada birama ke-141. Perincian
penggunaan nadanya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul
sebanyak 8 kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan nada
yang paling sering digunakan pada frase ini dengan fekwensi 8 kali, sedangkan
nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
29. Frase ke-29, birama ke-141, 142, dan 143
Frase 29 dimulai pada birama ke 141 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-141. Selanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-142,
pada nada e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e
146
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
142. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada
birama ke 143.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-141,
142, dan 143, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-141, 9 nada berada
di birama ke-142, dan 1 nada berada di birama ke-143, dengan total jumlah nada
15. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak
3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan
nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
30. Frase ke-30, birama ke-143, 144, dan 145
Frase ke-30 dimulai pada birama ke-143 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
147
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-143 ini. Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 144 pada
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada
e dengan nilai 1/8 ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16,
kemudian melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir
ini disatukan oleh tanda legato. Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke 144 ini. Frase ini
diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan
pertama birama ke-145.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-143, 144, dan 145,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-143, 10 nada berada di birama
ke-144, dan 1 nada berada di birama ke-145, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang
148
paling sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
31. Frase ke-31, birama ke-145, 146, dan 147
Frase ke-31 dimulai dari birama ke-145, yaitu pada nada g di ketukan
pertama hitungan ke-3, yang memiliki nilai not sebesar 1/8 ketuk, dan dilanjutkan
dengan melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan lagi dengan
melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melompat turun
sebanyak 2 spasi ke nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik sebesar 31/2 langkah ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah lagi ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melangkah lagi ke nada dengan nilai
1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-145.
Nada selanjutnya adalah melompat turun sebanyak 1½ langkah ke nada e,
pada hitungan pertama di birama 144, dengan nilai 1/8 ketuk, yang diikuti dengan
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada e
dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik sebesar ½ langkah ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ½ langkah ke nada e dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik
1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melompat turun satu
149
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk
birama ke-146. Frase ini diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk,
yang terletak di birama ke-147 dengan nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada di tiga birama secara berurutan yaitu
birama ke-145, 146, dan 147, yang mana sebanyak 8 nada berada di birama ke-
145, 10 nada berada di birama ke-146, dan 1 nada berada di birama ke-147,
dengan jumlah total 18 nada. Perincian penggunaannya adalah nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 2 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali,
nada f muncul sebanyak 1 kali, dan nada g muncul sebanyak 7 kali. Dengan
demikian nada g menjadi nada yang paling sering digunakan dengan frekwensi 7
kali, dan nada f menjadi nada yang peling jarang digunakan dengan frekwensi
hanya 1 kali.
32. Frase ke-32, birama ke-147, 148, dan 149
Frase ini dimulai pada nada G di birama ke-147 pada ketukan pertama
hitungan ke-3 yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang dilanjutkan dengan melangkah
ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik sebanyak 3 langkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan
kemudian melompat satu langkah ke nafa d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-147.
150
Nada selanjutnya adalah nada e yang terletak pada birama ke-148 di
ketukan pertama hitungan kesatu, dengan nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan
melangkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada e dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada d dengan nilai 18
ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melompat naik satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan
nada terakhir untuk birama ke-148. Frase ini diakhiri dengan nada c yang terletak
pada birama ke-149 pada hitungan pertama dengan nilai ¼ ketuk.
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-147,
148, dan 149, yang mana 7 nada berada di birama ke-147, 9 nada berada di birama
ke-148, dan 1 nada berada di birama ke-149, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaan nadanya adalah nada G muncul sebanyak 4 kali, nada c
muncul sebanyak 6 kali, nada muncul sebanyak, nada d muncul sebanyak 3 kali,
nada e muncul sebanyak 3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan
demikian nada c merupakan nada yang paling sering digunakan dengan frekwensi
sebanyak 6 kali, dan nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan
frekwensi sebanyak 1 kali.
33. Frase ke-33, birama ke-149, 150, dan 151
151
Frase 33 dimulai pada birama ke 149 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-149. Selanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-150,
pada nada e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
150. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada
birama ke 151.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-149,
150, dan 151, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-149, 9 nada berada
di birama ke-150, dan 1 nada berada di birama ke-151, dengan total jumlah nada
15. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak
152
3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan
nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
34. Frase ke-34, birama ke-151, 152, dan 153
Frase ke-34 dimulai pada birama ke-151 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-151 ini. Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 152 pada
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada
e dengan nilai 1/8 ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16,
kemudian melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir
ini disatukan oleh tanda legato. Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke 152 ini. Frase ini
153
diakhiri dengan nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan
pertama birama ke-153.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-151, 152, dan 153,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-151, 10 nada berada di birama
ke-152, dan 1 nada berada di birama ke-153, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang
paling sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
35. Frase ke-35, birama ke-157, 158, dan 159
Frase 35 dimulai dari birama ke-157, yang diawali oleh tanda istirahat
yang memiliki nilai ¼ pada ketukan pertama ditambah dengan tanda istirahat yang
memiliki nilai 1/8 di ketukan kedua, dan dilanjutkan oleh nada G yang memiliki
nilai 1/8, yang merupakan nada awal dari frase ini. Nada selanjutnya adalah
melompat 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan
melompat turun sebanyak 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik sebanyak 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan
nada terakhir untuk birama ke-157. Nada selanjutnya adalah melompat naik satu
langkah ke nada e, pada birama ke-158 dihitungan ke-1, dengan nilai 1/8 ketuk,
154
kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
satu langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu
nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke
nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada c
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai
1/8 ketuk, kemdian melompat turun satu langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-158. Frase ini diakhiri dengan
nada c yang terletak di birama ke-159 pada hitungan pertama, yang memiliki nilai
1/8 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-157,
158, dan 159, yang mana 5 nada berada pada birama ke-157, 8 nada berada pada
birama ke-158, dan 1 nada berada pada birama ke-159. Perincian dari nada yang
digunakan adalah nada G digunakan sebanyak 2 kali, nada c digunakan sebanyak
5 kali, nada d digunakan sebanyak 3 kali, nada e digunakan sebanyak 3 kali, dan
nada f digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan nada yang
paling banyak digunakan dengan frekwensi 5 kali, dan nada f merupakan nada
yang paling jarang digunakan dengan frekwensi hanya 1 kali.
36. Frase ke-36, birama ke-159, 160, dan 161
Frase ini dimulai dengan nada g, yang terletak pada birama ke-159, yang
memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian dilanjutkan dengan melangkah ke nada g
yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada g dengan nilai
155
1/16 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun ke sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik sebanyak 2 langkah lagi ke nada g dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, dan kemudian melangkah lagi ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada terakhir dari birama
ke-159. Selanjutnya adalah nada e yang terletak di birama ke-160 di hitungan
pertama dengan nilai ¼ ketuk, kemudian melompat naik satu langkah ke nada f
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada e dengan
nilai ¼ ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8
ketuk, yang mana nada d tersebut mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan nada d dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini
merupakan nada terakhir untuk birama 160. Frase ini diakhiri dengan nada c pada
birama ke-161 hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama, yaitu birama 159,
160, dan 161, yang mana terdapat 9 nada pada birama ke-159, 7 nada pada birama
ke-160, dan 1 nada pada birama 161, dengan jumlah total 17 nada. Perincian
penggunaan nadanya adalah c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul sebanyak 2
kali, nada e muncul sebanyak 3 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali dan nada g
muncul sebanyak 8 kali. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nada g
merupakan nada yang paling sering digunakan pada frase ini, dengan frekwensi
156
sebanyak 8 kali, sedangkan nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan
karena hanya memiliki frekwensi 1 kali.
37. Frase ke-37, birama ke-161, 162, dan 163
Frase ini dimulai dengan nada g, yang terletak pada birama ke-161, yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian dilanjutkan dengan melangkah ke nada g yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun ke sebanyak 2 langkah ke nada e dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat naik sebanyak 2 langkah lagi ke nada g dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dan
kemudian melangkah lagi ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini
merupakan nada terakhir dari birama ke-161. Selanjutnya adalah nada e yang
terletak di birama ke-162 di hitungan pertama dengan nilai ¼ ketuk, kemudian
melompat naik satu langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun satu langkah ke nada e dengan nilai ¼ ketuk, kemudian melompat turun satu
langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada d tersebut
mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada c dengan nilai 1/8
ketuk, dan nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun ke nada c
dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada terakhir untuk birama 162.
Frase ini diakhiri dengan nada c pada birama ke-163 hitungan pertama dengan
nilai 1/8 ketuk.
157
Secara keseluruhan frase ini berada pada tiga birama, yaitu birama 159,
160, dan 161, yang mana terdapat 7 nada pada birama ke-159, 7 nada pada birama
ke-160, dan 1 nada pada birama 161, dengan jumlah total 14 nada. Perincian
penggunaan nadanya adalah c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul sebanyak 2
kali, nada e muncul sebanyak 2 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali dan nada g
muncul sebanyak 6 kali. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nada g
merupakan nada yang paling sering digunakan pada frase ini, dengan frekwensi
sebanyak 6 kali, sedangkan nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan
karena hanya memiliki frekwensi 1 kali.
38. Frase ke-38, birama ke-163, 164, dan 165
Frase ini dimulai dari birama ke-163, pada ketukan pertama hitungan ke-3,
pada nada G yang memiliki nilai 1/8. Selanjutnya nada melompat sebanyak
3langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan melangkah ke nada
c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/8, kemudian
melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8, dan kemudian melompat
naik satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir untuk birama ke-163. Nada selanjutnya adalah e yang terletak pada
birama ke-164 ketukan pertama dengan nilai ¼ ketuk, dan dilanjutkan dengan
melompat sebanyak 1 langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
158
turun 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana nada ini
mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada c dengan nilai 1/8
ketuk dan nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang diikuti dengan melompat turun ke
nada c yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan ini juga merupakan nada terakhir untuk
birama ke-164. Frase ini diakhiri dengan nada c pada birama ke-165 ketukan
pertama, dengan nilai not ¼ ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada di tiga birama berbeda yaitu birama
163, 164, dan 165, yang mana sebanyak nada berada di birama ke-163, 7 nada
berada di birama ke-164, dan 1 nada berada di birama ke-165, dengan jumlah total
15 nada. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 7 kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak
2 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling sering digunakan ada frase ini dengan frekwensi 7 kali,
sedangkan nada f merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan
frekwensi 1 kali.
39. Frase ke-39, birama ke-165, 166, dan 167
Frase ini dimulai dari birama ke-165 dan diakhiri pada birama ke-167,
yang mana tanda istirahat pada ketukan kedua hitungan pertama yang memiliki
niali 1/8 ketuk menjadi awalnya. Kemudian sebagai nada awal adalah nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
159
melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, yang mana ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-165.
Selanjutnya adalah nada e yang terletak pada birama ke 166 ketukan
pertama, yang memiliki nilai ¼ ketuk, dilanjutkan dengan melompat naik ½
langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke
nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan
ini menjadi nada terakhir untuk birama ke-166. Frase ini diakhiri dengan nada c
yang terletak pada birama ke-167 ketukan pertama, yang memiliki nilai 1/8 ketuk
dan ditutup dengan tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan birama ini berada pada birama ke-165, 166, dan 167,
yang mana 5 nada berada pada birama ke-165, 7 nada berada pada birama ke-166,
dan 1 nada berada pada birama ke-167, dengan jumlah total 13 nada. Perincian
penggunaannya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul sebanyak 2
kali, nada e muncul sebanyak 2 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali, dan nada g
muncul sebanyak 5 kali. Dengan demikian nada g menjadi nada yang paling
sering digunakan dengan frekwensi 5 kali, dan nada f merupakan nada yang
paling jarang digunakan dengan frekwensi hanya 1 kali.
40. Frase ke-40, birama ke-167, 168, dan 169
160
Frase ke-40 dimulai dengan nada G dibirama ke-167 pada ketukan kedua,
dengan nilai not 1/8 ketuk, yang kemudian melangkah ke nada G dengan nilai 1/8
ketuk. Selanjutnya adalah melompat naik sebanyak 3 langkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik 1 langkah ke nada dengan nilai 1/8, yang mana ini
merupakan nada terakhi untuk birama ke-167.
Nada selanjutnya adalah naik satu langkah ke nada e yang terletak di
birama ke168 ketukan pertama, dengan nilai 1/8 ketuk, yang diikuti dengan
melangkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik satu
langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah
ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada c dengan
nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada c dengan 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada
terakhir untuk birama ke-168. Frase ini diakhiri dengan nada c pada birama ke-
169 pada ketukan pertama dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan tanda
istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan ini, frase ini tersebar di tiga birama yang berbeda yaitu
birama ke-167, 168, dan 169, yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-
167, 9 nada berada di birama ke-168, dan 1 nada berada di birama ke-169, dengan
161
jumlah total 16 nada, dengan nada terendah adalah G dan nada tertinggi adalah f.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
sebanyak 6 kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan nada
yang paling sering digunakan dengan frekwensi 6 kali, dan nada f menjadi nada
yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
41. Frase ke-41, birama ke-169, 170, dan 171
Frase ke-41 dimulai dengan nada g pada birama ke-169 ketukan kedua,
yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang dilanjutkan dengan melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-169.
Nada selanjutnya adalah melompat turun 2 langkah ke nada e yang terletak
pada birama ke-170 pada ketukan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik satu langkah ke nada f dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada e dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun satu langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 116 ketuk, kemudian melompat naik
162
satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk
birama ke-170. Nada terakhir untuk frase ini adalah nada c yang terletak pada
birama ke-171 pada hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/16 ketuk.
Secara keseluruhan frase ini berada di tiga birama berbeda yaitu birama
ke-169, 170, dan 171, yang mana 6 nada berada pada birama ke169, 10 nada
berada pada birama ke-170, dan 1 nada berada pada birama ke171, dengan jumlah
total 17 nada, dengan nada c merupakan nada terendah dan nada g menjadi nada
tertinggi. Perincian penggunaannya adalah nada c muncul sebanyak 4 kali, nada d
muncul sebanyak 2 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, nada f muncul sebanyak
1 kali, dan nada g muncul sebanyak 6 kali. Dengan demikian nada g merupakan
nada yang paling banyak digunakan dengan frekwensi sebanyak 6 kali, dan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
42. Frase ke-42, birama ke-171, 172, dan 173
Frase ini dimulai dari nada G pada birama ke-171, dengan nilai nada 1/16
ketuk, dan kemudian melompat naik 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melompat turun 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/16 ketuk,
163
kemudian melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan
kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1.8 ketuk, dan ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-171.
Selanjutnya adalah naik satu langkah ke nada e pada birama ke-172 pada
hitungan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan
nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah lagi ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat naik satu langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun satu langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun satu langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik satu
langkah ke nada dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melompat turun satu
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk
birama ke 172. Nada terakhir untuk frase ini adalah c yang terletak pada birama ke
173 hitungan pertama dengan nilai ¼ ketuk, dan ditutup dengan tanda 3 istirat
yang masing-masing memiliki nilai 14 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini tersebar di tiga birama berbeda yaitu birama
ke-171, 172, dan 173, yang mana sebanyak 8 nada berada di birama ke-171, 10
nada berada pada birama ke-172, dan 1 nada berada pada birama ke-173, dengan
jumlah total 19 nada, dengan G menjadi nada terendah dan f menjadi nada
tertinggi. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 9 kali, nada d muncul sebanyak 3 kali, nada e muncul sebanyak
4 kali dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
164
nada yang paling banyak digunakan dengan frekwensi 9 kali, dan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi hanya 1 kali.
43. Frase ke-43, birama ke-181, 182, dan 183
Frase 43 dimulai pada birama ke 181 ketukan ke 2, dengan memunculkan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan nada G yang
memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-181. Selanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-182,
pada nada e dengan nilai 1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di
depannya yaitu nada d dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-
182. Frase ini diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan
tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada
birama ke 183.
165
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-181,
182, dan 183, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-181, 9 nada berada
di birama ke-182, dan 1 nada berada di birama ke-183, dengan total jumlah nada
15. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak
3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan
nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
44. Frase ke-44, birama ke-183, 184, dan 185
Frase ke-44 dimulai pada birama ke-183 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-183 ini.
Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 184 pada nada e dengan nilai 1/8
ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada d
dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8
ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk,
166
kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik 1
nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat turun 1 nada ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir ini disatukan oleh tanda legato.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk
nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi
nada terakhir pada birama ke 184 ini. Frase ini diakhiri dengan nada c yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan pertama birama ke-185.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-183, 184, dan 185,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-183, 10 nada berada di birama
ke-184, dan 1 nada berada di birama ke-185, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang
paling sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
45. Frase ke-45, birama ke-185, 186, dan 187
Frase ke-45 dimulai dengan nada g, pada birama ke-185 ketukan ke dua
hitungan ke 3, yang memiliki nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 18 ketuk,
kemudian melompat turun 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
167
melompat naik 2 langkah ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah
ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai
1/8 ketuk, dan kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini
merupakan nada terakhir untuk birama ke-185.
Selanjutnya dilanjutkan dengan melompat turun 2 langkah ke nada e pada
birama ke-186 pada ketukan pertama, dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada e
dengan nilai 1/1 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada f dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk
birama ke-186. Frase ini diakhiri dengan birama nada c pada birama ke-187 di
ketukan pertama dengan nilai 1/8 ketuk, dan ditutup dengan tanda istirahat yang
memiliki nilai 1/16 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada tiga birama yaitu birama ke-185,
186, dan 187, yang mana 8 nada berada pada birama ke-185, 9 nada pada birama
ke-186, dan 1 nada pada birama ke-187, dengan jumlah total 18 nada, dengan
nada terendah adalah c dan nada tertinggi adalah g. Perincian penggunaan
nadanya adalah nada c muncul sebanyak 3 kali, nada d muncul sebanyak 2 kali,
nada e muncul sebanyak 5 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali, dan nada g muncul
sebanyak 7 kali. Dengan demikian, nada g menjadi nada yang paling banyak
168
digunakan dengan frekwensi 7 kali, dan nada f menjadi nada yang paling jarang
digunakan dengan frekwensi 1 kali.
46. Frase ke-46, birama ke-187, 188, dan 189
Frase ini dimulai dengan nada G pada birama ke-187 diketukan ke-1
hitungan ke-4, yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik 3
langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat turun 3
langkah ke nada G dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat 3 langkah ke
nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini menjadi nada terakhir pada birama ke-187.
Selanjutnya adalah melompat naik satu langkah ke nada e dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik satu
langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah
ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun satu langkah ke nada
d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada d dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat turun satu langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk,
kemudian melompat naik satu langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, dan
169
merupakan nada terakhir pada birama ke-188. Frase ini diakhiri dengan nada c
pada birama ke-189 pada ketukan birama, yang memiliki nilai ¼ ketuk, dan
ditutup dengan tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan, frase ini tersebar di birama ke-187, 188, dan 189,
yang mana sebanyak 8 nada berada di birama ke-187, 10 nada berada di birama
ke-188, dan 1 nada berada di birama ke-189, dengan jumlah total 19 nada, dan
nada G menjadi nada terendah serta nada f menjadi nada tertinggi. Perincian
penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c muncul sebanyak 8
kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 4 kali, dan nada f
muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c menjadi nada yang paling
banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi sebanyak 8 kali, dan nada f
menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi hanya 1 kali.
47. Frase ke-47, birama ke-189, 190, dan 191
Frase ke-47 dimulai pada birama ke 189 ketukan ke 2, dengan
memunculkan tanda istirahat yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan
dengan nada G yang memiliki nilai ¼, kemudian melompat naik 4 nada ke nada c
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 4 nada ke nada G dengan nilai
1/8 ketuk, kemudian melompat naik ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat naik 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, yang mana ini merupakan
nada terakhir pada birama ke-189.
170
Selanjutnya, nada dilanjutkan ke birama ke-190, pada nada e dengan nilai
1/16, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada d
dengan nilai 1/16 dan melompat naik 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada
ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik 1 nada ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 nada ke nada c dengan nilai
1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir untuk birama ke-190. Frase ini
diakhiri dengan nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ditutup dengan tanda istirahat
yang memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak hitungan pertama pada birama ke
191.
Secara keseluruhan, frase ini berada pada 3 birama yaitu birama ke-189,
190, dan 191, yang mana sebanyak 5 nada berada di birama ke-189, 9 nada berada
di birama ke-190, dan 1 nada berada di birama ke-191, dengan total jumlah nada
15. Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 2 kali, nada c
muncul sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak
3 kali, dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian, nada c merupakan
nada yang paling banyak digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, dan
nada f menjadi nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
48. Frase ke-48, birama ke-191, 192, dan 193
171
Frase ke-48 dimulai pada birama ke-191 ketukan ke-2, pada nada G yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, dan dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan
nilai 1/8 ketuk. Selanjutnya melompat 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun sebanyak 4 nada ke nada G, kemudian melompat naik
sebanyak 4 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat naik
sebanyak 1 nada ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk nada, dan ini merupakan nada
terakhir pada birama ke-191 ini.
Seterusnya, dilanjutkan pada birama ke 192 pada nada e dengan nilai 1/8
ketuk, yang mendapatkan tanda legato untuk 2 nada di depannya yaitu nada d
dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8
ketuk. Nada selanjutnya adalah melompat 1 nada ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 nada ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 nada ke nada d dengan nilai 1/16, kemudian melompat naik 1
nada ke nada e dengan nilai 1/16, dan kemudian melompat turun 1 nada ke nada d
dengan nilai 1/8 ketuk. Untuk tiga nada terakhir ini disatukan oleh tanda legato.
Selanjutnya melompat turun sebanyak 1 nada ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk
nada dan kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk dan ini menjadi
nada terakhir pada birama ke 192 ini. Frase ini diakhiri dengan nada c yang
memiliki nilai 1/8 ketuk, yang terletak pada hitungan pertama birama ke-193.
Secara keseluruhan frase ke-16 berada di birama ke-191, 192, dan 193,
yang mana sebanyak 6 nada berada di birama ke-191, 10 nada berada di birama
ke-192, dan 1 nada berada di birama ke-193, dengan jumlah total 17 nada.
Perincian penggunaannya adalah nada G muncul sebanyak 3 kali, nada c muncul
172
sebanyak 5 kali, nada d muncul sebanyak 4 kali, nada e muncul sebanyak 3 kali,
dan nada f muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian nada c menjadi nada yang
paling sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 5 kali, sedangkan nada f
merupakan nada yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
49. Frase ke-49, birama ke-193, 194, dan 195
Frase ke-49 dimulai dengan nada g pada birama ke-193 pada ketukan
pertama hitungan ke-3, yang memiliki nilai 1/16 ketuk, dan dilanjutkan dengan
melangkah ke nada g yang memiliki nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke
nada g dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melompat turun dua langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat naik 2 langkah ke nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melangkah ke nada g dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada g
dengan nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melangkah ke nada g dengan nilai 1/8
ketuk, yang merupakan nada terakhir untuk birama ke-193.
Selanjutnya melompat turun 2 langkah ke nada e pada birama ke-194
ketukan pertama, yang memiliki nilai 1/8 ketuk, dilanjutkan dengan melangkah ke
nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada c
173
dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan
nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, dan merupakan nada terakhir untuk birama ke-194. Nada terakhir pada
frase ini adalah c yang terletak pada birama ke-195, yang memiliki nilai 1/8 ketuk.
Secara keseluruhan frase ini berada pada birama ke-193, 194, dan 195,
yang mana 9 nada berada pada birama ke-193, 10 nada berada pada birama ke-
194, dan 1 nada berada pada birama ke-195, dengan jumlah total 18 nada, dan
nada c merupakan nada terendah serta nada g menjadi nada tertinggi. Perincian
penggunaannya adalah nada c muncul sebanyak 4 kali, nada d muncul sebanyak 2
kali, nada e muncul sebanyak 5 kali, nada f muncul sebanyak 1 kali, dan nada g
muncul sebanyak 8 kali. Dengan demikian, nada g menjadi nada yang paling
sering digunakan pada frase ini dengan frekwensi 8 kali, dan nada menjadi nada
yang paling jarang digunakan dengan frekwensi 1 kali.
50. Frase ke-50, birama ke-195, 196, dan 197
Frase ke-50 merupakan frase terakhir dari lagu Ula-ula lemben yang
umumnya disajikan pada satu pertunjukan. Frase ini diawali pada nada G pada
birama ke-195 ketukan pertama hitungan ke 3, yang memiliki nilai 1/16 ketuk,
dilanjutkan dengan melangkah ke nada G dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah
ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/8
ketuk, kemudian melangkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
174
melompat turun 3 langkah ke nada G dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian
melompat naik 3 langkah ke nada c dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
naik 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, dan ini merupakan nada terakhir
dari birama ke-195.
Selanjutnya adalah kemudian melompat naik 1 langkah ke nada e pada
birama ke-196 ketukan pertama, dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melangkah ke
nada e dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada e dengan nilai 1/16
ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada f dengan nilai 1/8 ketuk,
kemudian melompat turun 1 langkah ke nada e dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian
melompat turun 1 langkah ke nada d dengan nilai 1/8 ketuk, kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada c dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melangkah ke nada c
dengan nilai 1/16 ketuk, kemudian melompat naik 1 langkah ke nada d dengan
nilai 1/8 ketuk, dan kemudian melompat turun 1 langkah ke nada c dengan nilai
1/8 ketuk, dan merupakan nada terakhir untuk birama ke-196. Frase ini diakhiri
dengan nada c pada birama ke-197 ketukan pertama, dengan nilai ¼ ketuk, yang
ditutup dengan tanda istirahat dengan nilai ¼ ketuk dan tanda istirahat dengan
nilai ½ ketuk.
Demikianlah perincian penggunaan nada dari lagu Ula-ula lemben ini
yang dihitung berdasarkan frase dari syair lagunya. Secara keseluruhan, frase dari
lagu yang dinyanyikan ini berjumlah 50 frase, dengan beberapa kali perulangan
pada birama yang berbeda. Perulangan tersebut pada umumnya terjadi pada 2
kalimat awal yang menjadi sampiran lagu, Ula-ula lemben tetedong awan-awan,
Tang mana ku pacok ke tang puteh panonye.
175
5.3.5 Bentuk
Bentuk (form) adalah bentuk komposisi musik yang hanya dikaitkan
dengan jalur utama melodi ataupun bunyinya, jadi bukannya melalui teks maupun
harmonisasinya. Waupun teks dan harmoni yang baik akan selaras juga dengan
jalannya melodi (Soeharto,1992;39).
Menurut Nettl (1964;149-150) ada 2 masalah utama untuk menjelaskan
bentuk musikal, yaitu:
1. Identifikasi dari pokok-pokok materi, yang mana satu potongan tanda istirahat
menjadi dasarnya, dan
2. Identifikasi pembagian pada musik yaitu: bagian-bagian, motif-motif, dan
frase-frase.
Dengan pengertian khusus sebagai hubungan-hubungan dari bagian-bagian
secara menyeluruh membentuk struktur dari lagu-lagu yang meliputi unsur melodi
dan ritmis dapat dibagi dengan berbagai cara. Membagi satu lagu menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil penting dilakukan untuk mendeskripsikan bentuknya.
Kriteria pembagian dapat dilakukan dengan melihat pengulangan frase, dan tanda
diam, menemukan pengulangan pola ritmis, atau transposisi kesatuan teks dalam
vokal.
Dikatakannya bahwa setiap lagu memiliki satu atau beberapa bentuk, dan
untuk membedakannya diberi tanda dengan huruf kapital seperti : A,B,C,D, dan
seterusnya yang mana masing-masing bentuk itu berbeda (A berbeda dengan
B,C,D, dan seterusnya) atau memiliki perbedaan. Akan tetapi, apabila bentuk
yang muncul sebagai variasi dari bentuk yang muncul sebelumnya, maka bentuk
176
ini ditulis dengan cara tertentu sebagai contoh A1 atau B1, A2 atau B2. Tanda itu
menyatakan bahwa bentuk A1 merupakan varian dari bentuk A, dan B1
merupakan varian dari bentuk B. Sedangkan A2 (B2) merupakan variasi lain yang
tidak sama bentuknya dengan A1 (B1). Maka apabila satu bentuk mempunyai
banyak variasi lagi, pemberian tanda variasi pun bisa bertambah banyak seperti
A3, A4, A5, dan seterusnya.
Beberapa cara yang ditawarkan untuk menemukan bagian-bagian yang
sesuai untuk diterapkan pada lagu Ula-ula lemben ini, salah satunya adalah
dengan melihat kesatuan teks dalam vokal dan perubahan pengulangan yang ada
sebagai satu pengulangan pola ritmis atau transposisi. Selanjutnya, dari pola-pola
ritmis yang ada terjadi pengulangan, maka pengulangan tadi bisa memiliki 2
kemungkinan yaitu pengulangan utuh atau pun pengulangan yang bervariasi, dan
ini akan menjadi bentuk dari pola ritmis itu.
Mengacu pada kesatuan teks dan disesuaikan dengan pengulangan pola
ritmisnya, maka lagu Ula-ula lemben memiliki bentuk seperti yang akan
dijelaskan berikut ini:
Frase di atas memiliki bentuk A, dikarenakan bentuk ini yang pertama
sekali muncul pada lagu ini. Frase ini terletak di birama 9-11.
A
177
Frase ini memiliki bentuk B, karena memiliki bentuk yang berbeda dari
yang pertama. Frase ini berada pada birama 11-13.
Frase ini memiliki bentuk A-1, karena memiliki bentuk yang berbeda dari
bentuk yang pertama. Frase ini berada pada birama 13-15.
Frase ini memiliki bentuk B-1, karena memiliki bentuk yang berbeda dari
bentuk B yang pertama. Frase ini berada pada birama 15-17.
B
A-1
B-1
C
178
B-3
A-2
Frase ini memiliki bentuk C, karena bentuk yang ditampilkan berbeda dari
bentuk pertama dan bentuk kedua. Frase ini terletak di birama ke 17-19
Frase ini memiliki bentuk B-2, yang merupakan varian dari bentuk B, yang
terletak di birama 19-21.
Frase ini memiliki bentuk D, karena memiliki bentuk yang berbeda dari 3
bentuk sebelumnya. Frase ini terletak di birama 69-71
Frase ini memiliki bentuk E, karena bentuk yang terjadi memiliki
perbedaan dari 4 bentuk sebelumnya. Frase ini berada pada birama ke 71-73
Frase ini memiliki bentuk A-2, yang merupakan varian dari bentuk A, dan
berbeda dari A-1. Frase ini berada pada birama ke 73-75
B-2
D
179
B-4
D
B-3
A-3
Frase ini memiliki bentuk E-1, yang merupakan varian dari bentuk E, yang
berada pada birama ke 75-77.
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 77-79
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama ke 79-81
Frase ini memiliki bentuk A-3, yang merupakan varian dari bentuk A dan
berbeda dari variasi bentuk A-1 dan A-2. Frase ini berada pada birama ke 81-83.
180
B-4
D
B-3
E
F
Frase ini memiliki bentuk B-4, yang terletak di birama 83-85
Frase ini memiliki bentuk D, yang berada pada birama ke-85-87.
Frase ini memiliki bentuk B-3, yang berada pada birama ke 87-89.
Frase ini memiliki bentuk E, karena memiliki perbedaan mendasar dari
frase sebelumnya, yang terletak di birama 93-95.
181
E
F-1
E
F
Frase ini memiliki bentuk F, karena memiliki perbedaan pola dengan frase
sebelumnya, yang terletak di birama 95-97
Frase ini memiliki bentuk E, karena memiliki persamaan dengan frase
yang berada di birama 93-95. Frase ini terletak di birama 97-99.
Frase ini memiliki bentuk F-1, karena memiliki perbedaan pola dengan
frase sebelumnya, yang terletak di birama 99-100
Frase ini memiliki bentuk E, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase pada birama 93-95. Frase ini terletak di birama 105-107
Frase ini memiliki bentuk F, karena memiliki persamaan pola dengan frase
yang terletak di birama 95-97. Frase ini sendiri berada di birama 107-109
182
E
F-1
B-3
D
Frase ini memiliki bentuk E, karena memiliki persamaan dengan frase
yang berada di birama 93-95. Frase ini terletak di birama 109-111.
Frase ini memiliki bentuk F-1, karena memiliki persamaan pola dengan
frase terletak di birama 99-100. Frase ini berada di birama 111-123
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 133-135
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama 135-137
183
A-4
B-4
D
B-3
Frase ini memiliki bentuk A-4, yang merupakan varian dari bentuk A dan
berbeda dari variasi bentuk A-1, A-2, dan A-3. Frase ini berada pada birama ke
137-139
Frase ini memiliki bentuk B-5, yang terletak di birama 139-141
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 141-150
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama 143-145
184
A-5
B-6
D
B-3
D-1
Frase ini memiliki bentuk A-5, yang berada pada birama ke 145-147
Frase ini memiliki bentuk B-6, yang terletak di birama 147-149
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 149-151
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama 151-153
185
A-6
A-7
B-7
A-8
Frase ini memiliki bentuk D-1, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 157-159
Frase ini memiliki bentuk A-6 dikarenakan pola yang dimiliki merupakan
varian dari bentuk A. Frase ini berada di birama ke 159-161.
Frase ini memiliki bentuk A-7 dikarenakan pola yang dimiliki merupakan
varian dari bentuk A dengan beberapa perbedaan. Frase ini berada di birama ke
163-165.
Frase ini memiliki bentuk B-7, dan berada di birama ke 163-165
186
B-8
A-9
B-9
D
B-3
Frase ini memiliki bentuk A-8, dan berada di birama ke 165-167
Frase ini memiliki bentuk B-8, dan berada di birama ke 167-169
Frase ini memiliki bentuk A-8, dan berada di birama ke 169-171
Frase ini memiliki bentuk B-9, yang terletak di birama ke 171-173
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 181-183
187
A-10
B-10
D
B-3
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama 183-185
Frase ini memiliki bentuk A-10, dan berada di birama ke 185-187
Frase ini memiliki bentuk B-10, yang terletak di birama ke 187-189
Frase ini memiliki bentuk D, karena merpakan pengulangan dari bentuk
yang terdapat pada birama 69-71. Frase ini terletak di birama 189-191
Frase ini memiliki bentuk B-3, karena memiliki bentuk yang sama dengan
frase yang terletak di birama 71-73. Frase ini berada pada birama 191-193
188
A-11
B-11
Frase ini memiliki bentuk A-11, dan berada di birama ke 193-195
Frase ini memiliki bentuk B-11, yang terletak di birama ke 195-197
Dari rincian di atas, dapat dilihat bahwa lagu Ula-ula lemben ini memiliki
6 bentuk yaitu A, B, C, D, E, dan F. Keenam bentuk utama tersebut memiliki
variasi-variasi yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 5.2: Bentuk, variasi bentuk dan letaknya
Bentuk Letak (Birama ke-) Variasi Letak (Birama ke-)
A
9-11 A-1 13-15
A-2 73-75
A-3 81-83
A-4 137-139
A-5 145-147
A-6 159-161
A-7 161-163
A-8 165-167
A-9 169-171
A-10 185-187
A-11 193-195
189
B
11-13 B-1 15-17
B-2 19-21
B-3
71-73, 79-81, 135-137, 143-145, 151-153, 183-185,
191-193 B-4 75-77, 83-85,
B-5 139-141
B-6 147-149
B-7 163-165
B-8 167-169
B-9 171-173
B-10 187-189
B-11 195-197
C 17-19
D
69-71. 77-79, 85-87, 133-135,
141-143, 149-151, 181-183, 189-191
D-1 157-159
E 93-95, 97-99, 105-107, 109-111
F 95-97, 107-109, F-1 99-100, 111-113
Tabel di atas menunjukkan bahwa bentuk utama yaitu A, B, C, D, dan E
memiliki bentuk variannya masing-masing. Bentuk A memiliki variasi hingga 11
bentuk, B memiliki 11 variasi, D memiliki 1 variasi, dan F memiliki satu variasi.
Sedangkan C dan E tidak memiliki variasi. Pengulangan paling banyak pada
bentuk D yaitu sebanyak 8 kali, sedangkan pengulangan variasi terjadi pada
bentuk B-3 yaitu sebanyak 7 kali.
190
Berpedoman pada apa yang dikemukakan oleh Malm (197;28) dalam
bukunya Musik Culture of Pacific The Near East and Asia, bahwa ada lima (5)
bentuk melodi yang sering digunakan dalam satu komposisi lagu, yaitu:
1. Reventitive adalah bentuk lagu yang diulang-ulang
2. Reverting adalah bentuk lagu yang terjadi pengulangan pada frase pertama
seteah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi
3. Stropic adalah bentuk lagu yang pengulangan melodinya tetap sama tapi
melodi lagu baru
4. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan
materi melodi yang baru.
5. Iterative adalah bentuk yang memakai formula melodi kecil yang cenderung
terjadi pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.
Dikaitkan dengan pendapat di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa
bentuk melodi dari lagu Lancang Kuning dapat digolongkan ke dalam bentuk
Iterative yaitu memakai formula melodi kecil yang cenderung terjadi pengulangan
dalam keseluruhan nyanyian.
5.3.6 Interval
Interval adalah jarak antara antara satu nada ke nada lain, yang biasa juga
di sebut swarantara. Hal ini disebabkan jarak nada itu dihitung menurut susunan
oktaf, baik naik maupun turun, memiliki suara yang berlainan (Subagyo,
2004;33). Dalam menghitung interval, jarak yang harus dihitung adalah jarak
yang terjadi diantara satu nada dengan nada selanjutnya, tanpa melihat oktaf dari
191
nada tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena nada yang terdapat pada oktaf yang
lain dari satu, masih dianggap sama bunyinya, walupun tinggi nada yang dimiliki
berbeda. Jarak dari nada-nada tersebut memiliki nama-nama yang berbeda.
Manoff (1991:84) membuat pengukuran yang lebih akurat terhadap
interval dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Interval mayor dinaikkan setengah langkah, maka interval tersebut menjadi
augmented, dan jika diturunkan setengah langkah maka intervalnya minor.
2. Interval minor dinaikkan setengah langkah, maka interval itu akan menjadi
mayor. Sebaliknya bila diturunkan setengah langkah akan menjadi
diminished.
3. Interval berkualitas perfect dinaikkan setengah langkah, maka interval
tersebut menjadi augmented. Bila diturunkan setengah langkah akan menjadi
diminished13.
Berikut adalah perincian penggunaan interval yang terdapat pada lagu Ula-
ula lemben
1. Birama 9-10
Nada pertama adalah g yang dilanjutkan lagi dengan nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
7Interval mayor dan minor digunakan untuk mengidentifikasi interval yang berjarak
2,3,6,7 dan sedang interval perfect, augmented, diminished untuk interval berjarak 1,4,5,8 (Manoff, 1985:73).
192
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
2 langkah ke nada e dengan interval 4½ ( Sekta Mayor), kemudian melompat
turun 1 langkah ke nada d dengan interval 6 (Septime minor), kemudian melompat
naik ke nada e dengan interval 1 (Secunda Mayor), kemudian melompat ke nada
dengan interval ½ (Secunda minor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5
(Seprime minor), dan yang terakhir adalah melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni).
Secara keseluruhan, pada kedua birama ini terdapat 5 macam interval yaitu
Prime Murni, Secunda Mayor, Secunda minor, Sekta Mayor, Septime minor,
dengan perincian Prime Murni muncul sebanyak 7 kali, Sekunda Mayor muncul
sebanyak 1 kali, sekunda minor muncul sebanyak 1 kali, Sekta Mayor muncul
sebanyak 2 kali, dan Septime minor muncul sebanyak 1 kali. Dengan demikian
interval Prime Murni merupakan interval yang paling banyak muncul dengan
fekwensi 7 kali.
2. Birama 11 dan 12
Birama ini dimulai dengan nada c, yang apabila dilihat dari nada yang
terdapat pada birama ke 11 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni,
kemudian dilanjutkan dengan melompat turun 3 langkah ke nada G dengan
interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat naik 3 langkah ke nada c dengan interval 2½
193
(Kwart Murni), kemudian melompat turun 1 langkah ke nada B dengan interval
5½ (Septime Mayor), kemudian melompat naik 1 langkah ke nada c dengan
interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor) kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime
minor), kemudian melompat ke nada d dengan interval 1 (Secunda Mayor),
kemudian melompat naik 1 langkah ke nada e dengan interval 1 (Secunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat ke nada e dengan interval 1 (Secunda Mayor), kemudian
melompat naik 1 langkah ke nada f dengan interval ½ (Secunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor) kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan terdapat 7 macam interval yang digunakan pada
birama ini yaitu Prime Murni, Secunda Mayor, Secunda minor, Kwart Murni,
Kwint Murni, Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya
adalah Prime Murni digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda Mayor digunakan
sebanyak 4 kali, Secunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni
digunakan sebanyak 1 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime
Mayor digunakan sebanyak 2 kali, dan Septime minor digunakan sebanyak 4 kali.
Dengan demikian, interval Prime Murni, Secunda Mayor dan Septime minor
merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 4 kali.
194
3. Birama 13 dan 14
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama sebelumnya, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni), dan
dilanjutkan dengan melompat naik 4 langkah ke nada g dengan interval 3½
(Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat turun 2 langkah ke nada e dengan nilai 4½ Sekta Mayor, kemudian
melangkah ke nada e dengan nilai 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada
e dengan nilai 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada f dengan
interval ½ (Secunda minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval
5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime
minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Secunda Mayor), dan
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, interval yang digunakan berjumlah 6, yaitu Prime
Murni, Secunda Mayor, Kwint Murni, Sekta Mayor, Septime Mayor, dan Septime
195
minor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni digunakan sebanyak 11 kali,
Secunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Secunda minor digunakan sebanyak 1
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak 1
kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan
sebanyak 3 kali. Dengan demikian interval Prime Murni merupakan interval yang
paling banyak digunakan dengan frekwensi 11 kali.
4. Birama 15 dan 16
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 14, maka nada pada birama ini adalah melangkah dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah lagi ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melangkah lagi ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun 3 langkah ke nada G dengan interval 2½ (Kwart
Murni), kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat langkah ke nada c dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke
nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime
Murni), kemdian melompat ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
196
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor)
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), dan terakhir adalah melompat turun
ke nada c dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan birama ini menggunakan 7 interval yaitu Prime Murni,
Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septima Mayor,
dan Septime minor. Perincian jumlah penggunaan intervalnya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 8 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak kali, Sekunda
minor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali, Kwint
Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan
Septime minor digunakan sebanyak 4 kali. Dengan demikian, interval Prime
Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 8 kali.
5. Birama 17, 18, dan 19
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama sebelumnya, maka nada ini adalah melangkah dengan interval 0
(Prime Murni), yang dilanjutkan dengan melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni) kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint
Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
197
kemudian melompat naik ke nada B dengan interval 2 (Terts Mayor), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval
5 (Septime minor) kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat
turun ke nada B dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat naik
ke nada c dengan interval ½ ( Sekunda minor), kemudian melompat naik ke nada
d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), dan terakhir melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 8 interval, yaitu Prime
Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Terts Mayor, Kwat Murni, Kwint Murni,
Septime Mayor dan Septime minor. Perinciannya adalah Prime Murni digunakan
198
sebanyak 4 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda minor
digunakan sebanyak 1 kali, Terts Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni
digunakan sebanyak 2 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 3 kali, Septime
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan sebanyak 6 kali.
Dengan demikian, Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul
pada birama 17, 18, dan 19, dengan frekwensi 6 kali.
6. Birama 20 dan 21
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari nada terakhir
birama ke-19 yaitu nada d, intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni), dan diakhiri dengan melangkah ke anda c dengan interval 0 (Prime
Murni)
Secara keseluruhan, birama 20 dan 21 menggunakan 5 interval, yaitu
Prime Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Septime Mayor, dan Septime
minor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni digunakan sebanyak 3 kali,
199
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1
kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan
sebanyak 3 kali. Dengan demikian interval Prime Murni dan Septime minor
merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 3 kali.
7. Birama 69, 70, dan 71
Birama ini dimulai dengan nada G, dan apabila dilihat dari nada akhir
pada birama 21 yaitu nada d, maka intervalnya adalah 3½ (Kwint Murni),
kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat
naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat ke nada e
dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke nada c dengan interval
200
2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½
(Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart
Murni), dan terakhir melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor)
Secara keseluruhan, birama 69, 70, dan 71 ini memiliki 7 interval, yaitu
Prime Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwart Murni, Kwint Murni,
Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 5 kali,
Sekunda minor 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 3 kali, Kwint Murni
digunakan sebanyak 3 kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan
Septime minor sebanyak 4 kali. Dengan demikian, interval Sekunda Mayor
merupakan interval yang paling sering digunakan dengan frekwensi 5 kali.
8. Birama 72, 73, dan 74
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat nada akhir dari
birama ke 71 yaitu d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e
dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
201
Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime
minor), kemudiang melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 2 (Terts Mayor), dan diakhiri
dengan melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 interval yaitu Prime Murni,
Sekunda Mayor, Sekunda minor, Terts Mayor, Kwint Murni, Sekta Mayor,
Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 4 kali,
Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Terts Mayor digunakan sebanyak 1
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak 1
kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan
sebanyak 8 kali. Dengan demikian, Septime minor merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 8 kali.
202
9. Birama 75, 76, dan 77
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila melihat pada nada terakhir
di birama 74 yaitu nada d, maka intervalnya adalah 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni) kemudian
melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melangkah ke nada c
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c
dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan
interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval
203
2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 interval yaitu Prime Murni,
Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwart Murni, Kwint Murni, Sekta Mayor,
Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 3 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 5 kali,
Secunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime Mayor digunakan
sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan sebanyak 4 kali. Dengan demikian,
Sekunda Mayor merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi
5 kali.
10. Birama 78 dan 79
Birama ini dimulai dengan nada e. Apabila dilihat dari nada akhir pada
birama sebelumnya yaitu d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Septime Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval
204
5 (Septime Mayor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada G dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat
turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke
nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), dan kemudian melompat naik ke nada
d dengan interval 1 (Sekunda Mayor).
Secaa keseluruhan, birama ini menggunakan 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda Mayor, Sekunda Minor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda
minor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali, Kwint
Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan
Septime minor digunakan sebanyak 4 kali. Dengan demikian, interval Sekunda
Mayor dan Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul dengan
frekwensi 4 kali
11. Birama 80 dan 81
Birama ini dimulai dengan nada e, yang apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama ke 79 yaitu nada d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor).
Kemudian dilanjutkan dengan melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
205
Mayor), kemudian melompat nak ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada g
dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), dan kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 6 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwint Murni, Septime Mayor, dan
Septime minor. Rincian penggunaanya adalah Prime murni digunakan sebanyak 7
kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda minor digunakan
sebanyak 3 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime Mayor
digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor digunakan sebanyak 3 kali.
Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang paling sering
muncul dengan frekwensi 7 kali.
12. Birama 82 dan 83
206
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama ke 81 yaitu g, maka intervalnya adalah 4½ (Sekta Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval
5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat
turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwart Murni), kemudian melompat ke nada
c dengan interval 2½, dan kemudian melompat ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan birama ini menggunakan 8 interval, yaitu Prime
Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwart Murni, Kwint Murni, Sekta
Murni, Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah
Prime Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 3
kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan
sebanyak 2 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekta Mayor digunakan
sebanyak 1 kali, Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime minor
207
digunakan sebanyak 4 kali. Dengan demikian, interval Septime minor merupakan
interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 4 kali.
13. Birama 84, 85 dan 86
Birama ini dimulai dari nada e, dan apabila dilihat dari nada terakhir pada
birama 83, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke
nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada f
dengan interval ½ (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada e dengan
interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Septime Mayor), kemudian melompat
turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke
nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G
dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime Mayor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
208
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), dan kemudian
diakhiri dengan melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 8 macam interval yaitu
Prime Murni, Sekunda Mayor, Sekunda minor, Kwart Murni, Kwint Murni,
Septime Mayor, dan Septime minor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 7 kali,
Sekunda minor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime Mayor digunakan
sebanyak 2 kali, dan Septime Murni digunakan sebanyak 7 kali. Dengan
demikian, interval Sekunda Mayor merupakan interval yang paling sering muncul
dengan frekwensi 8 kali.
14. Birama 87, 88, dan 89
Birama ini dimulai dari nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir pada
birama 86 yaitu c, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni), kemudian melompat
turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada
G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½
209
(Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime Minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), dan diakhiri dengan
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 7 macam interval, yaitu
Prime Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 4 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak
4 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian Prime
Murni dan Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul dengan
frekwensi masing-masing 4 kali.
15. Birama 93 dan 94
210
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila melihat dari nada terakhir
pada birama 89 yaitu c, maka intervalnya adalah 2 (Terts Mayor), kemudian
melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts Minor), kemudian melangkah
ke nada g dengan interval 0 (Prime murni), kemudian turun ke nada fis dengan
interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval
½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada fis dengan interval 5½
(Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada fis dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda Minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
naik ke nada g dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke
nada f dengan interval 5 (Septime minor), dan kemudian melompat turun ke nada
e dengan interval 5½ (Septime Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 8 macam interval, yaitu
Prime Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Terts Mayor, Sekta
Mayor, Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah
Prime Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 2
kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Terts minor digunakan sebanyak
1 kali, Terts Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak
211
1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 4 kali. Dengan demikian, Septime Mayor merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 4 kali.
16. Birama 95 dan 96
Birama ini dimulai dengan nada d. Oleh karena nada terakhir pada birama
94 adalah e, maka intervalnya adalah 5 (Septime minor). Selanjutnya adalah
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada f dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e
dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 4 (Sekta
minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval 1½ (Terts minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), dan terakhir
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Sekta minor, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
212
digunakan sebanyak 3 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Terts minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekta
minor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan
Septime Mayor digunakan sebanyak 2 kali. Dengan demikian, Prime Murni dan
Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 3
kali.
17. Birama 97 dan 98
Birama ini dimulai dengan nada c. Oleh karena nada terakhir dari birama
96 adalah d, maka intervalnya adalah 5 (Septime minor). Selanjutnya adalah
melompat naik ke nada e dengan interval 2 (Terts Mayor), kemudian melompat
naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts Minor), kemudian melangkah ke nada g
dengan interval 0 (Prime murni), kemudian turun ke nada fis dengan interval 5½
(Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada fis dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat turun ke nada fis dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda Minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian melompat
naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat naik ke
nada g dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada f
213
dengan interval 5 (Septime minor), dan kemudian melompat turun ke nada e
dengan interval 5½ (Septime Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 8 macam interval, yaitu
Prime Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Terts Mayor, Sekta
Mayor, Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah
Prime Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 2
kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Terts minor digunakan sebanyak
1 kali, Terts Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak
1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 1 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 4 kali. Dengan demikian, Septime Mayor merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 4 kali.
18. Birama 99 dan 100
Birama ini dimulai dengan nada d. Oleh karena nada terakhir pada birama
98 adalah e, maka intervalnya adalah 5 (Septime minor). Selanjutnya adalah
melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada f dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e
dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 4 (Sekta
minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
214
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval 1½ (Terts minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), dan terakhir
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Sekta minor, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 3 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Terts minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekta
minor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan
Septime Mayor digunakan sebanyak 2 kali. Dengan demikian, Prime Murni dan
Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 3
kali.
19. Birama 101 dan 105
Nada pada birama 101 adalah c, dan apabila dilihat dari nada terakhir pada
birama 100 yaitu d, maka intervalnya adalah 5 (Septime minor). Kemudian
dilanjutkan ke birama 105 yaitu melompat naik ke nada e dengan interval 2 (Terts
Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts Minor),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime murni), kemudian turun
ke nada fis dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat naik ke
nada g dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada fis
dengan interval 5½ (Septime Mayor).
215
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 6 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Terts minor, Terts Mayor, Septime minor dan Septime
Mayor. Perinciannya adalah Prime Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
minor digunakan sebanyak 1 kali, Terts minor digunakan sebanyak 1 kali, Terts
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 1 kali, dan
Septime Mayor digunakan sebanyak 2 kali. Dengan demikian, interval Septime
Mayor merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 2 kali.
20. Birama 106 dan 107
Birama ini dimulai dengan nada g, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 105 yaitu fis, maka intervalnya adalah ½ (Sekunda minor).
Selanjutnya adalah melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada fis dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda Minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
naik ke nada g dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke
nada f dengan interval 5 (Septime minor), dan kemudian melompat turun ke nada
e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 5 (Septime minor). Selanjutnya adalah melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval
216
½ (Sekunda minor), kemudian melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 macam birama, yaitu Prime
murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Sekta Mayor, Septime minor, dan
Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni digunakan
sebanyak 3 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor
digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Septime
minor digunakan sebanyak 2 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 3 kali.
Dengan demikian, interval Prime Murni dan Septime Mayor merupakan interval
yang paling sering muncul dengan frekwensi masing-masing 3 kali.
21. Birama 108 dan 109
Birama ini dimulai dengan nada e. Oleh karena nada terakhir pada birama
107 adalah d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat
turun ke nada c dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melangkah ke nada c
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval
1½ (Terts minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½
(Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime
minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 2 (Terts Mayor),
217
kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts Minor), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime murni), kemudian turun ke nada fis
dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada g dengan
interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada fis dengan
interval 5½ (Septime Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 interval yaitu Prime Murni,
Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts Minor, Terts Mayor, Sekta minor, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Terts minor digunakan sebanyak 2 kali, Terts
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1 kali,
Septime minor digunakan sebanyak 2 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 3 kali. Dengan demikian, Septime Mayor merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 3 kali.
22. Birama 110 dan 111
Birama ini dimulai dengan nada g, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 109 yaitu fis, maka intervalnya adalah ½ (Sekunda minor).
Selanjutnya adalah melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada fis dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat naik ke nada g dengan interval ½ (Sekunda Minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian
218
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
naik ke nada g dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke
nada f dengan interval 5 (Septime minor), dan kemudian melompat turun ke nada
e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 5 (Septime minor). Selanjutnya adalah melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval
½ (Sekunda minor), kemudian melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melangkah ke nada f dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 macam birama, yaitu Prime
murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Sekta Mayor, Septime minor, dan
Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni digunakan
sebanyak 3 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor
digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Septime
minor digunakan sebanyak 2 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 3 kali.
Dengan demikian, interval Prime Murni dan Septime Mayor merupakan interval
yang paling sering muncul dengan frekwensi masing-masing 3 kali.
23. Birama 112 dan 113
219
Birama ini dimulai dengan nada e. Oleh karena nada terakhir pada birama
111 adalah d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat
turun ke nada c dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melangkah ke nada c
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval
1½ (Terts minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½
(Septime Mayor), dan terakhir melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), dan nada terakhir adalah melompat turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 6 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda Mayor, Terts minor, Sekta minor, Septime minor, dan Septime
Mayor, dengam perincian penggunaan adalah Prime Murni digunakan sebanyak 2
kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Terts minor digunakan sebanyak
1 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan
sebanyak 2 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian
interval Prime Murni, Sekunda Mayor, dan Septime minor merupakan interval
yang paling sering muncul dengan frekwensi masing-masing 2 kali.
24. Birama 133 dan 134
Birama ini dimulai dengan nada G, dan apabila diilhat dari nada terakhir
pada birama 113 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 3½ (Kwint Murni).
Selanjutnya adalah melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
220
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 4
kali.
221
25. Birama 135 dan 136
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 134 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangka naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada d
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian meklompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), dan
terakhir melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
222
digunakan sebanyak 5 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 4 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 4
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Pime Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 5
kali.
26. Birama 137 dan 138
Birama ini dimulai dengan nada c. Nada terakhir pada birama 136 adalah
c, dengan demikian interval yang terjadi adalah 0 (Prime Murni). Selanjutnya
adalah melompat naik ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4½ (Sekta Mayor), kemudian
melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada f
dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan
interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5
223
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini menggunakan 7 macam interval yaitu
Prime Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Sekta
Mayor, Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah
Prime Murni digunakan sebanyak 9 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1
kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan
sebanyak 1 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta Mayor digunakan
sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan Septime Mayor
digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan
interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 9 kali.
27. Birama 139 dan 140
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 138 yaitu c, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni), kemudian
dilanjutkan dengan melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G
dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
224
Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 5 kali, Sekunda Minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebnayak 1 kali. Dengan demikian, Prime
Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 5 kali.
28. Birama 141, 142 dan 143
Birama ini dimulai dengan nada G, dan apabila diilhat dari nada terakhir
pada birama 140 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 3½ (Kwint Murni).
Selanjutnya adalah melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
225
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangka naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
226
Prime Murni merupakan interval yang paling banyak muncul dengan frekwensi 5
kali.
29. Birama 144 dan 145
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari pengunaan nada
terakhir pada birama 143 yaitu nada d, maka interval yang terjadi adalah 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval
0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 2½ (Kwart
Murni), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), dan kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),.
227
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 7 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling banyak digunakan dengan frekwensi
7 kali.
30. Birama 146 dan 147
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada birama 145 yaitu nada g, maka interval yang terjadi adalah 4 (Sekta minor),
kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada
e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melangkah ke nada c denga interval 0 (Prime Murni), kemudian
228
melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian
melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada c
dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan
interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval
2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval, yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Sekta minor,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 5 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1
kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 5 kali.
31. Birama 148 dan 149
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila melihat dari nada terakhir
yang digunakan pada birama 147 yaitu d, maka interval yang terjadi adalah 1
(Sekunda Mayot). Selanjutnya adalah melangkah ke nada e dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½
(Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½
229
(Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime
minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwint Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada d
dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 6 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor, dengan perincian Prime Murni digunakan sebanyak 4
kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor digunakan
sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali, Kwint Murni digunakan
sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan Septime Mayor
digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, Prime Murni merupakan interval
yang paling sering muncul dengan frekwensi 4 kali.
32. Birama 150 dan 151
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila melihat pada nada terakhir
yang digunakan di birama 149 yaitu d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
230
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangka naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling banyak muncul dengan frekwensi 6
kali.
33. Birama 152, 153 dan 157
231
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari pengunaan nada
terakhir pada birama 151 yaitu nada d, maka interval yang terjadi adalah 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni). Selanjutnya adalah
melompat ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik
ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada
G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 4 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
232
Sekunda Mayor merupakan interval yang paling banyak muncul dengan frekwensi
4 kali.
34. Birama 158, 159 dan 160
Birama ini dimulai dengan nada e. Nada terakhir yang digunakan pada
birama sebelumny adalah d, dan dengan demikian interval yang dimiliki adalah 1
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 3½
(Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada e dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melompat naik ke nada g
dengan interval 1½ (Terts minor), kemudian melangkah ke nada g dengan interval
0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian
233
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), dan kemudian melomapt turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 macam interval, yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Kwint Murni, Sekta minor,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 7 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 2 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Terts minor digunakan sebanyak 1
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 2
kali, Septime minor digunakan sebanyak 6 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 2 kali. Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang
paling sering muncul dengan frekwensi 7 kali.
35. Birama 161, 162, dan 163
Birama ini dimulai dari nada c, dan apabila dilihat pada penggunaan nada
pada birama 160 yaitu c, maka intervalnya adalah 0, dilanjutkan dengan melompat
ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval
0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4 (Sekta
234
minor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts minor),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada e dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melompat naik ke nada f
dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan
interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan
interval 5 (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval
5 (Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan internal 5
(Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G
dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 9 macam interval, yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Kwart Murni, Kwint Murni,
Sekta minor, Septime minor, dan Septima Mayor. Perincian penggunaannya
adalah Prime Murni digunakan sebanyak 7 kali, Sekunda minor digunakan
sebanyak 1 kali, Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Ters minor
digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali, Kwint Murni
235
digunakan sebanyak 3 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 2 kali, Septime
minor digunakan sebanyak 3 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali.
Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang paling sering
muncul dengan frekwensi 7 kali.
36. Birama 164, 165, dan 166
Birama ini dimulai dari nada e, dan apabila melihat nada terakhir yang
digunakan pada birama 163 yaitu nada d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime Mayor),
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke
nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melompat
naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke
nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
236
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime Mayor), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 8 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Kwint Murni, Sekta minor,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 5 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 3 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Terts Mayor digunakan sebanyak 1
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1
kali, Septime minor digunakan sebanyak 6 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 2 kali. Dengan demikian, interval Septime minor merupakan interval
yang paling sering muncul dengan frekwensi 6 kali.
37. Birama 167, dan 168
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila melihat dari nada terakhir
yang digunakan pada birama 165 yaitu c, maka intervalnya adalah 5 (Septime
minor), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat
turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke
nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d
denga interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
237
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), dan kemudian melompat turun ke
nada c dengan interval 5 (Septime minor)
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 3 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 4
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Septime minor merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 4
kali.
38. Birama 169 dan 170
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila dilihat dari nada terakhir
yang digunakan pada birama 168 yaitu c, maka intervalnya adalah 0 (Prime
Murni), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni),
238
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4 (Sekta
minor), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1
(Sekunda Mayor), dan kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5
(Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwint Murni, Sekta minor, Septime
minor dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 9 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Sekta
minor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan
Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval Prime
Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 9 kali.
239
39. Birama 171, 172, dan 173
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila melihat nada terakhir yang
digunakan pada birama 170 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 0 (Prime
Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½
(Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat
turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun
ke nada d denga interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c
denga interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval
0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
240
minor dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 8 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 8
kali.
Birama 181, 182, dan 183
Birama ini dimulai dengan nada G, dan apabila diilhat dari nada terakhir
pada birama 140 yaitu nada c, maka intervalnya adalah 3½ (Kwint Murni).
Selanjutnya adalah melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
241
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime
Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangka naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada G
dengan interval 2½ (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan
interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½
(Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor).
Secara keseluruhan, birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 3 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 4 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling banyak muncul dengan frekwensi 5
kali.
242
40. Birama 184 dan 185
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari pengunaan nada
terakhir pada birama 183 yaitu nada d, maka interval yang terjadi adalah 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5
(Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor),
kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor),
kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melangkah ke nada g
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan interval
0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4 (Sekta
minor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts minor),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), dan kemudian melangkah
ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 8 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Kwint Murni, Sekta minor,
243
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Terts minor digunakan sebanyak 1
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1
kali, Septime minor digunakan sebanyak 3 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang
paling banyak digunakan dengan frekwensi 6 kali.
41. Birama 186 dan 187
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila dilihat dari nada terakhir
pada yang digunakan pada birama 185 yaitu g, maka intervalnya adalah 4 (Sekta
minor), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada
c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
244
(Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 8 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Sekta minor,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 6 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 2 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2
kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1
kali, Septime minor digunakan sebanyak 2 kali, dan Septime Mayor digunakan
sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval Prime Murni merupakan interval yang
paling banyak digunakan dengan frekwensi 6 kali.
42. Birama 188, 189 dan 190
Birama ini dimulai dengan nada e, dan apabila melihat nada terakhir yang
digunakan pada birama 187 yaitu d, maka intervalnya adalah 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian
melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian
melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada d
245
dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint
Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melangkah ke nada d dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada
d dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1
(Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian
melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 4 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 2 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 4 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 6
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 2 kali. Dengan demikian, interval
246
Septime minor merupakan interval yang paling banyak digunakan dengan
frekwensi 6 kali.
43. Birama 191 dan 192
Birama ini dimulai dengan nada c, dan apabila melihat pada nada terakhir
yang digunakan pada birama 190 yaitu c, maka intervalnya adalah 0 (Prime
Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangka naik
ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melangkah ke nada d
dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada e dengan
interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat naik ke nada f dengan interval
½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½
(Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime
minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni).
247
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 7 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 1 kali,
Kwint Murni digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak 2
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 7
kali.
44. Birama 193 dan 194
Birama ini dimulai dengan nada c. Nada terakhir yang digunakan pada
birama 192 adalah c, dan dengan demikian intervalnya adalah 0 (Prime Murni).
Selanjutnya melompat naik ke nada g dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada g dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 4
(Sekta minor), kemudian melompat naik ke nada g dengan interval 1½ (Terts
minor), kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni),
kemudian melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada g dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun
248
ke nada e dengan interval 4 (Sekta minor), kemudian melangkah ke nada e dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat ke nada f dengan interval ½ (Sekunda
minor), kemudian melompat turun ke nada e dengan interval 5½ (Septime
Mayor), kemudian melompat turun ke nada d dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat ke
nada d dengan interval 1 (Sekunda Mayor), kemudian melompat turun ke nada c
dengan interval 5 (Septime minor).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Kwint Murni, Sekta minor,
Septime minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime
Murni digunakan sebanyak 10 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali,
Sekunda Mayor digunakan sebanyak 1 kali, Kwint Murni digunakan sebanyak 1
kali, Sekta minor digunakan sebanyak 1 kali, Septime minor digunakan sebanyak
3 kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling sering muncul dengan frekwensi 10
kali.
45. Birama 195, 196, dan 197
Nada awal pada birama ini adalah c, dan apabila melihat pada nada akhir
yang digunakan di birama 194 yaitu c, maka intervalnya adalah 0 (Prime Murni),
249
kemudian melompat turun ke nada G dengan interval 3½ (Kwint Murni),
kemudian melangkah ke nada G dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melompat naik ke nada c dengan interval 2½ (Kwart Murni), kemudian
melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke
nada c dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melangkah ke nada c dengan
interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat turun ke nada G dengan interval
3½ (Kwint Murni), kemudian melompat naik ke nada c dengan interval 2½
(Kwart Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat naik ke nada e dengan interval 1 (Sekunda Mayor),
kemudian melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian
melangkah ke nada e dengan interval 0 (Prime Murni), kemudian melompat naik
ke nada f dengan interval ½ (Sekunda minor), kemudian melompat turun ke nada
e dengan interval 5½ (Septime Mayor), kemudian melompat turun ke nada d
dengan interval 5 (Septime minor), kemudian melompat turun ke nada c dengan
interval 5 (Septime minor), kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0
(Prime Murni), kemudian melompat naik ke nada d dengan interval 1 (Sekunda
Mayor), kemudian melompat turun ke nada c dengan interval 5 (Septime minor),
kemudian melangkah ke nada c dengan interval 0 (Prime Murni).
Secara keseluruhan birama ini memiliki 7 macam interval yaitu Prime
Murni, Sekunda minor, Sekunda Mayor, Kwart Murni, Kwint Murni, Septime
minor, dan Septime Mayor. Perincian penggunaannya adalah Prime Murni
digunakan sebanyak 9 kali, Sekunda minor digunakan sebanyak 1 kali, Sekunda
Mayor digunakan sebanyak 3 kali, Kwart Murni digunakan sebanyak 2 kali,
250
Kwint Murni digunakan sebanyak 2 kali, Septime minor digunakan sebanyak 3
kali, dan Septime Mayor digunakan sebanyak 1 kali. Dengan demikian, interval
Prime Murni merupakan interval yang paling banyak digunakan dengan frekwensi
10 kali.
Rincian interval yang terdapat pada lagu Ula-ula lemben di atas,
mengungkapkan bahwa interval yang terdapat pada lagu ini adalah Prime Murni,
Sekunda minor, Sekunda Mayor, Terts minor, Terts Mayor, Kwart Murni, Kwint
Murni, Sekta minor, Sekta Mayor, Septime minor, dan Septime Mayor.
Sedangkah jumlah dari interval yang digunakan, dapat dilihat hasilnya pada tabel
berikut ini:
Tabel 5.3: Nama interval dan jumlah pemakaiannya
No Nama Interval Jumlah Pemakaian
1 Prime Murni 419 2 Sekunda minor 57 3 Sekunda Mayor 115 4 Terts minor 9 5 Terts Mayor 7 6 Kwart Murni 46 7 Kwint Murni 53 8 Sekta minor 14 9 Sekta Mayor 11
10 Septime minor 149 11 Septime Mayor 61
Hasil penjumlahan interval di atas menunjukkan bahwa penggunaan
interval pada lagu Ula-ula lemben ini didominasi oleh Prime Murni dengan
251
frekwensi 419 kali. Hal ini menunjukkan bahwa nada yang digunakan banyak
menggunakan nada dengan letak yang sama pada tiap biramanya. Sedangkan
interval yang paling sedikit muncul adalah Terts Mayor dengan frekwensi hanya 7
kali.
5.3.7 Kontur
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Malm (1964:8), kantur adalah
garis melodi dari sebuah lagu. Kantur merupakan pendeskripsian garis alur melodi
yang disajikan dalam dua bidang garis tegak lurus. Secara umum, pola kantur
dapat dibedakan menjadi 7 macam, yaitu :
1. Ascending, adalah garis melodi yang bentuknya naik
2. Descending, adalah garis melodi yang bentuknya turun dari yang tinggi ke
yang rendah
3. Pendulous, adalah garis melodi yang bentuknya melengkung
4. Conjunct, adalah garis melodi yang bentuknya melompat dari satu nada ke
nada yang lainnya secara melangkah
5. Disjunct, yaitu garis melodi yang bentuknya melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dengan menggunakan interval di atas sekunder
6. Terraced, adalah garis melodi yang bentuknya sejajar dari nada yang rendah
ke nada yang tinggi, membentuk seperti anak tangga
7. Statis, adalah garis melodi yang bentuknya tetap yaitu bergerak dalam ruang
lingkup yang terbatas
252
Apabila diperhatikan, sesuai dengan pendapat di atas maka lagu Ula-ula
lemben ini memiliki kecenderungan bentuk Pendulous, dan untuk lebih jelasnya
lihat pada contoh di bawah ini:
Contoh Pendulous
5.3.8 Pola-pola Kadensa
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni sebagai penutup pada akhir
melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi tersebut
atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut. Menurut Rodijat (1989;10)
kadensa memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah penutup bagian akhir
komposisi, berdasarkan akord-akord utama yang menegaskan pertangga nada-an,
sedangkan pengertian yang kedua adalah dereten nada berupa kiasan bebas,
sebagai persiapan akhir komposisi.
Adapun pola-pola kadensa dari lagu Ula-ula lemben seperti yang terlihat
di bawah ini
a. Pola kadensa 1
253
b. Pola kadensa 2
c. Pola kadensa 3
d. Pola kadensa 4
e. Pola kadensa 5
5.3.9 Gaya Lagu
Dari segi penyajiannya, musik vokal pada umumnya memiliki dua gaya
yaitu melismatis dan silabis (Malm, 1977;9). Melismatis adalah gaya yang dalam
penyajiannya menggunakan satu suku kata untuk beberapa nada, sedangkan gaya
silabis adalah gaya yang dalam penyajiannya menggunakan satu suku kata untuk
satu nada. Gaya ini bisa timbul karena adanya hubungan musik (nada) dengan
teks.
Dari pendapat di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa lagu Ula-ula
lemben ini memiliki kecenderungan gaya silabis, yaitu satu suku kata untuk satu
nada, dengan contoh seperti yang terlihat di bawah ini.
254
5.4 Rentak Yang Digunakan Untuk Pengiring Tari dan Lagu
Musik pengiring dari tari Ula-ula Lemben ini menggunakan 2 pola ritem
yang terdapat pada tradisi musik Melayu, yang biasa disebut dengan istilah rentak,
Rentak adalah satu pola ritem yang terdapat pada musik Melayu, yang
menandakan irama dan seberapa cepat (tempo) suatu lagu atau tari disajikan.
Menurut Fadlin (1988) pada tradisi musik Melayu terdapat 3 macam
rentak yang biasa dimainkan, yaitu rentak senandung, dengan metrik 4/4, dalam
satu siklus terdapat delapan ketukan, biasanya dengan irama lambat dan lagu
bersifat sedih, rentak mak inang dengan metrik 2/4, tempo lagu sedang, biasanya
lagu bertemakan kasih sayang atau persahabatan, dan rentak lagu dua dengan
metrik 6/8, sifatnya riang dan gembira, bersifat joget, dan tempo agak cepat. Pada
umumnya tempo yang terakhir ini sangat digemari orang Melayu.
Sedangkan wenurut Daryudi (dalam Rastuti, 2008: 198) rentak bisa dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Rentak Langgam, metrik 4/4 dengan kecepatan Andante, contoh lagu Makan
Sirih, Kuala Deli, Patah Hati
255
b. Rentak Inang, metrik 4/4 dengan kecepatan Moderato, sejenis Rumba, contoh
lagu Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Lenggang, Mak Inang Selendang.
Seperti diketahui bahwa Inangdalam kerajaan berarti Dayang-dayang
c. Rentak Joget, metrik 2/4, jadi cepat seperti Allegro. Contoh lagu Tanjung
Katung, Selayang Pandang
d. Rentak Zapin, metrik 6/8, dengan kecepatan Moderato. Istilah Zapin diambil
dari bahasa Arab yang berarti derap kaki, disini petikan gambus sangat
menonjol. Contoh lagu Zapin Sri Gading, Zapin Sayang Serawak
Dikaitkan dengan penyajian tari Ula-ula Lemben pada etnik Tamiang di
Aceh, maka rentak yang digunakan untuk mengiringi lagu ada 2 yaitu rentak mak
inang, adalah satu pola irama yang memiliki metrik 2/4 dan dengan tempo lagu
yang sedang (80), dan juga patam-patam yang pada penyajian tari Ula-ula
Lemben ini, menggunakan metrik 2/4, namun tempo yang lebih cepat yaitu 140.
Dengan kata lain, rentak patam-patam yang disajikan pada tarian ini merupakan
tempo musik yang dicepatkan, dengan pola ritem yang sama.
Berikut akan disajikan pola ritem dari rentak mak inang dengan
menggunakan notasi
Gambar 5.1 : Ilustrasi pola ritem dasar rentak mak inang
256
Ilustrasi pola ritem di atas menggunakan not dengan nilai ¼, yang disusun
dan dimainkan dengan teknik sincopasi (berulang-ulang), dengan arti rentak
tersebut dimainkan dengan pola yang sama dari awal hingga akhir lagu. Namun
dalam penyajian tari Ula-ula Lemben terdapat satu variasi ritem yang dimainkan
pada rentak patam-patam. Berikut akan disajikan polar item pada rentak patam-
patam dan juga variasi dari polar item pada pengiring lagu selanjutnya.
Gambar 5.2: Ilustrasi pola ritem variasi dari rentak mak inang dan juga menjadi rentak patam-patam
Pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa ritem dasar yang digunakan tetap
menggunakan not ¼, namun mendapatkan variasi not 1/8 pada ketukan ritem yang
ketiga. Pola seperti ini pun dimainkan secara sinkopasi (berulang-ulang).
Demikian pembahasan tentang struktur musik dan lagu pengiring dari
panyajian tari Ula-ula Lemben pada tradisi musik etnik Tamiang di Provinsi
Aceh. Apa yang penulis sajikan dalam pembahasan ini diambil dari satu sampel
yang telah penulis tetapkan sebelumnya, sehingga apabila terdapat kelainan
struktur musik maupun pola ritem pada penyajian oleh kelompok atau sanggar
yang lain, itu semua semata-mata merupakan bentuk variasi yang akan
memperkaya musik Melayu pada etnik Tamiang.
257
BAB VI
ANALISIS PENGGUNAAN DAN FUNGSI
SENI ULA-ULA LEMBEN
Dari penyajian yang dilakukan, serta konteksnya di dalam kebudayaan
suku Tamiang di Aceh, peneliti melihat beberapa kegunaan dan fungsi dari
pertunjukan tari yang dilakukan dan juga tari sebagai kebudayaan. Untuk
menjelaskan kegunaan dan fungsi dari tari Ula-ula Lemben ini, maka penulis
menggunakan teori yang dikemukakan Anthony V. Shay membagi tari dalam 6
(enam) fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana
ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau
hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi
nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari
kegiatan ekonomi. Selain itu digunakan terori yang dikemukakan oleh Soedarsono
(2002) yang mana menurut beliau fungsi seni pertunjukan bisa dibagi ke dalam
dua kelompok utama, yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer dari
pertunjukan ada 3 (tiga), yaitu : (1) sebagai sarana ritual, yang mana penikmatnya
adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, (2) sebagai sarana hiburan, yang
penikmatnya adalah orang-orang yang menggemari musik yang dimaksud, dan (3)
adalah sebagai presentasi estetis yang pertunjukannya harus dipresentasikan atau
disajikan kepada penonton. Sedangkan fungsi sekundernya adalah fungsi-fungsi
elain ketiga fungsi tersebut di atas. Namun untuk lebih memperdalam pembahasan
pada bab ini, maka penulis juga menggunakan teori uses and function dikemukakan
258
oleh Merriam (1964:223). Nantinya, ketiga teori tersebut akan penulis
kombinasikan, sehingga diharapkan akan dapat memperjelas kegunaan dan fungsi
dari seni Ula-ula Lemben ini.
6.1 Penggunaan
Berdasarkan teori penggunaan dan fungsi serta pengalaman dalam
mengkaji kesenian ini, maka penulis menemukan beberapa kegunaan dari tari Ula-
ula Lemben tersebut. Di antaranya adalah seperti uraian berikut.
6.1.1 Memeriahkan suatu acara atau kegiatan
Tari Ula-ula Lemben yang disajikan pada acara-acara seperti pesta
perkawinan, penyambutan tamu, dan acara-acara lainnya, menjadi sesuatu yang
bisa memeriahkan atau meramaikan acara tersebut. Hal ini bisa diketahui apabila
suatu acara atau kegiatan tidak memunculkan tari ini, maka acara atau kegiatan
yang dilakukan tersebut akan terkesan tidak ramai. Dengan demikian, penyajian
Ula-ula Lemben akan menambah kesemarakan dari acara atau kegiatan yang
dilakukan oleh pihak tertentu.
6.1.2 Menyambut tamu atau undangan
Tarian ini merupakan tarian yang digunakan untuk menyambut para tamu
yang dianggap terhormat pada beberapa acara atau kegiatan, dan menyambut tamu
atau para undangan pada acara pesta perkawinan dan pesta lainnya. Penyajian tari
ini merupakan bentuk penghormatan kepada tamu dan para undangan yang
259
datang, yang tujuannya adalah memberikan penghargan kepada mereka yang telah
berkenan hadir pada acara atau kegiatan yang dilakukan. Bahkan dalam beberapa
kesempatan, tarian ini dilakukan khusus untuk menyambut pejabat-pejabat daerah
maupun pusat yang datang, sehingga para tamu yang telah datang akan merasakan
kearifan dari budaya setempat dalam menghargai tamu.
6.1.3 Sebagai sarana untuk penyaluran bakat
Orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan tari Ula-ula Lemben
tentunya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan khusus, seperti
memainkan alat musik, menyanyi, menari, koreografer, penata rias, penata
busana, penata sound dan managemen pertunjukan itu sendiri. Seperti pada
umumnya pelaku pertunjukan seni, pelaku pertunjukan tari ini juga merupakan
orang pilihan yang dianggap mampu melakukan tugas yang sesuai dengan
bakatnya masing-masing, sehingga pertunjukan yang dilakukan bisa terlaksana
dengan baik dan sukses. Masing-masing bakat tersebut menjadi dasar bagi
seorang pemilik sanggar seni untuk menempatkan orang-orang yang tepat untuk
pelaksanaan pertunjukan tersebut.
Bakat-bakat yang dimiliki, tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan
terhadap pertunjukan yang akan dilaksanakan nantinya. Orang yang memiliki
bakat menari tentunya akan diajarkan tari, yang memiliki bakat bermain musik
akan memainkan alat musik, yang memiliki bakat menyanyi tentunya akan
menjadi penyanyi. Demikian juga dengan orang yang menjadi memiliki bakat
koreografer atau pelatih tari, memiliki bakat menjadi penata rias, yang memiliki
260
bakat menjadi penata busana, dan juga memiliki bakat menjadi pemimpin
kelompok dan juga memanajemeni pertunjukan. Semua itu mereka lakukan sesuai
dengan bakatnya masing-masing.
6.1.4 Sebagai sarana untuk mempresentasikan rasa keindahan
Selain sebagai penyaluran bakat, pertunjukan ini juga menjadi tempat untuk
menunjukkan rasa keindahan yang dimiliki oleh penyaji. Para penyaji akan
berusaha melakukan penampilan yang sebaik-baiknya, sebagai wujud dari rasa
keindahannya tersebut, dengan harapan para penonton dapat menikmati apa-apa
yang mereka sajikan. Secara ekonomi, mungkin mereka akan mendapatkan
bayaran yang sesuai dengan perjanjian, tetapi dilihat dari sisi seninya, maka
mereka merupakan pelaku seni yang kemungkinan hanya mengharapkan
penghargaan dan aplaus atau sambutan dari penonton yang menyaksikan,
sehingga akan merasa puas dengan yang dilakukan oleh penonton dan penikmat
seni yang hadir. Keberadaan mereka dianggap mampu untuk menyajikan
keindahan dari pertunjukan yang diminta, dan oleh karena itu ekspresi keindahan
tersebut mereka wujudkan dengan melakukan pertunjukan sebaik-baiknya.
6.1.5 Sebagai sarana untuk belajar seni
Pertunjukan tari Ula-ula Lemben juga menjadi sarana untuk belajar seni
bagi masyarakat Tamiang sendiri, khususnya pelaku pertunjukan tersebut. Bagi
masyarakat Tamiang, mereka belajar untuk memahami dan mendalami tentang
gerakan-gerakan tari dan teks nyanyian yang disajikan oleh penyaji. Di dalam
261
gerakan yang dilakukan, tentunya terdapat banyak makna yang berkaitan dengan
munculnya masyarakat Tamiang dan keberadaan mereka pada masa lampau. Dari
situ akan dipelajari filosofi yang bisa difahami sebagai kearifan lokal yang
menjadi milik masyarakat Tamiang tersebut.
Selain dari gerakan, teks lagu juga menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan keberadaan masyarakat Tamiang. Dari syair yang dinyanyikan,
masyarakat dapat mempelajari beberapa filosofi yang juga memiliki nilai-nilai
kearifan lokal, sehingga dapat menanamkan hal-hal baik yang menjadi adat
istiadat dari suku Tamiang.
Sedangkan bagi para penyaji, pertunjukan tersebut menjadi sarana untuk
belajar tentang banyak hal, seperti menari, menyanyi, memainkan alat musik,
kedisiplinan, ekonomi dan managemen pertunjukan. Selain itu, mereka juga
belajar untuk menghargai budaya yang mereka miliki, adat istiadat, dan juga
menghargai orang lain, yang dalam hal ini mungkin saja adalah penonton atau
para pejabat atau tetua kampung yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan
tersebut. Dengan demikian, para penyaji akan memiliki akhlak dan budi pekerti
yang sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Tamiang.
6.2 Fungsi
Soedarsono dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan di Era
Globalisasi (2002), membagi fungsi seni pertunjukan ke dalam dua kelompok
utama, yaitu fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer dari pertunjukan ada 3
(tiga), yaitu: 1) sebagai sarana ritual, yang mana penikmatnya adalah kekuatan-
262
kekuatan yang tak kasat mata, 2) sebagai sarana hiburan, yang penikmatnya
adalah orang-orang yang menggemari musik yang dimaksud, dan 3) adalah
sebagai presentasi estetis yang pertunjukannya harus dipresentasikan atau
disajikan kepada penonton. Selain itu masih ada fungsi sekunder yang bisa
ditemukan yaitu fungsi sosial, fungsi pendidikan, dan fungsi ekonomi. Dalam hal
ini, nantinya penulis juga akan mengkaitkan fungsi pertunjukan tari ini dengan
fungsi musik yang dikemukakan oleh Merriam (1964:114-127). Dengan demikian
beberapa fungsi yang terdapat pada pertunjukan tari Ula-ula Lemben adalah
sebagai berikut.
6.2.1 Fungsi hiburan
Pada dasarnya, pertunjukan ini merupakan suatu hiburan, yang bisa
dirasakan oleh penyaji dan orang yang menyaksikannya. Dalam hal ini, tarian
dipertunjukkan untuk memberikan rasa keindahan dan kesenangan kepada orang
yang menyaksikannya, sehingga sekaligus akan dapat menghibur mereka. Dengan
begitu semua yang menyaksikan dapat merasakan kesenangan.
Dikaitkan dengan konsep hiburan, Merriam (1964:123) mengatakan bahwa
menurutnya perlu ditunjukkan perbedaan yang mungkin harus ditegaskan antara
hiburan yang bersifat "murni", yang merupakan tujuan utama dari musik tertentu
pada budaya masyarakat Barat, dan hiburan yang juga dikombinasikan dengan
fungsi-fungsi lainnya. Musik hiburan merupakan musik yang bertujuan utama
untuk memberikan rasa keindahan yang bisa dinikmati dan dirasakan langsung
oleh penonton dan penikmat seni, sehingga setelah mereka menyaksikan
263
pertunjukan tersebut akan merasa terhibur, yang diwujudkan dengan sikap
gembira atau senang. Jadi pada intinya musik hiburan akan menjadi hiburan murni
apabila penonton atau penikmat seni dapat menikmati dan merasakan langsung
seni yang dipertunjukkan, dan memunculkan rasa senang dalam hatinya.
Dikaitkan dengan pendapat di atas, penyajian tari Ula-ula Lemben ini juga
memiliki fungsi hiburan. berfungsi sebagai hiburan juga memiliki fungsi lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan pertunjukan tersebut. Dengan begitu, tari ini tidak
lagi berfungsi sebagai hiburan murni bagi masyarakat Tamiang.
6.2.2 Fungsi memberikan sumbangan untuk kebertahanan dan kesinam-
bungan kebudayaan
Kehadiran tari Ula-ula Lemben pada berbagai acara dan kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat Tamiang, telah turut memberikan sumbangan untuk
kesinambungan dan kebertahanan suatu kebudayaan, yang dalam hal ini adalah
budaya keseneian dalam bentuk tari dan musik. Dengan munculnya kesenian
untuk acara-acara dan kegiatan tertentu, secara langsung dan tidak langsung
masyarakat dan anggota masyarakat Tamiang yang menjadi pelaksana kegiatan
tersebut telah mempertahankan kebudayaan yang mereka miliki secara terus-
menerus, sehingga kesenian tari Ula-ula Lemben ini tetap ada dalam kehidupan
mereka. Oleh karena itu, kebudayaan tersebut terus berkesinambungan
keberadaannya dan masih akan tetap bertahan selama pertunjukan tari tersebut
masih terus dilakukan.
264
6.2.3 Fungsi Simbol keberadaan masyarakat
Tari Ula-ula Lemben merupakan satu kesenian khas yang hanya dimiliki
oleh masyarakat Tamiang di kabupaten Aceh Tamiang, provinsi Aceh. Dikatakan
khas, karena kesenian ini memiliki ciri-ciri gerak dan musik yang berbeda dengan
kesenian suku-suku lainnya yang ada di Aceh, Sumatera Utara, ataupun suku-suku
lainnya yang ada di Indonesia, dengan kata lain ciri khas tersebut menjadi
identitas budaya dan juga pembeda antara tarian di Tamiang dengan tarian dari
suku-suku lainnya.
Dengan adanya perbedaan tersebut, masyarakat atau suku lain yang
melihat pertunjukan tari Ula-ula Lemben tersebut, tentunya akan mengetahui
bahwa tarian tersebut merupakan milik masyarakat Tamiang, yang artinya tarian
tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pemilik atau pendukungnya juga masih
ada. Oleh karena itu, tarian ini menjadi symbol ataupun identitas bagi keberadaan
masyarakat Tamiang itu sendiri.
6.2.4 Fungsi komunikasi
Tari Ula-ula Lemben ini juga berfungsi sebagai komunikasi. Pada
dasarnya, kemunculan tarian ini merupakan penyambut untuk datangnya para
tamu yang diundang oleh pihak penyelenggara pertunjukan. Pada gerakan-gerakan
yang dimunculkan pada tarian tersebut, terdapat gerakan-gerakan yang merupakan
penghormatan terhadap para tamu dan undangan yang datang tersebut. Gerakan
tersebut menjadi simbol bagi tuan rumah atau ahli bait yang menyelenggarakan
pertunjukan tersebut, bahwa mereka benar-benar menghargai para tamu dan
265
undangan yang datang tersebut. Hal ini dilakukan, oleh karena pihak tuan rumah
atau panitia penyelenggara pertunjukan merasa sambutan yang mereka berikan
kurang memadai, sehingga dengan adanya gerakan-gerakan tari yang menyembah
dan menyambut tamu, bisa menjadi wakil terhadap penyambutan mereka. Pihak
tamu atau undangan pun akan memaklumi sambutan yang sudah dimunculkan
dengan gerakan tersebut, dan oleh karena itu mereka akan memahami bahwa
gerakan yang dimunculkan tadi merupakan komunikasi untuk memohon maaf dan
menghormati mereka.
6.2.5 Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi juga terdapat dari pelaksanaan pertunjukan tari Ula-ula
Lemben ini. Fungsi ekonomi yang terjadi adalah berbentuk pendapatan yang
berkaitan dengan gaji atau honor dari pelaku pertunjukan, pemilik sanggar yang
juga sebagai manajernya, penggunaan peralatan dan juga perlengkapan pada
pelaksanaan pertunjukan tari.
Pada umumnya, setiap penyelenggara pertunjukan baik itu acara pesta
ataupun kegiatan resmi, akan terlebih dahulu menghubungi pihak pemilik sanggar
yang mampu melaksanakan atau mempertunjukkan tari Ula-ula Lemben.
Tentunya, pihak pemilik sanggar tari akan memberitahukan nilai atau harga yang
sudah ditentukan kepada pihak penyelenggara untuk menampilkan tari tersebut,
dikarenakan pemilik sanggar akan membayar honor dari para anggotanya seperti
pemain musik, penari, penyanyi, dan juga perlengkapan yang digunakan seperti
kostum, dan juga peralatan yang juga mungkin digunakan seperti sound system,
266
alat musik, transportasi dan akomodasi mereka selama pertunjukan. Belum lagi
honor untuk pelatih tari dan pemilik sanggar. Semua ini tentunya berkaitan
dengan ekonomi dari pemilik sanggar dan para anggota sanggar tersebut.
Selain itu, fungsi ekonomi yang terjadi adalah pada saat pertunjukan tari
tersebut berlangsung di suatu tempat. Bentuk fungsi ekonomi tersebut adalah
adanya penjual makanan atau mainan, dan juga penjaga parkir di sekitar lokasi
pertunjukan, yang tentunya juga mengharapkan akan mendapatkan uang pada
pelaksanaan pertunjukan tersebut. Dengan begitu, pertunjukan yang terlaksana
memberikan dampak ekonomi bagi orang lain yang bukan angota dari sanggar tari
yang menyajikan tari Ula-ula Lemben.
6.2.6 Fungsi memberikan sumbangan untuk penyatuan masyarakat
Pelaksanaan pertunjukan tari Ula-ula Lemben ini, juga turut memberikan
sumbangan terhadap penyatuan masyarakat. Pada saat pertunjukan berlangsung,
terutama pada kegiatan yang bersifat resmi atau massal, pada umumnya banyak
penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut. Para penonton tersebut bukan
hanya berasal dari suku Tamiang sendiri, tetapi juga suku-suku lain yang ada di
sekitar tempat pertunjukan berlangsung. Mereka bersama-sama menyaksikan
pertunjukan tersebut, tanpa membedakan etnik atau suku mereka, dengan kata lain
mereka berintegrasi dan bercampur untuk menyaksikan pertunjukan yang
disajikan. Mereka tidak lagi mempermasalahkan dari suku apa mereka berasal,
sehingga menciptakan adanya penyatuan pemikiran, yaitu sebagai penonton atau
penikmat kesesenian. Hal ini terwujud pada setiap pelaksanaan pertunjukan Ula-
267
ula Lemben ini, baik di acara pesta maupun pada kegiatan lainnya dengan skala
yang lebih besar. Dengan demikian, pertunjukan Ula-ula Lemben ini juga
memberikan sumbangan untuk penyatuan masyarakat.
268
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Dari kerja analisis seperti yang telah dipaparkan mulai dari Bab I sampai
Bab VI di atas, selanjutnya peneeliti menarik kesimpulan dari penelitian ini, yang
berfokus kepada tiga pokok masalah, yakni: (a) struktur tari; (b) struktur musik
(teks dan melodi), dan (c) guna dan fungsi Ula-ula Lemben dalam konteks
kebudayan suku Tamiang di Aceh. Namun sebelumnya disimpulkan tentang
pertunjukan tarian ini.
Pertunjukan tari Ula-ula lemben umumnya ditampilkan pada kegiatan
seperti pesta pernikahan dan kegiatan lain, yang bertujuan untuk menyambut
tamu-tamu ataupun undangan yang datang
a. Pertunjukan tari dilakukan dengan menyajikan gabungan antara musik, tari,
dan gerakan silat. Musik yang disajikan dalam bentuk vocal yaitu lagu Ula-
ula lemben dan musik instrumen sebagai pengiring lagu dan gerak, yang
terdiri dari biola (alat musik melodis), dan Gendang (alat musik ritmis).
Sedangkan tarinya adalah tari Ula-ula lemben.
b. Tari Ula-ula lemben disajikan dengan jumlah penari yang selalu genap,
minimal 4 orang dan berpasangan, yang ditandai dengan warna kostum yang
berbeda untuk setiap pasangan.
269
c. Penyajian tari Ula-ula lemben memiliki guna dan fungsi. Kegunaannya antara
lain, memeriahkan suatu acara atau kegiatan, menyambut tamu atau
undangan, sebagai sarana untuk penyaluran bakat, sebagai sarana untuk
mempresentasikan rasa keindahan, sebagai sarana untuk belajar. Sedangkan
fungsinya adalah sebagau hiburan, memberikan sumbangan untuk
kebertahanan dan kesinambungan kebudayaan, sebagai simbol keberadaan
masyarakat, komunikasi, ekonomi, dan memberikan sumbangan untuk
penyatuan masyarakat.
d. Lagu yang disajikan lebih mengutamakan isi atau pesan yang disampaikan,
daripada melodinya. Hal ini terlihat dengan banyaknya pola melodi yang
berulang-ulang dengan teks yang berbeda.
Seterusnya kesimpulan tiga pokok permasalahan. Untuk mengkaji ketiga
aspek tersebut penulis menggunakan metode penelitian lapangan yang bertindak
sebagai pengamat partisipan, dengan melakukan wawancara, perekaman data
dalam bentuk audiovisual, dan analisis data. Penelitian ini juga menggunakan
metode kualitatif dengan memilih beberapa informan kunci. Untuk menganalisis
struktur tari digunakan teori struktur tari, untuk struktur melodi digunakan teori
weighted scale, untuk musik vokal (teks) teori semiotika, dan untuk fungsi teori
fungsionalisme. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
(A) Struktur tari dibentuk oleh: gerak sembah, gerakan mengayunkan
tangan ke depan dan belakang, gerakan silat, gerakan maju dengan pola lantai
melingkar, gerakan jud kedidi, gerakan mengayuh, dan gerak penutup. Gerakan
ini memiliki makna kekuatan diri dalam menghadapi alam.
270
(B) Struktur musik vokal (teks) adalah disusun oleh sepuluh stanza syair,
setiap stanza empat baris, dan setiap baris merupakan satu frase kalimat. Isi teks
dimulai dari ucapan salam, diteruskan dengan upaya pinangan, tema kekuatan
dalam cinta, dan salam akhir.
(C) Struktur melodi musiknya, terdiri dari: (1) tangga nada C Mayor
dengan nada tambahan fis, (2) nada dasarnya C, (3) wilayah nada satu oktaf (200
sent), (4) distribusi pemakaian nada adalah didominasi nada c, (5) interval yang
paling banyak digunakan adalah prima murni dan sekunde mayor; (6) formula
melodi disusun oleh empat bentuk; (7) pola-pola kadensanya cenderung berakhir
pada nada c dengan durasi not seperempat atau lebih (8) kontur cenderung
pendoulus.
(D) Guna Ula-ula Lemben adalah: memeriahkan acara, menyambut tamu
atau undangan, sarana penyaluran bakat, mempresentasikan keindahan, dan sarana
belajar seni. Di sisi lain fungsinya adalah: sebagai hiburan, kebertahanan dan
kesinambungan kebudayaan, simbol keberadaan masyarakat, komunikasi,
ekonomi, dan penyatuan masyarakat.
7.2 Saran
Penelitian ini barulah dalam tahap awal, yang dalam hal ini bertujuan
mendokumantasikan kebudayaan yang masih hidup namun tidak vital dalam
kebudayaan suku Melayu Tamiang di Aceh. Seni Ula-ula Lemben adalah salah
satu saja dari berbagai genre seni lain yang terdapat dalam kebudayaan suku
271
Tamiang. Kesenian ini dapat tumbuh dan hidup terus karena berfungsi dalam
kebudayaan masyarakat pendukungnya, terutama karena masih adanya berbagai
kegiatan budaya seperti adat perkawinan, khitanan, acara daerah setempat, yang
memungsikan kesenian ini. Namun tidak semua genre kesenian hidup, tumbuh,
dan berkembang ada juga yang telah musnah ditelan masa. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian, dokumentasi, dan didekati secara keilmuan, agar kelak dapat
menjadi rujukan generasi Tamiang dan Aceh secara umum untuk bagaimana
merevitalisasi atau meneruskan nilai-nilai dari kesenian mereka ini.
272
272
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Adnan, 1994. Kebudayaan Suku-Suku Bangsa di Daerah Aceh, (Banda Aceh : Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Syiah Kuala, 1994), hlm. 55
Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tamiang, 2017, Aceh Tamiang Dalam Angka, BPS Aceh Tamiang
Barthes, Roland. 1972. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Jakarta: Jalasutra Bintang P., Maghfirah Murni, Analisis Struktur Tari Guel pada Masyarakat Gayo
di Kabupaten Aceh Tengah, Prodi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Sumatera Utara, Tesis Magister
Dananjaja, Djames, 1984. Foklor Indonesia. Jakarta: UI Press. Dewi, Rita, 1995, “Rapa-i Pasee pada Kebudayaan masyarakat Aceh di Desa
Awe, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara: Analisis Musik dalam Konteks Kebudayaan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan.
Hartoko, Dick. 1983. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius Hasjmy A., 1990. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Benua
Aceh Dalam Angka Hoesin, Omar A., 1981. Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam
dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: BulanBintang. Hoesin, Muhammad. 1978. Adat Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh Husni, Tengku Lah, 1986, Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera
Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kartina, Rima, 2012, Pertunjukan Tari Makan Sirih dalam Kebudayaan
Masyarakat Aceh Tamiang: Analisis Struktur Tari, Musik, dan Teks. Prodi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Sumatera Utara, Tesis Magister
Kayam, Umar, 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan.Jakarta: Jembatan.
Koentjaraningrat, 1964. Masjarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Djembatan.
Koentjaraningrat, 1980. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press
Kusumarini, Yusita, 2006, Teori Semiotic: universitas Kristen petra Lorimer, Lawrence T. et al.,1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 1-
20). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. Malm, William P., 1977. Musik Cultures of the Pacific, Near East, and Asia.
Englewood Cliffs, New jersey: Prentice Hall. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Musik. Chichago: Northwestern
University Press. Muly, Cut Rosmiaty, 1998. “Seurune Kalee dalam kebudayaan Masyarakat Aceh
di Desa Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar: Kajian
273
terhadap Difusi, Organologis, dan Akustika.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan.
Nettl, Bruno, 1964. Theory and Methods in Ethnomusucology. New York: The Free Press of Glencoe.
Nettl, Bruno, 2016, Teori Dan Metode Dalam Ethnomusicology, Terjemahan, Yogyakarta, Ombak Tiga
Nor, Mohd Anis Md., 1995. "Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,"Tirai Panggung, jilid 1, nomor 1.
Pelly, Usman, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Pelly, Usman, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam TataRuang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial:Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation
Royce, Anya Peterson, 1990. Antropologi Tari (terjemahan F.X Widaryanto).Bandung: ISI Bandung.
Shay, Anthony V. The Function of Dance in Human, disertasi Society Sobur, Alex, 2000. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Balai Pustaka. Soedarsono, RM. 2002, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi
Yogyakarta: Gajah Mada University Press Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Aksara. Soekanto, Soerjono, 1991. Teori Sosiologi. Jakarta: Aksara. Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi, 1964. Setangkai Bunga
RampaiSosiologi. Jakarta: FE UI. Suci, Adji, 2015, Deskripsi Gerak Dan Musik Iringan Tari Ula-ula Lembing Oleh
Sanggar Meuligee Lindung Bulan Di Aceh Tamiang, Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, skripsi sarjana
Sumaryono, 2011, Antropologi Tari Dalam Perspektif Indonesia, (Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta), p.39-40. Sufi, Rusdi et. al., 1988. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda
Aceh:: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Suny, Ismail (ed.), 1980.Bunga Rampai tentang Aceh. Banda Aceh: LembagaAdat kebudayaan Aceh.
Takari, Muhammad dkk., 2008, Masyarakat dan Kesenian di Indonesia.Medan: Studia Kultura.
Turner, Victor dan Edward M. Bruner (eds.) 1979. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
Tumer, Victor. 1980.From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play.New York: PAJ Publication.
274 Internet: Encyclopedia Brittanica https://www.britannica.com/, diunduh 2017 https://www.kompasiana.com/bustamiaceh/54ffd2058133119068fa70ec/selayang-
pandang-tentang-etnik-tamiang, diakses pada hari Minggu 7 Oktober 2018, pukul 19:24:03 WIB
http://serbagratiss.wordpress.com, Diakses pada hari Minggu 7 Oktober 2018, pukul 19:45:20 WIB
https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/ artikel-fungsi-gendang-melayu-alat.html, diakses tanggal 2 April 2019
https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/ artikel-Biola-alat.html, diakses tanggal 2 April 2019
https://www.cintaindonesia.web.id/2018/03/ artikel-fungsi-Accordion-alat.html, diakses tanggal 2 April 2019
http://elektronika-dasar.web.id/microphone/ pada tanggal 4 April 2019 https://www.audioengine.co.id/pengertian-fungsi-speaker/, diakses 4 April 2019 Di kutip dari https://kumpulanalatmusik.blogspot.com/2016/05/accordion. html,
275
DAFTAR INFORMAN Nama : Musa Umur : 43 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Pemain Biola Nama : Abdul Wahid Umur : 51 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Pemain Gendang Nama : Iriana Umur : 31 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penyanyi Nama : Aura Umur : 11 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari Nama : Kayla Umur : 14 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari Nama : Fasya Umur : 12 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari Nama : Fitri Umur : 11 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari Nama : Amel Umur : 11 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari
276 Nama : Nabila Umur : 11 Tahun Alamat : Jalan gelung, kampung paya udang, kec. Seruway. Aceh tamiang Pekerjaan : Pelaku Seni/ Penari
277 LAMPIRAN NOTASI LAGU ULA-ULA LEMBEN
278
279
280
281
282
283
284
285
286
287
288
289
290
291
292
293
294
295
296
297
298