analisis sperma

35
LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK PEMERIKSAAN ANALISIS SPERMA BLOK REPRODUKSI OLEH: Ni Komang Dhana Gitaiswari H1A012038 FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: putu-anggreni

Post on 19-Dec-2015

609 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sperma

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK

PEMERIKSAAN ANALISIS SPERMA

BLOK REPRODUKSI

OLEH:

Ni Komang Dhana Gitaiswari

H1A012038

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM

2015

BAB 1

1.1 Latar Belakang

Spermatozoa adalah sel gamet jantan yang merupakan sel yang sangat terdeferensiasi,

satu-satunya sel yang memilki jumlah sitoplasma yang terperas dan nyaris habis. Strukturnya

sangat khusus untuk mengakomodasikan fungsinya. Fungsi spermatozoa ada dua, yaitu

mengantarkan material genetis jantan ke betina dan fungsi kedua adalah mengaktifkan program

perkembangan telur (). Analisa sperma merupakan salah satu pemeriksaan awal yang dilakukan

pada kasus infertilitas (susah dapat anak). Pada saat dilakukan analisa pada sperma terdapat 2 hal

yang perlu diperiksa : volume, waktu mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan

sperma, PH, jumlah sel darah putih dan kadar fruktosanya (gula). Hasil anlisa sperma bisa

menetukan apakah : ada masalah reproduksi (infertilitas), vasektomi berhasil dan apakah reversal

(menyambung kembali) vasektomi berhasil.

1.2 TUJUAN

1.1.1        Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan analisis sperma

1.1.2        Mahasiswa mampu mengetahui makroskopis dan mikroskopis sperma

1.1.3        Mahasiswa mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan sperma

1.3 Manfaat

1.2.1        Mahasiswa mampu  menganalisis sperma

1.2.2        Mahasiswa mampu menginterpretasi hasil pemeriksaan sperma

BAB II

DASAR TEORI

PEMBENTUKAN SPERMA

Spermatogenesis terjadi di dalam semua tubulus seminiferus selama kehidupan seksual aktif

sebagai akibat dari rangsangan hormon gonadotropin hipofisis anterior dimulai rata-rata pada

usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang hidup.

Struktur dari spermotozoa manusia terdiri dari kepala, leher, dan ekor. Kepala terdiri atas

sel berinti padat dan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membran sel di sekitar permukaannya.

Di bagian luar, dua pertiga anterior kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang

mengandung enzim hialurodinase. Enzim ini mencerna filamen proteoglikan dari jaringan dan

enzim proteolitik yang sangat kuat untuk mencerna protein sehingga memainkan peranan penting

untuk membuahi ovum.

Gerakan ekor mendekat dan menjauh mamberikan motilitas pada sperma. Sperma yang

normal bergerak dalam garis lurus dengan kecepatan 1 sampai 4 mm / menit. Kecepatan ini akan

memungkinkan sperma untuk bergerak melalui traktus genitalis wanita untuk mencapai ovum.

PEMATANGAN SPERMA

Setelah terbentuk dalam tubulus seminiferus sperma membutuhkan waktu beberapa hari

untuk melewati epididimis yang panjangnya 6 meter. Sel-sel Sertoli dan epitel epididimis

menyekresikan suatu cairan makanan khusus yang diejakulasikan bersama dengan sperma.

Cairan ini mengandung hormon (baik testosteron maupun estrogen), enzim-enzim, dan nutrisi

khusus yang mungkin penting atau bahkan sangat penting untuk pematangan sperma. Aktivitas

sperma sangat ditingkatkan dalam medium netral dan sedikit basa tetapi akan sangat ditekan

dalam medium yang agak asam.

PENYIMPANAN SPERMA

Kedua testis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk kira-kira 120 juta

sperma setiap harinya. Sejumlah kecil sperma disimpan dalam epididimis, tetapi sebagian besar

sperma disimpan dalam vas diverens dan ampula ves diverens. Sperma dapat disimpan dan

mempertahankan fasilitasnya dalam duktus genitalis paling aktif selama satu bulan. Selama

waktu ini, sperma disimpan dalam keadaan inaktif yang sangat ditekan karena banyak bahan

penghambat dalam bahan sekresi duktus. Sebaliknya, dengan aktivitas seksualitas yang tinggi,

penyimpanan yang paling lama tidak lebih dari beberapa hari. Walaupun sperma dapat hidup

selama beberapa minggu dalam duktus genitalis testis, hidup sperma pada traktus genetalia

wanita hanya 1 sampai 2 hari.

KOMPOSISI SPERMA :

Sperma adalah zat setengah cair atau setengah kental yang terdiri dari dua bagian yaitu plasma

sperma (plasma semen) dan spermatozoa. Plasma sperma dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar

prostat, vesika seminalis, epididimis, cowper dan littre. Sedangkan spermatozoa dihasilkan oleh

aktivitas tubuli seminiferus.

SEMEN

Semen yang diejakulasikan selama aktivitas seksual pria, terdiri atas cairan dan sperma

yang berasal dari vas deferens (kira-kira 10% dari keseluruhan semen), cairan dari vesikula

seminalis (kira-kira 60%), cairan dari kelenjar prostat (kira-kira 30%) dan sejumlah kecil cairan

dari kelenjar mukosa terutama kelenjar bulbouretralis. Jadi, bagian terbesar semen adalah cairan

vasikula seminalis yang merupakan cairan yang terakhir diejakulasikan dan berfungsi untuk

mendorong sperma keluar dari duktus ejakulatorius dan uretra. pH rata-rata campuran semen

mendekati 7,5.

Cairan prostat membuat semen terlihat seperti susu, sementara cairan vesikula seminalis

membuat semen agak kental. Enzim pembeku dari cairan prostat menyebabkan fibrinogen cairan

vesikula seminalis membentuk koagulum yang lemah, yang mempertahankan semen dalam

daerah vagina yang lebih dalam (leher rahim). Kemudian koagulum dalam waktu 15-20 menit

larut karena lisis oleh fibrinolisin yang dibentuk oleh profibrinolisin prostat. Pada menit pertama

setelah ejakulasi, sperma masih tetap tidak bergerak, mungkin karena viskositas koagulum.

Sewaktu koagulum dilarutkan, sperma secara simultan menjadi sangat motil.

Plasma semen yang merupakan sekret kelenjar genital tambahan sebenarnya tidak dikeluarkan

sekaligus sewaktu ejakulasi, tetapi secara bertahap. Ada 4 tahap atau fraksi yaitu:

1. Fraksi Pre ejakulasi

Hasil sekresi dari kelenjar Cowper / Bulbo urethra dan kelenjar Littre. Sekret ini dikeluarkan

dari penis jauh sebelum ejakulasi, volume ± 0,2 ml. Diduga berfungsi untuk melicinkan

urethra dan melicinkan vagina waktu coitus.

2. Fraksi Awal

Hasil sekresi dari kelenjar Prostat, sekretnya berupa lendir, volume 0,5 ml. Lendir

mengandung berbagai zat untuk memelihara spermatozoa ketika berada di luar tubuh.

3. Fraksi Utama

Terdiri dari lendir yang berasal dari vesicula seminalis dan spermatozoa yang berasal dari

epididimis. Volume ± 2 ml.

4. Fraksi Akhir

Terdiri dari lendir yang berasal dari vesicula seminalis dan sedikit sekali spermatozoa (yang

non motil). Volume ± 0,5 ml.

Kandungan zat kimia semen

1. Fruktosa

a. Dihasilkan oleh vesicula seminalis.

b. Berada dalam plasma semen

c. Sumber energi bagi motiitas spermatozoa

d. 1,5-7,0 mg/ml.

2. Asam sitrat

a. Dihasilkan oleh kelenjar prostat

b. Menjaga keseimbangan osmotik semen

c. Bila zat ni tidak ditemukan dalam semen berarti ada kelainan pada kelenjar prostat.

d. Mencegah terjadinya kalkuli konkresi prostat dengan cara mengikat ion Ca.

3. Spermin

a. Dihasilkan oleh kelenjar prostat

b. Menyebabkan bau yang khas pada semen seperti bau bunga akasia

c. Suatu bakteriostatik.

4. Seminin

a. Dihasilkan oleh kelenjar prostat

b. Mengencerkan lendir servix.

5. Enzim Phosphatase Asam, Glukoronidase, Lisozim dan Amilase

a. Dihasilkan oleh kelenjar prostat.

b. Memelihara atau memberi nutrisi bagi spermatozoa di luar tubuh demi kelangsungan

hidup spermatozoa.

6. Prostaglandin

a. Dihasilkan oleh kelenjar vesicula seminalis dan kelenjar prostat.

b. Merangsang kontraksi otot polos saluran genitalia wanita sewaktu ejakulasi dan untuk

vasodilatasi pembuluh darah.

c. Melancarkan spermatozoa saat bermigrasi dari vagina ke tuba fallopi dengan mengurangi

gerakan uterus.

7. Na, K, Zn, Mg

a. Dihasilkan oleh kelenjar prostat dan vesicula seminalis

b. Memelihara pH plasma semen agar tetap pada pH normal 7,2-7,8.

ANALISIS SPERMA

Analisa sperma merupakan salah satu metode pemeriksaan yang dapat menilai kesuburan

dari seorang pria. Semen, atau secara sehari-hari disebut sebagai (air) mani serta cairan sperma,

adalah cairan yang membawa sel-sel sperma yang dikeluarkan dari uretra (pipa di dalam penis)

pada saat ejakulasi. Fungsi utama semen adalah untuk mengantarkan sel-sel sperma untuk

membuahi sel telur yang dihasilkan oleh ovum.

Analisa semen dapat dilakukan untuk mengevaluasi gangguan fertilitas (kesuburan) yang

disertai dengan atau tanpa disfungsi hormon androgen. Dalam hal ini hanya beberapa parameter

ejakulat yang diperiksa (dievaluasi) berdasarkan buku petunjuk WHO “Manual for the

examination of the Human Semen and Sperm-Mucus Interaction“ (WHO, 1999).

Cara pengeluaran semen ada beberapa macam, yaitu : dengan cara masturbasi (onani),

senggama terputus (coitus interruptus), pasca senggama, pemijatan prostat, pengeluaran

memakai kondom dan sebagai-nya. Tetapi untuk keperluan analisis semen manusia hanya akan

diuraikan mengenai masturbasi dan senggama terputus, karena hanya masturbasi dan senggama

terputus sajalah yang memenuhi persaratan cara pengeluaran semen untuk dianalisis.

Bila semen dibagi menjadi 3 porsi menurut urutan keluarnya, maka porsi I adalah hasil

sekresi kelenjar bulbourethra dan kelenjar uretra, porsi II hasil sekresi kelenjar prostat dan

biasanya porsi ini mengandung spermatozoa paling banyak yang berasal dari ampula dan

epididimis. Porsi III yang paling banyak mengandung cairan berasal dari vesikula seminalis

(Suhadi, 1978; Purwaningsih, 1997).

Satu sendok teh cairan mani mengandung sekitar 21 kilojoules (kilo kalori) dan 200-500

juta sperma sehingga dapat diperkirakan sperma hanya menyusun satu persen saja dari cairan

semen. Selain sperma, Sisanya sekitar 99 persen adalah cairan mani terdiri dari gula fruktosa, air,

ascorbic acid (vitamin C), asam sitrat, enzim, protein, posfat, dan zinc.

BAB III

ALAT & BAHAN

3.1. Alat :

- mikroskop

- pipet tetes

- gelas/tabung ukur kaca

- objek glass

- cover glass

- pipet leukosit

- bilik hitung Neubauer Improved (NI)

3.2. Bahan :

- semen

- NaCl fisiologis

- aquadest

- Larutan fikasasi etanol 95% : eter ( 1: 1)

- Cat Giemsa

BAB IV

CARA KERJA DAN PEMBAHASAN

4.1. Syarat pengumpulan bahan:

4.1.1 Sediaan semen diambil setelah abstinensia minimal 48 jam sampai maksimal 7 hari

dengan cara masturbasi

4.1.2 Sediaan semen idealnya dikeluarkan dalam kamar yang tenang dalam laboratorium. Jika

hal tersebut tidak memungkinkan, maka sediaan harus dikirim ke laboratorium dalam

waktu maksimal 1 jam sejak dikeluarkan

4.1.3 Sediaan semen dimasukkan ke dalam botol/gelas kaca bermulut lebar,yang ditulisi

identitas penderita, tanggal pengumpulan dan lamanya abstinensia

4.1.4 Sediaan semen dikirim ke laboratorium pada suhu 20-400C

4.2. Pemeriksaan makroskopis

Pemeriksaan makroskopis memperhatikan volume, warna kekeruhan dan kentalnya mani,

selain itu biasanya pH juga diperiksa. Mengukur volume dilakukan dengan memindahkan

ejakulat kedalam gelas ukur 5 atau 10 ml sesuai dengan keadaan yang dihadapi.

1. Likuefaksi (pencairan)

Sediaan diamati pada suhu kamar dan dicatat waktu pencairan. Normal : mencair dalam

60 menit, rata-rata ± 15 menit.

2. Pemeriksaan Viscositas (Kepekatan)

Setelah terjadi likuefaksi, biasanya cairan sperma menjadi homogen, tetapi tetap

menunjukkan suatu sifat kepekatan. Untuk mengukur suatu viscositas dari sperma yang

termudah dengan jalan menyentuh permukaan sperma dengan pipet atau batang pengaduk,

kemudian ditarik, maka akan terjadi benang yang panjangnya antara 3-5 cm. makin

panjang benang yang terjadi, maka makin tinggi viscositasnya. Pengukuran viscositas

seperti tersebut diatas sifatnya sangat subyektif dan tergantung dari keterampilan si

pemeriksa. Ada suatu cara yang lebih tepat untuk mengukur suatu viscositas dengan

mempergunakan suatu pipet standar yang disebut Pipet Elliasson. Pipet ini mempunyai

volume 0, 1 ml.

Prosedur :

- Sperma diisap dengan pipet Elliason sampai menunjukkan volume 0,1 ml.

- Kemudian tekanan dilepaskan.

- Tetesan pertama diukur dengan stopwatch.

Normal : 1-2 detik

Catatan :

Baik liquefaction maupun viscositas tergantung dari daya kerja enzim-enzim

kelenjar prostat. Perlu ditekankan bahwa viscositas sangat erat hubungannya dengan

motilitas spermatozoa, artinya viscositas yang tinggi sering disertai dengan motilitas yang

rendah.

Makna klinis :

Jika semen terlalu kental (panjang benang > 5 cm) maka enzim likuefaksi dari

prostat kurang berfungsi.

Jika terlalu encer (panjang benang <8 maka radang akut pada kelenjar genitalia

tambahan atau epiddiymitis.

Hypospermia disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

- Sampel tumpah karena tidak hati-hati, ini disebut kesalahan tehnis.

- Gangguan patologis dan genetis pada organ genitalia

- Vesicula seminalis tidak berfungsi

- Gangguan hormonal atau akibat radang.

Hyperspermia disebabkan oleh abstinensi yang terlalu lama dan kelenjar genitalia

tambahan terlalu aktif.

3. Koagulan (gumpalan) : ada atau tidak.

Normal            : ada koagulum

Abnormal        : tidak ada koagulum

4. Warna : lihat dengan mata telanjang dengan latar belakang putih

Normal: transluen (putih kanji) sampai putih keabu-abuan atau putih kekuningan

koagulum.

Abnormal: kemarahan/merah darah disebut hemospermia, sedangkan putih susu disebut

lekospermia.

5. Bau : dengan penciuman apakah baunya khas atau tidak.

Normal      : bau khas seperti bunga akasia (langu).

Abnormal  : tidak khas, misal amis, pesing atau bau obat.

Setelah likuefaksi selesai, periksa :          

6. Volume : masukkan sperma ke dalam gelas ukur dan amati tinggi lapisan atas, tulis

volume menunjuk angka berapa sampai satu angka di belakang koma.

Normal            : 2 – 6 cc.

Abnormal        : apabila <1,0 cc disebut hipospermia

                          apabila >6,0 cc disebut hiperspermia

7. pH

Cara :

- Teteskan sampel pada kertas pH meter

- Bacalah hasilnya setelah 30 detik dengan membandingkan dengan kertas standar

Normal : pH 7,2 – 7,8

Abnormal : pH > 7,8 infeksi

pH < 7 pada semen azoospermia, perlu dipikirkan kemungkinan

disgenesis vas deferens, vesika seminal, atau epididimis

4.3. Pemeriksaan mikroskopis

1. Pergerakan (Motilitas) Spermatozoa

a. Macam Motilitas spermatozoa

Berdasarkan mekanisme motilitas tersebut dapat dibedakan dua macam motilitas

spermatozoa, yaitu :

Spermatozoa Motilitas Baik.

Spermatozoa bergerak lurus kedepan, lincah, cepat dengan beat ekor yang berirama.

Spermatozoa Motilitas Kurang Baik.

Semua motilitas spermatozoa kecuali yang tersebut spermatozoa motilitas baik,

dianggap spermatozoa dengan motilitas kurang baik atau jelek.

Yang termasuk motilitas spermatozoa kurang baik ialah :

Motilitas bergetar atau berputar

Spermatozoa hanya bergetar dalam satu bidang saja dan kadang-kadang berhenti.

Ekor hanya bergetar kekiri atau ke kanan tak bergetar rotasi meskipun frekuensi

getarnya dapat tinggi. Karena terdapat kelainan morfologis atau kelainan pengantaran

energi gerak melingkar maka spermatozoa dapat menempuh gerakkan kurva,

spematozoa motilitasnya berputar-putar saja.

Motilitas tanpa arah

Pada keadaan ini ekor spermatozoa dapat bergetar tinggi atau rendah. Kepala

bergerak tak teratur. Kelainan ini disebabkan adanya bentuk spermatozoa abnormal

maupun distribusi dan pengantaran energi tak normal pada spermatozoa.

Motilitas karena asimetri kepala atau ekor

Motilitas jenis ini disebabkan karena kelainan morfologi spermatozoa sehingga

memyebabkan motilitasnya melingkar baik searah maupun berlawanan dengan jarum

jam. Kalau morfologi ekor spermatozoa asimetri, amplitudo getaran juga tidak

teratur. Kalau pengantaran energi rotasi ada atau tak teratur sedang ekor asimetri

terjadi motilitas dengan arah melingkar.

Motilitas spermatozoa imatur

Spermatozoa imatur mungkin berbentuk normal dan mungkin pula tidak normal

karena adanya beban droplet (sisa) sitoplasma maka arah gerak kepala berat sebelah.

Kalau sistem pengantaran energi belum masak pula dapat terjadi motilitas yang

bemacam-macam “rocking” melingkar dan gerak tak teratur. Demikian pula

andaikata sisa sitoplasma terletak dibagian tengah atau ekor spermatozoa motilitas

yang timbul akan bermacam-macam.

Motilitas spermatozoa teraglutinasi

Motilitas spermatozoa ini terbatas karena spermatozoa melekat satu dengan yang

lain (aglutinasi sejati) atau karena melekat pada benda lain (sel bulat, kristal, bakteri,

protozoa dll) bila terdapat aglutinasi palsu. Tergantung macam aglutinasi (kepala-

kepala, ekor-ekor, dan ekor-kepala) motilitas yang terjadi akan berlainan pula.

Motilitas spermatozoa terperangkap

Motilitas jenis ini terbatas karena terperangkap oleh sperma yang belum

mengalami likuefaksi total, meskipun telah melewati batas normal waktu likuefaksi.

Hal ini akan terlihat kalau sperma diperiksa motilitas berurutan yaitu langsung setelah

ejakulasi dan setiap setengah jam setelah ejakulasi.

Motilitas spermatozoa yang lemah

Spema yang kekurangan energi mempunyai gerakan lemah, meskipun arahnya ke

depan beat ekor teratur, lurus namun tak lincah. Hal ini dapat disebabkan karena

sperma telah lama tak diperiksa, sehingga energi untuk motilias berkurang. Dalam hal

ini fruktosa telah banyak dipecah (fruktolisis). Penyebab lain ialah memang cadangan

energi berkurang sejak awal misalnya pada kelainan vesika seminalis.

Spermatozoa yang tidak bergerak

Spermatozoa yang sama sekali tidak bergerak dan tetap diam ditempat.

b. Pemeriksaan motilitas spermatozoa :

Pemeriksaan motilitas spermatozoa dilakukan dengan cara meneteskan setetes

sperma pada gelas obyek. Tetesan diusahakan sama besarnya untuk setiap pemeriksaan.

Bilamana tetesan tidak sama besarnya pengamatan spermatozoa secara prosentase dan

kuantitatif akan berbeda. Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan tetesan sperma yang

sama, yaitu :

Sperma diteteskan dengan pipet

Diharapkan dengan tetesan pipet volume sperma yang diteteskan sama. Dalam hal

ini untuk setiap sperma harus memakai pipet yang berbeda dan harus baru/bersih

benar. Sebab kalau sebuah pipet telah pernah digunakan untuk satu sperma, kemudian

dipergunakan untuk sperma lainnya akan ada unsur pada sperma pertama yang

terpindahkan ke sperma kedua. Kalau misalnya sperma yang kedua azoospermi maka

kemungkinan akan dinilai tidak azoospermi sebab telah tercampur oleh spermatozoa

dari sampel pertama.

Sperma diteteskan dengan batang pangaduk terbuat dari pada gelas

Cara ini kebanyakan akan memperoleh tetesan yang sama besar. Apalagi kalau

ujung batang gelas tidak sama besarnya. Keadaan yang mempengaruhi ialah

kekentalan sperma . Bila sperma kental tetesan akan berbeda bilamana sperma encer.

Perbedaan-perbedaan ini dapat diatasi kalau para pemeriksa sperma banyak

pengalaman meneteskan sperma pada gelas objek.

Sperma diteteskan dengan batang kawat baja berujung bulat

Dengan cara ini memang diperoleh ukuran tetesan yang sama. Untuk menghindari

kontaminasi sperma lain maka setelah loop dipakai untuk satu spesimen sperma,

kemudian dibakar, setelah itu dapat dipergunakan untuk memeriksa sperma yang lain.

Tujuan:

Untuk mengetahui dan menentukan baik tidaknya pergerakan (motilitas)

spermatozoa dan jumlah prosentase yang bergerak.

Prinsip:

Sperma dengan zat tambahan atau tidak dilihat pergerakannya dibawah mikroskop

dengan perbesaran 10x45 dan hasilnya dilaporkan dalam persen (%).

Alat:    - Objek Glass              - Pipet tetes

- Cover glass              - Mikroskop

  Prosedur :

- Ambil 1 tetes sperma letakkan diatas objek glass.

- Tutup dengan cover glass.

- Periksa dibawah mikroskop perbesaran objektif 40-45x.

- Periksa adanya spermatozoa yang :

o Bergerak aktif (%)

o Bergerak tidak aktif (%)

o Tidak bergerak (%)

2. Pemeriksaan Vitalitas Spermatozoa

Spermatozoa yang tidak bergerak, belum tentu mati. Adakalanya lingkungannya tidak cocok,

spermatozoa tidak bergerak. Tetapi kalau keadaan lingkungannya suatu ketika baik, ada

kemungkinan spermatozoa bergerak lagi. Maka dari itu perlu dibedakan lagi antara spermatozoa

yang hidup dengan spermatozoa yang mati. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan vitalitas

spermatozoa.

Untuk memeriksa vitalitas spermatozoa, dilakukan pengecatan vital atau vital staining. Cara

ini digunakan untuk memastikan diagnosa nekrozoospermia.

Metode : Eosin-Nigrosin Supravital Stainning Sperma Viability

Tujuan : Untuk membedakan dan mengetahui sperma yang hidup dan yang mati.

Prinsip : Sampel sperma dibuat hapusan, diwarnai, dikeringkan dan diperiksa sperma yang mati

dan yang hidup dibawah mikroskop perbesaran 10 x 100.

Alat :

- Pipet tetes                             - Rak dan bak pewarnaan

- Objek glass                           - Tabung reaksi

- Mikroskop                             - Botol semprot

Reagensia :

- Eosin 5 %

- Negrosin 10 %

Cara Kerja :

Sampel sperma diteteskan kedalam tabung reaksi kecil

Ditambahkan 1 tetes eosin 5 % dan 1 tetes negrosin 10 %, di aduk

Diambil 1 tetes, dibuat hapusan diatas objek glass, dikeringkan.

Diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x100 pada 100 lapang pandang dan

hasil dinyatakan dalam persen ( % ).

Penilaian :

Spermatozoa yang mati akan berwarna merah

Spermatozoa yang hidup akan terlihat tidak berwarna

Nilai Normal : 75 % atau lebih spermatozoa yang hidup.

Hal – hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan vitalitas :

Spermatozoa yang hidup (Viable) tidak berwarna, dengan latar belakang kemerahan,

sedangkan spermatozoa yang mati berwarna kemerahan karena dinding spermatozoa

rusak, zat warna masuk kedalam sel, sel berwarna merah. Spermatozoa hidup tetap tak

berwarna karena dinding sel masih utuh, tidak dapat ditembus zat warna.

Untuk membuat pengecatan vitalitas yang baik, zat warna harus baru jangan terlalu

kental dan jangan banyak endapan.

3. Pemeriksaan Jumlah Spermatozoa

Menghitung jumlah spermatozoa dapat dilakukan dengan metode hemocytometer biasa

menggunakan pipet Thoma atau dengan modifikasi hemocytometer dengan pengenceran dalam

tabung menggunakan Clinipette. Larutan yang biasa yang dipergunakan ialah larutan pengencer

5% Natrium bikarbonat dalam aquadest ditambah dengan formaldehide 1 ml.

Larutan pengencer ini juga bertindak sebagai zat spermisida yang mematikan spermatozoa,

serta merupakan garam fisiologis. Dengan demikian spermatozoa yang terdapat didalam kamar

hitung dapat lebih cermat dihitung.

Jumlah spermatozoa dihitung menurut beberapa cara :

1. Jumlah Spermatozoa per ml ejakulat.

2. Jumlah Spermatozoa per volume ejakulat.

Namun yang umum dipakai adalah spermatozoa per ml ejakulat. Bilamana menghendaki

perhitungan untuk seluruh ejakulat, tinggal mengalikan dengan volume ejakulat.

Tujuan: Untuk mengetahui jumlah sperma yang terdapat dalam sampel sperma yang diperiksa.

Prinsip: Sampel sperma diencerkan dalam pipet lekosit dengan larutan pengencer tertentu,

diperiksa dalam bilik hitung.

Alat :   - Kamar hitung Improved Neubauer atau Burker

- Pipet Thoma leukosit atau eryhtrosit

- Kertas saring / tissue

Reagensia :

Larutan Pengencer Sperma :

- NaHCO3 ...............................5 gram

- Formalin 5%,.............................1 ml

- Larutan Eosin 2%......................5 ml

- Aquadest add.........................100 ml

Prosedur :

Cara Pipet Thoma :

- Isap sperma dengan pipet leukosit sampai tanda 0,5 tepat.

- Isap larutan Pengencer Sperma sampai tanda 11 tepat.

- Kocok selama 2 menit, buang cairan 3-4 tetes, masukkan dalam kamar hitung improved

Neubauer dengan menempelkan ujung pipet ditepi kaca penutup

- Hitung sel sperma yang terdapat dalam 4 kotak sedang

- Hasilnya dinyatakan dalam juta/ml

Cara Tabung dengan Clinipette :

- Masukkan 400 ul cairan pengencer sperma kedalam tabung reaksi dengan clinipette.

- Buang 20 ul dengan clinipette cairan tadi.

- Pipet 20 ul sperma yang telah dihomogenkan dan campur dengan larutan pengencer.

- Kocok beberapa kali tabung atau letakkan diatas pengocok khusus (vibrator).

- Masukkan dalam kamar hitung improved Neubauer dengan menempelkan ujung

clinipette ditepi kaca penutup.

- Hitung sel sperma yang terdapat dalam 4 kotak sedang

- Hasilnya dinyatakan dalam juta/ml

Perhitungan :

Misal jumlah didapat 200 spermatozoa

200 x 50 = 10.000/mm3= 10.000 x 1000 = 10 juta/ml

Nilai Normal : 20-70 juta / ml

4. Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa

Pemeriksaan morfologi spermatozoa ditujukan untuk melihat bentuk-bentuk spermatozoa

yang didasarkan atas bentuk kepala dari spermatozoa. Seperti diketahui spermatozoa mempunyai

beberapa macam bentuk. Dengan pemeriksaan ini diketahui beberapa banyak bentuk

spermatozoa normal dan abnormal. Bentuk yang normal adalah spermatozoa yang kepalanya

berbentuk oval dan mempunyai ekor yang panjang. Untuk pemeriksaan morfologi ini dimulai

dengan pembuatan preparat smear di atas objek glass, yang dibiarkan kering dalam temperatur

kamar. Setelah preparat smear tersebut kering, maka selanjutnya dilakukan prosedur pewarnaan.

Agar memperoleh hasil yang baik pemeriksaan morfologi spermatozoa dilakukan

pengecatan khusus. Terdapat berbagai macam pengecatan guna memeriksa morfologi

spermatozoa, diantaranya Giemsa, Wright, Romanowsky, May Grunwald, Kiewit de Jong.

Tujuan: Untuk mengetahui ada tidaknya kelainan morfologi sperma dalam sampel yang

diperiksa.

Prinsip: Sperma dibuat hapusan diwarnai dengan giemsa, dicuci, dikeringkan dan diperiksa

morfologi sperma dibawah mikroskop dengan anisol perbesaran 10 x 100.

Alat-alat:     - Pipet tetes                                         - Mikroskop

- Objek glass                                       - Botol semprot

- Rak dan Bak pewarnaan                   - Lampu spritus

Reagensia: Karbol Fuchsin 0,25 %

Cara Kerja :

a. Cara Karbol Fuchsin

1) Setetes sperma dibuat hapusan diatas objek glass.

2) Difiksasi dengan nyala api 2 – 5 kali

3) Diwarnai dengan carbol fuchsin 0,25% selama 5 Menit, dicuci dengan air.

4) Dikeringkan dan diperiksa dibawah mikroskop perbesaran 10 x 100 dalam 100

spermatozoa

b. Cara Giemsa

1) Sediaan hapus difiksasi dengan metanol selama 10 menit.

2) Sisa metanol dibuang, sediaan dibiarkan kering di udara.

3) Sediaan dicat dengan larutan Giemsa (17 tetes giemsa dicampur dengan 5 ml aquades)

selama 20 menit.

4) Sediaan dibilas dengan aquadest dan dikeringkan. diperiksa dibawah mikroskop

perbesaran 10 x 100 dalam 100 spermatozoa

c. Cara Hematoxilin Meyer

1) Sediaan hapus ditetesi larutan formalin 10% selama 1 menit.

2) Sediaan dibilas dengan aquadest.

3) Sediaan dicat dengan hematoksilin menurut Meyer selama 2 menit.

4) Sediaan dibilas dengan aquadest dan dikeringkan diudara. diperiksa dibawah mikroskop

perbesaran 10 x 100 dalam 100 spermatozoa

d. Cara O.Steeno

1) Sediaan hapus dimasukkan ke dalam larutan metanol selama 5 menit dan dikeringkan

diudara.

2) Sediaan dicelupkan kedalam larutan safranin 0,1% selama 5 menit

3) Sediaan dibilas dalam air buffer dua kali.

4) Sediaan dicelupkan kedalam larutan kristal violet 0,25% selama 5 menit

5) Sediaan dibilas dengan aquadest dan dikeringkan diudara. diperiksa dibawah mikroskop

perbesaran 10 x 100 dalam 100 spermatozoa

e. Cara lain dengan Fast Green, Wright, Bryan/leishman, Papanicolou, Romanowsky dan

lainnya.

Morfologi spermatozoa :

• Spermatozoa Normal :

Spermatozoa yang kepalanya berbentuk oval, reguler, dengan bagian tengah utuh dan

mempunyai ekor tak melingkar dengan panjang 45 um.

• Spermatozoa Abnormal :

Spermatozoa disebut abnormal bilamana terdapat satu atau lebih dari bagian spermatozoa

yang abnormal. Jadi meskipun kepala spermatozoa oval, tetapi kalau bagian tengah menebal,

maka dikatakan abnormal.

  Abnormalitas kepala :

- Kepala oval besar

Spermatozoa normal dengan ukuran kepala lebih besar dari normal. Panjang

kepala >5µ dan lebar >3 µ

- Kepala oval kecil

Spermatozoa normal dengan ukuran kepala lebih kecil dari normal. Panjang

kepala <3>2 µ.

- Kepala pipih (tapering head = lepto)

Kepala spermatozoa berbentuk seperti cerutu dengan kedua sisinya sejajar, bentuk

ramping dan agak panjang, akrosomnya dapat berujung lancip atau tidak.

- Kepala berbentuk pir (piriform head)

Kepalanya nyata atau bahkan lebih menyolok berbentuk sebagai tetesan air,

bagian runcing berhubungan dengan bagian tengah.

- Kepala dua (duplicated head)

Spermatozoa dengan memiliki dua kepala.

- Kepala berbentuk amorfous (terato)

Bentuk kepala yang tak menentu atau sangat besar dengan struktur yang aneh.

Abnormalitas bagian tengah :

- Bagian tengah tebal

- Bagian tengah patah

- Tak mempunyai bagian tengah

Abnormalitas ekor :

- Ekor sangat melingkar

- Ekor patah yang meninggalkan sisa ekor.

- Ekor lebih dari satu

- Ekor sebagai tali terpilin

5. Aglutinasi Spermatozoa

Aglutinasi spermatozoa ialah penggumpalan atau perlekatan antara satu spermatozoa dengan

beberapa spermatozoa yang lain. Aglutinasi spermatozoa dapat disebabkan oleh faktor

imunologis dan non-imunologis. Cara membedakan keduanya dengan mengukur titer antibodi

yang terdapat pada pasangan suami isteri. Namun guna informasi pendahuluan proses aglutinasi

spermatozoa, dapat dilakukan cara : Satu tetes sperma diberi garam fisiologis

Kalau terjadi aglutinasi sejati, spermatozoa akan tetap melekat satu dengan yang lain. Kalau

dengan penambahan garam fisiologis spermatozoa lepas satu dengan yang lain, maka aglutinasi

tersebut adalah aglutinasi palsu.

Cara lain oleh Hellinga (1976)

Setetes sperma segar, setelah likuefaksi total, diletakkan pada objek glass, lalu ditutup dengan

gelas penutup. Sediaan dibiarkan tidak disentuh sedikitpun selama paling tidak 1 jam. Pada

sperma tertentu akan terjadi penggumpalan satu dengan yang lain.

Macam-macam aglutinasi atau penggerombolan spermatozoa tersebut yaitu :

a. Aglutinasi ekor dan ekor

Pada keadaan ini ujung atau bagian ekor yang lebih proksimal bersentuhan atau

berlekatan satu dengan yang lain, sedangkan kepalanya bebas bergerak. Ini dinamakan

tail to tail agglutination (TT).

b. Aglutinasi kepala dan kepala

Pada keadaan ini kepala spermatozoa saling berlekatan atau bergerombol, sedangkan

kepalanya bebas bergerak. Ini dinamakan head to head agglutination (HH).

c. Aglutinasi kepala dengan ekor

Pafa keadaan ini kepala satu spermatozoa atau lebih berlekatan dengan ekor sebuah

spermatozoa atau lebih. Ini dinamakan head to tail agglutination (HT).

d. Spermatozoa saling menggerombol atau melekat pada suatu sel muda spermatozoa, epitel

atau lain-lain benda pada sperma.

e. Spermatozoa dapat menggerombol seperti benang pada pinggir daerah sperma tertentu.

Ini dinamakan aglutinasi rantai (string agglutination)

TATA CARA PEMBACAAN HASIL

Interpretasi hasil analisa sperma saat ini didasarkan pada 2 parameter dari 2-3 sediaan dalam

sekali analisa sperma. Dan hasilnya harus diulang 1 minggu atau 2 minggu lagi sehingga kita

dapatkan 2-3 sediaan.

1. Jumlah spermatozoa / ml

a. Normozoospermia : jumlah spermatozoa 20-250 juta/ml dianggap dalam batas normal.

b. Azoospermia : jumlah spermatozoa 0 juta/ml

c. Ekstrim-oligozoospermia : jumlah spermatozoa 0-5 juta/ml

d. Oligozoospermia : jumlah spermatozoa >5 - <20 jyta/ml

e. Polizoospermia : jumlah spermatozoa > 250 juta/ml

2. Prosentase motilitas spermatozoa yang bergerak BAIK (Good & Excellent atau grade 2 +

3). Apabila % spermatozoa yang motil < 50% disebutasienozoospermia.

3. Prosentase morfologi spermatozoa normal

Apabila % spermatozoa yang mempunyai morfologi normal <50% disebutteratozoospermia.

INTERPRETASI ANALISA SPERMA RUTIN

No Nomenklatur

Jumlah

Spermatozoa

(juta/ml)

Motil

(%)

Morfologi

Spermatozoa

normal (%)

1 Normozoospermia > 20 > 50 > 50

2 Oligozoospermia > 20 > 50 > 50

3 Ekstrim Oligozoospermia < 5 > 50 > 50

4 Astenospermia > 20 < 50 > 50

5 Teratospermia > 20 > 50 < 50

6 Oligo-astenozoospermia < 20 < 50 > 50

7 Oligo-asteno-teratozoospermia < 20 < 50 < 50

8 Oligo-teratozoospermia < 20 > 50 < 50

9 Asteno-teratozoospermia > 20 < 50 < 50

10 Polizoospermia > 250 > 50 > 50

11 Azoospermia - - -

12 Nekrozoospermia Jika semua spermatozoa tan viabel

13 Kriptozoospermia Adalah spermatozoa yang tersembunyi

14 Aspermia Apabila tidak ada sperma

TERMINOLOGI

Berikut beberapa terminalogi yang dipergunakan dalam spermatologi :

1. Azoospermia: Dalam ejakulat tidak terdapat/ditemukan sperma

2. Aspermatogenesis: Tidak terjadi pembuatan spermatozoa di dalam testis.

3. Aspermia: Tidak terdapat ejakulat

4. Normospermia: Jumlah volume sperma 2-5 ml.

5. Hypospermia: Volume ejakulat kurang dari 1 ml

6. Hyperspermia: Volume ejakulat lebih dari 6 ml

7. Hypospermatogenesis: Proses pembentukan spermatozoa sangat sedikit didalam testis.

8. Oligospermia: Jumlah spermatozoa di bawah kriteria normal (di bawah 20 juta tiap ml

sperma)

9. Normozoospermia: Jumlah spermatozoa dalam batas normal berkisar antara 40-200 juta/ml.

10. Asthenospermia: Jumlah spermatozoa yang bergerak dengan baik di bawah 50%.

11. Necrospermia: Semua spermatozoa dalam keadaan mati.

12. Extrem oligospermia: Jumlah spermatozoa di bawah 1 juta untuk tiap 1 ml ejakulat.

13. Asthenozoospermia: Spermatozoa yang lemah sekali gerak majunya.

14. Teratozoospermia: Bentuk spermatozoa yang abnormal lebih dari 40%.

15. Nekrozoospermia: Bila semua spermatozoa tidak ada yang bergerak atau hidup.

16. Kriptozoospermia: Bila ditemukan spermatozoa yang tersembunyi yaitu bila ditemukan

dalam sedimen sentrifugasi sperma.

17. Polizoospermia: Bila jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta per ml sperma

18. Leukospermia: Warna sperma putih keruh serupa susu karena terdapat leukosit yang banyak.

19. Hemospermia: Warna sperma kemerahan karena terdapat erythrosit yang banyak.

20. Residual Body: Sisa sitoplasma yang melekat pada spermatozoa yang belum matur.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, Ralph C. 2009. Infertilitas dan Hal-Hal yang Berkaitan. Dalam : BS Obstetri dan

Ginekologi. Jakarta : EGC. Halaman 283.

Davey, Patrick. 2003. At A Glance Medicine. Jakarta : EGC. Halaman 282.

Depkes RI, PusLabkes, Petunjuk Pelaksanaan Pemantapan Mutu Internal Lab.kes,1997.

Penuntun Laboratorium Klinik, R.Gandasoebrata, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989

Ronald A.Sacher, Richard A. Mc.Pharson, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium,

Edisi 11, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sadler, Thomas W. 2010. Langman Embriologi Kedokteran Edisi 10. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC.

Sono, Onny Pieters., 1978. Diktat Kuliah Analisa Sperma. Biomedik FK Unair. Suarabaya.

(unpublished). Halaman 13-14.

Sudoyo, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 5. Jakarta : Interna Publishing. Halaman

2171.

Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Frances.K.Widmann, Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 1995

WHO. 1999. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and Sperm-

Cervical Mucus Interaction. Fourth Edition. Cambridge University Press. Hlm 19-22.