analisis spektrofluorometri digoksin
TRANSCRIPT
![Page 1: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/1.jpg)
ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI
Pendahuluan
Teknik analisis spektrofluorometri adalah termasuk salah satu tenik analisis Instrumental
disamping teknik kromatografi dan elektroanalisis kimia. Teknik tersebut memanfaatkan
fenomena interaksi materi dengan gelombang elektromagnetik seperti sinar-x, ultraviolet,
cahaya tampak dan inframerah. Fenomena interaksi bersifat spesifik baik absorpsi maupun
emisi. Interaksi tersebut menghasilkan signal-signal yang disadap sebagai alat analisis
kualitatif dan kuantitatif. Contoh teknik spektroflourometri absorpsi adalah UV/VIS,
inframerah (FT-IR) dan absorpsi atom (AAS). Sedang contoh spektrofluorometri emisi
adalah spektrofluorometri nyala dan inductively coupled plasma (ICP), yang merupakan
alat ampuh dalam analisis logam. Masih banyak teknik lain yang didasarkan pada hamburan
atau difraksi cahaya seperti turbidimetri dan sinar-x.
Investasi besar dalam peralatan-peralatan di atas amat penting dalam menunjang misi
laboratorium. Tetapi pemanfaatannya amat bergantung pada kemampuan sumber daya
manusia. Kurangnya pemahaman teori dasar, spektrum aplikasi, serta validasi/verifikasi
metodanya seperti yang dipersyaratkan pada SNI 19 – 17025 – 2005 akan menyebabkan
kurangnya common sense dan kepercayaan diri untuk menerapkannya ke dalam berbagai
macam masalah analisis kimia.
Tujuan mempelajari Analisisi spektrofluorometri yaitu mempunyai pengetahuan
dasar dan keterampilan dalam menggunakan berbagai peralatan spektrofluorometri,
Mengetahui kelebihan dan keterbatasan serta cara memperoleh data yang handal dari
berbagai cara teknik spektrofluorometri. Memahami tentang ketertelusuran metoda analisis
yang digunakan dan Mengetahui cara memvalidasi/verifikasi metoda spektrofluorometri.
Beberapa Analisis Menggunakan Metode Spektrofluorometri diantaranya :
Pengaruh pemanasan terhadap kadar vitamin b1 (tiamin) pada kacang hijau
(phaseolus radiatus l.) Dengan metode spektrofluorometri
Tiamin HCl atau Vitamin B1 dalam keadaan kering cukup stabil, tetapi mudah terhidrolisis
dalam suasana basa/netral. Berbagai proses perlakuan terhadap makanan dapat merusak
![Page 2: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/2.jpg)
tiamin, seperti panas, oksigen, belerang dioksida. Dalam pH netral/basa, vitamin B1 rusak
dengan pendidihan atau bahkan dengan penyimpanan pada suhu kamar. Tiamin banyak
terkandung dalam bahan makanan termasuk diantaranya kacang hijau (Phaseolus radiatus L.)
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan melihat sifat tiamin yang mudah rusak
dengan pemanasan dalam suasana alkali/netral tersebut menyebabkan kadar tiamin dalam
kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) dapat berkurang bahkan habis selama pemrosesan.
Proses pengolahan kacang hijau dengan pemanasan dapat menurunkan kadar tiamin di
dalamnya. Tiamin dalam sampel diekstraksi secara kromatografi kolom dengan
mengalirkannya melalui zeolit dengan menggunakan larutan KCl 25%, kemudian eluat disari
dan dioksidasi dengan menggunakan Kalium ferrisianida membentuk tiokrom dan ditetapkan
kadarnya secara spektrofluorometri. Kadar diperoleh dengan memasukkan intensitas sampel
ke dalam persamaan kurva baku Y = 458,5714x + 76,3333 dengan r = 0,9988. Dari hasil
penelitian diperoleh kadar tiamin rata-rata dalam kacang hijau pada menit ke 0 (12,21
mg/100g � 0,07); menit ke 5 (8,60 mg/100g � 0,18); menit ke 10 (7,61 mg/100g �
0,21); menit ke 20 (6,64 mg/100g � 0,09); menit ke 30 (6,01 mg/100g � 0,11); dan menit
ke 40 (5,82 mg/100g � 0,08). Dari Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan distribusi
normal. Sedangkan dari uji Anava satu jalan dan uji t pada taraf kepercayaan 95%
menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Optimasi Analisis Kuantitatif Digoksin Di Dalam Plasma Secara In Vitro Dengan
Metode Spektrofluorometri
Analisis kuantitatif digoksin didalam plasma pada umumnya dilakukan dengan metode
analisis yang membutuhkan peralatan dan biaya besar. Sementara metode analisis kuantitatif
yang baik sangat dibutuhkan untuk menetapkan kadar Digoksin dalam plasma, terutama
untuk pemantauan terapetik (Therapeutic Drug Monitoring), karena rentang terapetik
Digoksin yang sangat sempit.
Dari keadaan ini maka timbul suatu permasalahan yaitu dapatkah analisa kuantitatif
Digoksin di dalam plasma secara in vitro dilakukan dengan metode spektrofluorometri?
Dan bagaimanakah nilai parameter validasinya ?
Peneltian ini bertujuan untuk melakukan studi pendahuluan dalam analisis kuantitatif
Digoksin didalam plasma secara in vitro sekaligus mengetahui nilai parameter-parameter
![Page 3: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/3.jpg)
validasinya, agar nantinya dapat digunakan dalam studi in vivo. Sedangkan manfaat yang
diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan alternatif metode yang mudah dan
relatif murah dengan ketelitian dan ketepatan yang baik pada analisa kuantitatif Digoksin
didalam plasma secara in vitro. Diharapkan metode Spektrofluorometri dapat menjadi salah
satu alternatif.
Analisis kuantitatif Digoksin di dalam plasma dengan metode spektorfluometri
dilakukan dengan cara pembentukan senyawa pendar hasil reaksi antara Digoksin dengan
asam askorbat, metanol, H202 dan HCI. Untuk memperoleh pembentukan senyawa pendar
yang sempurna dilakukan optimasi terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Dari
hasil pengamatan diperoleh bahwa pereagen yang paling optimal adalah asam askorbat dalam
metanol 3%, larutan H202 0,009 M dan HCI 25% dengan waktu inkubasi selama 90 menit.
Nilai parameter validasi LOD = 2,6 ng; LOQ = 8,6 ng. Linerisasi yang dinyatakan dengan
koefisien korelasi r = 0,9998 sedangkan nilai linier antara intensitas flouresensi dengan kadar,
karena harga r dihitung lebih besar dari pada r tabel. Linieritas juga dinyatakan dengan
koefisien variasi fungsi Vxo yang memiliki Vxo = 1,84%. Pelarut pengekstraksi yang terpilih
karena dapat memberikan prosentase perolehan kembali terbanyak adalah diklorometer
dengan % Recovery rata-rata 90,52%. Setelah diperoleh kondisi pembentukan senyawa
pendar yang optimal dan diperoleh pelarut pengekstraksi yang baik, maka diterapkan dalam
sampel plasma secara in vitro. Penerapan didalam plasma memberikan persentase perolehan
kembali rata-rata 74,52% dengan koefisien variasi 2,85%.
Dari hasil penelitian yang telah diperoleh, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai
pengembangan metode spektroflluornetri dalam analisis kuantitatif Digoksin didalam plasma,
terutama dalam studi in vitro.
Analisis Perbandingan Kadar Testosteron Dan Estradiol Di Dalam Cairan Tubuh
Testosteron dan estradiol masimg-masing merupakan hormon laki-laki dan hormon
perempuan primer, di dalam tubuh laki-laki clan perempuan. Di dalam tubuh laki-laki kadar
testosteron jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar estradiol clan sebaliknya di dalam
tubuh perempuankadar estradiol jauh lebih besar dibandingkan dengan testosteron.
Testosteron dimetabolisme dalam hati menjadi androsteron, dehidro-iso-androsteron dan
etiokolanolon. Hasil metabolisme testosteron diekskresikan melalui urin dalam bentuk
![Page 4: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/4.jpg)
senyawa yang larut dalam air, yaitu dalam bentuk ester asam glukuronat dan ester asam
sulfat. Estradiol dimetabolisme dalam hati menjadi esteron dan estriol. Estradiol dan
metabolitnya juga diekskresikan melalui urin dalam bentuk senyawa yang larut dalam air,
yaitu dalam bentuk ester asam glukuronat dan ester asam sulfat. Testosteron dan estradiol
mempengaruhi perkembangan seks sekunder dan pada laki-laki maupun perempuan normal
terdapat dalam jumlah yang normal.
Penyimpangan testosteron atau estradiol dari harga normalnya, baik pada laki-laki maupun
perempuan merupakan petunjuk pertama mengenai :
a. penyakit tertentu, misalnya penyakit testis, penyakit hati yang menahun, androgenic
alopecia (kebotakan pada laki-laki), infark jantung dan lain-lain,
b. jenis kelamin,
c. kebiasaan seksual atau
d. kondisi badan tertentu.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan prosedur penentuan kadar
testosteron dan estradiol dalam plasma dan urin, yang memungkinkan untuk menentukan
kadar kedua hormon itu pada laki-laki maupun perempuan. Kadar hormon yang didapatkan
digunakan untuk menunjukkan perbandingan testosteron dan estradiol (T/E) pada laki-laki
dan perbandingan kadar estradiol dan testosteron (E/T) pada perempuan, yang diharapkan
merupakan informasi penting untuk menentukan kondisi fisiologidan kesehatan atau kelainan
hormonal pada seseorang. Nilai testosteron yang disertai dengan nilai T/E dapat merupakan
petunjuk yang lebih bernilai dari pada hanya nilai testosteron atau estradiol saja. Berbagai
metode penentuan kadar testosteron dan estradiol dalam cairan tubuh yang sudah digunakan
adalah : metode kolorimetri-spektrofotometri, metode spektrofluorometri, metode
spektrometri massa, metode kromatografi gas, metode kromatografi gas-spektrometri massa,
metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT),metode KCKT dengan ion berpasangan,
metode KCKT-Resonansi Magnit Inti, metode Radio Immuno Assay (RIA) dan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)-Densitometri, tetapi belum ada diantaranya yang digunakan
untuk menentukan kedua hormon tersebut secara bersamaan dalam satu sampel biologis
untuk menentukan T/E atau E/T.
![Page 5: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/5.jpg)
Penelitian ini mengembangkan penentuan hormon tersebut dengan metode KLT-
Densitometri, karena pertimbangan berikut :
1. untuk memisahkan testosteron dan estradiol dari metabolitnya, KLT merupakan cara yang
sederhana tapi dapat diandalkan
2. testosteron dan estradiol pada pelat KLT dapat langsung ditentukan kadarnya dengan
densitometer setelah masing-masing diwarnai dengan pereaksi Ercoli dan pereaksi
Ammonium Fosfomolibdat-uap ammoniak
3. dengan metode ini kadar terendah yang terdeteksi adalah : testosteron sampai satu
nanogram dan estrogen sampai 20 nanogram dan ternyata bahwa area kromatogram,
sebanding dengan kadar testosteron atau estradiol, dalam rentang kadar 0 - 200 nanogram.
Ekstraksi testosteron dan estradiol dari plasma dan urin buatan, serta pemisahan
testosteron dan estradiol dari metabolitnya memerlukan penelitian pula. Keuntungan pada
pemisahan testosteron dan estradiol adalah adanya inti aromatis pada estradiol clan
metabolitnya, hinggapemisahan hormon golongan androgen dan estrogen dapat dilakukan
dengan jalan mencuci ekstrak eter yang mengandung kedua golongan hormon tersebut
dengan larutan natrium hidroksida.
Selanjutnya hormon androgen yang ada di dalam fase eter dan hormon estrogen yang
ada dalam fase air dipisahkan dari metabolitnya dengan pelat silika gel dan larutan
pengembang campur sikloheksana dan etilasetat. Testosteron setelah diwarnai dengan
pereaksi Ercoli memberikan reflektan maksimum pada 432 nm, sedangkan estradiol setelah
diwarnai dengan pereaksi asam fosfomolibdat-basa memberikan reflektan maksimum pada
556 nm. Kedua hormon, testosteron dan estradiol yang berasal dari sampel pada pelat KLT
ditentukan kadarnya dengan membandingkan areanya dengan area testosteron dan estradiol
standar. Ternyata bahwa rentang nilai perbandingan kadar T/E dalam urin laki-laki normal
(6,96- 43,89) berbeda dari waria (0,55 - 1,13) dan berbeda pula dari laki-laki homoseksual
(2,28 - 5,21). Demikian juga rentang nilai perbandingan (E/T) dalam urin perempuan normal
(3,87 - 17,34) berbeda dari perempuan hamil (60,36 - 88,91) dan berbeda pula dari waria
(0,88 - 1,82). Nilai perbandingan T/E serta nilai perbandingan E/T merupakan sumbangan
yang penting bagi ilmu kedokteran dan psikologi karena dapat memberikan informasi untuk
mendeteksi penyakit, atau hal lain yang disebabkan oleh keadaan hormonal, misalnya pada
![Page 6: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/6.jpg)
penentuan kelamin atlit dan lain-lain. Selanjutnya disarankan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan perbandingan T/E clan E/T yang lebih teliti dan akurat pada orang Indonesia
normal dan pada berbagai kelainan kelainan hormonal, karena T/E atau E/T dapat merupakan
sidik jari bagi suatu kondisi hormonal tertentu.
Analisis Spektroskopi Kandungan Minyak Mineral dan Minyak Sintetik Berjenis
Poliisobutilena di Dalam Minyak Lumas Otomotif
Suatu teknik analisis baru untuk menentukan kandungan minyak mineral dan minyak sintetik
berjenis poliisobutilena (PIB) dalam minyak lumas otomotif telah dikembangkan dengan
menggunakan metode spektroskopi. Kandungan minyak mineral ditentukan secara
spektrometri inframerah, sedang minyak sintetiknya diterapkan dengan
metode spektrofluorometri. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan metode analisis untuk
menentukan kedua jenis minyak lumas dasar tersebut secara instumental yang sederhana dan
mudah dilakukan, namun mempunyai akurasi dan presisi yang cukup baik. Analisis secara
spektrometri inframerah dilakukan dengan memakai Fourier Transform Infra Red
(FTIR)buatan Perkin Elmer Model 1710 dan buatan Ari Mattson Seri Genesis. Di lain pihak,
analisis secara spektrofluorometri dilakukan dengan menggunakan spektrofluorometer
buatan Perkin Elmer. Model LS-5. Sampel-sampel minyak diperiksa dengan FTIR dalam sel
NaCl 0,1 mm tanpa diencerkan, sedang pemeriksaan dengan spektrofluorometer dilakukan
dalam sel kuarsa 1 cm, setelah sampel tersebut diencerkan dengan n-heksana sampai
konsentrasi tertentu. Untuk penentuan minyak mineral, larutan standar dibuat dengan
mencampur minyak mineral dengan PAO pada berbagai komposisi. Sebaliknya, untuk
analisis PIB, larutan standar dibuat dengan membuat campuran minyak mineral dengan PIB
pada komposisi yang bervariasi. Evaluasi terhadap spektrogram yang diperolah dilakukan
selain berdasarkan puncak-puncak yan gmuncul pada nomor atau panjang gelombang yang
khas, juga pada besarnya absorban atau intensitas fluoresensinya. Dari hasil-hasil yang
diperoleh tampak bahwa kekhasan puncak-puncak minyak mineral muncul pada panjang
gelombang antara 260 mm - 360 mm, sedangkan kekhasan puncak PIB terlihat pada nomor
gelombang 1230 cm pangkat satu. Berdasarkan besarnya absorban atau intensitas fluoresensi
pada panjang gelombang atau nomor gelombang tersebut, mengandung PIB pada rentang
konsentrasi antara 20%-30%. Sedang kNSUNFn minyak mineralnya sangat bervariasi, yaitu
![Page 7: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/7.jpg)
dari yang konsentrasinya tak terdeteksi sampai sekitar 20%-60% dan sekitar 90%. Metode
yang sedang dikembangkan ini memberikan presisi (RSD) kurang dari 4$ dan kesalahan
relatif tidak melebihi 10%.
Analisis Tiamina Hidroklorida Dan Hasil Degradasinya Dalam Larutan Air
Telah dilakukan analisis secara spektrofluorometri dan kromatografi lapis tipis tiamina
hidroklorida dan hasil degradasinya dalam larutan air pada berbagai harga pH dan waktu
penyimpanan tertentu. Penentuan tiamina hidroklorida secara spektrofluorometri didasarkan
atas terbentuknya tiokrom yang berfluoresensi biru dengan panjang gelombang emisi
maksimum 430 nm. Dua senyawa hasil degradasi tiamina hidroklorida dipisahkan dengan
cara kromatografi lapis tipis dan dianalisis langsung secara spektrofluorometri. Hasil
menunjukkan bahwa setelah 17 minggu penyimpanan penurunan kadar tiamina hidroklorida
terkecil terjadi pada larutan pH 3,0 dan terbesar pada larutan pH 10,0.
Studi Reaksi Demetilasi Kinin Menggunakan Asam Hidroiodida
Reaksi demetilasi kinin dilakukan dengan merefluks kinin dalam campuran asam
hidroiodida-asam asetat glasial selama 12 jam pada suhu 127 C. Hasil demetilasi
dimurnikan dengan pengendapan, kristalisasi, dan ekstraksi cair-cair diikuti dengan KLT
preparatif. Dua isolat berhasil diisolasi dan dikarakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet-
sinar tampak, spektrofluorometri, dan spektrofotometri inframerah. Isolat A menunjukkan
serapan maksimum pada panjang gelombang 371 nm, emisi fluoresensi maksimum pada
panjang gelombang 440 nm, serta serapan radiasi inframerah pada bilangan gelombang 3428
dan 1619 cm-1 yang bersesuaian dengan sinyal gugus ikatan rangkap C=C dan –OH fenol.
Isolat B menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang 419 dan 441 nm, emisi
fluoresensi maksimum pada panjang gelombang 465 nm, serta serapan radiasi inframerah
pada bilangan gelombang 3451 dan 462 cm-1 yang bersesuaian dengan sinyal gugus ikatan
C-I dan –OH fenol. Berdasarkan hasil karakterisasi tersebut diduga kedua isolat merupakan
derivat kinin yang sudah mengalami reaksi demetilasi, dan pada isolat B telah terjadi reaksi
adisi.
PENDAHULUAN
Penggunaan alkaloid yang berasal dari kulit batang pohon kina telah dimanfaatkan selama
lebih dari tiga abad untuk tujuan terapeutik maupun ilmu pengetahuan. Kulit batang pohon
![Page 8: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/8.jpg)
kina mengandung alkaloid penting golongan kinolin, yaitu kinin, kinidin, sinkonin, dan
sinkonidin. Kinin merupakan alkaloid utama yang telah dijadikan obat pilihan untuk
mengobati penyakit malaria hingga antimalaria sintetik berhasil diproduksi pada akhir tahun
1940-an (Trease, 1971).
Reaksi demetilasi kinin merupakan tahap awal dari rangkaian tahap pengubahan kinin
menjadi sinkonidin, dan merupakan tahap yang paling sensitif dan kritis dari ke lima tahap
yang direncanakan, karena produk reaksi sangat labil dan mudah teroksidasi. Ke lima tahap
tersebut yakni demetilasi kinin, tosilasi gugus fenol dan alkohol, reduksi produk tosilasi,
hidrolisis tosilat, dan eliminasi iodida (Kartasasmita, 2007).
Penelitian ini bertujuan untuk mengupayakan reaksi demetilasi kinin menggunakan asam
hidroiodida dan mengidentifikasi produk fenol yang diharapkan terbentuk yang disertai
terjadinya reaksi adisi pada ikatan rangkap alifatis.
Pemantauan produk reaksi yang terbentuk dilakukan dengan teknik kromatografi lapis tipis
(KLT) dan keberhasilan reaksi diperkirakan dari perubahan nilai Rf bercak produk reaksi
dibandingkan terhadap nilai bercak pembanding dengan memperhitungkan polaritas
keduanya. Karakterisasi struktur produk reaksi dilakukan dengan teknik spektrofotometri
inframerah, spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak, dan spektrofluorometri.
1.1 Kinin
1.1.1 Taksonomi dan Morfologi
Kinin termasuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida,
bangsa Gentianales, suku Rubiaceae, dan marga Cinchona. Terdapat sekitar 25 jenis yang
umumnya berasal dari lembah pegunungan Andes sekitar Peru dan Ekuador. Kina tergolong
pohon yang selalu berdaun hijau, tingginya lebih kurang 5-15 meter (MMI, 1980). Tidak
semua jenis kina dapat dimanfaatkan untuk memproduksi kinin, banyak yang sebenarnya
tidak mengandung kinin sama sekali (Higuchi, 1961). Jenis yang paling penting dan
bermanfaat adalah Cinchona officinalis L., C. Calisaya Wedd., C. Ledgeriana Moens., dan C.
pubescens (Trease, 1971).
1.1.2 Sejarah Penemuan
Kina dipercaya berasal dari lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan. Nama cinchona
berasal dari Putri Chinchon, istri seorang raja muda Peru, yang pada tahun 1638 terkena
![Page 9: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/9.jpg)
penyakit malaria. Putri tersebut menjadi sembuh setelah diobati menggunakan ramuan herbal
dari kulit kayu “quinquina”. Pada tahun 1639, di Spanyol obat tersebut kemudian diketahui
sebagai ‘Pulvo de la Condesa’, metode penggunaannya dicatat dalam Schedula Romana.
Penyebarannya dilakukan oleh para pendeta Jesuit, sehingga obat tersebut dikenal pula
sebagai bubuk jesuit atau bubuk peruvian. Pada tahun 1677 penggunaan kulit kayu kina
tersebut dicatat dalam London Pharmacopoeia dengan nama cortex peruanus (Trease,1971).
Pada awal tahun 1600, kinin yang digunakan adalah dalam bentuk yang tidak terekstraksi.
Mulai tahun 1820, kulit kayu kina dikeringkan, digiling menjadi serbuk halus, dicampur ke
dalam cairan (umumnya wine) sebelum diminum. Pada sekitar tahun 1850 terjadi
penggunaan kinin skala besar untuk profilaksis. Pada sekitar tahun 1860, para petualang
Inggris dan Belanda terpaksa melakukan penyelundupan benih kina dari bangsa Peru dan
membuka perkebunan di Jawa. Hingga perang dunia II berlangsung, perkebunan-
perkebunan ini mampu mensuplai hampir 95% dari kebutuhan dunia akan kinin. Saat
perang terjadi kebutuhan akan kinin terus meningkat, sehingga penelitian mengenai
produksi kinin sintetik terus dilakukan. Pada tahun 1944, R.B. Woodward dan W.E.
Doering (kimiawan Amerika) berhasil mensintesis kinin sintetik (Cordell, 1981).
1.1.3 Struktur, Tatanama, dan Sifat Fisikokimia
Struktur dan penomoran kinin seperti yang dikemukakan oleh Rabe dan secara biogenetik
adalah sebagai berikut (Cordell, 1981):
Struktur kinin terdiri dari dua bagian, yakni inti kinolin dan kinuklidin. Kinin memiliki
konfigurasi 8S, 9R. Kinin adalah levorotatory stereoisomer dari kinidin (Clarke’s, 2004).
Terdapat empat pusat asimetrik, yaitu pada posisi C-2, C-3, C-15, dan C-20 (berdasarkan
penomoran secara biogenetik) atau pada posisi C-9, C-8, C-4, dan C-3 (berdasarkan
penomoran menurut Rabe) (Cordell, 1981).
Kinin basa memiliki nama kimia yaitu (2-ethenyl-4-azabicyclol[2.2.2]oct-5-yl)-(6-
methoxyquinolin-4-yl)-methanol;6-Methoxy-alpha-(5-vinyl-2quinuclidinyl)-4-quinoline
methanol; (8?,9R)-6’-Methoxycinchonan-9-ol; 6’-Methoxycinchonan-9-ol. Kinin memiliki
rumus molekul C20H24N2O2 dengan berat molekul 324,417 g/mol, tersusun atas C 74,04%,
H 7,46%, N 8,63%, dan O 9,86% (Merck, 2001).
![Page 10: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/10.jpg)
Kinin berbentuk serbuk bergranul atau mikrokristalin, berwarna putih atau praktis putih, tidak
berbau, rasanya sangat pahit, menggelap jika terpapar cahaya, dan sedikit mengembang di
udara kering (The Pharmaceutical Codex, 1994). Satu gram kinin dapat larut dalam 1900 mL
air, 760 mL air mendidih, 0,8 mL alkohol, 250 mL eter, 1,2 mL kloroform, 80 mL benzena
(18 mL benzena pada 50oC), dan 20 mL gliserol. Kinin memiliki jarak lebur 173-175oC dan
rotasi optik pada suhu kamar (25oC) adalah -165o
(C=2 dalam larutan etanol 97%), -169o(C=2 dalam larutan etanol 97%) pada temperatur 15o
C. Kinin stabil pada suhu kamar, tetapi bersifat fotosensitif (Merck, 2001).
1.2 Sifat Fisika dan Kimia Asam Hidroiodida
Asam hidroiodida memiliki nama kimia yaitu hydroiodic acid atau hydriodic acid. Asam
hidroiodida memiliki rumus molekul HI dengan berat molekul 127,904 g/mol. Asam
hidroiodida merupakan asam yang kuat dan bersifat korosif (Merck, 2001).
Asam hidroiodida berbentuk cairan tidak berwarna sesaat setelah pembuatan, tetapi berubah
menjadi kekuning-kuningan atau coklat saat terpapar cahaya dan udara. Asam hidroiodida
dapat bercampur dengan air atau alkohol, dan dapat melarutkan iodin. Asam hidroiodida
membentuk campuran azeotrop dengan titik didih 127oC, kerapatan 1,70 g/L pada campuran
57% HI dan 43% air. Tetapan disosiasinya pada suhu 25oC adalah ~1010. Pada larutan 0,1
molar memiliki pH 1,0 (Merck, 2001).
1.3 Reaksi Demetilasi pada Eter
1.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Eter
Jenis rumus molekul umum eter dapat berasal dari penggantian dua atom hidrogen pada
sebuah molekul air oleh gugus alkil, namun eter lebih dianggap sebagai turunan dari alkohol
(Fieser, 1950). Eter memiliki rumus molekul umum ROR’. Struktur molekul umum air,
alkohol, dan eter menurut Fessenden adalah sebagai berikut (Fessenden, 1981) :
Besar sudut ikatan atom oksigen pada eter sedikit lebih besar daripada air. Besar sudut ikatan
atom oksigen pada dimetil eter (eter yang paling sederhana) adalah 110o, sedangkan
besar sudut ikatan atom oksigen pada air adalah 108o (Solomons, 1980).
Eter memiliki titik didih yang jauh lebih rendah dari alkohol pada berat molekul yang sama.
Eter tidak dapat membentuk ikatan hidrogen antara molekul-molekulnya, karena tidak
mempunyai hidrogen yang terikat pada oksigen. Tetapi eter dapat membentuk ikatan
![Page 11: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/11.jpg)
hidrogen dengan air, alkohol, atau fenol (Fessenden, 1981). Pada penjelasan selanjutnya
hanya akan dibahas mengenai dimetil eter.
1.3.2 Sifat Fisika dan Kimia Dimetil Eter
Dimetil eter memiliki nama kimia methoxymethane, dengan rumus molekul CH3OCH3 dan
berat molekul 46,07 g/mol. Struktur molekul dimetil eter menurut Solomons adalah sebagai
berikut (Solomons, 1980) :
Dimetil eter berbentuk gas tidak berwarna, dan berbau khas eter. Dimetil eter memiliki titik
lebur -140oC, dan titik didih -24,9oC. Kerapatan pada 20oC adalah 0,661 g/L. Gas
dimetileter bersifat larut dalam air, metanol, etanol, dan toluena (Solomons, 1980).
1.3.3 Hubungan Dimetil Eter dan Kinin
Berdasarkan struktur kimia kinin pada Gambar 1.1. terlihat bahwa struktur gugus metoksi
yang akan mengalami demetilasi mirip dengan struktur gugus metoksi pada dimetil eter.
Gugus metoksi merupakan gugus fungsi yang terdiri atas gugus metil yang berikatan dengan
oksigen.
Dalam tatanama kimia organik, gugus metoksi umum digunakan untuk mengilustrasikan
gugus eter. Melalui penganalogian struktur tersebut, maka metode pemutusan gugus metil
pada kinin dapat berdasarkan metode demetilasi pada dimetil eter.
1.3.4 Metode Reaksi Demetilasi Pada Eter
a. Reaksi demetilasi menggunakan asam kuat
Saat eter alifatik (seperti dimetil eter) dipanaskan dengan larutan asam kuat, eter
mengalami reaksi substitusi. Pemanasan dengan larutan HBr atau HI menyebabkan eter
mengalami reaksi substitusi dan menghasilkan campuran alkohol dan alkil halida (pada
kondisi larutan HBr atau HI yang berlebih, alkohol dapat mengalami reaksi lebih lanjut
dengan larutan HBr atau HI yang akan menghasilkan alkil bromida atau alkil iodida
tambahan). Alkil fenil eter, misalnya anisol, menghasilkan alkil iodida dan fenol (bukan
iodobenzena). Hal ini dikarenakan ikatan dari karbon sp2lebih kuat daripada ikatan karbon
sp3 (Fessenden, 1979).
Asam hidroklorida dapat mendemetilasi dimetil eter, tetapi melalui reaksi yang sangat
lambat. Hanya asam hidrobromida dan asam hidroiodida yang dapat memberikan laju reaksi
yang lebih cepat terhadap proses demetilasi tersebut. Asam hidroiodida memberikan laju
![Page 12: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/12.jpg)
reaksi yang paling cepat. Asam hidrobromida dapat bertindak sama pada suhu yang lebih
tinggi, yaitu 200oC (Wagner, 1963).
Metode standar reaksi demetilasi pada senyawa metoksi hanya dapat terjadi pada kondisi
yang ekstrim, yaitu dengan cara direfluks menggunakan asam hidroiodida 25%, atau dengan
pendidihan-konstan menggunakan asam hidrobromida dalam larutan asam asetat (Fieser,
1950).
b. Reaksi demetilasi menggunakan boron tribromida
Asam kuat terlalu merusak bagi senyawa organik sensitif seperti eter, sehingga boron
tribromida terkadang digunakan untuk memutus ikatan dalam eter alifatik menjadi alkohol
dan alkil halida (Norman, 1993).
Alumunium halida dan boron halida dapat digunakan untuk mendealkilasi alkil aril eter
menjadi fenol. Alumunium klorida dan eter pertama kali bereaksi membentuk kompleks
kemudian sebuah molekul alkil halida dieliminasikan selama pemanasan berlangsung
(Wagner, 1963).
c. Reaksi demetilasi menggunakan garam natrium dalam larutan basa
Diaril eter dan alkil aril eter dapat didemetilasi menggunakan natrium amida, natrium
hidroksida, dan natrium dalam larutan amoniak atau piridin. Anisol, fenetol, fenil benzil eter,
dan difenil eter diubah menjadi fenol dengan cara direfluks menggunakan natrium atau
kalium dalam larutan piridin (Wagner, 1963).
1.4 Reaksi Adisi Hidrogen Halida pada Alkena
Alkena merupakan seri homolog suatu senyawa yang keseluruhannya memiliki rumus CnH2n
dan memiliki dua atom hidrogen lebih sedikit dibanding alkana. Karena tidak semua elektron
valensi dari atom karbon dimanfaatkan oleh atom hidrogen, maka alkena disebut juga sebagai
hidrokarbon tidak jenuh yang umumnya dijelaskan melalui keberadaan ikatan rangkap C=C.
Simbol C=C mengindikasikan dua buah atom karbon yang disatukan oleh dua buah ikatan.
Berbagai reaksi adisi dan oksidasi berlangsung pada ikatan rangkap C=C karena merupakan
tempat yang reaktif dalam molekul (Walter, 1996).
Reaksi adisi hidrogen halida pada alkena akan menghasilkan alkil halida. Hidrogen iodida
bereaksi paling mudah, hidrogen bromida bereaksi sedang, sedangkan hidrogen klorida
paling kurang bereaksi dengan alkena.
![Page 13: ANALISIS SPEKTROFLUOROMETRI Digoksin](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072108/55cf9d0a550346d033abfdef/html5/thumbnails/13.jpg)
Asam hidroiodida bereaksi dengan etilena membentuk iodoetana (etil iodida) sesuai dengan
reaksi (Walter, 1996) :
1.5 Startegi Reaksi Demetilasi Kinin Menggunakan Asam Hidroiodida
Mekanisme reaksi secara umum serangan nukleofilik asam hidroiodida terhadap gugus
metoksi pada eter dapat dilihat pada Gambar 1.8. (Walter, 1996).
1.5 Startegi Reaksi Demetilasi Kinin Menggunakan Asam Hidroiodida
Mekanisme reaksi secara umum serangan nukleofilik asam hidroiodida terhadap gugus
metoksi pada eter dapat dilihat pada Gambar 1.8. (Walter, 1996).