analisis spasial

46
IDENTIFIKASI SPATIAL PATTERN DAN AUTOKORELASI SPATIAL (STUDI KASUS: JUMLAH KASUS KEMATIAN BARU KARENA AIDS DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2012) INTERPOLASI SPASIAL DENGAN Analisis Spasial DISUSUN OLEH FARISCA SUSIANI (1314201029) RORY (1314201711) VIVIN NOVITA DEWI (1314201719)

Upload: farisca-susiani

Post on 29-Sep-2015

43 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Kriging dan Autokorelasi

TRANSCRIPT

Analisis Spasial

identifikasi Spatial Pattern dan Autokorelasi spaTial(studi kasus: Jumlah KAsus kematian baru Karena aids di Provinsi daerah istimewa yogyakarta tahun 2012)interpolasi spasial dengan pendekatan Ordinary Kriging(Studi Kasus: Kandungan Debu Kota semarang tahun 2012)

DISUSUN OLEHFARISCA SUSIANI(1314201029)RORY(1314201711)VIVIN NOVITA DEWI(1314201719)DOSENDR. SUTIKNO, S.SI, M.SI

Program PascasarjanaStatistikaFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamInstitut Teknologi Sepuluh Nopember SurabayaKampus ITS SukoliloSurabaya, 60111

INTERPOLASI SPASIAL DENGAN PENDEKATAN ORDINARY KRIGING(Studi Kasus KANDUNGAN DEBU KOTA SEMARANG TAHUN 2012)

ABSTRAKPencemaran udara merupakan masalah yang sangat serius untuk ditangani karena udara adalah elemen dasar dan berpengaruh langsung terhadap kesehatan manusia. Selain berpengaruh ke kesehatan, pencemaran udara dapat mengganggu keseimbangan alam khususnya atmosfer. Diantara sekian banyak bahan yang menyebabkan pencemaran udara adalah partikel/debu. Dalam upaya untuk menanggulangi pencemaran udara maka ketersediaan informasi mengenai tingkat pencemaran udara di suatu lokasi dalam penelitian ini Kota Semarang menjadi suatu keharusan. Dalam pengukuran data pencemaran udara, tidak semua titik terdapat alat pengukur karena adanya suatu keterbatasan. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dibutuhkan suatu metode untuk dapat menaksir suatu nilai untuk titik yang tidak terukur, yaitu ordinary kriging. Dalam penelitian ini dilakukan estimasi kandungan debu di Kota Semarang. Model semivariogram terbaik yang digunakan adalah model Spherical dengan parameter variogramnya adalah Sill = 24490, Range = 31100, dan Nugget = 2610. Hasil interpolasi kandungan debu tiap Kecamatan di Kota Semarang tahun 2012 menunjukkan bahwa estimasi kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 dan terendah sebesar 144,2 dengan rataan estimasi kandungan debu sebesar 179, hasil estimasi kandungan debu ini tidak melebihi batas atas mutu baku yang telah ditetapkan. Dua kecamatan yang memiliki kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 jika melihat dari titik lokasi adalah Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mijen.Kata Kunci: debu, semivariogram, spherical, ordinary kriging

1. PENDAHULUANPencemaran udara merupakan masalah yang sangat serius dan darurat untuk ditangani karena udara adalah elemen dasar dan berpengaruh langsung terhadap kesehatan manusia. Selain berpengaruh ke kesehatan, pencemaran udara dapat mengganggu keseimbangan alam khususnya atmosfer. Diantara sekian banyak bahan yang menyebabkan pencemaran udara adalah partikel/debu. Debu/partikel adalah benda padat yang terjadi karena proses mekanis (pemecahan reduksi) terhadap massa padat yang masih dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Partikel/debu dapat terhirup melalui saluran pernafasan. Partikel yang berukuran lebih besar dari 0,6 akan tertahan pada saluran nafas bagian atas, sedangkan yang dibawah 0,3 akan mengikuti gerakan brown, yaitu keluar masuk, dan hanya yang memiliki ukuran antara 0,3 0,6 akan sampai pada bagian alveoli paru (BPPT dalam Prayudi, T. dan Susanto, J.P., 2001).Kota Semarang sebagai ibukota propinsi dan industri mempunyai mobilitas yang tinggi dimana angka peningkatan jumlah kendaraan bermotor rata-rata pertahun mencapai 5-9 persen (Fikri, 2011). Peningkatan kendaraan bermotor ini tergolong cukup tinggi dan bisa menjadi salah satu sebabterjadinya pencemaran udara di Kota Semarang. Pada Tahun 2012, terlihat (lampiran 1) masih terdapat kecamatan di Kota Semarang yang memiliki kandungan debu melebihi ambang batas atas mutu baku yang ditetapkan Gubernur tahun 2008. Maka menjadi sangat penting dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran udara karena partikel/debu. Dalam upaya untuk menanggulangi pencemaran udaramaka ketersediaan informasi mengenai tingkat pencemaran udara di suatu lokasi (Kota Semarang) menjadi suatu keharusan.Menurut Noll dan Miller (1977) dalam Rachmawati (2009) konsentrasi kualitas udara dekat dengan sumbernya akan tinggi dan mulai menurun seiring bertambahnya jarak. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh spasial dalam pendugaan tingkat pencemaran udara, begitupula dengan kadar debu di suatu lokasi.Metode kriging merupakan suatu metode interpolasi spasial untuk menduga nilai suatu peubah di lokasi tertentu, berdasarkan nilai terboboti dari peubah yang sama pada lokasi lainnya untuk memprediksi nilai pada lokasi lain yang belum ada atau tidak tersampel. Beberapa penelitian terkait pencemaran udara dengan menggunakan metode kriging yaituRachmawati (2009) melakukan pendugaan kadar NO2 dengan membandingkan metode ordinary kriging dan co kriging di kota Bogor. Puspita, W., Rachmatin, D., dan Suherman, M. (2012) menggunakan metode ordinary kriging untuk menghitung estimasi kandungan sulfur dalam lapisan batubara. Metode ordinary kriging digunakan ketika rata-rata populasi tidak diketahui.

2. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Metode KrigingMetode kriging digunakan oleh G. Matheron pada tahun 1960-an, untuk menonjolkan metode khusus dalam moving average terbobot (weighted moving average) yang meminimalkan variansi dari hasil estimasi. Kriging adalah suatu teknik perhitungan untuk estimasi dari suatu variabel terregional yang menggunakan pendekatan bahwa data yang dianalisis dianggap sebagai suatu realisasi dari suatu variabel acak dan keseluruhan variabel acak yang dianalisis tersebut akan membentuk suatu fungsi acak menggunakan struktur model struktural variogram.Secara umum, kriging merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis data geostatistik, yaitu untuk menginterpolasi suatu nilai kandungan mineral berdasarkan data sampel. Data sampel pada ilmu kebumian biasanya diambil di lokasi-lokasi atau titik-tiitk yang tidak beraturan. Dengan kata lain, metode ini digunakan untuk mengestimasi besarnya nilai karakteristik pada titik tidak tersampel berdasarkan informasi dari karakteristik titik-titik tersampel Z yang berada di sekitarannya dengan mempertimbangkan korelasi spasial yang ada dalam data tersebut.Estimator kriging dan Z(s) dapat dituliskan sebagai berikut: (1)dengan:s,: lokasi untuk estimasi dan salah satu lokasi dari data yang berdekatan, dinyatakan dengan im(s): nilai ekspektasi dari Z(s): nilai ekspektasi dari : faktor pembobot: banyaknya data sampel yang digunakan untuk estimasi (Bohling, 2005) dianggap sebagai bidang acak dengan suatu komponen trend m(s) dan komponen sisa e(s) = Z(s) m(s). Estimasi kriging untuk sisa pada s adalah jumlah terbobot dari sisa pada sekitar data titik. Nilai diturunkan dari fungsi kovarian atau semivariogram, yang harus mencirikan komponen sisa.Tujuan kriging adalah menentukan nilai yang meminimalkan variansi pada estimator, dapat dinyatakan sebagai berikut: Z(s)} (2)2.2. Ordinary KrigingOrdinary kriging adalah salah satu metode yang terdapat pada metode kriging yang sering digunakan pada geostatistika. Pada metode ini, memiliki asumsi khas untuk penerapan yang mudah digunakan ordinary kriging adalah intrinsic stationarity dari bidang dan pengamatan yang cukup untuk mengestimasi variogram. Ordinary kriging juga memiliki asumsi matematika dalam penerapannya, asumsi tersebut adalah sebagai berikut:1. Rata-rata E[Z(x)] = tidak diketahui tetapi konstan,2. Variogram untuk diketahui.Pada Cressie (1993) dijelaskan bahwa ordinary kriging berhubungan dengan prediksi spasial dengan dua asumsi.Asumsi Model: (3)Asumsi Prediksi: dengan (4)dengan:e(s): nilai error pada Z(s)n: banyaknnya data sampel yang digunakan untuk estimasiKarena koefisien dari hasil penjumlahan prediksi linier adalah 1 dan memiliki syarat tak bias maka E( == E(Z(s)), untuk setiap dan karena Z(s) merupakan suatu konstanta maka E(= Z(s).Jika terdapat estimator eror pada setiap lokasi, maka merupakan perbedaan antara nilai estimasi dengan nilai sebenarnya Z(s), yang didefinisikan sebagai berikut : (5)dengan E(Dengan menggunakan persamaan (5) dapat dibuktikan bahwa merupakan estimator tak bias. Buktinya adalah sebagai berikut :

karena E(, maka diperoleh:

berdasarkan pembuktian diatas terbukti bahwa merupakan estimator tak bias dari Ordinary kriging juga akan meminimalkan rata-rata estimator eror kuadrat. Dengan persamaan berikut ini :

karena E(, maka , sehingga diperoleh:

Metode kriging bertujuan menghasilkan estimator yang bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Dan ordinary kriging juga mempunyai sifat estimator yang BLUE (Puspita, 2013).2.3. Variogram atau SemivariogramVariogram adalah suatu fungsi acak intrinsik yang menunjukkan seberapa besar perubahan perbedaan sebanding dengan peningkatan jarak (Fridayani, 2012). Apabila variabel pengukuran dan semakin jauh maka nilai - akan semakin besar. Tujuan utama dari variogram adalah untuk memahami perbedaan kuadrat antar setiap titik : (6)Jika varians dari perbedaan hanya tergantung pada perbedaan maka:. Fungsi disebut variogram sedangkan fungsi disebut semivariogram.Semivariogram eksperimental adalah semivariogram yang diperoleh dan dihitung dari sampel. Semivariogram ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: (7)dengan : lokasi titik sampel: nilai pengamatan pada lokasi: jarak antara dua titik sampel: pasangan titik sampel yang berjarak h: banyaknya pasangan berbeda yang memiliki jarak hBeberapa model variogram anisotropik yaitu (GS+ Users Guide, 2008 dalam Rachmawati, 2009):a. Model linier dimana b. Model Eksponensial

dimana atau 3.c. Model Spherikal

Dimana dan range (A) sama dengan atau d. Model Gaussian

Dimana dan range(A) sama dengan atau .

3. METODOLOGIData pada penelitian ini diperoleh dari data sekunder (BPS, 2015) dengan sumber dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang. Titik atau sampel yang menjadi penelitian adalah seluruh kecamatan di Kota Semarang yaitu sebanyak 16 Kecamatan. Kandungan udara yang diteliti adalah debu ( gr/ di Kota Semarang pada tahun 2012.Langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan estimasi menggunakan ordinary kriging yaitu:Misalnya memperoleh data a. Hitung nilai minimum, maksimum dan median dari X,Y, dan Sb. Hitung nilai rata-rata sampel c. Plotkan antara S (kandungan debu), jika plot tidak terdapat trend, maka data dikatakan stasioner.d. Menentukan pasangan data, kemudian hitung jaraknya.e. Hitung nilai semivariogram eksperimental. Dari semivariogram akan diperoleh nilai sill dan range.f. Mencocokkan semivariogram eksperimental dengan semivariogram teoritis dengan melihat nilai MSE terkecil.g. Setelah memperoleh semivariogram teoritis yang sesuai dengan data, selanjutnya semivariogram digunakan untuk estimasi data.h. Kemudian buat plot hasil estimasi data.

4. HASIL DAN PEMBAHASANPada tahun 2012, terdapat empat kecamatan dimana kandungan debunya melebihi batas atas (230 gr/) mutu baku (Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 8 Tahun 2001) yaitu Kecamatan Semarang barat, Kecamatan Mijen, Kecamatan Tembalang, dan Kecamatan Ngalian yaitu masing-masing 337,8 gr/ ; 312,8 gr/; 314,9 gr/; dan 275,1 gr/ (Lampiran 1). Pada analisis ordinary kriging terdapat beberapa asumsi yang dipenuhi, diantaranya stationeritas dan normalitas. Sebelumnya akan dibahas mengenai eksplorasi data untuk mengetahui karakteristik kandungan debu4.1. Karakteristik Kandungan Debu di Kota Semarang Th. 2012Karakteristik kandungan debu di Kota Semarang dilihat berdasarkan nilai maksimum, minumum, rata-rata dan varians yang telah tersajikan pada Tabel 1.Tabel 1. Karakteristik Kandungan DebuVariabelNilai MinimumNilai MaksimumRata-RataVarians

Debu58,93337,8173,68927,67

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa karakteristik kandungan debu tertinggi bernilai 337,8 yaitu Kecamatan Semarang Barat, sedangkan untuk kandungan debu terendah sebesar 58,93 yaitu Kecamatan Semarang Timur. Secara keseluruhan rata-rata kandungan debu di Kota Semarang sebesar 173,6 dimana masih dalam batas muku baku Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Th. 2001. Namun nilai varians yang sangat besar menunjukkan masih adanya kesenjangan kandungan debu di setiap Kecamatan di Kota Semarang. Selanjutnya dilakukan analisis outlier menggunakan box plot pada Minitab 16 untuk mengetahui ada tidaknya data pencilan pada kandungan debu, karena adanya data yang mengandung outlier akan membuat lonjakan pada variogram eksperimental. Pada Gambar 1. terlihat tidak terdapat data pencilan pada kandungan debu di Kota Semarang tahun 2012. Selain itu secara visual tampak kandungan debu yang melebihi rata-rata lebih banyak daripada yang berada di bawah rata-rata. Hal tersebut ditunjukkan oleh lebih besarnya kotak bagian atas dibandingkan kotak bagian bawah pada box plot kandungan debu.

Gambar 1. Boxplot Data Kandungan Debu4.2. Pengujian Stasioneritas dan Normalitas Kandungan Debu Stasioneritas merupakan suatu syarat data geostatistik dapat dianalisis menggunakan kriging maupun cokriging. Data dikatakan bersifat stasioner jika tidak memiliki kecenderungan terhadap trend tertentu, atau data berada disekitar nilai rata-rata yang konstan Kestationeran data kandungan debu dapat diamati melalui time series plot dengan bantuan program Minitab pada Gambar 2. berikut ini.

Gambar 2. Time Series Plot Data Kandungan DebuSebuah variabel stasioner tidak memiliki sebuah trend sedangkan variabel non-stasioner jika dilihat secara visual terdapat lengkungan dari semua variabelnya, hal itulah yang kemudian dinamakan trend dari variabel non-stasioner. Pada plot di Gambar 2, pola data tidak memiliki trend, sehingga secara kualitatif dapat disimpulkan data bersifat stationer. Oleh karena itu data tersebut dapat diestimasi menggunakan metode ordinary kriging. Selanjutnya menguji asumsi kedua, yaitu normalitas data kandungan debu. Pengujian asumsi dilakukan menggunakan Shapiro-Wilk Normality Test yang terdapat pada paket program R 2.14.0, pengujian ini terbatas untuk ukuran sampel 3-50. Dengan menggunakan signifikansi sebesar 0,05 dan statistik uji P-value pada output R digunakan kriteria tolak hipotesis kenormalan jika P-value < . Hasil dari pengujian menunjukkan bahwa nilai Shapiro-Wilk sebesar 0,9023 dan P-value sebesar 0,08753, nilai tersebut lebih dari 0,05 sehingga data berdistribusi normal.4.3. Semivariogram Eksperimental Kandungan DebuSetelah asumsi stasioneritas dan normalitas terpenuhi maka dilakukan perhitungan semivariogram eksperimental untuk kandungan debu, model yang digunakan adalah isotropi. Perhitungan dilakukan menggunakan paket program R 2.14.0. Berikut adalah hasil perhitungan semivariogram eksperimental pada kandungan batubara.Tabel 2. Semivariogram Eksperimental Kandungan DebuKelasN(h)Jarak (h)Semivariogram ((h))

121302.5512962.213

221699.8477498.792

342263.1628256.891

452779.6435893.95

553229.2297824.719

643799.2475439.96

734296.7711405.77

884742.1083259.768

925146.3591225.418

1055703.56213649.02

1166118.3935859.285

1276709.313489.46

1357232.227971.6335

Selanjutnya, dilakukan analisis struktural untuk menentukan semivariogram teoritis yang sesuai dan digunakan pada analisis lebih lanjut. Dari hasil perhitungan semivariogram eksperimental diperoleh jumlah pasangan data pada masing-masing kelas dan jarak dari setiap pasangan data beserta nilai semivariogramnya. Jumlah total pasangan data sebanyank 58, Sedangkan plot semivariogramnya sebagai berikut.

Gambar 3. Semivariogram Eksperimental Data Kandungan Debu4.4. Menentukan Model Semivariogram Kandungan DebuPembentukan model semivariogram teoritis membutuhkan penentuan parameter. Parameter yang akan dicari adalah Sill, Nugget, dan Range. Nilai parameter yang digunakan dalam perhitungan ini diperoleh melalui analisis menggunakan program GS+ 9. Sehingga didapat parameter masing-masing model semivariogram sebagai berikut.

Tabel 3. Parameter ModelModelSillNuggetRange

Linear12405,962600,339409,14

Exponensial24490266031100

Spherical24490261031100

Gaussian30380464025963,44

Jika ditulis dalam bentuk persamaan berikut beberapa model semivariogram teoritisa. Model Linear

b. Model Eksponensial

c. Model Spherical

d. Model Gaussian

Pada beberapa penelitian, terdapat peneliti yang mencari nilai sill dari variasi sampel, nilai range yang dihitung dengan meminimumkan residual dari hasil perhitungan estimasi dengan menggunakan range yang ada pada semivariogram eksperimental dan menetapkan nilai nugget adalah 0 (Bahtiyar, Hoyyi, dan Yasin, 2014).4.5. Pengujian dan Pemilihan Model Semivariogram Kandungan DebuSetelah semua model didapatkan, langkah selanjutnya adalah melakukan uji kecocokan model untuk setiap model tersebut dengan tujuan mendapatkan model yang valid dan dapat digunakan untuk melakukan pendugaan. Sebelum melakukan kecocokan model, terlebih dahulu akan dilakukan uji normalitas residual menggunakan Shapiro-Wilk Normality Test dengan bantuan paket program R 2.14.0. Selanjutnya dengan menggunakan signifikansi sebesar 0,05 dan statistik uji P-value pada output R digunakan kriteria tolak hipotesis kenormalan jika P-value < . Nilai dari masing-masing model ditunjukkan dalam Tabel 4.Tabel 4. Pengujian Normalitas ResidualModelShapiro-WilksP-valueKeputusan

Linear0,89820,07519Residual Berdistribusi Normal

Eksponensial0,89170,05918Residual Berdistribusi Normal

Spherical0,89290,06195Residual Berdistribusi Normal

Gaussian0,89630,07014Residual Berdistribusi Normal

Berdasarkan Tabel 4. terlihat bahwa residual pada semua model berdistribusi normal. Setelah dilakukan uji normalitas residual, langkah selanjutnya memilih model semivariogram terbaik. Model semivariogram terbaik dipilih berdasarkan kriteria Root Mean Square Deviation (RMSD), R-Square, dan Residual Sum Square (RSS).RMSD adalah perbedaan antara nilai prediksi dan nilai-nilai yang diamati sebenarnya, Nilai kecil pada RSMD menunjukkan, semakin baik prediksi tersebut. RMSD digunakan untuk membandingkan berbagai model spasial dan mengukur keakuratan prediksi. Adapun rumus dari RMSD adalah sebagai berikut.

Perhitungan RMSD, R-square, dan RSS menggunakan paket program R.2.14.0 menghasilkan nilai-nilai sebagai berikut untuk setiap model.Tabel 5. Pemilihan Model SemivariogramModelRMSDR-squareRSS

Linear101,23080,0000001163962,9

Eksponensial100,14530,2683773160465,2

Spherical98,980150,1334445156753,1

Gaussian99,219450,1000547157512

Kriteria yang dipilih adalah nilai RMSD terkecil, R-square terbesar dan RSS terkecil. Berdasarkan kedua kriteria tersebut terlihat bahwa pada Tabel 5 Model Spherical dengan sill sebesar 24490; nugget sebesar 2610; dan range sebesar 31100 adalah variogram teoritis yang sesuai dengan variogram eksperimental meskipun nilai R-square Model Spherical lebih kecil daripada Model Eksponensial namun secara keseluruhan Model Spherical adalah yang sesuai. Berikut adalah plot model semivariogram Spherical.

Gambar 4. Model Semivariogran Spherical Data Kandungan Debu4.6. Interpolasi Kandungan debu Setelah memperoleh model semivariogram yang sesuai dengan data kandungan debu, selanjutnya semivariogram tersebut akan digunakan untuk interpolasi kandungan debu. Pada penyelesaian kasus ini estimasi akan dilakukan untuk 972 lokasi dengan dibantu oleh paket program R.2.14.0. Berikut ini adalah plot hasil estimasi besarnya kandungan debu dari yang terendah hingga terendah beserta plot interpolation grid dan lokasi pengamatan.

Gambar 5. Interpolation Grid dan Lokasi PengamatanPada Gambar 5 menunjukkan terdapat 6052 lokasi yang digunakan untuk interpolasi dan letak 16 lokasi pengamatan dalam estimasi kandungan debu di Kota Semarang. Hal tersebut berfungsi untuk lebih menggambarkan kondisi kandungan debu yang nantinya dapat memudahkan interpretasi pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Plot Estimasi Kandungan Debu Kota SemarangBerdasarkan hasil estimasi yang tersajikan pada Gambar 6. kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 dan terendah sebesar 144,2 dengan rataan estimasi kandungan debu sebesar 179, hasil estimasi kandungan debu ini tidak melebihi batas atas mutu baku yang telah ditetapkan. Dua kecamatan yang memiliki kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 jika melihat dari titik lokasi adalah Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mijen.

5. KESIMPULANBerdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap kandungan debu di Kota Semarang tahun 2012 menggunakan metode kriging didapatkan dua kesimpulan sebagai berikut.1) Model semivariogram terbaik yang digunakan adalah model Spherical dengan parameter variogramnya adalah Sill = 24490, Range = 31100, dan Nugget = 2610. Sehingga persamaan model semivariogram yang digunakan adalah

2) Hasil interpolasi kandungan debu tiap Kecamatan di Kota Semarang tahun 2012 menunjukkan bahwa estimasi kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 dan terendah sebesar 144,2 dengan rataan estimasi kandungan debu sebesar 179, hasil estimasi kandungan debu ini tidak melebihi batas atas mutu baku yang telah ditetapkan. Dua kecamatan yang memiliki kandungan debu tertinggi sebesar 215,6 jika melihat dari titik lokasi adalah Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan Mijen.

6. DAFTAR PUSTAKAAisyiah, K., Sutikno, dan Latra, I.N. (2014), Pemodelan Konsentrasi Partikel Debu ( Pada Pencemaran Udara di Kota Surabaya denan Metode Geographically-Temporal Weighted Regression, Jurnal Sains dan Seni POMITS, Vol. 2, No. 1 (2014).Bohling, G. (2005), Kriging, C&PE 940, [online], tersedia tanggal 28 Maret 2015.Bahtiyar, A.D.R, Hoyyi, A., dan Yasin, H. (2014). Ordinary Kriging dalam Estimasi Curah Hujan di Kota Semarang. Jurnal Gaussian, Vol 3, No. 2, hal 151-159.Cressie, Noel A.C. (1993), Statistics for Spatial Data, John Wiley & Sons, Inc., New York.Fikri, Erlando. (2011), Analisis Perbedaan Kapasitas Fungsi Paru Pada Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Kadar Debu Total Ambien di Jalan Nasional Kota Semarang Tahun 2010, Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.Fridayani, N.M.S., Kencana, I.P.E., dan Sukarsa, K.G. (2012), Perbandingan Interpolasi Spasial Dengan Metode Ordinary dan Robust Kriging Pada Data Spasial Berpencilan, e-Jurnal Matematika, Vol. 1, No. 1, Agustus 2012, hal. 68-74.Lichtenstern, A. (2013), Kriging Methods in Spatial Statistics, Bachelors Thesis, Technische Universitat Munchen, Munchen.Ligas, M. dan Kulezyeki, M. (2010), Simple spatial prediction-least squares prediction, simple kriging and conditional expectation of normal vector, Geodesy and Cartography, Vol. 59, No. 2, hal. 69-81.Puspita, W., Rachmatin, D., dan Suherman, M. (2012), Analisis Data Geostatistik Menggunakan Metode Ordinary Kriging [online], tersedia tanggal 28 Maret 2015.Prayudi, T., Susanto, J.P. (2001), Kualitas Debu Dalam Udara Sebagai Dampak Industri Pengecoran Logam Ceper, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 2, No. 2, Mei 2012, hal. 158-174.Racmawati, D. (2009), Pendugaan Kadar Dengan Metode Ordinary dan Cokriging (Studi Kasus: Pencemaran udara di Kota Bogor), Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

7. LAMPIRANLampiran 1. Data Kandungan Debu Kota SemarangNoLOKASIHASIL ANALISA

NO2[gr/m3]SO2[gr/m3]CO[gr/m3]H2S[ppm]NH3[ppm]Ox[gr/m3]Debu[gr/m3]

1Kantor Kec Gayam Sari< 0,67< 26674