analisis putusan mahkamah konstitusi no. 46/puu-viii/2010 tanggal 17 februari 2012 berdasarkan...

Upload: fajarcs

Post on 11-Oct-2015

100 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tugas KelompokMata Kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahBerkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan ada dua pandangan yang berkembang. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan[footnoteRef:1]. [1: Faizah Bafadhal, Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, (Jambi: Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2012), hal. 25.]

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa menurut pandangan yang pertama, sahnya suatu perkawinan hanya didasarkan pada aturan-aturan agama, sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) UUP. Artinya pencatatan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan secara hukum tidak menjadi syarat sahnya suatu perkawinan, sedangkan menurut pandangan yang kedua, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah. Terhadap dua pandangan tersebut, hingga saat ini belum ditemukan suatu titik temu.Terkait dengan adanya dualisme pencatatan perkawinan tersebut di atas, ditemukan putusan hakim yaitu Putusan No. : 05 / Pdt.G/ 2011 / PN. Kbj, dimana di dalamnya ditemukan indikasi permasalahan terkait pencatatan perkawinan.

B. Pokok PermasalahanBerdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah:1. Bagaimana akibat hukum pencatatan perkawinan terhadap hak waris?2. Bagaimana kesesuaian Putusan Nomor terhadap mazhab pencatatan perkawinan yang berlaku di Indonesia?

C. TujuanTujuan dari penelitian ini adalah:1. Membahas dengan detil mengenai akibat hukum pencatatan perkawinan terhadap hak waris.2. Membahas dengan detil kesesuaian putusan hakim No. : 05 / Pdt.G/ 2011 / PN. Kbj terhadap mazhab pencatatan perkawinan yang berlaku di Indonesia.

D. Metode PenelitianBentuk dari penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian

E. Sistematika Penulisan

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. PENCATATAN PERKAWINAN1. Menurut Undang-Undanga. Pengertian PerkawinanMenurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1/1974) ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.b. Syarat-Syarat PerkawinanSyarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UU No. 1/1974. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:1) Syarat Materiil adalah syarat yang mengenai atau berkaitan dengan diri pribadi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan.[footnoteRef:2] Syarat-syarat materiil terdiri dari:[footnoteRef:3] [2: Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 21.] [3: Jurnal Hukum, Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan (http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan)]

a) perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan).b) harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).c) bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan).d) bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan).e) bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, udang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).2) Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan, baik syarat yang mendahului maupun syarat yang menyertai pelangsungan perkawinan.[footnoteRef:4] Syarat-syarat formil terdiri dari:[footnoteRef:5] [4: Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 21.] [5: Jurnal Hukum, Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan (http://www.jurnalhukum.com/syarat-syarat-sahnya-suatu-perkawinan)]

a) Laporanb) Pengumumanc) Pencegahand) Pelangsunganc. Syarat Sahnya PerkawinanMenurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum dan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.Penjelasan Pasal 2 menentukan bahwa dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.[footnoteRef:6] [6: Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 12.]

Menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pencatatan perkawinan selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 (PP No. 9/1975).Perkawinan yang sah juga wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana di tempat dilaksanakannya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan yang dicatat pada Register Akta Perkawinan dan atas pencatatan tersebut maka dikeluarkan Kutipan Akta Perkawinan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006)Pasal 34 ayat (1) berbunyi:Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang- undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.ayat (2) berbunyi:Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Apabila suami atau istri tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta perkawinan maka pencatatan perkawinan dapat dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Pasal 36 PP No. 1/1975, berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Akte perkawinan adalah sama dengan akta yang lain yang penting seperti akte kelahiran, akte kematian, berarti bahwa akte perkawinan pun adalah alat bukti tentang peristiwa yang diterangkan di dalamnya, yang membuktikan bahwa perkawinan yang dimaksud di dalam perkawinan itu benar telah dilangsungkan.Oleh karenanya dapat disimpulkan syarat sahnya perkawinan adalah dilakukan menurut agamanya masing-masing dan perkawinan tersebut harus dicatat. [footnoteRef:7] [7: Ibid., hal. 57.]

Undang-undang perkawinan tidak secara rinci mengatur mengenai bukti perkawinan, seperti yang diatur dalam Pasal 100-102 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 100 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa: Adanya suatu perkawinan tak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta pelangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-register catatan sipil.[footnoteRef:8] [8: Ibid.]

Pasal 101 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan bahwa: Apabila ternyata, bahwa register-register itu tak pernah ada, atau telah hilang atau pula akta perkawinanlah yang taka da di dalamnya, maka terserahlah pada pertimbangan hakim soal cukup atau tidaknya bukti-bukti itu, asal saja hubungam selaku suami-isteri jelas nampaklah adanya.[footnoteRef:9] [9: Ibid.]

2. Concurring Opinion[footnoteRef:10] [10: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.]

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 memuat mengenai permohonan uji materiil yang dilakukan oleh Machica Mochtar terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Terkait hal tersebut, dalam makalah ini akan difokuskan pada permohonan uji materiil terhadap Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai pencatatan perkawinan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan: ... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945). Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik, maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya.Dengan melihat sikap Mahkamah Konstitusi yang menolak membatalkan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, dapat dibaca bahwa Mahkamah Konstitusi masih menghendaki dan setuju bahwa semua perkawinan di Indonesia haruslah tercatat. Alias tercatat di hadapan hukum Negara (baik oleh aparat Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil). Lebih jauh lagi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dimuat alasan berbeda (concurring opinion) dari Prof. Maria Farida Indrati, yaitu sebagai berikut:

PertamaPasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa:Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Kemudian mengenai syarat sahnya perkawinan, Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa:(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat nikah. Jika Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan. Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.

KeduaPencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama dan kepercayaannya itu dalam perkawinan secara sepotong-sepotong untuk melegitimasi sebuah perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga pascaperkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya, adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh. Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan ditolak. Negara mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan. Dalam hal ini Prof. Maria Farida Indrati berharap adanya upaya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan. Ia berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan.

KetigaTidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan hanya menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut. Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Prof. Maria Farida Indrati menilai, Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan. Selain itu, hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan, sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan at as status dan akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Prof. Maria Farida Indrati tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974.

KeempatHarus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan perundang-undangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa:Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita dan anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud. Kelima Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya, sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah). Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974, bagi wanita (istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU Nomor 1 Tahun 1974, terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974, yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya.

KeenamPerkawinan yang tidak didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif. Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Keberadaan Pasal tersebut menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah dosa turunan. Dengan kata lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan demikian, menurut Prof. Maria Farida Indrati, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.

3. Penyelundupan Hukum dan Itikad BaikSecara sederhana sesungguhnya, pengertian penyelundupan hukum dapat dipahami sebagai berikut:Penyelundupan hukum adalah proses, cara, perbuatan menyelundup[footnoteRef:11]. Samuel W. Buell juga membahas penyelundupan hukum atau law evasion dengan definisi: A common understanding of evasion is that it involves something like violating the spirit of the law.[footnoteRef:12] [11: Aditya Wirawan, Kajian Yuridis Perkawinan Semu sebagai Upaya untuk Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia, (Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hal. 45.] [12: Samuel w. Buell, Good Faith and Law Evasion, UCLA Law Review 58, (February 2011), hal. 622.]

Dalam memahami penjelasan penyelundupan hukum di atas, perlulah dibahas pula mengenai sifat melawan hukum. Melawan hukum dalam hukum keperdataan saat ini diartikan dalam arti luas sebagai berikut[footnoteRef:13]: [13: Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung: Citra Aditya bakti, 2005), hal. 11.]

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atauc. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, ataud. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), ataue. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed)Sementara itu, mengenai sifat melawan hukum, juga dapat dilihat dari sudut hukum pidana. Terkait hal tersebut terdapat dua ajaran, yaitu ajaran formal dan ajaran materiel, dengan penjelasan sebagai berikut:a. Secara singkat ajaran sifat melawan-hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-asalan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang[footnoteRef:14]. [14: Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 25.]

b. Ajaran materiel mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis[footnoteRef:15]. [15: Ibid.]

Jadi, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa Penyelundupan Hukum dalam kaitannya dengan sifat Melawan Hukum terjadi apabila suatu perbuatan secara menyelundup bersesuaian dengan (tidak melanggar) ketentuan hukum secara formal, namun secara materiel bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.Untuk mengatasi penyelundupan hukum, Samuel W. Buell menyatakan bahwa dapat digunakan doktrin itikad baik untuk mencegah penyelundupan hukum itu. Menurutnya, good faith, used in this fashion, is an anti-evasion device.[footnoteRef:16]. The duty to act in good faith prevents sharp dealing and opportunistic behavior.[footnoteRef:17]. [16: Samuel W. Buell, Good Faith and Law Evasion, UCLA Law Review 58, hal. 630.] [17: Ibid., hal. 629.]

B. PEMBAGIAN HARTA WARISAN

1. Hukum Waris Perdata/Barata) PengertianDalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW) hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengertian mengenai hukum waris terdapat pada buku II, tentang benda. Pengertian mengenai hukum kewarisan pada KUH Perdata tidak disebutkan secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan pengertian hukum waris menurut KUH Perdata, sebagai berikut:1) PitloKumpulan pengaturan yang mengatur hukum yang mengatur kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[footnoteRef:18] [18: Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (alih bahasa M. Isa Arief, SH), (Jakarta: Intermasa, 1986), hal. 1.]

2) Sudarsono dalam bukunya menuliskan beberapa pengertian hukum waris menurut beberapa ahli hukum, yaitu:a. Mr. Dr. H. D. M. Knol, menyatakan bahwa hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.b. A. Wrinkle Prins, menyatakan bahwa hukum waris adalah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menentukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah ke orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.[footnoteRef:19] [19: Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hal. 12]

c. Vollmar, menyatakan bahwa hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.[footnoteRef:20] [20: Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hal. 373.]

Menurut Pasal 830 KUH Perdata, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Jadi pewarisan akan terjadi ketika pewaris meninggal dunia dan pada saat terjadinya pewarisan tersebut ahli warisnya masih hidup.

b) Unsur-Unsur Hukum Waris PerdataMenurut Wirjono Prodjodikoro unsur-unsur kewarisan dalam KUH Perdata ada beberapa hal, yaitu:1. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan, 2. Seseorang atau beberapa orng ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu3. Harta warisan, yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris[footnoteRef:21] [21: M. Ramulyo Idris, Perbadingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 85.]

c) Syarat Terjadinya Pewarisan kepada Ahli Waris1. Syarat yang berhubungan dengan pewaris:Untuk terjadinya pewarisan, maka pewaris harus meninggal dunia terlebi dahulu, sesuai dengan pasal 830 KUH Perdata. Meninggal dunia dari pewaris dapat dibedakan menjadi:a. Maeninggalnya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh, yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah meninggal dunia,b. Meninggal/mati demi hukum yang dinyatakan oleh pengadilan, yaitu tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.2. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris:Orang-orang yang berhak menjadi ahli waris harus sudah ada atau masih hidup saat meninggalnya pewaris. Hidupnya ahli waris dapat dimungkinan dengan hal-hal sebagai berikut:a. Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra,b. Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat 2 KUH Perdata)

d) Tidak Patut Menerima Warisan (Onwaardig)1. Ahli waris yang tidak patut menurut undang-undang untuk menerima warisan dalam Pasal 838 KUH Perdata adalah:a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris,b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun atau lebih.c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat si pewaris.2. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan sesuai dengan Pasal 912 KUH Perdata adalah:a. Mereka yang telah dihukum karena membunuh pewarisb. Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan, atau memalsukan surat wasiat si pewaris.c. Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya.[footnoteRef:22] [22: Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Serang: Darul Ulum Press, 1993), hal. 58.]

e) Cara Mendapatkan WarisanDalam undang-undang ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:1. Ab intestato ( ahli waris menurut undang-undang) dalam Pasal 832 KUH Perdata, yaitu yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun diluar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama.2. Testamentair (ahli waris karena ditunjuk melalui wasiat testamen) dalam Pasal 899 KUH Perdata, yaitu pewaris membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam surat wasiat/testamen.

f) Asas Hukum Waris Perdata1. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan2. Adanya saisine bagi ahli waris, yaitu sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia3. Asas kematian, yaitu pewarisan hanya karena kematian4. Asas individual, yaitu ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris5. Asas bilateral, yaitu seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga pihak ibu6. Asas penderajatan, yaitu ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris, menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.[footnoteRef:23] [23: M. Ramulyo Idris, Perbadingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 95-96.]

g) Ahli Waris PenggantiHal ini diatur dalam Pasal 854-857 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 860 dan 866 KUH Perdata. Penggantian ahli waris atau Plaatsvervulling adalah memberikan hak kepada orang yang menggantikan untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 841 KUH Perdata, yang misalnya seorang cucu yang menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu selaku anak dari pewaris, berhak atas semua hak itu. Penggantian dalam garis lurus kebawah yang sah,berlangsung terus tanpa batas (Pasal 842 ayat 1 KUH Perdata).Dalam garis menyimpang, penggantian diperbolehkan atas keuntungan anak-anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal lebih dahulu, baik mereka mewarisi bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun bersama-sama dengan keturunan paman atau bibi itu, meskipun mereka dalam derajat yang tidak sama (Pasal 844 KUH Perdata).

C. PENGGOLONGAN AHLI WARISPara ahli waris yang sah karena kematian terpanggil untuk mewaris menurut urutan dimana mereka itu terpanggil untuk mewaris. Urutan tersebut dikenal ada empat macam yang disebut golongan ahli waris.[footnoteRef:24] Golongan ahli waris tersebut terdiri dari: [24: Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut Undang-Undang, (Depok: Prenada Media Group, 2010), hlm. 49.]

1 Ahli Waris Golongan PertamaAhli waris golongan pertama terdiri dari:a. Anak-anak dan keturunannyaPerkataan dan/atau disini dimaksudkan karena anak-anak tidak dapat mewaris bersama-sama dengan keturunan, satu akan menutup yang lain.[footnoteRef:25] Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa anak mewaris bersama keturunan yaitu dalam hal terjadi penggantian. [25: Ibid., hal. 50.]

b. Suami atau istri yang hidup terlamaDi Indonesia sejak Januari 1936, istri atau suami yang hidup terlama sebagai ahli waris termasuk golongan I, besarnya bagian istri/suami yang hidup terlama dalam Pasal 852a KUHPerdata ditentukan sama dengan bagian anak.

2 Ahli Waris Golongan KeduaAhli waris golongan kedua yaitu:orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan saudara laki dan perempuan tersebut.Ahli waris golongan kedua diatur dalam pasal berikut ini:Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, menentukan:Apabila seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya. Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu.

3 Ahli Waris Golongan KetigaAhli waris golongan ketiga terdiri dari : keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, sesudah orang tua.Pasal 853 KUHPerdata mengatakan bahwa ahli waris golongan ketiga ini terdiri dari sekalian keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu.Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan garis ibu ke atas adalah kakek dan nenek, yakni ayah dan ibu dari ayah dan ibu dan ayah dari ibu pewaris.[footnoteRef:26] [26: Ibid., hal. 72.]

4 Ahli Waris golongan KeempatAhli waris golongan keempat yaitu keluarga sedarah lainnya dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam.[footnoteRef:27] [27: Ibid., hal. 76.]

Golongan keempat diatur dalam pasal 858 KUHPerdata sebagaimana menyatakan: Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta peninggalan itu menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah garis ke samping dan garis ke atas lainnya kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut.

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Kasus PosisiPewaris adalah anak laki-laki dari Penggugat. Selama hidupnya, pewaris pernah melangsungkan perkawinan yang tidak dicatatkan di catatan sipil dengan Tergugat. Sebagai bukti bahwa Pewaris dan Tergugat pernah melaksanakan perkawinan, terdapat akta pemberkatan nikah yang dikeluarkan oleh pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan. Dari hubungan tersebut tidak terdapat anak.Penggugat menuntut agar harta waris diberikan padanya, dengan mendalilkan bahwa Pewaris dan Tergugat hanyalah hidup serumah, tidak ada pencatatan di catatan sipil dan tidak terdapat surat nikah, Tergugat bukanlah istri, dengan demikian bukan merupakan ahli waris.Sementara itu, Tergugat menyatakan bahwa dirinya adalah istri, bahwa benar walaupun tidak dicatatkan di catatan sipil, namun terdapat perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama Kristen dan adat Batak, dengan demikian perkawinannya telah memenuhi syarat sahnya perkawinan, dan mengemukakan bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan tindakan administratif saja. Tergugat mendalilkan bahwa dirinya adalah istri dan ahli waris sah satu-satunya, oleh karena tidak ada anak.Berkaitan dengan dalil-dalil Penggugat dan Tergugat, Majelis Hakim kemudian menyetujui pandangan bahwa pencatatan perkawinan hanya merupakan tindakan administratif saja, namun kemudian Majelis hakim juga mengakui bahwa baik Penggugat dan Tergugat adalah ahli waris, bahwa kemudian Majelis Hakim juga memutuskan bahwa Penggugat (bersama dengan saudara-saudara Pewaris) dan Tergugat secara bersama berhak atas harta waris, yaitu bagi Penggugat (dan saudara Pewaris) sebesar 7/8 bagian, sementara Tergugat berhak atas 1/8 bagian.

B. Pencatatan Perkawinan

B.1. Pencatatan Perkawinan menurut Undang-undangPasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku. Perumusan undang-undang seperti ini berdasarkan ilmu perundang-undangan merupakan norma hukum tunggal, artinya adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku[footnoteRef:28]. [28: Maria Farida Indrtati, Ilmu Perundang-undangan, Jilid 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 31.]

Perumusan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974 tersebut, merupakan tindakan yang dikehendaki, namun tidak secara tegas mengandung perintah, kebolehan, atau larangan. Hal ini menyebabkan adanya ambiguitas.Namun demikian, dapat diketahui bahwa Pasal 66 UU No. 1/1974 menyatakan, Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Masalah pembuktian perkawinan, adalah tidak diatur berdasarkan Undang-undang Perkawinan, oleh sebab itu berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan, maka dikembalikan pada peraturan lain. Peraturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 100 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa: Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain, melainkan dengan akta pelangsungan perkawinan itu, yang telah dibukukan dalam register-register catatan sipil. Kemudian, pasal 101 KUHPerdata lebih lanjut menerangkan bahwa: apabila ternyata, bahwa register-register itu tak pernah ada, atau telah hilang atau pula akta perkawinanlah yang tak ada di dalamnya, maka terserahlah pada pertimbangan hakim soal cukup atau tidaknya bukti-bukti itu, asal saja hubungan selaku suami isteri jelas nampaklah adanya.Pada peraturan perundang-undangan yang lebih modern, yaitu Pada Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) menyebutkan: Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Terhadap ketentuan ini, terdapat sanksi, yaitu padal Pasal 90 ayat (1) huruf b, Setiap Penduduk dikenai sanksi administratif berupa denda apabila melampaui batas waktu pelaporan Peristiwa Penting dalam hal perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 37 ayat (4). Sayangnya ketentuan ini hanya merupakan sanksi administratif saja.Baik pengaturan pada UU Perkawinan maupun UU Adminduk, keduanya secara tidak langsung telah mempertegas bahwa pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif. Pun demikian, dapatlah diketahui bahwa tindakan administratif tersebut adalah diwajibkan. Hal ini dapat diketahui berdasarkan Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan: ... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Hal mengenai pencatatan perkawinan ini penting oleh karena, apabila suami atau istri tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta perkawinan maka pencatatan perkawinan dapat dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Pasal 36 PP No. 1/1975, berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Dengan demikian dapat dipahami bahwa bukti-bukti lain, selain akta perkawinan, tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa perkawinan telah lahir dan akibat dari perkawinan tersebut harus dilaksanakan (misalnya, kewajiban suami isteri). Artinya, bukti sebagaimana disebutkan pada Pasal 101 KUHPerdata, misalnya: hubungan selaku suami istri nampak jelas adanya, hanya dapat digunakan untuk mendapatkan penetapan pengadilan terkait adanya perkawinan. Jika kemudian perkawinan atas penetapan pengadilan tersebut sudah ada, haruslah ia dicatatkan berdasarkan Pasal 35 jo. Pasal 34 UU Adminduk, barulah perkawinan tersebut memenuhi kewajiban administratif dan mendapatkan perlindungan hukum dari negara.

B.2. Pencatatan Perkawinan menurut Doktrin1. Ahmad Rofiq[footnoteRef:29] [29: Faizah Bafadhal, Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, (Jambi: Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2012), hal. 27.]

Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya.

2. Wahyono Darmabrata[footnoteRef:30] [30: Ibid., hal. 57]

Menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pencatatan perkawinan selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 (PP No. 9/1975).Perkawinan yang sah juga wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana di tempat dilaksanakannya perkawinan paling lambat 60 hari sejak tanggal perkawinan yang dicatat pada Register Akta Perkawinan dan atas pencatatan tersebut maka dikeluarkan Kutipan Akta Perkawinan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006)Pasal 34 ayat (1) berbunyi:Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang- undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.ayat (2) berbunyi:Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Apabila suami atau istri tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan Akta perkawinan maka pencatatan perkawinan dapat dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Pasal 36 PP No. 1/1975, berbunyi: Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.Akte perkawinan adalah sama dengan akta yang lain yang penting seperti akte kelahiran, akte kematian, berarti bahwa akte perkawinan pun adalah alat bukti tentang peristiwa yang diterangkan di dalamnya, yang membuktikan bahwa perkawinan yang dimaksud di dalam perkawinan itu benar telah dilangsungkan.Oleh karenanya dapat disimpulkan syarat sahnya perkawinan adalah dilakukan menurut agamanya masing-masing dan perkawinan tersebut harus dicatat.

3. Maria Farida Indrati[footnoteRef:31] [31: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.]

Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945). Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.4. Gouw Giok Siong[footnoteRef:32] [32: Faizah Bafadhal, Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, (Jambi: Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2012), hal. 28.]

Menurut Gouw Giok Siong perkawinan dibawah tangan adalah suatu bentuk perkawinan yang merupakan mode masa kini yang timbul dan berkembang diam-diam pada sebagian masyarakat muslim Indonesia. Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan yang birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (hukum agamanya). Dalam ilmu hukum, cara seperti ini dikenal dengan istilah Penyelundupan Hukum, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh UU dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.

5. KesimpulanDari doktrin-doktrin yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa pencatatan perkawinan sebagai tindakan administratif merupakan kewajiban, dimana jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, selain terdapat sanksi administratif, maka perkawinan tersebut sah menurut agama, namun tidak memiliki kekuatan secara hukum negara.

C. Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dan Penyelundupan HukumMenurut Gouw Giok Siong, perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan Penyelundupan Hukum, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh UU dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.Samuel W. Buell juga membahas penyelundupan hukum atau law evasion dengan definisi: A common understanding of evasion is that it involves something like violating the spirit of the law.[footnoteRef:33] [33: Samuel w. Buell, Good Faith and Law Evasion, UCLA Law Review 58, (February 2011), hal. 622.]

Dalam memahami penjelasan penyelundupan hukum di atas, perlulah dibahas pula mengenai sifat melawan hukum. Melawan hukum dalam hukum keperdataan saat ini diartikan dalam arti luas sebagai berikut[footnoteRef:34]: [34: Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung: Citra Aditya bakti, 2005), hal. 11.]

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atauc. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, ataud. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), ataue. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed)Sementara itu, mengenai sifat melawan hukum, juga dapat dilihat dari sudut hukum pidana. Terkait hal tersebut terdapat dua ajaran, yaitu ajaran formal dan ajaran materiel, dengan penjelasan sebagai berikut:a. Secara singkat ajaran sifat melawan-hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-asalan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang[footnoteRef:35]. [35: Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 25.]

b. Ajaran materiel mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis[footnoteRef:36]. [36: Ibid.]

Jadi, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa Penyelundupan Hukum dalam kaitannya dengan sifat Melawan Hukum terjadi apabila suatu perbuatan secara menyelundup bersesuaian dengan (tidak melanggar) ketentuan hukum secara formal, namun secara materiel bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum baik itu hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.Seperti telah dikemukakan, bahwa menurut undang-undang, ketentuan mengenai kewajiban pencatatan perkawinan merupakan hal yang sangat multitafsir. Namun, berdasarkan penjelasan undang-undang perkawinan dan doktrin yang ada, dapat diketahui bahwa jiwa (spirit) yang dikehendaki dari adanya pencatatan adalah kepastian hukum pembuktian akan adanya perkawinan dan perlindungan terhadap pihak yang terkait dengan perkawinan itu serta pihak ketiga. Jika kemudian, lembaga perkawinan yang secara redaksional memungkinkan adanya perkawinan tak tercatat, namun melanggar jiwa (spirit) dari pencatatan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut merupakan penyelundupan hukum.Samuel W. Buell menyatakan bahwa dapat digunakan doktrin itikad baik untuk mencegah penyelundupan hukum itu. Menurutnya, good faith, used in this fashion, is an anti-evasion device.[footnoteRef:37]. The duty to act in good faith prevents sharp dealing and opportunistic behavior.[footnoteRef:38]. Artinya, doktrin itikad baik dapat dijadikan ukuran apakah suatu perbuatan atau peristiwa (termasuk perkawinan tak tercatat) merupakan suatu penyelundupan hukum. [37: Samuel W. Buell, Good Faith and Law Evasion, UCLA Law Review 58, hal. 630.] [38: Ibid., hal. 629.]

Dalam suatu masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, sangat dimungkinkan absennya pegawai pencatat nikah untuk melaksanakan pencatatan perkawinan di daerah tersebut. Dalam hal demikian, tidak dilaksanakannya pencatatan perkawinan tersebut memiliki itikad baik, bahwa tidak dilaksankannya pencatatan perkawinan memang disebabkan oleh keadaan absennya pegawai pencatat nikah.Itikad buruk adalah nyata, dalam hal perkawinan tidak dicatatkan oleh pihak yang melangsungkan perkawinan, padahal ia berada dalam jangkauan pegawai pencatat nikah (misalnya, ia tinggal di kota besar), dengan tujuan tertentu, menghindari atau memperoleh akibat hukum tertentu.

D. Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan terhadap Hak WarisTerhadap pencatatan perkawinan, terdapat dua pandangan, yaitu: Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan. Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan[footnoteRef:39]. [39: Faizah Bafadhal, Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, (Jambi: Fakultas Hukum Universitas Jambi, 2012), hal. 25.]

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa menurut pandangan yang pertama, sahnya suatu perkawinan hanya didasarkan pada aturan-aturan agama, sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) UUP. Artinya pencatatan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan secara hukum tidak menjadi syarat sahnya suatu perkawinan, sedangkan menurut pandangan yang kedua, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.Jika Hakim menganut bahwa pencatatan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan secara hukum tidak menjadi syarat sahnya suatu perkawinan, dalam hal seseorang meninggal maka istri/suami yang hidup terlama dan anak yang lahir dalam perkawinan tak tercatat tersebut akan muncul sebagai ahli waris golongan pertama. Dengan demikian, ia menutup ahli waris golongan yang lebih jauh derajatnya.Sementara itu, jika Hakim berpandangan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah, dalam hal seseorang meninggal maka istri/suami yang hidup terlama dan anak yang lahir dalam perkawinan tak tercatat tersebut tidak diakui sebagai ahli waris golongan pertama, dengan demikian, ahli waris derajat yang lebih jauh secara berurutan tampil sebagai ahli waris.

E. Putusan Hakim No. : 05 / Pdt.G/ 2011 / PN. Kbj dan Pencatatan PerkawinanMenurut putusannya, Majelis Hakim mengakui perkawinan yang telah dilangsungkan oleh Pewaris dan Tergugat, dan kemudian menetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat mewaris secara bersama-sama. Hal ini merupakan bentuk ketidaksesuaian putusan terhadap ketentuan sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata[footnoteRef:40]: [40: Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan Menurut Undang-Undang, (Depok: Prenada Media Group, 2010), hlm. 49.]

Ahli waris golongan pertama terdiri dari:Anak-anak dan keturunannyaPerkataan dan/atau disini dimaksudkan karena anak-anak tidak dapat mewaris bersama-sama dengan keturunan, satu akan menutup yang lain.[footnoteRef:41] Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa anak mewaris bersama keturunan yaitu dalam hal terjadi penggantian. [41: Ibid., hal. 50.]

Suami atau istri yang hidup terlamaDi Indonesia sejak Januari 1936, istri atau suami yang hidup terlama sebagai ahli waris termasuk golongan I, besarnya bagian istri/suami yang hidup terlama dalam Pasal 852a KUHPerdata ditentukan sama dengan bagian anak.

Ahli waris golongan kedua yaitu:orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan dan keturunan saudara laki dan perempuan tersebut.Ahli waris golongan kedua diatur dalam pasal berikut ini:Pasal 854 ayat (1) KUHPerdata, menentukan:Apabila seorang meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya. Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara-saudara laki atau perempuan itu.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Penggugat selaku orangtua (bersama dengan saudara) dari Pewaris merupakan ahli waris golongan kedua. Sementara itu, Tergugat (oleh karena Majelis Hakim mengakui adanya perkawinan antara Pewaris dan Tergugat), adalah istri yang hidup terlama dan merupakan ahli waris golongan pertama.Berdasarkan asas penderajatan, ahli waris golongan pertama tidak mungkin mewaris bersama dengan ahli waris golongan kedua, oleh karena asas penderajatan menentukan ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris, menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya[footnoteRef:42]. [42: M. Ramulyo Idris, Perbadingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 95-96.]

Oleh sebab itu, dalam putusan No. : 05 / Pdt.G/ 2011 / PN. Kbj, yang menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat secara bersama-sama menerima waris, dapat ditemukan bahwa terdapat inkonsistensi pendapat hakim, apakah akan mengakui perkawinan antara Pewaris dan Tergugat. Jika Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan tersebut adalah sah walaupun tidak dicatatkan, seharusnya Tergugat merupakan satu-satunya ahli waris. Namun, jika Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah oleh karena tidak dilakukan pencatatan, maka seharusnya ahli waris golongan kedua (yaitu Penggugat selaku orangtua, beserta saudara-saudara Pewaris) merupakan pihak yang tampil sebagai ahli waris.

BAB IVPENUTUP

A. KesimpulanTerdapat dualisme pendapat, apakah ketiadaan pencatatan perkawinan menyebabkan istri/suami yang hidup terlama menjadi ahli waris golongan pertama. Jika istri/suami yang hidup terlama diakui menjadi ahli waris golongan pertama, maka berdasarkan asas penderajatan ia menutup derajat yang lebih jauh. Sementara itu, jika pencatatan diwajibkan, maka istri/suami perkawinan tak tercatat bukanlah ahli waris.Pembahasan secara doktrinal, mengarah kepada keadaan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan, tidak memenuhi jiwa (spirit) dari pencatatan perkawinan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum atas perkawinan. Jika tidak terdapat alasan itikad baik (alasan bahwa pencatatan tidak mungkin dilaksanakan), ia merupakan suatu penyelundupan hukum. Oleh karena ia merupakan penyelundupan hukum, maka akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan seharusnya perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.Putusan No. : 05 / Pdt.G/ 2011 / PN. Kbj, yang menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat secara bersama-sama menerima waris, dapat ditemukan bahwa terdapat inkonsistensi pendapat hakim, apakah akan mengakui perkawinan dari Pewaris dan Tergugat. Jika Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan tersebut adalah sah walaupun tidak dicatatkan, seharusnya Tergugat merupakan satu-satunya ahli waris. Namun, jika Majelis Hakim berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah oleh karena tidak dilakukan pencatatan, maka seharusnya ahli waris golongan kedua (yaitu Penggugat selaku orangtua, beserta saudara-saudara Pewaris) merupakan pihak yang tampil sebagai ahli waris.

B. SaranBerdasarkan hasil penelitian, pencatatan perkawinan sebagai syarat administratif yang wajib dilaksanakan dalam memperoleh perlindungan hukum dari negara, memiliki sifat yang lebih baik dan sesuai dengan jiwa (spirit) dari pencatatan perkawinan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap pihak terkait perkawinan, sehingga lebih ideal untuk diterapkan dalam menafsirkan lembaga perkawinan itu sendiri.Adapun permasalahan terdapat pada perumusan peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan mengenai pencatatan perkawinan, bahwa diantara peraturan-peraturan tersebut secara redaksional adalah multitafsir dan tidak tegas.Dalam menghindari permasalahan tersebut, maka tindakan yang disarankan adalah:1. perbaikan redaksional peraturan perundang-undangan sehingga tidak dapat ditafsirkan lain, bahwa jika pencatatan perkawinan tidak dilaksanakan, maka perlindungan hukum tidak didapatkan.2. pemberian sanksi pidana dan penegakan hukum bagi pelanggar kewajiban pencatatan perkawinan, yang berlaku umum, terkecuali terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk itu.