akibat hukum putusan mk no. 97/puu xiv/2016 tentang

19
369 DOI: https://doiorg/1021776/ubarenahukum20200130210 AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUUXIV/2016 TENTANG JUDICIAL REVIEW UU ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP PENGHAYAT ALIRAN KEPERCAYAAN Shandy Harsyahwardhana Universitas Mataram Jl Majapahit No62, Gomong, Selaparang, Dasan Agung Baru, Selaparang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat 83115 Email: wardhana22511@gmailcom Submitted: 01 April 2018, Reviewed: 2 April 2018, Accepted: 10 August 2020 Abstract Carrying out the mandate of the 1945 Constitution which guarantees the right to freedom of religion and belief, the Constitutional Court issued Decision Number 97/ PUU-XIV / 2016 which granted the judicial review lawsuit on Law 23 of 2005 jo. Law 24 of 2013 concerning Population Administration. The Constitutional Court ruled that Article 61 paragraph (1), (2) and Article 64 paragraph (1), (2) of the Population Admnistration Law contradicts the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This paper aims to identify and analyze the Constitutional Court’s considerations in issuing the decision, and the legal consequences of that ruling. This normative legal research uses a case approach. The results found that the decision of the Constitutional Court had a significant legal effect on the followers of the flow of trust and had implications that impact not only in terms of the law but also sub-systems in pluralistic Indonesian society. Key words: legal effect, local religion believers, the verdict of the Constitutional Court of Indonesia Abstrak Melaksanakan amanat UUD 1945 yang menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan gugatan judicial review atas UU 23 Tahun 2005 jo UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan tersebut, serta akibat hukum dari putusan itu Penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan kasus (case approach) Hasilnya ditemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum yang signifikan pada penghayat aliran kepercayaan serta memiliki implikasi yang berdampak tidak hanya dari segi hukum namun juga sub-sistem di masyarakat Indonesia yang pluralistik Kata kunci: akibat hukum, penghayat aliran kepercayaan, putusan mahkamah konstitusi

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

369 DOI: https://doi .org/10 .21776/ub .arenahukum .2020 .01302 .10

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU­XIV/2016 TENTANG JUDICIAL REVIEW UU ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

TERHADAP PENGHAYAT ALIRAN KEPERCAYAAN

Shandy Harsyahwardhana

Universitas MataramJl . Majapahit No .62, Gomong, Selaparang, Dasan Agung Baru, Selaparang, Kota Mataram,

Nusa Tenggara Barat . 83115Email: wardhana22511@gmail .com

Submitted: 01 April 2018, Reviewed: 2 April 2018, Accepted: 10 August 2020

Abstract

Carrying out the mandate of the 1945 Constitution which guarantees the right to freedom of religion and belief, the Constitutional Court issued Decision Number 97/ PUU-XIV / 2016 which granted the judicial review lawsuit on Law 23 of 2005 jo. Law 24 of 2013 concerning Population Administration. The Constitutional Court ruled that Article 61 paragraph (1), (2) and Article 64 paragraph (1), (2) of the Population Admnistration Law contradicts the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This paper aims to identify and analyze the Constitutional Court’s considerations in issuing the decision, and the legal consequences of that ruling. This normative legal research uses a case approach. The results found that the decision of the Constitutional Court had a significant legal effect on the followers of the flow of trust and had implications that impact not only in terms of the law but also sub-systems in pluralistic Indonesian society.Key words: legal effect, local religion believers, the verdict of the Constitutional Court of

Indonesia

Abstrak

Melaksanakan amanat UUD 1945 yang menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan gugatan judicial review atas UU 23 Tahun 2005 jo . UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan . Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 . Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan tersebut, serta akibat hukum dari putusan itu . Penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan kasus (case approach) . Hasilnya ditemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum yang signifikan pada penghayat aliran kepercayaan serta memiliki implikasi yang berdampak tidak hanya dari segi hukum namun juga sub-sistem di masyarakat Indonesia yang pluralistik .Kata kunci: akibat hukum, penghayat aliran kepercayaan, putusan mahkamah konstitusi

Page 2: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

370 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia untuk hidup bersama (modus vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk .1 Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas dan pedoman bangsa dalam melangkah .2 Cita negara yang termuat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, memperlihatkan ciri negara pluralistik . Bentuk negara dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia merupakan buntut dari ragam masyarakat Indonesia yang multi etnik, agama, multikultural, multi golongan, dan ras . Hal ini diakibatkan oleh komposisi masyarakat yang kosmopolitan .3 Terdapat realita bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman agama dan aliran kepercayaan yang tumbuh subur sebagai hasil dari pluralisasi . Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto merefleksikan ragam budaya bangsa dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia,4 ditambah dengan keberadaan dari agama-agama dan aliran kepercayaan masih hidup dan berkembang di

masyarakat .

Pondasi dari keberagaman masyarakat Indonesia, diatur dalam hukum . Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dan tidak termasuk dalam kategori negara kekuasaan (Machtstaat) yang dinyatakan dalam konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi : “Indonesia adalah Negara Hukum” . Posisi Indonesia sebagai negara hukum mengakibatkan sebuah kewajiban untuk menegakkan supremasi hukum sebagai bentuk pelaksanaan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila yang juga sebagai cita-cita hukum di Indonesia .5

Salah satu sila dalam Pancasila adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab, di mana sila tersebut merepresentasikan pengakuan Indonesia terhadap hak asasi manusia, sehingga perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah hal yang dilakukan Indonesia sebagai negara hukum . Selain itu dalam Pasal 28 ayat 5 UUD 1945 menyatakan bahwa penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis . Oleh karena itu perlindungan dan penghormatan terhadap HAM sebagai dasar kepentingan individu

1 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm . 3-4 .

2 Tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 berbunyi “ . . .untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”

3 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm . 9 .

4 I Nyoman Nurjaya, Memahami Kedudukan Hukum Adat Dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, Seminar Nasional tentang Arah Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum Nasional, (Malang: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011), hlm . 1 .

5 Philipus M . Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm . 21 .

Page 3: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 371

juga dimasukkan dalam hak konstitusional UUD 1945 .6 Hal ini menegaskan bahwa terciptanya suatu negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti atau makna HAM sebagai elemen penting negara hukum, terutama di dalam kondisi keberagaman masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap kegiatan berkehidupan yang berbeda-beda . Salah satu hak konstitusional yang dijamin di Indonesia adalah hak yang termuat pada Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .”

Di Indonesia, selain agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) yang sudah membentuk komunitas penganut masing - masing, ada pula kepercayaan - kepercayaan lokal yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia . Kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik semakin dirasakan dengan banyaknya tradisi, kepercayaan, agama, seni dan budaya yang telah lama hidup tanpa gangguan dan berkembang di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia .

Aliran kepercayaan dan Agama bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang fundamental serta krusial yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan

bernegara . Rumusan sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menggambarkan betapa pentingnya agama dan aliran kepercayaan bagi masyarakat . Ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah penganut theism atau percaya kepada Tuhan . Bangsa Indonesia dalam golongannya masing-masing baik komunitas pemeluk agama maupun kepercayaan mempunyai interpretasi dan pandangan teologis yang spesifik sesuai ajaran agama dan kepercayaan yang mereka anut .

Baik penduduk yang memeluk agama-agama ataupun kepercayaan sama-sama meyakini bahwa fungsi utama agama atau kepercayaan itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian . Mereka menyatakan bahwa agamanya mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati .7 Untuk memperjuangkan hak konstitusional baik hak untuk memeluk agama atau kepercayaan yang dimiliki setiap elemen dalam masyarakat plural Indonesia dan hak lainnya, maka dibentuk sebuah lembaga negara yang dapat mewujudkan hal tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) .8

Salah satu hasil perjuangan upaya perjuangan atas hak konstitusional warga negara Indonesia yang dimiliki oleh

6 Ibid., hlm . 343 .7 Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th . Sumartana (ed .),

Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001) .8 Mutiara Hikmah, “Mahkamah Konstitusi dan Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum dan

Pembangunan Vol. 35, No.2 (April – Juni 2005): 127 .

Page 4: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

372 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

masyarakatnya yang plural adalah melalui

putusan MK yang berfokus pada masalah

pluralitas dari kepercayaan masyarakat

Indonesia atau aliran kepercayaan . Putusan

MK tersebut adalah putusan terkait kasus

gugatan judicial review Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2005 jo . Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan (UU Adminduk) yang

diajukan oleh beberapa perwakilan dari

penghayat aliran kepercayaan di Indonesia .9

Dalam Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016,

dapat dilihat bahwa MK mengabulkan secara

keseluruhan gugatan yang diajukan oleh

penghayat aliran kepercayaan yang meliputi

dengan pertimbangan bahwa beberapa bagian

dalam Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat

(1), (2) UU Adminduk bertentangan dengan

UUD NRI Tahun 1945 .10

Pertimbangan putusan MK tersebut tidak

terlepas dari fakta yang disampaikan oleh para

pemohon bahwa UU Adminduk merugikan

hak konstitusional mereka . Hak konstitusional

yang dirugikan tersebut mencakup beberapa

hal yaitu kesulitan saat mengurus Kartu

Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk

Elektronik (e-KTP), akte nikah, akte kelahiran,

hingga kesulitan dalam mendapatkan akses

terhadap pekerjaan, serta hak atas sebuah

jaminan sosial . Khusus pada hal terkait KK

dan e-KTP, terdapat banyak penghayat aliran

kepercayaan yang terpaksa memilih salah satu

dari enam agama yang diakui secara resmi

(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan

Konghucu) . Adanya pembatasan hak a quo

dalam UU Adminduk dipersepsikan sebagai

penyebab mencuatnya perlakuan yang

tidak adil terhadap warga negara penghayat

aliran kepercayaan dan memicu tindakan

diskriminatif . Berdasarkan data yang berasal

dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud), melalui salah satu bagiannya

yaitu Direktorat Pembinaan Kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi,

diperkirakan terdapat sekitar 10-12 juta orang

penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia,11

sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia .

Putusan MK dapat dibilang pada taraf

ini telah memenuhi ekspektasi dari para

penghayat kepercayaan . Akibat hukum yang

diharapkan dari adanya putusan tersebut adalah

terjaminnya hak asasi penghayat kepercayaan

melalui perlindungan, penghormatan, dan

pemenuhan hak oleh negara . Namun, walaupun

MK telah melaksanakan tugas dan fungsinya

dalam memperjuangkan hak konstitusional

Warga Negara Indonesia, putusan MK

tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra

di kalangan masyarakat . Yang setuju dengan

keputusan ini memiliki pandangan bahwa

9 Akhmad Muawal Hasan, “Pembakuan Definisi “Agama” yang Penuh Pro dan Kontra”, Edisi 11 November 2017, diakses 12 Januari 2018, https://tirto.id/pembakuan-definisi-agama-yang-penuh-pro-dan-kontra-czVV

10 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, http://www .mahkamahkonstitusi .go .id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016 .pdf

11 Frendy Kurniawan, “Seberapa Banyak Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?”, Edisi 14 November 2017, 2018, https://tirto .id/seberapa-banyak-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia-cz2y, diakses 10 Februari 2018 .

Page 5: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 373

setiap kepercayaan berhak mendapatkan hak

dalam menjalankan kepercayaannya . Salah

satunya Ketua Pengurus Pusat Lembaga

Kajian dan Pengembangan Sumberdaya

Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam

NU), Dr . Rumadi Ahmad, yang ikut

mengadvokasi para pemohon dari penghayat

aliran kepercayaan, mengungkapkan bahwa

apapun keyakinannya mereka merupakan

warga negara yang harus dijamin hak-hak

konstitusionalnya . Dukungan serupa juga

disampaikan oleh Samsul Maarif, pengajar

pada Center for Religious and Cross-cultural

Studies (CRCS) UGM, bahwa Keputusan MK

adalah syarat minimal agar para penghayat

mendapatkan haknya di ranah administrasi .

Lebih penting lagi, adalah pemenuhan tiga

hak pokok: pengakuan, representasi, dan

redistribusi bagi para penghayat kepercayaan .

Dalam pandangan pihak yang kontra,

terdapat persepsi bahwa keputusan ini

memiliki banyak problematika dari sisi

pengaturan dan pelaksanaan . Yunahar Ilyas

(Ketua Bidang Tarjih, Tajdid, dan Tabligh

PP Muhammadiyah) mempertanyakan alasan

MK mengabulkan gugatan pemohon . Ini

menunjukkan MK menganut paham HAM

liberal . Tunggu saja nanti semua aliran,

ideologi, paham akan menuntut hak yang

sama dengan aliran kepercayaan .12 Kecaman

dan kecurigaan juga muncul dari Prof Syaiful Bakhri (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah) yang mengatakan, putusan MK tersebut dilakukan dengan sangat senyap, sangat berbeda dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang selalu melibatkan MUI atau ormas Islam, khususnya yang terkait dengan agama . Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Baharun berpendapat putusan MK dilakukan secara diam-diam pasti ada sesuatu hal di balik putusan MK tersebut, karena MUI tidak dilibatkan dalam persidangan tersebut .13

Melihat permasalahan di atas, MK dalam upaya pemenuhan hak kontitusional ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan akibat hukum yang ditimbulkan . Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi penting untuk dikaji lebih jauh akibat hukum atas Putusan MK yang mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk pemenuhan hak-hak kelompok penghayat aliran kepercayaan, serta permasalahan hak perlindungan agama . Hal ini dikarenakan pentingnya posisi agama bagi penghayat aliran kepercayaan yang merupakan bentuk keyakinan mereka terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati yang menyertai ruang lingkup kehidupan mereka, dimana agama memiliki nilai dan norma yang mengatur kehidupan mereka

dalam hubungannya dengan masyarakat .

12 Redaksi, Yunahar Ilyas: Penghayat Adalah Kepercayaan, Masak Masuk Kolom Agama”, Edisi 9 November 2017, http://sangpencerah .id/2017/11/yunahar-ilyas-penghayat-adalah-kepercayaan-masak-masuk-kolom-agama/, diakses 12 Januari 2018 .

13 Bilal Ramadhan, “MK Dinilai Sangat Senyap Soal Kolom Penghayat Kepercayaan”, Edisi 9 Desember 2017, http://nasional .republika .co .id/berita/nasional/politik/17/12/09/p0ot24330-mk-dinilai-sangat-senyap-soal-kolom-penghayat-kepercayaan, diakses 12 Januri 2018

Page 6: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

374 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

Penelitian hukum yang penulis gunakan untuk tulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus (case approach) . Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum .14

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis mengangkat dua permasalahan yang meliputi: Bagaimana pertimbangan dan amar putusan MK terhadap pemenuhan hak konstitusional penghayat aliran kepercayaan di Indonesia dan Bagaimana akibat hukum pasca putusan MK pada upaya pengawasan aliran kepercayaan di Indonesia .

Pembahasan

A. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Judicial Review UU Adminduk

Di dalam pertimbangan atas putusan MK, terdapat pembahasan terkait keberadaan hak beragama termasuk hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan hak mendapatkan layanan publik . MK menegaskan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional

(constitutional rights) warga negara, dan

bukan pemberian negara . Dapat dilihat bahwa MK berpendirian dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, Konstitusi Indonesia yakni UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan posisi negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV) . Posisi negara ini kemudian diatur dalam badan UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” .

Hak untuk menganut suatu agama dan kepercayaan tertentu yang memiliki arah tunduk terhadap Tuhan YME merupakan salah satu hak dalam kelompok HAM yang bersumber pada konsepsi hak-hak natural (natural rights) . Apabila dikaji berdasarkan ajaran Thomas Aquinas tentang hukum alam, hak-hak alamiah tersebut sesuai dengan asas Principia Prima . Asas Principia Prima merupakan asas atau prinsip yang memiliki kaitan dengan prinsip hak fundamental manusia yang bersifat universal, umum, dan berlaku tidak terbatas pada ruang atau waktu . Prinsip ini bersifat mutlak dalam arti melekat pada setiap manusia .15

Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, hak ini tidak lagi bernilai doktriner

melainkan telah menjadi norma dalam hukum

14 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm . 321 .

15 Eko Yulianto, “Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Teori Hukum Alam”, https://www .academia .edu/34619699/Dinamika_Hak_Asasi_Manusia_dalam_Teori_Hukum_Alam, diakses 13 Januari 2018 .

Page 7: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 375

dasar (konstitusi) dan mengikat seluruh

cabang kekuasaan negara dan warga negara

yang dituangkan dalam UUD NRI Tahun

1945 Pasal 28 E ayat 1 (hak beragama) dan

2 (hak menganut kepercayaan), serta Pasal 29

ayat 2 (jaminan yang diberikan negara kepada

tiap-tiap penduduk atas hak beragama dan

menganut kepercayaan mereka) . Pasal 28 I

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan

bahwa hak ini termasuk non-derogable rights

atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun . Dengan demikian hak ini

menjadi hak konstitusional sehingga timbul

kewajiban atau tanggung jawab bagi negara

terutama pemerintah untuk menghormati,

melindungi, dan memenuhi hak tersebut [vide

Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945] .

Namun yang menjadi perdebatan

adalah pemahaman terkait “agama” dan

“kepercayaan” yang dijelaskan secara terpisah

pada pasal 28E ayat 1 dan 2, serta pasal ayat

29 ayat 2 dimana “agama” dan “kepercayaan”

yang dihubungkan dengan kata “dan” maka

dirumuskan secara kumulatif . Dengan

demikian kedua pasal tersebut merupakan

dua hal yang dapat diklasifikasikan secara

berbeda . Jika dipahami dalam arti yang sama

atau yang satu merupakan bagian dari yang

lain, maka kata penghubung “dan” tentunya

tidak akan dipakai dalam perumusan Pasal 29

UUD NRI Tahun 1945 . Bahkan dalam sejarah

pembentukan norma pada pasal 29 ini juga

memposisikan “agama” dan “kepercayaan”

sebagai hal yang berbeda . Proses perumusan

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 pada frasa

“kepercayaan” memang tidak dimaksud

sebagai sesuatu yang terpisah dari agama .

Pencantuman kata “kepercayaan” tersebut

untuk tujuan agar pemeluk agama selain Islam

tetap dijamin haknya untuk menjalankan

agama sesuai dengan kepercayaannya .

Artinya, terhadap warga negara yang tidak

beragama Islam, kepercayaannya tetap

dilindungi sesuai dengan ketentuan tersebut .

Dengan demikian MK berpendapat bahwa

negara seharusnya tidak hanya menghormati,

melindungi dan memenuhi hak beragama,

tetapi juga hak menganut kepercayaan .

Kemudian dari aspek pemenuhan

hak pelayanan publik terkait administrasi

kependudukan, penempatan agama dan

kepercayaan sebagai dua hal yang terpisah

secara setara telah dimuat dalam Pasal 58 ayat

(2) huruf h UU Administrasi Kependudukan

(UU Adminduk) . Administrasi kependudukan

adalah salah satu bentuk dari pemenuhan

kebutuhan pelayanan publik sebagai hak

yang melekat bagi setiap warga negara,

sehingga menjadi kewajiban bagi negara

untuk menjamin dan memenuhinya . Terkait

hal ini, dalam konsiderans Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik (UU Pelayanan Publik) dinyatakan

bahwa negara berkewajiban melayani setiap

warga negara dan penduduk untuk memenuhi

hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka

pelayanan publik . Kemudian dalam ketentuan

di Pasal 4 dijelaskan bahwa penyelenggaraan

pelayanan publik mesti bertopang diantaranya

pada asas kesamaan hak dan persamaan

Page 8: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

376 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

perlakuan/tidak diskriminatif . Kesamaan hak

maksudnya adalah bahwa dalam memberikan

pelayanan tidak dibedakan dan diperlakukan

sama terlepas dari ras, suku, gender,

golongan, agama, serta status sosial . Pada

Penjelasan Pasal 4 UU Pelayanan Publik ini

dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak

memperoleh pelayanan yang adil .

Kajian untuk membuktikan adanya

diskriminasi yang diajukan oleh para pemohon

pada sidang uji materi aturan pengosongan

kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan

Kartu Tanda Penduduk (KTP), dilakukan

oleh MK dengan meninjau terlebih dahulu

konsep “agama” yang dimaksudkan dalam

pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal

64 ayat (1) dan ayat (5) . MK menggunakan

juga preseden batasan atas diskriminasi

berdasarkan putusannya dalam Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/

PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006 yang

di antaranya menyatakan bahwa diskriminasi

dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan

yang langsung ataupun tak langsung

didasarkan pada pembedaan manusia atas

dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi,

jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,

yang berakibat pengurangan, penyimpangan

atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan

atau penggunaan hak asasi manusia dan

kebebasan dasar dalam kehidupan baik

individual maupun kolektif dalam bidang

politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan

aspek kehidupan lainnya (vide Pasal 1 angka

3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia) . Sebelumnya,

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

070/PUUII/ 2004 bertanggal 12 April 2005,

Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi

baru dapat dikatakan ada jika terdapat

perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan

yang masuk akal (reasonable ground) guna

membuat perbedaan itu . Justru jika terhadap

hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan

secara seragam akan menimbulkan

ketidakadilan . Dalam putusan lainnya yakni

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/

PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008,

Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi

adalah memperlakukan secara berbeda

terhadap hal yang sama . Sebaliknya bukan

diskriminasi jika memperlakukan secara

berbeda terhadap hal yang memang berbeda .

Untuk pembuktian adanya diskriminasi

atau tidak, maka setelah ditinjau melalui 3

asas, yakni asas noscitur a sociis (asas yaitu

bahwa suatu kata atau istilah harus dikaitkan

dengan rangkaiannnya), asas ejusdem generis

(asas yaitu bahwa suatu kata atau istilah

dibatasi secara khusus dalam kelompoknya),

dan asas expressio unius exclusio alterius

(asas yaitu bahwa jika suatu konsep digunakan

untuk satu hal maka ia tidak berlaku untuk hal

lain), MK berpendapat bahwa “agama” yang

dimaksud adalah agama yang diakui sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dan

tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa . Dengan kata lain, hak atau

Page 9: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 377

kemerdekaan warga negara untuk menganut

agama dibatasi pada agama yang diakui sesuai

dengan peraturan perundang-undangan .

MK berpendapat bahwa konsep ini justru

bertentangan dengan konstitusi UUD NRI

Tahun 1945, dimana dalam konstitusi warga

negara Indonesia bebas memeluk agama

apapun tanpa adanya batasan .

Di sisi lain, pada konteks kata

“kepercayaan”, yang termuat dalam Pasal 61

ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi

Kependudukan, dan menyatakan bahwa bagi

penghayat kepercayaan kolom “agama” tidak

diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam

database Kependudukan . Hal itu bukanlah

dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

dan jaminan negara bagi warga negara

penganut kepercayaan, melainkan hanya

penegasan tentang kewajiban negara untuk

memberikan pelayanan kependudukan . Atas

dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud

maka MK mempertimbangkan melalui

penilaiannya bahwa penganut kepercayaan

sudah pasti tidak mendapatkan pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil, lebih-lebih perlakuan yang sama di

hadapan hukum . Pengakuan tidak mungkin

didapat karena kepercayaan tidak dimasukkan

ke dalam pengertian agama .

Sejak awal penganut kepercayaan sudah

dibedakan dengan penganut agama yang diakui

sesuai dengan peraturan perundang-undangan .

Terlebih pada faktanya pasal 61 ayat (1) dan

ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)

UU Adminduk mengakibatkan warga negara

penghayat kepercayaan kesulitan memperoleh KK maupun KTP-el . Dengan dikosongkannya elemen data kependudukan tentang agama juga telah berdampak pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti perkawinan dan layanan kependudukan . Sehingga, penganut kepercayaan tidak mendapatkan jaminan kepastian dan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagai mana diperoleh warga negara lainnya . Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi .

Perbedaan pengaturan antar warga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional . Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik . Lagi pula jika dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan kebebasan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak bisa diterapkan pada konteks agama dan kepercayaan sebagai mana diatur pada pasal 28 I . Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan . Dengan demikian pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar warga negara merupakan

tindakan diskriminatif .

Page 10: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

378 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

Untuk menjamin hak konstitusional para Pemohon, oleh karena keberadaan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan merupakan kelanjutan dari kata“agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan yang menurut Mahkamah harus dimaknai termasuk “kepercayaan”, maka dengan sendirinya Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan kehilangan relevansinya dan juga turut tunduk pada argumentasi perihal pertentangan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (4) UU Administrasi Kependudukan di atas, sehingga dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat .

Dengan dasar pertimbangan di atas, MK dalam amar putusannya mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya . Kemudian, menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

secara bersyarat sepanjang tidak termasuk

“kepercayaan” .

Terakhir, menyatakan Pasal 61 ayat

(2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat .

B. Akibat Hukum Putusan MK Pada Judicial Review UU Adminduk Terhadap Pengawasan Penghayat Aliran Kepercayaan

Akibat hukum merupakan suatu akibat

yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap

suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek

hukum .16 Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016

yang membolehkan status penganut

kepercayaan dimasukan dalam kolom

Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el)

memberikan akibat hukum terhadap sistem

hukum dan subsistem yang menyertainya .

Akibat hukum tersebut yang memuat

perihal diperbolehkannya status penganut

kepercayaan dimasukan dalam kolom Kartu

Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) dan

16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm . 192 .

Page 11: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 379

termasuk bagian dari agama terikat asas res

judicata pro veritate habaetur, yakni apa yang

telah diputus oleh hakim harus dianggap benar .

Namun demikian ada catatan kritis terhadap

Putusan MK yang diambil secara bulat

oleh ke-9 Hakim Konstitusi tersebut, yakni

pernyataan bahwa pasal terkait bersifat tidak

mengikat justru menimbulkan akibat hukum,

yakni kekosongan hukum (rechtsvacuum)

dikarenakan keterbatasan kewenangan MK

yang tidak dapat membentuk aturan-aturan

hukum baru .

1. Terjadinya Kekosongan Hukum Pasca Putusan MK pada Judicial Review UU Adminduk

Jimly Asshiddiqie pada saat menjabat

sebagai Ketua MK, dia menyatakan bahwa

posisi MK adalah sebagai negative legislator

artinya MK hanya bisa memutus sebuah norma

dalam UU bertentangan konstitusi, tanpa boleh

memasukan norma baru ke dalam UU .17 MK

disini kemudian hanya memiliki posisi tanpa

kekuatan eksekusitorial yang dapat membantu

untuk menerapkan putusannya dalam produk

peraturan perundang-undangan . Namun

demikian secara tidak langsung putusan MK

menciptakan norma baru yang membuka

kesempatan kepada penghayat kepercayaan

untuk mengakses hak-haknya sebagai

warga negara, seperti hak atas pengakuan

perkawinan, pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, dan hak-hak lainnya .

Dasar pemikiran ini sesuai dengan Pasal 57 UU No . 24 Tahun 2003 tentang MK bahwa status suatu ketentuan dalam UU yang telah dinyatakan tak mempunyai hukum mengikat oleh MK, maka ketentuan atau pasal tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum .18 Dengan demikian putusan MK ini dianggap oleh sebagai dasar hukum yang baru. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, putusan MK mengenai pengisian kolom agama oleh penghayat kepercayaan dalam kartu identitas (KTP) dapat langsung dilaksanakan tanpa aturan tambahan .19 Selain itu, hal tersebut dikuatkan juga dengan prinsip bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali dan dapat menjadi norma dalam mengisi ketentuan pasal yang tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum .

Sementara itu hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memutuskan teknis penulisan untuk aliran kepercayaan di kolom kartu tanda penduduk . Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemerintah masih ingin mendengar pendapat berbagai pihak terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal aliran kepercayaan bisa dimasukkan dalam kolom agama di KTP . Bahkan, pemerintah

belum bisa memastikan pada tahun 2018

17 Ilman Hadi, “Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru?”, http://www .hukumonline .com/klinik/detail/lt50487c14ed33f/apakah-mk-berwenang-membuat-norma-hukum-baru, diakses 13 Januari 2018

18 Ali Salmande, “Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi”, http://www .hukumonline .com/klinik/detail/cl4222/pelaksanaan-putusan-mahkamah-konstitusi, diakses tanggal 13 Januari 2018 .

19 Christie Stefanie, “Pakar: Putusan MK Penganut Kepercayaan Langsung Dilaksanakan”, Edisi 10 November 2017, https://www .cnnindonesia .com/nasional/20171108134607-12-254293/pakar-putusan-mk-penganut-kepercayaan-langsung-dilaksanakan, diakses tanggal 13 Januari 2018 .

Page 12: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

380 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

kolom tersebut sudah bisa dimasukkan atau

belum .20 Dari legislator, Ketua Komisi II

DPR Zainuddin Amali mengatakan, Komisi

II DPR mewacanakan revisi Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan,

menindaklanjuti Putusan Mahkamah

Konstitusi yang memutuskan penganut aliran

kepercayaan masuk kolom agama di KTP .

Keputusan MK final dan mengikat maka tidak

bisa diajukan peninjauan kembali atau judicial

review sehingga yang paling memungkinkan

dilakukan revisi UU Administrasi

Kependudukan .21 Revisi dari UU Administrasi

Kependudukan dapat dilakukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat, yang mana kemudian

untuk memperjelas posisi dari penghayat

aliran kepercayaan melalui prosedur teknis

dan sebagai bagian dari interpretasi maka

dapat dibentuk peraturan pelaksana dari UU

Administrasi Kependudukan hasil revisi oleh

pemerintah .

Ditengah kondisi kekosongan hukum pasca

putusan MK ini, ada akibat hukum lainnya

yang akan dihadapi oleh pemerintah . Dengan

putusan MK itu pemerintah tidak hanya

memiliki kewajiban memberi pelayanan secara

formal dalam bentuk administrasi penduduk .

Pemerintah juga harus memenuhi pelayanan

pendidikan agama, perkawinan, tempat

ibadah dan lain-lain . Dalam pendidikan harus menyediakan guru penghayat kepercayaan . Kemudian, pemerintah harus menyediakan tempat ibadah bagi penghayat kepercayaan . Juga akan mengangkat Dirjen Bimas (Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat) penghayat kepercayaan . Kehidupan beragama di Indonesia dengan jumlah 6 agama yang diakui saja sudah sangat banyak masalah, seperti masalah pendirian tempat ibadah, masalah konflik horizontal antar pemeluk agama, dan lain-lain yang cukup sering kita saksikan .

Secara tidak langsung formalisasi penghayat kepercayaan yang statusnya sama dengan agama yang jumlahnya ratusan itu membuat Negara berkewajiban menganggarkan dana untuk penghayat kepercayaan ini . Pada akhirnya Negara pasti akan terbebani dengan masalah yang bertubi-tubi . Belum lagi, masalah Ahmadiyah, Agama Salamullah, Lia Eden dan lain-lain yang telah dinyatakan bermasalah dan difatwa menyimpang oleh MUI . Aliran ini bisa eksis dan diakui formal ajarannya melalui penghayat kepercayaan . Bahkan, kaum anti Tuhan dan Yahudi bisa berdalih masuk melalui jalur penghayat kepercayaan ini agar dapat KTP . Stablitias nasional terancam dan peluang

terjadi konflik horisontal bisa melebar.

Putusan MK ini jelas membawa

perubahan besar dalam sistem kehidupan

20 Irsyan Hasyim, “Mendagri: Ada 2 Cara Penulisan Aliran Kepercayaan di Kolom KTP”, Edisi 13 Desember 2017, https://nasional .tempo .co/read/1041889/mendagri-ada-2-cara-penulisan-aliran-kepercayaan-di-kolom-ktp, diakses tanggal 13 Januari 2018 .

21 Antara, “Pasca-Putusan MK, DPR Bakal Revisi UU Administrasi Kependudukan”, Edisi 8 November 2017, https://nasional .tempo .co/read/1031887/pasca-putusan-mk-dpr-bakal-revisi-uu-administrasi-kependudukan, diakses tanggal 13 Januari 2018 .

Page 13: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 381

keagamaan Indonesia . Tidak bisa dipungkiri

bahwa dalam konstitusi hak para penghayat

ini dilindungi dengan asas equality before

the law. Hanya saja hal ini tidak sepenuhnya

bisa diterima penganut agama lain, sebab

pemenuhan sebuah hak akan berpotensi

bertabrakan dengan hak lain . Oleh karena

itu perlu ada perumusan norma baru yang

dapat mengakomodir penghayat kepercayaan

ini, tanpa menimbulkan konflik dengan

kelompok penganut agama di Indonesia .

Prinsipnya pemenuhan hak harus dikontrol

oleh pemerintah agar tidak memicu konflik.

2. Problematika Dalam Pengawasan Penghayat Aliran Kepercayaan di Indonesia Pasca Putusan MK Pada Judicial Review UU Adminduk

Konsekuensi putusan MK ini sebenarnya

tidak mudah dalam menjalankannya,

terutama berkaitan dengan pengawasan

aliran kepercayaan . Hal ini disebabkan

varian aliran kepercayaan itu beragam

macamnya, jumlah aliran kepercayaan di

Indonesia kurang lebih 300-an diantaranya

ada yang dipermasalahkan oleh umat Islam .

Seperti ditulis dalam Kitab Darmogandul,

sebuah buku yang dijadikan referensi oleh

sebagian penganut aliran kepercayaan

bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi

Wassallam artinya makam atau kubur, dan

Ra-su-lu-lah artinya rasa yang salah .22

Dengan demikian ada aliran kepercayaan

yang bermasalah atau masih kategori aliran bermasalah . Aliran kepercayaan yang melakukan penodaan agama itu bisa melukai perasaan umat beragama . Tentu saja hal demikian bisa memicu konflik. Putsan MK tersebut akan membuat aliran kepercayaan yang bermasalah akan semakin leluasa dalam melaksanakan kegiatannya, karena memiliki hak yang sama dengan pemeluk agama lain . Apabila hal ini terjadi maka dipastikan hanya akan menambah masalah dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik .

Dalam putusannya, MK terkesan hanya menelaah gugatan judicial review dari penghayat kepercayaan hanya melihat dari aspek normatif saja . Sedangkan untuk memberikan solusi hukum secara komprehensif, seharusnya MK mempertimbangkan aspek-aspek sub-sistem sosial diluar hukum . Dalam teori Sibernetika Talcott Parson (Talcott Parson’s Cybernetics) menyebutkan tentang ada empat subsistem yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan, yaitu: budaya, sosial, politik, dan ekonomi .23 Dalam kaitannya dengan putusan MK, maka dampak yag ditimbulkan berdasarkan teori sibernetika tersebut dapat dibagi sebagai berikut:a . Dari segi budaya, adanya putusan MK

akan dijadikan basis legitimasi para penghayat aliran kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan kepercayaan mereka untuk lebih

22 Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Bahaya Aliran Kebatinan, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2011), hlm . 96 .23 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional,

(Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm . 22 .

Page 14: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

382 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

publik, memunculkan kebiasaan untuk menampilkan kultur aliran kepercayaan sesuai golongan tanpa batasan .

b . Dari segi sosial, adanya putusan MK tanpa pengaturan lebih lanjut melalui produk hukum yang tepat dapat menyebabkan timbulnya segregasi antar agama dan kepercayaan di lingkungan sosial masyarakat . Hal ini terjadi karena karena hilangnya tekanan atas tantangan untuk mempertahankan identitas dan ajaran, serta tantangan untuk tetap bertahan di tengah situasi sosial yang terus berubah .

c . Dari segi politik, adanya putusan MK dapat dipolitisasi sebagai isu kancah perpolitikan nasional untuk saling serang antar golongan, baik dari agama resmi dan dari aliran kepercayaan .

d . Dari segi ekonomi, adanya putusan MK dapat memunculkan ketidakstabilan dalam beberapa bidang seperti administrasi yang kemudian dapat mempengaruhi roda perekonomian masyarakat .

Namun, secara normatif, pertimbangan dalam putusan MK tersebut sudah sangat logis, tetapi ketika dihadapkan dengan kondisi lemahnya aturan hukum pada aspek sosial maka berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari . Kemudian, masih adanya sejumlah aliran keagamaan yang bermasalah dengan agama-agama tertentu . Dengan latar belakang budaya ini akan memperumit

permasalahan .

Aliran kepercayaan bermasalah harus

diselesaikan dulu, terlebih Negara telah

memiliki regulasi terkait dengan ini .

Kementrian Agama RI (Kemenag) juga

memiliki pedoman pembinaan terhadap

paham bermasalah itu . Disebutkan ada 7

indikator suatu aliran dan paham keagamaan

dianggap bermasalah sebagaimana

diatur dalam perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia . Poin ke-5 berbunyi:

“Melanggar hak-hak dasar orang lain, seperti

pengkonsepsian dan penafsiran ajaran agama

yang dalam penyebarannya memaksa mencuci

otak orang lain baik secara langsung, maupun

tidak langsung, memobilisasi pendanaan dari

masyarakat secara manipulative .”24 Hak dasar

yang dimaksud ini adalah hak beragama . Hak

ini harus dilindungi dari penafsiran ajaran

agama yang menyimpang .

Di Indonesia telah ada undang-undang

yang mengatur pencegahan penyalahgunaan

agama, yaitu UU No . 1 PNPS tahun 1965

yang dikenal dengan UU Penodaan Agama

(Pencegahan Penyalahgunaan dan atau

Penodaan Agama) . UU ini menjadi dasar

pemerintah memberikan perlindungan

kepada masyarakat dari pemahaman dan

keyakinan agama bermasalah . Kebebasan

setiap orang untuk berkeyakinan perlu diatur

agar kebebasan itu tidak sampai jatuh pada

penodaan agama . Melindungi agama-agama

yang telah diakui perlu lebih didahulukan

daripada keputusan memberi kebebasan aliran

24 Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pedoman Penanganan Aliran Dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Di Indonesia, hlm . 37, https://balitbangdiklat .kemenag .go .id/assets/downloads/Pedoman%20Penanganan%20Aliran%20Keagamaan .pdf, diakses 27 Februari 2018 .

Page 15: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 383

lain yang setara dengan agama . Setiap orang

memilik hak berkeyakinan . Tetapi setiap

agama perlu mendapatkan perlindungan

Negara dari penodaan . Sebuah hak tidak boleh

melanggar hak orang lain .

Dengan UU PNPS tersebut, tiap warga

negara tidak boleh seenaknya mengespresikan

kebebasan berkeyakinan . Semua harus tunduk

pada undang-undang . Pada Rakornas (Rapat

Kordinasi Nasional) Komisi Pengkajian dan

Penelitian MUI Provinsi se-Indonedia, 2

September 2016, Jaksa Agung Muda Bidang

Intelejen, Teguh, SH, MH, mengatakan

UU No . 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan

Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan

Agama diperlukan di Indonesia . Setiap warga

negara harus tunduk pada batasan-batasan

dengan maksud menjamin hidup agama, yaitu

dibatasi oleh UU No . 1 PNPS 1965 . Dalam hal

ini memang ada HAM (Hak Asasi Manusia)

yang mutlak, tetapi di negara Indonesia juga

ada HAM Konstitusional, yakni hak-hak asas

manusia yang diatur undang-undang . Pasal 1

UU menerangkan tentang larangan melakukan

penodaan agama dalam bentuk apapun . Bunyi

pasal tersebut adalah: “Setiap orang dilarang

dengan sengaja di muka umum menceritakan,

menganjurkan atau mengusahakan dukungan

umum, untuk melakukan penafsiran tentang

sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau

melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang

menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan

dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana

menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama

itu .” Artinya, masalah ini bukan sekedar

hak beragama atau berkeyakinan saja, tetapi

yang perlu dikaji adalah hak perlindungan

agama . Dengan demikian MK seharusnya

tidak melihat secara sepihak tuntutan hak

konstitusional para penghayat kepercayaan,

tetapi melihat juga perlindungan beragama

yang juga dilindungi oleh konstitusi .

Dalam menghadapi berbagai dampak dari

implikasi Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016

maka yang paling dibutuhkan adalah adanya

kepastian hukum terhadap kelanjutan putusan

tersebut . Kepastian hukum diperlukan

sebagai kerangka operasional dari hukum25

yang akan mengatur terkait dikabulkannya

gugatan judicial review UU 23 Tahun 2005

jo . UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan (UU Adminduk) . Berdasarkan

teori kepastian hukum dan nilai yang ingin

dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan,

maka Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016

yang membolehkan status penganut

kepercayaan dimasukan dalam kolom

Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el)

bertujuan untuk memberikan keadilan kepada

para penghayat kepercayaan yang merasa

didiskriminasi oleh UU Adminduk .

Simpulan

1 . Pertimbangan yang digunakan

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

97/PUU-XIV/2016 terkait pemenuhan

hak konstitusional penghayat aliran

25 Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Dalam Lintasan Sejarah), (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm .163 .

Page 16: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

384 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

kepercayaan di Indonesia, memuat

hal-hal yang sebenarnya telah mengakar

kuat dalam nilai-nilai budaya di

Indonesia . Pertimbangan MK seperti

keberadaan hak beragama termasuk hak

untuk menganut kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, dan penegasan

MK bahwa hak tersebut merupakan hak

konstitusional (constitutional rights)

warga negara, dan bukan pemberian

negara . Pendirian terhadap perbedaan

makna antara ‘agama’ dan ‘kepercayaan’

juga menjadi dasar dalam putusan MK .

Pada kesimpulannya, MK telah dengan

seksama dan progresif menyesuaikan

nilai-nilai budaya di Indonesia dengan

kasus yang ditanganinya . Hal tersebut

dibuktikan dengan pendapat MK

bahwa negara seharusnya tidak hanya

menghormati, melindungi dan memenuhi

hak beragama, tetapi juga hak menganut

kepercayaan . Putusan MK ini menjadi

kunci krusial dalam mempengaruhi

diperbaikinya praktek pelayanan

administrasi terhadap pengayat

kepercayaan di Indonesia .

2 . Akibat hukum dari Putusan MK No .

97/PUU-XIV/2016 secara general

membolehkan status penganut

kepercayaan dimasukan dalam kolom

Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-

el) . Akibat hukum tersebut memuat

pernyataan bahwa MK menganggap

penghayat kepercayaan memiliki

hak konstitusional dalam memeluk

kepercayaannya masing-masing .

Meskipun terikat asas res judicata pro

veritate habaetur (apa yang telah diputus

oleh hakim harus dianggap benar), hasil

kajian normatif makalah ini menunjukkan

bahwa putusan MK yang menyebutkan

pasal terkait bersifat tidak mengikat

justru menimbulkan akibat hukum, yakni

kekosongan hukum (rechtsvacuum) .

a . Kekosongan hukum terjadi karena

keterbatasan kewenangan MK yang

tidak dapat membentuk aturan-aturan

hukum baru . Namun disisi lain putusan

MK akan menciptakan norma baru

yang membuka kesempatan kepada

penghayat kepercayaan untuk mengakses

hak-haknya sebagai warga negara,

seperti hak atas pengakuan perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial

dan kesehatan, dan hak-hak lainnya .

Pemerintah juga berkewajiban untuk

memenuhi pelayanan pendidikan agama,

perkawinan, tempat ibadah dan lain-lain

bagi para penghayat kepercayaan berikut

pada layanan administrasi kependudukan .

Pada kesimpulannya terdapat hak-hak

yang harus dipenuhi dan kewajiban-

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

berbagai pihak akibat dikeluarkannya

putusan tersebut .

b . Implikasi dari putusan MK adalah

pemerintah harus siap terhadap dampak

munculnya aliran maupun paham yang

mungkin bertentangan dengan Pancasila

yang berpotensi memanfaatkan celah

Page 17: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 385

hukum pengakuan hak penghayat

kepercayaan tersebut . Hal ini dapat

berdampak pada stablitias nasional yang

terancam dan peluang terjadi konflik

horisontal bisa melebar . Konsekuensi

putusan MK ini tidak mudah dalam

menjalankannya, terutama berkaitan

dengan pengawasan aliran kepercayaan .

Hal ini disebabkan varian aliran

kepercayaan itu beragam macamnya,

serta adanya aliran kepercayaan yang

bermasalah dengan penganut keagamaan .

Dengan diberinya kebebasan kepada

aliran kepercayaan melalui putusan MK

ini, implikasinya pada negara adalah

negara tidak bisa mengesampingkan

perlindungan hak beragama . Sebab,

sebagian dari pengahayat aliran

kepercayaan ini kerap bersinggungan

dengan prinsip keagaman tertentu . Oleh

karena itu MK seharusnya tidak melihat

secara sepihak tuntutan hak konstitusional

para penghayat kepercayaan, tetapi

melihat juga perlindungan beragama

yang juga dilindungi oleh konstitusi .

Pemerintah sebagai pihak yang harus

mengeluarkan aturan-aturan dengan

dasar putusan MK tersebut harus

mempertimbangkan berbagai sisi baik

sisi sosial, budaya, dan politik .

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mulkan, Abdul Munir . “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th . Sumartana (ed .), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia . Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001 .

Ali, Achmad . Menguak Tabir Hukum . Bogor : Ghalia Indonesia, 2008 .

Hadjon, Philipus M . Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia . Surabaya: Bina Ilmu, 1987 .

Huijbers, Theo . Filsafat Hukum (Dalam Lintasan Sejarah) . Yogyakarta: Kanisius, 1984 .

MD, Mahfud . Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi . Jakarta: LP3ES, 2007 .

Rahardjo, Satjipto . Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional . Bandung: Sinar Baru, 1985 .

Soeroso, R . Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Tanya dkk . Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi . Yogyakarta: Genta Publishing, 2010 .

Tim Penulis Pustaka Sidogiri . Bahaya Aliran Kebatinan . Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2011 .

Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan . Pedoman Penanganan Aliran Dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Di Indonesia, 2016 .

Wahid, Abdurrahman . Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Page 18: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

386 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387

Kebudayaan, Jakarta: The Wahid

Institute, 2007 .

Jurnal

Hikmah, Mutiara . “Mahkamah Konstitusi

dan Penegakan Hukum dan HAM

di Indonesia” . Jurnal Hukum dan

Pembangunan Vol.35, No 2, (April –

Juni 2005) .

Makalah

Nurjaya, I Nyoman . Memahami Kedudukan

Hukum Adat Dalam Politik

Pembangunan Hukum Nasional,

Seminar Nasional tentang Arah

Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat

Adat dalam Sistem Hukum Nasional .

Malang: Badan Pembinaan Hukum

Nasional, 2011 .

Naskah Internet

Hasan, Akhmad Muawal . “Pembakuan

Definisi “Agama” yang Penuh Pro dan

Kontra” . Edisi 11 November 2017.

https://tirto .id/pembakuan-definisi-

agama-yang-penuh-pro-dan-kontra-

czVV . Diakses 12 Januari 2018

Redaksi . “Yunahar Ilyas : Penghayat Adalah

Kepercayaan, Masak Masuk Kolom

Agama” . Edisi 9 November 2017 . http://

sangpencerah .id/2017/11/yunahar-

ilyas-penghayat-adalah-kepercayaan-

masak-masuk-kolom-agama/ Diakses

12 Januari 2018

Ramadhan, Bilal . “MK Dinilai Sangat

Senyap Soal Kolom Penghayat

Kepercayaan” . Edisi 9 Desember 2017 .

http://nasional .republika .co .id/berita/

nasional/politik/17/12/09/p0ot24330-

mk-dinilai-sangat-senyap-soal-kolom-

penghayat-kepercayaan . Diakses 12

Januri 2018

Yulianto, Eko . “Dinamika Hak Asasi Manusia

dalam Teori Hukum Alam” . https://

w w w . a c a d e m i a . e d u / 3 4 6 1 9 6 9 9 /

Dinamika_Hak_Asasi_Manusia_

dalam_Teori_Hukum_Alam . Diakses

tanggal 13 Januari 2018

Hadi, Ilman . “Apakah MK Berwenang

Membuat Norma Hukum Baru?” .

http://www .hukumonline .com/klinik/

detail/lt50487c14ed33f/apakah-mk-

berwenang-membuat-norma-hukum-

baru . Diakses 13 Januari 2018

Salmande, Ali . “Pelaksanaan Putusan

Mahkamah Konstitusi” . http://www .

hukumonline .com/klinik/detail/cl4222/

pelaksanaan-putusan-mahkamah-

konstitusi . Diakses 13 Januari 2018

Stefanie, Christie . “Pakar: Putusan MK

Penganut Kepercayaan Langsung

Dilaksanakan” . Edisi 10 November

2017 . https://www .cnnindonesia .com/

nasional/20171108134607-12-254293/

p a k a r - p u t u s a n - m k - p e n g a n u t -

kepercayaan-langsung-dilaksanakan .

Diakses 13 Januari 2018

Page 19: AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUU XIV/2016 TENTANG

Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 387

Hasyim, Irsyan . “Mendagri: Ada 2 Cara

Penulisan Aliran Kepercayaan di Kolom

KTP .” Edisi 13 Desember 2017 . https://

nasional .tempo .co/read/1041889/

mendagri-ada-2-cara-penulisan-aliran-

kepercayaan-di-kolom-ktp . Diakses

tanggal 13 Januari 2018 .

Antara . “Pasca-Putusan MK, DPR Bakal Revisi

UU Administrasi Kependudukan .”

Edisi 8 November 2017 . https://

nasional .tempo .co/read/1031887/

pasca-putusan-mk-dpr-bakal-revisi-uu-

administrasi-kependudukan . Diakses

tanggal 13 Januari 2018

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/

PUU-XIV/2016 .