analisis producer support estimate dan … filekedua, sebagai acuan dalam merumuskan instrumen...

48
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015 ANALISIS PRODUCER SUPPORT ESTIMATE DAN RELEVANSINYA DALAM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Tim Peneliti Tahlim Sudaryanto Muhammad Iqbal Reni Kustiari Saktyanu K.Dermoredjo Chairul Muslim Yonas Hangga Saputra Adi Setiyanto PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

Upload: vuongphuc

Post on 06-May-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2015

ANALISIS PRODUCER SUPPORT ESTIMATE DAN RELEVANSINYA DALAM KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN PERTANIAN

Tim Peneliti

Tahlim Sudaryanto

Muhammad Iqbal Reni Kustiari

Saktyanu K.Dermoredjo Chairul Muslim

Yonas Hangga Saputra

Adi Setiyanto

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

i

KATA PENGANTAR

Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada sektor pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu dianalisis

sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian ke depan.

Tujuan umum kegiatan ini adalah untuk untuk menganalisis perkembangan

kebijakan pertanian dan pembaruan indikator PSE tahun 2013-2014. Secara khusus tujuan kegiatan ini adalah mengumpulkan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian, memvalidasi data dan informasi perkembangan kebijakan

pertanian, mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian, menganalisis dan menginterpretasi data dan informasi perkembangan kebijakan

pertanian, dan merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian.

Sebagai bagian dari Agricultural Policy Monitoring and Evaluation indikator

Producer Support Estimates (PSEs) dan indikator lainnya yang disajikan dalam laporan ini memiliki relevansi dengan kebijakan pertanian. Pertama, memonitor perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support) terhadap sektor pertanian.

Kedua, sebagai acuan dalam merumuskan instrumen kebijakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikurangi atau dihapus. Ketiga, sebagai bahan

dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy coherence) di tingkat global.

Ucapan terima kasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu dan

mendukung terlaksananya kegiatan yang disajikan dalam laporan ini. Kritik dan saran tetap diharapkan demi penyempurnaan isi laporan ini agar bermanfaat bagi yang berkepentingan.

Bogor, Mei 2015 Kepala Pusat,

Dr. Handewi P. Saliem

NIP. 195706041981032001

vii

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

1. Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada sektor pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu

dianalisis sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian kedepan.

2. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah

mengembangkan metodologi Producer Support Estimate (PSE) dan beberapa indikator lainnya yang dirancang khusus untuk memonitor sekaligus mengevaluasi tingkat serta komposisi dukungan yang diberikan terhadap sektor

pertanian, untuk negara-negara anggota OECD dan negara mitra, termasuk Indonesia.

3. Relevansi analisis tersebut bagi kebijakan pembangunan pertanian Indonesia

adalah: (a) mengetahui perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support) terhadap sektor pertanian; (b) sebagai acuan dalam merumuskan instrumen kebijakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus

dikurangi atau dihapus; dan (c) partisipasi Indonesia dalam analisis PSE tingkat global sebagai bahan dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy coherence) antar negara.

4. Tujuan kajian ini adalah: (a) mengumpulkan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian; (b) memvalidasi data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian; (c) mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan

pertanian; (d) menganalisis dan menginterpretasi data perkembangan indikator dukungan (support) terhadap sektor pertanian; dan (e) merumuskan

rekomendasi kebijakan pertanian ke depan.

METODOLOGI

5. Metodologi perhitungan PSE dan indikator-indikator terkait mengandung enam

prinsip dasar, yaitu: (a) dukungan terhadap produsen pertanian merupakan kriteria kunci kebijakan yang memiliki dua syarat (i) kebijakan harus secara

eksplisit atau implisit memberikan dukungan baik dalam bentuk dana maupun berupa barang atau jasa; dan (ii) kebijakan tersebut harus ditujukan kepada produsen pertanian; (b) tidak ada pertimbangan terkait dengan sifat, tujuan, dan

dampak ekonomi dari kebijakan; (c) kebijakan yang secara umum berlaku untuk seluruh sektor ekonomi tidak dianggap sebagai dukungan terhadap sektor

pertanian; (d) dukungan kebijakan pertanian diukur secara garis besar (bruto); (e) acuan dukungan adalah di tingkat petani (farm gate level); (f) dukungan

terhadap produsen diklasifikasikan menurut kriteria implementasi, dimana penyediaannya adalah untuk petani atau menurut kondisi kelayakan.

6. Data dan informasi sebagian besar berasal dari sumber sekunder yang menyebar di beberapa Kementerian/Lembaga terkait. Kunjungan lapang dilakukan untuk

viii

mendapatkan gambaran nyata (cross-check) serta melakukan validasi data dan

informasi dari sumber primer. Lokasi kunjungan lapang adalah di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

7. Data dan informasi yang diperlukan untuk analisis ini meliputi 15 komoditas

(padi, jagung, kedele, kelapa sawit, kakao, ubikayu, pisang, gula, karet, kopi,

susu, daging sapi, daging babi, daging unggas, dan telur). Cakupan waktunya adalah tahun 2013-2014.

HASIL DAN PEMBAHASAN

8. Subsidi BBM diturunkan sejak bulan Nopember 2014 dan kemudian dihapuskan bulan Januari 2015 (kecuali subsidi untuk solar sebesar Rp.1000/liter).

Perubahan kebijakan ini telah melepaskan sumberdaya fiskal, yang sebagian akan digunakan untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, terutama

infrastruktur.

9. Kabinet baru yang mulai bertugas bulan Oktober 2014 telah menekankan kembali komitmen untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pangan

pokok (beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Jangka waktu pencapaian target swasembada tersebut telah direvisi menjadi akhir tahun 2017 untuk

beras, jagung dan kedele, dan akhir tahun 2019 untuk gula dan daging sapi. Telah diluncurkan pula perubahan kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut,

yang juga mencakup upaya-upaya untuk mendorong produksi komoditas strategis lainnya seperti cabe, bawang merah, kentang dan kakao.

10. Anggaran yang dihemat dari subsidi BBM sebagian telah dialokasikan untuk

membiayai infrastruktur irigasi, sebagian besar untuk mendukung peningkatan produksi padi. Dalam rangka mendukung target tersebut, Kementerian

Pertanian berkomitmen akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp.4,2 trilyun untuk membiayai rehabilitasi jaringan irigasi seluas 1,5 juta ha, bersamaan dengan upaya optimalisasi lahan untuk produksi padi seluas 500 ribu ha.

11. Pemerintah membatasi impor beberapa komoditas pertanian strategis (komoditas yang masuk dalam target swasembada) dan memungut pajak ekspor

terhadap beberapa komoditas, seperti CPO dan kakao. Sejak tahun 2008 setiap importir harus terdaftar sebagai importir terdaftar yang dikeluarkan Kementerian

Perdagangan untuk mengimpor produk olahan dari daging, serealia, gula, dan kakao. Pembatasan serupa berlaku juga untuk impor ternak dan produk ternak pada tahun 2011.

12. Indonesia tetap mempertahankan sistem kuota untuk impor daging sebagai bagian dari target swasembada untuk komoditas tersebut. Kuota impor

ditetapkan setiap tahun untuk sapi bakalan, dan daging beku (boxed beef) secara terpisah berdasarkan perkiraan selisih antara permintaan dan penawaran.

13. Nilai PSE sektor pertanian meningkat dari Rp.3,17 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.293,09 trilyun tahun 2012-2014. Sebagian besar dari dukungan tersebut berupa perlindungan harga yang mencapai 75,5% tahun 1995-1997

dan melonjak menjadi 91,6% tahun 2012-2014.

ix

14. Selain dukungan yang langsung ditujukan kepada petani (PSE) ada beberapa

intrumen dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara keseluruhan, yaitu: (a) dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan (b) transfer pemerintah kepada konsumen.

15. Nilai GSSE meningkat dari Rp.1,1 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp.18,3 trilyun tahun 2012-2014 (5,6% dari TSE). Komponen terbesar dari kelompok

pengeluaran tersebut adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur yang mencapai 72,8% tahun 1995-1997 dan 72,5% tahun 2012-

2014. Secera keseluruhan, nilai total dukungan kepada sektor pertanian Rp.330,7 trilyun tahun 2012-2014.

16. Secara umum nilai PSE menunjukkan trend peningkatan dari 3,9% tahun 1995-

1997 menjadi 20,6% tahun 2012-2014. Artinya sekitar 20,6% dari nilai produksi pertanian adalah transfer dari pembayar pajak dan konsumen. Perbandingan

nilai PSE antar negara menunjukkan bahwa PSE sektor pertanian Indonesia tahun 2012-2014 sedikit lebih tinggi dari Tiongkok (19,2%), namun jauh lebih

tinggi dari negara-negara OECD (17,9%).

17. Negara-negara seperti Australia dan Selandia baru yang dikenal sebagai produsen dan eksportir produk pertanian yang kompetitif ternyata memperoleh

dukungan pemerintah yang relatif kecil. Keunggulan mereka terletak pada sistem inovasi, infrastruktur yang memadai dan iklim usaha yang kondusif.

18. Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 3,6% tahun 2012-2014. Pada

tahun 2012-2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi, diatas Tiongkok (3,2%), apalagi dibandingkan dengan rata-rata negara OECD (0,8%).

19. Trend jangka panjang, serupa dengan PSE, nilai TSE di banyak negara maju

cenderung menurun, sementara di negara berkembang (Indonesia dan Tiongkok) menunjukkan trend peningkatan.

20. Nominal Protection Coeficient (NPC) di Indonesia meningkat tajam dari 1,03 tahun 1995-1997 menjadi 1,26 tahun 2012-2014. Artinya harga-harga komoditas pertanian di dalam negeri 26% lebih tinggi dari harga-harga komoditas serupa di

pasar internasional. Hal yang sama juga terjadi di Tiongkok dimana NPC meningkat dari 1,0 menjadi menjadi 1,21 pada periode yang sama.

KESIMPULAN

21. Dukungan (support) terhadap sektor pertanian yang diukur dengan Producer’s Support Estimate (PSE) menunjukkan trend peningkatan dan lebih tinggi dari

Tiongkok maupun negara-negara anggota OECD. Sekitar 91% dari dukungan tersebut adalah berupa perlindungan harga yang menyebabkan harga domestik

lebih tinggi dari harga di pasar internasional.

22. Transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian meliputi: (a) transfer atas

penggunaan input dalam bentuk subsidi pupuk dan benih/bibit maupun bantuan alat dan mesin pertanian; (b) transfer berupa pelayanan di tingkat usahatani,

x

terutama penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah dalam rangka bantuan

bencana alam. Komponen yang paling tinggi adalah transfer untuk subsidi pupuk.

23. Selain dukungan langsung kepada petani (PSE), dukungan pemerintah untuk sektor pertanian juga meliputi: (a) dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan (b) transfer kepada konsumen. Komponen

terbesar dari kelompok pengeluaran GSSE adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur yang mencapai sekitar 72% dari total GSSE.

24. Walaupun nilai PSE Indonesia bukan yang tertinggi, namun dengan kontribusi pertanian dalam PDB nasional yang masih relatif besar, maka nilai dukungan terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi

secara keseluruhan. Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota OECD, walaupun secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun

secara relatif dibanding dilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

25. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga terutama

dalam rangka mencapai swasembada pangan telah berdampak pada peningkatan harga pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya

menurunkan asupan gizi, terutama bagi penduduk miskin termasuk petani kecil. Dalam jangka panjang, prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan

produktivitas melalui sistem inovasi, pembangunan infrastruktur dan mempermudah investasi swasta.

26. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah

subsidi pupuk yang efektifitasnya masih diragukan. Skema yang lebih efisien adalah menkonversi subsidi tersebut kedalam sistem transfer berdasarkan luas

areal seperti telah dilakukan secara progresif di Tiongkok. Anggaran yang dihemat dari subsidi pupuk dapat dialokasikan untuk meningkatkan anggaran sistem inovasi pertanian dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian

dalam jangka panjang.

xi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii

EXECUTIVE SUMMARY .......................................................................... iii RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................ vii

DAFTAR ISI .......................................................................................... xi DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ........................................................ xvi

I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian .................................................................. 2 1.3. Keluaran Penelitian ............................................................... 3

II. METODOLOGI ............................................................................... 3

2.1. Kerangka Pemikiran .............................................................. 3 2.2. Lokasi dan Jadwal Penelitian .................................................. 4

2.3. Pengumpulan Data dan Informasi .......................................... 4 2.4. Analisis Data dan Informasi ................................................... 5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 7 3.1. Perkembangan Kebijakan Pertanian.........................................

3.1.1. Kebijakan Domestik..................................................... 3.1.2. Kebijakan Perdagangan...............................................

7

7 9

3.2. Besaran dan Komposisi Dukungan (Support) Terhadap Sektor Pertanian...............................................................................

11

3.2.1. Dukungan Langsung Kepada Petani........................... 11

3.2.2 Total Dukungan Kepada Sektor Pertanian (Total Support Estimate, TSE).............................................

12

3.3 Analisis Indikator Dukungan Terhadap Sektor Pertanian............ 14

3.3.1. Producer Support Estimate (PSE) .............................. 14

3.3.2. Total Support Estimate (PSE) ................................... 17 3.3.3. Nominal Protection Coeficient (NPC) untuk Produsen 18

3.3.4. Single Commodity Transfer (SCT) ............................. 19 3.4 Persepsi Petani dan Stakeholder Terhadap Dukungan Pada

Sektor Pertanian ...................................................................

20 3.4.1. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

xii

Jawa barat .............................................................. 20

3.4.2. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat ......................................................................

22

3.4.3. P4S Tani Mandiri ..................................................... 23 3.4.4. Petani Padi .............................................................. 26

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ....................................... 31 4.1. Kesimpulan .......................................................................... 31

4.2. Implikasi Kebijakan .............................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 33

LAMPIRAN ............................................................................................ 34

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Sumber Data dan Informasi. 6 2.2. Rincian Data dan Informasi Perkembangan Kebijakan Pertanian. 7

3.1. Besaran dan Komposisi Dukungan (Support) di Sektor Pertanian, 1995-1997 dan 2012-2014.

13

3.2. Kondisi Irigasi menurut Tingkat Pemerintahan, 2010. 16

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.2.1. Perkembangan dan Komposisis PSE Indonesia, 1995-2014 15

3.2.2. Perbandingan PSE antar Negara, 1995-1997 dan 2012-2014 15 3.2.3. Komposisi PSE Menurut Negara, 201-2014 16

3.2.4. Perbandingan TSE antar Negara, 1995-1997 dan 2012-2014 17 3.2.5 Komposisi TSE Menurut Negara, 201-2014 18 3.2.6. Nominal Protection Coeficient (NPC) Menurut Negara 1995-

1997 dan 2012-2014

19

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Tabel 1 Perkembangan Pengeluaran Publik untuk Pelayanan

Umum, 1990-2013 (Rp Milyar).

34

xvi

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Amber Box Semua subsidi domestik dalam sektor pertanian yang dianggap mendistorsi produksi dan perdagangan

ADB Asian Development Bank

AoA Agreement on Agriculture APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APM Agricultural Policy Monitoring

Bakorluh Badan Koordinasi Penyuluhan

BI Bank Indonesia Bimas Bimbingan Massal

Blue Box Amber box dengan persyaratan tertentu yang ditujukan untuk mengurangi distorsi

BPP Balai Penyuluhan Pertanian BPPSDMP Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya

Manusia Pertanian

BPS Badan Pusat Statistik BULOG Badan Urusan Logistik

CGSSE General Service Support Estimate CPO Crude Palm Oil

CSE Consumer Support Estimate DAK Dana Alokasi Khusus Development Box Perlakuan khusus dan berbeda (special and

differential treatment) untuk negara berkembang dalam AoA

Ditjen Direktorat Jenderal FGD Focus Group Discussion FMD Food and Mouth and Disease

GDP Gross Domestic Product Green Box Bentuk subsidi yang tidak berpengaruh atau kalaupun

ada sangat kecil pengaruhnya terhadap perdagangan, sehingga tidak perlu dikurangi (subsidi tersebut harus

dibiayai dari anggaran pemerintah dan tidak termasuk subsidi harga)

HPP Harga Pembelian Pemerintah

IB Inseminasi Buatan Kementan Kementerian Pertanian

Lao PDR Lao People's Democratic Republic Litbang Penelitian dan Pengembangan

OECD Organization for Economic Co-operation and Development

PPHP Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

PPN Pajak Pertambahan Nilai PSE Producer Support Estimate

xvii

PSE-KP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

PSP Prasarana dan Sarana Pertanian PUMK Penguatan Modal Usaha Grup

PUPR Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RASKIN Beras untuk Orang Miskin Ristek Riset dan Teknologi

STA Sub-Terminal Agribisnis TA Tahun Anggaran

UPT Unit Pelaksana Teknis

xviii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian diterapkan melalui beberapa

instrumen kebijakan. Besaran dan komposisi dukungan yang diberikan kepada sektor

pertanian, serta bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu, perlu dianalisis

sebagai bahan perbaikan kebijakan pembangunan pertanian kedepan. Dalam

konteks global, perbandingan ltingkat dukungan antar negara merupakan input

penting dalam dialog koherensi kebijakan pertanian global. Aspek tersebut

diperlukan baik oleh para pembuat dan analis kebijakan, peneliti, akademisi, maupun

pemangku kepentingan lainnya.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah

mengembangkan metodologi Producer Support Estimate (PSE) dan beberapa

indikator lainnya yang dirancang khusus untuk memonitor sekaligus mengevaluasi

tingkat serta komposisi dukungan yang diberikan terhadap sektor pertanian. Semula

seperangkat indikator tersebut digunakan khusus untuk lingkup negara-negara

anggota OECD. Selanjutnya, cakupan negara dalam pengukuran tingkat dukungan

tersebut diperluas ke negara-negara mitra (enhanced engagement countries), yaitu

Afrika Selatan, Brazil, China, Indonesia, Kazakhstan, Rusia, dan Ukraina. Pada tahun

2015 bahkan diperluas lagi meliputi Kolumbia dan Viet Nam. Secara keseluruhan ada

34 negara yang tercakup dalam analisis tersebut.

Khusus untuk Indonesia, pada tahun 2012, OECD bekerja sama dengan

Kementerian Pertanian telah menerbitkan laporan yang berjudul "OECD Review on

Agricultural Policies: Indonesia", yang didalamnya antara lain juga memuat

perhitungan mengenai PSE. Mulai tahun 2013 dan selanjutnya, dilakukan

pembaharuan tentang kebijakan terkait sektor pertanian, termasuk perhitungan PSE,

yang diterbitkan dalam laporan "Agricultural Policy Monitoring and Evaluation” yang

meliputi negara-negara anggota OECD dan negara-negara mitra termasuk Indonesia.

Laporan tersebut memuat informasi tentang perkembangan kebijakan terkait dengan

sektor pertanian, perdagangan, dan lain-lain.

2

Relevansi analisis tersebut bagi kebijakan pembangunan pertanian Indonesia

adalah: (1) mengetahui perkembangan tingkat dan komposisi dukungan (support)

terhadap sektor pertanian; (2) sebagai acuan dalam merumuskan instrumen

kebijakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang harus dikurangi atau

dihapus; dan (3) partisipasi Indonesia dalam analisis PSE tingkat global sebagai

bahan dialog untuk mewujudkan koherensi kebijakan (policy coherence) antar

negara.

Analisis sebelumnya yang mencakup periode tahun 1990-2012, perlu

diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebijakan yang telah dilaksanakan dalam

periode tahun 2013-2014. Dalam jangka panjang, inisiatif ini akan memposisikan

PSE-KP sebagai pusat referensi untuk analisis dalam aspek tersebut.

1.2. Tujuan Penelitian

Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan

kebijakan pertanian dan pembaruan indikator PSE tahun 2013-2014. Secara khusus

tujuan kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

2. Memvalidasi data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

3. Mengolah data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

4. Menganalisis dan menginterpretasi data perkembangan indikator dukungan

(support) terhadap sektor pertanian; dan

5. Merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian ke depan.

1.3. Keluaran Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, keluaran kegiatan ini adalah:

1. Terkumpulnya data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

2. Validasi data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

3. Hasil pengolahan data dan informasi perkembangan kebijakan pertanian;

4. Hasil pengolahan data perkembangan indikator dukungan (support) terhadap

sektor pertanian;

5. Rumusan alternatif kebijakan pertanian ke depan.

3

II. METODOLOGI

2.1. Kerangka Pemikiran

Metodologi PSE dan indikator-indikator terkait mengandung enam (6) prinsip

dasar. Prinsip pertama, kedua, dan ketiga berhubungan dengan lingkup penentuan

langkah dan pertimbangan terkait dengan identifikasi kriteria kebijakan mendukung

sektor pertanian diantara berbagai kebijakan sektor lainnya. Sementara itu, prinsip

keempat, kelima, dan keenam menyangkut tentang pentingnya cara pengukuran

melalui interpretasi indikator-indikator dalam metodologi ini. Uraian umum tentang

keenam prinsip tersebut masing-masing sebagai berikut:

Pertama: dukungan terhadap produsen pertanian merupakan kriteria kunci

kebijakan. Prinsip ini memiliki dua syarat, yaitu: (a) kebijakan harus secara

eksplisit atau implisit memberikan dukungan baik dalam bentuk dana maupun

berupa barang atau jasa; dan (b) kebijakan tersebut harus ditujukan kepada

produsen pertanian.

Kedua: tidak ada pertimbangan terkait dengan sifat, tujuan, dan dampak

ekonomi dari kebijakan. Kata “dukungan” adalah hal positif (positive externalities)

yang diterima produsen, bukan bersifat “subsidi” mendukung produksi pertanian.

Ketiga: kebijakan yang secara umum berlaku untuk seluruh sektor ekonomi tidak

dianggap sebagai estimasi dukungan terhadap sektor pertanian, kendati dukungan

tersebut bersifat ke dan atau dari sektor pertanian. Dengan kata lain, prinsip ini

secara tegas menyatakan bahwa dukungan kebijakan adalah spesifik untuk sektor

pertanian.

Keempat: dukungan kebijakan pertanian diukur secara garis besar (bruto). Oleh

karena itu, pada prinsip ini terkandung makna bahwa tidak ada penyesuaian-

penyesuaian biaya yang terjadi dalam kaitannya dengan bantuan yang diterima

produsen, misalnya biaya peningkatan produksi atau pembayaran untuk

pemenuhan kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi, biaya-biaya seperti penyimpanan

dan pemasaran termasuk dalam prinsip ini. Dalam pengertian lebih jauh, prinsip

ini lebih menekankan “upaya” dari pada “akibat”.

4

Kelima: acuan dukungan adalah di tingkat petani (farm gate level). Prinsip ini

menegaskan bahwa dukungan yang diberikan adalah untuk produsen utama

pertanian. Dengan demikian, keberadaan “konsumen” adalah pembeli langsung ke

petani seperti penggilingan, pabrik gula, dan pengolah susu.

Keenam: dukungan terhadap produsen diklasifikasikan menurut kriteria

implementasi, dimana penyediaannya adalah untuk petani atau menurut kondisi

kelayakan. Prinsip ini menggarisbawahi bahwa berbagai implementasi kebijakan

yang digunakan adalah untuk mendukung sektor pertanian terkait dengan

produksi, perdagangan, pendapatan, dan lingkungan.

Selain itu ada beberapa hal yang perlu ditekankan dalam metodologi dan

aplikasi PSE. Pertama, indikator-indikator yang digunakan dalam metodologi ini

adalah representasi kebijakan komprehensif terhadap sektor pertanian. Kedua, tiap

indikator merupakan komponen pokok yang mengandung dimensi khusus dalam

suatu kesatuan sistem yang saling melengkapi. Ketiga, seperangkat data dasar

(database) baik PSE maupun CSE (Consumer Support Estimate) dan GSSE (General

Service Support Estimate) memiliki banyak sumber informasi kebijakan lingkup

internasional yang diperbarui secara berkala.

2.2. Lokasi dan Jadwal Kegiatan

Kegiatan dilakukan selama empat bulan, mulai Februari hingga Mei 2015. Data

dan informasi sebagian besar berasal dari sumber sekunder yang menyebar di

beberapa instansi terkait. Kunjungan lapang dilakukan untuk mendapatkan

gambaran nyata (cross-check) serta melakukan validasi data dan informasi dari

sumber primer. Lokasi kunjungan lapang adalah di dua kabupaten yaitu Kabupatesn

Bandung Barat dan kabupaten Bandung (Provinsi Jawa Barat).

2.3. Pengumpulan Data dan Informasi

Data dan informasi kegiatan ini sebagian besar berasal dari sumber sekunder

dan sebagian lagi dari sumber primer. Beberapa data dan informasi sekunder

dikumpulkan dari berbagai instansi baik lingkup Kemeterian Pertanian maupun

instansi terkait lainnya. Data dan informasi primer berasal dari pelaku pertanian

5

(petani, pedagang, dan lain-lain) yang diperlukan untuk mendukung data dan

informasi sekunder. Sumber data dan informasi sekunder disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sumber Data dan Informasi

No. Kementerian Pertanian No. Kementerian/Lembaga Lainnya

1. Badan Karantina Pertanian 1. BPS (Badan Pusat Statistik) 2. Badan Ketahanan Pangan 2. Perum BULOG 3. Badan Litbang Pertanian 3. BI (Bank Indonesia) 4. Sekretariat Jenderal Kementan 4. Ditjen Anggaran, Kemenkeu 5. BPPSDMP 5. Ditjen Pengairan, Kemen PUPR 6. Ditjen Tanaman Pangan 7. Ditjen Perkebunan

8. Ditjen Hortikultura 9. Ditjen Peternakan dan Keswan 10. Ditjen PPHP

11. Ditjen PSP

2.4. Analisis Data dan Informasi

Secara garis besar, data dan informasi yang dikumpulkan terkait dengan

perkembangan kebijakan pertanian (policy development) dan sektor terkait lainnya.

Rincian data dan informasi yang dikumpulkan dapat diperhatikan pada Tabel 2.2.

Analisis data dan informasi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah

indikator PSE dan indikator-indikator terkait lainnya. Metode ini mengandung

beberapa prinsip mendasar yang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.

Pertama, berhubungan dengan lingkup penentuan langkah dan pertimbangan

terkait dengan identifikasi kriteria kebijakan mendukung sektor pertanian diantara

berbagai kebijakan sektor lainnya. Kedua, menyangkut pentingnya cara pengukuran

melalui interpretasi indikator-indikator dalam metode ini.

Tabel 2.2. Rincian Data dan Informasi Perkembangan Kebijakan Pertanian

No. Uraian Keterangan

1. Main policy instruments Updated kebijakan swasembada pangan

2. Domestic policy development (a) HPP gabah dan kedelai serta provenue gula; (b) RASKIN; (c) subsidi pupuk; (d) subsidi benih;

(e) bantuan alat pascapanen; (f) perkreditan; (g) pembangunan dan rehabilitasi irigasi; (h)

perubahan kebijakan PPn; dan (i) asuransi, penyuluhan, dan lain-

lain.

6

3. Trade policy development (2012-2014) (a) quantitative import restrictions; (b) quantitative limits of beef imports; (c) import from country free from FMD (based on zones); (d) food safety, quarantine, and standards and labelling purposes; (e) import on horticultural products; (f) export tax on CPO and cocoa bean; dan (g) new policy initiatives

Data dan informasi yang diperlukan untuk analisis ini meliputi 15 komoditas

(rice, maize, soybeans, palm oil, cocoa beans, cassava, bananas, sugar cane, rubber,

coffee, raw milk, beef and veal, pigmeat, poultry, and eggs). Cakupan waktunya

adalah tahun 2013-2014 dan tahun-tahun sebelumnya untuk beberapa variable yang

perlu ditelusuri (check) kembali. Data dan informasi dianalisis dalam format work

sheet excel yang antara lain meliputi: (1) domestic farm-gate prices; (2) agro food-

trade (export and import volume and value); (3) border prices, tariffs, export taxes;

(4) wholesale prices margin; (5) production and consumption (food balance sheet);

(6) value of agricultural production; (7) feed use of crops; (8) budget on agricultural

development by type; (9) exchange rates; dan (10) gross domestic product (GDP).

7

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini diawali dengan deskripsi tentang struktur dukungan terhadap sektor

pertanian. Berikutnya analisis indikator dukungan terhadap sektor pertanian dan

persepsi petani terhadap dukungan pada sektor pertanian.

3.1. Perkembangan Kebijakan Pertanian

3.1.1. Kebijakan Domestik

Ada beberapa perkembangan dalam kebijakan pertanian domestik pada tahun

2014-2015. Tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, telah terjadi perubahan

dalam subsidi BBM yang mulai diturunkan sejak bulan Nopember 2014 dan kemudian

dihapuskan bulan Januari 2015 (kecuali subsidi untuk solar sebesar Rp. 1000/liter).

Perubahan kebijakan ini telah melepaskan sumberdaya fiskal, yang sebagian akan

digunakan untuk mendorong peningkatan produksi pertanian, terutama infrastruktur.

Kabinet baru yang mulai bertugas bulan Oktober 2014 telah menekankan

kembali komitmen untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pangan pokok

(beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Tetapi jangka waktu pencapaian

target swasembada tersebut telah direvisi menjadi akhir tahun 2017 untuk beras,

jagung dan kedele, dan akhir tahun 2019 untuk gula dan daging sapi. Telah

diluncurkan pula perubahan kebijakan untuk mencapai sasaran tersebut, yang juga

mencakup upaya-upaya untuk mendorong produksi komoditas strategis lainnya

seperti cabe, bawang merah, kentang dan kakao. Khusus untuk kakao, paket

kebijakan bernilai Rp. 101,7 milyar yang difokuskan pada intensifikasi, rehabilitasi

tanaman tua, perluasan areal tanam, pemberdayaan petani dan peningkatan

kualitas.

Perlindungan harga untuk beberapa komoditas terus dipertahankan. Petani

tebu dan yang terbaru petani kedele memperoleh insentif harga pembelian minimum

oleh BULOG untuk kedele dan pabrik gula untuk tebu. Untuk gula, harga provenue

tahun 2012 terus berlaku sampai tahun 2013 sebesar Rp. 8.100/kg yang kemudian

dinaikan menjadi Rp. 8.500/kg pada tahun 2014. Untuk kedele, HPP untuk

8

pembelian oleh BULOG ditetapkan sebesar Rp. 7.000/kg, namun belum efektif

karena belum jelas skema pembiayaannya.

Untuk beras, BULOG terus mendapat mandat untuk melakukan operasi pasar

dan pembelian gabah dari petani. Tetapi karena hambatan perdagangan dalam

rangka pencapaian swasembada, harga beras di dalam negeri selalu lebih tinggi dari

harga di pasar internasional. Menurut Bank Dunia (2015), harga beras di tingkat

eceran di Indonesia sekitar 30-50% lebih tinggi dari harga beras di beberapa negara

ASEAN. Selama tahun 2013-2014, HPP gabah dan beras tidak pernah dinaikan, dan

baru pada bulan Maret tahun 2015, HPP gabah dinaikan menjadi Rp. 3.700/kg GKP

di tingkat petani dan Rp. 4.650/GKG di gudang BULOG, sedangkan harga beras

menjadi Rp. 7.300/kg di gudang BULOG. Kebijakan harga beras tetap merupakan

komponen terbesar dalam dukungan terhadap sektor pertanian yang diukur dengan

Producer Support Estimate (PSE), dengan kontribusi sebesar 45% terhadap PSE

tahun 2014.

Untuk melindungi konsumen keluarga miskin, BULOG terus menyalurkan beras

melalui program RASKIN. Pada tahun 2012, anggaran untuk kebijakan ini mencapai

Rp. 19,1 trilyun, yang meningkat menjadi Rp. 20,3 trilyun tahun 2013 dan menurun

kembali menjadi Rp. 18,8 trilyun tahun 2014. Namun analisis yang dilakukan OECD

(2015a) baru-baru ini mempertanyakan efektifitas dari kebijakan ini dalam

meningkatkan ketahanan pangan dan merekomendasikan untuk merubahnya

menjadi bantuan langsung tunai (BLT) atau kupon pangan (food voucher) .

Anggaran yang dihemat dari subsidi BBM sebagian telah dialokasikan untuk

membiayai infrastruktur irigasi, sebagian besar untuk mendukung peningkatan

produksi padi. Pada tahun 2015, 10 Gubernur dari propinsi penghasil padi telah

sepakat untuk meningkatkan produksi padi sebesar 11,5 juta ton. Dalam rangka

mendukung target tersebut, Kementerian Pertanian berkomitmen akan

mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 4,2 trilyun untuk membiayai rehabilitasi

jaringan irigasi seluas 1,5 juta ha, bersamaan dengan upaya optimalisasi lahan untuk

produksi padi seluas 500 ribu ha. Peningkatan pembiayaan tersebut diluar

pengecualian dimana petani dibebaskan dari iuran irigasi untuk mengalirkan air ke

9

jaringan tersier melalui jaringan primer dan sekunder. Pada tahun 2012, anggaran

untuk infrastruktur irigasi sebesar Rp. 2,2 trilyun yang meningkat menjadi Rp. 3,8

trilyun tahun 2013.

Peningkatan subsidi untuk berbagai macam sarana produksi telah disampaikan

untuk mendorong peningkatan produksi dan pencapaian target swasembada.

Sebagai contoh, di akhir tahun 2014 Kementerian Pertanian menyalurkan bantuan

langsung kepada petani padi di 13 propinsi, yang berjumlah Rp. 2 trilyun. Anggaran

tersebut digunakan untuk membiayai pembelian 7.800 traktor tangan, 3.000 pompa

air, 100 alat tanam, selain subsidi pupuk dan benih. Tambahan 6.100 traktor tangan

dan 2.328 pompa air telah dijanjikan sebagai bagian dari dukungan kepada propinsi-

propinsi sentra produksi padi. Secara keseluruhan, subsidi pupuk tetap merupakan

kebijakan terpenting dalam kerangka dukungan pemerintah terhadap sektor

pertanian. Pada tahun 2013, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp. 17,6 trilyun atau

41% dari total nilai dukungan terhadap sektor pertanian (dukungan langsung kepada

petani dan sektor pertanian secara umum, seperti diukur dari General Services

Support Estimate, GSSE).

Pada bulan September 2014, DPR menyetujui perubahan UU Perkebunan yang

mengatur kepemilikan asing terhadap perusahaan perkebunan. Pada awalnya UU

tidak mengatur batas kepemilikan saham asing secara spesifik, UU yang baru

menetapkan bahwa pengaturan kepemilikan saham asing menjadi kewenangan

kewenangan menurut kasus per kasus berdasarkan jenis tanaman, ukuran

perusahaan, dan interest nasional serta petani. Pada tahun 2013 pemerintah

mengecualikan penerapan PPN untuk komoditas perkebunan, beberapa komoditas

pangan, tanaman hias dan produk kayu yang dijual di pasar dalam negeri.

3.1.2. Kebijakan Perdagangan

Pemerintah membatasi impor beberapa komoditas pertanian strategis

(komoditas yang masuk dalam target swasembada) dan memungut pajak ekspor

terhadap beberapa komoditas, seperti CPO dan kakao. Untuk CPO, dihadapkan

dengan menurunnya harga CPO di pasar dunia pemerintah menurunkan pajak ekspor

dari 15% tahun 2013 menjadi 9%, dan mengikuti langkah yang dilakukan Malaysia,

10

sementara menangguhkan penerapan pajak ekspor sejak bulan Oktober 2014.

Skema penerapan pajak ekspor yang serupa tetapi lebih sederhana telah diterapkan

pula untuk biji kakao sejak bulan April 2010 dengan skala yang progresif sesuai

harga pasar kakao dunia yang berlaku di New York. Pajak ekspor bervariasi sekitar

5-15% sejak pertama kali diterapkan dan pada tahun 2014-2015 pajak ekspor sekitar

10% berhubung rendahnya harga kakao di pasar dunia.

Sejak tahun 2008 setiap importir harus terdaftar sebagai importir terdaftar

yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan untuk mengimpor produk olahan dari

daging, serealia, gula, dan kakao. Pembatasan serupa berlaku juga untuk impor

ternak dan produk ternak pada tahun 2011. Sejalan dengan peraturan Menteri

Perdagangan tentang impor dan ekspor ternak dan produk ternak yang diterbitkan

tahun 2011, impor produk-produk tersebut hanya bisa dilakukan bila produksi dalam

negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumen pada tingkat harga

yang terjangkau. Pada tahun 2014, pemerintah lebih memperketat aturan impor

beras setelah menemukan beras impor ilegal di pasar lokal.

Sebagai bagian dari kebijakan pemerintah dalam produksi dan harga kedele

(insentif produksi dan stabilisasi harga bagi konsumen), pada tahun 2013 telah

dilakukan beberapa langkah untuk mengatur impor kedele. Impor hanya bisa

dilakukan oleh BULOG, BUMN lain, koperasi dan perusahaan swasta yang

berpartisipasi dalam program harga jual grosir yang tetap.

Indonesia tetap mempertahankan sistem kuota untuk impor daging sebagai

bagian dari target swasembada untuk komoditas tersebut. Kuota impor ditetapkan

setiap tahun untuk sapi bakalan, dan daging beku (boxed beef) secara terpisah

berdasarkan perkiraan selisih antara permintaan dan penawaran. Menghadapi

tingginya harga daging di pasar domestik, sejak 27 September 2013 BULOG

mendapat ijin untuk mengimpor daging dalam rangka stabilisasi harga. Kebijakan ini

juga mengecualikan BULOG dari persyaratan sebagai importir terdaftar. Harga tinggi

menyebabkan peningkatan kuota impor daging maupun sapi bakalan. Tetapi kuota

impor sapi bakalan kuartal I tahun 2015 menunjukkan penurunan dari 133.507 ekor

kuartal I tahun 2014 menjadi 100.000. Kuota tersebut terus dikurangi sehingga

11

menjadi hanya 50.000 ekor yang langsung berdampak pada akselerasi harga daging

dalam negeri dari Rp. 80.000/kg menjadi Rp. 130.000/kg bulan Agustus 2015.

Peningkatan harga daging dipicu juga oleh kebijakan pelarangan impor

jagung dalam rangka melindungi petani jagung dalam negeri. Sebagai respon

terhadap permasalahan tersebut pemerintah telah menyetujui peningkatan kuota

impor sapi bakalan menjadi 250.000 – 300.000 pada kuartal III tahun 2015.

Pada tanggal 14 Oktober 2014, pemerintah menerbitkan UU No.41/2014

sebagai revisi dari UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU

baru memungkinkan impor daging dari suatu zona yang telah ditetapkan bebas dari

penyakit menular seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), merubah dari UU lama

yang lebih ketat, yang hanya memperbolehkan impor dari negara yang bebas

penyakit menular. Dengan UU yang baru, impor daging dari negara yang memiliki

zona bebas penyakit seperti Brazil dan India sedang dipertimbangkan, dengan tetap

disertai prosedur karantina yang memadai.

3.2. Besaran dan Komposisi Dukungan (Support) Terhadap Sektor

Pertanian

3.2.1. Dukungan Langsung Kepada Petani

Dukungan langsung kepada petani (Producer’s Support Estimate, PSE) terdiri

atas dua komponen. Pertama, dukungan dalam bentuk perlindungan harga melalui

penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan pembatasan impor. Kedua,

dukungan dalam bentuk transfer anggaran kepada petani melalui subsidi input,

terutama pupuk dan benih/bibit. Seperti terlihat pada Tabel 3.1., nilai PSE sektor

pertanian meningkat dari Rp. 3,17 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp. 293,09

trilyun tahun 2012-2014. Pada tahun 2014, nilai PSE bahkan sudah mencapai

Rp.367,32 trilyun.

Sebagian besar dari dukungan tersebut berupa perlindungan harga yang

mencapai 75,5% tahun 1995-1997 dan melonjak menjadi 91,6% tahun 2012-2014.

Hal ini menunjukkan semakin besarnya intervensi harga komoditas di tingkat

produsen untuk memberikan insentif produksi yang lebih tinggi.

12

Transfer anggaran pemerintah (bersumber dari pembayar pajak) meliputi

beberapa komponen, yaitu: (a) transfer atas penggunaan input, baik input variabel

(subsidi pupuk dan benih/bibit) maupun input tetap (bantuan alat dan mesin

pertanian); (b) transfer berupa pelayanan di tingkat usahatani, terutama

penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah yang berdasarkan luas areal tanam,

terutama dalam rangka bantuan bencana alam. Namun demikian, dari berbagai

jenis transfer anggaran tersebut yang paling besar adalah transfer untuk

penggunaan input variabel (terutama subsidi pupuk) yang nilainya meningkat dari

Rp. 429,6 milyar tahun 1995-1997 menjadi Rp. 19,7 trilyun tahun 2012-2014. Pada

tahun 2014, nilai subsidi tersebut bahkan telah mencapai Rp. 23,5 trilyun.

3.2.2. Total Dukungan Kepada Sektor Pertanian (Total Support Estimate

(TSE))

Selain dukungan yang langsung ditujukan kepada petani (PSE) ada

beberapa intrumen dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara

keseluruhan, yaitu: (a) dukungan pelayanan umum (General Services Support

Estimate, GSSE); dan (b) transfer pemerintah kepada konsumen. Nilai PSE berikut

kedua komponen tersebut menunjukkan total dukungan kepada sektor pertanian

(TSE).

Nilai GSSE meningkat dari Rp.1,1 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp. 18,3

trilyun tahun 2012-2014 (5,6% dari TSE). Komponen terbesar dari kelompok

pengeluaran tersebut adalah biaya untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur

yang mencapai 72,8% tahun 1995-1997 dan 72,5% tahun 2012-2014. Komponen-

komponen lainnya dari GSSE adalah sistem inovasi pertanian, inspeksi dan

pengawasan, promosi dan pemasaran serta biaya cadangan pangan pemerintah

yang dikelola BULOG.

Kebijakan perlindungan harga komoditas pertanian (terutama untuk bahan

pangan pokok) membawa konsekuensi transfer dari konsumen kepada konsumen.

Dalam besaran yang lebih kecil sebagian konsumen (terutama penduduk miskin)

13

juga menerima transfer dari pemerintah melalui program RASKIN. Dengan

komposisi tersebut, nilai dukungan kepada konsumen mencapai Rp. -2,8 trilyun

tahun 1995-1997 dan meningkat signifikan menjadi Rp. 315,3 trilyun tahun 2012-

2014.

Secera keseluruhan, nilai total dukungan kepada sektor pertanian (TSE)

meningkat dari Rp. 4,4 trilyun tahun 1995-1997 menjadi Rp. 330,7 trilyun tahun

2012-2014. Pada tahun 2014 nilai TSE mencapai Rp. 406,3 trilyun. Komponen

utama dari TSE tersebut adalah transfer dari konsumen. Hal ini berarti konsumen

membayar harga komoditas jauh lebih tinggi dari harga di perbatasan.

Tabel 3.1 Besaran dan komposisi Dukungan (Support) di sektor pertanian, 1995-

1997 dan 2012-2014 (Rp. Juta)

Uraian 1995-1997 2012-2014 2012 2013 2014

1.Producer Support Estimate (PSE)

3.169.177

293.088.258

222.103.849

289.839.430

367.321.496

a.Perlindungan

harga1)

2.392.759

268.342.978

204.485.934

264.824.074

264.824.074

b.Transfer atas penggunaan input:

769.754

24.235.598

17.571.815

24.532.409

30.602.570

Input variabel2)

429.579

19.748.604

15.923.706

19.798.916

23.523.189

Input

tetap3)

310.214

4.389.692

1.555.083

4.636.261

6.977.732

c.Transfer pelayanan usahatani4)

29.961

97.302

93.026

97.232

101.649

d.Transfer menurut

luas areal5)

6.664

509.682

46.100

482.947

1.000.000

Total nilai produksi

pertanian

82.758.036

1.384.853.

306

1.235.194.

311

1.379.252.

838

1.540.112.769

% PSE terhadap nilai produksi

3,9

20,6

17,7

20,6

23,4

2. Dukungan

pelayanan umum (GSSE):

1 140 356

18 250 802

16 160 005

18 408 549

20 183 854

a.Sistim inovasi pertanian

248 204

1 999 008

1 425 620

2 371 251

2 200 154

b.Inspeksi dan pengawasan

59 838

627 395

557 825

736 876

587 483

c.Pembangunan

dan rehab. infrastruktur

829 971

13 223 820

12 070 588

12 851 822

14 749 051

d.Pemasaran dan promosi

1 884

127 611

31 779

183 768

167 287

e.Cadangan pangan 0 2 213 087 2 000 000 2 206 013 2 433 247

14

pemerintah

f.Lain-lain 459

59 881

74 193

58 820

46 632

3. Consumer Support Estimate (CSE)

-2 763 759

-315 291 948

-237 726 224

-309 445 140

-398 704 479

a.Transfer dari

konsumen ke produsen6)

-2 743 401

-311 906 595

-246 401 759

-305 198 160

-384 119 865

b.Transfer lain dari konsumen

-33 716

-33 167 166

-16 631 759

-31 271 303

-51 598 435

c.Transfer ke konsumen7)

50 433

19 403 371

19 100 000

20 310 112

18 800 000

d.Kelebihan biaya

pakan

-37 076

10 378 442

6 207 294

6 714 211

18 213 822

% CSE terhadap nilai produksi

-3,6

-22,8

-22,5

-21,2

-24,6

4.Total Support Estimate (TSE)

4 359 966

330 742 431

257 363 854

328 558 091

406 305 350

a.Transfer dari konsumen

2 777 117

345 073 760

263 033 518

336 469 463

435 718 300

b.Transfer dari pembayar pajak

1 616 565

18 835 837

10 962 095

23 359 930

22 185 485

c.Penerimaan

pemerintah

-33 716

-33 167 166

-16 631 759

-31 271 303

-51 598 435

% TSE terhadap PDB

0,8

3,6

3,1

3,6

4,0

Keterangan:

1) Penetapan HPP dan pembatasan impor yang menyebabkan harga domestik lebih tinggi dari harga di perbatasan

2) Terutama subsidi/bantuan pupuk dan benih/bibit

3) Bantuan peralatan budidaya, panen dan paska panen

4) Biaya penyuluhan, pemeriksaan dan sertifikasi

5) Terutama bantuan bencana alam dan serangan hama/penyakit

6) Konsumen membayar harga yang lebih tinggi dari harga pasar

7) Dalam bentuk dana RASKIN

3.3. Analisis Indikator Dukungan Terhadap Sektor Pertanian

3.3.3. Produser Support Estimate (PSE)

Nilai PSE sektor pertanian dalam periode tahun 1995-2014 berfluktuasi

tergantung pada rasio antara harga komoditas di pasar domestik dengan harga di

pasar internasional (Gambar 3.2.1). Namun demikian, secara umum nilai PSE

menunjukkan trend peningkatan dari 3,9% tahun 1995-1997 menjadi 20,6% tahun

2012-2014 (Gambar 3.2.2). Artinya sekitar 20,6% dari nilai produksi pertanian

adalah transfer dari pembayar pajak dan konsumen. Dukungan tersebut sebagian

besar diberikan dalam bentuk perlindungan harga dan subsidi input (terutama

subsidi pupuk).

15

Gambar 3.2.1. Perkembangan dan komposisi PSE Indonesia, 1995-2014

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics

(database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.

Perbandingan nilai PSE antar negara menunjukkan bahwa PSE sektor

pertanian Indonesia tahun 2012-2014 sedikit lebih tinggi dari Tiongkok sebesar

19,2%, namun jauh lebih tinggi dari negara-negara OECD sebesar 17,9% (Gambar

3.2.2). Lima negara yang memiliki nilai PSE tertinggi pada tahun 2012-2014 adalah

Norwegia (60%), Swis (54,9%), Jepang (52,3%), Korea (50,8%) dan Islandia (45,1).

Sebaliknya lima negara yang memiliki nilai PSE terkecil tahun 2012-2014 adalah:

Ukraina (-3,3%), Selandia Baru (0,8%), Australia (2,1%), Afrika Selatan (2,8%) dan

Chile (3,2%).

Gambar 3.2.2. Perbandingan PSE antar negara, 1995-1997 dan 2012-2014

16

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics

(database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.

Dalam jangka panjang di kebanyakan negara yang dianalisis, nilai PSE

menunjukkan penurunan, sementara di beberapa negara (terutama Brazil, Indonesia,

Kazakastan dan Tiongkok) dukungan terhadap pertanian (% PSE) cenderung

meningkat. Ukraina adalah satu-satunya negara yang masih menerapkan kebijakan

yang bersifat menarik pajak terhadap sektor pertanian, walaupun nilainya terus

menurun hingga mencapai 3% dari nilai produksi pada tahun 2012-2014.

Negara-negara seperti Australia dan Selandia baru yang dikenal sebagai

produsen dan eksportir produk pertanian yang kompetitif ternyata memperoleh

dukungan pemerintah yang relatif kecil. Keunggulan mereka terletak pada sistem

inovasi, infrastruktur yang memadai dan iklim usaha yang kondusif.

Selain besarannya, komposisi PSE juga penting mengingat dampaknya akan

berbeda terhadap sektor pertanian. Dukungan tersebut dapat berupa perlindungan

harga, transfer secara langsung kepada petani, atau bentuk dukungan lainnya. Di

beberapa negara seperti Jepang, Korea, Indonesia, Israel, Turki, Colombia,

Tiongkok, Kazakhstan dan Islandia dukungan terutama diberikan dalam bentuk

perlindungan harga dan subsidi yang terkait dengan output. Besarnya dukungan

tersebut mencapai lebih 70% dari total PSE pada tahun 2012-2014.

Gambar 3.2.3. Komposisi PSE menurut negara, 2012-2014 (% thd GDP)

17

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics

(database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.

3.3.4. Total Support Estimate (TSE)

Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara

signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 3,6% tahun 2012-2014 (Gambar

3.2.4). Pada tahun 2012-2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi, diatas

Tiongkok sebesar 3,2%, apalagi dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 0,8%.

Walaupun nilai PSE Indonesia bukan yang tertinggi, namun dengan kontribusi

pertanian dalam PDB nasional yang masih relatif besar, maka nilai dukungan

terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi secara

keseluruhan. Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota OECD, walaupun

secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun secara relatif dibanding

dilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil.

Gambar 3.2.4. Perbandingan TSE antar negara, 1995-1997 dan 2012-2014

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture

Statistics (database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.

Trend jangka panjang, serupa dengan PSE, nilai TSE di banyak negara maju

cenderung menurun, sementara di negara berkembang (Indonesia dan Tiongkok)

18

menunjukkan trend peningkatan. Lagi-lagi Ukraina adalah satu-satunya negara yang

masih menerapkan kebijakan yang bersifat memajaki sektor pertanian.

Komposisi nilai TSE sebagian besar (80%) berupa dukungan terhadap

produsen (Gambar 3.2.5). Pengecualian untuk Amerika Serikat yang menunjukkan

subsidi kepada konsumen sebagai komponen utama dari TSE. Demikian juga

Selandia Baru dimana sebagian besar dari TSEnya dalam bentuk pengeluaran untuk

pelayanan umum (GSSE). Pengeluaran untuk GSSE juga penting di Austraklia, Chile

dan Afrika Selatan dengan kontribusi sekitar 50% terhadap total TSE.

Gambar 3.2.5. Komposisi TSE menurut negara, 2012-2014 (% terhadap GDP)

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics

(database), http://dx.doi.org/10.1787/agr-pcse-data-en.

3.3.5. Nominal Protection Coeficient (NPC) untuk Produsen

NPC menunjukkan perbandingan harga di dalam negeri dibandingkan harga di

pasar dunia. Dari Gambar 3.2.6. terlihat bahwa hanya Australia, Brazil, Chile dan

Selandia Baru yang harga komoditasnya terkait sangat dekat dengan harga di

perbatasan. Untuk negara-negara lainnya, harga di dalam negeri umumnya lebih

tinggi dari harga di pasar dunia, kecuali di Ukrania yang menunjukkan harga

19

domestik lebih rendah dibanding harga perbatasan. Di banyak negara, perbedaan

harga domestik dan harga pasar dunia menurun secara drasts terutama di negara-

negara yang memiliki NPC tinggi seperti Korea, Jepang, Norwegia dan Swiss. Di

pihak lain, NPC di Indonesia meningkat tajam dari 1,03 tahun 1995-1997 menjadi

1,26 tahun 2012-2014. Pada tahun 2014, NPC bahkan mencapai 1,31. Hal yang

sama juga terjadi di Tiongkok dimana NPC meningkat dari 1,0 menjadi 1,21 pada

periode yang sama.

Gambar 3.2.6. Nominal Protection Coefficient (NPC) menurut negara, 1995-1997 dan

2012-2014

Sumber: OECD (2015a), “Producer and Consumer Support Estimates”, OECD Agriculture Statistics (database),http://dx.doi.org/10.1787/agrpcse-data-en.

3.3.6. Single Commodity Transfer (SCT)

Sekitar 73% dari nilai PSE pada tahun 2012-2014 adalah transfer terhadap berbagai komoditas. Pangsa dalam SCT untuk CPO, telur dan susu adalah yang

terendah. Sedangkan komoditas gula, unggas, padi, jagung dan kedele memperoleh nilai dukungan yang terbesar.

20

3.4. Persepsi Petani dan Stakeholder Terhadap Dukungan pada Sektor

Pertanian

3.4.1. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat

Jawa Barat yang terdiri dari 27 kabupaten/kota merupakan salah satu sentra

utama hortikultura Indonesia. Eksistensi Jawa Barat berpengaruh besar terhadap

keragaan hortikultura nasional. Kontribusi nyata Jawa Barat terhadap hortikultura

nasional antara lain terkait dengan komoditas buah-buahan, sayuran, florikultura,

dan biofarmaka seperti manggis, nanas, pisang, alpukat, stroberi, anggrek, krisan,

cabai, dan kentang.

Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura (DPTPH) berhubungan dengan upaya peningkatan produksi baik

kuantitas dan kualitas maupun kontinyuitasnya. Khusus terkait dengan pasar,

kegiatannya dikelola oleh Bidang Bina Usahatani (Binus). Akan tetapi masalah

gejolak harga, survei dan operasi pasar, serta aspek terkait lainnya merupakan ranah

unit kerja perdagangan.

Jawa Barat memiliki kebijakan komoditas hortikultura dimana

pengembangannya mengacu pada program nasional. Dari 323 jenis hortikultura,

sekitar 90 jenis (<50%) sudah sertifikasi. Strategi prioritas adalah dalam bentuk: (1)

pengembangan kawasan; (2) dukungan on-farm dan off-farm (pascapanen); dan

(3) penguatan kelembagaan kelompok tani.

Dukungan terhadap perbenihan/perbibitan diantaranya berupa pengembangan

benih/bibit “green” . Jawa Barat memiliki penangkar benih/bibit hortikultura yang

eksistensinya relatif sudah cukup kuat. Pembinaan, pelatihan, dan aspek terkait

lainnya diorganisir oleh Dinas berlandaskan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)

No. 116/2013 tentang produksi, sertifikasi, dan pengawasan benih hortikultura.

Benih disiapkan oleh Balai Penelitian, sedangkan legalitas sertifikasi oleh Balai

Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB).

Benih yang disebarkan adalah kategori G2. Sesuai dengan isi Permentan No.

116/2013, benih hortikultura terdiri dari: (1) G0 merupakan hasil perbanyakan dari

21

kelas Benih Penjenis (BS) yang diklasifikasikan sebagai Benih Dasar (BD); (2) G1

merupakan hasil perbanyakan dari G0 sebagaimana dimaksud pada butir (1) yang

diklasifikasikan sebagai Benih Pokok (BP); dan (3) G2 merupakan hasil perbanyakan

dari G1 sebagaimana dimaksud pada butir (2) yang diklasifikasikan sebagai Benih

Sebar (BR).

Dukungan lainnya adalah bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian)

cultivator (traktor lahan kering) dari pusat. Alsintan tersebut sudah dibagikan

sebanyak 15-20 unit berdasarkan pengajuan proposal dari kelompok tani (poktan).

Sementara itu, ada dukungan pembangunan tematik komoditas misalnya mangga

yang biasanya panen pada bulan Desember dan Januari, diupayakan panennya

menjadi bulan Juni/Juli dan November/Desember. Selain itu juga ada dukungan dana

Bagi Hasil Cukai Tembakau dari pusat untuk pengembangan pestisida nabati

(biopestisida).

Ada tiga komoditas yang jadi perhatian, yaitu cabai, bawang, dan jeruk. Cabai

dan bawang termasuk kategori komoditas “sensitif” dimana pada saat menjelang hari

besar (misalnya Idulfitri) sering terjadi lonjakan harga sehinga berpotensi

menimbulkan inflasi. Petani cenderung menanam jenis tanaman tersebut pada

musim hujan (MH). Oleh karena itu diupayakan agar petani menanam pada musim

kemarau (MK) sehingga diharapkan dapat menjaga keseimbangan pasar. Khusus

untuk cabai yang daya tahan penyimpanannya sekitar 2-3 hari, diusahakan agar

dapat disimpan lebih dari 3 hari.

Untuk komoditas jeruk perlu kebijakan pemetaan (mapping) karena impor

masih tinggi. Wujudnya adalah berupa pengembangan kawasan, diantaranya jeruk

besar di Sumedang berupa pelepasan varietas “Primo” (rasa manis-asam), jeruk

keprok di Garut, dan jeruk Lembang.

Kata kunci daya saing produk hortikultura adalah “sertifikasi” terutama

“sertifikasi prima” dan “aman konsumsi”. Untuk itu, Badan Ketahanan Pangan cukup

berperan karena sumber daya tenaganya cukup memadai bekerjasama dengan fihak

swasta. Terkait dengan hal tersebut, perlu penerapan GAP (Good Agricultural

Practices), SOP (Standard Operating Procedure), GHP (Good Handling Practices),

22

registrasi kebun, dan pemasaran berdasarkan Permentan. Terkait dengan registrasi

kebun, petani tidak dikenakan biaya. Registrasi kebun dan sertifikasi masa

berlakunya dua (2) tahun.

Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan eksistensi hortikultura Jawa

Barat. Pertama, keuntungan hortikultura Jawa Barat menurun (kalah dari Jawa

Timur), karena cuaca ekstrim dan pengurangan lahan pertanian. Kedua, secara

teknis ada beberapa tanaman (misalnya kentang) yang ditanam pada lahan

perbukitan tanpa menghiraukan kaidah kontur lahan sehingga rawan terhadap erosi.

Ketiga, aspek kelembagaan masih lemah. Fungsi kelompok tani belum optimal

karena aktivitasnya masih paralel dengan implementasi kepentingan program. Akan

tetapi patut dicatat suatu pengecualian dan sekaligus petikan pelajaran bahwa

kelompok tani bawang dan kentang relatif cukup menarik karena didukung oleh

keberadaan asosiasi masing-masing komoditas tersebut. Keempat, implementasi

kebijakan belum optimal. Jawa Barat belum sepenuhnya siap menghadapi MEA

(Masyarakat Ekonomi ASEAN). Hanya komoditas manggis dan mangga yang relatif

siap karena sudah diekspor ke beberapa negara.

Dukungan pemerintah (on-farm sampai off-farm, sertifikasi, dsb.) perlu terus

ditingkatkan. Penjabarannya didukung oleh Perda (Peraturan Daerah) dan Pergub

(Peraturan Gubernur). Untuk itu kabupaten/kota harus merespon dalam bentuk

pemetaan (mapping) komoditas hortikultura unggulan.

Jawa Barat ingin mengembangkan program khusus hortikultura (minimal 12

komoditas). Didalamnya termasuk penanganan lahan kritis yang disiapkan melalui

pemetaan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan kritis tersebut. DAS (Daerah

Aliran Sungai) Citarum diupayakan untuk pengembangan hortikultura dan florikultura

(misalnya draecena atau tanaman suji untuk konservasi lahan).

3.4.2. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

BPTP Jawa Barat memiliki beberapa kegiatan pengkajian dan kerjasama

kelembagaan prioritas. Pertama, rencana kajian usahatani tumpangsari sayuran dan

ubi kayu dengan potensi lahan sekitar 300 hektar di Kecamatan Cimenyan

(Kabupaten Bandung). Kedua, rencana bioindustri padi organik di Desa Pasir Biru

23

(Sumedang) kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten setempat. Implementasinya

mengacu pada keberhasilan Kabupaten Tasikmalaya. Ketiga, kajian pengembangan

ubi Cilembu. Keempat, kerjasama dengan P4S (Pusat Pelatihan Pertanian dan

Pedesaan Swadaya) Lembang. Kelima, rencana kerjasama dengan BP3Iptek (Badan

Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) Jawa

Barat koordinasi dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah).

Implementasi kegiatan pengkajian BPTP Jawa Barat adalah dengan melibatkan

kelompok tani yang memerlukan dukungan kelembagaan (pemberdayaan). Hingga

saat ini, eksistensi kelompok tani masih menjadi media implementasi kegiatan

program.

3.4.3. P4S Tani Mandiri

P4S “Tani Mandiri” berdiri tahun 1983 dan pengukuhan tahun 1996 dengan

sertifikat “kelas utama” dari Kementerian Pertanian. P4S ini memiliki lahan seluas 5

hektar (milik keluarga). Memperoleh dukungan dari pemerintah berupa fasilitas

pembelajaran, asrama, mushalla, irigasi (pipanisasi), sarana produksi, bantuan sound

system, dan lain-lain. P4S merupakan agen teknologi atau substitusi peran PPL

(Penyuluh Pertanian Lapangan). Mitra kerja P4S adalah gabungan kelompok tani

(Gapoktan) “Cibodas” meliputi 11 kelompok tani (poktan).

P4S “Tani Mandiri” memiliki beberapa kegiatan. Pertama, usahatani sayuran

dataran tinggi seperti brokoli, horenso (bayam Jepang), jagung manis, dan lain-lain.

Andalan komoditas P4S diantaranya tomat, paprika, dan buncis muda (baby bean).

Rataan produksi buncis muda adalah sekitar 2 ton per hari (sudah berorientasi

ekspor). Kedua, pelatihan (termasuk buat generasi muda pertanian) dan pengenalan

pertanian untuk usia dini (murid sekolah). Biaya pelatihan P4S adalah Rp 250 ribu

per orang per hari (akomodasi, makanan ringan 2 kali, dan makan 3 kali). Ketiga,

produksi dan pemasaran (kelompok jaringan pemasaran). Produk dipilah-pilah

berdasarkan kualitas (grade). Kualitas yang bagus dipasarkan ke supermarket,

diantaranya Sogo. Sistem pembayaran adalah secara konsinyasi (barang laku, baru

dibayar). Sisa-sisa produk seperti daun brokoli dijadikan pakan kelinci dan limbah

produk lainnya dimanfaatkan untuk kompos. Keempat, kerjasama dengan Balai Besar

24

Pelatihan Pertanian (BBPP) Kayu Ambon, SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)

Subang, Universitas Flores, Universitas Santa Aquinos Jayapura, dan lain-lain.

Kelima, menyiapkan pertanian hidroponik untuk program ATP (Agro Techno Park).

Keenam, kerjasama dengan Taiwan dan juga dengan JICA (Japan International

Cooperation Agency) dalam hal peningkatan kapasitas petani. Ketujuh, kerjasama

dengan Bank Mandiri (untuk persiapan bagi karyawan yang akan memasuki masa

purna karya tugas). Kedelapan, unit pengolahan (rencana).

Menurut pendapat P4S, sektor pertanian mengalami beberapa kendala teknis.

Pertama, rataan pemilikan lahan pertanian di Jawa Barat relatif sempit, yaitu sekitar

0,25 hektar per rumah tangga petani. Konsekuensinya, sebagian petani ada yang

bekerja di lahan PT Perhutani. Kedua, terjadi penurunan produksi antara lain karena:

(1) alih fungsi lahan; (2) kekurangan tenaga kerja; dan (3) variatifnya jenis

hortikultura sayuran. Ketiga, pembangunan jalan usahatani dan pipanisasi relatif

kurang efektif jika diterapkan pada lahan berukuran sempit. Keempat, penggunaan

pestisida nabati tidak optimal. Kelima, pengembangan fasilitas dapat memacu

transaksi (alih fungsi) karena peningkatan harga lahan. Kelima, ada agregasi

kehilangan hasil (loss) di kebun dan sisa-sisa (waste) di piring sekitar 40 persen.

Khusus untuk kehilangan hasil (loss) di kebun adalah sekitar 12 persen yang

dianggap sebagai pembagian sosial (buat buruh pemungut sisa hasil panen atau

pengasak). Keenam, sering terjadinya fenomena bahwa bila produksi tinggi maka

harga turun. Pihak yang paling banyak mendapatkan manfaat adalah pelaku

perantara (middlemen). Sebagai catatan, ada supermarket dari Jepang kerjasama

dengan middlemen setempat.

Dari sisi kelembagaan terdapat beberapa permasalahan. Pertama, petani

seakan-akan bertarung bebas (ekonomi makro dan kelembagaan menjadi kendala).

Kedua, kegiatan petani dipenggal-penggal oleh pasar. Subsidi sejatinya jatuh ke

yang besar (pelaku skala komersial). Ketiga, jumlah tenaga penyuluh menurun,

sementara penyuluh THL (Tenaga Harian Lepas) kualitasnya tidak optimal. Keempat,

eksistensi kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) seakan-

akan hanya alat program pemerintah. Kelima, respon pemerintah melalui program

seolah-olah “menara gading”. Implementasi program pemerintah kurang konsisten

25

dan kadangkala terlalu dinamis. Keenam, kajian BPTP relatif kurang menyentuh

(hanya selesai pada tahap kajian saja). Ketujuh, peran perguruan tinggi hanya kalau

mahasiswanya aktif, setelah tamat tidak ada kelanjutannya. Kedelapan, akses petani

ke lembaga keuangan (bank) masih minim dan terbatas. Sebagai contoh, realisasi

KUR (Kredit Usaha Rakyat) hanya sekitar 20 persen. Kesembilan, implementasi GAP,

GHP, SOP, dan lain-lain relatif hanya “aksesori” semata.

Kunci sukses hortikultura adalah informasi dan efisiensi teknologi. Perlu upaya

penerapan sanksi terhadap alih fungsi lahan (bukan hanya sekadar himbauan).

Produksi cabai rawit (8 ons/tanaman) dan cabai besar (1,5-2 kg/tanaman). Produksi

tomat 2 kilogram per tanaman (kalau pakai sistem hidroponik bisa ditingkatkan

menjadi 4 kilogram per tanaman). Ini hanya secara parsial karena tidak semua

petani dapat memperoleh produksi seperti itu. Sementara itu, produktivitas padi 4,6

ton per hektar (sistem manual). Kalau pakai combine tresher, menimbulkan dampak

sosial seperti buruh pemungut sisa hasil panen (pengasak) kehilangan pekerjaan.

Menurut P4S, ada beberapa dukungan yang masih diperlukan terkait dengan

pengembangan sektor pertanian. Pertama, pemerintah harus meningkatkan

pendidikan petani. Kalau rataan pendidikan petani masih tingkat Sekolah Dasar (SD)

sulit untuk bersaing. Ke depan, petani harus berpendidikan sarjana. Kedua, perlu

pengenalan dan penyisipan (introduction and insertion) “wacana pendidikan agro” ke

petani dan anaknya. Ketiga, pertanian dalam dua dekade ke depan: (1) perlu otoriter

(komando khusus); dan (2) perlu “tumaninah” atau merenung sejenak tentang

pertanian. Keempat, intervensi baru efektif dilakukan kalau posisi petani sudah mulai

terdesak. Kelima, peran swasta seyogianya membawa informasi ke petani dalam

bentuk produk. Sepanjang hasilnya nyata (significant) petani pasti mau

berpartisipasi.

P4S memiliki beberapa persepsi terhadap dukungan pemerintah. Pertama,

paling tidak pemerintah masih ada di mata petani. Namun petani perlu diingatkan

bahwa bantuan pemerintah hanya bersifat stimulan. Kedua, implementasi program

pemerintah tentang “gerakan tanam cabai di musim kemarau” perlu disikapi dengan

hati-hati karena sifatnya tidak simultan dengan tujuan untuk antisipasi gejolak harga.

26

Ketiga, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) belum bisa diprediksi karena belum

rapinya pengorganisasian sektor pertanian. Keempat, satu hal mendasar yang perlu

digarisbawahi bahwa yang bisa mendampingi (sepanjang sejarah kehidupan

manusia) adalah pertanian.

3.4.4. Petani Padi

Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Solokanjeruk meliputi kecamatan Solokan

Jeruk, Ibun, Majalaya, dan Rancaekek. Lokasi kegiatan adalah Desa Rancakasumba,

Kecamatan Solokanjeruk. Responden kegiatan yaitu kelompok tani “Salamukti II”.

Jumlah anggota kelompok tani ini tercatat 79 petani dimana hanya sekitar 20-25

persen yang berstatus sebagai petani pemilik, sisanya petani penggarap (pola bagi

hasil dan sewa). Pemilik lahan sawah banyak yang berasal dari warga perkotaan.

Keberadaan pemilik sawah tidak berpengaruh dalam adopsi inovasi teknologi (kalau

sistem sewa). Jika sistem bagi hasil, bisa dinegosiasikan.

Nilai sewa lahan sawah adalah sekitar 3 kilogram GKP (Gabah Kering Panen)

per tumbak (sekitar Rp. 8,4 juta) per musim tanam. Sistem bagi hasil yang umumnya

diterapkan adalah “paroan” dimana biaya sarana produksi ditanggung sepenuhnya

(100%) oleh petani penggarap dan hasil dibagi dua antara pemilik dan penggarap

lahan. Sementara itu, harga lahan sawah relatif sudah cukup mahal, yaitu: (1) posisi

dekat pinggir jalan (Rp. 1,5 juta/tumbak atau Rp. 1,05 milyar/hektar); dan (2) posisi

di pinggir jalan (Rp. 7 juta/tumbak atau Rp 4,9 milyar/hektar). Sebagai catatan, 1

hektar setara dengan 700 tumbak.

Lahan sawah di lokasi setempat termasuk kriteria sawah irigasi teknis, tetapi

karena air irigasinya tidak lancar (debit air kurang) maka realitanya termasuk

kategori sawah tadah hujan. Kendati demikian, lahan sawah di lokasi setempat tidak

pernah mengalami kekeringan.

Total luas lahan sawah di lokasi kegiatan adalah sekitar 285 hektar. Rataan

penguasaan lahan sawah lebih kurang 200-300 tumbak (0,29-0,43 hektar) per

rumah tangga petani. Pola tanam adalah padi sepanjang musim tanam (5 kali musim

tanam per 2 tahun). Varietas padi yang umum digunakan adalah Ciherang. IP 300

bisa diimplementasikan tapi kendalanya adalah hama tikus.

27

Sumber irigasi dari pompanisasi didukung oleh 8 unit pompa air (5 unit

diantaranya merupakan bantuan pemerintah) dengan rataan kapasitas pengairan

sekitar 25-30 hektar per unit pompa air. Pompanisasi dapat meningkatkan

produktivitas dari 5-6 ton per hektar menjadi 7 ton per hektar. Petani membayar

iuran irigasi sebesar Rp. 100 per kilogram per 100 tumbak (700 kg/hektar atau

sekitar Rp. 280 ribu/hektar) per musim tanam.

Anggota kelompok tani memiliki traktor pribadi 8 unit. Upah jasa traktor adalah

Rp. 125 ribu per 100 tumbak (Rp 975 ribu/hektar). Ketersediaan tenaga kerja

terbatas. Upah tenaga kerja pria Rp. 50 ribu per orang per hari (4 jam kerja)

ditambah makanan ringan dan kopi (Rp 5.000). Upah tenaga kerja wanita adalah Rp

35 ribu per orang per hari (beda Rp 15.000). Upah tenaga kerja bisa naik paling

tidak setiap tahun atau ekstrimnya setiap musim tanam sebesar Rp 5.000. Kecuali

jika terjadi kenaikan harga misalnya BBM (Bahan Bakar Minyak), maka nilai upah

tenaga kerja menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhan lainnya.

Dukungan pemerintah dianggap positif, tetapi masih ada yang kurang. Ada

implementasi beberapa program seperti SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama

Terpadu), SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu), GPPTT (Gerakan

Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu), SRI (System of Rice Intensification),

ICWRM (Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program),

pertanian organik, bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian), traktor, alat tanam,

RMU (Rice Milling Unit), cara operasi alsintan, Jitut (Jaringan Irigasi Tingkat

Usahatani), Jides (Jaringan Irigasi Desa), jalan usahatani, terpal, serta pelatihan

pascapanen dan labelisasi organik.

Ada beberapa catatan terkait dengan implementasi program SRI. Pertama,

program SRI ditargetkan 25 hektar tetapi hanya terealisasi 18 hektar (72%). Kedua,

SRI satu paket dengan pupuk organik. Pemberian pupuk organik dapat

mengembalikan kesuburan lahan tetapi dampaknya tidak segera (perlu waktu).

Kondisi tanah dan irigasi sangat menentukan eksistensi pertanian organik. Akan

tetapi sumber irigasi dari Sungai Citarum (banyak mengandung merkuri) sehingga

dapat menurunkan produksi sekitar setengah (50%). Sebagai catatan, jarak terdekat

28

lahan sawah ke Sungai Citarum adalah sekitar 60 meter. Ketiga, kebutuhan benih

SRI (15 kg/hektar) sedangkan kebutuhan benih Non-SRI atau konvensional (25

kg/hektar). Keempat, implementasi SRI di lokasi setempat tidak menggunakan pupuk

organik secara penuh. Kelima, peserta SRI sama dengan peserta SLPTT (petani yang

sama). Akan tetapi tidak semua praktiknya dilanjutkan petani. Keenam, produktivitas

SRI menurun tetapi harga meningkat (seperti di Tasikmalaya). Di lokasi setempat

realita harganya sama saja karena pembeli gabah belum terstratifikasi sebagaimana

di Tasikmalaya. Ketujuh, dari 18 hektar yang terealisasi, hanya sekitar 2 hektar

(11%) yang berlanjut.

Khusus untuk program GPPTT, implementasinya baru pada tahap sosialisasi

persiapan dan pelatihan. Program tersebut rencananya mencakup areal seluas 28

hektar (sistem tanam legowo) dengan fasilitas bantuan Rp 2,8 juta per hektar.

Sebagian besar (60%) petani mengganti benih padi setiap musim tanam dan

sisanya (40%) menggunakan benih dari seleksi hasil panen musim tanam

sebelumnya. Penangkaran benih padi belum ada dan sulit diterapkan terutama

terkait dengan ketersediaan benih pokok bermutu dan ketepatan distribusinya.

Umumnya panen padi dilakukan sendiri oleh petani. Penerapan sistem tebasan

relatif sedikit (hanya sekitar 5%). Penggunaan tresher tergantung kultur (ada yang

mau dan tidak mau menerapkan). Ada kendala bahwa petani suka menunggak

pembayaran tresher. Perlu penekanan kepada petani agar menggunakan tresher.

Kehilangan hasil panen adalah sekitar 15-20 persen (diambil oleh buruh pengasak).

Produktivitas padi sawah berkisar antara 7-8 kwintal per 100 tumbak (5-5,5

ton/hektar).

Lebih dari 50 persen petani menjual padi dalam bentuk GKP (Gabah Kering

Panen) karena keinginan pemilik lahan. Petani menjual gabah ke penggilingan padi

karena tidak memiliki fasilitas penjemuran. Sistem pembayaran secara tunai atau

tertunda dua hari.

Harga gabah pada musim panen sering anjlok. Pada saat penelitian harga GKG

(Gabah Kering Giling) adalah Rp. 4.000 per kilogram sementara HPP (Rp. 3.750/kg).

Harga beras di penggilingan padi (Rp. 8.500/kg) sedangkan di pasar (Rp. 9.000-

29

9.500/kg). Aplikasi HPP (Harga Pembelian Pemerintah) adakalanya menimbulkan

distorsi pasar. Bagi petani, pengendalian (stabilisasi) harga gabah adalah sesuatu

yang penting dan mutlak (keniscayaan). Petani memerlukan bantuan lumbung padi

dari pemerintah untuk cadangan (stock) dan antisipasi kestabilan harga. Dalam hal

ini, program SRG (Sistem Resi Gudang) cukup strategis untuk diterapkan.

Ada beberapa tantangan yang dihadapi petani di lokasi kegiatan. Pertama,

eksistensi petani generasi tua (usia di atas 50 tahun) yang sulit dirubah tradisinya

(masih memakai cara lama). Ada isu menarik (anecdotal evident) bahwa petani

generasi tua mempertanyakan bahwa kenapa pola tanam legowo dihilangkan

padinya satu baris dan apakah tidak menurunkan produksi (?). Kendati demikian,

kearifan lokal petani generasi tua masih ada seperti misalnya kemampuan

memprediksi cuaca dan hama penyakit tanaman. Sayangnya kearifan lokal tersebut

tidak ditularkan atau tidak berlanjut ke petani generasi muda. Kedua, generasi muda

enggan terjun bekerja di sektor pertanian dan lebih memilih pekerjaan non-pertanian

seperti buruh pabrik dan menjadi pengojek karena “orientasi uang”. Sebetulnya

petani (orang tua) tidak menginginkan anaknya terjun ke bidang pertanian. Banyak

diantaranya yang menginginkan anaknya jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) karena

gengsinya lebih tinggi, kendati misalnya pendapatan dari pertanian bisa saja lebih

tinggi kalau dikelola secara serius. Ketiga, beberapa petani setempat berhubungan

dengan Bank Keliling dengan pinjaman uang Rp 3.200 per kilogram dan dibayar Rp

4.000 kilogram pada waktu panen (bunga sekitar 25%).

Petani menyadari bahwa dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian

paling tidak mencakup dua hal penting, yaitu: (1) peningkatan jumlah dan mutu

produksi; dan (2) penurunan kehilangan hasil. Kalau petani memerlukan informasi

tentang pertanian biasanya menghubungi PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) atau

BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) setempat. Selama ini respon yang diterima petani

dari kedua lembaga tersebut relatif cukup cepat.

Masyarakat petani mengajukan bantuan ke pemerintah, tetapi sering tidak

cocok spesifikasinya (tidak sesuai dengan kebutuhan petani). Misalnya PK (paarden

kracht atau horse power) traktor dan pompanisasi tidak klop. Kendati sebelumnya

30

sudah diverifikasi namun realisasinya tidak sesuai (antara rencana pengadaan

dengan realisasi pembelian). Akan tetapi, di sisi lain petani sangat memerlukan

subsidi harga dari pemerintah. Misalnya, petani berandai-andai bahwa jika subsidi

harga pupuk Urea dihapuskan maka petani tidak akan sanggup membeli pupuk Urea

tersebut dari harga Rp 2.000 per kilogram (subsidi) naik menjadi sekitar Rp 7.000

per kilogram (tanpa subsidi).

31

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

4.1. Kesimpulan

1. Dukungan (support) terhadap sektor pertanian yang diukur dengan Producer’s

Support Estimate (PSE) meningkat dari Rp. 3,17 trilyun tahun 1995-1997 menjadi

Rp. 293,09 trilyun tahun 2012-2014. Sekitar 91% dari dukungan tersebut adalah

berupa perlindungan harga yang menyebabkan harga domestik lebih tinggi dari

harga di pasar internasional.

2. Transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian meliputi: (a) transfer atas

penggunaan input dalam bentuk subsidi pupuk dan benih/bibit maupun bantuan

alat dan mesin pertanian; (b) transfer berupa pelayanan di tingkat usahatani,

terutama penyuluhan; dan (c) transfer pemerintah dalam rangka bantuan

bencana alam. Komponen yang paling tinggi adalah transfer untuk subsidi pupuk

yang meningkat dari Rp. 429,6 milyar tahun 1995-1997 menjadi Rp. 19,7 trilyun

tahun 2012-2014

3. Selain dukungan langsung kepada petani (PSE) ada beberapa intrumen

dukungan pemerintah untuk sektor pertanian secara keseluruhan, yaitu: (a)

dukungan pelayanan umum (General Services Support Estimate, GSSE); dan (b)

transfer kepada konsumen. Nilai GSSE meningkat dari Rp. 1,1 trilyun tahun 1995-

1997 menjadi Rp. 18,3 trilyun tahun 2012-2014 (5,6% dari TSE). Komponen

terbesar dari kelompok pengeluaran tersebut adalah biaya untuk pembangunan

dan rehabilitasi infrastruktur yang mencapai 72,8% tahun 1995-1997 dan 72,5%

tahun 2012-2014.

4. Nilai PSE (% dari nilai produksi) menunjukkan trend peningkatan dari 3,9%

tahun 1995-1997 menjadi 20,6% tahun 2012-2014. Artinya sekitar 20,6% dari

nilai produksi pertanian adalah transfer dari pembayar pajak dan konsumen. Pada

tahun 2012-2014, PSE sektor pertanian Indonesia sedikit lebih tinggi dari

Tiongkok sebesar 19,2%, namun jauh lebih tinggi dari negara-negara OECD

sebesar 17,9%.

5. Nilai TSE sektor pertanian Indonesia (% terhadap PDB) meningkat secara

signifikan dari 0,8% tahun 1995-1997 menjadi 3,6% tahun 2012-2014. Pada

32

tahun 2012-2014 nilai TSE Indonesia adalah yang tertinggi, diatas Tiongkok

sebesar 3,2%, apalagi dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 0,8%.

6. Walaupun nilai PSE Indonesia bukan yang tertinggi, namun dengan kontribusi

pertanian dalam PDB nasional yang masih relatif besar, maka nilai dukungan

terhadap sektor pertanian menjadi beban yang relatif besar terhadap ekonomi

secara keseluruhan. Sebaliknya bagi negara-negara maju seperti anggota OECD,

walaupun secara absolut nilai dukungan pertanian cukup besar namun secara

relatif dibanding dilai PDB negara-negara tersebut relatif kecil.

4.2. Implikasi Kebijakan

1. Dukungan terhadap sektor pertanian dalam bentuk perlindungan harga terutama

dalam rangka mencapai swasembada telah berdampak pada peningkatan harga

pangan di tingkat konsumen yang pada akhirnya menurunkan asupan gizi,

terutama bagi penduduk miskin termasuk petani kecil. Dalam jangka panjang,

prioritas kebijakan yang lebih efektif adalah peningkatan produktivitas melalui

sistem inovasi, pembangunan infrastruktur dan mempermudah investasi swasta.

2. Sebagian besar transfer anggaran pemerintah untuk sektor pertanian adalah

subsidi pupuk yang efektifitasnya masih diragukan. Skema yang lebih efisien

adalah menkonversi subsidi tersebut kedalam sistem transfer berdasarkan luas

areal seperti telah dilakukan secara progresif di Tiongkok. Anggaran yang

dihemat dari subsidi pupuk dapat dialokasikan untuk meningkatkan anggaran

sistem inovasi pertanian dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian

dalam jangka panjang.

33

DAFTAR PUSTAKA

OECD. 2012. “OECD Review of Agricultural Policies: Indonesia”. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Publishing, Paris. DOI: http://dx.doi.org/10.1787/9789264179011-en.

OECD. 2014. “OECD’s Producer Support Estimates: Methodology and Practical Application. Materi Training Worsksop”. Hotel Salak, Bogor, 13 November

2014.

OECD. 2015. “Agricultural Policy Monitoring and Evaluation 2015”, OECD Publishing, Paris. http://dx.doi.org/10.1787/agr_pol-2015-en

34

35

LAMPIRAN

Lampiran Tabel 1. Perkembangan Pengeluaran Publik untuk Pelayanan Umum, 1990-2013 (Rp Milyar)

Tahu

n

Total Pelayanan

Umum

Penelitian dan Pengembangan, serta

Penyuluhan Karantina Infrastruktur

Pemasaran dan

Promosi

Biaya Stok

Publik Lainnya

1990 1.217.642 175.092 37.015 1.003.687 1.579 0 270 1991 1.237.087 184.776 38.154 1.011.951 1.891 0 315 1992 1.251.939 199.918 38.815 1.010.955 1.968 0 283

1993 1.154.099 185.510 50.566 915.450 2.239 0 334 1994 1.174.082 215.805 53.505 902.104 2.335 0 334

1995 1.205.938 218.422 56.432 928.718 2.002 0 365 1996 1.200.410 241.131 61.278 895.764 1.831 0 406 1997 1.014.718 285.059 61.803 665.431 1.820 0 605

1998 874.549 380.437 76.211 415.157 1.936 0 806 1999 1.108.007 402.649 92.274 610.219 1.958 0 906

2000 1.196.767 357.166 107.720 728.800 2.073 0 1.007 2001 5.367.031 434.590 144.199 4.785.000 2.135 0 1.107 2002 4.481.203 463.948 147.798 3.866.000 2.149 0 1.308

2003 6.385.968 470.162 146.777 5.765.000 2.507 0 1.521 2004 7.847.507 603.100 167.243 4.641.000 4.184 2.422.230 9.750 2005 7.153.129 951.902 213.075 5.125.400 5.611 847.780 9.361

2006 11.721.090 781.694 293.771 9.420.480 37.980 1.078.020 109.145 2007 10.662.390 867.854 378.657 7.912.640 41.329 1.225.010 236.900

2008 14.365.350 725.603 478.621 11.135.796 66.258 697.830 1.261.242 2009 15.150.953 890.130 458.852 11.563.796 37.395 1.000.287 1.200.492 2010 15.025.438 903.224 448.006 11.563.796 32.670 1.072.541 1.005.200

2011 15.688.044 1.166.314 406.383 11.997.100 23.722 1.000.000 1.094.525 2012 16.820.894 1.425.620 557.825 12.070.588 31.779 2.000.000 735.082

Sumber: OECD, 2014b