analisis nilai tambah, pendapatan usaha, dan …
TRANSCRIPT
ANALISIS NILAI TAMBAH, PENDAPATAN USAHA, DAN
PENGEMBANGAN PRODUK OLAHAN SINGKONG
SKALA INDUSTRI RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang)
Larasati Hardian
1113092000037
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
ANALISIS NILAI TAMBAH, PENDAPATAN USAHA, DAN
PENGEMBANGAN PRODUK OLAHAN SINGKONG
SKALA INDUSTRI RUMAH TANGGA
(Studi Kasus Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang)
Larasati Hardian
1113092000037
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada
Program Studi Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018/1439 H
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Larasati Hardian
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Agustus 1995
Agama : Islam
Alamat
: Komplek Harapan Sejahtera
No. A6 RT006/RW002,
Gang Kinikijan, Kelurahan Nerogtog,
Kecamatan Pinang, Kota Tangerang
No. HP : 089506185694
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
PENGALAMAN ORGANISASI
PENGALAMAN KERJA
2016 : PT. Godong Ijo Asri (Trainer)
1. 2001 – 2007 : SDN Cengkareng Timur 01 Pagi
2. 2007 – 2010 : SMPN 45 Jakarta
3. 2010 – 2013 : SMAN 33 Jakarta
5. 2013 – 2018 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 2013 – 2015 : Anggota Divisi Kewirausahaan POPMASEPI
Wilayah II
2
.
2015 – 2016 : Anggota Divisi Keorganisasian HMJ Agribisnis
3
.
2015 – 2016 : Bendahara Saman Agribisnis
5
.
2016 – 2017 : Bendahara HMJ Agribisnis
vi
RINGKASAN
LARASATI HARDIAN. Analisis Nilai Tambah, Pendapatan Usaha, dan
Pengembangan Produk Olahan Singkong Skala Industri Rumah Tangga (Studi
Kasus Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang). Di bawah bimbingan
ENY DWININGSIH dan DEWI ROHMA WATI.
Setiap daerah mempunyai rencana dalam pembangunan jangka panjang
daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan Sepatan
Timur merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tangerang yang memiliki
rencana tata wilayah yang diperuntukan untuk kawasan agropolitan. Potensi dari
segi agroindustri yang ada di Kecamatan Sepatan Timur adalah produksi olahan
singkong yang sudah ada selama puluhan tahun. Produk yang dihasilkan yaitu
tapai singkong, opak singkong, keripik singkong, enyek-enyek, kerupuk singkong,
dan tepung tatal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai tambah yang diperoleh
dari pengolahan singkong, menganalisis pendapatan dan efisiensi usaha yang
didapat dari hasil produksi olahan singkong, dan menganalisis pengembangan
industri olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur. Lokasi ditentukan secara
purposive dengan mewawancarai responden dan narasumber sebagai teknik
pengumpulan data. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Metode Hayami, pendapatan usaha dan efisiensi usaha dilihat dari R/C
rasio, dan analisis SWOT. Upah tenaga kerja menggunakan asumsi upah buruh
tani yaitu Rp 8.750/jam.
Hasil analisis nilai tambah dengan metode Hayami menunjukkan bahwa
nilai tambah tertinggi produk dengan bahan baku utama singkong di Kecamatan
Sepatan Timur yaitu opak singkong dengan besar nilai tambah Rp 3.739/kg.
Produk bahan baku sampingan dengan nilai tambah tertinggi yaitu tepung dengan
nilai tambah Rp 6.160/kg. Berdasarkan analisis pendapatan usaha, pendapatan
tertinggi produk dengan bahan baku utama singkong yaitu tapai dengan total
pendapatan Rp 7.057.860/bulan. R/C rasio yang dihasilkan yaitu 2,1 yang
menunjukkan bahwa produksi tapai efisien. Produk bahan baku sampingan
dengan pendapatan tertinggi adalah tepung sebesar Rp 3.926.700/bulan dengan
R/C rasio yaitu 2,9 yang menunjukkan bahwa produksi tepung sudah efisien.
Strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan produk olahan yang terpilih
dengan menggunakan matriks SWOT yaitu (a) Deferensiasi produk; (b)
Melakukan promosi dan pemasaran online; (c) Mengikuti bazar; (d) Mengadakan
pelatihan pengemasan produk dan pemasaran online; (e) Mengurus izin usaha/ P-
IRT; (f) Mengadakan kemitraan untuk penyediaan bahan baku dari Kabupaten
Tangerang; (g) Membentuk koperasi produksi; (h) Meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar yang baru; (i) Penjualan
produk dengan menitipkan ke outlet-outlet yang ada di Tangerang dan sekitarnya;
(j) Membuat kemasaran menarik dengan branding produk, dan ; (k) Melakukan
kemitraan untuk penjualan produk.
vii
Saran dari penelitian ini yaitu pengrajin sudah harus memikirkan untuk
mengembangkan usahanya, terutama untuk olahan opak singkong dengan nilai
tambah tertinggi dan tapai singkong dengan pendapatan tertinggi sebagai
pertimbangan untuk fokus pengembangan produk serta strategi yang dihasilkan
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengrajin dan pemerintah untuk
meningkatkan potensi dari agroindustri olahan singkong.
Kata Kunci : Nilai Tambah, Pendapatan, Pengembangan Produk
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah
SWT, sang penguasa semesta alam, berkat rahmatnya, penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Nilai Tambah, Pendapatan
Usaha, dan Pengembangan Produk Olahan Singkong Skala Industri Rumah
Tangga (Studi Kasus Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang”. Penulis
menyertakan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa dunia jahiliyah ke dunia
yang penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Selama menyelesaikan skripsi ini, penulis menerima dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Muharjaya dan Ibu Widianengsih, berkat motivasi,
dukungan materi, dan tenaga dari keduanya, penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas akhir program strata I ini.
2. Ibu Eny Dwiningsih STP, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan materi dan teknis kepada
penulis selama proses penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dewi Rohma Wati SP, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membantu dan memberikan arahan teknis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
4. Bapak Acep Muhib, MM selaku penguji I yang telah meluangkan waktunya
ix
dan membantu memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.
5. Ibu drh. Zulmanery, MM selaku penguji II yang telah meluangkan waktunya
dan membantu memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Agus Salim, M.Si selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, MS selaku ketua program studi Agribisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Pihak Kecamatan Sepatan Timur yang telah memberikan izin penelitian
kepada penulis untuk menuntaskan tugas akhir.
9. Pihak pengrajin olahan singkong dan pengepul singkong di Kecamatan
Sepatan Timur yang telah menerima dan memberikan data kepada penulis
untuk menuntaskan tugas penelitian.
10. Pihak Kesbangpol Kabupaten Tangerang yang telah membantu dalam
memberikan izin penelitian kepada penulis untuk menuntaskan tugas akhir.
11. Ibu Lidya Sinabang dari Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang yang telah
melayani penulis dalam memberikan data-data yang penulis butuhkan.
12. Ibu Dewiyanti dan Ibu Asma dari Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten
Tangerang yang telah melayani penulis dalam memberikan data-data yang
penulis butuhkan.
13. Ibu Syafreen Nuraeni sebagai owner ‘Keripik Dalma’ yang telah melayani
penulis dalam memberikan data-data yang penulis butuhkan.
14. Dosen-dosen Program Studi Agribisnis yang memberikan masukan-
masukan tambahan yang berguna sehingga memperlancar dan membantu
x
penulis menyelesaikan skripsi.
15. Dhea Risqi Pentana yang sudah memberikan saran, semangat, kesabaran,
waktu, dan tenaga untuk membantu penulis dalam menyelesaikan tugas
akhir.
16. Sahabat-sahabat Victual (Aulia, Arum, Mike, dan Anty), berkat saran,
semangat, dan kebersamaan yang telah tercipta selama lebih dari 10 tahun
membuat penulis lepas dari rasa jenuh dalam menyelesaikan tugas akhir.
17. Teman-teman satu kosan (Mumut dan Astrid) berkat semangat, saran,
sebagai teman curhat, dan selalu menemani saat di kosan sampai penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir
18. Teman-teman AKK (Ririn, Widya, Eka, Maw, dan Ayu) yang bersama-
sama melewati susah dan senang dari awal perkuliahan.
19. Kawan-kawan seperjuangan, agribisnis angkatan 2013 (Rara, Kika, Wulan,
Elma, Dohiyah, Molly, Aisyah, Anggi, Mutia, Iyong, Siska, Desi, Millah,
Ria, Eki, Egi, Adam, Ojan, Andika, Rizki, Kipli, Hardika, dan lainnya yang
tidak disebutkan satu persatu) yang terus saling mendukung satu sama lain.
20. Pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan pada skripsi ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar penulis menjadi lebih baik.
Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan manfaat untuk berbagai pihak.
Tangerang, Februari 2018
Penulis
xi
DAFTAR ISI
RINGKASAN ................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroindustri ............................................................................ 7
2.2 Ubi Kayu ................................................................................. 9
2.3 Produk Olahan Singkong ......................................................... 12
2.4 Nilai Tambah ........................................................................... 14
2.5 Konsep Biaya .......................................................................... 17
2.6 Konsep Pendapatan.................................................................. 18
2.7 Efisiensi Usaha ........................................................................ 20
2.8 Pengembangan Produk ............................................................ 22
2.9 Penelitian Terdahulu ................................................................ 24
2.10 Kerangka Pemikiran ............................................................... 26
xii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 29
3.2 Metode Penentuan Sampel ....................................................... 29
3.3 Jenis dan Sumber Data ............................................................. 31
3.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 32
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ..................................... 33
3.5.1 Analisis Nilai Tambah..................................................... 33
3.5.2 Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usaha......................... 33
3.5.3 Penentuan Nilai Tengah atau Median (Me) ..................... 37
3.5.4 Analisis SWOT ............................................................... 38
3.6 Definisi Operasional ................................................................ 41
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Kondisi Umum Kecamatan Sepatan Timur .............................. 44
4.2 Sejarah IRT Olahan Singkong.................................................. 45
4.3 Produksi Olahan Singkong....................................................... 46
4.4 Pengadaan Bahan Baku ........................................................... 56
4.5 Karakteristik Sampel ............................................................... 58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penghitungan Data ................................................................... 60
5.2 Analisis Nilai Tambah ............................................................. 61
5.2.1 Analisis Nilai Tambah Tapai Singkong ........................... 62
5.2.2 Analisis Nilai Tambah Opak Singkong ............................ 64
5.2.3 Analisis Nilai Tambah Enyek-Enyek ............................... 67
5.2.4 Analisis Nilai Tambah Keripik Singkong ........................ 70
5.2.5 Analisis Nilai Tambah Kerupuk Singkong....................... 73
5.2.6 Analisis Nilai Tambah Tepung Gaplek ............................ 75
5.3 Analisis Pendapatan Olahan Singkong ..................................... 78
5.3.1 Analisis Pendapatan Tapai Singkong ............................... 78
5.2.2 Analisis Pendapatan Opak Singkong ............................... 80
5.2.3 Analisis Pendapatan Enyek-Enyek .................................. 81
5.2.4 Analisis Pendapatan Keripik Singkong ............................ 82
5.2.5 Analisis Pendapatan Kerupuk Singkong .......................... 83
xiii
5.2.6 Analisis Pendapatan Tepung Gaplek ............................... 85
5.4 Perbandingan Hasil Penghitungan ............................................ 86
5.5 Pengembangan Produk Olahan Singkong ................................. 89
5.6 Strategi Pengembangan Produk ................................................ 90
5.6.1 Identifikasi Faktor-Faktor Internal ................................... 90
5.6.2 Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal ................................ 95
5.6.3 Matriks SWOT ................................................................ 100
5.6.4 Implikasi Manajerial dan Strategi .................................... 107
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ............................................................................. 110
6.2 Saran ....................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 113
xiv
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Sifat Fisik dan Kimia Beberapa Jenis Ubi Kayu ........................................ 11
2. Populasi Industri Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang ............................................................................... 30
3. Data Narasumber Wawancara ................................................................... 31
4. Kerangka Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami ............................... 35
5. Matriks SWOT ......................................................................................... 42
6. Luas Wilayah Menurut Penggunaan di Kecamatan Sepatan Timur ............ 44
7. Proses Pembuatan Tapai Singkong ............................................................ 47
8. Proses Pembuatan Keripik Singkong ......................................................... 49
9. Proses Pembuatan Opak Singkong ............................................................ 50
10. Proses Pembuatan Enyek-Enyek ............................................................... 52
11. Proses Pembuatan Kerupuk Singkong ....................................................... 54
12. Proses Pembuatan Tepung Tatal ................................................................ 55
13. Data Sampel Pengrajin Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan
Timur ........................................................................................................ 59
14. Harga Produk Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan Timur .................. 60
15. Output Produk Olahan Singkong dalam Sekali Produksi ........................... 61
16. Analisis Nilai Tambah Tapai Singkong ..................................................... 63
17. Analisis Nilai Tambah Opak Singkong ..................................................... 65
18. Analisis Nilai Tambah Enyek-Enyek ......................................................... 69
19. Analisis Nilai Tambah Keripik Singkong .................................................. 71
20. Analisis Nilai Tambah Kerupuk Singkong ................................................ 74
21. Analisis Nilai Tambah Tepung Tatal ......................................................... 76
22. Analisis Pendapatan Tapai Singkong dalam Satu Bulan ............................ 79
23. Analisis Pendapatan Opak Singkong dalam Satu Bulan ............................. 81
24. Analisis Pendapatan Enyek-Enyek dalam Satu Bulan ................................ 82
25. Analisis Pendapatan Keripik Singkong dalam Satu Bulan ......................... 83
xv
26. Analisis Pendapatan Kerupuk Singkong dalam Satu Bulan ........................ 84
27. Analisis Pendapatan Tepung Gaplek dalam Satu Bulan ............................. 85
28. Hasil Penghitungan Nilai Tambah dan Pendapatan Tanpa
Menggunakan Upah Tenaga Kerja ............................................................ 87
29. Hasil Penghitungan Nilai Tambah dan Pendapatan dengan
Memasukkan Tenaga Kerja ....................................................................... 88
30. Nilai Tengah Produk Olahan Singkong ..................................................... 89
31. Kekuatan dan Kelemahan IRT Olahan Singkong di Kecamatan
Sepatan Timur........................................................................................... 90
32. Data Penggunaan Lahan di Kecamatan Sepatan Timur .............................. 93
33. Peluang dan Ancaman IRT Olahan Singkong di Kecamatan
Sepatan Timur........................................................................................... 95
34. Luas Lahan, Produktivitas, dan Produksi Singkong Kabupaten
Tangerang ................................................................................................. 98
35. Matriks SWOT Pengembangan Produk Olahan Singkong di
Kecamatan Sepatan Timur ........................................................................ 101
36. Implikasi Manajerial dan Strategi untuk Perbaikan Kelemahan di
Tingkat Produksi ....................................................................................... 109
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Pohon Industri Singkong .......................................................................... 12
2. Kerangka Pemikiran................................................................................. 28
3. Diagram Analisis SWOT ......................................................................... 39
4. Alur Proses Produksi Tapai Singkong ...................................................... 46
5. Alur Proses Produksi Opak Singkong....................................................... 51
6. Alur Proses Produksi Tepung Gaplek/Tatal .............................................. 56
7. Alur Pengiriman Bahan Baku Singkong ................................................... 57
8. Grafik Pendapatan Usaha Tapai Singkong Kec. Sepatan Timur ................ 88
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Bukti Wawancara Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang ........................ 117
2. Bukti Wawancara Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten
Tangerang ................................................................................................ 118
3. Bukti Wawancara Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten
Tangerang ................................................................................................ 119
4. Penyusutan Alat-Alat Produksi ................................................................ 120
5. Harga Input Lain ...................................................................................... 126
6. Penghitungan Upah Tenaga Kerja ............................................................ 128
7. Daftar Pertanyaan Nilai Tambah dan Pendapatan Pengrajin ..................... 129
8. Daftar Pertanyaan Pengembangan Produk ................................................ 131
9. Dokumentasi Produksi Olahan Singkong dan Wawancara ........................ 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut arahan pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-tiga (2015-2019) dibuat Sembilan
Agenda Prioritas (Nawa Cita) yang berfokus pada peningkatan agroindustri dan
peningkatan kedaulatan pangan. Sasaran dari peningkatan agroindustri adalah
meningkatkan PDB industri pengolahan makanan dan minuman serta produksi
komoditas andalan ekspor dan komoditas prospektif, meningkatkan jumlah
sertifikasi untuk produk pertanian yang diekspor, dan berkembangnya agroindustri
terutama di pedesaan (Renstra Kementerian Pertanian, 2015:112-113). Total
agroindustri rumah tangga yang ada di Indonesia yaitu 2.437.624 rumah tangga
menurut Sensus Pertanian BPS tahun 2013.
Usaha tani masih didominasi produksi on-farm dengan belum
berkembangnya jasa pelayanan permodalan dan teknologi. Hal ini akhirnya
mengurangi minat generasi muda khususnya di pedesaan untuk bekerja dan
membuka usaha di bidang pertanian, terlebih mereka yang memiliki pendidikan
tinggi. Perlu adanya pengembangan agroindustri, di antaranya melalui
pengembangan kawasan agropolitan sehingga menumbuh kembangkan usaha
penyediaan barang dan jasa pendukung yang merupakan peluang usaha dan dapat
membuka lapangan pekerjaan. Salah satu daerah yang mempunyai rencana tata
wilayah yang berfokus untuk pengembangan kawasan agropolitan yaitu Kecamatan
Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang.
2
Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan pertanian di Kabupaten
Tangerang meliputi pengembangan pertanian tanaman pangan, pengembangan
peternakan, dan pengembangan kawasan agroindustri. Sesuai dengan Rencana Tata
Wilayah Kabupaten Tangerang tahun 2011-2031 pasal 51, kawasan yang
diperuntukan untuk pengembangan agropolitan yaitu Kecamatan Sepatan Timur.
Kawasan agropolitan yang dimaksud adalah kawasan yang meliputi satu atau lebih
pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Menurut Rustiadi dkk (2011:330), pengembangan agropolitan ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung
tumbuhnya agro-processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman
aktivitas ekonomi dari pusat pasar.
Kecamatan Sepatan Timur masih memiliki area persawahan yang seluas
953,1 Ha (Kecamatan Sepatan Timur dalam Angka, 2016). Komoditi yang
ditanaman yaitu padi, sayur-sayuran, dan bawang merah. Tidak ada yang
membudidayakan singkong dikarenakan masa tanamnya yang cukup lama sehingga
petani tidak berminat dan tidak ada lahan kosong yang dapat digunakan. Padahal
terdapat banyak industri rumah tangga (IRT) yang membuat olahan singkong di
Kecamatan Sepatan Timur. Singkong atau ubi kayu merupakan tanaman yang
sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Singkong mempunyai keunggulan
yaitu mudah diolah menjadi berbagai macam produk. Semua bagian dari singkong
dapat dimanfaatkan dan tidak ada yang terbuang jika pengolahaanya tepat, seperti
3
di Kecamatan Sepatan Timur, daging singkong dibuat menjadi berbagai macam
produk, hasil sampingan pengolahan tapai yaitu kerikan daging singkong dapat
diolah menjadi kerupuk dan ujung potongan singkong dapat diolah menjadi tepung.
sedangkan kulitnya digunakan untuk makanan ternak.
Sebagian masyarakat di Kecamatan Sepatan Timur mempunyai
keterampilan dalam mengolah singkong menjadi makanan yaitu tapai, opak,
keripik, enyek-enyek, dan kerupuk. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan
singkong untuk diolah menjadi bahan makanan, yaitu tepung gaplek. Keterampilan
ini didapat secara turun temurun dari keluarga dan sudah ada selama puluhan tahun,
tepatnya sudah ada dari sebelum tahun 1990. Terdapat 84 industri rumah tangga
olahan singkong dan setiap pengrajin sudah mempunyai pelanggan tetap untuk
membeli produknya dan setiap harinya produk yang dihasilkan akan habis dibeli
konsumen. Dekatnya tempat produksi dengan konsumen karena dekat dengan pasar
dan Kota Tangerang memudahkan pengrajin dalam menjual produknya.
Satu pengepul yang ada di Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur
yang memang khusus menurunkan singkong untuk pengrajin olahan singkong
dalam sehari dapat menurunkan singkong 1,5 ton dan di bulan Ramadhan
jumlahnya akan bertambah menjadi dua kali lipat menjadi 3 – 4 ton. Terdapat pula
pengepul singkong lain yang ada di pasar Kecamatan Sepatan Timur yang juga
menurunkan singkong 2 ton dan sebagian singkongnya dibeli pengrajin. Industri
rumah tangga pengolahan singkong tersebut membuktikan dapat membantu
perekonomian sebagian masyarat. Namun, industri rumah tangga tersebut belum
berkembang walapun sudah ada sejak lama. Tingkat pendidikan yang rendah,
4
minimnya penguasaan teknologi, pengemasan yang masih sederhana, serta belum
ada pembinaan yang diberikan pengrajin menjadi beberapa kendala.
Kecamatan Sepatan Timur sebenarnya sudah mempunyai agroindustri yang
dapat dikembangkan untuk mewujudkan kawasan agropolitan, yaitu industri rumah
tangga olahan singkong. Ketersediaan sumber daya manusia yang memadai yang
telah melakukan usaha selama bertahun-tahun ditambah dengan sudah adanya pasar
untuk menjual produk merupakan keunggulan yang dapat dikembangkan lebih
lanjut dan membantu pengembangan agro-processing di Kecamatan Sepatan
Timur. Enam produk olahan singkong yang ada, yaitu tapai, opak, enyek-enyek,
keripik, kerupuk, dan tepung perlu dianalisis produk mana yang mempunyai nilai
tambah tertinggi dan yang menghasilkan pendapatan terbesar untuk dijadikan fokus
pengembangan produk di Kecamatan Sepatan Timur.
1.2 Rumusan Masalah
Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang memiliki potensi industri
rumah tangga yang memproduksi olahan singkong menjadi tapai, opak, keripik,
enyek-enyek, kerupuk, dan terpung. Skala usaha produksi olahan singkong di
Kecamatan Sepatan Timur masih tergolong industri mikro atau rumah tangga yang
masih menggunakan alat-alat sederhana (tradisional) dengan mengandalkan tenaga
manusia membuat kapasitas produksinya terbatas. Berbagai kendala yang dihadapi
pengrajin yang membuat usaha tersebut tidak berkembang, diantaranya
keterbatasan pengetahuan, modal, dan tidak adanya pembinaan untuk pengrajin.
Perlu adanya fokus produk agar pemerintah lebih mudah dalam membina pengrajin
dan meningkatkan kualitas serta kuantitas produk. Produk olahan singkong di
5
Kecamatan Sepatan Timur yang dihasilkan dan dapat dipilih untuk dijadikan fokus
pengembangan produk yaitu tapai singkong, keripik singkong, kerupuk singkong,
tepung gaplek, enyek-enyek dan opak singkong. Identifikasi masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa nilai tambah per produk yang diperoleh dari pengolahan singkong di
Kecamatan Sepatan Timur?
2. Berapa keuntungan yang didapat dari masing-masing jenis produk olahan
singkong di Kecamatan Sepatan Timur?
3. Bagaimana pengembangan lebih lanjut produk olahan singkong di Kecamatan
Sepatan Timur?
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan singkong di
Kecamatan Sepatan Timur.
2. Menganalisis secara financial pendapatan dari masing-masing jenis produk
olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur.
3. Menganalisis pengembangan produk olahan singkong di Kecamatan Sepatan
Timur yang akan dijadikan fokus produk di daerah tersebut.
1.3 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
6
1. Bagi penulis, penelitian ini dapat dijadikan tambahan pengalaman dan
pengaplikasian dari ilmu-ilmu yang sudah didapat dari bangku perkuliahan.
2. Bagi pemerintah daerah setempat, diharapkan penelitian ini dapat menjadi
bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran dalam menentukan kebijakan
terutama untuk pengembangan usaha olahan singkong di Kabupaten
Tangerang.
3. Bagi pemilik usaha, diharapkan dapat menjadi bahan refrensi dan informasi
mengenai usaha olahan singkong.
4. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi
dan refrensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian yang
sejenis dan sumber informasi bagi yang ingin melakukan usaha olahan
singkong.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten
Tangerang. Komoditi yang menjadi objek penelitian yaitu produk olahan singkong
(tapai, keripik, enyek-enyek, opak, kerupuk, dan tepung,). Peneliti memfokuskan
penelitian pada analisis nilai tambah, analisis pendapatan dan efisiensi usaha, serta
pengembangan produk. Informan dalam penelitian ini adalah warga Kecamatan
Sepatan Timur yang memproduksi tapai, keripik, enyek-enyek, opak, kerupuk, dan
tepung yang dipilih secara sengaja.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroindustri
Menurut UU No. 3 Tahun 2014, industri adalah kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi
menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi penggunaannya, termasuk jasa
industri. Selanjutnya, agroindustri adalah industri yang mengolah komoditas
pertanian primer menjadi produk olahan baik produk antara (intermediate product)
maupun produk akhir (finish product), termasuk didalamnya adalah penanganan
pasca panen, industri pengolahan makanan dan minuman, industri biofarmaka,
industri bio-energy, industri pengolahan hasil ikutan (by-product) serta industri
agrowisata (Departemen Pertanian, 2002:2). Menurut Soekartawi (2001:10)
agroindustri dapat diartikan dua hal, (1) agroindustri adalah industri yang berbahan
baku utama produk pertanian, (2) agroindustri yaitu suatu tahapan pembangunan
sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum pembangunan
tersebut mencapai tahapan pembangunan industri.
Menurut skala usahanya, agroindustri terbagi atas usaha mikro, kecil,
menengah, dan besar. Pengertian usaha mikro, kecil, menengah, dan besar sesuai
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 yaitu :
1. Usaha mikro
Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria, yaitu : (a) memiliki kekayaan bersih
8
paling banyak Rp 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000.
2. Usaha Kecil
Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung atau tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang
memenuhi kriteria, yaitu : (a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
50.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp 300.000.000 sampai paling banyak Rp 2.500.000.000.
3. Usaha Menengah
Usaha menegah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung tau tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar dengan
jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang, yaitu : (a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp
500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau (b) memiliki hasil penjualan tahunan
lebih dari Rp 2.500.000.000 sampai paling banyak Rp 50.000.000.000.
9
4. Usaha Besar
Usaha makro adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari
usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha
patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Menurut BPS (2017), pengklasifikasian industri pengolahan berdasarkan
banyaknya tenaga kerja dibagi dalam empat golongan, yaitu :
1. Industri besar, banyak tenaga kerja 100 orang atau lebih.
2. Industri sedang, banyak tenaga kerja 20-99 orang.
3. Industri kecil, banyak tenaga kerja 5-19 orang.
4. Industri rumah tangga, banyak tenaga kerja 1-4 orang.
Menurut Astuty (2016:145), industri rumah tangga termasuk ke dalam
industri mikro. Industri mikro merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar
dalam perekonomian Indonesia. Usaha mikro atau industri rumah tangga memiliki
keunggulan padat karya sehingga bisa membantu mengurangi pengangguran.
2.2 Ubi Kayu
Tanaman ubi kayu merupakan tanaman semak dengan ketinggian beragam
mulai dari 1 m hingga 3 m, tergantung varietas dan kondisi lingkungan (Islami,
2015:9). Daun ubi kayu termasuk daun majemuk menjari dengan anak daun
berbentuk elips yang berujung runcing. Dalam perkembangannya, beberapa buah
akar digunakan untuk menyimpan bahan makanan (karbohidrat), dan akibatnya
ukuran akar akan membesar mengalahkan ukuran akar lainnya. Akar yang
membesar inilah yang disebut sebagai ubi kayu. Umbi ini memiliki kulit ari
10
berwarna coklat, sedangkan kulit dalamnya ada yang berwarna kemerahan atau
putih dengan warna daging kuning atau putih (Djaafar dan Siti, 2003:13).
Tanaman ubi kayu termasuk ke dalam Ordo Malpighiales, Famili
Euphorbiaceae, Genus Manihot dan spesies Manihot utilissima Pohl. Di Indonesia,
ubi kayu atau biasa disebut singkong menjadi bahan pokok setelah beras dan
jagung. Di beberapa tempat, tanaman ubi kayu dianggap sebagai cadangan
makanan atau lumbung hidup (Purwono dan Purnamawati, 2011:63).
Ubi kayu atau singkong terbagi atas dua jenis, yaitu singkong pahit dan tidak
pahit. Singkong pahit mengandung hidrosianida (HCN) lebih dari 100 ppm (mg/kg
berat bahan basah) dan mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga baik
dijadikan tepung tapioka. Sedangkan singkong tidak pahit mengandung
hidrosianida (HCN) kurang dari 50 ppm sehingga aman untuk dikonsumsi dan
dijadikan aneka makanan (Murtiningsih dan Suyanti, 2011:9).
Menurut Antarlina dalam Djaafar dan Siti (2003:14), kandungan HCN
dalam ubi kayu akan mempengaruhi rasa. Terlihat pada Tabel 1, ubi kayu dengan
kandungan HCN kurang dari 50 ppm umumnya memiliki rasa yang enak
(cenderung agak manis), sedangkan ubi kayu dengan kandungan HCN lebih dari 50
ppm memiliki rasa pahit. Ubi kayu setelah dikukus matang, yang mempunyai
tekstur lunak dikategorikan ke dalam ubi kayu bertekstur remah, sedangkan ubi
kayu yang keras dikategorikan kedalam ubi kayu bertekstur padat.
Ubi kayu adalah tanaman yang memiliki adaptasi sangat luas sehingga
sering disebut sebagai tanaman pioner (Purwono dan Purnamawati, 2010:64).
Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah masam, sampai
11
basa, kandungan Al dan berbagai hara mikro relatif tinggi (dimana untuk tanaman
lain mungkin dapat keracunan), kandungan hara makro (kecuali N dan K) rendah,
hara P yang rendah karena tanaman ubi kayu mempunyai michoriza yang sangat
efektif dalam menyediakan hara P, dan sifat fisik tanah yang kurang baik (Islami,
2015:35). Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan baik di suhu yang relatif panas
(25-29oC) dengan suhu minimal sekitar 10oC, jika di bawah itu pertumbuhan
tanaman ubi kayu akan terhambat (Purwono dan Purnamawati, 2010:61).
Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Beberapa Jenis Ubi Kayu
No. Jenis
Chip Warna Rasa Tekstur
Kadar
Air (%)
Protein
(%)
Pati
(%)
HCN
(ppm)
Rendemen
(KA 6%)
1 Faroka Putih Enak Remah 62,86 1,33 51,51 40,80 39,77
2 Ketan Kuning Enak Remah 58,84 1,46 52,43 - 53,36
3 Mentega Kuning Enak Remah 65,13 0,95 61,22 17,34 41,77
4 Sawi Putih Enak Remah 61,66 1,13 53,95 25,43 49,65
5 Gandum Putih Enak Remah 62,87 1,33 53,75 33,32 40,71
6 Trigu Putih Enak Remah 63,30 1,22 60,70 21,08 36,97
7 Petruk Putih Enak Remah 59,75 1,39 51,11 24,61 41,97
8 Karet Putih Enak Remah 65,81 3,61 50,22 33,54 37,36
9 Randu Putih Enak Remah 61,87 2,85 61,09 21,77 32,90
10 Pandemir Putih Pahit Remah 65,66 1,19 56,14 72,16 27,01
11 Adira 1 Kuning Enak Remah 63,59 4,69 56,28 26,06 40,67
12 Klenteng Putih Enak Remah 58,46 0,80 52,65 5,21 43,57
13 Bandung Kuning Enak Remah 70,89 0,67 54,72 15,92 33,15
14 Bisini Putih Agak
pahit Remah 71,13 2,54 68,32 50,76 34,15
15 Genjah
sawo Putih Pahit Padat 72,02 1,31 59,31 108, 44 24,93
16 Kepyur Putih Enak Remah 61,26 1,32 53,76 8,51 38,36
17 Kowi Putih Enak Padat 57,44 1,08 52,97 7,85 47,35
Sumber : Atarlina dalam Djafaar dan Siti (2003)
12
2.3 Produk Olahan Singkong
Ubi kayu atau singkong merupakan salah satu bahan pangan yang mudah
didapat di Indonesia. Hampir semua bagian singkong dapat dimanfaatkan, mulai
dari daun, batang, hingga dagingnya. Produk turunan dari singkong dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Pohon Industri Singkong
Singkong oleh masyarakat Indonesia sering diolah menjadi makanan
tradisional dan bahan makanan. Makanan tradisional dari olahan singkong
diantaranya tapai, opak, enyek-enyek, keripik, dan kerupuk. Bahan makanan yang
dihasilkan dari singkong yaitu tepung gaplek dan tepung tapioka.
1. Tapai Singkong
Tapai singkong adalah makanan yang berasal dari hasil proses fermentasi
singkong menggunakan ragi. Melalui proses fermentasi zat pati yang terdapat pada
singkong diubah menjadi gula, sehingga rasa asli singkong yang cenderung tawar
13
berubah menjadi manis keasam-asaman dan tekstur yang semula keras menjadi
lebih lunak (Agromedia, 2007:166). Hasil penelitian ilmiah kerjasama antara
Universitas Brawijaya, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Wageningen di
Belanda menemukan bahwa ragi tapai yang terbuat dari sejenis jamur tertentu untuk
fermentasi singkong menjadi tapai hanya bisa ditemui di Indonesia, dan hanya bisa
bekerja di suhu hangat pada pada daerah beriklim tropis seperti Indonesia
(Handoko, 2009:71). Bisa dikatakan tapai singkong merupakan makanan khas asli
Indonesia.
Tapai singkong bisa dimakan langsung tanpa campuran apapun dan juga
dapat dicampurkan ke dalam aneka jenis minuman seperti es dawet dan es doger
serta digunakan untuk campuran makanan seperti roti dan bolu untuk menambah
rasa manis dan cita rasa yang khas.
2. Keripik Singkong
Keripik singkong merupakan salah satu makanan ringan tradisional yang
cukup digemari. Keunggulan keripik singkong adalah selain rasanya yang gurih,
renyah juga karena harganya yang terjangkau dan mudah didapatkan. Di pasaran
saat ini banyak beredar jenis keripik singkong dalam bungkus yang menarik
menggunakan plastik atau aluminium (Alamsyah, 2010:15). Keripik singkong biasa
dijadikan sebagai cemilan saat bersantai.
3. Opak Singkong
Opak singkong merupakan salah satu makanan asli Indonesia yang
berbahan dasar singkong yang ditumbuk kemudian diberi bumbu rasa. Opak
14
singkong mempunyai rasa yang gurih sehingga cocok disajikan sebagai cemilan
saat bersantai.
4. Enyek-enyek
Enyek-enyek adalah olahan kering tradisional dengan bahan baku ubi kayu
dan penambahan bumbu seperti cabai dan daun bawang. Prinsip dasar pembuatan
enyek-enyek yaitu pengukusan, penjemuran, dan penggorengan.
5. Kerupuk Singkong
Kerupuk singkong dibuat dari singkong yang diparut kemudian parutan
tersebut dibuat adonan dengan mencampur berbagai bumbu rasa dan sedikit tepung
tapioka. Adonan tersebut kemudian direbus hingga matang lalu didinginkan.
Adonan yang telah dingin diiris tipis lalu dijemur hingga kering sebelum digoreng.
6. Tepung Gaplek
Tepung tatal atau biasa disebut tepung gaplek (gaplek powder/cassava
powder) dibuat dari singkong yang telah dikupas, dicuci, lalu di belah menjadi
beberapa irisan. Irisan singkong tersebut dijemur hingga kering. Singkong yang
kering inilah disebut gaplek atau tatal. Gaplek tersebut kemudian digiling hingga
menjadi tepung (Djuwardi, 2011:49). Tepung gaplek sering dimanfaatkan untuk
bahan baku pembuatan kue, seperti tiwul dan gethuk.
2.4 Nilai Tambah
Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010:129) konsep nilai tambah adalah
suatu perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan terhadap suatu input
pada suatu proses produksi. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistis (BPS, 2017)
nilai tambah adalah besarnya output dikurangi besarnya nilai input. Agroindustri
15
menjadi pusat rantai pertanian yang berperan penting dalam meningkatkan nilai
tambah produk pertanian di pasar (Austin dalam Marimin dan Slamet, 2010:172).
Suatu perusahaan dikatakan menguntungkan bila nilai produk yang diberikan
perusahaan kepada produk atau jasanya melebihi keseluruhan biaya yang
dikeluarkan dalam membuat produk tersebut (Kuncoro, 2005:46).
Nilai tambah pada sektor hilir melibatkan industri pengolahan. Diperlukan
perlakuan untuk komoditas pertanian yang mudah rusak dan kamba, yaitu
pengolahan, pengemasan, pengawetan, dan manajemen mutu untuk menambah
kegunaan atau menambah nilai tambah sehingga harga produk komoditas pertanian
menjadi tinggi (Marimin dan Maghfiroh, 2010:129). Besarnya nilai tambah karena
proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya
terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja (Sudiyono
dalam Marimin dan Maghfiroh, 2010:130). Dengan kata lain, nilai tambah
menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal, dan manajemen yang dapat
dinyatakan secara matematika sebagai berikut :
Nilai Tambah = f {K, B, T, U, H, h, L} dimana,
K = Kapasitas produksi
B = Bahan baku yang digunakan
T = Tenaga kerja yang digunakan
U = Upah tenaga kerja
H = Harga output
h = Harga bahan baku
16
L = Nilai input lain (nilai dan semua korbanan yang terjadi selama proses perlakuan
untuk menambah nilai)
Terdapat tiga cara dalam menganalisis nilai tambah, yaitu analisis nilai
tambah bruto, analisis nilai tambah neto, dan analisis nilai tambah metode hayami.
Menurut BPS (2017) terdapat dua jenis nilai tambah, yaitu Nilai Tambah Bruto
(NTB) dan Nilai Tambah Neto (NTN). NTB dari suatu unit produksi dihitung dari
nilai output bruto atas harga jual produsen dikurangi nilai input-antara atas dasar
harga pasar. Karena itu NTB juga disebut sebagai nilai tambah atas harga pasar.
Sedangkan NTN adalah NTB dikurangi pajak tak langsung dan penyusutan.
Namun, karena data pajak tak langsung dan penyusutan pada umumnya terbatas,
maka konsep nilai tambah yang digunakan pada umumnya adalah NTB. Dalam
perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), NTB juga digunakan sebagai dasar.
Sedangkan dalam analisis nilai tambah metode hayami, terdapat tiga
komponen pendukung, yaitu faktor konversi yang menunjukkan banyak output
yang dihasilkan dari satu-satuan input, faktor koefisien tenaga kerja yang
menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah
satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan
dari satu-satuan input. Kelebihan dari analisis nilai tambah oleh Hayami adalah:
1. Lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian.
2. Dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga
kerjanya).
3. Dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi.
4. Dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan.
17
2.5 Konsep Biaya
Menurut Hadisapoetro (dalam Suratiyah, 2015:83) biaya mengusahakan
(biaya usahatani) adalah semua biaya yang dikeluarkan. Dilengkapi oleh
Soekartawi (2010:54) yang mengatakan bahwa biaya usahatani adalah semua
pengeluaran yang dipergunakan dalam suatu usahatani dengan klasifikasi biaya
usaha yaitu biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya tunai, dan biaya tidak tunai (biaya
diperhitungkan).
a. Biaya tetap tidak akan berubah pada tingkat di mana dalam jangka pendek
produksi berubah tetapi akan berubah dalam jangka panjang sebagaimana
jumlah dari biaya tetap berubah. Sepanjang tidak dibutuhkan suatu input tetap
dalam jangka panjang, biaya tetap hanya akan berharga untuk jangka pendek
dan bernilai nol dalam jangka panjang.
b. Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi
oleh produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap berubah-ubah sesuai dengan
kebutuhan ouput. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk sarana produksi
maupun untuk pembelian bahan baku.
c. Biaya Tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi keperluan usaha. Contoh biaya tunai dari biaya
tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air. Biaya tunai yang sifatnya variabel
antara lain berupa biaya untuk pemakaian input, sewa mesin, dan tenaga kerja
luar keluarga atau tenaga kerja upahan.
d. Biaya Tidak Tunai (diperhitungkan) didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa
yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. Biaya diperhitungkan yang
18
termasuk biaya tetap antara lain sewa lahan, penyusutan alat-alat pertanian,
bunga kredit, dan lain-lain, sedangkan yang diperhitungkan dari biaya variabel
antara lain biaya untuk tenaga kerja, biaya pengupasan dan pengolahan tepung
dari keluarga.
2.6 Konsep Pendapatan
Menurut Soekartawi (2016:54) pendapatan usahatani adalah selisih antara
penerimaan dan pengeluaran dengan beberapa ukuran pendapatan usaha antara lain:
a. Pendapatan kotor usaha didefinisikan sebagai nilai produk total usaha dalam
jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau ukuran
hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Jangka waktu
pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual,
dikonsumsi rumah tangga pengusaha, digunakan dalam usaha, digunakan untuk
pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Menghindari
penghitungan ganda, semua produk yang dihasilkan sebelum tahun pembukuan
tetapi dijual atau digunakan pada saat pembukuan, tidak dimasukkan ke dalam
pendapatan kotor. Istilah lain dari pendapatan kotor ialah nilai produksi (value
of production) atau penerimaan kotor usaha (gross return). Semua komponen
produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.
b. Pengeluaran total usaha adalah didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang
habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk tenaga
kerja keluarga. Apabila data tersedia, maka cara yang dapat dilakukan ialah
memisahkan pengeluaran total usaha menjadi pengeluaran tetap dan
pengeluaran tidak tetap.
19
c. Apabila dalam suatu usaha digunakan mesin-mesin atau peralatan, harus
dihitung penyusutan yang dianggap sebagai pengeluaran tidak tunai.
d. Pendapatan bersih usaha adalah selisih antara pendapatan kotor usaha dengan
pengeluaran total usaha. Pendapatan bersih (net income) mengukur imbalan
yang diperoleh keluarga pengusaha dari penggunaan faktor-faktor produksi
kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang
diinvestasikan.
e. Penghasilan bersih usaha (net earnings) adalah pendapatan bersih dikurangi
bunga yang dibayarkan atas modal pinjaman. Ukuran ini menggambarkan
penghasilan yang diperoleh dari usaha untuk keperluan keluarga dan merupakan
imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai dalam usaha.
Sedangkan menurut Hadisapoetro (dalam Suratiyah, 2015:83) pendapatan
dalam usahatani diperlukan beberapa hal yaitu :
a. Pendapatan kotor atau penerimaan, yaitu diperhitungkan dari hasil penjualan
atau penaksiran kembali dengan mengkalikan jumlah produksi dan harga per
kesatuan.
b. Biaya alat-alat luar, merupakan semua biaya yang dipergunakan untuk
menghasilkan pendapatan kotor kecuali upah tenaga kerja, bunga seluruh aktiva
yang dipergunakan, dan biaya untuk kegiatan usaha.
c. Biaya mengusahakan, merupakan alat-alat luar ditambah upah tenaga keluarga,
diperhitungkan berdasarkan upah pada umumnya.
d. Biaya menghasilkan, yaitu biaya mengusahakan ditambah bunga dari aktiva
yang dipergunakan dalam usahatani.
20
e. Pendapatan bersih, adalah selisih dari pendapatan kotor dengan biaya
mengusahakan.
f. Pendapatan petani, yaitu pendapatan kotor dikurangi biaya alat-alat luar dan
bunga modal luar.
g. Pendapatan tenaga keluarga, merupakan selisih tdari pendapatan petani
dikurangi dengan bunga modal sendiri.
h. Keuntungan dan kerugian, yaitu selisih dari pendapatan petani dikurangi
dengan upah keluarga dan bunga modal sendiri.
2.7 Efisiensi Usaha
Efisiensi menurut Sukirno (dalam Shinta, 2011:97) didefinisikan sebagai
kombinasi antara faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi untuk
menghasilkan output yang optimal. Tersedianya faktor produksi atau input belum
tentu membuat produktifitas yang diperoleh menjadi tinggi, tetapi harus ada upaya
pelaku usaha untuk melakukan usahanya secara efisien (Shinta, 2011:97).
Khususnya dalam usahatani dimana kegiatan tersebut harus dianggap suatu
perusahaan, agar biaya dan hasil yang didapatkan harus diadakan perhitungan untuk
mengetahui pendapatan dan efisiensi serta tingkat resiko dari usahatani tersebut
(Shinta, 2011:76).
Menurut Soekartawi (2001:46) dalam terminologi ilmu ekonomi,
pengertian efisien digolongkan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Efisiensi teknis jika faktor produksi yang dipakai menghasilkan produksi yang
optimum.
21
2. Efisiensi alokatif (efisiensi harga) jika nilai produk marginal sama dengan harga
faktor produksi yang bersangkutan.
3. Efisiensi ekonomi jika usaha pertanian mencapai efisiensi teknis sekaligus
mencapai efisiensi harga.
Menurut Hanafi dalam Valentina (2009:31) efisiensi ekonomis menyangkut
perbandingan antara output dengan input. Dengan demikian, perusahaan dikatakan
efisien jika mampu menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan
input tertentu. Efisiensi dalam pekerjaan dapat dilihat dari hasil yang diperoleh dari
pekerjaan tersebut dilihat dari dua segi, yaitu :
1. Segi hasil, suatu pekerjaan dapat dikatakan efisien bila dengan usaha tertentu
dapat diperoleh hasil yang maksimal, baik dalam kualitas maupun kuantitas
2. Segi usaha, suatu pekerjaan dikatakan efisien jika hasil tertentu dapat dicapai
dengan usaha minimal (Maulidah, 2012:5).
Efisien tidaknya suatu usaha ditentukan oleh besar kecilnya hasil yang
diperoleh serta besar kecilnya biaya yang diperlukan untuk memperoleh hasil
tersebut (Maulidah, 2012:6). Didukung oleh Suratiyah (2009:34), efisiensi usaha
dapat diukur dari besarnya nilai produksi yang dapat dicapai atas nilai produksi
tertentu sehingga dapat dilihat tambahan yang diperoleh dari setiap Rp 1 yang
dikeluarkan. Dengan demikian, efisiensi usaha dapat dilihat dari besarnya
perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya atau R/C ratio. Semakin
besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh sehingga
dapat dikatakan pengalokasian faktor produksi sudah efisien (Soekartawi,
2013:58).
22
2.8 Pengembangan Produk
Menurut Kotler dan Armstrong (1997:320), pengembangan produk adalah
strategi untuk pertumbuhan perusahaan dengan menawarkan produk baru atau yang
dimodifikasi ke segmen pasar yang sekarang. Menurut Soekartawi (2001:26) untuk
pengembangan produk berbasis pertanian perlu diperhatikan :
1. Ketersediaan Bahan Baku
Ketersediaan bahan baku untuk usaha agroindustri harus tersedia tepat waktu
dari segi kuantitas dan kualitas serta tersedia secara berkelanjutan (kontinuitas).
Secara kuantitas, bahan baku tersedia secara cukup setiap diperlukan. Hal ini
tidak mudah karena produk pertanian yang dipakai menjadi bahan baku
biasanya bersifat musiman. Dari sisi kualitas, bahan baku harus tersedia secara
tepat karana akan berpengaruh terhadap kualitas hasil produksi. Kontinuitas
bahan baku akan mempengaruhi proses produksi, untuk itu ketersediaan bahan
baku harus diperhatikan dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka
panjang.
2. Perubahan prefrensi konsumen
Perusahaan harus menyesuaikan dengan perkembangan dinamika pasar.
Produk, baik kuantitas dan kualitas perlu disesuaikan dengan berkembangnya
permintaan konsumen. Perubahan preferensi konsumen akan mempengaruhi
proses produksi, seperti perbaikan kualitas bahan baku, perubahan peralatan
yang digunakan, atau pergantian mekanisme prosesing yang perlu diganti.
Perubahan dan permintaan pasar akan menuntun pula peningkatan tersedianya
23
bahan baku. Untuk itu perlu dikembangkan program kemitraan antra industri
hulu dan hilir yang saling menguntungkan.
3. Kemampuan berkompetisi
Pelaku usaha harus memperhatikan dan memahami para pesaingnya untuk
memudahkan melakukan penyesuaian sehingga dapat bersaing secara
kompetitif. Kekuatan, kelemahan, dan strategi yang diterapkan oleh pesaing
perlu diketahui agar dapat menentukan strategi yang harus diterapkan pelaku
usaha.
4. Kualitas sumber daya manusia
Kualitas sumber daya manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan dinamika pasar dan pesaing sehingga mampu menghasilkan produk
yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
Tujuan perusahaan melakukan pengembangan produk menurut Tjiptono
(2008:118) yaitu:
1. Untuk memenuhi kebutuhan baru dan memperkuat reputasi perusahaan, yaitu
dengan menawarkan produk yang lebih baru dari pada produk sebelumnya.
2. Untuk mempertahankan daya saing terhadap produk yang sudah ada, yaitu
dengan menawarkan produk yang dapat memberikan kepuasan yang baru.
Bentuknya bisa bertambah terhadap lini yang sudah ada maupun revisi
terhadap produk yang telah ada.
Keberhasilan produk yang dikembangkan maka hal yang perlu dilakukan
adalah (Kotler dan Keller, 2002:283) :
a. Produk yang diciptakan unik
24
b. Konsep produk didefinisikan dengan baik
c. Mempunyai daya tarik lebih
d. Kualitas produk baik
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait nilai tambah dan pendapatan dari produk olahan sudah
banyak dilakukan, baik menggunakan metode yang sama maupun berbeda. Salah
satunya dilakukan oleh Asfia (2013). Dalam penelitiannya dianalisis mengenai
pendapatap[;’\/n, nilai tambah, dan prospek pengembangan industri kecil tapioka di
Jawa Barat (studi kasus Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan nilai
tambah yang diberikan dari industri kecil tapioka, serta mengetahui prospek
pengembangannya dilihat dari adanya ketersediaan input dan peluang pasar. Alat
analisis yang digunakan yaitu R/C ratio, analisis titik impas, analisis nilai tambah
dengan menggunakan Metode Hayami dan analisis desktiptif. Hasil analisis
menunjukkan bahwa rataan rendemen bahan baku menjadi tapioka yaitu sebesar
21,67% dan ampas sebesar 6,04% sehingga industri kecil tapioka masih
memberikan keuntungan kepada pengrajin tapioka dengan R/C rasio lebih dari 1.
Nilai tambah yang diberikan oleh industri kecil tapioka yaitu 17,09%. Potensi dan
prospek pasar tepung tapioka bagi industri kecil akan sangat cerah melihat semakin
berkembang industri olahan makanan di Jawa Barat dan Indonesia, serta tidak
menutup kemungkinan adanya perluasan ekspor.
Menggunakan metode yang sama, Praptiwi dkk (2015) menganalisis
mengenai pendapatan dan nilai tambah agroindustri tapai singkong di Kota
25
Pekanbaru. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya biaya,
penerimaan, keuntungan, dan profitabilitas dari agroindustri tapai singkong di Kota
Pekanbaru serta mengetahui tingkat efisiensi dan besarnya nilai tambah produk dari
agroindustri tapai singkong di Kota Pekanbaru. Metode yang digunakan yaitu
analisis pendapatan untuk mengetahui keuntungan. Analisis efisiensi usaha dengan
R/C rasio, analisis pendapatan usaha, dan analisis nilai tambah dengan metode
hayami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biaya yang dikeluarkan oleh
pengusaha tapai singkong rata-rata sebesar Rp 11.351.600,33 per bulan,
penerimaan yang diperoleh pengusaha rata-rata Rp 18.116.343,99 per bulan,
keuntungan yang diperoleh pengusaha rata-rata sebesar Rp 6.764.743,66 per bulan
dan nilai profitabilitas usaha agroindustri tapai singkong sebesar 57,85 persen.
Usaha agroindustri tapai singkong sudah efisien karena nilai R/C rasio lebih dari
satu yaitu sebesar 1,59 berarti bahwa setiap Rp 1.00 biaya yang dikeluarkan dalam
usaha agroindustri tapai singkong memberikan penerimaan sebesar 1,59 kali dari
biaya yang telah dikeluarkan. Nilai tambah yang diperoleh dari tapai singkong
adalah sebesar Rp 2.079,13/kg dengan pembagian margin tertinggi untuk
pendapatan tenaga kerja sebesar 65,06%.
Menggunakan metode yang berbeda, Sari dkk (2015) yang melakukan
penelitian mengenai analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tapai ubi
(studi kasus: Kelurahan Baru Ladang Bambu, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota
Medan). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pengolahan ubi kayu
menjadi tapai ubi, menghitung dan menganalisis besarnya nilai tambah yang
dihasilkan dari proses pengolahan ubi kayu menjadi tapai ubi, serta menghitung dan
26
menganalisis besarnya pendapatan usaha tapai ubi di Kelurahan Baru Ladang
Bambu Kecamatan Medan Tuntungan Kota Medan. Untuk menganalisis nilai
tambah digunakan metode nilai tambah netto. Nilai tambah yang dihasilkan dari
pengolahan ubi kayu menjadi tapai ubi pada skala industri rumah tangga di daerah
penelitian tergolong tinggi dengan rasio 58,82%. Rata-rata pendapatan pengusaha
tapai ubi di daerah penelitian sebesar Rp3.548.018,78 per bulan atau lebih besar
dari upah minimum Kota Medan (UMK).
Imani (2016) melakukan penelitian mengenai analisis keuntungan dan nilai
tambah pengolahan ubi kayu menjadi tela-tela (studi kasus usaha tela steak di
Kelurahan Mandonga, Kecamatan Mandonga, Kota Kediri). Metode yang
digunakan untuk menghitung keuntungan atau pendapatan bersih usaha pengolahan
ubi kayu menjadi tela-tela dengan perhitungan laba-rugi untuk satu bulan,
sedangkan untuk menghitung nilai tambahnya digunakan metode hayami. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usaha pengolahan ubi kayu menjadi memberikan
keuntungan sebesar Rp 30.828.000 per dua puluh tiga kali proses produksi selama
satu bulan dan menciptakan nilai tambah sebesar Rp 15.488/kg bahan baku.
2.10 Kerangka Pemikiran
Kecamatan Sepatan Timur adalah salah satu wilayah yang memproduksi
olahan singkong. Sebagian masyarakatnya mengolah singkong menjadi tapai, opak,
keripik, enyek-enyek, kerupuk, dan tepung. Pengrajin dapat memanfaatkan semua
bagian singkong dengan baik sehingga tidak ada yang terbuang. Kulit singkong
dijadikan pakan ternak, hasil kerikan dari pembuatan tapai diolah menjadi kerupuk,
dan hasil potongan ujung singkong dari pembuatan tapai dikeringkan lalu digiling
27
menjadi tepung. Keahlian mengolah singkong didapat secara turun temurun dari
keluarga dan hasilnya dapat membantu perekonomian keluarga.
Menurut tata wilayah Kabupaten Tangerang, Kecamatan Sepatan Timur
diperuntukkan sebagai kawasan agropolitan. Selain pertanian, industri pengolahan
berbasis pertanian yang ada di daerah tersebut harus dikembangkan untuk
mewujudkan kawasan agropolitan. Pengolahan singkong di Kecamatan Sepatan
Timur masih dalam skala rumah tangga dengan proses pengolahan masih
menggunakan cara dan alat-alat sederhana (tradisional), namun sudah mempunyai
pasarnya sendiri. Kendala yang dihadapi diantaranya yaitu belum adanya
pemanfaatan teknologi informasi, pengemasan yang sangat sederhana, dan belum
adanya pembinaan untuk pengrajin. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji berapa
besar nilai tambah olahan singkong, berapa keuntungan yang didapat pengrajin, dan
bagaimana pengembangan produk singkong yang dipilih agar menjadi fokus
pengemabangan agro-processing di Kecamatan Sepatan Timur.
Menentukan usulan produk yang menjadi fokus pengembangan perlu
dilakukan dengan analisis nilai tambah dan finansial usaha. Analisis nilai tambah
dengan metode Hayami akan memberikan informasi mengenai faktor-faktor
produksi yang menghasilkan, seperti nilai tambah dan rasio nilai tambah yang
didapatkan. Pendapatan usaha dilakukan untuk mengetahui keuntungan atau
kerugian yang diperoleh pengrajin olahan singkong. R/C rasio untuk melihat
apakah usaha olahan singkong tersebut efisiensi atau tidak. Hasil analisis akan
diketahui produk yang memiliki nilai tambah dan pendapatan tertinggi. Produk
dengan nilai tambah dan pendapatan tertinggi akan dianalisis lebih lanjut
28
menggunakan matriks SWOT untuk mengetahui pengembangan produk tersebut di
Kecamatan Sepatan Timur. Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Keterangan :
Input pengumpulan data Alur Proses
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Analisis
SWOT
Analisis Nilai Tambah :
Metode Hayami
Produk dengan Nilai Tambah Tertinggi
dan Pendapatan Tertinggi
P
Analisis Finansial Usaha :
Pendapatan dan Efisiensi
Pengembangan Produk Olahan Singkong
di Kecamatan Sepatan Timur
Produk Bahan Baku
Utama Singkong Utuh
Kerupuk
Singkong
Tepung
Tatal
Tapai
Singkong
Keripik
Singkong
Opak
Singkong
Enyek-
Enyek
Produk Bahan Baku
Sampingan
IRT Pengolahan Singkong di
Kecamatan Sepatan Timur
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang.
Penelitian dilakukan pada bulan April - Desember 2017. Penentuan daerah
penelitian dilakukan secara purposive, yaitu pemilihan lokasi dilakukan secara
sengaja (Supranto, 1974:56) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sepatan
Timur ditetapkan sebagai kawasan agropolitan sesuai dengan Tata Wilayah
Kabupaten Tangerang tahun 2011-2031. Daerah tersebut memiliki agro-processing
olahan singkong yang sudah ada selama bertahun-tahun dengan kemampuan
mengolah singkong yang diwariskan secara turun menurun.
3.2 Metode Penentuan Sampel
Berdasarkan kondisi di lapangan diketahui bahwa di daerah Kecamatan
Sepatan Timur terdapat 84 industri rumah tangga (IRT) olahan singkong. Data ini
diperoleh dari hasil wawancara dengan ketua RT, pengepul singkong, dan IRT
olahan singkong yang ditemui. Jumlah tersebut merupakan gabungan IRT yang
konsisten dan tidak konsisten berproduksi setiap minggu karena terdapat pengrajin
yang hanya berproduksi jika ada pesanan dan di bulan Ramadhan.
Besarnya nilai tambah dipengaruhi oleh kapasitas produksi, jumlah bahan
baku yang digunakan, jumlah tenaga kerja, upah tenaga kerja, harga output, harga
bahan baku, dan nilai output lain. Tenaga kerja, harga output, dan harga bahan baku
adalah homogen karena bernilai sama. Jumlah input singkong yang digunakan
30
sesuai dengan kapasitas produksi dari pengrajin sehingga kriteria untuk total sampel
yang diambil dilihat dari jumlah input dari setiap pengrajin.
Tabel 2. Populasi Industri Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang
No. Produk Olahan
Singkong
Variasi Input
Singkong
Jumlah
Pengrajin
(IRT)
Jumlah
Sampel
(IRT)
1 Tapai Singkong 50 kg, 70 kg, 100 kg,
150 kg, 200 kg, 300 kg 30 6
2 Opak 8 kg, 10 kg 19 2
3 Enyek-enyek 15 kg, 30 kg, 60 kg 5 3
4 Keripik 10 kg 11 1
5 Kerupuk 5 kg, 10 kg 9 2
6 Tepung 50 kg 10 1
Total IRT Olahan Singkong 84 15
Sumber : Data Primer (2017)
Populasi yang ada diklasifikasikan sesuai dengan jenis produk dan jumlah
input singkong yang digunakan, kemudian diambil sampel dari masing-masing
variasi input singkong. Total sampel ditentukan secara purposive karena populasi
cukup homogen, sehingga didapatkan total sampel yang diambil berdasarkan
variasi input berjumlah 15 IRT sesuai dengan Tabel 2. Menurut Eriyanto
(2007:279) untuk populasi yang anggotanya cukup seragam tidak diperlukan
jumlah sampel yang besar, bahkan cukup mengambil satu sampel sehingga peneliti
mengambil satu sampel dari setiap variasi input singkong yang digunakan.
Penarikan sampel ditentukan dengan cara snowball sampling, yaitu teknik
penarikan sampel dengan cara sampel yang dipilih pertama akan diminta untuk
memilih sampel berikutnya dan seterusnya sampai data dirasa cukup memadai
untuk menjawab permasalahan penelitian (Narbuko dan Achamdi, 2010:116).
31
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang mengandung angka-angka atau
numerik tertentu (Juliandi dkk, 2014:85), dalam penelitian ini berupa data untuk
menghitung nilai tambah produk (jumlah output per produksi, jumlah bahan baku
yang digunakan per produksi, jumlah tenaga kerja, harga produk, biaya bahan baku,
biaya bahan penunjang), data untuk menghitung pendapatan produk (biaya
produksi, biaya pemasaran, dan biaya penyusutan alat), serta data untuk
pengembangan (data produksi singkong dan data lahan Kecamatan Sepatan Timur
dan Kabupaten Tangerang). Data untuk menghitung nilai tambah dan pendapatan
didapat dari hasil wawancara dengan pengrajin olahan singkong. Data produksi
singkong dan lahan Kecamatan Sepatan Timur didapat dari Dinas Pertanian
Kabupaten Tangerang.
Tabel 3. Data Narasumber Wawancara
No. Nama Jabatan Instansi
1 Lidia Sinabang Staf Bagian Produksi
Tanaman Pangan
Dinas Pertanian
Kabupaten Tangerang
2 Dewiyanti
Kepala Bagian Fasilitas
dan Kelembagaan
Usaha Mikro
Dinas Koperasi dan
UMKM Kabupaten
Tangerang
3 Asmati
Kepala Bagian Aneka
Usaha dan
Kewirausahaan
Dinas Koperasi dan
UMKM Kabupaten
Tangerang
4 Syafreen Nuraeni Owner Usaha ‘Keripik Dalma’
32
Data kualitatif adalah data bukan angka (Juliandi dkk, 2014:85). Data
kualitatif digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang ada untuk pengembangan produk olahan singkong di Kecamatan
Sepatan Timur. Data kualitatif dalam penelitian ini didapat dari hasil wawancara
secara lisan dengan narasumber dari pengrajin olahan singkong, Dinas Pertanian
Kabupaten Tangerang serta Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang
sesuai dengan Tabel 3.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab antara peneliti dengan responden (Supranto,
1974:57). Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
sudah disiapkan sebelumnya serta wawancara mendalam sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan penelitian. Daftar pertanyaan dibuat agar wawancara lebih terarah dan
hasilnya sesuai dengan tujuan peneliti. Hasil wawancara dengan pengrajin
menghasilkan data kuantitatif (data nilai tambah dan data pendapatan) serta data
kualitatif untuk analisis SWOT. Hasil wawancara dengan Dinas Pertanian
Kabupaten Tangerang, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang, dan
pengusaha olahan singkong menghasilkan data kualitatif untuk analisis SWOT.
2. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang tidak
hanya sebatas pada orang tetapi juga objek-objek yang lain. Dalam penelitian ini,
33
peneliti melakukan observasi partisipan, yaitu pengamatan dengan terjun langsung
dan berinteraksi serta mengumpulkan data dalam lingkungan yang diobservasi
(Nasution dalam Sugiyono, 2009:310). Peneliti melakukan observasi langsung
yang berkenaan dengan aktivitas produksi olahan singkong dengan mengamati
proses produksi mulai dari cara pembuatan, penggunaan bahan, dan penggunaan
alat-alat yang bertujuan untuk mencocokkan jawaban dari hasil wawancara kepada
pengrajin dengan realita di lapangan.
3. Studi Pustaka
Mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan topik penelitian,
antara lain buku, hasil-hasil penelitian, artikel, BPS, Kementerian Perindustrian,
dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh ditabulasi terlebih dahulu kemudian diolah
menggunakan Microsoft Excel sehingga diketahui nilai tambah, pendapatan, dan
efisiensi pengolahan singkong, kemudian hasil perhitungan dideskripsikan.
Analisis data dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu analisis kuantitatif dan analisis
kualitatif. Analisis kuantitatif berupa analisis nilai tambah, analisis pendapatan
usaha, dan analisis efisiensi usaha, sedangkan analisis kualtitatif berupa analisis
SWOT mengenai pengembangan produk olahan singkong di Kecamatan Sepatan
Timur.
3.5.1 Analisis Nilai Tambah
Metode analisis data yang digunakan untuk menghitung nilai tambah adalah
34
metode Hayami seperti pada Tabel 4 karena dengan metode Hayami, informasi
yang akan didapatkan lebih banyak. Analisis nilai tambah metode Hayami
menghasilkan output atau informasi yang terdiri dari:
1. Nilai tambah dalam rupiah (Rp)
2. Rasio nilai tambah terhadap jumlah produk yang dihasilkan dengan persen
(%), menunjukkan persentase nilai tambah dari produk.
3. Imbalan tenaga kerja dalam rupiah (Rp), menunjukkan upah yang diterima
tenaga kerja langsung.
4. Bagian tenaga kerja dalam persen (%), persentase imbalan tenaga kerja dari
nilai tambah.
5. Keuntungan perusahaan dalam rupiah (Rp), menunjukkan bagian yang
diterima pemilik.
6. Tingkat keuntungan dalam persen (%), menunjukkan persentase keuntungan
terhadap nilai tambah.
7. Marjin dalam rupiah (Rp), menunjukkan kontribusi pemilik faktor produksi
selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi.
Menurut Hubeis dalam Nabilah, dkk (2015:14) terdapat tiga indikator rasio
nilai tambah yaitu :
1. Jika besarnya rasio nilai tambah kurang dari 15%, maka nilai tambahnya
rendah.
2. Jika besarnya rasio nilai tambah 15% - 40%, maka nilai tambahnya sedang.
3. Jika besarnya rasio nilai tambah lebih dari 40%, maka nilai tambahnya tinggi.
35
Tabel 4. Kerangka Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami
Variabel
Nilai
Output, Input, dan Harga
1. Output (Kg/hari)
2.
A
2. Bahan Baku (Kg/hari) B
3. Tenaga Kerja (jam/hari) C
4. Faktor Konversi D = A/B
5. Koefisien Tenaga Kerja (jam/kg) E = C/B
6. Harga Output (Rp/Kg) F
7. Upah Rata-rata Tenaga Kerja (Rp/jam) G
Pendapatan dan Keuntungan
8. Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H
9. Harga Input Lain (Rp/Kg) I
10. Nilai Output (Rp/Kg) J = D×F
11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I
b. Rasio Nilai Tambah (%) L% = ((K/J)×100%)
12. a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/Kg) M = E×G
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) N% = ((M/K)×100%)
13. a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K-M
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = ((O/J)×100%)
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg) Q = J-H
a. Imbalan tenaga kerja (%) R% = M/Q×100%
b. Sumbangan Input Lain (%) S% = I/Q×100%
c. Keuntungan Perusahaan (%) T% = O/Q×100%
Sumber: Marimin dan Maghfiroh (2010)
3.5.2 Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usaha
Analisis data yang digunakan untuk mengetahui pendapatan dan efisiensi
usaha digunakan analisis sebagai berikut:
36
1. Struktur Penerimaan
Penerimaan menurut Soekartawi (2016:54) adalah perkalian antara produksi
yang diperoleh dengan harga jual, dituliskan secara matematis sebagai berikut:
TR = Y. Py
Keterangan :
TR = Total penerimaan
Y = Jumlah produksi (kg)
Py = Harga output (Rp/kg)
2. Struktur Biaya Usaha
Biaya usaha adalah total dari biaya tetap dan biaya tidak tetap (Soekartawi,
2016:57). Secara matematis dituliskan sebagai berikut :
TC = FC + VC
Keterangan :
TC = Total cost
FC = Fixed cost (biaya tetap)
VC = Variable cost (biaya tidak tetap)
3. Penyusutan Alat
Biaya penyusutan alat dihitung dengan metode garis lurus dengan rumus :
D = 𝑁𝑏−𝑁𝑠
𝑁
Keterangan :
D = Decrease / Penyusutan (Rp/hari)
Nb = Nilai baru
Ns = Nilai sisa
37
N = Usia ekonomis
4. Pendapatan Usaha
Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan total biaya usaha (Soekartawi,
2016:58), yang dituliskan :
Pd = TR –TC
Keterangan :
Pd = Pendapatan usaha
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
5. Analisis Efisiensi Usaha
Perhitungan efisiensi usaha digunakan Revenue Cost Ratio (R/C Ratio). R/C
rasio adalah perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Secara
matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016:85) :
R/C rasio = TR/TC
Keterangan :
Jika R/C > 1 maka usaha olahan singkong efisien.
Jika R/C < 1 maka usaha olahan singkong tidak efisien.
Jika R/C = 1 maka usaha olahan singkong impas, yaitu usaha memberikan
jumlah penerimaan yang sama dengan jumlah yang dikeluarkan.
3.5.3 Penentuan Nilai Tengah atau Median (Me)
Nilai tengah adalah nilai yang tepat berada di tengah susunan bilangan.
Sebagai contoh, jika kita mempunyai hasil observasi yang terdiri dari nilai 7, 3, 6,
38
11, 5, kemudian menyusunnya kembali mulai dari yang terendah hingga tertinggi,
diperoleh 3, 5, 6, 7, 11. Nilai tengah dari hasil observasi adalah 6 (Gujarati,
2006:95).
Dalam penelitian ini, nilai tengah ditentukan dari hasil analisis nilai tambah
per produk dan analisis pendapatan per produk. Hasil nilai tengah dari setiap produk
akan dibandingkan dan dilihat nilai yang tertinggi sehingga mendapatkan produk
dengan nilai tambah tertinggi dan pendapatan tertinggi. Produk dengan nilai tambah
tertinggi dan pendapatan tertinggi akan diusulkan untuk fokus pengembangan
industri.
3.5.4 Analisis SWOT
SWOT adalah akronim untuk kekuatan (Strenghts), kelemahan (Weakness),
peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) dari lingkungan eksternal
perusahaan. Menurut Rangkuti (2008:47), SWOT digunakan untuk menilai
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan serta peluang dan ancaman yang
dihadapi di lingkungan eksternal perusahaan.
1. Kekuatan (Strenghts)
Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan, atau keungulan-keungulan lain
yang berhubungan dengan para pesaing dan kebutuhan pasar yang diharapkan
dapat dilayani oleh perusahaan dan memberikan keunggulan kompetitif bagi
perusahaan di pasar.
2. Kelemahan (Weakness),
Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan perusahaan yang secara efektif
menghambat kinerja. Keterbatasan tersebut dapat berupa fasilitas, sumber daya
39
keuangan, kemampuan manajemen dan keterampilan pemasaran dapat
merupakan sumber dari kelemahan perusahaan.
3. Peluang (Opportunities)
Peluang adalah situasi penting yang mengguntungkan dalam lingkungan
perusahaan, seperti perubahaan teknologi dan meningkatnya hubungan antara
perusahaan dengan pembeli atau pemasokk merupakan gambaran peluang bagi
perusahaan.
4. Ancaman (Threats)
Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungan dalam lingkungan
perusahaan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi sekarang atau
yang diinginkan perusahaan. Adanya peraturan-peraturan pemerintah yang baru
atau yang direvisi dapat menjadi ancaman bagi kesuksesan perusahaan.
Gambar 3. Diagram Analisis SWOT (Rangkuti, 2008)
Ancaman
Peluang
Kekuatan
Internal
Kelemahan
Internal
3. Mendukung strategi turn
around
1. Mendukung strategi agresif
4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukung strategi
diversifikasi
40
Hasil analisis kekuatan (Strenghts) kelemahan (Weakness), peluang
(Opportunities), dan ancaman (Threats) dapat dirumuskan strategi yang dapat
digunakan perusahaan. Akan terbentuk empat kuadran yang dapat dipilih
perusahaan, yaitu (Rangkuti, 2008:19-20) :
1. Kuadran 1 : Merupakan situasi yang sangan menguntungkan. Perusahaan
memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang
ada. Strategi yang harus diterapkan mendukung kebijikan pertumbuhan yang
agresif (Growth oriented strategy).
2. Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan masih
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan
cara strategi diversifikasi (produk/pasar).
3. Kuadran 3 : Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi
menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan
adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat
merebut peluang pasar lebih baik dengan melakukan permbenahan/perbaikan
terhadap kondisi perusahaan saat ini.
4. Kuadran 4 : Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan. Perusahaan
tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Perusahaan
harus membuat strategi untuk dapat tetap bertahan.
Strategi pengembangan awal menggunakan matriks SWOT yang berguna
untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan produk olahan singkong di
Kecamatan Sepatan Timur. Menurut Rangkuti (2008:31), Matriks SWOT dapat
41
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki sehingga menghasilkan empat set kemungkinan altenatif strategis, sesuai
pada Tabel 5.
Tabel 5. Matriks SWOT
Internal
Eksternal
Kekuatan
(Strenghts – S)
Daftar kekuatan internal
Kelemahan
(Weakness – W)
Daftar kelemahan internal
Peluang
(Oppurtunities – O)
Daftar peluang
eksteral
Strategi SO
Menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang
Strategi WO
Mengatasi kelemahan
dengan memanfaatkan
peluang
Ancaman
(Threats – T)
Daftar ancaman
eksternal
Strategi ST
Menggunakan kekuatan
untuk menghindari ancaman
Strategi WT
Meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti, 2008
3.6 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah pengertian, batasan, dan ruang lingkup
penelitian guna memudahkan pemahaman dalam menganalisis data yang
berhubungan dengan penelitian. Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:
1. Produk olahan singkong yaitu berupa tapai singkong, opak, enyek-enyek,
keripik, kerupuk, dan tepung gaplek yang dihasilkan dari proses produksi
dengan bahan singkong mentah menjadi bahan konsumsi yang dihitung dalam
satuan kg.
42
2. Industri rumah tangga adalah industri yang menggunakan tenaga kerja
maksimal empat orang.
3. Nilai tambah adalah perubahan nilai yang terjadi karena adanya perlakuan
terhadap suatu input pada proses produksi.
4. Input adalah bahan baku utama yang digunakan dalam satu kali proses produksi
dihitung dalam satuan kg.
5. Output adalah produk olahan singkong yang dihasilkan dalam satu kali proses
produksi dihitung dalam satuan kg.
6. Tenaga kerja adalah jumlah pekerja yang telibat dan waktu yang diperlukan
dalam produksi olahan singkong satu kali produksi, dinyatakan dalam HOK.
7. Koefisien tenaga kerja adalah hasil bagi dari tenaga kerja dengan bahan baku.
8. Upah rata-rata tenaga kerja adalah perbandingan jumlah upah yang dibar
dengan jumlah tenaga kerja dalam satu kali proses produksi (Rp/HOK). Upah
tenaga kerja menggunakan asumsi sama dengan upah minumum buruh tani di
Kecamatan Sepatan Timur, yaitu Rp 70.000 per 8 jam atau Rp8.750/jam.
9. Faktor konversi adalah besarnya produk olahan singkong yang dihasilkan dari
mengolah satu kilogram singkong (jumlah output dibagi jumlah input).
10. Harga output adalah harga jual produk olahan singkong per kilogram di daerah
penelitian.
11. Harga bahan baku adalah harga beli bahan baku singkong per kilogram di
daerah penelitian.
12. Harga input lain adalah biaya selain bahan baku dan tenaga kerja yang
dikeluarkan untuk memproduksi produk olahan singkong per kilogram.
43
13. Nilai output adalah nilai yang produk olahan singkong yang dihasilkan dari
penggunaan satu kilogram singkong.
14. Nilai tambah adalah hasil selisih nilai output dengan bahan baku singkong dan
input lain. Nilai ini merupakan keuntungan kotor yang diperoleh dari
pengolahan produk olahan singkong.
15. Rasio nilai tambah menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk.
16. Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh kuantitas produksi.
17. Biaya variabel adalah biaya yang akan berubah mengikuti kuantitas produksi.
18. Pendapatan adalah penerimaan dari penjualan olahan singkong yang dikurangi
dengan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi, dinyatakan
dalam satuan rupiah (Rp).
19. Efisiensi usaha adalah besarnya perbandingan antara total penerimaan dengan
total biaya atau R/C ratio. Perusahaan dikatakan efisien jika mampu
menghasilkan output yang lebih besar dengan menggunakan input tertentu.
20. Agroindustri adalah industri pengolahan yang berbahan baku utama produk
pertanian.
21. Pengembangan produk yaitu strategi pertumbuhan usaha dengan menawarkan
produk baru atau yang dimodifikasi untuk segmen pasar sekarang dan segmen
pasar yang baru.
44
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Kondisi Umum Kecamatan Sepatan Timur
Secara umum kondisi topografi wilayah Kecamatan Sepatan Timur
merupakan dataran rendah dengan ketinggian 24-25 meter di atas permukaan laut.
Total jumlah penduduk pada tahun 2015 yaitu 90.852 orang. Kecamatan Sepatan
Timur secara admnistratif terdiri dari 8 Desa yaitu Lebak Wangi, Kedaung Barat,
Jati Mulya, Tanah Merah, Sangiang, Gempol Sari, Pondok Kelor, dan Kampung
Kelor dengan luas wilayah keseluruhan 19,06 km2.
Tabel 6. Luas Wilayah Menurut Penggunaan di Kecamatan Sepatan Timur
Desa/Kelurahan Luas Lahan (Ha)
Sawah Darat Jumlah
Lebak Wangi 256,1 223,9 480,0
Kedaung Barat 101,7 85,5 187,2
Jati Mulya 77,5 66,3 143,8
Tanah Merah 98,5 115,7 214,2
Sangiang 138,3 85,7 224,0
Gempol Sari 133,2 163,6 296,8
Pondok Kelor 65,2 107,8 173,0
Kampung Kelor 82,6 104,7 187,3
Jumlah 953,1 953,2 1906,3
Sumber : Kecamatan Sepatan Timur dalam Angka, 2016
Lahan pertanian di Kecamatan Sepatan Timur memiliki sekitar 953,1 Ha
sawah. Desa yang memiliki lahan sawah terluas yaitu Desa Lebak Wangi, Desa
Sangiang, dan Desa Gempol Sari. Luas wilayah menurut penggunaan dapat dilihat
pada Tabel 6. Komodi yang ditanam yaitu padi, sayuran daun (bayam, kangkong,
45
dan caisim), pare, terong, dan bawang merah. Industri pengolahan terbanyak di
daerah tersebut adalah industri rumah tangga (IRT) pengolahan singkong menjadi
tapai, opak, enyek-enyek, keripik, kerupuk, dan tepung.
Sesuai dengan data dari Statistik Daerah Kecamatan Sepatan Timur Tahun
2016, batas wilayah Kecamatan Sepatan Timur yaitu :
Sebelah Utara : Kecamatan Pakuhaji
Sebelah Barat : Kota Tangerang
Sebelah Barat : Kecamatan Sepatan
Sebelah Selatan : Kota Tangerang
4.2 Sejarah IRT Olahan Singkong
Industri rumah tangga olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur sudah
berkembang secara turun temurun. Tidak diketahui secara pasti kapan dan siapa
yang memulai memproduksi olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara langsung dengan pelaku
usaha olahan singkong dan pengepul singkong di daerah tersebut, dari sebelum
adanya pengepul singkong tahun 1990, sudah terdapat industri olahan singkong
walaupun jumlahnya tidak banyak. Seiiring berjalannya waktu, pengrajin
pengolahan singkong di daerah tersebut semakin banyak. Dari yang awalnya hanya
mengolah tapai singkong lalu berkembang dengan adanya pengolahan keripik
singkong dan opak singkong. Kemudian masyarakat juga memanfaatkan sisa yang
dihasilkan dari pengolahan tapai, yaitu kerikan dari singkong diolah menjadi
kerupuk dan potongan ujung singkong diolah menjadi tepung.
46
Alasan beberapa masyarakat memilih usaha olahan singkong karena hanya
itu keahlian yang dikuasai dan diajarkan turun temurun. Menurut pengrajin, hasil
yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tidak semua desa
di daerah Kecamatan Sepatan Timur terdapat industri olahan singkong. Saat ini,
desa yang terdapat industri olahan singkong yaitu Desa Kampung Kelor, Desa
Pondok Kelor, Desa Jati Mulya, dan Desa Gempol Sari.
4.3 Produksi Olahan Singkong
Proses olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur menggunakan
teknologi tradisional dengan mengandalkan alat-alat sederhana dan bantuan sinar
matahari untuk pengeringan. Jangkauan pemasarannya masih di Kecamatan
Sepatan Timur dan sekitarnya dengan harga produk yang sangat terjangkau untuk
semua segmen. Berikut produksi olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur dari
hasil pengamatan selama penelitian.
a. Tapai Singkong
Tapai singkong yang dijual dari hasil pemeraman singkong dengan ragi
selama 2 hari. Berikut adalah proses pembuatan tapai singkong sesuai dengan Tabel
7 dan Gambar 4:
1. Pengupasan : bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Kulit
singkong yang dihasilkan digunakan untuk pakan ternak.
2. Pemotongan ujung singkong : setiap ujung singkong dipotong agar bersih dari
tulang singkong. Pemotongan dilakukan agar tapai yang dihasilkan bagus.
3. Pencucian : daging singkong dicuci bersih dengan air untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada daging singkong.
47
Tabel 7. Proses Pembuatan Tapai Singkong
Input
Utama
Input
Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Singkong
- Pengupasan
Kulit Pisau Kulit -
-
Pemotongan
ujung
singkong
Pisau -
Potongan
ujung
singkong
Air Pencucian Ember,
spons - -
- Pengerikan Pisau,
ember -
Kerikan
singkong
Air Pencucian Ember - -
Air, Kayu
Bakar Perebusan
Kuali,
Saringan - -
- Pendinginan - - -
Ragi Peragian - - -
Koran, kertas
nasi/daun
pisang
Penyimpanan Bakul,
Keranjang
Tapai
Singkong -
4. Pengerikan : dilakukan dengan alat kerik yang dibuat dari bambu, dilakukan di
dalam rendaman air di baskom agar hasil kerikan tidak berceceran. Pengerikan
bertujuan untuk menghilangkan kulit bagian dalam dari singkong.
5. Pencucian : dicuci kembali agar benar-benar bersih dari kotoran dan kerikan.
6. Perebusan : singkong kemudian direbus dengan air sekitar 10 menit agar
menjadi empuk. Proses perebusan menggunakan kayu bakar.
7. Pendinginan : singkong yang selesai direbus kemudian didinginkan di udara
terbuka sebelum dilakukan peragian agar
8. Peragian : ragi dibungkus di dalam kain kemudian dipukul pukulkan ke seluruh
daging singkong satu per satu. Cara ini dilakukan agar ragi dapat menempel
merata ke seluruh badan singkong.
48
9. Penyimpanan : singkong yang sudah diberi ragi dipotong-potong menjadi
beberapa bagian lalu disimpan di dalam keranjang yang telah dilapisi koran dan
kertas nasi, ditutup rapat dengan kertas nasi dan koran. Singkong tersebut
disimpan selama 2 hari sampai masak menjadi tapai sebelum dijual ke pasar.
Gambar 4. Alur Proses Produksi Tapai Singkong
Tapai singkong biasanya di jual ke pasar terdekat, seperti pasar anyar, pasar
baru, pasar malabar, cikokol, dan daerah sekitar Kecamatan Sepatan Timur. Tapai
singkong dijual dengan harga Rp 8.000/kg dan tapai yang sudah jadi dalam sekali
49
produksi akan habis terjual dalam sehari. Pembeli biasanya adalah pedagang es,
pedagang gorengan, pedagang kue, pengunjung pasar, dan pedagang tapai keliling.
b. Keripik Singkong
Keripik singkong yang dijual adalah keripik singkong setengah matang
yang nantinya harus digoreng terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Keripik yang
dihasilkan tidak memakai bumbu sehingga pembeli dapat memberikan bumbu rasa
sesuai selera. Cara pembuatannya yaitu :
Tabel 8. Proses Pembuatan Keripik Singkong
Input
Utama
Input
Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Singkong
- Pengupasan
Kulit Pisau - -
Air Pencucian Ember - -
Air, Kayu
Bakar Perebusan
Kuali,
Serokan - -
- Pendinginan Ember - -
- Pengirisan Pisau - -
- Penjemuran Sasak Keripik
Singkong -
1. Pengupasan kulit : dilakukan menggunakan pisau sampai semua kulit singkong
terpisah dengan daging.
2. Pencucian : singkong yang telah dikuliti kemudian dicuci bersih dengan air
sampai tidak ada lagi kotoran yang menempel.
3. Perebusan : singkong direbus sekitar 10-15 menit hingga singkong menjadi
empuk.
4. Pengirisan : singkong yang sudah empuk diiris tipis memanjang dengan
menggunakan pisau dan disusun satu persatu diatas tampah.
50
5. Penjemuran : Irisan singkong dijemur hingga kering dibawah sinar matahari
sekitar 3-4 jam. Setelah kering, keripik singkong dapat langsung dijual.
Keripik singkong dijual ke tengkulak yang setiap harinya datang ke setiap
rumah pengrajin. Keripik singkong dijual dengan harga Rp 2.500/liter. Tengkulak
tersebut akan menjual keripik yang dibeli ke pasar-pasar sekitar Kecamatan Sepatan
Timur.
c. Opak Singkong
Opak yang dijual adalah opak yang belum matang yang harus digoreng
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Cara pembuatannya sesuai Tabel 9 dan
Gambar 5, yaitu :
Tabel 9. Proses Pembuatan Opak Singkong
Input
Utama Input Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Singkong
Pengupasan
Kulit Pisau - -
Air Pencucian Ember - -
Air, Kayu Bakar Perebusan Kuali,
Saringan - -
Penumbukan Tumbukan - -
Garam, bawang putih, ketumbar
yang dihaluskan
dan potongan
daun kucai
Pemberian Bumbu
Ember,
cobek, papan
kayu
- -
Minyak goreng Pencetakan
Papan kayu,
gilingan,
mangkok
- -
Penjemuran Geribik Opak
Singkong -
1. Pengupasan kulit : dilakukan dengan pisau hingga badan singkong bersih dari
kulit luar.
2. Pencucian : daging singkong kemudian dicuci bersih dengan air sampai tidak
ada lagi kotoran yang menempel.
51
3. Perebusan : singkong kemudian direbus sekitar 15 menit hingga singkong
menjadi empuk.
4. Penumbukan : singkong yang sudah empuk ditumbuk hingga halus agar mudah
dicetak.
5. Pemberian Bumbu : tumbukan singkong lalu diberi bumbu yaitu garam, bawang
putih dan ketumbar yang sudah dihaluskan untuk menambah cita rasa, serta
potongan daun kucai untuk menambah warna.
6. Pencetakan : adonan dicetak dengan cara dipipihkan dengan digiling
menggunakan gilingan kayu hingga tipis kemudian dicetak dengan mangkok
sehingga berbentuk bulat.
7. Penjemuran : hasil cetakan opak dijemur dibawah sinar matahari hingga kering,
3-4 jam. Opak yang sudah kering siap untuk dijual.
Gambar 5. Alus Proses Pembuatan Opak Singkong
52
Opak yang dihasilkan pengrajin dijual ke tengkulak yang tiap harinya
datang ke setiap rumah yang memproduksi opak. Opak dijual pe ikat (10 lembar
opak) dengan harga Rp 2.000/ikat. Opak yang dibeli tengkulak akan dijual kembali
ke pasar-pasar yang ada di Kecamatan Sepatan Timur dan sekitarnya.
d. Enyek-enyek
Enyek-enyek yang dijual adalah enyek-enyek yang belum matang yang
harus digoreng terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Cara pembuatannya yaitu :
Tabel 10. Proses Pembuatan Enyek-Enyek
Input
Utama Input Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Singkong
- Pengupasan
Kulit Pisau - -
Air Pencucian Ember - -
Bahan bakar Pemarutan Mesin Parut - -
Garam, penyedap rasa,
bawang putih,
ketumbar yang dihaluskan serta
irisan cabai dan
daun kucai
Pemberian
Bumbu
Ember, cobek,
pisau,
papan kayu
- -
Air, gas Pengukusan Kukusan, Kompor
- -
Minyak goreng Pencetakan
Papan kayu,
gilingan, mangkok
- -
- Penjemuran Sasak Enyek-
enyek -
[[
1. Pengupasan kulit : singkong dikupas dari kulitnya menggunakan pisau hingga
bersih.
2. Pencucian : singkong yang telah dikuliti kemudian dicuci bersih dengan air
sampai tidak ada lagi kotoran yang menempel.
3. Pemarutan : singkong diparut dengan mesin parut yang dibuat oleh
pengrajinPemberian bumbu : hasil parutan singkong lalu diberi bumbu yaitu
53
garam, penyedap rasa, bawang putih dan ketumbar yang sudah dihaluskan
untuk menambah cita rasa enyek-enyek. Potongan cabai dan daun kucai untuk
menambah warna enyek-enyek.
4. Pengukusan : adonan kemudian digulung dalam plastik lalu dikukus selama 10-
20 menit agar matang.
5. Pencetakan : adonan dicetak dengan cara dipipihkan dengan digiling
menggunakan gilingan bambu hingga tipis kemudian dicetak dengan mangkok
sehingga berbentuk bulat.
6. Penjemuran : hasil cetakan opak dijemur dibawah sinar matahari hingga kering,
sekitar 3-4 jam. Enyek-enyek yang sudah kering siap untuk dijual.
Sama seperti opak, enyek-enyek dijual ke tengkulak yang datang dengan
harga Rp 2.000 per ikat atau 10 lembar enyek-enyek. Tengkulak setiap hari rutin
mendatangi tiap pengrajin untuk membeli enyek-enyek. Enyek-enyek tersebut juga
akan dijual kembali ke pasar-pasar atau daerah Kecamatan Sepatan Timur dan
sekitarnya.
e. Kerupuk
Kerupuk singkong dibuat dari output sampingan dari pembuatan tapai yaitu
dari hasil kerikan singkong. Kerupuk dijual dalam keadaan mentah. Cara
pembuatannya yaitu :
1. Pendiaman kerikan selama satu malam : kerikan didiamkan selama semalam
untuk menghilangkan rasa asam pada kerikan.
2. Pemberian bumbu dan warna : kerikan singkong dibuat adonan dengan
menambahkan garam, penyedap rasa, dan aci yang dihasilkan dari endapan air
54
kerikan singkong. Semua bumbu diaduk rata hingga menjadi adonan. Ambil
sebagian adonan kemudian tambahkan pewarna makan, setelah itu gabungkan
dengan yang tidak diberi pewarna kemudian dibungkus dengan plastik.
Tabel 11. Proses Pembuatan Kerupuk Singkong
Input
Utama Input Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Kerikan Singkong
- Pediaman
semalam Plastik - -
Garam,
ketumbar,
penyedap rasa, bawang putih,
aci, dan
pewarna
makanan
Pemberian bumbu dan
warna
Ember,
cobek - -
Air, kayu bakar Pengukusan
Plastik
bening,
kukusan
- -
- Pendinginan - - -
Minyak goreng Pencetakan
Papan kayu,
gilingan,
mangkok
- -
- Penjemuran Sasak Kerupuk Singkong
-
3. Pengukusan : adonan lalu dikukus sekitar 25 menit.
4. Pendinginan : adonan yang sudah dikukus dibiarkan hingga suhunya kembali
normal untuk memudahkan proses pencetakan.
5. Pencetakan : adonan lalu dicetak dengan menggiling sedikit demi sedikit
adonan dengan gilingan bambu hingga tipis.
6. Penjemuran : hasil cetakan kerupuk tersebut dijemur sampai kering, sekitar 3-
4 jam sebelum dijual.
Sama seperti keripik, kerupuk hasil kerikan singkong dijual per liter dengan
harga Rp 2.000 kepada tengkulak. Tengkulak setiap hari rutin mendatangi pengrajin
55
untuk membeli kerupuk. Kerupuk tersebut juga akan dijual kembali ke pasar-pasar
atau daerah Kecamatan Sepatan Timur dan sekitarnya.
f. Tepung Gaplek
Tepung gaplek atau yang biasa disebut oleh pengrajin tepung tatal berasal
dari output sampingan dari pembuatan tapai yaitu potongan ujung singkong. Cara
pengolahannya pun cukup mudah, yaitu :
Tabel 12. Proses Pembuatan Tepung Gaplek/Tatal
Input Utama Input
Lainnya Proses Alat Output
Output
Sampingan
Potongan ujung singkong
Air Pencucian Ember - -
- Penjemuran Karung
untuk alas -
-
- Penggilingan
Mesin
penggiling,
karung
Tepung
Singkong
-
1. Pencucian : potongan ujung singkong dicuci sampai bersih.
2. Penjemuran : potongan ujung singkong dikeringkan dengan cara dijemur
selama sekitar 2 hari di bawah sinar matahi. Penjemuran dilakukan oleh
pengrajin tapai. Pengrajin tepung biasanya berkeliling ke tempat pengrajin tapai
untuk membeli gaplek/tatal yang sudah kering. Tatal/gaplek dijual per bakul.
Untuk satu karung ukuran 50 kg dibutuhkan empat bakul tatal.
3. Penggilingan : pengrajin tepung kemudian membawa hasil tatal/gaplek yang
sudah dikumpulkan dalam satu karung. Tempat penggilingan mematok harga
perkarung sehingga setiap pengrajin tepung menggiling jika potongan ujung
singkong kering sudah terkumpul satu karung ukuran 50 kg.
Tepung dijual per liter dengan harga Rp 4.000. Pengrajin sendirilah yang
menjual tepung ke pasar-pasar tradisional. Pembeli tepung tatal adalah pedagang
56
kue atau pengunjung pasar tradisional. Penggilingan biasanya hanya dilakukan dua
kali dalam seminggu karena butuh waktu untuk mengumpulkan tatal atau ujung
singkong dari setiap pengrajin tapai.
Gambar 6. Alur Proses Pembuatan Tepung Gaplek/Tatal
4.4 Pengadaan Bahan Baku
Singkong yang digunakan untuk bahan baku utama yaitu jenis singkong
mentega. Menurut Atarlina dalan Djafaar dan Siti (2003:14) singkong mentega
memang memiliki tektur remah dan rasa yang enak sehingga dianggap paling cocok
untuk diolah menjadi berbagai macam makanan. Selain singkong mentega,
singkong yang kadang juga dipakai oleh pengrajin yaitu singkong putih.
Penggunaan jenis singkong tergantung pada pengepul yang menurunkan singkong.
Singkong yang digunakan berasal dari daerah Bogor yang hampir setiap hari
dikirim ke Kecamatan Sepatan Timur. Biasanya singkong sampai pada siang hari
dan langsung habis dibeli oleh pengrajin hari itu juga. Terdapat dua pengepul
singkong yang ada di Kecamatan Sepatan Timur, yaitu di Desa Gempol Sari dan
57
Pasar Sepatan Timur. Pengepul singkong di Desa Gempol Sari khusus menurunkan
singkong untuk dibeli pengrajin olahan singkong, sedangkan pengepul singkong di
pasar dibeli pengrajin singkong dan masyarakat lain yang bukan pengrajin.
Pengepul singkong konsisten mendatangkan singkong 1,5 – 3 ton tiap harinya dan
di bulan Ramadhan penurunan singkong bertambah dua kali lipat. Singkong
tersebut dibeli dari pengepul singkong yang ada di Bogor.
Gambar 7. Alur Pengiriman Bahan Baku Singkong
Segi kontinuitas dan kuantitas bahan baku, pengepul hampir setiap hari
menurunkan singkong sehingga pengrajin tidak merasa kesulitan mendapatkan
singkong. Namun, pada tahun 2013 terjadi kesulitan untuk mendapatkan bahan
baku karena kekeringan sehingga pengepul dari Bogor hanya membawa singkong
dengan jumlah yang sedikit atau bahkan tidak mengirimkan singkong. Pengrajin
tetap berproduksi namun disesuaikan dengan singkong yang ada, bahkan beberapa
pengrajin saat itu beralih profesi karena sulitnya mendapatkan bahan baku. Setelah
tahun 2013 sampai sekarang, ketersediaan singkong mulai stabil kembali dan
58
singkong diturunkan hampir setiap hari dengan jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pengrajin. Singkong dijual oleh pengepul dengan harga Rp
2.600/kg.
4.5 Karakteristik Sampel
Pada Tabel 13, pendidikan pengrajin paling tinggi adalah Sekolah Dasar
(SD) dengan usia rata-rata diatas 30 tahun. Pengrajin mengaku belum pernah
mengikuti pembinaan untuk mengembangkan usahanya. Selama ini, pengrajin
berproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Penguasaan
pengrajin dengan teknologi informasi seperti smartphone sangat minim karena
sejak dulu tidak terbiasa menggunakan handphone.
Pengrajin Kecamatan Sepatan Timur memiliki kelebihan dari segi sumber
daya manusia yang mempunyai keahlian dan kuantitas produksi yang cukup tinggi
bila digabungkan. Sumber daya manusia (SDM) untuk mengolah singkong yang
memadai merupakan potensi daerah yang bisa dikembangkan. Namun, pendidikan
yang rendah dan belum adanya pembinaan membuat usaha warga tidak
berkembang walaupun industri rumah tangga (IRT) olahan singkong sudah ada
selama puluhan tahun. Jika tidak didukung oleh pemerintah, nantinya IRT olahan
singkong di Kecamatan Sepatan Timur bisa hilang karena sebagian besar pengrajin
adalah orangtua dan kurangnya minat remaja daerah tersebut untuk melanjutkan
usaha orang tuanya. Orangtua lebih mengharapkan anaknya untuk bekerja di bidang
lain.
59
Tabel 13. Data Sampel Pengrajin Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan Timur
No. Nama Jenis
Kelamin Umur Desa
Pendidikan
Terakhir
Jenis
Usaha
Lamanya
Usaha
1 Bpk Ahmad LK 37 thn Kampung
Kelor SD
Tapai
Singkong 15 tahun
2 Bpk Sadin LK 55 thn Kampung
Kelor -
Tapai
Singkong 12 tahun
3 Bpk Asdawi LK 35 thn Jatimulya - Tapai
Singkong 3 tahun
4 Bpk Armin LK 36 thn Pondok
Kelor -
Tapai
Singkong 8 tahun
5 Bpk Syamsuri LK 35 thn Pondok Kelor
SD Tapai
Singkong 11 tahun
6 Ibu Rahmi PR 38 thn Kampung
Kelor SD
Tapai
Singkong 16 tahun
7 Ibu Eneng PR 30 thn Jatimulya SD Opak
Singkong 10 tahun
8 Ibu Asa PR 60 thn Jatimulya - Opak
Singkong 20 tahun
9 Ibu Aam PR 45 thn Jatimulya SD Keripik
Singkong 12 tahun
10 Bpk Asmadi LK 65 thn Gempol Sari - Tepung
Tatal 20 tahun
11 Ibu Misni PR 35 thn Kampung
Kelor SD
Enyek-
enyek 17 tahun
12 Ibu Misna PR 37 thn Kampung
Kelor SD
Enyek-
enyek 17 tahun
13 Ibu Munaya PR 33 thn Kampung
Kelor SD
Enyek-
enyek 17 tahun
14 Ibu Annisa PR 30 thn Jatimulya SD Kerupuk 10 tahun
15 Ibu Nur PR 32 thn Kampung
Kelor SD Kerupuk 11 tahun
Keterangan : LK = Laki-laki, PR = Perempuan
60
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penghitungan Data
Data yang diperoleh per produk tidak dirata-rata, namun dilakukan analisis
sesuai input singkong yang digunakan agar terlihat hasil analisis antara input
terkecil sampai terbesar. Setelah diketahui nilai tambah dan pendapatan dari
masing-masing input, lalu dicari nilai tengah dari setiap produk. Upah tenaga kerja
menggunakan asumsi sama dengan upah buruh tani yaitu Rp 8.750/jam dikarenakan
sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga yang tidak diberikan upah. Harga
singkong yang digunakan adalah sama, yaitu Rp 2.600/kg karena sumber bahan
baku semua didatangkan dari pengepul Bogor.
Tabel 14. Harga Produk Olahan Singkong di Kecamatan Sepatan Timur
No. Produk Satuan Dalam Kg Harga
(Rp) 1 Kg
Harga
(Rp/kg)
1 Tapai 1 kg 1 8.000 1 kg 8.000
2 Opak 1 ikat (10 pcs) 0,14 2.000 7 ikat 14.000
3 Enyek-enyek 1 ikat (10 pcs) 0,14 2.000 7 ikat 14.000
4 Keripik 1 liter 0,20 2.500 5 liter 12.500
5 Kerupuk 1 liter 0,31 2.000 3 liter 6.000
6 Tepung 1 liter 0,44 4.000 2 liter 8.000
Sumber : Data Primer (2017)
Produk keripik, kerupuk, dan tepung yang dijual per liter dikonversi
menjadi per kilogram, kemudian opak dan enyek-enyek yang dijual per ikat (10
opak/enyek-enyek) pun dikonversi menjadi per kilogram sesuai Tabel 14. Peneliti
menimbang setiap produk dengan menggunakan timbangan digital untuk
mengetahui berat produk dalam kilogram. Sedangkan pada Tabel 15, terlihat input
61
dan output opak, keripik, enyek-enyek, kerupuk, dan tepung yang dihasilkan sudah
dikonversikan dalam kilogram. Perubahan output menjadi kilogram dilakukan
untuk mempermudah dalam analisis nilai tambah dan analisis pendapatan.
Tabel 15. Output Produk Olahan Singkong Dalam Sekali Produksi
No. Produk Input Singkong Output
Sebelum Sesudah (kg)
1 Tapai 50 kg 25 kg 25,0
70 kg 35 kg 35,0
100 kg 60 kg 60,0
150 kg 90 kg 90,0
200 kg 120 kg 120,0
300 kg 180 kg 180,0
2 Opak 8 kg 35 ikat 5,0
10 kg 28 ikat 4,0
3 Enyek-enyek 15 kg 40 ikat 5,7
30 kg 80 ikat 11,4
60 kg 180 ikat 25,7
4 Keripik 10 kg 23 liter 4,6
5 Kerupuk 5 kg 15 liter 5,0
10 kg 32 liter 10
6 Tepung 25 kg 50 liter 25 Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
5.2 Analisis Nilai Tambah
Pengolahan hasil pertanian dapat memberikan value added, termasuk dalam
pengolahan singkong. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar nilai tambah yang diberikan dari hasil mengolah singkong menjadi tapai,
keripik, opak, dan enyek-enyek serta pengolahan output sampingan dari hasil
pengolahan tapai yaitu kerikan singkong menjadi kerupuk dan potongan ujung
singkong yang dikeringkan menjadi tepung. Data yang digunakan adalah dalam
satuan kilogram.
62
5.2.1 Analisis Nilai Tambah Tapai Singkong
Variasi input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan
tapai singkong yaitu 50 kg, 70 kg, 100 kg, 150 kg, 200 kg, dan 300 kg. Setelah
diproses, berat input akan berkurang 40% - 50% dari berat semula. Dapat dilihat
pada Tabel 16, pengolahan tapai singkong dengan input 50 kg dan 70 kg mengalami
penyusutan berat sebesar 50%, sedangkan sisanya mengalami penyusutan berat
sebesar 40%.
Sesuai Tabel 16, hasil analisis dari masing-masing input tidak memiliki
perbedaan yang cukup besar. Faktor konversi didapatkan dari hasil pembagian
jumlah output dengan jumlah input. Median dari faktor konversi yaitu 0,6. Artinya
setiap satu kilogram singkong yang digunakan akan menghasilkan 0,6 kg tapai.
Penurunan berat yang cukup banyak dari singkong menjadi tapai dikarenakan
adanya proses pembuangan kulit, pemotongan ujung singkong, dan pengerikan
daging singkong. Koefisien tenaga kerja adalah hasil bagi antara tenaga kerja dan
jumlah bahan baku yang digunakan dalam sekali produksi. Nilai tengah koefisien
tenaga kerja pada industri olahan tapai yaitu 0,02 yang artinya setiap tenaga kerja
dalam 1 hari kerja mampu mengolah bahan baku sebanyak 0,02 kg.
Penetapan harga output tapai didapatkan dari hasil pertimbangan dari
pengeluaran dan dirundingkan dengan pedagang tapai lainnya, yaitu Rp 8.000/kg.
Harga input lain didapatkan dari penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan
baku, dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan dalam satu kali proses
produksi. Biaya input lain terdiri dari biaya pembelian ragi, kayu bakar, koran, dan
kertas nasi.
63
Tabel 16. Analisis Nilai Tambah Tapai Singkong
No. Variabel Nilai
50 kg 70 kg 100 kg 150 kg 200 kg 300 kg Me
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) 25 35 60 90 120 180
2 Bahan Baku (Kg) 50 70 100 150 200 300
3 Tenaga Kerja Langsung (HOK)
0,5 1 1,3 2,3 3 3,5
4 Faktor Konversi 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
5 Koefisien Tenaga Kerja (HOK/Kg)
0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,02
6 Harga Output (Rp/Kg) 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000 8.000
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)
70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 70.000
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg)
2.600 2.600 2.600 2.600 2.600 2.600 2.600
9 Harga Input Lain (Rp/Kg)
103 102 147 174 185 194 161
10 Nilai Output (Rp/Kg) 4.000 4.000 4.800 4.800 4.800 4.800 4.800
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) 1.298 1.298 2.053 2.026 2.015 2.006 2.011
b. Rasio Nilai Tambah
(%) 32,4 32,4 42,8 42,2 42,0 41,8 41,9
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/Kg)
700 1.000 875 1.050 1.050 816,7 1.050
b. Pangsa Tenaga Kerja (%)
54 77,1 42,6 51,8 52,1 40,7 52
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) 597 298 1.178 976 965 1.189 971
b. Tingkat Keuntungan (%)
14,9 7,4 24,5 20,3 20,1 24,8 20,2
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) 1.400 1.400 2.200 2.200 2.200 2.200 2.200
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%)
50 71,4 39,8 47,7 47,7 37,1 47,7
b. Sumbangan Input Lain (%)
7,4 7,3 6,7 7,9 8,4 8,8 7,7
c. Keuntungan
Perusahaan (%) 42,6 21,3 53,5 44,3 43,9 54,1 44,1
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga output.
Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang
digunakan. Nilai output yang dihasilkan yaitu Rp 4.800/kg, yang berarti setiap 1 kg
64
produksi tapai akan menghasilkan Rp 4.800. Nilai output diambil dari hasil nilai
tengah atau median sesuai Tabel 17.
Nilai tambah tapai singkong adalah Rp 2.011/kg dalam satu kali produksi.
Nilai tambah yang dihasilkan berdasarkan median dari hasil perhitungan per input.
Rasio nilai tambah yang dihasilkan yaitu 41,9%. Rasio nilai tambah ini sama
dengan tingkat keuntungan, yang berarti bahwa Rp 4.800 dari nilai output
mengandung 41,9 % untuk keuntungan. Hasil rasio nilai tambah yang dihasilkan
dari produksi tapai termasuk tinggi, karena menurut Hubeis dalam Nabilah, dkk
(2015:14), jika besarnya rasio nilai tambah lebih dari 40% maka nilai tambahnya
tinggi. Pendapatan tenaga kerja yang dihasilkan yaitu Rp 1.050/kg bahan baku
dengan pangsa tenaga kerja 52%. Keuntungan yang diperoleh dari proses
pengolahan ubikayu menjadi tapai sebesar Rp 971/kg bahan baku dengan tingkat
keuntungan 20,2%.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar dilihat dari
distribusi margin berasal dari pendapatan tenaga kerja, yaitu sebesar 47,7%. Artinya
pendapatan tenaga kerja menyumbang Rp 47,7 dari setiap Rp 100 margin
perusahaan. Distribusi marjin selanjutnya yaitu keuntungan perusahaan 44,1% dan
sumbangan input lain 7,7%.
5.2.2 Analisis Nilai Tambah Opak Singkong
Variasi input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan
opak singkong yaitu 8 kg dan 10 kg. Hasil perhitungan antara input 8 kg dengan 10
kg perbedaannya tidak cukup besar karena selisih input juga tidak jauh berbeda.
65
Produksi opak tidak dalam jumlah besar karena pengrajin adalah ibu rumah tangga
yang dari segi tenaga terbatas karena dalam pembuatan opak masih dilakukan
dengan cara tradisional sehingga banyak menggunakan tenaga manusia seperti saat
proses menumbuk singkong dan pencetakan.
Tabel 17. Analisis Nilai Tambah Opak Singkong
No. Variabel Penghitungan Nilai
8 kg 10 kg Me/Nilai
Positif
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) A 4 5
2 Bahan Baku (Kg) B 8 10
3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) C 0,5 0,5
4 Faktor Konversi D = A/B 0,5 0,5 0,5
5 Koefisien Tenaga Kerja
(HOK/Kg) E = C/B 0,1 0,1 0,1
6 Harga Output (Rp/Kg) F 14.000 14.000 14.000
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) G 70.000 70.000 70.000
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H 2.600 2.600 2.600
9 Harga Input Lain (Rp/Kg) I 729 593 661
10 Nilai Output (Rp/Kg) J = D x F 7.000 7.000 7.000
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I 3.671 3.807 3.739
b. Rasio Nilai Tambah (%) L% = K/J
x100% 52,4 54,4 53,4
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/Kg)
M = E x G 4.375 3.500 3.938
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) N% = M/K
x100% 119,2 91,9 105,5
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K – M -704 307 307
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x
100% -10,1 4,4 4,4
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) Q = J-H 4.400 4.400 4.400
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%) R% = M/Q x
100% 99,4 79,5 89,5
b. Sumbangan Input Lain (%) S% = I/Q x
100% 16,6 13,5 15
c. Keuntungan Perusahaan (%) T% = O/Q x
100% -16,0 7,0 7,0
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
66
Data yang dijelaskan merupakan hasil dari nilai tengah atau median dari
setiap input opak yang dihitung, sesuai Tabel 17. Faktor konversi didapatkan dari
hasil pembagian jumlah output dengan jumlah input. Median faktor konversi yaitu
0,5 yang artinya setiap satu kilogram singkong yang digunakan akan menghasilkan
0,5 kg opak. Penurunan berat yang cukup banyak dari singkong menjadi opak
dikarenakan adanya proses pembuangan kulit. Koefisien tenaga kerja pada industri
olahan opak yaitu 0,1 yang artinya setiap tenaga kerja dalam 1 hari kerja mampu
mengolah bahan baku sebanyak 0,1 kg.
Penetapan harga opak didapatkan dari hasil kesepakatan antara pengrajin
dan pengepul opak yang datang sehingga harga opak di desa tersebut adalah sama.
Harga input lain didapatkan dari penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan
baku, dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan dalam satu kali proses
produksi. Biaya input lain terdiri dari biaya pembelian kayu bakar, minyak goreng,
bawang putih, ketumbar, garam, dan daun kucai.
Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga output.
Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang
digunakan. Median dari nilai output yang dihasilkan yaitu Rp 7.000/kg, yang berarti
setiap 1 kg produksi tapai akan menghasilkan Rp 7.000.
Nilai tambah opak adalah Rp 3.739/kg per sekali produksi yang didapat dari
hasil median. Rasio nilai tambah yang dihasilkan yaitu 53,4%. Rasio nilai tambah
ini sama dengan tingkat keuntungan, yang berarti bahwa Rp 7.000 dari nilai output
mengandung 53,4% untuk keuntungan. Hasil rasio nilai tambah yang dihasilkan
dari produksi opak termasuk tinggi, karena menurut Hubeis dalam Nabilah, dkk
67
(2015:14), jika besarnya rasio nilai tambah lebih dari 40% maka nilai tambahnya
tinggi. Pendapatan tenaga kerja yang dihasilkan yaitu Rp 3.739/kg bahan baku
dengan pangsa tenaga kerja 53,4%. Keuntungan yang diperoleh dari proses
pengolahan ubikayu menjadi opak tergantung besarnya input. Pengolahan opak
dengan input 8 kg mengalami kerugian Rp. 704/kg bahan baku dengan tingkat
kerugian 10,1%. Pengolahan opak dengan input 10 kg mendapat keuntungan
sebesar Rp 307/kg bahan baku dengan tingkat keuntungan 4,4%. Agar usaha opak
tidak mengalami kerugian jika memasukkan upah tenaga kerja, minimal
penggunaan bahan baku yaitu 10 kg.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar dilihat dari
distribusi margin berasal dari pendapatan tenaga kerja, yaitu sebesar 89,5%. Artinya
pendapatan tenaga kerja menyumbang Rp 89,5 dari setiap Rp 100 margin
perusahaan. Distribusi marjin selanjutnya yaitu berasal dari sumbangan input lain
dan terendah adalah keuntungan perusahaan.
5.2.3 Analisis Nilai Tambah Enyek-Enyek
Variasi input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan
enyek-enyek yaitu 15 kg, 30 kg, dan 60 kg. Singkong untuk pembuatan enyek-
enyek diparut terlebih dahulu, diberi bumbu, kemudian dikukus. Produksi enyek-
enyek dapat lebih besar dari produksi opak karena terdapat alat yang memudahkan
pengrajin dalam menghancurkan atau memarut singkong.
Data yang dijelaskan dari hasil metode hayami enyek-enyek yaitu data
median atau nilai tengah dari hasil perhitungan setiap input, dimana nilai tengah
68
berada di input 30 kg sesuai Tabel 18. Faktor konversi didapatkan dari hasil
pembagian jumlah output dengan jumlah input. Faktor konversi yaitu 0,4 yang
artinya setiap satu kilogram singkong yang digunakan akan menghasilkan 0,4 kg
enyek-enyek. Penurunan berat yang cukup banyak dari singkong menjadi enyek-
enyek dikarenakan adanya proses pembuangan kulit dan pengeringan. Nilai tengah
koefisien tenaga kerja pada industri olahan enyek-enyek yaitu 0,03 yang artinya
setiap tenaga kerja dalam 1 hari kerja mampu mengolah bahan baku 0,03 kg.
Sama seperti pengrajin opak, penetapan harga enyek-enyek didapatkan dari
hasil kesepakatan antara pengrajin dan pengepul enyek-enyek yang datang sehingga
harga enyek-enyek di desa tersebut adalah sama. Harga input lain didapatkan dari
penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan baku, dibagi dengan jumlah bahan
baku yang digunakan dalam satu kali proses produksi. Biaya input lain terdiri dari
biaya pembelian gas, minyak goreng, bawang putih, ketumbar, sasa, garam, cabai
merah, dan daun kucai.
Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga output.
Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang
digunakan. Nilai output yang dihasilkan yaitu Rp 5.320/kg, yang berarti setiap 1 kg
produksi enyek-enyek akan menghasilkan Rp 5.320.
Nilai tambah enyek-enyek dengan input 30 kg adalah Rp 1.503 /kg. Rasio
nilai tambah yang dihasilkan yaitu 28,3%. Rasio nilai tambah ini sama dengan
tingkat keuntungan, yang berarti bahwa Rp 5.320 dari nilai output mengandung
28,3% untuk keuntungan. Hasil rasio nilai tambah yang dihasilkan dari produksi
enyek-enyek termasuk sedang, karena menurut Hubeis dalam Nabilah, dkk
69
(2015:14), jika besarnya rasio nilai tambah 15% - 40% maka nilai tambahnya
sedang.
Tabel 18. Analisis Nilai Tambah Enyek-Enyek
No Variabel Penghitungan
Nilai
15 kg 30 kg 60 kg Me/Nilai
Positif
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) A 5,7 11,4 25,7
2 Bahan Baku (Kg) B 15 30 60
3 Tenaga Kerja Langsung
(HOK) C 0,5 1,0 1,8
4 Faktor Konversi D = A/B 0,4 0,4 0,4 0,4
5 Koefisien Tenaga Kerja
(HOK/Kg) E = C/B 0,03 0,03 0,03 0,03
6 Harga Output (Rp/Kg) F 14.000 14.000 14.000 14.000
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)
G 70.000 70.000 70.000 70.000
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H 2.600 2.600 2.600 2.600
9 Harga Input Lain (Rp/Kg) I 1.361 1.217 1.283 1.217
10 Nilai Output (Rp/Kg) J = D x F 5.320 5.320 5.997 5.320
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I 1.359 1.503 2.113 1.503
b. Rasio Nilai Tambah
(Rp/Kg) L% = K/J x100% 25,5 28,3 35,2 28,3
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja
(Rp/Kg) M = E x G 2.333 2.333 2.041 2.333
b. Pangsa Tenaga Kerja
(%)
N% = M/K
x100% 172 155 97 155
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K - M -974 -830 72 72
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x 100% -18,3 -15,6 1,2 1,2
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) Q = J-H 2.720 2.720 3.397 2.720
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%)
R% = M/Q x 100%
85,8 85,8 60,1 85,8
b. Sumbangan Input Lain
(%) S% = I/Q x 100% 50 44,7 37,8 44,7
c. Keuntungan Perusahaan
(%)
T% = O/Q x
100% -35,8 -30,5 2,1 2,1
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
70
Pendapatan tenaga kerja yang dihasilkan yaitu Rp 2.333/kg bahan baku
dengan pangsa tenaga kerja 155%. Keuntungan usaha yang diperoleh dari proses
pengolahan ubikayu menjadi enyek-enyek tergantung besarnya input. Pengolahan
enyek-enyek dengan input 15 kg dan 30 kg mengalami kerugian. Pengolahan
enyek-enyek dengan input 60 kg mendapat keuntungan sebesar Rp 72/kg bahan
baku dengan tingkat keuntungan 2,1%. Agar usaha enyek-enyek tidak mengalami
kerugian jika memasukkan upah tenaga kerja, batas minimal penggunaan bahan
baku yaitu 60 kg.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar dilihat dari
distribusi margin tertinggi yaitu pendapatan tenaga kerja sebesar 85,8%. Artinya
pendapatan tenaga kerja menyumbang Rp 85,8 dari setiap Rp 100 margin
perusahaan. Distribusi marjin selanjutnya berasal dari sumbangan input lain 44,7%
dan terendah berasal dari keuntungan perusahaan.
5.2.4 Analisis Nilai Tambah Keripik Singkong
Input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan keripik
yaitu 10 kg. Faktor konversi didapatkan dari hasil pembagian jumlah output dengan
jumlah input. Faktor konversi yang dihasilkan yaitu 0,5 yang artinya setiap satu
kilogram singkong yang digunakan akan menghasilkan 0,5 kg keripik singkong.
Penurunan berat yang cukup banyak dari singkong menjadi opak dikarenakan
adanya proses pembuangan kulit dan pencetakan opak menjadi lembaran tipis yang
dikeringkan. Koefisien tenaga kerja pada industri olahan keripik yaitu 0,04 yang
71
artinya setiap tenaga kerja dalam 1 hari kerja mampu mengolah bahan baku
sebanyak 0,04 kg.
Tabel 19. Analisis Nilai Tambah Keripik Singkong
No Variabel Penghitungan Nilai
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) A 5
2 Bahan Baku (Kg) B 10
3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) C 0,4
4 Faktor Konversi D = A/B 0,5
5 Koefisien Tenaga Kerja (HOK/Kg) E = C/B 0,04
6 Harga Output (Rp/Kg) F 12.500
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) G 70.000
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H 2.600
9 Harga Input Lain (Rp/Kg) I 1.667
10 Nilai Output (Rp/Kg) J = D x F 5.750
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I 1.483
b. Rasio Nilai Tambah (Rp/Kg) L% = K/J x100% 25,8
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/Kg) M = E x G 2.625
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) N% = M/K x100% 177
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K – M -1.142
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x 100% -19,9
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) Q = J-H 3.150
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%) R% = M/Q x 100% 83.3
b. Sumbangan Input Lain (%) S% = I/Q x 100% 52.9
c. Keuntungan Perusahaan (%) T% = O/Q x 100% -36.2
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Penetapan harga keripik didapatkan dari hasil kesepakatan antara pengrajin
dan pengepul keripik yang datang. Pengepul keripik biasanya sama dengan
pengepul opak atau enyek-enyek. Harga input lain didapatkan dari total biaya selain
biaya bahan baku dibagi dengan bahan baku yang digunakan. Biaya input lain
keripik paling kecil dibandingkan produk lainnya karena biaya yang dikeluarkan
72
hanya untuk membeli kayu bakar. Tidak ada tambahan bumbu lain karena sesuai
permintaan pengepul keripik.
Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga output.
Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang
digunakan. Nilai output yang dihasilkan yaitu Rp 5.750/kg, yang berarti setiap 1 kg
produksi keripik akan menghasilkan Rp 5.750. Nilai tambah keripik singkong
adalah Rp 1.483/kg. Rasio nilai tambah yang dihasilkan yaitu 25,8 %. Rasio nilai
tambah ini sama dengan tingkat keuntungan, yang berarti bahwa Rp 5.750 dari nilai
output mengandung 25,8 % untuk keuntungan. Hasil rasio nilai tambah yang
dihasilkan dari produksi keripik termasuk sedang, karena menurut Hubeis dalam
Nabilah, dkk (2015:14), jika besarnya rasio nilai tambah 15%-40% maka nilai
tambahnya sedang.
Pendapatan tenaga kerja yang dihasilkan yaitu Rp 2.333/kg bahan baku
dengan pangsa tenaga kerja 155%. Terlihat bahwa pengolahan keripik dengan
input 10 kg mengalami kerugian Rp 1.142/kg bahan baku dengan tingkat kerugian
19,9%. Agar usaha keripik tidak mengalami kerugian jika memasukkan upah
tenaga kerja, maka pengrajin harus meningkatkan produksinya.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar berasal dari
distribusi pendapatan tenaga kerja sebesar 83,3%. Artinya keuntungan sumbangan
input lain menyumbang Rp 83,3 dari setiap Rp 100 margin. Distribusi selanjutnya
yaitu sumbangan input lain sebesar 52,9 % dan terendah adalah keuntungan
perusahaan.
73
5.2.5 Analisis Nilai Tambah Kerupuk Singkong
Input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan kerupuk
yaitu 5 kg dan 10 kg. Bahan baku yang digunakan berasal dari hasil kerikan
singkong pembuatan tapai. Pengrajin kerupuk biasanya membantu pengrajin tapai
untuk mengupas kulit singkong dan mengerik daging singkong. Hasil kerikannya
diberikan secara gratis sebagai imbalan sehingga tidak ada biaya untuk membeli
bahan baku.
Data yang dijelaskan dari hasil metode hayami kerupuk yaitu data median
atau nilai tengah dari hasil perhitungan setiap input, sesuai Tabel 20. Faktor
konversi didapatkan dari hasil pembagian jumlah output dengan jumlah input.
Faktor konversi yang dihasilkan yaitu 1 yang artinya setiap satu kilogram singkong
yang digunakan akan menghasilkan 1 kg keripik singkong. Koefisien tenaga kerja
pada industri olahan kerupuk yaitu 0,07 yang artinya setiap tenaga kerja dalam 1
hari kerja mampu mengolah bahan baku sebanyak 0,07 kg.
Harga bahan baku nol karena bahan baku berupa kerikan singkong tidak
diberi patokan harga oleh pengrajin tapai. Biasanya pengrajin kerupuk akan
membantu pengrajin tapai untuk mengupas kulit dan mengerik singkong, setelah
itu kerikan singkong akan diberikan kepada pengrajin kerupuk. Pengrajin kerupuk
dapat mengambil kerikan singkong sesuai yang dibutuhkan.
Harga output didapat dari kesepakatan antara pengrajin kerupuk dan
pengepul. Harga input lain didapatkan dari penjumlahan semua biaya kecuali biaya
bahan baku, dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan dalam satu kali
proses produksi. Biaya input lain yang digunakan dalam produksi kerupuk yaitu
74
pembelian kayu bakar, sasa, bawang putih, ketumbar, garam, kayu bakar, pewarna
makanan, dan minyak goreng.
Tabel 20. Analisis Nilai Tambah Kerupuk Singkong
No. Variabel Penghitungan Nilai
5 kg 10 kg Me/Nilai
Positif
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) A 5 10
2 Bahan Baku (Kg) B 5 10
3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) C 0,4 0,5
4 Faktor Konversi D = A/B 1 1 1
5 Koefisien Tenaga Kerja
(HOK/Kg) E = C/B 0,1 0,1 0,1
6 Harga Output (Rp/Kg) F 6.000 6.000 6.000
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) G 65.625 70.000 67.813
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H 500 500 500
9 Harga Input Lain (Rp/Kg) I 1.475 1.322 1.398
10 Nilai Output (Rp/Kg) J = D x F 6.000 6.000 6.000
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I 4.025 4.178 4.102
b. Rasio Nilai Tambah (Rp/Kg) L% = K/J x100% 67,1 69,6 68,4
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja
(Rp/Kg) M = E x G 4.922 3.500 4.211
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) N% = M/K x100% 122,3 83,8 103
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K – M -897 678 678
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x 100% -14,9 11,3 11,3
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) Q = J-H 5.500 5.500 5.500
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%) R% = M/Q x 100% 89,5 63,6 76,6
b. Sumbangan Input Lain (%) S% = I/Q x 100% 26,8 24,0 25,4
c. Keuntungan Perusahaan (%) T% = O/Q x 100% -16,3 12,3 12,3
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga output.
Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg input yang
digunakan. Rata-rata nilai output yang dihasilkan yaitu Rp 6.000/kg, yang berarti
75
setiap 1 kg produksi kerupuk akan menghasilkan Rp 6.000. Nilai tambah kerupuk
singkong adalah Rp 4.102/kg. Rasio nilai tambah yang dihasilkan yaitu 68,4%.
Rasio nilai tambah ini sama dengan tingkat keuntungan, yang berarti bahwa Rp
6.000 dari nilai output mengandung 68,4% untuk keuntungan. Hasil rasio nilai
tambah yang dihasilkan dari produksi kerupuk termasuk tinggi, karena menurut
Hubeis dalam Nabilah, dkk (2015:14), jika besarnya rasio nilai tambah lebih dari
40% maka nilai tambahnya tinggi. Pendapatan tenaga kerja yang dihasilkan yaitu
Rp 4.211/kg bahan baku dengan pangsa tenaga kerja 103%. Keuntungan usaha yang
diperoleh dari proses pengolahan ubikayu menjadi kerupuk tergantung besarnya
input. Pengolahan kerupuk dengan input 5 kg mengalami kerugian, sedangkan
pengolahan kerupuk dengan input 10 kg mendapat keuntungan sebesar Rp 678/kg
bahan baku dengan tingkat keuntungan 11,3%. Agar usaha kerupuk tidak
mengalami kerugian jika memasukkan upah tenaga kerja, batas minimal
penggunaan bahan baku yaitu 10 kg.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar dari distribusi
marjin berasal dari pendapatan tenaga kerja sebesar 76,%. Artinya keuntungan
perusahaan menyumbang Rp 76,6 dari setiap Rp 100 margin perusahaan. Distribusi
selanjutnya yaitu sumbangan input lain sebesar 25,4 % dan terendah adalah
keuntungan perusahaan.
5.2.6 Analisis Nilai Tambah Tepung Gaplek
Input yang terdapat di Kecamatan Sepatan Timur untuk pengolahan tepung
yaitu 25 kg potongan ujung singkong yang dikeringkan (gaplek/tatal). Bahan baku
76
yang digunakan berasal dari hasil potongan ujung singkong pembuatan tapai yang
telah dikeringkan. Hasil potongan ujung singkong akan dikeringkan oleh pengrajin
tapai sebelum dijual ke pengrajin tepung.
Tabel 21. Analisis Nilai Tambah Tepung Gaplek
No. Variabel Penghitungan Nilai
Output, Inptut, dan Harga
1 Output (Kg) A 25
2 Bahan Baku (Kg) B 25
3 Tenaga Kerja Langsung (HOK) C 0,3
4 Faktor Konversi D = A/B 1
5 Koefisien Tenaga Kerja (HOK/Kg) E = C/B 0,01
6 Harga Output (Rp/Kg) F 8.000
7 Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) G 70.000
Penerimaan dan Keuntungan
8 Harga Bahan Baku (Rp/Kg) H 1.040
9 Harga Input Lain (Rp/Kg) I 800
10 Nilai Output (Rp/Kg) J = D x F 8.000
11 a. Nilai Tambah (Rp/Kg) K = J-H-I 6.160
b. Rasio Nilai Tambah (Rp/Kg) L% = K/J x100% 77
12 a. Pendapatan Tenaga Kerja (Rp/Kg) M = E x G 700
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) N% = M/K x100% 0,1
13 a. Keuntungan (Rp/Kg) O = K – M 5.460
b. Tingkat Keuntungan (%) P% = O/J x 100% 68,3
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14 Marjin (Rp/Kg) Q = J-H 6.960
a. Pendapatan Tenaga Kerja (%) R% = M/Q x 100% 10,1
b. Sumbangan Input Lain (%) S% = I/Q x 100% 11,5
c. Keuntungan Perusahaan (%) T% = O/Q x 100% 78,4
Sumber : Data Diolah (2017)
Input untuk pengolahan tepung gaplek hanya satu input yaitu 25 kg sehingga
tidak terdapat nilai tengah, sesuai Tabel 21. Faktor konversi didapatkan dari hasil
pembagian jumlah output dengan jumlah input. Faktor konversi yang dihasilkan
yaitu 1 yang artinya setiap satu kilogram singkong yang digunakan akan
menghasilkan 1 kg tepung. Koefisien tenaga kerja pada industri olahan tepung
77
gaplek yaitu 0,01 yang artinya setiap tenaga kerja dalam 1 hari kerja mampu
mengolah bahan baku sebanyak 0,01 kg. Harga output ditentukan oleh pengrajin
dengan pertimbangan biaya transportasi dan biaya penggilingan.
Harga input lain didapatkan dari total biaya selain biaya bahan baku dibagi
dengan bahan baku yang digunakan. Biaya input lain yang digunakan dalam
produksi tepung berasal dari biaya pembelian potongan singkong kering seharga
Rp 13.000/bakul dan penggilingan sebesar Rp 20.000 untuk satu karung beras
ukuran 50 kg. Nilai output didapat dari perkalian antara faktor konversi dan harga
output. Nilai output sama dengan penerimaan kotor pengrajin untuk setiap 1 kg
input yang digunakan. Nilai output yang dihasilkan dari produksi tepung yaitu Rp
8.000/kg, yang berarti setiap 1 kg produksi tapai akan menghasilkan Rp 8.000.
Nilai tambah tepung gaplek adalah Rp 6.160/kg. Rasio nilai tambah yang
dihasilkan yaitu 77%. Rasio nilai tambah ini sama dengan tingkat keuntungan, yang
berarti bahwa Rp 6.160 dari nilai output mengandung 77% untuk keuntungan.
Dilihat dari hasil rasio nilai tambah yang dihasilkan dari produksi tepung termasuk
tinggi, karena menurut Hubeis dalam Nabilah, dkk (2015:14), jika besarnya rasio
nilai tambah lebih dari 40% maka nilai tambahnya tinggi. Pendapatan tenaga kerja
yang dihasilkan yaitu Rp 700/kg bahan baku dengan pangsa tenaga kerja 11,4%.
Keuntungan usaha yang diperoleh dari proses pengolahan ubi kayu menjadi
kerupuk sebesar Rp 5.460/kg bahan baku dengan pangsa pasar 11,4%.
Margin didapatkan dari nilai output dikurangi dengan harga bahan baku,
kemudian didistribusikan ke faktor produksi. Balas jasa terbesar dari distribusi
marjin berasal dari keuntungan perusahaan sebesar 78,4%. Artinya keuntungan
78
perusahaan menyumbang Rp 78,4 dari setiap Rp 100 margin perusahaan. Distribusi
selanjutnya yaitu sumbangan input lain 11,5 % dan terendah adalah keuntungan
perusahaan 10,1%.
5.3 Analisis Pendapatan Olahan Singkong
Penghitungan pendapatan berdasarkan proses produksi selama satu bulan.
Analisis pendapatan untuk mengetahui produk olahan yang menghasilkan
pendapatan tertinggi. Hasil penerimaan pengrajin akan dikurangi dengan biaya
agroindustri yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari
biaya penyusutan alat, sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku, biaya
bahan penunjang, dan biaya pemasaran. Terakhir dilakukan perhitungan R/C rasio
untung mengetahui efisien atau tidaknya usaha yang dilakukan pengrajin.
5.3.1 Analisis Pendapatan Tapai Singkong
Terlihat pada Tabel 22, besarnya input berbanding lurus dengan besarnya
pendapatan yang diperoleh oleh pengrajin tapai. Nilai tengah untuk pendapatan
tapai singkong tiap bulan yaitu input 100 kg dengan pendapatan Rp 3.115.868 dan
input 150 kg dengan pendapatan Rp 3.852.990. Untuk menghasilkan nilai tengah
maka hasil pendapatan kedua input dirata-rata.
Selain dari hasil penjualan tapai singkong, penerimaan pengrajin tapai juga
berasal dari penjualan potongan ujung singkong kering (gaplek) dan aci yang
berasal dari hasil pengendapan air kerikan singkong. Pengrajin menjual gaplek ke
pengepul dengan harga Rp 13.000 per bakul, sedangkan untuk aci dijual dengan
harga Rp 5.000/liter ke pedagang kue. Menghasilkan satu bakul gaplek dan satu
79
liter aci diperlukan beberapa kali proses produksi tapai. Kerikan singkong
sebenarnya diberikan gratis kepada pengrajin kerupuk, namun peneliti
menggunakan asumsi harga kerikan Rp 500/kg sesuai hasil wawancara ke pengrajin
tapai mengenai penetapan harga jika kerikan dijual.
Tabel 22. Analisis Pendapatan Tapai Singkong dalam Satu Bulan
No Keterangan Harga (Rp)
1.500 kg 2.100 kg 3000 kg 4.500 kg 6.000 kg 9.000 kg Me
Output (kg) 750 1.050 1.800 2.700 3.600 5.400
1 Penerimaan (TR)
Output x Rp
8.000/kg 6.000.000 8.400.000 14.400.000 21.600.000 28.800.000 43.200.000
Gaplek 78.000 97.500 97.500 130.000 195.000 390.000
Aci 30.000 30.000 37.500 50.000 75.000 150.000
Kerikan 45.000 75.000 90.000 150.000 195.000 300.000
Total
Penerimaan 6.153.000 8.602.500 14.625.000 21.930.000 29.265.000 44.040.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya
penyusutan 94.417 106.333 163.417 147.000 182.000 227.833
Biaya Variabel
Biaya bahan
baku 3.900.000 5.460.000 7.800.000 11.700.000 15.600.000 23.400.000
Biaya bahan
penunjang 155.010 215.010 440.715 785.010 1.110.000 1.770.000
Biaya
pemasaran 540.000 750.000 480.000 720.000 750.000 1.260.000
Upah tenaga
kerja 1.050.000 2.100.000 2.625.000 4.725.000 6.300.000 7.350.000
Total Biaya 5.739.427 8.631.343 11.509.132 18.077.010 23.942.000 34.007.833
3 Pendapatan
(TR-TC) 413.573 -28.843 3.115.868 3.852.990 5.323.000 10.032.167 3.484.429
4 R/C Ratio 1,1 1,0 1,3 1,2 1,2 1,3 1,2
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
Pada Tabel 22, terlihat bahwa komponen biaya tertinggi yang dikeluarkan
pengrajin tapai yaitu biaya bahan baku, sedangkan komponen biaya terendah yaitu
biaya penyusutan alat. Pendapatan dan R/C rasio tapai singkong yang dijelaskan
80
berasal dari nilai tengah atau median hasil perhitungan setiap input. Pendapatan
yang diterima pengrajin tapai yaitu Rp 3.484.429 per bulan sesuai Tabel 25. Hasil
pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi total biaya. Hasil R/C rasio
1,2 yang artinya pengorbanan tiap satu rupiah dari pengeluaran total dapat
memberikan penerimaan sebesar 1,2 kali dari biaya yang telah dikeluarkan. Dari
hasil R/C rasio terlihat bahwa usaha opak sudah efisien sesuai dengan pendapat
Soekartawi (2016:85) yang mengatakan bahwa jika R/C lebih dari 1 maka usaha
tergolong efisien. Nilai minus pada hasil perhitungan pendapatan dengan input
2.100 kg dikarenakan jumlah tenaga kerja yang kurang sesuai sehingga usaha
mengalami kerugian.
5.3.2 Analisis Pendapatan Opak Singkong
Pada Tabel 23, terlihat bahwa nilai tengah penerimaan opak yaitu Rp
1.890.000/bulan yang dihasilkan dari perkalian output dengan harga ouput/kg.
Biaya bahan baku merupakan komponen biaya tertinggi, dilanjutkan biaya bahan
penunjang, biaya penyusutan alat, dan biaya pemasaran. Biaya pemasaran
merupakan biaya terendah yang dikelurakan dalam produksi opak. Hal tersebut
karena biaya pemasaran hanya untuk pembelian tali rapia yang digunakan untuk
mengikat opak, sedangkan penjualannya mengandalkan pengepul yang datang
setiap harinya.
Pendapatan dan R/C rasio opak singkong yang dijabarkan berasal dari nilai
tengah atau median hasil perhitungan setiap input. Pendapatan kedua usaha tersebut
mengalami kerugian jika memperhitungkan upah tenaga kerja. Hasil R/C rasio juga
81
memperlihatkan bahwa usaha opak menjadi tidak efisien karena nilai R/C rasio
kurang dari 1.
Tabel 23. Analisis Pendapatan Opak Singkong dalam Satu Bulan
No. Keterangan Harga (Rp)
240 kg 300 kg Me
Output (kg) 120 150
1 Penerimaan (TR)
Output x 14.000 1.680.000 2.100.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya penyusutan 78.833 94.000
Biaya Variabel
Biaya bahan baku 624.000 780.000
Biaya bahan penunjang 192.000 195.000
Biaya pemasaran 8.571 8.571
Upah tenaga kerja 1.050.000 1.050.000
Total Biaya 1.953.405 2.127.571
3 Pendapatan (TR-TC) -273.405 -27.571 -150.488
4 R/C Ratio 0,9 1,0 0,95
Sumber : Data Primer, 2017 (Diolah)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
5.3.3 Analisis Pendapatan Enyek-Enyek
Komponen biaya yang dikeluarkan untuk produksi enyek-enyek terdiri dari
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya terbesar yang dikeluarkan berasal dari biaya
pembelian bahan baku, dilanjutkan dengan biaya bahan penunjang. Biaya terkecil
yaitu biaya pemasaran hanya untuk membeli tali rapia yang berfungsi mengikat
enyek-enyek per 10 lembar, sedangkan sistem penjualan menunggu pengepul yang
datang membeli ke rumah pengrajin.
82
Pendapatan yang diterima pengrajin enyek-enyek dengan input 450 kg dan
900 kg mengalami kerugian jika memperhitungkan upah tenaga kerja, sedangkan
pendapatan enyek-enyek untuk input 1.800 kg masih mengalami keuntungan
walaupun masih tergolong rendah sehingga dapat dijadikan patokan minimal
produksi. Hasil R/C rasio terlihat bahwa usaha opak belum efisien karena R/C rasio
kurang dari 1.
Tabel 24. Analisis Pendapatan Enyek-Enyek dalam Satu Bulan
No. Keterangan Harga (Rp)
450 kg 900 kg 1.800 kg Nilai Positif
Output (kg) 171 342 771
1 Penerimaan (TR)
Output x 14.000 2.394.000 4.788.00 10.794.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya penyusutan 35.583 40.833 53.333
Biaya Variabel
Biaya bahan baku 1.170.000 2.340.000 4.680.000
Biaya bahan penunjang 612.501 1.095.000 2.310.000
Biaya pemasaran 4.333 6.500 13.000
Upah tenaga kerja 1.050.000 2.100.000 3.675.000
Total Biaya 2.872.418 5.582.333 10.731.333
3 Pendapatan (TR-TC) -478.418 -794.333 62.667 62.667
4 R/C Ratio 0,8 0,9 1,0 1,0
Sumber : Data Diolah (2017)
5.3.4 Analisis Pendapatan Keripik Singkong
Komponen biaya tertinggi yang dikeluarkan berasal dari biaya pembelian
bahan baku, sedangkan biaya terendah yang dikelurkan adalah biaya pemasaran
yaitu nol rupiah. Biaya pemasaran nol rupiah karena tidak ada biaya yang
83
dikeluarkan untuk penjualan keripik singkong. Tidak ada biaya pengemasan karena
pengepul sendiri yang membawa plastik untuk menampung keripik yang dibeli.
Tabel 25. Analisis Pendapatan Keripik Singkong dalam Satu Bulan
No. Keterangan Harga (Rp)
1 Penerimaan (TR)
138 kg x 12.500 1.725.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya penyusutan 31.500
Biaya Variabel
Biaya bahan baku 780.000
Biaya bahan penunjang 60.000
Biaya pemasaran 0
Upah tenaga kerja 787.500
Total Biaya 1.659.000
3 Pendapatan (TR-TC) 66.000
4 R/C Ratio 1,0
Sumber : Data Diolah (2017)
Pendapatan yang diterima pengrajin keripik singkong yaitu Rp
66.000/bulan. Pendapatan ini masih tergolong sangat rendah untuk pendapatan
sertiap bulan. R/C rasio sebesar 1,0 yang artinya pengorbanan tiap satu rupiah dari
pengeluaran total dapat memberikan penerimaan sebesar 1,0 kali dari biaya yang
telah dikeluarkan. Hasil R/C rasio sama dengan 1, maka usaha keripik dengan input
300 kg per bulan (10 kg/hari) tidak mengalami kerugian maupun keuntungan.
5.3.5 Analisis Pendapatan Kerupuk Singkong
Komponen biaya tertinggi yang dikeluarkan berasal dari biaya pembelian
bahan penunjang, dilanjutkan biaya pembelian bahan baku dan biaya pemasaran.
Biaya pembelian bahan baku menggunakan asumsi Rp 500/kg sesuai dengan hasil
84
wawancara dengan pengrajin jika menjual hasil kerikannya. Biaya pemasaran nol
rupiah karena tidak ada pengemasan untuk menjual kerupuk yang dihasilkan. Sama
seperti keripik, kerupuk langsung dibawa oleh pengepul yang datang.
Tabel 26. Analisis Pendapatan Kerupuk Singkong dalam Satu Produksi
No. Keterangan Harga (Rp)
150 kg 300 kg Me/Nilai Positif
Output (kg) 150 300
1 Penerimaan (TR)
Output x 6.000 900.000 1.800.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya penyusutan 8.917 11.208
Biaya Variabel
Biaya bahan baku 75.000 150.000
Biaya bahan penunjang 221.250 396.501
Biaya pemasaran 0 0
Upah tenaga kerja 787.500 1.050.000
Total Biaya 1.092.667 1.607.709
3 Pendapatan (TR-TC) -192.667 192.291 192.291
4 R/C Ratio 0,8 1,1 1,1
Sumber : Data Diolah (2017)
Keterangan : Me = Median / Nilai Tengah
Pendapatan per bulan yang diterima pengrajin kerupuk singkong dengan
input 150 kg/bulan (5 kg/hari) jika memasukkan upah tenaga kerja mengalami
kerugian Rp 192.667 dengan R/C rasio dibawah 1. Pendapatan dengan input 300
kg/bulan (10 kg/hari) masih mengalami keuntungan sebesar Rp 192.291 sehingga
pengrajin lebih baik berproduksi dengan input 300 kg/bulan agar tidak mengalami
kerugian. R/C rasio input 300 kg/bulan sebesar 1,1 yang artinya pengorbanan tiap
satu rupiah dari pengeluaran total dapat memberikan penerimaan sebesar 1,1 kali
dari biaya yang telah dikeluarkan. Hasil R/C rasio dengan input 300 kg terlihat
85
bahwa usaha opak sudah efisien sesuai dengan pendapat Soekartawi (2016:85) yang
mengatakan bahwa jika R/C lebih dari 1 maka usaha tergolong efisien. Jadi,
pengrajin harus berproduksi diatas 10 kg/hari jika tidak ingin mengalami kerugian.
5.3.6 Analisis Pendapatan Tepung Gaplek
Pada Tabel 27, dapat dilihat bahwa komponen biaya tertinggi yang
dikeluarkan berasal dari biaya pembelian bahan baku, sedangkan biaya terendah
yang dikelurkan adalah biaya pembelian bahan baku dan biaya penunjang. Biaya
bahan baku untuk pembelian gaplek seharga Rp 13.000/bakul. Satu karung
dibutuhkan dua bakul penuh gaplek sehingga total biaya untuk pembelian bahan
baku adalah Rp 26.000, dilanjutkan biaya penunjang yaitu biaya untuk
penggilingan gaplek, biaya pemasaran untuk bensin, kantong plastik, dan biaya
penyusutan alat.
Tabel 27. Analisis Pendapatan Tepung Gaplek dalam Satu Bulan
No. Keterangan Harga (Rp)
1 Penerimaan (TR)
250 kg x 8.000 2.000.000
2 Biaya Agroindustri (TC)
Biaya Tetap
Biaya penyusutan 94.583
Biaya Variabel
Biaya bahan baku 260.000
Biaya penunjang 200.000
Biaya pemasaran 200.000
Upah tenaga kerja 175.000
Total Biaya 929.583
3 Pendapatan (TR-TC) 1.070.417
4 R/C Ratio 2,2
Sumber : Data Diolah (2017)
86
Pengrajin melakukan penggilingan 3 hari sekali karena pengrajin
membutuhkan waktu untuk mengumpulkan gaplek sehingga dalam satu bulan
hanya terdapat sepuluh kali proses produksi. Penerimaan yang dihasilkan yaitu Rp
2.000.000/bulan dan pendapatan yang diterima pengrajin tepung yaitu Rp
1.070.417/bulan. Hasil R/C rasio sebesar 2,2 yang artinya pengorbanan tiap satu
rupiah dari pengeluaran total dapat memberikan penerimaan sebesar 2,2 kali dari
biaya yang telah dikeluarkan. Hasil R/C rasio terlihat bahwa usaha opak sudah
efisien.
5.4 Perbandingan Hasil Penghitungan
Upah tenaga kerja akan mempengaruhi hasil penghitungan keuntungan
pengrajin. Sesuai kondisi di Kecamatan Sepatan Timur, pemilik usaha merangkap
sebagai pekerja dan pekerja lain yang membantu dalam memproduksi olahan
singkong masih anggota keluarga sehingga tidak ada upah yang diberikan. Selain
itu, kerikan singkong untuk bahan baku pembuatan kerupuk didapatkan gratis dari
pengrajin tapai sehingga tidak ada biaya untuk pembelian bahan baku. Jika
penghitungan disesuaikan dengan kondisi tersebut, maka hasilnya sesuai dengan
Tabel 28.
Hasil nilai tambah tidak mengalami perubahan karena dalam penghitungan
nilai tambah tidak dipengaruhi oleh tenaga kerja kecuali nilai tambah kerupuk
karena dalam penghitungan Tabel 28, tidak diperhitungkan biaya bahan baku
sehingga hasil nilai tambahnya berbeda dengan Tabel 20. Sebagian besar distribusi
marjin lebih banyak untuk keuntungan perusahaan karena pemilik usaha merangkap
sebagai tenaga kerja.
87
Tabel 28. Hasil Penghitungan Nilai Tambah dan Pendapatan Tanpa Memasukkan
Upah Tenaga Kerja
Produk Input
(Kg)
Nilai
Tambah
(Rp/kg)
Distribusi Marjin Pendapatan Usaha
(Rp/bulan) Pendapatan TK
Sumbangan Input Lain
Keuntungan Perusahaan
Tapai
50 1.298 - 7,4% 92,6% 1.435.948
70 1.298 - 7,3% 92,7% 2.014.871
100 2.053 - 6,7% 93,3% 5.669.862
150 2.026 - 7,9% 92,1% 8.445.864
200 2.015 - 8,4% 91,6% 11.446.344
300 2.006 - 8,8% 91,2% 17.147.145
Opak 8 3.671 - 16,6% 83,4% 795.114
10 3.807 - 13,5% 86,5% 1.040.956
Eyek-
Enyek
15 1.359 - 50,0% 50,0% 572.220
30 1.503 - 45,0% 55,0% 1.306.273
60 2.113 - 38,0% 62,0% 3.738.405
Keripik 10 1.483 - 53,0% 47,0% 872.014
Kerupuk 5 4.525 - 24,6% 75,4% 669.949
10 4.678 - 22,0% 78,0% 1.392.408
Tepung 25 6.160 - 11,5% 88,5% 1.308.904
Sumber : Data Diolah (2017)
Berbeda dengan hasil pengitungan Tabel 28, distribusi marjin tertinggi jika
memperhitungkan upah tenaga kerja lebih banyak untuk pendapatan tenaga kerja
sesuai Tabel 29. Namun, beberapa usaha yang mengalami kerugian dilihat dari
pendapatan yang diterima, yaitu industri tapai dengan input 70 kg, industri opak
dengan input 8 kg dan 10 kg, industri enyek-enyek dengan input 15 kg dan 30 kg,
dan industri kerupuk dengan input 5 kg. Penghitungan Tabel 29 menandakan bahwa
penggunaan upah tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja sangat mempengaruhi
pendapatan yang diterima pengrajin. Agar lebih jelas antara pengaruh upah tenaga
kerja terhadap pendapatan pengrajin, disajikan grafik pendapatan tapai pada
Gambar 8.
88
Tabel 29. Hasil Penghitungan Nilai Tambah dan Pendapatan dengan Memasukkan
Upah Tenaga Kerja
Produk Input
(Kg)
Nilai Tambah
(Rp/kg)
Distribusi Marjin Pendapatan
Usaha
(Rp/bulan) Pendapatan
TK Sumbangan Input Lain
Keuntungan Perusahaan
Tapai
50 1.298 50,0% 7,4% 42,6% 413.573
70 1.298 71,4% 7,3% 21,3% -28.843
100 2.053 39,8% 6,7% 53,6% 3.115.868
150 2.026 47,7% 7,9% 44,3% 3.852.990
200 2.015 47,7% 8,4% 43,9% 5.323.000
300 2.006 37,1% 8,8% 54,1% 10.032.167
Opak 8 3.671 99,4% 16,6% -16,0% -273.405
10 3.807 79,5% 13,5% 7,0% -27.571
Eyek-
Enyek
15 1.359 85,8% 50,0% -35,8% -478.418
30 1.503 85,8% 44,7% -30,5% -794.333
60 2.113 60,1% 37,8% 2,1% 62.667
Keripik 10 1.483 83,0% 53,0% -36,0% 66.000
Kerupuk 5 4.025 82,0% 24,6% -6.6% -192.667
10 4.178 58,3% 22,0% 19,6% 192.291
Tepung 25 6.160 10,1% 11,5% 78,4% 1.070.417
Sumber : Data Diolah (2017)
Gambar 8. Grafik Pendapatan Usaha Tapai Singkong Kec. Sepatan Timur
89
5.5 Pengembangan Produk Olahan Singkong
Hasil analisis nilai tambah dan analisis finansial usaha menghasilkan nilai
tengah dari nilai tambah dan pendapatan. Pada Tabel 30, nilai tambah tertinggi
untuk produk berbahan baku singkong adalah opak sebesar Rp 3.739 dengan rasio
nilai tambah tergolong tinggi yaitu 53,4%. Nilai tambah tertinggi untuk produk
berbahan baku sampingan adalah tepung sebesar Rp 6.160 dengan rasio nilai
tambah tergolong tinggi yaitu 77%. Pendapatan tertinggi, baik dengan
penghitungan upah tenaga kerja maupun tidak yaitu produk berbahan baku
singkongadalah tapai, sedangkan untuk produk berbahan baku sampingan adalah
tepung.
Tabel 30. Nilai Tengah Produk Olahan Singkong
No. Produk
Nilai Tengah
Nilai
Tambah
(Rp/kg)
Pendapatan
dengan Upah
TK (Rp/Bulan)
R/C
Rasio
Pendapatan
Tanpa Upah TK
(Rp/Bulan)
R/C
Rasio
Bahan Baku Singkong
1 Tapai 2.011 3.484.429 1,2 7.057.860 2,1
2 Opak 3.739 -150.488 0,95 918.030 2,0
3 Keripik 1.483 62.667 1,0 872.010 2,0
4 Enyek-Enyek 1.503 66.000 1,0 1.306.260 1,4
Bahan Baku Sampingan
5 Kerupuk 4.602 192.291 1,1 1.091.190 4,2
6 Tepung 6.160 1.070.417 2,2 3.926.700 2,9
Sumber : Data Primer (2017)
Mendukung tata wilayah kawasan agropolitan dari segi pengolahan yang
sudah dikuasai oleh masyarakat, usulan produk berbahan baku utama singkong
yang dapat dikembangkan adalah opak singkong dan tapai singkong berdasarkan
nilai tambah tertinggi dan pendapatan tertinggi. Olahan sampingan yang dihasilkan,
90
hasil analasis memperlihatkan bahwa tepung memiliki nilai tambah dan pendapatan
tertinggi dibandingkan kerupuk. Jadi, usulan untuk produk sampingan yang dapat
dijalankan adalah tepung gaplek. Produk sampingan ini dapat dikembangkan
bersamaan dengan adanya produksi tapai agar tidak ada bahan yang terbuang dari
pengolahan singkong menjadi tapai karena kerikan singkong dapat dikeringkan
bersamaan dengan ujung singkong dan digiling menjadi tepung. Usulan produk ini
dimaksudkan untuk bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kecamatan
Sepatan Timur agar lebih fokus untuk mengembangkan produk yang diusulkan.
5.6 Strategi Pengembangan Produk
5.6.1 Identifikasi Faktor-Faktor Strategi Internal
Berdasarkan identifikasi kondisi internal produk olahan singkong yaitu
opak dan tapai di Kecamatan Sepatan Timur, dapat diketahui informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan yang dapat dilihat pada Tabel 31 berikut:
Tabel 31. Kekuatan dan Kelemahan IRT Tapai dan Opak di Kecamatan Sepatan
Timur
Faktor-Faktor Internal
Kekuatan Kelemahan
1. Menghasilkan nilai tambah
tertinggi (opak) dan
pendapatan tertinggi (tapai)
2. Jumlah pengrajin 84 rumah
tangga
3. Kontinuitas produksi
4. IRT olahan tapai dan opak
sudah bertahan puluhan tahun
5. Peluang pasar masih terbuka
lebar
1. Bahan baku dari Bogor dan tidak ada
kerjasama yang jelas menyulitkan
mengontrol kualitas singkong
2. Minimnya penguasaan teknologi
3. Belum ada pengemasan yang baik
4. Belum ada izin usaha / P-IRT
5. Pengrajin opak tidak bebas menentukan
harga karena tengkulak
6. Kelembagaan usaha belum terbentuk
91
a. Kekuatan
Kekuatan dari industri rumah tangga tapai singkong dan opak singkong di
Kecamatan Sepatan Timur meliputi :
1. Menghasilkan nilai tambah tertinggi (opak) dan pendapatan tertinggi (tapai)
Hasil analisis nilai tambah dengan metode Hayami didapatkan produk opak
memiliki nilai tambah tertinggi dibandingkan produk lain, yaitu sebesar Rp
3.739. Untuk hasil dari analisis pendapatan didapatkan produk yang
menghasilkan pendapatan tertinggi yaitu tapai dengan pendapatan Rp
235.262 dengan R/C rasio 2,1. Kedua produk tersebut dapat dijadikan fokus
untuk pemerintah dalam mengembangkan produk olahan di Kecamatan
Sepatan Timur.
2. Jumlah pengrajin 84 rumah tangga
Total pengrajin olahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur yaitu 84
rumah tangga, dengan jumlah pengolah tapai sebanyak 30 pengrajin, opak
berjumlah 19 pengrajin, enyek-enyek berjumlah 5 pengrajin, keripik
berjumlah 11 pengrajin, kerupuk berjumlah 9 pengrajin, dan tepung
berjumlah 10 pengrajin. Terlihat bahwa jumlah pengrajin tapai dan opak
lebih banyak dibandingkan yang lain. Beberapa pengrajin sebenarnya
mempunyai keahlian mengolah singkong menjadi lebih dari satu produk,
Namun pengrajin fokus mengerjakan satu produk dikarenakan keterbatasan
tenaga dan mengikuti permintaan pelanggan. Tersedianya SDM yang cukup
banyak dan berpengalaman dalam mengolah singkong akan memudahkan
untuk produksi dalam skala besar.
92
3. Kontinuitas produksi
Produksi tapai singkong dan opak singkong di Kecamatan Sepatan Timur
hampir dilakukan setiap hari. Hal ini dikarenakan beberapa pengrajin sangat
mengandalkan hasil penjualan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
4. IRT olahan tapai dan opak sudah bertahan puluhan tahun
Keahlian mengolah singkong diajarkan turun temurun dari keluarga.
Biasanya anak-anak, terutama perempuan akan membantu orangtuanya
berproduksi sampai mereka ahli dalam mengolah singkong. Beberapa anak
yang sudah menikah pada akhirnya juga memulai usaha mengolah singkong
untuk membantu perekonomian keluarga. Rata-rata lamanya mereka
melakukan usaha olahan singkong sudah lebih dari sepuluh tahun.
Bertahannya pengolahan singkong selama puluhan tahun membuktikan
bahwa usaha pengolahan singkong dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
beberapa keluarga.
5. Peluang pasar masih terbuka lebar
Sampai saat ini, industri olahan tapai dan opak masih mempunyai peluang
pasar yang cukup menjanjikan. Telihat di Kecamatan Sepatan Timur, hasil
produksi tapai dan opak yang dihasilkan setiap pengrajin pasti habis dibeli
konsumen setiap harinya. Penggunaan tapai yang dapat diolah kembali atau
menjadi tambahan makanan lain, serta opak yang sudah dikenal dari dulu
oleh masyarakat sebagai makanan ringan membuat kedua produk ini masih
tetap bertahan dan dicari konsumen.
93
b. Kelemahan
Kelemahan dari industri rumah tangga tapai singkong dan opak singkong di
Kecamatan Sepatan Timur meliputi :
1. Bahan baku dari Bogor dan tidak ada kerjasama yang jelas menyulitkan
mengontrol kualitas singkong
Bahan baku untuk pengolahan singkong di Kecamatan Sepatan Timur
berasal dari Bogor karena di Kecamatan Sepatan Timur tidak ada yang
membudidayakan singkong dan tidak ada lahan yang tersedia.
Tabel 32. Data Penggunaan Lahan di Kecamatan Sepatan Timur
Jumlah Luas Penggunaan Lahan (Ha)
Lahan Pertanian Lahan Bukan
Pertanian
Sementara Tidak
Diusahakan Total
Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah
935 222 670 - 1,827
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang (2016)
Hasil output tapai sangat ditentukan oleh singkong yang digunakan.
Penggunaan singkong tua menghasilkan output tapai lebih besar
dibandingkan singkong muda, seperti input singkong 200 kg menggunakan
singkong tua menghasilkan output 120 kg sedangkan singkong muda
menghasilkan output 100 kg. Singkong yang diturunkan ditentukan oleh
pengepul di Bogor sesuai stok yang ada.
2. Minimnya penguasaan teknologi
Pengrajin sebagian besar adalah orangtua yang memang tidak bisa
menggunakan smartphone dan belum mengenal teknologi untuk
pengemasan modern. Hal ini dikarenakan belum ada pelatihan yang
mengenalkan teknologi sepeti pengemasan dan penjualan online yang dapat
membantu usaha para pengrajin agar lebih maju.
94
3. Belum ada pengemasan yang baik
Pengemasan untuk menjual produk tapai dan opak dengan packaging yang
rapih dan sesuai standar belum dilakukan. Pengemasan untuk tapai
singkong masih menggunakan kantong plastik biasa dan pengemasan opak
dengan cara diikat dengan tali rapia yang terlihat kurang menarik.
Pengemasan yang menarik dengan informasi yang lengkap tentang produk
akan menarik konsumen untuk membeli dan jangkuan penjualan akan lebih
luas. Sesuai dengan hasil penelitian Syaputri (2015), kemasan, merek, dan
harga berpengaruh terhadapat loyalitas konsumen pada UKM keripik
singkong SULIS di Samarinda. Ketiga variabel yaitu kemasan, merek, dan
harga, dihasilkan bahwa kemasan merupakan variabel yang mempunyai
pengaruh besar terhadapat loyalitas pembelian. Semakin menarik kemasan
maka semakin konsumen tertarik untuk membeli produk.
4. Belum ada izin usaha / P-IRT
PIRT merupakan izin usaha khusus untuk usaha skala kecil. Para pengrajin
belum memikirkan untuk mengurus perizinan usaha karena bagi pengrajin
yang terpenting adalah jualan mereka habis dibeli dan keuntungannya dapat
digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pengrajin belum
mengetahui pentingnya mengurus izin usaha karena selama ini produksi
masih dapat berlanjut walaupun tanpa adanya izin usaha.
5. Pengrajin opak tidak bebas menentukan harga
Penjualan opak masih mengandalkan tengkulak yang setiap harinya datang
membeli opak ke setiap pengrajin. Harga jual ditentukan dari hasil
95
kesepakatan antara tengkulak dan pengrajin. Hal ini menyebabkan harga
jual dari pengrajin lebih rendah dan pengrajin tidak bisa menentukan secara
sepihak harga jual opak walaupun harga bahan baku naik.
6. Kelembagaan usaha belum terbentuk
Selama ini, pengrajin masih menjalankan usahanya sendiri-sendiri, mulai
dari produksi sampai penjualan. Belum ada yang mengkoordinir para
pengrajin serta minimnya pendidikan pengrajin membuat usaha tidak
terorganisir dengan baik dan tidak berkembang. Pembentukan kelembagaan
dengan tujuan, pengorganisasian yang baik (produksi, keuangan, SDM, dan
pemasaran), pengarahan, dan pengawasan usaha dapat membuat usaha lebih
berkembang.
5.6.2 Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal
Informasi mengenai peluang dan ancaman yang dihadapi IRT tapai dan
opak singkong di Kecamatan Sepatan Timur sesuai pada Tabel 33 yaitu:
Tabel 33. Peluang dan Ancaman Agroindustri Olahan Singkong di Kecamatan
Sepatan Timur
Faktor-Faktor Eksternal
Peluang Ancaman
1. Tata wilayah Kecamatan Sepatan Timur
sebagai kawasan agropolitan
2. Pekembangan teknologi informasi
3. Terdapat program pelatihan dan pembinaan
UMKM dari Dinas Koperasi dan UMKM
Kabupaten Tangerang
4. Potensi lahan budidaya singkong di
Kabupaten Tangerang
5. Banyaknya penyelenggaraan pameran atau
bazaar yang mengenalkan produk UMKM
1. Persaingan tapai dan opak
dengan produk sejenis dari
luar Kecamatan Sepatan
Timur
2. Produk tapai dengan
kemasan modern dan
bermerek
3. Terdapat tengkulak opak
96
a. Peluang
Peluang dari industri rumah tangga tapai singkong dan opak singkong di
Kecamatan Sepatan Timur meliputi :
1. Tata wilayah Kecamatan Sepatan Timur sebagai kawasan agropolitan
Kecamatan Sepatan Timur merupakan daerah yang diperuntukkan untuk
menjadi kawasan agropolitan, sesuai dengan rencana tata wilayah
Kabupaten Tangerang tahun 2011-2031 pasal 51. Agropolitan ditujukan
untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian,
mendukung tumbuhnya agro-processing skala kecil-menengah dan
mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar.
2. Perkembangan teknologi informasi
Saat ini teknologi informasi semakin berkembang dengan banyaknya
berbagai macam fitur yang memudahkan penggunanya. Internet, media
sosial, dan situs jual beli online sangat memudahkan produsen untuk
menjual produknya serta memudahkan konsumen untuk membeli produk.
Jika menjual secara online, jangkauan pemasaran akan semakin luas. Hal
ini merupakan peluang yang sangat baik untuk memasarkan produk tapai
dan opak Kecamatan Sepatan Timur lebih luas.
3. Terdapat program pelatihan dan pembinaan UMKM dari Dinas Koperasi
dan UMKM Kabupaten Tangerang
Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang dapat melakukan
pelatihan dan pembinaan untuk UMKM yang tersebar di Kabupaten
Tangerang. Pelatihan yang dapat diberikan diantaranya mengenai
97
pengemasan produk dan pemasaran online. Pengrajin dapat melakukan
pengajuan pelatihan dan pembinaan kepada Dinkop Kabupaten Tangerang
sesuai kebutuhan pengrajin saat ini untuk meningkatkan kualitas SDM.
4. Potensi lahan budidaya singkong di Kabupaten Tangerang
Kecamatan Sepatan Timur sudah tidak mempunyai lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk budidaya singkong karena lahan sudah didominasi
persawahan dan bangunan. Namun, beberapa Kecamatan di Kabupaten
Tangerang masih memproduksi singkong. Terdapat 14 Kecamatan di
Kabupaten Tangerang yang masih memproduksi singkong sesuai Tabel 34.
Kecamatan Tigaraksa mempunyai lahan terbanyak untuk budidaya
singkong dengan produksi tertinggi yaitu 353 ton/tahun. Selanjutnya,
terdapat Kecamatan Solear dengan produksi 224 ton/tahun, Kecamatan
Pagedangan dengan produksi 182 ton/tahum, dan kecamatan lainnya. Data
tersebut belum temasuk lahan yang dibawah satu hektar milik warga.
Menurut Djuwardi (2011:17), jika budidaya dilakukan intensif dengan bibit
varietas yang tepat pada lahan yang sesuai produksi bisa mencapai 20-30
ton/ha, sehingga jika lahan singkong yang sudah ada di Kabupaten
Tangerang dibudidayakan dengan tepat maka seharusnya produksi tahun
2016 bisa mencapai 2.420 – 3.630 ton/ha. Kecamatan Sepatan Timur dapat
mengambil bahan baku dari Kecamatan terdekat di Kabupaten Tangerang
yang masih memproduksi singkong, seperti Kecamatan Tigarakasa
sehingga harga bahan baku bisa lebih rendah dan memanfaatkan hasil
pertanian dari satu Kabupaten.
98
Tabel 34. Luas Lahan, Produktivitas, dan Produksi Singkong Kabupaten
Tangerang Tahun 2016
No. Kecamatan Luas Lahan
(Ha)
Produktivitas
(ku/ha)
Produksi
(ton/tahun)
1 Cisoka - - -
2 Solear 17 131.5 224
3 Tigaraksa 27 130.9 353
4 Jambe 5 130.4 65
5 Cikupa 10 131.3 131
6 Panongan 8 131.4 105
7 Curug 4 131.6 53
8 Kelapa Dua 2 130.2 26
9 Legok 12 128.9 155
10 Pagedangan 14 130.2 182
11 Cisauk 9 129.2 116
12 Pasar kemis - - -
13 Sindang Jaya - - -
14 Balaraja 2 128.9 26
15 Jayanti - - -
16 Sukamulya - - -
17 Kresek 1 129.2 13
18 Gunung Kaler - - -
19 Kronjo - - -
20 Mekar Baru - - -
21 Mauk - - -
22 Kemiri 1 128.6 13
23 Sukadiri - - -
24 Rajeg 9 129.6 117
25 Sepatan - - -
26 Sepatan Timur - - -
27 Pakuhaji - - -
28 Teluknaga - - -
29 Kosambi - - -
Jumlah / Total 121 130,5 1.579
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang (2016)
5. Banyaknya penyelenggaraan pameran atau bazaar yang mengenalkan
produk UMKM
Saat ini, berbagai institusi banyak menggelar pameran atau bazaar yang
memperkenalkan berbagai macam produk dari UMKM seluruh Indonesia.
99
Pameran tersebut dapat membantu peserta untuk mengenalkan produk
unggulannya sehingga masyarakat akan lebih mengenal produk yang
ditawarkan dan sangat efektif untuk memperluas pemasaran dan jaringan
usaha. Beberapa pameran atau bazar yang tiap tahun diselenggarakan yaitu
Jakarta IKM Expo, Agrinex Expo, serta Koperasi dan UMKM Expo.
b. Ancaman
Ancaman dari agroindustri tapai singkong dan opak singkong di Kecamatan
Sepatan Timur meliputi :
1. Persaingan tapai dan opak dengan produk sejenis dari luar Kecamatan
Sepatan Timur
Produk tapai singkong dan opak singkong adalah makanan tradisional yang
mudah dijumpai di beberapa tempat. Banyaknya penjual olahan singkong,
terutama tapai singkong dan opak singkong membuat persaingan di dalam
daerah menjadi ketat, seperti tapai dari Bogor yang sudah masuk ke pasar-
pasar di daerah Tangerang dan sekitarnya.
2. Produk tapai dengan kemasan modern dan bermerek
Sudah banyaknya produk olahan singkong yang dijual di pasaran menjadi
salah satu ancaman bagi pelaku usaha. Terlebih jika kompetitor sudah lebih
dulu berkembang dengan brand dan kemasan yang baik sehingga menarik
konsumen, seperti produk tapai yang sudah mulai masuk ke pasar dan
swalayan dengan kemasan yang memiliki branding product.
3. Terdapat tengkulak opak
Tengkulak sangat berperan dalam penentuan harga opak di Kecamatan
100
Sepatan Timur. Tengkulak tidak akan membeli jika harga opak terlalu tinggi
walaupun harga bahan baku naik. Hal ini membuat pengrajin harus pintar
mensiasati agar harga tidak naik dengan mengurangi penggunaan bahan
input lain.
5.6.3 Matriks SWOT
Strategi pengembangan produk olahan tapai dan opak singkong di
Kecamatan Sepatan Timur ditentukan dengan analisis SWOT menggunakan
matriks SWOT. Beberapa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dijelaskan
kemudian dianalisis sehingga menciptakan strategi S-O, strategi W-O, strategi S-T,
dan strategi W-T, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 35. Matriks ini didapat dari
hasil pengamatan di lapangan, wawancara dengan pengrajin, serta wawancara
dengan narasumber dari Dinas Pertanian, Dinas Koperasi dan UMKM, dan
pengusaha keripik singkong ‘keripik dalma’.
Berdasarkan analisis yang menghasilkan lima kekuatan, enam kelemahan,
lima peluang, dan dua ancaman yang ada dalam IRT tapai singkong dan opak
singkong di Kecamatan Sepatan Timur maka dapat dirumuskan strategi alternatif
sesuai dengan Tabel 35 untuk pengembangan produk lebih lanjud. Terdapat tiga
strategi S-O, dua strategi S-T, empat strategi W-O, dan dua strategi W-T yang
dihasilkan. Strategi yang telah terbentuk dapat dipilih dan disesuaikan dengan
kondisi yang ada pada IRT tapai singkong dan opak singkong di Kecamatan
Sepatan Timur saat ini serta strategi tersebut memungkinkan dan mudah untuk
diaplikasikan lebih dahulu.
101
Tabel 35. Matriks SWOT Pengembangan Produk Tapai dan Opak Singkong di
Kecamatan Sepatan Timur Kekuatan (S)
1. Menghasilkan nilai tambah
tertinggi (opak) dan
pendapatan tertinggi
(tapai)
2. Jumlah pengrajin 84
rumah tangga
3. Kontinuitas produksi
4. IRT olahan tapai dan opak
sudah bertahan puluhan
tahun
5. Peluang pasar masih
terbuka lebar
Kelemahan (W)
1. Bahan baku dari Bogor
dan tidak ada kerjasama
yang jelas menyulitkan
mengontrol kualitas
singkong
2. Minimnya penguasaan
teknologi
3. Belum ada pengemasan
yang baik
4. Belum ada izin usaha /
P-IRT
5. Pengrajin opak tidak
bebas menentukan
harga karena tengkulak
6. Kelembagaan usaha
belum terbentuk
Peluang (O)
1. Tata wilayah Kecamatan
Sepatan Timur sebagai
kawasan agropolitan
2. Perkembangan teknologi
informasi
3. Terdapat program pelatihan
dan pembinaan UMKM dari
Dinas Koperasi dan UMKM
Kabupaten Tangerang
4. Banyaknya penyelenggaraan
pameran atau bazar yang
mengenalkan produk UMKM
5. Potensi lahan budidaya
singkong di Kabupaten
Tangerang
Strategi S-O
1. Deferensiasi produk (S2,
S3, O2, O3, O4, O5)
2. Melakukan promosi dan
pemasaran online (S1, S2,
S3, O1, O2, O4)
3. Mengikuti bazar (S1, S3,
S4, S5, O1, O2, O4)
Strategi W-O
1. Mengadakan pelatihan
pengemasan produk dan
pemasaran online (W2,
W3, O2, O3)
2. Mengurus P-IRT (W4,
O2, O3)
3. Melakukan kemitraan
untuk penyediaan bahan
baku dari Kabupaten
Tangerang (W1, W6,
O5)
4. Membentuk koperasi
produksi (W1, W2, W3,
W5, W6, O2, O3)
Ancaman (T)
1. Persaingan tapai dan opak
dengan produk sejenis dari
luar Kecamatan Sepatan
Timur
2. Produk tapai dengan
kemasan modern dan
bermerek
3. Tedapat tengkulak opak
Strategi S-T
1. Meningkatkan kuantitas
dan kualitas produksi
untuk memenuhi
permintaan pasar yang
baru (T1, S2, S3, S5)
2. Penjualan produk dengan
menitipkan ke outlet-
outlet yang ada di
Tangerang dan sekitarnya
(T1, T3, S4, S5)
Strategi W-T
1. Melakukan kemitraan
untuk penjualan hasil
produksi (W6, T1, T2,
T3)
2. Membuat kemasan
menarik dengan
branding produk (W3,
T1, T2)
Sumber : Data Primer (2017)
102
a. Startegi S-O
1. Deferensiasi produk
Deferensiasi produk dapat dilakukan oleh pengrajin selain pengemasan yang
menarik, pengrajin dapat melakukan eksperimen agar produk tapai singkong
dan opak dapat lebih diterima oleh masyarakat. Produk opak yang dihasilkan
dapat dibuat menjadi beberapa ukuran. Ukuran besar yang biasa diproduksi
untuk konsumen saat ini serta ukuran kecil yang nantinya akan dikemas.
Ukuran kecil dapat dibuat sedikit lebih tebal agar tidak mudah hancur saat
dikemas. Produk tapai singkong dan opak singkong juga dapat ditambahkan
varian rasa agar konsumen memiliki banyak pilihan sehingga tidak kalah
dengan produk jajanan lain di pasaran. Tapai dapat ditambahkan rasa seperti
pandan, coklat, dan stroberi serta opak ditambahkan varian rasa seperti keju
dan pedas.
2. Melakukan promosi dan pemasaran online
Pengrajin harus menjual produknya sendiri tanpa melalui tengkulak. Selama
ini pengrajin hanya menjual produknya langsung ke tempat biasa mereka
berjualan. Promosi dan penjualan melalui online akan memudahkan pengrajin
untuk menjual produk dan bebas menetapkan harga jualnya. Promosi dan
penjualan dapat dilakukan melalui media sosial dan webiste agar dapat
dijangkau konsumen yang ada di luar daerah.
3. Mengikuti bazar
Produk tapai dan opak dapat diikut sertakan ke pameran-pameran makanan
hasil industri rumah tangga yang biasa diadakan oleh institusi tertentu atau
103
DinKop dan UMKM Kabupaten Tangerang. pengenalan bahwa di Kecamatan
Sepatan Timur memiliki industri rumah tangga olahan singkong.
b. Strategi W-O
1. Mengadakan pelatihan pengemasan produk dan pemasaran online
Kelemahan yang dimiliki pengrajin olahan tapai dan opak singkong
diantaranya minim penguasaan teknologi seperti pengemasan modern dan
penjualan online. Strategi alternatif yang dirumuskan yaitu melalui pelatihan
dari Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang. Pengrajin dapat
mengajukan pelatihan mengenai pengemasan produk yang baik dan pelatihan
pemasaran online. Setelah adanya pengajuan dari pengrajin, pihak Dinas
Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang akan mengatur jadwal dan
menganggarkan untuk melakukan pelatihan dan pembinaan untuk pengrajin.
Diharapkan setelah mendapat pelatihan dan pembinaan, kemampuan
pengrajin dalam berproduksi menjadi lebih baik dan penjualan meningkat.
Jika proses produksi dan produk sudah baik dan memenuhi standar, maka
pengurusan izin usaha akan lebih mudah.
2. Mengurus izin usaha atau P-IRT
Adanya izin usaha menerangkan bahwa produk layak dan aman untuk
dikonsumsi. Izin usaha atau P-IRT akan menambah keyakinan konsumen
untuk membeli produk tersebut sehingga dapat bersaing dengan produk
sejenis. Izin PIRT dapat diperoleh dari Dinas Kesehatan di Tigaraksa, khusus
untuk wilayah Kabupaten Tangerang. Berikut adalah persyaratan pengajuan
104
SPP-PIRT (Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga) Kabupaten
Tangerang :
a) Fotocopy KTP pemohon yang masih berlaku
b) Akta pendirian perusahaan
c) Surat yang menyatakan status bangunan (hak milik/sewa/kontrak)
d) Fotocopi izin mendirikan bangunan
e) Data perusahaan makanan dan data produk makanan
f) Peta lokasi dan gambar denah bangunan
g) Surat keterangan domisili usaha
h) Pas foto 4x6 (2 lembar)
i) Surat pernyataan membuat label yang memenuhi syarat
j) Fotocopi sertifikat penyuluhan keamanan pangan
k) Sertifikat hasil uji laboratorium produk makanan
3. Melakukan kemitraan untuk penyediaan bahan baku dari Kabupaten
Tangerang
Pengadaan bahan baku akan lebih baik jika berasal dari daerah tersebut
karena harga bahan baku menjadi lebih rendah. Namun, ketersediaan lahan di
Kecamatan Sepatan Timur tidak memungkinkan untuk budidaya singkong.
Pemerintah daerah dapat melakukan pengadaan singkong dari beberapa
kawasan di Kabupaten Tangerang. Beberapa daerah di Kabupaten Tangerang
masih membudidayakan singkong sehingga dari segi jarak terdekat,
kerjasama pengadaan singkong dapat dilakukan dengan petani singkong yang
ada di Kecamatan Rajeg, Kecamatan Cikupa, dan Kecamatan Tigaraksa.
105
Menurut Soekartawi (2001:54), agar ketersediaan bahan baku terjamin,
pemerintah daerah dapat melakukan pembelian bahan baku dengan beberapa
cara :
a) Melakukan kontrak pembelian dengan petani atau pihak lain.
b) Melakukan kerja sama pengadaan bahan baku melalu prinsip-prinsip
partnership
c) Melakukan pembelian langsung.
4. Membentuk koperasi produksi
Koperasi produksi bertujuan untuk membantu usaha anggotanya, seperti
menyediakan bahan baku yang dibutuhkan dan menampung serta membantu
menjual barang yang dihasilkan oleh anggotanya. Para pelaku usaha yang
bergabung dapat berdiskusi bersama untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi selama menjalankan usahanya.
c. Strategi S-T
1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi untuk memenuhi permintaan
pasar yang baru
Jika ingin menjangkau pasar yang lebih luas, peningkatan kuantitas dan
kualitas produksi sangat diperlukan. Mengikuti pameran dan bazar serta
pemasaran online tentunya akan membuat produksi meningkat karena akan
mendatangkan konsumen baru serta perbaikan kualitas perlu dilakukan agar
produk dapat diterima pasar baru. Peningkatan kapasitas produksi bertujuan
agar permintaan konsumen lama dan konsumen baru dapat terpenuhi
sehingga tidak berpindah ke produk lain. Peningkatan kualitas dilakukan
106
dengan memperbaiki kualitas dari segi kehigienisan produk, peningkatan
rasa, bentuk kemasan yang aman dan menarik, dan perbaikan bentuk produk
agar mudah untuk pengemasan. Peningkatan kualitas dilakukan agar produk
layak untuk mengikuti bazar atau pameran serta layak dimasukkan ke outlet
dan supermarket.
2. Penjualan produk dengan menitipkan ke outlet-outlet yang ada di Tangerang
dan sekitarnya
Pemerintah daerah dapat membuat outlet kecil yang menjual produk-produk
olahan Kecamatan Sepatan Timur atau menitipkan tapai dan opak singkong
ke outlet-outlet di daerah Tangerang dan sekitarnya yang menjual makanan
khas daerah. Beberapa outlet-outlet di Kota Tangerang memang dibuka untuk
menjual makanan-makanan dari berbagai daerah dan beberapa toko juga
bersedia untuk dititipkan produk dari produsen lain.
d. Strategi W-T
1. Membuat kemasan menarik dengan branding produk
Konsumen saat ini sangat memperhatikan kemasan sebelum membeli produk.
Kemasan yang menarik akan manarik minat beli konsumen. Minimal,
kemasan memiliki merk, nomor telepon, dan alamat produksi sebagai
informasi tertulis yang dapat dibaca oleh konsumen sehingga konsumen dapat
dengan mudah mengenali dan mencari jika ingin melakukan repeat order.
Selain itu, penambahan branding produk akan memudahkan dalam penjualan
karena dengan branding produk yang unik dan mempunyai ciri khas,
konsumen akan lebih mudah untuk mengingat produk yang dijual.
107
Penggunaan alat untuk pengemasan, seperti hand sealer sangat diperlukan
agar pengemasan lebih rapih dan pengerjaan lebih cepat jika ingin
menggunakan kemasan plastik biasa. Pengemasan juga dapat menggunakan
keranjang untuk tapai dan plastik bentuk tabung untuk mini opak.
2. Melakukan kemitraan untuk penjualan produk
Kemitraan adalah komitmen atau kerjasama jangka panjang antara dua atau
lebih organisasi untuk mencapai tujuan bisnis tertentu dengan
memaksimalkan sumber daya dari setiap partisipan. Kemitraan dapat
dilakukan dengan koperasi, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten
Tangerang, perusahaan, dan supermarket. Contohnya pengrajin dapat
memasok produk tapai atau opak ke supermarket dengan pengemasan atas
nama supermarket tersebut.
5.6.4 Implikasi Manajerial dan Startegi
Strategi yang terbentuk diharapkan dapat mengatasi kelemahan yang ada
dalam produksi tapai dan opak di Kecamatan Sepatan Timur. Implikasi manajerial
yang terbentuk lebih mengarah untuk perbaikan di tingkat produksi dari aspek
bahan baku, produk, penjualan, dan perizinan usaha agar produk yang dihasilkan
lebih baik dari sebelumnya dan lebih diterima masyarakat luas.
Sesuai dengan Tabel 36, masalah untuk kualitas bahan baku dapat diatasi
dengan bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang melakukan kerjasama
dengan petani atau pengepul di salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Tangerang memenuhi kebutuhan bahan baku singkong di daerahnya sehingga dapat
mengontrol kualitas singkong yang diturunkan setiap harinya. Harga bahan baku
108
yang berasal dari daerah yang lebih dekat dengan tempat produksi diharapkan akan
lebih murah sehingga dapat menekan biaya produksi. Bahan baku juga dapat
didatangkan lebih cepat sehingga pengrajin dapat melakukan produksi lebih awal.
Masalah dalam aspek produk yang belum dikemas dengan baik, minimnya
penguasaan teknologi, dan pengrajin opak tidak bebas menentukan harga dapat
diatasi dengan mengadakan pelatihan pengemasan produk oleh Dinas Koperasi dan
UMKM Kabupaten Tangerang, membuat kemasan menarik dengan branding
produk, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi untuk memenuhi pasar
baru. Pelatihan dari Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Tangerang dapat
dimanfaatkan untuk menambah keahlian pengrajin dalam mengemas produk yang
baik dan sesuai standar dengan desain menarik dan memiliki branding produk.
Kelemahan untuk pengrajin opak dalam menentukan harga dapat teratasi
jika melakukan kemitraan sehingga terbentuk kesepakatan harga yang disesuaikan
dengan biaya produksi dan tidak merugikan pengrajin. Kemitraan juga dapat
membantu mengatasi kelemahan dalam hal kelembagaan usaha yang belum
terbentuk. Belum adanya kelembagaan dan penguasaan teknologi yang minim
dapat diatasi dengan pengadaan koperasi produksi. Koperasi dapat membantu
dalam hal penyediaan bahan baku, manajemen usaha, produksi, dan pemasaran.
Koperasi juga dapat berperan untuk meningkatkan kualitas pengrajin dari segi
keterampilan dan menyediakan modal untuk pengembangan usaha. Mengurus izin
usaha atau P-IRT juga perlu dilakukan agar produk yang dihasilkan terjamin
keamanannya sehingga mendapat kepercayaan konsumen.
109
Tabel 36. Implikasi Manajerial dan Strategi untuk Perbaikan Kelemahan di Tingkat
Produksi No. Kelemahan Alternatif Strategi Hasil
1
Bahan baku dari
Bogor dan tidak
ada kerjasama
yang jelas
menyulitkan
mengontrol
kualitas singkong
Melakukan kemitraan untuk
pengadaan bahan baku dari
Kabupaten Tangerang
1. Bahan baku singkong dapat
didatangkan dari Kabupaten
Tangerang
2. Harga bisa lebih murah
3. Lebih mudah mengontrol kualitas
singkong karena didatangkan dari
daerah terdekat dan sudah menjalin
kerjasama atau kemitraan
2
Minimnya
penguasaan
teknologi
Mengadakan pelatihan
pengemasan produk dan
pemasaran online
Menambah keterampilan pengrajin
dalam pengemasan produk yang sesuai
standar dan modern (terdapat nama
produk, komposisi, tanggal produksi
dan kadaluarsa, dan call center) serta
menambah pengetahuan untuk
memasarkan online
3
Belum ada
pengemasan yang
baik
Membuat kemasan menarik
dengan branding produk
Tapai dan opak mempunyai kemasan
yang lebih modern, menarik, dan
mempunyai brand
3
Pengrajin opak
tidak bebas
menentukan
harga karena
tengkulak
1. Melakukan promosi dan
pemasaran online
2. Mengikuti bazar
3. Penjualan produk dengan
menitipkan ke outlet-
outlet yang ada di
Tangerang dan
sekitarnya
4. Melakukan kemitraan
untuk penjualan hasil
produksi
5. Maningkatkan kuantitas
dan kualitas produksi
untuk memenuhi
permintaan pasar baru
6. Deferensiasi produk
1. Produk lebih dikenal masyarakat luas
2. Memudahkan dalam menjual tapai
dan opak
3. Meningkatkan penjualan
4. Pengrajin bebas menentukan harga
disesuaikan dengan biaya yang
dikeluarkan
5. Mendapat konsumen baru dari dalam
dan luar Kecamatan Sepatan Timur
6. Produk yang dihasilkan lebih
bervariasi sehingga mendatangkan
kosumen baru karena mempunyai
banyak pilihan
3 Belum ada izin
usaha Mengurus P-IRT
Mendapat izin usaha untuk menambah
kepercayaan konsumen membeli produk
4
Kelembagaan
usaha belum
terbentuk
Membentuk koperasi
produksi
IRT tapai dan opak lebih terarah dari
segi manajemen usaha, bahan baku,
produksi, sampai pemasaran.
Sumber : Data Primer (2017)
110
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dikemukakan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Nilai tambah tertinggi tanpa menghitung upah tenaga kerja yaitu produk
berbahan baku singkong utuh opak singkong dengan nilai tambah Rp 3.739/kg
dengan distribusi marjin tertinggi keuntungan perusahaan sebesar 84,9% dan
produk berbahan baku sampingan tepung gaplek dengan nilai tambah Rp
6.160/kg dengan distribusi marjin tertinggi keuntungan perusahaan sebesar
88,5%. Jika menghitung upah tenaga kerja, hasil nilai tambah tetap sama namun
distribusi marjin tertinggi untuk opak adalah pendapatan tenaga kerja sebesar
89,5% dan distribusi marjin tertinggi untuk tepung gaplek adalah keuntungan
perusahaan sebesar 78,4%.
2. Keuntungan tertinggi tanpa menghitung upah tenaga kerja yaitu produk
berbahan baku singkong utuh yaitu tapai singkong dengan pendapatan Rp
7.057.860/bulan dengan R/C rasio 2,1 dan pendapatan produk berbahan baku
sampingan yaitu tepung gaplek dengan pendapatan Rp 3.926.700/bulan dengan
R/C rasio 2,9. Jika menghitung upah tenaga kerja, keuntungan tapai singkong
menjadi Rp 3.484.429/bulan dengan R/C rasio 1,2 dan keuntungan tepung
gaplek menjadi Rp 1.070.417/bulan dengan R/C rasio 2,2.
3. Usulan produk yang akan dikembangkan yaitu opak singkong dengan nilai
tambah tertinggi, tapai singkong dengan pendapatan tertinggi, dan produk
111
sampingan tepung gaplek dengan nilai tambah dan pendapatan tertinggi.
Berdasarkan analisis matriks SWOT, didapatkan sebelas strategi untuk
mengembangkan produk tapai dan opak singkong di Kecamatan Sepatan Timur.
yaitu: (a) Deferensiasi produk; (b) Melakukan promosi dan pemasaran online;
(c) Mengikuti bazar; (d) Mengadakan pelatihan pengemasan produk dan
pemasaran online; (e) Mengurus izin usaha/ P-IRT; (f) Mengadakan kemitraan
untuk penyediaan bahan baku dari Kabupaten Tangerang; (g) Membentuk
koperasi produksi; (h) Meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi untuk
memenuhi permintaan pasar yang baru; (i) Penjualan produk dengan
menitipkan ke outlet-outlet yang ada di Tangerang dan sekitarnya; (j) Membuat
kemasaran menarik dengan branding produk, dan ; (k) Melakukan kemitraan
untuk penjualan produk.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat peneliti kemukakan
adalah sebagai berikut :
a. Saran untuk pengrajin olahan singkong
Pengrajin harus memikirkan untuk mengembangkan usahanya, terutama untuk
olahan opak singkong dengan nilai tambah tertinggi dan tapai singkong dengan
pendapatan tertinggi, kemudian usaha tepung gaplek sebagai produk
sampingan.
b. Saran untuk pemerintah
Pemerintah Kecamatan Sepatan Timur mempertimbangkan produk untuk
difokuskan pengembangan yaitu tapai dan opak serta menjalankan strategi
112
alternatif yang sesuai agar pengembangan produk olahan singkong yang terpilih
dapat terwujud.
c. Saran untuk peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian dengan menghitung kembali
tenaga kerja dan upah yang benar-benar sesuai pekerjaan yang dilakukan agar
hasil perhitungan lebih akurat dan tidak bernilai negatif.
113
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia, Redaksi. 2007. 22 Peluang Bisnis Makanan Untuk Home Industry. PT
Agro Media Pustaka. Jakarta.
Agbarevo, et al., 2014. The Effect Of Adoption Of Cassava Value Added
Technologies On Farmer Production In Abia State, Nigeria. European
Journal of Pure and Applied Chemistry. Vol 1 No.1; pages 17-22.
Alamsyah, Yuyun. 2010. 30 Resep & Peluang Usaha Snack Kering Dalam
Kemasan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Asfia, Nora. 2013. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek
Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat (Studi Kasus Desa
Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). [Skripsi].
Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor.
Astuty, Tri. 2016. Pengaruh Desain Kemasan, Cita Rasa, dan Variasi Produk
Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Bumi Anugrah. PERFORMA :
Jurnal Manajemen dan Star-Up Bisnis. Vol.1 No.4; hal 455-463.
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI. 2016. Roadmap Diversifikasi
Pangan 2011-2015. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Industri Mikro dan Kecil.
https://bps.go.id/subject/170/industri-mikro-dan-kecil.html, 24 Oktober
2017, pk.09:00 WIB.
Departemen Pertanian. 2002. Grand Strategi Pengembangan Agroindustri
(Industri Pengolahan Hasil Pertanian). Direktorat Bina Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Djafaar, Titiek F dan Siti Rahayu. 2003. Ubi Kayu dan Olahannya. Kanisius.
Yogyakarta.
Djumanta, Wahyudi. 2006. MATEMATIKA. PT. Grafindo Media Pratama. Jakarta.
Djuwardi, Anton. 2011. Cassava: Solusi Pemberagaman Kemandirian Pangan. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
DPRD dan Bupati Tangerang. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Tangerang Tahun 2011-2031. https://banten.bpk.go.id/?p=3095/, 24 Oktober
2017, pk.08:52 WIB.
Gubernur Banten. 2003. Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Provinsi Banten Tahun 2002 - 2022.
https://jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_BANTEN_11_2003.pdf/, 24
Oktober 2017, pk.09:04 WIB.
114
Gujarati, Damonar R. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika Jilid 1. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Handoko, Haryo Bagus. 2009. Tempat Makanan dan Oleh-Oleh Khas Malang. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hartoko, Alfa. 2010. 40 Tool Dahsyat untuk Mengelola Bisnis UKM. PT Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Imani, Israwan. 2016. Analisis Keuntungan dan Nilai Tambah Pengolahan Ubi
Kayu Menjadi Tela-Tela (Studi Kasus Usaha Tela Steak di Kelurahan
Mandonga Kecamatan Mandonga Kota Kediri). [Skripsi]. Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Kendari.
Islami, Titiek. 2015. Ubi Kayu. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Izekor, et al., 2016. Analysis Of Market Integration And Price Variation In Garri
Marketing In Edo State, Nigeria. NJAFE. Vol.12 No. 4; pages 123-130.
James, et al., 2011. Expanding The Aplplication Of Cassava Value Chain
Technologies Through Upoca Project. AJRTC. Vol. 9 No. 1; pages 36-49.
Juliandi dkk. 2014. Metodologi Penelitian Bisnis Konsep & Aplikasi. UMSU Press.
Medan.
Kecamatan Sepatan Timur dalam Angka. 2017. Kecamatan Sepatan Timur dalam
Angka 2017. BPS. Tangerang.
Kementerian Koperasi dan UKM. 2013. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) dan Usaha Besar (UB). http://www.depkop.go.id/berita-
informasi/data-informasi/data-umkm/, 27 April 2017, pk.20:50 WIB.
Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2002. Manajemen Pemasaran Jilid 2.
Erlangga. Jakarta
Kuncoro, Mudrajat. 2005. Strategi Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif.
Erlangga. Jakarta.
Lestari, Suci Rizqi. 2017. Tumbuh Positif Sektor Pertanian Sumbang PDB
Terbesar Kedua. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/, 10
Agustus 2017, pk.13:01 WIB.
LIPI. 2007. Inovasi Menebar Ilmu dan Teknologi Membangun Kemandirian. LIPI
Press. Subang.
Marimin dan Nurul Maghfiroh. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan
dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor.
115
Marimin dan Alim Setiawan Slamet. 2010. Analisis Pengambilan Keputusan
Manajemen Rantai Pasok Bisnis Komoditi dan Produk Pertanian. Pangan.
Vol. 19 No. 2; hal 169-188.
Maulidah Silvana. 2012. Pengantar Usahatani: Kelayakan Usahatani. [Modul].
Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Miftahudin, Husen. 2016. Kontribusi Sektor Pertanian ke PDB Tertinggi Kedua.
http://ekonomi.metrotvnews.com, 10 Agustus 2017, pk.12:58 WIB.
Murtiningsih dan Suryanti. 2011. Membuat Tepung Umbi dan Variasi Olahannya.
PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Nabilah, Sharfina dkk. 2015. Analisis Finansial Usahatani Kedelai dan Nilai
Tambah Tahu di Kabupaten Lombok Tengah. SEPA. Vol. 12 No.1; hal 11-
18.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. 2010. PT Bumi
Aksara. Jakarta.
Purwono dan Heni Purnamawati. 2010. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan
Unggul. Swadaya. Depok.
Pratiwi dkk. 2015. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Agroindustri Tape
Singkong di Kota Pekanbaru. Jom Faperta. Vol 2 No.1; hal 1-11.
Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT
Gramedia. Jakarta.
Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis
Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019. Kementerian Pertanian RI.
Jakarta.
Rukmana, Rahmat dan Yuyun Yuniarsih. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Kanisius.
Yogyakarta.
Rustiadi, Ernan dkk. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Yayasan
Pustaka Obor. Jakarta.
Sari, Ade Silvana dkk. 2015. Analisis Nilai Tambah Pengolahan Ubi Kayu Menjadi
Tape Ubi (Studi Kasus: Kelurahan Baru Ladang Bambu, Kecamatan Medan
Tuntungan, Kota Medan). [Skripsi]. Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sensus Pertanian BPS. 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan
Lengkap). http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/index, 28 April
2017, pk.12:34 WIB.
Setiawan, Iwan. Agribisnis Kreatif. 2012. Penebar Swadaya. Jakarta.
116
Shinta, Agustina. 2011. Ilmu Usahatani. UB Press. Malang.
Soekartawi. 2001. Pengantar Agroindustri. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi. 2016. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Suratiyah, Ken. 2015. Ilmu Usahatani Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syaputri, Ria. 2015. Pengaruh Kemasan, Merek, dan Harga Terhadap Loyalitas
Konsumen Pada UKM Keripik Singkong Sulis di Samarinda. e-Jurnal Ilmu
Administrasi Bisnis. Vol.3 No.1; hal 27-39.
Tjiptono, Frandy. 2008. Strategi Pemasaran. Andi. Yogyakarta.
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2006. Economic Development. Penerbit
Erlangga. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah.
Valentina, Oxy. 2009. Analisis Nilai Tambah Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku
Keripik Singkong di Kabupaten Karanganyar (Kasus pada KUB Wanita Tani
Makmur). [Skripsi]. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
117
Lampiran 4. Penyusutan Alat-Alat Produksi
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 50 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 2 10.000 20.000 365 0 54,8
2 Ember 3 20.000 60.000 365 0 164,4
3 Keranjang plastik 4 10.000 40.000 365 0 109,6
4 Kuali 1 190.000 190.000 3.650 0 52,1
5 Keranjang bambu 0 0 0 365 0 0
6 Blonjong 0 0 0 365 0 0
7 Motor 1 3.000.000 3.000.000 1460 0 2.054,8
8 Serokan 1 5.000 5.000 365 0 13,7
9 Spons 1 2.500 2.500 21 0 119,1
Jumlah 3.315.000 2.568,4
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 70 Kg
No Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 3 10.000 30.000 365 0 82,2
2 Ember 3 20.000 60.000 365 0 164,4
3 Keranjang plastik 4 7.500 30.000 365 0 82,2
4 Kuali 1 200.000 200.000 3.650 60.000 38,4
5 Keranjang bambu 0 0 0 365 0 0
6 Blonjong 0 0 0 365 0 0
7 Motor 1 3.500.000 3.500.000 1.460 0 2.397,3
8 Saringan plastik 1 5.000 5.000 365 0 13,7
9 Spons 1 3.000 3.000 21 0 142,9
Jumlah 3.825.000
2.920,9
118
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 100 Kg
No. Alat Jumlah Harga (Rp)
Jumlah Biaya
Umur Ekonomis (Hari)
Nilai Sisa
Penyusutan (Rp/hari)
1 Pisau 4 5.000 20.000 365 0 54,8
2 Ember 4 15.000 60.000 365 0 164,4
3 Keranjang plastik 1 10.000 10.000 365 0 27,4
4 Kuali 1 200.000 200.000 3.650 0 54,8
5 Keranjang bambu 2 50.000 100.000 365 0 274
6 Blonjong 1 230000 230.000 365 0 630,1
7 Motor 1 5.000.000 5.000.000 1.460 0 3.424,7
8 Serokan 1 15.000 15.000 365 0 41,1
9 Spons 1 3.000 3.000 21 0 142,9
Jumlah 5.635.000 4.814,1
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 150 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(hari)
Nilai
sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 5 5.000 25.000 365 0 68.5
2 Ember 5 15.000 75.000 365 0 205,5
3 Keranjang plastik 2 10.000 20.000 365 0 54,8
4 Kuali 1 190.000 190.000 3.650 0 52,1
5 Keranjang bambu 5 50.000 250.000 365 0 684,9
6 Blonjong 1 250.000 250.000 365 0 684,9
7 Motor 1 3.500.000 3.500.000 1.460 0 2.397,3
8 Saringan bambu 1 5.000 5.000 365 0 13,7
9 Spons 1 3.000 3.000 21 0 142,9
Jumlah 4.318.000 4.304,5
119
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 200 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 5 5.000 25.000 365 0 68,5
2 Ember 8 20.000 160.000 365 0 438,4
3 Bakul 6 25.000 150.000 365 0 411
4 Kuali 1 190.000 190.000 3.650 0 52,1
5 Keranjang bambu 6 50.000 300.000 365 0 821,9
6 Blonjong 1 270.000 270.000 365 0 739,7
7 Motor 1 4.000.000 4.000.000 1.460 0 2.739,7
8 Saringan 1 15.000 15.000 365 0 41,1
9 Spons 1 3.000 3.000 21 0 142,9
Jumlah 5.110.000
5.455,2
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tape Singkong Input 300 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 6 10.000 60.000 365 0 164,4
2 Ember 10 20.000 200.000 365 0 548
3 Keranjang plastik 5 15.000 75.000 365 0 205,5
4 Kuali 2 210.000 420.000 3.650 0 115,1
5 Keranjang bambu 9 50.000 450.000 365 0 1.232,9
6 Blonjong 1 280.000 280.000 365 0 767,1
7 Motor 1 4.500.000 4.500.000 1.460 0 3.082,2
8 Serokan 1 10.000 10.000 365 0 27,4
9 Spons 1 2.500 2.500 21 0 119,1
Jumlah 5.995.000 6.261,5
120
Penyusutan Alat-Alat Produksi Opak Singkong Input 8 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 1 10.000 10.000 365 0 27,4
2 Mangkok 1 5.000 5.000 365 0 13,7
3 Kuali 1 200.000 200.000 3.650 0 54,8
4 Papan kayu 1 5.000 5.000 365 0 13,7
5 Geribik 6 7.500 45.000 30 0 1.500
6 Saringan Plastik 1 2.000 2.000 30 0 66,7
7 Ember 4 18.000 72.000 365 0 197,3
8 Cobek 1 50.000 50.000 365 0 137
Jumlah 389.000 2.010,5
Penyusutan Alat-Alat Produksi Opak Singkong Input 10 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(hari)
Nilai
sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Pisau 1 10.000 10.000 365 0 27,4
2 Mangkok 1 5.000 5.000 365 0 13,7
3 Kuali 1 200.000 200.000 3.650 0 54,8
4 Papan kayu 1 5.000 5.000 365 0 13,7
5 Geribik 8 7.500 60.000 30 0 2.000
6 Saringan Plastik 1 1.500 1.500 30 0 50
7 Ember 1 15.000 60.000 365 0 164,4
8 Cobek 1 70.000 70.000 365 0 191,8
Jumlah 411.500
2.515,8
Penyusutan Alat-Alat Produksi Enyek-Enyek Input 15 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Mesin Kerik 1 300.000 300.000 1.825 0 164,4
2 Sasak 10 2.500 25.000 180 0 138,9
3 Pisau 2 10.000 20.000 365 0 54,8
4 Kukusan 1 120.000 120.000 730 0 164,4
5 Papan kayu 1 5.000 5.000 365 0 13,7
6 Kompor 1 300.000 300.000 1.905 0 157,5
7 Ember 4 18.000 72.000 365 0 197,3
8 Cobek 1 100.000 100.000 365 0 274
Jumlah 942.000 1.164,9
121
Penyusutan Alat-Alat Produksi Enyek-Enyek Input 30 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Mesin Kerik 1 300.000 300.000 1.825 0 164,4
2 Sasak 22 2.500 55.000 180 0 305,6
3 Pisau 2 10.000 20.000 365 0 54,8
4 Kukusan 1 150.000 150.000 730 0 205,5
5 Papan kayu 1 5.000 5.000 365 0 13,7
6 Kompor 1 250.000 250.000 1.905 0 131,2
7 Ember 5 18.000 90.000 365 0 246,6
8 Cobek 1 80.000 80.000 365 0 219,2
Jumlah 950.000 1.340,9
Penyusutan Alat-Alat Produksi Enyek-Enyek Input 60 Kg
No. Alat Jumlah Harga
(Rp)
Jumlah
Biaya
Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Mesin Kerik 1 300.000 300.000 1.825 0 164,4
2 Sasak 35 2.500 87.500 180 0 486,1
3 Pisau 4 10.000 40.000 365 0 109,6
4 Kukusan 1 150.000 150.000 730 0 205,5
5 Papan kayu 2 10.000 10.000 365 0 27,4
6 Kompor 1 300.000 300.000 1.905 0 157,5
7 Ember 7 20.000 14.0000 365 0 383,6
8 Cobek 1 80.000 80.000 365 0 219,2
Jumlah 1.107.500
1.753,2
Penyusutan Alat-Alat Produksi Keripik
No. Alat Jumlah Harga (Rp)
Jumlah Biaya
Umur Ekonomis (Hari)
Nilai Sisa
Penyusutan (Rp/hari)
1 Sasak 5 1.000 5.000 365 0 13,7
2 Pisau 1 10.000 10.000 365 0 27,4
3 Kuali 1 200.000 200.000 3.650 0 54,8
4 Serokan 1 2.000 2.000 365 0 5,5
5 Tampah bambu 2 10.000 20.000 365 0 54,8
6 Ember 3 17.000 51.000 365 0 139,7
7 Cobek 1 50.000 50.000 365 0 137
Jumlah 338.000
432,9
122
Penyusutan Alat-Alat Produksi Kerupuk Input 5 Kg
No. Alat Jumlah Harga (Rp) Jumlah Biaya Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Sasak 3 1.000 3.000 180 0 16,7
2 Kukusan 1 130.000 130.000 1.825 0 71,2
3 Bak ember 1 20.000 20.000 365 0 54,8
4 Papan kayu 1 10.000 10.000 730 0 13,7
5 Cobek 1 50.000 50.000 365 0 137
Jumlah 213.000 293,4
Penyusutan Alat-Alat Produksi Kerupuk Input 10 Kg
No Alat Jumlah Harga (Rp) Jumlah Biaya Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Sasak 8 2.000 16.000 180 0 88,9
2 Kukusan 1 100.000 100.000 1.825 0 54,8
3 Bak ember 1 15.000 15.000 365 0 41,1
4 Papan kayu 1 5.000 5.000 730 0 6,8
5 Cobek 1 65.000 65.000 365 0 178,1
Jumlah 201.000 369,7
Penyusutan Alat-Alat Produksi Tepung Tatal
No. Alat Jumlah Harga (Rp) Jumlah Biaya Umur Ekonomis
(Hari)
Nilai
Sisa
Penyusutan
(Rp/hari)
1 Bakul 1 10.000 10.000 365 0 27,4
2 Motor 1 4.500.000 4.500.000 1.460 0 3.082,2
Jumlah 4.510.000 1.825 0 3.109,6
123
Lampiran 5. Harga Input Lain
Harga Input Lain Tape Singkong
Input Lain Harga (Rp)
50 kg 70 kg 100 kg 150 kg 200 kg 300 kg
Ragi 1.666,7 2.500 3.333,3 7.500 10.000 15.000
Kayu Bakar 2.500 3.333,3 5.000 10.000 15.000 22.500
Koran 1.000 1.333,3 3.500 4.666,7 7.000 14.000
Kertas Nasi - - 2.857,1 4.000 5.000 6.667
Total 5.166,7 7.166,7 14.690,5 26.166,7 37.000 58.167
Harga Input Lain Opak Singkong
Input Lain Harga
8 kg 10 kg
Daun kucai 1.000 1.000
Bawang putih 1.000 1.000
Ketumbar 1.000 1.000
Garam 400 500
Kayu bakar 1.428.6 1.428.6
Minyak goreng 1.000 1.000
Total 5.828,6 5.928,6
Harga Input Lain Enyek-Enyek
Input Lain Harga (Rp)
15 kg 30 kg 60 kg
Sasa 1.500 3.000 5.000
Bawang putih 2.000 3.000 12.000
Ketumbar 3.000 6.000 10.000
Garam 1.000 2.000 5.000
Kayu bakar 6.666,7 10.000 20.000
Cabe merah 2.000 4.000 8.000
Minyak goreng 1.750 3.500 7.000
Kucai 2.500 5.000 10.000
Total 20.416,7 36.500 77.000
124
Harga Input Lain Keripik Singkong
Input Lain Harga (Rp)
Kayu bakar 1.666,7
Total 1.666,7
Harga Input Lain Tepung Gaplek
Input Lain Harga (Rp)
Penggilingan 20.000
Total 20.000
Harga Input Lain Kerupuk Singkong
Input Lain Harga (Rp)
8 kg 10 kg
Sasa 1.000 2.000
Bawang putih 2.000 4.000
Ketumbar 1.000 2.000
Garam 500 1.000
Kayu bakar 1.428,6 1.666,7
Pewarna 571,4 800
Minyak goreng 875 1.750
Total 7.375 13.216,7
125
Lampiran 6. Penghitungan Upah Tenaga Kerja
No. Produk Input Upah/Jam Waktu
Kerja
Upah Per
Pekerja
Jumlah
TK
Total
Upah HOK
Upah
Rata-Rata
1 Tapai
50 8.750 4 35.000 1 35.000 0,5 70.000
70 8.750 4 35.000 2 70.000 1 70.000
100 8.750 5 43.750 2 87.500 1,3 70.000
150 8.750 6 52.500 3 157.500 2,3 70.000
200 8.750 6 52.500 4 210.000 3 70.000
300 8.750 7 61.250 4 245.000 3,5 70.000
2 Enyek-
Enyek
15 8.750 4 35.000 1 35.000 0,5 70.000
30 8.750 4 35.000 2 70.000 1 70.000
60 8.750 7 61.250 2 122.500 1,8 70.000
3 Opak 8 8.750 4 35.000 1 35.000 0,5 70.000
10 8.750 4 35.000 1 35.000 0,5 70.000
4 Keripik 10 8.750 3 26.250 1 26.250 0,4 70.000
5 Kerupuk 5 8.750 3 26.250 1 26.250 0,4 65.625
10 8.750 4 35.000 1 35.000 0,5 70.000
6 Tepung 10 8.750 2 17.500 1 17.500 0,25 70.000
HOK = Jumlah Tenaga Kerja x Waktu Kerja
8
126
Lampiran 7. Daftar Pertanyaan Nilai Tambah dan Pendapatan Pengrajin
ANALISIS NILAI TAMBAH, PENDAPATAN USAHA, DAN PENGEMBANGAN
AGROINDUSTRI OLAHAN SINGKONG SKALA INDUSTRI RUMAH TANGGA
(STUDI KASUS KECAMATAN SEPATAN TIMUR, KABUPATEN TANGERANG)
Tanggal :
A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama :
2. Umur :
3. Pendidikan :
4. Jenis Usaha :
5. Desa :
B. PELAKSANAAN USAHA
Nilai Tambah
1. Output produk sekali produksi (kg) :
2. Harga jual produk (Rp/kg) :
3. Volume input singkong/produksi (kg) :
4. Harga bahan baku singkong (Rp/kg) :
5. Jumlah tenaga kerja (org) :
6. Upah tenaga kerja (Rp/jam) :
7. Harga input lain :
No. Input lain Kg Harga (Rp)
127
Pendapatan Usaha
1. Pembelian alat-alat produksi :
No. Jenis Alat Jumlah
(Unit)
Harga Satuan
(Rp)
Jumlah Biaya
(Rp)
Umur Pakai
(thn)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2. Biaya pemasaran dalam sekali memasarkan (Rp) :
a. Bensin
b. Kantong plastik
c. Lainnya
128
Lampiran 8. Daftar Pertanyaan Pengembangan Produk
No. Variabel Definisi
Operasional
Indikator Narasumber Pertanyaan
1 Ketersediaan
bahan baku
Ketersediaan
bahan baku adalah
tersedianya bahan
baku yang
digunakan dalam
proses produksi
Sumber bahan
baku singkong
Pengadaan
bahan baku
singkong
Stok bahan
baku singkong
Dinas
Pertanian
1. Bagaimana
ketersediaan singkong
di Kabupaten
Tangerang ?
2. Apakah komoditi
singkong di
Kabupaten Tangerang
akan menjadi fokus
untuk ditingkatkan
produksinya?
3. Apakah
memungkinkan untuk
memasok singkong ke
Kecamatan Sepatan
Timur dari daerah
pengahasil singkong
di Kabupaten
Tangerang?
4. Apakah
memungkinkan untuk
membudidayakan
singkong di
Kecamatan Sepatan
Timur?
5. Apa yang harus
dilakukan jika
pengrajin kekurangan
bahan baku?
Pengrajin 1. Kemana bapak/ibu
membeli singkong?
2. Apa yang dilakukan
jika tempat penjualan
singkong tersebut
tidak sedang
menurunkan
singkong?
3. Apakah pernah terjadi
bahan baku singkong
sulit didapatkan?
4. Apakah kualitas
bahan baku singkong
yang dibeli selalu
sama? dan apakah
mempengaruhi rasa?
129
2 Preferensi
konsumen
Preferensi
konsumen adalah
pilihan suka atau
tidaknya seseorang
terhadap produk
yang dikonsumsi
Permintaan
konsumen
Dinas
Koperasi dan
UMKM,
pengusaha
olahan
singkong
1. Bagaimana minat
konsumen untuk
produk olahan
singkong saat ini ?
2. Apa yang harus
diperhatikan pengrajin
agar konsumen
tertarik untuk
membeli produk?
Pengrajin 1. Siapa yang membeli
produk anda?
2. Apa yang disukai
konsumen dari
produk yang dijual?
3. Apakah pembeli
pernah merasa kurang
puas dengan produk
yang dijual dan apa
yang dikeluhkan?
4. Apakah pembeli
pernah memberikan
masukan mengenai
produk yang dijual?
3 Kemampuan
berkompertisi
Kemampuan
berkompetisi
adalah
kemampuan untuk
dapat bersaing
secara kompetitif
Strategi
penjualan
Dinas
Koperasi dan
UMKM,
pengusaha
olahan
singkong
1. Apa yang harus
dilakukan pengrajin
agar produk dapat
dipasarkan lebih luas
dan dapat bersaing
dengan produk
sejenis?
Pengrajin 1. Siapa yang menjadi
pesaing untuk produk
yang anda jual?
2. Apa keunggulan dari
produk yang anda jual
dibanding produk
pesaing?
4 Kualitas
Sumber Daya
Manusia
(SDM)
Kualitas SDM
adalah kualitas
yang menyangkut
mutu SDM
mengenai
kemampuan, yaitu
kemampuan fisik
(kesehatan) dan
Keterampilan Dinas
Koperasi dan
UMKM,
pengusaha
olahan
singkong
1. Apakah pernah
mengadakan pelatihan
di Kecamatan Sepatan
Timur?
2. Apa saja pelatihan
yang dapat diadakan
oleh Bagian UMKM
dan bagaimana cara
130
non fisik
(kemampuan
bekerja,
pendidikan,
keterampilan, dsb)
pengrajin
mengajukan
pelatihan?
3. Kemampuan apa yang
sebaiknya dikuasai
pengrajin untuk
mengembangkan
produknya?
Pengrajin 1. Apa saja keahlian
yang dimiliki oleh
pengrajin?
2. Darimana pengrajin
mendapatkan keahlian
mengolah singkong?
3. Apakah pengrajin
pernah mengikuti
pelatihan dari institusi
tertentu?
131
Lampiran 9. Dokumentasi Produksi Olahan Singkong dan Wawancara
Pengolahan Tape Singkong
Pengupasan kulit Pencucian Pengerikan Perebusan
Pemberian ragi Pemotongan Pemeraman
Pengolahan Opak
Pemipihan Pencetakan Penjemuran
Opak Alat tumbuk
132
Keripik Singkong Enyek-enyek
Pengolahan Kerupuk
Kerikan singkong Pencampuran bumbu Pembungkusan plastik
Pengukusan Pencetakan Penjemuran
Pengolahan Tepung
Penjemuran ujung singkong Penggilingan Tepung Tatal
Mesin pemarut singkong Enyek-enyek
133
Wawancara
Bersama Bu Lidya Bersama Bu Asma dan Bu Dewi
(Dinas Pertanian) (Dinas Koperasi dan UMKM)