analisis landasan operasional lembaga keuangan mikro...
TRANSCRIPT
“Analisis Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Terkait ”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh :
Fitri Yunindya
109046100185
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memenuhi gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Desember 20 13
Fitri Yunindya
iv
ABSTRAK
Fitri Yunindya. 109046100185. Analisis Landasan Operasional Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Terkait. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013,
80 halaman.
Masalah pokok penelitan ini adalah analisis landasarn operasional lembaga
keuangan mikro syariah khususnya Baitul Mal Wat Tamwil berdasarkan adanya
pembaruan undang-undang di sektor keuangan. Tujuan penelitan ini adalah untuk
menjelaskan bagaimana Baitul Mal Wat Tamwil dalam merujuk hukum-hukum
yang ada dalam hal mendapatkan kejelasan hukum dan legitimasi hukum. .
Jenis penelitian ini adalah penelitan kualitatif. Jenis data dalam penelitian
ini terdiri atas dua sumber, yaitu data primer yaitu undang-undang yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan data sekunder yang
diperoleh dari Artikel, Jurnal, Laporan Penelitian, dan Prosiding. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Baitul Mal Wat Tamwil merujuk pada
Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No.
21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No. 1 tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dan pengaplikasian undang-undang
tersebut menggunakan asas-asas perundang-undangan yang ada dan berlaku di
Indonesia.
Kata Kunci: Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Baitul Mal Wat Tamwil,
Undang-Undang.
Pembimbing: Harry Alexander, S.H., M.H., LL.M.
Daftar Pustaka: 1982 s.d. 2013
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala Puji dan Syukur hanya milik Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
seluruh makhluk Nya, memberikan nikmat Islam yang tiada pernah berbalas oleh
runtutan sujud. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, yang dengan kasihnya menghantarkan umatnya kepada zaman
yang penuh Ilmu, dan juga kepada segenap keluarga serta umatnya sepanjang
zaman.
Dengan Rahmat SWT, Penulis bersyukur karena telah menyelesaikan
skripsi ini dengan baik yang berjudul “Analisis Landasan Operasional Lembaga
Keuangan Mikro (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait”.
Dalam proses menyelesaikan skripsi ini ada banyak motivasi dan doa dari
semua pihak, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk
itu perkenankanlah penulis mengucapkan kata terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu DR. Euis Amalia, M. AG., selaku ketua Program Studi Muamalat
Konsentrasi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Mu’min Rauf, M. Ag., Sekertaris Konsentrasi Perbankan Syariah
Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
vi
Hidayatullah Jakarta, yang merupakan tauladan di Fakultas yang sangat amat
banyak membantu Saya dalam terselesaikannya studi di Fakultas Syariah.
Semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak.
4. Bapak Harry Alexander, S.H., M.H., LL.M. selaku dosen pembimbing yang
senantiasa membimbing, membantu dan meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan, saran-saran, serta pengalaman yang sarat ilmu sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah
untuk Bapak sekeluarga.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
semoga amal kebaikannya mendapat balasan di sisi Allah SWT. Khususnya
Bp. Buchori Muslim, Lc yang banyak memberikan inspirasi bagi penulis.
Semoga penulis mampu menjadi manfaat atas ilmu yang diberikan.
6. Kepada Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A dan Bapak Fahmi Muhammad
Ahmadi, M.Si selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan masukan
serta arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi.
7. Yang terhormat dan tercinta, Ibu dan Ayah Saya yang selalu memberikan doa
terbaik untuk anaknya. Semoga Allah menghadiahinya surga dan mengganjar
kebaikannya dengan pahala.
8. Kepada Kakak saya, Yuli Kusuma Dewi yang telah memberikan fasilitas dan
dukungan serta arahan terbaik dalam menyelesaikan studi saya di Universitas
ini.
vii
9. Kepada teman terdekat dan juga sahabat yang telah memberikan banyak
masukan dan bantuan Dini Aulia, Amala Shabrina, Sri Lestari, Dinar Aulia,
dan khususnya Agus Maulana Yusuf yang banyak membantu baik waktu,
tenaga, dan juga motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.
10. Untuk teman-teman angkatan 2009 khususnya Perbankan Syariah Kelas E
yang telah menjadi kerabat bertukar pikiran, berdikusi, dan berbagi selama
berada di Universitas ini
11. Kepada Teman-teman Lingkar Studi Ekonomi Syariah (LiSEnSi) UIN Jakarta
yang banyak menginspirasi penulis dalam mendalami Kajian-kajian Ekonomi
Syariah.
Dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak, semoga kebaikan dan
bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah
SWT. Penulis meminta maaf karena terdapat beberapa kekurangan yang
terdapat dalam skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat
memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi
yang membacanya.
Jakarta, 30 Desember 2013
Penulis
Fitri Yunindya
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ..................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Permasalahan………………………………………………………………...4
1. Identifikasi Masalah…………………………………………………….4
2. Pembatasan Masalah……………………………………………………5
3. Perumusan Masalah…………………………………………………….5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 6
D. Metode Penelitian ......................................................................................... . 7
1. Jenis Penelitian…………………………………………………….…… 7
2. Jenis Data …………………………………………………….………….8
3. Teknik Analisis Data …………………………………………................8
4. Teknik Penulisan …………………………………………..………........9
E. Sistematika Penulisan ………………………………………………………9
ix
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Hukum
1. Pengertian Hukum ................................................................................ 11
2. Sumber-sumber Hukum ....................................................................... 14
3. Fungsi Hukum……………………………………………………….….17
B. Undang-Undang ........................................................................................... 19
1. Definisi Undang-undang ........................................................................ 19
2. Asas-asas pembentukan Perundang-undangan yang Baik ................ 23
C. Lembaga Keuangan Mikro ......................................................................... 26
1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro .................................................... 26
2. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Mikro ……………………………....27
3. Peran Lembaga Keuangan Mikro…….………………………………27
D. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 29
BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAL WAT TAMWIL
A. Definisi Baitul Mal Wat Tamwil ................................................................. 34
B. Aspek Kegiatan yang Terdapat Dalam BMT ........................................... 35
C. Peran BMT ................................................................................................... 38
D. Peraturan yang Mengatur BMT…………………………………………..39
1. Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian….…….39
x
2. Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang OJK…………………...46
3. Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang LKM……………………52
BAB IV Analisis dan Pembahasan
A. Kelembagaan BMT…………………………………………………57
B. Regulasi BMT……………………………………………………….66
C. Penguatan Hukum BMT…………………………………………...75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................... 78
B. Saran ............................................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...81
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Hierarki Perundang-undangan ........................................................ 21
Gambar 4.1 Alur Sistematis Pengaturan BMT .................................................... 61
Gambar 4.2 Perundang-undangan LKMS ............................................................ 62
Gambar 4.3 Alur Pelaksanaan Perundang-undangan LKMS............................... 63
Gambar 4.4 Penguatan Hukum LKMS ................................................................ 67
Gambar 4.5 Pengembangan LKMS Melalui Penguatan Hukum LKMS ............. 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan yang paling efisien untuk mengatasi kemiskinan adalah
dengan melakukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan. Percepatan pertumbuhan ekonomi berperan sebagai syarat
dasar yang paling strategis bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu adanya perbaikan terhadap akses
pendanaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah.
Terhambatnya upaya pengembangan masyarakat miskin dalam
mengakses layanan keuangan pada umumnya disebabkan antara lain dari sisi
legalitas yaitu masalah agunan, belum berbadan hukum, tidak adanya izin
usaha, dan tidak adanya identitas pribadi.1 Hal tersebut membuat masyarakat
dinilai tidak layak mendapatkan akses pendanaan.
Dengan adanya sistem keuangan inklusif diharapkan dapat
menciptakan sinergi antara bank dan lembaga keuangan non-bank. Mengingat
bank adalah lembaga keuangan yang paling luas cakupannya, strategi
keuangan inklusif akan berpijak di atas sektor perbankan sebagai basis. Untuk
1 Eko, “Financial Inclusion; Akses Pendanaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”,
Tabloid Progress, (Mei 2011), h. 7
2
mengisi celah konsumen yang tidak terlayani, maka sinergi antara bank dan
lembaga keuangan non-bank, salah satunya dengan lembaga keuangan mikro
yang sudah banyak melayani kelompok miskin dan UMKM perlu di dorong.
Bersadarkan strategi penguatan akses keuangan masyarakat diatas,
maka LKMS perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah. Jika
sebelumnya LKMS diatur oleh Undang-Undang No.7 tentang perkoperasian
dirasa kurang terakomodir oleh undang-undang tersebut dikarenakan
banyaknya perbedaan dan ketidaktepatan dengan ciri khas dari LKMS
khususnya Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dengan koperasi pada umumnya.
Pada Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian sebagaimana
amandemen dari Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian,
tidak mengatur secara komprehensif mengenai aspek syariah baik dari segi
operasional pola syariah maupun model pembiayaan serta sistem pengawasan,
standar kompetensi, manajemen resiko maupun hal terkait dengan LKMS
yang notabene berbeda sekali dengan koperasi simpan pinjam konvensional.2
Pada kenyatannya dilapangan, banyak LKMS yang menjadikan badan
hukum koperasi hanya sebagai pelindung dari sebutan bank gelap tetapi
realitanya sistem operasionalnya sama seperti layaknya bank dan tidak
menerapkan prinsip-prinsip koperasi. Hal ini mengakibatkan banyak
2 Euis Amalia, Keadilan Distributif Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di
Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
3
munculnya pelanggaran dan penyimpangan pada LKMS atau dalam hal ini
BMT. Ketiadaan undang-undang yang mampu memayungi LKMS
mengakibatkan masalah-masalah tersebut tidak dapat diproses secara lebih
lanjut karena tidak adanya ketentuan hukum yang jelas.
Akan tetapi, dengan munculnya undang-undang yang baru yaitu
Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, serta
Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
membuat LKMS khususnya Baitul Mal wat Tamwil (BMT) menjadi terbatas
ruang geraknya dikarenakan undang-undang tersebut terkesan tumpang tindih
(overlapping) dan justru membatasi operasional BMT.
Lembaga keuangan mikro seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK), Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat (UPT-PEM), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank
Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP),
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP
Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan
Syariah Koperasi (UJKS Koperasi), Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Baitul
Tamwil Muhammadiyah (BTM) atau lembaga sejenis lainnya perlu untuk
mendapatkan penguatan dan dukungan tidak hanya dalam hal permodalan,
namun juga pada aspek legal agar lebih efektif dan kondusif melayani
4
masyarakat dalam mengakses jasa keuangan. Peraturan yang ada di sektor
keuangan pun harusnya bersinergi dengan BMT agar menciptakan suatu
lembaga yang kokoh, baik dalam kelembagaan maupun kekuatan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, maka judul penelitian ini adalah “Analisis
Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di
Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dalam upaya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses keuangan
bagi usaha mikro dan kecil, lembaga keuangan mikro mulai mendapat
perhatian berbagai pihak khususnya Pemerintah. Perhatian tersebut misalnya
pada penyediaan landasan hukum bagi beroperasinya LKMS tersebut.
Munculnya undang-undang baru yaitu Undang-Undang No.21 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, serta Undang-Undang No.1 tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro dirasa membuat LKMS khususnya Baitul
Mal wat Tamwil (BMT) menjadi terbatas ruang geraknya dikarenakan
undang-undang tersebut terkesan tumpang tindih (overlapping) dan justru
membatasi operasional BMT.
Sebagai lembaga keuangan mikro yang operasionalnya menjadi
intermediary agent bagi kelompok masyarakat ekonomi kecil, baik secara
5
komersial maupun sosial, ruang gerak LKMS terkesan terbatasi dengan
munculnya beberapa undang-undang terkait operasionalnya. Adapun
industri LKMS khususnya BMT akan highly regulated dan relatif rentan
terjadi dispute mengingat banyak landasan hukum yang harus dirujuk.
Banyaknya landasan hukum membuka ruang penafsiran menjadi begitu
luas, sehingga potensi penyimpangan hukum relatif tinggi.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan yang dikaji menjadi fokus dan terarah, maka
skripsi ini hanya membahas landasan operasional yang tertuang dalam
Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, Undang-
Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dan
Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro,
sedangkan LKMS yang dikaji hanya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka
rincian pertanyaan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Apa saja undang-undang yang menjadi landasan bagi BMT dalam
menjalankan operasionalnya?
b. Apa dampak dari regulasi tersebut apabila terjadi perselisihan atau
penyimpangan?
6
c. Bagaimana undang-undang yang ada dalam menopang kelangsungan
BMT di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan
penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui apa saja undang-undang yang menjadi landasan bagi
BMT dalam menjalankan operasionalnya.
b. Mengetahui apa dampak dari regulasi tersebut manakala terjadi terjadi
sengketa atau penyimpangan.
c. Mengetahui bagaimana undang-undang yang ada dalam menopang
kelangsungan BMT di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagi Penulis
Manfaat penelitian bagi penulis adalah terlatihnya kepekaan akan
prosedur ilmiah, dan keberanian menyampaikan gagasan untuk
merumuskan jalan keluar dari masalah-masalah masyarakat sekitar.
7
b. Bagi Praktisi Lembaga Keuangan Mikro
Memberikan gagasan serta masukan tentang regulasi BMT yang
ada dalam hal pengembangan LKMS secara komprehensif.
c. Bagi masyarakat
Memberikan informasi tentang regulasi LKMS serta penyampaian
kritik yang bisa dijadikan referensi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada prinsipnya, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.3 Pada
penelitian ini, digunakan referensi yang berkaitan dengan tema penulisan
diantaranya yaitu undang-undang, buku-buku ilmu hukum, prosiding dan
karya tulis tentang hukum dan LKMS. Dengan demikian penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yang menjabarkan tentang
analisis landasan operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah di
Indonesia berdasarkan undang-undang yang terkait.4
3 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Press,
2011) h. 13 4Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2002) Cet.I, h.
51.
8
2. Jenis Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan
penelitian kepustakaan, yakni penelitian terhadap dokumen-dokumen atau
referensi dari berbagai literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan
dengan objek penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi data primer dan
sekunder. Data primer atau data hukum primer, yaitu bahan-bahan yang
mengikat, dan terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan
Perundang-undangan; Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian, Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan, dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro. Data hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-
hasil penelitian hukum, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya
terkait dengan penelitian. 5
3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu
menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat
dan konsep, serta analisis hukum yang bersifat yuridis normatif, yaitu
analisis hukum yang merujuk pada hukum perundang-undangan yang
mengatur BMT.
5 Ibid., h.13
9
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif hidayatullah Jakarta 2013”.
E. Sistematika Penulisan
Merujuk pada semua yang dituliskan di atas dan metode yang
digunakan serta dalam rangka memudahkan penulisan skripsi, maka
pembahasan dibagi menjadi lima (5) bab. Adapun sistematika penulisan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan dan menjelaskan garis-garis besar
materi yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Diawali
dengan Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORI
Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai gambaran umum
dan definisi, sumber-sumber, dan fungsi hukum. Definisi,
hierarki perundang-undangan, dan asas-asas peraturan
10
perundang-undang. Definisi, jenis-jenis, dan peran Lembaga
Keuangan Mikro, serta review studi terdahulu.
BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WAT TAMWIL
Bab ini merupakan bab yang membahas tentang gambaran
umum berupa definisi, aspek kegiatan, peran, dan peraturan
yang mengatur Baitul Maal Wat Tamwil .
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penelitian dan analisis yuridis
Lembaga Keuangan Mikro Syariah Berdasarkan Perundang-
undangan Sektor Keuangan di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian penutup dikemukakan tentang
kesimpulan dan saran yang relevan untuk disampaikan.
11
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Hukum
1. Definisi Hukum
Pengertian hukum menurut pendapat beberapa ahli hukum adalah
sebagai berikut1:
a. Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan
tersusun baik yang mengikat masyarakat.
b. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak
hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
c. Austin, hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal
yang berkuasa atasnya.
d. Bellfroid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata
tertib masyarakat yang itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada
masyarakat.
e. E.M. Meyers, hukum adalah semua peraturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan ditunjukkan pada tingkah laku manusia
1 Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 2-3.
12
dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa Negara dalam
melakukan tugasnya.
f. Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,
aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh
suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap
orang yang melanggar peraturan itu.
g. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini
kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan
kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang
kemerdekaan.
h. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa
yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang
dalam masyarakat.
i. Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejala sosial; tidak ada
masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi
suatu aspek dari kebudayaan seperti agama, kesusilaan, adat istiadat,
dan kebiasaan.
j. S. M. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas
norma dan sanksi-sanksi.
k. E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang
13
bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut
dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
l. M.H. Tirtaamidjata, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus
diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup
dengan ancaman harus mengganti kerugian jika melanggar aturan
tersebut yang akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya
orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda, dan sebagainya.
m. J.T.C. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum ialah
peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi
yang berwajib, pelanggaran amanah terhadap peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
Dari beberapa pengertian dan pendapat para tokoh diatas, dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang disusun untuk
mengatur serta memberi batasan terhadap tingkah laku manusia agar tercipta
kedamaian di dalam masyarakat.
14
2. Sumber-sumber Hukum
Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang
menimbulkan kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang
kalau dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.2
Sumber hukum dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi materiil dan segi
formil.3
1. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum material adalah faktor-faktor masyarakat yang
memengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat undang-
undang, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).4 Atau
faktor-faktor yang ikut memengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan
hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum
materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.5
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan
isi kaidah hukum, dan terdiri atas:
1) perasaan hukum seseorang atau pendapat umum,
2 A. Siti Soetami, S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Bandung: Pt. Refika Aditama,
2005) 3 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Ichtisar) dalam Ni’matul Huda,
Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). H. 28 4 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidhartha, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung, Alumni,
2000), hlm. 54. Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006),
h. 55. 5 Ibid., 55.
15
2) agama
3) kebiasaan, dan
4) politik hukum dari pemerintah.
Sumber hukum materiil, yaitu tempat materi hukum itu diambil.
Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum. Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari pelbagai
sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan
sebagainya.6
2. Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formal, yaitu berbagai bentuk aturan hukum
yang ada. Sumber hukum formal diartikan juga sebagai tempat atau
sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal
ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum itu berlaku formal. Sumber hukum formil, antara lain7:
6 Ibid.,
7 Yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
Jakarta 2008), h.13.
16
1) Undang-undang (statute),
Hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk
dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan
dituangkan dalam bentuk tertulis.8
2) Kebiasaan/ adat (custom),
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang tidak
tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan
masyarakat hukum adat. Hukum adat diakui sebagai salah satu
bentuk hukum yang berlaku. Mengikat bukan hanya saja pada
anggota masyarakat, melainkan mengikat pula pada peradilan atau
administrasi Negara yang bertugas menerapkannya dalam situasi
konkret.9
3) Keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie),
Yurisprudensi, yaitu kumpulan keputusan pengadilan mengenai
persoalan ketatanegaran yang setelah disusun secara teratur
memberikan kesimpulan tentang adanya ketentuan-ketentuan
8 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).,
h. 33. 9 Ibid., h. 34.
17
hukum tertentu yang ditemukan atau dikembangkan oleh badan-
badan pengadilan.10
4) Traktat (treaty),
Traktat atau perjanjian internasional adalah persetujuan yang
diadakan oleh Indonesia dengan Negara-negara lain, dimana
Indonesia telah mengikat diri untuk menerima hak-hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian yang diadakannya itu,
traktat merupakan sumber hukum yang penting.11
5) Doktrin.
Doktrin ketatanegaraan adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata
Negara yang ditemukan dan dikembangkan di dalam dunia ilmu
pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran seksama
berdasarkan logika formal yang berlaku.12
3. Fungsi Hukum
Hukum bekerja dengan cara membatasi perbuatan seseorang atau
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pembatasan
maka hukum menjabarkan tugasnya dalam berbagai fungsinya. Dengan
demikian fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam
masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul.
10
Ibid., h. 35 11
Ibid., 12
Ibid., h. 36.
18
Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:
1. Pengawasan/ pengendalian sosial (social control)
2. Penyelesaian sengketa (dispute settlement)
3. Rekayasa sosial (social engineering)13
Muchtar Kusumaatmadja, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto,
mengajukan pula beberapa fungsi hukum sebagai berikut.
“Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana
pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa
ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap pentingdan
sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi
untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang
dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas
seyogyanya dilakukan, disamping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian
sosial.14
Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum diatas, dapat
disusun fungsi-fungsi hukum sebagai berikut:
13
Lawrence M. Friedmann, Law and Society an Introduction, (New Jersey: Prentice Hall,
1997), h. 11-12 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
14 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali, 1982 h.
9 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 10.
19
a. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku.
b. Pengawasan atau pengendalian sosial (social control).
c. Penyelesaian sengket (dispute settlement).
d. Rekayasa sosial (social engineering).
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak
memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan
sebagai kaedah, yaitu sebagai pedoman perilaku yang seyogyanya atau
diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan
suatu kegiatan yang diatur oleh hukum.
Hukum sebagai sarana pengendalian sosial, menurut A. Ross yang dikutip
oleh Soerjono Soekanto adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan
serta memelihara ikatan sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi
hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana.15
B. Undang-undang
1. Definisi Undang-Undang
Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi
di Negara Republik Indonesia, yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh
15
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni,m 1981) h.
44 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 11
20
dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden
seperti ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.16
Undang-undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan,
yang menjamin tuntutan-tuntutan Negara berdasar atas hukum, yang
menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu hukum, dan adanya
kepastian dalam hukum.17
Menurut pendapat Peter Badura, dalam pengertian teknis
ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk
bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan Negara (pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD
1945 hasil perubahan pertama).18
Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya
“Rechtsgeleerdhandwoordenboek” perundang-undangan mempunyai dua
pengertian yang berbeda, yaitu:
“Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ proses
membentuk peraturan-peraturan Negara baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah; perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan
16
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007).
h. 186. 17
Prof. dr. Yuliandri, S.H, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
Baik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) h. 25. 18
Ibid.,
21
Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah”.19
2. Hierarki Peraturan Perundang-undangan RI
Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukum
tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan
perundang-undangan. Menurut UUD 1945, dalam huruf A, disebutkan tata
urutan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan RI ialah sebagai
berikut.20
Gambar 2.1 Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Menurut UU No. 10 Tahun 2004
UUD 1945
Ketetapan MPRS/MPR
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden
Peraturan daerah
19
Ibid., h. 26. 20
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
H. 28-59.
22
1. Perda Provinsi
2. Perda Kabupaten/ Kota
3. Perdes/ Peraturan yang setingkat.
Tata urutan diatas menunjukkan tingkatan masing-masing bentuk yang
bersangkutan, dimana yang disebut lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih
tinggi dari pada bentuk-bentuk yang tersebut dibawahnya. Di samping itu, tata
urutan diatas mengandung konsekuensi hukum, bentuk peraturan atau
ketetapan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh mengandung materi yang
bertentangan dengan materi yang dimuat di dalam suatu peraturan yang
bentuknya lebih tinggi, terlepas dari soal siapakah yang berwenang
memberikan penilaian terhadap materi peraturan serta bagaimana nanti
konsekuensi apabila materi peraturan itu dinilai bertentangan dengan materi
peraturan yang lebih tinggi.21
Hal ini selaras dengan asas hukum lex superior
deregat inferiori (hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang
tingkatannya di bawahnya). Hal ini dimaksud agar tercipta kepastian hukum
dalam sistem peraturan perundang-undangan.22
Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut
mengandung beberapa prinsip berikut:
21
Ibid., h. 38. 22
Ibid., h. 46.
23
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya.
2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang
tingkatnya lebih tinggi.
3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti,
atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau paling tidak dengan yang sederajat.
5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi
yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak
dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu
dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus
harus diutamakan dari peraturan yang lebih umum.23
3. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Perkembangan pengaturan terhadap asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, dalam pembentukan undang-undang di
23
Ibid., h. 46-47.
24
Indonesia untuk pertama kali secara tegas dan limitatif dicantumkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-
Undangan. Pengaturan yang serupa juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 memberi penjelasan,
bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, harus didasarkan
pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu:
kejelasan tujuan; kelembagaan muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan
dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Dalam penjelasan pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
selanjutnya dijelaskan maksud dari asas-asas tersebut adalah sebagai
berikut24
:
a. Asas Kejelasan Tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b. Asas Kelembagaan atau Organ Pembentukan yang Tepat, adalah bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/
pejabat pembentuk perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
24
Prof. dr. Yuliandri, S.H, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
Baik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) h, 152
25
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
bila dibuat oleh lembaga/ pejabat yang tidak berwenang.
c. Asas Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
d. Asas Dapat Dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosiologis.
e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilan adalah bahwa setiap peraturan
pembentukan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
f. Asas Kejelasan Rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata yang terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan dimengerti, sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas Keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
26
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-
undangan.25
C. Lembaga Keuangan Mikro
1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro
Menurut undang-undang No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro, LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat,
baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari
keuntungan.26
Sedangkan yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
adalah Lembaga Keuangan Mikro yang menggunakan prinsip-prinsip syariah
dengan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) guna mengawasi operasional
yang sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).27
25
Ibid., h. 151-152. 26
Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan
Mikro, Bab I pasal 1. 27
Ibid., Bab IV pasal 12.
27
2. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Mikro
Menurut Salam (2000), jenis LKM sangat bervariasi, baik ditinjau
dari sisi kelembagaan tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan
pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, LKM di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan informal
LKM formal terdiri dari bank, yaitu Badan Kredit Desa (BKD), Bank
Prekreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM formal non bank
mencakup Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi
Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM
informal terdiri dari berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi
Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam
(UEDSP) serta berbagai bentuk kelompok lainnya.
3. Peran Lembaga Keuangan Mikro.
Pada dasarnya, peran lembaga keuangan mikro sama dengan peran
yang dimiliki oleh lembaga keuangan pada umumnya yaitu:28
a. Pengalihan asset (asset transmutation) menggalihkan asset dari unit
surplus ke unit defisit.
28
Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Penerbit Salemba Empat,
2000), h. 8
28
Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan
pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu
tertentu yang telah disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh
dari pemilik dana yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur
sesuai keinginan pemilik dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan
bukan bank berperan sebagai pengalih asset dari unit surplus (lenders)
kepada unit defisit (borrowers). Dalam kasus yang lain, pengalihan asset
dapat pula terjadi jika bank dan lembaga keuangan bukan bank
menerbitkan sekuritas sekunder (giro, deposito berjangka, dana pensiun,
dan sebagainya) yang kemudian dibeli oleh unit surplus dan selanjutnya
ditukarkan dengan sekuritas primer (saham, obligasi, promes, commercial
papper dan sebagainya) yang diterbitkan oleh unit defisit.
b. Transaksi (transaction) memberikan kemudahan transaksi barang dan jasa
Bank dan lembaga keuanga bukan bank memberikan berbagai
kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang
dan jasa. Produk-produk yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga
keuangan bukan bank (giro, tabungan, deposito, saham, dsb) merupakan
pengganti dari uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran.
c. Likuiditas (liquidity) menawarkan produk dana dengan berbagai alternatif
tingkat likuidasi
29
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam
bentuk produk-produk berupa giro, tabungan, deposito, dan sebagainya.
Produk-produk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas
yang berbeda-beda. Untuk kepentingan likuiditas pemilik dana, mereka
dapat menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan.
d. Efisiensi (efficiency)
Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya
transaksi dengan jangkauan pelayanannya. Peranan bank dan lembaga
keuangan bukan bank sebagai broker (brokerage) adalah mempertemukan
pihak-pihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak
simetris antara peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif.
D. Review Studi Terdahulu
Identitas Penulis
Judul
Penelitian
Hasil Penelitian
Pembeda
pembahasan dalam
skripsi yang akan
diteliti
1.Putri Syahidah,
Mahasiswa S1
Perbankan
Skripsi yang
berjudul
“Aspek
Dalam skripsi ini
dibahas bahwa UU yang
dijadikan acuan bagi
Skripsi yang akan
ditulis merupakan
jawaban atas kritik
30
Syariah, Fakultas
Syariah dan
Hukum. UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
Regulasi
Baitul Maal
Wat Tamwil
(Studi Kasus
pada BMT al-
Fath IKMI,
LKMS al-
Amin, BMT
al-Kariim)”.
BMT yaitu UU No.2
Tahun 1992 tentang
Perkoperasian dan
Keputusan Menteri
Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan
Menengah No.
91/Kep/M.KUKM/IX/20
04 tentang petunjuk
pelaksanaan kegiatan
usaha koperasi jasa
keuangan syariah dinilai
masih memiliki banyak
kekurangan dalam
mengatur keberadaan
BMT yang berkembang
di masyarakat.
Dijelaskan bahwa
undang-undang yang ada
saat ini tidak seluruhnya
dijalankan oleh BMT
dan saran yang telah
ditulis dalam skripsi
sebelumnya.
Sehingga dapat
memberikan estafet
gagasan yang
sistematis tentang
regulasi LKM.
31
salah satunya yaitu
pemberian laporan
keuangan kepada pejabat
yang berwenang.
Kemudian dijelaskan
pula bahwa banyak
undang-undang atau
regulasi yang tidak
dijalankan oleh pembuat
kebijakan yaitu
kementrian koperasi dan
UKM RI. Undang-
undang tersebut antara
lain mengenai penilaian
kesehatan bank, tidak
berjalannya pemberian
sanksi terhadap BMT
yang melanggar, tidak
berjalannya pembinaan
dan pengawasan dari
Kementrian Koperasi
32
dan UKM RI.
1. Neni Sri
Imaniyati,
Pengajar di
Universitas
Islam
Bandung dan
Konsultan
Hukum di
Kantor
Hukum &
Syariah Darul
Hikam..
Prosiding
yang berjudul
“Urgensi
Penguatan
Hukum Baitul
Mal Wat
Tamwil
(BMT) Dalam
Perspektif
Hukum
Ekonomi”.
Dalam prosiding yang
telah dipublikasikan
pada Seminar dan
Dialog Budaya antara
Indonesia dengan
Uni Eropa yang
dilaksanakan di
Universitas Islam
Bandung tanggal 15 - 16
Desember 2009 ini
menyatakan bahwa
terdapat banyak undang-
undang yang terkait
mengatur BMT, namun
keberadaan undang-
undang yang ada dinilai
kurang mengakomodir
keberadaan BMT saat
ini, dengan demikian
Jika dalam prosiding
tersebut BMT masih
mengacu pada
Undang-Undang No.
25 Tahun 1992
Tentang
Perkoperasian, maka
dalam skripsi yang
akan ditulis oleh
penulis saat ini
terdapat perluasan
undang-undang yang
dikaji, dimana
undang-undang
tersebut merupakan
peraturan baru pada
sektor keuangan
nasional yaitu
Undang-Undang No.
33
perlu segera disusun
Undang-undang
Lembaga Keuangan
Mikro yang
mengakomodir
kebutuhan hukum
lembaga keuangan
mikro syariah seperti
BMT agar para
pengusaha mikro
mendapatkan dukungan
legalisasi atau kepastian
status badan hukum
dalam menjalankan
usaha.
Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa
Keuangan, Undang-
Undang No. 1 Tahun
2013 Tentang
Lembaga Keuangan
Mikro serta adanya
pembaruan Undang-
Undang No. 17
Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WAT TAMWIL
A. Definisi BMT
Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Terpadu, adalah lembaga
keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan
martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas
prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan
berlandaskan sistem ekonomi yang Salaam: keselamatan, kedamaian, dan,
kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri atas dua fungsi utama yaitu sebagai
berikut: 1
1. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha mikro dan kecil, antara lain dengan mendorong kegiatan menabung
dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
2. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah
serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Secara harfiah, baitul mal berarti rumah dana, sedangkan baitut tamwil adalah
rumah usaha. Baitul mal dikembangkan berdasarkan sejarah
1 M. Nur Rianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syariah - Suatu Kajian Teoretis Praktis
(Jakarta: Pustaka Setia, 2012) h. 317.
35
perkembangannya, yaitu dari masa nabi sampai dengan pertengahan
perkembangan islam. Baitul mal berfungsi untuk mengumpulkan, sekaligus
men-tasyaruf-kan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga
bisnis yang bermotif laba. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik pengertian
yang menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang berperan
sosial.2
B. Aspek Kegiatan yang terdapat dalam BMT
1. Jasa Keuangan
Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT merupakan
penghimpunan dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan
untuk anggota atau non anggota. Kegiatan ini dapat disamakan secara
operasional dengan kegiatan simpan pinjam dalam koperasi atau perbankan
secara umum. Namun demikian kegiatan perbankan, karena merupakan
lembaga keuangan islam, BMT dapat disamakan dengan sistem perbankan
atau lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatannya dengan syariat islam.
Hal ini juga terlihat dari produk-produk jasanya yang kurang lebih sama
dengan yang ada dalam perbankan syariah. 3
Sesuai dengan peraturan perundangan koperasi, untuk jenis kegiatan
simpan pinjam, aktivitasnya tidak boleh bercampur dengan aktivitas lain yang
2 Ibid., h. 319.
3Hertanto Widodo, Ak. Et., al, PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis
Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 1999) h. 82-83.
36
dilakukan oleh koperasi. Artinya, koperasi harus merupakan entitas tersendiri
dan khusus untuk aktivitas simpan pinjam harus disediakan modal sendiri
yang dipisahkan, jumlahnya sudah ditentukan dan tidak boleh berkurang.
a. Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan yaitu
dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke
sektor produktif dalam bentuk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk
tabungan wadiah, simpanan mudharabah jangka pendek dan jangka
panjang.
b. Penyaluran Dana
Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis:
pertama, pembiayaan dengan sistem bagi hasil, dan kedua, jual beli
dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan merupakan penyaluran
dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan kesepakatan pembiayaan
antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan nisbah
bagi hasil yang disepakati. Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan
musyarakah dan mudharabah. Penyaluran dana dalam bentuk jual beli
dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan barang dari BMT
kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan barang
ditambah margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT.
37
Bentuknya dapat berupa bai’ bitsaman ajil, pembayaran dilakukan secara
angsuran, dan murabahah, pembayaran dilakukan diakhir perjanjian.
2. Sektor Riil
Pada dasarnya, sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana
BMT. Namun, berbeda dengan kegiatan sektor jasa keuangan yang
penyalurannya berjangka waktu tertentu, penyaluran dana ini selanjutnya
disebut investasi atau penyertaan. Investasi yang dilakukan BMT dapat
dengan mendirikan usaha baru atau dengan masuk ke usaha yang sudah ada
dengan cara membeli saham.
3. Sosial (Zakat, Infaq, dan Sedekah)
Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infaq, sedekah,
baik yang berasal dari Badan amil zakat maupun yang berhasil dihimpun
sendiri oleh BMT. Sektor ini merupakan salah satu kekuatan BMT karena
juga berperan dalam pembinaan agama bagi para nasabah sektor jasa
keuangan BMT. Dengan demikian, pemberdayaan yang dilakukan BMT
tidak terbatas pada sisi ekonomi, tetapi juga dalam hal agama. Diharapkan
pula para nasabah BMT tersebut akan turut menyalurkan ZIS nya kepada
BMT.4
4 Ibid., h.82-84.
38
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer dengan
melakukan pembinaan serta memonitoring BMT di seluruh Indonesia.
C. Peran BMT
Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat
dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir
kepentingan ekonomi masyarakat.
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan
pendanaan yang berdasarkan sistem syariah. Peran ini menegaskan arti penting
prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga
keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat
kecil yang serba cukup – ilmu pengetahuan ataupun materik – maka BMT
mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek
masyarakat.
Keberadaan BMT setidaknya mempunyai beberapa peran5:
1. Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi non syariah. Aktif melakukan
sosialisasi ditengah masyarakat tentang arti penting sistem ekonomi islami.
5 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekosiana, 2003) h.
97.
39
Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara
bertransaksi yang islami.
2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif
menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro misalnya dengan cara
pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usaha-
usaha nasabah atau terhadap masyarakat umum.
3. Melepas ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih tergantung
rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi kebutuhan pendanaan dengan
segera.
4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata.
Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks
dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk
melakukan evaluasi dalam rangka pemerataan skala prioritas yang harus
diperhatikan, misalnya dalam masalah pembiayaan, BMT harus
memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis
pembiayaan.
D. Peraturan Yang Mengatur BMT
1. Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan
atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya
sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan
40
kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai
dan prinsip Koperasi. Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19456 dan berdasar atas asas
kekeluargaan.7
Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan
berkeadilan.8
Nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu: Kekeluargaan;
Menolong diri sendiri; Bertanggung jawab; Demokrasi; Persamaan;
Berkeadilan; dan Kemandirian.9
Koperasi mempunyai perangkat organisasi Koperasi yang terdiri atas
Rapat Anggota, Pengawas, dan Pengurus.10
Dalam hal sumber permodalan
Koperasi, maka dapat berupa:
a. Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi
sebagai modal awal.
b. Selain tersebut diatas, modal Koperasi dapat berasal dari:
6Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, pasal 2.
7Ibid., pasal 3.
8Ibid., pasal 4.
9Ibid., 5.
10Ibid., pasal 31.
41
1) Hibah;
2) Modal Penyertaan;
3) Modal pinjaman yang berasal dari:
a) Anggota;
b) Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya;
c) Bank dan lembaga keuangan lainnya;
d) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau
e) Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan/atau sumber lain yang sah
yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.11
Selain sumber permodalan tersebut diatas, Koperasi dapat menerima
Modal Penyertaan dari:
a. Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan/atau
b. masyarakat berdasarkan perjanjian penempatan Modal Penyertaan.12
Pemerintah dan/atau masyarakat wajib turut menanggung risiko dan
bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai dengan Modal
11
Ibid., pasal 66. 12
Ibid., pasal 75 ayat 1.
42
Penyertaan sebatas nilai Modal Penyertaan yang ditanamkan dalam
Koperasi.13
Berdasarkan undang-undang ini, jenis Koperasi terdiri dari
Koperasi konsumen; Koperasi produsen; Koperasi jasa; dan Koperasi Simpan
Pinjam.14
Dimana koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan Anggota dan non-
Anggota;15 Koperasi produsen menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di
bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi yang dihasilkan
Anggota kepada Anggota dan non-Anggota16; Koperasi jasa
menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan jasa non-simpan pinjam yang
diperlukan oleh Anggota dan non-Anggota17; dan Koperasi Simpan Pinjam
menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani
Anggota.18
13
Ibid., pasal 75 ayat 2. 14
Ibid., pasal 83. 15
Ibid., pasal 84. 16
Ibid., pasal 84 ayat 2. 17
Ibid., pasal 84 ayat 3. 18
Ibid., pasal 84 ayat 4.
43
Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi
syariah.19 Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah
diatur dengan Peraturan Pemerintah.20
Di dalam Undang-undang ini, Koperasi Simpan Pinjam harus
memperoleh izin usaha simpan pinjam dari Menteri.21 Untuk memperoleh izin
usaha simpan pinjam, Koperasi Simpan Pinjam harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Menteri.22 Adapun kegiatan dalam Koperasi Simpan
Pinjam yaitu:
a. menghimpun dana dari Anggota;
b. memberikan Pinjaman kepada Anggota; dan
c. menempatkan dana pada Koperasi Simpan Pinjam sekundernya. 23
Untuk meningkatkan pelayanan kepada Anggota, Koperasi Simpan
Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan simpan pinjam. Jaringan
pelayanan simpan pinjam dapat terdiri atas:
a. Kantor Cabang;
b. Kantor Cabang Pembantu; dan
c. Kantor Kas.24
19
Ibid., pasal 87 ayat 3. 20
Ibid., pasal 87 ayat 4. 21
Ibid., pasal 88 ayat 1. 22
Ibid., pasal 88 ayat 2. 23
Ibid., pasal 89. 24
Ibid.,pasal 90.
44
Untuk meningkatkan usaha Anggota dan menyatukan potensi
usaha serta mengembangkan kerjasama antar-Koperasi Simpan Pinjam,
Koperasi Simpan Pinjam dapat mendirikan atau menjadi Anggota Koperasi
Simpan Pinjam Sekunder. Koperasi Simpan Pinjam Sekunder dapat
menyelenggarakan kegiatan:
a. simpan pinjam antar-Koperasi Simpan Pinjam yang menjadi anggotanya;
b. manajemen risiko;
c. konsultasi manajemen usaha simpan pinjam;
d. pendidikan dan pelatihan di bidang usaha simpan pinjam;
e. standardisasi sistem akuntansi dan pemeriksaan untuk anggotanya;
f. pengadaan sarana usaha untuk anggotanya; dan/atau
g. pemberian bimbingan dan konsultasi.
Koperasi Simpan Pinjam wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
Dalam memberikan Pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam wajib mempunyai
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan peminjam untuk melunasi
Pinjaman sesuai dengan perjanjian dan wajib menempuh cara yang tidak
merugikan Koperasi Simpan Pinjam dan kepentingan penyimpan dan wajib
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian
terhadap penyimpan.
45
Koperasi Simpan Pinjam dilarang melakukan investasi usaha pada
sektor riil. Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari Anggota
harus menyalurkan kembali dalam bentuk Pinjaman kepada Anggota.25
Dalam menjamin simpanan, maka Koperasi Simpan Pinjam wajib
menjamin Simpanan Anggota. Adapun pemerintah dapat membentuk
Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam untuk menjamin
Simpanan Anggota.
Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam menyelenggarakan
program penjaminan Simpanan bagi Anggota Koperasi Simpan Pinjam dan
koperasi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti program penjaminan
simpanan pada Lembaga Penjamin Koperasi. Ketentuan mengenai Lembaga
Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam diatur dengan Peraturan
Pemerintah.26 Dalam hal meningkatkan kepercayaan terhadap koperasi, maka
wajib dilakukan pengawasan terhadap koperasi oleh Menteri. 27 Sedangkan
Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dilakukan oleh Lembaga Pengawasan
Koperasi Simpan Pinjam yang kemudian Lembaga Pengawasan Koperasi
Simpan Pinjam bertanggung jawab kepada Menteri.28
25
Ibid.,pasal 93. 26
Ibid.,pasal 94. 27
Ibid.,pasal 96. 28
Ibid.,pasal 100.
46
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka Koperasi yang
telah didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diakui
sebagai Koperasi berdasarkan Undang-Undang ini.29
Undang-undang ini diundangkan Pada Tanggal 30 Oktober 2012
dan mulai berlaku pada saat diundangkan.
2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.30
Berdasarkan Undang-undang ini, yang dimaksud dengan Lembaga
Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 31 Adapun yang dimaksud dengan
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana
29
Ibid., pasal 122. 30
Republik Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
pasal 1 ayat 1. 31
Ibid., pasal 1 ayat 4.
47
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga
pembiayaan.32
Selain itu adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi
penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang
bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh
OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 33
OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal
yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.34
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
32
Ibid., pasal 1 ayat 9. 33
Ibid., pasal 1 ayat 10. 34
Ibid., pasal 2 ayat 2.
48
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil; dan
c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.35
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan.36 OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.37
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
35
Ibid.,Pasal 4. 36
Ibid.,Pasal 5. 37
Ibid., pasal 6.
49
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada Lembaga Jasa Keuangan;
h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.38
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku,
dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
38
Ibid., pasal 8.
50
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan
h. memberikan dan/atau mencabut:
i. izin usaha;
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.39
Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang
melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang
meliputi:
a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya
apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.40
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara
lain:
39
Ibid., pasal 9. 40
Ibid., pasal 28.
51
a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
b. sistem informasi perbankan yang terpadu;
c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing,
dan pinjaman komersial luar negeri;
d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important
bank; dan
f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib
membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.41
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK dan fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke OJK.42 Undang-undang ini disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2011.
41
Ibid., 43. 42
Ibid., pasal 55.
52
3. Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Undang-Undang yang terdiri dari 42 pasal ini memuat substansi pokok
mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan
Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. Undang-Undang
ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan
hukum, permodalan, maupun kepemilikan.
Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan
usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian
jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM
yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-ticensing).
Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah
lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman
atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
53
pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.43
Adapun menurut Undang-undang ini LKM bertujuan untuk:44
a. meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
b. membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas
masyarakat; dan
c. membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat,
terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.
Bentuk badan hukum yang dapat digunakan oleh LKM antara lain
adalah:
a. Koperasi; atau
b. Perseroan Terbatas.45
LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan
sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau
badan usaha milik desa/kelurahan. Sebelum menjalankan kegiatan usaha,
LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.46
Untuk
43
Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
pasal 1. 44
Ibid., pasal 3. 45
Ibid., pasal 5. 46
Ibid., pasal 9 ayat 1.
54
memperoleh izin usaha LKM harus dipenuhi persyaratan paling sedikit
mengenai:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan; dan
d. Kelayakan rencana kerja.47
Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan
oleh LKM dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah.48
Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib dilaksanakan
sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional,
Majelis Ulama Indonesia.49
Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah LKM
wajib membentuk dewan pengawas syariah.50
Dewan pengawas syariah
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau pengurus serta
mengawasi kegiatan LKM agar sesuai dengan prinsip syariah.51
47
Ibid., pasal 9 ayat 2. 48
Ibid., pasal 12 ayat 1. 49
Ibid., ayat 2. 50
Ibid., pasal ayat 1. 51
Ibid., pasal 12 ayat 2.
55
Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat
dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM.52
Dalam hal diperlukan, Pemerintah
dapat Pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama
Pemerintah Daerah dan LKM.53
Dalam hal mengatur cakupan wilayah
kegiatan usaha, LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:
a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.54
Agar lebih terarah dan terawasi, maka pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.55
Dalam
melakukan pembinaan, Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan
Kementerian Dalam Negeri. Pembinaan dan pengawasan tersebut
didelegasikan kepada pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
52
Ibid., pasal 19 ayat 1. 53
Ibid., pasal 19 ayat 2. 54
Ibid., pasal 27. 55
Ibid., pasal 28.
56
Sebagaimana sebuah lembaga keuangan yang akuntabel, maka LKM
wajib melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan
sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.56
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan
Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul
Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang
dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.57
Lembaga-tersebut diatas wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
berlaku.58
Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta
lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,
dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk
pada Undang-Undang ini.59
Dan Undang-undang ini disahkan di Jakarta,
pada tanggal 8 Januari 2013 dan mulai berlaku tanggal 8 Januari 2015.
56
Ibid., pasal 29. 57
Ibid., ayat 1. 58
Ibid., ayat 2. 59
Ibid., ayat 3.
57
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Kelembagaan BMT
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menunjukkan
progress yang sangat baik, pasalnya LKM merupakan lembaga keuangan yang
mampu berbaur dengan masyarakat ekonomi rendah, dengan ciri khas nya yang
berbeda dengan bank, LKM hadir sebagai mitra masyarakat untuk mengakses modal.
LKM juga tidak hanya sebagai perantara antara pihak surplus dana dan pihak
yang kekurangan dana, LKM turut melakukan pembinaan, pengawasan, dan
monitoring nasabah pembiayaannya sehingga LKM dalam praktiknya mampu
menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak bankable namun memiliki prospek dalam
menjalankan usaha kecil dan menengah adalah masyarakat yang layak untuk diberi
pembiayaan. Hal ini juga ditunjukkan dengan rendahnya nilai NPL (Non Performing
Loan) atau kredit macet pada LKM lebih rendah daripada NPF pada bank.
Berbeda dari banyaknya LKM yang ada di Indonesia, BMT merupakan
LKM yang dapat dikatakan memiliki karakteristik yang berbeda dengan LKM
sejenisnya. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dijalankan oleh BMT dan
juga corak dari kegiatan usaha yang berbeda dengan LKM lain yang sejenis.
58
BMT yang pada awalnya masih menggunakan payung hukum perkoperasian
saat ini dirasa kurang terpenuhi secara kelembagaan dan ketepatan hukum dengan
undang-undang tersebut, yaitu undang-undang No. 25 Tahun 1992 yang telah
diamandemen menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
Banyak hal yang tidak diatur dengan baik perihal kelembagaan BMT, baik dari sisi
pengawasan, pengaturan, aspek syariah, standar kompetensi, dll.
Dengan alasan tersebut, maka pemerintah yang saat ini telah mengeluarkan
penyempurnaan undang-undang dalam sektor keuangan dimana Bank Indonesia saat
ini tidak lagi mengatur tentang Lembaga Keuangan di Indonesia dan dialihfungsikan
oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka dengan munculnya Undang-Undang No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri membuat BMT sebagai Lembaga
Keuangan Mikro tidak lagi diatur oleh undang-undang perkoperasian dan Keputusan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 namun juga oleh undang-undang OJK dan undang-
undang LKM.
Adanya undang-undang baru di dalam sektor keuangan nasional diatas
membuat banyak praktisi BMT merasa ruang lingkup operasional BMT dibatasi oleh
undang-undang tersebut. Undang-undang baru yang mengatur BMT masih dirasakan
kurang tepat mengakomodasi kebutuhan hukum BMT saat ini. Banyak pula pihak
59
yang merasa undang-undang diatas belum matang untuk diundangkan dan terlihat
tumpang tindih.
Kerancuan dalam undang-undang terkait operasional BMT membuat BMT
bukan hanya terbatasi operasionalnya, namun juga membuat BMT semakin rentan
terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam bidang hukum karena ketidaktepatan
dan ketidakmampuan undang-undang dalam menjawab kebutuhan BMT sebagai
lembaga keuangan mikro di masyarakat.
Adanya beberapa undang-undang juga membuat BMT sulit merujuk hukum
atau undang-undang mana yang menjadi acuan dasar apabila terjadi perselisihan atau
penyimpangan.
Dengan melihat review regulasi yang mengatur BMT diatas, maka berikut
beberapa hal yang dapat dilihat agar didapat pemahaman terkait landasan operasional
BMT dalam undang-undang.
1. Bentuk Badan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro dapat berupa:
a. Koperasi
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan
60
oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan
kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. BMT yang berbadan hukum
koperasi dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum koperasi.
b. Perseroan Terbatas
Baitul Mal Wat Tamwil sebagai Lembaga Keuangan Mikro dapat
berbentuk Koperasi atau Perseroan Terbatas walaupun pada prakteknya
umumnya berbentuk badan hukum koperasi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, jika BMT berbentuk Perseroan Terbatas maka sahamnya
paling sedikit 60% (enam puluh persen) harus dimiliki oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/ Kota atau badan usaha milik desa/ kelurahan. Sisa
kepemilikan sahamnya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/ atau
koperasi. Kepemilikan saham warga negara Indonesia di dalam LKM
berbentuk perseroan terbatas dibatasi hanya 20%. LKM dilarang dimiliki, baik
langsung maupun tidak langsung oleh warga Negara asing dan/ atau badan
usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga Negara asing atau
badan usaha asing. Klausul ini akan menyulitkan bagi Baitul Mal Wat Tamwil
jika memilih berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. Pasalnya, BMT
akan sulit berkoordinasi dengan pemerintah daerah kabupaten maupun kota
61
atau dengan badan usaha milik desa atau kelurahan baik dalam hal
permodalan maupun operasional. Dalam hal permodalan, pemerintah daerah
haruslah menganggarkan APBD dalam hal ini untuk menggalakkan keuangan
mikro dalam basis LKM, sedangkan kenyataannya APBD belum secara
matang dan serius dialokasikan untuk menyokong LKM di suatu desa atau
kota. Pemerintah daerah masih menitik beratkan fokus pada pendidikan,
kesehatan, serta infrastruktur.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa BMT dapat
berbadan hukum Koperasi maupun Perseroan Terbatas. Apabila BMT
memilih untuk berbadan hukum Koperasi, maka BMT haruslah merujuk pada
peraturan Koperasi, jika BMT memilih untuk berbadan hukum Perseroan
Terbatas, maka BMT wajib menaati peraturan terkait peraturan Perseroan
Terbatas.
Selain itu Baitul Mal Wat Tamwil yang berbadan hukum koperasi
dapat saja bersama Pemerintah Daerah membentuk Lembaga Keuangan Mikro
lainnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.1
2. Perizinan
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin
1Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 5 ayat 1.
62
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Agar BMT memperoleh izin usaha, harus
dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan
b. permodalan
c. kepemilikan
d. kelayakan rencana kerja.
Dengan adanya OJK sebagai lembaga yang mengawasi BMT, maka selain
harus terlebih dahulu mendapat izin dari kementrian koperasi sebagai sebuah
lembaga hukum, maka BMT juga harus mendapatkan izin dari OJK terkait
keberadaannya sebagai lembaga keuangan. Hal ini berbeda dari sebelumnya,
dimana peraturan OJK belum berlaku pada BMT.
Perizinan ini penting dalam kaitannya dengan bagaimanakah BMT
nantinya berbadan hukum. Perizinan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
berwenang diatas membuat BMT lebih legitimate dan credible sebagai sebuah
lembaga keuangan.
63
3. Permodalan
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, sumber permodalan LKM disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sesuai dengan badan hukumnya.2
Berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian,
pada BMT yang berbadan hukum koperasi, maka sumber permodalan yaitu:
1) Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi
sebagai modal awal.
2) Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) modal Koperasi dapat
berasal dari:
1) Hibah
2) Modal Penyertaan
3) Modal pinjaman yang berasal dari:
1) Anggota
2) Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya
3) Bank dan lembaga keuangan lainnya
4) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya
5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
2 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Pasal 7
ayat 1.
64
d. sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.3
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.4
4. Kegiatan Usaha
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro, kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha
Skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha.5
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BMT turut berperan dalam
pengembangan usaha serta melakukan pemberdayaan masyarakat agar tercapai
kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Hal tersebut dilakukan baik
dengan mengelola simpanan anggota dan masyarakat, menyalurkan pembiayaan
dalam bentuk modal kerja maupun pembiayaan konsumtif, serta melakukan
pembinaan kepada anggota dan masyarakat yang bermitra dengannya. Hal
tersebut adalah salah satu yang membedakan BMT dengan perbankan, dimana
3Ibid., pasal 66 ayat 1 dan 2.
4Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
pasal 7 ayat 2. 5Ibid., pasal 11 ayat 1.
65
BMT lebih terasa dekat dengan para anggota dan masyarakat dan menjunjung
nilai-nilai serta asas kebersamaan dan kekeluargaan.
BMT dan perbankan adalah instansi keuangan yang berbeda segmen pasar
dan sasarannya, sehingga walaupun keduanya sama-sama melakukan penyaluran
pembiayaan, BMT akan tetap fokus pada sektor mikro. Adapun jika anggota yang
diberikan fasilitas pembiayaan telah tumbuh usahanya menjadi skala makro, maka
perbankan akan mengambil alih posisi BMT yang dimana perbankan akan
melakukan skala pembiayaan yang lebih besar dari yang disalurkan oleh BMT.
Dengan demikian, walaupun keduanya memiliki sasaran dan target pasar yang
berbeda, namun keduanya memiliki peran yang saling mendukung satu sama lain
dengan kata lain, basis dari lembaga keuangan mikro adalah perbankan.
Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh
LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan setara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.6
BMT yang secara umum menjalankan operasional sesuai syariah, maka
turut menyalurkan pinjaman atau pembiayaan dan pengelolaan simpanan
berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
6Ibid., pasal 12 ayat 1.
66
wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.7
Baik undang-undang perkoperasian maupun undang-undang OJK tidak
mengatur secara rinci tentang bagaimana peraturan yang harus diikuti oleh BMT
sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syariah. Aspek syariah yang dinilai
paling penting dalam BMT terkesan tidak terlalu menjadi fokus dalam kedua
undang-undang ini. Hal ini pun senada dengan undang-undang No.1 tentang
lembaga keuangan mikro dimana aspek syariah hanya sekedar kewajiban adanya
Dewan Pengawas Syariah. Adapun hal tersebut diatur dalam Keputusan Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004
yang dalam hierarki perundang-undangan, keputusan menteri berada dibawah
kekuatan hukum perundang-undangan.
Jika demikian, dalam prakteknya di lapangan, BMT akan banyak
mengalami penyimpangan dalam segi sharia compliance dikarenakan memang
secara rinci hal tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan.
B. Regulasi BMT
Setelah dibahas satu persatu mengenai undang undang yang mengatur
tentang operasional BMT, maka dapat dikatakan di dalam tulisan ini terdapat tiga
undang-undang yang secara berkaitan mengatur operasional BMT yaitu Undang-
7Ibid.,pasal 12 ayat 2.
67
Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No.21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dan Undang-Undang No.1 Tahun
2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Melihat banyak nya undang-undang
yang harus dirujuk oleh BMT dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, maka
dalam ilmu perundang-undangan hal tersebut dapat dicermati melalui beberapa
asas-asas perundang-undangan sebagai berikut:
1. Asas lex superior derogat legi inferior8 ( hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang tingkatannya berada di bawahnya. Asas ini
dimaksud bahwa peraturan perundang-undangan yang tersusun secara
hierarkis mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu peraturan yang lebih
rendah tdak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.
BMT yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Menteri Negara
Koperasi dan UKM RI Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petujuk
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) akan
telah dicabut untuk tunduk dalam peraturan tersebut manakala segala aspek
yang diatur dalam regulasi tersebut telah diatur oleh Undang-Undang No.17
tahun 2012 tentang Perkoperasian. Hal ini dikarenakan dalam hirarki
8 Harry Alexander, Panduan Perancangan Peraturan Daerah di Indonesia (Jakarta: XSYS
Solusindo, 2004), h. 15.
68
perundang-undangan tingkatan undang-undang dinilai lebih tinggi dibanding
dengan Keputusan Menteri.
2. Asas lex specialis derogat legi generalis, yang artinya bahwa peraturan yang
bersifat khusus dapat mengabaikan atau mengesampingkan peraturan yang
bersifat umum. Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan
yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika
telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai
hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan
terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.9
3. Asas lex posterior derogat legi priori, yang berarti bahwa aturan yang baru
mengenyampingkan aturan yang lama. Asas ini dipergunakan ketika terdapat
pertentangan antara aturan yang derajatnya sama, misalnya UU 17 Tahun
2012 tentang Perkoperasian mengenyampingkan UU No 25 Tahun 1992.
Setelah melihat asas perundang-undangan yang telah dikemukakan
diatas, dapat dilihat bahwa ketika BMT dihadapkan oleh beberapa undang-
undang yaitu Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian,
Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan
Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, maka
dapat diketahui bahwa apabila BMT mengalami sengketa atau penyimpangan
maka BMT akan mengacu kepada undang-undang Koperasi apabila memilih
berbadan hukum koperasi dan apabila berbentuk perseroan terbatas, maka
9 Ibid.,
69
segala hal yang berkaitan dengan kelembagaannya tersebut akan mengacu
kepada undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas.
Sedangkan untuk ketentuan lain terkait yang tidak tercantum atau tidak
tertuang di kedua undang-undang tersebut, maka BMT dapat merujuk pada
Undang-Undang No. 1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
sebelum menyandingkannya dengan Undang-Undang No. 21 tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Hal tersebut dikarenakan asas perundang-
undangan bahwa undang-undang yang khusus menyampingkan undang-
undang yang sifatnya umum.
Setelah melihat perundang-undangan yang mengatur BMT diatas,
maka dapat didapatkan alur sistematis dibawah ini, dimana dalam praktiknya,
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian mengatur internal
kelembagaan BMT, sedangkan undang-undang yang terkait akan berimplikasi
terhadap BMT apabila BMT keluar dari pembahasan struktur kelembagaan
perkoperasian.
Misal dikatakan bahwa BMT Beringharjo10
memilih berbadan hukum
koperasi, maka kemudian undang-undang yang harus ditaati adalah undang-
undang tentang perkoperasian, sedangkan apabila BMT Bringharjo memilih
berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), maka secara otomatis BMT
Bringharjo akan tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang
10
BMT dengan total outstanding Rp. 60 MIlyar dan funding Rp. 55 Milyar
70
UU 17/12
Koperasi
UU 1/13 LKM
UU 21/11 OJK
UU 40/07
PT
UU Sektor Keuangan
& Perbankan
Perseroan Terbatas. Kemudian, BMT bringharjo akan tunduk pada undang-
undang tentang LKM selaku lembaga keuangan dan setelahnya akan tunduk
pada undang-undang OJK.
Dengan demikian, Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas mengatur hanya kelembagaan atau Badan Usaha BMT saja,
sedangkan lebih lanjut operasional, pengaturan, pengawasan BMT diatur lebih
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
dan Undang-Undang No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Gambar 4.1 Alur Sistematis Pengaturan BMT
71
•Koperasi (UU 17/12)
•Perseroan Terbatas (UU 40/07)
Badan Hukum
•LKMS beroperasi sebagai lembaga keuangan Mikro (UU No.1 Th.2013 ttg LKM)
Landasan Operasional LKM •Pengaturan LKMS
•Pengawasan LKMS
Pengaturan & Pengawasan
Secara badan hukum, maka undang-undang perkoperasian dan undang-
undang perseroan terbatas akan mutlak mengatur internal kelembagaan BMT.
Sedangkan dalam operasional praktis di lapangan, maka BMT yang dinyatakan
sebagai lembaga keuangan mikro pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro akan pula taat pada undang-undang tentang
LKM tersebut dan selanjutnya akan secara runtut taat pada undang-undang
terkait otoritas jasa keuangan.
Gambar 4.2 Perundang-undangan LKMS
72
Berkaitan dengan pengembangan BMT di Indonesia, fungsi hukum
haruslah di arahkan pada fungsi hukum dalam perspektif partisipasi masyarakat.
Dengan pilihan hukum responsive, yakni hukum sebagai suatu sarana merespons
terhadap ketentuan – ketentuan, lembaga – lembaga sosial dan aspirasi – aspirasi
masyarakat11
. Lahir dan tumbuhnya BMT di Indonesia pada dasarnya karena
aspirasi masyarakat. Hal ini terlihat dari Perkembangan BMT khususnya dan
lembaga keuangan syariah umumnya secara informal telah dimulai sebelum
dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional
perkoperasian syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa
11
Neni Sri Imayati, “Eksistensi BMT (Baitul Mal wat Tamwil) Sebagai Lembaga Keuangan
Syariah di Indonesia”. Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XXII Nomor 4 (Oktober 2004): h 11.
Badan Hukum BMT
•Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian •Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro
•Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro sebagai bagian dari kewenangan OJK
•Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Gambar 4.3 Alur Pelaksanaan perundang-undangan LKMS
73
badan usaha pembiayaan non koperasi yang telah menerapkan konsep bagi hasil
dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat
akan hadirnya institusi – institusi keuangan yang dapat memberikan jasa
keuangan sesuai dengan syariah.12
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo13
bahwa hukum
suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa
yang bersangkutan. Dengan demikian, layak pula bila dikatakan bahwa hukum
adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. Tapi hukum bukanlah bangunan
sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan ini terjadi karena
fungsinya untuk melayani masyarakatmya.14
Lembaga keuangan merupakan salah satu contoh apa yang dikemukakan
oleh Satjipto Rahadjo, hukum lembaga keuangan tidak boleh statis, pada masa
lalu tidak atau belum dikenal dan belum diatur tentang lembaga keuangan syariah,
untuk melayani kebutuhan masyarakat, maka perlu disusun aturan tentang
lembaga keuangan syariah, khususnya BMT.
Pernyataan ini seperti apa yang dialami BMT saat ini, BMT telah tumbuh
dan berkembang karena masyarakat memandang perlu adanya lembaga ini
12
21 Rony Hanityo. Studi Hukum dan Masyarakat. (Bandung: Alumni Bandung,1985). h. 15-
16. 13
Seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum, dosen, penulis dan aktivis penegakan
hukum Indonesia. Ia dikenal sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. 14
Neni Sri Imayati, “Eksistensi BMT (Baitul Mal wat Tamwil) Sebagai Lembaga Keuangan
Syariah di Indonesia”. Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XXII Nomor 4 (Oktober 2004): h. 11
74
walaupun pengaturannya belum ada, masyarakat mencari jalan sendiri untuk
mengatur BMT antara lain seperti apa yang dilakukan oleh PINBUK.
Namun demikian semestinya pengaturan tentang lembaga keuangan
syariah dan BMT khususnya haruslah disesuaikan dengan arah pembangunan di
bidang hukum ekonomi. Pembangunan di bidang hukum ekonomi perlu
difokuskan pada satu konsep yang jelas, salah satu orientasi yang harus dan perlu
disiapkan adalah upaya pada mewujudkan terciptanya demokrasi ekonomi yang
berorientasi pada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan sosial. Orientasi ini
dapat terwujudkan antara lain apabila dapat diwujudkan pula berbagai pranata /
peraturan lain yang mengandung nilai keadilan dalam rangka mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan.
Khusus untuk perangkat hukum yang diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan hukum di bidang kegiatan ekonomi harus memenuhi asas
keseimbangan, pengawasan publik, asas campur tangan negara terhadap kegiatan
ekonomi.
Dalam merespon perkembangan BMT yang sangat pesat, dapat dikatakan
pemerintah terlambat mengeluarkan peraturan yang berbentuk undang-undang
yang tegas dalam mengatur BMT. Hal ini terlihat dari eksistensi lembaga BMT
yang lebih dahulu ada dibandingkan dengan undang-undang yang mengaturnya.
Namun, upaya pemerintah saat ini yang mulai memberikan perhatian kepada
75
BMT patut diapresiasi. Pasalnya, mengingat hukum adalah aturan yang mengikat
setiap warga Negara dan juga bersifat memaksa, maka Undang-undang yang saat
ini telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait mendukung pengembangan BMT
sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.
Hal tersebut penting untuk melindungi berbagai pihak diperlukan regulasi
namun demikian tidak menghilangkan karakteristiknya yang khas sebagai baitul
maal dan baitut tamwil. Sehingga kedepannya undang-undang yang telah ada
perlu diadakan pengembangan sesuai dengan perkembangan BMT dimasa yang
akan datang.
C. Penguatan Hukum BMT
Bank Indonesia melalui program keuangan inklusif akan memperkuat enam
pilar dalam strategi nasional keuangan inklusif (SNKI) yaitu edukasi keuangan dalam
rangka peningkatan kemampuan mengelola keuangan termasuk mengenal risiko,
penyediaan fasilitas keuangan bagi publik dari program pemerintah, pemetaan
informasi keuangan, penyusunan kebijakan dan peraturan pendukung, peningkatan
intermediasi dan sarana distribusi serta perlindungan konsumen.
Selain itu, mengingat pentingnya peran keuangan inklusif dalam
menyetarakan kesejahteraan dalam bidang ekonomi secara luas, maka pemerintah
harus melakukan penguatan dan perbaikan dalam memfasilitasi kebijakan terkait
LKMS. Eksistensi LKMS akan tercipta dengan baik manakala segala hal yang
76
KeuanganInklsif
EksistensiLembagaKeuangan
PenguatanLKMS
PenguatanHukum LKMS
PengembanganEkonomi
menopang keberlangsungannya berjalan dengan baik dan terarah. Selain permodalan
yang ditopang oleh sektor perbankan dan pemerintah, edukasi masyarakat tentang
literasi keuangan, dan juga penguatan kelembagaan serta hukum yang memayungi
LKMS. Hal tersebut penting bahkan mendesak dilakukan agar nantinya masyarakat
yang menjadi mitra dari LKMS mendapatkan kejelasan legitimasi dan keamanan
serta penjaminan dalam melakukan transaksi dengan LKMS.
Dengan terciptanya hukum LKMS yang kuat akan menjadikan LKMS
menjadi lembaga keuangan yang kredibel dan tangguh dalam menjalankan
operasionalnya sehingga nantinya LKMS mampu mendorong sektor perekonomian
Indonesia menjadi lebih baik dan terarah.
Gambar 4.4 Penguatan Hukum LKMS
77
Pentingnya fungsi hukum yang memberikan sanksi yang tegas dan
memberikan penyelesaian dalam bersengketa, membuat hukum terkait LKMS
menjadi penting dan sangat perlu untuk diperbaiki dan dikaji ulang. Dengan
demikian, munculnya undang-undang baru dan perbaikan peraturan yang sudah ada
bukanlah hal yang niscaya. Hal tersebut dikarenakan hukum haruslah bersifat
responsive, mengikuti perkembangan keadaan masyarakat.
Gambar 4.5 Pengembangan LKMS Melalui Penguatan Hukum LKMS
Penguatan Hukum LKMS
Kebijakan PengembanganLKMS yang terarah
Eksistensi dan PenguatanLKMS
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan
pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Operasional Lembaga Keuangan Mikro dalam hal ini Baitul Mal Wat Tamwil
(BMT) diatur dalam beberapa Undang-undang diantaranya Undang-Undang
No. 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No. 21 tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No. 1 tahun 2013
Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Adapun beberapa Undang-undang dan
peraturan lain yang secara tidak langsung mengatur operasional BMT, namun
undang-undang dan peraturan tersebut tidak dibahas dalam skripsi ini.
2. Dalam kaitannya BMT mengalami sengketa atau penyimpangan dalam
operasionalnya, maka rujukan undang-undang dan peraturan yang penting
untuk dirujuk diantara regulasi yang ada diselesaikan dengan mengacu pada
asas-asas perundang-undangan di Indonesia. Asas-asas tersebut diantaranya:
a. Asas lex superior derogat legi inferior.
b. Asas lex specialis derogat legi generalis.
c. Asas lex posterior derogat legi priori.
79
Hal tersebut bertujuan agar tercipta kepastian hukum dalam sistem peraturan
perundang-undangan.
3. Dalam menyokong perkembangan LKMS, pemerintah saat ini telah
mengeluarkan berbagai regulasi terkait LKMS. Namun kedepannya undang-
undang yang telah ada harus terus dilakukan perbaikan agar kebutuhan BMT
dalam aspek legal nya terpenuhi. Hal tersebut penting dan mendesak untuk
dilakukan, guna melindungi berbagai pihak dari berbagai penyimpangan dan
guna memperkokoh payung hukum BMT .
4. Penguatan hukum LKMS akan berdampak pada semakin terarahnya lembaga
keuangan mikro itu sendiri. Dengan perlindungan hukum dan aspek legal
yang jelas, maka LKMS akan mampu mensinergikan potensinya dengan
kebutuhan masyarakat sehingga nantinya tercipta kesetaraan ekonomi yang
berujung pada semakin terbukanya akses keuangan kepada masyarakat luas.
B. Saran-saran
Sebagai tindak lanjut hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa saran
yang ditujukan kepada Pemerintah, praktisi BMT, dan peneliti selanjutnya.
1. Saran bagi Pemerintah hendaknya mengkaji ulang regulasi terkait Lembaga
Keuangan Mikro yang sudah ada dan melakukan perbaikan dalam menyusun
undang-undang yang akan datang.
2. Saran bagi praktisi BMT, agar merujuk pada hukum yang telah ada dan
bersinergi dengan pemerintah dalam menyusun rancangan undang-undang
80
terkait Lembaga Keuangan Mikro Syariah agar tercipta suatu hukum yang
baik dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Saran bagi peneliti selanjutnya agar mengkaji secara lebih mendetail tentang
struktur regulasi dan analisis teknik penyusunan undang-undang Lembaga
Keuangan Mikro Syariah agar tercipta regulasi yang berasaskan perundang-
undangan yang baik.
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Alexander, Harry. Panduan Perancangan Peraturan Daerah di Indonesia. Jakarta:
XSYS Solusindo, 2004.
Al-Arif, Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah - Suatu Kajian Teoretis
Praktis. Jakarta: Pustaka Setia, 2012.
Amalia, Euis, Keadilan Distributif Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan
UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Azziz, Abdul, Peranan Bank Indonesia Di Dalam Mendukung Perkembangan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Jakarta: Pusat pendidikan dan studi
kebanksentralan PPSK BI, 2009.
Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif . Bandung:CV. Pustaka Setia,
2002.
Farida, Maria. Ilmu Perundang-undangan . Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Kwartono, M Adi, Analisis Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta: Grafindo.
83
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rajawali Press, 2011.
Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali,
1982.
Soetami, Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama,
2005.
Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekosiana,
2003.
Susilo, Y. Sri dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2000
Tiena, Yulies. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta 2008.
Usman, Syaikhu, Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu
Pilar Sistem Keuangan Nasional : Upaya Konkrit Memutus Mata
Rantai Kemiskinan Kajian Ekonomi dan Keuangan edisi Khusus
Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2005.
Widodo, Hertanto. PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis
Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT). Bandung: Mizan, 1999.
Yani, Ahmad. Pembentukan Undang-Undang & Peraturan Daerah. Jakarta:
Rajawali Press, 2011.
83
Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik .
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Jurnal dan Prosiding
Sri, Neni. “Eksistensi BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia”.
Jurnal Hukum Pro Justitia. No.4 (Oktober 2004): h. 71-84.
Sri, Neni. “Urgensi Penguatan Hukum BMT Dalam Perspektif Hukum Ekonomi”.
15-16 Desember 2009. Bandung.
Perundang-undangan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian
Undang-undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-Undang No.1 Tahun 2013 13 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Situs Internet
Koperasi dan UMKM Tahan Krisis, artikel diakses pada 19 April 2013 dari
http://economicsjurnal.blogspot.com/2010/06/lembaga-keuangan-
mikro-syariah.html .
Konsep Lembaga Keuangan Syariah diakses pada 31 Desember 2013.
http://lorong2ilmu.blogspot.com/2013/07/konsep-lembaga-keuangan-
syariah.html Diakses pada 23 nov 2013
83
Penguatan Lembaga Baitul Maal Wat Tamwil. Diakses pada 10 Oktober 2013.
http://romagia.wordpress.com/nie/penguatan-kelembagaan-baitul-mal-
watanwil-bmt/
Tabloid
Financial Inclusion, Tabloid Progrees, Edisi Mei 2011.
.