analisis konstruksi hukum upaya paksa …/analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang...

73
ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA PENYADAPAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Titin Puspita Sari NIM.E0006038 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: vuongkhanh

Post on 15-Feb-2018

235 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA PENYADAPAN

OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG

KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Titin Puspita Sari

NIM.E0006038

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Anggodo

Widjojo telah menimbulkan banyak pro dan kontra di berbagai kalangan, salah satunya

berkaitan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan

penyadapan. Penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo sebagai adik kandung

Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek pengadaan Sistem

Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan. Anggoro saat ini menjadi

buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri ke luar negeri. Penyadapan

yang dilakukan terhadap telepon Anggodo pada awalnya bertujuan untuk menelisik

keberadaan Anggoro. Namun penyadapan yang dilakukan ini, menurut sebagian pihak

dianggap sebagai tindakan yang berlebihan, salah satunya muncul dari kalangan LSM

dan para aktifis HAM. Kalangan ini berargumentasi bahwa penyadapan bertentangan

dengan Hak Asasi Manusia, bahkan muncul inisiatif untuk melakukan amandemen

terhadap pasal yang berkaitan dengan penyadapan, untuk mengkaji kembali mengenai

penyadapan, baik dari prosedur maupun kewenangan yang diberikan terhadap lembaga

yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (Alasan KPK

sadap Anggodo,vivanews.com>[20 Maret 2010, pukul 10.00 WIB].

Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai penyadapan

telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan

bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Secara legalitas, Komisi

Pemberantasan Korupsi sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna

melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi

serta menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah

sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan

bukti permulaan yang cukup. Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi secara legalitas

mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti Komisi

Page 3: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Pemberantasan Korupsi dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya. Harus

terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut merupakan salah satu

wewenang khusus diantara beberapa wewenang khusus lainnya yang dimiliki oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai

suatu lembaga khusus dimaksudkan untuk mengefektifkan dan mempercepat

penyelesaian kasus-kasus korupsi yang terlanjur mewabah di Indonesia. Seperti yang

dikatakan oleh Todung Mulya Lubis selaku Ketua Dewan Pengurus Transparency

Internasional Indonesia dalam Jurnal Komisi Hukum Nasional Vol. 9 No.5, Agustus 2009

hal. 9, bahwa indeks persepsi korupsi di Indonesia saat ini adalah 2,6 sangat berbeda

jauh dari angka minimal yang harus dicapai yaitu 5 untuk dikatakan sebagai negara yang

bersih dari korupsi, sehingga dengan kondisi demikian keberadaan Komisi

Pemberantasan Korupsi mutlak diperlukan (Todung Mulya Lubis, 2000 : 9).

Secara historis, Komisi Pemberantasan Korupsi muncul akibat tidak adanya

kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga-lembaga hukum yang ada.

Kepolisian, kejaksaan, bahkan hingga pengadilan, dianggap tidak mampu menuntuskan

problematika yang selama ini mengerogoti sistem Pemerintahan di Indonesia. Hal ini

dipertegas di dalam konsideran Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa, “lembaga

pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara

efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Lembaga ini memang

sengaja didesain untuk menutup lubang dan kelambanan Kejaksaan dan Kepolisian

dalam memberantas korupsi. Hal tersebut juga diperparah munculnya mafia peradilan

yang menumpulkan pedang peradilan di dua lembaga tersebut. Untuk itulah, sebagai

lembaga khusus tentunya juga dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus

salah satunya kewenangan untuk melakukan penyadapan.

Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus korupsi

sebagian besar didukung dari hasil penyadapan. Penyadapan pada dasarnya adalah

merupakan salah satu teknik audit untuk mendapatkan informasi dalam upaya

mengungkap kasus ataupun sebagai dasar menetapkan langkah audit/penyelidikan

berikutnya. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggunakan teknologi canggih untuk

memperlancar pekerjaan mereka sebagai pemberantas korupsi di Indonesia, terbukti

Page 4: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

dengan adanya alat penyadap yang digunakan untuk menyadap percakapan Artalyta

Suryani dengan para pejabat Jaksa Agung Muda (JAM) dan terakhir menyadap

percakapan Anggodo. Teknologi tersebut untuk mendukung kinerja lembaga ini guna

mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani.

Salah satu alat penyadap yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

adalah ATIS Gueher Gmbh buatan Jerman. ATIS (Audio Telecommunication

International Systems) merupakan sebuah generasi baru dari Instant Recall

Recorders (IRC) dalam teknologi solid-state, yang dapat dikoneksikan ke dalam

audio source berupa telepon atau handphone GSM/AMPS/CDMA dan akan

merekam atau menyadap seluruh komunikasi suara dengan kapasitas aktif lebih

dari 680 menit dan 1.000 panggilan yang berbeda. Selain alat tersebut, Komisi

Pemberantasan Korupsi juga memiliki alat penyadap lain yaitu Firing buatan

Amerika Serikat dan Macro System buatan Polandia seharga Rp 28,07 miliar.

Disamping itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga memiliki satu unit LID

Monitoring Centre (LID MC) seharga Rp 17,31 miliar. Menurut Roy Suryo, harga

alat penyadap tersebut bervariasi antara Rp 4 miliar hingga Rp 30 miliar,

tergantung fasilitas dan penggunaannya. Diantaranya model base unit, yang harus

diletakkan di dalam ruangan khusus karena berukuran besar yang dapat menyadap

ratusan nomor, dan dapat memasukkan identitas HP (IMEI dan nomor mesin HP).

Ada yang model portable semacam laptop. Penyadap tipe base unit dapat

menyadap lintas provinsi se-Indonesia. Yang portable hanya bisa menyadap

dalam radius empat kilometer dan diarahkan ke BTS (Base Transceiver Station)

tempat si target berada (Haniviva.Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya

disadap.http://beflasher.co.cc>[1 Juni 2010 pukul 11.00 WIB].

Page 5: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

sumber : http://www.beritanet.com/Technology/Berita-IT

Gambar 1. Alat Sadap Jenis Portable (Laptop Dan Receiver)

Dalam upaya penegakan hukum, masalah yang sering muncul adalah mengenai

persoalan Hak Asasi Manusia. Menurut A. Masyhur Effendi, negara yang

mengedepankan kelangsungan hidup rakyat dengan baik, salah satu diantaranya harus

menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia, maka dalam praktik kehidupan

berdemokrasi, konstitusi sebagai perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam

sebuah negara, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan

hukum (A. Masyhur Effendi dalam Majda El-Muhtaj, 2005 : 7). Terkait dalam upaya

penegakan hukum dalam perkara korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi salah satunya melalui penyadapan, isu yang muncul adalah adanya pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia.

Disatu sisi menyadap dapat menggangu privasi seseorang sehingga oleh sebagian

orang hal ini sangat ditentang. Namun disisi lain, penyadapan dapat menjadi cara yang

efektif untuk mengetahui sebuah informasi yang sangat rahasia. Sehingga proses

penyadapan diperlukan khususnya untuk mengungkap kasus yang sangat

berbahaya/besar, khususnya perkara tindak pidana korupsi. Penyadapan merupakan

upaya paksa ekstra yang dilakukan guna kepentingan dalam hal penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbeda

dengan upaya paksa biasa yang dilakukan penyidik yang terdiri dari penangkapan,

penahanan, penyitaan dan penggeledahan, hal ini dikarenakan korupsi merupakan extra

Page 6: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

ordinary crime sehingga diperlukan penanganan yang khusus salah satunya melalui

upaya paksa ekstra yaitu penyadapan.

Terkait penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan

terhadap Anggodo Widjoyo,

telah menimbulkan banyak polemik, disamping mengenai kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyadapan juga mengenai posisi

Anggodo yang dalam hal ini dijadikan sebagai subyek yang disadap padahal

status dirinya bukan sebagai tersangka, perlu untuk dikaji kembali. Dengan

demikian pertanyaan yang membutuhkan penelitian lebih jauh adalah mengenai

konstruksi hukum yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

melakukan penyadapan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta urgensinya dalam

penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan berbagai pertanyaan dan kondisi

yang telah di uraikan di atas, menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih

mendalam melalui penulisan hukum seperti yang penulis laksanakan ini.

Menilik dari uraian di atas, penulis mencoba mengangkat wacana tersebut sebagai

penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM

UPAYA PAKSA PENYADAPAN OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TELAAH UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN

2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)“.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan

permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana konstruksi hukum legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Page 7: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

2. Bagaimana konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari

Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana

korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan

judul. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis berupa tujuan secara obyektif maupun

secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui konstruksi hukum tentang legalitas penyadapan yang

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu upaya

paksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk mengetahui konstruksi hukum upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau

dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta urgensinya dalam penanganan tindak pidana

korupsi

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang Hukum Acara Pidana khususnya

mengenai penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan

bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari

penulisan hukum ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Page 8: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu

pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana

pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam

dunia kepustakaan tentang konstruksi Hukum penyadapan yang dilakukan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan kewenangannya yang diatur

dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang

berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti.

b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola

pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan

ilmu yang telah diperoleh.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal

dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis

penelitian doktrinal atau disebut juga penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal

adalah suatu penelitian hukum yang bersifat peskriptif bukan deskriptif sebagaimana

ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat peskriptif dan

terapan. Dalam penelitian hukum ini karakteristik yang digunakan yaitu ilmu hukum

yang bersifat peskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat peskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-

konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat

Page 9: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

preskriptif tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga

hukum.

3. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (statute approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93).

Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian

hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang (statute approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan

menggunakan regulasi dan legislasi, dimana dalam penelitian ini regulasi yang

digunakan sebagai acuan adalah Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

MAnusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian

Jenis sumber penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitian ini

berupa jenis sumber penelitian sekunder, yaitu informasi hasil penelaahan

dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan

kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-

arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Bahan hukum yang

digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan hukum primer, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

Page 10: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, majalah, koran, makalah dan lain

sebagainya khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan -

bahan dari internet.

Uraian tentang bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-

undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki UUD 1945, Undang-undang/Perpu,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks

(text books) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,

pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil

simposium mutahir yang berkaitan dengan topik penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain (Jhonny Ibrahim, 2008:295).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian normatif, maka

dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan/studi dokumen.

Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari,

mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan

perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut

Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif

Page 11: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum

menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang

bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret

yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki

yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi

sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi

berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum), kemudian

diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu

kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme

hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47).

Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan

cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya

menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi

sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan

serta dokumen-dokumen yang dapat membantu untuk menjawab permasalahan

yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah

sehingga pada akhirnya dapat menjawab mengenai konstruksi hukum penayadapan

yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan tindak pidana

korupsi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang masing-masing terdiri

atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika

penulisan yang dimaksud sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan

tentang konstruksi hukum, tinjauan tentang penyadapan, tinjauan tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.

Page 12: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang konstruksi hukum

legalitas upaya paksa penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dan konstruksi hukum

upaya paksa berwujud penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusi (HAM) serta

urgensinya dalam penanganan tindak pidana korupsi.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini berisi simpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan

kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Konstruksi Hukum (Rechtsconstructie)

Pada dasarnya, konstruksi hukum dinamakan analogi, tetapi di dalam ilmu hukum

dikembangkan beberapa bentuk konstruksi hukum yang sebenarnya merupakan

variasi dari analogi itu, yaitu konstruksi Penghalusan Hukum dan konstruksi

Argumentum a Contrario.

1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)

Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio

legis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada

hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu. Dalam analogi,

hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan suatu peraturan

perundang-undangan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan

perkara yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan

perkara atau fakta-fakta yang dapat diselesaikan langsung oleh peraturan

perundang-undangan yang sudah ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim

kemudian memberlakukan peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada

perkara yang sedang dihadapinya. Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan

hukum bagi keadaan yang pada dasarnya sama dengan keadaan yang secara

Page 13: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

eksplisit diatur dengan ketentuan hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk

perwujudannya lain.

Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-kasus

hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal demikian

bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana tanpa

ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu” (nullum

crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi analogi akan

menciptakan delik baru. Maka dengan konstruksi analogi, seorang ahli hukum

memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan suatu peraturan

perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk menyelesaian perkara

yang bersangkutan.

2. Konstruksi Penghalusan Hukum (rechtsverfijning)

Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara,

peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan untuk

menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan. Penghalusan hukum

dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan

mengakibatkan ketidak adilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis itu

sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak dicapai

keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan dari

konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup berlaku

suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan Hukum

justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-undangan

(bersifat restriktif).

3. Argumentum a Contrario

Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-

undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu

peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk diselesaikan

oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim akan menghasilkan

suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia menerapkan suatu aturan

pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan pada konstruksi Argumentum

a Contrario hakim sampai pada kesimpulan yang negatif, artinya ia justru tidak

Page 14: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

mungkin menerapkan aturan tertentu dalam perkara yang sedang dihadapinya

(John. Z Loudoe, 1985 : 112-113).

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum

yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar

ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-

undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak

dapat bertindak sewenang-wenang.

Menurut J.H.A. Logemann, dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli

hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang

sedemikian rupa sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh

pembuat undang-undang itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak

pembuat undang-undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa

metoda atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat

digunakan seorang ahli hukum yaitu :

a. Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsiran yang

dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat didalam suatu

konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-undang dalam merumuskan

peraturan perundang-undangan tertentu.

b. Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang dilakukan

terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan meninjau latar

belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang

yang bersangkutan.

c. Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran terhadap

satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara menyelidiki suatu

sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata hukum, dalam rangka

penemuan asas-asas hukum umum yang dapat diterapkan dalam suatu

masalah hukum tertentu.

d. Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan L.J.van

Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah

Page 15: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal konkrit yang

ada di dalam masyarakat.

e. Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau pengertian

didalam peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya

oleh pembuat undang-undang sendiri (Ishaq, 2009 : 255-256).

Menurut Pasal 16 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman mengharuskan hakim untuk memeriksa dan memberi

keputusan atas perkara yang diserahkan kepadanya dan tidak diperbolehkan

menolak dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas pengaturannya. Dalam hal

demikian dalam Pasal 28 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan

wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Hal ini berarti seorang hakim harus memiliki kemampuan dan

keaktifan untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Rechtsvinding merupakan

proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam

penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil

penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk mengambil keputusan. Oleh

karena itu, maka hakim dapat melakukan konstruksi dan penghalusan hukum.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam konstruksi hukum antara lain:

a. Hakim meninjau kembali sistem material yang mendasari lembaga hukum

yang dihadapinya sebagai pokok perkara;

b. Berdasarkan sistem itu, hakim kemudian berusaha membentuk suatu

pengertian hukum (rechtsbegrip) baru dengan cara membandingkan beberapa

ketentuan di dalam lembaga hukum yang bersangkutan, yang dianggap

memiliki kesamaan-kesamaan tertentu;

c. Setelah pengertian hukum itu dibentuk, maka pengertian hukum itulah yang

digunakan sebagai dasar untuk mengkonstruksi suatu kesimpulan dalam

penyelesaian perkara (macam-macam-penemuan-

hukum.www.masyarakathukum.blogspot.com<20 Maret 2010 pukul 11.00

WIB).

Page 16: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

2. Tinjauan Tentang Penyadapan

a. Pengertian Penyadapan

Penyadapan berasal dari kata “sadap” yang menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan)

orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Sedangkan dalam

Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik disebutkan “Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan

mendengarkan, mengetahui, merekam, membelokkan, menghambat, dan/atau

mencatat transmisi suatu Komunikasi Elektronik terhadap Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dan bukan merupakan

informasi publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan

nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi, termasuk

kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi“.

Mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, menjelaskan istilah

yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan yang sah secara

hukum). Tindakan penyadapan yang dilakukan mengacu pada dua standar, yaitu :

1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berbasis di prancis.

2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea), berbasis di USA.

Definisi interception menurut ETSI, Interception merupakan kegiatan penyadapan

yang sah menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/acces

provider/service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia

digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.

Objek yang disadap adalah layanan komunikasi yang menggunakan/melintasi

network operator, access operator, dan atau layanan internet melalui service

provider. Dalam lawful interception, layanan internet didefiniskan sebagai :

1. akses ke internet itu sendiri

2. layanan-layanan yang menggunakan internet, seperti : browsing

ke World Wide Web, email, groups, chat dan icq, Voice over IP, File

Page 17: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

transfer Protocol (FTP), Telnet, dan segala hal yang melintasi internet

protocol (Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20 Maret

2010, pukul 11.00 WIB>.

Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan

penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi dalam

pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, yaitu

sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan

“penahanan/pemotongan ditengah jalan” dan pokok materi harus tidak sadar

atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini. Bahkan untuk mendukung

lawful interception, kelompok industri dan agen pemerintah masih terus mencoba

menstandarisasikan pengolahan secara teknis dibelakang pemotongan tersebut.

Hal ini berlaku tidak hanya di eropa tetapi diseluruh negara. Teknik implementasi

penyadapan ini adalah:

- Penyadapan aktif , yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung

- Penyadapan semi aktif, dan

- Penyadapan pasif

Tetapi secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan

mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Penerapan di

Indonesia dilakukan mengingat pemerintah telah mengeluarkan aturan hukum

melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor :

11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis

Penyadapan Terhadap Informasi. Tetapi Implementasi Lawful Interception di

Indonesia tentu tidak mudah dan tidak murah dilakukan, mengingat sarana dan

prasarana telekomunikasi yang ada di Indonesia tidak semuanya mendukung

(uncomply) untuk diimplementasikan ke Lawful Interception. Kemungkinan yang

lebih visible untuk dilakukan penyadapan terhadap informasi ialah informasi yang

lalu lintasnya menggunakan layanan internet sebab sarana dan prasarana yang

ada telah lebih mungkin untuk dipersiapkan mendukung lawful interception

(Lawful-interception.http://panca.wordpress.com<20 Maret 2010, pukul 11.00

WIB>.

Page 18: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Di Indonesia ada 4 (empat) lembaga yang berhak melakukan penyadapan yakni

Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, Kejaksaan, dan Badan Intelijen Negara (BIN),

namun Komisi Pemberantasan Korupsi secara kelembagaan merupakan institusi

yang berbeda dari ketiga institusi pemerintah tersebut. Dalam melakukan

penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak membutuhkan izin dari

pengadilan, berbeda dengan lembaga yang lain yang harus mendapat izin dari

pengadilan untuk melakukan penyadapan. Hal ini sesuai dengan salah satu

standar umum yang digunakan di luar negeri, penyadapan hanya bisa dilakukan

jika mendapat izin dari pengadilan. Alasan diaturnya penyadapan secara ketat,

selain untuk menghindari penyalahgunaan alat penyadap, juga untuk kepentingan

perlindungan privasi bagi warga negara.

Untuk mendapat izin dari pengadilan, di negara lain, suatu penyadapan hanya

bisa dilakukan terhadap seorang tersangka yang telah terdapat bukti awal

sebelumnya. Misalnya, terdapat dokumen yang belum ditemukan dokumen

aslinya. Adanya pengakuan dari seorang saksi juga bisa menjadi awal untuk

meminta izin penyadapan. Dengan demikian, penyadapan sebenarnya adalah alat

untuk memperkuat suatu bukti, bukan bukti utama.

b. Kekuatan Pembuktian Hasil penyadapan

Menelaah kekuatan pembuktian hasil penyadapan, penulis akan

mengaitkan dengan Pasal 184 KUHAP untuk mengetahui kedudukan hasil

penyadapan masuk dalam kategori mana dari jenis-jenis alat bukti yang sah

yang disebutkan secara limitatif dalam pasal tersebut. Khusus dalam

kegiatan pembuktian perkara tindak pidana korupsi, disamping tetap

menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, juga

dimungkinkan pula berlaku hukum pembuktian khusus sebagai

perkecualiannya. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam

hukum pembuktian perkara tindak pidana korupsi ada dua hal pokok :

1. Mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat-alat

bukti petunjuk, dan

2. Mengenai sistem pembebanan pembuktian.

Page 19: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Penulis akan mempertajam pada point pertama mengenai bahan-bahan yang

dapat digunakan untuk membentuk alat-alat bukti petunjuk, guna menganalisa

hasil penyadapan sebagai alat bukti.

Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk

melalui 3 (tiga) macam alat bukti yaitu alat bukti keterangan saksi, alat bukti surat

dan alat bukti keterangan terdakwa. Dalam hukum pembuktian tindak pidana

korupsi, bahan tersebut diperluas lagi. Menurut Adami Chazawi, perluasan alat

bukti untuk membentuk alat bukti petunjuk yang diatur dalam Pasal 26A Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi didasarkan

pada 2 (dua) pertimbangan, yaitu :

1. Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia digolongkan pada tindak

pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes). Kriteria kejahatan luar

biasa adalah meluas dan sukar pemberantasannya. Oleh karena itu harus

dihadapi dengan upaya yang luar biasa pula. Perluasan bahan untuk

membentuk alat bukti petunjuk ini adalah salah satu upaya yang luar

biasa tersebut.

2. Pembuktian kasus tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung

dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan

terutama para birokrat dan pengusaha yang amat kuat secara politis dan

ekonomi, yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan. Untuk

mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem pembuktian terbalik.

Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat bukti

petunjuk (Adami Chazawi, 2008: 108-109).

Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, menentukan bahwa alat bukti petunjuk juga dapat dibentuk

dari 2 (dua) alat bukti lain selain dari Pasal 188 ayat (2) KUHAP yakni :

a) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,

atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan

itu; dan

Page 20: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

b) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa

bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun

selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi

yang memiliki makna.

Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti

petunjuk dalam Pasal 26A mengandung makna bahwa informasi dan dokumen

yang dimaksud dalam Pasal 26A adalah sebagai alat bukti yang kedudukannya

sejajar atau sama dengan 3 (tiga) alat bukti: keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa yang disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Dalam

rumusan Pasal 26A huruf a disebutkan secara tegas “alat bukti lain”. Artinya,

kedudukan informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama

dengan alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dengan

alasan tersebut, maka alat bukti petunjuk dalam perkara korupsi sudah dapat

dibentuk berdasarkan informasi dan dokumen saja tanpa menggunakan alat

bukti lain seperti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sehingga

hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah yamg merupakan alat bukti

petunjuk.

3. Tinjauan Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

a. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah

“lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam ketentuan ini

yang dimaksud “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat

mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau

anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-

pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan

situasi apapun dengan alasan apapun (Ermansjah Djaja, 2008 : 185).

Page 21: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13 dan 14 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu :

1. Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang ;

a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap

tindak pidana korupsi ;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi kepada instansi yang terkait ;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi;

f. wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13 dan 14 Undang-

undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

2. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan

pengawasan, penelitian atau penelaaahan terhadap instansi yang menjalankan

tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana

korupsi dan instansi yang dalam melaksankan pelayanan publik.

3. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang juga mengambil alih penyidikan atau

penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh

kepolisian atau kejaksaan.

Page 22: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

4. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyidikan

atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan

seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan

dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal

diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa :

“ketentuan ini bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka tersebut tetap dapat ditempatkan dalam

tahanan kepolisian atau tahanan kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk

menempatkan tersangka di Rumah Tahanan tersebut. Lihat pula penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf i “.

5. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat

dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan

kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih

kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

6. Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alasan :

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif atau legislatif;

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 23: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

7. Dalam hal terdapat alasan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitahukan kepada penyidik atau

penuntut umun untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani.

8. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain

yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Dijelaskan dalam

penjelasan Pasal 11 huruf a bahwa :

“yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme termasuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

b. mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

9. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) berwenang :

a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan ;

b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang

bepergian ke luar negeri;

c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang

keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sadang diperiksa;

d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka,

terdakwa atau pihak lain yang terkait;

Page 24: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa

kepada instansi yang terkait, dalam penjelasan Pasal 12 huruf f dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah orang

perorangan atau korporasi.

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan

dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisesnsi serta

konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang

diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak

pidana korupsi yang sedang diperiksa;

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf g :

“ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari penghilangan atau penghancuran alat bukti yang diperlukan oleh penyelidik, penyidik, atau

penuntut atau untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar”. h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti

di luar negeri;

i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani;

Dalam penjelasan Pasal 12 huruf i :

“permintaan bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga

melakukan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada Rumah Tahanan Negara untuk menerima

penempatan tahanan tersebut dalam Rumaha Tahanan”. 10. Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan langkah

atau upaya pencegahan sebagai berikut :

Page 25: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta

kekayaan penyelenggara negara;

b. menerima laporan dan menentukan status gratifikasi;

c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang

pendidikan;

d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tindak pidana korupsi

e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi.

11. Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua

lembaga negara dan pemerintah;

b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negra dan pemerintah untuk

melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem

pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;

c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran

Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut

tidak diindahkan.

b. Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ketentuan umum dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada Komisi

Pemberantasan Korupsi diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 42 Undang-

undang Nomor 30 tahun 2002, sebagai berikut :

Page 26: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

1. Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik,

penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantsan Korupsi.

Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002

dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “yang berkaitan dengan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” dalam ketentuan ini antara lain,

kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

dan pemeriksaan surat.

2. Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku

bago penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

3. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan

berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

dilakukan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama

Komisi Pemberantasan Korupsi.

5. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada

Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi

Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Page 27: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

6. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat

perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak

pidana korupsi.

7. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi denagn

lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang

telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam penjelasan Pasal 41 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dijelaskan

bahwa, yang dimaksud dengan “lembaga penegak hukum negara lain”,

termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan-badan khusus lain dari

negara asing yang menangani perkara tindak pidana korupsi.

8. Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan

mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana

korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada

peradilan militer dan peradilan umum.

1) Penyelidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tentang tata cara penyelidikan perkara tindak pidana korupsi pada

Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal

43 dan Pasal 44 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :

1. Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi

yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi.

2. Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan

fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi.

Page 28: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

3. Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti

permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi,

dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak

tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,

penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

4. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah

ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan

tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau

optik.

5. Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti

permulaan yang cukup yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti,

penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.

6. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa

perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi

melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat dilimpahkan perkara

tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.

7. Dalam hal penyidikan dilimpahkan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka Kepolisian atau

kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan

perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantsan Korupsi.

2) Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK)

Mengenai tata cara penyidikan perkara tindak pidana korupsi oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal

45 sampai dengan Pasal 50 sebagai berikut :

1. penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang

diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Page 29: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

2. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan fungsi

penyidikan tindak pidana korupsi.

3. Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut

prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka

diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku

berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 ini.

Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “prosedur khusus”

adalah kewajiban memperoleh izin bagi tersangka pejabat negara

tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan.

4. Pemeriksaan tersangka dengan berdasarkan Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002, dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.

5. Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti pemulaan yang cukup,

penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri

berkaitan dengan tugas penyidikannya.

6. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur

mengenai tindak penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang- undang

Nomor 30 Tahun 2002.

7. Penyidik yang melakukan penyitaan wajib membuat berita acara

penyitaan pada hari penyitaan sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga;

b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan

penyitaan;

c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau

benda berharga lain tersebut;

d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan; dan

Page 30: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai

barang tersebut.

8. Salinan berita acara penyitaan barang atau benda berharga lain

disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.

9. Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidan korupsi wajib

memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap

orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai

hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.

10. Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara

dan disampaikan kepada kepada pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.

11. Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan

Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah

dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut

wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling

lambat empat belas hari hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya

penyidikan.

12. Penyidikan suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian

atau kejaksaan wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan

Komisi Pemberantasan Korupsi.

13. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan

penyidikan suatu tindak pidana korupsi, kepolisian atau kejaksaan tidak

berwenang lagi melakukan penyidikan.

14. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian

dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang

dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Page 31: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Dalam penjelasan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan”

adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya

penyidikan.

3) Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK)

Mengenai tata cara penuntutan perkara tindak pidana korupsi oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal

51 dan Pasal 52 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :

1. Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan

Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi.

2. Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi

melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.

3. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi adalah Jaksa

Penuntut Umum.

4. Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik,

paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal

diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara

tersebut kepada Pengadilan Negeri.

5. Dalam hal pelimpahan berkas perkara tindak pidana korupsi oleh

Penuntut Umum kepada Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan

Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputuskan.

Page 32: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pada apa yang telah disusun dalam kerangka teoritik tinjauan

pustaka dan paparan latar belakang di atas, penulis akan menyajikan bagan

kerangka pemikiran yang akan membantu dan memberikan gambaran yang lebih

riil mengenai alur berpikir dalam penyusunan penelitian ini.

Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran

KETERANGAN :

Upaya Paksa

Ekstra

Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK)

Upaya Paksa Penyadapan (Pasal 12 ayat (1) huruf a

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Perluasan

Alat Bukti Petunjuk Pasal 26A Undang-undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

Konstruksi Hukum

Penanganan Tindak

Pidana Korupsi

(extra ordinary crime)

Page 33: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum pidana khusus, tepat karena korupsi

dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena bersifat luar biasa,

maka diperlukan pula penanganan yang luar biasa untuk mengatasinya. Penanganan

yang luar biasa tersebut berarti upaya yang bersifat khusus dibandingkan upaya

penegakan hukum pada umumnya.

Salah satu bentuk penanganan luar biasa tersebut adalah dengan dibentuknya komisi

khusus untuk menangani perkara korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Salah satu hal yang mendasari terbentuknya KPK adalah kurang efektifnya lembaga

negara yang sudah ada dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan dalam menangani

tindak pidana korupsi.

Dalam pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilengkapi dengan

sejumlah wewenang yang bersifat khusus dan luar biasa. Diantara beberapa wewenang

tersebut antara lain adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk

melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam rangka melaksanakan tugas

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat

(1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra

dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini penyadapan akan dikaitkan pada

perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang No.

31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Karena penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya paksa ekstra

maka dibutuhkan suatu konstruksi hukum agar dalam pelaksanaannya tidak melanggar

hak-hak tersangka maupun terdakwa.

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Konstruksi Hukum Penyadapan Berdasarkan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah suatu lembaga independen yang khusus

dibentuk untuk menangani perkara korupsi yang dibekali dengan seperangkat

kewenangan dari hilir sampai hulu artinya kewenangan dari mulai penyelidikan,

Page 34: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

penyidikan sampai pada ke penuntutan, dicakup sekaligus tanpa mengenal adanya

penghentian penyidikan. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada

lembaga ini merupakan hal yang luar biasa dan semakin menjadi kuat dengan

tidak perlunya pemberian izin dari pejabat yang berwenang bagi Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam hal

penyidikan, diantaranya kewenangan untuk melakukan penyadapan. Sebagaimana

lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan yang harus mendapatkan izin dari

pengadilan untuk melakukan penyadapan.

Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar hukum Undang-undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk

melakukan penyadapan. Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi

berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan

tersebut penyadapan dapat dilakukan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan

sampai penuntutan. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dibatasi

dalam melakukan penyadapan, tergantung konteks perkara yang ditangani. Bisa

saja penyadapan dilakukan untuk mencari bukti awal pada proses penyelidikan.

Konstruksi hukum yang digunakan dalam melakukan penyadapan didasarkan

pada tujuan yang ingin dicapai pada masing-masing tahap tersebut. Dasar hukum

yang lain yaitu dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan

surat menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak

boleh diganggu kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Disamping menjamin dalam

kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini ternyata memberikan

batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan

“gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku maka diperbolehkan. Pasal 32 ini justru

menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan penyadapan yaitu

melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundang-undangan

Page 35: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

yang berlaku”. Memang belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab,

penjelasan Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat disebut sebagai kewenangan yang sah

menurut perundang-undangan yang berlaku.

Yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum adalah pada tahap apa

penyadapan dilakukan. Karena dari masing-masing tahapan tersebut juga akan

berpengaruh pada siapa saja yang bisa dikenai atau menjadi subyek penyadapan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi serta konstruksi

hukum yang digunakan.

1. Penyelidikan

Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, penyelidikan adalah “serangkaian tindakan

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini“. Tindakan penyelidikan

menekankan pada tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana dan untuk selanjutnya apakah

peristiwa yang ditemukan tersebut dapat dilakukan penyidikan atau tidak

sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP.

Yahya Harahap mengemukakan bahwa tujuan dilakukannya penyelidikan

adalah untuk mengumpulkan atau mempersiapkan semaksimal mungkin fakta,

keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai

penyidikan. Apabila penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa

terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi

kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibatnya, pihak yang dirugikan bisa

menuntut ganti rugi dan rehabilitasi dalam praperadilan, maka dalam

penyelidikan harus dilakukan dengan menggunakan metode scientific criminal

detection, yaitu metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah (Yahya

Harahap, 2000 : 105).

Page 36: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Untuk dapat dilakukan penyidikan harus ada bukti permulaan yang cukup, jika

setelah penyelidikan tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup maka tidak dapat

dilakukan penyidikan. Demikian pula tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi

maka sebelum dilakukan penyidikan diperlukan adanya penyelidikan terlebih dahulu

terhadap kebenaran laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana korupsi. Jika dari hasil penyelidikan terdapat cukup bukti terjadi tindak pidana

korupsi, maka penyelidik membuat berita acara penyelidikan sehingga nantinya

dapat dijadikan dasar penyidik melakukan penyidikan guna menentukan tersangka

yang akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana tersebut (criminal

responsibility) dan tindak pidana tersebut menjadi terang karenanya (criminal act)

(Lilik Mulyadi, 2000:50).

Dalam KUHAP dan penjelasannya tidak diatur lebih lanjut mengenai apa yang

dimaksud dengan bukti permulaan, hanya dalam Pasal 17 KUHAP disebutkan

“perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan

tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”, dan dalam penjelasan Pasal

17 KUHAP menyebutkan bahwa bukti permulaan yang cukup adalah ”Bukti

permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir

14”. Sedangkan menurut Lamintang, bukti permulaan yang cukup dalam rumusan

Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti seperti

dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam Rapat Kerja MAHKEJAPOL tanggal

21 Maret 1984, bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi

ditambah satu alat bukti lainnya. Sedangkan pengertian bukti permulaan menurut

Keputusan Kapolri No. Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang

merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:

a. laporan polisi

b. BAP di TKP

c. laporan Hasil Penyelidikan

d. keterangan saksi atau ahli; dan

e. barang bukti

Page 37: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bukti

permulaan adalah bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana

yang minimal terdiri dari 2 (dua) alat bukti.

Menurut Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang cukup

dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti

termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Sementara

terkait pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi tentang adanya tindak

pidana dan atau kesalahan terdakwa adalah dengan menggunakan alat bukti yang

sah yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang hukum acara pidana.

Menurut KUHAP ataupun dalam ketentuan pidana pada perundang-undangan yang

lebih khusus, alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal

184 ayat (1) KUHAP.

Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa.

penulis akan mempertajam pembahasan tentang alat bukti petunjuk, mengingat

ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam pembuktian perkara korupsi diperluas

pengertiannya dalam ketentuan Undang-undang Pemberantasan Perkara Tindak

Pidana Korupsi. Namun, perluasan ini hanya pada alat bukti yang sah dalam bentuk

petunjuk. Perluasan alat bukti untuk tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dikarenakan tidak pidana korupsi merupakan bagian dari white collar

crime, yang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang umumnya dilakukan oleh

orang-orang yang memiliki kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh

Page 38: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

jabatan yang diperolehnya yang dilakukan secara terorganisir. Disisi lain juga adanya

kesulitan dalam segi pembuktian karena pelakunya adalah mereka yang memiliki

posisi yang kuat secara politis dan ekonomi yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi

jalannya proses peradilan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, selain dengan sistem

pembuktian terbalik. Juga dengan upaya memperluas bahan untuk membentuk alat

bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A tersebut.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perluasan alat bukti petunjuk, lebih

dahulu penulis akan membahas mengenai alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk

merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 KUHAP disebutkan :

(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa.

(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Bertitik tolak dari bunyi Pasal 188 ayat (1), rumusan tersebut sulit untuk dipahami

secara jelas. Menurut Yahya Harahap, rumusan tersebut perlu penambahan kata-

kata agar lebih jelas yang dapat disusun dalam kalimat berikut : Petunjuk ialah suatu

“isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana

isyarat itu mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun

isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri dan dari isyarat

yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang

“membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya

(Yahya Harahap, 2002 : 313). Baik dari rumusan yang disusun tersebut maupun dalam

rumusan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1), penekanannya terletak pada kata

“persesuaian”, yaitu adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun

persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri.

Page 39: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Pasal 188 ayat (2) membatasi kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat

bukti petunjuk. Hakim tidak boleh gegabah untuk mencari petunjuk dari segala

sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk,

terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2).

Menurut Pasal 188 ayat (2) petunjuk hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi,

b. surat,

c. keterangan terdakwa.

Hanya dari ketiga alat bukti tersebut bukti petunjuk dapat diolah, dari ketiga sumber

inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.

Lalu mengenai kedudukan keterangan ahli dalam hal ini, undang-undang tidak

memberikan kesempatan untuk mencari sumber petunjuk selain yang telah

ditetapkan dalam rumusan Pasal 188 ayat (2). Hal tersebut dipertegas dengan kata-

kata “hanya dapat diperoleh”, sehingga undang-undang tidak memberikan alternatif

lain bagi hakim untuk mencari sumber dalam membentuk alat bukti petunjuk selain

dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Mengenai kedudukan

keterangan ahli, Yahya Harahap berpendapat, keterangan ahli sebagai sumber alat

bukti petunjuk, didasarkan pada pemikiran perlunya membatasi kewenangan hakim

mancari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlampau luas. Dianggap terlalu

berbahaya memperoleh atau mencari petunjuk dari keterangan ahli, sebab

keterangan ahli sebagai alat bukti, dianggap kurang obyektif. Karena sifat alat bukti

keterangan ahli, sedikit banyak berwarna pendapat subyektif dari ahli, ahli

menerangkan suatu keadaan atau suatu hal semata-mata dari kaca mata

subyektifnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki (Yahya Harahap, 2002 : 315-316).

Mencermati rumusan tentang pengertian alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 ayat

(1) dan ayat (2), maka unsur atau syarat alat bukti petunjuk adalah :

a. unsur pertama: adanya perbuatan, kejadian, keadaan yang bersesuaian;

b. unsur kedua: ada 2 (dua) persesuaian yaitu :

Page 40: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

1. bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian dan keadaan satu

dengan yang lain

2. bersesuaian antara perbuatan, kejadian dan atau keadaan dengan tindak

pidana yang didakwakan;

c. unsur ketiga, dengan adanya persesuaian yang demikian itu menandakan

atau menunjukkan adanya 2 (dua) hal kejadian, yaitu:

1. menunjukkan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana

2. menunjukkan siapa pembuatnya.

d. Alat bukti petunjuk hanya dapat dibentuk melalui 3 (tiga) alat bukti, yaitu

keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk cenderung merupakan

penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa alat bukti

lainnya, dan bukan merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, beberapa ahli

keberatan apabila alat bukti petunjuk menjadi bagian dalam hukum pembuktian

perkara pidana. Van Bemmelen dalam Andi Hamzah mengatakan bahwa kesalahan

utama ialah petunjuk-petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti, padahal pada

hakikatnya tidak ada (Andi Hamzah, 2001 : 272). Wirjono Projodikoro menyarankan

agar alat bukti penunjukan dilenyapkan dari penyebutannya sebagai alat bukti dan

penggantinya adalah pengalaman hakim dalam sidang dan keterangan terdakwa

dimuka hakim yang tidak mengandung pengakuan salah seluruhnya dari terdakwa

(Wirjono Projodikoro,1985:129). Terlepas dari penolakan para ahli tersebut,

penggunaan alat bukti petunjuk harus sangat diperhatikan, karena alat bukti

petunjuk adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari

hubungan persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka

sifat subyektifitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3)

mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu harus dilakukan secara arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa

dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya.

Alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi

batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, “Hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-

Page 41: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Alat bukti petunjuk baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti yang lain, karena

petunjuk baru mungkin ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Sifat petunjuk

sebagai alat bukti adalah tergantung pada alat bukti keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa sebagai pembentuknya. Namun, menurut Wirjono Projodikoro

dalam Adami Chazawi, alat bukti petunjuk tidak perlu dipergunakan apabila dari alat-

alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat minimal pembuktian dan dari syarat

minimal itu sudah dapat menyakinkan hakim tentang terjadinya tindak pidana dan

terdakwa bersalah melakukannya, karena alat bukti petunjuk sesungguhnya bukan

merupakan alat bukti yang sebenarnya, melainkan sebagai kesimpulan hakim belaka

yang diambil dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sebenarnya (Adami

Chazawi, 2008 : 83).

Nilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas

kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas

menilainya dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk

sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa

karena terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam

Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu agar petunjuk memiliki nilai pembuktian yang

cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

Mengenai perluasan alat bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, diatur dalam

Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yakni:

”alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal

188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,

khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

c) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

d) Dokumen yakni setiap rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,

Page 42: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam penjelasan Pasal 26A huruf a diperjelas mengenai definisi pentingnya,

bahwa “yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang

disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory (CD Room) atau Write

Once Read Many (WORM)”. Kemudian dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan

“alat Optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data

penghubung elektronik (elektronic data interchange), surat elektronik (e-mail),

telegram, teleks, dan faksimile”.

Dengan adanya ketentuan perluasan bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk

dalam Pasal 26A, secara formal jelas bahwa informasi dan dokumen yang dimaksud

dalam Pasal 26A merupakan alat bukti yang yang kedudukannya sejajar atau sama

dengan 3 (tiga) alat bukti lainnya: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa

sebagaimana disebut dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Hal tersebut dipertegas dalam

rumusan Pasal 26A huruf a yang menyebutkan “alat bukti lain”, artinya kedudukan

informasi dan dokumen adalah sebagai alat bukti yang sah sama dengan alat bukti

keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Sementara dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan “intersepsi

atau penyadapan adalah kegiatan mendengarkan, mengetahui, merekam,

membelokkan, menghambat, dan/atau mencatat transmisi suatu Komunikasi

Elektronik terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

bersifat publik dan bukan merupakan informasi publik, baik menggunakan jaringan

kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau

radio frekuensi, termasuk kegiatan permintaan dan pemberian Rekaman Informasi”.

Merujuk dari pengertian diatas mengenai bahan yang dipergunakan untuk

membentuk alat bukti petunjuk, selain dari alat bukti keterangan saksi, surat dan

keterangan terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat bukti

petunjuk juga dapat dibentuk dengan menggunakan informasi dan dokumen yang

disebutkan dalam Pasal 26A tersebut. Sehingga apabila dikaitkan dengan

penggunaan alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-

Page 43: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001, dapat dilihat bahwa sebenarnya hasil penyadapan

dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk.

Demikian pula sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyebutkan bahwa Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat

bukti hukum yang sah, yang secara jelas disebutkan dalam Pasal 5 :

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari

alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Menurut penulis, dari ketentuan tersebut semakin memperjelas bahwa hasil

penyadapan merupakan alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti petunjuk yang

diatur secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP yang merupakan perluasan alat bukti

petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “bukti permulaan yang

cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti

termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”.

Sebagaimana analisis penulis mengenai hasil penyadapan yang dikategorikan sebagai

alat bukti petunjuk, maka kedudukan penyadapan dalam hal ini apabila dihubungkan

dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan salah satu bukti permulaan

disamping alat bukti lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tanpa

terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut dugaan adanya tindak pidana korupsi

belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum adanya bukti permulaan

yang cukup.

Page 44: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Dari uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyelidikan, dilakukan untuk

mendapatkan bukti permulaan yang cukup agar dapat dilanjutkan pada tingkat

penyidikan. Kedudukan hasil penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti

petunjuk yang dapat dijadikan sebagai bukti permulaan yang cukup disamping alat

bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP

Banyak muncul perdebatan mengenai siapa saja yang bisa menjadi subyek

penyadapan. Komisi Pemberantasan Korupsi dituding telah menggunakan hak dan

wewenangnya secara sewenang-wenang. Karena dalam prakteknya ternyata banyak

pihak yang telah menjadi “korban” penyadapan oleh lembaga ini. Perlu untuk dikaji

kembali, bahwa dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa “Dalam

melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf c Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang

melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”, dari ketentuan tersebut Komisi

Pemberantasan Korupsi berwenang untuk melakukan penyadapan mulai dari tahap

penyelidikan sampai ke penuntutan. Yang perlu untuk digarisbawahi adalah dalam

tingkat apa Komisi Pemberantasan Korupsi malaksanakan penyadapan, hal ini

penting guna menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Mengenai siapa saja yang bisa disadap dalam tingkat penyelidikan, perlu untuk

dipahami bahwa penyelidikan dimaksudkan untuk mencari dan menemukan suatu

peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya

dilakukan penyidikan. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik

selanjutnya, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak.

Sehingga dalam penyelidikan tidak terfokus untuk mencari siapa tersangka atau

pelakunya namun untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana dapat atau tidak untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan yang

didasarkan pada bukti permulaan yang cukup.

Oleh karena itu dalam penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi, penyadapan dapat dilakukan terhadap setiap orang

untuk kepentingan penyelidikan guna menemukan bukti permulaan yang cukup

untuk diteruskan ke tingkat penyidikan, yang perlu diperhatikan adalah meskipun

Page 45: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

penyadapan dapat dilakukan kepada setiap orang namun tidak ke sembarang orang,

melainkan hanya kepada mereka yang sedang diselidiki terkait dugaan

keterlibatannya dalam kasus tindak pidana korupsi, seperti yang dilakukan terhadap

Anggodo Widjojo. Status Anggodo bukan sebagai tersangka terkait dengan kasus

yang sedang diselidiki namun penyadapan ini berkaitan dengan posisi Anggodo

sebagai adik kandung Anggoro Widjojo, tersangka kasus dugaan suap dalam proyek

pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Departemen Kehutanan.

Anggoro saat ini menjadi buron Komisi Pemberantasan Korupsi karena melarikan diri

ke luar negeri. Penyadapan yang dilakukan terhadap telepon Anggodo bertujuan

untuk menelisik keberadaan Anggoro.

Sehingga penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

penyelidikan tindak pidana korupsi dapat dilakukan terhadap setiap orang, dimana

orang tersebut patut diduga atau dianggap memiliki keterkaitan atau keterlibatan

dalam perkara korupsi yang sedang diselidiki.

2. Penyidikan

Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya. Berdasarkan rumusan tersebut maka tugas utama

penyidik adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi untuk kemudian

menemukan tersangkanya. Pada penyidikan, titik beratnya ditekankan pada

tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” agar tindak pidana yang

ditemukan dapat menjadi terang, serta dapat menemukan dan menentukan

siapa pelakunya.

Tugas utama penyidik dalam hal ini adalah untuk mencari serta

mengumpulkan bukti. Mencari bukti yang dimaksud adalah sesungguhnya

mencari alat bukti, karena bukti tersebut hanya terdapat atau dapat diperoleh

dari alat bukti, dan alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti yang sah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (Adami Chazawi, 2008 : 14).

Page 46: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Bagi penyidik bukti yang terdapat dari alat bukti itu dinilai untuk menarik

kesimpulan apakah dari bukti yang ada itu sudah cukup untuk membuat terang

tindak pidana yang terjadi dan sudah cukup dapat digunakan untuk menemukan

tersangkanya. Yang menjadi fokus dalam penyidikan adalah kegiatan untuk

mengumpulkan bukti dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan

mencari atau mengumpulkan bukti kemudian mengurai, menganalisa, menilai

dan menyimpulkannya dalam suatu surat yang disebut Resume. Semua alat

bukti dan penilaian penyidik ini akan dibawa oleh Jaksa Penuntut Umum ke

dalam sidang dan diperiksa ulang di hadapan 3 (tiga) pihak yaitu, hakim, jaksa

penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukumnya.

Penyidik harus berusaha semaksimal mungkin dalam mencari dan

mengumpulkan bukti-bukti yang ada di lapangan terkait dengan kasus yang

sedang ditangani. Hal ini dikarenakan yang menilai sah atau tidaknya bukti

tersebut adalah hakim. Bukti yang sah, dalam arti bukti yang dapat dinilai dan

dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinannya untuk

membuat putusan adalah bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan,

bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Sehingga ada kemungkinan

bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidik tidak semuanya dapat digunakan

di persidangan.

Terkait penanganan perkara korupsi, hal tersebut bukanlah hal yang mudah,

sangat berbeda jauh dengan penanganan perkara biasa. Korupsi merupakan

extra ordinary crime, dimana pelakunya adalah mereka yang memiliki

kedudukan dan jabatan yang tinggi, terlebih tidak hanya dilakukan oleh orang-

perorangan tapi juga termasuk di dalamnya badan hukum baik privat maupun

publik. Selain itu cara-cara yang digunakan pun tergolong rapi agar tidak

mudah tercium oleh aparat penegak hukum, hal ini tentu saja sangat

menyulitkan dalam mengungkap kasus korupsi.

Terlebih lagi kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah kasus-kasus yang cukup besar, menyangkut kerugian negara

paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini menuntut

usaha yang lebih dari Komisi Pemberantasan Korupsi diantaranya penyidik

Page 47: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

yang harus lebih bekerja keras dalam mencari dan menemukan bukti-bukti.

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, penyidik diberikan beberapa kewenangan lebih hal ini

tentu saja terkait dengan tujuan dibentuknya lembaga ini yaitu untuk

mempercepat penanganan korupsi di Indonesia. Salah satu kewenangan ekstra

tersebut adalah dapat melakukan penyitaan tanpa perlu mendapatkan izin dari

Ketua Pengadilan Negeri.

Pada penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, berdasarkan kewenangan yang dimilikinya

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satunya adalah berhak

untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Penyadapan dalam

tingkat penyidikan dilakukan untuk memperoleh tambahan alat bukti

disamping alat bukti yang lain, dan dengan alat bukti tersebut penyidik dapat

mencari dan menemukan siapa pelaku tindak pidana tersebut. Yang wajib

menjadi pertimbangan bagi penyidik dalam melakukan penyadapan adalah

telah diperolehnya bukti permulaan yang cukup telah terjadi suatu indikasi

tindak pidana (korupsi), sehingga penyadapan yang dilakukan tidak merugikan

orang lain dan tidak memunculkan opini yang mengarah pada arogansi aparat.

Yang perlu diperhatikan adalah hasil penyadapan yang diperoleh oleh penyidik

hanya sekedar untuk menyempurnakan alat bukti, bukan alat bukti utama.

Penyadapan yang dilakukan oleh pejabat penyidik dalam tingkat penyidikan adalah

untuk mencari alat bukti guna menemukan siapa tersangkanya. Mengenai kedudukan

hasil penyadapan, apabila dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP mengenai macam-

macam alat bukti yang sah adalah sebagai alat bukti petunjuk, hal ini merujuk pada

Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Dalam Pasal 26A yang mengatur tentang perluasan alat bukti petunjuk dalam

perkara korupsi, menjelaskan bahwa selain dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah dalam bentuk

Page 48: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

petunjuk khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain

yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara

elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen yakni setiap

rekaman data, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang

dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang

diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara

elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda,

angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Walaupun secara formal daya pengaruh alat bukti petunjuk yang dibentuk dari

informasi dan dokumen, seperti halnya penyadapan, sama dengan daya pengaruh

alat-alat bukti yang lain, tetapi secara subyektif ketika masing-masing alat bukti telah

dipergunakan, bisa saja menjadi tidak sama. Sehingga bisa terjadi 2 (dua) alat bukti

atau lebih telah diperiksa dan dipergunakan dalam pembuktian, tetapi tidak mampu

membentuk keyakinan hakim. Syarat minimal bukti bukan merupakan syarat untuk

mengharuskan hakim untuk membentuk keyakinannya, tetapi syarat agar hakim

dapat membentuk keyakinannya. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan dapat

digunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Di

dalam persidangan, bukti atau alat bukti yang didapat dari proses penyidikan

berfungsi membantu menemukan bukti dan memberi arahan bagi hakim, jaksa

penuntut umum dan penasihat hukum.

Dari penjelasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa penyadapan

yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan,

bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang

ditemukan menjadi terang dan selanjutnya dapat menentukan siapa tersangka atau

pelaku tindak pidana. Kedudukan penyadapan dalam hal ini adalah sebagai alat bukti

petunjuk berdasarkan Pasal 26A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai perluasan alat bukti

petunjuk dalam perkara korupsi. Sehingga hasil penyadapan merupakan alat bukti

yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

Mengenai siapa yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam tingkat penyidikan, perlu mencermati pengertian dari penyidikan itu

Page 49: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

sendiri. Dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Sedangkan pengertian tersangka dalam Pasal 1 butir 14, adalah

seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dari 2 (dua) pengertian tersebut, dapat

ditarik kesimpulan bahwa yang dijadikan obyek penyadapan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penyidikan adalah mereka yang berstatus

tersangka.

3. Penuntutan

Pengertian mengenai penuntutan dijelaskan dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP

yaitu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus

oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian penuntut dalam

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah penuntut umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi. Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi

adalah Jaksa Penuntut Umum.

Dalam penuntutan sangat berkaitan erat dengan proses pembuktian, namun

pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara

pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka

persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang berhubungan

dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum

pembuktian perkara pidana terfokus pada proses kegiatan pembuktian di sidang

pengadilan, tetapi sesungguhnya proses pembuktian sudah ada dan dimulai

pada saat penyelidikan, suatu pekerjaan awal dalam menjalankan proses

perkara pidana oleh negara (Adami Chazawi, 2008 : 13).

Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan

sesuatu (obyek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh

Page 50: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

dipergunakan dengan cara tertentu pula untuk memperoleh kekuatan hukum

bahwa apa yang dibuktikan itu dikatakan terbukti atau tidak terbukti

berdasarkan undang-undang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam

pembuktian hukum acara pidana adalah :

1. Putusan hakim minimal didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang saling

mendukung satu dengan yang lain.

2. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana.

3. Disamping alat bukti yang telah ditetapkan oleh KUHAP, alat bukti lain

adalah hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan.

Segi-segi umum hukum pembuktian umum dalam KUHAP terutama :

1. Mengenai alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan (Pasal 184).

Obyek yang harus dibuktikan bersumber pada tindak pidana yang

didakwakan.

2. Mengenai kedudukan, fungsi pihak yaitu hakim, JPU, dan terdakwa atau

penasihat hukumnya yang terlibat dalam kegiatan pembuktian. Dari sudut

pihak mana yang berkewajiban membuktikan, maka disini terdapat sistem

pembebanan pembuktian.

3. Mengenai nilai atau kekuatan alat bukti dalam pembuktian dan cara-cara

menilainya (Pasal 184-189).

4. Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan alat bukti

tersebut. Dengan kata lain bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan

dalam kegiatan pembuktian (Pasal 159-181).

5. Mengenai standar minimal pembuktian sebagai kriteria yang harus dipenuhi

untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang terbukti ataukah tidak hal

apa (obyek) yang dibuktikan (Pasal 183).

6. Mengenai syarat subyektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya dengan

standar minimal pembuktian dalam hal hakim menarik amar putusan akhir

(Pasal 183) (Adami Chazawi, 2008 : 102-103).

Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada

pencarian alat-alat bukti dan mengurangi bukti-bukti, akan tetapi memeriksa

Page 51: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan

oleh jaksa penuntut umum dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim dan

terdakwa atau penasihat hukumnya. Pada dasarnya kegiatan dalam sidang

pengadilan perkara pidana adalah kegiatan pengungkapan fakta-fakta suatu

peristiwa melalui berbagai alat bukti. Kegiatan ini sering disebut dengan

pemeriksaan alat-alat bukti. Fakta-fakta yang diperoleh tersebut akan dirangkai

menjadi suatu peristiwa, peristiwa mana seperti yang sebenarnya (kebenaran

materiil), mendekati yang sebenarnya ataukah jauh dari kebenaran yang

sesungguhnya. Begitu juga apakah peristiwa tersebut mengandung muatan

tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum atau tidak

aka bergantung sepenuhnya kepada akurat atau tidaknya dan lengkap atau

tidaknya fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Adami

Chazawi, 2008 : 16).

Dalam ilmu hukum, terdapat empat teori atau sistem pembuktian, yakni ;

a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime)

Menurut sistem ini, bersalah tidaknya terdakwa sepenuhnya berdasarkan pada

penilaian dan keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus didasarkan pada alat

bukti yang ada, sehingga pemeriksaan di pengadilan bukan untuk mencari alat

bukti, tetapi untuk membentuk keyakinan hakim. Kelemahan sistem ini yaitu

memberikan kepercayaan terlalu besar kepada hakim.

b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atas alasan yang logis (conviction

raisonee)

Meskipun sistem ini juga mengutamakan penilaian dan keyakinan hakim sebagai

dasar dalam menjatuhkan putusan seperti halnya sistem conviction intime, namun

dalam sistem ini ada keharusan menggunakan pertimbangan hakim yang nyata

dan logis dan dapat diterima akal pikiran yang sehat.

c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positif wettelijk)

Bersalah tidaknya terdakwa menurut sistem ini didasarkan pada ada tidaknya alat

bukti sah menurut undang-undang, sehingga mengabaikan atau tidak

Page 52: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

mempertimbangkan keyakinan hakim. Sistem ini hanya dapat dipergunakan

dalam hukum acara perdata yang mencari kebenaran formil.

d. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk)

Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana, apabila ia yakin dan

keyakinan hakim tersebut didasarkan alat bukti sah menurut undang-undang.

Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan

terdakwa, maka perkara diputus bebas (Yahya Harahap, 2000: 255-259).

Sistem pembuktian yang dianut di Indonesia secara eksplisit terdapat dalam Pasal

183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan Pasal 183 tersebut, maka dapat kita

ketahui, bahwa hukum acara pidana di negara kita menggunakan sistem “menurut

undang-undang yang negatif” (R.Soesilo,1997 : 15). Hal ini berarti walaupun alat-alat

bukti cukup dan lengkap, jika hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, maka tidak

cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Demikian juga sebaliknya jika

keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut

hukum, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa.

Pembuktian merupakan inti dari proses peradilan, sehingga keabsahan alat bukti

sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan. Agar alat bukti terjamin

keabsahannya, maka penegak hukum harus sangat berhati-hati dalam menggunakan

alat bukti terutama dalam penentuan mengenai bukti permulaan, karena bukti

permulaan merupakan dasar dapat tidaknya dilakukan penyidikan yang kemudian

akan dilanjutkan dengan penuntutan hingga proses persidangan. Penentuan

mengenai bukti permulaan merupakan diskresi penyidik.

Dalam kaitannya dengan penuntutan, berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf a,

Komisi Pemberantasan Korupsi berhak untuk melakukan penyadapan. Penyadapan

yang dilakukan dimaksudkan untuk melengkapi Berkas Acara Pemeriksaan (BAP)

sebelum diajukan ke persidangan. Dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan “Segala

kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Page 53: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi

Pemberantasan Korupsi” dari bunyi pasal tersebut maka kewenangan penuntut

umum yang diatur dalam KUHAP juga berlaku bagi penuntut umum dalam Komisi

Pemberantasan korupsi. Dalam Pasal 14 butir a KUHAP menyebutkan, “penuntut

umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan

dari penyidik atau penyidik pembantu”. Dalam hal berkas perkara yang diterima oleh

penuntut umum belum lengkap, penuntut umum dapat melakukan pemberitahuan

kepada penyidik (P18) dengan memberikan petunjuk (P19) agar berkas perkara

tersebut lengkap (P21).

Dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik harus dibuat

selengkap mungkin, karena BAP tersebut akan digunakan dalam pemeriksaan di

persidangan. Oleh karena itu demi melengkapinya, penyadapan dapat dilakukan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi guna mendapatkan informasi-informasi yang bersifat

rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dalam kaitannya dengan pemeriksaan di persidangan, perlu diperhatikan bahwa

dalam hukum pembuktian pidana, ada 6 (enam) hal yang dapat dijadikan tolok ukur

pembuktian, yaitu dasar-dasar pembuktian (bewijsgronden), alat-alat bukti

(bewijsmiddelen), cara memperoleh dan menyampaikan bukti (bewijsvoering), beban

pembuktian (bewijslast), kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan minimum bukti

yang diperlukan untuk memproses perkara pidana (bewijs minimum).

Dari sisi bewijsmiddelen, berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang

sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan

terdakwa. Berdasarkan analisa penulis sebelumnya yang menyatakan bahwa

hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan ketentuan

mengenai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, maka hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP.

Mengenai bewijskracht, terkait dengan bewijsmiddelen bahwa hasil

penyadapan merupakan alat bukti petunjuk maka mengenai kekuatan

Page 54: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

pembuktiannya adalah bebas, artinya hakim tidak terikat atas kebenaran

persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas menilainya

dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian, serta petunjuk sebagai alat

bukti tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena

terikat pada prinsip batas minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.

Terkait bewijsvoering, penyadapan yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar,

seperti yang dikatakan oleh mantan Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan

Djalil, istilah yang tepat digunakan terkait dengan penyadapan yang dilakukan

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lawful interception (penyadapan

yang sah secara hukum). Hal tersebut untuk menghindari perolehan bukti

dengan cara tidak sah atau unlawful legal evidence. Mengenai bewijs minimum,

atas dasar ketiga tolok ukur pembuktian yang telah dijelaskan sebelumnya

bahwa hasil penyadapan adalah alat bukti yang sah yang merupakan alat bukti

petunjuk yang diperoleh dengan cara-cara yang sah maka hasil penyadapan

merupakan minimum bukti yang diperlukan untuk memproses perkara pidana

disamping satu alat bukti yang lain.

Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyadapan yang

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan,

bertujuan untuk mendapatkan informasi-informasi tambahan yang bersifat

rahasia yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Informasi-informasi tersebut digunakan untuk melengkapi Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh penyidik sebelumnya guna

kepentingan penuntutan di persidangan.

Siapa saja yang dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

tingkat penuntutan, perlu untuk dicermati kembali tentang pengertian

penuntutan. Dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP penuntutan adalah tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

Page 55: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

pengadilan. Dari pengertian tersebut menjelaskan tentang pelimpahan perkara

pidana ke pengadilan negeri agar diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan. Bila dikaitkan dengan pengertian terdakwa dalam Pasal 1 butir 15,

terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di

sidang pengadilan. Maka yang menjadi subyek penyadapan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi dalam tingkat penuntutan adalah terdakwa yaitu

seseorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

Mencermati konstruksi hukum mengenai legalitas upaya paksa penyadapan,

dapat diringkas dalam rincian tabel sebagai berikut :

Page 56: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Tabel 1. Tabulasi Legalitas Upaya Paksa Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

No. Tahap

Penegakan

Hukum

Dasar Hukum/Landasan Hukum dan

Konstruksi Hukum

Subyek Hukum

yang Dapat Dikenai

Penyadapan

1.

Penyelidikan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

3. Pasal 1 butir 5 KUHAP

4. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

5. Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

Setiap orang yang

diduga terlibat

dalam tindak

pidana korupsi

2. Penyidikan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

3. Pasal 1 butir 2 KUHAP

4. Pasal 184 KUHAP

5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

6. Pasal 188 KUHAP

Tersangka dalam

tindak pidana

korupsi

3. Penuntutan 1. Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

2. Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

3. Pasal 1 butir 7 KUHAP

4. Pasal 183 KUHAP

5. Pasal 26 A Undang-undang Nomor

Terdakwa dalam

tindak pidana

korupsi

Page 57: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Page 58: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

B. Konstruksi Hukum Penyadapan Ditinjau dari Aspek Upaya Paksa Dalam

Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Urgensinya Dalam Penanganan

Tindak Pidana Korupsi

Kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) sebagai bagian dari sistem

hukum negara Indonesia, sejauh ini memang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk

mencari keadilan atas pelanggaran hak-hak asasinya. Namun sebagai suatu sistem, lembaga

peradilan khususnya sistem peradilan pidana seringkali malah menjadi “aktor pelanggar” hak-

hak tersebut. Dalam penyelesaian perkara pidana yang dimulai dari proses penyidikan, sering

melahirkan praktik-praktik seperti penyiksaan dan upaya paksa lainnya. Hal itu terjadi karena

rendahnya kesadaran hukum (law awarnnes) yang terkait dengan sumber daya manusia di

lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem peradilan pidana, yang pada akhirnya

menimbulkan kesenjangan dengan tingkah laku hukum (law behavior) lembaga-lembaga sistem

peradilan pidana.

Secara umum sistem peradilan pidana bertujuan untuk menghukum mereka yang bersalah

melakukan kejahatan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang bersalah itu tidak dihukum karena

sistem peradilan pidana tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau malah justru seseorang yang

tidak bersalah yang dihukum, inilah yang disebut dengan kegagalan dalam menegakan hukum

atau keadilan. Untuk menekan kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut, maka sistem

peradilan pidana Indonesia yang dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menetapkan prosedur upaya paksa (dwang

middelen).

Upaya paksa (dwang middelen) adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan suatu

peraturan yang berlaku. Tindakan hukum ini dapat mengurangi dan membatasi hak asasi

seeorang, seperti diantaranya penyidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan

dan pemeriksaan surat. Upaya paksa (dwang middelen) ini disatu sisi merupakan kekuasaan dan

kewenangan yang sah dari penyidik terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan. Akan

tetapi di sisi lain, wewenang menjalankan upaya paksa (dwang middelen) tersebut menunjukan

praktik- praktik yang telah menjurus kepada pelanggaran hak-hak konstitusional (HAM)

tersangka itu sendiri.

Page 59: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Dalam penegakan hukum dalam perkara korupsi, dimana korupsi sebagai kejahatan luar biasa

harus dihadapi dengan upaya-upaya yang luar biasa juga. Salah satu upaya luar biasa itu adalah

dengan memberikan otoritas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan

penyadapan terhadap perbincangan pihak-pihak yang terindikasikan terlibat korupsi, tanpa

terkecuali para pejabat publik. Sebuah aktivitas yang dalam kondisi biasa memang hanya layak

dilakukan atas izin lembaga peradilan. Penyadapan merupakan salah satu upaya paksa luar biasa

yang dilakukan oleh lembaga ini untuk menangani perkara korupsi.

Sekitar tahun 1960-an, kepolisian di Amerika Serikat telah melakukan penyadapan.

Masyarakat ketika itu sangat mendukung operasi kepolisian dengan teknik-teknik tersebut.

Walau demikian, setelah deklarasi Hak Asasi Manusia Universal PBB (1946), disusul berbagai

konvenan mengenai hak-hak sipil dan hak politik pada 1966 (Indonesia meratifikasinya dengan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005), maka teknik tersebut dipersoalkan karena rentan

terhadap penyalahgunaan wewenang. Teknik itu juga sangat bersentuhan dengan hak-hak asasi

seorang tersangka yang seharusnya diperlakukan layaknya seorang yang tidak bersalah sebelum

diputus oleh pengadilan yang independen. Termasuk ke dalam perkara hak asasi yang

bersentuhan dengan teknik tersebut adalah hak-hak pribadi seperti hak memiliki kerahasiaan

baik mengenai pekerjaan, keluarga, atau harta kekayaan. Teknik tersebut dihadapkan kepada

prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti

yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia

(RomliAtmasasmita,Legalitaspenyadapan.www.news.okezone.com<[8 Juni 2010, pukul 10.00

WIB].

Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi hukum dalam

menangani tindak pidana. Tidak seorangpun berada dan menempatkan diri diatas hukum (no

one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip perlakuan

dan dengan cara yang jujur (fair manner). Esensi due process adalah srtiap penegakan dan

penerapan hukum pidana harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati

hukum. Oleh karena itu due process tidak membolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian

ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain (Yahya Harahap,

2002 : 95).

Pasal 28 F Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi

dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

Page 60: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang

tersedia” dan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang

diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia “. Kedua Undang-undang ini mempertegas

bahwa pada dasarnya setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi

yang dijamin dalam konstitusi di Indonesia.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah memberikan

jaminan pada kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana apapun.

Dalam Pasal 32 menyatakan “kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat

termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas

perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”. Disamping menjamin dalam kebebasan dalam berkomunikasi, ketentuan hukum ini

ternyata memberikan batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika perintah hakim menentukan

“gangguan” itu adalah kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku maka diperbolehkan.

Sehubungan dengan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,

sebenarnya Pasal 32 ini justru menjadi dasar hukum bagi lembaga ini untuk melakukan

penyadapan yaitu melalui kalimat “kekuasaan yang sah menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku”. Memang belum jelas kekuasaan dalam hal apa saja. Sebab, penjelasan

Pasal 32 tertulis “cukup jelas”. Namun, jika melihat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

adalah bersumber dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, maka kewenangan ini dapat

disebut sebagai kewenangan yang sah menurut perundang-undangan yang berlaku.

Meskipun demikian, apabila dari tindakan penyadapan itu ternyata menimbulkan kerugian

maka telah disediakan mekanisme rehabilitasi atau kompensasi. Hal itu diatur dalam Pasal 63

ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Mekanisme ini diberikan sebagai

wujud diberlakukannya asas kepastian hukum dan keadilan yang memperhatikan perlindungan

terhadap Hak Asasi Manusia.

Selain dari peraturan nasional, Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) adopted and

proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948 Article 19 juga

menyebutkan bahwa “ everyone has the right to freedom of opinion and expressions; this right

Page 61: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

includes freedom to hold opinions whitout interfence and to seek, receive and impart

information and ideas through any media and regardless of frontiers”. Dari peraturan

internasional tersebut dapat diperoleh suatu dasar hukum bahwa setiap orang berhak untuk

menyampaikan dan memperoleh informasi apapun dari media apapun dan berhak terbebas dari

interfensi pihak manapun dalam menyampaikan informasi tersebut. Dari ketentuan tersebut

dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penyadapan pada prinsipnya melanggar hak orang

sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Internasional tentang HAM.

Pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum ini

pada akhirnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan).

Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan

tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru

untuk memberikan ketidak adilan . Hal ini tentu akan sangat berpengaruh bagi integritas moral

proses pidana (moral integrity of the criminal proses) sendiri. Masyarakat tidak akan percaya lagi

dengan proses pidana yang dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan pidana.

Ada beberapa pendapat dari ahli hukum tentang penyadapan dikaitkan dengan Hak Asasi

Manusia, seperti yang penulis kutip dari pernyataan pakar hukum pidana Universitas Indonesia

Rudy Satrio pada suatu forum diskusi di Jakarta yang menyatakan bahwa kewenangan

penyadapan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah kewenangan khusus,

melainkan kewenangan yang juga dimiliki penyidik Kepolisian dan Kejaksaan. Ditegaskan pula

bahwa dikaitkan dengan proses penyidikan, penyidik harus mencari alat bukti. Kalau penyidik

diharuskan mengambil informasi yang berkaitan dengan tindak pidana, maka penyidik harus

menyadap. Ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia, demikian menurut Rudy Satrio

(Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November

2006 Halaman 3).

Di Indonesia penyadapan hanya dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum yaitu

kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-undang Nomor 36 Tahun

1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memuat ketentuan tentang

penyadapan. Di dalam UU Telekomunikasi kegiatan penyadapan dalam rangka pengamanan

telekomunikasi diatur Pasal 40, secara eksplisit ketentuan Pasal 40 menyatakan bahwa setiap

orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan

telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, barang siapa melanggar ketentuan

Page 62: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun. Sedangkan UU ITE mencantumkan hal serupa dengan istilah “Perbuatan yang Dilarang”

dalam Pasal 31 Bab VII. Bedanya, UU Telekomunikasi secara terbatas menjelaskan lembaga

penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, sedangkan UU ITE belum

mengaturnya sama sekali.

Sejumlah undang-undang di Indonesia, memberikan kewenangan khusus pada penyidik untuk

melakukan penyadapan telepon dan merekam pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara

under cover. Paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu,

yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dicermati,

ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan terdapat perbedaan prinsip antara

satu dengan undang-undang lainnya.

Undang-undang Psikotropika dan Undang-undang Narkotika mengharuskan penyadapan

telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri dan hanya dalam jangka waktu 30

(tiga puluh) hari. Artinya, ada pengawasan vertikal terhadap penyidik dalam melakukan

penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Berbeda dengan kedua undang-undang itu,

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap

telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi

dalam jangka waktu satu tahun. Di sini ada pengawasan horizontal terhadap penyidik dalam

melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan. Namun dalam Undang-undang

Komisi Pemberantasan Korupsi boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman

pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun

dan tanpa dibatasi jangka waktu. Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan

telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat absolut dan cenderung melanggar hak

asasi manusia. Hal ini, di satu sisi dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu di lembaga

ini, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap

kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia.

Dari berbagai ketentuan diatas yang menilai penyadapan dari berbagai sudut pandang,

penulis dapat menarik benang merah bahwa pada dasarnya menyadap pembicaraan orang

adalah suatu tindakan ilegal yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merupakan tindak

pidana. Namun berbeda dengan kegiatan penyadapan untuk proses penegakan hukum, hal

tersebut diperbolehkan namun hendaknya dilakukan secara prosedural dan tidak dilakukan

Page 63: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

secara sembarangan. Yang tetap mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia.

Terlepas dari perdebatan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia, hal yang juga masih

menjadi pembahasan adalah mengenai prosedur penyadapan. Belum ada aturan yang

jelas mengenai penyadapan, baik dalam Undang undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam peraturan-perturan yang

lain, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik dalam Pasal 31 ayat (4) menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah”. Namun, sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum

ada bahkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penyadapan malah

memunculkan banyak pro dan kontra terkait adanya indikasi untuk mengaputansi

kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi khususnya soal penyadapan. Setidaknya

ada 3 (tiga) patokan dasar yang diterapkan yaitu : need (kebutuhan), tools (instrumen)

dan goal (tujuan).

Dari segi need (kebutuhan), penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi untuk mencari alat bukti. Kebutuhan ini disesuaikan berdasarkan pada tingkat

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sedangkan terkait tools (instrumen), alat sadap

yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyadap adalah

berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, dengan teknologi yang sangat

canggih diharapkan dapat menyadap informasi yang rahasia secara akurat. Mengenai

goal (tujuan) yang diharapakan dalam melakukan penyadapan ini adalah untuk

mengungkap kasus-kasus korupsi untuk kepentingan upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi yang saat ini menjadi target prioritas pemerintah.

Mengenai prosedur penyadapan yang selama ini dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M.

Hamzah mengatakan hal tersebut digunakan untuk melengkapi bukti di pengadilan

sedangkan yang meminta untuk melakukan penyadapan adalah penyelidik pada Komisi

Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini penyelidik mengisi formulir yang berisi lamanya

waktu penyadapan dan hasil yang diharapkan dari penyadapan itu. Penyadapan tidak

dilakukan sepanjang waktu, namun sesuai permintaan penyelidik dan hasil yang

Page 64: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

diharapkan (anggota-komisi-iii-pertanyakan-prosedur-penyadapan.www.dpr.go.id/.../

.<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB].

Penyadapan pun hendaknya dilakukan terhadap pembicaraan yang hanya ada

kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani, jika nanti dalam hal perekaman atau

penyadapan ada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan perkara yang sedang

ditangani, maka hasil rekaman atau penyadapan harus dilenyapkan karena hal ini

menyangkut privasi dan Hak Asasi Manusia. Batasan yang lain yaitu penyadapan hanya

dapat dilakukan terhadap suatu perkara dengan kategori tertentu, yaitu perkara-perkara

yang sifatnya sangat khusus atau perkara pidana yang extra ordinary seperti perkara

terorisme, perkara pelanggaran HAM berat, perkara korupsi dan perkara pidana lain yang

sifatnya sangat luar biasa.

Prosedur penyadapan seharusnya menganut prinsip velox et exastus (informasi terkini

dan akurat). Mungkin atas dasar inilah KPK selama ini berhasil membongkar beberapa

tindak pidana korupsi seperti kasus dua anggota DPR yang telah terjerat hukum

pemenjaraan: Abdul Hadi Jamal dan Al Amin Nasution. Keduanya berhasil ditangkap

melalui proses penyadapan dan laporan terkini dan akurat (Muslimin B.Putra,

Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkominfo.www.suaramerdeka.com<[8

Maret 2010, pukul 10.00 WIB).

Hasil penyadapan, baru mempunyai nilai atau manfaat jika memenuhi dua syarat.

Pertama, informasi yang diperoleh harus alami (natural evidence). Kedua, substansi dari

informasi tersebut relevan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani. Informasi

bersifat alami adalah pada saat dilakukan penyadapan, pihak yang disadap benar-benar

tidak tahu kalau pembicaraannya disadap. Syarat untuk dapat memperoleh informasi

yang alami adalah bahwa penyadapan harus independen, terjamin kerahasiaannya.

Independensi yang dimaksud adalah auditor atau penyelidik KPK harus bebas dari

intervensi pihak lain. Dalam audit investigafif, auditor dengan intuisi atau nalurinya,

seharusnya diberikan kebebasan menetapkan siapa yang harus disadap dan kapan

penyadapan dilakukan. Hal inilah yang mungkin bagi pihak-pihak tertentu dianggap

sebagai pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dalam rekaman hasil penyadapan Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), antara lain ada

pembicaraan antara Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) I

Page 65: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Ketut Sudiarsa dengan Anggodo Widjojo. Waktu itu Ketut antara lain berkata, ”Wah

jangan-jangan pembicaraan kita ini disadap”, dan Anggodo menjawab bahwa nomor HP

nya telah diganti dengan nomor baru. Andaikata mereka tahu pembicaraannya disadap,

kemungkinannya tidak akan ada rekaman tersebut. Kemungkinan lain mereka mungkin

sengaja membuat skenario pembicaraan yang arahnya menyesatkan (Mentis Harjanto,

Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka.com<[1 Juni 2010, pukul 09.00

WIB].

Penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya belum ada aturan baku

mengenai tata cara dan prosedur tentang penyadapan yang dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi yang diwujudkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Namun ada patokan dasar yang dapat diterapkan oleh lembaga ini agar dalam

pelaksanaannya tidak bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia tersangka atau

terdakwa. Selain itu untuk menghindari perolehan bukti dengan cara tidak sah atau

unlawful legal evidence agar nantinya hasil penyadapan dapat digunakan untuk

mengungkap tindak pidana korupsi.

Mengenai seberapa efektifkah penyadapan terhadap upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi, perlu untuk dipelajari bagaimana karakteristik dari tindak pidana korupsi.

Menurut Erry, korupsi merupakan penyakit yang mulai berjangkit dan harus segera

ditangkal. Istilah yuridis ini muncul dalam bentuk Peraturan Penguasa Militer-Angkatan

Darat dan Laut RI-Nomor PRT/PM/06/1957 sebagai upaya awal karena KUHP dianggap

tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap

sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat

pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian dan mengabaikan moral (Erry

Riyana Hardjapamekas dalam Jeremy Pope, 2007 : xxii).

Korupsi bukan merupakan sebuah bentuk kejahatan lokal, hampir di seluruh negara di

dunia korupsi telah menjadi suatu wabah. Baik itu pada negara berkembang maupun

negara maju. Termasuk negara-negara bekas jajahan, namun menurut John S.T. Quah

meskipun Thailand adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak pernah dijajah, tapi

kebebasan dari kekuasaan kolonial tersebut tidak menjamin bahwa negara itu akan kebal

penyakit korupsi. Dalam kenyataannya, di Thailand korupsi sudah menjadi tingkat

endemik dan ini dapat ditelusuri dari perilaku korup pejabat dalam birokrasi

Page 66: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

pemerintahan dari abad ke-17 (John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN

Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Coruption Strategies. Journal of

Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1).

Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi prioritas utama

pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi juga harus berkesinambungan.

Korupsi di Indonesia sudah mendarah daging, cakupannya sangat luas dan menyeluruh,

baik horizontal maupun vertikal. Sangat sulit mencari birokrat dan pengusaha kakap yang

masih belum terjangkit korupsi di dalam sejarah hidupnya (Kwik Kian Gie, 2006 : 10).

Menurut Gerald E. Caiden bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal antara lain :

1. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.

2. Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan

mencuri.

3. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsu dokumen dan menggelapkan uang,

mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak,

menyalahgunakan dana.

4. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi

ampubn dan grasi tidak pada tempatnya.

5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya,

memeras.

6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan

secara tidak sah, menjebak.

7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain.

8. Penuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.

9. Menjegal pemilihan umum, memalsu kertas suara, membagi-bagi wilayah pemilihan

umum agar bisa unggul.

10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi,

membuat laporan palsu.

11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah dan surat izin

pemerintah.

12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang.

13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.

Page 67: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.

15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada

tempatnya.

16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.

17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.

18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunukasi dan pos.

19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa

jabatan (Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian

Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988).

Sampai saat ini koupsi merupakan salah satu dari tindak pidana yang dikategorikan

extra ordinary crime seperti halnya tindak pidana terorisme dan tindak pidan pelanggaran

HAM berat. Korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)

disebabkan beberapa alasan, antara lain :

1. Dari sisi pelaku, korupsi dilakukan bukan oleh orang biasa, tetapi oleh mereka yang

memiliki kedudukan dan status terhormat dalam masyarakat. Korupsi juga dilakukan

oleh badan hukum khususnya badan hukum privat dan tidak tertutup kemungkinan

juga dilakukan oleh badan hukum publik, contohnya korupsi berjamaah yang

dilakukan oleh anggota DPRD di sejumlah daerah dilakukan dengan proses

administrasi yang terencana, terstruktur dan sitematis secara institusional. Dari

jabatan, pelaku korupsi mulai dari pegawai biasa, pengusaha sampai tingkat menteri

atau bahkan mungkin dapat dilakukan paa tingkat jabatan presiden.

2. Dari sisi modus operandi, korupsi dilakukan dengan berbagai cara mulao dari yang

remeh sampai manipulasi besar-besaran. Sebagai contoh memberi tips kepada petugas,

membuat perjalanan dinas fiktif, sampai pada pengadaan proyek fiktif (ada dalam

anggaran tapi wujudnya tidak pernah ada). Korupsi dilakukan dengan cara sistematis

yang sulit disentuh hukum dan secara bersama-sama.

3. Dari sisi niat (motivasi) para pelaku, korupsi tidak dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan hidup mendasar tetapi dengan niat memperkaya diri. Sampai berapa ukuran

menambah kekayaan tidak pernah ada batasnya.

4. Dari sisi penyebaran kasus, kasus korupsi terjadi hampir di semua instansi tanpa ada

terkecuali. Walaupun tidak semua pegawai pada satu instansi melakukan korupsi,

Page 68: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

kasus-kasus korupsi yang mencuat hampir merata di semua instansi mulai dari tingkat

pusat sampai ke pemerintahan terendah.

5. Dari sisi penindakan atau penegqakan hukumnya, terdapat kesulitan seriusuntuk

mengungkapnya, diperlukan sejumlah prosedur yang dibatasi oleh peraturan

perundang-undangan, bukti yang sulit ditemukan dan dukungan masyarakat yang

lemah.

6. Dari sisi masyarakat dan budaya, korupsi telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah

bahkan luhur jika hasil korupsi ikut dinikmati oleh masyarakat. Cenderung tidak ada

penolakan serius atas praktek korup yang dilakukan oleh para pejabat publik dan

tokoh masyarakat terlebih jika hasil korupsi disalurkan kepada lembaga-lembaga

sosial dan keagamaan. Praktek-praktek tindakan korup telah lama berlangsung sejak

zaman dahulu sebagai kebiasaan yang lumrah.

7. Dari sisi penegak hukum, disinyalir para petugas penegak hukum yang semestinya

memberantas korupsi justru melakukan korupsi, contoh kasus Jaksa Urip Tri

Gunawan, kasus Komisi Judisial dan sebagainya.

8. Dari sisi perkembangan kasus, terus terjadi peningkatan kasus korupsi. Walaupun

secara umum Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan tindakan-tindakan yang

luar biasa, dan disaat yang sama kepolisian dan kejaksaan juga terus memburu

koruptor, yang tidak tertangkap dan tidak terungkap jauh lebih banyak lagi. Jika

dibandingkan dengan masa Orde Baru, maka sesungguhnya di era reformasi ini telah

terjadi pemerataan korupsi (Erdianto Effendi, Korupsi, Kejahatan Luar Biasa Yang

Merobohkan Bangsa. Jurnal Komisi Hukum Nasional, Vol. 9, No. 5).

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus

meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian

keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis

serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak

pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan

perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-

hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi

tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan

Page 69: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,

tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Cara-cara yang luar biasa tersebut antara lain, membentuk suatu lembaga yang khusus untuk

menangani tindak pidana korupsi yang tentunya juga dilengkapi dengan sejumlah kewenangan-

kewenangan yang istimewa. Saat ini Indonesia telah mempunyai suatu lembaga independen

yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini telah menunjukkan kiprahnya dengan

menangkap dan menjerat para koruptor kelas kakap. Diantara beberapa wewenang khusus yang

dimiliki oleh lembaga ini, salah satunya adalah kewenangan untuk melakukan penyadapan.

Penyadapan dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi yang bersifat rahasia guna

kepentingan mengungkap perkara-perkara korupsi.

Ada 3 (tiga) hal yang sudah dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses

penyadapan. Lembaga antikorupsi tersebut telah memiliki dasar hukum untuk menyadap, yakni

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu,

lembaga ini juga tidak sembarangan dalam menentukan orang yang akan disadap. Hanya pihak-

pihak yang diduga melakukan perkara korupsi saja yang direkam pembicarannya. Terakhir, ada

keperluan proses hukum untuk menyadap itu. Yaitu mengusut tindak pidana korupsi

(Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu!.Error! Hyperlink

reference not valid. Juni 2010, pukul 12.00 WIB].

Meskipun bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, penyadapan harus tetap dilaksanakan

karena korupsi merupakan kejahatan non konvensional, yang dilakukan dengan cara-cara yang

rapi, korbannya tidak kasat mata, namun akibat yang ditimbulkan memberikan dampak yang

meluas dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk itu perlu ditangani dengan cara yang ekstra,

melalui penyadapan diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal dalam pemberantasan

korupsi di Indonesia. Dengan kata lain penyadapan tetap dilakukan meskipun melanggar Hak

Asasi Manusia. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam skema berikut ini :

Dalam status :

- Penyelidikan : setiap orang

- Penyidikan : tersangka

- Penuntutan : terdakwa

Upaya Paksa

Penyadapan Extra ordinary

Law

Dasar Hukum :

- Pasal 12 ayat (1) huruf a

Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002

- Pasal 32 Undang-undang

HAM pelaku

Pelaku korupsi

(koruptor)

Page 70: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

HAM pelaku dapat dieliminir/direduksi karena sifat hukum pidana seperti pedang bermata dua, satu sisi tajam dalam penegakan hukum, namun di sisi lain tajam mengiris HAM pelaku à penegakan hukum yang memiliki payung hukum

Skema 1. Konstruksi Hukum Penyadapan ditinjau dari Hak Asasi Manusia

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

1. Penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki dasar

hukum Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penyadapan dilakukan mulai dari tingkat

penyelidikan sampai penuntutan. Dalam tingkat penyelidikan, penyadapan dilakukan

untuk mencari bukti permulaan dan setiap orang yang diduga terlibat dalam tindak

pidana korupsi dapat menjadi subyek penyadapan. Setelah adanya bukti permulaan

yang cukup, penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan guna mencari dan

menemukan alat bukti, hasil penyadapan merupakan alat bukti petunjuk berdasarkan

perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 26A Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, orang yang berstatus

tersangka dalam tindak pidana korupsi dapat disadap oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi. Sedangkan dalam penuntutan, hasil penyadapan dapat digunakan untuk

melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kepentingan di persidangan, dan

yang dijadikan subyek penyadapan adalah terdakwa dalam tindak pidana korupsi.

2. Penyadapan merupakan bentuk upaya paksa ekstra yang pada dasarnya merupakan

pelanggaran terhadap HAM tersangka atau terdakwa. Namun, dalam upaya penegakan

hukum yang memilki landasan/dasar hukum yang jelas hal tersebut dapat dilakukan

artinya HAM tersangka atau terdakwa dapat dikurangi/dieliminir. Oleh karena itu

dalam pelaksanaannya di lapangan harus tetap memperhatikan hak-hak tersangka atau

Page 71: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

terdakwa dengan memperhatikan prosedur-prosedur yang ada, mengenai tata cara

penyadapan memang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tapi ada

patokan dasar yang dapat menjadi acuan yaitu penyadapan dilakukan berdasarkan

kebutuhan (need) yaitu untuk mencari dan menemukan bukti dalam perkara tindak

pidana korupsi, penyadapan dilakukan dengan menggunakan instrumen (tools) yang

memenuhi standar, agar hasil penyadapan yang didapat akurat dan penyadapan

dilakukan dengan tujuan (goal) untuk mengungkap tindak pidana korupsi.

B. Saran

1. Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengacu pada Standart

Operating Procedure (SOP) dalam melaksanakan penyadapan sebagai upaya paksa

dalam penanganan tindak pidana korupsi, agar para aparat penegak hukum tetap

mengedepankan due process of law dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam

upaya penegakan hukum di Indonesia.

2. Apabila pengaturan tentang prosedur dan tata cara mengenai penyadapan belum diatur

secara jelas maka, Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu

membentuk suatu peraturan tentang tata cara dan prosedur penyadapan atau Undang-

undang yang ada harus diamandemen demi penguatan kewenangan penyadapan oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi, agar penyadapan tetap memilki payung hukum yang

jelas dan memilki legalitas yuridis.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayumedia.

____. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Alumni.

Alasan KPK sadap /Joggotfo.vivanews.com>[20 Maret 2010. pukul 10.00 WIB],

Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta ; Sinar Grafika.

AnKROta-komisi-iii-pertanvakan-prosedur-penyadapan .www.dpr.go.id/.../ ,<[10 Juni 2010, pukul 13.00 WIB].

Anton M Moeliono. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 72: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Dwi Antoro (Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter As Intel Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah). 2010. "Legalitas Penyadapan (Wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (2)". Majalah Swara Adhyaksa. Tahun ke I No. 04. Semarang :

Yayasan Tridaya Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Erdianto Effendi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau). 2009. "Korupsi, Kejahatan Luar Biasa yang Merobohkan Bangsa". Jurnal Komisi Hukum Nasional. Vol. 9, No. 5.

Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Kajian Yuridis NormatifUUNomor 3ITahun 1999 juncto UUNomor 20 Tahun 2001

Versi UUNomorSO Tahun 2002. Jakarta : Sinar Grafika.

Gerald E. Caiden, Toward a General Theory of Official Coruption, Asian Journal of Public Administration, Vol. 10 No. 1, 1988.

Haniviva. Teknologi Penyadapan KPK dan cirinya disadap. http://benasher.co.con Juni 2010pukul 11.00 WIB.

Ishaq. 2008. Dasar-dasar Emu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

Jeremy Pope. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi. Malang: Bayumedia.

John S.T. Quah, Bureaucratic Corruption in The ASEAN Countries : A Comparative Analysis of Their Anti-Corruption Strategies. Journal of Southeast Asean Studies, Vol. 13 No. 1).

John Z. Loudou. 1985. Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Kata. Jakarta : Bina Aksara.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorupsi. Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Majda El-Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta : Prenada Media.

Masyhur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Mamisia (HAM). Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.

Mentis Harjanto, Mengaputansi Kewenangan KPK.www.suara merdeka,com<(' 1 Juni 2010, pukul 09.00 WIB.

Muslimin B.Putra, Menimbang Rencana Regulasi Penyadapan Depkotninfo. www.suaramerdeka.com<[8 Maret 2010, pukul 10.00 WIB).

Page 73: ANALISIS KONSTRUKSI HUKUM UPAYA PAKSA …/Analisis... · mengungkap kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani. ... penulisan hukum melalui penelitian dengan judul ”ANALISIS KONSTRUKSI

Panca, Lawful interception penyadapan secara sah menurut /i»£»m. http://panca.wordpress.com2 006/07/17/lawfull-interception>[20 Maret 2010 pukul

21.00]

Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rachmadin Ismail, Penyadapan KPK Tak Langgar HAM, Jangan Diganggu/.www.detiknews.com>[4 Juni 2010, pukul 12.00 WIB].

Rudy Satrio (Pemberantasan Korupsi, KPK Jangan Dibubarkan, harian KOMPAS, Senin, tanggal 20 November 2006 Halaman 3).

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta : Sinar Grafika.

____ 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika.