analisis kebijakan impor komoditas food · pdf fileanalisis kebijakan impor komoditas food...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEBIJAKAN IMPORKOMODITAS FOOD ADDITIVES ANDINGREDIENTS DALAM MENGURANGIDEFISIT NERACA PERDAGANGAN
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Jakarta – 2013
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan data BPS, impor terbesar didominasi oleh Intermediate
goods dan capital goods yang merupakan komponen yang penting untuk industri
manufaktur. Food Additive and Ingredients merupakan salah satu komoditas
bahan baku penolong yang banyak diimpor, walaupun sumber bahan baku
komoditas tersebut tersedia di dalam negeri. Produsen tetap mengutamakan
sumber bahan baku yang berasal dari dalam negeri. Pertimbangan untuk
mengimpor bahan baku penolong adalah harga yang lebih murah, spesifikasi
yang tidak sesuai dan tidak adanya jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dari
produsen dalam negeri.
Atas dasar pertimbangan tersebut diatas, Kementerian Perdagangan
bermaksud mengidentifikasi komoditas yang selama ini banyak diimpor dan
dapat komoditas tersebut dapat dipasok dari dalam negeri. Dengan adanya
upaya tersebut maka dapat mengurangi ketergantungan atas impor sekaligus
upaya untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, diharapkan masukan dari semua pihak untuk tahap pengembangan
dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang. Besar harapan penulis
bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat dalam kajian ini dapat
memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Jakarta, September 2013
Tim Analisis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GRAFIK iv
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 4
1.3. Ruang Lingkup Analisis 4
1.4. Metodologi Analisis 5
1.5. Sistematika Penulisan 5
BAB II GAMBARAN UMUM PRODUKSI BAHAN BAKU FOOD
ADDITIVES AND INGREDIENTS
7
2.1. Produksi, Produktivitas dan Sentra Produksi Ubi Kayu 7
2.2. Perkembangan Harga Ubi Kayu 11
BAB III GAMBARAN UMUM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
FOOD ADDITIVES AND INGREDIENTS DI INDONESIA 13
3.1. Profil Industri Food Additives and Ingredients 13
3.2. Kinerja Perdagangan Food Additives and Ingredients 18
BAB IV ANALISIS PENGEMBANGAN INDUSTRI FOOD ADDITIVES
AND INGREDIENTS DI INDONESIA 24
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
31
31
32
DAFTAR PUSTAKA 34
iii
DAFTAR TABEL
HalamanTabel 1 Ekspor Impor Beberapa produk Food Additives &
Ingredients 3
Tabel 2 Varietas Unggul Tanaman Ubi Kayu 8
Tabel 3 Lokasi, Kebutuhan Bahan Baku dan Kapasitas ProduksiIndustri Pati Ubi Kayu Indonesia 17
Tabel 4 Produksi dan Kebutuhan Tepung Ubi kayu Indonesia 18
Tabel 5 Neraca Perdagangan Indonesia Tahunan 19
Tabel 6 Neraca Perdagangan Indonesia Semester I 2013 19
Tabel 7 Neraca Perdagangan Indonesia Menurut PenggunaanBarang
22
Tabel 8 Ekspor Impor beberapa produk Food Additive &Ingredient
23
iv
DAFTAR GRAFIK
HalamanGrafik 1 Produktivitas, Produksi dan Luas Panen Tanaman Ubi
Kayu Periode 2000-2012 9
Grafik 2 Sentra Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi 10
Grafik 3 Perkembangan Produktivitas Ubi Kayu di PropinsiSentra Produksi, 2000-2012
10
Grafik 4 Lima Propinsi dengan Luas Panen Tanaman Ubi KayuTerbesar di Indonesia
11
Grafik 5 Perkembangan Harga Ubi Kayu Dalam Negeri (a) danLuar Negeri (b)
12
Grafik 6 Struktur Impor Indonesia 2012-2013 20
Grafik 7
Grafik 8
Struktur Impor Indonesia 5 Tahun Terkahir
Struktur Ekspor Indonesia 2008-2012
20
21
v
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 1 Pohon Industri Ubi Kayu 15
Gambar 2 Alur Kegiatan Pengembangan Industri Berbasis PatiMenurut Kewenangan Instansi
30
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mencanangkan akan menjadi negara industri pada tahun 2025.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah mengeluarkan program Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Melalui
program ini diharapkan proses industrialisasi didorong melalui struktur industri
piramid yang terintegrasi dan memfasilitasi industri pengolahan yang terfokus di
Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi dengan mengubah bahan baku menjadi semi-
proses material dan dari semi proses menjadi komponen, yang pada akhirnya
komponen ini dapat digunakan untuk kegiatan manufaktur di industri hilir.
Dengan kegiatan ini diharapkan akan dapat meningkatkan nilai tambah
(value added) dan mengurangi ketergantungan industri Indonesia terhadap impor.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Indonesia akan dapat mendorong impor
subsitusi untuk produk bahan baku/penolong (intermediate) yang sekarang
digunakan oleh industri hilir dengan penggunaan produk bahan baku dan penolong
yang telah diproduksi oleh industri hulu di dalam negeri. Hal ini menjadi sangat
penting terkait dengan keengganan pada tingkat pelaku usaha untuk melakukan
subsitusi impor dengan alasan karena merupakan bagian produksi global dan harga
impor yang lebih murah disbanding dengan harga domestik.
Beberapa negara, seperti Brazil, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan
Vietnam, menggunakan hambatan non-tarif (non-tariff measures,NTMs) pada
bahan penolong (intermediate) mereka, sedangkan Indonesia lebih memilih untuk
menggunakan tarif yang rendah untuk bahan penolong. Dengan rendahnya besaran
tarif dan NTMs di Indonesia mengakibatkan peningkatan impor untuk produk
tersebut. Adapun isu kebijakan yang menjadi fokus perhatian dalam analisis ini
adalah bagaimana dampak jangka panjang dari tingginya impor, rendahnya
pengenaan tarif bea masuk, dan NTMs terhadap proses pengembangan industri dan
perdagangan di Indonesia.
2
Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit
sebesar USD 1,7 miliar. Defisit neraca perdagangan Indonesia kembali berlanjut
pada periode Januari-April 2013 dengan nilai sebesar USD 0,4 miliar. Di 4 (empat)
bulan pertama tahun 2013, defisit neraca migas mencapai USD 4,6 miliar yang
memaksa total neraca perdagangan Indonesia kembali defisit. Hal ini ditambah oleh
menurunnya surplus perdagangan non-migas yang hanya mencapai USD 2,7 miliar
selama periode Januari-April tahun ini (BPS, 2013)
Data BPS (2013) menunjukkan bahwa impor terbesar Indonesia pada
periode Januari-April 2013 didominasi oleh bahan baku/ penolong (intermediate
goods) dan barang modal (capital goods) yang merupakan komponen yang penting
bagi industri manufaktur. Pada tahun 2012 hampir 93% dari impor Indonesia berupa
bahan baku/ penolong dan barang modal sedangkan sisanya (7%) merupakan
barang konsumen. Tingginya impor bahan baku/penolong Indonesia ternyata tidak
dibarengi dengan adanya peningkatan ekspor produk manufaktur, terutama pasca
tahun 2010. Tentu saja kondisi ini menjadi suatu hal yang perlu dipertanyakan
penyebabnya. Salah satu kemungkinan penyebab kondisi ini adalah karena
membaiknya harga komoditi dunia yang menyebabkan kuatnya lagi produksi
produk primer dibandingkan produk industri manufaktur.
Bahan Tambahan Pangan (Food Additives and Ingredients) merupakan salah
satu produk bahan baku penolong yang banyak bersumber dari impor, padahal
sumber bahan baku komoditas tersebut banyak tersedia di dalam negeri. Akan
tetapi produsen dalam negeri tetap mengutamakan sumber bahan baku yang
berasal dari luar negeri. Pertimbangan untuk mengimpor bahan baku penolong
adalah harga yang lebih murah, spesifikasi yang tidak sesuai, dan tidak adanya
jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dari produsen dalam negeri. Adapun
pertimbangan lain untuk mengimpor beberapa produk Food Additives & Ingredients
adalah karena penggunaan bahan baku senyawa kimia yang belum dapat diproduksi
di Indonesia sehingga tetap membutuhkan impor. Jika memang mau dipaksakan
untuk diproduksi di Indonesia, memerlukan modal yang sangat besar dan jaringan
internasional yang luas. Selain itu, banyak faktor lain yang perlu diperhatikan dalam
3
memproduksi Food Additives & Ingredients seperti biaya produksi yang nantinya
akan mempengaruhi harga jual ke konsumen dan kualitas produk.
Beberapa produk Food Additives & Ingredients berasal dari komoditas yang
dapat diperoleh di Indonesia, seperti Ubi Kayu untuk bahan baku pati (starches),
Rumput Laut untuk bahan baku karagenan dan agar-agar, dan Molasses dan tapioka
untuk bahan baku Monosodium Glutamate (MSG). Produk Other dextrins & other
modified starches (HS 3505.10.90.00); Dextrins, soluble or roasted starches (HS
3505.10.10.00); Monosodium glutamate (HS 2922.42.20.00); dan Glues based on
starches/dextrins (HS 3505.20.00.00) merupakan contoh produk yang berbahan
baku dari pati Ubi Kayu dimana Ubi Kayu tersebut dapat diperoleh/diproduksi di
Indonesia dan tidak memerlukan pengolahan yang terlalu rumit dalam pembuatan
bahan baku/penolong keempat produk tersebut. Meskipun demikian, nilai impor
keempat produk tersebut masih tetap tinggi. Hal ini tentu saja cukup
memprihatikan dan memerlukan perhatian lebih mendalam mengingat potensinya
yang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Jika dilihat dari ekspor, bahkan
Indonesia sudah melakukan ekspor untuk keempat produk tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Ekspor Impor Beberapa produk Food Additives & Ingredients
PERUB(%) TREND(%) PERUB(%) TREND(%)2008 2012 2013 13/12 08-11 2008 2012 2013 13/12 08-11
3505109000 Oth dextrins & oth modified starches 56,758,066 76,923,666 10,432,423 11.54 9.08 10,374,308 7,203,106 1,565,919 18.86 2.563505101000 Dextrins, soluble or roasted starches 26,162,846 47,534,271 8,071,620 0.67 22.01 103,587 1,682,672 - (100.00) 139.622922422000 Monosodium glutamate 13,705,591 25,585,169 4,108,987 2.66 16.72 89,733,058 199,020,548 36,388,905 37.85 20.793505200000 Glues based on starches/dextrins 10,790,049 13,481,002 2,105,368 4.33 9.43 344,162 257,397 47,521 197.06 (5.01)
EKSPOR (USD) JAN-PEBHS URAIAN
IMPOR (USD) JAN-PEB
Sumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
Dengan tingginya permintaan importasi bahan baku/penolong atas empat
produk tersebut memiliki andil terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini disebabkan oleh nilai impor yang
meningkat, terutama impor bahan baku/penolong untuk industri. Untuk itu,
diperlukan kebijakan yang memudahkan pendirian industri bahan baku/penolong
untuk dapat mendorong pengembangan industri hilir di Indonesia. Hal ini menjadi
4
penting karena dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku/penolong
industri.
Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan bermaksud melakukan
penelitian mengenai kebijakan impor komoditas Food Additives and Ingredients
sebagai salah satu strategi pengembangan substitusi impor dalam upaya mengatasi
defisit neraca perdagangan Indonesia. Diharapkan dengan adanya analisis ini,
importir atau produsen di dalam negeri memiliki pengetahuan terhadap potensi
bahan baku di dalam negeri sehingga tidak perlu mengimpor dan menghemat
devisa negara serta mengembangkan industri lokal yang ada. Di samping itu,
produsen lokal tertarik memproduksi produk sejenis sebagai substitusi impor
apabila sumberdaya lokal memungkinkan.
1.2 Tujuan Penelitian
a.Memberikan informasi kepada pelaku usaha bahwa saat ini terdapat produk
Food Additives and Ingredients dalam negeri sehingga tidak perlu
melakukan impor dalam rangka penghematan devisa dan pengembangan
industri dalam negeri.
b. Melakukan pemetaan produk lain/sejenis sebagai substitusi impor, dimana
bahan bakunya di Indonesia cukup banyak, murah, berkualitas dan
terjamin ketersediannya.
c.Menentukan produk bahan baku/penolong Food Additive and Ingredient
yang sederhana namun memiliki pengaruh yang besar, dan melatih Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) supaya bisa memenuhi persyaratan
spesifikasi yang ditetapkan.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas potensi Ubi Kayu lokal sebagai bahan baku industri
Food Additives and Ingredients, sehingga dapat teridentifikasi produk-produk yang
dapat dihasilkan oleh produsen dalam negeri guna mengurangi ketergantungan
5
terhadap impor. Selain itu, akan dibahas pula peran Kementerian Perdagangan dan
instansi teknis terkait lainnya dalam mendukung upaya substitusi impor pada
komoditas Food Additives and Ingredients guna mengurangi defisit neraca
perdagangan.
1.4 Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan di sini adalah analisis deskriptif yang
membahas mengenai potensi pengembangan Ubi Kayu dan industri pati berbasis
Ubi Kayu domestik sebagai bahan baku industri Food Additives and Ingredients di
Indonesia dalam rangka mengurangi defisit neraca perdagangan dan memetakan
tugas yang dapat dilakukan oleh instansi terkait untuk mendukung pengembangan
industri berbasis pati Ubi Kayu.
1.5 Sistematika Penulisan
Adapun laporan analisis ini terbagi menjadi beberapa bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
1.4 Metodologi Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
Bab II Gambaran Umum Produksi Bahan Baku Food Additives and Ingredients
2.1 Produksi, Produktivitas, dan Sentra Produksi Ubi Kayu
2.2 Perkembangan Harga Ubi Kayu
Bab III Gambaran Umum Industri dan Perdagangan Food Additives and Ingredients
di Indonesia
3.1 Profil Industri Food Additives and Ingredients
3.2 Kinerja Perdagangan Food Additives and Ingredients
6
Bab IV Analisis Pengembangan Industri Food Additives and Ingredients di
Indonesia
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan
5.2 Rekomendasi
7
BAB II
Gambaran Umum Produksi Bahan Baku Food Additives and Ingredients
2.1 Produksi, Produktivitas dan Sentra Produksi Ubi Kayu
Ubi Kayu merupakan salah satu komoditas penting tanaman pangan
Indonesia, walaupun kedudukannya masih kalah jika dibandingkan dengan jenis
tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Akan tetapi, dengan ketatnya
persaingan dalam pasar perdagangan dunia akibat berkembangnya perekonomian
global, Ubi Kayu diperkirakan berpotensi untuk dapat digunakan sebagai substitusi
bahan baku impor guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekspor serta
dapat digunakan sebagai sumber bioenergi, seperti bioetanol. Dengan demikian,
peran Ubi Kayu telah bergeser bukan hanya sebagai tanaman pangan tetapi juga
memiliki potensi ekonomi yang luar biasa dalam menyokong pertumbuhan
perekonomian Indonesia.
Penanaman dan pemeliharaan tanaman Ubi Kayu relatif mudah. Tanaman
Ubi Kayu memiliki beberapa keunggulan, antara lain mudah tumbuh dalam
lingkungan yang kurang baik atau kurang subur, tidak memerlukan persiapan lahan
secara intensif, tahan terhadap kekeringan dan serangan OPT, dan biaya produksi
yang cukup rendah. Dalam Grafik 1 terlihat bahwa produktivitas tanaman Ubi Kayu
mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama kurun waktu 12 tahun
terkahir. Di tahun 2012, produktivitas tanaman Ubi Kayu mencapai 214,02
Kuintal/Ha, meningkat sebesar 71,22% jika dibandingkan dengan produktivitas pada
tahun 2000 dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 4,6%. Peningkatan
produktivitas yang relatif cepat tersebut, tentu tidak lepas dari kebijakan
pemerintah untuk mendukung program intensifikasi tanaman Ubi Kayu.
Program intensifikasi Ubi Kayu tersebut meliputi perakitan dan
pengembangan varietas unggul berkadar pati dan gula tinggi, multi umur dengan
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Bahkan, beberapa varietas
tanaman Ubi Kayu dengan pengelolaan budidaya yang baik dapat menunjukkan
potensi produktivitas yang cukup tinggi yaitu lebih dari 100 Ton/Ha (Kementerian
8
Pertanian, 2012). Tabel 2 berikut menunjukkan varietas-varietas unggulan Ubi Kayu
yang telah dilepas.
Tabel 2. Varietas Unggul Tanaman UbiKayu
varietasTahun
(Dilepas)Umur
(Bulan)Potensi
(Ton/Ha)Rasa Warna (Daging Umbi) Pati (%)
ADIRA 1 1978 7-10 22 Sedang Kuning 45ADIRA 2 1978 8-12 21 Sedang Putih 41ADIRA 3 1985 10.5-11.5 35 Agak Pahit Putih 18-22MALANG 1 1992 9-10 35.5 Manis Putih kekuningan 32-35MALANG 2 1992 8-10 31.5 Manis kuning muda 32-35MALANG 4 2001 9 39.7 - Putih -MALANG 6 2001 9 36.4 - Putih -DARUL HIDAYAH 1998 8-10 102 Kenyal Putih 25-31.5UJ 3 2000 8-10 20-35 Pahit Putih kekuningan 20-27UJ 5 2000 8-10 25-38 pahit Putih kekuningan 19-30
Sumber : Kementerian Pertanian (2012)
Produksi Ubi Kayu juga mengalami peningkatan selama 12 (dua belas) tahun
terakhir walaupun peningkatannya relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan
peningkatan produktivitasnya. Pada tahun 2012 Indonesia mampu menghasilkan
Ubi Kayu sebesar 24,2 juta Ton dengan rata-rata peningkatan per tahun sebesar
3,5%. Peningkatan produksi Ubi Kayu yang dirasa lebih lambat jika dibandingkan
dengan peningkatan produktivitasnya disebabkan oleh semakin turunnya luas
panen tanaman Ubi Kayu dari tahun ke tahun dengan rata-rata penurunan per
tahun sebesar 1%. Pada tahun 2012, luas panen tanaman Ubi Kayu sebesar 1,1 juta
Hektar, turun sebesar 4,6% jika dibandingkan dengan luas panen pada tahun
sebelumnya (Grafik 1) penurunan luas panen tanaman Ubi Kayu disebabkan oleh
alih fungsi lahan yang mengarah ke industrialisasi atau juga disebabkan oleh
kompetisi lahan dengan tanaman pangan lainnya.
9
Grafik 1. Produktivitas, Produksi dan Luas Panen Tanaman Ubi Kayu Periode 2000-2012
125
214.02
1,284.04
1,129.69
1,000.00
1,050.00
1,100.00
1,150.00
1,200.00
1,250.00
1,300.00
1,350.00
0
50
100
150
200
250
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Juta Ton) RHS Luas Panen ('000 Ha)
Sumber : BPS, 2013 (diolah)
Propinsi utama penghasil Ubi Kayu di Indonesia adalah Propinsi Lampung,
dengan pangsa produksi Ubi Kayu pada tahun 2012 sebesar 34,7%, diikuti oleh Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan pangsa produksi Ubi
Kayu masing-masing sebesar 17,6%; 15,9%; 8,8% dan 4,8% (Grafik 2). Pada tahun
2000, Propinsi Lampung hanya menyumbang sebesar 18.2% dari total produksi Ubi
Kayu Indonesia. Sementara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera
Utara masing-masing menyumbang sebesar 22,5%; 19,2%; 11,3% dan 3,0%. Dengan
demikian telah terjadi pergeseran sentra produksi Ubi Kayu di Indonesia.
Pergeseran sentra produksi Ubi Kayu tersebut desebabkan karena budidaya Ubi
Kayu mudah dikembangkan dan cepat terserap di pasar, serta semakin
berkembangnya industri pengolahan tepung tapioka di Propinsi Lampung. Saat ini
telah terdapat 66 pabrik tepung tapioka di Lampung yang menjadi penyerap utama
produksi Ubi Kayu basah di Lampung (Kompas.Com, 2013).
10
Grafik 2. Sentra Produksi Ubi Kayu Menurut Propinsi
38.2
16.8 14.6
8.64.5
17.3
34.7
17.6 15.9
8.84.8
18.2
-
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat SumateraUtara
Lainnya
(%)
2011
2012
Sumber : BPS, 2013 (diolah)
Pada Grafik 3 terlihat bahwa produktivitas tanaman Ubi Kayu di 5 propinsi
sentra produksi mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, produktivitas di kelima
Propinsi tersebut relatif hampir sama, yaitu berkisar 113-145 Kuintal/Ha. Namun
demikian, Propinsi Sumatera Utara dan Lampung mengalami peningkatan
produktivitas relatif cepat jika dibandingkan ketiga sentra produksi lainnya.
Peningkatan produktivitas Ubi Kayu di kedua propinsi tersebut terjadi pada tahun
2007.
Grafik 3. Perkembangan Produktivitas Ubi Kayu di Propinsi Sentra Produksi, 2000-2012
70
120
170
220
270
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Ku/HaSumut Lampung Jatim Jateng Jabar
Sumber : BPS, 2013 (diolah)
Apabila dilihat dari segi luas panen tanaman Ubi Kayu, Propinsi Nusa
Tenggara Timur berada pada urutan ke-5 terbesar menggeser posisi Sumatera
Utara. Sementara urutan teratas masih diduduki oleh Lampung, Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Jawa Barat. Luasnya lahan tanam di Propinsi Nusa Tenggara Timur
11
sejalan dengan program pemerintah dalam rangka pengembangan komoditas Ubi
Kayu pada tahun 2012 yang yang berfokus di wilayah Nusa Tenggara Timur (Grafik
4).
Grafik 4. Lima Propinsi dengan Luas Panen Tanaman Ubi Kayu Terbesar diIndonesia
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
HaLampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Nusa Tenggara Timur
Sumber : BPS, 2012 (diolah)
Program pemerintah dalam upaya peningkatan produktivitas dan produksi
ubikayu pada tahun 2012 tersebut memiliki sasaran luas tanam, luas panen dan
produksi ubikayu tahun 2012 masing-masing sebesar 1,4 juta Hektar (naik 2,63%
dibanding sasaran tahun 2011), 1,3 juta Hektar (naik 2,5% dibanding sasaran tahun
2011) dan 25 juta Ton (naik sebesar 5,54% jika dibandingkan sasaran pada tahun
2011 yaitu sebesar 23,4 juta Ton) (Kementerian Pertanian, 2012). Namun demikian,
sasaran tersebut belum dapat dicapai (lihat kembali Grafik 1) dikarenakan
menghadapi beberapa kendala antara lain: adanya anomali cuaca sehingga cuaca
susah untuk diprediksi, semakin berkurangnya lahan tanam akibat alih fungsi lahan
ke sektor industri, pemukiman penduduk dan persaingan lahan dengan komoditas
tanaman pangan yang lain, serta sumber-sumber air yang dinilai cukup terbatas.
2.2 Perkembangan Harga Ubi Kayu
Peningkatan harga Ubi Kayu baik di dalam negeri maupun di pasar
internasional beberapa tahun terakhir dipicu oleh meningkatnya industri
12
2707
2940
3634
4183
2500
2700
2900
3100
3300
3500
3700
3900
4100
4300
2010 2011 2012 Jan-Sep '2013
IDR/Kg
Naik 42.3%
pengolahan Ubi Kayu di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, khususnya untuk
pembuatan etanol pati (starch), serta tingginya permintaan untuk bahan makanan
yang terjadi terutama di negara-negara kawasan Benua Afrika. Harga Ubi Kayu di
pasar dunia pada tahun 2000 mencapai USD 157.42/MT, kemudian naik menjadi
USD 221,67/MT pada tahun 2006 dan pada periode Januari-Oktober 2012 harganya
mencapai USD 235/MT (FAO, 2012). Harga Ubi Kayu tersebut diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan disebabkan semakin meningkatnya permintaan dunia
akan komoditas tersebut.
Grafik 5. Perkembangan Harga Ubi Kayu Dalam Negeri (a) dan Luar Negeri (b)
Sumber : Pusdatin Kemendag, (2013); FAO, (2012)
Pada Grafik 5 terlihat bahwa kenaikan harga Ubi Kayu di dalam negeri
sejalan dengan kenaikan harga Ubi Kayu di pasar internasional. Pada tahun 2010,
rata-rata harga Ubi Kayu mencapai IDR 2707/Kg, naik menjadi IDR 2940/Kg pada
tahun 2011. Sementara itu, pada periode Januari-September 2013, rata-rata harga
Ubi Kayu melambung hingga mencapai IDR 4183/Kg atau meningkat sebesar 42.3%
jika dibandingkan dengan rata-rata harga di tahun 2011. Berdasarkan FAO (2012)
prospek Ubi Kayu di wilayah Asia masih sangat tidak menentu bergantung pada
keterikatan harga antara Jagung dan Ubi Kayu serta pada daya saing Ubi Kayu
dibandingkan dengan komoditi pangan lain yang juga dapat digunakan sebagai
bahan baku bioetanol dan bahan baku industri (food additives and ingredients)
seperti Ubi Jalar, Jagung, Sagu dan Tetes tebu. Harga komoditas Ubi Kayu tersebut
akan berpengaruh pada industri, pendapatan petani dan ketahanan pangan
masyarakat.
13
Bab III
Gambaran Umum Industri dan Perdagangan Food Additives and Ingredients di
Indonesia
3.1 Profil Industri Food Additives and Ingredients
Merujuk pada Pasal 73 dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan Pasal 1 angka 1 dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.
33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, Bahan Tambahan Pangan yang
selanjutnya disingkat dengan BTP (Food Additives and Ingredients) merupakan
bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
pangan. Food Additives and Ingredients ditambahkan untuk memperbaiki karakter
pangan agar kualitasnya meningkat. Dalam Permenkes No. 33 Tahun 2012, Food
Additives and Ingredients tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan
tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. Dengan kata lain, Food Additives
and Ingredients merupakan bahan penolong yang memerlukan pengolahan lebih
lanjut. Pemakaian Food Additives and Ingredients merupakan salah satu langkah
teknologi yang diterapkan oleh industri pangan berbagai skala.
Adapun beberapa golongan Food Additives and Ingredients yang digunakan
dalam pangan berdasarkan Permenkes No. 33 Tahun 2012 dapat diklasifikasikan
menjadi antibuih (antifoaming agent); antikempal (anticaking agent); antioksidan
(antioxidant); bahan pengkarbonasi (carbonating agent); garam pengemulsi
(emulsifying salt), gas untuk kemasan (packaging gas); humektant (humectant);
pelapis (glazing agent); pemanis (sweetener); pembawa (carrier); pembentuk gel
(gelling agent); pembuih (foaming agent); pengatur keasaman (acidity regulator);
pengembang (raising agent); pengawet (preservative); pengemulsi (emulsifier);
pengental (thickener); pengeras (firming agent); penguat rasa (flavor enhancer);
peningkat volume (bulking agent); penstabil (stabilizer); peretensi warna (colour
retention agent); perisa (flavouring); perlakuan tepung (flour treatment agent);
pewarna (colour); propelan (propellant); dan sekuestran (sequestrant). Selanjutnya
Food Additives and Ingredients yang diproduksi dan diimpor ke Indonesia dan
14
diedarkan harus memenuhi standar dan persyaratan dalam Kodeks Makanan
Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal standar dan
persyaratan Food Additives and Ingredients belum terdapat dalam Kodeks Makanan
Indonesia dapat digunakan standar dan persyaratan lain.
Terkait dengan produksi Food Additives and Ingredients di dalam negeri,
Pasal 9 ayat (3) dalam Permenkes No. 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan mengatur bahwa Food Additives and Ingredients hanya dapat diproduksi
oleh industri yang mempunyai izin industri sesuai ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya, industri yang memproduksi Food Additives and Ingredients tersebut
harus terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan pengaturan
lebih lanjut mengenai produksi, pemasukan, dan peredaran Food Additives and
Ingredients ditetapkan dengan Peraturan Kepala BPOM (Pasal 9 ayat (4) dan (5)
Permenkes No. 33 Tahun 2012). Sementara itu, pemasukan Food Additives and
Ingredients hanya dapat dimasukkan ke Indonesia oleh importir setelah mendapat
persetujuan Kepala BPOM dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemasukan Food Additives and Ingredients ditetapkan Peraturan Kepala BPOM
(Pasal 10).
Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) mencatat
bahwa terdapat 10 perusahaan yang bergerak di bidang produksi Food Additives
and Ingredients pada tahun 2012 dimana salah satunya adalah PT Sorini yang
merupakan perusahaan yang memproduksi pemanis buatan jenis Sorbitol dari
bahan baku Ubi Kayu (Tempo, 2012). Sebagaimana dikemukakan dalam Bab I,
penelitian ini hanya memfokuskan pada pembahasan industri Food Additives and
Ingredients yang berbahan baku Ubi Kayu, khususnya industri pati Ubi Kayu yang
memproduksi produk Dextrins, soluble or roasted starches (HS 3505.10.10.00) yang
tergolong sebagai pemanis (sweetener), pengatur keasaman (acidity regulator),
pengental (thickener), perisa (flavouring); Other dextrins & other modified starches
(HS 3505.10.90.00) sebagai pengental (thickener); Monosodium glutamate (HS
2922.42.20.00) sebagai penguat rasa (flavor enhancer); dan Glues based on
starches/dextrins (HS 3505.20.00.00).
15
Ditinjau dari pohon industri Ubi Kayu dalam Gambar 1, Ubi Kayu dapat
dimanfaatkan secara langsung maupun diproses lebih lanjut untuk memproduksi
berbagai jenis produk industri pengolahan makanan, kertas, plywood, tekstil,
farmasi, dan plastik daur ulang (biodegradable plastics). Salah satu jenis pati yang
berasal dari Ubi Kayu yang diproduksi melalui proses pemisahan secara alamiah,
tanpa penambahan zat ataupun kimiawi lain, dikenal dengan istilah pati alami ubi
kayu (native or cassava starch). Dengan proses pengolahan, pati alami ubi kayu
dapat diolah menjadi berbagai produk pangan dan non-pangan, antara lain
modifikasi pati (modified starch); bahan industri makanan; tepung tapioka/ tapioka
pearl; tepung mocaf (modified cassava flour); monosodium glutamate (MSG);
dekstrin; gula cair (glukosa, maltosa, fruktosa) yang digunakan sebagai pemanis;
sorbitol; asam sitrat; alkohol; pakan ternak; asam organik; dan senyawa kimia lain
(Gambar 1).
Gambar 1. Pohon Industri Ubi Kayu
Sumber: Kementerian Pertanian (Buletin Ubi Kayu) .
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2013) mencatat bahwa terdapat 154
perusahaan industri pati Ubi Kayu di Indonesia, baik berskala sedang maupun besar
16
pada tahun 2011. Dua puluh enam perusahaan dari keseluruhan jumlah industri pati
Ubi Kayu Indonesia adalah industri pati Ubi Kayu berskala besar. Dibandingkan
dengan periode sebelumnya jumlah perusahaan industri pati Ubi Kayu di Indonesia
naik sebesar 7,69% dimana tahun sebelumnya hanya berjumlah 143 perusahaan
dengan komposisi 25 perusahaan merupakan industri berskala besar sedangkan
sisanya merupakan industri berskala menengah (BPS, 2012). Sementara pada tahun
2009 dan 2008 total industri pati Ubi Kayu Indonesia baik skala besar dan sedang
berjumlah 149 perusahaan.
Dari segi status kepemilikan, data BPS (2010,2011,2012,2013) menunjukkan
bahwa sebagian besar industri pati Ubi Kayu Indonesia selama tahun 2008-2011
dimiliki oleh lainnya (79%), 19% berstatus kepemilikan modal dalam negeri (PMDN)
dan hanya sekitar 2% berstatus kepemilikan modal asing (PMA). BPS (2013) pun
mencatat bahwa terdapat 1% perusahaan dalam industri pati Ubi Kayu di Indonesia
yang dimiliki Pemerintah Daerah sedangkan sebesar 98% merupakan milik swasta
nasional dan 1% milik asing pada tahun 2011.
Berdasarkan data Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (2013),
industri pati Ubi Kayu Indonesia tersebar di Propinsi Lampung, Jawa Timur dan Jawa
Tengah yang merupakan sentra produksi Ubi Kayu (Tabel 3). Sementara BKPM
(2013) mencatat bahwa selain dari ketiga sentra produksi industri pati Ubi Kayu
yang disebutkan sebelumnya, industri pati Ubi Kayu tersebar di Kalimantan Tengah,
Banten, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara.
17
Tabel 3.Lokasi, Kebutuhan Bahan Baku dan Kapasitas Produksi Industri Pati Ubi Kayu
IndonesiaNo Provinsi/ Perusahaan Bahan Baku Kapasitas
Kabupaten Ubikayu (Ton/thn) Produksi (Ton/thn)
1 Lampung 229.000
- Lampung Timur PT. Wira Kencana Adi 75.000Perdana
PT. Budi Acid Jaya 45.000
PT. Umas Jaya Agrotama 34.000
- Lampung Tengah PT. Budi Acid Jaya 75.000
2 Jawa Timur 553.224 147.431
- Tuban PT. Wira Usaha 150.000 37.500
- Malang PD.INTAF 25.200 6.300PT.Tiga Mutiara 64.800 16.200PT.Sari Tani Nusantara 54.000 13.500Asia Tapioka 48.000 12.000Sumber Makmur 1.296 324PT.Naga Mas Sakti 27.000 6.750Al Ma'ruf 600 150
- Magetan Tani Karya Anugerah 1.440 360
- Kediri Isy Karima 5.220 1.305Erna Jaya 3.600 900Jaya Abadi 11.700 2.925
- Kota kediri Sing Setio Utomo 1.944 486
- Ponorogo Lima Mas Jaya 900 225
- Lumajang Intaf II 64.068 16.017Insaka Surya intan 90.864 22.716
- Nganjuk Abi Seka 2.592 648
3 Jawa Tengah - Pati Home Industri 9.125
(567 unit)
Sumber: Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (2013).
Kendatipun proses produksi pati alami Ubi Kayu merupakan suatu proses
yang relatif sederhana dan dapat dilakukan pada berbagai skala mulai dari tingkat
skala rumah tangga hingga pabrik pati berskala besar dan berteknologi tinggi,
industri pati Ubi Kayu di Indonesia dinilai belum berkembang dengan baik di
Indonesia mengingat ketersediaan pasokan bahan baku dalam negeri belum
mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri, baik dalam hal kuantitas maupun
kualitas (Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan, Ditjen Industri
Agro, Kementerian Perindustrian, (2013)).
Selain itu, survei dan verifikasi industri penghasil tepung dan industri
pengguna tepung dalam rangka mendukung Ketahanan Pangan Nasional Tahun
2012 yang dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian dan PT Sucofindo (Persero)
menunjukkan adanya trend positif produksi tepung ubi kayu Indonesia sepanjang
tahun 2008-2012 sebesar 58,31%. Produksi tepung ubi kayu Indonesia pada tahun
18
2012 mencapai 3.468 Metrik Ton (MT), naik sebesar 37,2% dari tahun sebelumnya.
Meskipun terdapat peningkatan dalam volume produksi tepung ubi kayu Indonesia,
bahan pasokan domestik tersebut hanya mampu mencukupi 1,58% dari kebutuhan
pengguna tepung ubi kayu nasional (Tabel 4). Sisa kebutuhan lainnya diimpor dari
luar negeri.
Tabel 4. Produksi dan Kebutuhan Tepung Ubi kayu Indonesia
Tahun Produksi(MT)
Pertumbuhan(%)
Kebutuhan(MT)
Pertumbuhan(%)
(2)-(4) % Produksiterhadap
Kebutuhan(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2008 498 149,859 -149,361 0.33
2009 1,240 149.00 166,271 10.95 -165,031 0.75
2010 2,377 91.69 181,394 9.10 -179,017 1.31
2011 2,528 6.35 202,055 11.39 -199,527 1.25
2012 3,468 37.18 219,396 8.58 -215,928 1.58
Sumber: Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan,Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, (2013).
3.2 Kinerja Perdagangan Food Additives and Ingredients
Sampai tahun 2012 Indonesia belum pernah mengalami defisit neraca
perdagangan secara tahunan. Sementara kinerja perekonomian Indonesia diantara
krisis ASEAN dan krisis keuangan gobal akhir-akhir ini (2006-2007) justru
membukukan Surplus pada neraca perdagangannya (Tabel 5). Surplus ini
disebabkan perpaduan kuatnya permintaan dalam negeri dan lemahnya permintaan
luar negri. Namun, munculnya defisit neraca perdagangan bulanan secara terus
menerus menimbulkan kekhawatiran apakah perekonomian Indonesia terlalu
tergantung pada impor yang pastinya akan sangat berpengaruh pada sektor tenaga
kerja.
19
Tabel 5. Neraca Perdagangan Indonesia Tahunan
1997 53,443.60 41,679.78 11,7641998 48,847.64 27,336.87 21,5111999 48,665.45 24,003.28 24,6622000 62,124.02 33,514.81 28,6092001 56,320.90 30,962.14 25,3592002 57,158.77 31,288.85 25,8702003 61,058.25 32,550.68 28,5082004 71,584.61 46,524.53 25,0602005 85,659.95 57,700.88 27,9592006 100,798.62 61,065.47 39,7332007 114,100.89 74,473.43 39,6272008 137,020.42 129,197.31 7,8232009 116,510.03 96,829.24 19,6812010 157,779.10 135,663.28 22,1162011 203,496.62 177,435.56 26,0612012 190,031.80 191,691.00 (1,659)
TAHUN NILAI (USD JUTA)EKSPOR IMPOR NERACA
(2,000)
3,000
8,000
13,000
18,000
23,000
28,000
33,000
38,000
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
Di tahun 2012 kemarin, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit
sebesar USD 1,7 M. Sementara itu, di Semester I 2013 neraca perdagangan kembali
mengalami defisit sebesar USD 3,3 M. Di semester pertama tahun ini neraca migas
defisit USD 5,8 M yang memaksa total neraca perdagangan Indonesia kembali
defisit. Ditambah oleh menurunnya surplus perdagangan non migas yang hanya
mencapai USD 2,5 M selama Semester I tahun ini (Tabel 6).
Tabel 6. Neraca Perdagangan Indonesia Semester I 2013
Total -527.2 -846.6 -3,311.3 -319.4 439.4 -3,823.3
Migas -509.3 -772.6 -5,821.0 -263.3 -318.3 -4,553.1
Minyak Mentah 50.7 -272.9 -1,781.3 -323.6 -418.0 -2,701.7
Hasil Minyak -1,837.3 -1,856.3 -11,599.7 -19.0 213.2 246.3
Gas 1,277.3 1,356.6 7,560.0 79.3 -113.4 -2,097.7
Nonmigas -17.9 -74.0 2,509.8 -56.1 757.7 729.8
Semester I2013
Juni 2013(mom)
Juni 2013(yoy)
Semester I2013 (yoy)
Mei 2013 Juni 2013Uraian
Nilai (USD Juta) Selisih (USD Juta)
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
20
Data BPS (2013) menunjukkan impor terbesar didominasi oleh Intermediate
goods dan capital goods yang merupakan komponen yang penting untuk industri
manufaktur. Data tahun 2012 menunjukkan impor sebesar hampir 93% disebabkan
oleh 2 komponen ini, sedang barang konsumen hanya mencapai 7%.
Grafik 6. Struktur Impor Indonesia 2012-2013
BarangKonsumsi
6.8%
BahanBaku/
Penolong76.5%
BarangModal16.7%
Semester I 2013
BarangKonsumsi
7.0%
BahanBaku/
Penolong72.9%
BarangModal20.1%
Semester I 2012
6.4
72.2
15.8
6.7
70.3
19.4
BarangKonsumsi
BahanBaku/
Penolong
BarangModal
Nilai (USD Miliar)
Semester I 2013Semester I 2012
-5.0
2.7
-18.8
6.4
11.8
35.2
Pertumbuhan (%)
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
Sementara data BPS 5 tahun terakhir (2008-2012) yang menunjukkan impor
dari kedua komponen tersebut. Data menunjukkan telah terjadi peningkatan
penggunaan kedua komponen tersebut bahkan data pada tingkat perusahaan besar
dan menengah menunjukkan 25% intermediate goods digunakan oleh kedua jenis
perusahaan tersebut. Padahal kedua jenis perusahaan tersebut menghasilkan 51%
penciptaan tenaga kerja, 66% total output dan 66% ekspor manufaktur (World Bank
Policy note, Juni 2013).
Grafik 7. Struktur Impor Indonesia 5 Tahun Terkahir
6.4% 7.0% 7.4% 7.5% 7.0%
77.0%71.9% 72.8% 73.8% 73.1%
16.6%21.1% 19.8% 18.7% 19.9%
2008 2009 2010 2011 2012
Barang Konsumsi Bahan Baku/Penolong Barang Modal
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
21
Namun pertanyaan berikutnya adalah mengapa impor ini tidak diikuti
meningkatnya ekspor manufaktur. Bahkan data BPS menunjukkan melemahnya
ekspor manufaktur indonesia sebelum tahun 2010. Mungkin hal ini disebabkan
membaiknya harga komoditi dunia yang menyebabkan kuatnya lagi natural based
production dan kegiatan ini tidak banyak membutuhkan impor “intermediate
goods”.
Grafik 8. Struktur Ekspor Indonesia 2008-2012
61.2% 59.5%62.6%
65.8% 63.6%
38.8% 40.5%37.4%
34.2% 36.4%
2008 2009 2010 2011 2012
Primer Manufaktur
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
Jika dilihat lebih dalam, menurunnya surplus neraca perdagangan non migas
disebabkan oleh tingginya impor intermediate goods yang menyebabkan
perdagangan pada sektor bahan baku/penolong selama Januari-Juni 2013
mengalami penururnan surplus yang sangat signifikan. Selama tahun 2008-2012,
surplus neraca bahan baku/penolong terus mengalami penurunan. Pada Semester I
2013 neraca bahan baku/penolong hanya surplus USD 2,1 miliar, sedangkan neraca
barang konsumsi dan barang modal masing-masing surplus USD 2,6 miliar dan
defisit USD 6,6 miliar (Tabel 7).
22
Tabel 7. Neraca Perdagangan Indonesia Menurut Penggunaan Barang
2012 2013 08-12 13/12
Ekspor 137.020,4 190.031,8 67.539,7 62.362,1 12,88 (7,67)Barang Konsumsi 22.016,6 31.954,6 10.392,7 10.551,8 12,66 1,53Bahan Baku/Penolong 107.797,0 148.814,1 54.176,5 48.584,0 13,36 (10,32)Barang Modal 7.206,8 9.263,1 2.970,5 3.226,3 7,05 8,61
Impor 129.197,3 191.691,0 64.979,1 64.297,8 14,97 (1,05)Barang Konsumsi 8.303,7 13.408,6 8.827,4 7.930,4 17,86 (10,16)Bahan Baku/Penolong 99.492,7 140.127,6 44.039,9 46.506,3 14,07 5,60Barang Modal 21.400,9 38.154,8 12.111,8 9.861,1 17,81 (18,58)
Neraca 7.823,1 (1.659,2) 2.560,6 (1.935,7)Barang Konsumsi 13.712,9 18.546,0 1.565,3 2.621,4Bahan Baku/Penolong 8.304,3 8.686,5 10.136,6 2.077,7Barang Modal (14.194,1) (28.891,7) (9.141,2) (6.634,8)
UraianTrend (%) Perub. %
2008 2012JANUARI - JUNI
NILAI : USD Juta
Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BP2KP)
Food Additives and Ingredients merupakan salah satu komoditas bahan baku
penolong yang banyak bersumber dari impor, padahal sumber bahan baku
komoditas tersebut tersedia di dalam negeri. Produsen tetap mengutamakan
sumber bahan baku yang berasal dari dalam negeri. Pertimbangan untuk
mengimpor bahan baku penolong adalah harga yang lebih murah, spesifikasi yang
tidak sesuai dan tidak adanya jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dari
produsen dalam negeri.
Beberapa produk Food Additives & Ingredient merupakan bahan makanan
yang menggunakan bahan baku senyawa kimia yang belum dapat diproduksi di
Indonesia, jadi tetap membutuhkan impor. Jika memang mau dipaksakan untuk
diproduksi di Indonesia, memerlukan modal yang sangat besar dan jaringan
internasional yang luas. Selain itu, banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam
memproduksi Food Additive & Ingredient seperti biaya produksi yang nantinya akan
mempengaruhi harga jual ke konsumen dan kualitas produk. Namun beberapa
produk Food Additives & Ingredients berasal dari komoditas yang dapat diperoleh di
Indonesia seperti Singkong untuk bahan baku Pati (starches), rumput laut untuk
23
bahan baku karagenan dan agar-agar, serta molasses dan tapioca untuk bahan baku
MSG.
Tabel 8. Ekspor Impor beberapa produk Food Additive & Ingredient
Perub. (%) Trend (%)2008 2012 2013 13/12 08-11
3505109000 Oth dextrins & oth modified starches 10.4 7.2 2.7 -22.99 2.563505101000 Dextrins, soluble or roasted starches 0.1 1.7 - -100.00 139.621302399000 Mucilages & thickeners,whether or not modified,derived from vegetable products0.3 0.9 0.2 39.08 -38.473505200000 Glues based on starches/dextrins 0.3 0.3 0.1 222.64 -5.01
3505109000 Oth dextrins & oth modified starches 56.8 76.9 22.4 -5.64 9.083505101000 Dextrins, soluble or roasted starches 26.2 47.5 15.5 4.44 22.011302399000 Mucilages & thickeners,whether or not modified,derived from vegetable products5.5 14.9 6.6 33.80 47.303505200000 Glues based on starches/dextrins 10.8 13.5 4.6 15.06 9.43
3505109000 Oth dextrins & oth modified starches (46.38) (69.72) (19.72)3505101000 Dextrins, soluble or roasted starches (26.06) (45.85) (15.53)1302399000 Mucilages & thickeners,whether or not modified,derived from vegetable products(5.25) (13.97) (6.40)3505200000 Glues based on starches/dextrins (10.45) (13.22) (4.48)
Neraca
Impor
Ekspor
HS URAIANUSD Juta Jan-Apr
Sumber : Pusdatin Kemendag (diolah Puska Daglu)
Produk Other dextrins & other modified starches (HS 3505.10.90.00);
Dextrins, soluble or roasted starches (HS 3505.10.10.00); Mucilages &
thickeners,whether or not modified,derived from vegetable products (HS
1302.39.90.00); dan Glues based on starches/dextrins (HS 3505.20.00.00) memiliki
nilai impor yang tinggi, namun bahan bakunya dapat diperoleh di Indonesia dan
tidak memerlukan pengolahan yang terlalu rumit, sehingga pasar dan potensinya
besar untuk dikembangkan di Indonesia. Dan bahkan Indonesia sudah melakukan
ekspor untuk keempat produk tersebut.
24
BAB IV
Analisis Pengembangan Industri Food Additives and Ingredients di Indonesia
Defisit neraca perdagangan dimulai pada tahun 2012, dan berlanjut di tahun
2013 dengan jumlah yang lebih besar. Sumber defisit sebenarnya berasal dari sisi
migas, sementara dari non migas masih mengalami surplus. Dari sisi non migas,
impor Indonesia didominasi oleh impor bahan baku penolong dan barang modal
yang mencapai 93%, sementara itu 77% diantaranya adalah bahan baku penolong.
Pemerintah sedang mengupayakan bagaimana cara untuk mengurangi impor bahan
baku dan penolong, karena beberapa produk bahan bakunya tersedia di Indonesia
sebagai contoh yang berbasis pati.
Pada tahun 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar
USD 1,7 M. Sementara itu, di periode Januari-Juni 2013 neraca perdagangan
kembali mengalami defisit sebesar USD 3,3 Miliar. Defisit pada Semester I 2013
terdiri atas defisit Migas sebesar USD 5,8 Miliar dan surplus Non Migas sebesar USD
2,5 Miliar. Data BPS juga menunjukkan bahwa selama Semester I 2013 impor Bahan
Baku dan Penolong mencapai USD 70,3 Miliar atau setara dengan 76,5% dari total
impor non migas Indonesia.
Indonesia telah menyusun program Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk menyelaraskan konektivitas dan
program pembangunan. Dengan adanya MP3EI maka akan terjadi distribusi
pembangunan dan sentra ekonomi di Indonesia.
Sementara itu, kontribusi konsumsi masih sangat besar terhadap PDB
Indonesia, terutama dari sektor makanan dan minuman. Namun pada tahun 2013,
pertumbuhan industri dan produksi makanan dan minuman sedikit melambat
karena adanya beberapa kebijakan baru di awal tahun.
Indonesia memiliki potensi bahan baku, namun pada kenyataannya saat ini
impor bahan baku penolong masih cukup tinggi. Beberapa fakta menunjukkan
bahwa pada tahun 2012 Indonesia merupakan importir tepung dan pati singkong
terbesar di dunia. Kondisi ideal bahan baku dan produk intermediate adalah sumber
25
bahan baku tersedia dan variatif, sesuai kebutuhan trend pasar (mutu, kesehatan),
skala ekonomis, pasokan berkelanjutan sesuai area, harga kompetitif, dan
traceability (ketelusuran). Hal tersebut merupakan peluang industri hulu bahan
pangan untuk mengembangkan bahan baku berdasarkan fungsinya.
Melihat kondisi rupiah Indonesia yang makin melemah, maka perlu ada
kebijakan yang segera diambil pemerintah. Jika kondisi ini berlanjut maka akan
berdampak pada defisit neraca pembayaran yang makin besar. Muara dari defisit
neraca pembayaran akan menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah
terhadap US Dollar.
Beberapa produk food additives yang nilai impornya tinggi, bahan bakunya
tersedia di Indonesia dan untuk pengolahannya tidak rumit, sehingga pasar dan
potensinya untuk dikembangkan di Indonesia cukup besar. Kebijakan pemerintah
untuk mengurangi impor bahan baku/barang modal dengan sejumlah insentif perlu
implementasi dimana sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pun turut menjadi
sasaran utama. Komitmen Pemerintah saat ini adalah mengurangi impor bahan
baku dan barang modal dengan menguatkan struktur industri hulu. Demi
mendongkrak investasi di sektor hulu, pemerintah berupaya memaksimalkan
pemberian tax holiday, khususnya untuk produksi mesin-mesin industri.
Singkong merupakan salah satu komoditas bahan baku penolong yang
digunakan untuk Food Additive and Ingredients yang banyak bersumber dari impor,
padahal sumber bahan baku komoditas tersebut tersedia di dalam negeri.
Kementerian Pertanian mencatat secara rata-rata dari tahun 2009 – 2013, terjadi
peningkatan produktivitas 3,70% dan produksi 1,83%, namun luas panen mengalami
penurunan 1,80%. Sedangkan produksi di tahun 2012 tercatat mencapai 24,2 juta
Ton dengan luas panen mencapai 1,2 juta Ha.
Industri berbasis pati dan karbohidrat belum berkembang dengan baik di
Indonesia karena pasokan bahan baku sektor pertanian belum mampu memenuhi
kebutuhan industri. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menjadi
momentum bagi industri pengolahan untuk memenuhi bahan baku dan penolong
yang bersumber dari dalam negeri. Penguatan ekonomi kecil dan menengah melalui
26
industri pengolahan berbasis pati akan mengurangi ketergantungan impor bahan
baku dan penolong sekaligus menumbuhkan kewirausahaan dan ekonomi
kerakyatan.
Dengan jumlah populasi sebesar 240 juta jiwa dan peningkatan pendapatan
perkapita, GAPMMI memprediksi pertumbuhan industri makanan dan minuman
akan terus tumbuh. Berdasarkan study McKinsey, industri makanan dan minuman
akan tumbuh 5,2% per tahun hingga tahun 2030 dengan jumlah kapitalisasi pasar
mencapai USD 194 Miliar di tahun 2030.
Pasokan produk pati/karbohidrat untuk Industri pengolahan masih belum memadai
baik dalam hal kualitas maupun kuantitas, sehingga sebagian produk hasil pertanian
untuk kebutuhan industri masih diimpor.
Sebagian besar produk pati/karbohidrat di produksi oleh petani pedesaan
yang tingkat kepemilikan tanahnya relatif kecil serta terpencar-pencar sehingga
menyulitkan untuk mengumpulkan hasilnya, yang berakibat pengiriman untuk
kebutuhan industri seringkali mengalami keterlambatan.
Membanjirnya produk impor (strach, sweetener, minyak jagung) dengan harga
relatif murah membuat industri dalam negeri sulit bersaing. Beberapa
permasalahan yang dihadapi antara lain aspek pasca panen dan pengolahan yang
masih menggunakan teknologi pengolahan produk masih tradisional dan belum
adanya standarisasi bahan baku, lemahnya aspek kelembagaan dan jaringan
pemasaran produk pati/karbohidrat, kurangnya minat investor di bidang industri
hilir ubi kayu, karena tidak ada jaminan bahan baku, serta belum adanya insentif
dan infrastruktur yang kurang memadai di sentra bahan baku menuju ke sentra
industri atau pemasaran.
Kementerian Pertanian sebagai instansi pembina telah melakukan beberapa
langkah pengembangan ubi kayu. Namun disadari bahwa terdapat beberapa
permasalahan yang dihadapi. Adapun permasalahan pengembangan produksi dan
konsumsi ubi kayu antara lain:
a. Pemilikan lahan sempit, modal usaha tani dan tenaga kerja keluarga terbatas
b. Siklus pertanaman yang panjang
27
c. Dukungan sistem pemasaran yang lemah
d. Teknologi inovatif belum optimal
e. Perbenihan
Selama periode 2009-2013 terjadi peningkatan produktivitas produksi ubi
kayu sebesar 3,70% dan peningkatan produksi sebesar 1,83%, sedangkan luas
panen mengalami penurunan 1,80% sebagai akibat alih komoditas, dari beberapa
provinsi sentra produksi, serangan OPT serta belum berkembangnya industri olahan
ubi kayu.
Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri hulu ubi kayu adalah
kurangnya ketersediaan bahan untuk pengembangan ubi kayu, penerapan teknologi
oleh petani belum optimal, capaian produktivitas hanya 20 ton/ha sedangkan
potensi mencapai 40 ton/ha, serta penyediaan benih unggul belum optimal dan
kesulitan mendaatkan bibit unggul bermutu.
Dalam sisi perdagangan menunjukkan adanya peningkatan impor disatu pihak
dan penurunan ekspor di sisi lainnya. Peningkatan impor disebabkan oleh besarnya
kebutuhan industri yang menggunakan bahan baku singkong; dihapuskannya
subsidi pajak pertambahan nilai yang ditanggung pemerintah pada tahun 2009
sehingga produk pangan berbahan baku gandum tidak terjangkau oleh rakyat.
Sedangkan penyebab terjadinya penurunan ekspor adalah produksi ubi kayu dalam
negeri sepanjang tahun tidak merata; kurang menariknya harga pada saat panen
raya serta belum optimalnya pemenuhan standard yang dinginkan oleh negara
tujuan ekspor.
Para petani singkong mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya. Hal
ini disebabkan karena Industri hilir yang bahan bakunya membutuhkan pati hanya
akan membeli pati dari para petani bukan dalam bentuk bahan mentah (singkong).
Dalam kaitan ini petani tidak memiliki permodalan dan teknologi pengolahan
sehingga tidak dapat memenuhi permintaan sektor industri hilir berbasis pati.
Kementerian Perindustrian turut memiliki peranan untuk mendukung
ketahanan pangan dengan melakukan pemantauan terhadap penyediaan, distribusi
dan konsumsi barang-barang industri hingga dapat dijangkau masyarakat. Industri
28
berbasis pati di Indonesia belum berkembang di Indonesia. Hampir semua bahan
baku yang dipergunakan oleh industri makanan adalah impor. Bahkan Indonesia
juga mengimpor seluruhnya bahan baku beras pecah, ketan pecah, dan gandum.
Produk yang memiliki potensi besar untuk dikembangakan antara lain ubi
kayu, tepung ubi kayu, tepung tapioka. Permasalahan dalam pengembangannya
antara lain produktivitas dan kontinuitas pasokan bahan baku masih rendah,
teknologi pengolahan masih tradisional, aspek kelembagaan dan pemasaran. Solusi
pengembangan: memperkuat kemitraan, memperbaiki penanganan pasca panen,
memfasilitasi penggunaan teknologi pengolahan yang efisien, diversifikasi produk,
promosi investasi industri hilir, meningkatkan efisiensi pemasaran. Perlunya
dukungan kebijakan untuk merangsang investor masuk ke industri ini.
Walaupun industri food additives and ingredients bukan merupakan industri
prioritas, Kementerian Perindustrian terus memberikan banyak dukungan terhadap
industri-industri pertepungan. Quartal 1 tahun 2013 pertumbuhan industri
makanan, minuman dan rokok hanya 1,75%, tidak seperti biasanya yang mencapai
3%. Hal ini memang karena beberapa kebijakan seperti sulitnya masuk bahan
hortikultura di awal tahun. Saat ini Indonesia mengalami kesulitan dalam
penyediaan lahan. Jika Indonesia berniat untuk menaikkan produksi jagung, maka
produksi kedelai atau beras akan turun, demikian juga sebaliknya, karena lahan
yang digunakan sama. Sekarang bagaimana meningkatkan produktivitas, karena
produktivitas Indonesia rendah.
Kementerian Keuangan sebagai instansi pembina kebijakan fiscal, telah
menyediakan berbagai insentif fiskal dalam bentuk PPN DTP, PPh DTP, dan BMDTP.
Namun, berbagai kebijakan fiskal tersebut kurang dimanfaatkan secara maksimal
oleh dunia usaha karena mereka khawatir akan berdampak pada tuntuntan
peningkatan gaji karyawan.
Disamping kebijakan tersebut di atas terdapat beberapa paket kebijakan fiskal
yang dapat mendukung kebijakan hilirisasi yaitu tax holiday, tax allowance, insentif
intermediate goods untuk mendorong industri dalam negeri, insentif pendidikan,
serta pajak penghasilan double reduction tax untuk memajukan penelitian dan
29
pengembangan. Yang dibutuhkan oleh pelaku usaha bukan hanya insentif,
melainkan lebih kepada penyediaan infrastruktur dan energi.
Program hilirisasi yang diluncurkan oleh Pemerintah dapat menciptakan
peluang lapangan kerja bagi masyarakat. Di sisi hulu terutama petani atau pelaku
Usaha Kecil dan Menegah belum mampu memproduksi barang bagi keperluan
industri hilir. Hal ini dikarenakan program-program pemerintah yang ada saat ini
tidak bersifat komprehensif dan melibatkan banyak instansi. Untuk itu, perlu
koordinasi antara kementerian/lembaga dengan para pemangku kepentingan yang
terkait. Selain itu, perlu pula diberikan insentif bagi UKM yang berorientasi pada
pasar dan memiliki prospek di masa depan.
Pembangunan Industri juga harus memberikan multiplier efek yang besar.
Walaupun terdapat optimisme dalam pembangunan bahan baku dan hilirisasi,
namun dibutuhkan kerja keras. Apabila dihubungkan dengan UKM maka akan
terdapat masalah yang sangat kompleks. Beberapa hal yang menyebabkan program
yang terkait dengan UKM tidak berjalan dengan baik yaitu program kegiatan tidak
bersifat holistic, capacity building yang tidak memadai, tidak didukung oleh
Pemerintah Daerah, serta program kegiatan tidak dimonitoring dan dievaluasi.
Untuk itu, diperlukan sebuah program bersama antar instansi terkait dalam
mengembangkan industri berbasis pati di Indonesia. Instansi terkait seperti
Kementerian Perindustrian, Kementerian UKM dan Koperasi, Kementerian
Pertanian, Kementerian Perdagangan, Asosiasi pelaku usaha Industri dan akademisi
dapat mengembangkan suatu kegiatan bersama secara komprehensif.
Masing-masing kementerian akan memiliki peran sesuai dengan kewenangan
dan tugas pokoknya. Kementerian Pertanian dapat memulai dengan menyediakan
lahan bagi pengembangan tanaman singkong, melakukan penyuluhan kepada
petani untuk menanam singkong varietas Adira-1, memberikan bantuan bibit dan
bantuan kredit pertanian serta bantuan pemasaran produk hasil pertanian.
Sementara itu, Kementerian UKM dan Koperasi dapat menghubungkan petani
dengan UKM untuk pengolahan hasil pertanian, memberikan bantuan kredit usaha
kecil, hingga pengenalan terhadap teknologi pengolahan kepada UKM.
30
Sedangkan Kementerian Perindustrian dapat mengembangkan teknologi dan
inovasi pengolahan, menghubungkan UKM dengan pelaku usaha industri sedang
dan besar, mengembangkan kebijakan wajib serap bahan baku industri dari dalam
negeri serta memberikan subsidi bagi industri yang memprioritaskan penggunaan
bahan baku dari dalam negeri.
Untuk mendukung semua itu, Kementerian Keuangan dapat memberikan
insentif pajak kepada pelaku usaha yang menggunakan bahan baku dari dalam
negeri, mengalokasikan anggaran Kredit Usaha Rakyat kepada petani dan UKM yang
mengembangkan industri berbahan baku lokal, serta subsidi bunga pinjaman grass
period.
Jika program tersebut dapat disetujui dan dilaksanakan oleh instansi-instansi
tersebut, maka akan dapat mengurangi ketergantungan atas bahan baku asal impor
sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan. Program ini akan memberikan
dampak berganda seperti menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat,
pengembangan UKM dan perekonomian wilayah pedesaan.
Gambar 2. Alur Kegiatan Pengembangan Industri Berbasis Pati Menurut
Kewenangan Instansi
Industri UKM Petani
• Peningkatan teknologi, innovasi,• Menghubungkan Industri dengan
UKM Kemenperin• Insentif pemakaian produk dalam
negeri Kemenkeu• Subsidi bunga pinjaman grass
period Bank, Per. Asuransi• Kebijakan wajib pakai bahan baku
dalam negeri Kemendag,Kemenperin
• Menghubungkan UKM denganpetani Kemen KUKM
• Bantuan kredit usaha bagi UKM Kemen KUKM
• Pengenalan teknologi daninnovasi pengolahan singkongmenjadi pati Kemen KUKM,Kemenperin
• Memberikan informasi pemasaranke industri dalam negeri berbahanbaku pati/ buyer di luar negeriKemen KUKM
• Penyediaan lahan seluas 17 ribuHa Kementan
• Penyuluhan ke petani untukmenanam singkong varietas Adira-1 Kementan
• Bantuan berupa pemberian bibitunggul, pupuk bersubsidi dankredit usaha bagi petaniKementan
• Memberikan jaminan gagal panendan stabilitas harga Kementan
• Membantu informasi pemasaranbaik ke UKM maupun ke industriberbahan baku pati Kementan
Penyerapannative starch
sebanyak170 ribu Ton
Penyerapansingkongsejumlah
375 ribu ton
Budidayasingkongvarietasadira-1
KemitraanIndustri-
UKM
KemitraanUKM-Petani
31
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
a. Selama periode 2009-2013 terjadi peningkatan produktivitas produksi ubi
kayu sebesar 3,70% dan peningkatan produksi sebesar 1,83%, sedangkan
luas panen mengalami penurunan 1,80% sebagai akibat alih komoditas, dari
beberapa provinsi sentra produksi, serangan OPT serta belum
berkembangnya industri olahan ubi kayu,
b. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh industri hulu ubi kayu adalah
kurangnya ketersediaan bahan untuk pengembangan ubi kayu, penerapan
teknologi oleh petani belum optimal, capaian produktivitas hanya 20
ton/ha sedangkan potensi mencapai 40 ton/ha, serta penyediaan benih
unggul belum optimal dan kesulitan mendaatkan bibit unggul bermutu,
c. Dalam sisi perdagangan menunjukkan adanya peningkatan impor disatu
pihak dan penurunan ekspor di sisi lainnya. Peningkatan impor disebabkan
oleh besarnya kebutuhan industri yang menggunakan bahan baku singkong;
dihapuskannya subsidi pajak pertambahan nilai yang ditanggung
pemerintah pada tahun 2009 sehingga produk pangan berbahan baku
gandum tidak terjangkau oleh rakyat. Sedangkan penyebab terjadinya
penurunan ekspor adalah produksi ubi kayu dalam negeri sepanjang tahun
tidak merata; kurang menariknya harga pada saat panen raya serta belum
optimalnya pemenuhan standard yang dinginkan oleh negara tujuan
ekspor,
d. Para petani singkong mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya.
Hal ini disebabkan karena Industri hilir yang bahan bakunya membutuhkan
pati hanya akan membeli pati dari para petani bukan dalam bentuk bahan
mentah (singkong). Dalam kaitan ini petani tidak memiliki permodalan dan
32
teknologi pengolahan sehingga tidak dapat memenuhi permintaan sektor
industri hilir berbasis pati,
e. Di sektor industri menunjukkan bahwa industri berbasis pati dan karbohidrat
belum berkembang dengan baik karena pasokan bahan baku sektor
pertanian belum mampu memenuhi kebutuhan industri hal ini terlihat dari
masih tingginya impor bahan baku beras pecah dan ketan pecah, jagung,
gandum dan raw sugar,
f. Kementerian keuangan telah emnyediakan berbagai insentif fiskal dalam
bentuk PPN DTP, PPh DTP, BMDTP, namun demikian berbagai kebijakan
fiskal tersebut kurang dimanfaatkan oleh dunia usaha karena mereka
khawatir akan berdampak pada tuntuntan peningkatan gaji karyawan,
g. Disamping kebijakan tersebut di atas terdapat beberapa paket kebijakan
fiskal yang dapat mendukung kebijakan hilirisasi yaitu tax holiday, tax
allowance, insentif intermediate goods untuk mendorong industri dalam
negeri, insentif pendidikan, serta pajak penghasilan double reduction tax
untuk memajukan penelitian dan pengembangan,
5.2. Rekomendasi
Dalam mengembangkan industri berbasis pati di Indonesia, perlu adanya
sinergi dan tindakan yang komprehensif antara instansi Pemerintah terkait dan
asosiasi pelaku usaha. Berikut ini program yang dapat dijalankan oleh masing-
masing instansi, yaitu:
a. Kementerian Pertanian
Menyediakan lahan pertanian bagi pengembangan budidaya singkong
seluas 17 ribu Ha
Fokus pada pengembangan varietas singkong jenis Adira-1 dan
penyuluhan kepada petani untuk menanam singkong varietas Adira-1
Memberikan bantuan berupa pemberian bibit unggul, pupuk bersubsidi
dan kredit usaha bagi petani
Memberikan jaminan gagal panen dan stabilitas harga
33
Membantu informasi pemasaran baik ke UKM maupun ke industri
berbahan baku pati
b. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menegah
Menghubungkan UKM dengan petani
Bantuan kredit usaha bagi UKM dengan menyertakan lembaga
keuangan mikro dan perbankan
Pengenalan teknologi dan inovasi pengolahan singkong menjadi pati
bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian
Memberikan informasi pemasaran ke industri dalam negeri berbahan
baku pati/ buyer di luar negeri bekerja sama dengan Kementerian
Perdagangan
c. Kementerian Perindustrian
Peningkatan teknologi dan inovasi dengan melibatkan pihak akademisi
dan asosiasi pelaku usaha
Menghubungkan Industri pengolahan dengan UKM
Insentif pemakaian produk dalam negeri bekerja sama dengan
Kementerian Keuangan
Subsidi bunga pinjaman dengan metode grass period dengan
melibatkan pihak perbankan dan perusahaan Asuransi sebagai penjamin
usaha
Kebijakan wajib pakai bahan baku dalam negeri antara Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Perindustrian
34
DAFTAR PUSTAKA
Badan Koordinasi Penanaman Modal. (2013, September 10). Komoditi Ubi Kayu. Diunduhdari www.bkpm.go.id /Komoditi%20Ubi%20Kayu%20-%20Regional%20Investment.htm
Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia 2008. Jakarta:Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik . (2011). Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia 2009. Jakarta:Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik .(2012). Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia 2010. Jakarta:Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2013). Statistik Industri Manufaktur 2011. Jakarta: Badan PusatStatistik.
Badan Pusat Statistik. (2013, September 13). Pertanian dan Pertambangan. Diambilkembali dari Badan Pusat Statistik Web site:http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. (2013). Kesiapan IndustriHulu Bahan Baku Dan Penolong Berbasis Pati /Karbohidrat Dalam Negeri.Disampaikan pada Seminar Upaya Mengatasi Defisit Neraca Perdagangan MelaluiPengembangan Usaha Bahan Baku & Penolong Berbasis Pati dalam Negeri,Rabu,tanggal 21 Agustus 2013 IPB ICC -Bogor.
Direktorat Industri Makanan Hasil Laut Dan Perikanan, Ditjen Industri Agro, KementerianPerindustrian. (2013). Kesiapan Industri Hilir Bahan Baku & Penolong BerbasisPati/Karbohidrat Dalam Negeri Nasional. Disampaikan pada Seminar StrategiPengembangan Substitusi Impor Dalam Upaya Mengatasi Defisit NeracaPerdagangan Indonesia pada IPB ICC Bogor, 21 Agustus 2013.
FAO. (2012). Food Outlook November 2012. FAO.
Kementerian Pertanian. (2012). Buletin Ubi Kayu.
Kompas.Com. (2013, February 4). News: Regional Pangan. Diambil kembali dariKompas.Com:http://regional.kompas.com/read/2013/02/04/20192019/Lampung.Penghasil.Ubi.Kayu.Terbesar.di.Tanah.Air
Tempo. (2012, Juli 17). TEMPO.CO. Retrieved September 5, 2013, from Industri BahanTambahan Pangan Lokal Masih Minim:http://www.tempo.co/read/news/2012/07/17/090417589/Industri-Bahan-Tambahan-Pangan-Lokal-Masih-Minim