analisis keberlanjutan wilayah transmigrasi … · forest cover due to land clearing for...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEBERLANJUTAN WILAYAH
TRANSMIGRASI PASANG SURUT
(Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa
di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
NURILLA ELYSA PUTRI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Keberlanjutan Wilayah
Transmigrasi Pasang Surut (Studi struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua
Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) adalah karya saya dengan arahan
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Nurilla Elysa Putri
NIM H152100101
ABSTRACT
NURILLA ELYSA PUTRI. SUSTAINABLE ANALYSIS OF TIDAL
REGION TRANSMIGRATION (Study of household income stucture and
carrying capacity in two villages in the district of Banyuasin, South
Sumatera). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S
BRATAKUSUMAH.
Since 1970 the transmigration area in the District of Banyuasin opened, the
population increased and as a result of that activities of the local community
certainly provided a change to the area sustainability condition. This study aims to
analyze the sustainability of the tidal area transmigration by analyzing the
economic security conditions (structure of household income and welfare status),
assessing the tidal land carrying capacity, and identifying the eco-social
conditions existed. This study is expected to provide knowledge to the public,
academics and researchers and policy makers is a transmigration area can be
developed or not. The method used is the calculation of household income in the
form of On Farm, OF Farm and Non Farm income, calculation of tidal land
carrying capacity, calculations of agrarian density and the ability to support the
life and descriptive identification of eco-social conditions. Result from the both
studied villages (Mekar Sari and Telang Rejo) showed that a shift in household
livelihoods from the main activities of the agricultural food (On Farm) to other
activities (Non Farm), the contribution of income from additional livelihood
activities of non-Farm were 57.98% and 63.04% in the villages Mekar Sari and
Telang Rejo respectively, this indicates a possible further decline in the focus of
the main livelihood On Farm, which is certainly threaten the sustainability of this
area as a buffer food. Results of land Carrying Capacity Assessment in the district
Banyuasin and sub-district Muara Telang were deficit (CCR <1), where the CCR
estimated for district by 0.4 and for sub-district by 0.6, in other words this means
it is no longer possible to construct expansive and exploratory land construction,
while Mekar Sari (1.018) and Telang Rejo (0.021) villages on alert status, which
means there is a balance between the land carrying capacity and the population
existence. Results of ecological conditions identification, showed a reduce in
forest cover due to land clearing for agriculture and settlements and infrastructure
development, thus the conservation and reforestation efforts are in need. Results
of the social conditions identification was indicated this area is quite conducive,
institutional village were developed, but not yet have a marketing corporation of
their agricultural products at the village level. Reflection results of the conceptual
theory from Christaller and Von Thunen suggests that the two villages were not
able to be a new development center and give spread effect at economic activity
for the surrounding hinterland. Policy implications that recommended from of this
study results is this area prospected to developed as a buffer food if the Non Farm
activities redirected to agriculture-based-food industry, as well as the need for
ground transportation access and agricultural marketing agencies.
Keywords: tidal region, transmigration, household income structure, carrying
capacity, socio ecology
RINGKASAN
NURILLA ELYSA PUTRI. Analisis Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi
Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa
Kabupaten Banyuasin). Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN
DAN DEDDY S BRATAKUSUMAH.
Sejak dibukanya daerah transmigrasi di Kabupaten Banyuasin pada tahun 1970
maka pertambahan populasi dan aktivitas masyarakat tentunya memberikan
perubahan terhadap kondisi keberlanjutan wilayah. Studi ini bertujuan menganalisa
keberlanjutan wilayah transmigrasi pasang surut melalui analisis kondisi ketahanan
ekonomi (struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga), menilai daya
dukung lahan pasang surut (Carrying capacity), serta mengidentifikasi kondisi
sosial ekologi yang ada didaerah tersebut. Studi ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan pada khalayak, akademisi dan peneliti serta pengambil kebijakan
apakah suatu wilayah transmigrasi dapat terus dikembangkan atau tidak, Metode
penelitian yang digunakan adalah perhitungan pendapatan rumahtangga berupa
pendapatan On Farm, OF Farm dan Non Farm, perhitungan carrying capacity
lahan pasang surut, perhitungan kepadatan agraris dan kemampuan mendukung
kehidupan, identifikasi kondisi sosial ekologi secara deskriptif. Hasil studi
menunjukkan bahwa di kedua desa studi yaitu desa Mekar Sari dan desa Telang
Rejo telah terjadi pergeseran mata pencaharian rumahtangga dari kegiatan utama
pertanian pangan (On Farm) ke kegiatan lain selain pertanian (Non Farm),
kontribusi pendapatan mata pencaharian tambahan Non Farm yaitu 57,98% di desa
Mekar Sari dan 63,04% di desa Telang Rejo, yang mengindikasikan adanya
kemungkinan semakin menurunnya fokus mata pencaharian On farm, yang
mengamcam keberlanjutan wilayah sebagai penyangga pangan. Hasil penilaian
Carrying Capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan
Muara Telang adalah Defisit karena CCR < 1, dimana CCR Kabupaten sebesar 0,4
dan CCR kecamatan sebesar 0,6, yang berarti tidak dimungkinkan lagi dilakukan
pembangunan yang bersifat ekspansif dan eksploratif lahan, sedangkan untuk desa
Mekar Sari (1,018) dan desa Telang Rejo (0,021) berada pada status waspada, yang
bearti masih ada keseimbangan antara daya dukung lahan dengan keberadaan
penduduk. Hasil identifikasi kondisi ekologi, terlihat bahwa tutupan hutan semakin
berkurang akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman serta
pembangunan infrastuktur, sehingga perlu adanya usaha konservasi dan reboisasi.
Hasil dari identifikasi kondisi sosial menunjukkan bahwa daerah ini secara sosial
cukup kondusif, namun belum memiliki kelembagaan pemasaran hasil pertanian di
tingkat desa. Hasil refleksi konseptual teori Christaller dan Von Thunen
menunjukkan bahwa kedua desa belum bisa menjadi pusat pertumbuhan baru dan
spread effect kegiatan ekonomi bagi hinterland disekitarnya. Implikasi kebijakan
yang disarankan dari hasil studi ini adalah wilayah ini masih berprospek
dikembangkan sebagai penyangga pangan jika kegiatan Non Farm diarahkan pada
kegiatan usaha produktif yang berbasis pada pertanian pangan.
Kata Kunci: Lahan pasang surut, Transmigrasi, Struktur Nafkah, Carrying
Capacity, sosial, ekologi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KEBERLANJUTAN WILAYAH
TRANSMIGRASI PASANG SURUT
(Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity di Dua Desa
di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
NURILLA ELYSA PUTRI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr
Judul Penelitian : Analisis Keberlanjutan Wilayah Tansmigrasi Pasang
Surut (Studi Struktur Nafkah dan Carrying Capacity
di Dua Desa di kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan)
Nama : Nurilla Elysa Putri
NIM : H152100101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr
Ketua
Dr. Ir. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc, M.URP
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga Tesis yang berjudul Analisis
Keberlanjutan Wilayah Transmigrasi Pasang Surut (Studi Struktur Nafkah dan
Carrying Capacity di Dua Desa di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan) dapat
diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, M.Sc.Agr dan Dr. Deddy S Bratakusumah, BE, M.Sc.M.URP yang
telah mencurahkan waktu, pemikiran dan memberi pengarahan dalam
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Bambang Juanda, MS sebagai ketua program studi PWD dan Dr. Ir. Ernan
Rustiadi, M.Agr sebagai penguji luar komisi yang memberi masukan bagi
kelengkapan penulisan ini.
Terima kasih kepada Rektor Universitas Sriwijaya dan Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan tugas belajar
kepada penulis di Institut Pertanian Bogor dan telah memberikan bantuan
pendanaan dalam penulisan dan penyelesaian Tesis ini.
Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kecamatan Muara Telang dan
Kepala Desa beserta segenap masyarakat Desa Telang Rejo dan Desa Mekar Sari
yang telah bersedia menjadi responden, Badan Pusat statistik (BPS) Sumatera
Selatan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dan Hortikultura, Stasiun Klimatologi
dan Geofisika Klas II Kenten yang telah membantu dalam penelitian ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada sumber kekuatan dan inspirasiku
suami tercinta Muhammad Sirajuddin S.IP, serta anak-anak tersayang Ananda Siti
Aisyah dan Adinda Rameyza Elya atas segala pengertian dan kesabaran dengan
begitu banyak pengorbanan waktu kebersamaan yang hilang dalam menempuh
studi dan meyelesaikan Tesis. Sumber Doa yang terus mengalir tiada henti dari
kedua orang tuaku, Ayahanda H. Alysa Husin dan Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati
terimakasih atas pengorbanan dan dukungannya selama ini, semoga Allah SWT
senantiasa memberi kelimpahan ridho dan keberkahan bagi kita semua.
Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Ir. Yulian Junaidi, MSi serta
mahasiswaku di Jurusan Sosial Ekonomi Unsri Tanjung dan Edwin yang telah
membantu penulis dalam pengambilan data dan survey di lapangan. Kepada para
sahabat: Sukma, Dyah, Rezi, Eka dan Sanda terima kasih atas bantuan dan
kebersamaan yang senantiasa diberikan, beserta semua Sahabat S2 dan S3 PWD
lintas angkatan terima kasih atas kebersamaan selama perkuliahan, berdiskusi,
seminar, maupun kunjungan lapang yang pernah kita lalui bersama, banyak
kenangan manis yang tidak terlupakan.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan karena banyaknya keterbatasan, oleh karenanya dengan segala
kekurangan penulis mengharapkan saran bagi perbaikan tesis ini untuk
pengembangan pada penelitian berikutnya. Semoga karya kecil ini dapat
memberikan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.
Bogor, Juli 2012
Nurilla Elysa Putri
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal
4 Juli 1978. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak
H. Alysa Husin, Ibunda Hj. Nyimas Nurhayati, Menikah dengan Muhammad
Sirajuddin, S.IP dan saat ini dikaruniai dua orang anak yakni Ananda Siti Aisyah
dan Adinda Rameyza Elya. Saat ini bertempat tinggal di Griya Cipta Pratama
Blok J No.10 Sako Palembang. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar
Negeri 249 Palembang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama Negeri 14
Palembang pada tahun 1993, Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Palembang pada
tahun 1996. Pada tahun 2000 penulis menamatkan program S1 Program Studi
Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,
pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2000-2007 penulis bekerja pada PT. Tiga
Raksa Satria, Tbk, dan sejak tahun 2008 hingga saat ini Penulis bekerja sebagai
Pengawai Negeri Sipil pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Universitas Sriwijaya sebagai Tenaga Pengajar.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 11
1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 13
2.1. Konsepsi Lahan Pasang Surut ...................................................... 13
2.2. Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung) ............................... 15
2.3. Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial ..................... 18
2.3.1. Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan .......................... 18
2.3.2. Kondisi Ekologi ................................................................. 21
2.3.3. Kondisi Sosial .................................................................... 24
2.4. Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut ............ 25
2.4.1. Pengembangan Wilayah Pasang Surut ................................ 25
2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut .................................. 27
2.5. Penelitian Terdahulu .................................................................... 29
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................... 33
3.1. Kerangka Teoritis ........................................................................ 33
3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity (Daya Dukung Lahan) ....... 33
3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan........................ 35
3.1.3 Kondisi Sosial Ekologi ....................................................... 37
ii
3.1.4 Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut .................................. 39
3.1.5 Teori Christaller ................................................................ 41
3.1.6 Teori Von Thunen ............................................................. 42
3.2. Kerangka Operasional .................................................................. 44
3.3. Hipotesis ...................................................................................... 45
3.4. Batasan Operasional ..................................................................... 45
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................... 47
4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 47
4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 47
4.3. Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 48
4.4. Metode Analisis Data ................................................................... 49
4.4.1. Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan ............. 49
4.4.2. Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity/CCR) ............... 51
4.4.3. Pengukuran Kepadatan Agraris ........................................... 53
4.4.4. Analisis Kualitatif ............................................................... 54
4.4.5. Matriks Penelitian ............................................................... 55
BAB V KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ........................... 57
5.1. Kondisi Fisik ................................................................................ 57
5.1.1. Letak, Batas dan Luas Wilayah ........................................... 57
5.1.2. Topografi dan Hidrologi ..................................................... 59
5.1.3. Iklim dan Curah Hujan ....................................................... 61
5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ............................................ 62
5.2.1. Penduduk............................................................................ 62
5.2.2. Mata Pencaharian ............................................................... 64
5.2.3. Pendidikan .......................................................................... 65
5.3. Transmigrasi ................................................................................ 66
5.4. Sektor Pertanian ........................................................................... 67
5.4.1. Pertanian Tanaman Pangan ................................................. 67
5.4.2. Perkebunan ......................................................................... 68
5.5. Kelembagaan Petani ..................................................................... 68
iii
BAB VI STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA DAN TINGKAT
KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA
(ANALISIS MAKRO) ................................................................. 71
6.1. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ............... 71
6.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo .............. 77
6.3. Struktur Nafkah Rumahtangga dan Keberlanjutan Ekonomi
Wilayah ....................................................................................... 83
6.3.1 Struktur Nafkah Rumahtangga ........................................... 83
6.3.2 Klasifikasi Status kesejahteraan Rumahtangga Responden . 88
6.3.3 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah ........................................ 97
6.4. Ikhtisar......................................................................................... 100
BAB VII DAYA DUKUNG (CARRYING CAPACITY) LAHAN,
KEPADATAN AGRARIS, DAN KONDISI SOSIAL EKOLOGI
(ANALISIS MAKRO) ................................................................ 105
7.1. Kondisi Wilayah pasang Surut Kabupaten Banyuasin .................. 105
7.2. Kemampuan Daya Dukung Lahan ............................................... 107
7.2.1 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut
Kabupaten Banyuasin ......................................................... 107
7.2.2 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut
Kecamatan Muara Telang ................................................... 108
7.2.3 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut
Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo ............................. 110
7.3. Kepadatan Agraris dan Kemampuan Mendukung Kehidupan ....... 114
7.3.1 Kepadatan Agraris ............................................................. 114
7.3.2 Kemampuan Mendukung Kehidupan ................................. 117
7.4. Kondisi Sosial .............................................................................. 119
7.4.1 Keadaan Sosial Desa Mekar Sari ....................................... 120
7.4.2 Keadaan Sosial Desa Telang Rejo ..................................... 121
7.5. Kondisi Ekologi ........................................................................... 124
7.5.1 Kondisi Lahan Pasang Surut .............................................. 124
7.5.2 Kondisi Perairan Wilayah Pasang Surut ............................. 126
iv
7.5.3 Perubahan Iklim Wilayah Pasang Surut ............................. 128
7.6. Ikhtisar ........................................................................................ 130
BAB VIII REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN
WILAYAH KEDEPAN ............................................................. 133
8.1. Refleksi Teori Christaller ............................................................. 133
8.2. Refleksi Teori Von Thunen .......................................................... 139
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 143
9.1. Kesimpulan ................................................................................. 143
9.2. Saran ........................................................................................... 144
9.3. Implikasi Kebijakan ..................................................................... 145
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 147
LAMPIRAN ................................................................................................ 149
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan Luas yang dikembangkan
dengan bantuan pemerintah………………………………………………. 2
2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya ....………………………….... 3
3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta
program Rice Estate di Kabupaten Banyuasin........................................... 5
4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin........................ 30
5 Matriks Penelitian………………………………………………………... 55
6 Jumlah Desa/Kelurahan di Wilayah Penelitian Tahun 2010 ...................... 57
7 Jumlah Penduduk Desa/Lokasi Penelitian ................................................ 62
8 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian di Desa/Lokasi Penelitian ... 63
9 Jumlah Penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan,
Kabupaten Banyuasin, 2010 .................................................................... 64
10 Penempatan Transmigran di Kabupaten Banyuasin
5 tahun terakhir ....................................................................................... 65
11 Luas dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuasin ....... 67
12 Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ................ 72
13 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari ........... 74
14 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari dengan Frekuensi Panen................................................. 76
15 Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ....................... 78
16 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari............. 82
17 Perbandingan Pendapatan Total/Th Rumahtangga Responden Berdasarkan
Kegiatan Mata Pencaharian......................................................................... 86
18 Status Kesejahteraan Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga.... 87
19 Perbandingan Struktur Pendapatan Total/Th (Rp) Rumahtangga
Responden……………………………………………………………… 90
20 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari .............. 91
21 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo ............ 92
vi
22 Tingkat Pendapatan dan Kegiatan Mata Pencaharian Rumahtangga ........ 94
23 Hasil perhitungan CCR lahan sawah pasang surut Kabupaten Banyuasin 107
24 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang . 108
25 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari
dan Desa Telang Rejo Tahun 2011 ........................................................ 111
26 Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Kehidupan ................................... 115
27 Kemampuan mendukung kehidupan lokasi Penelitian ............................ 117
28 Hasil identifikasi kondisi sosial di desa Mekar Sari dan Telang Rejo ...... 119
29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin .................................. 128
30 Refleksi hasil studi pada teori Christaller ................................................ 136
31 Refleksi hasil studi pada teori Von Thunen............................................. 139
32 Perbandingan Carrying Capacity Lahan Pasang Surut ............................ 141
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut
pandang infrastruktur pengairan) ............................................................ 7
2 Bagan Alur Pemikiran Dalam Penelitian ................................................. 44
3 Peta Kabupaten Banyuasin ...................................................................... 47
4 Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk, 2012 ..................................... 63
5 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012............................................................................... 71
6 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012 ............................................................................ 73
7 Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012 ....................................... 74
8 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Mekar Sari, 2012 .. 75
9 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga
Responden Desa Telang Rejo, 2012 ........................................................ 77
10 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Telang Rejo, 2012………………………………………………….. 79
11 Sebaran Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012……………….... 80
12 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Telang Rejo, 2012 81
13 Box plot Distribusi Pendapatan pertahun Rumahtangga, 2012………...... 84
14 Perbandingan Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden, 2012 ........ 86
15 Perbandingan Struktur Pendapatan Pertahun Rumahtangga Responden,
2012 ...................................................................................................... 89
16 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Mekar Sari, 2012 ....................... 90
17 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Telang Rejo, 2012 ...................... 92
18 Perbandingan Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Berdasarkan Klasifikasi Kelas Rumahtangga, 2012 ................................. 95
19 Skema Peningkatan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah...... 98
20 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kabupaten Banyuasin ,
2009-2010……………………………………………………………….. 108
21 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kecamatan Muara Telang,
Kabupaten Banyuasin, 2009-2010………………………………………. 109
viii
22 Perbandingan Carrying Capacity Lahan Desa Mekar sari dan
Desa Telang Rejo, 2010………………………………………………….. 111
23 Perbandingan Carrying Capacity Desa, Kecamatan dan Kabupaten ,
2010……………………………………………………………………… 112
24 Perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah, 2011………………... 114
25 Perbandingan Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan……… 116
26 Perbandingan Daya Dukung Vs UMR Vs Kebutuhan Hidup, 201……… 118
27 Kondisi Jalan Desa,2012…………………………………………........... 123
28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006...................... 125
29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012…………………………… 127
30 Kondisi lingkungan Desa Telang Rejo, 2012…………………………… 129
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner………………….…………………………………………........ 155
2 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Mekar Sari ........................... 168
3 Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Telang Rejo………………. 169
4 Scatter Plot sebaran Pendapatan Rumahtangga responden desa Mekar Sari
dan Telang Rejo………………………………………………………..... 170
5 Perhitungan Carrying Capacity (CCR)..................................................... 171
6 Perhitungan Kepadatan Agraris dan daya Dukung Kehidupan .................. 172
7 Sebaran Normal Pendapatan Rumahtangga Responden ............................ 173
8 Peta Rupa Bumi Kecamatan Muara Telang, Bakosurtanal 1969 ............... 174
9 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Mekar Sari ............................................ 175
10 Dokumentasi Lokasi Studi Desa Telang Rejo ........................................... 176
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pedesaan merupakan pendekatan multifaset dan
komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang menyangkut aspek sosial,
norma, sumber daya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
buatan) dan juga aspek pasar dan pengambilan keputusan di tingkat lokal. Konsep
pembangunan pada tatanan ini bukan saja mementingkan pada pertumbuhan
ekonomi namun juga kualitas pembangunan yang mempertahankan daya dukung
sumber daya alam dan lingkungan serta nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom)
yang dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi (Sumardjo, 2010).
Transmigrasi yang diselenggarakan sejak tahun 1970/1971 berdasarkan
kebijakan yang tercantum dalam REPELITA I, merupakan usaha penyediaan
lapangan kerja yang terkait proyek-proyek pembangunan di daerah kurang padat
penduduk. Program penempatan transmigrasi berhubungan dengan program
peningkatan produksi khususnya peningkatan produksi pangan, dengan prioritas
lain melalui penempatan transmigran pada proyek-proyek perluasan areal sawah
pasang surut di Sumatera dan Kalimantan. Penempatan lokasi transmigasi
dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan prasarana jalan dan pengairan
yang diperlukan untuk usaha peningkatan produksi.
Pada masa orde baru tujuan utama transmigrasi tidak semata-mata
memindahkan penduduk dari pulau Jawa keluar Jawa, namun ada penekanan pada
tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan.
Paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi sudah jauh berbeda dengan
paradigma lama, hal ini terjadi dengan dikeluarkannya Undang-undang No 5
Tahun 1997, tentang Pelaksanaan Transmigrasi tidak lagi difokuskan pada
masalah penyebaran penduduk, tetapi bergeser pada pengembangan ekonomi dan
pembangunan daerah.
2
Dalam Kerangka Pembangunan Nasional, transmigrasi diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun
budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi ekspor. Produksi
pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita
pembangunan, selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah
tujuan semenarik mungkin sehingga banyak penduduk tertarik untuk pindah dari
pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya yang padat penduduk dengan biaya mandiri
tanpa tergantung pada pemerintah.
Tabel 1 Distribusi lahan rawa di Indonesia dan luas yang dikembangkan dengan
bantuan pemerintah
Lokasi Total lahan rawa secara Nasional Total lahan yang sudah
dikembangan
Pasang
Surut (ha)
Lebak
(ha)
Total (ha) Pasang
Surut(ha)
Lebak
(ha)
Total
(ha)
Sumatera 6.604.000 2.766.000 9.370.000 691.704 110.176 801.880
Kalimantan 8.126.900 3.580.500 11.707.400 694.935 194.765 889.700 Sulawesi 1.148.950 644.500 1.793.450 71.835 12.875 84.710
Papua 4.216.950 6.305.770 10.522.720 - 23.710 23.710
Total 20.096.800 13.296.770 33.393.570 1.458.474 341.526 1.800.000 Sumber : Dit Rawa dan Pantai, Ditjen Pengairan, Departemen PU, 2009.
Di Indonesia, setidaknya ada dua wilayah yang memiliki lahan pasang
surut yang besar, yaitu di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Dari tabel diatas
terlihat bahwa total lahan yang telah dikembangkan di Sumatera (691.704 ha)
untuk lahan pasang surut hampir sama dengan total lahan yang telah
dikembangkan di Kalimantan (694.935ha), padahal total lahan pasang surut yang
tersedia di Sumatera (6.604.000 ha) lebih kecil dibanding total lahan pasang surut
yang tersedia di Kalimantan (8.126.900 ha), hal ini mengindikasikan bahwa
pemanfaatan lahan pasang surut di Sumatera telah berkembang pesat dan meluas
seiring pertambahan populasi yang lebih besar dari pada di Kalimantan, sehingga
permasalahan daya dukung lahan (carrying capacity) perlu menjadi perhatian di
wilayah ini.
Di Provinsi Sumatera Selatan wilayah pasang surut terbesar terdapat di
Kabupaten Banyuasin. Hampir 80 persen dari wilayah Kabupaten Banyuasin
merupakan daerah sawah pasang surut. Pasang surut merupakan lahan marjinal
yang tidak cocok untuk kepentingan industri, tapi cocok untuk tanaman pangan,
3
padi, palawija, dan kelapa. Bisa juga untuk kepentingan perkebunan, seperti
kelapa sawit. Dari klasifikasi lahan, pasang surut itu memiliki tipe beragam
dengan kepentingan sama, yakni untuk lahan pangan dan pertanian khususnya. Di
Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut yang tersebar di
sembilan daerah, seperti di Telang I, Telang II, Muara Padang, Air Saleh, Makarti,
Sugihan Kiri, Pulau Rimau, Karang Agung Ilir, Karang Agung Tengah, dan
Karang Agung Ulu.
Pengembangan daerah rawa di Sumatera Selatan secara besar-besaran oleh
pemerintah telah dimulai sejak tahun 1960 sampai tahun 1970 melalui program
transmigrasi. Sebelumnya daerah rawa hanya diusahakan oleh rakyat yang
merupakan penduduk asli maupun pendatang seperti pedagang dari suku bugis
dan hanya terbatas didaerah pinggiran sungai saja.
Tabel 2 Luas lahan sawah dirinci menurut jenisnya
No Kabupaten /Kota
Tadah Hujan Pasang Surut
Frekuensi penanaman Jumlah Frekuensi
penanaman
Jumlah
Satu
kali
Dua
kali
Satu
kali
Dua
kali
1 OKI 484 386 870 - - -
2 OKU 24.749 12.258 37.007 8.428 130 8.558
3 Muara Enim 4.148 615 4.779 - - - 4 Lahat 2.194 126 2.320 - - -
5 Musi Rawas 2.664 3.655 6.319 - - -
6 Musi
Banyuasin
296 183 479 21.560 1.077 22.637
7 Banyuasin 1.719 - 1.719 117.026 5.655 122.681
8 OKU Selatan 317 862 1.179 - - -
9 OKU Timur 14.127 13.587 27.714 - - - 10 Ogan ilir 366 - 366 - - -
11 Palembang 114 - 114 - - -
12 Prabumulih - 50 50 - - -
13 Pagaralam 200 - 200 - - - 14 Lubuk
linggau
98 446 544 - - -
Jumlah/Total 51.512 32.168 83.680 147.014 6.862 153.876 Sumber : Badan pusat Statistik, 2008
Pada Tabel 2 diatas, terlihat bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan
penghasil padi sawah pasang surut terbesar di Sumatera Selatan, terbukti dengan
luas lahan sawah pasang surut sebesar 122.681 ha pada tahun 2005, yang
setidaknya diproyeksi telah mengalami perluasan di tahun 2011 ini, bahkan
4
mengalahkan luas lahan irigasi teknis di kabupaten Ogan Komering Ulu sebesar
37.007 ha di tahun 2005 tersebut, hal ini membuktikan bahwa potensi lahan
pasang surut di Kabupaten Banyuasin sangatlah besar terutama dalam
berkontribusi mewujudkan Sumatera Selatan sebagai lumbung pangan, serta
pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin sendiri khususnya melalui
komoditi unggulan penghasil padi sawah.
Seiring dengan otonomi daerah, maka visi dan misi kabupaten Banyuasin
untuk menjadi “pusat pertumbuhan ekonomi yang ekslusif bagi propinsi Sumatera
Selatan” dilakukan melalui upaya memberdayakan masyarakat untuk dapat berdiri
sendiri, dengan potensi lahan pasang surut, rawa dan lebak yang mendominasi
hingga 80% wilayah Kabupaten Banyuasin, diharapkan mampu mewujudkan visi
tersebut, terutama terhadap kontribusinya sebagai lumbung pangan di Sumatera
Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan ketersediaan sektor hilir yang
menyokong hasil produksi di sektor hulu, dan pengembangan sektor hilir ini
dilakukan tanpa mengurangi produktivitas pertanian tanaman pangan (padi) yang
menjadi basisnya.
Kenyataan yang terjadi sejak adanya transmigrasi di daerah ini, maka
populasi penduduk seiring berjalannya waktu telah mengalami peningkatan yang
cukup besar, dan keterbatasan lahan menjadi permasalahan baru di daerah ini,
lahan yang tersedia telah termanfaatkan secara optimal, sehingga masalah daya
dukung (carrying capacity) lahan mulai menjadi perhatian, keterbatasan daya
dukung lahan merambah pada permasalahan ekonomi, dimana pendapatan petani
sawah dilahan pasang surut terancam mengalami penurunan akibat fragmentasi
lahan seiring pertambahan penduduk yang cukup besar dan kepadatan agraris
yang semakin meningkat. Dan permasalahan ekonomi yang berhubungan dengan
pendapatan menghadapkan masyarakat setempat pada pemilihan alternatif mata
pencarian selain kegiatan pertanian (non farm) yang kemudian menimbulkan
masalah baru beralihnya mata pencarian masyarakat dari bertani (on farm) ke
kegiatan industri lainnya (off farm) yang berpotensi menyebabkan penurunan
produksi padi didaerah tersebut, seperti terlihat pada Tabel 3.
5
Tabel 3 Karakteristik Rumahtangga Petani Peserta dan Non-Peserta program
Rice Estate di Kabupaten Banyuasin No Karakteristik Rumahtangga Rata-rata
Peserta Non-Peserta
1 Pendidikan Kepala Keluarga (th) 6.5 6.9
2 Pendidikan istri (th) 5.9 6.2 3 Umur Kepala Keluarga (th) 44.7 43.0
4 Umur Istri (th) 36.7 35.3
5 Luas lahan (ha) 2.4 2.0
6 Jumlah anggota keluarga (org) 3 3 7 Pengalaman KK berusahatani (th) 29.7 28.0
Sumber : Data Primer diolah (dalam Chuzaimah, 2006)
Lahan adalah aset terpenting bagi rumahtangga petani karena merupakan
sumber pangan keluarga dan sumber mata pencaharian yang berbasis lahan. Tabel
diatas menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan per rumah tangga petani peserta
adalah 2,4 hektar dan non peserta 2 hektar. Baik peserta maupun non peserta
sebagian besar adalah petani transmigrasi yang berasal dari jawa, yang pada awal
penempatannnya mendapatkan lahan dari pemerintah seluas 2,25 hektar. Hal ini
menunjukkan bahwa para petani telah memanfaatkan lahan usahatani yang
dimiliki secara maksimal. Jika di fragmentasikan dengan jumlah anggota
keluarga, maka lahan yang dimiliki perkapita adalah 0,8 ha/kapita untuk perserta
rice estate dan 0,6 ha/kapita bagi non peserta rice estate, hal ini mengindikasikan
bahwa para petani ini adalah petani gurem atau peasant yaitu petani yang meiliki
lahan kecil dan kurang dari 1 ha, yang jika dibiarkan akan mengancam ketahanan
ekonomi rumahtangga para petani di wilayah ini, sehingga untuk mencukupi
kebutuhan para petani ini akan beralih ke mata pencarian lain, yang menyebabkan
timbulnya masalah sosial berupa kemiskinan, perebutan penguasaan lahan
(konflik), migrasi, dan sebagainya.
Jika masalah ekonomi dan peralihan mata pencarian ke sektor lain terjadi
secara meluas, maka ketahanan pangan mulai terancam, dan otomatis akan timbul
berbagai permasalahan sosial dan kerusakan ekologi. Untuk itu diperlukan suatu
konsep atau strategi dalam mengantisipasi timbulnya permasalahan -permasalahan
tersebut, suatu strategi dalam mengembangkan wilayah berbasis carrying capacity
(daya dukung lahan) dan peningkatan kesejahteraan petani di daerah pasang surut
Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan untuk tujuan pembangunan wilayah yang
6
berkelanjutan (sustanaibility) dengan memperhatikan aspek penting dalam
keberlanjutan wilayah yaitu ekonomi, ekologi dan sosial.
Dari sisi pengembangan wilayah, Kabupaten Banyuasin merupakan
kabupaten yang relatif baru akan tetapi telah melangkah maju dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya. Adanya kawasan Tanjung api-api sebagai salah
satu bagian wilayah Kabupaten Banyuasin disinyalir akan menjadi kawasan
strategis yang berpotensi mengangkat dan meningkatkan sumberdaya Kabupaten
Banyuasin sebagai kabupaten otonom dan mandiri. Selain itu dengan
ditetapkannya perencanaan kawasan lain yang telah disepakati (commited plan)
diharapkan mampu mendorong tumbuhnya perekonomian wilayah serta
menumbuh kembangkan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan regional di
wilayah Kabupaten Banyuasin, khususnya di sektor industri yang berbasis kepada
ekonomi lokal.
1.2 Rumusan Permasalahan
Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian dengan tingkat produktivitas dan pendapatan usaha
yang relatif rendah, sehingga kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan
banyak terdapat di pedesaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya
pengentasan kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan harus dilakukan
dengan membangun pertanian dan pedesaan, yang merupakan tantangan kedepan
untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) melalui pembangunan
pertanian dengan segala karakteristik dan spesifikasi masalahnya yang tersebar
merata hampir diseluruh wilayah pedesaan (Bappenas, 2010).
Persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan masa
yang akan datang adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan
iklim global; terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan
air; sedikitnya status dan kecilnya luas kepemilikan lahan; lemahnya sistem
pembenihan dan perbibitan nasional; keterbatasan akses petani terhadap
permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani; lemahnya kapasitas dan
kelembagaan petani dan penyuluh; masih rawannya ketahanan pangan dan
ketahanan energi; belum berjalannya diversifikasi pangan; rendahnya nilai tukar
7
petani (NTP), dan belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan
pertanian (Bappenas, 2010).
Peranan sektor pertanian yang semakin menyusut dalam pembentukan
PDB ternyata tidak disertai dengan mengecilnya peranan dalam penyerapan
tenaga kerja, apabila dibandingkan antara kecepatan penurunan pangsa pertanian
dalam PDB dengan kecepatan penurunan penyerapan tenaga kerjanya, maka dapat
diduga bahwa pendapatan relatif tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian
cenderung semakin tertinggal dibanding sektor lain (industri, perdagangan atau
jasa) (Harianto, 2011).
Gambar 1 Prediksi Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional (dari sudut
pandang infrastruktur pengairan) Sumber: Menko Ekonomi, 2009 dan BAPPENAS et al., 2002, dalam Susanto, 2010
Upaya optimalisasi lahan untuk ketahanan pangan harus dilakukan, dan
salah satu upaya tersebut adalah pemanfaatan wilayah pasang surut sebagai areal
persawahan, yang merupakan sumberdaya alam terbesar di Indonesia terutama di
Sumatera dan Kalimantan. Optimalisasi lahan rawa pasang surut untuk produksi
pangan misalnya terbukti telah mampu meningkatkan produksi lahan per hektar
per musim bahkan juga meningkatkan indeks pertanaman dari satu kali (IP100)
menjadi dua sampai tiga kali per tahun (IP200, IP300). Bahkan di beberapa
tempat seperti di Telang I, Kabupaten Banyuasin produksi padi dapat mencapai 7
8
sampai 8 ton GKP per hektar dan sudah 2-3 kali tanam (padi-padi-jagung) dalam
setahun (Susanto, 2010).
Secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang
surut mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Kendala
biofisik dicerminkan dari sifat fisika kimia lahan, seperti rendahnya kesuburan
tanah dan pH tanah, adanya zat beracun (alumunium, besi, hydrogen sulfide dan
natrium) dan lapisan gambut, terjadinya kekeringan / genangan air dan intrusi air
asin, kendala sosial ekonomi meliputi keterbatasan modal, tenaga kerja, tingkat
pendidikan petani yang rendah, kondisi sarana dan prasarana yang kurang
memadai, rendahnya harga hasil pertanian dan kurangnya dukungan eksternal
seperti kelembagaan untuk penyediaan modal, sarana produksi dan pemasaran
hasil (Pramono, 2003).
Memprioritaskan pertanian pasang surut justru low cost dan cukup dengan
simple technology. Sehingga secara matematisnya akan lebih menguntungkan jika
mengoptimalkan lahan pasang surut, ketimbang irigasi teknis. Sebab, di daerah
pasang surut, sumber daya manusianya sudah tersedia, teknologinya sederhana
dan tidak harus memulai dari awal. Berbeda dengan irigasi teknis yang harus
mencetak sawah terlebih dulu, kapasitasnya terbatas dan begitu pula lahannya,
seperti kutipan berikut ini:
“Di Banyuasin terdapat sekitar 265 ribu hektar lahan pasang surut
dari jumlah tersebut yang sudah bisa ditanami 150 ribu hektare.
Sudah ada saluran primer, sekunder, dan pintu-pintu air. Sisanya
belum bisa ditanami, karena irigasinya banyak yang dangkal. Pintu-
pintu airnya banyak yang rusak. Sehingga menjadi lahan tidur.
Diantara yang telah ditanami ada pula yang dimanfaatkan untuk
kelapa sawit, selain padi. Kendati banyak yang rusak, dari lahan
pasang surut ini Banyuasin mampu ikut menopang stok pangan
Sumsel sebesar 28 persen. Andai saja dari luas yang ada itu bisa
dimanfaatkan optimal, maka Sumsel yang sudah mencanangkan diri
menjadi Lumbung Pangan itu, jelas tak lagi sekadar bermimpi”
“Kondisi Sumsel memang dilematis. Di satu sisi memproklamirkan
diri sebagai lumbung pangan, tapi di sisi lain daerah penyangga
pangan seperti pasang surut itu kurang mendapat perhatian.
Pemerintah pusat, khususnya Menteri Pertanian belum melihat
greget pasang surut” ( http://www.suarakarya-online.com, 2007).
9
Kurangnya perhatian dalam pengelolaan lahan gambut terhadap prinsip-
prinsip ekologi dan karakteristik ekosistem gambut, mengakibatkan timbulnya
beragam masalah seperti rusaknya produktivitas lahan gambut, hilangnya
keaneragaman hayati, kebakaran hutan dan asap, banjir terus menerus diluar
musim hujan, tanah sulfat masam, masalah sosial ekonomi, hilangnya mata
pencaharian masyarakat dan dampak lanjutan yang ditimbulkan. Akibatnya,
pengelolaan hutan rawa gambut yang ramah lingkungan dan berkelanjutan masih
sangat jauh dari harapan, yang masih berlangsung hingga kini adalah eksploitasi
ekosistem lahan gambut yang mengakibatkan dampak buruk yang luas terhadap
ekosistem, lingkungan dan dampak ekonomi ikutan (Simbolont, 2011).
Pendekatan seperti ini ditegaskan dalam Undang-Undang No 41 tahun
2009 tentang ”Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”. Dimana
salah satu pertimbangan yang dikemukakan yaitu bahwa makin meningkatnya
pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan
terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah
mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju
upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut sehingga tercapai tiga tujuan
utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi
serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan
usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan,
dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan
program partisipatif.
Menurut Miettinen & Liew (2010) dalam Simbolont (2011), hanya sekitar
3,6 persen dari seluruh hutan rawa gambut Sumatra dan Kalimantan yang masih
alami dan sekitar 7,7 persen yang masih dapat disebut sebagai sedikit terganggu,
sedangkan sisanya sudah terdegradasi atau bahkan telah dikonversi menjadi lahan
pertanian atau perkebunan dan pemukiman. Salah urus pengelolaan gambut dalam
sejarah lingkungan Indonesia berperan dalam menyebabkan kerusakan
lingkungan.
10
Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan tarik menarik kepentingan
sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas
dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Bukan hal yang mudah
untuk menggambarkan desa masa depan, karena proses proses transformasi sosial
di kawasan pedesaan (lokalitas) berjalan amat sangat cepat dan membawa
konsekuensi perubahan sangat substansial pada aspek kehidupan lokal (Castel,
2001 dalam Dharmawan 2011).
Mengingat pentingnya pengamanan lahan-lahan sawah produktif sebagai
penghasil komoditi unggulan di Kabupaten Banyuasin yaitu padi atau beras, maka
ketersediaan lahan dan kebutuhan lahan merupakan faktor utama yang harus
diperhatikan, namun seiring pertambahan jumlah penduduk, maka fragmentasi
dan konversi lahan pun terjadi, ancaman penurunan luas lahan sawah yang
digarap mengakibatkan tingkat produksi per petani menurun, dan akibatnya
pendapatan petanipun terancam, dengan adanya konversi lahan ke komoditas lain
selain padi juga dapat menurunkan ketersediaan pangan (mengancam ketahan
pangan) yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan bahan konsumsi pokok
rumah tangga (basic needs) sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekonomi.
Masalah lingungan akibat perubahan iklim juga perlu kita antisipasi begitu juga
kemungkinan munculnya masalah sosial akibat penurunan pendapatan, dan
kurangnya ketersediaan lahan sehingga perlu adanya orientasi ketahanan ekologi
dan sosial dalam pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan.
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah struktur nafkah dan status kesejahteraan rumahtangga yang
ada di wilayah pasang surut tersebut?
2. Apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin
keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut ?
3. Bagaimana kondisi ketahanan Sosial Ekologi yang ada di wilayah pasang
surut tersebut ?
11
C. Tujuan Penelitian
Pentingnya pengembangan wilayah pasang surut yang berkelanjutan
dengan orientasi kepada keberlanjutan (sustainability) dalam hal ini dijabarkan
sebagai status kesejahteraan ekonomi dan sosial ekologi dengan memperhatikan
status daya dukung lahan (carrying capacity) perlu dipahami. Sehingga perlu
adanya kajian terhadap permasalahan ini khususnya di Kabupaten Banyuasin yang
merupakan kawasan gambut terbesar di Sumatera Selatan, maka yang menjadi
tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengkaji dan menganalisis struktur nafkah dan status kesejahteraan
rumahtangga yang ada di wilayah pasang surut tersebut
2. Menilai potensi daya dukung lahan (carrying capacity) apakah masih bisa
menjamin keberlanjutan (sustainability) wilayah pasang surut tersebut.
3. Mengetahui dan mengidentifikasi kondisi ketahanan sosial ekologi yang ada
di wilayah pasang surut tersebut.
4. Melalui isu kritikal yang telah di uraikan, maka dapat dinilai apakah sebuah
kawasan transmigrasi bisa terus berkembang dan dikembangkan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini berupaya untuk melakukan analisis terhadap carrying capacity
(daya dukung lahan) dan identifikasi kondisi keberlanjutan pengembangan
wilayah pasang surut yang berorientasi pada ketahanan ekonomi, dan sosial
ekologi di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan. Melakukan
penghitungan terhadap kepadatan Agraris dan tingkat pendapatan rumahtangga
untuk mengetahui tingkat ketahanan ekonomi. Serta mengidentifikasi orientasi
ketahanan sosial ekologi di wilayah studi. Keberlanjutan wilayah pasang surut
akan dinilai dari :
1. Struktur nafkah dan status kesejahteraan, yang diukur melalui tingkat
pendapatan rumah tangga di wilayah studi dan perbandingan dengan garis
kemiskinan berdasarkan stardar Bank Dunia (world Bank) sebesar 2$ perhari
perkapita atau setara dengan Rp. 540.000 per bulan per kapita.
2. Kondisi daya dukung lahan (carrying capacity) di wilayah studi, di level
Kabupaten, Kecamatan dan Desa yang menjadi lokasi studi.
12
3. Kondisi ekologi di wilayah pasang surut dalam menopang kehidupan sosial
ekonomi penduduk setempat yang dideteksi melalui kepadatan agraris dan
kemampuan mendukung kehidupan.
4. Kondisi sosial masyarakat pada wilayah pasang surut dideteksi melalui
frekuensi dan kedalaman gangguan-gangguan sosial.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi penentu
kebijakan, khususnya di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah pasang
surut di Kabupaten Banyuasin. Penelitian juga diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak swasta yang membutuhkan data dan masalah lain yang berkaitan dengan
usaha pengembangan produksi pertanian.
Selain pemerintah dan swasta, pihak lain yang cukup penting untuk
memperoleh nilai guna dari penelitian ini adalah masyarakat. Secara khusus
penelitian ini berguna untuk:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan di
bidang pengembangan wilayah pasang surut dan pembangunan kesejahteraan
masyarakat khususnya ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.
2. Memberikan informasi dan saran pada masyarakat tentang kondisi
keberlanjutan wilayah pasang surut di Kabupaten Banyuasin Sumatera
Selatan, melalui hasil kajian ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial.
3. Menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa maupun
peneliti serta referensi penelitian selanjutnya.
4. Memberikan pengetahuan kepada khalayak, akademisi dan peneliti serta
pengambil kebjakan tentang apakah suatu kawasan transmigrasi dapat terus
dikembangkan atau tidak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsepsi Lahan Pasang Surut
Berdasarkan definisi BPS (2005), Sawah pasang surut adalah sawah yang
pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi pasang surutnya air
laut. Konvensi Ramsar 1971 mendefinisikan lahan basah secara internasional
sebagai berikut (Dugan, 1990): Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut,
dan air, baik alami maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung
(stagnant, static) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, mencakup
wilayah air marin yang dalamnya pada waktu surut tidak lebih dari enam meter
(Maas, 2003). Rawa adalah bagian daratan yang sepanjang tahun biasanya jenuh
air atau tergenang air.
Menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), lahan rawa adalah lahan
yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini
sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air
(waterlogged) atau tergenang. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa adalah genangan air secara alamiah yang
terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat dan
mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi, maupun biologis.
Selanjutnya menurut Barchia (2006), kawasan rawa terbentang 2 ekosistem
lahan utama, yaitu ekosistem pasang surut dan ekosistem rawa pedalaman/lebak.
Namun menurut Subagyo (1997) dalam Barchia (2006), berdasarkan imbangan
antara kekuatan arus sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan
menjadi 3 zone, yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut air salin/ payau, Zone II :
lahan pasang surut air tawar, Zone III : lahan rawa buka pasang surut atau lebak,
dan masing-masing zone mempunyai bentukan fisiografi atau landform dan
penyebaran tanah yang berbeda.
Wilayah rawa pasang surut air asin atau payau merupakan bagian dari
wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut
lepas. Biasanya rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulau-pulau
delta serta tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut atau
salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta dimuara sungai Musi dan Banyuasin
14
Sumatera Selatan, antara lain delta Upang, delta Telang, dan pulau Rimau
(Subagyo, 2006).
Keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi, sesunguhnya lahan
gambut sangat rendah kesuburannya, sehingga tidak cocok untuk tanaman
budidaya tanpa perlakuan atau masukan tehnologi atau pemupukan. Keadaan yang
selalu tergenang menyebabkan keadaannya cenderung an aerob, gambut bersifat
masam dengan pH 3-5, miskin akan ketersediaan unsur hara makro (K, Ca, Mg, P)
dan mikro (Cu, Zn, Mn, and Bo), terdapat asam organic yang bersifat racun,
kapasitas pertukaran kation rendah tetapi rendah kejenuhan basanya. Gambut
memiliki bulk density yang sangat rendah, karena gambut memiliki pori yang
besar maka gambut mempunyai kemampuan menahan tanah yang sangat rendah
sehingga bobotnya sangat ringan dan kemampuan kohesinya juga rendah. Itulah
sebabnya pohon yang ditanam di lahan gambut sangat mudah rebah, dan juga
merupakan masalah dalam pembagunan konstruksi bangunan (Simbolont, 2011).
Apabila dikelola secara tepat, lahan pasang surut dapat dijadikan areal
pertanian produktif. Pengembangan lahan ini dapat mendukung peningkatan
ketahanan pangan, diversifikasi produksi, dan pengembangan agribisnis. Untuk
menjadikan lahan pasang surut produktif dan lestari, diperlukan upaya revitalisasi
dan rehabilitasi melalui penerapan inovasi teknologi dan rekayasa atau
pengembangan kelembagaan dan perbaikan prasarana penunjang secara terpadu
(Warta penelitian dan pengembangan pertanian, 2006).
Sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, terutama dalam kaitannya
dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahannya. Sistem
tata air di rawa pasang surut ditujukan selain untuk memenuhi kebutuhan air
selama penyiapan lahan dan pertumbuhan tanaman juga untuk memperbaiki sifat
fisiko-kimia tanah, yaitu dengan jalan: (1) memanfaatkan air pasang untuk
pengairan sesuai dengan kebutuhan tanaman, (2) mencegah masuknya air asin ke
petakan lahan, (3) mencuci zat-zat beracun bagi tanaman, (4) mengurangi
semaksimal mungkin terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam, dan (5)
mencegah terjadinya proses kering tak balik pada gambut (Balittra, 2010).
15
Sebelum mengerjakan lahan pasang surut, perlu terlebih dahulu memahami
empat tipologinya. Tipologi pertama adalah tipologi Lahan Potensial, yaitu suatu
lahan yang mempunyai kedalaman pirit (lapisan beracun) pada kedalaman >50 cm
di atas permukaan tanah. Lalu tipologi yang kedua adalah Lahan Sulfat Masam,
yang merupakan lahan dengan lapisan pirit pada kedalaman 0-50 cm di atas
permukaan tanah. Selanjutnya, tipologi Lahan Gambut, dimana lahan ini
mengandung lapisan gambut dengan kedalaman yang sangat bervariasi. Terakhir,
tipologi Lahan Salin, yaitu lahan yang mendapat intrusi air laut sehingga
mengandung garam dengan konsentrasi tinggi terutama pada musim kemarau.
Keberhasilan usahatani pada agroekosistem lahan pasang surut antara lain terletak
pada ketepatan pengelolaan lahan dan air. Dengan pengelolaan yang tepat, seperti
proses pencucian bahan beracun pada tanah mineral potensial dan sulfat masam
serta proses pematangan (dekomposisi) gambut dan konservasi lahan terealisasi
dengan baik, maka produktivitas lahan dan tanaman meningkat.
Mengingat usahatani para petani di lahan rawa pasang surut pada
umumnya dilakukan secara konvensional, maka kini saatnya usaha peningkatan
produktivitas tersebut diarahkan melalui pendekatan Prima Tani Terpadu (PTT)
Padi Lahan Pasang Surut. Dengan demikian potensi lahan ini dapat dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Pemanfaatan lahan rawa pasang surut melalui pendekatan
PTT maupun peningkatan indeks panen melalui ekstensifikasi, akan sejalan
dengan program pemerintah dalam peningkatan produksi beras nasional. Pada
akhirnya mengarah pada ketahanan pangan nasional (Litbang Deptan, 2008).
2.2 Konsepsi Carrying Capacity (Daya Dukung)
Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula
diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan (Soemarwoto,
2001).
Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
16
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula
diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara
sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Definisi Daya
Dukung Lingkungan (Carrying Capacity) :
Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang
dapat didukung oleh suatu lingkungan.
Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan
tanpa merusak lingkungan tersebut.
Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut.
Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut.
Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok
manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka
yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.
Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah
lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal,
dan kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.
Selanjutnya menurut Bratakusumah (2004), pada sektor pertanian,
kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) merupakan perbandingan
antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui berapa
luas lahan rata-rata yang dibutuhkan per-keluarga, potensi lahan yang tersedia dan
penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian. Meskipun analisis daya dukung
merupakan upaya untuk mengetahui perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah
penduduk, penggunaannya tidak hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan.
Dengan ditunjang alat-alat lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk
membantu menentukan kegiatan dalam bidang atau sektor apa saja yang layak
dikembangkan disuatu daerah. Adapun langkah-langkah dalam melakukan
analisis daya dukung pada dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis (cukup
beragam), langkah-langkah tersebut antara lain :
a). Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian
b). Identifikasi frekuensi panen per hektar per tahun
17
c). Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut
d). Tentukan persentase jumlah petani yang ada diarea tersebut
e). Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani
f). Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR
Untuk mengetahui apakah daya dukung lahan (carrying capacity) masih bisa
menjamin keberlanjutan ( sustainability) pengembangan wilayah di daerah pasang
surut tersebut, maka dilakukan analisis carrying capacity berbasis neraca lahan.
Penghitungan neraca lahan menurut (Rustiadi, 2010), terdiri dari beberapa
tahapan, sebagai berikut:
1) Menentukan unit wilayah analisis
2) Penghitungan ketersediaan (supply) lahan
3) Penghitungan permintaan (demand) lahan
4) Penentuan status surplus/defisit dengan menghitung ratio/selisih supply dan
demand
5) Penentuan status tingkat keberlanjutan.
Status Keberlanjutan dilakukan dengan perbandingan relative antar waktu
dengan membandingkan status Surplus/status defisit antara dua titik waktu yang
berbeda, yaitu kondisi saat ini (existing land use) diproyeksikan pada 20 tahun
yang akan datang., sehingga status keberlanjutan dapat disimpilkan menjadi :
1) tingkat keberlanjutan meningkat (KMi), 2) tingkat keberlanjutan tetap (KT),
dan 3) tingkat keberlanjutan menurun (KM) (Rustiadi et al, 2009).
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan
cenderung makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan
penduduk terhadap lahan Selanjutnya, (Siwi, 2002 dalam Tola, 2007),
menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk daya dukung lahan pada
akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah
tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan
tertentu (Mustari et.al., 2005 dalam Tola, 2007).
18
2.3 Kondisi Kesejahteraan, Kondisi Ekologi dan Sosial
2.3.1 Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan
Azas ekonomi dalam pengembangan wilayah, merupakan usaha-usaha
mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang
memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan kondisi-kondisi
ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah
yang lebih baik. Salah satu target utama dari pembangunan pertanian adalah
upaya peningkatan kesejahteraan petani. Unsur penting yang berpengaruh
terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani.
Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara
otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan
petani juga tergantung pada pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga petani
serta faktor-faktor non finansial, seperti faktor sosial budaya. (Mulyanto, 2008).
.Menurut Todaro (2000), syarat-syarat yang harus segera dipenuhi dalam
rangka merealisasikan setiap strategi pengembangan sektor-sektor pertanian dan
pembangunan daerah-daerah pedesaan yang berorientasi pada kesejahteraan
rakyar banyak adalah struktur usaha tani, pola pemilikan lahan harus disesuaikan
dengan tujuan utama yang bersisi ganda, yaitu peningkatan produksi bahan
pangan pada satu sisi, serta pemerataan segala manfaat untuk ke atau keuntungan-
keuntungan kemajuan pertanian pada sisi lain.
Selanjutnya menurut Bappenas (2010), dalam kerangka peningkatan
kesejahteraan petani, prioritas utama Kementrian Pertanian adalah upaya
meningkatkan pendapatan petani, dari rata-rata pendapatan per kapita pertanian
hanya sekitar Rp 4,69 juta per tahun. Pada tahun 2014 Kementrian Pertanian
menargetkan pendapatan perkapita tersebut meningkat menjadi 7,39 juta per
tahun. Hal ini berarti setiap tahun harus diupayakan kenaikan pendapatan 11,1
persen per tahun.
Nilai pendapatan petani dapat bersumber dari usaha pertanian dan usaha
non pertanian. Nilai pendapatan yang bersumber dari usaha pertanian akan
diperoleh dari selisih nilai penjualan komoditas usahatani yang dihasilkan dengan
biaya usahatani yang dikeluarkan. Nilai penjualan usaha tani akan ditentukan
19
oleh volume produksi yang dihasilkan serta harga jual, makin besar volume
produksi yang dihasilkan makin besar pula volume fisik yang dapat di jual.
Dharmawan (2007), mengemukakan bahwa pengertian livelihood strategy
yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia)
sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah”
belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah
bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun
kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu
ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan
tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku.
Tulak (2009) mengutip Chambers tentang komponen sustainable
livelihood (mata pencaharian yang berkelanjutan), yaitu terdiri dari capabilities,
yaitu kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan (stress) dan guncangan
(shock), mampu menemukan dan memanfaatkan kesempatan dalam kehidupan
ekonomi; Equity, yaitu secara konvensional dapat diukur dari distribusi
pendapatan relatif, tetapi lebih luas menunjuk pada pemerataan distribusi asset,
kemampuan, dan kesempatan terutama bagi mereka yang tergolong miskin;
Sustanaibility, dari aspek sosial dalam konteks livelihood, keberlanjutan
ditunjukkan oleh cara-cara dan kemampuan seseorang untuk memelihara dan
memperbaiki kehidupan ekonomi serta memelihara aset lokal dan global.
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap
produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat.
Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal seperti lahan gambut,
menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Selain berpotensi
memberikan tambahan devisa dan kesempatan kerja bagi masyarakat lahan
gambut juga merupakan penyangga ekosistem terpenting karena simpanan karbon
dan daya simpan airnya yang sangat tinggi.
Selain upaya yang berhubungan secara lansung dengan nilai input dan
ouput pertanian, pendapatan petani juga masih memungkinkan untuk ditingkatkan
melalui: 1) Pengembangan infrastruktur oleh pemerintah secara padat karya
dengan melibatkan petani sebagai sasaran kegiatan, 2) mengembangkan berbagai
20
aktivitas off-farm yang mampu meningkatkan penghasilan petani dengan basis
kegiatan yang terkait usahatani, 3) Mengupayakan insentif bagi tumbuhnya
industri hulu dan hilir pertanian, 4) Mengupayakan adanya payung hukum bagi
bertumbuhnya lembaga pembiayaan pertaniaan yang tersedia di perdesaan
(Bappenas,2010).
Menurut Badan Pusat Statistik (1993), indikator kesejahteraan rakyat
dilihat dari aspek spesifik yaitu kesehatan, pendidikan, konsumsi rumahtangga
dan perumahan. Aspek pendapatan, kondisi dan fasilitas perumahan, juga rasa
aman merupakan indikator kesejahteraan. Tingkat pendapatan keluarga diukur
dari besarnya pendapatan rumahtangga per kapita dalam sebulan dibagi kedalam
tiga kategori interval yang sama dalam satuan rupiah, yakni tinggi, sedang dan
rendah.
Klasifikasi tingkat kesejahteraan untuk pedesaan di Indonesia, menurut
Sajogyo (1993), yang termasuk kategori rendah (miskin) apabila pengeluaran per
kapita per tahun kurang dari setara 320 kilogram beras, Kategori sedang (hampir
cukup) apabila pengeluaran per kapita per tahun setara dengan 320 kilogram beras
sampai 480 kilogram beras. Sedangkan untuk kategori tinggi (cukup) apabila
pengeluaran per kapita per tahun lebih dari setara 460 kilogram beras.
Sedangkan Menurut Departemen Transmigrasi (1984) dalam Tulak
(2009), Penilaian tingkat kesejahteraan program transmigrasi dapat pula
dilakukan melalui kriteria tingkat kesejahteraan ekonomi, serta melalui indikator
kesejahteraan ekonomi masyarakat, yaitu: 1) pendapatan per kapita setara dengan
500 kilogram per tahun; 2) sumber pendapatan dari usahatani setara 420 kilogram
beras.
Keluarga sejahtera adalah 1) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan
anggotanya baik sandang, pangan, perumahan, sosial, maupun agama 2) keluarga
yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan dengan jumlah anggota
keluarganya, dan 3) keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota
keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusyuk dan
terpenuhinya kebutuhan pokok (Badan Koordinasi Keluarga Nasional, 1996
dalam Tulak 2009).
21
2.3.2 Kondisi Ekologi
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan ogranisme hidup
(elemen biotik) dengan benda tak hidup (elemen abiotik) di lingkungan
sekitarnya. Ekologi mempelajari struktur dan fungsi dari alam, termasuk buatan
Apa yang menjadi biaya ekologi dari desa sederhana dan pembangunan pertanian,
beberapa indikator seperti : tanah, hutan, laju deforestasi, laju reforestasi, emisi
karbon, kehilangan mangrove, dan pembaharuan sumber air, semuanya
merefleksikan status degradasi lingkungan (Partap et al, 2001).
Ekologi dapat terfokus secara global dan umum, atau lokal dan sangat
spesifik, tetapi seringkali dalam unit ilmu yang lain disebut ekosistem, baik kecil
maupun besar, ekosistem memiliki karakteristik sendiri yang sangat penting bagi
perencana wilayah di tingkat lokal. Wackernagel et al (1997), menyatakan secara
persuasif bahwa kita perlu mulai berpikir dalam terminologi jejak ekologi,
dimana dideskripsikan sebagai total area ekologi produktif, lahan dan air secara
eksklusif untuk memproduksi semua sumber daya (makanan dan serat) konsumsi
dan untuk asimilasi semua sampah yang termasuk sebagai penyebab polusi,
berupa rumah tangga, masyarakat dan negara (Honachefsky, 2000).
Secara sadar ataupun tidak, pentingnya mereduksi kerusakan lingkungan
hidup yang menjadi fenomena perubahan iklim, banjir dan sebagainya telah
terbungkus dengan kepentingan-kepentingan tertentu di setiap negara. Tanpa visi
pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis
yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Itu dapat terlihat dengan
liberalisasi penyelamatan ekologi melalui mekanisme pasar. Berbagai inisiatif
global dalam kerangka penyelamatan ekologi-lingkungan hidup telah digeser
pelan-pelan ke arah pendekatan neoliberalisme. Konsepsi penanganannya,
didorong melalui pendekatan mekanisme pasar. Yang paling mengemuka saat ini,
adalah berbagai inisiatif penanganan pemanasan iklim global baik pada skema
mitigasi, adaptasi dan konsep carbon offset. Baik melalui mekanisme pertukaran
kerusakan di suatu wilayah dengan pembiayaan konservasi di wilayah lainnya.
Ataupun melalui mekanisme carbon trade atau perdagangan karbon.
Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change)
belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global
22
(global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia,
terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya
hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu
perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan
itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering
dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat
kekuasaan dalam membuat kebijakan.
Secara ekologi, kawasan pesisir cukup rentan terhadap berbagai bencana
alam, seperti gelombang pasang dan pemanasan global. Kemudian jika terjadi
peningkatan pencemaran yang berasal dari hulu sungai yang bermuara ke laut,
maka kualitas perairan beserta flora dan fauna yang hidup didalamnya cenderung
memburuk. Sumber bencana lainnya adalah perusakan dan penambangan
terumbu karang, penggunaan sodium atau potassium sianida untuk penangkapan
ikan, serta pembabatan hutan bakau yang dikonversi untuk tambak, pemukiman,
kawasan wisata, industri dan sebagainya. Pada gilirannya kerusakan fungsi
ekologi dapat menyebabkan penurunanjJumlah dan keanekaragaman hayati laut
lainnya (Widiati A, 2003).
Gambut adalah tanah yang terdiri dari sisa-sisa tanaman yang telah busuk,
dalam keadaan basah gambut seperti bubur, gambut yang masih baru mengandung
serat-serat dan bekas kayu tanaman. Tanah gambut kurang subur, sehingga hasil
tanamannya rendah. Air tanahnya asam, jika pirit terkena udara maka akan
bertambah asam lagi, air bisa mengalir dengan mudah kedalam gambut sehingga
petakan sawah bisa kering karena air bocor keluar dari tanggul bila tidak dialiri
secara teratur. Selain itu tanah gambut dapat terbakar, dan pembakaran
dipermukaan, kemungkinan dibawah permukaan api terus menjalar ke daerah
yang jauh sekalipun, dan pembakaran gambut dapat menghilangkan lapisan
gambut sehingga dapat menyebabkan lahan mati suri (Badan Penelitian dan
pengembangan Pertanian, 1997).
Menurut Andriesse (1988) dalam Noor. M (2001), fungsi lingkungan
lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur ulang karbon, iklim
global, hidrologi, perlindungan lingkungan dan penyangga lingkungan. Gambut
mempunyai peran penting dalam penyimpanan atau pemendaman karbon, setiap
23
lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 7102 ton karbon/ha/th,
sehingga dapat menekan emisi gas CO2, namun peranan ini untuk jangka pendek
hampir terabaikan, dalam iklim global pembukaan kawasan gambut untuk
pertanian, perkebunan, kehutanan atau lainnya akan mempengaruhi suhu wilayah
setempat. Pengaruh suhu ini tidak hanya penting bagi lahan yang direklamasi,
tetapi perubahan yang terjadi juga akan merambat kelahan-lahan lain yang telah
digunakan. Dalam hidrologi, lahan gambut berfungsi sebagai reservoir mengikuti
pola pergantian selama musim hujan dan musim kemarau. Reklamasi telah
mengubah peranan reservoir menjadi lebih berat sebagai pengendali aliran impas.
Sebagai pelindung lingkungan gambut berperan sebagai penyerap unsur dan
senyawa-senyawa racun yang dilepas dilingkungan, seperti timbal, air raksa,
timah, cadmium, arsenic, seng dan selenium yang muncul diatas gambut, sehingga
gambut berperan sebagai penyaring alami.
Lahan gambut juga berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitar atau
bagian hulu. Lahan gambut yang terletak di daerah pesisir/pantai berfungsi
sebagai penyanggga antara wilayah air payau dan wilayah air tawar. Tanggul
alam yang terletak antara Wilayah air tawar dan air payau/asin, contoh antara
hutan bakau dan hitan nipah, akan berubah setelah reklamasi, jadi dengan
mempertahankan fungsi keduanya, maka dapat dicegah terjadinya penyusupan air
laut ke pesisir dan pencemaran perairan pantai akibat hasil buangan daratan
(Rieley et al, 1996 dalam Noor. M, 2001).
Secara ekologis, lahan gambut adalah wilayah penampung air untuk
melindungi wilayah sekitar dari kebanjiran, dan menjaga kontinuitas penyediaan
air sepanjang tahun, juga untuk menjaga kualitas air karena gambut dapat menjadi
filter dari pencemaran (Barchia. M. F, 2006). Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan Hortikultura Sumatera Selatan terus berupaya mencegah alih fungsi lahan
pertanian di daerah itu agar produksi pangan dapat lebih ditingkatkan. Upaya
pencegahan alih fungsi lahan itu, antara lain dengan melakukan sosialisasi dan
penerapan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
24
2.3.3 Kondisi Sosial
Sejarah pembangunan telah menjadi subjek dari cabang ilmu sosial,
mempelajari kesejateraan masyarakat tergantung pada pola konsumsi dari bahan
makanan dan jasa. Meskipun secara ekonomi fokus pada tradisionalisme, dimana
konsumsi hanya beberapa barang yang digunakan konsumen yang disarankan
untuk diproduksi dengan sumberdaya berskala besar. Menurut Mulyanto (2008),
Azas sosial dalam pengembangan wilayah merupakan usaha-usaha mencapai
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan kualitas hidup serta peningkatan
kesejahteraan individu, keluarga dan masyarakat didalam wilayah itu diantaranya
dengan mengurangi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja serta
menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang lebih baik seperti pemukiman,
papan, fasilitas transportasi, kesehatan, sanitasi, air minum dan lain-lainnya.
Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi dan struktur dinamis dari
ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut
dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma
nutfah (biodiversity), memiliki keunikan dimana didalamnya tersimpan warisan
dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan. Lahan
gambut juga tempat penyedia bahan bahan bangunan, energi dan sumber pangan
tanaman, ikan dan binatang buruan buat masyarakat tradisional (Barchia M. F,
2006).
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi kegenerasi, seolah-olah
bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatan nya tidak ada ilmu atau
teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan
budaya masa lalu untuk mebangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang,
yang menjadi tonggak kehidupan pada masa sekarang. Kearifan lokal dapat
dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang.
Investasi petani sebagaimana tergambar dalam kapasitas pertanian
sekarang, merupakan indikator bahwa petani dalam proses sejarahnya merupakan
investor yang secara individu memang kecil, tetapi secara keseluruhan
menghasilkan nilai investasi besar. Kapital yang telah dihasilkan melalui proses
evolusi yang lama tersebut akan menurun nilai dan kapasitasnya apabila tidak
dilakukan reinvestasi baru. Reinvestasi ini hanya akan memberikan manfaat yang
25
besar apabila investasi yang dilakukan kompatibel dengan modal sosial yang
sudah hidup, atau bahkan investasi tersebut dilakukan sekaligus pula untuk
merekapitalisasi modal sosial yang kondisinya memang pada saat ini sedang
menghadapi erosi. Reinvestasi dan rekapitalisasi sosial capital ini merupakan
syarat untuk membangun sumber-sumber pertumbuhan dan kesejahteraan pada
masa mendatang (Pakpahan, 2004).
Menurut Dharmawan (2007), dalam mahzab Bogor, karakteristik sistem
nafkah dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh
sistem sosial budaya setempat. Terdapat tiga elemen sosial terpenting yang sangat
menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumah
tangganya yaitu 1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma
sosial yang berlaku). 2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agrarian,
struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan
lokal), 3) supra-struktur sosial (setting ideology, etika moral ekonomi, dan sistem
nilai yang berlaku )
2.4 Pengembangan dan Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut
2.4.1. Pengembangan Wilayah
Menurut Mulyanto (2008), pengembangan wilayah adalah seluruh
tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensi wilayah
yang ada, untuk mendapatkan kondisi-kondisi dan tatanan kehidupan yang lebih
baik bagi kepentingan masyarakatnya. Pada umumnya pengembangan wilayah
dapat dikelompokkan menjadi usaha-usaha mencapai tujuan bagi kepentingan-
kepentingan didalam kerangka azas: sosial, ekonomi dan wawasan lingkungan.
Pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi
pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal kegiatan
pengembangan wilayah biasanya ditekankan pembangunan fisik untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan
politik. Namun begitu, tahapan ini bukanlah merupakan suatu ketentuan yang
baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda
dengan wilayah yang lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya,
ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain sangat berpengaruh
26
pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan (Alkadri et al,
2001).
Menurut hidrologinya, lahan rawa merupakan suatu kesatuan wilayah.
Suatu tindakan tata air di suatu tempat berakibat langsung atas seluruh kawasan.
Maka usaha pengembangan lahan rawa harus selalu berskala besar. Jarak
jangkauan gerakan pasang surut ke darat ditentukan oleh ketinggian dan bentuk
muka daratan pantai dan perubahannya kearah pedalaman, serta tahapan
hidraulika sepanjang jalur rambatan. Estuari (sungai atau bagian hilir sungai yang
memasukkan air pasang dan mengeluarkan air surut) adalah jalur rambatan utama
gerakan pasang surut. Makin panjang dan lebar estuarinya, makin jauh jarak
jangkauan gerakan pasang surut ke pedalaman. Estuari panjang jika daratan dan
keduanya nyaris tidak berubah sampai jauh di pedalaman. Makin rapat bagian
estuarinya makin lebar wilayah yang terjangkau oleh gerakan pasang surut.
Karena ini kawasan rawa pasang surut potensial dapat diperluas dengan jalan
menggali saluran yang menembus sampai ke laut, memperpanjang estuari pendek,
mencabangkan estuari, atau menghubungkan estuari yang satu dengan yang
lainnya.
Jadi dengan mengubah hidrologi lahan, luas kawasan rawa pasang surut
potensial dapat diperbesar. Maka disamping reklamasi, perluasan kawasan
potensial merupakan gatra (aspek) pula dari pengembangan lahan rawa pasang
surut. Akan tetapi oleh karena perluasannya bersifat buatan (menggiatkan gejala
alam), kelestariannya bergantung pada kemantapan dukungan teknologi.
Perluasan kawasan rawa pasang surut dengan teknologi mempunyai padanan pada
lahan atasan berupa perluasan jaringan irigasi. Dalam pengembangan lahan rawa
pasang surut (juga lahan rawa yang lain) terlibat banyak sekali kegiatan teknik
sipil, mulai dari tahap awal, kemudian pemantapan, sampai dengan tahap akhir
berupa pemeliharaan hasil pengembangan. Pekerjaan pemantapan dan
pemeliharaan sangat penting karena hidrologi lahan peka terhadap perubahan
kecil saja pada salah satu faktor pengendalinya, khususnya hidrologi lahan pasang
surut. Faktor pengendali hidrologi yang terpenting adalah tata saluran. (Syafroe,
2011).
27
Seperti pada agrosistem lainnya, sistem agribisnis dilahan pasang surut
perlu mencakup : 1) subsistem produksi berupa penerapan teknologi produksi 2)
subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan prasarana tata air
serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, 3) subsistem pengolahan
hasil atau agroindustri, 4) Subsistem pemasaran dan distribusi, 5) Subsistem
pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan kelembagaan yang sesuai dan
ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui peningkatan
kemampuan dan pemberdayaan masyarakat maupun kelembagaan yang sudah ada
(Alihamsyah et al, 2003 dalam Subagyo et al, 2006)
Menurut Dewi (2003) yang dikutip oleh Tulak (2009), adanya pergeseran
orientasi pembangunan transmigrasi kearah pengembangan wilayah menyebabkan
pemukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuh kembangkan menjadi pusat-
pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan eks transmigrasi
harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis
lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian.
2.4.2. Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut
Pembangunan berkelanjutan (sustanaible development), merupakan suatu
konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan geberasi sekarang tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang. Keberlanjutan pembangunan dilihat
dari tiga dimensi keberlanjutan, sebagaimana yang dikemukakan Serageldin
(1996) sebagai a triangular framework yaitu keberlanjutan ekonomi, sosial dan
ekologi, dan kemudian ditambahkan oleh Spangerberg (1999), berupa dimensi
kelembagaan sebagai dimensi keberlanjutan yang keempat, sehingga membentuk
prisma keberlanjutan ( Prism of Sustainability) (Rustiadi et a., 2009).
Pembangunan berkelanjutan muncul dengan terlebih dahulu menjelaskan
pandangan-pandangan tentang lingkungan yang dimiliki masyarakat, yang
meliputi tiga tahapan, yakni: lingkungan untuk pembangunan ekonomi,
lingkungan untuk keperluan manusia, dan terakhir lingkungan untuk lingkungan.
Kelemahan padangan pertama dan kedua telah dievaluasi yakni menghasilkan
kondisi lingkungan yang bisa dikatakan mengkhawatirkan (Susilo, 2008).
28
Kemiskinan merupakan cerminan dari kondisi lingkungan gambut,
khususnya produktivitas sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia yang
tersedia di lahan gambut, selain itu keterbatasan sarana dan prasarana seperti
infrastruktur jalan, akses pasar, pelayanan sarana produksi, pelayanan publik,
pendapatan penduduk dilahan gambut tergolong rendah, terutama yang
mengandalkan usaha taninya hanya pada komoditas padi. Permasalahan
kemiskinan menjadi penting mengingat kerusakan lingkungan lahan dan hutan
gambut terkait dengan keberadaan penduduk dikawasan gambut dan sekitarnya,
karenanya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat dilahan gambut
tidak hanya penting bagi peningkatan kesejahteraan tetapi juga terkait pelestarian
dan konservasi lahan gambut kedepan, dan pemberian insentif sebagai
kompensasi upaya pelestarian dan konservasi lingkungan perlu dilembagakan
(Noor, 2001).
Pembangunan pertanian di masa depan harus mendorong, memotivasi,
membantu dan memberikan fasilitas pada petani sebagai pelaksana utama atau
subyek pembangunan pertanian secara mandiri, agar mampu mengambil
keputusan di lapangan, sehingga muncul pendapat bahwa pertanian berkelanjutan,
pertanian yang utuh dan lestari menjadi kecenderungan pembangunan pertanian di
Indonesia masa depan. Petani kecil terlebih petani gurem bukanlah tidak rasional
dan tidak responsif terhadap insentif ekonomi dan inovasi teknologi, mereka
miskin dan statis bukan karena kebodohannya, tetapi karena tidak memiliki aset
produktif yang memadai, kurangnya insentif ekonomi, dan terbatasnya
infrastruktur publik (Hamengku Buwono X, 2005).
Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan membuka isolasi wilayah,
menambah tenaga kerja petani, mendukung keetahanan pangan, pembangunan
sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang-Undang
No. 15 tahun1997 tentang pengembangan wilayah transmigrasi, maka wilayah
transmigrasi merupakan wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan
pemukiman untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah (Tulak, 2009).
29
2.5 Penelitian Terdahulu
Strategi nasional pengembangan rawa atau yang telah dilakukan pada
proyek NLDS (National Lowlands Development Strategy) memberikan kerangka
acuan untuk pengelolaan rawa terpadu, yang menyoroti aspek-aspek kebijakan,
hukum, dan kelembagaan, dan strategi-strategi untuk konservasi pertanian yang
ada dan pengembangan baru yang berkaitan erat. Penelitian yang dilakukan oleh
Pramanti (2010) yang bertujuan untuk mengetahui perubahan interaksi sosial
masyarakat transmigran sebagai akibat adopsi teknologi pengelolaan lahan rawa
pasang surut kearah yang dikehendaki, di Desa Telang Karya, Kecamatan Muara
Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Populasi penelitian ini adalah masyarakat transmigran di Desa Telang
Karya, Kecamatan Muara Telang, yang terdiri dari empat petak sekunder yaitu:
petak P8-11S (sebanyak 20 responder), petak P8-12S (sebanyak 11 responden),
petak P8-13S (sebanyak 16 responden), dan petak P8-14S (sebanyak 19
responden). Sampel penelitian berjumlah 11 persen dari jumlah populasi yang
ada, yaitu 66 KK. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan
teknik random sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan
mengkombinasikan tiga teknik berikut ini, yaitu, wawancara terstruktur
(kuesioner), observasi, wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah
berupa derajat hubungan (nilai koefisien korelasi): variabel endogenous
(perubahan intraksi sosial masyarakat transmigran) sebagai akibat variabel
eksogenous (adopsi teknologi pengelolaan lahan rawa pasang surut) yang
didekomposisikan ke dalam empat tahap pengelolaan lahan rawa pasang surut
(pengendalian gulma pra tanam, pengelolaan lahan, pengairan, dan penanaman)
masing-masing terhadap lima komponen perubahan interaksi sosial, yaitu:
kerjasama (K), persaingan (P), nilai-nilai tradisional (NT), status sosial ekonomi
(SE), dan konflik (KF).
Penelitian sebelumnya oleh Pramono (2003), memperoleh kesimpulan
bahwa lahan pasang surut merupakan potensi yang besar untuk menghasilkan
pangan dengan produktivitas yang tinggi apabila dilakukan dengan menerapkan
teknologi spesifik lokasi yang didukung oleh iklim agribisnis yang kondusif.
30
Berikut hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha
tani di Kabupaten Banyuasin.
Tabel 4 Identifikasi Masalah Usaha Tani di Kabupaten Banyuasin
No Kelompok Masalah Peringkat
Masalah
1 Kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu air
belum ada pada saluran tersier
1
2 Kemasaman tanah tinggi (kandungan Fe/pirit) dan
salinitas pada saat musim kemarau yang menyebabkan
keracunan pada tanaman
2
3 Harga benih yang mahal 3
4 Harga pupuk KCL yang mahal 4
5 Serangan hama tikus pada tanaman padi pada musim
tanam II (musim kemarau)
5
6 Pengeringan dan penyimpanan gabah pada saat setelah
panen yang bersamaan dengan musim hujan
6
7 Harga jual gabah masih di bawah standar pembelian
pemerintah yang dilakukan oleh UPGB
7
8 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya
dan alsintan untuk tanaman palawija
9
9 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya
untuk pemeliharaan ikan
10
10 Rendahnya produktivitas kelapa milik petani 11
11 Kurangnya pengetahuan tentang teknologi budidaya
ternak sapi dan masih kurangnya pengetahuan
teknologi pemeliharaan ternak yang produktif
12
12 Belum ada fasilitas IB untuk perkawinan ternak sapi
dan masih kurangnya pengetahuan teknologi
pemeliharaan ternak yang produktif
14
13 Jalan poros desa masih rusak sehingga menyulitkan
transportasi terutama pada musim hujan
13
14 Kelembagaan tani belum aktif 8
Sumber: BPTP Sumsel, 2007, dalam Pramono (2003)
Dari penelitian diketahui bahwa masalah utama di daerah pasang surut di
Kabupaten Banyuasin ini adalah kondisi saluran banyak yang dangkal dan pintu
air belum pada saluran tersier, dengan peringkat masalah ke 1.
Selanjutnya Syahrial (2006), yang melakukan penelitian dengan metode
survai lapangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, di tiga lokasi
dengan tingkat perkembangan wilayah berbeda yaitu daerah maju di Delta Telang
31
I, daerah sedang di Delta Saleh dan daerah tingkat perkembangan rendah di Air
Sugihan Kiri. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan sebagai sawah
paling dominan, di Delta Telang I 46,58 persen (30.918,00 ha), Delta Saleh 34,07
persen (17.518,00 ha) dan Air Sugihan Kiri 32,65 persen (26.373,24 ha). Terjadi
penurunan dan penambahan luas pemanfaatan lahan seperti hutan mangrove,
kelapa dan semak belukar.
Hutan mangrove sekunder dari hasil interpretasi Citra memperlihatkan
terjadi penurunan luas di Delta Telang I dan Air Sugihan Kiri dari 3.816,00 ha,
7.548,21 ha pada tahun 1992 menjadi 2.483,00 ha, 1.949,84 ha pada tahun 2002.
Hutan mangrove primer terjadi penurunan luas di Delta Telang I, Delta Saleh dan
Air Sugihan Kiri dari 4.446,00 ha, 3.259,44 ha, dan 9.331,47 ha pada tahun 1992
menjadi 2.268,36 ha, 2.068,56 ha, dan 7.052,40 ha pada tahun 2002. Kebun
kelapa di Delta Telang I, Delta Saleh dan Air Sugihan Kiri terjadi penambahan
dari 7.729,40 ha, 0 ha, dan 2.876,85 ha pada tahun 1992 menjadi 8.288,16 ha,
3.882,84 ha, dan 14.435,16 ha pada tahun 2002. Semak belukar di Delta Telang I,
Delta Saleh dan Air Sugihan Kiri terjadi penambahan dari 4.034,00 ha, 7.889,40
ha, dan 11.398,05 ha pada tahun 1992 menjadi 7.882,58 ha, 9.345,78 ha,
16.715,25 ha pada tahun 2002.
Kondisi jaringan reklamasi sebagian besar belum berfungsi secara optimal,
kecuali di Telang I Desa Telang Karya (P8-12S) dan Delta Saleh (P10-2S). Pola
tanam di Delta Telang I umumnya padi-padi (IP-200), Delta Saleh sebagian padi-
jagung atau kedelai (IP-150) dan Air Sugihan Kiri umumnya padi-bera (IP-100).
Kondisi fisik tanah di tiga Delta, mencerminkan tanah masih sesuai untuk lahan
pertanian. Perbaikan bangunan air dan prasarana jaringan reklamasi, dan
pemeliharaan, penguatan kelembagaan petani (Kelompok Tani), masih sangat
diperlukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis
3.1.1 Pendekatan Carrying Capacity (daya dukung lahan)
Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity Ratio/CCR) merupakan suatu
alat perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran mengenai hubungan
antara penduduk, penggunaan lahan dan lingkungan. Pada Sektor pertanian,
kemampuan daya dukung (Carrying Capacity Ratio) merupakan perbandingan
antara lahan yang tersedia dan jumlah petani. Sehingga perlu diketahui luas lahan
rata-rata yang dibutuhkan per keluarga, potensi lahan yang tersedia dan
penggunaannya untuk kegiatan non-pertanian (Bratakusumah dan Riyadi, 2004).
Selanjutnya Bratakusumah dan Riyadi (2004), mengemukakan
keseimbangan antara daya dukung dari suatu lahan dan keberadaan penduduk juga
bisa diperhitungkan, sehingga bisa diperkirakan daya serap potensi lahan
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, sehingga keseimbangan antara
potensi alam/lingkungan dan sumberdaya manusia tetap terjaga, dan dapat
menimbulkan multiflier effect, dimana pengangguran bisa diperhitungkan dan
diatasi. Selain itu kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di wilayah
pembangunan akan tetap terpelihara dan termanfaatkan sesuai dengan
peruntukannya yang logis dan seimbang.
Meskipun analisis daya dukung merupakan upaya untuk mengetahui
perbandingan antara jumlah lahan dan jumlah penduduk, penggunaannya tidak
hanya untuk sektor pertanian atau perkebunan. Dengan ditunjang alat-alat
lainnya, analisis ini juga dapat digunakan untuk membantu menentukan kegiatan
dalam bidang atau sektor apa saja yang layak dikembangkan di suatu daerah.
Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah (wilayah)
untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan
pada suatu tingkat kebutuhan sumberdaya yang diperlukan. Dengan demikian
kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumberdaya yang dimiliki oleh
suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumberdaya oleh suatu organisme,
34
kemampuan daerah (wilayah) tersebut tidak pernah berkurang atau secara terus
menerus terpelihara (Rustiadi, 2010).
Raganathan dan Daily (2003) dalam Rustiadi (2010) menyatakan bahwa
jika dihubungkan dengan jumlah penduduk yang mampu didukung (ditampung)
oleh lingkungan hidup di suatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung
menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia.
Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya
dukung suatu wilayah, yaitu :
1) Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumberdaya
yang dikonsumsi
2) Perubahan yang cepat dalam hal konsumsi sumberdaya
3) Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya
Daya dukung suatu wilayah dari segi penyediaan lahan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia dinyatakan dalam kemapuan lahan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia dinyatakan dalam kemampuan lahan produktif di
wilayah tersebut menghasilkan produk hayati (biocapacity). Lahan produktif
terdiri atas : 1) lahan pertanian (cropland); 2) lahan peternahan (pasture); 3)
Perikanan (fishery); 4) hutan (forest); 5) lahan terbangun (built up area); 6) lahan
penyerapan karbon (biomassa energy).
Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2010), status daya dukung lahan
merupakan gambaran antara rasio atau selisish ketersediaan lahan (supply) dan
sisi kebutuhan lahan (demand), jika “supply > demand”maka status daya
dukungnya adalah “surplus”, sedangkan jika “supply < demand “maka status daya
dukungnya adalah “defisit”, interpretasi status tingkat keberlanjutan dapat
dikembangkan kearah dua pengkategorian, yakni : 1) neraca daya dukung lahan
berbasis standard absolute daya dukung dan 2) neraca daya dukung lahan berbasis
pergeseran relatif.
Daya dukung lahan adalah nilai maksimum kerapatan atau biomassa
populasi yang dapat didukung pada wilayah tertentu. Nilai ini dapat berubah
seiring waktu, dan dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan (seperti curah
hujan, temperatur), sumber daya alam. Konsep ini telah dikenal lebih dari 150
tahun yang lalu dan digunakan selama ini (Harvitgsen, 2001).
35
3.1.2 Struktur Nafkah dan Tingkat Kesejahteraan
Secara spesifik kesejahteraan dinilai dari kekurangan pendapatan,
konsumsi, pemilikan harta benda baik diam maupun bergerak, aset modal dan
stok. Nilai minimum penghasilan rumah tangga miskin adalah kurang dari 1920
kg setara beras per rumah tangga pertahun (Sajogyo, 1993). Makin tinggi
pendapatan diasumsikan makin baik konsumsi kalori dan gizi.
Keprihatinan akan hilangnya hak-hak hidup individu dan masyarakat
karena hempasan sistem ekonomi kapitalisme global dan kehancuran sumber daya
alam dan lingkungan hidup akibat modernitas akhir (late modernity) merupakan
landasan pemikiran mengapa kita perlu memahami sistem nafkah/penghidupan
dimasa depan. Menurut Sajogyo “Kita perlu memahami sistem
nafkah/penghidupan pedesaan guna mengungkap akar persoalan tata-penghidupan
serta kerentanan-kerentanan yang menyertai sistem penghidupan (livelihood
vulnerability) penduduk pedesaan”. Persoalan kemiskinan kemudian menjadi
derivatnya. Selain itu implikasi persoalan struktural pedesaan yaitu :
1).ketimpangan penguasaan sumber-sumber nafkah agrarian yang menajam, 2).
Hilangnya berbagai sumber nafkah. Perkembangan sistem penghidupan dan
nafkah pedesaan tidak bisa lepas dari keseluruhan proses destabilisasi sistem
sosial-ekonomi yang melanda pedesaan yang merupakan upaya menyelaraskan
eksistensi mereka terhadap arus perubahan sosial dan menghasilkan sejumlah
gambaran dinamik sistem penghidupan dan nafkah pedesaan (Dharmawan, 2007)
Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok,
yaitu 1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (basic needs), 2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) masyarakat
sebagai manusia dan 3) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memilih
(freedom from servitude) yang merupakan salah satu hak azasi manusia (Todaro,
2000).
Pada Mahzab Bogor, Strategi penghidupan dan nafkah pedesaan dibangun
selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sitem nafkah
yang demikian, basis nafkah rumah tangga petani adalah segala aktifitas ekonomi
pertanian dan ekonomi non pertanian (Dharmawan, 2007).
36
Menurut Dharmawan (2001), diversifikasi kegiatan dan melakukan banyak
pekerjaan diluar sektor pertanian merupakan cara umum dan yang paling banyak
dilakukan dalam strategi bertahan hidup masyarakat petani, tidak adanya lahan
dan lemahnya ekonomi dari hasil pertanian untuk menyediakan pendapatan yang
memadai, menyebabkan rumahtangga petani menggeser orientassinya dan
melakukan aneka jenis kegiatan non farm baik diwilayah desa maupun di
perkotaaan.
Pendapatan Farm adalah total bersih pendapatan tahunan baik tunai dan
lainnya yang diperoleh dari semua kegiatan pertanian yang dilakukan
rumahtangga dalam setahun, pendapatan ini termasuk semua pendapatan yang
didapat dari lahan milik sendiri dan pendapatan yang diperoleh dari lahan bukan
milik sendiri, misalnya bagi hasil. Pendapatan Off Farm adalah total bersih
pendapatan tahunan baik tunai dan lainnya yang diterima oleh rumahtangga
sebagai konsekuensi dari meminjamkan lahan kepada orang lain. Pendapatan Non
farm adalah total pendapatan bersih baik berupa tunai dan lainnya yang diperoleh
rumahtangga dari semua kegiatan ekonomi selain sektor pertanian (Dharmawan,
2001).
Struktur perekonomian perdesaan secara perlahan namun pasti akan terus
bergeser ke sektor-sektor hilir (sekunder dan tersier) dicirikan dengan semakin
dominannya pekerja pedesaan yang pekerjaan utamanya disektor off farm dan
semakin banyaknya petani yang juga memiliki pekerjaan off farm, sedangkan
petani yang bekerja di bidang on farm menjadi sangat minoritas, walaupun
diversifikasi hulu hilir terus terjadi dan makin didominasi sektor hilir, sistem
ekonomi perdesaan akan tetap dicirikan oleh sistem produksi atau industri yang
berbasis sumberdaya lokal (Rustiadi, 2011).
Secara fungsi agribisnis, sistem pertanian berkelanjutan meliputi tiga
subsistem utama yang satu sama lain saling terkait erat, yaitu: (1) on-farm
agribusiness, (2) off-farm agribusiness, dan (3) business environment. On-farm
agribusiness terdiri dari kegiatan-kegiatan budidaya tanaman dan hewan,
pemanenan (ekstraksi) tanarnan dan hewan serta penanganan pasca panen, dan
penjualan dan pernasaran produk primer (bahan rnentah) pertanian (Tim IPB-
Bappenas: 1996).
37
Off-farm agribusiness secara garis besar terbagi dua, yakni kegiatan-
kegiatan industri hulu pertanian (backward-linkage industries atau upstream
agribusiness activities) dan kegiatan-kegiatan industri hilir pertanian (foreward-
linkage industries atau downstream agribusiness activities). Industri dan kegiatan
agribisnis hulu pertanian rneliputi: (1) industri input produksi budidaya pertanian
(pupuk, pestisida, dan benih) dan industri rnesin serta peralatan budidaya
pertanian; dan (2) penyampaian serta distribusi bahan-bahan input budidaya
pertanian dan mesin serta peralatan pertanian. lndustri dan kegiatan agribisnis hilir
pertanian rnencakup: (1) procurement bahan mentah, (2) industri pengolahan
bahan rnentah produk primer rnenjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi, (3)
penjualan serta pernasaran bahan setengah jadi dan bahan jadi (Dahuri, 1998).
Ukuran garis kemiskinan nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan
oleh setiap individu untuk makanan setara 2100 kilo per orang/hari dan untuk
memenuhi kebutuhan non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan,
pendidikan, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya. Biaya untuk membeli
2.100 liko kalori/hari disebut sebagai garis kemiskinan, sedangkan biaya untuk
membayar kebutuhan minimum non makanan disebut sebagai garis kemiskinan
non makanan. Mereka yang pengelurannya lebih rendah dari garis kemiskinan
disebut sebagai penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau penduduk
miskin (Bappenas, 2010). Berdasarkan ambang batas standar Internasional (world
Bank) maka garis kemiskinan adalah 1 $ per orang per hari (PPP) dan 2 $ per
orang per hari (PPP).
3.1.3 Kondisi Sosial Ekologi
Menurut Honachefsky (2000), jejak ekologi sebuah negara terdiri dari
populasi, Ecologi Footprint (ha/kapita), Biocapacity yang tersedia (ha/capita),
dan defisit ekologi (ha/kapita). Dalam perspektif dinamika kependudukan, krisis
ekologi bermula dari jumlah penduduk manusia di planet bumi yang terus
meningkat secara signifikan. Dinamika itu menghasilkan perubahan status stabil
ke instabil sebuah ekosistem yang sangat cepat, dimana alam mengalami tekanan
ekologis yang luar biasa. Dari perspektif pembangunan, strategi pertumbuhan
growth mania syndrome di seluruh negara di dunia., yang memaksa pemerintahan
38
disetiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam
secara besar-besaran dan habis habisan tanpa mengindahkan konservasi secara
seimbang. Dalam ekologi kontemporer, bidang ilmu ini sangat memperhatikan
pada persoalan pemenuhan kebutuhan pokok dan nafkah manusia, termasuk gizi
dan kesehatan masyarakatnya.
Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi dan struktur dinamis dari
ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut
dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma
nutfah (biodiversity), memiliki keunikan dimana didalamnya tersimpan warisan
dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan (Barchia M.
F, 2006).
Dengan menggali kearifan lokal kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi
(relieving) tetapi juga dapat dihindari (preventing) karena lestarinya sumber daya
bagi generasi berikutnya (Soerjani, 2005; dalam Pattinama, 2009). Kearifan lokal
mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya
membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya
hidup dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu kearifan lokal seharusnya tidak
terpisahkan dengan kebijakan anti kemiskinan (Pattinama, 2009).
Secara ekonomi dan sosial, struktur masyarakat desa menggambarkan
komunitas yang menghadapi keterbatasan sumberdaya alam sekelilingnya, namun
komunitas desa memiliki ciri yang kuat berupa adanya beragam tipe ikatan sosial
asli (indigenous social capital) yang berbasis kelembagaan sosial dalam
kehidupan tradisional. Hubungan sosial yang kuat sesama warga, merupakan
ikatan yang sangat berguna sebagai “asset sosial” karena menjadi landasan
penting terbangunnya fundamental sosial penting berupa Societal-networking
yang membuat aktivitas ekonomi rumahtangga dapat disusun secara konstruktif
diatasnya (Dharmawan, 2007).
Kebanyakan isu lingkungan memiliki aspek-aspek “the common” di
dalamnya. Inti dari semua teori sosial adalah perbedaan antara manusia yang
dimotivasi oleh kepentingannya yang sempit dan manusia yang dimotivasi oleh
pandangan masyarakat secara keseluruhan. Logika “tragedy of the common”
sepertinya tidak bisa di hindari. Pemindahan hak milik (penguasaan) terkadang
39
mengganggu ketersediaan sumberdaya, akibat berubahnya perilaku masyarakat
atas sumberdaya, dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik
menjadi sumberdaya yang dieksploitasi, sehingga proses transformasi penguasaan
sumberdaya dari sumberdaya yang dikuasai masayarakat (adat) lokal menjadi
sumberdaya milik negara mengarah pada : 1) penghilangan kelembagaan kearifan
lokal, 2) kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah,
3) pemanfaatan sumberdaya yang terjebak pada kondisi “de facto open
access”(Rustiadi et al, 2009).
Pembangunan kelembagaan diharapkan mampu mengatur kegiatan
individu-individu dan biaya pengendalian sosial (social cost) menjadi lebih
rendah dari manfaatnya (social benefits), banyak tipe kelembagaan yang dapat
dikembangkan untuk mengurangi distribusi konflik sumberdaya, kelembagaan
dapat mengatur insentif masing-masing anggotanya saat melakukan aktivitas
aktivitas tertentu terkait dengan upaya mencapai hasil yang mereka inginkan.
Kelembagaan merupakan komponen modal sosial, yaitu trust, network, norm dan
value.
Kriesber (1998) mengemukakan bahwa sosial “conflict exist when two or
more persons or groups manifest the belief that they have incompatible
objectives”. Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik
menurut Soekanto (1995) adalah perbedaan individu, perbedaan budaya,
perbedaan kepentingan dan perubahan sosial. Dalam kondisi sumberdaya yang
bersifat open access, seolah-olah sumberdaya dapat dikuasai sembarang orang
disembarang waktu, namun sebenarnya pemerintah pada umumnya telah memiliki
regulasi pengelolaan sumberdaya, namun pada kondisi lainnya secara de facto
telah diatur masyarakat yang sering disebut sebagai aturan lokal dan hak ulayat,
sehingga konflik bisa terjadi (Satria, 2002).
3.1.4 Keberlanjutan Wilayah Pasang Surut (Regional Sustainability)
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan suatu
konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengorbankan generasi yang akan datang, keberlanjutan sebagaimana yang
dikemukakan Serageldin (1996), sebagai “triangular framework “ yakni
40
keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi, sedangkan Spangenberg (1999)
menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keberlajutan
keempat, sehingga keempatnya membentuk suatu prisma keberlanjutan (prism of
sustainability) (Rustiadi et al, 2009).
Konsep ini sesuai dengan muatan Peraturan Pememrintah No 2 tahun
2005. Perekonomian Desa : meningkatkan penghidupan masyarakat dan
pembangunan sarana ekonomi berbasis potensi lokal, pengembangan usaha
mikro, kelembagaan ekonomi dikaitkan dengan sumber daya manusia. Sosial
Budaya Desa : pembangunan pendidikan, sosial dan penguatan adat istiadat
setempat dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat yang melibatkan
segenap lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok anak-anak pemuda
dan wanita. Mitigasi bencana : penataan ruang desa dengan fungsi khusus yaitu
mitigasi bencana, berupa pembangunan daerah daerah yang rawan bencana dan
tempat tempat yang digunakan untuk penampungan evakuasi warga ketika terjadi
bencana. Lingkungan hidup : penataan lingkungan yang menjaga keseimbangan
holistik antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung dalam upaya menjaga
kelestarian penghidupan sebagian besar masyarakat.
Di masa depan, pengelolaan lahan gambut di Indonesia hendaknya menuju
upaya merevitalisasi fungsi hutan rawa gambut. Sehingga tercapai tiga tujuan
utama yaitu mengkonversi dan menggunakan hutan rawa gambut sesuai regulasi
serta kemampuan daya dukung lahan, merubah paradigma dalam peningkatan
usaha di lahan gambut yang harus selalu diharmonisasikan dengan lingkungan,
dan memperkaya teknologi modern dengan kearifan lokal melalui pengembangan
program partisipatif. Secara garis besar, berikut dapat dikemukakan beberapa
konsep konvensional tentang pengembangan wilayah (Komet Mangiri, 2000; Ati
widiati, 2000) , pengembangan wilayah berbasis sumber daya terdiri atas :
a. Pengembangan wilayah berbasis input, tetapi surplus sumberdaya manusia
b. Pengembangan wilayah berbasis input, tetapi surplus sumberdaya alam
c. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya modal dan manajemen
d. Pengembangan wilayah berbasis seni, budaya dan keindahan alam
e. Pengembangan wilayah berbasis penataan ruang (lokasi strategis)
41
3.1.5. Teori Christaller
Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul “Central Places In
Souhtern Germany”, dalam buku ini Christaller menjelaskan susunan besaran
kota, jumlah kota dan distribusinya dalam suatu wilayah, model Christaller
merupakan sistem geometri dimana angka tiga yang ditetapkan secara arbiter
memiliki peran yang sangat berarti, sehingga dikenal dengan sistem K=3 dari
Christaller (Tarigan, 2010).
Christaller dalam Tarigan (2010), mengembangkan modelnya untuk suatu
wilayah abstrak dengan ciri-ciri:
1. Wilayahnya adalah dataran tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada
seluruh wilayah.
4. Konsumen bertindak rasional sesuai prinsip minimasi jarak/biaya.
Model Christaller dikembangkan untuk mempelajari lokasi berbagai
kegiatan ekonomi regional dengan terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang
adalah datar dan kondisinya kesemua arah adalah sama, sehingga kita dapat
mengetahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang yang sama, dan
dipengaruhi oleh jarak (salah satu unsur ruang), jarak menciptakan gangguan
waktu, tenaga, informasi untuk mencapai satu lokasi ke lokasi lainnya, sehingga
semakin jauh suatu lokasi semakin berkurang potensi dari lokasi tersebut, makin
jauh lokasi makin menurunkan minat untuk menjangkaunya, sehingga tingkat
aksesibiltas menjadi faktor yang berpengaruh, dengan demikian aksesibitas
menaikkan potensi suatu wilayah (Tarigan, 2010).
Hirarki Pusat K=3 (Role Of Threes)
Dalam Rustiadi (2011), lokasi pusat (central Place) merupakan sejumlah
tempat dimana sejumlah produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut
untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya. Lokasi pusat
tertata dalam suatu pola yang Vertikal maupun Horizontal.
Dalam Rustiadi (2011), Christaller (1933) berpendapat bahwa sistem
lokasi pusat membentuk suatu hirarki yang teratur, keteraturan dalam hirarki
didasarkan atas prinsip bahwa suatu tempat menyediakan barang dan saja tidak
42
hanya untuk tingkatannya sendiri tetapi untuk semua barang dan jasa di orde yang
lebih rendah. Hubungan tersebut dipresentasikan dengan K (konstanta) yang
menunjukkan bahwa setiap pusat mendominasi pusat lain yang ordenya lebih
rendah dari wilayah pasarnya. Christaller menggunakan prinsip pemasaran untuk
menggambarkan organisasi sistem K=3 yaitu jumlah maksimum penawaran pada
konsumen yang terdistribusi secara merata diperoleh dari jumlah pusat yang
minimum (A, B dan C), pusat A dengan orde tertinggi menyediakan barang-
barang dengan nilai treshold tertinggi hingga terendah, yaitu sekaligus barang
yang dihasilkan di pusat B dan pusat C.
Prinsip Lalu Lintas K=4 (Traffic Principles)
Prinsip K=4 merupakan alternatif lain dari sistem K=3, karena sistem K=3
kurang baik dalam menggambarkan jarak tempuh, yaitu jauh karena harus
memutar dan berliku, menurut Christaller traffic principle sangat tepat jika
beberapa tempat penting terletak pada satu jalur traffic antar 2 kota penting,
dimana jalur tersebut dibangun selurus dan semudah mungkin, dan lokasi pusat
akan terbentuk sebagai jalur traffic yang lurus dan menyebar dari titik pusat
(Rustiadi, 2011).
Prinsip Administasi K=7 (Market Area)
Prinsip administrasi Christaller ini mengatur hierarki pusat dari sudut
pandang politik dan administrasi. Prinsip ini juga mengatur pusat yang berode
lebih rendah dimasukkan ke orde yang lebih tinggi karena alasan politik. Titik A
mendominasi 7 market area dibawahnya ( 1 market area + 6 sub ordinat market
area dibawahnya).
3.1.4 Teori Von Thunen
Johann Heinrich Von Thunen (1826), seorang ekonom dan tuan tanah di
Jerman, menulis buku yang berjudul “ Der Isolierte Statt in Beziehung auf Land
Wirtschaft“, buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris (1966) menjadi “The
Isolated State in Relation to Agriculture” oleh Peter Hall (Tarigan, 2010).
Asumsi yang dibuat oleh Von Thunen adalah:
1. Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated state) sehingga tidak dipengaruhi
oleh pasar dari kota lain.
43
2. Tipe Pemukiman padat di pusat wilayah (pasar) dan semakin jarang bila
menjauh dari pusat (pasar).
3. Memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam.
4. Fasilitas pengangkutan adalah primitif dan relatif seragam.
5. kecuali jarak ke pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan
tanah seragam dan konstan.
Dari asumsi tersebut dikembangkan hipotesis:
1. Pusat kota sebagai tempat pemasaran, pusat digambarkan sebagai pusat
pemukiman, pusat industri dan sekaligus pusat pasar.
2. Biaya transportasi untuk mengangkut hasil kekota berbanding lurus dengan
jarak.
3. Petani secara rasional cenderung memilih jenis tanaman yang menghasilkan
keuntungan maksimal (Rustiadi, 2011).
Model ini berguna untuk menganalisis hubungan antara harga lahan
dengan penggunaan lahan dan persaingan penggunaan lahan antar sektor
perekonomian dan antar kelompok rumahtangga. Permintaan terhadap lahan
merupakan turunan permintaan (derived demand) dari kurva permintaan di pasar
output. Pada saat lahan digunakan untuk menanam padi, maka kenaikan
permintaan beras di pasar akan menyebabkan kenaikan harga beras dipasar, dari
sisi petani meningkatnya harga beras meningkatkan semangat memproduksi padi
lebih banyak, sehingga menimbulkan permintaan terhadap input-input yang
digunakan dalam bertanam padi, salah satunya lahan, sehingga menimbulkan
peningkatan harga lahan, harga lahan dicerminkan dengan sewa lahan
(Priyarsono, 2007).
Teori Von Thunen menghubungkan konsep ekonomi dengan lokasi
spasial, sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari teori Von Thunen adalah:
1. Kecenderungan semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi
produksi dari pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar
komoditas.
2. Jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan
bertambahnya jarak ke pusat pasar (Rustiadi, 2011).
44
Kerangka Operasional
Berikut alur pemikiran dalam penelitian yang digunakan untuk
menganalisis carrying capacity serta kerentanan ekonomi, ekologi dan sosial, dan
merumuskan strategi pengembangan wilayah pasang surut di Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan :
Gambar 2 Bagan alur pemikiran dalam penelitian.
Carrying capacity
kawasan
Ketahanan
Sosial
Kesejahteraan
Ekonomi
Ketahanan
Ekologi
Penduduk :
- Migrasi
- Adat
- Peralihan mata
pencaharian
- Konflik Sosial
Pendapatan :
- On Farm
- Non Farm
- Off Fam
- Kepadatan Agraris
- Daya dukung Kehidupan
Keberlanjutan
Wilayah Pasang Surut
Kelembagaan Kesejahteraan Kemiskinan
Ketersediaan :
- SDA
- Infrastruktur
Konsep Pengembangan Wilayah
Berbasis Sumberdaya
Defisit, Surplus, Waspada
Sumberdaya
Manusia
Sumberdaya Alam
Teknologi
45
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan. Maka diduga
bahwa carrying capacity wilayah transmigrasi pasang surut ini telah mengalami
penurunan seiring dengan adanya kepadatan penduduk yang semakin meningkat.
Sehingga kemampuan mendukung kehidupan juga mengalami penurunan, dan
diduga terjadi penurunan status kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut,
yang diikuti dengan kerentanan terhadap kondisi sosial ekologi nya.
3. 4. Batasan Operasional
Untuk membatasi penelitian ini maka diperlukan batasan melalui definisi
operasional, sehingga istilah yang digunakan dalam penelitian ini bersifat spesifik,
sesuai kebutuhan dalam kegiatan penelitian saja. Adapun beberapa definisi
operasional dalam penelitian ini adalah :
Keberlanjutan Wilayah: Kemampuan suatu wilayah (lokasi studi) memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan
kebutuhan generasi yang akan datang, ditinjau dari
ketahanan ekonomi, ekologi dan sosial, serta daya
dukung lahan (CCR).
Wilayah Pasang Surut: Wilayah yang berada di kabupaten Banyuasin dan
memiliki topografi pasang surut (dalam hal ini lokasi
studi)
Carrying Capacity: Daya dukung lahan pasang surut
Status kesejahteraan: Tingkat pendapatan rumahtangga responden desa
studi yang dilihat dari tingkat pendapatan terhadap
garis kemiskinan 2$ per hari
Kondisi Sosial ekologi: Hasil identifikasi Sosial ekologi masyarakat yang
dilihat dari komponen yang ditetapkan dalam
penelitian ini
Pendapatan: Penghasilan bersih dari total kegiatan On Farm, Off
Farm dan Non Farm rumahtangga
Pendapatan On Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari
kegiatan matapencaharian yang berbasis tanah dalam
46
hal ini usaha tani padi di lahan pasang surut
(Dharmawan, 2001)
Pendapatan Off Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari
pertanian tetapi rumahtangga tersebut tidak memiliki
lahan, berupa bagi hasil (Dharmawan, 2001).
Pendapatan Non Farm: Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari
kegiatan mata pencaharian selain usaha tani padi
sawah pasang surut, berupa kegiatan pengolahan
hasil pertanian, penyediaan sarana produksi
pertanian, pemasaran hasil pertanian, serta
perdagangan dan jasa yang bersifat informal sebagai
penyedia kebutuhan masyarakat setempat
(Dharmawan, 2001).
Garis Kemiskinan: Garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah standar garis kemiskinan word bank 2$ per
hari.
Klasifikasi Status Kesejahteraan: Diklasifikasikan berdasarkan nilai rata-rata
pendapatan total rumahtangga pertahun di satu desa,
menjadi 3 kelas yaitu kelas atas, kelas menengah dan
kelas bawah.
Kelas Atas: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total
pertahun diatas pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut.
Kelas Menengah: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total
pertahun sama dengan pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut.
Kelas Bawah: Rumahtangga yang memiliki pendapatan total
pertahun dibawah pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Februari 2012, bertempat di
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penentuan lokasi penelitian ini
ditentukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa kawasan ini
merupakan wilayah ex transmigrasi pasang surut terbesar di Sumatera Selatan dan
sekaligus sebagai salah satu sentra lumbung pangan.
Gambar 3 Peta Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan.
4.2 Jenis dan sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan melalui
wawancara dengan instrument kuisioner kepada responden yang merupakan
penduduk di wilayah pasang surut Kabupaten Banyuasin. Jenis data primer yang
dibutuhkan berupa data kepemilikan lahan atau luas lahan yang dimiliki, data
pendapatan, serta data tentang input sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya
manusia maupun sumberdaya alam.
48
Data sekunder merupakan data dari instansi yang terkait dalam penelitian
ini, antara lain Dinas Tanaman pangan dan Holtikultura Kabupaten Banyuasin,
Pemerintah daerah Banyuasin, Badan Pusat Statistik, Kecamatan Muara Telang,
serta instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, data sekunder juga
diperoleh melalui studi pustaka dan literatur serta sumber data lainnya yang
menunjang Penelitian ini.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode pengambilan
sampel yang dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap populasi
penduduk di level rumah tangga dan Desa dengan kriteria sampel sebagai berikut:
1. Berdasarkan lokasi/daerah tempat tinggal
- Penduduk desa yang berada di pesisir
- Penduduk desa yang berada di daratan bagian dalam
2. Memiliki mata pencaharian utama sebagai petani (on farm)
3. Memiliki mata pencaharian berupa bagi hasil (off farm)
4. Memiliki mata pencaharian selain bertani (non farm)
5. Memiliki lahan untuk usaha tani, tempat tinggal dan usaha lainnya.
6. Unit analisis berada pada 3 level yaitu: rumahtangga ditingkat desa,
kecamatan dan kabupaten.
- Level rumahtangga ditingkat desa untuk mengkaji struktur nafkah dan
tingkat kesejahteraan rumahtangga
- Level Desa untuk menganalisis kepadatan agraris dan kemampuan
memdukung kehidupan
- Level kecamatan dan kabupaten untuk melakukan perhitungan carrying
capacity lahan pasang surut.
Sehingga dari jumlah penduduk yang ada di tiap desa tersebut, diambil
sampel sebanyak 40 rumahtangga per desa (dua desa) untuk mewakili populasi
tersebut, karena wilayah ini homogen yaitu rata-rata adalah rumahtangga petani
yang berasal dari program transmigrasi serta beberapa pendatang. Sehingga tidak
perlu membuat sampel yang terlalu besar.
49
Pembuatan sampling frame, dimulai dari data desa, yang memperlihatkan
homogenitas wilayah yang masih terpelihara, dan berdasarkan daftar kepala
keluarga (KK) maka dilakukan pengambilan sampel sebesar 7% dari umlah KK
yang ada. Pengambilan sampel dilakukan secara acak terstatifikasi, dengan
menggunakan informan kunci (key informan), yaitu Kecamatan, Kepala Desa,
Kepala Dusun serta Kepala BPP, sehingga pengambilan sample langsung terarah
sesuai kriteria yang dibutuhkan dalam studi ini.
4.4 Metode Analisis Data
Penelitian ini dilakukan di tiga level yakni rumahtangga, desa dan wilayah,
dengan kajian di level rumah tangga yaitu analisis mikro berupa struktur
pendapatan, dan status kesejahteraan ekonomi dalam hal ini status dalam Poverty
Line (garis kemiskinan) dan kajian di level desa berupa pengukuran kepadatan
agraris dan kemampuan mendukung kehidupan, serta kondisi sosial untuk
menjamin kehidupan masyarakat lokal, serta analisis Carrying Capacity (daya
dukung lahan) dan identifikasi kondisi ekologi pada level wilayah (analisis
Makro), dalam hal ini kabupaten, kecamatan dan desa. Data tersebut kemudian
diolah secara kuantitatif menggunakan perhitungan matematis dan konsep
penghitungan sesuai kajian yang kemudian diuraikan secara sistematis.
4.4.1 Analisis Struktur Nafkah dan Status Kesejahteraan
Untuk mengetahui orientasi ketahanan ekonomi yang ada di wilayah
pasang surut ini, maka dilakukan analisis stuktur nafkah melalui perhitungan
pendapatan rumah tangga masyarakat wilayah tersebut,
dengan rumus :
Y = F + OF + NF
Dimana :
Y = Pendapatan rumah tangga dalam satu tahun
F = Pendapatan rumah tangga dari usaha disektor pertanian bersumber dari
lahan ( On Farm)
50
OF =Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari pertanian tetapi
rumahtangga tersebut tidak memiliki lahan sendiri, berupa bagi hasil
(Off Farm)
NF = Pendapatan rumahtangga yang bersumber dari kegiatan mata pencaharian
selain usaha tani padi sawah pasang surut (Non Farm)
Pendapatan on farm dan off farm rumahtangga yang digunakan sebagai
data adalah pendapatan total per tahun yang telah dikurangi biaya produksi selama
setahun, sehingga yang diambil adalah pendapatan bersih (netto). Begitu juga
pendapatan Non Farm rumahtangga yang digunakan sebagai data adalah
pendapatan total per tahun yang telah dikurangi modal usaha selama setahun,
sehingga diperoleh pendapatan bersih (netto). Ketiga sumber kegiatan
matapencaharian rumahtangga ini akan dipersentasekan untuk melihat kontribusi
masing masing kegiatan mata pencaharian dan kecenderungan pergeseran mata
pencaharian yang terjadi di kedua desa studi.
Untuk menghitung pendapatan Perkapita Maka digunakan formulasi:
Y/365 (hari)
Income/ kapita/hari =
Anggota Rumah Tangga
.Basis nafkah rumahtangga responden adalah petani sehingga hampir
semua rumahtangga yang dijadikan responden adalah rumahtangga yang memiliki
lahan berjumlah 35 KK dan sisanya adalah rumahtangga yang sama sekali tidak
memiliki lahan yaitu berjumlah 5 KK untuk masing-masing desa. Hal ini
dimaksudkan untuk melihat besaran kontribusi masing-masing kegiatan
matapencaharian rumahtangga berdasarkan kegiatan on farm, off farm dan non
farm, sehingga diperoleh struktur nafkah rumahtangga yang menggambarkan
struktur nafkah wilayah transmigrasi pasang surut.
Hasil perhitungan pendapatan ini akan dipersentasekan (%) untuk melihat
distribusi sebaran pendapatan responden (rumah tangga) di tiap desa Sampel serta
persentase peralihan mata pencaharian yang terjadi dari On Farm ke Off Farm,
dan ditampilkan dalam bentuk diagram Box Plot, melalui penggunaan program
Mini Tab. Selanjutnya hasil penghitungan pendapatan di bandingkan dengan
51
standar garis kemiskinan (poverty line), dengan menggunakan indikator
kemiskinan menurut World Bank yaitu pendapatan US$ 2 per hari (konversi
Rupiah sebesar Rp. 9000/$) atau setara dengan Rp. 18.000/hari atau Rp. 540.000
per bulan/kapita.
Untuk mengetahui kontribusi pendapatan dari masing-masing kegiatan
mata pencaharian rumahtangga akan dibuat struktur nafkah rumahtangga
responden, yang selanjutnya dilakukan pengklasifikasian kelas rumah tangga
menjadi tiga kelas yaitu: rumahtangga kelas atas, kelas menengah dan kelas
bawah berdasarkan sebaran normal dan standar pendapatan rata-rata masing-
masing desa melalui box plot pendapatan rumahtangga.
Klasifikasi Status Kesejahteraan, diklasifikasikan berdasarkan nilai rata-
rata pendapatan total rumahtangga pertahun di satu desa, menjadi 3 kelas yaitu
kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kelas Atas adalah Rumahtangga
yang memiliki pendapatan total pertahun diatas pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Menengah adalah Rumahtangga
yang memiliki pendapatan total pertahun sama dengan pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut. Kelas Bawah adalah Rumahtangga yang
memiliki pendapatan total pertahun dibawah pendapatan total rata-rata
rumahtangga pertahun di desa tersebut.
4.4.2 Analisis Daya Dukung (Carrying Capacity/CCR)
Menurut Bratakusumah dan Riyadi (2004), untuk mengetahui apakah daya
dukung lahan (carrying capacity) masih bisa menjamin keberlanjutan
(sustainability) pengembangan wilayah di daerah pasang surut tersebut, maka
dilakukan analisis carrying capacity. Analisis Daya Dukung (Carrying
Capacity/CCR) memberikan gambaran mengenai hubungan antara penduduk,
penggunaan lahan dan lingkungan. Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa
paling tidak ada dua variable pokok yang harus diketahui secara pasti untuk
melakukan analisis daya dukung, yaitu 1) Potensi lahan yang tersedia, termasuk
luas lahan dan 2) Jumlah Penduduk.
52
Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis daya dukung pada
dasarnya bersifat fleksibel dan dinamis (cukup beragam), langkah-langkah
tersebut antara lain :
a) Identifikasi luas areal yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian.
b) Identifikasi frekuensi panen per hektar per tahun.
c) Tentukan jumlah keluarga dalam area tersebut.
d) Tentukan persentase jumlah petani yang ada di area tersebut.
e) Tentukan ukuran lahan rata-rata yang dimiliki petani.
f). Hitung kemampuan daya dukung dengan menggunakan rumus CCR.
Selanjutnya, cara sederhana untuk menghitung kemampuan daya dukung
suatu daerah dapat digunakan rumus matematis sebagai berikut :
Ai x ri
CCR =
H x h x Fi
Dimana :
CCR = Kemapuan daya dukung (Carrying Capacity)
A = Jumlah total area yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian (i)
r = Frekuensi panen per hektar per tahun (komoditi i)
H = Jumlah KK (Rumah tangga)
h = Persentase jumlah penduduk yang tinggal
F = Ukuran lahan pertanian rata-rata yang dimiliki petani
Asumsi umum untuk menginterpretasikan hasil perhitungan analisis daya
dukung tersebut, dapat terbagi dalam tiga bagian, yaitu :
1. Apabila CCR >1, berarti dilihat dari kuantitas lahannya, suatu wilayah masih
memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan pokok penduduk dan masih
mampu menerima tambahan penduduk, pembangunan masih dimungkinkan
bersifat ekspansif dan eksploratif lahan.
2. Apabila CCR <1, berarti bahwa berdasarkan jumlah lahan yang ada, di wilayah
tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang bersifat
ekspansif dan eksploratif lahan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
telah berkurang.
53
3. Apabila CCR =1, berarti daerah tersebut masih memiliki keseimbangan antara
kemampuan lahan dan jumlah penduduk, pemenuhan kebutuhan pokok masih
dapat diatasi, namun kondisi ini harus diwaspadai oleh pemerintah daerah.
Perhitungan carrying capacity lahan hanya dilakukan pada lahan pertanian
pangan berupa sawah pasang surut dikarenakan wilayah studi ini merupakan
daerah penyangga pangan dengan komoditi unggulan berupa padi sawah pasang
surut, serta adanya pelarangan tanaman keras diaderah ini, sehingga untuk
tanaman palawija dan perkebunan bukan merupakan komoditi yang dijual
hanya berupa tanaman pekarang dan tanaman di tegalan, karenanya perhitungan
carrying capacity lahan hanya dilakukan pada lahan sawah pasang surut.
Perhitungan carrying capacity lahan pasang surut dilakukan di tiga level
wilayah studi yaitu desa, kecamatan dan kabupaten, hal ini dilakukan
mengingat jika dilakukan perhitungan secara administratif maka ada bias dalam
penghitungan CCR, sehingga jika dilakukan dalam lingkup ekosistem yang
lebih besar maka bias tersebut dapat dikurangi, namun ketersediaan data yang
dapat diperoleh hanya berupa wilayah administratif.
Asumsi wilayah kabupaten, kecamatan dan desa yang digunakan sebagai
perhitungan CCR ini berarti kajian daya dukung lahan yang dilakukan hanya
berupa lahan darat, tidak termasuk wilayah perairan, karena data yang
digunakan adalah data luas lahan pasang surut berdasarkan data kabupaten
dalam angka dari Badan Pusat Statistik, dalam hal ini Banyuasin dalam angka
2009 dan 2010, serta buku profil desa 2010.
4.4.3 Pengukuran Kepadatan Agraris
Tingkat kepadatan penduduk (population density) menggambarkan Jumlah
penduduk pada setiap 1 km2 dalam suatu wilayah. Konsep kepadatan penduduk
ini belum menggambarkan daya dukung dari suatu daerah dalam menampung
Jumlah penduduk, karenanya untuk mengetahui hal itu konsep yang digunakan
sebaiknya adalah konsep daya dukung (Bratakusumah, 2004).
Untuk mengetahui kondisi daya dukung ekosistem (ekologi) pasang surut
dalam menopang kehidupan sosial ekonomi penduduk setempat dilakukan
pengukuran kepadatan agraris, dengan formulasi sebagai berikut :
54
Penduduk (Tahun tertentu)
Kepadatan Agraris =
Luas Lahan Subur
Sehingga :
Panen dalam setahun
Kemampuan Mendukung Kehidupan =
Penduduk (Tahun tertentu )
Hasil perhitungan kepadatan agraris akan menunjukkan tingkat kepadatan
lahan pertanian yang telah digarap, dan dilakukan pembandingan kepadatan
agraris dikedua desa studi dengan kemampuan mendung kehidupannya.
Selanjutnya hasil perhitungan kemampuan mendukung kehidupan ini
dikonversikan dengan nilai rupiah, dimana 1 kilogram gabah diasumsikan sebesar
Rp. 3000/kilogram gabah. Hasil konversi nilai gabah ini akan dibandingakn
dengan upah minimum regional (UMR) dan kebutuhan hidup rata-rata pekerja,
berdasarkan standar Badan Pusat Sattistik (BPS) Kabupaten Banyuasin yaitu
Banyuasin dalam angka tahun 2010.
4.4.4 Analisis Kualitatif
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi kondisi ketahanan Sosial dijawab
dengan melakukan identifikasi dan menganalisis secara kualitatif komponen
ketahanan sosial yang didapat dari hasil wawancara dan pengamatan langsung
yang dilakukan, diolah secara tabulasi dan kemudian menguraikannya secara
deskriftif.
Adapun komponen ketahanan sosial ekologi (socio ecology sustainability)
yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi ketahanan sosial ekologi ini
adalah migrasi penduduk, peralihan mata pencaharian, konflik sosial, bencana
alam (banjir, erosi), desa adat, kepemilikan lahan (fragmentasi lahan),
infrastuktur, serta perubahan tutupan lahan, gangguan perubahan iklim, perubahan
curah hujan, dan masalah-masalah lingkungan lainnya yang mempengaruhi
ekosistem daerah pasang surut.
55
4. 5 Matriks Penelitian
Secara ringkas matrik penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 5 Matriks Penelitian
No Tujuan Alat Analisis Data
Jenis Sumber
1 Menganalisis
Carrying Capacity
- Analisis
CCR - Asumsi CCR
Data Luas lahan
Pertanian Data Jumlah
Penduduk
1. Data
Sekunder 2. Wawancara
3. Kuesioner
2 Untuk mengetahui
status kesejahteraan ekonomi
- Analisis
Pendapatan rumah tangga
- Garis
Kemiskinan (Poverty line)
Data primer tentang
pendapatan usaha pertanian (farm)
dan usaha non
pertanian (non farm)
1. Wawancara
2. Kuesioner
3 Untuk mengetahui
kondisi ketahanan
ekologi
- Pengukuran
kepadatan
agraris - Kemampuan
mendukung
kehidupan
Data primer dan
sekunder
1.Data
Sekunder
2. Wawancara 3. Kuesioner
4 Untuk mengetahui kondisi ketahanan
Sosial ekologi
- Analisis Kualitatif
Data primer dan sekunder
1. Data Sekunder
2. Observasi
3. Wawancara 4. Kuesioner
V. KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1 Kondisi Fisik
5.1.1 Letak, Batas dan Luas Wilayah
Letak suatu wilayah yang strategis akan memberikan kontribusi pengaruh
terhadap perkembangan wilayah tersebut. Kondisi umum daerah penelitian
berkaitan erat dengan Geografis dan Luas Wilayah, Topografi, Demografi,
Pendidikan, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat.
Kabupaten Banyuasin dibentuk berdasarkan pertimbangan pesatnya
perkembangan dan kemajuan pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan dan di
kabupaten Musi Banyuasin Khususnya, sehingga Kabupaten Banyuasin
dimekarkan dari Kabupaten Musi Banyuasin berdasarkan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2002 dan secara resmi Kabupaten Banyuasin berdiri tanggal 2 Juli 2002.
Secara Geografis Kabupaten Banyuasin mempunyai letak yang strategis
berada di jalur lintas antar Provinsi, jalur gerbang transportasi ekspor impor
melalui pelabuhan samudra Tanjung Api-api, dan mempunyai sumber daya alam
yang melimpah serta berbatasan langsung dengan Kota Palembang sebagai
ibukota Provinsi Sumatera Selatan.
Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu dari Lima Belas
Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Sumatera Selatan, secara geografis
terletak pada posisi 1,30- 4,00 Lintang Selatan dan 104,00 - 105,35 Bujur
Timur, dengan batas wilayah:
Sebelah Utara: Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dan Selat
Bangka
Sebelah Timur: Kecamatan Pampangan dan Air Sugihan Kabupaten OKI
Sebelah Barat: Kecamatan Sei Lilin, Lais, Bayung Lencir Kabupaten Musi
Banyuasin
Sebelah Selatan: Kecamatan Sirah Pulau Padang Kabupaten OKI, Kota
Palembang, Kecamatan Sungai Rotan, Kecamatan Talang Ubi
Kabupaten Muara Enim.
58
Luas Wilayah Kabupaten Banyuasin 11.823,99 Km2 (1.182.300,99 Ha)
yang terdiri dari 15 Kecamatan terdiri dari 288 Desa dan 16 Kelurahan.
Kecamatan terluas yaitu Kecamatan Banyuasin II dengan wilayah seluas 2.681,28
km2 atau sekitar 22,66 persen dari luas wilayah Kabupaten Banyuasin.
Kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Air Salek dengan luas 380,35
Km2 atau 3,21% dari luas wilayah Kabupaten Banyuasin.
Daerah Penelitian yaitu Kecamatan Muara Telang, memiliki luas wilayah
1.150,06 Km2 dan berjarak 85 Km dari ibukota Kecamatan yaitu Telang Jaya.
Secara geografis Kecamatan Muara Telang terletak antara 10425’46’’sampai
10452’46’’Bujur Timur dan 2 31’13’’ sampai 357’17’’ Lintang Selatan, erdiri
dari 22 desa.
Tabel 6. Jumlah Desa/Kelurahan di Wilayah Penelitian Tahun 2010
Kecamatan Desa / Kelurahan
Muara Telang 1. Karang Anyar
2. Karang Baru
3. Marga Rahayu
4. Mekar Mukti
5. Mekar Sari
6. Muara Telang
7. Muara Telang Marga
8. Mukti Jaya
9. Panca Mukti
10. Sri Tiga
11. Sumber Hidup
12. Sumber Jaya
13. Sumber Mulya
14. Talang Indah
15. Talang Lubuk
16. Telang Jaya
17. Telang Karya
18. Telang Makmur
19. Telang Rejo
20. Terusan Dalam
21. Terusan Muara
22. Terusan Tengah
Sumber: Banyuasin dalam angka, 2010
59
Batas – batas Wilayah Kecamatan Muara Telang, terdiri dari:
- Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan BA II dan Makarti Jaya
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Makarti Jaya dan Kecamatan
Tanjung Lago
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Lago
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Makarti Jaya.
5.1.2 Topografi dan Hidrologi
Menurut Topografinya wilayah kabupaten Banyuasin terdiri dari 80 persen
daratan rendah berupa pesisir pantai, rawa pasang surut dan lebak terletak di
bagian hilir sungai banyuasin, sedangkan 20 persen merupakan berombak sampai
bergelombang berupa lahan kering dengan ketinggian 0- 40 meter diatas
permukaan laut. Dataran rendah merupakan sumberdaya alam dibidang pertanian
tanaman pangan dan perikanan, dataran tinggi merupakan sumberdaya alam
perkebunan karet, kelapa sawit dan kelapa. Dataran rendah tersebut merupakan
lahan rawa yang telah direklamasi untuk penempatan transmigran di daerah ini.
Untuk Lokasi penelitian yaitu kecamatan Muara Telang sebagian besar
terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 10 m dpl yang sebagian
besar merupakan daerah eks transmigrasi yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Topografi ini sangat cocok untuk pengembangan budidaya tanaman
pertanian seperti persawahan padi dan tanaman pangan lainnya (Kecamatan
Muara Telang, 2012).
Pasang surut adalah proses naik turunnya muka laut secara periodik karena
gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Secara umum di
wilayah studi rata-rata pasang tertinggi (purnama) adalah 3,1 m dan pasang
terendah 0,79 m (Biotrop, 1984 dalam Eddrisea, 2004).
Proses pembentukan tanah didaerah Muara Telang sangat dipengaruhi oleh
proses alluvial, dengan pengaruh tambahan berupa air asin yang merembes atau
menggenangi permukaan tanah pada waktu pasang disebagian wilayah. Pada
wilayah yang tidak dipengaruhi air asin akan terbentuk tanah Tropaquent
(alluvial, gley humus dan gley humus rendah), faktor pembatas utama untuk
pertumbuhan tanaman adalah rendahnya kesuburan tanah, pengeloaan tata air
60
mikro, salinitas dan netralisir kemasaman tanah, di daerah yang relatif rendah
dimana air pasang dapat masuk ke lahan dan pengaruh salinitas tidak begitu besar
masih dipergunakan untuk sawah (Yazid dan Susanto, 2002 dalam Pramono
2003).
Sedangkan jenis tanah di Kabupaten Banyuasin terdiri dari 4 jenis yaitu :
a) Organosol: terdapat di dataran rendah/rawa-rawa
b) Klei Humus: terdapat di dataran rendah/ rawa-rawa
c) Alluvial: terdapat di sepanjang sungai
d) Polzoik: terdapat di daerah berbukit-bukit
Letak lahan rawa pasang surut terletak di sepanjang pantai timur sampai ke
pedalaman meliputi wilayah Kecamatan Muara padang, Makarti Jaya, Muara
Telang, Banyuasin II, Pulau Rimau, Air Salek, Muara Sugihan, Sebagian
Kecamatan Talang Kelapa, Betung dan Tungkal Ilir. Dari sisi Hidrologi
berdasarkan sifat tata air, wilayah Kabupaten Banyuasin dapat dibedakan menjadi
dataran kering dan dataran basah yang sangat dipengaruhi pola aliran sungai.
Aliran sungan dataran basah pola alirannya rectangular dan di daerah dataran
kering pola alirannya dandritik. Beberapa sungai besar seperti sungai musi,
sungai banyuasin, sungai Calik, Sungai Telang, Sungai Upang dan yang lainnya
berperan sebagai sarana transportasi air disepanjang garis pantai lebih dari 150
Km. Sedangkan daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut aliran sungainya
adalah subparali, dimana daerah bagian tengah disetiap daerah sering dijumpai
genangan air yang cukup luas.
Lahan pasang surut dikelompokkan juga berdasarkan jangkauan air pasang
atau ketinggian/muka genangan air yang disebut tipe luapan. Tipe luapan
dibedakan berdasarkan siklus pasang bulanan, diman terdapat tipe A, B, C dan D
Pengelompokkan ini penting untuk arahan penataan dan pemanfaaatan lahan, juga
untuk penentuan sistem pengelolaan air dan pola tanam. Lahan bertipe luapan A
selalu terluapi air pasang besar dan kecil, baik pada musim hujan maupun pada
musim kemarau, sedangkan lahan bertipe luapan B hanya terluapi air pasang besar
pada musim hujan saja, lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang tetapi
kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm, sedangkan lahan bertipe luapan
61
D adalah seperti C hanya kedalaman muka air tanahnya tidak lebih dari 50 cm
(Badan litbang Deptan, 2002).
Untuk Kecamatan Muara Telang rata-rata bertipe luapan A dan B, untuk
desa Telang Rejo bertipe Luapan B sehingga tidak terpengaruh oleh air pasang
karena saat air pasang naik hanya berlangsung beberapa jam saja dan langsung
surut kembali hal ini juga dikarenakan lokasi desa di daerah pedalalam bukan
dipesisir muara sungai, sedangkan untuk Desa Mekar sari rata-rata bertipe luapan
A sehingga saat kemarau tetap terluapi air pasang tetapi tidak sampai merusak
tanaman padi disawah, akan tetapi saat musim hujan rata-rata terluapi pasang
besar dan terjadi banjir dilahan sawah petani sehingga merusak tanaman padi di
sawah, mengakibatkan gagal panen bahkan gagal tanam.
Kecamatan Muara Telang banyak dilalui sungai besar yaitu Sungai Telang
dan Sungai Upang. Keberadaan Sungai ini sebagai sumber air untuk kegiatan
Pertanian dan keperluan domestik. Kecamatan Muara Telang memiliki potensi
untuk pengambilan air bersih (intake). Daerah Aliran Sungai (DAS) Telang
memiliki debit air rata-rata 763m/detik, dan untuk aliran Sungai Telang yang
berada di bagian Barat dan Sungai Upang yang berada dibagian Timur
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut (Kecamatan Muara Telang, 2012).
5.1.3 Iklim dan Curah Hujan
Wilayah Kabupaten Banyuasin memiliki tipe iklim B1 menurut klasifikasi
Oldemand dengan suhu rata-rata 26,10 - 27,40 Celcius dan kelembaban relatif
69,4 persen - 85,5 persen dengan rata-rata curah hujan 2.723 mm/tahun.
Kabupaten Banyuasin memiliki iklim tropis basah dengan variasi hujan antara
1,07 – 13,32 mm sepanjang tahun, dengan hari hujan 96 sampai 191 hari per
tahun, bulan hujan tertinggi pada bulan Oktober sampai Februari dan terendah
bulan Juni sampai Agustus. Seperti iklim kebanyakan di wilayah Indonesia,
secara umum terdapat dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan,
dimana pengaruh arus angin yang bertiup sangat mempengaruhi perubahan musim
tersebut.
62
Kecamatan Muara Telang mempunyai iklim tropis dan basah dengan curah
hujan rata-rata 205,9 mm sepanjang tahun, dengan rata-rata hari hujan 11,5 hari
per bulan. Dengan iklim tropis basah ini , Kecamatan Muara Telang memiliki
kisaran temperature antara 27C sampai dengan 37C (Kecamatan Muara Telang,
2012).
5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Wilayah Kabupaten Banyuasin yang sebagian besar berupa dataran rendah
yaitu pesisir pantai, rawa, pasang surut dan lebak mempengaruhi kehidupan sosial,
ekonomi dan budaya masyarakatnya. Dengan jumlah penduduk yang relatif besar,
potensi sumberdaya manusia yang cukup besar. Jumlah penduduk yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. yang merupakan modal dasar bagi pembangunan
daerah.
Lahan pasang surut merupakan lahan marjinal yang rapuh dengan
karakteristik yang tidak stabil dan selalu berubah sesuai dengan perubahan
lingkungan. Pengelolaan yang salah dari awal akan berdampak negatif dan untuk
memperbaharuinya membutuhkan waktu yang lama sekali, atau bahkan tidak
dapat diperbarui sama sekali. Secara umum kendala yang dihadapi di lahan
pasang surut adalah mengembangkan sosial ekonomi dan kelembagaan (Purnomo,
2003).
5.2.1 Penduduk
Jumlah Penduduk Kabupaten Banyuasin Pada Tahun 2009 adalah 818.280
jiwa, yang diperoleh dari data kependudukan 15 Kecamatan. Dengan jumlah
penduduk laki-laki 412.200 jiwa dan perempuan 406.080 jiwa, sehingga Rasio
Jenis Kelamin 101,151 penduduk Laki-laki dan 100 penduduk Perempuan, hal ini
meunjukkan bahwa penduduk laki-laki berjumlah lebih banyak dari penduduk
perempuan. Jika dibandingkan antara jumlah penduduk dan luas wilayahnya
11.832.99 km2 maka rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Banyuasin pada
tahun 2009 adalah 69.15 jiwa/Km2. Jumlah Rumah Tangga sebanyak 196.230
KK dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4.18 orang per KK.
63
Sedangkan pada tahun 2010 jumlah penduduk Banyuasin mengalami
sedikit penurunan menjadi 797.425 jiwa, dengan kepadatan penduduk 67,39
jiwa/km2. Sedangkan untuk data jumlah rumah tangga pada tahun 2010 belum
tersedia, sehingga dalam penelitian ini diasumsikan bahwa rata-rata anggota
keluarga 4 orang per KK, dan diperoleh jumlah KK sebanyak 199.356 KK.
Penurunan jumlah penduduk ini dikarenakan adanya migrasi penduduk keluar
daerah, baik dikarenakan bekerja maupun sekolah di luar daerah, terutama
penduduk diusia sekolah dan usia produktif.
Salah satu tujuan pembangunan menyangkut kependudukan adalah
meningkatkan pemerataan persebaran penduduk. Dan melalui pemerataan
penduduk secara umum dapat membantu dalam usaha peningkatan kesejahteraan
penduduk. Oleh karena itu dalam usaha pemerataan penduduk idealnya komposisi
jumlah penduduk sebanding dengan luas wilayah suatu daerah (BPS, 2010).
Kepadatan penduduk di lokasi penelitian yaitu Kecamatan Muara Telang
adalah 48,45 jiwa/km dengan luas wilayah 1.150,05 km2 dan jumlah penduduk
53.605 jiwa, dari data tersebut dapat dilihat bahwa penduduk Kecamatan Muara
Telang tidak terlalu padat atau masih jarang. Jumlah rumahtangga di Kecamatan
Muara Telang sebanyak 12.856 rumah tangga, dengan rata-rata anggota rumah
tangga sebanyak 4,17 orang. Jumlah penduduk di desa yang menjadi lokasi
penelitian secara rincinya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Tabel 7 Jumlah Penduduk Desa/Lokasi Penelitian
No Desa Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Jumlah
Rumahtangga
(KK)
Luas
Wilayah
(ha)
1 Telang Rejo 2.883 709 3.602,0
2 Mekar Sari 2.521 772 3.299,5 Sumber : Data Penduduk Kecamatan Muara Telang (2012)
Untuk lebih jelasnya data luas wilayah, jumlah kepala keluarga (KK) dan jumlah
penduduk (jiwa) yang ada dikedua desa lokasi studi ini dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar
4 terlihat bahwa luas wilayah dan jumlah penduduk untuk Desa Telang Rejo jauh lebih luas dan
lebih banyak daripada Desa Mekar Sari, akan tetapi jumlah KK di Desa Telang Rejo lebih sedikit
dari pada Desa Mekar Sari.
64
Gambar 4 Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk, 2012.
5.2.2 Mata Pencaharian
Dengan bertambahnya jumlah penduduk suatu wilayah maka jumlah
tenaga kerja juga akan bertambah, sehingga kebutuhan lapangan kerja dan usaha
baru juga meningkat. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di bidang
pertanian, sektor ini merupakan sektor primer dan memberikan kontribusi yang
dominan dalam pendapatan regional (PDRB) di Kabupaten Banyuasin.
Sumber utama mata pencaharian penduduk di Muara Telang adalah Petani
tanaman pangan (padi). Dari hasil penelitian berdasarkan kuisioner diperoleh
71,99 persen penduduk bertani, dan sisanya bekerja sebagai buruh, pedangang,
tukang, Pegawai negri sipil, dan lain-lain. Sedangkan untuk lokasi penelitian yaitu
Desa Telang Rejo dan Mekar sari dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 8. Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian di Desa/Lokasi Penelitian
Desa Petani PNS Dagang Nelayan UKM PRT Dukun
/Bidan
Telang Rejo 1190 6 6 5 16 15 2
Mekar Sari 1350 15 1 2
Sumber: Profil Desa Telang Rejo dan Muara Telang (2010), data diolah
Tabel 8, terlihat bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian
sebagai petani yaitu 95,96% di Desa Telang Rejo dan 98,68% di Desa Mekar Sari.
Untuk peralihan mata pencaharian ke aktifitas Non Farm terlihat lebih banyak
terjadi di Desa Telang Rejo, sedangkan di Desa Mekar sari masih sedikit sekali.
2883
709
3602
2521
772
3299.5
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000
Jumlah Penduduk (jiwa)
JumlahRumahtangga (KK)
Luas Wilayah(ha)
Mekar Sari Telang Rejo
65
5.2.3 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu ukuran tingkat kemajuan kehidupan dan
kesejahteraan suatu bangsa. Dengan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Peningkatan pendidikan merupakan instrumen
penting yang dapat membawa ke arah terwujudnya kesejahteraan masyarakat,
Bagi pemerintah keuntungan yang diperoleh melalui investasi di bidang
pendidikan antara lain bahwa pendidikan merupakan salah satu cara memerangi
kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan
produktivitas tenaga kerja. Sedangkan bagi masyarakat, semakin baik pendidikan
merupakan modal memperebutkan kesempatan kerja, sehingga pada akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan (BPS, 2010).
Di Kabupaten Banyuasin, jumlah penduduk yang menempuh jenjang
pendidikan dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi sampai tahun 2008
sebanyak 629.616 jiwa. Mayoritas penduduk adalah berpendidikan sampai tingkat
sekolah dasar sebanyak 420.572 jiwa (62,75 persen), dan penduduk yang
berpendidikan sampai jenjang perguruan tinggi sebanyak 10.061 jiwa atau hanya
1,5 persen dari jumlah penduduk yang telah menempuh pendidikan.
Tabel 8 Jumlah Penduduk 10 tahun keatas menurut tingkat pendidikan,
Kabupaten Banyuasin, 2010
No Tingkat Pendidikan Jumlah/Total %
1 Tidak berijazah SD 29.698 3,98
2 SD sederajat 420.572 62,75
3 SMP sederajat 100.166 14,94
4 SMA sederajat 90.103 13,44
5 SM Kejuruan 4.347 0,64
6 Diploma I/II 10.582 1,57
7 Diploma III 4.669 0,69
8 D IV/ S1 keatas 10.061 1,50
Jumlah/ Total 670.198 100 Sumber: Kabupaten Banyuasin dalam Angka, 2010
Hal ini mengindikasikan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat di kabupaten Banyuasin. Rendahnya tingkat pendidikan akan
mempengaruhi kualitas hidup terutama pendapatan, dan cara memperoleh mata
pencaharian. Semakin rendah pendidikan dan pengetahuan maka masyarakat akan
66
cenderung bersifat eksploitatif lahan dan usahatani yang bersifat subsisten.
Sehingga perlu adanya upaya peningkatan taraf pendidikan masyarakat yang
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
5.3 Transmigrasi
Banyuasin merupakan salah satu daerah yang menjadi lokasi penempatan
transmigrasi di Sumatera Selatan. Program transmigrasi ini sejak masa orde baru
hingga sekarang masih terus dilaksanakan dengan tujuan pemerataan jumlah
penduduk dan mempercepat pengembangan daerah. Dari data penempatan
transmigrasi tahun 2005 hingga 2009, Banyuasin masih menjadi tujuan utama
penempatan transmigrasi di Sumatera Selatan. Jumlah transmigran yang
ditempatkan di Banyuasin pada tahun 2009 sebanyak 175 keluarga dengan jumlah
623 jiwa.
Petani transmigran berasal dari daerah di pulau Jawa, pada awal
penempatannya, para transmigran ini memperoleh lahan dari pemerintah seluas
2,25 ha, dengan peruntukan untuk pemukiman dan pekarangan 0,25 ha dan lahan
pertanian 2 ha, serta dipersiapkan lahan cadangan sebanyak 1 ha per KK.
Perkembangan saat ini telah mengalami perubahan baik dari jumlahnya maupun
kepemilikan yang sudah berpindah hak, perubahan ini disebabkan antara lain:
1. Lahan diwariskan sehingga terjadi pemecahan kepala keluarga
2. Lahan diperjual belikan
3. Penambahan garapan di lahan cadangan dan untuk membuka lahan baru di
pinggiran sungai dan hutan
Tabel 10 Penempatan Transmigran di Kabupaten Banyuasin 5 tahun terakhir
Tahun Jumlah KK Jumlah Jiwa
2006 100 364
2007 60 210
2008 100 401
2009 175 623
2010 100 368 Sumber: Banyuasin dalam angka (2010)
67
Hingga saat ini program transmigrasi masih terus berjalan, namun bersifat
swakarsa. Transmigrasi swakarsa ini dilakukan dimana transmigran hanya
diberikan fasilitas lahan pertanian sebesar 2 ha, sedangkan untuk pemukiman dan
biaya kepindahan semuanya menjadi tanggungjawab transmigran sendiri. Pada
Tabel 10, terlihat bahwa penempatan transmigrasi 5 tahun terakhir di Kabupaten
Banyuasin semakin sedikit. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang semakin
bertambah di daerah ini sehingga luas wilayah yang tersedia sebagian besar telah
dimanfaatkan untuk pemukiman dan lahan pertanian.
5.4 Sektor Pertanian
Lebih dari setengah luas wilayah Kabupaten Banyuasin dipergunakan
untuk lahan pertanian, sedangkan sisanya kurang dari setengah luas wilayah
digunakan untuk lahan usaha non pertanian. Lahan pertanian dan perkebunan
seluas seluas 919.767 ha terdiri dari lahan sawah 198.721 ha; perkebunan 206.124
ha; hutan 168.523 ha, rawa, tambak dan kolam 166.688 ha, tegalan dan ladang
35.934 ha sisanya tidak diusahan sebanyak 143.777 ha.
5.4.1 Pertanian Tanaman Pangan
Jumlah produksi padi tahun 2010 sebanyak 795,6 ribu ton atau naik 3,68
persen dibanding jumlah produksi tahun 2009 sejumlah 740,2 ribu ton.
Peningkatan produksi padi disebabkan meningkatnya luas panen dan penggunaan
benih unggul. Saat ini di Kabupaten Banyuasin sedang dilaksanakan Program
Peningkatan Beras Nasional (P2BN) yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas padi melalui penyaluran pupuk bersubsidi, benih unggul dan dan
perluasan lahan sawah oleh pemerintah.
Tanaman palawija meliputi tanaman ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,
kacang kedelai dan jagung. Dari seluruh jenis tanaman palawija produksi
terbanyak ubi kayu mencapai 30,3 ribu ton, diikuti jagung sebanyak 10,3 ribu ton
dan produksi ubi jalar, kacang tanah dan kacang kedelai masing-masing kurang
dari 5,0 ribu ton.
68
5.4.2 Perkebunan
Perkebunan ditinjau dari sisi pelaku usaha, terbagi menjadi dua yaitu
perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Karet, kelapa sawit dan kelapa
merupakan komoditi perkebunan yang banyak diusahakan oleh penduduk di
Kabupaten Banyuasin. Luas perkebunan rakyat dan jumlah petani menurut jenis
komoditi di Kabupaten Banyuasin tahun 2010 adalah sebagai berikut.
Tabel 11 Luas dan jumlah petani perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuasin,
2010
Komoditi Luas Kebun (Ha) Jumlah Petani (KK)
Karet 89.307 37.646
Kelapa Sawit 17.296 15.489
Kelapa 46.476 28.607
Jumlah 153.079 81.742 Sumber: Banyuasin dalam angka (2010)
Dalam Penelitian ini, di Wilayah Pasang Surut Banyuasin, rata-rata tidak
ada lahan yang sengaja diusahakan oleh petani dan diperuntukkan untuk
perkebunan. Tanaman perkebunan yang terdapat di wilayah pasang surut hanya
berupa kelapa dan kelapa sawit yang ditanam dipekarangan dan sebagai tanaman
pagar di tegalan sawah. Hal ini dikarenakan pelarangan tanaman keras didaerah
ini, karena sesuai dengan peruntukkan wilayah pasang surut di Kabupaten
Banyuasin ini adalah sebagai wilayah penyangga pangan.
5.5 Kelembagaan Petani
Sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan
adalah faktor yang menentukan dalam pembangunan pertanian, keberhasilan
pengembangan usahatani di lahan pasang surut tidak cukup dengan hanya
meintroduksi teknologi, tetpi diperlukan adanya dukungan melalui pembinaan dan
pengembangan kelembagaan sebagai sistem penunjang kegiatan usahatani
tersebut. Dengan adanya kelembagaan diharapkan mampu mendukung sistem
usahatani berikut pemecahan masalah yang dihadapi petani.
Lembaga penunjang sistem usahatani dibedakan antara lembaga bisnis dan
lembaga sosial non bisnis. Lembaga penunjang non bisnis antara lain Dewan
Riset Daerah, Penyuluh, P3A, Kelompok Tani yang merupakan lembaga
penunjang usahatani pendampingan, penyampaian dan penggunaan teknologi
69
serta pengerahan partisipasi masyarakat. Lembaga bisnis penunjang usahatani
merupakan lembaga yang bertujuan mencari keuntungan, keberadaan lembaga ini
tergantung ada tidaknya kegiatan bisnis dan bekerjanya mengikuti proses
mekanisme pasar. Bentuk usaha merupakan isaha perorangan, kelompok,
koperasi maupun badan usaha yang kesemuanya mempunyai tujuan untuk
mencari keuntungan, seperti usaha penangkaran benih, penyaluran saprodi, usaha
pelayanan jasa asintan, usaha pengolahan hasil agroindustri, usaha pemasaran
hasil, usaha pelayanan permodalan dan sebagainya Pramono, 2003).
Pembentukan kelompok tani di daerah pasang surut didasarkan pada
pengelompokkan petani berdasarkan domisili dan jenis usaha yang sama. Para
petani yang umumnya berasal dari Jawa yang mengikuti program transmigrasi,
dimana setiap kepala keluarga mendapatkan 0,25 ha lahan pekarangan, 1,0 ha
lahan usaha I dan 1,0 ha lahan usaha II. Jumlah kelompok tani yang ada di
Kecamatan Muara Telang sebanyak 16 hingga 21 kelompok tani Per Desa, yang
tergabung lagi menjadi satu Gapoktan dan terdapat juga Paguyuban Tani.
VI. STRUKTUR NAFKAH DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN
RUMAHTANGGA (ANALISIS MIKRO)
6.1. Pendapatan Rumah Tangga Responden Desa Mekar Sari
Desa Mekar Sari merupakan salah satu desa yang terdapat didaerah pesisir
(muara sungai) di Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin, tepatnya di
jalur 10, desa ini memiliki luas sebesar 1.569 ha/m2, dengan jumlah penduduk
2.498 jiwa. Sebagian besar penduduk merupakan transmigran asal Jawa, Sunda,
Bali serta pendatang dari daerah lain di Sumatera Selatan.
Dalam penelitian ini responden yang diambil di desa Mekar Sari sebanyak
40 rumahtangga yang ditentukan secara purposive (sengaja), dengan
pertimbangan responden tersebut dapat mewakili populasi rumah tangga yang
memiliki mata pencaharian On Farm, Off Farm dan Non Farm serta mewakili
pendapatan rumah tangga yang telah panen dua kali dan yang masih panen (satu
kali dan sebagian besar bekerja sebagai petani, serta berada pada usia produktif
yakni 20 hingga 55 tahun, tingkat pendidikan rata-rata adalah Sekolah Dasar (SD).
Jumlah anggota keluarga rata-rata 4 orang per KK.
On Farm41,63%
Off Farm0,4%
Non Farm57,98%
On Farm
Off Farm
Non Farm
Gambar 5 Persentase Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012.
72
Pada Gambar 5, terlihat bahwa sebagian penduduk telah melakukan
kegiatan Non Farm sebagai mata pencaharian tambahannya dan hanya sedikit
sekali petani yang melakukan usaha sampingan pada kegiatan Off Farm, dari 40
responden hanya 1 (satu) rumahtangga yang melakukan kegiatan Off Farm,
sedangkan untuk kegiatan Non farm sebagian besar dilakukan oleh petani yang
mencari tambahan penghasilan,berupa: usaha penggilingan padi, jasa perontok
padi, dan tengkulak pekerja meubel, P3N, Kepala Dusun, membuka warung,
berdagang sayur.
Tabel 12. Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari
MT Pencaharian Jumlah RT %
On farm 14 35,0
Off Farm 1 2,5
Non farm 25 62,5
Jumlah 40 100,0
Sumber: Data primer diolah, 2012
Rumahtangga yang melakukan kegiatan Non Farm lebih banyak
jumlahnya dibandingkan rumahtangga yang hanya melakukan kegiatan On Farm
saja, meskipun rumahtangga yang melakukan kegiatan Non Farm juga tetap
melakukan kegiatan On Farm yang merupakan mata pencaharian utamanya,
namun jika dibandingkan jumlah petani yang melakukan kegiatan mata
pencaharian tambahan ternyata lebih banyak dari pada petani yang hanya
melakukan kegiatan usaha tani saja, hal berarti sebagian besar rumahtangga petani
merasakan perlunya mencari pendapatan tambahan dari usahatani yang mereka
lakukan. Jika dilihat perbandingan antara jumlah total pendapatan dari suatu
kegiatan mata pencaharian rumah tangga yang dibandingkan dengan jumlah total
rumahtangga yang melakukan kegiatan mata pencaharian tersebut. Total
Pendapatan kegiatan On Farm ternyata memberikan kontribusi terbesar yaitu
41,63 persen dan Off Farm hanya 0,4 persen sedangkan kegiatan Non Farm
memberikan kontribusi pendapatan total/th sebesar 57,98 persen.
73
Dibawah Garis kemiskinan
48%Diatas Garis kemiskinan
52%
Gambar 6 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Mekar Sari, 2012.
Jika dilihat dari persentase 52 persen rumahtangga responden berada diatas
garis kemiskinan, sisanya termasuk kategori miskin dan sangat miskin, sehingga
persentase rumahtangga responden yang termasuk kategori miskin dan sangat
miskin sebanyak 48 persen. Kondisi ini perlu diwaspadai seiring terus
meningkatnya populasi penduduk, maka perlu adanya upaya antisipasi
meningkatnya jumalah rumahtangga miskin. Hampir setengah dari hasil kuisioner
memperlihatkan responden berada pada garis kemiskinan, yang rata-rata hanya
memiliki lahan 0-3 ha, serta bekerja sebagai nelayan, pendapatan terendah adalah
rumahtangga yang hanya bekerja sebagai buruh tani (tenaga upahan) yang tidak
memiliki lahan sendiri.
Rumahtangga miskin cenderung melakukan pergeseran kegiatan mata
pencaharian rumahtangga pada kegiatan Non Farm, dengan tujuan untuk
meningkatkan pendapatan rumahtangga. Akan tetapi hasil studi ini justru
menunjukkan bahwa kegiatan mata pencaharian tambahan Non Farm justru tidak
memberikan kontribusi pendapatan yang lebih tinggi daripada kegiatan mata
pencaharian On Farm. Hal ini dikarenakan kegiatan Non Farm yang dilakukan
rumahtangga lebih banyak pada jenis kegiatan usaha kecil yang tidak produktif
dan lebih pada sektor informal berupa perdagangan dan jasa.
74
Gambar 7 Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012.
Pada Gambar 7, terlihat bahwa sebagian atau 52 persen rumahtangga
responden berada diatas garis kemiskinan, dengan sebaran pendapatan antara
Rp.550.000 hingga Rp.5.000.000 perkapita perbulan, dan 13 persen berada pada
garis kemiskinan dengan kisaran pendapatan Rp. 500.000 sampai Rp. 540.000
perkapita perbulan, serta 35 persen berada dibawah garis kemiskinan dengan
kisaran pendapatan antara Rp. 200.000 hingga Rp. 490.000 perkapita perbulan.
Pendapatan tertinggi rumah tangga responden sebesar Rp. 4.666.667 perkapita
perbulan dan pendapatan terendah rumahtangga responden sebesar Rp. 175.500
perkapita perbulan.
Pendapatan tertinggi adalah rumahtangga responden yang memiliki lahan
yang luas (diatas 5 ha) dan memiliki kegiatan mata pencaharian tambahan berupa
usaha penggilingan padi. Sedangkan pendapatan terendah adalah rumahtangga
yang tidak memiliki lahan, dan hanya bekerja sebagai buruh tani (tenaga upahan).
Hal ini membuktikan ketergantungan rumahtangga terhadap lahan masih tinggi.
Tabel 13 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari
Pendapatan Rata-rata (Rupiah) Garis Kemiskinan (Rupiah)
Total/Th 53.087.500 25.920.000
Total/Bln 4.423.958 2.160.000
Total/ Kapita/Bln 1.150.292 540.000 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
4,500,000
5,000,000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40
Pe
nd
apat
an R
T Pendapatan perkapita/bln
Standar Garis Kemiskinan perkapita/ bln
Responden
75
Secara keseluruhan pendapatan perkapita rata-rata rumahtangga responden
desa Mekar Sari berada diatas garis kemiskinan. Standar garis kemiskinan yang
digunakan adalah standar dari Bank Dunia (World Bank) yaitu 2$ perhari / kapita.
Atau setara dengan konversi rupiah sebesar Rp.18.000 perhari/kapita atau setara
dengan Rp. 540.000 perbulan/kapita.
Gambar 8 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Mekar Sari ,
2012.
Pada Gambar 8, terlihat bahwa pendapatan rumahtangga responden desa
Mekar Sari yang telah melakukan kegiatan usaha tani padi sawah pasang surut
dengan dua kali tanam dalam setahun memiliki pendapatan yang lebih tinggi
dibanding yang masih melakukan satu kali tanam dalam setahun, selisih
pendapatan rumahtangga responden yang melakukan usahatani 1 (satu) kali tanam
dengan dua kali tanam rata-rata 56 persen, sehingga pendapatan rumah tangga
mengalami peningkatan yang cukup besar. Namun masih sedikit sekali
rumahtangga di desa Mekar sari yang telah melakukan dua kali tanam dalam
setahun, hal ini dikarenakan beberapa kendala berupa masalah pasang surut air
yang belum dapat diatasi, saluran air yang rusak dan dangkal sehingga petani
mengalami kesulitan saat air pasang cukup besar, lokasi Desa ini yang berada di
pesisir muara sungai mengakibatkan lahan sawah tergenang disaat pasang, air
pasang bisa menggenangi sawah hingga satu sampai dua hari, yang
mengakibatkan sawah fuso, busuk leher dan gagal panen.
0
20000000
40000000
60000000
80000000
10000000
12000000
14000000
16000000
18000000
20000000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pend
atan
RT/
Th
Responden
2 kali panen/Th
1 kali panen/Th
76
Program dua kali tanam dalam setahun jelas sangat membantu peningkatan
kesejahteraan petani. Hal ini membutuhkan kerjasama yang baik antara petani
dan pemerintah agar program ini terealisasi secepatnya. Dukungan infrastruktur
seperti saluran irigasi, sangatlah diharapkan petani di desa ini, begitu juga peran
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Jika dilihat secara kumulatif maka total
pendapatan rata-rata petani yang panen 2 (dua) kali lebih besar dibandingkan
panen hanya 1 (satu) kali setahun, terlihat dari tabel 14.
Tabel 14 Perbandingan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa
Mekar Sari dengan Frekuensi Panen
Mata Pencaharian Pendapatan Rata-rata (Rp)
Rumahtangga Per Tahun Per Bulan Perkapita
On Farm
Panen satu kali 36.250.000 3.020.833 755.208
Panen dua kali 83.312.500 6.942.708 1.735.677
Off Farm
Panen satu kali 8.400.000 700.000 175.000
Panen dua kali - - -
Non Farm
Panen satu kali 98.800.000 8.233.333 2.058.333
Panen dua kali 107.400.000 8.950.000 2.237.500 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Pada Tabel 14, terlihat bahwa mata pencaharian tambahan berupa kegiatan
Non Farm di desa ini cenderung memberikan tambahan pendapatan, namun
variasi kegiatan pengolahan hasil pertanian masih sangat sedikit. Rata-rata
kegiatan yang dilakukan berupa usaha penggilingan padi, jasa perontok padi, serta
menjadi tengkulak, belum adanya pengetahuan petani tentang inovasi kegiatan
pengolahan hasil pertanian yang dapat memberikan nilai tambah hasil pertanian
merupakan salah satu penyebab sedikitnya variasi kegiatan Non Farm, sehingga
jenis kegiatan Non Form yang ada lebih banyak pada usaha perdagangan dan jasa
informal. Masukan informasi tentang inovasi baru dalam pengolahan hasil
usahatani dalam hal ini padi, sangatlah dibutuhkan untuk dapat memacu
tumbuhnya kegiatan peningkatan nilai tambah hasil pertanian di desa ini.
77
6.2.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo
Desa Telang Rejo yang menjadi lokasi penelitian merupakan salah satu
desa di wilayah Kecamatan Muara Telang yang terletak pada daratan dibagian
dalam tepatnya di jalur 8 jembatan 10, Desa ini memiliki jumlah penduduk 2.237
jiwa, sebagian besar penduduk merupakan transmigran asal pulau jawa dan
pendatang dari daerah lainnya di Sumatera Selatan. Lokasi didaratan bagian
dalam cukup berpengaruh terhadap usahatani padi sawah pasang surut yang
dilakukan, lokasi ini lebih menguntungkan dikarenakan jika terjadi pasang di desa
Telang Rejo tidak sampai merusak areal persawahan karena langsung surut
kembali dalam beberapa jam.
Dalam penelitian ini responden yang diambil di desa Telang rejo sebanyak
40 rumatangga yang ditentukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan
responden tersebut dapat mewakili populasi rumah tangga yang memiliki mata
pencaharian On Farm, Off Farm dan Non Farm serta mewakili pendapatan rumah
tangga yang telah panen 2(dua) kali dan yang masih panen 1 (satu) kali dan
sebagian besar bekerja sebagai petani, serta berada pada usia produktif yakni 20
hingga 55 tahun, tingkat pendidikan rata-rata adalah SMP. Jumlah anggota
keluarga rata-rata 4 orang per KK, dalam setiap rumah tangga rata-rata memiliki
lahan sawah seluas 4 ha.
Gambar 9 Persentase (%) Pendapatan Mata Pencaharian Rumahtangga
Responden Desa Telang Rejo, 2012.
On Farm36%
Off Farm1%
Non Farm63%
78
Pada Gambar 9, terlihat bahwa pendapatan utama rumahtangga responden
mayoritas bersumber dari kegiatan mata pencaharian Non Farm (63 persen), dan
sisanya On Farm (36 persen), sedangkan untuk Off Farm hanya 1 rumahtangga,
sehingga jika dikumulatifkan hanya 1 persen saja. Data ini memberikan
gambaran mulai adanya pergeseran kontribusi pendapatan yang dahulunya hanya
berasal dari kegiatan On Farm saja, saat ini mulai terjadi diversifikasi sumber
pendapatan dan jumlahnya melebihi setengah dari populasi rumahtangga
responden. Rumahtangga petani yang ada di desa ini telah banyak melakukan
berbagai kegiatan mata pencaharian tambahan Non Farm.
Tabel 15 Mata Pencaharian Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo
MT Pencaharian Jumlah RT %
On Farm 17 42.5
Off Farm 1 2.5
Non farm 22 55.0
Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah, 2012
Dari data primer berdasarkan kuisioner diperoleh hasil bahwa sebagian
besar rumah tangga di Desa Telang Rejo bekerja pada kegiatan On Farm yaitu
usaha tani padi sawah pasang surut, selain itu ada juga yang melakukan kegiatan
Non Farm berupa buruh tani, hal ini mengindikasikan masih sangat minim sekali
kegiatan Off farm yang dilakukan penduduk desa Telang Rejo, dari 40 responden
hanya 1 rumahtangga yang melakukan kegiatan Off farm, sedangkan untuk
kegiatan Non farm sebagian besar dilakukan oleh petani yang mencari tambahan
penghasilan, seperti membuka warung, bengkel, counter HP, berdagang sayur,
usaha pembuatan tahu, penjual bakso, pembuat atap, sopir speed boat serta usaha
air minum isi ulang, usaha penggilingan padi, penjual alat-alat pertanian (sarana
produksi) serta jasa perontok padi. Dalam penelitian ini rumahtangga yang
melakukan kegiatan On Farm sebanyak 17 rumahtangga, sedangkan yang
melakukan kegiatan Non Farm sebanyak 22 rumahtangga, , yang rata-rata
merupakan pendatang dari daerah lain di Sumatera Selatan.
79
Dibawah Garis kemiskinan
47%Diatas Garis kemiskinan
53%
Gambar 10 Persentase Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Desa Telang Rejo, 2012.
Sebanyak 53 persen responden berada diatas garis kemiskinan, yaitu
pendapatan perkapita melebihi 2 $ perhari (berdasarkan Standar World Bank)
yang dijadikan standar garis kemiskinan (Poverty Line)dalam penelitian ini,
sedangkan sisanya termasuk kategori rumahtangga miskin dan sangat miskin
sebesar 47 persen. Meskipun sebagian telah berada diatas garis kemiskinan
namun hal ini perlu diwaspadai, mengingat rata-rata responden yang berada diatas
garis kemiskinan ini memiliki kegiatan mata pencaharian tambahan Off Farm dan
Non Farm sedangkan yang hanya mengandalkan kegiatan On Farm saja
cenderung berada pada garis kemiskinan,
jika hal ini dibiarkan terus menerus maka peralihan mata pencaharian dari
kegiatan On farm akan meningkat. Sehingga diperlukan usaha peningkatan
kegiatan Non Farm yang berbasis pertanian pada rumah tangga petani di desa ini,
untuk menjaga keberlanjutan kegiatan On farm sebagai penyedia bahan baku
kegiatan Non Farm, dengan demikian dapat bersinergi dengan penetapan daerah
ini sebagai penyangga pangan., dan juga dapat membatu peningkatan pendaptan
rumahtangga melalui kegiatan peningkatan nilai tambah hasi produksi pertanian
yang dilakukan tersebut.
80
Gambar 11 Sebaran Pendapatan Responden Desa Mekar Sari, 2012.
Pada gambar 11, terlihat bahwa sebagian (53 persen) rumahtangga
responden berada diatas garis kemiskinan, dengan sebaran pendapatan antara
Rp.550.000 hingga Rp.3.500.000 perkapita perbulan, dan 30 persen berada pada
garis kemiskinan dengan kisaran pendapatan Rp. 500.000 sampai Rp. 540.000
perkapita perbulan, serta 17 persen berada dibawah garis kemiskinan dengan
kisaran pendapatan antara Rp. 200.000 hingga Rp. 490.000 perkapita perbulan.
Pendapatan tertinggi rumah tangga responden sebesar Rp. 3.500.000 perkapita
perbulan dan pendapatan terendah rumahtangga responden sebesar Rp. 208.000
perkapita perbulan.
Pendapatan tertinggi adalah rumahtangga responden yang memiliki jumlah
anggota keluarga yang sedikit yaitu hanya 2 orang dengan lahan 3 ha dan telah
melakukan dua kali tanam dalam setahun, sedangkan pendapatan terendah adalah
rumahtangga yang tidak memiliki lahan, dan hanya menyewa lahan sebesar 2 ha,
dan masih melakukan 1(satu) kali tanam dalam setahun serta tidak memiliki mata
pencaharian tambahan lainnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa rumahtangga
yang memiliki lahan sendiri dan telah melakukan 2 (dua) kali tanam dalam
setahun memiliki peluang meningkatkan pendapatan yang jauh lebih besar,
sehingga upaya peningkatan kesejahteraan rumahtangga petani dapat diarahkan
pada melalui penanaman dua kali dalam setahun.
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
3500000
4000000
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40
Pend
apat
an R
T
Pendapatan perkapita/bln
Standar Garis Kemiskinan perkapita/ bln
Responden
81
Gambar 12 Perbandingan Pendapatan On Farm Responden Desa Telang Rejo,
2012.
Jika dilihat dari diagram diatas maka rumahtangga responden yang
melakukan penanaman dua kali dalam setahun, memiliki pendapatan lebih besar
dibanding rumahtangga responden yang melakukan penanaman 1 (satu) kali
dalam setahun. Meskipun pada beberapa rumahtangga responden pendapatan satu
kali tanam hampir menyamai rumahtangga responden dua kali tanam, hal ini
dikarenakan rumahtangga tersebut memiliki kegiatan mata pencaharian tambahan
baik Off Farm maupun Non Farm.
Pendapatan perkapita tertinggi justru diperoleh rumahtangga yang
melakukan kegiatan On Farm ditambah Off Farm dengan panen satu kali,
sehingga meskipun hanya panen satu kali kegiatan tambahan berupa Off Farm,
mampu memberikan tingkat pendapatan yang baik. Jika diusahakan oleh
rumahtangga, kondisi ini akan menjadi lebih baik lagi jika rumahtangga telah
melakukan kegiatan On Farm dengan 2 (dua) kali tanam dalam setahun. Rincian
lebih jelas terlihat pada Tabel 16.
Akan tetpi masih banyaknya kendala berupa ketersediaan infrastruktur
penunjang kegiatan pertanian yang diantaranya berupa pengairan yang baik,
sehingga mampu melakukan dua kali penanaman dalam setahun, selain itu
kendala perubahan iklim seperti tidak menentunya curah hujan, menyebakab
sulitnya dilakukan kegiatan penanaman dua kali setahun.
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
90,000,000
100,000,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pe
nd
ap
ata
n R
T/
Th
Responden
2 kali panen/Th
1 kali panen/Th
82
Tabel 16 Pendapatan Rata-rata Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari
Mata Pencaharian Pendapatan Rata-rata (Rp)
Rumahtangga Per Tahun Per Bulan Perkapita
On Farm
Panen satu kali 45,166,667 3,763,889 940,972.22
Panen dua kali 53,750,000 4,479,167 1,119,791.67
Off Farm
Panen satu kali 19,000,000 1,583,333 395,833
Panen dua kali - - -
Non Farm
Panen satu kali 34,425,000 2,868,750 717,187.50
Panen dua kali 40,500,000 3,375,000 843,750 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Pada Tabel 16, terlihat bahwa mata pencaharian tambahan Non Farm
cenderung tidak memberikan tambahan pendapatan lebih besar, pendapatan
rumahtangga yang melakukan kegiatan Non Farm justru lebih kecil dari pada
pendapatan rumahtangga yang fokus melakukan kegiatan On Farm saja. Hal ini
dikarenakan luas lahan yang dimiliki rumahtangga yang melakukan kegiatan Non
Farm rata-rata lebih kecil dibandingkan rumahtangga yang fokus pada kegiatan
On Farm, ini juga yang menjadi penyebab rumahtangga memilih melakukan
kegiatan Non Farm untuk meningkatkan pendapatannya.
Akan tetapi dari data yang diperoleh kecenderungan kegiatan Off Farm
masih lebih sedikit dilakukan rumah tangga responden dibandingkan dengan
kegiatan Non Farm. Hal ini dikarenakan setiap rumahtangga petani telah
memiliki lahan min 2 ha yang merupakan pemberian pemerintah pada awal
menjadi transmigran di desa ini.
Sama dengan Desa Mekar Sari, di Desa Telang Rejo ini variasi kegiatan
peningkatan produktivitas usaha tani juga masih sangat sedikit, rata-rata kegiatan
yang dilakukan berupa usaha penggilingan padi, jasa perontok padi, serta menjual
alat alat pertanian, sedangkan variasi kegiatan non farm sudah jauh lebih banyak
dibanding desa Mekar Sari. Secara keseluruhan pendapatan perkapita desa ini
masih berada dibawah Desa Mekar Sari, hal ini dikarenakan letaknya yang berada
dibagian dalam, dibandingkan dengan Desa Mekar Sari yang berada di pesisir
muara sungai, sehingga aksesibiltas lebih memadai.
83
6.3 Struktur Nafkah Rumahtangga dan Keberlanjutan Ekonomi Wilayah
Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga dimensi dasar yaitu ekonomi,
sosial (budaya) dan lingkungan (ekologi). Hal ini berkaitan erat dengan upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan mengarahkan
pola produksi dan konsumsi kearah yang seimbang. Pendapatan dan tingkat
kesejahteraan masayarakat merupakan indikator ekonomi yang paling penting
dalam pertumbuhan wilayah, sehingga dengan mengkaji pendapatan rumahtangga
diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kondisi ketahanan ekonomi di
wilayah tersebut serta sekaligus memberikan gambaran tentang tingkat
keberlanjutan dan pertumbuhan wilayah.
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mengkaji bagaimana kondisi
ketahanan ekonomi di wilayah studi. Pertumbuhan ekonomi di wilayah ini
diharapkan mampu memenuhi berbagai kebutuhan pokok masyarakat berupa
kebutuhan akan makanan, pekerjaan, air dan energi. Serta menjaga agar tetap
seimbang dengan daya dukung lahan (carrying capacity) yang tersedia.
6.3.1 Struktur Nafkah Rumahtangga
Struktur nafkah rumahtangga memberikan gambaran besaran kontribusi
masing-masing kegiatan mata pencaharian rumahtangga, sehingga dari struktur
nafkah yang ada ini dapat diketahui kegiatan mata pencaharian apa saja yang
dilakukan oleh rumahtangga responden, dan kecenderungan pergesaran kegiatan
mata pencaharian rumahtangga ke masa yang akan datang, sehingga dapat
diperoleh gambaran kondisi ketahanan ekonomi rumah tangga tersebut.
Pergeseran kegiatan mata pencaharian (sumber nafkah) rumahtangga di
daerah pasang surut sebenarnya telah menjadi isu nasional, dimana terjadi
pergeseran sumber nafkah utama dari pertanian tanaman pangan (On Farm) ke
sumber nafkah lainnya diluar pertanian tanaman pangan (Non Farm). Semakin
mengecilnya kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan
rumah tangga, menyebabkan semakin membesarnya tingkat peralihan mata
pencaharian rumahtangga ke kegiatan non pertanian, dan jika hal ini dibiarkan
maka akan mempengaruhi tingkat produksi pertanian pangan di wilayah ini.
84
Hasil studi ini menunjukkan telah terjadi pergeseran sumber nafkah
rumahtangga responden baik di desa Mekar Sari maupun desa Telang Rejo yang
menjadi lokasi penelitian. Hasil perbandingan struktur nafkah rumahtangga
responden di kedua desa menunjukkan perbedaan kontribusi kegiatan mata
pencaharian rumahtangga, berdasarkan pengelompokkan status kesejahteraan
rumahtangga responden yang dikelompokkan menjadi rumahtangga yang berada
dibawah garis kemiskinan, rumahtangga miskin, dan rumahtangga yang berada
diatas garis kemiskinan, diketahui bahwa masing-masing kelompok status
kesejahteraan rumahtangga terdapat perbedaan struktur mata pencaharian.
Jika dibandingkan tingkat pendapatan kedua desa lokasi studi, maka
terlihat bahwa Desa Mekar Sari memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Namun jika dilihat sebaran distribusi pendapatan dikedua desa hampir sama yaitu
mengumpul pada sebaran pendapatan pertahun antara Rp. 20.000.000 hingga
Rp.75.000.000. Seperti terlihat pada box plot berikut ini.
Gambar 13. Box plot Distribusi Pendapatan pertahun Rumahtangga, 2012
Telang RejoMekar Sari
250000000
200000000
150000000
100000000
50000000
0
Da
ta
Boxplot of Mekar Sari, Telang Rejo
85
Boxplot pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata pertahun
rumah tangga di desa Mekar Sari sebesar Rp. 53.087.500 dan di Desa Telang
Rejo sebesar Rp. 49.045.000, terdapat sedikit perbedaan tingkat pendapatan
dimana Desa Mekar Sari memiliki tingkat pendapatan rata-rata pertahun yang
lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Telang Rejo, hal ini dikarenakan di desa
Mekar Sari terdapat ketimpangan pendapatan yang cukup besar dengan kisaran
pendapatan terendah sebesar Rp. 7.800.000 pertahun dibandingkan dengan
pendapatan tertinggi sebesar Rp. 226.000.000 pertahun. Ketimpangan yang cukup
besar ini disebabkab oleh perbedaan luas lahan yang sangat besar dimana
rumahtangga yang berpendapatan tertinggi memiliki lahan sebesar 10 ha,
sedangkan rumahtangga yang memiliki pendapatan terendah adalah rumahtangga
yang tidak memiliki lahan dan bekerja sebagai nelayan, kondisi ini dikarenakan di
Desa Mekar Sari ini banyak pendatang, wilayah desa yang terletak di daerah
pesisir atau muara sungai mengakibatkan desa ini sering dilalui, dan sebagian
penduduknya adalah pendatang yang menetap sehingga mereka tidak memiliki
lahan, dan bekerja sebagai nelayan, buruh tani maupun sektor informal lainnya.
Untuk Desa Telang Rejo juga terdapat ketimpangan pendapatan meskipun
tidak sebesar di Desa Telang Rejo, dikarenakan penduduk desa ini 99%nya adalah
transmigran yang rata-rata telah memiliki lahan, tingkat pendapatan rata-rata
tertinggi sebesar Rp. 10.000.000 sedangkan untuk tingkat pendapatan rata-rata
terendah sebesar Rp. 152.000.000, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan dalam
pemilikilan lahan dimana rumahtangga dengan tingkat pendapatan tertinggi
memiliki lahan seluas 9 ha, sedangkan rumahtangga dengan tingkat pendapatan
terendah hanya menggarap lahan seluas 2 ha dan lahan tersebut merupakan sewa
bukan milik sendiri.
Sehingga dari sebaran box plot, terlihat kedua desa memiliki ketimpangan
pendapatan, yang dikarenakan kondisi pemilikan lahan, semakin luas lahan yang
dimiliki semakin tinggi tingakat pendapatan dan sebaliknya semakin kecil lahan
atau bahakan tidak memiliki laha akan semakin rendah tingkat pendapatan
rumahtangga tersebut, implikasi adalah bahwa diperlukan suatu upaya
peningkatan pendapatan rumahtangga petani tanpa tergantung pada luas lahan,
akan tetapi tergantung pada produktivitas usaha tani yang dijalankan, misalnya
86
peningkatan intensitas panen, efektifitas rantai pemasaran, serta usaha pengolahan
hasil pertanian yang memberikan nilai tambah, sehingga ekspansi lahan bukan
merupakan satu-satunya alternatif bagi rumahtangga petani untuk meningkatkan
pendapatannya.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Mekar Sari Telang Rejo
Pe
nd
ap
ata
n T
ota
l/T
h(%
)
Desa
Non Farm
Off Farm
On Farm
Gambar 14 Perbandingan Struktur Pendapatan Rumahtangga Responden, 2012.
Tabel 17 Perbandingan Pendapatan Total/Th Rumahtangga Responden
Berdasarkan Kegiatan Mata Pencaharian
No Desa
Pendapatan Total/ Th (Rp)
Total (Rp) On Farm Off Farm Non Farm
1 Mekar Sari 884,000,000 8,400,000 1,231,100,000 2,123,500,000
% 41.63 0.40 57.98 100
2 Telang Rejo 706,000,000 19,000,000 1,236,800,000 1,961,800,000
% 35.99 0.97 63.04 100 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Jika dilihat dari struktur pendapatan rumahtangga responden dikedua desa,
maka terlihat bahwa kegiatan On Farm tidak lagi mendominasi sebagai
penyumbang pendapatan rumahtangga petani. Untuk kegiatan Off Farm sendiri
tidak memberikan kontribusi dikarenakan dari hasil studi diperoleh rasio yang
sangat kecil untuk rumahtangga responden yang melakukan kegiatan mata
pencaharian Off Farm ini, yaitu 1:40, dimana dari 40 responden rumah tangga
hanya ditemukan satu rumahtangga yang bekerja sebagai buruh tani (tenaga
87
upahan harian). Kondisi ini menunjukkan bahwa dikedua desa ini hampir semua
rumahtangga telah memiliki lahan, selain itu pekerjaan sebagai buruh tani tidak
memberikan tingkat pendapatan yang baik untuk rumahtangga, sehingga
rumahtangga lebih memilih melakukan kegiatan mata pencaharian Non Farm.
Terdapat sedikit perbedaan komposisi antara struktur pendapatan di desa
Mekar sari dan Desa Telang rejo, dimana desa Telang Rejo memiliki persentase
kegiatan mata pencaharian Non Farm yang sedikit lebih besar yaitu 22,58 persen,
dibandingkan desa mekar sari yang hanya memiliki persentase 13,61 persen
sehingga persentase kegiatan On Farm di desa Mekar Sari lebih besar
dibandingkan desa Telang Rejo. Pada Tabel 17 terlihat bahwa tingkat pendapatan
desa Mekar sari yang lebih tinggi dikarenakan lebih besarnya persentase kegiatan
On Farm, hal ini berarti bahwa kegiatan On Farm mampu memberikan kontribusi
pendapatan yang lebih baik.
Tabel 18 Status Kesejahteraan Berdasarkan Pendapatan Rata-rata Rumahtangga
Desa
Pendapatan
Total/ Th (Rp)
Jlh
RT
Pendapatan
Rata-rata/ Th
(Rp)
Pendapatan
Rata-rata
Perkapita/
Hari (Rp)
Garis
Kemsk
2$/
Hari
(Rp) Status
Mekar Sari
On Farm 1.625.000.000 14 116.071.429 80.605 18.000 >
Off Farm 8.400.000 1 8.400.000 5.833 18.000 <
Non Farm 490.100.000 25 19.604.000 13.613 18.000 ≤
Telang Rejo
On Farm 1.424.000.000 17 83.764.706 58.169 18.000 >
Off Farm 3.000.000 1 3.000.000 2.083 18.000 <
Non Farm 556.800.000 22 25.309.091 17.575 18.000 ≤
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Jika dilihat dari status kesejahteraan yang dibandingkan dengan standar
garis kemiskinan yaitu 2$/perkapita/hari berdasarkan standar Bank Dunia (World
Bank), maka pada Tabel 18 terlihat bahwa pendapatan perkapita/hari rumahtangga
responden yang berada pada garis kemiskinan adalah rumahtangga responden yng
melakukan kegiatan mata pencaharian tambahan Non Farm, sedangkan
rumahtangga responden yang melakukan kegiatan On Farm berada diatas garis
kemiskinan. Ini memperlihatkan bahwa kegiatan pertanian (On Farm) di kedua
88
desa ini masih berpontesi untuk terus dikembangkan, dan mampu memberikan
kontribusi kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat setempat. Dan untuk
kegiatan mata pencaharian Off Farm dalam hal ini sebagai buruh tani, berada
dibawah garis kemiskinan dengan penghasilan yang sangat minim, sehingga
dalam studi ini diperoleh kegiatan Off Farm sebagai buruh tani sangatlah tidak
diminati masyarakat setempat, hal ini juga yang menjadi penyebab langkanya
tenaga kerja pertanian atau buruh tani di desa ini.
6.3.2. Klasifikasi Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Selanjutnya untuk memperoleh perbandingan klasifikasi tingkat
kesejahteraan tumahtangga dengan struktur mata pencaharian rumahtangga
dimasing-masing desa, dilakukan pengklasifikasian pendapatan rumahtangga yang
golongkan menjadi tiga kelas rumahtangga. Adapun penggolangan kelas
rumahtangga yaitu rumahtangga kelas atas, rumahtangga kelas menengah dan
rumahtangga kelas bawah. Pengklasifikasian dilakukan dengan mengelompokkan
pendapatan rumahtangga berdasarkan strandar nilai rata-rata pendapatan total
pertahun di masing-masing desa yaitu Rp.53.087.500 untuk desa Mekar Sari dan
Rp. 49.045.000 untuk desa Telang Rejo, melalui sebaran normal.
Kelas atas adalah rumahtangga responden yang memiliki pendapatan
diatas pendapatan rata-rata. Kelas menengah adalah rumahrangga responden yang
memiliki pendapatan rata-rata sama dengan atau mendekati pendapatan rata-rata.
Kelas bawah adalah rumahtangga responden yang memiliki pendapatan dibawah
pendapatan rata-rata.
Hasil klasifikasi status kesejahteraan tumahtangga dikedua desa lokasi
studi, yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Di Desa Mekar Sari,
rumahtangga kelas atas berjumlah 10 rumahtangga, kelas menengah berjumlah 8
rumahtangga dan kelas bawah berjumlah 22 rumahtangga, sedangkan di Desa
Telang Rejo rumahtangga kelas atas berjumlah 14 rumahtangga, kelas menengah
berjumlah 9 rumahtangga dan kelas bawah berjumlah 17 rumahtangga.
Jumlah rumahtangga kelas bawah lebih banyak terdapat di Desa Mekar
Sari, hal ini dikarenakan lebih banyak rumahtangga yang memiliki lahan kecil,
serta penduduk Desa Mekar Sari lebih banyak yang menjadi nelayan karena lokasi
89
desa yang terletak di pesisir. Rumahtangga nelayan inilah yang rata-rata memiliki
pendapatan dibawah pendapatan rata-rata, sehingga jika dilihat dari data struktur
pendapatan rumahtangga terlihat Desa Mekar Sari memiliki jumlah rumah tangga
kelas bawah yang lebih banyak dibandingkan Desa Telang Rejo.
Hal ini membuktikan bahwa tingkat pendapatan masih tergantung pada
penguasaan lahan pertanian, mata pencaharian yang tidak berbasis lahan justru
menjadi mata pencaharian yang tidak memberikan pendapatan yang baik bagi
rumahtangga, hal ini juga yang mungkin menyebabkan sektor perikanan atau
pekerjaan sebagai nelayan kurang diminati rumahtangga di desa ini, terlihat dari
jumlah rumahtangga responden yang bekerja sebagai nelayan hanya sedikit yaitu
hanya 4 rumahtangga dari 40 responden, padahal jika dilihat potensi perikanan di
daerah ini cukup besar.
Sehingga peningkatan minat masyarakat terhadap sektor perikanan masih
sangat potensial untuk dikembangkan, namun kondisi yang ada saat ini
masyarakat belum melakukan eksplorasi ke wilayah perairan sebagai tambahan
mata pencaharian rumahtangganya. Penangkapan ikan hanya dilakukan secara
kecil-kecilan sekedar untuk konsumsi rumahtangga saja.
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
Desa Mekar
Sari
Atas Mngh Bawah Desa Telang Rejo
Atas Mngh Bawah
Pe
nd
apat
an/T
h (
%)
Klasifikasi Pendapatan
NF
OF
F
Gambar 15 Perbandingan Struktur Pendapatan Pertahun Rumahtangga
Responden, 2012.
90
Tabel 19 Perbandingan Struktur Pendapatan Total/Th (Rp) Rumahtangga
Responden
Klasifikasi F OF NF Total
Desa Mekar Sari
Atas 576,500,000 608,800,000 1,185,300,000
Menengah 160,000,000 264,600,000 424,600,000
Bawah 147,500,000 8,400,000 357,700,000 513,600,000
Desa Telang Rejo
Atas 430,000,000 730,400,000 1,160,400,000
Menengah 130,000,000 291,000,000 421,000,000
Bawah 146,000,000 19,000,000 215,400,000 380,400,000
Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Pada Gambar 15, terlihat adanya penurunan kontribusi kegiatan sumber
nafkah utama berupa kegiatan On Farm (F) pada rumahtangga responden, hal ini
dikarenakan adanya pergeseran sumber nafkah ke kegiatan lainnya yaitu Off farm
(OF) dan Non Farm (NF), kedua kegiatan ini dinilai masyarakat setempat mampu
memberikan tambahan kontribusi pendapatan bagi rumahtangga responden.
Penurunan fokus mata pencaharian On Farm (F) memberikan sinyal bahwa
kondisi daerah penyangga pangan mulai mengalami peralihan, berbagai kegiatan
mata pencaharian non pertanian mulai berkembang di daerah ini. Studi kasus di
dua desa ini memperoleh hasil bahwa sebagian masyarakat tetap fokus pada
kegiatan pertanian pangan.
Gambar 16 Struktur Pendapatan rumahtangga desa Mekar Sari, 2012.
Rupiah
91
Tabel 20 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari
Kelas
Pendapatan/ th
(Rp) RT
Pendapatan Rata-rata (Rp)
Status Tahun Bulan Hari kapita 2$/ hari
Atas
1,185,300,000
10
118,530,000
9,877,500
329,250
82,313
18,000
>
Menengah
424,600,000
8
53,075,000
4,422,917
147,431
36,858
18,000
>
Bawah
513,600,000
22
23,345,455
1,945,455
64,848
16,212
18,000
<
Sumber: Data primer diolah, 2012
Desa Mekar Sari:
1. Semakin kebawah status kesejahteraannya, maka komposisi kegiatan Non
Farm semakin membesar, dan kegiatan On farm semakin mengecil, hal ini
menggambarkan bahwa kegiatan Non Farm dilakukan rumahtangga miskin
yang ingin mencari penghasilan tambahan dari sektor informal.
2. Rumahtangga yang berada di kelas atas (15 persen) sebagian besar tetap fokus
pada mata pencaharian On Farm, dikarenakan kepemilikan lahan yang luas,
dan tingkat pengetahuan usahatani yang lebih baik sehingga mampu
memberikan pendapatan yang lebih baik.
3. Rumahtangga yang berada dikelas bawah (40 persen) justru lebih banyak yang
melakukan kegiatan pada Non Farm (F), dikarenakan rata-rata rumahtangga
responden yang masuk dalam kelompok status ini, adalah rumahtangga yang
memiliki lahan kecil, bahkan tidak memilki lahan sama sekali
4. Mata pencaharian tambahan pada kegiatan Non Farm (NF) tidak banyak
memberikan kontribusi peningkatan pendapatan rumah tangga, dikarenakan
rata-rata kegiatan Non Farm (NF) yang dilakukan hanyalah jenis usaha kecil-
kecilan (usaha mikro), dibidang perdagangan dan jasa (sektor informal) dan
belum mengarah pada industri pedesaan yang produktif. Jenis kegiatan mata
pencaharian non farm yang dilakukan antara lain: usaha penggilingan padi,
jasa perontok padi, tengkulak, pekerja meubel, kepala dusun, P3N, warung,
berdagang sayur.
5. Sektor pertanian sebagai sektor basis telah mengalami penurunan, dan tidak
bisa diandalkan sebagai satu-satunya fokus kegiatan mata pencaharian
terutama bagi rumahtangga kelas bawah, dan merupakan suatu ancaman bagi
keberlanjutan pertanian tanaman pangan di wilayah pasang surut ini, yang
92
seharusnya kontribusi utama mata pencaharian seluruh rumahtangga adalah
pertanian.
6. Sektor pertanian saja sudah tidak mampu menjadi andalan kegiatan mata
pencaharian dan menopang penghidupan di desa Mekar sari, rumahtangga di
Desa Mekar Sari ini hanya dapat bertahan hidup, jika mereka mampu
mengkombinasikan sumber nafkahnya dalam hal ini On Farm dan Non Farm
yang diarahkan pada tumbuhnya industri pertanian.
-
100,000,000
200,000,000
300,000,000
400,000,000
500,000,000
600,000,000
700,000,000
800,000,000
On Farm Off Farm Non farm
Atas
Menengah
Bawah
Gambar 17 Struktur Pendapatan Rumahtangga desa Telang Rejo, 2012
Tabel 21 Stuktur Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo
Kelas
Pendapatan/
th (Rp) RT
Pendapatan Rata-rata (Rp)
Tahun Bulan Hari kapita
2$/
hari Status
Atas 1.160.400.000 14 82.885.714 6.907.143 230.238 57.560 18.000 >
Menengah 421.000.000 9 46.777.778 3.898.148 129.938 32.485 18.000 >
Bawah 380.400.000 17 22.376.471 1.864.706 62.157 15.593 18.000 <
Sumber: Data primer diolah, 2012
Desa Telang Rejo
1. Komposisi kegiatan On Farm di desa Telang Rejo berfluktuasi atau hampir
sama untuk setiap kelas rumahtangga, dan komposisi terbesar adalah pada
rumahtangga kelas bawah (20 persen), dan komposisi terkecil pada kelas
menengah (7,5 persen), hal ini menggambarkan bahwa kegiatan Non Farm
Rupiah
93
dilakukan secara merata disetiap kelas untuk menambah pendapatan
rumahtangga dari sektor informal.
2. Tingkat pendapatan pada kelas atas dan menengah justru diperoleh dari
kegiatan mata pencaharian non farm, kondisi ini memberikan gambaran
perubahan kegiatan mata pencarian utama di bidang pertanian pangan yang
telah mengalami penurunan pesat dan tidak lagi diandalkan sebagai sumber
pendapatan utama penduduk desa Telang Rejo. Jenis kegiatan mata
pencaharian non farm yang dilakukan rumahtangga antara lain: warung,
bengkel motor, counter HP, usaha pembuatan tahu, pembuat atap, sopir speed
boat, air minum isi ulang, penjual bakso, warung makan, penyedia saprodi,
penggilingan padi, grentek padi.
3. Peningkatan jumlah penduduk dan penurunan kesuburan tanah, dikarenakan
lokasi yang terletak di daratan bagian dalam yang memerlukan pemeliharaan
saluran air irigasi yang baik, menyebabkan rentannya pergeseran mata
pencaharian On Farm terutama pada rumahtangga kelas atas dan menengah.
4. Rumahtangga kelas bawah justru yang lebih banyak tetap mengusahakan
kegiatan On Farm, kondisi ini mempertegas bahwa kontribusi yang diperoleh
dari kegiatan pertanian tanaman pangan belum mampu memberikan tingkat
pendapatan rumah tangga yang baik, sehingga perlu adanya upaya
intensifikasi pertanian di desa Telang Rejo.
5. Keberadaan BPP (Balai Penyuluhan pertanian) Kecamatan Muara Telang di
desa Telang Rejo diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan rumahtangga petani, agar tidak terus terjadi penurunan komposisi
kegiatan On Farm di desa ini, terlebih desa ini juga telah ditetapkan sebagai
salah satu Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Kecamatan Muara Telang.
6. Sektor pertanian juga sudah tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya mata
pencaharian rumahtangga di desa Telang Rejo, sehingga rumahtangga hanya
mampu bertahan hidup jika mereka mampu mengkombinasikan sumber
nafkahnya yaitu On farm dan Non farm yang diarahkan pada industri
pertanian, sehingga mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani
dan sekaligus menjaga keberlanjutan wilayah sebagai penyangga pangan.
94
Tabel 22 Tingkat Pendapatan dan Kegiatan Mata Pencaharian Rumahtangga
Tingkat
Pendapatan
Kegiatan Mata Pencaharian Rumahtangga (%)
F OF NF Total
Desa Mekar Sari
Atas 15,00 - 10,00 25,00
Menengah 7,50 - 12,50 20,00
Bawah 12,50 2,50 40,00 55,00
Desa Telang Rejo
Atas 15,00 - 20,00 35,00
Menengah 7,50 - 15,00 22,50
Bawah 20,00 2,50 20,00 42,50 Sumber: Data primer diolah, 2012
Tabel 22 menjelaskan secara rinci persentase perbandingan kegiatan mata
pencaharian rumahtangga di kedua desa studi, Tabel ini memberikan data struktur
mata pencaharian pada Gambar 17, kegiatan On Farm (F) mayoritas dilakukan
oleh kelas atas di Desa Mekar sari (15 persen) dan rumahtangga kelas bawah di
Desa Telang Rejo (22 persen), yang berarti bahwa kegiatan On Farm (F) di kedua
lokasi studi belum mampu memberikan kontribusi pendapatan yang baik untuk
penghidupan rumahtangga, yang dapat mengakibatkan terancamnya kondisi
ketahanan ekonomi rumah tangga di lokasi studi ini.
Kondisi seperti ini tentunya memaksa para petani untuk melakukan
kegiatan mata pencaharian tambahan diluar On farm (F). Dan bukan tidak
mungkin kegiatan tambahan ini justru akan bergeser menjadi kegiatan mata
pencaharian utama rumahtangga. Jika ternyata kontribusi pendapatan yang
dihasilkan dari kegiatan mata pencaharian tambahan tersebut lebih besar.
Akan tetapi pergeseran mata pencahrian tentunya akan terjadi seiring
pertumbuhan dan perkembangan wilayah, namun jika pergeseran mata
pencaharian rumahtangga lebih pada sektor informal yang tidak mendukung
kegiatan pertanian, maka hal ini menjadi ancaman keberlanjutan wilayah sebagai
penyangga pangan, sehingga pergeseran mata pencaharian tambahan rumah
tangga sebaiknya tetap diarahkan pada kegiatan berbasis pertanian yaitu indusri
hulu dan hilir pertanian, sehingga mampu mensuport kegiatan pertanian itu sendiri
untuk berproduksi lebih banyak dan lebih baik.
95
-
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
90,000
Atas Mngh Bawah
Pen
dap
atan
per
kap
ita/
har
i (R
p)
Kelas Rumahtangga
Mekar Sari
Telang Rejo
Gambar 18 Perbandingan Status Kesejahteraan Rumahtangga Responden
Berdasarkan Klasifikasi Kelas Rumahtangga, 2012.
Jika dilihat pada gambar 18, maka pendapatan perkapita perhari
rumahtangga didesa Mekar Sari lebih tinggi dari desa Telang Rejo, hal ini
dikarenakan kontribusi pendapatan desa Mekar Sari untuk kegiatan mata
pencaharian On Farm lebih besar dibandingkan desa Telang Rejo (mengacu pada
tabel 16), sedangkan kegiatan non farm jauh lebih berkembang di desa Telang
Rejo, sehingga dari data ini dapat dikatakan bahwa kegiatan On Farm sebenarnya
mampu memberikan pendapatan perkapita perhari yang lebih tinggi dibandingkan
kegiatan Non Farm, akan tetapi ini hanya berlaku bagi rumahtangga kelas atas dan
menengah sedangkan pada rumahtangga kelas bawah kegiatan On Farm hanya
membeerikan sedikit pendapatan, sehingga mereka masih berada dibawah garis
kemiskinan.
Baik di desa Mekar sari maupun di desa Telang Rejo, rata-rata rumah
tangga kelas bawah ini adalah rumahtangga yang memiliki lahan sempit atau
bahkan tidak memiliki lahan sehingga mereka menyewa, dikarenakan rata-rata
rumahtangga ini adalah generasi kedua dan ketiga dari transmigran pertama yang
diberi lahan saat kedatangan pertama dilokasi ini, sehingga lahan yang mereka
miliki saat ini adalah lahan yang merupakan pewarisan atau hasil fragmentasi dari
lahan transmigran sebelumnya, hal inilah yang menyebabkan rumahtangga ini
masuk pada kelas bawah, dan lebih banyak melakukan kegiatan mata pencaharian
tambahan Non Farm. Keberlanjutan pertanian tanaman pangan di desa Telang
Garis
kemiskinan
96
Rejo mulai terancam dan memerlukan upaya antisipasi peralihan kegiatan fokus
mata pencaharian utama yaitu pertanian tanaman pangan
Di Desa Mekar Sari, rumahtangga responden yang berada di kelas bawah
cenderung lebih banyak melakukan kegiatan mata pencaharian tambahan atau
Non Farm , hal ini terlihat dari kecilnya kontribusi rumahtangga yang melakukan
kegiatan On Farm saja (12,50%), dan hanya 2,5% rumahtangga yang melakukan
kegiatan Off Farm (OF).
Di Desa Telang Rejo, komposisi kegiatan mata pencaharian rumahtangga
yang berada dikelas atas memperlihatkan semakin mengecilnya kontribusi
kegiatan On Farm (F) yang dilakukan, pada rumahtangga yang berada di kelas
atas, kegiatan On Farm (F) hanya 15 % saja, ini berarti kecenderungan pergeseran
mata pencaharian dari On Farm ke Non Farm lebih besar peluang terjadinya di
desa ini.
Jika dibandingkan dengan Status kesejahteraan berdasarkan standar garis
kemiskinan 2$/kapita/hari berdasarkan strandar Bank Dunia (World Bank), maka
terlihat bahwa rumahtangga kelas bawah di desa Mekar Sari masih berada
dibawah garis kemiskinan. Untuk kontribusi kegiatan mata pencaharian
rumahtangga kegiatan Non Farm memberikan kontribusi pendapatan yang lebih
tinggi pada rumahtangga kelas atas dan menengah tetapi tidak pada rumah tangga
kelas bawah.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan terus berkembangnya kegiatan
mata pencaharian Non Farm yang akan menggeser kegiatan mata pencaharian
utama On Farm, sehingga masyarakat tidak lagi fokus pada pertanian tanaman
pangan, dan lebih tertarik pada kegiatan lain selain pertanian, hal ini dapat
mengancam keberlanjutan pertanian tanaman pangan di desa ini. Sama halnya
dengan desa Mekar Sari, di desa Telang Rejo rumahtangga yang berada dibawah
garis kemiskinan adalah rumahtangga pada kelas bawah, dan kontribusi
pendapatan dari kegiatan Non Farm memberikan tambahan pendapatan yang lebih
besar daripada On Farm.
97
6.3.3 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan
masyarakat secara keseluruhan yang terjadi diwilayah tertentu. Berupa kenaikan
seluruh nilai tambah yang terjadi (Priyarsono, 2007). Jika dikaitkan dengan
pertumbuhan ekonomi wilayah, maka dari data yang diperoleh dalam studi ini,
ekonomi wilayah belum mengalami pertumbuhan, setelah 31 tahun sejak
dibukanya daerah ini sebagai lokasi transmigrasi, dengan tingkat kesejahteraan
yang masih minim baru 52,5% di desa Telang Rejo dan 53% di desa Mekar sari,
memberikan sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat.
Pertumbuhan suatu wilayah melibatkan aspek ekonomi, sosial, lingkungan
dan politik (pemerintah), yang merupakan satu sistem pembangunan yang saling
berkaitan., indikator ekonomi berupa pendapatan masyarakat merupakan indikator
paling penting dalam pembangunan wilayah, perekonomian di daerah studi dalam
hal ini desa Mekar Sari dan desa Telang rejo sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan, terlihat dari mulai terjadinya penurunan sektor primer dan
tumbuhnya sektor tersier dan skunder. Dalam hal ini terjadi penurunan kegiatan
mata pencaharian disektor primer (On Farm) dan terjadi penambahan serta
pergeseran kegiatan mata pencaharian rumahtangga ke sektor tersier (Non Farm)
dan skunder (Off Farm).
Masih minimnya kegiatan peningkatan nilai tambah produk hasil pertanian
yang mampu meningkatkan pendapatan masayarakat setempat, merupakan salah
satu bentuk kebocoran wilayah, dimana proses peningkatan nilai tambah
dilakukan diluar daerah, dalam hal ini rumahtangga menjual dalam bentuh gabah
kering giling (GKG), sedangkan proses selanjutnya dilakukan diluar daerah atau
desa sampai gabah tersebut menjadi beras dan siap dipasarkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan mata pencaharian tambahan
berupa Non Farm belum mampu memberikan peningkatan pendapatan yang lebih
baik, terlihat masih banyaknya rumahtangga yang masuk dalam kelas bawah dan
berada dibawah garis kemiskinan. Kadaan ini dikarenakan usahatani padi sawah
pasang surut yang dilakukan masih dalam satu kali tanam pertahun, dengan
demikian dapat dikatakann bahwa desa atau lokasi studi ini memiliki prospek
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya melalui peningkatan frekuensi
98
panen, dan memberikan nilai tambah bagi produksi usahatani dalam hal ini padi
atau pengolahan pasca panen yang memungkinkan munculnya agroindusti,
kegiatan mata pencaharian Non Farm yang diarahkan pada peningkatan nilai
tambah hasil panen ini juga dapat mendorong terjadinya peningkatan produksi,
selain itu kebocoran wilayah yang terjadipun dapat dikurangi yang otomatis
memberikan akumulasi pendapatan ke dalam daerah.
Melalui peningkatan kegiatan pengolahan hasil pertanian, selain dapat
meningkatkan pendapatan rumahtangga, diharapkan mampu mempertahankan
keberlanjutan ekonomi wilayah pasang surut ini, terutama keberlanjutan sebagai
daerah penyangga pangan. Kesejahteraan rumahtangga petani merupakan
indikator utama penentu ketahanan ekonomi wilayah serta keberlanjutan
ketahanan pangan, dan dalam jangka panjang mampu mempertahankan
keberlanjutan wilayah.
Selanjutnya kegiatan Non Farm yang memberikan nilai tambah bagi
pendapatan rumahtangga petani ini juga diharapkan mampu memberikan Spread
Effect kepada masyarakat sekitarnya bahkan desa disekitarnya, menimbulkan
terjadinya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, dari hasil studi ini dapat dibuat
suatu skema yang mungkin dapat dikembangkan bagi peningkatan pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi wilayah dilokasi studi ini.
Gambar 19. Skema Peningkatan Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
On Farm Non Farm
Keragaman jenis
kegiatan Non
Farm (Industri
Pertanian)
Masukan:
Pengetahuan
Informasi
Inovasi
Teknologi
Fasilitas Pemerintah:
- Akses Modal
- Akses pemasaran
- Infrastruktur penunjang pertanian
- Penataan Kelembagan petani
Peningkatan Pendapatan dan
kesejahteraan rumahtangga
+
Pertumbuhan ekonomi
Wilayah
99
Keberlanjutan wilayah melalui penguatan ketahan ekonomi rumahtangga
yang diselaraskan dengan kehidupan sosial serta senantiasa menjaga
keseimbangan ekologi, harus terus mendapat perhatian baik dari pemerintah
maupun masyarakat setempat, karenanya selain fasilitas yang diperlukan dari
pemerintah, rumahtangga petani juga diharapkan mampu berperan aktif melalui
partisipasi dalam kelompok tani, kelembagaan yang ada untuk memberikan
masukan, pendapat dan alternatif yang mampu menyelesaikan permasalahan
melalui kerjasama yang baik antar masyarakat.
Keberlanjutan mata pencaharian rumahtangga dalam kegiatan On Farm
dilokasi studi ini masih berprospek untuk di pertahankan, jika masyarakat mampu
menumbuhkan berbagai jenis kegiatan Non Farm yang berbasis pada produk
usahatani atau industri pertanian, akan tetapi sebaliknya jika masyarakat lebih
banyak melakukan pergeseran mata pencaharian ke Non Farm dibidang informal,
maka kemungkinan terbesar justru kemiskinan yang akan meningkat, karena
masyarakat lebih tertarik kesektor informal yang belum mampu menjamin
pendapatan rumahtangga dalam jangka panjang. Kesadaran akan pentingnya
menjaga keseimbangan alam, senantiasa diharapkan agar rumahtangga mampu
melakukan kegiatan mata pencaharian yang senantiasa selaras dengan alam, untuk
dapat menjamin keberlanjutan wilayah.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh berdasarkan potensi yang ada
dalam rangka mendukung dan menjadikan kawasan Desa Telang Rejo dalam
Skala luas Delta Telang I yang telah diprogramkan sebagai kawasan Kota Mandiri
Telang dan program peningkatan indeks pertanaman IP 200 adalah dengan
menerapkan program Prima Tani sebagai salah satu upaya trobosan dalam hal
inovasi dan diseminasi teknologi pertanian.
Selain permasalahan panen satu kali setahun, permasalahan lainnya yang
dihadapi petani, antara lain: infrastruktur seperti pengairan yang dangkal, belum
tersedianya pintu air, dan pemasaran yang kerapkali dipermainkan oleh para
tengkulak dalam penentuan harga jual. Sehingga optimalisasi peran BULOG serta
lembaga pemasaran tingkat desa perlu dilakukan secepatnya, agar petani memiliki
kekuatan dalam penentuan harga jual hasil usahatani.
100
Hasil survey dan wawancara dilapangan menunjukkan bahwa program-
program yang ada belum maksimal, terlihat masih didominasinya peran tengkulak
pada kedua desa lokasi studi, bahkan menurut para responden rumahtangga
petani peran BULOG hampir tidak meraka rasakan sama sekali sebagai
pengendali harga serta tidak adanya lembaga pemasaran ditingkat petani seperti
KUD, keberadaan Terminal Agribisnis pun belum membantu petani dalam
penyaluran hasil taninya dikarenakan jaraknya yang sangat jauh yaitu di
pangkalan Balai dan Betung, sedangkan di daerah perairan sendiri khususnya
Kecamatan Muara Telang belum ada Terminal Agribisnis.
6.4. Ikhtisar
Dalam penelitian ini responden yang diambil berasal dari dua (2) desa,
dimana pada masing-masing desa diambil sebanyak 40 rumahtangga responden
yang ditentukan secara purposive (sengaja), yang mewakili populasi rumah tangga
yang memiliki mata pencaharian On Farm, Off Farm dan Non Farm serta
mewakili pendapatan rumah tangga yang telah panen 2(dua) kali dan yang masih
panen 1 (satu) kali.
6.4.1. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari
Sebagian besar rumahtangga petani merasakan perlunya mencari
pendapatan tambahan diluar usahatani, pertanyaannya apakah benar kegiatan mata
pencaharian tambahan ini memberikan kontribusi pendapatan yang lebih baik
daripada hanya melakukan usahatani saja. Total Pendapatan kegiatan On Farm
ternyata memberikan kontribusi terbesar yaitu 42% dan Off Farm hanya 0%
sedangkan kegiatan Non Farm memberikan kontribusi pendapatan total/th sebesar
58%.
Jika dilihat dari persentase 52% rumahtangga responden berada diatas
garis kemiskinan, sisanya termasuk kategori miskin dan sangat miskin, sehingga
persentase rumahtangga responden yang termasuk kategori miskin dan sangat
miskin sebanyak 48%. Kondisi ini perlu diwaspadai seiring terus meningkatnya
populasi penduduk, maka perlu adanya upaya antisipasi meningkatnya jumalah
rumahtangga miskin. Hampir setengah dari hasil kuisioner memperlihatkan
101
responden berada pada garis kemiskinan, yang rata-rata hanya memiliki lahan 0-3
ha, serta bekerja sebagai nelayan, pendapatan terendah adalah rumahtangga yang
hanya bekerja sebagai buruh tani (tenaga upahan) yang tidak memiliki lahan
sendiri.
Rumahtangga Responden Desa Mekar Sari yang telah melakukan kegiatan
usaha tani padi sawah pasang surut dengan 2 (dua) kali tanam dalam setahun
memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibanding yang masih melakukan 1 (satu)
kali tanam dalam setahun, selisih pendapatan rumahtangga responden yang
melakukan usahatani 1 (satu) kali tanam dengan 2 (dua) kali tanam rata-rata 56%,
sehingga pendapatan rumah tangga mengalami peningkatan yang cukup besar.
Namun masih sedikit sekali rumahtangga di desa Mekar sari yang telah
melakukan 2 (dua) kali tanam dalam setahun, hal ini dikarenakan beberapa
kendala berupa masalah pasang surut air yang belum dapat diatasi, saluran air
yang rusak dan dangkal sehingga petani mengalami kesulitan saat air pasang
cukup besar, lokasi Desa ini yang berada di pesisir muara sungai mengakibatkan
lahan sawah tergenang disaat pasang, air pasang bisa menggenangi sawah hingga
1 sampai 2 hari, yang mengakibatkan sawah fuso, busuk leher dan gagal panen.
6.4.2. Pendapatan Rumahtangga Responden Desa Telang Rejo
Pendapatan utama rumahtangga responden mayoritas bersumber dari
kegiatan mata pencaharian Non Farm (63%), dan sisanya On Farm (36%),
sedangkan untuk Off Farm hanya 1 rumahtangga, sehingga jika dikumulatifkan
hanya 1% saja. Data ini memberikan gambaran mulai adanya pergeseran
kontribusi pendapatan yang dahulunya hanya berasal dari kegiatan On Farm saja,
saat ini mulai terjadi diversifikasi sumber pendapatan dan jumlahnya melebihi
setengah dari populasi rumahtangga responden. Rumahtangga petani yang ada di
desa ini telah banyak melakukan berbagai kegiatan mata pencaharian tambahan
Non Farm.
Sebanyak 53% responden berada diatas garis kemiskinan, yaitu
pendapatan perkapita melebihi 2 $ perhari (berdasarkan Standar World Bank)
yang dijadikan standar garis kemiskinan (Poverty Line)dalam penelitian ini,
sedangkan sisanya termasuk kategori rumahtangga miskin dan sangat miskin
102
sebesar 47%. Meskipun sebagian telah berada diatas garis kemiskinan namun hal
ini perlu diwaspadai, mengingat rata-rata responden yang berada diatas garis
kemiskinan ini memiliki kegiatan mata pencaharian tambahan Off Farm dan Non
Farm sedangkan yang hanya mengandalkan kegiatan On Farm saja cenderung
berada pada garis kemiskinan, jika hal ini dibiarkan terus menerus maka peralihan
mata pencaharian dari kegiatan On farm akan meningkat, sehingga diperlukan
usaha peningkatan kegiatan Non Farm yang berbasis pertanian pada rumah tangga
petani di desa ini, untuk menjaga keberlanjutan kegiatan On farm sebagai
penyedia bahan baku kegiatan Non Farm, dengan demikian dapat bersinergi
dengan penetapan daerah ini sebagai penyangga pangan.
Rumahtangga responden yang melakukan penanaman 2 (dua) kali dalam
setahun, memiliki pendapatan lebih besar dibanding rumahtangga responden yang
melakukan penanaman 1 (satu) kali dalam setahun. Meskipun pada beberapa
rumahtangga responden pendapatan satu kali tanam hampir menyamai
rumahtangga responden dua kali tanam, hal ini dikarenakan rumahtangga tersebut
memiliki kegiatan mata pencaharian tambahan baik Off Farm maupun Non Farm.
6.4.3. Struktur Pendapatan Rumahtangga
Jika dibandingkan tingkat pendapatan kedua desa lokasi studi, maka
terlihat bahwa Desa Mekar Sari memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi,
namun jika dilihat sebaran distribusi pendapatan di kedua desa hampir sama yaitu
mengumpul pada sebaran pendapatan pertahun antara Rp. 20.000.000 hingga
Rp.75.000.000. Boxplot pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata
pertahun rumah tangga di desa Mekar Sari sebesar Rp. 53.087.500 dan di desa
Telang Rejo sebesar Rp. 49.045.000.
Jika dilihat dari status kesejahteraan yang dibandingkan dengan standar
garis kemiskinan yaitu 2$/perkapita/hari berdasarkan standar Bank Dunia (World
Bank), terlihat bahwa pendapatan perkapita/hari rumahtangga responden yang
berada pada garis kemiskinan adalah rumahtangga responden yng melakukan
kegiatan mata pencaharian tambahan Non Farm, sedangkan rumahtangga
responden yang melakukan kegiatan On Farm berada diatas garis kemiskinan. Ini
memperlihatkan bahwa kegiatan pertanian (On Farm) di kedua desa ini masih
103
berpontesi untuk terus dikembangkan, dan mampu memberikan kontribusi
kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat setempat.
Di desa Mekar Sari, Semakin kebawah status kesejahteraannya, maka
komposisi kegiatan Non Farm semakin membesar, dan kegiatan On farm semakin
mengecil, rumahtangga yang berada di kelas atas (15%) sebagian besar tetap
fokus pada mata pencaharian On Farm, Rumahtangga yang berada dikelas bawah
(40%) justru lebih banyak yang melakukan kegiatan pada Non Farm (F), kegiatan
Non Farm (NF) yang dilakukan hanyalah jenis usaha kecil-kecilan (usaha mikro),
dibidang perdagangan dan jasa (sektor informal) dan belum mengarah pada
industri pedesaan yang produktif, sektor pertanian sebagai telah mengalami
penurunan, dan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya fokus kegiatan mata
pencaharian terutama bagi rumahtangga kelas bawah, dan merupakan suatu
ancaman bagi keberlanjutan pertanian tanaman pangan diwilayah pasang surut ini.
Di desa Telang Rejo, Komposisi kegiatan On Farm di desa Telang Rejo
berfluktuasi atau hampir sama untuk setiap kelas rumahtangga, tingkat pendapatan
pada kelas atas dan menengah justru diperoleh dari kegiatan mata pencaharian
Non Farm, Rumahtangga kelas bawah justru yang lebih banyak tetap
mengusahakan kegiatan On Farm.
Jika dibandingkan dengan Status kesejahteraan berdasarkan standar garis
kemiskinan 2$/kapita/hari berdasarkan strandar Bank Dunia (World Bank), maka
terlihat bahwa rumahtangga kelas bawah di desa Mekar Sari masih berada
dibawah garis kemiskinan, Sama halnya dengan desa Mekar Sari, di desa Telang
Rejo rumahtangga yang berada dibawah garis kemiskinan adalah rumahtangga
pada kelas bawah, dan kontribusi pendapatan dari kegiatan Non Farm
memberikan tambahan pendapatan yang lebih besar daripada On Farm.
6.4.4 Keberlanjutan Ekonomi Wilayah
Jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, maka dari data yang
diperoleh dalam studi ini, ekonomi wilayah belum mengalami pertumbuhan,
setelah 31 tahun sejak dibukanya daerah ini sebagai lokasi transmigrasi, dengan
tingkat kesejahteraan yang masih minim baru 52,5% di desa Telang Rejo dan 53%
104
di desa Mekar sari, memberikan sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan
sangat lambat.
Keberlanjutan mata pencaharian rumahtangga dalam kegiatan On Farm
dilokasi studi ini masih berprospek untuk di pertahankan, jika masyarakat mampu
menumbuhkan berbagai jenis kegiatan Non Farm yang berbasis pada produk
usahatani, akan tetapi sebaliknya jika masyarakat lebih banyak melakukan
pergeseran mata pencaharian ke Non Farm dibidang informal, maka kemungkinan
terbesar justru kemiskinan yang akan meningkat, karena masyarakat lebih tertarik
kesektor informal yang belum mampu menjamin pendapatan rumahtangga dalam
jangka panjang. Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam,
senantiasa diharapkan agar rumahtangga mampu melakukan kegiatan mata
pencaharian yang senantiasa selaras dengan alam, untuk dapat menjamin
keberlanjutan wilayah.
Selain permasalahan panen satu kali setahun, permasalahan lainnya yang
dihadapi petani, antara lain: infrastruktur seperti pengairan yang dangkal, belum
tersedianya pintu air, dan pemasaran yang kerapkali dipermainkan oleh para
tengkulak dalam penentuan harga jual. Sehingga optimalisasi peran BULOG serta
lembaga pemasaran tingkat desa perlu dilakukan secepatnya, agar petani memiliki
kekuatan dalam penentuan harga jual hasil usahatani.
VII. DAYA DUKUNG LAHAN (CARRYING CAPACITY),
KEPADATAN AGRARIS DAN KONDISI SOSIAL EKOLOGI
(ANALISIS MAKRO)
7.1. Kondisi Wilayah Pasang Surut Kabupaten Banyuasin
Sebagian wilayah Kabupaten Banyuasin berupa rawa pasang surut yang
sangatlah berpotensi bagi pengembangan pertanian pangan dengan penggunaan
teknologi yang sesuai. Pembukaan areal rawa pasang surut yang merupakan lahan
suboptimal telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1969 melalui reklamasi,
namun sebelumnya areal ini telah lebih dahulu dibuka oleh para pendatang dari
Bugis sejak tahun 1930. Pembukaan lahan pasang surut atau reklamasi dilakukan
dengan tujuan untuk mendrainase kelebihan air permukaan dan air tanah,
memungkinkan penyaluran air (pasang) untuk tanaman, mencegah banjir,
mencegah intrusi air asin, menyediakan fasilitas transportasi untuk perahu-perahu
kecil (P2DR, 1995). Untuk tujuan diatas maka langkah awal dalam reklamasi
rawa ini adalah dengan membuat saluran drainase. Saluran yang dibuat adalah
saluran primer, sekunder, dan tersier (Dinas PU Pengairan Sumsel, 2011).
Beberapa lokasi yang dibuka dan dikembangkan untuk persawahan dengan
masukan teknologi yang tepat dan pengelolaan air yang memadai telah
memberikan hasil yang mampu menyamai persawahan beririgasi. Kondisi ini
memberikan gambaran bahwa daerah ini sangat prospektif bagi kegiatan di sektor
pertanian. Sedangkan tanaman perkebunan yang terbukti potensial untuk
dikembangkan antara lain adalah karet, kelapa, kelapa sawit, dan kopi. Karet
dapat dikembangkan di lahan kering. Kelapa, kopi (varietas tertentu) dapat
dikembangkan di lahan pasang surut. Sedangkan kelapa sawit dapat
dikembangkan baik di lahan kering maupun pasang surut (Humas Kabupaten
Banyuasin, 2011).
Lokasi Penelitian ini mengambil Sampel di Kecamatan Muara Telang
dengan ibukota desa Telang Jaya, luas wilayah kecamatan ini 1.150 km2 yang
mencakup 22 desa definitif terdiri dari 12 desa eks Transmigrasi dan 10 Desa eks
Marga. Desa yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Desa Telang Rejo dan
Desa Mekar Sari, kedua desa ini ditentukan secara sengaja (Purposive) dengan
pertimbangan bahwa Kedua desa ini memiliki penduduk yang cukup padat, rata-
106
rata penduduk bermata pencarian sebagai petani sawah, berada di daerah pesisir
sungai yaitu desa Mekar Sari dan berada di daerah pedalaman yaitu desa Telang
Rejo.
Kondisi lahan pasang surut di kedua desa lokasi studi ini memerlukan
penanganan yang lebih baik, dimana pemeliharaan saluran air yang kurang baik,
sehingga saluran banyak yang dangkal, hal ini tentunya mempengaruhi tingkat
produktifitas padi yang dihasilkan. Jika dengan tata air yang baik memungkinkan
dilakukan penanaman dua kali dalam setahun, maka dengan kondisi saluran air
yang ada saat ini petani masih mengalami kesulitan untuk melakukan penanaman
dua kali dalam setahun. Untuk menjaga keberlanjutan dari areal pasang surut ini
pemeliharaan terus menerus menjadi sangat penting, penyumbatan saluran air
akibat pertumbuhan gulma, serta tidak mengalirnya air dari irigasi yang
mengakibatkan kekeringan pada lahan dapat diatasi dengan adanya pemeliharaan
yang terus menerus, dan ini tentunya tidak hanya menunggu penanganan dari
pemerintah saja, akan tetapi perlu dilakukan penggerakan inisiatif petani dan
kelompok tani untuk melakukan pemeliharaan saluran air tersebut secara
berkelanjutan untuk kepentingan bersama.
Secara umum lahan yang tersedia di kedua desa penelitian ini telah digarap
semua, termasuk lahan cadangan yang disediakan oleh pemerintah, bahkan lahan
yang dimiliki pemerintah juga telah mereka garap saat ini. Kepemilikan dan
penguasaan lahan yang semakin meluas ini menyebabkan langkanya tenaga kerja
petani penggarap, hal ini menyebabkan produktivitas lahan kurang optimal dan
tingkat kesejahteraan penduduk tidak berbanding lurus dengan penambahan luas
lahan tersebut. Untuk lebih jelasnya dilakukan perhitungan dan analisis Carrying
Capacity untuk melihat daya dukung lahan yang ada saat ini, analisis pendapatan
rumahtangga untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat saat ini, serta
analisis kondisi sosial ekologi untuk mengetahui kondisi lingkungan hidup dan
permasalahan kehidupan masyarakat tani di daerah ini.
107
7.1. Kemampuan Daya Dukung (Carrying Capacity)Lahan
Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi pertimbangan
terpenting dalam penataan ruang, agar alokasi pemanfaatan ruang seimbang
dengan kondisi dan kapasitas sumberdaya yang tersedia dalam wilayah.
Sumberdaya utama yang mendasari daya dukung lingkungan adalah lahan dan air,
keterbatasan lahan dan air akan menjadi pembatas utama dukungan lingkungan
bagi aktivitas manusia di suatu wilayah (Rustiadi, 2010).
Dalam studi ini dilakukan penghitungan daya dukung sumberdaya utama
yaitu lahan sawah pasang surut. Mengingat komoditi utama dan mayoritas sebagai
fokus mata pencaharian diwilayah pasang surut ini adalah padi sawah pasang
surut., sehingga daya dukung lahan menjadi sumber daya utama.
7.1.1 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan pasang Surut Kabupaten
Banyuasin
Tabel 23 Hasil perhitungan CCR lahan sawah pasang surut Kabupaten Banyuasin
Banyuasin Tahun A x r H x h x F CCR
2009 207.939 576.916 0,36
2010 156.209 568.165 0,27 Sumber: Banyuasin dalam angka (2009, 2010), data diolah
Hasil perhitungan Carrying Capacity (CCR) lahan sawah pasang surut di
Kabupaten Banyuasin yang diperoleh kurang dari satu (1) atau CCR < 1 yaitu
0,36 pada tahun 2009 dan 0,27 pada tahun 2010, sehingga asumsinya Carrying
Capacity lahan pasang surut di Kabupaten Banyuasin berada pada status defisit,
yang berarti bahwa berdasarkan jumlah lahan yang ada, di wilayah tersebut sudah
tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan
eksploratif lahan, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk
menjadi berkurang. Sehingga yang perlu dilakukan adalah program peningkatan
produktifitas usahatani, berupa intensifikasi pertanian, perbaikan teknologi,
peningkatan pengetahuan dan akses informasi petani, perbaikan sarana dan
prasarana penunjang produksi pertanian, serta penyediaan sarana pemasaran hasil
usahatani berupa pasar bagi komoditi yang dihasilkan, yang diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan petani tanpa harus melakukan perluasan lahan
pertanian secara terus menerus.
108
Gambar 20 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kabupaten Banyuasin ,
2009-2010.
Pada Gambar 20, terlihat bahwa Carrying Capacity (CCR) lahan sawah
pasang surut di Kabupaten Banyuasin mengalami penurunan dari tahun 2009
sebesar 0.36 menjadi 0.27, menurun sebesar 76 perssen dibanding tahun
sebelumnya. Tanpa adanya penurunan sebesar ini saja kondisi Carrying Capacity
telah berada pada status defisit, jika kondisi ini terus dibiarkan maka wilayah
pasang surut di Kabupaten Banyuasin ini terancam keberlanjutannya, dan hal ini
perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik pemerintah, instansi dan
penduduk didaerah tersebut.
7.2.2 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Kecamatan
Muara Telang
Tabel 24 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Kecamatan Muara Telang
Muara Telang Tahun A x r H x h x F CCR
2009 26.753 36.640 0.73
2010 33.350 55.618 0.60 Sumber: Banyuasin dalam angka, data diolah (2009,2010).
0.36
0.27
-
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
CCR 2009 CCR 2010
CCR 2009
CCR 2010
109
Untuk Kecamatan Muara Telang yang menjadi lokasi penelitian, Carrying
Capacity (CCR) lahan sawah pasang surut yang diperoleh juga kurang dari 1 atau
CCR < 1, yaitu 0,73 pada tahun 2009 dan 0,60 pada tahun 2010. Sehingga
Carrying Capacity lahan pasang surut di Kecamatan Muara Telang diasumsikan
berada pada status defisit, yang berarti diwilayah Kecamatan Muara Telang ini
sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif
dan eksploratif lahan. Ketersediaan lahan sudah habis, sehingga penduduk perlu
menyadari kondisi ini untuk dapat menahan laju perluasan atau ekspansi lahan
secara terus menerus.
Hasil survei dan wawancara dilapangan menunjukkan rata-rata petani di
daerah ini telah membuka semua lahan yang tersedia, bahkan telah merambah
perluasan ke daerah disekitarnya, baik dengan cara membeli maupun
memanfaatkan lahan tidur milik pemerintah. Akan tetapi semakin luasnya areal
sawah yang dibuka tidak yang diimbangi dengan peningkatan produksi hasil
pertanian, dikarenakan kurangnya tenaga kerja untuk menggarap lahan dan
frekuensi panen yang saat ini rata-rata masih satu kali dalam setahun. Minimnya
pengetahuan tentang cara-cara peningkatan produktivitas usaha tani,
menyebabkan petani terus menerus berusaha melakukan perluasaan areal sawah,
karena hanya cara inilah yang menurut mereka mampu meningkatkan pendapatan
rumahtangganya.
Gambar 21 Penurunan Carrying Capacity Lahan Kecamatan Muara Telang,
Kabupaten Banyuasin, 2009-2010.
0.73
0.60
-
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
CCR 2009 CCR 2010
CCR 2009
CCR 2010
110
Hasil perhitungan menunjukkan terjadi penurunan Carrying Capacity
(CCR) di Kecamatan Muara telang sebesar 82 persen dari 0,73 pada tahun 2009
menjadi 0,60 pada tahun 2010. Penurunan ini lebih besar di banding wilayah
Banyuasin secara keseluruhan, Kecamatan Muara Telang merupakan salah satu
wilayah perariran di Kabupaten Banyuasin, yang diperuntukkan sebagai salah satu
daerah penyangga pangan Sumatera Selatan, penurunan Carrying Capacity (CCR)
yang sangat besar dalam jangka waktu satu tahun, merupakan ancaman
keberlanjutan bagi ketahanan pangan dan daya dukung lingkungan yang
memburuk.
Kondisi yang ada saat ini di Kecamatan Muara Telang adalah masyarakat
yang mayoritas adalah petani, melakukan kegiatan usaha taninya dengan terus
memperluas lahan usaha tani, tanpa mengetahui sedikitpun tentang perlunya
menjaga kelestarian lingkungan, dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat,
kepala desa dan rumah tangga, diperoleh informasi bahwa masyarakat setempat
tidak pernah melakukan usaha-usaha konservasi lahan, bahkan terpikirkan saja
belum, selain itu untuk program pemerintah dalam pengendalian kerusakan dan
pelestarian lingkungan juga belum sampai pada masyarakat. Hal ini merupakan
salah satu penyebab penurunan Carrying Capacity lahan dari tahun ke tahun.
7.2.3 Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut Desa Mekar
Sari Dan Desa Telang Rejo
Hasil perhitungan daya dukung lahan pasang surut di kedua desa lokasi
studi menunjukkan bahwa Carrying Capacity lahan pasang surut di kedua desa ini
berada pada status waspada, dalam hal ini CCR 1 yaitu 1,018 untuk Desa Mekar
Sari dan 1,021 untuk Desa Telang Rejo, yang berarti bahwa daerah ini masih
memiliki keseimbangan antara kemampuan lahan dan jumlah penduduk yanga
ada. Pemenuhan kebutuhan pokok masih dapat diatasi, namun kondisi tersebut
harus diwaspadai karena proses pertambahan penduduk yang cepat dan kurang
terkendali, serta adanya proses kegiatan pembangunan dapat menyebabkan
penurunan daya dukung lahan di daerah ini, dan pemerintah daerah serta
masyarakat setempat perlu melakukan upaya antisipasi dan mewaspadai kondisi
saat ini.
111
Tabel 25 Hasil perhitungan CCR Lahan Pasang Surut Desa Mekar Sari dan
Desa Telang Rejo Tahun 2011
Desa Axr HxhxF CCR
Mekar Sari 500 490,93 1,018
Telang Rejo 1.800 1.763,62 1,021 Sumber: Buku Profil Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo, 2011
Pada Tabel 25, hasil perhitungan Carrying Capacity (CCR) lahan pasang
surut di kedua desa CCR desa Mekar Sari sedikit lebih rendah jika dibandingkan
CCR Desa Telang Rejo, dikarenakan terdapat perbedaan jumlah penduduk dan
jumlah KK, serta luas lahan pertanian pasang surut yang ada di masing-masing
desa tersebut. Desa Telang Rejo memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak
dibandingkan desa Mekar Sari, serta luasan lahan yang lebih luas, sedangkan
angka perhitungan CCR di Desa Mekar Sari menunjukkan jumlah penduduk dan
luas areal pertanian pasang surut yang hampir menyamai komposisi jumlah
penduduk.
Pada Tabel 25, juga terlihat bahwa luas desa Mekar Sari lebih kecil
dibandingkan luas desa Telang Rejo. Begitu juga komposisi rumahtangga yang
ada, namun kedua desa tersebut sama-sama berada dalam kondisi waspada. Dan
jika tidak dilakukan upaya –upaya untuk menjaga keseimbangan daya dukung
lahan maka status waspada ini dapat mengalami penurunan ke status defisit.
`
Gambar 22 Perbandingan Carrying Capacity Lahan Desa Mekar sari dan
Desa Telang Rejo, 2010
Mekar Sari, 1.018
Telang Rejo, 1.021
1.018
1.018
1.019
1.019
1.020
1.020
1.021
1.021
1.022
- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50
Ind
eks
CC
R
Desa
CCR
112
Selanjutnya pada Gambar 22, dilakukan pembandingan carrying capacity
di tiga level analisis. Dan dapat dilihat perbandingan antara carryingcCapacity
lahan pasang surut di desa mekar Sari, desa Telang Rejo dengan Carrying
Capacity Kecamatan Muara Telang dan Kabupaten Banyuasin. Terdapat
perbedaan hasil perhitungan carrying capacity lahan di ketiga level studi tersebut.
Gambar 23 Perbandingan Carrying Capacity Desa, Kecamatan dan Kabupaten
Pada Gambar 23, diperoleh gambaran tentang Carrying Capacity lahan pasang
surut sebagai berikut:
1. Berbeda dengan carrying capacity Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan
Muara Telang yang berada pada status defisit, carrying capacity lahan pasang
surut di Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo berada pada status waspada,
kondisi ini dikarenakan kajian carrying capacity dilakukan pada lingkup
ekosistem yang lebih kecil yakni desa. Hal ini menunjukkan bahwa kedua
desa ini masih memiliki daya dukung bagi aktifitas pertanian penduduknya,
yang berarti bahwa kegiatan pertanian pangan masih dapat dikembangkan di
kedua desa ini, namun perlu di waspadai terhadap usaha perluasan areal
pertanian yang merambah kawasan lindung, serta areal konservasi, sehingga
keseimbangan dengan alam tetap terjaga, dan carrying capacity lahan yang
ada tidak mengalami penurunan lebih lanjut akibat aktifitas pertanian tersebut.
Mekar Sari Telang Rejo Muara Telang Banyuasin
CCR 1.018 1.021 0.600 0.460
-
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
1.200
Ind
eks
CC
R
113
2. Perlunya usaha menjaga keseimbangan daya dukung lahan di kedua desa ini
belum mendapatkan perhatian pemerintah dan masyarakat setempat,
berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan, responden rata-rata
menyatakan ketidaktahuan mereka akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan, lahan dan air. Sampai saat ini masyarakat belum mengetahui
upaya menjaga keseimbangan daya dukung, sehingga tidak ada upaya apapun
yang dilakukan untuk mengantisipasi penurunan daya dukung lahan ini.
3. Masyarakat petani yang ada di kedua desa ini masih terus melakukan ekspansi
perluasan lahan pertanian untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga,
namun kurangnya pengetahuan membuat mereka tidak menyadari bahwa
perluasan areal pertanian yang mereka lakukan terus menerus mengakibatkan
penurunan daya dukung lahan, dan peningkatan produktivitas hanya
dikarenakan adanya penambahan luas areal pertanian (ekstensifikasi), bukan
dikarenakan optimalisasi produksi usaha tani (intensifikasi), cara yang masih
sederhana untuk meningkatakan pendapatan rumahtangga, dan
mengeksploitasi lahan tanpa memperdulikan batasan ketersediaan lahan
sebagai penyangga lingkungan.
4. Dengan kondisi carrying capacity lahan yang telah mengalami penurunan
bahkan defisit ditingkat Kabupaten dan Kecamatan, maka upaya antisipasi
yang dapat dilakukan untuk mencegah penurunan carrying capacity lahan
lebih lanjut adalah dengan menekan pertambahan jumlah penduduk dan
melakukan program intensifikasi pertanian, program 2 kali panen yang mulai
dilakukan pemerintah di daerah ini, merupakan salah satu alternatif yang dapat
menahan laju penurunan carrying capacity lahan didaerah ini.
5. Program dua kali panen dalam setahun ini mampu meningkatkan pendapatan
rumahtangga petani, sehingga para petani tidak dihadapkan dengan keinginan
untuk menambah luas lahan terus menerus agar pendapatan rumahtangga
meningkat. Namun berbagai kendala yang ada saat ini seperti rusaknya saluran
air irigasi dan pendangkalan, serta perubahan musim penghujan dan kemarau
menyebabkan masih sangat sedikitnya petani yang mampu melakukan
program dua kali panen dalam setahun ini.
114
7.3 Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan
7.3.1 Kepadatan Agraris
Kepadatan agraris merupakan perbandingan antara jumlah penduduk yang
beraktifitas dibidang pertanian dengan luas lahan pertanian yang tersedia di suatu
daerah atau wilayah. Di lokasi penelitian yaitu Desa Telang Rejo dan Desa Mekar
Sari rata-rata aktivitas penduduknya di sektor pertanian tanaman pangan. Desa ini
merupakan daerah eks transmigrasi, sehingga rata-rata penduduk memiliki areal
pertanian berupa lahan sawah pasang surut yang diberikan oleh pemerintah
masing-masing sebanyak 2 ha per KK, dan lahan cadangan sebesar 1 ha per KK,
dan untuk saat ini penduduk di lokasi ini rata-rata telah memanfaatkan lahan
cadangan tersebut, sehingga terjadi penambahan luas areal pertanian didaerah ini.
Gambar 24 Perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayah, 2010.
Pada Gambar 24, terlihat bahwa Desa Telang Rejo memiliki jumlah
penduduk yang lebih banyak dibanding Desa Mekar Sari, namun jumlah KK Desa
Telang Rejo lebih sedikit, yang mengindikasikan rata-rata jumlah anggota
keluarga di masing-masing KK Desa Telang Rejo (4,06 org/KK) lebih banyak
dari Desa Mekar Sari (3,76 org/KK) dan untuk luas areal pertanian dan luas
wilayah Desa Telang Rejo memiliki areal yang lebih luas dibanding Desa Mekar
Sari. Dengan jumlah rumahtangga (KK) yang lebih banyak di desa Telang Rejo
namun karena areal yang dimiliki lebih luas, maka kepadatan agrarisnya lebih
2,883
709
1,820
3,602
2,521
772
1,436
3,300
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2010 Jumlah Rumahtangga (KK)
2010
Luas areal Pertanian 2010 Luas Wilayah 2010
Telang Rejo Mekar Sari
115
rendah dan daya dukung kehidupan tentunya lebih baik, dengan asumsi
produktifitas lahan yang sama dan kondisi sosial yang baik dan aman.
Tabel 26 Kepadatan Agraris dan Daya Dukung Kehidupan
Kecamatan
Muara Telang
Kepadatan Agraris
(kk/ha)
Daya Dukung Kehidupan
(ton/kk/th)
Telang Rejo 1.58 3.12
Mekar Sari 1.75 2.84 Sumber: Profil Desa Mekar Sari Dan Telang Rejo (2011), data diolah
Pada Tabel 26, terlihat bahwa kepadatan agraris di lokasi penelitian lebih
besar dari satu (1). Dimana Desa Telang Rejo sebesar 1,58 kk/ha dan Desa Mekar
Sari sebesar 1,7 kk/ha yang berarti bahwa luas lahan pertanian dibanding jumlah
penduduk yang ada di desa tersebut berada pada kondisi waspada dan tidak
disarankan untuk melakukan perluasan lahan lagi meskipun masih
memungkinkan. Jika perluasan lahan masih terus berlangsung maka kondisinya
akan menjadi defisit, yang diperlukan adalah usaha peningkatan produktivitas
lahan. Dari hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa lahan yang dimiliki
setiap KK sebanyak 2 ha ditambah dengan merambah lagi lahan cadangan yang
dipersiapkan pemerintah 1 ha/kk sehingga rata-rata setiap KK memiliki 3 ha,
belum ditambah lahan yang mereka beli sendiri. Hal ini menyebabkan petani
pemilik lahan kekurangan tenga kerja penggarap karena lahan yang dimiliki
cukup luas, sehingga produktivitas sawah itu sendiri tidak optimal.
Jika dibandingkan kepadatan agrarisnya, Desa Mekar Sari lebih padat
dibandingkan Desa Telang Rejo, padahal jumlah penduduk Desa Mekar Sari lebih
sedikit dibandingkan Desa Telang Rejo, hal ini dikarenakan letak atau lokasi Desa
Mekar Sari yang berada dipesisir sungai musi, sehingga lahan sawah yang mereka
garap rata-rata berada di pesisir sungai musi dan dibandingkan dengan Desa
Telang Rejo yang berada di daerah daratan bagian dalam, maka pemanfaatan
lahan sawahnya lebih maksimal. Di Desa Mekar sari hanya 43,52 persen dari luas
wilayahnya yang termanfaatkan untuk areal pertanian, sedangkan di Desa Telang
Rejo areal yang dimanfaatkan untuk pertanian sebesar 50,52 persen. Letak Desa
Mekar Sari yang berada dipesisir mengakibatkan lahan sawahnya lebih rentan
(fragile), sehingga resiko yang dihadapi petani sawah pasang surut berupa
ancaman terendam air pasang lebih besar dibandingkan Desa Telang Rejo.
116
Pasang yang terjadi di Desa Mekar sari lebih lama dari pasang yang terjadi
di Desa Telang Rejo. Di Desa Telang Rejo pasang hanya terjadi beberapa saat
ketika curah hujan tinggi dan akan langsung surut kembali sehingga tidak merusak
areal pertanaman padi. Sedangkan kondisi di desa Mekar Sari berbeda, Pasang
yang terjadi di desa ini bias berlangsung beberapa hari dan ini mengakibatkan
rusaknya tanaman padi, sehingga mengakibatkan busuk leher atau gagal panen
bahkan gagal tanam. Hal ini juga menjadi penyebab lebih rendahnya kemampuan
mendukung kehidupan di Desa Mekar Sari dibandingkan Desa Telang Rejo.
Gambar 25 Perbandingan Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan,
2010.
Pada Gambar 25, terlihat bahwa semakin tinggi kepadatan agraris semakin
rendah kemampuan mendukung kehidupan, dan semakin rendah kepadatan agraris
semakin tinggi kemampuan mendukung kehidupan. Perbandingan antara kedua
desa menunjukkan hal tersebut. Hal ini dikarenakan share atau hasil produksi
yang diperoleh setiap petani lebih tinggi di desa yang kepadatan agrarisnya lebih
rendah. Tetapi kondisi saat ini adalah luas lahan yang telah dibuka untuk areal
pertanian yang terus bertambah mengakibatkan kekurangan tenaga kerja petani
penggarap, sehingga upah tenaga kerja menjadi lebih tinggi yaitu Rp. 50.000/hari,
dan rata-rata pekerja upahan ini hanya berkerja setengah hari, yaitu mulai siang
hari, karena dipagi hari waktu mereka digunakan untuk menggarap lahan sendiri,
baru sisa waktu disiang hari untuk mengerjakan lahan sawah pemilik lahan lain.
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Kepadatan Agraris Daya Dukung Kehidupan
Ind
ek
s
Desa
Telang Rejo
Mekar Sari
117
7.3.2 Kemampuan Mendukung Kehidupan
Kemampuan mendukung kehidupan merupakan perbandingan antara
jumlah panen dalam setahun dengan jumlah penduduk, dalam penelitian ini
diperoleh hasil bahwa kemampuan mendukung kehidupan di lokasi penelitian
yaitu sebesar 0,23 ton/org per bulan untuk Desa Mekar Sari dan 0,26 ton/ org per
bulan untuk Desa Telang Rejo, sehingga jika dikonversi ke nilai Rupiah dengan
asumsi 1 kg Gabah sebesar Rp. 3000, maka diperoleh penghasilan perjiwa sebesar
RP. 712.019 / bulan untuk Desa Mekar Sari dan Rp. 780.437 / bulan untuk Desa
Telang Rejo, sebagaimana terlihat pada Tabel 27 berikut ini.
Tabel 27 Kemampuan mendukung kehidupan lokasi Penelitian
Desa Daya Dukung
Kehidupan
Perbln
(ton/jiwa)
Perbln
(kg/jiwa)
Ribu Rupiah
(Jiwa/bln)
Mekar Sari 2.84 0.23 237.33 712.019
Telang Rejo 3.12 0.26 260.14 780.437 Sumber: Profil Desa Mekar Sari Dan Telang Rejo (2010), data diolah
Tabel 27, terlihat bahwa berdasarkan kemampuan mendukung kehidupan
nya Desa Telang Rejo memiliki daya dukung yang lebih tinggi dibanding Desa
Mekar Sari, padahal jumlah penduduk di desa Telang Rejo lebih banyak dari
jumlah penduduk Desa Mekar Sari. Hal ini dikarenakan persentase luas areal
pertanian yang yang digunakan lebih luas dibandingkan Desa Mekar Sari. Selain
itu tingkat kerentanan yang lebih tinggi bagi areal persawahan di Desa Mekar Sari
akibat pasang surutnya sungai.
Selanjutnya jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR)
dan kebutuhan hidup rata-rata pekerja yang berlaku di Kabupaten Banyuasin
berdasarkan data dari BPS yaitu Banyuasin dalam angka tahun 2010. Maka
terlihat bahwa kemampuan mendukung kehidupan di kedua Desa tersebut masih
berada dibawah Upah Minimum Regional (UNR) yang berlaku di Kbaupaten
Banyuasin dan kebutuhan hidup rata-rata pekerja. Sebagaimana terlihat dari
grafik berikut ini.
118
Gambar 26 Perbandingan Daya Dukung Vs UMR Vs Kebutuhan Hidup, 2010.
Pada Gambar 26, grafik tersebut memperlihatkan bahwa masih rendahnya
kemampuan mendukung kehidupan yang dapat diperoleh oleh setiap penduduk.
Kemampuan mendukung kehidupan di kedua desa yang masih berada di bawah
UMR berarti bahwa derajat kehidupan rumahtangga hanya berada pada tataran
minimal dan bahkan dibawah derajat kesejahteraan normal, rumahtangga hanya
mampu bertahan hidup (survival), namun tidak ada masa depan yang lebih baik
untuk meningkatkan kesejahteraan dari sektor pertanian bagi masyarakat di kedua
desa tersebut.
Kebutuhan lahan untuk hidup layak, meningkatkan tekanan penduduk
terhadap lahan. Sumber tekanan penduduk terhadap lahan erat kaitannya dengan
kebutuhan mata pencaharian masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan untuk
menambah penghasilan dari sektor non farm dan yang terburuk adalah
mengkonversi lahan untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga dari Tabel 27 dan
Gambar 26 dapat diperoleh penjelasan bahwa:
- Kemampuan mendukung kehidupan masih dibawah UMR dan kebutuhan
hidup rata-rata pekerja/bln berdasarkan standar BPS (2010), kondisi ini
mengakibatkan masyarakat atau rumahtangga akan berusaha menambah
pendapatannya dari sektor non pertanian.
- Hal ini dikarenakan kurang optimalnya hasil produksi yang diperoleh dari
areal yang digarap, karena lahan hanya mampu memberikan kehidupan yang
minimal maka upaya untuk meningkatkan kesejahteraan perlu diarahkan
pada upaya mensinergikan kegiatan mata pencaharian on farm dan non farm
kearah industri pertanian yang produktif dan saling besinergi.
UMR Banyuasin
(Pekerja/bln)
Daya Dukung Kehidupan
(Rupiah/Jiwa/
bln)
Kebutuhan Hidup Rata-
rata
(pekerja/bln)
Mekar Sari 927825 712019 1220917
Telang Rejo 927825 780437 1220917
0500000
10000001500000200000025000003000000
119
7.4. Kondisi Sosial
Kajian Kondisi sosial dilakukan di kedua desa studi yaitu Desa Mekar Sari
dan Desa Telang Rejo dengan melihat komponen identifikasi sosial yang telah
ditentukan sebelumnya. Komponen identifikasi kondisi sosial yaitu keadaan
penduduk, budaya yang ada, konflik sosial, infrastruktur yang tersedia, serta
kondisi kelembagaan di masing-masing desa. Hasil identifikasi kondisi sosial ini
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi sebenarnya (existing
condition) yang saat ini terjadi di desa studi, yang mewakili gambaran kondisi
sosial wilayah transmigrasi pasang surut di Kabupaten banyuasin, mengingat
wilayah ini merupakan daerah yang homogen. Hasil identifikasi kondisi sosial
secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Hasil identifikasi kondisi sosial di desa Mekar Sari dan Telang Rejo
Desa Mekar Sari Desa Telang Rejo
Terletak di pesisir muara sungai,
tepatnya di jalur 10
Terletak di daratan bagian dalam,
merupakan desa yang berlokasi jalur 8
Penduduk campuran antara
transmigran, pendatang serta penduduk
asli (marga), berjumlah 780 KK
Penduduknya terdiri dari transmigran
(99%) dan pendatang
Budaya yang menonjol di desa ini
adalah budaya Jawa
Budaya yang menonjol di desa ini
adalah budaya Jawa
Kemanan kondusif, tidak ada konflik
sosial yang terjadi
Keamanan kondusif, tidak ada konflik
yang terjadi
Kondisi infrastruktur yang tersedia
masih sangat terbatas terutama jalan
dan listrik, pengaturan air
Ketersediaan infratruktur yang sangat
minim terutama transportasi jalan
Kelembagaan nya desa BPD, PKK,
Polmas, Gapoktan, Klp Tani,
sedangkan KUD sudah tidak berjalan
lagi
Kelembagaan desa berupa Kelompok
Tani, Gapoktan, Kelompok tani
Nelayan (KTNA), sedangkan UPJA,
P3A KUT, KUD sudah tidak berjalan Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Pada Tabel 28, hasil identifikasi secara umum menggambarkan adanya
kesamaan kondisi sosial dikedua desa studi hanya saja untuk kondisi penduduk
terdapat perbedaan, dimana untuk Desa Mekar Sari terdapat lebih banyak
pendatang, dikarenakan desa ini terletak di daerah pesisir atau muara sungai
sehingga banyak dilalui lalu lintas transportasi air, yang mengakibatkan banyak
pendatang yang kemudian menetap di desa ini, sehingga penduduknya terdiri dari
120
transmigran dan pendatang, sedangkan di desa mekar Sari 99% penduduknya
adalah transmigran dan hanya sedikit sekali pendatang, hal ini dikarenakan letak
desa ini terdapat di daratan bagian dalam.
Untuk keberdaan sarana infrastruktur di Desa Mekar Sari lebih
membutuhkan perbaikan sarana saluran irigasi dengan segera, karena sangat
dipengaruhi pasang air laut saat musim penghujan. Sedangkan di Desa Telang
Rejo kondisi saluran air juga banyak yang dangkal, dan terkendala saat terjadi
kekeringan. Kelembagaan yang dibutuhkan dikedua desa ini adalah kelembagaan
sejenis KUD yang mampu menjadi lembaga pemasaran hasil usaha tani, serta
lembaga penyaluran modal usaha tani, sehingga dapat membantu peningkatan
pendapatan petani melalui efektifitas rantai pemasaran dan mempermudah akses
terhadap modal.
7.4.1. Keadaan Sosial Desa Mekar Sari
Desa ini terletak di Kecamatan Muara Telang, tepatnya dijalur 10,
merupakan salah satu desa yang terletak di pesisir muara sungai, berdasarkan
hasil wawancara dengan diperoleh informasi bahwa penduduk di desa ini
merupakan campuran antara transmigran, pendatang serta penduduk asli (marga),
hingga saat ini tidak ada penambahan transmigran ke desa ini. Penduduk desa ini
berjumlah 780 KK, dengan mata pencaharian utama usaha tani sawah pasang
surut, dan mayoritas masih mengusahakan satu kali tanam pertahun, hanya sekitar
15% saja yang telah mengusahan dua kali tanam pertahun.
Penduduk yang mencari pekerjaan ke luar daerah sebanyak 20-50 persen.
Hal ini dikarenakan keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar,
sejak awalnya daerah ini dibuka penduduk telah mengusahakan usaha tani sawah
pasang surut, dan pernah mencoba untuk bertanam tanaman pangan lainnya
seperti jagung, akan tetapi gagal dikarenakan kondisi lahan yang tidak
mendukung. Selain bekerja sebagai petani sebagian penduduk melakukan
kegiatan mata pencaharian tambahan berupa usaha penggilingan padi, dan sebagai
tenaga upahan (buruh tani).
Budaya yang menonjol di desa ini adalah budaya Jawa. Budaya yang
merupakan daerah asal para transmigran, namun tidak ada pengetahuan lokal yang
121
menonjol yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha tani di desa ini. Kondisi
keamanan desa ini cukup baik, tidak ada konflik sosial yang terjadi, dan jika
terjadi perselisihan dalam anggota masyarakat akan diselesaikan secara
musyawarah.
Jika dilihat dari ketersediaan infrastrukturnya, kondisi infrastruktur yang
tersedia masih sangat terbatas terutama jalan dan listrik, khususnya untuk sawah
pasang surut, kesulitan masalah pengaturan dan saluran air. Pembuatan jalan
lebih banyak dilakukan secara swadaya oleh masyarakat secara bergotong royong.
Kesulitan air bersih juga menjadi masalah di desa ini, bantuan pemerintah berupa
pembuatan gentong permanen untuk tampungan air hujan belum memedai bagi
masyarakat desa ini, sehingga untuk minum saat ini masyarakat mengandalkan air
minum dalam kemasan.
Dari sisi kelembagaan nya desa ini cukup berkembang, lembaga yang telah
terbentuk yaitu; LPM, BPD, PKK, Polmas, dan telah berjalan dengan baik sesuai
dengan fungsinya. Khususnya untuk usahatani sawah pasang surut kelembagaan
yang telah dibentuk yaitu Gapoktan yang terdiri dari 22 kelompok tani yang
dirasakan masyarakat memberikan manfaat cukup besar dalam usaha tani yang
mereka jalankan. Kondisi yang kurang baik adalah tidak berjalannya lagi KUD,
sehingga masyarakat hanya mengandalkan tengkulak untuk menjual hasil
panennya.
7.4.2. Keadaan Sosial Desa Telang Rejo
Desa ini terletak di Kecamatan Muara Telang, tepatnya di jembatan 5 jalur
8, merupakan desa yang berlokasi didaratan bagian dalam. Penduduknya terdiri
dari transmigran (99%) yang mayoritas berasal dari pulau Jawa dan pendatang.
yang berasal dari Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Pertama kali Desa
ini di buka pada tahun 1980, dengan jumlah transmigran sebanyak 486 KK.
Dengan kemajemukan masyarakat yang ada, wilayah ini memiliki potensi
ekowisata berupa daya tarik daerah perairan (wisata alam), budaya lokal,
kehidupan masyarakat yang khas dan keramahan penduduk, namum belum
didukung dengan infrastruktur yang memadai.
122
Penduduk desa ini terus mengalami peningkatan, meskipun program
transmigrasi telah berakhir. Hal ini dikarenakan adanya pemecahan dari KK yang
lama menjadi KK yang baru serta tambahan penduduk dari luar atau pendatang..
Penduduk yang bekerja diluar daerah hanya sekitar 5 persen, rata-rata penduduk
usia muda, tetapi mereka tetap kembali ke desa pada saat musim tanam dan
musim panen. Migrasi Penduduk keluar desa sangat kecil yaitu hanya sekitar 1
persen, perpindahan penduduk ini dikarenakan alasan ekonomi untuk mencari
pekerjaan lain yang menurut mereka lebih baik, panen yang hanya satu kali dalam
setahun membuat sebagian penduduk ini berada dalam kondisi kemiskinan dan
akhirnya memutuskan untuk migrasi ke Kota Palembang.
Di desa ini mayoritas penduduk tetap bekerja sebagai petani sawah di
lahan pasang surut. Dan jika saat ini banyak terlihat tanaman kelapa dan kelapa
sawit di areal persawahan, hal ini dikarenakan sejak kedatangan transmigrasi ke
desa ini Pemerintah memberikan bantuan bibit termasuk bibit kelapa dan kelapa
sawit, sehingga masyarakat akhirnya menanam tanaman perkebunan tersebut.
Namun sejauh ini tanaman perkebunan ini hanya ditanam dilahan perkarangan,
dan sebagai tanaman pagar di tegalan sawah, karena adanya larangan penanaman
tanaman keras di areal persawahan serta konversi lahan karena daerah ini telah
ditetapkan sebagai penyangga pangan.
Tidak ada jenis usaha lain yang dominan di Desa Telang Rejo. Usaha yang
ada yaitu gudang padi dan penggilingan sebanyak 20 buah yang dimiliki secara
pribadi (private). Selain itu usaha perdagangan dan jasa informal, yang belum
sama sekali mengarah pada usaha perindustrian produktif.
Ketersediaan infratruktur yang sangat minim terutama transportasi jalan,
mempersulit aksesibilitas di daerah ini. Daerah ini hanya bisa dijangkau melalui
transpotasi air seperti perahu atau speed boat, sedangkan untuk transportasi dalam
wilayah kecamatan dapat digunakan sepeda motor, hanya saja kondisi jalan desa
yang buruk dan berupa jalan tanah tetap sulit untuk dilalui saat hujan, dan ini
tentunya mempengaruhi tingkat aksesibitas dan kemudahan transportasi.
123
Gambar 27 Kondisi Jalan Desa, 2012.
Kelembagaan yang dimiliki desa ini berupa Kelompok Tani, Gapoktan,
Kelompok Tani Nelayan (KTNA), sedangkan kelembagaan berupa UPJA, P3A
KUT, Lumbung Desa semua tidak berjalan lagi dikarenakan banyak permasalahan
keuangan yang terjadi. Keberadaan kelompok tani sangat bermanfaat dalam hal
pinjaman modal usaha tani, penyaluran subsidi dan proses adopsi inovasi.
Di desa ini, budaya yang menonjol adalah budaya Jawa. Karena para
transmigran berasal dari pulau Jawa. Tidak ada keistimewaan lokal yang
menonjol dalam kehidupan masyarakat, begitu juga pengetahuan lokal yang
mereka gunakan tidak ada yang besifat adat atau budaya. Semua pengetahun
usaha tani berasal dari adopsi pengetahuan yang diberikan melalui program
pemerintah.
Untuk pemilikan lahan, pewarisan dilakukan dengan cara pembagian
secara merata pada anggota keluarga. Cenderung tidak ada konflik antar anggota
masyarakat yang ada. Sehingga kondisi desa ini cukup kondusif dan tentunya ini
merupakan salah satu faktor pendukung yang memungkinkan rumahtangga petani
dapat bekerja dan berproduksi lebih baik karena lingkunyan yang relatif aman dan
nyaman.
124
7.5. Kondisi Ketahanan Ekologi
7.5.1. Kondisi Lahan Pasang Surut
Jika dilihat dari kondisi ekologinya berdasarkan carrying capacity lahan
pasang surut di Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan Muara Telang, jelas terlihat
bahwa kondisi Carrying Capacity lahan pasang surut yang sudah defisit, sebagian
besar lahan pasang surut yang tersedia didaerah ini telah direklamasi dan dibuka
bagi areal pertanian pangan dan pemukiman. Penurunan daya dukung lahan ini
mengindikasikan bahwa kondisi ekologi telah mengalami perubahan, dari
ekosistem pasang surut alami ke ekosistem pemukiman dan pertanian.
Hasil kunjungan dilapangan dan berdasarkan gambar peta Tata Guna
Lahan wilayah Kabupaten Banyuasin (2006) yang diambil dari penelitian
terdahulu oleh. Sadelie (2012), terlihat bahwa luas hutan telah mengalami
penyusutan yang cukup besar, sebagian besar dari permukaan hutan telah dibuka
baik bagi keperluan pemukiman, pertanian maupun pembangunan infrastruktur.
Banyuasin memiliki hutan mangrove yang cukup luas, yaitu sebesar 1.168.248,97
ha, tetapi sekitar 69,30 persen mengalami rusak berat dan 14,54 persen mengalami
kerusakan. Kerusakan ini terjadi karena prilaku manusia itu sendiri.
Di Kecamatan Muara Telang sendiri hutan mangrove yang ada telah
berkurang akibat pembukaan lahan, pembuatan jalur transportasi air, serta adanya
limbah rumahtangga yang mengakibatkan terus berkurangnya hutan mangrove di
pesisir Kecamatan Muara Telang ini. Sehingga keberlanjutan ekosistem
mangrove terancam akibat adanya kegiatan manusia, reklamasi, sedimentasi serta
faktor alam.
Jika dilihat dari penggunaan lahannya. Sebagian besar lahan di kecamatan
Muara Telang dibuka untuk dijadikan lahan sawah pasang surut, dan semua lahan
yang tersedia baik lahan yang diberikan pemerintah, maupun lahan cadangan
bahkan lahan milik pemerintah pun telah digarap. Masyarakat desa telah
merambah daerah sekitar diluar batas administrasi kecamatan untuk perluasan
lahan sawah nya dengan cara membeli maupun menyewa lahan sawah tersebut
125
Gambar 28 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Banyuasin, Tahun 2006. Sumber: Sadelie, 2012.
Muara
Telang
126
Pada Gambar 28, terlihat bahwa tutupan lahan di Kecamatan Muara
Telang telah mengalami perubahan dari hutan mangrove primer menjadi rawa
belukar, lahan pertanian dan pemukiman. Perubahan ini terjadi dikarenakan
adanya aktivitas yang direncanakan (planned deforestation) dan aktivitas yang
tidak direncanakan (unplanned deforestation). Aktivitas yang direncanakan
terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan aktivitas yang tidak
direncanakan terdiri dari faktor alam (kebakaran hutan), maupun kebiasaan
masyarakat (human being) seperti merambah hutan, maupun pembalakan liar
(illegal logging), hal ini diprediksi meningkatkan emisi CO2, mengingat hutan
rawa di Kabupaten Banyuasin berupa lahan gambut, sehingga tingkat emisi akan
lebih tinggi dibanding deforestasi.
.
7.5.2. Kondisi Perairan Wilayah Pasang Surut
Kecamatan Muara Telang banyak dilalui sungai besar, yaitu Sungai
Telang dan Sungai Upang yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kedua
sungai ini menjadi sumber air bagi kegiatan pertanian keperluan rumahtangga.
Selain itu debit air yang rata-rata 763 m3/detik memungkin daerah aliran sungai
(DAS) Telang sebagai sarana transportasi air, dan sangat berpotensi sebagai
sumber air bersih, namun hingga saat ini sarana penyedia air bersih seperti PAM
belum tersedia di daerah ini.
Di Kawasan Telang juga terdapat banyak saluran yang sengaja dibuat
untuk kepentingan drainase lahan pertanian pasang surut. Pada umumnya
jaringan tata air (sistem drainase) yang terdapat di Kawasan Telang adalah sistem
grid ganda (double-grid system) yang dirancang oleh LAPI ITB pada tahun 1976.
Sistem ini didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka (open system) dengan
menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang berhubungan
langsung ke sungai utama. Jarak antara saluran primer yaitu 8.000 m. Tegak lurus
dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang berhubungan langsung
dengan saluran primer, jarak antara saluran sekunder adalah 1.150 m.
Saluran sekunder pemberi yang melintasi perkampungan dinamakan
Saluran Perdesaan (SPD) dan saluran pembuangan dinamakan Saluran Drainase
Utama (SDU) yang berada di batas lahan usaha II. Saluran tersier dibangun untuk
127
mengalirkan atau membuang air dari dan ke saluran sekunder. Sistem tata air di
Kawasan Telang dirancang berdasarkan konsep aliran satu arah (one way flow
system) dimana air pasang masuk melalui saluran primer dan terus ke saluran
sekunder pemberi (SPD) dan masuk ke saluran tersier pemberi yang akhirnya
mengaliri lahan usahatani. Kondisi saat ini adalah saluran-saluran pengairan ini
sudah banyak yang rusak dan dangkal, sehingga menyulitkan petani dalam
pengairan usaha tani mereka, sebanyak 75 persen terjadi pendangkalan, serta
panen yang rata-rata masih satu kali dalam setahun, baru sekitar 20 persen dari
areal yang ada yang telah menerapkan sistem panen dua kali pertahun, serta
perlunya pintu air.
Permasalahan lingkungan di wilayah perairan Banyuasin adalah
pencemaran perairan akibat limbah buangan minyak yang berasal dari pemukiman
dan residu pestisida pertanian, yang berisiko merusak habitat perairan terutama
ikan. Selain itu pembalakan hutan mangrove yang dilakukan dapat merusak
lingkungan perairan, erosi meningkat, dan kekuatan ombak juga akan mengalami
peningkatan. Keberlanjutan wilayah dari sisi ekologi harus terus dipertahankan
melalui minimalisasi pengrusakan hutan mangrove, pelarangan pembuangan
limbah kesungai, serta pemanfaatan lahan untuk areal pertanian yang tetap
berkelanjutan tanpa terus merambah dan merusak hutan penyangga lingkungan.
Gambar 29 Kondisi saluran air di desa Mekar Sari, 2012.
128
7.5.3. Perubahan Iklim Wilayah Pasang Surut
Iklim di wilayah Telang termasuk dalam kategori hujan tropis, yaitu
kondisi panas dan lembab terjadi sepanjang tahun. Suhu rata-rata bulanan 27 C
dan kelembaban relatif 87 persen. Berdasarkan klasifikasi Oldeman maka wilayah
ini termasuk pada zone agroklimat C1. Musim hujan berturut-turut terjadi dalam
5-6 bulan (>200 mm per bulan) dan 1-2 bulan kering (<100 mm per bulan). Rata-
rata curah hujan tahunan yaitu sekitar 2.400 mm, musim hujan terjadi pada bulan
Oktober-April, dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September.
Tabel 29 Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Banyuasin Bulan 2007 2008 2009 2010 2011
Januari 475 271 253 169 161
Februari 180 266 164 252 278
Maret 300 287 518 454 364 April 292 342 190 454 445
Mei 185 32 34 253 122
Juni 120 48 152 281 48 Juli 86 101 40 347 0
Agustus 40 185 41 291 0
September 19 76 17 268 0
Oktober 130 294 249 342 X November 47 364 219 400 237
Desember 204 291 286 308 258 Sumber: Stasiun Klimatologi Klas II Kenten Palembang, 2012
Pada Tabel 29, terlihat adanya perubahan curah hujan dari tahun ketahun,
dimana curah hujan naik dan turun secara berfluktuasi. Curah hujan terendah
adalah pada musim kemarau dibulan April hingga September. Perubahan curah
hujan yang sangat terlihat adalah pada tahun 2011 dimana pada bulan Juli,
agustus, September curah hujan di Kabupaten Banyuasin adalah 0 (nol). Hal ini
menandakan pada bulan-bulan ini terjadi kekeringan pada lahan sawah didaerah
tersebut, sedangkan curah hujan pada tahun sebelumnya yaitu 2009, pada bulan
bulan-bulan yang sama relatif cukup tinggi. Mengindikasikan adanya perubahan
iklim yang terjadi di wilayah Banyuasin, yang ditandai oleh perubahan curah
hujan yang tidak merata setiap tahunnya.
Perubahan curah hujan yang terjadi sedikit banyak berpengaruh terhadap
kegiatan usaha tani, hal ini terjadi akibatnya adanya perubahan iklim dikarenakan
semakin memburuknya kondisi lingkungan dan keberadaan hutan penyangga
129
lingkungan yang terus berkurang akibat aktifitas manusia dan aktifitas
pembangunan di wilayah ini. Perubahan curah hujan mempengaruhi perubahan
jadwal tanam bagi petani sawah di wilayah ini, sehingga memerlukan
kedisiplinan para petani untuk mematuhi kalender musim tanam serta terus
memantau kondisi perubahan iklim khususnya pergeseran musim penghujan yang
terjadi, akses informasi menjadi sangat penting bagi petani jika program dua kali
panen pertahun ingin segera direalisasikan di daerah ini.
Kecendrungan emisi CO2 diwilayah perairan Kabupaten Banyuasin
disebabkan oleh aktivitas yang direncanakan sebesar 9,22 persen dan dan yang
tidak direncanakan sebesar 90,88 persen. Indikator penggerak yang direncanakan
bersumber dari kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam, sementara indikator yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan
penduduk terhadap lahan, serta karakter dan perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya alam. Kondisi pemukiman yang sangat gersang tanpa
ada pohon peneduh menyebabkan suhu udara yang panas di daerah ini, dari hasil
kunjungan di lapangan terlihat kurangnya penghijauan dan pohon peneduh pada
pemukiman dan areal persawahan, tanaman pekarangan hanya sedikit sekali
berupa kelapa atau kelapa sawit dan tumbuh tidak terawat dan tidak tertata,
sehingga diperlukan kegiatan adanya penghijauan didaerah ini.
Gambar 30 Kondisi lingkungan Desa Telang Rejo, 2012 .
130
7.6. Ikhtisar
7.6.1. Daya Dukung (Carrying Capacity) Lahan Pasang Surut
Hasil Perhitungan Carrying Capacity (CCR) lahan sawah pasang surut di
Kabupaten Banyuasin yang diperoleh kurang dari satu (1) atau CCR < 1 yaitu
0,36 pada tahun 2009 dan 0,27 pada tahun 2010, sehingga asumsinya carrying
capacity lahan pasang surut di kabupaten Banyuasin berada pada status defisit,
yang berarti bahwa berdasarkan jumlah lahan yang ada, di wilayah tersebut sudah
tidak mungkin lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif dan
eksploratif lahan, dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk
menjadi berkurang. Sehingga yang perlu dilakukan adalah program peningkatan
produktifitas usahatani, berupa intensifikasi pertanian, perbaikan teknologi,
peningkatan pengetahuan dan akses informasi petani, perbaikan sarana dan
prasarana penunjang produksi pertanian, serta penyediaan sarana pemasaran hasil
usahatani berupa pasar bagi komoditi yang dihasilkan, yang diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan petani tanpa harus melakukan perluasan lahan
pertanian secara terus menerus.
Untuk Kecamatan Muara Telang yang menjadi lokasi penelitian. Carrying
capacity (CCR) lahan sawah pasang surut yang diperoleh juga kurang dari 1 atau
CCR < 1, yaitu 0,73 pada tahun 2009 dan 0,60 pada tahun 2010. Sehingga
Carrying Capacity lahan pasang surut di Kecamatan Muara Telang diasumsikan
berada pada status defisit, yang berarti diwilayah kecamatan Muara Telang ini
sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan pembangunan yang bersifat ekspansif
dan eksploratif lahan. Ketersediaan lahan sudah habis, sehingga penduduk perlu
menyadari kondisi ini untuk dapat menahan laju perluasan atau ekspansi lahan
secara terus menerus.
Hasil perhitungan daya dukung lahan pasang surut di kedua desa lokasi
studi menunjukkan bahwa carrying capacity lahan pasang surut di kedua desa ini
berada pada status waspada, dalam hal ini CCR 1 yaitu 1,018 untuk Desa Mekar
Sari dan 1,021 untuk Desa Telang Rejo, yang berarti bahwa daerah ini masih
memiliki keseimbangan antara kemampuan lahan dan jumlah penduduk yanga
ada. Pemenuhan kebutuhan pokok masih dapat diatasi, namun kondisi tersebut
harus diwaspadai karena proses pertambahan penduduk yang cepat dan kurang
131
terkendali, serta adanya proses kegiatan pembangunan dapat menyebabkan
penurunan daya dukung lahan di daerah ini, dan pemerintah daerah serta
masyarakat setempat perlu melakukan upaya antisipasi dan mewaspadai kondisi
saat ini.
Berbeda dengan carrying capacity Kabupaten Banyuasin dan Kecamatan
Muara Telang yang berada pada status defisit, carrying capacity lahan pasang
surut di Desa Mekar Sari dan Desa Telang Rejo berada pada status waspada,
kondisi ini dikarenakan kajian carrying capacity dilakukan pada lingkup
ekosistem yang lebih kecil yakni desa. Hal ini menunjukkan bahwa kedua desa ini
masih memiliki daya dukung bagi aktifitas pertanian penduduknya, yang berarti
bahwa kegiatan pertanian pangan masih dapat dikembangkan di kedua desa ini.
7.6.2. Kepadatan Agraris Dan Daya Dukung Kehidupan
Kepadatan Agraris di lokasi penelitian lebih besar dari satu (1). Dimana
Desa Telang Rejo sebesar 1,58 kk/ha dan Desa Mekar Sari sebesar 1,7 kk/ha yang
berarti bahwa luas lahan pertanian dibanding jumlah penduduk yang ada di desa
tersebut berada pada kondisi waspada dan tidak disarankan untuk melakukan
perluasan lahan lagi meskipun masih memungkinkan. Karena jika perluasan lahan
masih terus berlangsung maka kondisinya akan menjadi defisit.
Pada gambar 24, terlihat bahwa semakin tinggi kepadatan agraris semakin
rendah kemampuan mendukung kehidupan. Semakin rendah kepadatan agraris
semakin tinggi kemampuan mendukung kehidupan. Perbandingan antara kedua
desa menunjukkan hal tersebut. Hal ini dikarenakan share atau hasil produksi
yang diperoleh setiap petani lebih tinggi di Desa yang depadatan agrarisnya lebih
rendah.
7.6.3. Kemampuan Mendukung Kehidupan
Dari hasil studi maka diperoleh kemampuan mendukung kehidupan di
lokasi penelitian yaitu sebesar 0,23 ton/org per bulan untuk desa Mekar Sari dan
0,26 ton/ org per bulan untuk Desa Telang Rejo. Sehingga jika dikonversi ke nilai
Rupiah dengan asumsi 1 kg Gabah sebesar Rp. 3000, maka diperoleh penghasilan
perjiwa sebesar RP. 712.019 / bulan untuk Desa Mekar Sari dan Rp. 780.437 /
132
bulan untuk Desa Telang Rejo, kemampuan mendukung kehidupan di kedua Desa
tersebut masih berada dibawah UMR dan Kebutuhan hidup rata-rata pekerja di
Kabupaten Banyuasin berdasarkan standar BPS yang terdapat dalam Banyuasin
dalam angka tahun 2010. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa lahan di
kedua desa belum mampu memberikan tingkat kesejahteraan yang baik, bahkan
belum mencapai standar minimal UMR dan kebuthan hidup rata-rata pekerja di
Kabupaten banyuasin itu sendiri. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian
dari pemerintah untuk dapat segera melakukan upaya peningkatan produktifitas
yang mampu dihasilkan dari kondisi lahan yang tersedia saat ini.
7.6.4. Kondisi Ketahanan Sosial
Desa Mekar Sari
Penduduk di desa ini merupakan campuran antara transmigran, pendatang
serta penduduk asli (marga), hingga saat ini tidak ada penambahan transmigran ke
desa ini. Penduduk desa ini berjumlah 780 KK, dengan mata pencaharian utama
usaha tani sawah pasang surut, dan mayoritas masih mengusahakan satu kali
tanam pertahun, hanya sekitar 15 perrsen saja yang telah mengusahan dua kali
tanam pertahun. Penduduk yang mencari pekerjaan ke luar daerah sebanyak 20-50
persen, hal ini dikarenakan keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih
besar.
Budaya yang menonjol di desa ini adalah budaya Jawa, yang merupakan
daerah asal para transmigran, namun tidak ada pengetahuan lokal yang menonjol
yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha tani di desa ini. Kondisi keamanan desa
ini cukup baik, tidak ada konflik sosial yang terjadi, dan jika terjadi perselisihan
dalam anggota masyarakat akan diselesaikan secara musyawarah.
Jika dilihat dari ketersediaan infrastrukturnya, kondisi infrastruktur yang
tersedia masih sangat terbatas terutama jalan dan listrik, khususnya untuk sawah
pasang surut, kesulitan masalah pengaturan dan saluran air. Pembuatan jalan
lebih banyak dilakukan secara swadaya oleh masyarakat secara bergotong royong.
Kesulitan air bersih juga menjadi masalah di desa ini, bantuan pemerintah berupa
pembuatan gentong permanen untuk tampungan air hujan belum memedai bagi
masyarakat desa ini.
133
Dari sisi kelembagaan nya desa ini cukup berkembang, lembaga yang telah
terbentuk yaitu: LPM, BPD, PKK, Polmas, dan telah berjalan dengan baik sesuai
dengan fungsinya. Khususnya untuk usahatani sawah pasang surut kelembagaan
yang telah dibentuk yaitu Gapoktan yang terdiri dari 22 kelompok tani yang
dirasakan masyarakat memberikan manfaat cukup besar dalam usaha tani yang
mereka jalankan. Kondisi yang kurang baik adalah tidak berjalannya lagi KUD,
sehingga masyarakat hanya mengandalkan tengkulak untuk menjual hasil
panennya.
Desa Telang Rejo
Penduduknya terdiri dari transmigran (99 persen) yang mayoritas berasal
dari pulau Jawa dan pendatang. yang berasal dari Kecamatan Pemulutan
Kabupaten Ogan Ilir. Pertama kali Desa ini di buka pada tahun 1980, dengan
jumlah transmigran sebanyak 486 KK. Penduduk yang bekerja diluar daerah
hanya sekitar 5 persen, rata-rata penduduk usia muda, tetapi mereka tetap kembali
ke desa pada saat musim tanam dan musim panen. Migrasi Penduduk keluar desa
sangat kecil sekali yaitu hanya sekitar 1 persen, perpindahan penduduk ini
dikarenakan alasan ekonomi untuk mencari pekerjaan lain yang menurut mereka
lebih baik.
Ketersediaan infratruktur yang sangat minim terutama transportasi jalan,
mempersulit aksesibilitas didaerah ini. Daerah ini hanya bisa dijangkau melalui
transpotasi air seperti perahu atau speed boat, sedangkan untuk transportasi dalam
wilayah kecamatan dapat digunakan sepeda motor, hanya saja kondisi jalan desa
yang buruk dan berupa jalan tanah tetap sulit untuk dilalui saat hujan, dan ini
tentunya mempengaruhi tingkat aksesibitas dan kemudahan transportasi.
Kelembagaan yang dimiliki desa ini berupa Kelompok Tani, Gapoktan,
Kelompok Tani Nelayan (KTNA), sedangkan kelembagaan berupa UPJA, P3A
KUT, Lumbung Desa semua tidak berjalan lagi dikarenakan banyak permasalahan
keuangan yang terjadi. Keberadaan kelompok tani sangat bermanfaat dalam hal
pinjaman modal usaha tani, penyaluran subsidi dan proses adopsi inovasi.
Di desa ini, budaya yang menonjol adalah budaya Jawa, karena para
transmigran berasal dari pulau Jawa, tidak ada keistimewaan lokal yang menonjol
134
dalam kehidupan masyarakat, begitu juga pengetahuan lokal yang mereka
gunakan tidak ada yang besifat adat atau budaya, semua pengetahun usaha tani
berasal dari adopsi pengetahuan yang diberikan melalui program pemerintah.
7.6. Kondisi Ketahanan Ekologi Wilayah Pasang Surut
Jika dilihat dari kondisi ekologinya berdasarkan carrying capacity lahan
pasang surut di kabupaten Banyuasin dan kecamatan Muara Telang, jelas terlihat
bahwa kondisi carrying capacity lahan pasang surut yang sudah defisit, sebagian
besar lahan pasang surut yang tersedia didaerah ini telah direklamasi dan dibuka
bagi areal pertanian pangan dan pemukiman. Penurunan daya dukung lahan ini
mengindikasikan bahwa kondisi ekologi telah mengalami perubahan, dari
ekosistem pasang surut alami ke ekosistem pemukiman dan pertanian.
Kecamatan Muara Telang banyak dilalui sungai besar, yaitu Sungai
Telang dan Sungai Upang yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, kedua
sungai ini menjadi sumber air bagi kegiatan pertanian keperluan rumahtangga.
Selain itu debit air yang rata-rata 763 m3/detik memungkin daerah aliran sungai
(DAS) Telang sebagai sarana transportasi air, dan sangat berpotensi sebagai
sumber air bersih, namun hingga saat ini sarana penyedia air bersih seperti PAM
belum tersedia di daerah ini.
Permasalahan utama yang dikemukakan dari responden dalam penelitian
ini adalah masalah saluran tersier dan skunder yang sebanyak 75 persen terjadi
pendangkalan. Serta panen yang rata-rata masih 1 kali dalam setahun, baru sekitar
20 persen dari areal yang ada yang telah menerapkan sistem panen 2 kali
pertahun. Adanya perubahan curah hujan dari tahun ke tahun, dimana curah hujan
naik dan turun secara berfluktuasi, curah hujan terendah adalah pada musim
kemarau dibulan April hingga September, perubahan curah hujan yang sangat
terlihat adalah pada tahun 2011 dimana pada bulan Juli, agustus, September curah
hujan di Kabupaten Banyuasin adalah 0 (nol), hal ini menandakan pada bulan-
bulan ini terjadi kekeringan pada lahan sawah di daerah tersebut, sedangkan curah
hujan pada tahun sebelumnya yaitu 2009, pada bulan bulan-bulan yang sama
relatif cukup tinggi.
VIII. REFLEKSI KONSEPTUAL TEORITIK PENGEMBANGAN
WILAYAH PASANG SURUT KEDEPAN
Ada dua konsepsi yang digunakan untuk merefleksikan hasil studi ini,
yaitu Teori Christaller dan Teori Von Thunen. Kedua teori ini diharapkan mampu
memberikan refleksi keterkaitan hasil studi dengan teori yang telah ada, sehingga
lebih mempermudah dalam mengkaji prospek keberlanjutan wilayah pasang surut
dalam studi ini, karena terkait dengan penentuan harga (pendapatan rumahtangga)
dan penggunaan lahan.
Teori lokasi ini digunakan karena para pelaku ekonomi khususnya
rumahtangga saling berkompetisi untuk mendapatkan lahan yang lebih dekat
dengan pusat pertumbuhan (kota). Dalam rangka pemenuhan kebutuhannya yang
berhubungan erat dengan kondisi ketahanan ekonomi, carrying capacity lahan dan
kondisi sosial ekologi di wilayah. Berikut hasil refleksi teori Christaller dan teori
Von Thunen pada hasil studi.
8.1 Refleksi Teori Christaller
Walter Christaller (1933), memperkenalkan teori pemusatan tempat atau
yang dikenal dengan Central Places Theory, menurut Christaller pusat-pusat
pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk
heksagonal (segi enam). Model Christaller menjelaskan model area perdagangan
heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi
yang dinamakan range dan threshold, jangkauan luas pasar dari setiap komoditas
itu ada batasnya dan ada batas minimal dari luas pasarnya agar produsen bisa tetap
berproduksi..
Teori ini mengemukakan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan
menguntungkan secara ekonomi. Adanya susunan hierarki daerah pelayanannya
yaitu dari kota sampai ke desa, sesuai dengan asumsi dari teori pemusatan tempat
Christaller yaitu konsumen dapat memilih tempat pemasaran terdekat dari tempat
tinggalnya untuk meminimalisir jarak ekonomi, dimana tempat pusat (sebagai
suatu pemukiman yang menyediakan barang dan jasa-jasa bagi penduduk daerah
belakangnya).
136
Jika dikaitkan antara hasil studi dengan teori Christaller ini. Diperoleh data
seperti tabel 26. Status kesejahteraan yang dikaitkan dengan jarak kepusat, serta
jumlah produksi padi yang dihasilkan ( K=3), letak desa dalam satu jalur atau
traffic (K=4), serta market area yang menjadi daerah pemasaran yang dimasukkan
kedalam area dengan orde lebih tinggi (K=7).
Tabel 30 Refleksi hasil studi pada teori Christaller
Desa
Status
Kesejahteraan % Jarak Ke Pusat Km
K=3 K=4 K=7
Mekar
Sari
Dibawah 35 Sumsel 60 7.180 Jalur 10 Sumsel
Diatas 53 Banyuasin 80
Miskin 13 Muara Telang 12
Telang
Rejo
Dibawah 17.5 Sumsel 39 8.970 Jalur 8 Sumsel
Diatas 52.5 Banyuasin 69
Miskin 30 Muara Telang 6
Sumber: Data Primer, Buku Profil Desa 2010, data diolah
Pada Tabel 30, terlihat perbandingan status kesejahteraan dengan jarak
kepusat, di Desa Mekar Sari rumahtangga yang berada dibawah garis kemiskinan
(35 persen) lebih banyak dibandingkan desa Telang Rejo (17,5 persen), jika
dilihat berdasarkan jaraknya kepusat maka desa Mekar Sari memilki jarak yang
lebih jauh ke pusat yaitu 60 km ke ibukota provinsi, 80 km ke ibukota kabupaten
dan 12 km ke ibukota kecamatan, sedangkan desa Telang Rejo memiliki jarak
yang lebih dekat dengan ibukota propinsi yaitu 39 km, ke ibukota kabupaten 69
km serta ke ibukota kecamatan 6 km., Dari data ini jelas terlihat bahwa jarak
kepusat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rumahtangga masyarakat.
Untuk tingkat produksi atau K=3, Desa Telang Rejo yang jaraknya lebih
dekat ke Pusat juga memiliki tingkat produksi padi yang lebih tinggi (8.970
ton/th) dibandingkan Desa Mekar Sari (7.180 ton/th) ini berarti jarak kepusat juga
mempengaruhi tingkat produksi usahatani yang dijalankan, hal ini dikarenakan
semakin dekat ke pusat aksesibitas semakin baik, kemudahan memperoleh sarana
produksi serta pemasaran hasil produksi.
137
Untuk letak traffic atau K=4. Desa Mekar Sari berada di jalur 10,
sedangkan ibukota kecamatan yaitu desa Muara Telang berada di jalur 8, satu
jalur dengan Desa Telang Rejo. Hal ini merupakan satu keuntungan bagi Desa
Telang Rejo, karena jika dikaitkan dengan teori Christaller, suatu wilayah yang
terletak dalam satu jalur dengan pusat akan memiliki aksesibitas yang lebih baik,
sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi hasil produksi.
Sedangkan untuk market area atau K=7, kedua desa ini sama-sama
dimasukkan dalam market area Sumatera Selatan, karena daerah ini merupakan
salah satu lumbung pangan bagi provinsi Sumatera Selatan, sehingga jarak
kepusat tentunya sangat mempengaruhi, karena semakin jauh jarak semakin tinggi
biaya transportasi, yang otomatis memperbesar biaya pemasaran sehingga
mengurangi pendapatan yang diterima rumahtangga petani di desa tersebut. Jarak
kedua desa ini ke market area masih dalam kategori yang jauh, dikarenakan
belum tersedianya jalan darat yang mempermudah aksesibitas pemasaran barang
dan jasa dari dan ke desa ini. Jalur perairan yang tersedia saat ini masih belum
memungkinkan untuk pemasaran hasil komoditi ke market area dalam jumlah
yang besar dan waktu yang lebih singkat dan lebih sering.
Jika dihubungkan dengan lokasi studi yaitu Kecamatan Muara Telang
yang dapat direfleksikan sebagai pusat pelayanan, dan Desa Mekar Sari serta
Desa Telang Rejo menjadi pusat pelayanan yang tersebar di sekeliling Kecamatan
Muara Telang. Peluang pengembangan kedepan untuk menjadikan desa Mekar
Sari dan desa Telang Rejo sebagai pusat pelayanan bagi dusun-dusun kecil
disekitarnya dimana saat ini kedua desa telah dicanangkan program sebagai Kota
Terpadu Mandiri (KTM) untuk wilayah Telang I, meskipun secara umum dan
hasil observasi menunjukkan keadaan di kedua desa masih belum memadai baik
secara infrastuktur maupun sarana dan prasarana pertanian yang ada, sehingga
masih perlu adanya pengembangan dan kegiatan pembangunan lebih lanjut,
terutama infrastruktur jalan yang menghubungkan wilayah pasang surut ini
dengan market area di Sumatera Selatan.
Untuk mewujudkan kedua desa tersebut menjadi sebuah pusat
pertumbuhan baru, jika dilihat dari kondisi saat ini masih belum memadai,
jauhnya jangkauan pasar (range) dan masih kecilnya luas wilayah pemasaran
138
(threshold) serta keterbatasan aksesibiltas transportasi menjadi faktor utama
penyebab lambannya pertumbuhan ekonomi dikedua desa ini.
Maka untuk menerapkan teori ini, diperlukan beberapa kondisi prasyarat
yang terlebih dahulu harus terpenuhi, antara lain:
1. Range, dimana masih jauhnya jangkauan pasar harus diperpendek dengan
menyediakan sarana jalan berupa akses transportasi darat yang lebih
memudahkan lalu lintasperdagangan.
2. Threshold, dimana luas luas wilayah pemasaran yang masih sangat kecil yaitu
hanya sampai pada tengkulak di tingkat desa menyebabkan petani tidak
memiliki kekuatan sebagai penentu harga seharusnya dapat diatasi dengan
membentuk lembaga pemasaran ditingkat desa dan kecamatan, yang
memungkinkan perluasan akses pasar hingga ke market area yaitu kota
Palembang.
Selanjutnya dari hasil studi yang telah dikaitkan dengan teori Christaller ini maka
diketahui bahwa:
- Dari kondisi ekonomi, kegiatan mata pencaharian Non Farm berkembang
lebih dominan di Desa Telang Rejo, dikarenakan jarak Desa Telang Rejo
yang lebih dekat dengan pusat pelayanan yaitu kecamatan Muara Telang, dan
sesuai dengan konsep pertumbuhan wilayah maka daerah yang dekat dengan
pusat pelayanan cenderung akan lebih berkembang kegiatan skunder dan
tersier untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.
- Dari Kondisi carrying capacity, CCR desa Mekar sari lebih kecil dari CCR
desa Telang Rejo, dikarenakan desa Telang Rejo lebih dekat dengan pusat
sehingga meskipun seharusnya mampu menghasilkan produksi pertanian
yang lebih baik, namun kenyataannya Non Farm lebih dominan berkembang
di Desa Telang Rejo dibanding Desa Mekar sari yang lebih terisolir.
- Dari Kondisi Sosial, Daerah ini aman dan kondusif sehingga memberikan
peluang untuk berproduksi yang lebih baik karena didukung oleh kondisi
sosial yang aman dan nyaman, akan tetapi permasalah jangkauan dan luas
pasar yang terkendala tersedianya infrastruktur, menjadi kondisi prasyarat
yang belum terpenuhi.
139
8.2 Refleksi Teori Von Thunen pada hasil Studi
Johann Heinrich Von Thunen (1826), teori yang dikembangkan
menekankan kepada pentingnya aksesibilitas terhadap pasar yang berpengaruh
terhadap sistem penggunaan lahan pertanian dan dikenal dengan teori lokasi
pertanian. Teori Von Thunen mengibaratkan pusat perekonomian sebagai suatu kota
yang dikelilingi berbagai jenis pertanian dalam arti luas (lahan yang kualitasnya
homogen), dan kota menjadi pasar bagi komoditi pertanian tersebut.
Jika direfleksikan teori Von Thunen terhadap hasil studi. Maka diperoleh
data seperti terlihat pada Tabel 31. Indikator jumlah penduduk, tingkat produksi,
luas lahan usaha tani, jarak pemasaran, serta jumlah KK yang tidak memiliki
lahan yang mewakili tingkat sewa lahan merupakan faktor analisis keterkaitan
hasil studi dengan teori Von Thunen.
Tabel 31 Refleksi Teori Von Thunen pada hasil studi
Teori Von Thunen Desa Mekar Sari Desa Telang Rejo
Jumlah penduduk (jiwa) 2.498 2.237
Produksi (ton/ha) 7.180 8.970
luas lahan (ha) 1.436 1.794
Jarak Ke pasar (km) 60 30
Jumlah kk tidak ada lahan (rt) 47 10 Sumber: Buku Profil Desa (2011)
Pada Tabel 31, terlihat bahwa jumlah penduduk Desa Mekar Sari lebih
banyak daripada penduduk di Desa Telang Rejo, dikarenakan letak Desa Mekar
Sari di bagian depan pesisir muara sungai, yang mengakibatkan banyak
pendatang, sedangkan Desa Telang Rejo berada pada daerah daratan bagian dalam
sehingga penduduk adalah transmigran dan penduduk asli (marga).
Jika dibandingkan dengan jarak pemasarannya Desa Mekar Sari memiliki
jarak yang lebih jauh ke pusat pemasaran yaitu Sumatera Selatan, sehingga tingkat
produksi Desa Mekar Sari juga lebih rendah. Hal ini mengindikasikan pengaruh
jarak pusat pemasaran terhadap tingkat produksi, semakin jauh jarak semakin
rendah tingkat produksi. Jika dilihat dengan jumlah KK yang tidak memiliki
lahan lebih banyak terdapat di desa mekar sari, dibandingkan Desa Telang Rejo,
ini membuktikan asusmi Von thunen bahwa petani cenderung memilih lahan yang
lebih dekat dekat pusat pemasaran.
140
Desa Telang Rejo yang memiliki jarak lebih dekat dengan pusat
pemasaran. Hal ini menyebabkan desa ini lebih memiliki potensi dalam
peningkatan produksi usaha tani, serta nilai lahan yang lebih tinggi. Terlihat lebih
sedikitnya rumahtangga (KK) yang tidak memiliki lahan dikarenakan petani
cenderung memilih mengusahakan usahatani ditempat yang lebih
menguntungkan. Dan hal ini sesuai dengan asumsi yang dikemukakan oleh Von
Thunen yaitu jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun
dengan bertambahnya jarak ke pusat pasar.
Teori ini menekankan pentingnya keberadaan pasar yang dekat dengan
desa, sehingga memungkinkan para petani memasarkan hasil pertaniannya dengan
jarak yang lebih dekat. Lokasi lahan menjadi lebih bernilai ketika akses terhadap
pasar semakin dekat, jika dibandingkan dengan kondisi di desa Mekar Sari dan
desa Telang Rejo sepertinya teori ini belum tampak, dimana kondisi dikedua desa
ini yang belum memiliki pasar bagi komoditas pertanian yang mereka hasilkan.
Pasar yang tersedia hanya di Kecamatan Muara Telang yang merupakan pasar
konsumsi kebutuhan rumahtangga, bukan pasar utama untuk pemasaran komoditi
hasil pertanian dikecamatan tersebut, yang menjadi pasar bagi komoditi dari
kedua desa ini justru wilayah diluar Kabupaten Banyuasin yaitu Kota Palembang.
Prospek untuk mewujudkan kedua desa ini menjadi pusat pertumbuhan
baru tentunya masih selalu ada. Namun kondisi saat ini kedua desa belum bisa
menjadi pusat pertumbuhan baru dan pemberi spread effect bagi desa
disekitarnya, karena masih banyak fasilitas yang perlu disiapkan. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Von Thunen tentang pentingnya aksesibitas terhadap
pasar dan akses prasarana jalan, maka untuk menjadikan kedua desa ini sebagai
pusat pertumbuhan perekonomian di kecamatan Muara Telang. Keberadaan pasar
dan sarana jalan harus menjadi fasilitas utama yang disediakan disini.
Kondisi yang ada saat ini dimana pemasaran hasil pertanian hanya
mengandalkan tengkulak, menjadikan petani tidak memiliki kekuatan dalam
penentuan harga jual komoditi yang mereka hasilkan. Hal ini tentunya
mempengaruhi pola pikir dan motivasi petani dalam melakukan usaha taninya,
sehingga mereka cenderung mengambil alternatif kegiatan mata pencaharian lain
selain berusaha tani, yang mengakibatkan daerah ini menjadi pasar perdagangan
141
barang dan jasa informal yang tidak banyak memberikan kontribusi bagi
pertumbuhan ekonomi serta mengancam keberlanjutan wilayah sebagai
penyangga pangan. Sehingga yang perlu dilakukan didaerah ini adalah
pengembangan pasar bagi komoditi hasil pertanian, sehingga petani terus terpacu
untuk memproduksi lebih banyak lagi dan mampu memberikan pendapatan yang
layak bagi kesejahteraan rumahtangga petani didaerah ini. Strategi pengembangan
kelembagaan pemasaran ditingkat desa dapat menjadi alternatif untuk
menumbuhkan akses pasar didaerah ini.
Tabel 32. Perbandingan Carrying Capacity Lahan Pasang Surut
Lokasi CCR Lahan Tahun 2010
Desa Mekar Sari 1.018 Desa Telang Rejo 1.021
Kecamatan Muara Telang 0.600
Kabupaten Banyuasin 0.270 Sumber: Banyuasin dalam angka, data diolah, 2010
Jika dikaitkan teori Von Thunen dengan hasil perhitungan carrying
capacity lahan pasang surut kabupaten, kecamatan dan desa seperti pada Tabel 32.
Dimana carrying capacity lahan di desa lebih tinggi dari kecamatan, maka bisa
diasumsikan bahwa nilai sewa atau beli lahan di kecamatan Muara Telang lebih
tinggi dai nilai sewa atau beli lahan di Desa Muara Telang dan Telang Rejo. Hal
ini dikarenakan semakin kecil carrying capacity lahan berarti semakin langka
lahan di daerah tersebut dan tentunya nilai sewa atau beli lahan didaerah tersebut
akan semakin meningkat. Sehingga tempat tersebut kemudian berkembang
menjadi pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, dan jarak yang dekat dengan
pusat pelayanan otomotis meningkatkan nilai sewa lahan.
Selain itu untuk berdasarkan teori Von Thunen yang telah dijabarkan,
maka kondisi prasayarat lainnya yang harus terpenuhi untuk mewujudkan daerah
ini sebagai pusat pertumbuhan baru serta penilaian terhadap nilai sewa atau beli
lahan, antara lain:
1. Letak dan lokasi lahan yang makin dekat dengan transportasi lahan dan jika
dihubungkan dengan kondisi di kedua desa yaitu Desa Mekar Sari dan Telang
Rejo semua kondisi prasyarat ini belum terpenuhi, dimana lokasi yang masih
142
belum terjangkau oleh akses jalan darat, dan hanya terjangkau oleh
transportasi air.
2. Tingkat kesuburan tanah yang baik, kondisi tanah yang labil di kedua desa
karena berupa lahan gambut yang fragile, yang harus diolah dengan teknologi
yang sesuai untuk memberikan produktifitas usaha tani yang diharapkan
membutuhkan penanganan intensif dalam kegiatan usaha tani.
3. Drainase dan pengairan yang baik, sedangkan kondisi yang ada dikedua desa
drainase dan pengairan yang ada saat ini kurang baik, karena banyak yang
rusak dan dangkal sehingga menyulitkan pengaturan air saat pasang surut
terjadi, dan
4. lingkungan yang lestari sehingga dapat menjamin keberlanjutan pertanian
didaerah tersebut, sedangkan kondisi lingkungan desa yang ada saat ini
membutuhkan konservasi dan reboisasi,
Kondisi prasyarat tersebut harus terlebih dahulu terpenuhi dan merupakan
kendala bagi pengembangan wilayah ini, dan menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah daerah dan instansi terkait serta masyarakat setempat untuk
memperbaikinya. Selanjutnya dari hasil studi yang telah dikaitkan dengan teori
Von Thunen diketahui bahwa:
- Bila kedua desa ini diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru,
maka sesuai teori yang dikemukakan oleh Von Thunen bahwa dimasukkanya
manusia dan ekonomi kedalam suatu wilayah, kedua desa ini belum mampu
menjadi pusat pertumbuhan perekonomian baru bagi wilayah disekitarnya
- Lahan dikedua desa ini hanya mampu memberikan kesejahteraan minimal
bagi penduduknya terlihat dari tingkat kesejahteraan yang dibandingkan
dengan garis kemiskinan (2$/hari), dimana hanya 53 persen yang berada
diatasnya.
- Sekalipun Carrying Capacity lahan dikedua desa masih seimbang, namun
keberlanjutan wilayah hanya bisa dicapai jika rumahtangga dikedua desa ini
mampu mensinergikan kegiatan mata pencaharian On Farm dan Non Farm
yang berbasis pertanian atau kearah industri pertanian, sehingga kawasan ini
sebenarnya tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai kawasan pertanian.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Dari Pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan yang diperoleh
dari hasil penelitian ini adalah:
1. Struktur nafkah yang ada di lokasi studi terdiri dari On Farm (40 persen) dan
Non Farm (60 persen), dan dari perhitungan pendapatan perkapita, sebesar 47
persen rumahtangga responden berada dibawah garis kemiskinan (2$/hari)
artinya ketahanan ekonomi tidak cukup baik, dan rumahtangga baik di desa
Mekar Sari maupun di desa Telang Rejo tidak dapat lagi mengandalkan
sektor pertanian sebagai satu-satunya mata pencaharian, rumahtangga harus
mengkombinasikan sumber pendapatan On Farm dan Non Farm berupa
kegiatan yang mampu memberikan nilai tambah bagi hasil usaha tani (padi)
sehingga memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Hal ini
menunjukkan bahwa program transmigrasi hanya mampu memberikan
sumber pendapatan untuk bertahan hidup (kesejahteraan minimal) dan
keberlanjutan tingkat kesejahteraan di kedua desa mengkhawatirkan.
2. Berdasarkan perhitungan Carrying Capacity (Daya Dukung Lahan) sawah
pasang surut, desa Mekar Sari dan Telang Rejo masih berada dalam kondisi
waspada dimana masih terdapat keseimbangan antara keberadaan lahan dan
jumlah penduduk yang ada, sehingga sektor pertanian sebenarnya masih
dapat menjadi sumber penghidupan, akan tetapi pertambahan penduduk yang
cepat dapat mempercepat penurunan Carrying Capacity lahan dikedua desa,
dan menjadi ancaman keberlanjutan ketersediaan lahan dikedua desa.
3. Kondisi Sosial yang ada, kondisi keamanan cukup baik, tidak ada konflik
dalam masyarakat, namun ketahanan sosial mulai rawan konflik ketika
jumlah penduduk semakin menungkat dan jumlah lahan semakin terbatas.
Budaya yang menonjol adalah budaya Jawa, dari sisi ketersediaan
infrastruktur jalan, listrik dan pengairan masih sangat terbatas, serta
kelembagaan desa yang cukup berkembang, tetapi masih belum
termanfaatkan secara optimal, serta kelembagaan pemasaran hasil usahatani
144
ditingkat desa yang belum ada. Kondisi Ekologi, terlihat bahwa sebagian
besar wilayah pasang surut Kabupaten Banyuasin, telah dibuka untuk areal
pertanian dan pemukiman, kondisi pengairan lahan usahatani yang masih
memerlukan perbaikan pada saluran air, serta adanya perubahan curah hujan,
karena adanya perubahan iklim yang terjadi akibat semakin meluasnya
pembukaan lahan sehingga membutuhkan kepekaan petani terhadap musim
tanam.
4. Setelah 31 tahun dibukanya daerah transmigrasi di Kabupaten Banyuasin,
daerah tersebut belum mampu menjadi pusat pelayanan dan pertumbuhan
ekonomi baru sebagaimana refleksi teori Christaller dan teori Von Thunen,
meskipun demikian kawasan transmigrasi ini tetap penting karena bisa
memberikan sumber nafkah minimal bagi warga transmigran melalui
kombinasi sumber nafkah yang berasal dari on farm dan non Farm berbasis
pertanian.
9.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil pembahasan dalam penelitian ini
yaitu:
1. Perlu adanya upaya antisipasi meningkatnya tingkat kemiskinan di daerah
pasang surut akibat pergeseran kegiatan mata pencaharian kearah kegiatan
perdagangan dan jasa informal (non farm) yang belum menjanjikan
keberlanjutannya, sehingga dibutuhkan peran pemerintah, lembaga
masyarakat serta rumahtangga itu sendiri untuk melakukan upaya-upaya
peningkatan pendapatan rumahtangga melalui kegiatan ekonomi produktif
pedesaan yang berbasis usaha tani padi sawah pasang surut, sehingga tercapai
ketahanan ekonomi rumahtangga dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi
wilayah.
2. Kegiatan menambah frekuensi panen dalam setahun (2 kali tanam), serta
pengolahan hasil pertanian serta efektifitas rantai pemasaran hasil pertanian
perlu dilakukan secepatnya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, melalui perbaikan sarana pengairan (irigasi) dan pembentukan
lembaga pemasaran di tingkat desa.
145
3. Perlu adanya upaya pembatasan ekspansi lahan yang dilakukan oleh
masyarakat untuk mengatasi penurunan carrying capacity lahan yang terus
menurun dan kepadatan agraris yang cukup tinggi serta daya dukung
kehidupan yang masih dibawah UMR sehingga perlu adanya upaya dan
kesadaran masyarakat dalam membatasi pembukaan dan perluasan areal
pertanian serta pemukiman, dan perlu usaha rehabilitasi kawasan penyangga
lingkungan sesuai peruntukanya.
9.3. Implikasi Kebijakan:
Program transmigrasi yang masih terus berlanjut hingga saat ini sebaiknya
dihentikan sementara, mengingat semakin terbatasnya ketersediaan lahan dan
carrying capacity lahan pasang surut yang terus menurun di Kabupaten
Banyuasin. Program transmigrasi yang dilakukan di Kabupaten Banyuasin juga
tidak memberikan kesejahteraan yang baik bagi rumah tangga petani dan
mengakibatkan kemiskinan yang jika dibiarkan akan terus meningkat akibat
pertambahan penduduk yang cepat. Sehingga perlu di lakukan pembinaan secara
berkelanjutan di wilayah transmigrasi untuk mensinergikan kegiatan on farm dan
non farm kearah industri pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Alkadri et al. 2001. Manajemen Teknologi untuk pengembangan Wilayah.
Revisi. Pusat Pengkajian Teknologi Pengembangan Wilayah. Jakarta.
CV. Cahaya Ibu..
Badan Pusat Statistik. 1993. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta. Badan Pusat
Statistik Nasional.
Badan Pusat Statistik. 2008. Luas lahan menurut Penggunaannya di Indonesia.
Jakarta. Badan Pusat statistik.
Badan Pusat Statistik. 2010. Banyuasin Dalam Angka 2010. Sumatera Selatan
Badan Pusat statistik Provinsi.
Badan Pengembangan dan penelitian Pertanian. 1997. Pengeloaan Tanah Dan
Air di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian
Rawa Terpadu-ISDP.
Balittra, 2010. Implementasi Sistem Tata Air Satu Arah Di Lahan Rawa Pasang
Surut.
Bappenas. 2010. Menanggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan. Laporan
Perkembangan Pencapaian Pembangunan Millenium Indonesia.
Buku Profil Desa dan Kelurahan. Desa Mekar Sari. 2010. Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa. Kabupaten Banyuasin.
Buku Profil Desa dan Kelurahan. Desa Telang Rejo. 2010. Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa. Kabupaten Banyuasin.
Barchia, M.F. 2006. Gambut Agrosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah
Mada University press. Yogyakarta.
Bratakusumah, D.S dan Riyadi. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah,
Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta.
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chuzaimah. 2006. Analisis Keragaan ekonomi Rumah tangga petani peserta dan
non peserta rice estate di lahan pasang surut Delta Telang I Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan. Bogor. Tesis Sekolah Pascasarjana. IPB.
Dahuri R, 1998. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan:Dalam Perspektif
Ekonomi, Sosial Dan Ekologi. Agrimedia. Volume 4 No II tahun 1998.
http://agrimedia.mb.ipb.ac.id, diakses 22 Juli 2012.
148
Dharmawan, A. H. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socio-
Economic Changes in Rural Indonesia. Disertasi. University Of
Goettingen. Germany.
Dharmawan, A.H. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan. Jurnal
Transdisiplin, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Volume 01. No.02.
Dharmawan , A.H. 2011. Otoritas Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam:
Menatap Otonomi Desa dalam perspektif Sosiologi Pembangunan dan
Ekologi Politik. Menuju Desa 2030. Bogor. Crespent Press.
Direktorat Rawa dan Pantai, Departemen PU. 2009. Potensi dan Tantangan
Pengembangan Rawa Indonesia. Makalah Seminar Lokakarya
Pengelolaan Rawa dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional.
Jakarta.
Ellis, F. 2000. Rural Livelihood and Diversity in Developing Countries. Oxford
New York. University Press Inc.
Eddrisea, F. 2004. Kajian Potensi Kawasan Pesisir Untuk Pengembangan
Kegiatan Perikanan di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan.
Bogor.Tesis Sekolah Pascarjana. Institut Pertanian Bogor
Hamengkubowono X. 2005. Pertanian Lestari sebagai Usaha Membangun
Kesejahteraan Petani. Pangan Kearifan Lokal dan Keanekaragaman
Hayati. Yogyakarta. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Harianto. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Ekonomi Pertanian dan Pedesaan.
Menuju Desa 2030. Bogor. Crespent press.
Harvitgsen G, 2001.Carrying Capacity, Concept of, Encyclopedia of Biodiversity,
vol 1, 2001. State University of New York, College of Geneseo
Higgins and Savoe. 2005. Regional Development theories and their application.
New Brunswick (USA) and London (U.K). Transaction Publisher.
Honachefsky, W.B. 2000. Ecologically Based Municipal Land Use Planning.
Florida. USA. Lewis Publisher and CRC Press LLC.
Humas Kabupaten Banyuasin. 2011. Potensi Daerah.
http://humas.banyuasinkab.go.id. Diakses 9 Maret 2012.
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor. IPB Press.
Litbang Deptan. 2008. Mengelola Lahan Pasang Surut Secara Bijak.
http://www.litbang.deptan.go.id, diakses 27 Juni 2011.
149
Maas, A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa
mendatang. Pidato Pengukuhan. Ilmu Tanah. Yogyakarta. Universitas
Gadjah Mada.
Mulyanto, B dan Sumawinata, B. 2008. Pengelolaan lahan Gambut secara
Ekologis Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Center For Wetlands Studies.
Department Of Soil Science. Bogor. Institut Pertanian Bogor. ..
Mulyanto. 2008. Prinsip-prinsip Pengembangan Wilayah. Yogyakarta .Graha
Ilmu.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Yogyakarta.
Kanisius.
Nune, P et al. 2003. The Ecological Economics Biodiversity. Massachussetts.
USA. Edward Elgar Publishing , Inc.
Pakpahan, A. 2004. Petani Menggugat. Jakarta. Max Havelaar Indonesia
Foundation.
Partap, T. et al. Report Of the APO Seminar. 2001. Rural Development and
Enviromental Conservation. Tokyo. Asian Productivity Organization..
Pattinama, M.J. 2009. Pengentasan kemiskinan dengan kearifan lokal. Jurnal
Makara, Humaniora, Volume 13, No 1, Juli 2009. Program Studi Sosial
ekonomi. Ambon. Universitas Pattimura.
Pike et al. 2006. Local and Regional Development. New York. USA and
Canada. Routledge.
Pramanti, A. 2010. Perubahan Interaksi Sosial Masyarakat Transmigran Sebagai
Akibat Adopsi Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Tesis
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.
Pramono, R.B. 2003. Analisis Manfaat Kegiatan Rice Estate pada Petani di
Daerah Pasang Surut Telang I Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
Tesis Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana. Universitas
Sriwijaya.
Priyarsono, D.S, et al. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta. Universitas Terbuka.
Rajab Kat. 2006. Memberdayakan Kearifan Lokal bagi komunitas Adat
Terpencil. http://www.depsos.go.id/, 20 Februari 2012.
Rusdiyatmoko, A dan zubaidah, A. 2003. Analisis Spektral Data Modis untuk
Pemanfaatan Hutan/Lahan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN
XIV. Jakarta. LAPAN.
150
Rustiadi, E. et al, 2009. Perencanaan dan pengembangan Wilayah. Crespent
Press. Jakarta.Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rustiadi, E. et al. 2010. Pengembangan Pedoman Evaluasi Pemanfaatan Ruang.
Bogor. Crestpent Prees. Pusat Pengkajian dan Perencanaan wilayah
(P4W). .IPB.
Rustiadi, E. et al. 2011. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa
Dalam Mendukung Konsep agropolitan. Menuju Desa 2030. Yogyakarta.
Crespent Press. Percetakan Pohon Jaya.
Sajogyo, 1993. Struktur Agraris di Pedesaan Jawa. Majalah Perspektif No. III-
1993. Jakarta. Departemen Transmigrasi.
Satria, A. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta Selatan. PT. Pustaka
Cidesindo.
Sadelie, A. 2012. Model Pemberdayaan Sumber Daya Pesisir Berkelanjutan
(Studi Kasus di Wilayah Taman Nasional Sembilang Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan). Disertasi Sekolah Pascasarjana. Intitut
Pertanian Bogor. repository.ipb.ac.id, diakses 15 Juli 2012.
Soemarwoto, O. 2001. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta. Penerbit Gajah Mada University Press.
Subagyo et al, 2006. Karakteristik Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar
Penelitian dan pengembangan Sumber daya Pertanian. Bogor. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Susanto, R.H 2010. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Rawa untuk
Pembangunan Berkelanjutan. Pidato pengukuhan guru Besar Ilmu tanah.
Palembang. Universitas Sriwijaya.
Susilo, R.D. 2010. Sosiologi Lingkungan. Rajawali Pers. PT. Rajagrafindo
Persada.
Syafroe, O. 2011. Pengembangan Lahan Rawa Pasang Surut untuk
Tujuan Pertanian. http://oerleebook.wordpress.com, diakses 27 juni 2011.
Syahrial. 2006. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pasang Surut di Kabupaten
Banyuasin. Palembang. Tesis Program Pascasarjana Universitas sriwijaya.
Simbolont, H. 2011. Perlindungan Gambut : Tinjauan PP No 32 Tahun 1990 dan
RPP Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup Pada Ekosistem
Gambut. http://green.kompasiana.com/iklim/2011/01/27/, diakses 2
Oktober 2011.
151
Tarigan, R. 2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Jakarta.
Bumi Aksara.
Tim IPB-BAPPENAS. 1996. Konsep Paradigma Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan. Bappenas.
Todaro, M.P dan Smith, S.C. 2000. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan.
Terjemahan oleh Munandar,H. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Tulak, P.W. 2009. Analisis Tingkat kesejahteraan dan Strategi Nafkah
rumahtangga petani transmigran. Bogor.Tesis Sekolah Pascasarjana IPB.
Undang-Undang RI, 2009. UU NO 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Widiati. 2003. Model Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut. Model dan
Strategi Pengembangan Kawasan perbatasan. Jakarta. Pusat pengkajian
Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah (BPPT).
152
153
LAMPIRAN
Lampiran 2.
Pendapatan Responden Rumahtangga Desa Mekar Sari
Anggota RT Pendapatan
On Farm Off Farm Non Farm Total (th) Total (bln) perkapita/bln perkapita/ bln status
1 1 x panen 9,000,000 - buruh meubel 2,400,000 11,400,000 950,000 3 316,667 540,000 <
2 - Nelayan 21,600,000 21,600,000 1,800,000 5 360,000 540,000 <
3 - Nelayan 27,000,000 27,000,000 2,250,000 5 450,000 540,000 <
4 1 x panen 22,000,000 - - 22,000,000 1,833,333 5 366,667 540,000 <
5 1 x panen 148,000,000 menyewakan alat pert 78,000,000 226,000,000 18,833,333 5 3,766,667 540,000 >
6 1 x panen 150,000,000 Penggilingan 18,000,000 168,000,000 14,000,000 3 4,666,667 540,000 >
7 1 x panen 22,000,000 Jasa Perontok padi 8,000,000 30,000,000 2,500,000 4 625,000 540,000 >
8 1x panen 55,000,000 Pedagang Pecah belah 4,200,000 59,200,000 4,933,333 5 986,667 540,000 >
9 1 x panen 12,000,000 Dagang sayur 4,800,000 16,800,000 1,400,000 5 280,000 540,000 <
10 1 x panen 21,000,000 - Kadus 4,200,000 25,200,000 2,100,000 5 420,000 540,000 <
11 1 x panen 30,000,000 - warung 9,000,000 39,000,000 3,250,000 4 812,500 540,000 >
12 1x panen 55,000,000 - - 55,000,000 4,583,333 3 1,527,778 540,000 >
13 1 x panen 45,000,000 - - 45,000,000 3,750,000 4 937,500 540,000 >
14 Buruh Tani 8,400,000 - 8,400,000 700,000 4 175,000 540,000 <
15 1 x panen 40,000,000 - warung 12,600,000 52,600,000 4,383,333 5 876,667 540,000 >
16 1 x panen 33,000,000 - - 33,000,000 2,750,000 5 550,000 540,000 >=
17 1 x panen 21,000,000 - warung 16,200,000 37,200,000 3,100,000 5 620,000 540,000 >=
18 1 x panen 55,000,000 - warung 10,800,000 65,800,000 5,483,333 6 913,889 540,000 >
19 1 x panen 12,000,000 - Warung 12,600,000 24,600,000 2,050,000 5 410,000 540,000 <
20 1 x panen 22,000,000 - P3N 4,800,000 26,800,000 2,233,333 4 558,333 540,000 >=
21 Nelayan 7,800,000 7,800,000 650,000 3 216,667 540,000 <
22 1 x panen 35,000,000 - - 35,000,000 2,916,667 4 729,167 540,000 >
23 2 x panen 78,000,000 - - 78,000,000 6,500,000 5 1,300,000 540,000 >
24 1 x panen 27,500,000 - - 27,500,000 2,291,667 4 572,917 540,000 >=
25 Nelayan 19,800,000 19,800,000 1,650,000 4 412,500 540,000 <
26 2x panen 91,000,000 - 91,000,000 7,583,333 4 1,895,833 540,000 >
27 2x panen 30,000,000 30,000,000 2,500,000 5 500,000 540,000 <=
28 - Pedagang Pecah belah 25,500,000 25,500,000 2,125,000 5 425,000 540,000 <
29 - Tukang 30,000,000 30,000,000 2,500,000 4 625,000 540,000 >
30 - Penjual kerupuk/kemolang 18,000,000 18,000,000 1,500,000 4 375,000 540,000 <
31 - Tukang 21,600,000 21,600,000 1,800,000 5 360,000 540,000 <
32 - Pembuat atap 14,400,000 14,400,000 1,200,000 5 240,000 540,000 <
33 2x panen 68,000,000 - - 68,000,000 5,666,667 4 1,416,667 540,000 >
34 2x Panen 177,500,000 - 177,500,000 14,791,667 4 3,697,917 540,000 >
35 - warung manisan +tengkulak 48,000,000 48,000,000 4,000,000 2 2,000,000 540,000 >
36 2x Panen 60,000,000 - Tengkulak 60,000,000 120,000,000 10,000,000 3 3,333,333 540,000 >
37 2x Panen 84,000,000 - warung 10,800,000 94,800,000 7,900,000 4 1,975,000 540,000 >
38 2x Panen 84,000,000 - 84,000,000 7,000,000 5 1,400,000 540,000 >
39 2x Panen 78,000,000 - 78,000,000 6,500,000 2 3,250,000 540,000 >
40 2x Panen 60,000,000 - 60,000,000 5,000,000 3 1,666,667 540,000 >
Pendapatan Total 1,625,000,000 8,400,000 490,100,000 2,123,500,000 176,958,333 46,011,667
Pendapatan Rata-rata - 53,087,500 4,423,958 1,150,292
Pendapatan/Th (Rp) Standar Garis Kemiskinan
No.
Lampiran 1.
KUISIONER KETAHANAN EKONOMI
(KEBERLANJUTAN WILAYAH PASANG SURUT)
RESPONDEN : RUMAH TANGGA
I. Identitas Responden :
Nama : ……………………………………………………
Umur : ……………………………………………………
Jenis Kelamin : ……………………………………………………
Pendidikan : ……………………………………………………
Alamat : ……………………………………………………
……………………………………………………
……………………………………………………
Nama Desa : ……………………………………………………
Lokasi Desa : Pesisir (muara) / Daratan Bagian dalam *
Mata Pencaharian : ……………………………………………………
Lama Tinggal : ……………………………………………………
II. Struktur Rumah Tangga Responden :
No.
Nama
Umur
(Thn)
Status
dalam
RT
Pendidikan
Terakhir
Jenis Pekerjaan
On
Farm
Off Farm Non
Farm
1
2
3
4
5
6
156
III. Struktur Mata Pencaharian Rumah Tangga
Status
Pencari
Nafkah
Nama
Jenis
Pekerjaan
Pekerjaan
Utama
Pekerjaan
Sampingan
Pendapatan
(Rp/Thn)
Ayah
Ibu
Anak
Total
IV. Pendapatan On Farm Rumah Tangga
Jenis
Usaha
Tani
Luas
Lahan
Usaha
tani
Status
Pemilikan
Lahan
Panen/
Tahun
(brp
x/th)
Biaya
produksi
Biaya
Pema
saran
Pendapatan
bersih/ Tahun
(disposable
income)
Total
Ket :
On Farm = Mata Pencaharian berupa Usahatani
157
V. Pendapatan Off Farm Rumah Tangga
Jenis Usaha
Off Farm
Lama usaha
(sdh brp thn)
Status
pekerjaan
(pemilik,
pekerja)
Pendapatan
bersih/ Bulan
(disposable
income
Pendapatan
bersih/ Tahun
(disposable
income
Total
Ket :
Off Farm = Mata Pencaharian berupa semua usaha yang berhubungan
dengan usaha tani, baik input maupun output usaha tani
V. Pendapatan Non Farm
Jenis Usaha
Non Farm
Lama usaha
(sdh brp thn)
Status
pekerjaan
(pemilik,
pekerja)
Pendapatan
bersih/ Bulan
(disposable
income
Pendapatan
bersih/ Tahun
(disposable
income
Total
Ket :
Non Farm = Mata Pencaharian berupa semua usaha yang tidak
berhubungan dengan usaha tani
158
Lampiran 2.
KUISIONER KEPADATAN AGRARIS DAN DAYA DUKUNG
(KEBERLANJUTAN WILAYAH PASANG SURUT)
RESPONDEN : DESA / KELURAHAN
1. Nama Desa : ………………………………………………….
2. Lokasi Desa : Pesisir (muara) / Daratan bagian dalam *
3. Jumlah KK : ………………………………………………….
4. Jumlah Penduduk : ………………………………………………….
5. Luas Lahan keseluruhan : …………………………………………………
6. Luas lahan subur/Desa : ……………………………………………….....
7. Luas Lahan/ KK : ………………………………………………….
8. Jenis Usaha Tani : Sawah / Kelapa / Kelapa Sawit / Sayuran/ *
Lainnya (sebutkan )…………………………..
9. Panen dalam setahun : ………………………………………………….
(brp x/thn) …………………………………………………
Rincikan Per UT …………………………………………………
10. Jumlah Hasil Panen : ………………………………………………….
(Kg/Ha/MT) …………………………………………………..
Rincikan per UT …………………………………………………..
159
Lampiran 3.
KUISIONER KETAHANAN SOSIAL EKOLOGI
(KEBERLANJUTAN WILAYAH PASANG SURUT)
RESPONDEN DESA / KELURAHAN
I. Identitas Responden
Responden : Kepala Desa/ Sekdes/ Kadus/ lainnya
(sebutkan)…………………………………
Nama Desa :……………………………………………
Lokasi Desa : Pesisir (Muara) / Daratan bagian dalam*
Data Kependudukan : ada / Tidak * (data skunder di minta)
Data Wilayah Adm : ada / Tidak * (data skunder di minta)
Data Luas Lahan : ada / tidak* (data skunder di minta )
Data Produktivitas UT : ada / Tidak* (data skunder di minta)
Data Kegiatan Masy : ada / Tidak* (data sknder di minta)
Data Lembaga Desa : ada / tidak * (data skunder diminta)
II. Keadaan sosial
1. Migrasi
1. Apakah semua penduduk merupakan transmigran :
a. ya b. campuran pendatang c. lainnya………………..
2. Setelah berakhirnya program transmigrasi, apakah penduduk masih mengalami
penambahan dari luar daerah, dan menetap :
a. ya b. tidak c. terkadang ada pendatang
160
3. Apakah saat ini banyak penduduk yang bekerja di daerah lain (diluar daerah
pasang surut) :
a. Tidak ada b. dibawah 20% c. 20-50% d. diatas 50%
4. Apakah saat ini ada penduduk (rumah tangga) yang pindah menetap dikota
atau daerah lainnya :
a. Tidak ada b. dibawah 20% c. 20-50% d. diatas 50%
5. Penduduk yang pindah keluar daerah sebagian besar dikarenakan apa ;
a. bekerja/ mencari pekerjaan b. Sekolah/ pendidikan
c. Mencari tempat tinggal yang lebih baik
2. Peralihan Mata Pencaharian
1. Apakah pada awal dibukanya daerah transmigrasi ini semua penduduk bermata
pencarian sebagai petani sawah pasang surut ?
……………………………………………………………………………..
2. Sejak kapan mulai adanya penambahan usaha tani kelapa/kelapa sawit atau pun
UT lainnya di desa ini ?
………………………………………………………………………………..
3. Selain sebagai petani, mata pencaharian apa yang rata-rata dilakukan penduduk
desa ini ?
…………………………………………………………………………………
4. Berapa jumlah Penduduk yang bermata pencarian sebagai Petani, dan berapa
jumlah yang berusaha di bidang lainnya ?
…………………………………………………………………………………
161
5. Apakah lebih menguntungkan jika bekerja di bidang pertanian (on farm) atau
jika bekerja di Bidang lainnya (non farm)? Mengapa !
..........................................................................................................................
6. Berapa banyak (%) penduduk yang beralih dari petani ke usaha lain nya?
………………………………………………………………………………..
7. Apakah ada program /fasilitas dari pemerintah untuk bidang usaha pertanian
dan non pertanian ? sebutkan ?
………………………………………………………………………………..
3. Desa Adat (Local Indigenous)
1. Apakah di Desa ini memiliki budaya atau adat yang menonjol ? sebutkan ?
…………………………………………………………………………………
2. Bagaimanakah pemilikan atau penguasaan lahan berdasarkan adat di desa ini ?
…………………………………………………………………………………
3. Bagaimana pembagian lahan dalam satu keluarga berdasarkan adat atau
kebiasaan masyarakat di desa ini ?
…………………………………………………………………………………
4. Apakah ada pengetahuan lokal yang dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan
usaha tani berkenaan dengan lahan pasang surut ?
…………………………………………………………………………………
4. Konflik Sosial
1. Apakah didesa ini ada konflik dalam masyarakat ? sebutkan?
…………………………………………………………………………………
2. Apakah permasalahan yang sering menimbulkan konflik di desa ini ?
………………………………………………………………………………….
162
3. Jika keterbatasan lahan usaha tani, apakah ada perselihan dalam perebutan
lahan tersebut ?
…………………………………………………………………………………
4. Usaha apa yang dilakukan untuk menghindari konflik ?
……………………………………………………………………………………..
5.. Ketersediaan infrastruktur
1. Apakah setelah program transmigrasi berakhir, pembangunan infrastruktur
lebih cepat dari sebelumnya ?
………………………………………………………………………………….
2. Infrastruktur apa saja yang dirasakan perlu, tetapi belum tersedia saat ini ?
……………………………………………………………………………………
3. Apakah dalam penyediaan infrastruktu ada swadaya dari masyarakat atau hanya
mengandalkan pemerintah saja ?
…………………………………………………………………………………..
4. Apakah infrastruktur yang tersedia saat ini telah memadai bagi masyarakat
desa ini ?
……………………………………………………………………………………
5. Infrastruktur apa saja yang sudah dimilki desa ini ?
…………………………………………………………………………………..
163
6. . Kelembagaan
1. Kelembagaan apa saja yang telah di miliki desa ini ?
2. Apakah lembaga yang ada telah berjalan dan berfungsi dengan baik bagi
masayarakat di desa ini ?
…………………………………………………………………………………..
3. Lembaga apa yang belum dimilki desa ini ?
…………………………………………………………………………………..
4. Apakah sudah ada lembaga yang menaungi para petani dalam meningkatkan
usaha tani khususnya sawah pasang surut ?
……………………………………………………………………………………
5. Seberapa besar peran kelembagaan dibutuhkan masyarakat di desa ini ?
……..…………………………………………………………………………….
6. Lembaga pemasaran hasil Usaha tani apa yang ada di desa ini, bagaimana
sistemnya?
……………………………………………………………………………………
7. Berapa kelompok tani yang ada di desa ini? Berapa yg aktif dan tidak
aktif?....................................................................................................................
III. Keadaan Ekologi
1. Jumlah Konversi lahan
1. Sejak kapan lahan sawah di desa ini mulai dikonversi menjadi lahan
perkebunan ?
……………………………………………………………………………..
164
2. Berapa banyak petani yang telah mengkonversi sawahnya menjadi lahan
perkebunan ?
……………………………………………………………………………..
3. Apa saja Jenis Perkebunan yang diusahakan di desa ini ?
……………………………………………………………………………..
4. Apakah keuntungan mengkonversi lahan dari sawah ke perkebunan jauh
lebih menguntungkan?
……………………………………………………………………………
2. Reklamasi Rawa
1. Sejak kapan kawasan ini di reklamasi ?
…………………………………………………………………………….
2. Apakah sejak direklamasi ada perbaikan dalam hal kegiatan usahatani ?
…………………………………………………………………………….
3. Apa manfaat yang diperoleh masyarakat dengan adanya reklamasi ini ?
…………………………………………………………………………….
4. Bagaimana kondisi reklamasi hingga saat ini?
…………………………………………………………………………….
3. Land Use (Penggunaan Lahan)
1. Bagaimana penggunaan lahan di wilayah desa ini ? sebutkan alokasi
penggunaan lahan tersebut ?
……………………………………………………………………………
2. Apakah pemanfaatan lahan telah sesuai dengan kebutuhan?
…………………………………………………………………………….
165
3. Apakah masih ada lahan pertanian yang belum digarap?
…………………………………………………………………………….
4. Jika semua lahan pertanian telah digarap, bagaimana dengan pembagian
lahan yang telah ada?
…………………………………………………………………………….
5. Apakah terjadi pembukaan lahan baru yg merambah hutan dan wilayah sekitar
untuk perluasan lahan tersebut? Ya / tidak, jika Ya, berapa luas yang dirambah
rata-rata oleh setiap Rumah Tangga?.................................................................
4. Pengairan (tata guna air)
1. Bagaimana sistem pengairan sawah di desa ini ?
……………………………………………………………………………..
2. Bagaimana pemanfaatan sumber air didesa ini? Untuk kebutuhan sehari-
hari air bersumber dari mana?
……………………………………………………………………………..
3. Apakah ada permasalahan dalam pengairan sawah? Sebutkan?
……………………………………………………………………………..
4. Apa yang dibutuhkan saat ini untuk meningkatkan produksi UT dalam
hal pengairan?
……………………………………………………………………………..
5. Ekosistem Gambut
1. Bagaimana dengan lahan gambut yang ada di desa ini, berdasarkan
pengetahuan masyarakat?
166
2. Apakah ada upaya khusus dalam melakukan usaha tani dilahan gambut ini?
….………………………………………………………………………….
3. Bagaimana upaya yang dilakukan masyarakat dalam menjaga kelestarian
ekosistem gambut di desa ini ?
…………………………………………………………………………….
4. Apakah ada program atau bantuan pemerintah dalam upaya menjaga
kelestarian lingkungan di desa ini ?....................................................................
5. Apa saja kendala yang dihadapi masyarakat yang bermukim di desa ini terkait
dengan kehidupan di ekosistem gambut seperti ini ?
………………………………………………………………………………….
6. Perubahan Iklim
1. Bencana alam apa saja yang pernah terjadi di desa ini ? apakah perubahan
iklim juga terjadi?
…………………………………………………………………………………..
Jika ya, apakah hal–hal berikut ini dialami :
- Naiknya muka air laut, jelaskan…………………………………………….
- Pemanasan global…………………………………………………………..
- Kebakaran lahan…………………………………………………………….
- Banjir pada lahan sawah…………………………………………………….
- Penipisan lapisan gambut…………………………………………………..
- Meningkatnya keasaman (menjadi tanah sulfat masam)…………………...
- Dll, sebutkan……………………………………………………………….
2. Bagaima tipe lahan gambut didaerah ini? Dan bagaimana perubahan nya
dengan adanya perubahan iklim saat ini?
167
3. Bagaimana strategi dalam usaha tani yg dilakukan untuk mengimbangi adanya
perubahan iklim saat ini ?
…………………………………………………………………………………..
4. Bagaimana pengaruh pasang surut air laut pada sawah sejak perubahan iklim
terjadi tersebut ?
…………………………………………………………………………………..
5. Apakah saja yang terjadi pada daerah ini sejak perubahan iklim tersebut ?
…………………………………………………………………………………..
7. Konservasi SDA
1. Apa saja SDA yang dimiliki di desa ini?
………………………………………………………………………………….
2. Apakah masyarakat desa ini memahami tentang konservasi SDA?
…………………………………………………………………………………..
3. Apa saja yang dilakukan untuk menjaga kelestarian SDA yang ada?
…………………………………………………………………………………..
4. Adakah program permerintah yang masuk di desa ini guna menjaga
kelestarian SDA yang ada ?.................................................................................
5. Apasaja Sumberdaya alam yang telah digunakan dan belum digunakan di desa
ini?........................................................................................................................
........................................................................................................................ .....
168
169
170
171
172