analisis kasus laporan kasus anestesi umum pada polip nasi
DESCRIPTION
Analisis kasus laporan kasus anestesi umum pada polip nasiTRANSCRIPT
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. S, usia 55 tahun, dirawat dengan diagnosa pre op adalah polip
cavum nasi dekstra. Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan tindakan
pembedahan dengan general anestesi yang direncanakan akan dilaksanakan pada
tanggal 18 November 2013 dan dilakukan oleh ahli Telinga, Hidung dan
Tenggorok, dr. Lusiana, Sp.THT dan ahli Anestesi dr. Isrun Masari, Sp.AN.
Setelah tindakan pembedahan dilakukan, diagnosa post op pada pasien ini adalah
polip cavum nasi dekstra dan tindakan pembedahan yang dilakukan berupa
ekstirpasi polip (polipektomi). Pada saat kunjungan pra anestesi yang telah
dilakukan, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, didapatkan status fisik pada pasien ini adalah ASA I, yaitu Pasien
sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Selama proses anestesi baik dari proses praanestesi sampai akhir proses
anestesi berlangsung baik dan tidak ditemukan permasalahan yang berarti.
Praanestesi dilakukan pada tanggal 17 November 2013, dan mulai dilakukan
anestesi pada tanggal 18 November 2013, pukul 09.45 WIB dan berakhir pukul
11.45 WIB di ruang Instalasi Bedah Sentral (OKA) RSUD Raden Mattaher Jambi.
Selama operasi baik pada saat premedikasi maupun medikasi sampai
proses anestesi selesai tidak ditemukan hambatan dan masalah. Dosis yang
diberikan pada saat proses anestesi pada pasien ini sudah sesuai. Efek samping
pemberian obat minimal tanpa ada permasalahan yang berarti. Selama operasi
balans cairan pada pasien ini baik. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan yang
dapat mengancam keselamatan pasien.
Tindakan premedikasi pada pasien ini, yaitu pemberian obat 1-2 jam
sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
53
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan. Obat premedikasi yang diberikan pada pasien ini, yaitu
ondansentron 4 mg, ranitidine 50 mg dalam hal ini sudah sesuai dengan teori, dan
phentanyl 100 mg dalam hal ini tidak sesuai dengan teori seharusnya 60 mg saja.
Pemberian ranitidin 50 mg, tujuannya adalah untuk mencegah pneumonitis asam,
sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5 dapat menyebabkan keadaan
tersebut. Maka dipilihlah antagonis reseptor H2 histamin. Pemberian
ondansentron 4 mg (golongan antiemetik) bertujuan untuk mengurangi mual dan
muntah paska pembedahan. Serta diberikan juga phentanyl 100 mg (golongan
opioid) untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien dan menciptakan
kenyamanan bagi pasien dan mengurangi rasa sakit saat penyuntikan obat induksi
(propofol) secara intravena.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan
inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi propofol 100 mg dan insersi ETT
ukuran 7,5 dengan balon, dan difasilitasi dengan Atracurium Hameln 30 mg.
Dosis pemeliharaan dengan menggunakan anestesi inhalasi: N2O : O2 dengan 1 : 1
(3L/i : 3L/i) dan ditambah sevoflurance 1 – 1,5 Vol%.
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Obat-obatan yang sering digunakan untuk induksi antar lain
tiopental, propofol dan ketamin. Pada pasien ini diberikan propofol 100 mg IV,
dan masih kurang tepat seharusnya diberikan 120 mg sesuai dengan teori.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat, yang didistribusikan dan
dieliminasikan dengan cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi
2-2,5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/KgBB/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/KgBB. Efek samping propofol
pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan
laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah
penyuntikan dapat terjadi nyeri.
54
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot Atracurium Hameln 30 mg
IV, yang merupakan non depolaritation dengan susunan molekul steroid, dan
bersifat intermediete acting, hal ini sudah sesuai dengan teori. Dengan dosis awal
0,5 – 0,6 mg/KgBB. Obat ini bekerja dengan berkompetisi untuk reseptor
kolinergik pada lempeng akhir motorik. Obat ini mengalami metabolisme yang
cepat via plasma, hati dan ginjal. Pada pasien ini juga diberi obat tambahan yaitu
asam traneksamat 1000 mg, bertujuan untuk membantu pembekuan darah.
Intubasi dilakukan untuk menjaga patensi jalan napas oleh sebab apa pun,
misalnya karena kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lain. Intubasi juga dilakukan untuk
mempermudah anestesi ventilasi positif dan oksigenasi, mencegah aspirasi dan
regurgitasi. Intubasi pada pasien ini menggunakan Endotracheal Tube (ETT) no
7.5 dengan balon sesuai postur tubuh.
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan
campuran keduanya. Rumatan anestesi bertujuan menciptakan keadaan hipnosis,
anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik.
Pada pasien ini rumatan anestesi dipilih secara inhalasi, yaitu menggunakan N2O :
O2 dengan 1 : 1 (3L/i : 3L/i) dan ditambah sevoflurance 1 -1,5 Vol%.
Sevoflurance bekerja sinergis pada rumatan anestesi. Sevoflurane merupakan
halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan isoflurane.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Setelah
pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan oleh tubuh. N2O memiliki
sifat second gas effect dimana N2O memiliki efek mengkonsentrasi gas-gas yang
berada pada alveoli, efek pada O2 tidak memiliki kepentingan klinis, tetapi
peningkatan kada zat abar (volatil) akan mempercepat induksi anestesi.
Kebalikannya jika N2O dihentikan, eliminasi zat ini akan mengencerkan gas
dalam alveoli dan menurunkan kerja zat anestetik volatil dan dapat menyebabkan
hipoksemia jika tidak ditambahkan O2.
Kebutuhan total cairan selama operasi pada pasien ini, yaitu 1470 cc
selama operasi, terdiri dari jumlah cairan pengganti puasa 720 cc, maintenance
120 cc, stress operasi 480 cc dan perdarahan 150 cc. Kebutuhan cairan pada jam I
55
dibutuhkan 960 cc, dan pada jam II 780 cc. Cairan yang telah masuk (RL dan
Hes) sebesar 2000 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini telah tercukupi, namun
tetap harus dipantau dalam pengawasan.
Pukul 12.00 WIB pasien di bawa ke recovery room dengan Kesadara
compos Mentis (GCS 15), T/D 120/80 mmHg, Nadi 89 x/menit, Pernafasan 22
x/menit, Suhu 36,5ºC. Pada pukul 12.10 WIB pasien di pindahkan ke bangsal
THT deng skor Alderette berjumlah 9. Instruksi post op, monitor keadaan umum,
tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit, Terapi sesuai instruksi dr. Lusiana,
SpTHT, tidur tanpa bantal 1x24 jam dan puasa sampai pasien sadar penuh, BU
(+).
56